PEN D A HU L UA N
Kegiatan Belajar 1
Investasi
A. PENGERTIAN DASAR
180,000.0
160,000.0
140,000.0
120,000.0
(Milyar Rupiah)
100,000.0
80,000.0
60,000.0
40,000.0
20,000.0
-
68
70
72
74
76
78
80
82
84
86
88
90
92
94
96
98
00
02
04
19
19
19
19
19
19
19
19
19
19
19
19
19
19
19
19
20
20
20
Tahun
PMDN PMA
PMDN PMA
80.00
100.0
70.00
80.0 60.00
Persentase
Persentase
50.00
60.0
40.00
40.0 30.00
20.00
20.0
10.00
0.0 0.00
1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004
Tahun Tahun
SEKTOR PRIMER SEKTOR SEKUNDER SEKTOR TERSIER SEKTOR PRIMER SEKTOR SEKUNDER SEKTOR TERSIER
Gambar 4.2.
Tren Persetujuan PMDN dan PMA Menurut Sektor
(dalam persen)1997-November 2004
ESPA4314/MODUL 4 4.7
Guna menarik para investor, baik dari dalam dan luar negeri diperlukan
perbaikan lingkungan bisnis. Berbagai survei membuktikan bahwa faktor
utama yang mempengaruhi lingkungan bisnis adalah: produktivitas tenaga
kerja, perekonomian daerah, infrastruktur fisik, kondisi sosial-politik, dan
institusi. Survei yang dilakukan oleh Komite Pertimbangan Pelaksanaan
Otonomi Daerah (KPPOD) menunjukkan bahwa institusi merupakan faktor
utama yang menentukan daya tarik investasi di suatu daerah, diikuti oleh
kondisi sosial-politik, infrastruktur fisik, kondisi ekonomi daerah dan
produktivitas tenaga kerja.
Dalam keadaan normal, potensi ekonomi merupakan faktor utama
pertimbangan investasi. Studi terhadap lebih dari 2.000 perusahaan di lebih
dari 60 kabupaten/kota yang dilakukan oleh LPEM UI menemukan bahwa
alasan utama di balik peningkatan ketidakpastian usaha yang signifikan
berhubungan dengan masih kurangnya kemampuan pemerintah daerah dalam
menciptakan dan mempertahankan iklim bisnis yang menarik
4.8 Perekonomian Indonesia
titik tertentu justru makin mengancam kepentingan nasional. TNC sangat jeli
memanfaatkan celah hukum dan peraturan yang ada di Indonesia sehingga
berdasarkan hal itu mereka dapat mengambil tindakan yang merugikan
kepentingan nasional. Kehadiran TNC dapat mengancam kelangsungan
industri nasional yang kalah bersaing dalam hal penguasaan modal dan
teknologi. Kehadiran perusahaan asing juga ditunding sebagai biang dari
kerusakan lingkungan seperti kasus perusakan lingkungan di Papua yang
dilakukan oleh Freeport dan mewabahnya penyakit kulit di Teluk Buyat yang
dilakukan oleh PT Minahasa Raya. Lebih dari itu, jika posisi mereka terlalu
kuat dalam ekonomi nasional maka mereka akan mulai bergerak ke arah
dominasi ekonomi-politik yang dapat mengancam kedaulatan bangsa.
“kekuatan”) dari daerah tertentu yang tercipta sejak lama, yang antara lain
terjadi sebagai akibat kebijakan yang sentralistik.
Adanya sentralisasi kebijakan dan kuatnya dominasi pusat atas daerah
telah menimbulkan ketergantungan yang tinggi dari daerah-daerah kepada
Pusat. Dalam bidang keuangan atau anggaran, ketergantungan ini antara lain
dapat dilihat pada anggaran pemerintah daerah yang komponen sumbangan
dan bantuan pusatnya sangat tinggi, melampaui Pendapatan Asli Daerah-nya
(PAD). Berkembangnya struktur dominasi pusat atas daerah ini, di samping
melahirkan ketergantungan, juga berakibat pada munculnya pola hubungan
“eksploitatif”, di mana pusat memegang hegemoni, memompakan sistem dan
mekanisme pemerintahan serta pengelolaan pembangunan sentralistik,
sektoral, departemental, secara “pukul rata” pada setiap daerah. Pendekatan
seperti ini tidak saja mematikan prakarsa-prakarsa daerah, tetapi juga
memunculkan persoalan-persoalan ekonomi politik yang kian kompleks yang
berpotensi memicu disintegrasi (INDEF, ibid, h. 2).
Otoritas pusat untuk mengalokasikan sumber-sumber ekonomi yang ada
memunculkan isu ketidakseimbangan dan ketidakpuasan dalam alokasi
perimbangan antardaerah, serta melahirkan tuntutan agar perhatian lebih
banyak dicurahkan pada daerah luar Jawa, terlebih bagian Indonesia Timur.
Tuntutan-tuntutan demikian secara ekonomi bukanlah tanpa dasar. Ini
mengingat bahwa pembangunan selama ini banyak mengabaikan aspek-aspek
yang berkaitan dengan ruang. Hal demikian terjadi karena ilmu ekonomi
sendiri dengan berbagai teorinya terlalu mengabaikan unsur “ruang” sehingga
segala proses dan mekanisme yang dipostulasikan seolah-olah di alam “tanpa
ruang” atau spaceless (Azis, 1987, h. 152).
Alokasi dana pembangunan banyak terkonsentrasi pada daerah-daerah
yang berpenduduk padat dengan mengabaikan pembangunan di daerah yang
berpenduduk jarang. Dalam hal-hal tertentu, dilihat dari sudut optimalisasi
produksi dan keuntungan makro ekonominya, pola yang demikian mungkin
dapat dibenarkan. Namun polarisasi pembangunan seperti itu melahirkan
berbagai masalah yang berkaitan dengan pembangunan daerah (ruang) yang
masih tertinggal atau terbelakang tersebut.
Alokasi dana yang lebih besar untuk daerah-daerah tertentu, khususnya
di Pulau Jawa, telah menyebabkan pesatnya pembangunan berbagai sektor di
daerah ini. Berbagai prasarana yang dibangun telah memberikan daya tarik
bagi para penanam modal, baik investor domestik maupun asing, untuk
menanamkan modalnya di daerah yang daya beli penduduknya relatif tinggi
4.12 Perekonomian Indonesia
Dalam era otonomi daerah ini, untuk menarik investasi ke daerah Pemda
mempunyai kewajiban untuk menggali segala potensi yang ada di daerahnya.
Pemda harus mempertemukan “keinginan daerah dan keinginan investor”.
4.14 Perekonomian Indonesia
Bagi investor, daya tarik ini tidak hanya berupa endowment resources, tetapi
juga variabel-variabel yang mendukungnya, seperti regulasi daerah, sumber
daya manusia, dan sebagainya.
Sebagaimana dikemukakan di atas, seorang investor pertama-tama akan
melihat kemungkinan memperoleh keuntungan dari usahanya. Artinya, yang
dilihat pertama adalah bagaimana potensi ekonomi daerah tersebut yang
memberi peluang untuk memperoleh keuntungan. Jika ia akan bergerak
dalam bidang ekstraktif, ia akan mencari data tentang potensi SDA yang ada
di daerah tersebut. Sektor ekstraktif (pertambangan, perkebunan, perikanan,
dan kehutanan) menjanjikan peluang pendapatan yang tinggi, namun juga
risiko yang besar. Daerah-daerah yang kaya SDA, termasuk daerah-daerah di
luar Jawa, sebagian besar menarik bagi investor asing karena adanya
“endowment resources” tersebut.
Namun bagi pengusaha di sektor hilir potensi ekonomi ini lebih dilihat
dari seberapa besar luas pasarnya, yang tercermin dari jumlah penduduk dan
daya belinya. Indikator lain yang dilihat adalah bagaimana struktur
perekonomiannya. Semakin tinggi kontribusi sektor industri dan jasa,
mencerminkan kemajuan ekonomi masyarakat daerah tersebut, yang berarti
ada potensi peluang pasar yang menjanjikan bagi industri hilir tersebut.
Namun peluang (keuntungan) ekonomi hanyalah satu faktor saja yang
menjadi pertimbangan untuk menanamkan modal atau tidak. Ini baru berupa
necessary condition (syarat keharusan). Masih banyak faktor lain yang
dipertimbangkan oleh investor. Dengan mengasumsikan faktor-faktor yang
berkaitan dengan cost of fund sudah given, maka pertimbangan pengambilan
keputusan bagi investor banyak ditentukan oleh situasi lokal yang ada di
daerah. Faktor tersebut berkaitan dengan bagaimana aturan-aturan yang
ditetapkan Pemda, sikap masyarakat, keamanan, dan sebagainya, yang terkait
dengan risiko suatu investasi di suatu daerah (regional investment risk). Ini
menjadi suatu sufficient conditions (syarat kecukupan).
Suatu kajian yang dilakukan KPPOD (2002), yang telah mengelaborasi
berbagai variabel yang mempengaruhi investasi, dapat dijadikan acuan untuk
menilai daya tarik suatu wilayah, termasuk membuat analisis SWOT-nya.
KPPOD menggunakan tujuh variabel yang dijadikan tolok ukur daya tarik
investasi regional, yaitu: (a) keamanan; (b) potensi ekonomi; (c) budaya
daerah; (d) sumber daya manusia; (e) keuangan daerah; (f) infrastruktur; dan
(g) peraturan daerah.
ESPA4314/MODUL 4 4.15
LAT IH A N
R A NG KU M AN
Sejak awal Orde Baru hingga tahun 2004, terjadi fluktuasi nilai
investasi. Secara umum, mulai Orde Baru, nilai investasi di Indonesia
terjadi tren yang meningkat. Tetapi sejak terjadinya krisis moneter nilai
investasi Indonesia menurun.
Banyak studi menemukan bahwa pelaksanaan otonomi daerah
sejak 2001 telah memperburuk iklim investasi di Indonesia. Masalah lain
berkaitan dengan dualisme kebijakan ekonomi. Selama ini pemerintah
lebih memberi kemudahan pada industri besar. Akibatnya ekonomi
rakyat tidak berkembang dengan baik. Investasi ekonomi rakyat perlu
mendapatkan fasilitas yang memadai dari pemerintah karena ekonomi
rakyat menyerap banyak tenaga kerja dan menggunakan sumber daya
alam lokal, memegang peranan penting dalam ekspor non migas, dan
beroperasi dalam iklim yang sangat kompetitif yang dinikmati oleh
sebagian besar rakyat.
Investasi di Indonesia menghadapi masalah struktural seperti
sentralisasi kekuasaan. Hal ini menyebabkan pembangunan hanya
dinikmati oleh sebagian bangsa saja. Selain itu rendahnya investasi pada
4.18 Perekonomian Indonesia
Kegiatan Belajar 2
Perdagangan Internasional
100
90
80
70
60
1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 1 3 5
2005 2010
2001
Tabel 4.1.
Revealed Comparative Advantage Produk Indonesia
terhadap Negara Asean Tahun 2000-2010
Tabel 4.2.
Impor Beberapa Komoditi Pertanian Indonesia (Juta Kg, Juta US$)
4,620 juta dolar atau menurun 28,65 persen dari pendapatan ekspor 2003.
Asumsi harga US$ 21,- per barel tahun 2004 ini masih lebih rendah satu
dolar Amerika dibanding asumsi harga tahun 2003 yang pada kenyataannya
sampai dengan Agustus 2003, harga minyak mentah Indonesia di pasar
internasional sebesar US$ 28,43 per barel.
Tabel 4.3.
Ekspor Migas Indonesia Tahun 2000 - 2004
3. Perkembangan Ekspor
Ekspor semester I tahun 2003 yang meningkat cukup baik membuat
semua orang lega dan berandai-andai dengan perekonomian negara ini
ESPA4314/MODUL 4 4.27
Tabel 4.4.
Perkembangan Ekspor 1996 dan 2002. Dalam ton dan ribu US$
Sektor Industri 26 367 031 32 124 656 45 479 782 38 729 570
Sektor Pertambangan 107 678 088 3 054 216 111 662 028 3 743 703
Sektor Pertanian 1 850 809 2 912 762 1 880 017 2 568 263
Alat Listrik 274 545 3 541 657 679 407 6 271 219
Industri Lainnya 4 327 199 7 008 751 6 180 272 8 947 817
Minyak Nabati 2 527 060 1 395 447 7 621 269 2 548 675
Kertas, Barang Dari Kertas 2 093 370 955 307 3 411 504 2 097 516
Bahan Kimia 1 236 753 552 346 3 749 234 1 272 221
Batu Bara 31 955 095 1 120 829 73 124 941 1 762 368
Mebel 380 412 946 472 837 594 1 501 896
Tekstil 973 866 6 551 747 1 759 163 6 963 087
Biji Coklat 274 336 262 882 367 664 521 257
Pupuk 1 270 933 271 337 1 198 170 134 646
Udang Segar/Beku 99 916 1 015 620 122 050 840 353
Kopi 362 883 588 831 322 543 218 771
Karet Alam Olahan 1 554 667 2 226 569 1 760 000 1 560 629
Kayu Olahan 6 688 590 5 130 677 6 290 698 3 251 631
Total Non Migas 135 896 628 38 092 938 159 024 073 45 046 067
Sumber: BPS
Tabel 4.5.
Ekspor Komoditi Tertentu Semester I 2002-2003
rempah cukup puas dengan kenaikan 4,6 persen. Industri mebel dan perabot
rumah membukukan realisasi kontrak ekspor sebesar US$ 844,9 juta atau
naik 0,6 persen. Kenyataan ini menunjukkan bisnis ekspor yang makin
kompetitif.
Keunggulan komparatif produk Indonesia terutama berasal dari komoditi
yang berbahan baku lokal seperti hasil hutan, karet, coklat, kelapa sawit, dan
rempah-rempah. Kalau dibandingkan dengan China, mereka memiliki
keunggulan komparatif pada komoditi-komoditi industri manufaktur dan
industri kimia.
Tabel 4.6.
Perkembangan Ekspor dan Impor Indonesia (2002-2004) (Juta US$)
IMPOR
Barang Konsumsi 2 650,5 2 758,2 2 909,5 3 023,5
Bahan 33 613,1
Baku/Penolong 24 227,5 27 762,5 29 646,6
Barang Modal 4 410,9 3 640,4 3 151,6 2 710,3
TOTAL IMPOR 31 288,9 34 161,1 35 707,7 39 346,9
% Kenaikan Impor -- 9,18 4,53 10,19
Sumber: BPS, diolah
Ket.:
* angka sementara,
** angka perkiraan
4.30 Perekonomian Indonesia
Pandangan lain yang tidak kalah keras dalam menolak pola perdagangan
dunia yang dikomandani oleh WTO ini juga datang dari Walden Bello (2004)
dalam bukunya yang judulnya sangat provokatif: “De-globalisasi”
(deglobalization). Bello melihat sudah terjadi kekacauan dalam sistem
multilateral yang terjadi saat ini. WTO dinilai sudah menjadi perpanjangan
tangan perusahaan-perusahaan transnasional (TNC) yang menjadikannya
sebagai monopolis dunia. Ini misalnya dapat dilihat dilegitimasikannya
perjanjian yang terkait dengan hak milik intelektual (TRIPS = Trade Related
with Intelectual Property Rights) yang mengukuhkan pengambilalihan
inovasi teknologi oleh perusahaan transnasional seperti Intel, Microsoft, dan
Monsanto.
Secara khusus dikemukakannya bahwa “ekspansi perdagangan bebas dan
ekspansi kekuasaan dan yurisdiksi WTO, yang saat ini merupakan instrumen
multilateral dari perusahaan global yang sangat kuat, merupakan ancaman
yang mematikan terhadap pembangunan, keadilan sosial dan persamaan hak,
dan lingkungan” (154). Oleh karena itu, menurut Bello, hal itu harus
ditentang apabila kita tidak menginginkan “perpisahan” dengan cita-cita
mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan, keadilan sosial, persamaan
hak, dan pelestarian lingkungan.
Tentu saja perdagangan internasional juga memberikan manfaat bagi
penduduk dunia ini, seperti meningkatnya output dunia, dan semakin
banyaknya tawaran komoditi yang berkualitas dengan harga yang relatif
murah. Perkembangan peradaban manusia juga mencapai titik yang tidak
terbayangkan selama ini. Namun, menurut Gelinas (sebagaimana dikutip
Sofian Effendi, 2004: 13) kemajuan tersebut diiringi pula dengan tragedi
kemanusiaan seperti: (1) 4 sampai 6 miliar penduduk berada di 127 negara
terbelakang di dalam kondisi kemiskinan yang berat; (2) 49 negara paling
terbelakang secara teknologis mengalami kebangkrutan; (3) pendapatan per
kapita per tahun dari 100 negara di Dunia Ketiga mengalami penurunan dari
keadaan 10, 15, 20, dan bahkan 30 tahun yang lalu; (4) 2,8 miliar penduduk
di Negara-negara Dunia Ketiga hidup dengan pendapatan kurang dari 2 dollar
AS per hari; (5) 1,3 miliar penduduk di negara-negara yang sama bahkan
ESPA4314/MODUL 4 4.33
hidup dengan tingkat konsumsi kurang dari 1 dollar AS; (6) 2,6 miliar
penduduk dunia tidak memiliki infrastruktur yang memadai; dan 6) 1,4
penduduk dunia tidak memiliki akses terhadap air minum yang bersih.
LAT IH A N
\
R A NG KU M AN
yang masih belum efisien menurut standar dunia akan mengalami nasib
yang merugikan.
Perdagangan bebas lebih berpihak dan menguntungkan negara-
negara maju, yang tingkat industrialisasinya sudah mapan, dan
menghasilkan berbagai barang manufaktur yang diekspor ke negara
sedang berkembang. Dengan terbukanya pasar di negara-negara lain,
semakin mudah barang-barang manufaktur dari negara industri tersebut
masuk ke pasar global, yang mengalirkan kembali devisa yang diperoleh
negara-negara berkembang dari ekspornya yang umumnya barang primer
atau manufaktur yang sederhana.
TES F OR M AT IF 2
Daftar Pustaka
Ananta, Aris, (1995). “Prospect of Labor Market in Indonesia”, makalah
seminar Building on Succes: Maximizing the Gains from Deregulation,
Jakarta
Rodrik, Dani. (1997). The Globalization Gone Too Far? Washington DC:
Institute For International Economics.
Wolf, Martin. (2004). Why Globalization Works? New Heaven and London:
Yale University Press.