Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN
Anomali perkembangan dari segmen anterior dapat mengakibatkan
anomali perkembangan dari susunan struktur-struktur yang membentuk jalur
keluar akuos humor konvensional. Di antara berbagai macam, Sindrom
Axenfeld-Rieger merupakan salah satu bentuk kelainan perkembangan
segmen anterior dengan estimasi prevalensi satu kasus dalam setiap 200.000
kelahiran.1
Sindrom Axenfeld-Rieger merupakan kelainan genetik yang melibatkan
sudut bilik mata depan, iris, kornea, dan kadang-kadang juga melibatkan
lensa. Biasanya terjadi hipoplasia stroma anterior dari iris, disertai dengan
filamen yang menghubungkan stroma dari iris ke kornea.2
Dari seluruh kejadian sindrom ini, 50% menjadi glaukoma. Glaukoma
muncul biasanya pada akhir masa anak-anak atau saat dewasa, meskipun
dapat juga muncul pada usia dibawah 1 tahun. 3 Tanda dan gejala Sindrom
Axenfeld-Rieger juga dapat muncul pada bagian tubuh lainnya. Kebanyakan
penderita memiliki jarak yang lebar antara satu mata ke mata lain
(hipertelorisme); kelainan gigi (mikrodontia, oligodontia); malformasi wajah
(hipoplasia tulang rahang bawah); dan terkadang beberapa pasien sindrom ini
memiliki lipatan kulit tambahan disekitar umbilikus (redundant periumbilical
skin).1
Diagnosis Sindrom Axenfeld-Rieger ditegakkan berdasarkan pemeriksaan
fisik dan optalmologi. Pemeriksaan genetik dapat dilakukan untuk
memastikan diagnosis sindrom ini. Pasien dengan Sindrom Axenfeld-Rieger
mengalami

mutasi

pada

faktor

transkripsi

gen

PITX2 (4q25)

and FOXC1 (6p25).4


Hal yang paling utama yang harus diperhatikan dalam dalam pengobatan
Sindrom Axenfeld-Rieger ialah glaukoma. Terapi farmakologi dianjurkan

sebelum intervensi pembedahan. Obat-obatan yang dapat mengurangi inflow


dari akuos humor lebih memberi hasil yang baik dibandingkan dengan obatobatan yang dapat mempengaruhi outflow. Apabila terapi farmakologi tidak
juga memberikan hasil yang baik, trabekulektomi bisa dijadikan pilihan.5

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Anatomi Segmen Anterior
Segmen anterior mata terdiri dari kornea, bilik mata depan, iris, pupil, dan
lensa.
1. Kornea
Kornea merupakan bagian anterior dari mata, yang harus dilalui
cahaya. Karena itu, kornea itu jernih dan avaskular. Diameter kornea
dewasa rata-rata 12 mm. Kearah luar kornea berhubungan langsung
dengan sklera. Batas antara sklera dan kornea disebut limbus kornea.
Kornea terdiri dari 5 lapisan dari luar ke dalam, yaitu:
a. Lapisan epitel
Tebalnya 50 m, terdiri atas 5 lapis sel epitel tidak bertanduk yang
saling tumpang tindih; satu lapis sel basal, sel polygonal dan sel
gepeng.
Pada sel basal sering terlihat mitosis sel, dan sel muda ini terdorong
kedepan menjadi lapis sel sayap dan semakin maju kedepan menjadi
sel gepeng, sel basal berikatan erat dengan sel basal disampingnya
dan sel polygonal didepannya melalui desmosom dan macula
okluden; ikatan ini menghambat pengaliran air, elektrolit dan glukosa
yang merupakan barrier.
Sel basal menghasilkan membrane basal yang melekat erat
kepadanya. Bila terjadi gangguan akan menghasilkan erosi rekuren.
Epitel berasal dari ectoderm permukaan.
b. Membran Bowman
Terletak dibawah membrana basal epitel kornea yang merupakan
kolagen yang tersusun tidak teratur seperti stroma dan berasal dari
bagian depan stroma. Lapis ini tidak mempunyai daya regenerasi.
c. Jaringan Stroma

Terdiri atas lamel yang merupakan sususnan kolagen yang sejajar


satu dengan yang lainnya, Pada permukaan terlihat anyaman yang
teratur sedang dibagian perifer serat kolagen ini bercabang;
terbentuknya kembali serat kolagen memakan waktu lama yang
kadang-kadang sampai 15 bulan.Keratosit merupakan sel stroma
kornea yang merupakan fibroblast terletak diantara serat kolagen
stroma. Diduga keratosit membentuk bahan dasar dan serat kolagen
dalam perkembangan embrio atau sesudah trauma.
d. Membran Descement
Merupakan membrana aselular dan merupakan batas belakang stroma
kornea dihasilkan sel endotel dan merupakan membrane basalnya.
Bersifat sangat elastis dan berkembang terus seumur hidup,
mempunyai tebal 40 m.
e. Endotel
Berasal dari mesotelium, berlapis satu, bentuk heksagonal, besar 2040 m. Endotel melekat pada membran descement melalui
hemidosom dan zonula okluden.
Kornea dipersarafi oleh banyak saraf sensorik terutama berasal

dari

saraf siliar longus, saraf nasosiliar, saraf ke V, saraf siliar longus


berjalan supra koroid, masuk ke dalam stroma kornea, menembus
membran Bowman melepaskan selubung Schwannya. Bulbus Krause
untuk sensasi dingin ditemukan diantara. Daya regenerasi saraf sesudah
dipotong di daerah limbus terjadi dalam waktu 3 bulan.9
Kornea dipersarafi oleh banyak saraf sensorik terutama berasal dari
saraf siliar longus, saraf nasosiliar, saraf ke V, saraf siliar longus
berjalan supra koroid, masuk ke dalam stroma kornea, menembus
membran Bowman melepaskan selubung Schwannya. Bulbus Krause
untuk sensasi dingin ditemukan diantara. Daya regenerasi saraf sesudah
dipotong di daerah limbus terjadi dalam waktu 3 bulan.9

2. Bilik Mata Depan


Bilik mata depan merupakan struktur penting dalam hubungannya
dengan pengaturan tekanan intraokuler. Hal ini disebabkan karena
pengaliran cairan akuos harus melalui bilik mata depan terlebih dahulu
sebelum memasuki kanal Schlemm. Bilik mata depan dibentuk oleh
persambungan antara kornea perifer dan iris.
Bagian mata yang penting dalam glaukoma adalah sudut filtrasi.
Anatomi sudut filtrasi terdapat di dalam limbus kornea. Limbus adalah
bagian yang dibatasi oleh garis yang menghubungkan akhir dari
membran descement dan membran Bowman, lalu ke posterior 0,75 mm,
kemudian ke dalam mengelilingi kanal schlemm dan trabekula sampai
ke bilik mata depan. Akhir dari membran descement disebut garis
Schwalbe.
Bagian terpenting dari sudut filtrasi adalah trabekula.Trabekula terdiri
dari jaringan kolagen, jaringan homogen, elastis dan seluruhnya diliputi
endotel. Keseluruhannya merupakan spons yang tembus pandang,
sehingga apabila ada darah di dalam kanal schlemn, dapat terlihat dari
luar.Kanal schlemn merupakan kapiler yang dimodifikasi, yang
mengelilingi kornea. Dindingnya terdiri dari satu lapisan sel,
diameternya 0.5 mm. Pada dinding sebelah dalam terdapat lubanglubang sebesar 2 U, sehingga terdapat hubungan langsung antara
trabekula dan kanal schlemn. Dari kanal schlemn, keluar saluran
kolektor 20-30 buah, yang menuju ke pleksus vena didalam jaringan
sklera dan episklera dan v. siliaris anterior di badan siliar.
3. Iris
Iris merupakan struktur muskuler berpigmen yang memberikan warna
khas mata. Iris adalah bagian anterior traktus uvea dan membagi
ruangan antara kornea dan lensa menjadi kamera anterior dan posterior.
Merupakan diafragma muskuler sirkuler tipis yang ditengahnya terdapat
lubang bulat, pupil. Pupil akan berubah ukurannya ketika iris secara

spontan

beradaptasi

terhadap

cahaya

dengan

berdilatasi

atau

berkontraksi
4. Pupil
Pupil adalah lubang kecil di tengah iris yang berfungsi mengatur
banyaknya cahaya yang masuk ke dalam bola mata. Bila cahaya terlalu
terang, pupil akan mengecil, dan sebaliknya bila gelap pupil akan
membesar. Besar-kecilnya pupil dibentuk oleh iris.
5. Lensa
Lensa berasal dari ektoderm permukaan yang bersifat bening. Lensa
berbentuk bikonveks dan akan dibentuk oleh sel epitel lensa yang akan
membentuk serat lensa di dalam kapsul lensa. Epitel lensa akan
membentuk serat lensa terus-menerus

sehingga mengakibatkan

memadatnya serat lensa di bagian lensa sehingga membuat nukleus


lensa. Dibagian luar nukleus terdapat serat lensa yang lebih muda dan
disebut korteks lensa. Di bagian perifer kapsul lensa terdapat zonula
Zinn yang menggantukan lensa di seluruh ekuatornya pada badan siliar.
2.2. Embriologi Segmen Anterior
Segmen anterior mata merupakan segala struktur yang berada diantara
kornea dan vitreus (kornea, bilik mata depan, iris, pupil, dan lensa). Defek
perkembangan dari struktur ini, yang berasal dari sel pial neural, akan
berujung menjadi Sindrom Axenfeld-Rieger. Sel pial neural merupakan sel
neuroektodermal, yang bermigrasi dari tuba sel pial neural ke berbagai
tempat pada saat perkembangan embrio. Pada mata, sel ini bermigrasi ke
bilik mata depan untuk membentuk keratosit dan endotel kornea, sel stroma
iris, melanosit, anyaman trabekular, dan jaringan jukstakanalikular.
Gangguan perkembangan menyebabkan sel pial neural tertahan pada
beberapa bagian di iris dan sudut bilik mata depan. Hal ini mempengaruhi
anatomi dari sudut bilik mata depan, yang selanjutnya akan mempengaruhi
drainase akuos humor dan menyebabkan glaukoma. Retensi dari sel pial

neural juga menyebabkan hipoplasia iris, anomali Peters, anirida,


sklerokornea, megalokornea, dan glaukoma kongenital primer.
Sel pial neural tidak hanya memiliki peranan penting pada perkembangan
segmen anterior, tapi juga memiliki pengaruh pada struktur lain. Seperti pada
tulang dan kartilago tengkorak, gigi, dan dermis, yang mana menjelaskan
keterlibatan organ lainnya pada Sindrom Axenfeld Rieger.5
2.3. Sindrom Axenfeld-Rieger
2.3.1. Definisi
Sindrom Axenfeld-Rieger merupakan istilah yang digunakan untuk
menggambarkan sekumpulan gejala yang diakibatkan oleh kelainan genetik,
dimana kondisi utamanya ialah disgenesis dari segmen anterior mata. Selain
itu juga, pasien Sindrom Axenfeld-Rieger juga mengalami beberapa kelainan
kongenital lainnya.4
2.3.2. Epidemiologi
Sindrom ini merupakan kelainan genetik dengan estimasi prevalensi 1 kasus
dalam 200.000 kelahiran. Tidak ada predileksi jenis kelamin. Selain itu sindrom
ini biasanya didiagnosis pada masa bayi atau anak-anak, tetapi glaukoma pada
sindrom ini muncul pada saat menginjak usia akhir masa anak-anak atau
dewasa. 6
2.3.3. Etiologi
Sindrom ini merupakan kelainan autosomal dominan, dimana merupakan
hasil dari mutasi gen PITX2 (4q25) dan FOXC1 (6p25). Protein yang
diproduksi oleh kedua gen ini merupakan faktor transkripsi, dimana protein
ini menempel pada DNA dan membantu dalam mengontrol aktivitas gen-gen
lainnya. Faktor transkripsi ini aktif pada masa janin dalam perkembangan
mata dan bagian tubuh lainnya. Faktor transkripsi ini memegang peranan
penting dalam perkembangan embrionik terutama pembentukan struktur
segmen anterior mata.
7

Mutasi gen PITX2 (4q25) atau FOXC1 (6p25) menggangu aktivitas gen
lainnya yang dibutuhkan dalam perkembangan normal. Abnormalitas
perkembangan ini merupakan karakter klinis dari Sindrom Axenfeld-Rieger.
Individu dengan PITX2 memiliki kemungkinan lebih besar untuk mengalami
gangguan pada bagian tubuh lainnya dibandingkan dengan individu yang
mengalami mutasi gen FOXC1.
Beberapa penderita Sindrom Axenfeld-Rieger belum diidentifikasi
memiliki mutasi gen PITX2 atau FOXC1. Pada kasus ini, etiologi dari
Sindrom Axenfeld-Rieger tidak diketahui.1
2.3.4. Faktor Risiko
Sindrom ini merupakan kelainan genetik dengan pola autosomal dominan,
sehingga dapat disimpulkan bahwa kelainan ini merupakan kelainan yang
diturunkan atau herediter. Sehingga keluarga dari penderita memiliki faktor
risiko yang besar untuk mengalami kelainan serupa.1
2.3.5. Klasifikasi
Sindrom Axenfeld-Rieger dibagi tipenya berdasarkan mutasi gen yang
menjadi etiologinya.
1. Sindrom Axenfeld-Rieger Tipe 1
Pada Sindrom Axenfeld-Rieger Tipe 1, gen yang mengalami mutasi
adalah gen PITX2.7
2. Sindrom Axenfeld-Rieger Tipe 2
Sindrom Axenfeld-Rieger Tipe 2 merupakan tipe Sindrom AxenfeldRieger yang masih belum teridentifikasi secara spesifik gen yang
mengalami mutasi. Akan tetapi, sejauh ini mutasi dari kromosom 13,
kemungkinan gen FOXAO1 dicurigai sebagai etiologi Sindrom
Axenfeld-Rieger Tipe 2.8
3. Sindrom Axenfeld-Rieger Tipe 3
Pada Sindrom Axenfeld-Rieger Tipe 3, gen yang mengalami mutasi
adalah gen FOXC. Tipe sindrom ini memiliki manifestasi pada mata
8

yang sama seperti tipe lainnya, tetapi tidak ada atau hampir tidak ada
kelainan wajah dan gigi. 9

Gambar 1
Sindrom Axenfeld-Rieger, Bilateral
2.3.6. Patogenesis
Sampai saat ini banyak spekulasi mengenai patogenesis embrionik
Sindrom Axenfeld-Rieger. Tetapi teori yang paling memungkinkan ialah teori
gangguan perkembangan jaringan segmen anterior yang berasal dari sel pial
neural yang terjadi pada fase akhir gestasi. Gangguan ini menyebabkan
retensi lapisan sel endotel primordial pada struktur iris dan sudut bilik mata
depan. Kontraksi dari sel endotel ini mengakibatkan kelainan bentuk dan
fungsi dari struktur segmen anterior. Selain itu juga, kelainan perkembangan
ini memiliki efek terhadap organ lain, sehingga juga dapat menyebabkan
anomali pada orofasial dan organ lainnya.5
2.3.7. Diagnosis
Diagnosis Sindrom Axenfeld-Rieger ditegakkan berdasarkan pemeriksaan
fisik dan optalmologi. Pemeriksaan genetik dapat dilakukan untuk
memastikan diagnosis sindrom ini. Pasien dengan Sindrom Axenfeld-Rieger
mengalami

mutasi

pada

faktor

transkripsi

gen

PITX2 (4q25)

and FOXC1 (6p25).4

1. Gejala Okuler
a. Iris
Observasi kelainan pada iris merupakan hal yang penting dalam
memastikan diagnosis Sindrom Axenfeld-Rieger , seperti penipisan
iris,kelainan posisi pupil (korektopia), atau iris menampilkan gambaran
pupil yang multipel (polikoria). Kelainan bentuk iris mungkin saja
sangat halus atau tidak terlihat (only slight peaking of the pupil) dan
terlihat normal apabila tidak dilakukan pemeriksaan sudut iridokorneal
(gonioskopi). Kelainan pupil seperti korektopia dan polikoria dapat
menyebabkan fotofobia.
b. Kornea
Garis Schwalbe (perbatasan perifer antara membran descement dan
batas anterior dari trabekulum) terlihat menonjol dan berada di posisi
yang salah secara anterior (posterior embryotokson). Terlihat garis putih
di posterior kornea, di dekat limbus, dan dapat diobservasi dengan
pemeriksaan slitlamp dan mudah didiagnosis melalui pemeriksaan
gonioskopi.

Kondisi

posterior

embryotokson

ditemukan

pada

kebanyakan pasien Sindrom Axenfeld-Rieger, tapi kondisi ini bukanlah


karakteristik untuk penegakan diagnosis sindrom ini. Diperkirakan 15%
populasi umum memiliki posterior embryotokson, tanpa peningkatan
risiko berkembang menjadi glaukoma. Ketika posterior embryotokson
teridentifikasi pada pasien kelainan segmen anterior, kecurigaan
pertama kita ialah Sindrom Axenfeld-Rieger. Ketidakadaan kelainan
kornea lainnya, seperti megalokornea, sklerokornea, dan kekeruhan
kornea, menjadi patokan kita untuk membedakan Sindrom AxenfeldRieger dari kelainan segmen anterior lainnya.

10

Gambar 2
Posterior Embryotokson (panah) pada Sindrom Axenfeld Rieger
c. Bilik Mata Depan
Pada Sindrom Axenfeld-Rieger, karakteristik sudut bilik mata depan
harus diperhatikan. Biasanya pada sindrom ini helaian-helaian iris
membentuk jembatan antara sudut iridokorneal dan anyaman trabekular.
Helaian-helaian ini menempel pada gari Schwalbe dan memiliki
ketebalan yang bervariasi. Kelainan ini dinilai melalui gonioskopi,
kapanpun dicurigai adanya Sindrom Axenfeld-Rieger.
Peningkatan tekanan intraokular yang berujung menjadi glaukoma
merupakan komplikasi utama dari disgenesis mata yang terjadi pada
sindrom Axenfeld-Rieger.Glaukoma bisa timbul saat bayi, tapi biasanya
muncul pada remaja dan dewasa. Pada beberapa kasus glaukoma pada
sindrom ini muncul pada usia paruh baya. Karena meningkatnya risiko
untuk terjadinya glaukoma, tekanan intraokular dan papil dari nervus
optikus harus diperiksa setiap tahunnya.
2. Kelainan Sistemik
Kelainan

sistemik

dapat

menyertai

sindrom

Axenfeld-Rieger.

karakteristik tersering ialah dismorfisme kraniofasial, anomali dental,


dan berlebihnya kulit periumbilikal. Kelainan wajah termasuk
11

hipertelorisme, telekantus, hipoplasia maksilaris dengan pendataran


wajah bagian tengah, kening yang menonjol, tulang hidung yang lebar
dan datar. Hipospaddia pada laki-laki, stenosis anal, abnormalitas
kelenjar hipofisis. Kelainan sistemik selain kelainan tersebut biasanya
tidak dipertimbangkan sebagai gejala klasik dari Sindrom AxenfeldRieger.
2.3.8. Diagnosis Banding
1. Sindrom Endothelial Iridokornea (ICE)
Spektrum kelainan ini ditandai dengan berbedanya derajat edema
kornea, glaukoma, dan abnormalitas iris. Sindrom ini mencakupi 3
variasi yaitu (1) Chandlers Syndrome, (2) essential iris atrophy, (3)
Cogan-Reese(iris nevus). Sindrom ICE biasanya unilateral, kebanyakan
pada wanita, dan muncul pada usia awal dewasa. Chandlers syndrome
terjadi ketika perubahan patologis terbatas pada permukaan dalam
kornea dengan disfungsi pompa endotelial yang berujung pada edema
kornea. Atropi iris esensial terjadi ketika endotel yang abnormal
berproliferasi ke permukaan iris dengan membran kontraksi berikutnya
yang menyebabkan korektopia pupil, atropi iris, dan polikoria. Jika
kelainan bentuk dan fungsi endotel menyebar ke sudut bilik mata
depan, akan menjadi sinekia anterior perifer dan menjadi glaukoma.
Cogan-Reese(iris nevus) memiliki manifestasi adanya nodul iris
berpigmen yang diakibatkan karena kontraksi membran endotel di
permukaan iris. Sifat sindrom ini yang unilateral, perubahan endotel
kornea, bermanifestasi pada usia paruh baya, dominan pada perempuan,
dan minimnya kelainan sistemik menjadi pembeda dari sindrom
Axenfeld-Rieger.
2. Anomali Peter
Anomali Peter memiliki karakteristik yaitu kekeruhan pada sentral
kornea yang berkaitan dengan tidak adanya membran descemen dan

12

lapisan endothel serta perbedaan derajat adesi iridokorneal dari garis


pinggir kekeruhan kornea. 60% kasus ini bilateral dan dapat dikaitkan
dengan glaukoma kongenital, aniridia, dan mikrokornea. Anomali Peter
juga dapat dikaitkan dengan kelainan sistemik seperti pertumbuhan
terhamnbat, defek jantung, gangguan pendengaran, defek sistem syaraf
pusat, gangguan gastrointestinal dan genitourial. Anomali Peter
biasanya jarang terjadi, tetapi dapat diturunkan secara autosomal
dominan atau resesif diakibatkan oleh gen PAX6, PITX2, CYP1B1,
atau FOXC1. Meskipun memiliki banyak kesamaan, Anomali Peter
dapat didiferensiasi dari Sindrom Axenfeld-Rieger karena memiliki
kelainan kornea yang lebih signifikan.
3. Aniridia(Iris Hypoplasia)
Aniridia merupakan kondisi bilateral dengan variasi penampilan iris.
Aniridia juga memiliki karakter yaitu pannus yang memanjang sampai
sentral kornea akibat defisiensi defisiensi sel induk, katarak, hipoplasia
fovea, penurunan penglihatan, atau nistagmus. Aniridia biasanya
diturunkan secara autosomal dominan, tetapi 30% kasus terjadi akibat
mutasi gen PAX6. Aniridia juga dikaitkan dengan risiko 50-75%
berkembang menjadi glaukoma. Pannus kornea, hipoplasia fovea, and
hipoplasia iris menjadi pembeda aniridia dan sindrom Axenfeld-Rieger.
4. Congenital Ectropion Uveae
Dislokasi kongenital atau penarikan epitel berpigmen posterior dari
pupil terjadi akibat kontraksi dari myofibroblast ke margin pupil.Akan
tetapi gambaran ini juga terdapat pada sindrom Axenfeld-Rieger, ICE,
neurofibromatosis, fasial hemihipertropy, dan Prader-Willi syndrome.
Congenital ectropion uveae juga memiliki gambaran rubeosis iridis.
Ektropion iris unilateral kongenital; permukaan iris yang tidak ada
kripta, insersi iris yang tinggi, disgenesis sudut bilik mata depan, dan
glaukoma biasanya menyertai dalam penegakkan sindrom ini.
5. Ectopia Lentis et Pupilae
13

Kondisi ini merupakan kelainan yang langka, bilateral, autosomal


resesif yang memiliki ciri yaitu dislokasi pupil, biasanya secara
inferotemporal, dikaitkan dengan subluksasi lensa, biasanya pada arah
yang

berbeda.

Kondisi

ini

juga

ditandai

dengan

adanya

microsperofakia, miosis, dan dilatasi pupil yang buruk. Glaukoma


biasanya tidak terjadi pada kondisi ini.
6. Oculodentodigital Dysplasia
Displasia okulodentodigital merupakan kelainan autosomal dominan
yang ditandai dengan adanya retinopati pigmen, koloboma iris, katarak
kongenital, glaukoma, mikrokornea, mikroftalmus, hidung kecil dengan
nostril yang sempit dan hipoplasti alae, abnormalitas jari keempat dan
kelima, dan hipolasti enamel dental. Tidak adanya kelainan sudut bilik
mata depan membedakan kelainan ini dengan sindrom Axenfeld-Rieger.

2.3.9. Terapi
Gejala yang menyertai sindrom Axenfeld-Rieger yang patut menjadi
perhatian ialah glaukoma. Apabila terdapat glaukoma, terapi medikamentosa
dilakukan apabila ada perencanaan untuk intervensi bedah. Obat-obatan
yang menekan produksi akuos humor (-blockers, -agonists dan carbonic
anhydrase inhibitors) memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan obatobatan yang mempengaruhi outflow. Akan tetapi, penggunaan -agonists
pada anak-anak harus diperhatikan karena memiliki risiko untuk terjadinya
depresi sistem syaraf pusat. Apabila terapi medika mentosa tidak cukup
memperbaiki keadaan glaukoma, trabekulektomi merupakan prosedur yang
dapat dijadikan pilihan. Sebagai tambahan, apabila terdapat fotofobia pada
pasien dengan korektopia dan polikoria, lensa kontak dapat digunakan untuk
menutupi lubang pada iris.
2.3.10. Komplikasi
Komplikasi yang sering terjadi akibat kelainan anatomi pada mata

14

pasien Axenfeld-Rieger adalah glaukoma. Dimana 50% dari seluruh pasien


akan berkembang menjadi glaukoma.
2.3.11. Prognosis
Prognosis pada sindrom ini adalah baik, terutama apabila tidak ada
glaukoma. Namun. apabila glaukoma pada sindrom ini terdeteksi dini,
sebagian besar pasien glaukoma dapat ditangani dengan baik secara medis.

BAB III

15

KESIMPULAN

Dari tinjauan pustaka, dapat kita tarik beberapa kesimpulan, yaitu:


1. Sindrom Axenfeld-Rieger merupakan kelainan keturunan autosomal dominan
dimana terjadi mutasi gen PITX2 (4q25) dan FOXC1 (6p25).
2. Penyakit ini memiliki prevalensi 1 diantara 200.000 kelahiran.
3. Kelainan ini diklasifikasikan menjadi 3 tipe berdasarkan mutasi gen yang
terjadi. Pada Sindrom Axenfeld-Rieger Tipe 1, gen yang mengalami mutasi adalah
gen PITX2.Pada Sindrom Axenfeld-Rieger Tipe 2, masih belum teridentifikasi
secara spesifik gen yang mengalami mutasi. Sindrom Axenfeld-Rieger Tipe 3, gen
yang mengalami mutasi adalah gen FOXC.
4. Gejala pada sindrom ini dibedakan menjadi gejala okuler dan sistemik. Gejala
okuler antara lain seperti penipisan iris,kelainan posisi pupil (korektopia), atau iris
menampilkan gambaran pupil yang multipel (polikoria), posterior embryotokson,
serta adanya helaian-helaian iris membentuk jembatan antara sudut iridokorneal
dan anyaman trabekular.Sedangkan untuk kelainan sistemik tersering ialah
dismorfisme kraniofasial, anomali dental, dan berlebihnya kulit periumbilikal.
5. Terapi dalam sindrom ini cenderung untuk mengatasi apabila terjadi glaukoma.
Selain itu, apabila terdapat fotofobia pada pasien dengan korektopia dan polikoria,
lensa kontak dapat digunakan untuk menutupi lubang pada iris.

DAFTAR PUSTAKA

16

1.

Genetic Home Reference. 2010. (http://ghr.nlm.nih.gov/condition/axenfeld-

rieger-syndrome , diakses 3 April 2014)


2.

Asbury, Vaughan. Oftalmologi Umum. Jakarta : Penerbit Buku

Kedokteran ECG; 2010.


3.

American Academy of Ophtalmology. 2011-2012. Pediatric Ophtalmology

and Strabismus, San Fransisco hal. 213


4.

Bachholm,

Daniella.

2011.

Axenfeld-Rieger

Syndrome.

(http://www.orpha.net/consor/cgi-bin/OC_Exp.php?Expert=782, diakses 3 April


2014)
5.

European

Journal

of

Human

Genetics (2009) 17, 15271539;

doi:10.1038/ejhg.2009.93; published online 10 June 2009


6.

Axenfeld TH. Embryotoxon cornea posterius. Klin Monatsbl Augenheilkd.

1920;65:381-382
7.

The

University

of

Arizona.

2010.

(http://disorders.eyes.arizona.edu/handouts/axenfeld-rieger-syndrome-type-1

diakses 2 April 2014)


8.

The

University

of

Arizona.

2010.

(http://disorders.eyes.arizona.edu/handouts/axenfeld-rieger-syndrome-type-2

diakses 2 April 2014)


9.

The

University

of

Arizona.

2010.

(http://disorders.eyes.arizona.edu/handouts/axenfeld-rieger-syndrome-type-3,
diakses 2 April 2014)

17

Anda mungkin juga menyukai