Anda di halaman 1dari 41

Modul 4

Investasi dan Perdagangan


Internasional Indonesia
Prof. Dr. Edy Suandi Hamid, M.Ec

PEN D A HU L UA N

M odul ini membahas keterkaitan antara struktur investasi dan


peningkatan manfaat perdagangan internasional bagi pelaku ekonomi
Indonesia. Perdagangan internasional dalam kondisi investasi yang terlalu
didominasi investasi asing tentu tidak banyak membawa manfaat bagi
ekonomi rakyat Indonesia. Pada bagian awal diuraikan perihal perkembangan
investasi di Indonesia, baik investasi dalam negeri maupun investasi asing,
termasuk investasi oleh ekonomi rakyat. Secara khusus dibahas masalah-
masalah struktural yang menghambat upaya peningkatan investasi berbasis
sumber daya dan pelaku ekonomi lokal dan kebijakan yang perlu diambil
pemerintah untuk mengembangkan investasi yang berorientasi kesejahteraan
rakyat banyak. Pada bagian selanjutnya dibahas perkembangan dan kinerja
perdagangan internasional Indonesia dan masalah-masalah yang dihadapi
pelaku ekonomi dalam negeri dalam meningkatkan manfaat perdagangan
mereka. Secara khusus diuraikan dampak globalisasi ekonomi bagi
perdagangan internasional Indonesia yang cenderung lebih banyak
merugikannya. Perdagangan bebas sarat dengan cacat baik dalam tataran
filosofis-teoretik maupun tataran empiris-operasionalnya yang menimbulkan
masalah struktural dalam perdagangan antarnegara. Modul ini juga
membahas kebijakan perdagangan internasional pemerintah, baik dalam
konteks liberalisasi maupun proteksi.
Dengan mempelajari modul ini Anda diharapkan mampu menganalisis
dan menjelaskan perkembangan dan masalah struktural pengembangan
investasi dan perdagangan internasional yang menyejahterakan rakyat dan
merumuskan alternatif cara pemecahan masalahnya.
4.2 Perekonomian Indonesia 

Setelah mempelajari modul ini Anda diharapkan mampu:


1. Menganalisis dan menjelaskan perkembangan dan dinamika investasi
baik dalam negeri maupun asing di Indonesia.
2. Menganalisis dan menjelaskan kompleksitas masalah struktural
pengembangan investasi yang berorientasi kesejahteraan rakyat banyak.
3. Menganalisis dan menjelaskan kebijakan yang (seharusnya) ditempuh
pemerintah untuk mengembangkan investasi, khususnya investasi oleh
ekonomi rakyat berbasis sumber daya lokal.
4. Menganalisis dan menjelaskan konsep, kinerja, dan masalah
perdagangan internasional Indonesia.
5. Menganalisis kebijakan yang (seharusnya) ditempuh pemerintah dalam
menyikapi agenda perdagangan bebas.
 ESPA4314/MODUL 4 4.3

Kegiatan Belajar 1

Investasi
A. PENGERTIAN DASAR

Investasi sering juga disebut penanaman modal atau pembentukan


modal. Investasi dapat diartikan sebagai pengeluaran penanam-penanam
modal atau perusahaan untuk membeli barang-barang modal atau
perlengkapan-perlengkapan produksi untuk menambah kemampuan
memproduksi barang-barang dan jasa-jasa yang tersedia dalam perekonomian
(Sukirno, 2004:121). Jadi sebuah pengeluaran dapat dikatakan sebagai
investasi jika ditujukan untuk meningkatkan kemampuan produksi. Investasi
merupakan hal yang penting dalam perekonomian.
Dalam ekonomi ada terminologi “there is no (economic) growth without
investment”. Pernyataan ini mengandung makna bahwa investasi mempunyai
peranan yang sangat penting dalam pembangunan ekonomi, walaupun
investasi bukan satu-satunya komponen pertumbuhan ekonomi. Dalam
pembangunan ekonomi, investasi mempunyai dua peran penting. Pertama,
peran dalam jangka pendek berupa pengaruhnya terhadap permintaan agregat
yang akan mendorong meningkatnya output dan kesempatan kerja. Kedua,
efeknya terhadap pembentukan kapital. Investasi akan menambah berbagai
peralatan, mesin, bangunan dan sebagainya. Dalam jangka panjang, tindakan
ini akan meningkatkan potensi output dan mendorong pertumbuhan ekonomi
secara berkelanjutan.
Secara teoretik paling tidak ada tiga faktor utama yang mempengaruhi
keputusan seseorang untuk melakukan investasi. Pertama, revenues
(pendapatan), yaitu sejauh mana ia akan memperoleh pendapatan yang
memadai dari modal yang ditanamkannya. Kedua, cost (biaya), yang
terutama ditentukan oleh tingkat suku bunga dan pajak, walaupun dalam
operasionalnya ditentukan juga oleh berbagai biaya lain yang ditemui di
lapangan. Ketiga, expectations (harapan-harapan), yaitu bagaimana harapan
di masa datang dari investasinya. Jadi, investor yang serius dalam penanaman
modal langsung (direct investment) tidak hanya “hit and run”, tetapi
berhitung jauh ke depan. Ia memperhitungkan situasi-situasi pada masa
mendatang yang dapat mempengaruhi investasinya, termasuk perubahan
situasi politik.
4.4 Perekonomian Indonesia 

Dari berbagai faktor tersebut pertimbangan utama investor untuk


melakukan investasi atau tidak adalah keuntungan atau dengan istilah firms
invest to earn profits. Kemungkinan memperoleh keuntungan itulah yang
dikaitkan dengan setiap variabel yang ada di suatu lokasi sebelum melakukan
investasi. Dengan memasukkan semua variabel yang ada, investor bisa
memperkirakan keuntungan dengan berbagai model pendekatan, seperti
pendekatan present value, marginal efficiency of capital, atau untuk
perekonomian nasional biasanya dengan pendekatan capital-output ratio dari
Harrod-Domar. Betapa pun gawatnya suatu daerah, jika dalam perhitungan
dimungkinkan memperoleh laba, maka sangat mungkin investor masih
bersedia datang. Investor akan mengkalkulasi expected risk dan expected
profit-nya. Seaman-aman suatu wilayah, jika tidak ada peluang ekonomi
yang bisa diharapkan untuk memperoleh keuntungan maka investor tidak
akan masuk. Namun demikian, investor tentu akan memilih lokasi yang
menguntungkan dan aman, yaitu yang country/region risk-nya rendah.
Nilai peluang ekonomi ini adalah relatif bagi investor. Artinya, investor
yang bergerak di industri pertambangan atau kehutanan akan melihat
Yogyakarta sebagai daerah tidak menarik, walaupun Yogyakarta menjanjikan
keamanan, peraturan yang kondusif, dan sebagainya. Sebaliknya, investor di
bidang pariwisata atau perhotelan, melihat peluang investasi ini tinggi.
Namun apakah mereka akan menanamkan modal atau tidak, terlebih dahulu
akan dibandingkan dengan berbagai tempat agar dapat mengkalkulasi tempat
mana yang akan memberikan return on investment yang paling tinggi.

B. INVESTASI DALAM NEGERI DAN LUAR NEGERI

Guna mendorong pertumbuhan ekonomi yang diharapkan akan


berdampak pada penciptaan lapangan kerja dan secara langsung akan
meningkatkan kesejahteraan (berarti mengurangi kemiskinan), maka salah
satu kebijakan yang penting adalah meningkatkan nilai investasi, baik
melalui Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) maupun Penanaman
Modal Asing (PMA).
Sejak awal Orde Baru hingga tahun 2004, tampak terjadi fluktuasi nilai
investasi. Secara umum, mulai era Orde Baru, nilai investasi di Indonesia
menunjukkan tren yang terus meningkat. Nilai investasi ini naik drastis
selama periode 1988-1997, namun kemudian menurun setelah krisis ekonomi
 ESPA4314/MODUL 4 4.5

tahun 1997. Nilai investasi cenderung mengalami penurunan selama periode


tahun 2001 hingga 2004.
Berdasarkan data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), nilai
PMDN pada tahun 1997 tercatat Rp. 119 trilyun dengan jumlah proyek 723
unit. Sementara itu, pada tahun 2003, nilai ini menurun menjadi Rp. 50
trilyun dengan 196 proyek, sedangkan hingga akhir 2004, nilai PMDN
tercatat hanya sebesar Rp. 33,4 trilyun dengan 158 proyek. Kemudian kondisi
realisasi investasi Triwulan IV (Oktober-Desember) 2016 mencapai Rp159,4
triliun atau meningkat 9,6% dibandingkan periode yang sama Tahun 2015.
Dari jumlah tersebut, realisasi PMDN (Penanaman Modal Dalam Negeri)
mencapai Rp 58,1 triliun atau meningkat 25,8% dibandingkan capaian
periode yang sama tahun 2015, sedangkan PMA (Penanaman Modal Asing)
mencapai Rp 101,3 triliun atau tumbuh 2,1% dibandingkan tahun 2015
(Kemenkeu, 2017).
Antara PMDN dan PMA memiliki dinamika yang sama. Hal tersebut
menunjukkan bahwa investor asing dan domestik mempunyai ekspektasi
yang sama. Yang menarik adalah aliran investasi asing langsung yang negatif
yang masih terus berlanjut bahkan setelah tahun 2000. Dibandingkan dengan
negara-negara ASEAN lainnya, Indonesia adalah negara yang paling terpukul
akibat krisis ekonomi dan satu-satunya negara yang mengalami pertumbuhan
FDI yang negatif (LPEM, 2003).
Gambar berikut ini menunjukkan ilustrasi awal tren persetujuan PMDN
dan PMA menurut sektor (primer, sekunder, dan tersier) yang cenderung
menurun selama tahun 1997-November 2004 sebagai imbas dari adanya
krisis moneter tahun 1997. Untuk PMDN, sektor sekunder merupakan sektor
favorit yang sumbangannya sebesar 60% dari total PMDN. Sub-sektor yang
menjadi favorit investor dalam negeri untuk sektor sekunder adalah industri
kimia dan farmasi; industri makanan; dan industri kertas dan percetakan.
Sumbangan sektor tersier dan primer relatif tetap rendah yaitu masing-
masing di bawah 30 persen dan 15 persen.
4.6 Perekonomian Indonesia 

180,000.0

160,000.0

140,000.0

120,000.0
(Milyar Rupiah)

100,000.0

80,000.0

60,000.0

40,000.0

20,000.0

-
68

70

72

74

76

78

80

82

84

86

88

90

92

94

96

98

00

02

04
19

19

19

19

19

19

19

19

19

19

19

19

19

19

19

19

20

20

20
Tahun

PMDN PMA

Sumber: BKPM (2004)


Gambar 4.1.
Perkembangan Investasi Asing (PMA) dan Domestik (PMDN), 1967 – 2004

Sementara itu, sumbangan sektor primer, sekunder, dan tersier untuk


PMA menunjukkan perubahan pola. Sebelum 2001, sektor sekunder
mendominasi investasi asing langsung yang sebesar 60-70% dari total. Mulai
tahun 2001, sumbangan sektor tersier meningkat baik untuk PMDN dan
PMA. Sub-sektor dominan untuk sektor tersier adalah transportasi,
penyimpanan dan komunikasi; real estate dan kegiatan bisnis; hotel dan
restoran; dan konstruksi.

PMDN PMA

80.00
100.0
70.00
80.0 60.00
Persentase
Persentase

50.00
60.0
40.00
40.0 30.00
20.00
20.0
10.00
0.0 0.00
1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004

Tahun Tahun

SEKTOR PRIMER SEKTOR SEKUNDER SEKTOR TERSIER SEKTOR PRIMER SEKTOR SEKUNDER SEKTOR TERSIER

Gambar 4.2.
Tren Persetujuan PMDN dan PMA Menurut Sektor
(dalam persen)1997-November 2004
 ESPA4314/MODUL 4 4.7

Perkembangan investasi antardaerah dapat diamati dari pertumbuhan


jumlah perusahaan antardaerah. Gambar di bawah ini menunjukkan tren
sumbangan PMDN dan PMA menurut lokasi selama tahun 1997-Nopember
2004. Untuk PMDN dan PMA, Jawa-Bali dan Sumatra mendominasi sebagai
pilihan lokasi investasi, baik sebelum dan setelah penerapan otonomi daerah
(desentralisasi) yang digulirkan sejak awal tahun 2001
PMDN PMA

Sumber: BKPM (2004)


Gambar 4.3.
Tren Persetujuan PMDN dan PMA Menurut Lokasi
(dalam persen)1997-November 2004

Guna menarik para investor, baik dari dalam dan luar negeri diperlukan
perbaikan lingkungan bisnis. Berbagai survei membuktikan bahwa faktor
utama yang mempengaruhi lingkungan bisnis adalah: produktivitas tenaga
kerja, perekonomian daerah, infrastruktur fisik, kondisi sosial-politik, dan
institusi. Survei yang dilakukan oleh Komite Pertimbangan Pelaksanaan
Otonomi Daerah (KPPOD) menunjukkan bahwa institusi merupakan faktor
utama yang menentukan daya tarik investasi di suatu daerah, diikuti oleh
kondisi sosial-politik, infrastruktur fisik, kondisi ekonomi daerah dan
produktivitas tenaga kerja.
Dalam keadaan normal, potensi ekonomi merupakan faktor utama
pertimbangan investasi. Studi terhadap lebih dari 2.000 perusahaan di lebih
dari 60 kabupaten/kota yang dilakukan oleh LPEM UI menemukan bahwa
alasan utama di balik peningkatan ketidakpastian usaha yang signifikan
berhubungan dengan masih kurangnya kemampuan pemerintah daerah dalam
menciptakan dan mempertahankan iklim bisnis yang menarik
4.8 Perekonomian Indonesia 

Banyak studi menemukan bahwa pelaksanaan otonomi daerah sejak


tahun 2001 telah memperburuk iklim investasi di Indonesia. Masih
rendahnya pelayanan publik, kurangnya kepastian hukum, dan berbagai
Peraturan Daerah (Perda) yang tidak peka terhadap keadaan dan kebutuhan
dunia usaha diidentifikasi sebagai bukti iklim bisnis yang tidak kondusif.
Pelayanan publik yang dikeluhkan terutama terkait dengan
ketidakpastian biaya dan lamanya waktu berurusan dengan perijinan dan
birokrasi. Ini diperparah dengan masih berlanjutnya berbagai pungutan, baik
resmi maupun liar, yang harus dibayar perusahaan kepada para petugas,
pejabat, dan preman. Alasan utama mengapa investor masih khawatir untuk
melakukan bisnis di Indonesia adalah ketidakstabilan ekonomi makro,
ketidakpastian kebijakan, korupsi (oleh pemda maupun pemerintah pusat),
perijinan usaha, dan regulasi pasar tenaga kerja (World Bank, 2004).
Kondisi ini tentu saja tidak kondusif bagi pengusaha lokal yang
modalnya terbatas, sehingga selalu kalah bersaing dalam kondisi ekonomi
biaya tinggi. Niat pemerintah daerah untuk menumbuhkan wirausahawan dan
industriawan daerah dapat terbentur karena kurangnya pemahaman struktural
mereka dalam pemberdayaan ekonomi daerah.
Masyarakat harus selalu dirangsang untuk melakukan investasi melalui
kebijakan-kebijakan dan peraturan yang pro-ekonomi rakyat, bukan justru
melahirkan peraturan-peraturan yang kontraproduktif dan membebani usaha
mereka. Patut dipahami benar bahwa PAD hanyalah derivat dari
perkembangan ekonomi masyarakat daerah, yang salah satu unsur
penggeraknya adalah investasi, terutama yang berbasis sumber daya
domestik. Dengan paradigma ini kegiatan investasi di daerah akan
berkembang dinamis dan makin memberi nilai tambah sosial-ekonomi bagi
masyarakat daerah.
Keterbukaan Indonesia terhadap investasi asing memungkinkan
meningkatnya foreign direct investment (investasi asing langsung) yang
sebagian besar dilakukan oleh Trans National Company (TNC). Mereka
adalah perusahaan yang beroperasi di banyak negara (operasi bisnisnya
mendunia) serta cenderung dikontrol sentralistik oleh perusahaan induknya.
TNC merupakan kekuatan ekonomi dunia yang sangat besar, di mana volume
penjualan sebuah TNC seringkali melebihi Produk Domestik Bruto (PDB)
sebuah negara berkembang termasuk Indonesia.
Kehadiran TNC di Indonesia tidak selalu dapat dianggap sebagai angin
segar untuk perekonomian Indonesia. Kehadiran mereka di tanah air pada
 ESPA4314/MODUL 4 4.9

titik tertentu justru makin mengancam kepentingan nasional. TNC sangat jeli
memanfaatkan celah hukum dan peraturan yang ada di Indonesia sehingga
berdasarkan hal itu mereka dapat mengambil tindakan yang merugikan
kepentingan nasional. Kehadiran TNC dapat mengancam kelangsungan
industri nasional yang kalah bersaing dalam hal penguasaan modal dan
teknologi. Kehadiran perusahaan asing juga ditunding sebagai biang dari
kerusakan lingkungan seperti kasus perusakan lingkungan di Papua yang
dilakukan oleh Freeport dan mewabahnya penyakit kulit di Teluk Buyat yang
dilakukan oleh PT Minahasa Raya. Lebih dari itu, jika posisi mereka terlalu
kuat dalam ekonomi nasional maka mereka akan mulai bergerak ke arah
dominasi ekonomi-politik yang dapat mengancam kedaulatan bangsa.

C. INVESTASI OLEH EKONOMI RAKYAT

Pemerintah Indonesia cenderung menerapkan dualisme kebijakan


ekonomi. Pada satu sisi pemerintah mendorong terjadinya investasi asing
yang bermodal besar sedangkan pada pernyataannya yang lain pemerintah
mendorong investasi ekonomi rakyat yang bermodal relatif lebih kecil.
Meskipun sejak tahun 1983 pemerintah menyatakan akan melakukan
restrukturisasi ekonomi namun kenyataannya pemerintah lebih berpihak pada
investasi besar dan tidak memberi kesempatan yang memadai pada investasi
ekonomi rakyat. Studi empiris membuktikan bahwa pertumbuhan nilai
tambah ternyata tidak dinikmati oleh perusahaan skala kecil, sedang dan
besar, namun justru perusahaan konglomerat, dengan tenaga kerja lebih dari
1000 orang, yang menikmati kenaikan nilai tambah secara absolut maupun
per rata-rata perusahaan (Kuncoro & Abimanyu, 1995).
Investasi ekonomi rakyat perlu mendapatkan fasilitas yang memadai dari
dari pemerintah karena beberapa alasan. Pertama, ekonomi rakyat menyerap
banyak tenaga kerja dan menggunakan sumber daya alam lokal. Berdasarkan
catatan Badan Pusat Statistik (BPS) ekonomi rakyat menyerap tenaga kerja
sebanyak 6,2 juta sedangkan industri rakyat hanya menyerap 4,2 juta orang
saja (Jurnal, 2003:12). Selain itu karena seringkali bertempat di pedesaan,
ekonomi rakyat menimbulkan implikasi positif seperti meningkatkan serapan
tenaga kerja, mengurangi jumlah kemiskinan, pemerataan distribusi
pendapatan dan pembangunan ekonomi di perdesaan (Kuncoro, 1994; Sandee
et al. 1994; Weiljland, 1999).
4.10 Perekonomian Indonesia 

Kedua, ekonomi rakyat memegang peranan penting dalam ekspor


nonmigas yang pada tahun 1990 mencapai US$ 1.031 juta atau menempati
ranking kedua setelah ekspor dari kelompok aneka industri. Berdasarkan
posisi tersebut kita dapat menyimpulkan bahwa ekonomi rakyat menyimpan
potensi yang belum serius dikembangkan mengingat minimnya perhatian
pemerintah terhadap perkembangan mereka selama ini.
Ketiga, ekonomi rakyat perlu dikembangkan dengan serius karena
berdasarkan hasil perhitungan pada PJPT I puncak piramida perekonomian
masih diduduki oleh perusahaan skala besar yang memiliki karakteristik
beroperasi pada struktur pasar quasi-monopoli, oligopolistik, hambatan
masuk tinggi, menikmati margin keuntungan yang besar, dan akumulasi
modal cepat. Posisi puncak tersebut dikuasai tidak lebih dari 200
konglomerat. Sedangkan pada posisi tengah dan bawah piramida ditempati
oleh perusahaan rakyat yang beroperasi dalam iklim yang sangat kompetitif,
hambatan masuk rendah, margin keuntungan rendah, dan tingkat drop-out
tinggi. Perusahaan rakyat tersebut digeluti oleh sebagian pengusaha di
Indonesia. Perusahaan semacam itu tidak membebani negara karena negara
tidak perlu membiayai kerugian yang mereka derita seperti halnya ketika
pemerintah membiayai kerugian perusahaan besar. Ketangguhan ekonomi
rakyat juga tidak perlu dipertanyakan lagi ketika mereka berhasil bertahan
saat krisis moneter di mana justru perusahaan besar mengalami
kebangkrutan.
Hingga saat ini investasi untuk mendukung ekonomi rakyat tidaklah
besar. Berdasarkan catatan BPS, hanya 47% usaha kecil yang pernah
mendapatkan kucuran dana dari bank. Sebanyak 84% industri rumah tangga
tidak pernah meminjam dana dari bank dengan alasan ketiadaan agunan dan
prosedur yang berbelit-belit.

D. MASALAH STRUKTURAL PENINGKATAN INVESTASI DI


INDONESIA

Jika dilihat penyebaran investasi di tanah air, angka yang ada


menunjukkan suatu ketimpangan yang tinggi, yang menggambarkan
konsentrasi investasi pada daerah-daerah tertentu. Hal in tidak bisa
dilepaskan dari adanya sentralisasi kebijakan pada masa lalu. Mengubah
konsentrasi investasi menjadi lebih terdiversifikasi secara regional, memang
tidak bisa dalam waktu singkat. Ini terkait dengan daya tarik (atau juga
 ESPA4314/MODUL 4 4.11

“kekuatan”) dari daerah tertentu yang tercipta sejak lama, yang antara lain
terjadi sebagai akibat kebijakan yang sentralistik.
Adanya sentralisasi kebijakan dan kuatnya dominasi pusat atas daerah
telah menimbulkan ketergantungan yang tinggi dari daerah-daerah kepada
Pusat. Dalam bidang keuangan atau anggaran, ketergantungan ini antara lain
dapat dilihat pada anggaran pemerintah daerah yang komponen sumbangan
dan bantuan pusatnya sangat tinggi, melampaui Pendapatan Asli Daerah-nya
(PAD). Berkembangnya struktur dominasi pusat atas daerah ini, di samping
melahirkan ketergantungan, juga berakibat pada munculnya pola hubungan
“eksploitatif”, di mana pusat memegang hegemoni, memompakan sistem dan
mekanisme pemerintahan serta pengelolaan pembangunan sentralistik,
sektoral, departemental, secara “pukul rata” pada setiap daerah. Pendekatan
seperti ini tidak saja mematikan prakarsa-prakarsa daerah, tetapi juga
memunculkan persoalan-persoalan ekonomi politik yang kian kompleks yang
berpotensi memicu disintegrasi (INDEF, ibid, h. 2).
Otoritas pusat untuk mengalokasikan sumber-sumber ekonomi yang ada
memunculkan isu ketidakseimbangan dan ketidakpuasan dalam alokasi
perimbangan antardaerah, serta melahirkan tuntutan agar perhatian lebih
banyak dicurahkan pada daerah luar Jawa, terlebih bagian Indonesia Timur.
Tuntutan-tuntutan demikian secara ekonomi bukanlah tanpa dasar. Ini
mengingat bahwa pembangunan selama ini banyak mengabaikan aspek-aspek
yang berkaitan dengan ruang. Hal demikian terjadi karena ilmu ekonomi
sendiri dengan berbagai teorinya terlalu mengabaikan unsur “ruang” sehingga
segala proses dan mekanisme yang dipostulasikan seolah-olah di alam “tanpa
ruang” atau spaceless (Azis, 1987, h. 152).
Alokasi dana pembangunan banyak terkonsentrasi pada daerah-daerah
yang berpenduduk padat dengan mengabaikan pembangunan di daerah yang
berpenduduk jarang. Dalam hal-hal tertentu, dilihat dari sudut optimalisasi
produksi dan keuntungan makro ekonominya, pola yang demikian mungkin
dapat dibenarkan. Namun polarisasi pembangunan seperti itu melahirkan
berbagai masalah yang berkaitan dengan pembangunan daerah (ruang) yang
masih tertinggal atau terbelakang tersebut.
Alokasi dana yang lebih besar untuk daerah-daerah tertentu, khususnya
di Pulau Jawa, telah menyebabkan pesatnya pembangunan berbagai sektor di
daerah ini. Berbagai prasarana yang dibangun telah memberikan daya tarik
bagi para penanam modal, baik investor domestik maupun asing, untuk
menanamkan modalnya di daerah yang daya beli penduduknya relatif tinggi
4.12 Perekonomian Indonesia 

dan prasarananya relatif lengkap. Investasi domestik kumulatif (tidak


termasuk minyak, asuransi, dan perbankan) sejak 1967 sampai dengan 31
Agustus 1998 mencapai Rp639.309,9 milyar, yang Rp368.224,8 milyar
(57,6%) di antaranya berada di Pulau Jawa. Sedangkan investasi asing dari
total nilai PMA sebesar US$ 217.041,8 juta, sebanyak US$ 140.228,7 juta
(64,61%) berada di Pulau Jawa (BPS, Indikator Ekonomi, Mei 1999, h. 53).
Dari sudut pandang investor hal ini memang relatif menguntungkan,
karena dengan menanamkan modal di Jawa mereka mendapatkan banyak
eksternalitas ekonomis. Namun demikian, keadaan ini berakibat pada
semakin terkonsentrasinya kegiatan ekonomi pada daerah yang banyak
memperoleh alokasi proyek dan bantuan pusat tersebut.
Dilihat dari aspek pemerataan pembangunan antardaerah, hal yang
demikian tidak menguntungkan bagi rakyat Indonesia secara keseluruhan.
Kondisi ketidakmerataan yang dirasakan sebagai ketidakadilan oleh sebagian
masyarakat di daerah yang kaya sumber daya alam juga berpotensi
menimbulkan disintegrasi bangsa. Dalam jangka panjang hal ini tidak
semata-mata dilihat dari aspek pemerataan saja yang kurang menguntungkan,
melainkan juga dari sisi efisiensi. Pemerintah tidak bisa terus menerus
mengembangkan suatu daerah tertentu yang sudah relatif maju
perekonomiannya, kecuali dengan biaya ekonomi yang mahal. Dalam batas-
batas tertentu, daya serap daerah tersebut akan mengalami kejenuhan,
investasi menjadi mahal, dan return on investments menurun. Misalkan, terus
menerus mengkonsentrasikan pembangunan sektor industri di DKI Jakarta
dan Jawa Barat tidak akan menguntungkan lagi bagi pelaku ekonomi, dan
tingkat efisiensi relatif akan semakin menurun.
Mahalnya harga tanah dan tingginya tingkat upah serta kebutuhan hidup
lainnya, menyebabkan biaya produksi yang makin tinggi (high cost
production), sehingga berakibat tidak kompetitifnya produk yang dihasilkan.
Kenyataan seperti ini memperkuat argumentasi akan pentingnya
pembangunan daerah-daerah di luar wilayah konsentrasi pembangunan
selama ini, lewat alokasi dana pusat yang besar ke daerah-daerah yang masih
relatif tertinggal, baik dilihat dari sudut pandang pemerataan pembangunan
maupun sudut pandang efisiensi.
Situasi demikian hendak diubah dengan mulai dilaksanakannya otonomi
daerah sejak 2001. Sebagaimana diketahui, dengan dikeluarkannya UU No.
22/1999 dan UU No. 25/1999, otoritas daerah untuk mengurus daerahnya
semakin luas. Pemerintah Pusat telah menyerahkan sebagian kewenangannya
 ESPA4314/MODUL 4 4.13

kepada daerah, termasuk juga dalam urusan investasi-investasi tertentu.


Investasi ini dapat dilakukan oleh pemerintah maupun swasta, atau
masyarakat luas.
Investasi pemerintah dilakukan umumnya dimaksudkan untuk
mendukung kegiatan ekonomi masyarakat, di samping juga yang bisa
memperoleh pendapatan langsung dari investasi tersebut. Investasi ini
misalnya berupa pembangunan sarana dan prasarana ekonomi, atau juga yang
terkait dengan human investment guna meningkatkan produktivitas sumber
daya manusianya. Untuk mendukung peningkatan penerimaan PAD
pemerintah daerah juga bisa membentuk unit-unit ekonomi yang berorientasi
keuntungan melalui BUMD yang didirikan, atau penyertaan modal pada unit-
unit ekonomi swasta, khususnya yang ada di daerahnya.
Bagi daerah, mengembangkan investasi menjadi penting karena
kebutuhan dampak langsung dan tak langsung bagi masyarakat daerah
tersebut. Adanya investasi akan membuka peluang kerja di daerah, yang
selanjutnya menambah daya beli masyarakat dan mendorong permintaan.
Mata rantai seperti inilah yang akan mendorong pertumbuhan ekonomi
daerah. Oleh karena itu, seharusnya unsur pemerintahan di daerah berlomba
di samping juga bekerja sama untuk mengembangkan investasi ini, baik itu
swasta asing maupun domestik. Jadi, peluang untuk mengundang investor ini
perlu ditangkap oleh daerah. Dan ini memang bukan program yang singkat,
melainkan membutuhkan waktu lama untuk memetik hasilnya.
Kebijakan investasi yang digariskan oleh pemerintah hingga saat ini
masih menafikan kehadiran investasi yang ditujukan untuk ekonomi rakyat.
Pemerintah belum menyusun peraturan yang mendorong terjadinya investasi
ekonomi rakyat. Hingga saat ini pelaku ekonomi rakyat masih kesulitan
mendapatkan bantuan modal dari bank dan pemerintah. Kebijakan kemitraan
yang didengung-dengungkan pemerintah sejak tahun 1993 terbukti belum
membuat perubahan yang berarti. Berdasarkan hasil survey BPS hanya 6%
pelaku ekonomi rakyat yang mendapatkan Bapak Angkat.

E. KEBIJAKAN PENGEMBANGAN INVESTASI UNTUK


KESEJAHTERAAN RAKYAT

Dalam era otonomi daerah ini, untuk menarik investasi ke daerah Pemda
mempunyai kewajiban untuk menggali segala potensi yang ada di daerahnya.
Pemda harus mempertemukan “keinginan daerah dan keinginan investor”.
4.14 Perekonomian Indonesia 

Bagi investor, daya tarik ini tidak hanya berupa endowment resources, tetapi
juga variabel-variabel yang mendukungnya, seperti regulasi daerah, sumber
daya manusia, dan sebagainya.
Sebagaimana dikemukakan di atas, seorang investor pertama-tama akan
melihat kemungkinan memperoleh keuntungan dari usahanya. Artinya, yang
dilihat pertama adalah bagaimana potensi ekonomi daerah tersebut yang
memberi peluang untuk memperoleh keuntungan. Jika ia akan bergerak
dalam bidang ekstraktif, ia akan mencari data tentang potensi SDA yang ada
di daerah tersebut. Sektor ekstraktif (pertambangan, perkebunan, perikanan,
dan kehutanan) menjanjikan peluang pendapatan yang tinggi, namun juga
risiko yang besar. Daerah-daerah yang kaya SDA, termasuk daerah-daerah di
luar Jawa, sebagian besar menarik bagi investor asing karena adanya
“endowment resources” tersebut.
Namun bagi pengusaha di sektor hilir potensi ekonomi ini lebih dilihat
dari seberapa besar luas pasarnya, yang tercermin dari jumlah penduduk dan
daya belinya. Indikator lain yang dilihat adalah bagaimana struktur
perekonomiannya. Semakin tinggi kontribusi sektor industri dan jasa,
mencerminkan kemajuan ekonomi masyarakat daerah tersebut, yang berarti
ada potensi peluang pasar yang menjanjikan bagi industri hilir tersebut.
Namun peluang (keuntungan) ekonomi hanyalah satu faktor saja yang
menjadi pertimbangan untuk menanamkan modal atau tidak. Ini baru berupa
necessary condition (syarat keharusan). Masih banyak faktor lain yang
dipertimbangkan oleh investor. Dengan mengasumsikan faktor-faktor yang
berkaitan dengan cost of fund sudah given, maka pertimbangan pengambilan
keputusan bagi investor banyak ditentukan oleh situasi lokal yang ada di
daerah. Faktor tersebut berkaitan dengan bagaimana aturan-aturan yang
ditetapkan Pemda, sikap masyarakat, keamanan, dan sebagainya, yang terkait
dengan risiko suatu investasi di suatu daerah (regional investment risk). Ini
menjadi suatu sufficient conditions (syarat kecukupan).
Suatu kajian yang dilakukan KPPOD (2002), yang telah mengelaborasi
berbagai variabel yang mempengaruhi investasi, dapat dijadikan acuan untuk
menilai daya tarik suatu wilayah, termasuk membuat analisis SWOT-nya.
KPPOD menggunakan tujuh variabel yang dijadikan tolok ukur daya tarik
investasi regional, yaitu: (a) keamanan; (b) potensi ekonomi; (c) budaya
daerah; (d) sumber daya manusia; (e) keuangan daerah; (f) infrastruktur; dan
(g) peraturan daerah.
 ESPA4314/MODUL 4 4.15

Variabel tersebut dielaborasi lagi menjadi sub-variabel. Misalnya saja,


yang berkaitan dengan keamanan, dipecah menjadi sub-variabel kepastian
hukum dan gangguan keamanan. Potensi ekonomi dilihat dari peran sektor
primer dan sekunder, serta PDRB per kapita. Variabel ini bisa ditambah atau
dikurangi, atau dimodifikasi sesuai dengan kondisi yang ada.
Variabel-variabel ini sudah mencukupi sebagai indikator daya tarik
investasi ke daerah-daerah di Indonesia. Sebagai misal, kondisi riel saat ini
menunjukkan bahwa investasi sektor industri paling besar di tanah air adalah
berada di Jawa, khususnya Jawa Barat dan DKI Jakarta. Mengapa hal
demikian terjadi? Dilihat dari indikator-indikator di atas, Jawa lebih banyak
memiliki “kekuatan” (strenghtness) atau keunggulan dibandingkan Luar
Jawa. Dari sisi pasar (penduduk Jawa lebih banyak sebagai konsumen), infra
dan suprastruktur (jalan, jembatan, listrik, perbankan), keamanan, dan
sebagainya, Jawa lebih unggul. Peluang untuk ekspor juga besar karena
sarana pelabuhan relatif dekat. Namun demikian, dalam jangka panjang pasar
ini bisa juga jenuh, harga input naik, pencemaran tinggi, sehingga ini
merupakan unsur “kelemahan” (weakness) yang bisa terjadi.
Namun tidak semua sektor Jawa unggul. Dalam sektor ekstraktif, seperti
kehutanan dan pertambangan, investasi terbesar justru di luar Jawa. Ini
dikarenakan sumber-sumber daya alam yang banyak memang berada di luar
Jawa. Jadi pada hakikatnya setiap daerah mempunyai sesuatu yang bisa digali
untuk mengembangkan investasi. Hanya saja besar-kecilnya peluang
pengembangan investasi tersebut tidak sama.
Yang menjadi tugas unsur-unsur pemerintahan daerah adalah bagaimana
mengoptimalkan berbagai indikator non-natural atau buatan manusia yang
ada di daerah masing-masing. Untuk sumber daya alam, tentu sudah given,
tak bisa diubah-ubah. Namun yang berkaitan dengan infrastruktur, aturan-
aturan, budaya masyarakat, kualitas sumber daya manusia, merupakan unsur
yang bisa direkayasa atau digarap oleh pemerintahan daerah. Oleh karena itu,
fokus dari pemerintahan daerah untuk mengembangkan investasi adalah pada
unsur-unsur non-natural tersebut. Lebih dari itu, SDA pun akan habis,
sehingga tidak bisa suatu daerah selamanya mengandalkan SDA tersebut.
Karena itu, perlu dipikirkan sejak jauh hari tentang pola atau bidang investasi
jangka panjangnya. Inilah sebenarnya yang menjadi tugas pokok bagi aparat
di daerah (legislatif, eksekutif, dan yudikatif) dalam menstimulasi agar
investor mengembangkan investasi ke daerahnya.
4.16 Perekonomian Indonesia 

Investasi yang menguntungkan rakyat tidak hanya dilakukan melalui


mekanisme otonomi daerah yang digawangi oleh Pemda. Pemerintah perlu
melakukan strategi-strategi investasi yang menguntungkan rakyat seperti
peraturan yang mendorong investasi pada ekonomi rakyat. Pemerintah harus
menyusun dan mengimplementasikan suatu mekanisme agar perbankan
percaya dan berpihak pada investasi ekonomi rakyat. Mekanisme investasi ini
harus dilengkapi dengan berbagai pelatihan dan pengembangan manajemen,
sehingga pelaku ekonomi rakyat tidak saja memiliki kemampuan produksi
tetapi juga mencari peluang pasar dan memasarkan produk mereka.
Program kemitraan pemerintah yang telah dilaksanakan sejak tahun 1993
sesungguhnya merupakan program investasi yang patut ditindak lanjuti. Perlu
dilakukan reorientasi kemitraan dengan memperbaiki persepsi kedua belah
pihak dan memperbaiki mekanisme kemitraan sehingga program kemitraan
tidak lagi dianggap sebagai program amal perusahaan berskala besar tetapi
program kerja sama yang saling menguntungkan, seperti halnya yang telah
berhasil dilakukan beberapa perusahaan seperti Astra Group dan Bukaka.

LAT IH A N

Untuk memperdalam pemahaman Anda mengenai materi di atas,


kerjakanlah latihan berikut!
1) Apa dampak liberalisasi investasi melalui UU No 12 tahun 1967 tentang
Penanaman Modal Asing terhadap perekonomian Indonesia dan
kesejahteraan rakyat banyak?
2) Mengapa pemerintah perlu mengembangkan investasi oleh ekonomi
rakyat?
3) Apa yang dimaksud dengan investasi sumber daya manusia (human
investment)? Bagaimana caranya?
4) Apa permasalahan yang menjadi hambatan dalam pengembangan
investasi dalam negeri di Indonesia?
5) Jelaskan kaitan antara liberalisasi investasi dengan terjadinya krisis
moneter 1997/1998!
 ESPA4314/MODUL 4 4.17

Petunjuk Jawaban Latihan

Dalam menjawab latihan ini, bacalah kembali dengan teliti materi-materi


yang terkait dengan pertanyaan tersebut dan galilah dari bacaan-bacaan
utama yang menjadi referensi kegiatan belajar ini.

R A NG KU M AN

Investasi adalah pengeluaran penanam-penanam modal atau


perusahaan untuk membeli barang-barang modal atau perlengkapan-
perlengkapan produksi untuk menambah kemampuan memproduksi
barang-barang dan jasa-jasa yang tersedia dalam perekonomian.
Investasi adalah salah satu komponen pertumbuhan ekonomi.
Investasi mempunyai dua peran penting dalam makro ekonomi.
Pertama, pengaruhnya terhadap permintaan agregat yang akan
mendorong meningkatnya output dan kesempatan kerja. Kedua, efeknya
terhadap pembentukan kapital. Ada tiga faktor utama yang
mempengaruhi keputusan seseorang untuk melakukan investasi yaitu
revenues (pendapatan), cost (biaya), dan expectations (harapan-harapan).
Pertimbangan utama dari investor untuk melakukan investasi atau tidak
adalah: keuntungan (return).

Sejak awal Orde Baru hingga tahun 2004, terjadi fluktuasi nilai
investasi. Secara umum, mulai Orde Baru, nilai investasi di Indonesia
terjadi tren yang meningkat. Tetapi sejak terjadinya krisis moneter nilai
investasi Indonesia menurun.
Banyak studi menemukan bahwa pelaksanaan otonomi daerah
sejak 2001 telah memperburuk iklim investasi di Indonesia. Masalah lain
berkaitan dengan dualisme kebijakan ekonomi. Selama ini pemerintah
lebih memberi kemudahan pada industri besar. Akibatnya ekonomi
rakyat tidak berkembang dengan baik. Investasi ekonomi rakyat perlu
mendapatkan fasilitas yang memadai dari pemerintah karena ekonomi
rakyat menyerap banyak tenaga kerja dan menggunakan sumber daya
alam lokal, memegang peranan penting dalam ekspor non migas, dan
beroperasi dalam iklim yang sangat kompetitif yang dinikmati oleh
sebagian besar rakyat.
Investasi di Indonesia menghadapi masalah struktural seperti
sentralisasi kekuasaan. Hal ini menyebabkan pembangunan hanya
dinikmati oleh sebagian bangsa saja. Selain itu rendahnya investasi pada
4.18 Perekonomian Indonesia 

sumber daya manusia sehingga tidak dapat mendukung pembangunan


ekonomi.
TES F OR M AT IF 1

Pilihlah satu jawaban yang paling tepat!

1) Pelarian modal ke luar negeri yang makin memperparah terjadinya krisis


moneter 1997/1998 dikenal dengan istilah ....
A. capital inflow
B. capital outflow
C. capital flight
D. capital injection

2) Faktor-faktor yang menjadi pertimbangan investor untuk melakukan


investasi adalah tersebut di bawah ini, kecuali ....
A. pendapatan (revenue)
B. biaya (cost)
C. harapan (expectation)
D. percobaan (trial)

3) KPPOD mengembangkan variabel-variabel yang menjadi tolok ukur


daya tarik investasi regional Indonesia di bawah ini, kecuali ....
A. pendapatan asli daerah
B. budaya daerah
C. peraturan daerah
D. infrastruktur

4) Mudrajad Kuncoro mengungkapkan implikasi positif pengembangan


investasi yang berbasis pada ekonomi rakyat di perdesaan Indonesia
tersebut di bawah ini, kecuali ....
A. mengurangi kemiskinan
B. pemerataan pendapatan
C. menyerap tenaga kerja
D. meningkatkan konsentrasi modal

5) Perbandingan antara nilai konsumsi per kapita dengan Produk Domestik


Bruto Indonesia yang dirumuskan oleh Mubyarto disebut ....
A. derajat ketergantungan
B. derajat penghisapan
C. indeks kesejahteraan minimum
D. indeks pengeluaran minimum
 ESPA4314/MODUL 4 4.19

Cocokkanlah jawaban Anda dengan Kunci Jawaban Tes Formatif 1 yang


terdapat di bagian akhir modul ini. Hitunglah jawaban yang benar.
Kemudian, gunakan rumus berikut untuk mengetahui tingkat penguasaan
Anda terhadap materi Kegiatan Belajar 1.

Jumlah Jawaban yang Benar


Tingkat penguasaan =  100%
Jumlah Soal

Arti tingkat penguasaan: 90 - 100% = baik sekali


80 - 89% = baik
70 - 79% = cukup
< 70% = kurang

Apabila mencapai tingkat penguasaan 80% atau lebih, Anda dapat


meneruskan dengan Kegiatan Belajar 2. Bagus! Jika masih di bawah 80%,
Anda harus mengulangi materi Kegiatan Belajar 1, terutama bagian yang
belum dikuasai.
4.20 Perekonomian Indonesia 

Kegiatan Belajar 2

Perdagangan Internasional

A. KONSEP DAN KRITIK PERDAGANGAN BEBAS

John Madeley (2005: 67-71) menyatakan bahwa para penganjur


perdagangan bebas (liberalisasi perdagangan), yang mayoritas berasal dari
pemerintah dan perusahaan besar di negara maju, beranggapan bahwa
perdagangan bebas dapat meningkatkan kesejahteraan penduduk dunia.
Perdagangan bebas dipercaya dapat memberikan peluang bagi pemanfaatan
terbaik atas berbagai sumber daya yang ada atas dasar teori keuntungan
komparatif David Ricardo. Seluruh pihak akan mendapat manfaat manakala
negara-negara mengkhususkan diri memproduksi pangan dan jasa secara
efisien, yang bisa mereka produksi dengan biaya yang lebih rendah
ketimbang negara lain. Para penganut teori ini meyakini bahwa perdagangan
bebas akan mendatangkan keuntungan dan kemakmuran bagi kaum kaya dan
miskin, dan negara-negara miskin akan mendapatkan keuntungan lebih besar
ketimbang negara yang tidak melakukan perdagangan.
Perdagangan bebas juga dipercaya akan memberikan peluang-peluang
bagi peningkatan akses pasar, dan praktis akan memperbaiki pendapatan
ekspor bagi negara sedang berkembang, termasuk Indonesia, yang pada
akhirnya akan memberi makan penduduk miskin dan orang-orang yang
kekurangan pangan. Orientasi pasar yang sebelumnya hanya untuk pasar
dalam negeri (domestik) dengan keuntungan yang terbatas akan mendapat
perluasan dengan dibukanya perdagangan bebas. Mebel, buah-buahan,
kerajinan, dan komodoti lain dari Indonesia dapat diekspor kemana saja
(tanpa bea masuk) di mana ada permintaan terhadap komoditi tersebut.
Sebaliknya, Indonesia juga akan menjadi pasar bagi produk-produk impor
dari negara lain. Persaingan bebas dipercaya akan mendorong peningkatan
produktivitas pelaku usaha di tiap-tiap negara, yang pada akhirnya mampu
menciptakan pertumbuhan ekonomi tinggi.
Dihilangkannya hambatan-hambatan perdagangan dipercaya dapat
meningkatkan efisiensi ekonomi, yang selanjutnya akan meningkatkan
pendapatan produsen, menambah kepuasan konsumen, sehingga
kesejahteraan semua pihak pun meningkat. Kebijakan proteksi seperti tarif
(bea masuk) dianggap mendistorsi pasar karena telah menimbulkan ekonomi
 ESPA4314/MODUL 4 4.21

biaya tinggi. Mekanisme pasar diyakini mampu melakukan fungsi alokasi


secara optimal untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, ketimbang harus
melakukan intervensi negara yang justru mendistorsi pasar. Para penganjur
perdagangan bebas percaya bahwa dana yang diperoleh dari kegiatan ekspor-
impor pangan memungkinkan masyarakat membeli lebih banyak lagi pangan
ketimbang yang mereka produksi sendiri.
Argumentasi para penganjur perdagangan bebas ini mendapat kritik
(tantangan) dari banyak pihak yang risau mencermati fakta-fakta ekonomi
global. Pada kenyataannya, perdagangan bebas telah mengakibatkan
terjadinya dominasi ekonomi oleh perusahaan-perusahaan (korporat-
korporat) besar multi/trans-nasional (MNC’s atau TNC’s) yang menguasai
modal dan teknologi. Mereka lah yang mampu memanfaatkan kebebasan
perdagangan karena kemampuan dan keleluasaannya untuk melakukan
mobilisasi modal, barang, dan jasa di banyak negara. Pasar bebas makin
menguntungkan negara-negara maju dengan korban di negara-negara
terbelakang atau sedang berkembang, yang telah dihisap kekayaan alamnya.
Perdagangan bebas telah berubah menjadi perdagangan yang tidak adil
karena diberlakukan pada negara-negara yang tingkat kemajuan ekonominya
tidak berimbang. Pelaku ekonomi kecil yang dipaksa bersaing bebas dengan
pelaku ekonomi raksasa tentu akan kewalahan. Pasar bebas telah mengancam
kesejahteraan pelaku ekonomi rakyat, terutama petani di negara sedang
berkembang, termasuk Indonesia. Alih-alih mengurangi kemiskinan,
perdagangan bebas dianggap hanya mewujudkan tatanan ekonomi yang
makin timpang dan meminggirkan kaum miskin. Pasar bebas efektif ketika
menggusur orang miskin, dan tampak tidak berdaya untuk menggusur
kemiskinan itu sendiri. Pasar bebas adalah milik mereka yang kuat (kaya),
yaitu mereka yang memiliki uang (modal) untuk bersaing dalam pergulatan
ekonomi.
Fakta-fakta global yang dihimpun International Forum on Globalization
dapat dijadikan ilustrasi betapa pasar bebas (globalisasi ekonomi) yang
berlangsung sejak era 90-an telah mengakibatkan meluasnya kemiskinan,
ketimpangan, kelaparan, ketergantungan kepada negara maju, mengikis
sistem ekonomi dan budaya lokal, serta mendorong terjadinya pemusatan
kekuasaan pada korporasi global. Globalisasi ekonomi juga mendorong
meningkatnya polarisasi sosial-ekonomi antarpenduduk di negara-negara
maju, seperti halnya Amerika Serikat. Hal ini terwujud dalam makin
4.22 Perekonomian Indonesia 

tingginya tingkat ketimpangan pendapatan antarpenduduk kaya-miskin di


negara tersebut.

B. PERKEMBANGAN DAN KINERJA PERDAGANGAN


INTERNASIONAL

Pada beberapa tahun terakhir, perekonomian dunia telah tumbuh dengan


pesat sekaligus memainkan peranan yang besar dalam perekonomian global.
Meningkatnya rasio ekspor terhadap produk domestik bruto (PDB) suatu
negara, merupakan salah satu indikator keterbukaan negara tersebut dalam
perdagangan internasionalnya.
Terkait dengan masalah perdagangan luar negeri Indonesia (dalam hal
ini masalah ekspor) maka perlu dicermati beberapa indikator seperti “Unit
Value Index” yang menggambarkan harga barang ekspor dan impor serta
Term of Trade. Selain itu, perlu dicermati pula daya saing ekspor Indonesia
di lingkungan Asean dan Cina.
Peran perdagangan internasional cukup penting, sehingga mendorong
sejumlah negara khususnya negara-negara eksportir, termasuk Indonesia
untuk berusaha mencari seluas-luasnya pasar yang potensial untuk
dikembangkan menjadi negara tujuan ekspor. Rasio ekspor dan impor
terhadap PDB Indonesia tahun 1996 sebesar 52,26 persen, kemudian pada
tahun 2002 sudah menjadi 63,95 persen. Namun dilihat dari harga konstan,
persentasenya justru menurun dari 56,61 persen menjadi 50,36 persen.
Artinya, secara riil volume perdagangan luar negeri Indonesia mengalami
penurunan. Sementara itu Singapura memiliki rasio di atas 202,5 persen.
Indikator “Unit Value Index” ekspor Indonesia selama dua tahun terakhir
menunjukkan penurunan sebesar 10 persen. Dengan kata lain, relatif harga
barang yang diekspor turun 10 persen. Pada sisi lain, nilai indeks impornya
turun hampir 20 persen. Hal ini menunjukkan bahwa harga barang impor di
pasar domestik lebih kompetitif dibanding dengan harga barang ekspor.
Tabel di bawah ini menunjukkan perkembangan “Unit Value Index” ekspor
dan impor sampai pertengahan tahun 2003.
 ESPA4314/MODUL 4 4.23

Gambar 1. Indikator "Unit Value Index" Ekspor dan Impor


Indonesia, Periode Tahun 2001-an – 2010-an
110

100

90

80

70

60
1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 1 3 5
2005 2010
2001

TOTAL IMPOR TOTAL EKSPOR

Kinerja ekspor Indonesia juga sangat dipengaruhi oleh daya saing


produk Indonesia secara relatif terhadap produk negara lain. Negara tujuan
ekspor Indonesia mempunyai pertumbuhan permintaan yang sama baiknya
dengan negara Asean lainnya. Demikian juga daya saing beberapa produk
unggulan Indonesia sangat positif dan cenderung semakin kuat dari tahun ke
tahun. Tabel berikut ini menunjukkan tingkat persaingan beberapa komoditi
pilihan di antara negara-negara Asean.

Tabel 4.1.
Revealed Comparative Advantage Produk Indonesia
terhadap Negara Asean Tahun 2000-2010

Indonesia Malaysia Thailand Filipina Singapura


Kel. Komoditi
2000 2010 2000 2010 2000 2010 2000 2010 2000 2010
Barang listrik 0,1 0,2 0,5 0,6 0,5 0,5 0,3 0,4 0,7 0,9
Pakaian Jadi 1,5 1,6 0,3 0,3 1,2 1,2 2,3 1,5 0,2 0,2
Tekstil 1,1 1,4 0,3 0,3 0,6 0,6 0,3 0,2 0,2 0,1
Pulp & Paper 0,5 0,9 0,1 0,1 0,1 0,3 0,1 0,1 0,2 0,2
Kayu Lapis 1,3 1,3 1,3 0,9 0,2 0,4 0,1 0,1 0,1 0,0
Sumber: PC-TAS (diolah)

Negara yang memiliki daya saing paling tinggi untuk kelompok


komoditi barang elektronik adalah Singapura disusul kemudian Malaysia.
4.24 Perekonomian Indonesia 

Sedangkan Indonesia merupakan negara dengan tingkat daya saing yang


paling rendah. Walaupun kontribusi ekspor barang elektronik Indonesia
cukup besar (lebih dari 6 milyar dolar Amerika), namun daya saingnya sangat
rentan terhadap persaingan di Asean.
Kondisi tersebut berbeda dengan produk pakaian jadi. Indonesia bersama
dengan Filipina menempati posisi pada urutan tertinggi, disusul Thailand.
Demikian juga halnya dengan tekstil, di mana Indonesia memiliki daya saing
yang tertinggi. Dari komoditi ini, Indonesia akan banyak mengambil manfaat
terbesar dibanding negara Asean lainnya setelah diberlakukannya
pembebasan kuota pada tahun 2005. Akan tetapi Asosiasi Pertekstilan
Indonesia sangat khawatir dengan pembebasan kuota ini, melihat derasnya
persaingan dengan Cina yang sangat kompetitif (RCA Cina hampir dua kali
lipat dibanding Indonesia) yang diduga akan mengalahkan industri sejenis
dari negara kita. Dapat dibayangkan besarnya ekspor pakaian jadi Cina
hampir delapan kali lipat (36,1 milyar dolar Amerika pada tahun 2000)
dibanding ekspor Indonesia. Sementara itu struktur ekspor TPT Indonesia ke
negara-negara kuota pada tahun 2002 adalah 74,63 persen dari seluruh ekspor
TPT.
Komoditi pulp dan kertas Indonesia menduduki peringkat pertama.
Thailand yang meningkat daya saingnya pun masih tetap di bawah urutan
Indonesia karena Indonesia juga mengalami peningkatan daya saing.
Mengenai daya saing kayu lapis, walaupun Indonesia mengalami penurunan
ekspor kayu lapis selama lima tahun terakhir ini, namun dibandingkan
dengan negara-negara Asean, daya saing Indonesia masih tetap lebih tinggi
dan masih merupakan leading sector di bidang ekspor, dan seharusnya juga
mempunyai posisi tawar yang kuat.
Barang konsumsi dari Asean ke Amerika dan Eropa relatif lebih rendah
dibandingkan ke Jepang dan Korea Selatan, sedangkan dari Cina ke Jepang,
EU dan Korsel relatif lebih rendah dibanding dari Asean. Baik dari Asean
maupun dari Cina memiliki kecenderungan ekspor yang meningkat ke
negara-negara tersebut. Demikian juga halnya impor dari US, EU dan Jepang
baik ke Asean maupun ke Cina memiliki peran yang cukup signifikan.
Sementara itu impor bahan baku/penolong dari US, EU dan Jepang ke
ASEAN relatif lebih tinggi daripada Cina. Dilihat dari sisi perdagangan antar
kedua negara/kelompok negara, perdagangan antara Asean dan Cina,
walaupun secara persentase masih sangat rendah, namun Cina lebih ekspansif
dengan pertumbuhan sekitar 60 persen selama lima tahun terakhir.
 ESPA4314/MODUL 4 4.25

Belum tercapainya kesepakatan Konferensi Tingkat menteri WTO di


Cancun karena perbedaan pandangan antara negara maju dan negara
berkembang menyebabkan negara maju dengan mudah dapat
mengeksploitasi pasar produk pertanian di negara berkembang dengan harga
yang murah. Sementara itu, negara berkembang tidak cukup dana untuk
mensubsidi para petani seperti di negara maju. Sehingga sulit sekali petani
kita mampu bersaing dengan petani negara maju. Impor komoditi pertanian
pun cukup besar. Tabel berikut ini menunjukkan ketergantungan impor kita
pada komoditi Beras, Kedelai dan Gula yang cukup besar.

Tabel 4.2.
Impor Beberapa Komoditi Pertanian Indonesia (Juta Kg, Juta US$)

BERAS KEDELAI GULA


Tahun Berat Nilai Berat Nilai Berat Nilai
1996 2 150 766 746 252 1 108 468
1997 350 109 616 207 1 187 431
2000 2 882 857 343 99 973 349
2003 4 751 1 327 1 302 302 2 186 528
2005 1 355 319 1 278 275 1 557 283
2010 644 135 1 136 239 1 285 238
2014 1 804 342 1 365 299 971 196
Sumber: BPS

1. Kinerja Ekspor Migas


Harga minyak tahun 2004 cenderung menurun dari tahun sebelumnya
karena pemulihan kembali ekspor Irak dan peningkatan kapasitas produksi
anggota OPEC maupun non-anggota. Kedua faktor tersebut diduga akan
membuat harga minyak dunia menjadi lebih rendah. Peningkatan kompetisi
suplai dari negara anggota OPEC dan non-anggota akan membawa harga
minyak bergerak turun. Namun hingga akhir tahun ini harga minyak
diperkirakan masih akan berada di level yang sama dengan saat ini. Kuatnya
disiplin OPEC dalam mematok tingkat produksi, rendahnya persediaan, dan
masuknya musim dingin yang akan meningkatkan permintaan serta
terganggunya suplai Venezuela, Irak, dan Nigeria.
Sementara itu dengan produksi minyak sebesar 1,150 juta barel per hari
dan harga minyak US$ 21 per barel diharapkan nilai produksi minyak mentah
Indonesia sebesar US$ 24,15 milyar, sedangkan ekspornya sebesar US$
4.26 Perekonomian Indonesia 

4,620 juta dolar atau menurun 28,65 persen dari pendapatan ekspor 2003.
Asumsi harga US$ 21,- per barel tahun 2004 ini masih lebih rendah satu
dolar Amerika dibanding asumsi harga tahun 2003 yang pada kenyataannya
sampai dengan Agustus 2003, harga minyak mentah Indonesia di pasar
internasional sebesar US$ 28,43 per barel.

Tabel 4.3.
Ekspor Migas Indonesia Tahun 2000 - 2004

HARGA KUANTITAS NILAI EKSPOR


TAHUN
US $ /BAREL EKSPOR (juta brl) (juta US$)
2000 28.39 216,8 6 090,1
2001 23.75 243,7 5 714,7
2002 24.57 215,5 5 227,6
2003 28.68 225,8 6 475,9
2004 21,00 220,0 4 620,0
Sumber: BPS

2. Harga Barang Ekspor Non Migas


Harga komoditas pertanian diperkirakan akan naik karena meningkatnya
penawaran dan gagalnya kesepakatan WTO di Cancun. Sementara itu
penurunan nilai dolar sejak tahun 2002 menyebabkan kenaikan pada harga
komoditas pertanian. Peningkatan produk pertanian sebagian besar
disebabkan oleh menurunnya suplai dan harga yang sebelumnya terlalu
rendah. Sementara itu suplai kakao akan meningkat, sedangkan karet, kopi
robusta, kapas, dan minyak sayur lebih disebabkan oleh harga yang terlalu
rendah. Demikian juga harga pupuk secara umum mengalami kenaikan.
Harga komoditas logam dan barang tambang diperkirakan turun seiring
dengan membaiknya perekonomian dunia, dan pertumbuhan permintaan yang
melemah sedangkan persediaan logam meningkat. Nikel merupakan produk
yang mengalami penguatan permintaan untuk baja tahan karat. Rendahnya
persediaan dan suplai yang terbatas menyebabkan harga akan naik. Perbaikan
permintaan logam diharapkan dapat membawa perbaikan harga di tahun
depan. Bila akselerasi pertumbuhan ekonomi global lebih cepat dalam waktu
dekat maka harga logam dan mineral akan naik lebih cepat.

3. Perkembangan Ekspor
Ekspor semester I tahun 2003 yang meningkat cukup baik membuat
semua orang lega dan berandai-andai dengan perekonomian negara ini
 ESPA4314/MODUL 4 4.27

sampai akhir tahun 2003. Pengalaman membuktikan bahwa biasanya Ekspor


Semester II selalu lebih besar dari semester I. Kalau seandainya pun sama,
kita bisa melewati tahun 2003 ini dengan angka pertumbuhan ekspor sekitar
7 persen. Dibandingkan dengan semester I tahun-tahun sebelumnya, tahun
2001 pada posisi negatif 0,02 persen, tahun 2002 juga negatif 6,44 persen,
walaupun pada akhirnya sampai tahun 2002 ekspor tetap berada di posisi
positif 1,49 persen.

Tabel 4.4.
Perkembangan Ekspor 1996 dan 2002. Dalam ton dan ribu US$

Periode Tahun 1996-an Periode Tahun 2002-an


Kelompok Komoditi
Berat Bersih Nilai (Fob) Berat Bersih (Ton) Nilai (Ribu Us$)
Gas Alam 29 343 571 4 493 915 27 617 678 5 577 624
Minyak Mentah 38 254 855 5 711 811 29 054 356 5 227 594
Hasil Minyak 10 689 281 1 516 090 7 573 967 1 307 487
Total Migas 78 287 707 11 721 816 64 246 001 12 112 705

Sektor Industri 26 367 031 32 124 656 45 479 782 38 729 570
Sektor Pertambangan 107 678 088 3 054 216 111 662 028 3 743 703
Sektor Pertanian 1 850 809 2 912 762 1 880 017 2 568 263
Alat Listrik 274 545 3 541 657 679 407 6 271 219
Industri Lainnya 4 327 199 7 008 751 6 180 272 8 947 817
Minyak Nabati 2 527 060 1 395 447 7 621 269 2 548 675
Kertas, Barang Dari Kertas 2 093 370 955 307 3 411 504 2 097 516
Bahan Kimia 1 236 753 552 346 3 749 234 1 272 221
Batu Bara 31 955 095 1 120 829 73 124 941 1 762 368
Mebel 380 412 946 472 837 594 1 501 896
Tekstil 973 866 6 551 747 1 759 163 6 963 087
Biji Coklat 274 336 262 882 367 664 521 257
Pupuk 1 270 933 271 337 1 198 170 134 646
Udang Segar/Beku 99 916 1 015 620 122 050 840 353
Kopi 362 883 588 831 322 543 218 771
Karet Alam Olahan 1 554 667 2 226 569 1 760 000 1 560 629
Kayu Olahan 6 688 590 5 130 677 6 290 698 3 251 631
Total Non Migas 135 896 628 38 092 938 159 024 073 45 046 067
Sumber: BPS

Meskipun pada keadaan bulan Agustus 2003, ekspor Indonesia


mengalami penurunan yang tajam, namun secara kumulatif kinerja ekspor
tahun 2003 menunjukkan perbaikan yang positif sampai 8,75 persen. Hal ini
4.28 Perekonomian Indonesia 

menunjukkan bahwa ekonomi Indonesia makin menggeliat. Demikian juga


halnya dengan impor. Impor bergerak lebih cepat, naik 16,76 persen,
terutama oleh karena masuknya bahan baku dan penolong yang meningkat
hampir 20 persen.
Akan tetapi bagaimana dengan pertanyaan “who get’s what?”. Kalau kita
tinjau peningkatan ekspor non migas yang sebesar 7,30 persen selama
semester pertama ini, kenaikan ekspor non migas sebesar US$ 1 592,6 juta
itu, lebih banyak dipengaruhi oleh kenaikan Tembaga, Batubara, Karet dan
Produk Karet dan CPO yang sedang ramai ditenderkan untuk pembelian
Sukhoi. Ketiga kelompok komoditi ini memberikan kontribusi peningkatan
sebesar US$ 1 370,1 juta atau naik hampir 40 persen. Ini berarti bahwa
kenaikan ekspor sisanya sebesar US$ 222,5 juta diperoleh dari komoditi
selain dari ketiga kelompok komoditi di atas.

Tabel 4.5.
Ekspor Komoditi Tertentu Semester I 2002-2003

Jan – Jun Jan – Jun


Uraian % Perubahan
2002 2003
Total Ekspor 27 461.0 30 352.1 10.53
Non Migas 21 817,2 23 409,8 7,30
TPT 3 489,3 3 582,7 2,68
Produk elektronika 3 101,1 3 055,1 - 1,48
Tembaga dan Batubara 1 789,9 2 410,4 34,67
Karet Alam & Barang 689,0 999,5 45,06
dari karet
CPO 1 012,4 1 451,5 43,37
Sumber: BPS

Keterlibatan komunitas ekonomi tembaga, batubara, karet, dan CPO


tidak terlalu besar dibanding dengan populasi pelaku industri dan ekspor
komoditi yang lain. Bagian yang terbesar inilah yang hanya menikmati
kenaikan ekspor US$ 222, 5 juta atau naik 1,2 persen. Siapakah mereka yang
disebut bagian terbesar ini? Komunitas TPT (Tekstil dan Produk Tekstil)
mengalami peningkatan 2,7 persen. Lumayan dibandingkan tahun lalu yang
merosot sampai 10,7 persen. Industri kulit dan alas kaki turun sampai 7,3
persen. Perusahaan industri makanan dan minuman mampu bertahan dengan
kenaikan di bawah 1 persen. Komunitas petani dan industri coklat menerima
kemerosotan nilai ekspor sampai 6,6 persen. Namun petani teh, kopi, dan
 ESPA4314/MODUL 4 4.29

rempah cukup puas dengan kenaikan 4,6 persen. Industri mebel dan perabot
rumah membukukan realisasi kontrak ekspor sebesar US$ 844,9 juta atau
naik 0,6 persen. Kenyataan ini menunjukkan bisnis ekspor yang makin
kompetitif.
Keunggulan komparatif produk Indonesia terutama berasal dari komoditi
yang berbahan baku lokal seperti hasil hutan, karet, coklat, kelapa sawit, dan
rempah-rempah. Kalau dibandingkan dengan China, mereka memiliki
keunggulan komparatif pada komoditi-komoditi industri manufaktur dan
industri kimia.

Tabel 4.6.
Perkembangan Ekspor dan Impor Indonesia (2002-2004) (Juta US$)

2002 2003 2004* 2005**


EKSPOR
Hasil Pertanian 2 568,2 2 480,5 2 219,6 1 922,7
Hasil Industri 39 269,0 41 465,7 41 440,3 41 803,4
Hasil 4 671,5
Pertambangan 3 748,3 4 170,4 4 420,9
Non Migas 45 046,1 48 116,6 48 080,8 48 397,6
Migas 12 112,7 13 263,7 12,881,1 13 788,1
TOTAL EKSPOR 57 158,8 61 380,3 60 961,9 62 185,7
% Kenaikan Ekspor -- 7,38 -0,68 2,01

IMPOR
Barang Konsumsi 2 650,5 2 758,2 2 909,5 3 023,5
Bahan 33 613,1
Baku/Penolong 24 227,5 27 762,5 29 646,6
Barang Modal 4 410,9 3 640,4 3 151,6 2 710,3
TOTAL IMPOR 31 288,9 34 161,1 35 707,7 39 346,9
% Kenaikan Impor -- 9,18 4,53 10,19
Sumber: BPS, diolah

Ket.:
* angka sementara,
** angka perkiraan
4.30 Perekonomian Indonesia 

C. PERDAGANGAN INTERNASIONAL DI ERA GLOBALISASI

Sejalan dengan teori-teori yang berkaitan dengan integrasi ekonomi,


liberalisasi perdagangan menjadi ujung tombak globalisasi ekonomi.
Sepanjang yang dapat dilihat saat ini, perkembangan perdagangan dunia
memang sangat pesat sejak dibentuknya General Agreement on Trade and
Tariff (GATT). Namun secara absolut, perkembangan menjadi sangat cepat
selama dua dasawarsa terakhir ini. Dilaksanakannya keputusan-keputusan
dari Putaran Uruguay semakin mempercepat perdagangan dunia tersebut.
Globalisasi, yang dalam perdagangan internasional menjadi liberalisasi
perdagangan, telah menghapuskan berbagai hambatan perdagangan secara
signifikan, baik hambatan yang berwujud tarif bea masuk maupun hambatan-
hambatan bukan tarif seperti pelarangan impor, kuota, lisensi impor, dan
sebagainya. Dimasukkannya sektor jasa dalam liberalisasi ekonomi dunia itu,
sebagai implementasi General Agreement on Trade and Services (GATS),
semakin menyudutkan posisi banyak negara sedang berkembang, termasuk
Indonesia yang umumnya sangat lemah dalam sektor jasa.
Kesepakatan GATS sangat menguntungkan negara maju, terutama yang
sektor jasanya sudah mumpuni, tetapi sebaliknya bagi negara berkembang
seperti Indonesia. Kita tidak lagi bisa menutup diri dari pembukaan kantor-
kantor konsultan dagang asing, konsultan hukum, ataupun kantor akuntan,
bahkan pada lembaga pendidikan asing. Lewat GATS pula kini
“pengetahuan” dianggap sebagai suatu komoditi sehingga pendirian lembaga
pendidikan juga tunduk pada ketentuan WTO. Hal ini sedang digugat oleh
pimpinan perguruan tinggi di tanah air. Ahli-ahli asing pun akan lebih banyak
memberikan training-training untuk pihak-pihak yang membutuhkan di
Indonesia. Dengan kata lain, lalu lintas antarnegara bagi manusia yang masuk
dalam kategori tenaga profesional semakin deras. Bagi Indonesia hal ini
sangat mengkhawatirkan karena sebelumnya banyak pembatasan dalam lalu
lintas jasa internasional ini.
Persaingan yang lebih bebas tanpa antisipasi yang memadai berpotensi
meningkatkan defisit perdagangan sektor jasa. Dalam GATS Indonesia sudah
memberikan cukup banyak komitmen, mencakup lima sektor yang
melingkupi 68 kegiatan/transaksi. Memang komitmen tersebut tidak
sepenuhnya bersifat liberal. Berbagai pembatasan masih bisa diberlakukan
seperti kewajiban untuk patungan pada sektor jasa tertentu, pembatasan
saham, batasan masa tinggal, dan sebagainya. Kalau dalam kondisi penuh
 ESPA4314/MODUL 4 4.31

pembatasan saja sektor jasa nasional sudah mengalami kesulitan, maka


pengenduran pembatasan membuat posisi sektor jasa semakin sulit.
Secara makro-global dapat dikatakan peningkatan perdagangan bebas
tersebut merefleksikan peningkatan kesejahteraan masyarakat dunia. Namun
kesimpulan tersebut dipertanyakan manakala dilihat siapa atau negara-negara
mana sebenarnya yang perekonomiannya mengalami peningkatan pesat
tersebut. Data menunjukkan bahwa ekspansi perdagangan terutama terjadi di
negara-negara maju. Konsentrasi perdagangan dunia masih berpusat di
negara-negara Utara seperti Amerika Utara dan Eropa barat, sementara untuk
Asia hanya terkonsentrasi pada Jepang dan Cina. Fakta tersebut bukanlah
sesuatu yang mengejutkan dan sudah diperkirakan jauh sebelum Putaran
Uruguay dilaksanakan.
Dengan kian terbukanya perekonomian kita, maka sektor jasa seperti
angkutan, asuransi, dan keuangan, akan semakin terancam. Hal yang sama
juga terjadi pada beberapa sektor pertanian kita. Sektor pertanian, terutama
pertanian pangan, masih diproteksi cukup kuat. Jika sektor ini nantinya juga
ikut dibebaskan, maka petani-petani kita yang masih belum efisien menurut
standar dunia akan mengalami nasib yang merugikan. Contoh aktual adalah
masuknya gula impor pada akhir tahun 1999 hingga awal tahun 2000 yang
kemudian membuat pertanian dan petani tebu kita terpukul dan tak berdaya.
Beberapa negara berkembang lainnya pun menghadapi masalah yang
sama seperti Indonesia. Perdagangan bebas nampaknya memberikan harapan
dan janji untuk mendapatkan pasar yang lebih luas maupun investasi asing
yang lebih banyak, namun di sisi lain juga memberikan ancaman dan
tantangan akan dominasi asing di dalam perekonomian Indonesia. Pengusaha
nasional bisa saja hanya menjadi pengusaha marjinal, menjadi pelayan unit
usaha negara lain, sementara pasar kita menjadi ajang rebutan usaha asing.
Perdagangan bebas bisa menjadi bentuk baru kolonisasi ekonomi (neo-
kolonialisme) yang menempatkan Indonesia sebagai negara terjajah dan
negara-negara maju sebagai penjajahnya.
Banyak pakar ekonomi yang telah “menggugat” perdagangan bebas.
Khor (2003:3) melukiskan dengan cermat pandangannya tentang konsekuensi
perdagangan bebas sebagai berikut:

“Pemikiran bahwa semua pihak akan diuntungkan dan tidak akan


ada yang dirugikan dalam perdagangan bebas terbukti sangat
menyederhanakan masalah. Sejumlah negara memperoleh keuntungan
lebih banyak disbanding yang lain; dan beberapa di antaranya (terutama
4.32 Perekonomian Indonesia 

negara-negara miskin) tidak memperoleh apapun, kecuali menderita


kerugian yang sedemikian besar bagi perekonomian mereka. Hanya
sedikit negara yang menikmati pertumbuhan sedang atau tinggi dalam
dua dekade terakhir, sementara sejumlah besar negara mengalami
penurunan standar hidup….”

Pandangan lain yang tidak kalah keras dalam menolak pola perdagangan
dunia yang dikomandani oleh WTO ini juga datang dari Walden Bello (2004)
dalam bukunya yang judulnya sangat provokatif: “De-globalisasi”
(deglobalization). Bello melihat sudah terjadi kekacauan dalam sistem
multilateral yang terjadi saat ini. WTO dinilai sudah menjadi perpanjangan
tangan perusahaan-perusahaan transnasional (TNC) yang menjadikannya
sebagai monopolis dunia. Ini misalnya dapat dilihat dilegitimasikannya
perjanjian yang terkait dengan hak milik intelektual (TRIPS = Trade Related
with Intelectual Property Rights) yang mengukuhkan pengambilalihan
inovasi teknologi oleh perusahaan transnasional seperti Intel, Microsoft, dan
Monsanto.
Secara khusus dikemukakannya bahwa “ekspansi perdagangan bebas dan
ekspansi kekuasaan dan yurisdiksi WTO, yang saat ini merupakan instrumen
multilateral dari perusahaan global yang sangat kuat, merupakan ancaman
yang mematikan terhadap pembangunan, keadilan sosial dan persamaan hak,
dan lingkungan” (154). Oleh karena itu, menurut Bello, hal itu harus
ditentang apabila kita tidak menginginkan “perpisahan” dengan cita-cita
mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan, keadilan sosial, persamaan
hak, dan pelestarian lingkungan.
Tentu saja perdagangan internasional juga memberikan manfaat bagi
penduduk dunia ini, seperti meningkatnya output dunia, dan semakin
banyaknya tawaran komoditi yang berkualitas dengan harga yang relatif
murah. Perkembangan peradaban manusia juga mencapai titik yang tidak
terbayangkan selama ini. Namun, menurut Gelinas (sebagaimana dikutip
Sofian Effendi, 2004: 13) kemajuan tersebut diiringi pula dengan tragedi
kemanusiaan seperti: (1) 4 sampai 6 miliar penduduk berada di 127 negara
terbelakang di dalam kondisi kemiskinan yang berat; (2) 49 negara paling
terbelakang secara teknologis mengalami kebangkrutan; (3) pendapatan per
kapita per tahun dari 100 negara di Dunia Ketiga mengalami penurunan dari
keadaan 10, 15, 20, dan bahkan 30 tahun yang lalu; (4) 2,8 miliar penduduk
di Negara-negara Dunia Ketiga hidup dengan pendapatan kurang dari 2 dollar
AS per hari; (5) 1,3 miliar penduduk di negara-negara yang sama bahkan
 ESPA4314/MODUL 4 4.33

hidup dengan tingkat konsumsi kurang dari 1 dollar AS; (6) 2,6 miliar
penduduk dunia tidak memiliki infrastruktur yang memadai; dan 6) 1,4
penduduk dunia tidak memiliki akses terhadap air minum yang bersih.

D. MASALAH STRUKTURAL PERDAGANGAN INTERNASIONAL

Secara makro-global dapat dikatakan peningkatan perdagangan bebas


tersebut merefleksikan peningkatan kesejahteraan masyarakat dunia. Namun
kesimpulan tersebut menjadi dipertanyakan manakala dilihat siapa atau
negara-negara mana yang perekonomiannya mengalami peningkatan pesat
tersebut. Data menunjukkan ekspansi perdagangan terutama terjadi di negara-
negara maju. Konsentrasi perdagangan dunia masih berpusat di negara-
negara Utara seperti Amerika Utara dan Eropa Barat, sementara untuk negara
Asia hanya dinikmati oleh Jepang dan Cina. Negara-negara yang meningkat
pesat perdagangannya tersebut, kecuali Cina yang memiliki karakteristik
perdagangan khusus, adalah negara-negara yang secara historis sudah
berabad-abad melaksanakan perdagangan bebas. Liberalisasi perdagangan
yang merupakan turunan dari globalisasi ekonomi, lebih banyak
menimbulkan kerugian bagi negara-negara berkembang. Nilai
perdagangannya, walaupun meningkat, tertinggal jauh dibandingkan dengan
negara-negara pelopor liberalisasi ekonomi tersebut.
Keadaan demikian bukanlah sesuatu yang mengejutkan. Hal tersebut
sudah diperkirakan jauh sebelum hasil Putaran Uruguai dilaksanakan. Ketika
Putaran Uruguay sedang berlangsung, dua lembaga-lembaga ekonomi
internasional, OECD dan Bank Dunia (1992), yang meneliti dampak
liberalisasi perdagangan dunia terhadap beberapa negara di dunia
menunjukkan bahwa manfaat terbesar dari liberalisasi akan dinikmati oleh
negara-negara anggota Masyarakat Eropa (EC), Cina, Jepang, USA, dan
negara-negara yang tergabung dalam EFTA. Kecuali RR Cina, yang memang
skala ekonominya sangat besar dan berdaya tinggi, semua negara yang
mengalami ekspansi perdagangan yang besar adalah negara-negara maju,
yang gencar memperjuangkan globalisasi ekonomi.
Dengan mengasumsikan terjadi pengurangan tarif dan subsidi sebesar
30%, liberalisasi perdagangan dunia tahun 2020 akan memberikan manfaat
ekonomi sebesar 213 milyar dollar AS. Dari nilai itu, US$ 80,7 milyar
dinikmati negara-negara anggota Masyarakat Eropa, diikuti RRC (US$37
miliar), Jepang (US$ 25,9 miliar), Amerika Serikat (US 18,8 miliar), dan
4.34 Perekonomian Indonesia 

negara-negara anggota EFTA (US$ 12,3 miliar). Indonesia sendiri


diperkirakan waktu itu mengalami kerugian US$1,9 miliar (OECD dan IBRD
dalam Hamid dan Hendrie Anto, 2000: 102-103). Perkiraan tersebut memang
dengan basis situasi ekonomi waktu itu. Namun dengan sedikitnya
pergeseran kekuatan ekonomi yang ada, secara kualitatif kesimpulan tersebut
telah menunjukkan realitasnya.
Gambaran tersebut menunjukkan bahwa dilihat dari aspek perdagangan
internasional, perdagangan bebas lebih berpihak dan menguntungkan negara-
negara maju, yang tingkat industrialisasinya sudah mapan, dan menghasilkan
berbagai barang manufaktur yang diekspor ke negara sedang berkembang.
Dengan terbukanya pasar di negara-negara lain, semakin mudah barang-
barang manufaktur dari negara industri tersebut masuk ke pasar global, yang
mengalirkan kembali devisa yang diperoleh negara-negara berkembang dari
ekspornya yang umumnya barang primer atau manufaktur yang sederhana.
Dalam transaksi demikian, tidak mengherankan jika nilai tukar produk
yang diekspor negara sedang berkembang terus merosot. Perdagangan bebas
bagi negara sedang berkembang telah memerosotkan nilai tukar ekspornya
terhadap impor barang-barang manufaktur yang dibutuhkannya. Bahkan,
kemerosotan nilai tukar ini cenderung makin parah dan menyebabkan
perpindahan sumber daya riil yang diakibatkan oleh hilangnya potensi
pendapatan atas ekspornya sebagai akibat kemerosotan nilai tukar.
Berdasarkan kenyataan demikian Stiglitz (2002: x) meminta agar pelaksanaan
globalisasi, termasuk berbagai agreement mengenai perdagangan dikaji ulang
dan dipertimbangkan kembali secara radikal.
Demikianlah, era globalisasi ekonomi dan perdagangan bebas yang
terjadi saat ini adalah grand design dari negara-negara kaya, yang
menggunakan kekuatannya sendiri atau melalui lembaga-lembaga ekonomi-
keuangan global yang berada di bawah pengaruhnya. Atau, dengan bahasa
yang “keras’ Swasono (2005: 1) melukiskan globalisasi yang terjadi saat ini
sebagai “faham liberalisme baru untuk menjadi topengnya pasar bebas, yang
justru mengabaikan cita-cita globalisme ramah untuk mewujudkan keadilan,
kesetaraan dan kesejahteraan mondial”.

E. MENYIKAPI PERDAGANGAN BEBAS

Beragam upaya dilakukan oleh elemen-elemen ekonomi rakyat


Indonesia untuk membendung meluasnya liberalisasi perdagangan yang
 ESPA4314/MODUL 4 4.35

merugikan kepentingan mereka. Sebagai ilustrasi beberapa aksi yang


dilakukan untuk menyikapi perdagangan bebas di antaranya adalah:
1. Demonstrasi dilakukan Indonesia People’s Forum di arena PrepCom
World Summit for Sustainable Development di Bali pada bulan Juni
2002. Dalam arena itu, 300 organisasi lingkungan melakukan aksi
menentang WTO, IMF, dan Bank Dunia (3 Juni 2002), 100 aktivis
perempuan dan pemuda, puluhan Ornop, serikat buruh, serikat tani,
demo menentang globalisasi (4-5 Juni 2002). Puncaknya 6 Juni 2002,
1000 massa dari berbagai elemen tersebut demo menentang globalisasi
sekaligus mengecam acara tersebut yang dinilai hanya sebagai alat
negara dunia pertama untuk mengeksploitasi negera dunia ketiga.
(jakarta.indymedia.org)
2. 3000 Petani dari Jatim, Jateng, Jabar, dan Lampung unjuk rasa di
Depkeu, Depperindag, dan Bundaran HI tanggal 10 April 2003, di
pimpin Ketua HKTI Siswono Yudohusodo. Mereka menolak produk
impor pertanian yang akan mematikan petani dalam negeri. Mereka juga
meminta pemerintah menaikkan bea masuk komoditi beras, kedelai, gula
putih, dan bawang merah, serta mendesak pemerintah untuk memerangi
penyelundupan secara serius.
3. Puluhan aktivis dan petani yang tergabung dalam Koalisi Rakyat untuk
Kedaulatan Pangan berunjuk rasa di Bundaran Hotel Indonesia (HI),
Jakarta, Senin (11/4/2005). Selain menentang globalisasi, aksi yang
bertajuk "Global Week of Action on Trade" juga menentang liberalisasi
dan privatisasi yang merugikan kaum miskin.
4. Pekan Aksi Pangan untuk menggalang solidaritas bagi petani dan
pertanian digelar di areal parkir Taman Ismail Marzuki, Cikini, Jakarta
Pusat, Jumat (16/4/2005). Kegiatan ini adalah rangkaian aksi global yang
dilakukan di seluruh dunia untuk menentang perdagangan bebas dan
neoliberalisme. Pekan aksi yang diselengarakan Koalisi Rakyat untuk
Kedaulatan Pangan ini menampilkan berbagai kegiatan. Acara di
antaranya dimeriahkan lomba memasak dengan bahan organik, pentas
musik dan kesenian tradisional serta pameran foto kegiatan para petani.
4.36 Perekonomian Indonesia 

LAT IH A N

Untuk memperdalam pemahaman Anda mengenai materi di atas,


kerjakanlah latihan berikut!

1) Komoditi apa yang potensial dikembangkan untuk menunjang


perdagangan internasional di Indonesia? Jelaskan jawaban Anda!
2) Apa maksud dan tujuan diberlakukannya perdagangan bebas?
3) Apa dampak liberalisasi perdagangan internasional terhadap
kesejahteraan pelaku ekonomi rakyat?
4) Mengapa pemerintah perlu melakukan proteksi terhadap petani dan
komoditi pertanian mereka?
5) Jelaskan peranan World Trade Organization (WTO) dalam perdagangan
bebas!

Petunjuk Jawaban Latihan

Dalam menjawab latihan ini, bacalah kembali dengan teliti materi-materi


yang terkait dengan pertanyaan tersebut dan galilah dari bacaan-bacaan
utama yang menjadi referensi kegiatan belajar ini.

\
R A NG KU M AN

Peran perdagangan internasional cukup penting, sehingga


mendorong sejumlah negara khususnya negara-negara eksportir,
termasuk Indonesia untuk berusaha mencari seluas-luasnya pasar yang
potensial untuk dikembangkan menjadi negara tujuan ekspor. Rasio
ekspor dan impor terhadap PDB Indonesia tahun 1996 sebesar 52,26
persen, kemudian pada tahun 2002 sudah menjadi 63,95 persen. Namun
dilihat dari harga konstan, persentasenya justru menurun dari 56,61
persen menjadi 50,36 persen. Artinya, secara riil volume perdagangan
luar negeri Indonesia mengalami penurunan.
Dengan kian terbukanya perekonomian kita, maka sektor jasa
seperti angkutan, asuransi, dan keuangan, akan semakin terancam. Hal
yang sama juga terjadi pada beberapa sektor pertanian kita. Sektor
pertanian, terutama pertanian pangan, masih diproteksi cukup kuota. Jika
sektor ini nantinya juga ikut yang dibebaskan, maka petani-petani kita
 ESPA4314/MODUL 4 4.37

yang masih belum efisien menurut standar dunia akan mengalami nasib
yang merugikan.
Perdagangan bebas lebih berpihak dan menguntungkan negara-
negara maju, yang tingkat industrialisasinya sudah mapan, dan
menghasilkan berbagai barang manufaktur yang diekspor ke negara
sedang berkembang. Dengan terbukanya pasar di negara-negara lain,
semakin mudah barang-barang manufaktur dari negara industri tersebut
masuk ke pasar global, yang mengalirkan kembali devisa yang diperoleh
negara-negara berkembang dari ekspornya yang umumnya barang primer
atau manufaktur yang sederhana.

TES F OR M AT IF 2

Pilihlah satu jawaban yang paling tepat!

1) Indikator perdagangan internasional yang menunjukkan harga barang


ekspor dan impor serta term of trade-nya disebut ....
A. comparative advantage
B. competitiveness index
C. unit value index
D. trade ratio

2) Komoditi Indonesia yang memiliki daya saing lebih tinggi dibanding


negara Asean yang lain adalah ....
A. elektronik dan tekstil
B. tekstil dan pulp
C. pulp dan elektronik
D. elektronik dan pakaian jadi

3) Lembaga internasional yang mengikat negara-negara anggotanya untuk


melaksanakan agenda-agenda perdagangan bebas adalah....
A. International Monetary Fund
B. World Bank
C. World Trade Organization
D. World Economic Forum

4) Perundingan dalam forum WTO yang gagal mencapai kesepakatan


antara kepentingan negara maju dan negara berkembang dalam
merealisasikan perdagangan bebas pada tahun 2003 bertempat di....
A. Cancun, Meksiko
B. Havana, Kuba
4.38 Perekonomian Indonesia 

C. Porto Allegre, Brasil


D. Seattle, New York

5) Kebijakan untuk menjual produk di luar negeri jauh lebih murah


dibanding harga di dalam negeri disebut ....
A. proteksi harga
B. dumping
C. subsidi harga
D. non-tarif barrier

Cocokkanlah jawaban Anda dengan Kunci Jawaban Tes Formatif 2 yang


terdapat di bagian akhir modul ini. Hitunglah jawaban yang benar.
Kemudian, gunakan rumus berikut untuk mengetahui tingkat penguasaan
Anda terhadap materi Kegiatan Belajar 2.

Jumlah Jawaban yang Benar


Tingkat penguasaan =  100%
Jumlah Soal

Arti tingkat penguasaan: 90 - 100% = baik sekali


80 - 89% = baik
70 - 79% = cukup
< 70% = kurang

Apabila mencapai tingkat penguasaan 80% atau lebih, Anda dapat


meneruskan dengan modul selanjutnya. Bagus! Jika masih di bawah 80%,
Anda harus mengulangi materi Kegiatan Belajar 2, terutama bagian yang
belum dikuasai.
 ESPA4314/MODUL 4 4.39

Kunci Jawaban Tes Formatif

Tes Formatif 1 Tes Formatif 2


1) C 1) C
2) D 2) B
3) A 3) C
4) D 4) A
5) B 5) B
4.40 Perekonomian Indonesia 

Daftar Pustaka
Ananta, Aris, (1995). “Prospect of Labor Market in Indonesia”, makalah
seminar Building on Succes: Maximizing the Gains from Deregulation,
Jakarta

Badan Pusat Statistik. Indikator Ekonomi. Mei 1999, h. 53.

Callinicos, Alex. (2003). An Anti Capitalist Manifesto. Cambridge: Polity


Press.

Djiwandono, Sudrajad, Integrasi Pasar Keuangan dan Globalisasi serta


Dampaknya terhadap Kebijakan Moneter Indonesia. Kuliah Umum di
FE-UGM, Yogyakarta.

Effendi, Sofyan. (2005). Revitalisasi Jati Diri UGM dalam Menghadapi


Perubahan Global, Orasi Dies-UGM ke-55, UGM, Yogyakarta.

Gilpin, Robert. (2002). The Challenge of Global Capitalis: The World


Economy in 21 Century. Princeton: Princeton University Press.

Hamid, Edy Suandi. (2005). Globalisasi, Neoliberalisme, dan Perekonomian


Indonesia, Pidato Guru Besar, UII, Yogyakarta.

________________, (2005). Ekonomi Indonesia. Yogyakarta: UII Press.

________________, (2000). Ekonomi Indonesia memasuki Millenium III.


Yogyakarta: UII Press.

INDEF, (1996), Prospek Ekonomi Indonesia 1997, Institute for Development


of Economic and Finance (INDEF), Jakarta

Khor, Martin. (2003). Globalisasi Perangkap Negara-negara Selatan.


Yogyakarta: Cindelaras.

KPPOD. (2002). Peringkat Daya Tarik Investasi Kabupaten/Kota: Studi


Kasus di 90 Kabupaten/Kota di Indonesia, Laporan Penelitian.
 ESPA4314/MODUL 4 4.41

Kuncoro, Mudrajad. (2003). Ekonomi Pembangunan: Teori, Masalah, dan


Kebijakan. Yogyakarta: UPP AMP-YKPN.

Mubyarto. (2005). Ekonomi Terjajah. Yogyakarta: Aditya Media.

________, (ed). (2004). Ekonomi Rakyat Nganjuk. Yogyakarta: Aditya


Media.

Rodrik, Dani. (1997). The Globalization Gone Too Far? Washington DC:
Institute For International Economics.

Shpman, Alan. (2002). The Globalization Myth. Cambridge: Icon Books


LTD.

Swasono, Sri-Edi. (2005). Daulat Rakyat vs Daulat Pasar. Yogyakarta:


PUSTEP-UGM.

______________, (2005). Ekspose Ekonomika: Mewaspadai Globalisme dan


Pasar Bebas. Yogyakarta: Pustep-UGM.

Stiglitz, Joseph. (2002). Globalization and Its Discontents. London: Penguin


Books.

Wayne, Ellwood. (2001). No-Nonse Guide to Globalization. Oxford: New


International Publication.

Wolf, Martin. (2004). Why Globalization Works? New Heaven and London:
Yale University Press.

World Bank, (1991), The East Asian Miracle, New York

Anda mungkin juga menyukai