Anda di halaman 1dari 20

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1 ATELEKTASIS
2.1.1 DEFINISI
Istilah atelektasis berasal dari bahasa yunani, ateles dan ektasis, yang
berarti pengembangan tidak sempurna. Atelektasis sebenarnya bukan merupakan
suatu penyakit, tetapi ada kaitannya dengan penyakit parenkim paru. 1,2,3,4
Atelektasis adalah keadaan ketika sebagian atau seluruh paru mengempis
atau tidak mengandung udara. Tidak adanya udara didalam paru terjadi karena
seluruh pernafasan tersumbat sehingga udara dari bronkus tidak dapat masuk
kedalam alveolus, sedangkan udara yang sebelumnya berada di alveolus diserap
habis oleh dinding alveolus yang banyak mengandung kapiler darah.3,5
Atelektasis merupakan suatu keadaan dimana sebagian atau seluruh paru
tidak dapat berkembang secara sempurna, hal ini mengakibatkan udara dalam
alveoli akan berkurang atau menghilang sama sekali pada bagian yang tidak
berkembang tersebut atau sering juga disebut kolaps paru (lung collaps). Kolaps
terjadi akibat penyumbatan saluran udara (bronkus maupun bronkiolus ) atau
akibat pernafasan yang sangat dangkal. Kolaps ini dapat meliputi sub segmen
paru atau seluruh paru.2,4
2.1.2 ANATOMI
Bagian dari sistem pernapasan meliputi alveoli, trachea, diafragma,
bronkus, dan bronkiolus. Trachea atau batang tenggorokan berupa pipa tempat
keluar masuknya udara. Udara yang dihirup dari hidung dan mulut akan ditarik ke
trachea menuju paru-paru. Bronchus merupakan batang yang menghubungkan
paru-paru kanan dan kiri dengan trachea. Udara dari trachea akan di bawa ke
paru-paru lewat batang ini. Bronchioles merupakan cabang-cabang dari bronchus
berupa tabung-tabung kecil yang akan membawa oksigen lebih jauh ke dalam

paru-paru. Alveoli merupakan ujung dari bronchioles yang jumlahnya sekitar 600
juta pada paru-paru manusia dewasa. Asinus terdiri dari bronkhiolus dan
respiratorius yang terkadang memiliki kantong udara kecil atau alveoli pada
dindingnya. Ductus alveolaris seluruhnya dibatasi oleh alveolaris dan saccus
alveolaris terminalis merupakan akhir paru-paru, asinus atau kadang disebut
lobulus primer memiliki tangan kira-kira 0,5 s/d 1,0 cm.6
Terdapat sekitar 20 kali percabangan mulai dari trachea sampai saccus
alveolaris. Alveolus merupakan tempat pertukaran gas dan

dipisahkan oleh

dinding yang dinamakan pori-pori kohn. Alveoli terdiri dari membran alveolar
dan ruang interstisial. Membran alveolar terdiri dari small alveolar cell dengan
ekstensi ektoplasmik ke arah rongga alveoli, large alveolar cell mengandung
inclusion bodies yang menghasilkan surfactant, dan anastomosing capillary yang
merupakan system vena dan arteri yang saling berhubungan langsung, ini terdiri
dari : sel endotel, aliran darah dalam rongga endotel.6
Sedangkan ruang interstitial merupakan ruangan yang dibentuk oleh endotel
kapiler, epitel alveoli, saluran limfe, jaringan kolagen dan sedikit serum. Pada
aveoli ini oksigen akan di difusi menjadi karbondioksida yang diambil dari dalam
darah. Jika dibentangkan luas permukaannya 90 m2.6
Dengan adanya fissure, paru-paru dapat dibagi menjadi beberapa lobus.
Letak incisura dan lobus dapat digunakan untuk menentukan diagnosis. Pada
paru-paru kiri terdapat incisura obligue. Incisura ini membagi paru-paru kiri atas
menjadi dua lobus yaitu lobus superior dan lobus inferior. Lobus superior adalah
bagian paru-paru yang terletak di atas dan sebagian di depan incisura sedangkan
lobus inferior adalah bagian paru-paru yang terletak di belakang dan di bawah
incisura.6

Paru-paru kanan memiliki dua incisura yaitu incisura obligue dan incisura
interlobularies sekunder. Incisura obligue (interlobularies primer) mulai daerah
atas dan ke belakang sampai ke hilus setinggi vertebra thoracalis ke-4 terus ke
bawah dan ke depan searah dengan iga ke-6 sampai line aksilaris media ke ruang
interkostal ke-6 memotong margo inferior setinggi artikulasi iga ke-6 dan kembali
ke hilus. Insisura interlobularies sekunder mulai insisura obligue pada aksilaris
media berjalan horizontal memotong margo anterior pada artikulasio kosta
kondralis keenam terus ke hilus. Insisura obligue memisahkan lobus inferior dari
lobus medius dan lobus posterior. Insisura horizontal memisahkan lobus medius
dari lobus superior.6
Paru-paru kanan terbagi menjadi 3 lobus yaitu lobus superior terdiri dari
segmen anterior, segmen superior dan segmen anterior, lobus medius terdiri dari
segmen lateral dan segmen medial serta lobus inferior terdiri segmen superior,
segmen mediobasal, segmen aterobasal, segmen laterobasal dan segmen
posteriobasal.

Sedangkan paru-paru kiri terbagi menjadi 2 lobus yaitu lobus

superior terdiri dari segmen apikoposterior, segmen anterior, segmen superior dan
segmen inferior serta lobus inferior terdiri dari segmen superior, segmen
anteriomediobasal, segmen lateralbasal dan segmen laterobasal. 6

Gambar 2.1 Anatomi Paru

2.1.3 KLASIFIKASI

Berdasarkan patofisiologi atelektasis dibagi menjadi atelektasis obstruktif


dan non-obstruktif. Atelektasis obstruktif disebut juga dengan atelaktasis resorbtif.
Atelektasis non obstruktif terdiri dari relaxation atelektasis (passive atelectasis),
compressive atelectasis, adhesive atelektasis, cicatrization atelectasis.3
Untuk tujuan deskriptif, atelektasis dapat dibagi menjadi tipe segmental,
lobar, subsegmental, platelike, linier atau discoid.7
2.1.4 ETIOLOGI
Ateleksasis dapat disebabkan oleh berbagai macam kelainan disekitar
paru, yaitu :
1. Penyumbatan/obstruksi pada bronkus.
Penyumbatan dapat terjadi secara intrinsik (tumor pada bronkus, benda asing,
cairan sekresi yang massif) ataupun penyumbatan pada bronkus akibat
penekanan dari luar bronkus (tumor di sekitar bronkus,ataupun pembesaran
kelenjar limfe).
2. Tekanan ekstra pulmoner.
Biasa diakibatkan oleh karena pneumothoraks, adanya cairan pleura,
peninggian diafragma, herniasi organ abdomen ke rongga thoraks, dan tumor
intra thoraks tapi ekstra-pulmoner (tumor mediastinum).
3. Paralisis atau paresis gerakan pernafasan.
Hal ini akan menyebabkan perkembangan paru yang tidak sempurna, misalnya
pada kasus poliomyelitis, dan kelainan neurological lainnya. Gerak napas yang
terganggu akan mempengaruhi kelancaran pengeluaran sekret dalam bronkus
dan akhirnya akan memperberat keadaan atelektasis.
4. Hambatan gerakan pernafasan oleh kelainan pleura atau trauma thoraks yang
menahan rasa sakit. Keadaan ini juga akan menghambat pengeluaran sekret
bronkus yang dapat menyebabkan atelektasis yang lebih berat.
5. Adhesif atelektasis.
Hal ini merujuk pada atelektasis non-obstruktif, dapat terjadi apabila
permukaan luminal dinding alveoli melekat satu dengan lain. Merupakan
komponen penting pada khususnya respiratory distress syndrome pada bayi

baru lahir (HMD), dan emboli paru, namun dapat pula terjadi akibat
pneumonitis akibat radiasi.
6. Sikatriks atelektasis merupakan akibat utama dari fibrosis dan pembentukan
jaringan parut (infiltrasi) di dalam ruang intraalveolar dan intertisialis
(pneumonitis intertisialis), umumnya berhubungan dengan tuberkulosis
paru.2,3,7,8
Rounded atelektasis merupakan bentuk yang tidak biasa dari kolaps paru,
biasanya terjadi berdekatan dengan bekas luka pada pleura dan dapat keliru
dengan kanker paru-paru. Kebanyakan pasien dengan rounded atelektasis
memiliki riwayat paparan asbes. Namun, TBC, infark paru, sindrom
postpericardiotomy, keganasan, dan gagal jantung semuanya terlibat dalam
pembentukannya.9
2.1.5 PATOFISIOLOGI
Atelektasis obstruktif berhubungan dengan obstruksi bronkus, kapiler
darah akan mengabsorbsi udara di sekitar alveolus, dan menyebabkan retraksi
paru dan akan terjadi kolaps dalam beberapa jam. Pada stadium awal, darah
melakukan perfusi paru tanpa udara, hal ini mengakibatkan ketidakseimbangan
ventilasi dan perfusi sehingga arterial mengalami hipoksemia. Jaringan hipoksia
hasil dari transudasi cairan ke dalam alveoli menyebabkan edema paru, yang
mencegah atelektasis komplit. Ketika paru-paru kehilangan udara, bentuknya akan
menjadi kaku dan mengakibatkan dyspnea, jika obstruksi berlanjut dapat
mengakibatkan fibrosis dan bronkhiektasis.2,3
Pada atelektasis non-obstruktif penyebab utama yaitu oleh karena tidak
adanya hubungan antara pleura viseralis dan pleura parietalis. Efusi pleura
maupun pneumothorax menyebabkan atelektasis pasif. Efusi pleura yang

mengenai lobus bawah lebih sering dibanding dengan pneumothorax yang sering
menyebabkan kolaps pada lobus atas. Atelektasis adhesive lebih sering
dihubungkan dengan kurangnya surfaktan. Surfaktan mengandung phispolipid
dipalmitoy phosphatidyicholine, yang mencegah kolaps paru dengan mengurangi
tegangan permukaan alveoli. Berkurang atau tidaknya produksi surfaktan biasanya
terjadi pada ARDS, pneumonitis radiasi, ataupun akibat trauma paru sehingga
alveoli tidak stabil dan kolaps. Kerusakan parenkim paru pun dapat menyebabkan
atelektasis sikatrik yang membuat tarikan tarikan yang bila terlalu banyak
membuat paru kolaps, sedangkan replacement atelektasis dapat disebabkan oleh
tumor seperti bronchialveolar carcinoma.2,3
Platlike atelektasis (Focal atelectasis) disebut juga discoid atau
subsegmental atelektasis, tipe ini sering ditemukan pada penderita obstruksi
bronkus dan didapatkan pada keadaan hipoventilasi, emboli paru, infeksi saluran
pernafasan bagian bawah dengan horizontal atau platlike. Atelektasis minimal
dapat terjadi karena ventilasi regional yang tidak adekuat dan abnormalitas
formasi surfaktan akibat hipoksia, iskemia, hiperoxia, dan ekspos berbagai
toksin.2,3
Atelektasis merupakan komplikasi yang umum terjadi pada pasien yang
melakukan anestesi ataupun bedah yang dapat menyebabkan atelektasis karena
disfungsi dari diafragma dan berkurangnya aktivitas suarfactan. Atelektasis ini
biasanya pada bagian basal paru ataupun segmen tertentu.3,8
2.1.6 DIAGNOSIS
Gambaran klinis sebagian besar berhubungan dengan kelainan yang
mendasarinya, sebagian tampak seperti keadaan normal, namun pada sejumlah

kasus, terutama kasus akut dapat berupa batuk non produktif, nyeri dada, sesak
napas, sianosis, hipotensi, takikardi, demam dan syok.3,5,10
Pada inspeksi tampak cekungan atau bagian yang tertinggal pada daerah
yang sakit, palpasi terdapat penurunan fremitus, trakea, dan jantung mengalami
shift ke daerah yang sakit, pada perkusi suara lebih redup dan pada auskultasi
ditemukan menghilangnya bunyi nafas. 3
Pemeriksaan radiologis yang dapat dilakukan adalah foto thorax, CT-Scan
dan MRI. Foto Thorax merupakan jenis pemeriksaan yang paling banyak
dilakukan pada anak-anak sehingga interpretasi yang benar menjadi sangat
penting untuk diagnosis yang tepat dan menghindari pengobatan yang tidak di
perlukan akibat tehnik radiografi dan variasi normal. Yang paling umum
dilakukan dengan posisi PA dan Lateral. Foto thorax posisi lateral bertujuan untuk
melihat letak atelektasis, apakah anterior ataukah posterior agar mempermudah
mengetahui lobus paru bagian mana yang mengalami kolaps. Foto thorax dapat
mendiagnosis platelike atelektasis, post operative atelektasis, dan rounded
atelektasis yang mengikuti jalannya ateletasis tersebut, dan juga untuk
menentukan apakah penanganan seperti chest fisioterapi memberikan hasil yang
baik atau tidak.11,12

Gambar 8. Lobar Kolaps. (a).Kolaps lobus kanan atas. (b). Kolaps lobus
medius kanan. (c). Kolaps Lobus bawah kanan. (d). Kolaps lobus kiri atas.
(e). Kolaps lobus kiri bawah.
Pada foto polos thorax dan CT scan dapat menunjukkan direct sign
maupun indirect sign dari suatu lobar atelektasis. Foto polos thorax memiliki
sensitivitas tinggi ketika tanda-tanda langsung (direct sign) atelektasis dapat di
deteksi dan tanda-tanda tidak langsung (indirect sign) dapat menguatkan diagnosis
atelektasis. Tanda tanda langsung atelektasis :
1. Pergeseran dari fissure interlobar. Fissura minor pada RUL kolaps biasanya
cembung pada aspek superior dan bisa juga cekung karena adanya lesi massa yang
mendasarinya sehingga tampak gambaran Golden S sign atau S sign of Golden.
2. Peningktan dentitas/opasitas dari collaps paru. 3
Tanda-tanda indirect berupa :
1. displascement hilum,
2. mediastinum bergeser ke sisi yang kolaps,
3. loss volume pada hemithorax ipsilateral,
4. elevasi dari diafragma ipsilateral.Tenting dari pleura diafragma di sebut juga
juxta phrenic peak sign, suatu tanda yang dapat membantu adanya RUL
atelektasis, 5. kompensasi hiperlusensi pada lobus yang tersisa.
6. Sillhoute dari diafragma dan batas jantung.
Namun ada beberapa kasus pada temuan radiografi dada yang tidak
diagnostic misalnya adanya cairan pleura bersamaan dengan massa paru yang
besar. Dalam kasus tersebut dibutuhkan CT Scan untuk pencitraan selanjutnya.
Modalitas ini juga berguna untuk mengevaluasi mediastinum, dinding dada, hilus,
pleura dan kondisi parenkim paru sekitarnya. Ketika ada opasitas di basal
hemithorax dan tanda-tanda ateletasis tidak begitu jelas maka CT scan thorax
sangat membantu untuk menentukan opasitas tersebut suatu cairan efusi atau
atelektasis.
Pemeriksaan CT scan secara akurat menggambarkan proses penyakit pada
saluran udara kecil dan kadang-kadang dapat mendiagnosis secara spesifik

beberapa kemungkinan klinis yang relevan. Pada pasien dengan asma pada
gambaran CT scan dapat menunjukkan penebalan dinding saluran nafas, adanya
plug pada saluran udara besar maupun kecil, atelektasis subsegmental dan air
trapping sedangkan emfisema jarang terlihat bahkan pada pasien asma berat
sekalipun.13
Pemeriksaan CT Scan adalah modalitas tambahan yang membantu
mengidentifikasi dan melokalisir lesi obstruksi bronchial. Korelasi dengan foto
polos dada membantu evaluasi pemeriksaan yang cermat pada mediastinum,
hilum dan pleura.14
2.1.7 PENATALAKSANAAN
Tujuan pengobatan adalah untuk mengeluarkan dahak dari paru-paru dan
kembali mengembangkan jaringan paru yang terkena. Tindakan yang biasa
dilakukan adalah berbaring pada sisi paru-paru yang sehat sehingga paru-paru
yang terkena kembali bisa mengembang, menghilangkan penyumbatan baik
melalui

bronkoskopi

maupun

prosedur

lainnya,

latihan

menarik

nafas

dalam( spirometri insentif ), perkusi (menepuk-nepuk) dada untuk mengencerkan


dahak, postural drainase, antibiotik diberikan untuk semua infeksi, pengobatan
tumor atau keadaan lainnya, pada kasus tertentu apabila infeksinya bersifat
menetap atau berulang, menyulitkan atau menyebabkan perdarahan, maka
biasanya bagian paru- paru yang terkena mungkin perlu diangkat, setelah
penyumbatan dihilangkan secara bertahap biasanya paru-paru yang mengempis
akan kembali mengembang dengan atau tanpa pembentukan jaringan parut
ataupun kerusakan lainnya. 4
2.1.8 PENCEGAHAN
Ada beberapa cara yang bisa dilakukan untuk mencegah terjadinya
atelektasis yaitu 1. Setelah menjalani pembedahan, penderita harus didorong

untuk bernafas dalam, batuk teratur dan kembali melakukan aktivitas secepat
mungkin, 2. Seseorang dengan kelainan dada atau keadaan neurologis yang
menyebabkan pernafasan dangkal dalam jangka lama, mungkin akan lebih baik
bila menggunakan alat bantu mekanis untuk membantu pernafasan. Mesin ini
akan menghasilkan tekanan terus-menerus ke paru-paru, sehingga meskipun pada
akhir dari suatu pernafasan, saluran pernafasan tidak dapat menciut. 2,3
2.1.9 PROGNOSIS
Prognosis tergantung pada penyebab, umur, komplikasi yang terjadi dan
managemen terhadap penyakit. Umumnya baik pada atelektasis post operasi dan
buruk pada kanker tingkat lanjut.2,15 Pada orang dewasa bila atelektasis terjadi
pada sebagian kecil lapangan paru biasanya dapat mengancam jiwa. Sebagai
kompensasi bagian paru yang masih berfungsi dengan baik akan menyediakan
oksigen yang cukup untuk seluruh tubuh.2,15
Atelektasis yang besar akan berbahaya, terutama pada bayi,anak kecil, atau
pada mereka yang mempunyai penyakit paru. Biasanya terjadi perbaikan secara
bertahap bila obstruksi telah dihilangkan. Bagaimana pun juga, pemulihan akan
meninggalkan bekas parut (fibrosis).2
2.1.10

KOMPLIKASI
Pnemonia bisa diakibatkan oleh berkurangnya oksigen dan kemampuan

paru untuk mengembang sehingga secret mudah tertinggal dalam alveolus dan
mempermudah menempelnya kuman dan mengakibatkan terjadinya peradangan
pada paru.
Hypoxemia dan gagal napas bila keadaan atelektasis dimana paru tidak
mengembang dalam waktu yang cukup lama dan tidak terjadi perfusi ke jaringan
sekitar yang cukup maka dapat terjadi hypoxemia hingga gagal napas. Bila paru

yang masih sehat tidak dapat melakukan kompensasi dan keadaan hipoksia mudah
terjadi pada obstruksi bronkus. 3
Sepsis dapat terjadi bila penyebab atelektasis itu sendiri adalah suatu
proses infeksi, dan bila keadaan terus berlanjut tanpa diobati maka mudah terjadi
sepsis karena banyak pembuluh darah di paru, namun bila keadaan segera
ditangani keadaan sepsis jarang terjadi.
Bronkiektasis terjadi ketika paru-paru kehilangan udara, bentuknya akan
menjadi kaku dan mengakibatkan dyspnea, jika obstruksi berlanjut dapat
mengakibatkan fibrosis dan bronkiektasis.3
2.1.11 DIAGNOSIS BANDING
Opasitas di paru-paru dapat disebabkan oleh konsolidasi pneumonia,
atelektasis, neoplasma maupun terkumpulnya cairan. Kadang-kadang opasitas ini
sulit dibedakan, bahkan dua proses dapat saling berdampingan. Pneumonia lobaris
dapat mengaburkan (silluet) mediastinum dan meniru gambaran atelektasis tetapi
tidak ada pergeseran fissure interlobar maupun mediastinum.7
Umumnya massa di paru-paru anak sebenarnya merupakan sebuah
pseudomassa yang disebabkan oleh rounded pneumonia. Opasitas begitu
sempurna membulat yang mirip dengan neoplasma, tindak lanjutnya adalah
dilakukan foto evaluasi setelah 15 hari untuk melihat apakah massa menghilang
atau tidak.7
Neoplasma paru primer pada anak-anak jarang terjadi dan yang banyak
terjadi adalah ekstensi dari struktur mediastinum atau disebabkan oleh kelainan
pada diafragma dan di luar paru. Pada kasus, diagnosis di kelirukan dengan
thymus prominent yang memberikan gambaran opasitas di lobus superior pulmo
kanan.
2.2 TUBERKULOSIS PARU
2.2.1 Patogenesis21

Paru merupakan port dentree lebih dari 98% kasus infeksi TB. Kuman
TB dalam percik renik (droplet nuclei) yang ukurannya sangat kecil (<5 m),
akan terhirup dan dapat mencapai alveolus.. Pada sebagian kasus, kuman TB
dapat dihancurkan seluruhnya oleh mekanisme imunologis nonspesifik, sehingga
tidak terjadi respons imunologis spesifik. Akan tetapi, pada sebagian kasus
lainnya, tidak seluruhnya dapat dihancurkan. Pada individu yang tidak dapat
menghancurkan seluruh kuman, makrofag alveolus akan memfagosit kuman TB
yang sebagian besar dihancurkan. Akan tetapi, sebagian kecil kuman TB yang
tidak dapat dihancurkan akan terus berkembang biak di dalam makrofag, dan
akhirnya menyebabkan lisis makrofag. Selanjutnya, kuman TB membentuk lesi di
tempat tersebut, yang dinamakan fokus primer Ghon.
Dari fokus primer Ghon, kuman TB menyebar melalui saluran limfe
menuju kelenjar limfe regional, yaitu kelenjar limfe yang mempunyai saluran
limfe ke lokasi fokus primer. Penyebaran ini menyebabkan terjadinya inflamasi di
saluran limfe (limfangitis) dan di kelenjar limfe (limfadenitis) yang terkena. Jika
fokus primer terletak di lobus bawah atau tengah, kelenjar limfe yang akan terlibat
adalah kelenjar limfe parahilus (perihiler), sedangkan jika fokus primer terletak di
apeks paru, yang akan terlibat adalah kelenjar paratrakeal. Gabungan antara fokus
primer, limfangitis, dan limfadenitis dinamakan kompleks primer (primary
complex).
Waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman TB hingga terbentuknya
kompleks primer secara lengkap disebut sebagai masa inkubasi. Hal ini berbeda
dengan pengertian masa inkubasi pada proses infeksi lain, yaitu waktu yang
diperlukan sejak masuknya kuman hingga timbulnya gejala penyakit. Masa

inkubasi TB bervariasi selama 212 minggu, biasanya berlangsung selama 48


minggu. Selama masa inkubasi tersebut, kuman berkembang biak hingga
mencapai jumlah 103104, yaitu jumlah yang cukup untuk merangsang respons
imunitas selular.
Pada saat terbentuknya kompleks primer, TB primer dinyatakan telah
terjadi. Setelah terjadi kompleks primer, imunitas selular tubuh terhadap TB
terbentuk, yang dapat diketahui dengan adanya hipersensitivitas terhadap
tuberkuloprotein, yaitu uji tuberkulin positif. Selama masa inkubasi, uji tuberkulin
masih negatif. Pada sebagian besar individu dengan sistem imun yang berfungsi
baik, pada saat sistem imun selular berkembang, proliferasi kuman TB terhenti.
Akan tetapi, sejumlah kecil kuman TB dapat tetap hidup dalam granuloma. Bila
imunitas selular telah terbentuk, kuman TB baru yang masuk ke dalam alveoli
akan segera dimusnahkan oleh imunitas selular spesifik (cellular mediated
immunity, CMI).
Setelah imunitas selular terbentuk, fokus primer di jaringan paru biasanya
akan mengalami resolusi secara sempurna membentuk fibrosis atau kalsifikasi
setelah terjadi nekrosis perkijuan dan enkapsulasi. Kelenjar limfe regional juga
akan mengalami fibrosis dan enkapsulasi, tetapi penyembuhannya biasanya tidak
sesempurna fokus primer di jaringan paru. Kuman TB dapat tetap hidup dan
menetap selama bertahun-tahun dalam kelenjar ini, tetapi tidak menimbulkan
gejala sakit TB.
Kompleks primer dapat juga mengalami komplikasi akibat fokus di paru
atau di kelenjar limfe regional. Fokus primer di paru dapat membesar dan
menyebabkan pneumonitis atau pleuritis fokal. Jika terjadi nekrosis perkijuan

yang berat, bagian tengah lesi akan mencair dan keluar melalui bronkus sehingga
meninggalkan rongga di jaringan paru (kavitas).
Kelenjar limfe hilus atau paratrakeal yang mulanya berukuran normal pada
awal infeksi, akan membesar karena reaksi inflamasi yang berlanjut, sehingga
bronkus dapat terganggu. Obstruksi parsial pada bronkus akibat tekanan eksternal
menimbulkan hiperinflasi di segmen distal paru melalui mekanisme ventil (ballvalve mechanism). Obstruksi total dapat menyebabkan atelektasis. Kelenjar yang
mengalami inflamasi dan nekrosis perkijuan dapat merusak dan menimbulkan
erosi dinding bronkus, sehingga menyebabkan TB endobronkial atau membentuk
fistula. Massa kiju dapat menimbulkan obstruksi komplit pada bronkus sehingga
menyebabkan gabungan pneumonitis dan atelektasis, yang sering disebut sebagai
lesi segmental kolaps-konsolidasi.
Selama masa inkubasi, sebelum terbentuknya imunitas selular, dapat
terjadi penyebaran limfogen dan hematogen. Pada penyebaran limfogen, kuman
menyebar ke kelenjar limfe regional membentuk kompleks primer, atau berlanjut
menyebar secara limfohematogen. Dapat juga terjadi penyebaran hematogen
langsung, yaitu kuman masuk ke dalam sirkulasi darah dan menyebar ke seluruh
tubuh. Adanya penyebaran hematogen inilah yang menyebabkan TB disebut
sebagai penyakit sistemik.
Penyebaran hematogen yang paling sering terjadi adalah dalam bentuk
penyebaran hematogenik tersamar (occult hematogenic spread). Melalui cara ini,
kuman TB menyebar secara sporadik dan sedikit demi sedikit sehingga tidak
menimbulkan gejala klinis. Kuman TB kemudian akan mencapai berbagai organ
di seluruh tubuh, bersarang di organ yang mempunyai vaskularisasi baik, paling

sering di apeks paru, limpa, dan kelenjar limfe superfisialis. Selain itu, dapat juga
bersarang di organ lain seperti otak, hati, tulang, ginjal, dan lain-lain. Pada
umumnya, kuman di sarang tersebut tetap hidup, tetapi tidak aktif (tenang),
demikian pula dengan proses patologiknya. Sarang di apeks paru disebut dengan
fokus Simon, yang di kemudian hari dapat mengalami reaktivasi dan terjadi TB
apeks paru saat dewasa.
Bentuk penyebaran hematogen yang lain adalah penyebaran hematogenik
generalisata akut (acute generalized hematogenic spread). Pada bentuk ini,
sejumlah besar kuman TB masuk dan beredar di dalam darah menuju ke seluruh
tubuh. Hal ini dapat menyebabkan timbulnya manifestasi klinis penyakit TB
secara akut, yang disebut TB diseminata. Tuberkulosis diseminata ini timbul
dalam waktu 26 bulan setelah terjadi infeksi. Timbulnya penyakit bergantung
pada jumlah dan virulensi kuman TB yang beredar serta frekuensi berulangnya
penyebaran. Tuberkulosis diseminata terjadi karena tidak adekuatnya sistem imun
pejamu (host) dalam mengatasi infeksi TB, misalnya pada anak bawah lima tahun
(balita) terutama di bawah dua tahun.
Bentuk penyebaran yang jarang terjadi adalah protracted hematogenic
spread. Bentuk penyebaran ini terjadi bila suatu fokus perkijuan di dinding
vaskuler pecah dan menyebar ke seluruh tubuh, sehingga sejumlah besar kuman
TB akan masuk dan beredar di dalam darah. Secara klinis, sakit TB akibat
penyebaran tipe ini tidak dapat dibedakan dengan acute generalized hematogenic
spread.

BAB IV
DISKUSI

Dilaporkan suatu kasus seorang pasien laki-laki umur 4 tahun 5 bulan,


dengan diagnosis atelektasis paru dextra ec TB paru. Diagnosis ini ditegakkan
berdasarkan anamnesi, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.
Dari anamnesis diketahui bahwa anak sesak napas sejak 1 tahun yang
lalu, sesak bertambah saat beraktifitas, sesak tidak dipengaruhi cuaca dan
makanan, sesak tidak disertai bunyi menciut. Batuk sejak 1 tahun yang lalu,
berdahak, tidak disertai pilek, dada kanan tampak menonjol sejak 1 tahun yang
lalu, sering berkeringat terutama malam hari sejak 1 tahun yang lalu, berat

badan tidak naik-naik sejak 2 tahun yang lalu. Anak tidak pernah sesak napas
sebelumnya dan riwayat kontak dengan penderita batuk-batuk lama disangkal.
Dari pemeriksaan fisik ditemukan pada thoraks tampak bentuk dada
pigeon chest, asimetris, gerakan dada kanan tertinggal, fremitus kanan meningkat
dibandingkan kiri, hemithoraks kanan pekak, hemithoraks kanan = suara napas
melemah dari RIC IV ke bawah, kiri = vesikuler, rhonki -/-, wheezing -/-, dan
pada jantung ditemukan ictus cordis bergeser ke LMCD RIC V dan batas jantung
sukar dinilai.
Dari pemeriksaan penunjang radiologi tampak pada foto thoraks yaitu
adanya atelektasis paru dextra dan pada CT Scan tampak TB paru dengan
atelektasis. Mantoux test pada pasien ini postif, dengan indurasi 15 mm. Pasien
diberikan OAT dan prednison serta diet MB 1200 kkal.
Atelektasis yang terjadi pada pasien ini merupakan komplikasi dari TB
paru yang belum diobati. Mekanisme terjadinya atelektasis pada pasien TB paru
yaitu berasal dari kelenjar limfe hilus atau paratrakeal yang mulanya berukuran
normal pada awal infeksi, akan membesar karena reaksi inflamasi yang berlanjut,
sehingga bronkus dapat terganggu. Obstruksi parsial pada bronkus akibat tekanan
eksternal menimbulkan hiperinflasi di segmen distal paru melalui mekanisme
ventil (ball-valve mechanism). Obstruksi total pada bronkus menyebabkan
atelektasis. TB paru harus diobati tuntas terlebih dahulu agar obstruksi pada
bronkus yang menyebabkan atelektasis dapat berkurang sehingga paru bisa
mengembang secara sempurna.

DAFTAR PUSTAKA

1.

Haller J.O, Slovis T.L, Joshi, A. Chest Examinations In Children, In :


Pediatric Radiology. 3rd ed. Spinger-Verlag Heidelberg New York. 2005; 25
62.

2.

Sharma.Lobar

Atelectasis

Imaging.

Available

from

http://emedicine.medscape.com. Last update: May 27, 2011. Accesed on


September 19, 2013.
3.

Madappa T. Atelectasis. Available from http://emedicine.medscape.com. Last


update: Mar 30, 2012. Accesed on Oktober 21,2013.

4.

Hammon W and Martin RJ. Chest Physical Therapy For Acute Atelectasis : A
Report On Its Effectiveness. PHYS THER. 1981; 61: 217-220

5.

Anonyms. Atelectasis. Available from www.mayoclinic.com. Accesed on


November 11, 2013.

6.

Mendoza J. Lung Anatomy. Available from http://emedicine.medscape.com.


Last update: Feb 20, 2013. Accesed on October 12, 2013.

7.

Woodring JH, Reed JC. Types and mechanisms of Pulmonary Atelectasis. J


Thorac Imaging. 1996 Spring;11(2):92-108

8.

Duggan M, Kovonagh B.P. Pulmonary Atelectasis : A Pathogenic


Peroperative Entity. Anesthesiology. 2005;102:838-854.

9.

Teel GS, Engeler CE, Tashijian JH, Ducret RP. Imaging of Small Airways
Disease. Radiographics. 1996; 16 : 27-41

10. Raman TS, Mathew S, Ravikumar, Garcha PS. Atelectasis in Children. Indian
Pediatrics.1998;35(5):439-35.
11. Arthur Rosemary. Interpretation of The Paediatric chest X-ray. Current
Paediatric. 2003;13:438-447.
12. Delrue L et..all. Difficulties In The Interpretation of Chest Radiographic.
Medical Radiology.2011;12 :27-49
13. Teel GS, Engeler CE, Tashijian JH, Ducret RP. Imaging of Small Airways
Disease. Radiographics. 1996; 16 : 27-41
14. Haroon A et all. Differential Diagnosis of Non-Segmental Consolidation, J
Pulmon Resp Med. 2013: 1-6.doi : 10.4172/2161-105X.58-001.
15. Ashizawa K, et all.Lobar Atelectasis : Diagnosis Pitfalls On Chest
Radiography. The British Journal of Radiology. 2001; 74 : 89-97
16. Nasseri F, Eftekhari F. Clinical and Radiologic Review of The Normal and
Abnormal Thymus : Pearls and Pitfalls. Radiographics.2010; 30 : 413 428.

17. Nishino et all. The Thymus : A Comprehensive Review. Radiographic.2006;


26: 335-48
18. Kim OH, Kim WS, Kim MF, Fung FY, Suh FH. US In The Diagnosis of
pediatric Chest Disease. Radiographic. 2000;20:653-671
19. Tooke, et all. Thimic Size at Birth In Preterm Infants With Severe Respiratory
Distress Syndrome Can be Used to Predict the Likelihood of Survival : A
Retrospective Cohort Studi. SA Journal of Child Health. 2010 ; 4 : 50 53.
20. Woodring JH. Determining The Cause of Pulmonary Atelectasis : A
comparison On Plain Radiographic and CT. AJR.1988;150:757-63.
21. Rahajoe N, Setyanto DB. Patogenesis dan Perjalanan Ilmiah Tuberkulosis.
Dalam: Buku Ajar Respirologi Anak. IDAI. Jakarta. 2010:169-77.

Anda mungkin juga menyukai