Anda di halaman 1dari 43

1

BAB I
PENDAHULUAN

A; Latar Belakang Masalah

Hutan Indonesia merupakan hutan tropis yang terluas ketiga di dunia


setelah Brazil dan Republik Demokrasi Kongo. Dengan luas 1.860.359,67 km 2
daratan, 5,8 juta km2 wilayah perairan dan 81.000 Km garis pantai, Indonesia
ditempatkan

pada

urutan

kedua

setelah

Brazil

dalam

hal

tingkat

keanekaragaman hayati (Sumargo,dkk, 2011). Indonesia merupakan salah satu


negara yang memiliki kekayaan sumber daya alam yang cukup besar, baik
sumber daya yang tidak dapat diperbaharui maupun yang dapat diperbaharui.
Misalnya sumber daya batubara Indonesia sebesar 104 miliar ton dan cadangan
21 miliar ton. Perkembangan produksi pertambangan batubara Indonesia
sampai saat ini cukup pesat. Data terakhir hingga tahun 2008 dari statistik
batubara dunia menunjukan bahwa Indonesia telah menjadi negara pengekspor
batubara nomor 2 di dunia setelah Australia (Hariyadi, dkk, 2011).
Bahan tambang diambil dengan cara lapisan tanah di kawasan tambang
dikeruk atau dibongkar, lalu dibawa ke tempat penimbunan, akibatnya tanah
akan kehilangan lapisan yang kaya nutrisi dan berubah menjadi tandus. Tahap
penggerukan telah selesai dan batu bara terkuras habis, tentunya pertambangan
akan ditutup. Lahan bekas tambang akan menyisakan kawasan gersang yang
tumbuhan akan sulit tumbuh di tempat seperti itu dan kawasan tersebut
menjadi sangat tidak produktif. Karena tanah yang subur itu yaitu tanah yang
mempunyai profil yang dalam melebihi 150 cm, strukturnya gembur, pH 6
6,5, mempunyai aktivitas jasad renik yang tinggi dan kondisi kandungan unsur
haranya cukup tersedia untuk pertumbuhan tanaman (Sutedjo, 2010).
1

Lahan bekas tambang yang sudah mengalami kerusakan tersebut akan


ditumbuhi oleh tumbuhan baru yang akan membentuk suksesi baru biasanya
berupa vegetasi dasar atau tumbuhan bawah. Vegetasi dasar adalah komunitas
tumbuhan yang menyusun stratifikasi bawah dekat permukaan tanah.
Tumbuhan ini umumnya berupa rumput, herba, semak, atau perdu rendah.
Jenis vegetasi ini ada yang bersifat annual, binual, atau perenial dengan bentuk
hidup soliter, berumpun, tegak, menjalar atau memanjat. Secara taksonomi
vegetasi dasar umumnya anggota dari familia Poaceae, Cyperaceae, Araceae,
Asteraceae, paku-pakuan dan lain- lain. Vegetasi ini banyak terdapat di tempattempat terbuka, tepi jalan, tebing sungai, lantai hutan, lahan pertanian dan
perkebunan (Aththorick, 2005 dalam Ramadhani, 2013).
Keberadaan tumbuhan bawah atau vegetasi dasar ini dapat berfungsi
sebagai penahan pukulan air hujan dan aliran permukaan sehingga
meminimalkan bahaya erosi. Vegetasi dasar juga sering dijadikan sebagai
indikator kesuburan tanah dan penghasil serasah dalam meningkatkan
kesuburan tanah. Selain fungsi ekologi, beberapa jenis vegetasi dasar telah
diidentifikasi sebagai tumbuhan yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan
pangan, tumbuhan obat, dan sumber energi alternatif. Namun tidak jarang juga
tumbuhan bawah dapat berperan sebagai gulma yang menghambat
pertumbuhan permudaan pohon (Hilwan, dkk, 2013).
Berdasarkan observasi peneliti ke lokasi areal bekas tambang pada
bulan Januari 2014 lalu, peneliti yang ditemani oleh salah seorang petugas
tambang tersebut berkeliling di areal pertambangan dan ternyata beberapa

lokasi

lahan bekas tambang telah ada yang dilakukan revegetasi dengan

ditanami beberapa jenis tanaman seperti Hevea brasiliensis (tanaman karet),


Leucaena leucocephala (lamtoro), namun beberapa lokasi masih ada juga
lahan yang belum dilakukan dan pada lahan

ini masih banyak terdapat

tumbuhan bawah atau vegetasi dasar yang tumbuh dan berkembang secara
alami bahkan ada yang berasosiasi dengan tumbuhan penghijauan (revegetasi).
Dari observasi yang penulis lakukan jenis tumbuhan bawah atau vegetasi
dasar yang dominan adalah jenis dari rumput-rumputan, semak dan perdu, dan
beberapa jenis dari paku-pakuan.
Penelitian di areal tambang batubara telah banyak dilakukan,
diantaranya

tambang

batubara

di

Sawahlunto

yang

diteliti

oleh

Nurhadi dan Nursyahra pada tahun 2007, dengan judul penelitian Komposisi
Vegetasi Dasar di Kawasan Penambangan Batubara di Kecamatan Talawi
Sawahlunto, dari penelitian yang telah dilakukan ditemukan 5435 individu dari
80 spesies dari 41 famili vegetasi dasar di kawasan penambangan batubara
Talawi Sawahlunto. Di daerah Dharmasraya diteliti oleh Solviana pada tahun
2012 dengan judul penelitian Komposisi dan Struktur Seedling dan Sapling
pada Lahan Pra dan Pasca Tambang Batubara PT.SLN di Kabupaten
Dharmasraya, dari penelitian yang telah dilakukan ditemukan komposisi
seedling pada lahan pratambang sebanyak 38 individu dari 6 spesies dari 6
famili. Pada lahan pasca tambang komposisi seedling terdiri dari 20 individu
dari 5 spesies dari 4 famili. Sedangkan pada komposisi sapling di lahan pra
tambang terdiri dari 304 individu dari 43 spesies dari 12 famili, sedangkan

pada lahan pasca tambang terdiri dari 102 individu dari 10 spesies dari 6
famili.
Penelitian yang telah dilakukan pada areal bekas tambang batubara di
Kalimantan Timur salah satunya diteliti oleh Abdullah Syarief pada tahun
2010, dengan judul penelitianya adalah Keadaan Suksesi Tumbuhan Pada
Kawasan Bekas Tambang Batubara di Kalimantan Timur. Dari penelitian yang
dilakukan pada hutan revegetasi umur 6 tahun diperoleh 192 pohon/ha dari 5
spesies, pada hutan revegetasi umur 10 hatun diperoleh 124 pohon/ha dari 6
spesies dan pada hutan revegetasi umur 12 tahun diperoleh 128 pohon/ha dari
8 spesies. Namun Penelitian mengenai komposisi vegetasi dasar pada areal
bekas tambang batubara di Sijunjung tepatnya di Kecamatan Kamang Baru
masih belum dilakukan. Berdasarkan latar belakang di atas maka penulis
melakukan penelitian tentang

Komposisi vegetasi dasar pada areal bekas

tambang batubara di Kecamatan Kamang Baru Kabupaten Sijunjung .

B; Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas dapat dirumuskan beberapa masalah


yang dapat diteliti, yaitu :

1; Bagaimana keanekaragaman vegetasi pada areal bekas tambang batubara

tersebut ?
2; Bagaimana komposisi vegetasi dasar pada areal bekas tambang batubara

tersebut ?
3; Bagaimanakah kondisi lingkungan di sekitar tambang batubara saat

sebelum dilakukan proses penambangan ?


4; Bagaimanakah kondisi lingkungan disekitar tambang batubara setelah

dilakukan proses penambangan selama ini ?


5; Bagaimanakah faktor lingkungan (pH tanah, suhu tanah, suhu udara,

kelembaban, kadar air tanah) disekitar tambang batubara tersebut ?


C; Batasan masalah

Berdasarkan identifikasi masalah di atas maka penelitian ini dibatasi,


yaitu:
1; Komposisi vegetasi dasar pada areal bekas tambang batubara, yang

meliputi jenis, jumlah, kerapatan, kerapatan relatif, frekuensi, frekuensi


relatif serta Indeks keanekaragaman
2; Kondisi lingkungan pada areal bekas tambang batubara (pH tanah, suhu

tanah, suhu lingkungan, kelembaban, kadar air tanah )


3; Penelitian ini dilakukan di areal bekas tambang batubara yang belum

direvegetasi dan belum di timbun dengan top soil milik PT. Karbindo
Abesiapradi di Jorong Sungai Tambang Kecamatan Kamang Baru
Kabupaten Sijunjung.
D; Rumusan Masalah

Berdasarkan batasan masalah di atas maka peneliti merumuskan


masalah yaitu bagaimana komposisi vegetasi dasar pada areal bekas tambang

batubara PT. Karbindo Abesiapradi di Kecamatan Kamang Baru Kabupaten


Sijunjung.
E; Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah


1; Untuk mengetahui komposisi vegetasi dasar pada areal bekas tambang

batubara.
2; Untuk mengetahui kondisi lingkungan (pH tanah, suhu tanah, suhu

lingkungan, kelembaban, kadar air tanah) di areal bekas tambang batubara.


F; Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat:


1; Sebagai informasi mengenai flora, khususnya tumbuhan di sekitar areal

tambang batubara di Kecamatan Kamang Baru Kabupaten Sijunjung


2; Sebagai penambah wawasan dan ilmu pengetahuan khususnya Taksonomi

Tumbuhan Tinggi
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A; Vegetasi Dasar

Hutan di Indonesia merupakan hutan tropis. Pada hutan tropis terdapat


pepohonan yang tumbuh membentuk beberapa stratum tajuk. Stratifikasi yang
terdapat pada hutan hujan tropis dapat dibagi menjadi lima stratum berurutan
dari atas ke bawah, yaitu :
1; Stratum A: yaitu lapisan tajuk (kanopi) hutan paling atas yang dibentuk

oleh pepohonan yang tingginya lebih dari 30 m.


2; Stratum B : yaitu lapisan tajuk kedua dari atas yang dibentuk oleh

pepohonan yang tingginya 20 - 30 m.

3; Stratum C : yaitu lapisan tajuk yang dibentuk oleh pepohonan yang

tingginya 4 20 m.
4; Stratum D : yaitu lapisan tajuk yang dibentuk oleh spesies tumbuhan

semak dan perdu yang tingginya 1 4 m.


5; Stratum E : yaitu lapisan tajuk paling bawah yang dibentuk oleh spesies

spesies tumbuhan penutup tanah (ground cover) yang tingginya 0 1 m.


Spesies spesies tumbuhan bawah yang sering ada yaitu anggota familia
Commelinaceae, Zingiberaceae, Acanthaceae, Araceae, dan Marantaceae.
Pada stratum ini, tumbuhan paku dan Selaginella juga sangat dominan
(Indriyanto, 2006).
Disuatu bentang alam tertentu dijumpai adanya penutupan tumbuhan
(plant cover) yang tumbuh pada area tersebut. Penutupan tumbuhan tersebut
sering dijumpai satu atau beberapa komunitas tumbuhan yang secara bersama
membentuk suatu vegetasi. Jadi vegetasi memiliki cakupan arti yang lebih
umum dan luas dibandingkan dengan7komunitas tumbuhan (Ardhana, 2012).
Kemudian Heddy (2012) mengatakan bahwa vegetasi adalah masyarakat
tumbuhan pada suatu daerah yang luas dan mudah dikenal dengan penglihatan.
Vegetasi dasar adalah komunitas tumbuhan yang menyusun
stratifikasi bawah dekat permukaan tanah. Tumbuhan ini umumnya berupa
rumput, herba, semak, atau perdu rendah. Jenis vegetasi ini ada yang bersifat
annual, binual, atau perenial dengan bentuk hidup soliter, berumpun, tegak,
menjalar atau memanjat. Secara taksonomi vegetasi dasar umumnya anggota
dari suku atau familia Poaceae, Cyperaceae, Araceae, Asteraceae, paku-pakuan
dan lain- lain. Vegetasi ini banyak terdapat di tempat- tempat terbuka, tepi
jalan, tebing sungai, lantai hutan, lahan pertanian dan perkebunan (Aththorick,
2005 dalam Ramadhani, 2013).

Familia Poaceae atau Graminae berupa terna anual atau perenial.


Kadang-kadang berupa semak atau pohon yang tinggi. Batang dengan posisi
yang beramcam-macam, ada yang tegak lurus, tumbuh serong ke aras,
berbaring atau merayap, kadang dengan rimpang. Familia Cyperaceae
memiliki ciri-ciri umumnya berupa terna perenial yang menyukai habitat yang
lembab, berair, jarang berupa terna anual, sering berumpun.batang segi tiga,
tidak berongga, dibawah rangkaian bunga biasanya tidak bercabang
(Tjitrosupomo, 1991).

B; Keadaan flora di Indonesia


Berdasarkan UU RI No. 41 tahun1999 tentang Kehutanan, hutan adalah
suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam
hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya,
yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan (Sumargo dkk, 2011).
Indonesia terletak di daerah tropik, sehingga hutan yang ada bertipe hutan
tropik. Hutan tropik tidak homogen, melainkan sangat heterogen yaitu terdiri
atas berbagai jenis biota yang perkembangan dan terbentuknya hutan sangat
dipengaruhi oleh faktor iklim dan tanah. Indonesia memiliki wilayah 750 juta
hektar dengan luas dataran 193 juta hektar (24,7%) . Di atas daratan tersebut,
terdapat hutan seluas 143,9 juta hektar (kira-kira 75% dari luas daratan).
Wilayah hutan seluas itu sebagian besar berada di Kalimantan, Sumatera, Irian
Jaya bagian timur dan Jawa yang merupakan tipe hutan hujan tropik. Dari 193
juta hektar lahan di Indonesia, 25% diantaranya berupa lingkungan hidup
binaan manusia, misalnya lahan desa, kota dan industri (Indriyanto, 2008).

Hutan merupakan sumber kemakmuran bagi masyarakat di sekitarnya.


Hutan menghasilkan kayu yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan bangunan,
bahan baku furnitur, alat-alat transportasi, dan lain-lain. Manusia dapat
memperoleh sumber makanan seperti buah-buahan, umbi-umbian, binatang
buruan, dan jamur dari dalam hutan. Hutan juga merupakan apotek hidup
raksasa dimana dari dalamnya terdapat berbagai macam tanaman obat, madu,
bahkan dari lantai hutan dapat diperoleh berbagai mikroba penghasil antibiotik.
Selain hasil yang dapat dipungut langsung, hutan juga merupakan pemasok
oksigen yang melimpah yang dibutuhkan bagi kehidupan. Di samping itu,
keberadaan hutan juga menjamin kualitas air bersih dalam jumlah yang
seimbang sepanjang tahun (Widyati, 2008)
Hutan di Indonesia telah mengalami kerusakan yang disebabkan oleh
berbagai kegiatan manusia, misalnya perambahan hutan, perladangan
berpindah,

penebangan

hutan,

serta

proyek

pembangunan

seperti

pertambangan, transmigrasi, dan pembangunan jalan. Kenyataanya bahwa


hutan Indonesia sudah banyak yang menyusut dibandingkan 25 tahun yang
lalu. Departemen Kehutanan juga menyadari bahwa terdapat 20 juta hektar
hutan yang dinyatakan gundul di seluruh Indonesia (Indriyanto, 2008)
Cadangan bahan tambang yang sangat besar seringkali tersimpan di
dalam tanah di bawah tegakan hutan. Namun ketidak arifan manusia dalam
melakukan praktik penambangan seringkali menggusur keberadaan hutan di
atasnya, sehingga eksploitasi bahan tambang yang awalnya ditujukan untuk
meningkatkan kemakmuran berbalik menjadi bencana. Hal ini terjadi karena

10

keinginan untuk mengambil cadangan bahan galian sebanyak-banyaknya tanpa


memperhitungkan kemampuan lingkungan untuk menanggung beban akibat
berubahnya keseimbangan ekosistem (Widyati, 2008)
C; Hubungan Tambang Batubara dengan Tumbuhan disekitarnya

Hutan merupakan kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi


sumber daya alam hayati yang didominasi oleh pepohonan dalam persekutuan
alam lingkungannya yang satu dengan yang lainya tidak dapat dipisahkan.
Hutan bukan hanya sekumpulan individu pohon, tetapi sebagai kumpulan
tumbuhan yang kompleks, terdiri atas pepohonan, semak, tumbuhan bawah,
jasad renik tanah dan hewan. Satu sama lain saling terikat dalam hubungan
ketergantungan (Indriyanto, 2008)
Dalam suatu ekosistem hutan, tumbuh-tumbuhan berhubungan erat satu
sama lain dengan lingkungannya. Hubungan ini terlihat dengan adanya variasi
dalam jumlah masing-masing jenis tumbuhan dan terbentuknya struktur
masyarakat tumbuh-tumbuhan tersebut. Terbentuknya pola keanekaragaman
dan struktur spesies vegetasi hutan merupakan proses yang dinamis, erat
hubungannya dengan kondisi lingkungan, baik biotik maupun abiotik (Hilwan
dkk, 2013)
Kegiatan pertambangan untuk mengambil bahan galian berharga dari
lapisan bumi telah berlangsung sejak lama. Selama kurun waktu 50 tahun,
konsep dasar pengolahan relatif tidak berubah, yang berubah adalah skala
pertambangan semakin membesar. Untuk mendapatkan lapisan bijih yang
mengandung bahan tambang tertinggi dilakukan pembukaan dan pengupasan
tanah hutan serta adanya tumpukan limbah yang dihasilkan yang menyebabkan
kerusakan lingkungan secara luas. Dari studi US-EPA (1995) pengaruh
kegiatan pertambangan menghasilkan limbah dapat menyebabkan dampak

11

pada lingkungan seperti pencemaran air permukaan dan air tanah, mengganggu
kesehatan manusia, menyebabkan kerusakan flora dan fauna dan pencemaran
udara (Fahruddin, 2010)

D; Dampak Penambangan Batubara

Menurut Poerwoko (2013) dampak yang timbul karena adanya


aktivitas pertambangan pada suatu areal adalah sebagai berikut :
1; Penurunan Kualitas Udara

Penurunan kualitas udara lingkungan kerja (peningkatan kandungan


debu, konsentrasi gas, SO2, NO2, dan CO serta kebisingan), disebabkan oleh
beberapa kegiatan, yaitu :
1; Translokasi tanah material penutup (overburden)
2; Pengangkutan batubara dari areal penambangan menuju ROM area
3; Pengangkutan produk batubara dari lokasi tambang menuju pelabuhan

Teluk Bayur atau stock pile pihak pembeli


2; Penurunan Kualitas Air Permukaan

Dampak berupa penurunan kualitas air permukaan dalam hal ini


bagian dari perairan jorong sungai tambang, disebabkan beberapa faktor :
1; Penirisan (leaching) timbuhan material tanah penutup pada waste dump

overburden oleh air hujan, yang kemudian ditranslokasikan kenuju


perairan sungai tambang
2; Introdukasi limbah cair dari unit kegiatan perbengkelan (workshop) dan

infrastructure lainya (kantor) kelingkungan perairan sungai tambang


3; Penurunan Kualitas Tanah dan Lahan

12

Sumber daya tanah juga mengalami penurunan kualitas akibat


kegiatan penebasan dan pemindahan tanah pucuk (topsoil). Bentuk
dampaknya adalah penurunan kesuburan tanah akibat peningkatan
permeabilitas tanah, laju erosi permukaan serta penirisan kandungan kimia
oleh air hujan.
4; Perubahan Bentang Alam

Kegiatan penggalian batubara sekaligus penimbunan material (tanah


penutup) pada waste dump overburden menimbulkan dampak berupa
perubahan bentang alam areal di areal kerja :
1; Terbentuknya cekungan yang sangat dalam (pit area)
2; Pertambahan tinggi daerah atau areal waste dump overburden
5; Perubahan komponen biologi

Dampak pada komponen biologi berupa perpindahan habitat berbagai


jenis fauna darat, disebabkan aktifitas pembersihan dan pembukaan lahan
areal kerja serta kebisingan yang timbul dari peralatan dan kendaraan.
E; Bekas Tambang dan Perbaikannya
Lahan bekas tambang merupakan lahan sisa hasil proses pertambangan
yang harus direklamasi. Reklamasi merupakan kegiatan yang dilakukan untuk
memperbaiki lahan pasca penambangan. Penghijauan atau revegetasi
merupakan aktifitas untuk mewujudkan pemanfaatkan areal bekas tambang
menjadi hutan produktif. Kegiatan ini meliputi pembibitan tanaman,
penanaman, dan penyisipan (penyulaman) kemudian diikuti perawatan melalui
pemupukan dan penyiangan secara berkala (Poerwoko, 2013).

13

F; Bioremediasi/Fitoremediasi Lahan Pasca Tambang Batubara

Bioremediasi

adalah

suatu

proses

pemulihan

polutan

dengan

memanfaatkan jasa makhluk hidup seperti mikroba (bakteri, fungi, khamir),


tumbuhan hijau atau enzim yang dihasilkan dalam proses metabolisme mereka.
Aplikasi bioremediasi di lapangan sangat tergantung pada sifat fisik dan kimia
lingkungan maka faktor-faktor kebutuhan oksigen atau sumber energi, pH,
ketersediaan sumber karbon, kadar air, dan suhu lingkungan harus diperhatikan
sebab faktor-faktor tersebut akan mempengaruhi aktivitas mikroba yang
digunakan. Masing - masing mikroba memerlukan kebutuhan lingkungan yang
spesifik (Adman, 2012).
Kegiatan pertambangan banyak menimbulkan dampak, baik terhadap
lingkungan, maupun yang bersifat ekonomis dan sosial. Salah satu unsur
penyebab dampak itu adalah limbah yang dihasilkan sebagai sampingan atau
sisa dari penggarapan dan pengolahan yang sering kali volumenya besar dan
banyak jenisnya. Adapun jenis limbah yang dihasilkan dari berbagai jenis
dalam kegiatan pertambangan yaitu air tambang, limbah batuan overburden,
larutan sisa proses. Dari studi US-EPA (1995) pengaruh kegiatan pertambangan
menghasilkan limbah dapat menyebabkan dampak pada lingkungan seperti
pencemaran air permukaan dan air tanah, mengganggu kesehatan manusia,
menyebabkan kerusakan flora dan fauna dan pencemaran udara (Fahruddin,
2010).
Fitoremediasi adalah suatu teknologi yang menggunakan tumbuhan
hijau dengan tujuan menghilangkan substansi polusi dari lingkungan dan
mengubahnya kedalam bentuk yang tidak berbahaya.Pencemaran logam berat
dapat dikurangi dengan penanaman jenis-jenis tertentu yang memiliki
kemampuan untuk mengakumulasi bahan pencemar dalam tubuhnya. Beberapa

14

jenis tumbuhan diketahui memiliki kemampuan tersebut yaitu Ipomoea sp.dan


Limnocharis flava dapat mengakumulasi sianida (HCN), sedangkan Mikania
cordata dan Azolla sp. dapat mengakumulasi timbal (Pb) (Adman, 2012).
G; Analisis Komunitas Vegetasi

Pengambilan contoh untuk analisis komunitas tumbuhan dapat


dilakukan dengan menggunakan metode petak (plot), metode jalur, ataupun
metode kuadran.
1; Metode Petak

Metode petak merupakan prosedur yang paling umum digunakan untuk


pengambilan contoh berbagai tipe organisme termasuk komunitas tumbuhan.
Petak yang digunakan dapat berbentuk segi empat, persegi panjang, atau
lingkaran. Disamping itu, untuk kepentingan analisis komunitas tumbuhan
dapat digunakan petak tunggal atau petak ganda (Indriyanto, 2006).
Pada metode petak contoh pengukuran peubah dasar dilakukan dengan
cara penaksiran berdasarkan petak contoh. Bila habitatnya itu berupa suatu
daerah yang luas maka diambillah seluas tertentu dari daerah itu dan dari
daerah contoh itu dihitunglah tumbuhan yang diteliti tersebut. Pengukuran
yang dilakukan pada petak contoh tersebut digunakan sebagai penaksiran dari
keadaan semua lokasi penelitian. Kesahihan analisis berdasarkan petak contoh
tergantung pada tiga hal, yaitu populasi dalam tiap petak contoh yang diambil
harus dapat dihitung dengan tepat, luas dan satuan tiap petak harus jelas dan
pasti, petak contoh yang diambil harus dapat mewakili seluruh area/daerah
penelitian. Untuk memenuhi persyaratan yang ketiga agar hasil penelitian
sahih maka dilakukan pengambilan contoh secara acak, baik secara acak
sederhana maupun acak bersetrata ( Suin dan Syafinah, 2006)
a; Petak tunggal

15

Di dalam metode petak tunggal, hanya dibuat satu petak contoh


dengan ukuran tertentu yang mewakili suatu tegakan hutan atau suatu
komunitas tumbuhan . Ukuran minimum petak contoh dapat ditentukan
menggunakan kurva spesies area. Luas minimum petak contoh
ditetapkan dengan dasar bahwa penambahan luas petak tidak
menyebabkan kenaikan jumlah spesies lebih dari 5% (Indriyanto, 2006).
b; Petak ganda

Pengambilan contoh vegetasi pada metode petak ganda dilakukan


dengan menggunakan banyak petak contoh yang letaknya tersebar
merata pada areal yang dipelajari, dan peletakan petak contoh sebaiknya
secara sistematik. Ukuran tiap petak contoh disesuaikan dengan tingkat
pertumbuhan dan bentuk tumbuhannya. Menurut Kusmana (1997) dalam
Indrianto (2008) ukuran petak contoh untuk pohon dewasa 20m x 20m,
fase tiang 10m x 10m , fase pancang 5m x 5m, dan untuk semai serta
tumbuhan bawah menggunakan petak contoh 1m x 1m dan 2m x 2m.
Pada metode petak ganda dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu secara
acak dan secara sistematis (Indriyanto, 2006). Soerianegara dan
Indrawan (1976) dalam Syafiuddin (1990) menggunakan petak petak
contoh masing-masing, petak ukur untuk pohon 0,1 hektar, petak ukur
untuk pancang 0,01 hektar dan petak ukur untuk semai dan tumbuhan
bawah berukuran 0,001 hektar (Syafiuddin, 1990)
2; Metode Jalur/ transek

Metode ini tepat sekali digunakan dalam analisis vegetasi suatu daerah
yang luas dan keadaan komunitasnya belum diketahui keadaanya, dan pada
lokasi

penelitian

yang

bervariasi

ketinggian,

keadaan

tanah,

dan

topografinya. Selain itu dengan metode ini akan dapat pula diketahui

16

perubahan vegetasi pada suatu daerah karena adanya faktor tanah dan
topografi. Untuk itu dapat dibuat suatu jalur/transek yang tegak lurus
terhadap garis dasar seperti pantai atau pinggir hutan, atau terhadap kaki
gunung (Suin dan Syafinah, 2006)
3; Metode Garis Berpetak

Metode ini dianggap sebagai modifikasi dari metode petak ganda atau
metode jalur, yaitu dengan cara melompati satu atau lebih petak- petak dalam
jalur, sehingga sepanjang garis rintis terdapat petak-petak pada jarak tertentu
yang sama ( Indriyanto, 2006).
4; Metode Kuadran

Metode kuadran umumnya digunakan untuk pengambilan contoh


vegetasi tumbuhan jika hanya vegetasi fase pohon yang menjadi objek
kajianaya. Syarat penerapan metode kuadran ini adalah distribusi pohon yang
akan diteliti harus acak (Indriyanto, 2006). Pada metode kuadran dibuat suatu
seri titiktitik yang ditentukan di lapangan pada interval jarak tertentu
sepanjang garis lurus, atau bisa juga secara acak di daerah penelitian.
Biasanya titiktitik itu berupa garis lurus searah dengan mata angin. Titik
titik itu merupakan suatu pusat yang padanya dibuat empat buah kuadran.
Tumbuhan yang akan dianalisis adalah satu pohon dari masingmasing
kuadran yang jaraknya terdekat pada titik pusat (Suin dan syafinah, 2006)
H; Teknik Pengambilan Sampel

Menurut Fachrul (2007) teknik pengambilan sampel yang umum


digunakan dalam pengumpulan data bioekologi sumber daya alam dapat
dilakukan dengan beberapa model yang sesuai dengan kebutuhan , yaitu
sebagai berikut:
1; Random Sampling

17

Metode tersebut adalah pengambilan sampel secara acak sederhana


yang digunakan untuk memilih sampel dari populasi dengan cara
sedemikian rupa sehingga setiap anggota populasi mempunyai peluang
yang sama besar untuk diambil sebagai sampel. Umumnya cara ini
digunakan apabila populasi dari sampel yang akan diambil merupakan
populasi homogen yang hanya mengandung satu ciri.
2; Cluster Sampling

Metode tersebut adalah pengambilan sampel acak secara sistematik


dengan interval tertentu dari suatu kelompok sampel yang telah diurutkan.
Teknik tersebut digunakan apabila di dalam populasi terdapat kelompokkelompok yang mempunyai ciri sendiri sendiri.
3; Stratified Sampling

Metode tersebut adalah metode pengambilan sampel secara acak


terstratifikasi dengan memilih sampel dengan cara membagi populasi ke
dalam kelompok-kelompok yang homogen dimana subjek antara satu
kelompok dengan kelompok lain tampak adanya strata atau tingkatan dan
kemudian sampel diambil secara acak dari tiap strata tersebut.
4; Purposive Sampling

Teknik pengambilan sampel yang digunakan apabila sampel yang


akan diambil mempunyai pertimbangan tertentu.
I;

Identifikasi
Selain mengadakan penggolongan atau klasifikasi, tugas utama
taksonomi lainya yang penting adalah pengenalan atau identifikasi. Melakukan
identifikasi tumbuhan berarti mengungkapkan atau menetapkan identitas atau
jati diri suatu tumbuhan, yang dalam hal ini tidak lain dari pada menentukan
namanya yang benar dan tempatnya yang tepat dalam sistem klasifikasi. Oleh

18

pelaku identifikasi spesimen yang belum dikenal itu melalui studi yang
seksama kemudian dibuatkan deskripsinya disamping gambar-gambar terinci
mengenai bagian-bagian tumbuhan yang memuat ciri-ciri diagnostiknya yang
atas dasar hasil studinya kemudian ditetapkan spesimen itu merupakan anggota
populasi jenis apa,dan berturutturut ke atas dimasukkan kategori yang mana
(marga, suku, bangsa, dan kelas serta divisinya).Penentuan nama jenis dan
tingkattingkat takson ke atas berturut- turut tidak boleh menyimpang dari
keentuanketentuan yang berlaku (Tjitrosoepomo, 1993)
J; Analisis Data

Analisa data dilakukan secara kualitatif dan kuatitatif. Kualitatif berupa


identifikasi herbarium, sedangkan kuantitatif dengan menghitung densitas atau
Kerapatan (K). Dengan demikian, kerapatan spesies ke-i dapat dihitung sebagai
K-i, dan kerapatan relatif setiap spesies ke-i terhadap kerapatan total dapat
dihitung sebagai KR-i. Untuk kepentingan analisis komunitas tumbuhan,
dihitung frekuensi spesies (F), frekuensi spesies ke-i (F-i) dan frekuensi relatif
spesies ke-i (FR-i) dan indeks keanekaragaman dengan rumus sebagai berikut.
1; Kerapatan

K-i

KR-i

Jumlah individu
luas seluruh petak contoh
Jumlah individu untuk spesies kei
luas seluruh petak contoh
kerapatan spesies kei
kerapatan seluruh jenis X 100%

Keterangan:
K= Kerapatan
K-i = kerapatan spesies i
KR= Kerapatan relatif
KR-i= kerapatan relatif spesies-i
(Indriyanto,2006)
2; Frekuensi

19

Di dalam ekologi, frekuensi dipergunakan untuk menyatakan


proporsi antara jumlah sampel yang berisi suatu spesies tertentu terhadap
jumlah total sampel.
Jumlah petak contohditemukanya suatu spesies
F
=
jumlah seluruh petak contoh
Jumlah petak contohditemukanya suatu spesies kei
F-i
=
jumlah seluruh petak contoh
frekuensi suatu spesies kei
FR-i =
X 100 %
frekuensi seluruh spesies
Keterangan :
F= Frekuensi
F-i = Frekuensi spesies ke-i
FR = Frekuensi relatif
FR-i = Frekuensi relatif spesies ke-i
(Indriyanto, 2006)
3; Indeks keanekaragaman

Hl = Hl
ni
N

log

: Indeks keanekaragaman Shannor Wienner


: Jumlah individu dari suatu spesies
: Jumlah total individu seluruh jenis
(Fachrul,2007)

20

BAB III
BAHAN DAN METODE

A; Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus - September 2014 di


areal bekas tambang barubara PT. Karbindo Abesiapradi di Kecamatan
Kamang Baru Kabupaten Sijunjung dan dilanjutkan di Laboratorium Botani
Program Studi Pendidikan Biologi STKIP PGRI Sumatera Barat dan di
Herbarium Universitas Andalas (ANDA) Jurusan Biologi FMIPA Universitas
Andalas.
B; Alat dan Bahan

Alat alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah alatalat tulis,
kamera digital Samsung ES95, meteran, tali rafia, pancang, gunting tanaman,
parang, pisau, cutter, karung, karung plastik, label gantung, benang jagung,
koran, kardus atau triplek, lakban, spidol permanen, karet gelang, kantong
plastik, kertas monting, jarum jahit, benang jahit, aluminium foil, oven PH9053AS,

timbangan/neraca,

termometer

air

raksa,

soil

tester,

thermohigrometer. Serta bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini


adalah Alkohol 96 % , vegetasi dasar serta sampel tanah.
C; Deskripsi Daerah

Lokasi penelitian yaitu areal bekas tambang batubara PT. Karbindo


Abesiapradi terletak di Sungai tambang, Kenagarian Kunangan Parik Rantang,
Kecamatan Kamang Baru Kabupaten Sijunjung. Luas keseluruhan daerah PT.

21

Karbindo Abesyapradhi adalah 344,5 Ha, lahan yang sudah dibuka atau
dimanfaatkan seluas 243,5 Ha, areal penimbunan material buangan 141,8 Ha,
areal yang telah dilakukan revegerasi seluas 68,2 Ha (Poerwoko, 2013). Lokasi
tambang batubara Abesyapradi ini sebelah utara berbatasan dengan perkebunan
warga yang dikelola oleh KUD Kunangan, sebelah selatan berbatasan dengan
22

jalan raya Sumatera dan Jorong Sungai Tambang, sebelah barat berbatasan
dengan hutan Kiliran Jao dan sebelah timur berbatasan dengan Jorong
Kunangan
D; Metode Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode petak ganda


dengan peletakan plot secara purposive sampling dengan ukuran plot
2m x 2m serta jumlah plot sebanyak 10 plot. Luas Lokasi penelitian kurang
lebih 4,12 Ha.
E; Cara Kerja
1; Dilapangan
1; Metoda yang digunakan dalam penelitian ini adalah Metoda petak

contoh yaitu petak ganda dengan peletakan plot secara purposive


sampling dengan ukuran plot 2m x 2m dan jumlah plot 10 plot pada
areal bekas tambang batubara yang belum direvegetasi dan belum
ditimbun dengan Top soil.
2; Kemudian pada setiap plot pengamatan dilakukan pencatatan terhadap

jenis vegetasi dasar yang diperoleh dan jumlah individu masingmasing species.
3;

Kemudian dilakukan pengoleksian terhadap jenis vegetasi dasar


yang diperoleh.

22

4; Koleksi diberi label gantung dan dilakukan pengambilan gambar

setiap jenis vegetasi dasar tersebut dengan kamera kemudian


dilakukan pengawetan dengan menggunakan Alkohol 96 %
5; Kemudian sampel dikeringkan dengan cara dijemur sampai kering,

namun sampael jangan sampai rusak dan terlalu kering.


Pengukuran faktor lingkungan :
1; Pada pengukuran faktor lingkungan, pengukuran pH tanah dan

kelembaban tanah diukur dengan menggunakan soil tester. Yaitu


dilakukan

dengan cara menancapkan soil tester ke dalam tanah

selama beberapa menit.


2; Pengukuran suhu udara dan kelembaban udara, diukur dengan

menggunakan thermohigrometer, yaitu dilakukan dengan cara


menggantungkan thermohigrometer di lokasi areal penelitian selama
beberapa menit.
3; Pengukuran suhu tanah dilakukan menggunakan termometer air raksa,

yaitu dengan cara melubangi tanah sedalam 10 15 cm, kemudian


masukkan termometer kedalamnya, tunggu sampai beberapa menit.
4; Pengukuran kadar air tanah, sampel tanah di ambil di lokasi penelitian

yang kemudian di bawa ke laboratorium untuk di ukur kadar air


tanahnya.
5; Kemudian hasil dari masing - masing pengukuran faktor lingkungan

di catat.
2; Di laboratorium
a; Sampel Vegetasi dasar
1; Pastikan sampel vegetasi dasar telah kering.

23

2; Pensortiran. Setelah spesimen kering, kemudian dipisahkan dan

disusun atau dikelompokkan berdasarkan nomor koleksi dilapangan.


3; Memonting atau penempelan spesimen di atas kertas monting

dengan cara dijahit.


4; Identifikasi sampel vegetasi dasar dengan menggunakan spesimen

herbarium yang telah teridentifikasi yaitu dengan menyamakan


spesimen yang akan diberi nama dengan spesimen yang telah
teridentifikasi, serta menggunakan buku- buku tentang taksonomi
tumbuhan, yaitu dilakukan di Herbarium Universitas Andalas
(ANDA)
Buku-buku identifikasi yang dipakai yaitu:
1; Corner, E.J.H dan Watanabe,K. (1969). Illustrated Guide To
Tropical Plants. Tokyo: Hirokawa Publishing
2; Gilliand, H.B. (1971). Flor a Malaya Volume III, Grasses of

Malaya. Singapore: The Goverment Printing Office


3; Soerjani, Mohammad dkk. (1987). Weeds of Rice in Indonesia.

Jakarta: Balai Pustaka

5; Pemberian label. Pemberian label setiap spesimen yang telah kering

dengan isi label adalah nama suku tumbuhan (family), nama jenis
(species), tanggal koleksi (date), lokasi tempat koleksi (locality),
nama yang mengoleksi (collector), nomor koleksi (no coll), catatan
penting tumbuhan (annot).
6; Herbarium difoto untuk dijadikan dokumentasi penelitian
b; Sampel tanah
a; Timbang terlebih dahulu aluminium foil sebagai wadah

24

b; Ambil tanah yang dibawa dari lapangan sebanyak 100 gr

kemudian diletakkan diatas aluminium foil dan ditimbang.


c; Setelah itu keringkan dengan oven 105 0C sampai konstan
d; Setelah dingin, tanah tersebut ditimbang kembali beratnya
e; Sehingga diketahui berat basah dan berat kering.

berat air
berat tanah basa h

Bb =

Bb
Berat air

x 100%

= kadar air tanah


= berat tanah basah - berat tanah kering
(Suin dan Syafinah, 2006)

3; Analisis data
1; Kerapatan

Jumlah individu
luas seluruh petak contoh
kerapatan spesies kei
KR = kerapatan seluruh jenis

K=

X 100%

2; Frekuensi

Jumlah petak sampel ditemukanya suatu spesies


jumlah seluruh petak sampel
frekuensi suatu spesies kei
FR =
X 100 %
frekuensi seluruh spesies

F=

(Indriyanto.2006)
4; Indeks keanekaragaman

Hl = Hl
ni
N

log

: Indeks keanekaragaman Shannor Wienner


: Jumlah individu dari suatu spesies
: Jumlah total individu seluruh jenis

Berdasarkan Indeks Keanekaragaman jenis menurut Shonnon


Winner didefenisikan sebagai berikut:
a; Nilai H > 3 menunjukkan bahwa keanekaragaman spesies pada
suatu transek adalah melimpah tinggi

25
b; Nilai H 1 H 3 menunjukkan bahwa keanekaragaman spesies

pada suatu transek adalah sedang melimpah


c; Nilai H < 1 menunjukkan bahwa keanekaragaman spesies pada
suatu transek adalah sedikit atau rendah
(Fachrul, 2007)

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A; Hasil

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, diperoleh hasil sebanyak 18


species yang terbagi ke dalam 14 Familia dari 893 individu yang terlihat pada
Tabel 1.
Tabel 1.Jumlah Individu vegetasi dasar yang ditemukan pada areal bekas tambang
batubara di Kecamakan Kamang Baru Kabupaten Sijunjung
Familia

Species

Jmh
Ind

I
II

Lamiaceae
Malvaceae

1. Hyptis suaveolens (L) Point


2.Sida rhombifolia L.

22

III

Phyllanthaceae

3. Phyllanthus virgatus G. Forst

53

IV

Euphorbiaceae

4.Euphorbia prunifolia Jacq

12

26

Fabaceae

5.Euphorbia hirta L.

28

6.Mimosa pudica L.

141

7.Mimosa pigra L.
VI

Poaceae

8.Pennisetum polystachyon (L.) Schult


9.Neyraudia reynaudiana

431
62

10.Sporobolus diandrus (Retz. ) P. Beauv

51

VII

Passifloraceae

11.Passiflora foetida L

VIII

Ulmaceae

12.Trema orientalis (L.) Blume

IX

Blechnaceae

13.Blechnum sp

Muntingiaceae

14.Muntingia calabura L.

XI

Convolvulaceae

15.Merremia umbellata (L) Hallier f.

XII

Rubiaceae

16.Borreria laevis Lam

XIII

Asteraceae

XIV

Solanaseae

11

17.Chromolaena odorata (L.) R.M.King &


H.Rob

18.Physalis minima L.

Total

893

Hasil perhitungan kerapatan, kerapatan relatif, frekuensi, frekuensi relatif,


dan indeks keanekaragaman terlihat pada28
Tabel 2.
Tabel 2 .Komposisi vegetasi dasar yang ditemukan pada areal bekas tambang
batubara di Kecamakan Kamang Baru Kabupaten Sijunjung
No

Species

Hyptis suaveolens (L) Point

2
3

Sida rhombifolia L.
Phyllanthus virgatus G. Forst

KR

FR

ni/N log
ni/N

1,45

6,495

0,7

11,111

-0,077

0,55

2,464

0,6

9,524

-0,039

1,325

5,935

0,5

7,937

-0,073

27
4
5
6
7
8

Euphorbia prunifolia Jacq


Euphorbia hirta L.
Mimosa pudica L.
Mimosa pigra L.
Pennisetum polystachyon (L.) Schult

9
10

Neyraudia reynaudiana
Sporobolus diandrus (Retz. ) P.
Beauv
Passiflora foetida L
Trema orientalis (L.) Blume
Blechnum sp
Muntingia calabura L.
Merremia umbellata(L) Hallier f.

11
12
13
14
15

0,3

1,344

0,3

4,762

-0,025

0,7

3,135

0,5

7,937

-0,047

3,525

15,789

0,5

7,937

-0,127

0,025

0,112

0,1

1,587

-0,003

10,775

48,264

15,873

-0,153

1,55

6,943

0,5

7,937

-0,081

0,05

0,224

0,2

3,174

-0,073

0,125

0,560

0,4

6,349

-0,012

0,275

1,232

0,3

4,762

-0,023

0,1

0,448

0,1

1,587

-0,009

0,025

0,112

0,1

1,587

-0,003

0,05

0,224

0,1

1,587

-0,005

0,784

0,2

3,175

-0,015

0,112

0,1

1,587

-0,005

0,224

0,1

1,587

-0,005

16
17

Borreria laevis Lam


0,175
Chromolaena odorata (L.) R.M.King
& H.Rob
0,025

18

Physalis minima L.

0,05

H = -ni/N log ni/N

0,775

Hasil pengukuran faktor lingkungan di areal bekas tambang batubara di


Kecamatan

Kamang

Baru

Kabupaten

Sijunjung

ditampilkan

pada

Tabel 3.
Tabel 3.Ratarata hasil pengukuran faktor lingkungan di lokasi penelitian pada
areal bekas tambang batubara di Kecamatan Kamang Baru Kabupaten
Sijunjung.
No

Parameter

Suhu udara

220 - 390 C

Kelembaban udara

31 78 %

28

Suhu tanah

290 390 C

Kelembaban tanah

1 - 2%

pH

6,3 7,5

Kadar air tanah

3,3 9,4%

B; Pembahasan

Dari tabel 1. di atas dapat dilihat bahwa species yang paling banyak
ditemukan adalah Pennisetum polystachyon (L.) Schult dengan jumlah 431
individu, species ini ditemukan pada setiap petak contoh. Pennisetum
polystachyon (L.) Schult masuk ke dalam familia Poaceae . Menurut
Citrosupomo (1991 ), familia ini (Poaceae) merupakan familia terbesar,
meliputi lebih dari 4000 species yang terbagi dalam lebih dari 400 genus,
yang distribusinya meliputi seluruh dunia.
Banyaknya species ini ditemukan karena species ini memiliki
kemampuan adaptasi yang tinggi terhadap lingkungan yang kering, unsur hara
rendah serta mampu bersaing dengan species-species yang lain, di lokasi
penelitian ini kadar air tanahnya berkisar antara 3,3- 9,4 %,

hal ini

menandakan bahwa kadar air tanah pada lokasi tersebut rendah. Rendahnya
kadar air tanah menyebabkan terjadinya persaingan yang ketat antara speciesspecies yang ada. Species yang mampu bertahan hidup dan berkembang
dengan baik adalah species yang mampu memanfaatkan air tanah dan unsur
hara tanah yang ketersedianyaannya terbatas. . Menurut Arsyad, dkk (2011)
menyatakan bahwa familia poaceae adalah adalah salah satu suku anggota

29

tumbuhan berbunga. Poaceae merupakan kelompok tumbuhan yang sangat


berhasil penyebarannya di muka bumi ini dengan sangat luas. Sistem akar
mampu mengisap nutrisi secara luar biasa, juga efisiensi dalam penyerapan air
dan stabilisasi tanah. Bersifat kosmopolit tetapi terbanyak di daerah tropis dan
temprata utara dengan curah hujan yang cukup untuk untuk membentuk
padang padang rumput.
Selain species Pennisetum polystachyon (L.) Schult mampu beradaptasi
dengan baik terhadap lingkunganya, banyaknya species ini ditemukan karena
species ini juga memiliki biji yang kecil-kecil, ringan dan banyak jumlahnya,
sehingga apabila matang dapat tersebar dengan mudah baik terbawa oleh angin
maupun serangga. Menurut Adriani(2012) banyaknya biji yang dihasilkan oleh
setiap individu berarti peluang tumbuh semakin besar pula sehingga tumbuhan
ini bisa terdapat dimana- mana, di tempat terbuka atau agak terlindungi. Hal ini
juga sesuai dengan hasil penelitian Nurhadi dan Nursyahra (2007) bahwa,
rapatnya species Gramineae atau Poaceae diduga karena memiliki jumlah biji
yang kecil dan banyak sehingga jika masak dapat tersebar. Penelitian Adriani
(2012) juga menunjukkan hasil yang sama meskipun di lokasi yang berbeda,
yaitu di perkebunan kelapa sawit, menunjukkan bahwa familia poaceae
dominan di lokasi tersebut dibandingkan dengan familia-familia yang lain.
Species yang paling sedikit ditemukan adalah Muntingia calabura L.
dan Mimosa pigra L. dengan masing- masing sebanyak 1 individu. Sedikitnya
species-species ini ditemukan karena species ini tidak mampu beradaptasi
dengan baik terhadap lingkunganya. Species ini tidak dapat memanfaatkan

30

kadar air dan unsur hara yang jumlahnya terbatas dengan baik. Selain itu
penyebaranya masih kurang, tidak sama halnya dengan Pennisetum
polystachyon (L.) Schult. Muntingia calabura L merupakan salah satu jenis
pohon pinggir jalan yang umum sekali dijumpai, terutama di wilayah-wilayah
yang kering, tumbuh ditepi jalan, selokan atau bahkan ditengah retakan tembok
atau pagar. Menurut Aruna, dkk (2013) Species Muntingi calabura L. masuk
ke dalam familia Elaeocarpaceae, distribusinya luas di seluruh dunia, serta di
Filipina species ini merupakan salah satu tanaman obat. Mimosa pigra L.
termasuk familia fabaceae biasanya berupa pohon atau perdu jarang terna,
batangnya berduri. Menurut Loveless (1989), familia ini berupa pohon, perdu
atau terna, kebanyakan jenisnya memiliki bintil akar yang dihuni oleh galurgalur bakteri penambat nitrogen.
Semua tumbuhan yang tumbuh di lokasi ini adalah tumbuhan yang
mampu bertahan hidup dengan kondisi lingkungan dengan keterbatasan unsur
hara dan air. Semua tumbuhan di lokasi ini bersaing untuk mendapatkan
sumber makanan yang serba terbatas. Banyak atau sedikitnya individu dari
species tertentu tergantung dari species itu sendiri. Banyaknya ditemukan
individu

Pennisetum

polystachyon

(L.)

Schult

dikarenakan

faktor

penyebaranya mendukung, serta dia mmpu beradaptasi dengan baik di lokasi


ini. Sedangkan Muntingia calabura L. dan Mimosa pigra L. memiliki jumlah
individu sedikit dikarenakan faktor penyebaranya kurang mendukung,
meskipun species-species ini mampu beradaptasi pada lokasi ini. Menurut
Soemarwoto

(1977)

Kemampuan

adaptasi

mempunyai

nilai

untuk

kelangsungan hidup. Makin besar kemampuan adaptasi, makin besar


pemetakan kelangsungan hidup suatu jenis.

31

Tabel 2. Menampilkan perhitungan dari kerapatan, kerapatan relatif,


frekuensi, frekuensi relatif, dan indeks keanekaragaman. Dari perhitungan
tersebut diperoleh data bahwa yang memiliki kerapatan relatif tertinggi adalah
species Pennisetum polystachyon (L.) Schult (48,264%). Dari perhitungan
tersebut dapat diketahui bahwa species yang memiliki kerapatan tertinggi
menandakan bahwa jumlah species tersebut banyak terdapat di lokasi
penelitian. Hal ini menandakan bahwa species tersebut mampu beradaptasi
dengan

baik

dan

dapat

menyesuaikan

diri

dengan

baik

terhadap

lingkungannya, serta mampu memanfaatkan ruang, cahaya, air dan unsur hara
tanah yang ada dengan baik.
Menurut (Vickery dalam Ardhana,2012) pada setiap habitat terdapat
sumber daya alam yang jumlahnya terbatas untuk menyokong semua
organisme yang hidup di atasnya dan persaingan diantara mereka tidak dapat
dihindarkan. Pergantian species tumbuhan oleh species tumbuhan yang lainya
dalam suatu habitat bergantung kepada kemampuanya untuk bersaing dalam
memanfaatkan ruang, cahaya, air dan unsur hara yang ada. Kemampuan
bersaing suatu species organisme juga erat kaitanya dengan kemampuan
adaptasinya pada banyak relung yang berbeda.Perbedaan nilai kerapatan
masing-masing jenis disebabkan karena adanya perbedaan kemampuan
reproduksi, penyebaran dan daya adaptasi terhadap lingkungan.
Species yang memiliki kerapatan relatif terendah adalah Muntingia
calabura L. dan Mimosa pigra L. Masingmasing 0,112 %. Species yang
memiliki nilai kerapatan rendah berarti jumlah dari species tersebut masih
sedikit, sehingga dapat dikatakan bahwa tingkat perkembanganyya masih
rendah. Hal ini menandakan bahwa penyesuaian diri terhadap lingkunganya
masih rendah, masih belum bisa bersaing dan memanfaatkan ruang, air dan

32

unsur hara yang ada dengan baik yang ketersediaannya juga terbatas. Menurut
Fachrul (2007) species yang memiliki nilai kerapatan tinggi menandakan
bahwa species tersebut memiliki pola penyesuaian diri yang besar. Sedangkan
species yang memiliki kerapatan relatif rendah diduga tidak dapat
menyesuaikan diri dengan baik pada lokasi tersebut.
Pada perhitungan frekuensi relatif, yang memiliki frekuensi relatif
tertinggi adalah Pennisetum polystachyon (L.) Schult (15,873 %). Species
yang memiliki frekuensi relatif tinggi memiliki sebaran yang
luas dari pada species lain. Penyebaran individu Pennisetum
polystachyon (L.) Schult ditemukan pada setiap petak contoh.
Faktor lingkungan sangat berperan dalam proses penyebaran
suatu species, misalnya kecepatan angin, serangga atau
hewan. Selain itu kadar air tanah dan unsur hara tanah juga
mempengaruhi dalam proses pertumbuhannya di lokasi ini.
Nilai frekuensi suatu jenis juga dipengaruhi secara langsung oleh
distribusi, karena nilai frekuensi melambangkan besar kecilnya distribusi suatu
species. Semakin luas distribusi species tersebut semakin tinggi frekuensi dari
species tersebut. Menurut Fachrul (2007) frekuensi dipakai sebagai parameter
vegetasi yang dapat menunjukkan distribusi atau sebaran jenis tumbuhan
dalam ekosistem atau memperlihatkan distribusi tumbuhan. Nilai yang
diperoleh dapat pula untuk menggambarkan kapasitas reproduksi dan
kemampuan adaptasi jenis tumbuhan tertentu.
Frekuensi relatif terendah adalah Blechnum sp., Muntingia calabura L.,
Merremia umbellata (L) Hallier f., Mimosa pigra L., Chromolaena odorata
(L.) R.M.King & H.Rob dengan masingmasing 1,587 %. Masing-masing

33

species tersebut hanya ditemukan pada satu petak contoh saja. Species yang
mempunyai frekuensi rendah disebabkan karena distribusi dari
species tersebut kecil, serta diduga species tersebut kalah
bersaing dengan species lain baik dari segi unsur hara, air
maupun dari faktor penyebaranya. Unsur hara pada lokasi
penelitian dapat dikatakan rendah, hal ini terjadi karena Top
soil atau lapisan tanah yang kaya dengan unsur hara sudah
dikeruk atau di angkat.
Meskipun species species tersebut termasuk ke dalam
species yang mampu beradaptasi pada lokasi tersebut, namun
ada species lain yang

lebih mampu untuk beradaptasi di

lokasi tersebut serta memiliki penyebaran yang luas. Menurut


Indriyanto (2006) menyatakan sesungguhnya frekuensi dapat
menggambarkan tingkat penyebaran species dalam habitat
yang dipejari.
Hasil perhitungan tingkat keanekaragaman spesies pada vegetasi dasar
di bekas tambang batubara yaitu 0,775 . Nilai tersebut menandakan bahwa
keanekaragaman species pada lokasi tersebut rendah, hal ini sesuai dengan
hasil penelitian yang diperoleh, yaitu hanya diperoleh sebanyak 18 species
pada lokasi yang luasnya 4 Ha. Kenyataan ini terjadi tidak terlepas dari
pengaruh faktor lingkungan. Tumbuhan akan tumbuh dengan subur dan
beranekaragam jika faktor lingkungan mendukung. Faktor lingkungan di lokasi
penelitian kurang mendukung untuk pertumbuhan tumbuhan tertentu, misalnya
kadar air tanah rendah, unsur hara rendah serta kelembaban udara juga tendah.

34

Kondisi ini sangat berlawanan dengan kebutuhan yang diperlukan untuk


pertumbuhan dan keanekaragaman species di lokasi tersebut.
Menurut Fachrul (2007) nilai H < 1 menunjukkan bahwa
keanekaragaman spesies pada suatu transek adalah sedikit atau rendah.
Keanekaragaman

suatu spesies disuatu lokasi tertentu tidak terlepas dari

pengaruh faktor lingkungan yang mendukung. Menurut Iswandi (2012)


hubungan antara faktorfaktor lingkungan dengan masyarakat tumbuhan akan
menentukan keberadaan, kesuburan atau kegagalan masyarakat tumbuhan
untuk tumbuh dan berkembang. Ciri- ciri habitat dan lingkungannya kadangkadang dapat menentukan adanya variasi dan diferensiasi masyarakat
tumbuhannya dalam bentuk tipe-tipe vegetasinya.pada kenyataan ini sesui
dengan kondisi lingkukan di lokasi penelitian.
Kenyataan ini bertolak belakang dengan indeks keanekaragan vegetasi
gulma di perkebunan kelapa sawit yaitu 3,14, nilai tersebut menandakan bahwa
keanekaragaman speciesnya sangat tinggi. Hal ini terjadi karena berada di
lokasi yang berbeda. Di perkebunan kelapa sawit suhu udaranya agak rendah
karena banyak naungan yang dihasilkan oleh batang-batang sawit yang telah
meninggi, selain itu kondisi tanahnya juga mendukung karena di perkebunan
kelapa sawit dilakukan pemupukan secara berkala dan teratur.
Lokasi bekas tambang batubara kondisi lingkunganya telah berubah
dari ekosistem semula saat sebelum dilakukan penambangan. Hal ini sangat
berpengaruh terhadap keanekaragaman jenisnya. Tumbangnya tegakan hutan
di lokasi tersebut menyebabkan meningkatnya suhu lingkungan, berkurangnya
kadar air dan unsur hara tanah, kelembaban udara, ini terjadi karena cahaya
dari sinar matahari langsung mengarah ke tanah tanpa terhalang oleh

35

pepohonan lagi, kondisi yang seperti itu sangat berpengaruh terhadap adaptasi
vegetasi dasar tersebut, dan akibatnya keanekaragaman speciespun rendah.

BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A; Kesimpulan
1; Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, diperoleh hasil sebanyak 18

species yang termasuk ke dalam 14 familia dari 893 individu, KR tertinggi


adalah spesies Pennisetum polystachyon (L.) Schult (48,264 %), KR terendah
adalah Muntingia calabura L. dan Mimosa pigra L. masing-masing 0,112.
FR tertinggi adalah Pennisetum polystachyon (L.) Schult (15,873 %), dan
yang terendah adalah Blechnum sp., Muntingia calabura L., Merremia
umbellata (L) Hallier f., Mimosa pigra L., Chromolaena odorata (L.)
R.M.King

&

H.Rob

dengan

masingmasing

keanekaragaman spesies yaitu 0,775

1,587

%.

Indeks

Nilai H < 1 menunjukkan bahwa

keanekaragaman spesies pada suatu transek adalah sedikit atau rendah.

36

2; Kondisi lingkungan di lokasi penelitian, suhu 220 - 390 C, kelembaban udara

31 78 %, suhu tanah

29 0 390 C, kelembaban tanah 1 - 2%, pH 6,3 7,5

serta kadar air tanah 2,6 9,4%


B; Saran

1; Pemanfaatan sumber daya alam tanpa diiringi dengan pelestarian dapat

mengurangi keanekaragaman jenis dan jumlah individu species.


2; Perlu adanya penelitian lanjutan tentang remediasi pada lahan bekas

tambang, sehingga lokasi bekas tambang diharapkan dapat dimanfaatkan


kembali.
DAFTAR PUSTAKA

Adman, B. (2012). Potensi Jenis Pohon 38


Lokal Cepat Tumbuh Untuk Pemulihan
Lingkungan Lahan Pascatambang Batubara. Thesis
Universitas
Diponegoro Semarang
Adriani, Ade. (2012). Analisis Vegetasi Gulma pada Perkebunan Kelapa Sawit di
Kilangan, Muaro Bulian, Batang Hari. Jurnal Biologi Universitas Andalas.
Ardhana, I.P.G. (2012). Ekologi Tumbuhan. Denpasar : UNP- Press
Aruna, S.M., Yadav D.B., Chandrashekar, A. 2013. Antioxidant and in vivo antihyperglycemic activity of Muntingia calabura leaves extracts. Department
of PG Studies and Research in Industrial Chemistry, Jnana Sahyadri
Kuvempu University, Shankaraghatta, Karnataka, India.
Corner, E.J.H. dan Watanabe,K. (1969). Illustrated Guide To Tropical Plants.
Tokyo: Hirokawa Publishing
Fahruddin.(2010). Bioteknologi Lingkungan. Bandung : Alfabeta
Fachrul, M.F. (2007). Metode Sampling Bioekologi. Jakarta : Bumi Aksara
Gilliand, H.B. (1971). Flor a Malaya Volume III, Grasses of Malaya. Singapore:
The Goverment Printing Office

37

Hariyadi,B., Suryana,I.M.E., Ginting,D., Amirusdi, Hardiani,L., Anis,M.,


Handayani, R., Nareshwara, S. (2011). Warta Minerba. Jakarta: Direktoral
Jenderal Mineral dan Batubara
Heddy, Suwasono. (2012). Metode Analisis Vegetasi dan Kominutas. Jakarta:
RajaGrafindo Persada
Hilwan,I., Mulyana, D., Pananjung,W.G. (2013). Keanekaragaman Jenis Tumbuhan
Bawah Pada Tegakan Sengon Buto (Enterolobium cyclocrpum Griseb)
dan Trembesi (Samaena saman Merr) di Lahan Pasca Tambang Batubara
PT. Kitadin, Kutai Kartanagara, Kalimantan Timur. Jurnal silvikultur
Tropika. Volume 4 nomor 1. Hlm. 6
Indriyanto (2006). Ekologi Hutan. Jakarta : Bumi aksara
________ (2008). Pengantar Budi Daya Hutan. Jakarta : Bumi aksara
Loveless, A.R. 1989. Prinsip Prinsip Biologi Tumbuhan Untuk Daerah Tropik 2.
Jakarta: Gramedia
Nurhadi & Nursyahra (2010). Komposisi Vegetasi Dasar di Kawasan Penambangan
Batubara di Kecamatan Talawi Sawahlunto. Jurnal Prodi Biologi STKIP
PGRI , Sumatera Barat
Muhammad Arsyad, Dharmono, Hardiansyah. (2011). Inventarisasi Jenis Dan
Dominansi Rumput (Famili Poaceae) Di Kawasan Sumur Lumpur
Barambai Desa Kolam Kanan Kecamatan Barambai Kabupaten Barito
Kuala. Jurnal Wahana-Bio Volume V.
Muhktar,A.S., Heriyanto.(2012). Keadaan Suksesi Tumbuhan Pada Kawasan Bekas
Tambang Batubara Di Kalimantan Timur. Jurnal Pusat Litbang Konservasi
dan Rehabilitasi, Bogor.
Poerwoko,E.(2013). Laporan Izin Lingkungan Triwulan IV. Sijunjung: PT.
Karbindo Abesiapradhi
Ramadhani,C.S. (2013). Komposisi dan Keanekaragaman Jenis Vegetasi Herba di
tempat Terbuka dan Tertutup Naungan Pada Kawasan Taman Wisata Alam
Sumber Semen Kabupaten Rembang Bulan Juni 2013. Skripsi IKIP PGRI
Semarang
Soerjani,Mohammad dkk. (1987). Weeds of Rice in Indonesia. Jakarta: Balai
Pustaka

38

Soemarwoto, Otto . (1977). Ekologi, Lingkungan hidup dan pembangunan .Jakarta:


penerbit Djambatan
Solviana.(2012). Komposisi dan Struktur Seedling dan Sapling Pada Lahan Pra dan
Pasca Tambang Batubara PT. SLN di Kabupaten Dharmasraya. Jurnal
FMIPA UNAND Padang
Suin,N.M., Syafinah,R.( 2006). Ekologi Bahan Ajar Laboratorium. Padang:
Andalas Univercity Press
Sumargo,W., Nanggara, S.G., Nainggolan, F.A., Apriani, I. (2011). Potret Keadaan
Hutan Indonesia Periode Tahun 2000-2009. Bogor: Forest Watch
Indonesia
Sutedjo,M.M. (2010). Pupuk dan Cara Pemupukan. Jakarta : Rineka Cipta
Syafiuddin,M.T.(1990). Analisis Vegetasi di Sekitar Danau Paniai Kecamatan
Enarotali Kabupaten Paniai. Manokwari : Sripsi Fakultas Pertanian
Uneversitas Cendrawasih Manokwari
Tjitrosoepomo, G. (1991). Taksonomi Tumbuhan (Spermaatophyta). Yogyakarta:
UGM-PRESS
______________ (1993). Taksonomi Umum Dasar-Dasar Taksonomi Tumbuhan.
Yogyakarta: UGM-PRESS
U, Iswandi. (2012). Ekologi dan Ilmu Lingkungan.Padang : UNP - Press
Widyati, E (2008). Peranan Mikroba Tanah Pada Kegiatan Rehabilitas Lahan Bekas
Tambang. Jurnal Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam. Hlm. 151152

39

KOMPOSISI VEGETASI DASAR PADA AREAL BEKAS TAMBANG


BATUBARA DI KECAMATAN KAMANG BARU
KABUPATEN SIJUNJUNG

SKRIPSI

40

SETIA PANUTI
NIM.10010117

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BIOLOGI


SEKOLAH TINGGI KEGURUAN DAN ILMUPENDIDIKAN
(STKIP) PGRI SUMATERA BARAT
PADANG
2014

KOMPOSISI VEGETASI DASAR PADA AREAL BEKAS TAMBANG


BATUBARA DI KECAMATAN KAMANG BARU
KABUPATEN SIJUNJUNG

SKRIPSI

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh


Gelar Sarjana Pendidikan (STRATA 1)

41

SETIA PANUTI
NIM.10010117

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BIOLOGI


SEKOLAH TINGGI KEGURUAN DAN ILMUPENDIDIKAN
(STKIP) PGRI SUMATERA BARAT
PADANG
2014
HALAMAN PERSETUJUAN PENELITIAN

Komposisi Vegetasi Dasar Pada Areal Bekas Tambang Batubara di


Kecamatan Kamang Baru Kabupaten Sijunjung

Nama
NIM
Program Studi
Institusi

: Setia Panuti
: 10010117
: Pendidikan Biologi
: Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan
(STKIP) PGRI Sumatera Barat.

Padang,

Oktober 2014

42

Disetujui oleh,
Pembimbing I

Pembimbing II

Dra. Nursyahra, M.Si

Rizki, S.Si., M.P

Mengetahui:
Ketua Program Studi

Rina Widiana, S.Si, M.Si

43

Anda mungkin juga menyukai