Anda di halaman 1dari 26

Balon Keinginan

Setiap

warga

kerajaan

Khayali

bisa

mendapatkan

apa

saja yang mereka inginkan. Di sebelah timur istana Raja Don ada sebuah ruangan ajaib. Kamar
Keinginan namanya. Kamar itu sangat luas. Di langit-langitnya yang tinggi terdapat Balon-Balon
Keinginan berwarna-warni. Besar, kecil, berterbangan dan bergerak bebas. Permukaaan balon-balon
itu berkilauan. Kalau saling bertabrakan akan memantul-mantul. Setiap warga Khayali boleh
memasuki kamar itu. Jika membayar dua keping, mereka bisa menyewa alat penangkap balon.
Warga tidak boleh membawa alat sendiri.
Berbagai macam balon keinginan ada di situ. Asal sabar, siapa saja bisa meraih balonbalon tersebut. Balon berisi keinginan yang mudah dikabulkan biasanya melayang lebih rendah.
Gerakannya juga lebih lamban. Tipo kecil adalah warna kerajaan Khayali. Ia sering berkhayal
memiliki dua keping uang. Ia ingin menangkap balon Pembuat PR. Supaya ia tak perlu
mengerjakan PR-nya setiap hari. Namun, Tipo merasa heran melihat ayahnya. Ayah Tipo, Pak
Seblu, tidak tertarik pada balon keinginan. Pada suatu hari, Pak Seblu dipanggil menghadap Raja
Don. Raja Don memerintahnya untuk membuat Gapura Istana yang baru. Gapura itu harus lebih
bagus dan megah. Pak Seblu memang sudah biasa merancang rumah dan taman. Tapi baru kali ini
mendapat pesanan dari Raja. Pak Seblu senang, tapi juga gugup dan takut akan mengecewakan Raja
Don.
Tiga hari Pak Seblu melamun saja di bawah pohon halaman Istana. Kertas dan pena
tergeletak di sampingnya. Setelah itu, Pak Seblu mengurung diri di ruang kerjanya. Hanya sesekali
ia keluar. Kumis dan jenggotnya memanjang tak terurus. Tipo kesepian, karena biasanya ia
bercanda dan mengobrol dengan ayahnya. Untung ibunya tahu kesepian hati Tipo. Setiap sore, saat
ayahnya

di

ruang

kerja,

Tipo

berjalan-jalan

dengan

Ibu.

Bu, kenapa Ayah tidak mengambil saja balon keinginan Gapura Baru Istana? Supaya Ayah tak
perlu susah-susah bekerja.
Ibu tersenyum sedikit, lalu berkata, Tipo, jawaban pertanyaan itu harus kamu temukan
sendiri. Semua warga negeri ini harus menemukan jawaban masalahnya sendiri. Kalau belum
mendapatkannya, dia tidak akan pernah menjadi dewasa. Mendengar jawaban itu, Tipo hanya

diam. Ia tidak mengerti maksud perkataan ibunya. Suatu sore, Tipo mengisi waktunya dengan
menyusun pasel dari Paman Miwin. Pasel kayu itu susah sekali. Tapi menurut gambar petunjuknya,
pasel

itu

akan

membentuk

gambar

jembatan

gantung

yang

indah

sekali.

Esoknya, ayah Tipo sudah bercukur rapi. Dengan wajah berseri Pak Seblu berkata bahwa gambar
rancangannya sudah selesai. Sambil sarapan ayah Tipo berkata ia akan menghadap Raja. Tipo
senang sekali. Ah, Ayah akan segera bisa menemaniku membuat pasel itu, pikirnya.
Di

jalan sepulang

sekolah Tipo

menemukan

sekeping

uang. Wow,

ini

hari

keberuntunganku, serunya. Tetapi di rumah, Ayah belum pulang dari istana. Sampai petang juga
belum. Akhirnya ketika Tipo sudah mengatuk barulah Ayah pulang. Rupanya Raja Don menyetujui
rancangan Pak Seblu. Dan langsung menyuruh Pak Seblu untuk mempersiapkan bahan bangunan
dan pekerjanya.
Tipo tidur dengan gelisah. Ayah pasti akan sibuk lagi sampai Gapura itu selesai,
keluhnya. Bangun tidur, dipandanginya pazel yang setengah jadi itu. Rasanya Tipo ingin
menendangnya. Mula-mula ia memang senang mengerjakannya. Tetapi sekarang ia menemukan
bagian yang sulit. Tipo ingin dibantu ayahnya. Sambil bersiap ke sekolah Tipo melamun. Lalu, Aha,
aku tahu! Ia berlari menemui Ibu dan meminta uang, Satu kepiiiiing, saja Bu, boleh ya? rayunya.
Ibu ingin menggembirakan hati Tipo, jadi ia memberikan satu keping. Tipo punya rencana.
Sepulang sekolah, ia pergi ke Kamar Keinginan. Ia ingin menangkap balon Gapura Baru Istana
supaya tugas Bapak segera selesai. Dimasukinya Kamar Keinginan itu dengan takjub. Kamar itu
lebih indah dari cerita orang kepadanya. Pak Penjaga tersenyum-senyum melihat Tipo masih
melongo. Nak, ini tangga dan jaringnya. Maaf, saya hanya boleh membantu sampai di pintu saja,
katanya. Selamat, semoga keinginanmu tercapai, Nak. Lalu ditutupnya pintu besar itu. Bam!
Tipo repot menggeret tangga dan mengempit jaring yang lebih panjang dari tubuhnya.
Dipanjatnya tangga di tengah ruangan. Matanya mencari-cari. Tak lama kemudian ia melihat balon
Gapura sedang melayang menjauh. Susah payah diraihnya dengan jaring. Tidak berhasil.
Dilihatnya balon Pembuat PR lewat. Dia tak mau balon itu. Tipo akhirnya merasa lelah. Ia
berbaring di lantai, beristirahat. Kemudian dicobanya lagi. Sampai pegal leher dan lengannya, tapi
balon Gapura itu tak juga tertangkap. Ia tak mau menyerah. Ia ingin membebaskan ayahnya dari
kerja kerasnya. Akhirnya yang tertangkap malah balon kecil bertulisan Pasel Selesai. Ingin
dilepasnya lagi balon ini, dan menangkap balon Gapura itu. Tapi dia sudah sangat lelah.
Diputuskannya untuk membawa balon itu pulang. Daripada uang dua kepingnya habis percuma.
Sampai di rumah, Ibu dan Ayah sudah cemas menunggunya. Mereka menemani Tipo ke
kamarnya. Dan ajaib betul! Pasel jembatan itu sudah jadi! Indah sekali, tapi anehnya Tipo tidak
terlalu senang. Ah, lebih jika aku sendiri yang berhasil menemukan keping pasel yang tepat. Lebih
puas! katanya. Sudah mulai besar anak kita, ya? kata Ayah tersenyum pada Ibu. Sudah tahu
kalau

bersusah

payah

mencapai

keinginan

akan

lebih

memuaskan.

Sebetulnya, di Kamar Keinginan itu aku juga bekerja keras, lo, Yah, Bu. Padahal kupikir
menangkap Balon Keinginan itu gampang, celetuk Tipo. Mereka bertiga pun tertawa terbahak.

Mengapa Beo Selalu Menirukan Suara


Dahulu kala, hewan-hewan di hutan bisa berbicara seperti manusia. Mereka bercakap,
bekerja sambil bercakap, juga hidup rukun dan damai. Pada suatu hari Ibu Peri Penjaga Hutan
mengumpulkan penghuni rimba. Ia berkata, Anak-anakku, Sang Pencipta telah menciptakan
makhluk baru. Namanya manusia. Sang Pencipta memutuskan bahwa manusialah yang akan
berbicara dengan bahasa kita. Dan kita diperintahkan untuk mencari bahasa dan suara baru untuk
kita pakai mulai saat ini.
Pada mulanya para penghuni rimba terkejut. Namun mereka sadar bahwa tidak mungkin
menolak kehendak Sang Pencipta.
Ibu Peri Penjaga Hutan, kami tunduk kepada kehendak Sang Pencipta. Tapi sekarang
kami belum bisa mencari bahasa baru untuk kami pakai. Berilah kami waktu, ujar Singa mewakili
teman-temannya.
Aku mengerti. Kalian diberi waktu satu minggu. Kalian akan berkumpul lagi disini dan
memberitahu padaku bahasa apa yang kalian pilih. Setelah itu, pakailah bahasa serta suara itu, dan
lupakan bahasa manusia. Maka pulanglah penduduk hutan ke tempat masing-masing. Mereka
mulai berpikir keras untuk mencari suara yang gagah dan cocok untuk mereka masing-masing.
Begitulah, hari demi hari penduduk hutan sibuk bersuara. Mencari-cari suara yang akan mereka
pakai selanjutnya. Singa yang telah dinobatkan sebagai raja hutan karena keberaniannya, lebih
dahulu memilih suara mengaum. Aouuuuum, katanya dengan gagah memamerkan suaranya.
Penduduk hutan yang lain senang mendengarnya. Mereka merasa suara itu pas benar dengan
bentuk tubuh singa yang gagah.
Tapi tidak semua hewan senang mendengarnya. Burung Beo yang usil malah
menertawakan suara itu. Hahaha, mirip orang sakit gigi, cetus Beo sambil tertawa terbahakbahak. Singa sangat malu mendengarnya. Begitulah, hari berganti hari, semuanya mencoba
berbagai suara kecuali Beo. Ia sibuk mengejek suara-suara yang berhasil ditemukan.
Hahaha, seperti suara pintu yang tidak diminyaki, ejek Beo kepada Jangkrik yang
menemukan suara berderik.
Hahaha, kudengar nenek-nenek tertawa, ejeknya kepada Kuda. Ban siapa yang bocor?
Hahaha, ia menertawakan suara desis Ular. Begitulah pekerjaan Beo setiap hari. Ia sibuk
mengintip dan menertawakan penduduk hutan lainnya yang mencoba suara baru. Teman-temannya
tidak dapat berbuat apa-apa. Mereka malu dan langsung menghindar dari Beo. Tapi Beo selalu
berhasil menemukan dan menirukan suara mereka.
Mbeeeek, tirunya ketika melihat Kambing.
Ngok-ngooook, tirunya ketika melihat Babi.

Tak terasa sudah satu minggu. Penduduk hutan harus berkumpul kembali untuk
mengumumkan suara yang mereka pilih. Ibu Peri Penjaga Hutan memanggil mereka satu per satu.
Beo saja yang masih saja tertawa. Ia pikir teman-temannya bodoh, karena suara yang mereka
temukan lucu-lucu. Tibalah giliran Beo untuk mengumumkan suara barunya. Ia maju ke depan.
Mbeeeek,

jeritnya.

Hei

itu

suaraku,

kata

Kambing.

Yang

lain

tertawa.

Beo tertegun. Ia baru sadar, selama ini ia terlalu sibuk mengejek teman-temannya sehingga lupa
untuk mencari suaranya sendiri. Muuu,guk-guk,meong, Beo panik. Ia menirukan saja suara
yang pernah ia dengar. Tentu saja Sapi, Anjing, dan Kucing tertawa terbahak-bahak.
Beo sangat malu. Akhirnya ia menangis tersedu-sedu. Ia minta maaf kepada teman-temannya.
Dengan tersenyum Ibu Peri Penjaga Hutan berkata, Sudahlah, kamu akan tetap
kuhadiahkan sebuah suara. Tapi sebagai pelajaran, kau akan tetap menirukan suara orang, sehingga
kau akan ditertawakan selamanya. Begitulah riwayatnya, mengapa burung beo selalu menirukan
suara-suara.

Kasut Bidadari
Kasut Bidadari adalah nama sejenisAnggrek yang tumbuh di hutan. Kasut berarti sepatu.
Anggrek Kasut Bidadari yang tumbuh di tanah ini sangat indah. Bunganya seperti disulam dengan
benang emas. Tepiannya berwarna perak. Karena indahnya, ada dongeng tentang anggrek Kasur
Bidadari ini. Beginilah ceritanya Dahulu kala, di kerajaan kahyangan, ada tujuh puteri yang
sangat jelita. Nama-nama mereka diambil dari nama bunga. Mawar, Dahlia, Cempaka, Tanjung,
Kenanga, Cendana dan si bungsu Melati. Mereka masing-masing mempunyai kesukaan yang
berbeda.

Yang

paling

menonjol

dari

antara

mereka

adalah

si

bungsu

Melati.

Melati sangat suka bemain-main di hutan Rimba Hijau. Hutan itu sering dikunjungi manusia. Ayah
mereka berulang kali melarang Melati bermain di hutan itu. Sang ayah takut jika puterinya itu
bertemu dengan manusia.
Di rimba itu terdapat sungai dengan air terjun yang indah. Di saat Cuaca cerah, gemercik
airnya membias memantulkan sinar matahari. Sehingga terbentuklah warna-warna indah seperti
pelangi. Suatu hari Melati mengajak semua kakaknya ke Rimba Hijau. Mereka turun ke bumi
dengan meneliti pelangi. Mereka mengenakan pakaian dan sepatu yang indah. Setibanya di bumi,
mereka asyik bermain di air terjun. Sedang asyiknya mereka bermain, lewatlah seorang pemburu.
Ia sangat terkejut melihat ketujuh bidadari itu.
"Hei,

siapa

kalian?

Aku

belum

pernah

melihat

kalian!"

seru

pemburu

itu.

Ketujuh puteri itu sangat terkejut. Mereka langsung terbang melayang ke angkasa. Saking terburuburu, sebelah sepatu Melati jatuh ke bumi. Melati bermaksud mengambilnya. Namun kakakkakaknya melarangnya. Ketujuh bidadari itu lalu kembali meniti pelangi. Perlahan-lahan pelangi itu
pun mulai menghilang.

Pemburu tadi terpana menyaksikan kepergian ketujuh bidadari itu. Ia lalu memungut
sebelah sepatu Melati yang tadi terjatuh. Namun, sepatu itu tiba-tiba terjatuh lagi dari tangannya.
Pada saat itulah terjadi kejadian aneh. Sepatu tadi perlahan-lahan berubah menjadi bunga yang
indah.

Setiap

helai

kelopaknya

seperti

tersulam

dari

benang

emas

dan

perak.

"Aneh kasut tadi mengapa bisa menjadi bunga? Tentu ketujuh gadis tadi adalah bidadari"
gumam pemburu itu. "Karena berasal dari kasut, kunamakan saja bunga ini Kasut Bidadari,"
gumamnya lagi. Demikianlah Akhirnya sampai kini bunga itu dinamakan Kasut Bidadari.

Status Facebook
Ayo, Dit. Cepat matikan komputer. Ini sudah malam, Ibu mengingatkan. Walau libur, besok
kamu tetap harus bangun pagi.
Sebentar, Bu. Odit cuma mau update status, kok, jawab Odit.
Sudah dua bulan ini, Odit keranjingan Facebook. Setiap ada kesempatan, ia memeriksa
halaman Facebook-nya, mengupdate status, memberi komentar terhadap status teman-teman
dan mengupload foto-foto.
Masak, mau tidur aja perlu pemberitahuan ke seluruh teman-teman di FB? goda Ibu.
Bukan soal tidur, Bu. Odit nulis di status gini: Keren, bunga sakura lagi mekar dan sebagian
sudah mulai rontok.
Ibu mendekati Odit dan ikut membaca statusnya di halaman Facebook. Mana bunga
sakuranya?
Odit hanya tertawa. Ya... di Jepang sana. Dua hari kemudian, Odit mendapat kesempatan
untuk menggunakan internet. Dia terkejut melihat 27 komentar teman-temannya terhadap
status terakhir yang ditulisnya. Sebagian teman-temannya menyatakan kekaguman karena Odit
bisa berlibur ke Jepang. Lainnya berpesan agar Odit membawakan oleh-oleh dari Jepang.
Hah? Oleh-oleh dari Jepang? Memang di sana ada apa selain bunga sakura, gunung Fuji, dan
Doraemon? pikir Odit. Pengetahuan Odit tentang Jepang hanya sedikit.
Odit pun menambah komentar di statusnya. Ia mengetik titik dua dan kurung tutup. Kedua
tanda baca itu tampak sebagai ikon orang lagi tersenyum. Ah, biar saja mereka berpikir aku
lagi di Jepang, pikir Odit. Matanya berkilat-kilat jenaka dan senyum lebarnya mengembang.
Odit membuka halaman Google dan mengetik beberapa kata di bagian pencarian. Ia membuka
beberapa halaman situs dan akhirnya Odit menemukan foto Gunung Fuji yang masih ditutupi
lapisan salju tebal. Gambar Gunung Fuji di upload ke halaman Facebook-nya. Di bagian teks
gambar, Odit menambahkan kalimat G. Fuji memang keren. Gak ada matinya.
Baru dua menit ia meletakkan gambar Gunung Fuji, Reza, teman sekelasnya sudah menulis
komentar. Dit, kapan balik ke Jak?

Odit tersenyum membaca komentar Reza. Buru-buru diketiknya komentar balasan. Hai, Za.
Apa kabar? komentar Odit sama sekali tidak menjawab pertanyaan Reza. Sengaja.
Kemudian, datang lagi satu komentar baru. Kali ini komentar dari Surya. Ngapain aja di sana?
Berikut ada komentar dari Rahina, temannya di tempat kursus bahasa Inggris. Udah kemana
aja, Dit?
Odit tergelak. Odit menulis balasan. Banyak. Cerita lengkap menyusul. Odit berkata jujur. Ia
memang sudah mengunjungi banyak tempat, tetapi di Jakarta, bukan di Jepang.
Dit, panggil Ibu.
Odit langsung mematikan komputer dan menghampiri Ibu.
Tolong belikan Ibu kertas bungkus kado.
Berapa lembar, Bu? Tanya Odit.
Lima lembar. Pilihkan yang bergambar bunga. Ibu menyerahkan selembar uang dua puluh
ribu rupiah.
Beres, Bu, jawab Odit sambil tersenyum.
Baru saja beberapa langkah meninggalkan rumah, Odit melihat Ijul yang sedang bersepeda
menuju ke arahnya. Dit, sapa Ijul. Kapan pulang, Dit? Tanya Ijul sambil turun dari sepeda.
Odit tersenyum mendengar pertanyaan Ijul. Pulang dari mana?
Di Facebook, kamu nulis lagi di Jepang, jelas Ijul.
Yee, aku nggak pernah tulis itu, jawab Odit masih dengan senyum lebarnya. Aku hanya tulis
Gunung Fuji gak ada matinya.
Ijul diam. Dia mengingat-ingat status yang Odit tulis dalam minggu ini. Tiba-tiba Ijul tertawa.
Hahahahaha bener, Dit. Tetapi teman-teman mengira kamu lagi berlibur ke Jepang
hahahahaha
Itulah. Makanya jangan terlalu cepat bikin kesimpulan, hahahaha, kata Odit tertawa.

Datu Parngongo
Dulu di tanah Batak ada seorang raja bernama Datu Parngongo. Dia sangat dicintai rakyatnya
dan disegani teman-temannya.
Datu Parngongo mempunyai seorang anak laki-laki bernama Poda. Dia sangat saying kepada
anaknya itu.
Suatu hari Poda menyampaikan keinginannya untuk menjadi raja. Karena rasa sayang kepada
anaknya, Datu Parngongo memutuskan untuk mengabulkan permintaan itu. Dia pergi ke suatu

tempat untuk menyepi. Hanya Marhati, pembantunya yang setia, yang tahu ke mana dia pergi.
Sepeninggal ayahnya, Poda mengangkat dirinya menjadi raja. Berbeda dengan Datu
Parngongo, Poda memerintah dengan sewenang-wenang. Poda juga sering menyuruh
tentaranya menjarah harta milik rakyat di negeri tetangga. Akibatnya Raja Losung, raja negeri
itu menjadi marah. Dia memanggil raja-raja yang ada di sekitarnya untuk berunding. Lalu
mereka sepakat untuk mengundang Poda datang ke negerinya untuk berjudi. Dengan senang
hati Poda memenuhi undangan itu. Dibawanya tiga kantong emas untuk taruhan. Marhati juga
diajaknya untuk menemani.
Acara diadakan di ruang balairung. Raja Losung mengeluarkan sekantung emas. Poda
menuang sekantung uang emas di atas tumpukan emas itu, lalu dadu pun dilempar. Taruhan
pertama Poda kalah. Juga pada taruhan yang kedua dan ketiga. Akhirnya Poda tidak
mempunyai emas lagi untuk dipertaruhkan. Tetapi karena sombong, Poda tidak mau mundur
dari pertaruhan.
Ku pertaruhkan istana dan tanah pusaka milik kerajaan! serunya.
Marhati terkejut mendengarnya. Dia menatap Poda dengan cemas. Tetapi anak itu kelihatan
sudah tidak peduli dengan nasihat.
Seperti sudah diduga, Poda kalah dalam taruhannya yang terakhir. Kini dia tidak punya apaapa lagi.
Semua taruhanmu akan kukembalikan, asal kau sanggup menjawab dua pertanyaan yang
akan kuajukan, kata Raja Losung.
Raja Losung mengambil sebuah alu, alat untuk menumbuk padi.
Ini pertanyaan pertama, kata Raja Losung. Coba kau tunjukkan mana ujung dan mana
pangkal dari alu ini.
Kemudian Raja Losung mengeluarkan sebuah kotak kecil.
Ini pertanyaan kedua. Di dalam kotak ini ada sepasang semut. Coba tunjukkan mana semut
jantan dan mana semut betina. Nah, kuberi waktu satu jam untuk menjawab pertanyaanpertanyaanku itu! kata Raja Losung.
Lalu gong dipukul, sebagai tanda waktu mulai dihitung.
Poda mengamati kayu bulat dan sepasang semut itu, tetapi dia tidak bisa membedakannya.
Marhati segera meninggalkan tempat itu menuju ke tempat Datu Parngongo menyepi.
Diceritakannya kemelut yang sedang dihadapi Poda.
Pergilah sebelum waktunya habis, kata Datu Parngongo.
Marhati segera memacu kudanya kembali ke arena taruhan. Segera Marhati mendekati Poda.
Bagaimana? Tanya Raja Losung. Apa jawabanmu? kali ini wajah Poda tidak lagi cemas
seperti sebelumnya. Dengan tenang dia maju ke depan. Diambilnya alu itu, dibawanya ke
sungai yang mengalir di dekat istana. Pelan-pelan ditaruhnya alu itu ke dalam air.
Yang tenggelam lebih dulu, itulah pangkalnya. Karena usianya lebih tua daripada ujungnya,
maka dia akan lebih berat. Sahutnya.

Bagus! seru Raja Losung. Jawabanmu benar. Bagaimana dengan pertanyaan kedua! seru
Raja Losung mengatasi sorak-sorai penonton.
Poda mengambil kotak kecil itu. Kemudian dia minta dibawakan kuali berisi air. Ditaruhnya
semut itu ke dalam kuali. Begitu menyentuh air, seekor semut berusaha berenang ke tepi untuk
menyelamatkan diri. Sementara semut yang lain pelan-pelan tenggelam di dalam air.
Semut yang berenang ke pinggir itu semut yang jantan. Karena dia lebih berani dan lebih kuat.
Sedang yang tenggelam itu semut betina, jawab Poda.
Wow! Semua yang hadir mendecak kagum. Mereka tidak menyangka Poda bisa menjawab
pertanyaan yang sulit itu.
Ternyata kau seorang anak muda yang cerdik, kata Raja Losung kagum.
Sebetulnya aku tidak bisa menjawab pertanyaan itu, sahut Poda terus terang. Marhati yang
membisikkan jawabannya kepadaku.
Bukan aku! sahut Marhati dengan suara keras. Tapi Datu Parngongo. Dia yang member
tahukan jawabannya kepadaku.
Poda menjadi malu dengan tingkah lakunya selama ini. Diajaknya Marhati menemui ayahnya.
Ayah, katanya. Kembalilah ke istana. Sekarang aku sadar kalau aku belum bisa menjadi
seorang pemimpin.
Datu Parngongo menolak ajakan Poda untuk kembali ke istana.
Ayah percaya, mulai saat ini kau akan menjadi pemimpin yang baik. Marhati akan
mendampingimu sebagai penasihat, kata Datu Parngongo sambil menepuk pundak Poda
dengan sayang.
Sejak saat itu Poda berusaha menjadi seorang pemimpin yang baik. Sehingga akhirnya dia
menjadi raja yang dicintai rakyatnya dan disegani raja-raja lain.

Uji Keberanian
Sepulang sekolah, Umar dan Yadi melewati Gedung Budaya. Rupanya ada pameran seni rupa.
Di halaman gedung berdiri sekelompok patung tentara yang sedang melangkah dengan kaki
kanan diayunkan ke depan. Masing-masing menggendong mayat. Patung-patung itu tampak
hidup.
Pandai sekali perupa ini! puji Umar.
Iya, kalau malam hari lewat sini dan orang tidak tahu ada pameran, pasti orang akan sangat
terkejut! kata Yadi sambil tersenyum penuh arti. Nanti malam aku akan mengajak Pino dan
Mul ke sini. Aku suruh mereka berjalan sendiri. Kalau tidak takut, aku akan traktir mereka mie
rebus! Kamu ikut saja. Kita saksikan wajah mereka yang pucat dan lari terbirit-birit ketakutan!
Yadi menjelaskan idenya. Dalam hati Umar kurang setuju.

Maaf, aku tak bisa. Nanti malam aku disuruh Ibu membayar uang arisan ke rumah Tante Eni!
Umar mengelak.
Ya sudah, aku saja sendiri! kata Yadi.
Malamnya, Mul dan Pino sudah berada di ujung jalan Gedung Budaya. Suasana jalan itu
memang gelap karena tak ada penerangan lampu jalan dan sepi karena pada malam hari
jarang dilalui orang dan kendaraan. Namun, di depan Gedung Budaya ada lampu.
Ini namanya uji keberanian. Tugas kalian hanyalah jalan dari sini ke ujung jalan, lalu kembali
lagi. Kalau berhasil, kalian akan kutraktir mie rebus! kata Yadi. Jalannya sendiri, bukan
berdua!
Baik, aku duluan saja! kata Mul. Siapa takut?
Silakan, kata Yadi. Hatinya berdebar-debar menantikan adegan lucu yang akan dilihatnya.
Mul melangkah maju. Yadi dan Pino menyaksikannya. Di depan Gedung Budaya tiba-tiba Mul
berteriak.
Tolooong addaaa maaa maaa yaaat! Lalu Mul berlari sekencang-kencangnya ke
tempat kedua kawannya berada.
Yadi tertawa terbahak-bahak. Wajah Mul pucat dan Pino tampak takut.
Nah, Pino, sekarang giliranmu. Hadiah ditambah menjadi mie rebus dan segelas kopi susu!
kata Yadi.
Kamu sendiri berani tidak? tantang Mul. Jangan-jangan kamu sendiri juga tidak berani!
Dengan pongah Yadi menjawab, Tentu saja aku berani. Aku akan berjalan dan kembali ke sini
dengan tenang! Malah di depan gedung aku akan berhenti sejenak! Yadi melangkah maju.
Di ujung jalan, Mul dan Pino menyaksikan dengan tegang. Yadi berjalan dengan gagah. Sesuai
janjinya di depan Gedung Budaya ia berhenti sejenak.
Yadi menggosok-gosok matanya. Di antara para tentara ada sosok pendek sebaya dengan
dirinya. Tapi wajahnya, kok, hitam seperti orang utan dan kedua tangannya menggapai-gapai.
Sosok itu melangkah maju, semakin jelas kelihatan taringnya yang putih dan ia mengeluarkan
bunyi gerrr gerrr gerrr.
Jantung Yadi berdegup keras dan tak ayal lagi ia berteriak,
Hantuuu hantuuu hantuuu!
Mendengar jeritan Yadi, Mul dan Pino lari. Yadi menyusul di belakangnya. Mereka terus berlari
sampai di dekat gerobak tukang mie rebus.
Ada apa? Tanya tukang mie rebus.
Ada hantu di depan Gedung Budaya! Yadi menjelaskan.
Oooh, di situ memang angker. Lagipula untuk apa kalian ke sana?

Tukang mie rebus menanggapi, sekaligus bertanya.


Maksudnya dia ingin menguji keberanian kami. Tidak tahunya dia sendiri juga lari ketakutan!
kata Mul. Sudahlah, kita makan mie rebus saja, bayar sendiri-sendiri. Aku jadi lapar!
Ketiga anak itu makan mie rebus. Mie baru saja dihidangkan ketika Umar dating membawa
plastik besar.
Kok, kamu ke sini? Katanya mau antar uang arisan! Tanya Yadi.
Iya, rumah Tante Eni, kan, tak begitu jauh dari sini. Sekalian saja aku ke sini. Mau lihat hasil uji
keberanian kalian. Sekalian aku yang traktir kalian! kata Umar.
Terima kasih, Mar. Terima kasih, kata anak-anak itu.
Mar, kamu bawa apa, tuh? Tanya Pino sambil menunjuk tas plastik hitam yang dibawa Umar.
Hadiah dari Tante Eni. Dia beli untuk anaknya, tapi anaknya ternyata takut sama topeng ini!
kata Umar dan ia mengeluarkan topeng wajah monyet yang sedang menyeringai. Umar
memandang Yadi penuh arti dan Yadi tersenyum kecut.

Salah Kostum
Musim salju datang. Dottie si tikus pergi membeli mantel baru ke toko.
Pilihlah pakaian yang cocok untuk musim dingin, yang tebal dan nyaman, saran Dora, sepupu
Dottie.
Tidak, ejek Dottie. Aku mau pilih mantel yang modis!
Setelah lama mencari, akhirnya Dottie melihat mantel paling modis yang diidamkannya.
Warnanya merah jambu dan berkancing banyak di bagian depan.
Tolong bungkuskan mantel ini, ya, kata Dottie pada penjaga toko.
Kau mau mantel itu? Tanya Dora. Kayaknya kurang tebal bahannya.
Namun Dottie mengabaikannya. Ia sibuk mencoba sepatu bot bertumit tinggi warna merah
muda.
Malam itu cuaca sangat dingin. Salju mulai turun. Ketika Dottie dan Dora menatap keluar
jendela rumah keesokan harinya, seluruh dunia tampak putih.
Ayo cepat, Dottie! teriak Dora. Ia telah memakai jaket dan sepatu bot yang hangat. Dora
segera keluar rumah untuk bermain salju.
Aku butuh waktu untuk mengancingkan mantelku! tukas Dottie. Aku juga mesti menalikan
sepatu botku dulu!
Setelah beberapa lama, akhirnya Dottie siap. Namun, ketika melangkah keluar dengan sepatu
bot bertumit tingginya, ia jatuh tergelincir di salju.

10

Semakin lama cuaca semakin dingin dan basah. Tak lama kemudian, Dottie yang malang
merasa membeku dalam mantelnya yang modis.
Kau mesti cepat-cepat masuk ke rumah, kata Dora sambil menggelengkan kepala. Kau
butuh pakaian yang hangat pada musim dingin seperti ini, bukan baju yang modis!
Kau benar! Dottie mengiyakan ketika ia telah menghangatkan badan di depan perapian.
Besok kita berdua pergi berbelanja, ya. Kau bisa membantuku memilih pakaian yang cocok
untuk musim dingin, Dora. Aku akan menyimpan mantel dan sepatu botku yang modis itu untuk
musim semi nanti!

Pantangan Peri Petai


Di sebuah desa di Negeri Verfera, hiduplah seorang bapak tua bernama Reneroo dengan anak
gadisnya, Seyra. Mereka hidup miskin di gubug tua yang hampir roboh. Meskipun kekurangan,
Seyra dan ayahnya sangat baik hati dan suka menolong.
Suatu hari, Seyra dan ayahnya pergi ke hutan untuk mencari kayu bakar dan memanen pohon
petai yang ada di kebun mereka. Pagi-pagi sekali mereka berangkat agar hasilnya bisa
secepatnya dijual ke kota.
Seusai membantu ayahnya, Seyra beristirahat di bawah pohon petai sambil menunggu
ayahnya memanen petai. Ayah Seyra sangat senang karena sepertinya akan mendapat uang
banyak dari hasil penjualan petai itu.
Karena lama menunggu ayahnya, akhirnya Seyra bermain-main sambil mengumpulkan petai
yang berjatuhan. Ketika sedang mengumpulkan petai, tiba-tiba Seyra mendengar suara orang
menangis.
Ayah dengar suara orang menangis? Tanya Seyra.
Ya Ayah dengar sayup-sayup, jawab Ayah Seyra makin bingung.
Makin lama, suara tangis itu semakin jelas, Seyra dan ayahnya berusaha mencari asal suara
itu. Suara itu sepertinya berasal dari petai yang berjatuhan.
Tolooong keluarkan aku dari sini! teriak suara itu.
Seyra dan ayahnya terperanjat. Suara itu benar-benar berasal dari buah petai tadi.
Siapa kau? Apa yang bisa kulakukan untuk menolongmu? Tanya Seyra.
Tolong, aku adalah ulat petai yang ada di dalam petai ini. Bukalah buah petai ini satu persatu,
keluarkan aku! jerit Ulat Petai.
Baiklah, tapi aku tidak tahu petai mana yang harus kubuka. Kalau aku buka semuanya, kami
tidak dapat menjualnya ke kota. Petai kami tidak laku dijual bila sudah terkupas, sahut Seyra
bingung.
Tolonglah, aku bisa mati bila terus berada di sini! jerit Ulat Petai.

11

Akhirnya, Seyra dan ayahnya mengupas semua petai. Seyra belum juga menemukan ulat petai
itu, hingga akhirnya tersisa satu petai. Dengan tegang mereka membuka petai terakhir dan
ternyata Ulat Petai itu ada di sana.
Seyra dan ayahnya tersenyum bahagia karena dapat menolong Ulat Petai keluar. Ulat Petai
pun sangat bahagia.
Baiklah, sebagai tanda terima kasihku, aku ingin memberimu tangkai petai ini. Gunakan sesuai
keperluanmu. Tangkai petai ini dapat menjadikan gambar apapun menjadi nyata seperti aslinya.
Tapi ingat, sihir itu hanya berlaku sekali untuk satu macam benda dan sihir itu dapat hilang
dalam sekejap jika kau dan ayahmu melanggar pantanganku, jelas Ulat Petai.
Apa pantangannya? Tanya Ayah Seyra penasaran.
Bila kau menyakiti hati orang, maka sihir itu akan hilang dalam sekejap, jelas Ulat Petai.
Baiklah. Terima kasih Ulat Petai, kami akan mengingat pesanmu, janji Seyra dan ayahnya
bersamaan.
Tiba-tiba, ulat petai itu membesar dan berubah menjadi peri cantik jelita. Dia pun terbang dan
melambai pada Seyra dan ayahnya.
Sejak kejadian itu, hidup Seyra dan ayahnya berubah. Mereka selalu pergi ke kota untuk
membeli buku-buku dan berbagai gambar indah, mewah dan modern. Mereka tidak lagi
bersusah payah mencari dan menjual kayu bakar. Bila ingin sesuatu, mereka tinggal
menyihirnya dan jadilah nyata.
Seyra dan ayahnya menjadi orang paling kaya di desa itu. Banyak orang meminta bantuan
pada mereka, dan dengan senang hati Seyra dan ayahnya membantunya.
Hingga suatu hari, datanglah seorang wanita dengan pakaian lusuh ke rumah Seyra yang
megah. Wanita itu ingin sekali bertemu dengan ayah Seyra.
Izinkanlah aku bertemu ayahmu. Aku ingin meminta maaf, pinta wanita itu.
Maaf, ibu siapa? Tanya Seyra ramah.
Belum sempat wanita itu menjawab, Ayah Seyra keluar dengan wajah murka.
Mau apa kau kemari? Sudah puaskah kau menelantarkan kami? Sekarang, kau ingin
mengemis maaf padaku! Maaf, semua sudah terlambat. Sahut Ayah Seyra dengan kasar.
Wanita itu pun menangis dan akhirnya pergi. Belum sempat Seyra sadar dari kagetnya, tibatiba sesuatu telah berubah.
Ya Tuhan, kemana rumah kita yang mewah? jerit Ayah Seyra histeris. Seyra pun masih
tercengang melihat perubahan yang terjadi dalam sekejap mata itu.
Ayah, sepertinya kita telah melanggar pantangan Ulat Petai, sahut Seyra dengan suara
lemah.
Ayahnya menunduk lemas. Dia menyesal dengan semua yang telah dilakukannya.

12

Ayah emosi, Ayah khilaf! Semua itu karena Ayah dendam padanya, Nak! sahut Ayah terbata.
Mari kita cari dia, Nak. Dia adalah ibumu. Kita minta maaf padanya. Ayah tak peduli kita hidup
miskin lagi, asalkan keluarga kita bersatu kembali, sahut Ayah Seyra menyesal.
Hari demi hari mereka mencari Ibu Seyra. Suatu hari mereka menemukan seorang wanita
tengah tidur pulas di bawah pohon rindang. Ternyata wanita itu adalah Ibu Seyra yang mereka
cari selama ini.
Ayah Seyra segera mengajak istrinya itu kembali dan menceritakan semua yang terjadi.
Termasuk tentang harta mereka yang telah lenyap begitu saja. Tetapi dengan tulus, Ibu Seyra
tidak menyesalkan hal itu. Sesungguhnya Ibu Seyra ingin minta maaf pada Ayah Seyra. Karena
dulu ia telah meninggalkan Ayah Seyra karena Ayah Seyra miskin, tidak bisa memberi
kemewahan padanya. Kini, Ibu Seyra ingin kembali ke rumah gubuk mereka yang mungil tapi
berisi berjuta bahagia. Ayah, Ibu serta Seyra bekerja keras lagi untuk membangun hidup
mereka dari awal. Dengan kebersamaan dan kerja keras akhirnya mereka berhasil
membangun istana mungil yang cantik.

Cirela dan Sepatu Bata


Cirela adalah anak bungsu dari empat bersaudar. Kakak-kakak Cirela bernama Cikuni, Cimera,
dan Cibiru. Ketiga kakak Cirela tidak menyukai adik bungsu mereka. Mereka merasa Pak Gae
dan Bu Gae, orang tua mereka, lebih sayang pada Cirela. Sebenarnya tidak demikian, Cirela
sering sekali sakit. Itu sebabnya Pak Gae dan Bu Gae merasa perlu memberi perhatian lebih
padanya.
Pak Gae adalah seorang ilmuwan. Pekerjaannya sehari-hari menciptakan segala macam alat
yang unik. Ciptaan Pak Gae yang paling baru adalah sepatu serba guna. Pak Gae menciptakan
sepatu itu untuk persiapan lomba lari tahunan di negerinya.
Hampir semua pria di kota itu mengikuti lomba lari tahunan. Itu bukan lomba sembarang lomba.
Di sanalah segala macam sepatu canggih dipamerkan. Ada sepatu yang bisa memantulmantul, bertenaga jet, dan segala macam sepatu penemuan baru yang aneh-aneh.
Pak Gae tak pernah ketinggalan mengikutsertakan ciptaannya. Sepatu ciptaannya selalu tampil
lebih hebat dari ciptaan penemu lain. Setiap tahun semua orang penasaran, sepatu seperti apa
lagi yang diciptakan Pak Gae?
Tahun ini Pak Gae telah bekerja lebih keras. Tahun lalu ia membuat tiga pasang sepatu. Namun
tahun ini ia membuat empat pasang. Cirela anak bungsunya telah cukup umur untuk mengikuti
lomba. Meskipun Cirela sakit-sakitan, Pak Gae memberinya semangat. Sepatu ciptaannya
yang canggih bisa diandalkan untuk menutupi kelemahan Cirela.
Cikuni, Cibiru, dan Cimera tidak suka Cirela ikut lomba lari.
Tidur saja sana, minta digendong Ibu! bentak Cimera marah.
Huh, apa kau kira ini seperti lomba minum susu? ejek Cibiru.

13

Hei, jangan jahat pada Cirela! Ayo kita ajak dia latihan! Cikuni berlagak manis di depan Cirela.
Sebenarnya Cikuni punya rencana jahat. Ia telah mematikan fungsi canggih sepatu Cirela.
Sepatu itu pun menjadi sepatu biasa. Cikuni juga memasukkan lempengan besi di dalamnya
sehingga sepatu itu menjadi berat.
Mereka mengajak Cirela berlatih lari dengan sepatu baru. Cimera langsung memamerkan gaya
berselancar di bebatuan. Cibiru bersalto tak kenal lelah. Cikuni bisa memanjat dinding seperti
cicak. Akan tetapi Cirela cuma bisa terengah-engah mengangkat sepatunya. Ketiga kakaknya
tertawa geli.
Kenapa sepatuku berat sekali? Tanya Cirela heran.
Itu disebut sepatu bata. Sepatu pemula memang harus berat seperti batu bata, jawab Cikuni.
Cirela percaya meskipun ketiga kakaknya tertawa semakin keras. Ia ingin seperti kakakkakaknya. Dengan sekuat tenaga ia mencoba menggerakkan sepatunya. Tak putus asa ia
melatih kakinya yang lemah.
Setiap hari Cirela ikut latihan lari bersama ketiga kakaknya. Setiap hari juga ia berlatih dengan
sepatunya yang seberat batu bata. Melihat Cirela mulai terbiasa dengan sepatu itu, Cimera
diam-diam menambah lempengan besi di sepatu adiknya. Sepatu Cirela menjadi semakin
berat. Namun Cirela tetap giat berlatih, diiringi tawa ketiga kakaknya.
Hari perlombaan pun akhirnya tiba. Cirela masih tertatih-tatih dengan sepatunya. Memalukan
kalau Cirela ikut lomba! sungut Cimera.
Biar saja dia ikut. Biar Ayah tahu akibat memanjakan anak kesayangannya! bisik Cikuni.
Pak Gae dan istrinya mengantar keempat anaknya.
Lomba kali ini agak berbeda dengan tahun lalu. Hadiahnya juga jauh lebih besar dari lomba
tahun lalu, kata panitia lomba lewat pengeras suara. Pemenang lomba tahun ini harus benarbenar pelari yang hebat! Untuk itu, panitia telah menyediakan sepatu yang sama untuk semua
peserta.
Semua peserta saling pandang heran. Dengan berat hati mereka mengganti sepatu canggih
mereka dengan sepatu biasa yang disediakan panitia.
Lomba lari dimulai. Penonton agak kecewa karena tak jadi melihat atraksi sepatu-sepatu
canggih. Namun mereka lalu ramai dan tertawa geli melihat gaya para peserta lomba. Ada
yang berjingkat-jingkat, ada yang menangis kesakitan, ada yang terguling-guling. Lomba lari
berubah menjadi sirkus lucu. Itu karena banyak pelari yang selama ini hanya mengandalkan
kecanggihan sepatunya. Kaki-kaki mereka jadi tidak sehat dan rapuh.
Hanya Cirela yang berbeda! Ia telah terbiasa berlatih dengan sepatu seberat batu bata. Kini ia
berlomba dengan sepatu biasa yang sangat ringan. Cirela berlari sangat kencang. Ia berhasil
meninggalkan semua peserta lain. Para penonton mengelu-elukannya. Cirela sampai di garis
finish sendirian.
Hebat, hebat! Siapa yang melatihmu hingga kau hebat begini? Tanya panitia lomba.

14

Ketiga kakakku. Cikuni, Cimera dan Cibiru. Mereka melatihku menggunakan sepatu batu
bata! jawab Cirela.
Pak Gae dan istrinya menangis karena haru. Cikuni, Cimera, dan Cibiru malu sekali. Mereka
telah berbuat jahat, namun Cirela malah menganggap mereka sebagai pelatih. Akhirnya
mereka minta maaf dan berpelukan. Cikuni, Cimera, dan Cibiru berjanji akan berlatih lari seperti
cara Cirela berlatih selama ini. Mereka juga akan memakai sepatu seberat batu bata. Sepatu
canggih hanya mereka pakai untuk bermain-main.

Anak Katak yang Sombong dan Anak Lembu


Di tengah padang rumput yang sangat luas, terdapat sebuah kolam yang dihuni oleh
berpuluh-puluh katak. Diantara katak-katak tersebut ada satu anak katak yang bernama Kenthus,
dia adalah anak katak yang paling besar dan kuat. Karena kelebihannya itu, Kenthus menjadi
sangat sombong. Dia merasa kalau tidak ada anak katak lainnya yang dapat mengalahkannya.
Sebenarnya kakak Kenthus sudah sering menasehati agar Kentus tidak bersikap sombong pada
teman-temannya yang lain. Tetapi nasehat kakaknya tersebut tidak pernah dihiraukannya. Hal ini
yang menyebabkan teman-temannya mulai menghindarinya, hingga Kenthus tidak mempunyai
teman bermain lagi.
Pada suatu pagi, Kenthus berlatih melompat di padang rumput. Ketika itu juga ada
seekor anak lembu yang sedang bermain di situ. Sesekali, anak lembu itu mendekati ibunya
untuk menyedot susu. Anak lembu itu gembira sekali, dia berlari-lari sambil sesekali
menyenggok rumput yang segar. Secara tidak sengaja, lidah anak sapi yang dijulurkan terkena
tubuh si Kenthus. "Huh, berani makhluk ini mengusikku," kata Kenthus dengan perasaan marah
sambil coba menjauhi anak lembu itu. Sebenarnya anak lembu itu pula tidak berniat untuk
mengganggunya. Kebetulan pergerakannya sama dengan Kenthus sehingga menyebabkan
Khentus menjadi cemas dan melompat dengan segera untuk menyelamatkan diri.
Sambil terengah-engah, Kenthus sampai di tepi kolam. Melihat Kenthus yang kelihatan
sangat capek, kawan-kawannya nampak sangat heran. "Hai Khentus, mengapa kamu terengahengah, mukamu juga kelihatan sangat pucat sekali, Tanya teman-temannya. "Tidak ada apa-apa.
Aku hanya cemas saja. Lihatlah di tengah padang rumput itu. Aku tidak tahu makhluk apa itu,
tetapi makhluk itu sangat sombong. Makhluk itu hendak menelan aku." Kata Kenthus..
Kakaknya yang baru tiba di situ menjelaskan. " Makhluk itu anak lembu.
sepengetahuan kakak, anak lembu tidak jahat. Mereka memang biasa dilepaskan di padang
rumput ini setiap pagi. "Tidak jahat? Kenapa kakak bisa bilang seperti itu? Saya hampir-hampir

15

ditelannya tadi," kata Kenthus. "Ah, tidak mungkin. Lembu tidak makan katak atau ikan tetapi
hanya rumput." Jelas kakaknya lagi.
"Saya tidak percaya kakak. Tadi, aku dikejarnnya dan hampir ditendang olehnya."
Celah

Kenthus.

"Wahai

kawan-kawan,

aku

sebenarnya

bisa

melawannya

dengan

mengembungkan diriku," Kata Kenthus dengan bangga. " Lawan saja Kenthus! Kamu tentu
menang," teriak anak-anak katak beramai-ramai. "Sudahlah Kenthus. Kamu tidak akan dapat
menandingi lembu itu. Perbuatan kamu berbahaya. Hentikan!" kata Kakak Kenthus berulang kali
tetapi Kenthus tidak mempedulikan nasehat kakaknya. Kenthus terus mengembungkan dirinya,
karena dorongan dari teman-temannya. Sebenarnya, mereka sengaja hendak memberi pelajaran
pada Kenthus yang sombong itu.
"Sedikit lagi Kenthus. Teruskan!" Begitulah yang diteriakkan oleh kawan-kawan
Kenthus. Setelah perut Kenthus menggembung dengan sangat besar, tiba-tiba Kenthus jatuh
lemas. Perutnya sangat sakit dan perlahan-lahan dikempiskannya. Melihat keadaan adiknya yang
lemas, kakak Kenthus lalu membantu. Mujurlah Kenthus tidak apa-apa. Dia sembuh seperti
sedia kala tetapi sikapnya telah banyak berubah. Dia malu dan kesal dengan sikapnya yang
sombong.

Raja Yang Bodoh


Dahulu kala, ada seorang raja yang pesolek dan sangat suka mengenakan baju-baju
baru. Dia banyak menghabiskan waktu hanya untuk memandangi dirinya sendiri di cermin, dan
selalu ingin mengenakan baju-baju baru di pagi, siang dan malam hari!! Pada suatu hari,
datanglah dua orang penipu yang menyamar sebagai pembuat baju yang hebat. Mereka mengaku
bahwa mereka pandai menenun dan membuat baju dengan kualitas yang sangat bagus, sampaisampai kain yang mereka pakai untuk membuat baju tidak akan terlihat, kecuali oleh orangorang pintar.
Ketika raja mendengar hal itu, dia sangat tertarik. Itu bagus, aku bisa tahu siapa saja
yang bodoh dan siapa saja yang pintar di kerajaan ini. Pikirnya. Raja segera memerintah kedua
orang itu untuk membuatkan baju baru untuk dirinya, menggunakan bahan kain istimewa itu.
Mereka diberi sebuah ruangan khusus di istana, beserta benang-benang emas yang mereka
minta. Kedua penipu itu menyembunyikan benang-benang emas yang mereka terima, kemudian
berpura-pura sedang bekerja keras untuk membuat sebuah baju.

16

Beberapa hari kemudian, raja yang tidak sabar mengutus menteri nya untuk menengok
baju istimewa yang sedang dibuat itu. Ketika menteri mengunjungi para penipu yang menyamar
itu, ia pun kebingungan. Aku tidak melihat apa pun disini pikirnya. Akan tetapi menteri itu
tidak mau mengakuinya karena tidak ingin dianggap bodoh. Maka ia pun memuji kedua penipu
itu dan mengatakan bahwa baju yang mereka buat sangat indah. Setelah menteri keluar dari
ruangan itu, kedua penipu tertawa terbahak-bahak.
Tak lama kemudian sang raja datang untuk melihat sendiri. Dia berusaha melihat
keseluruh ruangan, tapi ia tidak melihat apa pun. Namun, karena tidak ingin dianggap bodoh,
raja pun berpura-pura bisa melihat baju yang istimewa itu dan berkata, Baju yang sangat indah,
aku tidak sabar ingin segera memakainya Keesokan harinya adalah hari dimana sang raja akan
mengenakan baju barunya pada acara pawai keliling kota. Kedua penipu yang menyamar telah
berpamitan dan pergi dengan alasan akan membuatkan baju untuk raja dari kerajaan-kerajaan
lain. Tentu saja, mereka tidak lupa membawa benang-benang emas yang telah mereka
sembunyikan, beserta uang emas upah membuat baju.
Saat raja memakai baju barunya, ia tetap saja tidak bisa melihat baju itu, dan ia merasa
kedinginan. Tapi karena tidak ingin dibilang bodoh, raja pun berputar-putar di depan cermin dan
mengagumi baju barunya, walaupun ia tidak melihat apa-apa. Semua pegawai kerajaan juga
mengatakan bahwa baju baru itu sangat indah, karena mereka juga tidak ingin dianggap bodoh.
Seluruh rakyat telah mendengat bahwa raja akan mengenakan baju baru sang spesial hari itu.
Saat sang raja muncul, semuanya terkejut. Akan tetapi mereka juga telah mendengar kabar
bahwa baju baru yang spesial itu hanya dapat dilihat oleh orang yang pintar saja, dan karena
mereka tidak ingin dianggap bodoh, mereka pun berseru-seru memuji sang raja.
Mendadak terdengar suara anak kecil berteriak, tetapi, dia kan tidak pakai baju, sang
raja telanjang! Semua terdiam. Raja pun menyadari bahwa anak kecil itu berkata jujur, dan
dengan terburu-buru ia berjalan kembali ke istana.

Biji-biji Burung Gereja


Di suatu lembah yang subur, sekelompok binatang hidup dengan aman dan nyaman.
Mereka tidak pernah berkekurangan. Lembah itu menyediakan semua yang dibutuhkan para
hewan. Sumber mata air yang segar, pohon-pohon yang selalu berbuah tanpa mengenal musim.
Semua hewan hidup dengan bahagia.
Suatu hari bertemulah seekor monyet dengan burung gereja yang sedang mematukmatuk di tanah.
17

Apa yang sedang kau lakukan burung Gereja ? Tanya Monyet.


Burung Gereja memandang Monyet dan berkata Aku sedang mengumpulkan bijibijian
Mendengar jawaban Burung Gereja, Monyet tertawa terbahak-bahak Haha..ha.,
untuk apa kau mengumpulkan biji-biji itu, lihatlah di selilingmu, begitu banyak buah-buahan
yang bisa kau makan, kenapa kau malah mengumpulkan sesuatu yang dibuang ? Tapi Burung
Gereja tidak menghiraukan perkataan Monyet dan tetap mengumpulkan biji buah-buahan
kemudian membawanya ke atas bukit.
Esok harinya, Monyet bertemu lagi dengan Burung Gereja, kali ini Monyet
membawa buah apel di tangannya
Hai Burung Gereja, kau sedang mencari biji-bijian lagi ya ? pantas saja kau tidak
bertambah besar, yang kau makan bijinya, bukan buahnyaha.. haha Ejek Monyet
Burung Gereja hanya diam dan terus mengumpulkan biji- biji apel yang dibuang oleh
Monyet. Suatu hari turun hujan deras berhari-hari, lembah itu tertutup oleh air, semua binatang
mengungsi ke tempat yang lebih tinggi di atas bukit. Mereka kedinginan dan kelaparan. Ketika
hujan berhenti, mereka turun ke lembah untuk mencari makanan, tetapi semua pohon tumbang
tersapu air hujan, tidak ada lagi buah-buahan untuk dimakan.
Aku lapar, mengapa tidak ada sama sekali buah yang bisa dimakan ? rintih Monyet
sambil melihat ke kanan dan ke kiri berharap menemukan buah yang bisa dimakan.
Setelah berjalan menyusuri lembah, Monyet bertemu lagi dengan Burung Gereja
Hai Burung Gereja, kau kan bisa terbang tinggi, bisakah kau tunjukkan padaku
dimana ada buah yang bisa ku makan ? aku lapar sekali Tanya Monyet.
Mari, pergilah ke rumahku di atas bukit, kau akan menemukan buah yang bisa kau
makan Ajak Burung Gereja.
Karena tidak menemukan jalan lain lagi, Monyet mengikuti Burung Gereja menuju
ke atas bukit. Betapa terkejutnya Monyet melihat halaman rumah Burung Gereja penuh dengan
pohon yang berbuah lebat, Pisang, Apel, Strawberry, Mangga, dan banyak lagi yang lainnya.
Bagaimana bisa begitu banyak pohon buah tumbuh di halaman rumahmu Tanya
Monyet heran.
Sudah sejak lama aku mengumpulkan biji buah-buahan dan menanamnya di
halaman rumahku , aku menyiramnya dan membersihkan rumput-rumput liar yang tumbuh, aku
merawatnya setiap hari jawab Burung Gereja.
Oooo. Itulah sebabnya kenapa kau selalu mengumpulkan biji buah-buhan yang
dibuang. Kenapa aku tidak berpikir untuk menanamnya sepertimu ya ?
18

Burung Gereja juga memberi tahu hewan-hewan lain untuk mengambil buah-buahan
di halaman rumahnya. Sejak saat itu, setiap kali mereka memakan buah, mereka menyisihkan
biji-bijinya untuk ditanam kembali, agar mereka tidak kelaparan lagi.

Peri dan Hutan Berkabut


Pada zaman dahulu hiduplah seorang petani sederhana bersama istrinya yang cantik.
Petani itu selalu bekerja keras, tetapi istrinya hanya bersolek dan tidak mempedulikan rumah
tangganya. Mereka tinggal di rumah yang sangat sederhana dan hidup dari hasil pertanian
sebagaimana layaknya keluarga petani.
Sang istri yang cantik itu tidak puas dengan keadaan mereka. Dia merasa, sudah
selayaknya jika suaminya berpenghasilan lebih besar supaya dia bisa merawat kecantikannya.
Untuk memenuhi tuntutan istrinya, petani itu bekerja lebih keras. Namun, sekeras apa pun kerja
si petani, dia tak mampu memenuhi tuntutan istrinya. Selain minta dibelikan obat-obatan yang
dapat menjaga kecantikanya, istrinya juga suka minta dibelikan pakaian yang bagus-bagus
--yang tentunya sangat mahal.
Bagaimana bisa kelihatan cantik kalau pakaianku buruk, kata sang istri.
Karena hanya sibuk mengurusi penampilan, istri yang cantik itu tidak memperhatikan
kesehatannya. Dia jatuh sakit. Sakitnya makin parah hingga akhirnya meninggal dunia.
Suaminya begitu sedih. Sepanjang hari dia menangisi istrinya yang kini terbujur tanpa daya.
Karena tak ingin kehilangan, petani itu tak mau mengubur tubuh istrinya yang amat dicintainya
itu. Dia ingin menghidupkan kembali istrinya.
Esok harinya suami yang malang itu menjual semua miliknya dan membeli sebuah
sampan. Dengan sampan itu dia membawa jasad istrinya menyusuri sungai menuju tempat yang
diyakini sebagai persemayaman para dewa. Dewa tentu mau menghidupkan kembali istriku,
begitu pikirnya. Meskipun tak tahu persis tempat persemayaman para dewa, petani itu terus
mengayuh sampannya. Dia mengayuh dan mengayuh tak kenal lelah. Suatu hari, kabut tebal
menghalangi pandangannya sehingga sampannya tersangkut. Ketika kabut menguap, di
hadapannya berdiri sebuah gunung yang amat tinggi, yang puncaknya menembus awan. Di
sinilah tempat tinggal para dewa, pikir Petani. Dia lalu mendaki gunung itu sambil membawa
jasad istrinya. Dalam perjalanan dia bertemu dengan seorang lelaki tua.
Kau pasti dewa penghuni kayangan ini, seru si petani dengan gembira.
Dikatakannya maksud kedatangannya ke tempat itu.
Laki-laki tua itu tersenyum.
19

Sungguh kau suami yang baik. Tapi, apa gunanya menghidupkan kembali istrimu?
Dia sangat berarti bagiku. Dialah yang membuat aku bersemangat. Maka hidupkanlah dia
kembali, kata si petani. Laki-laki tua itu menganggukkan kepalanya.
Baiklah kalau begitu. Akan kuturuti permintaanmu. Sebagai balasan atas kebaikan dan
kerja kerasmu selama ini, aku akan memberimu rahasia bagaimana cara menghidupkan kembali
istrimu. Tusuk ujung jarimu, lalu percikkan tiga tetes darah ke mulutnya. Niscaya dia akan hidup
kembali. Jika setelah itu istrimu macam-macam, ingatkan bahwa dia hidup dari tiga tetes
darahmu. Petani itu segera melaksanakan pesan dewa itu. Ajaib, istrinya benar-benar hidup
kembali.
Tanpa pikir panjang, suami yang bahagia itu pun membawa pulang istrinya. Tapi, sang
istri tahu, selain sampan yang dinaiki mereka, kini suaminya tak punya apa-apa lagi. Lalu,
dengan apa dia merawat kecantikannya? Suatu hari, sampailah suami-istri itu di sebuah
pelabuhan yang sangat ramai. Petani turun dari sampan dan pergi ke pasar untuk membeli bekal
perjalanan dan meninggalkan istrinya sendirian di sampan. Kebetulan, di sebelah sampan
mereka bersandar sebuah perahu yang sangat indah milik seorang saudagar kaya yang sedang
singgah di tempat itu. Melihat kecantkan istri si petani, pemiliik perahu itu jatuh cinta dan
membujuk perempuan cantik itu untuk ikut bersamanya.
Kalau kau mau ikut denganku, akan aku belikan apa saja yang kau minta, kata sang
saudagar.Sang istri petani tergoda. Dia lalu pergi dengan saudagar itu. Pulang dari pasar Petani
terkejut karena istrinya tak ada lagi di sampannya. Dia mencari ke sana-kemari, tetapi sia-sia.
Setahun kemudian, bertemulah dia dengan istrinya, tetapi istrinya menolak kembali kepadanya.
Petani lalu teringat kepada dewa yang memberinya rahasia menghidupkan kembali istrinya.
Sungguh kau tak tahu berterima kasih. Asal tahu saja, kau hidup kembali karena minum
tiga tetes darahku. Istrinya tertawa mengejek.
Jadi, aku harus mengembalikan tiga tetes darahmu? Baiklah
Sang istri pun menusuk salah satu jarinya dengan maksud memberi tiga tetes darahnya
kepada suaminya. Namun, begitu tetes darah ketiga menitik dari jarinya, wajahnya memucat,
tubuhnya lemas, makin lemas, hingga akhirnya jatuh tak berdaya. Mati.
Setelah mati, dia menjelma menjadi nyamuk. Sejak itu, setiap malam nyamuk jelmaan
wanita cantik itu berusaha menghisap darah manusia agar dapat kembali ke ujudnya semula.

20

JUDUL BARU
Di sebuah desa hiduplah seorang anak perempuan yang lugu. Sheila namanya. Ia
senang sekali bermain di tepi hutan. Ibunya selalu mengingatkannya agar tak terlalu jauh masuk
ke hutan. Penduduk desa itu percaya, orang yang terlalu jauh masuk ke hutan, tak akan pernah
kembali. Bagian dalam hutan itu diselubungi kabut tebal. Tak seorang pun dapat menemukan
jalan pulang jika sudah tersesat. Sheila selalu mengingat pesan ibunya. Namun ia juga penasaran
ingin mengetahui daerah berkabut itu. Setiap kali pergi bermain, ibu Sheila selalu membekalinya
dengan sekantong kue, permen, coklat, dan sebotol jus buah. Sheila sering datang ke tempat
perbatasan kabut di hutan. Ia duduk di bawah pohon dan menikmati bekalnya di sana. Sheila
ingin sekali melangkahkan kakinya ke dalam daerah berkabut itu. Namun ia takut.
Suatu kali, seperti biasa Sheila datang ke daerah perbatasan kabut. Seperti biasa ia
duduk

menikmati

bekalnya.

Tiba-tiba

Sheila

merasa

ada

beberapa

pasang

mata

memperhatikannya. Ia mengarahkan pandangan ke sekeliling untuk mencari tahu. Namun Sheila


tak menemukan siapa-siapa. Hei! Siapa pun itu, keluarlah! Jika kalian mau, kalian dapat makan
kue bersamaku, teriak Sheila penasaran.
Mendengar tawaran Sheila, beberapa makhluk memberanikan diri muncul di depan
Sheila. Tampak tiga peri di hadapan Sheila. Tubuh mereka hanya separuh tinggi badan Sheila. Di
punggungnya ada sayap. Telinga mereka berujung lancip. Dengan takut-takut mereka
menghampiri Sheila. Anak kecil pemberani itu tanpa ragu-ragu menyodorkan bekalnya untuk
dimakan bersama-sama. Peri-peri itu bernama Pio, Plea, dan Plop. Ketiga peri itu kakak beradik.
Sejak saat itu Sheila dan ketiga kawan barunya sering makan bekal bersama-sama. Kadang
mereka saling bertukar bekal.
Suatu hari Sheila bertanya kepada ketiga temannya, Pio, Plea, Plop. Mengapa ada
daerah berkabut di hutan ini? Apa isinya? Dan mengapa tak ada yang pernah kembali? Kalian
tinggal di hutan sebelah mana? tanya Sheila penuh ingin tahu. Mendengar pertanyaan Sheila
ketiga peri itu saling bertukar pandang. Mereka tahu jawabannya namun ragu untuk memberi
tahu Sheila. Setelah berpikir sejenak, akhirnya mereka memberitahu rahasia hutan berkabut yang
hanya diketahui para peri.
Para peri tinggal di balik hutan berkabut. Termasuk kami. Kabut itu adalah pelindung
agar tak seorang pun dapat masuk ke wilayah kami tanpa izin. Kami tiga bersaudara adalah peri
penjaga daerah berkabut. Jika kabut menipis, kami akan meniupkannya lagi banyak-banyak. Jika
ada tamu yang tak diundang masuk ke wilayah kami, kami segera membuatnya tersesat, jelas
Pio, Plea, Plop.
21

Sheila terkagum-kagum mendengarnya. Bisakah aku datang ke negeri kalian suatu


waktu? tanya Sheila berharap. Ketiga peri itu berembuk sejenak. Baiklah. Kami akan
mengusahakannya, kata mereka. Tak lama kemudian Sheila diajak Pio, Plea dan Plop ke negeri
mereka. Hari itu Sheila membawa kue, coklat, dan permen banyak-banyak. Sebelumnya, Sheila
didandani seperti peri oleh ketiga temannya. Itu supaya mereka bisa mengelabui para peri lain.
Sebenarnya manusia dilarang masuk ke wilayah peri. Ketiga teman Sheila ini juga memberi
kacamata khusus pada Sheila. Dengan kacamata itu Sheila dapat melihat dengan jelas.
Daerah berkabut penuh dengan berbagai tumbuhan penyesat. Berbagai jalan yang
berbeda nampak sama. Jika tidak hati-hati maka akan tersesat dan berputar-putar di tempat yang
sama. Dengan bimbingan Pio, Plea, dan Plop akhirnya mereka semua sampai ke negeri peri. Di
sana rumah tampak mungil. Bentuknya pun aneh-aneh. Ada rumah berbentuk jamur, berbentuk
sepatu, bahkan ada yang berbentuk teko. Pakaian mereka seperti kostum untuk karnaval.
Kegiatan para peri pun bermacam-macam. Ada yang mengumpulkan madu, bernyanyi, membuat
baju dari kelopak bunga Semua tampak riang gembira.
Sheila sangat senang. Ia diperkenalkan kepada anak peri lainnya. Mereka sangat
terkejut mengetahui Sheila adalah manusia. Namun mereka senang dapat bertemu dan berjanji
tak akan memberi tahu ratu peri. Rupanya mereka pun ingin tahu tentang manusia. Mereka
bermain gembira. Sheila dan para anak peri berkejar-kejaran, bernyanyi, bercerita dan tertawa
keras-keras. Mereka juga saling bertukar makanan. Pokoknya hari itu menyenangkan sekali.
Tiba-tiba ratu peri datang. Siapa itu? tanyanya penuh selidik. Ratu, dia adalah teman
hamba dari hutan utara, jawab Plop takut. Ia terpaksa berbohong agar Sheila tak ketahuan. Ratu
peri memperhatikan Sheila dari ujung rambut sampai ujung kaki. Setelah itu ia pergi. Sheila
bermain lagi dengan lincah. Namun sayang ia terpeleset. Sheila jatuh terjerembab. Ketika itu
cuping

telinga

palsunya

copot.

Ratu

peri

melihat

hal

itu.

Ia

amat

marah.

Manusia! Bagaimana ia bisa sampai kemari? Siapa yang membawanya? teriaknya mengelegar.
Pio, Plea, dan Plop maju ke depan dengan gemetar. Kami, Ratu, jawab mereka gugup. Ini
pelanggaran. Jika ada manusia yang tahu tempat ini, maka tempat ini tidak aman lagi. Kalian
harus dihukum berat, teriak ratu peri marah.
Sheila yang saat itu juga ketakutan memberikan diri maju ke depan. Mereka tidak
bersalah, Ratu. Akulah yang memaksa mereka untuk membawaku kemari. Kalau begitu, kau
harus dihukum menggantikan mereka! gelegar ratu peri.
Sheila dimasukkan ke dalam bak air tertutup. Ia akan direbus setengah jam. Namun
ketika api sudah dinyalakan ia tidak merasa panas sedikit pun. Keluarlah! Kau lulus ujian,
kata ratu peri. Ternyata kebaikan hati Sheila membuat ia lolos dari hukuman. Ia diperbolehkan
22

pulang dan teman perinya bebas hukuman. Ratu peri membuat Sheila mengantuk dan tertidur. Ia
menghapus ingatan Sheila tentang negeri peri. Namun ia masih menyisakannya sedikit agar
Sheila dapat mengingatnya di dalam mimpi. Ketika terbangun, Sheila berada di kasur
kesayangannya.

Raja Telinga Keledai


Raja Zanas memerintah dengan sewenang-wenang. Kegemarannya menumpuk harta
sebanyak mungkin yang diperolehnya dari pajak rakyatnya. Raja Zanas selain tamak juga
seorang raja yang sangat kikir. Rakyat yang hidup sengsara tidak sekalipun pernah
dipikirkannya. Anehnya raja yang zalim itu mempunyai kegemaran mendengarkan musik.
Padahal kata orang-orang bijak musik dapat memperhalus perasaan. Oleh karena itu yang
menyukainya akan mempunyai perasaan yang lembut tetapi cerdas. Salah satu kegemaran Raja
Zanas adalah mendengarkan tiupan suling. Kebetulan di negerinya ada seorang peniup seruling
yang sangat pandai bernama Tarajan.
Raja Zanas sangat memanjakan Tarajan dan kerap mengirim peniup seruling itu ke
seluruh penjuru negeri bahkan ke luar kerajaannya untuk berlomba. Tarajan selalu jadi juara
pertama dan memperoleh hadiah-hadiah yang menggiurkan. Sayang karena hal itu Tarajan jadi
sombong dan congkak. Karena sombongnya Tarajan mengaku dapat mengalahkan Dewa Apolo.
Seorang Dewa bangsa Yunani yang sangat menguasai seni musik. Tarajan mengusulkan pada
Raja Zanas agar ia dipertandingkan dengan Apolo. Usul itu diterima dengan baik bahkan raja
merasa bangga jika Tarajan dapat mengalahkan pemain musik dari kerajaan langit itu. Dewa
Apolo yang mendengar tantangan itu menyanggupi. Justru Dewa itu ingin memberi pelajaran
pada Tarajan dan Raja Zanas yang berkelakuan tidak lazim.
Seandainya aku kalah biarlah aku mengabdi pada Raja Zanas seumur hidupku. Tetapi
andaikan aku yang menang aku minta separuh kerajaanmu dan kuserahkan pada rakyatmu kata
Dewa Apolo. Raja Zanas dan Tarajan setuju. Mereka begitu yakin dapat mengalahkan Apolo
yang tampak masih sangat muda itu. Pada hari yang telah ditentukan pertandingan dimulai.
Seluruh rakyat tumpah ruah ke halaman Istana. Sedangkan Dewa Zeus sebagai penguasa seluruh
khayangan ikut menyaksikan tanpa seorang pun yang tahu. Sebagai penantang Tarajan
dipersilakan meniup seruling terlebih dahulu. Dengan pongah Tarajan naik ke atas podium lalu
segera meniup serulingnya. Seruling emas berbalut intan permata milik Tarajan segera

23

mengumandangkan lagu-lagi yang sangat merdu. Naik turun seperti ombak. Lembut seperti
angin pesisir. Bergolak seperti ombak menerjang karang.
Semua yang mendengarkan bagaikan tersihir. Begitu hebatnya tiupan seruling Tarajan.
Raja Zanas tertawa terbahak-bahak dan yakin sekali peniup serulingnya akan keluar jadi
pemenang. Tetapi Dewa Apolo tenang. Diam bagaikan patung, tetapi bibirnya tersenyum.
Pertanda kagum juga pada permainan seruling Tarajan. Dan ketika usai sorak ssorai seperti
membelah angkasa. Tarajan berdiri berkacak pinggang dengan wajah sangat pongah.
Ketika giliran Dewa Apolo, Dewa kesenian itu mengangkat serulingnya dengan cantik
sekali. Lembut bagaikan menimang bayi suci. Dan ketika bibirnya mulai meniupkan sebuah
lagu, langit berpendar-pendar antara siang dan malam. Rakyat yang menonton terhanyut dalam
irama yang luar biasa indah. Dengan mata terpejam semua menari dengan lembut sekali. Mereka
pun menyanyi sebuah lagu kedamaian yang sekonyong saja mampu dinyanyikan. Rakyat yang
jumlahnya tidak terhitung itu larut dalam lagu-lagu dan irama yang sebelumnya tidak pernah
mereka dengarkan tetapi sangat merdu mendayu-dayu.
Akhirnya Dewa Zeus yang menampakkan diri menyatakan Apolo sebagai
pemenangnya. Dan meminta Raja Zanas seger memberikan separuh kerajaannya pada rakyatnya.
Tetapi raja kikir itu menolakk hingga membuat Dewa Zeus marah. Selama kau tidak
memberikan pada rakyat apa yang telah kau janjikan, maka telingamu akan membesar setiap
hari. Kata Dewa Zeus.
Memang benar. Telinga Raja Zanas tiap hari semakin besar hingga sangat berat dan
membuatnya tidak bisa berdiri apalagi berjalan. Jadilah ia raja bertelinga keledai. Akhirnya Raja
Zanas menyerahkan separuh kerajaannya pada rakyatnya. Dan berjanji tidak lagi kikir dan
tamak. Dewa Zeuslah saksi dari ucapannya.

Raksasa Yang Egois


Dahulu kala, ada sebuah taman yang sangat luas dan cantik, milik seorang raksasa.
Taman itu sangat indah dengan rumput yang hijau dan lembut, bunga-bunga yang cantik, dan
puluhan pohon yang berbuah lebat. Setiap siang, anak-anak masuk ke dalam taman itu untuk
bermain dan mendengarkan burung-burung berkicau merdu dari pohon-pohon. Raksasa sedang
pergi selama 5 tahun mengunjungi keluarganya di negeri lain. Sekarang, dia kembali ke
rumahnya, sebuah rumah yang sangat besar dengan taman di depannya. Saat tiba di taman, ia
melihat anak-anak sedang bermain disana. Raksasa lalu memarahi mereka, Apa yang kalian
lakukan disini? Pergi! Ini taman milikku! Anak-anak yang ketakutan berlari meninggalkan
24

taman itu. Karena tidak ingin ada orang lain yang ikut menikmati keindahan tamannya lagi,
raksasa lalu membangun tembok yang tinggi mengelilingi taman itu, dan memadang tulisan
Yang masuk tanpa ijin akan dihukum! Anak-anak kehilangan taman itu. Sesekali mereka
memanjat dan melongok melewati tembok yang tinggi, memandangi taman itu dan dengan
sedihnya membicarakan permainan-permainan yang dulu mereka lakukan disana.
Hari demi hari berlalu. Bunga-bunga di taman itu tidak lagi bermekaran. Burungburung tidak lagi berkicau dan pohon-pohon berhenti berbuah. Rumput dan daun-daun yang
dulunya subur dan hijau kini menjadi kering dan berwarna coklat. Raksasa tidak mengerti
mengapa taman miliknya menjadi tidak indah lagi. Pada suatu pagi, raksasa mendengar suara
musik yang mengalun. Ternyata itu adalah suara kicauan burung di luar jendelanya. Sudah lama
sekali sejak terakhir kali ia mendengar kicauan burung yang indah seperti itu.
Raksasa mendekat ke jendela dan mendengarkan kicauan burung itu dengan sedih.
Apa yang terjadi dengan tamanku? Aku berharap tamanku bisa menjadi indah seperti dulu,
dengan burung-burung yang berkicau merdu seperti kamu. kata raksasa kepada burung itu.
Burung itu terbang mendekati raksasa dan berkata Tamanmu tidak akan sama lagi tanpa
kehadiran anak-anak itu. Tamanmu merindukan gelak tawa dan suara anak-anak yang riang.
Pohon, bunga-bunga, rumput, dan kami para burung menginginkan kehadiran anak-anak yang
menjadikan tempat ini kembali penuh keceriaan.
Raksasa menyadari kesalahannya. Selama ini ia terlalu egois, dan akibatnya ia hidup
sendirian dan merasa kesepian. Raksasa pun mengambil palu besar dan menghancurkan tembok
yang mengelilingi tamannya. Dibuangnya tulisan peringatan yang dipasangnya dulu, dan
dipanggilnya anak-anak untuk bermain di taman. Awalnya anak-anak merasa takut. Akan tetapi
ketika mereka melihat wajah raksasa yang sekarang menjadi ramah, mereka mengikutinya ke
taman untuk bermain disana. Lagipula, anak-anak itu juga rindu bermain di taman itu.
Taman milik raksasa itu pun kembali penuh dengan anak-anak yang bermain gembira.
Bunga-bunga pun kembali bermekaran diantara rerumputan yang hijau. Daun-daun dan buahbuahan memenuhi pohon-pohon, beserta burung-burung yang berkicau dengan merdu.
Raksasa berkata kepada anak-anak, Sekarang, tamanku adalah taman milik kalian
juga. Sekarang raksasa tidak hanya memiliki sebuah taman yang indah, tetapi ia juga memiliki
banyak teman-teman kecil yang ceria.

Dongeng asal mula duabelas shio binatang

25

Pada zaman dahulu kala, hiduplah seorang dewa. Pada tanggal 31 Desember pagi
sebelum tahun baru, Sang Dewa menulis surat kepada binatang2 diseluruh negeri. Angin lalu
menyebarkan surat-surat itu ke seluruh negeri. Dalam sekejap, para binatang menerima surat2
itu, yang isinya seperti ini:
"Besok pagi di Tahun Baru, aku akan memilih binatang yang paling dahulu datang kesini, dari
nomor satu sampai dengan nomor duabelas. Lalu, setiap tahun aku akan mengangkat satupersatu dari mereka sebagai Jenderal berdasarkan urutan". Tertanda, Dewa.
Para bintang sangat bersemangat dan tertarik dengan hal itu. Mereka sangat ingin
menjadi Jenderal. Tetapi, ada seekor binatang yang tidak membaca surat semacam ini, yaitu
Kucing yang suka bersantai dan tidur. Ia hanya mendengar berita ini dari Tikus. Tikus yang licik
menipunya dan memberitahu bahwa mereka harus berkumpul di tempat Dewa lusa tanggal 2
Januari, padahal seharusnya mereka berkumpul besok pagi tanggal 1 Januari.
Semua binatang bersemangat dan memikirkan tentang kemenangan, dan mereka semua
tidur cepat. Hanya Sapi yang langsung berangkat malam itu juga, karena ia sadar bahwa ia hanya
dapat berjalan lambat. Tikus yang licik melihatnya lalu meloncat dan menumpang di punggung
Sapi, tapi Sapi tidak menyadari hal itu. Pagi harinya, saat hari masih gelap, Anjing, Monyet,
Babi Hutan, Harimau, Naga, Ular, Kelinci, Ayam, Domba dan Kuda semuanya berangkat berlari
menuju ketempat Sang Dewa.
Saat matahari mulai terbit, yang pertama kali sampai di tampat tinggal Dewa
adalah...Sapi. Tapi kemudian Tikus melompat kedepan dan mendarat tepat dihadapan Dewa.
Maka Tikus pun menjadi yang pertama. Selamat Tahun Baru Dewa kata Tikus kepada
Dewa. Sapi pun menangis karena kecewa menjadi urutan ke dua. Di belakang mereka, tibalah
Harimau, Kelinci, Naga, Ular, Kuda, Domba, Monyet, Ayam, Anjing dan Babi Hutan datang
berurutan. Dengan demikian mereka ditetapkan sebagai pemenang satu sampai dengan duabelas
sesuai dengan urutan kedatangannya.
Duabelas ekor binatang ini kemudian disebut dengan 12 Shio Bintang.
Para binatang itu merayakan kemenangan dan berpesta pora sambil mengelilingi Sang
Dewa. Lalu, kucing datang dengan wajah yang sangat marah. Ia mencari Tikus yang telah
menipunya sehingga ia datang terlambat. Kucing pun berlari mengejar Tikus kesana kemari.
Sejak itu mulailah era Duabelas Shio Binatang, dimulai dari yang pertama tahun Tikus, lalu
Sapi, kemudian Harimau, Kelinci, Naga, Ular, Kuda, Domba, Monyet, Ayam, Anjing dan Babi
Hutan.Kucing yang tidak berhasil masuk kedalam Dua belas Shio Binatang sampai sekarang
masih mengejar Tikus kesana kemari karena telah ditipu.

26

Anda mungkin juga menyukai