NIM : G021221018 Kelas : Dasar-Dasar Agronomi A Kelompok :4 Asisten : Rosmina Rajab
PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI
FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2022 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia adalah negara kepulauan yang terdiri dari banyak pulau yang terletak pada 060 04’ 30’’ LU - 110 00’ 36’’ LS dan dari 940 58’ 21’’ BT - 1410 01’ 10’’ BT sehingga beriklim tropis. Perairan yang hangat di wilayah Indonesia sangat berperan dalam menjaga suhu di darat tetap konstan, dengan rerata suhu 28 °C di wilayah pesisir, 26 °C di wilayah pedalaman dan dataran tinggi, serta 23 °C di wilayah pegunungan. Beriklim tropis hanya memiliki dua musim, yaitu hujan dan kemarau. Indonesia sering dijadikan sebagai destinasi wisata bagi para turis. Iklim ini memiliki suhu, curah hujan dan kelembaban udara yang cocok untuk ditempati jenis makhluk hidup (Lestari, 2018). Tumbuhan paku tersebar di seluruh dunia kecuali di daerah bersalju abadi (papua) dan daerah kering (gurun). Total spesies yang diketahui hampir 10.000 (diperkirakan 3000 di antaranya tumbuh di Indonesia). Tumbuhan paku termasuk tumbuhan yang sangat mudah tumbuh dimana saja dapat tumbuh di tempat yang lembab, di bawah pepohonan, di pinggir jalan maupun sungai, melihat cara tumbuhnya, paku di alam cukup beragam, ada yang menempel di batang pohon, batu atau tumbuh di tanah (Mardiyah et al., 2016). Kelas Filicinae (paku sejati) memiliki anggota paling besar dari kelas lainnya terdapat sekitar 170 genus dan 7000 spesies. Kelas ini juga sering disebut dengan sebutan pakis atau paku sebenarnya. Tumbuhan ini termasuk kedalam tumbuhan higrofit, yaitu tumbuh di tempat-tempat tumbuh, dan lembah, sehingga untuk tempat yang terbuka dan terpapar oleh sinar matahari langsung akan mengalami kerusakan atau mati, sebab banyak tanaman paku di temukan di bawah naungan tumbuhan yang lebih besar (Karimah, 2020). Berdasarkan uraian di atas maka perlu dilakukan praktikum mengenai pembiakan spora. Suplir/pakis diperbanyak melalui spora atau membagi-bagi rumpun. Memperbanyak dengan cara membagi rumpun akan merusak penampilan tanaman induknya sehingga pembiakan dengan cara generatif (spora) menjadi suatu pilihan. spora merupakan organ perbanyakan secara generatif. 1.2 Tujuan dan Kegunaan Tujuan praktikum ini yaitu untuk memberi keterampilan mahasiswa dalam mengembangbiakkan tanaman kelompok paku-pakuan termasuk jenis suplir yang banyak dipelihara sebagai tanaman hias. Kegunaan praktikum diharapkan setiap peserta praktikan dapat memahami dan mengetahui cara perkembangbiakan tanaman paku secara generatif yaitu menggunakan spora dari tanaman paku itu sendiri serta praktikan mampu melakukan pengembangbiakan menggunakan spora secara mandiri. BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Paku Sejati Tumbuhan paku adalah tumbuhan yang sudah bisa dibedakan dalam tiga pokok bagian, yaitu akar, batang, dan daun. 4 Hutan di Indonesia merupakan hutan tropis yang kaya akan keanekaragaman hayati seperti tumbuhan paku (Pteridophyta). Ada sekitar kurang lebih 10.000 spesies tumbuhan paku yang ada di dunia dan sekitar 3.000 spesies yang terdapat di Indonesia (Lestari, 2018). Tumbuhan paku (Pteridophyta) merupakan salah satu golongan tumbuhan yang hampir dapat dijumpai pada setiap wilayah di Indonesia. Tumbuhan paku dikelompokkan dalam satu divisi yang jenis-jenisnya telah jelas mempunyai kormus dan dapat dibedakan dalam tiga bagian pokok. Bagian pokok yaitu akar, batang, dan daun (Effendi et al., 2016). Daun tumbuhan paku yang menghasilkan spora disebut Sporofil, sedangkan daun yang tidak menghasilkan spora dan berfungsi sebagai tempat berlangsungnya fotosintesis disebut Tropofil. Ciri utama dalam pengenalan Pteridophyta adalah spora. Ciri-ciri lain sebagai pembeda taksonomi berupa sporangium, sorus, indusia, dan venasinya. Spora tumbuhan paku dibentuk dalam kotak spora yang disebut Sporangium. Sporangium tumbuh berkelompok dalam suatu bentukan yang disebut Sorus (Mardiyah et al., 2016). 2.2 Pengertian Spora Bentuk spora tumbuhan paku bermacam-macam, tetapi sebagian besar memiliki bentuk elips atau bilateral, isobilateral, dan tetrahedral. Bentuk spora tumbuhan paku tersebut antara spora satu dengan yang lain dari spesies memiliki beragam ukuran. Selain dikategorikan melalui bentuk spora juga dikategorikan melalui ukuran. Penggolongan berdasarkan ukuran spora menjadi enam golongan. Spora dengan ukuran < 10 µm tergolong dalam kategori sangat kecil, spora ukuran 10—25 µm tergolong kategori kecil, spora ukuran 25—50 µm tergolong kategori sedang, spora ukuran 50—100 tergolong kategori besar, spora ukuran 100—200 µm tergolong kategori sangat besar, dan spora ukuran mencapai > 200 µm tergolong kategori raksasa (Pranita et al., 2017). Spora adalah alat perkembangbiakan tumbuhan paku yang utama. Dengan alat perkembangbiakan tersebut tumbuhan paku biasanya tumbuh di bawah naungan tumbuhan lain, serta banyak di temukan di pinggiran aliran sungai yang memiliki subtrat tanah yang lembab sebagai media tumbuh, karena pembuahan mutlak memerlukan bantuan air sebagai media spermatozoid berpindah menuju archegonium. Ovum yang terbuahi berkembang menjadi zigot, yang akan tumbuh pada gilirannya tumbuh menjadi tumbuhan paku baru (Amin dan Jumisah, 2019). Spora merupakan bagian yang sangat penting pada tumbuhan paku karena berfungsi untuk perkembangbiakan dalam regenerasi. Spora di bentuk didalam kotak spora (sporangium). Kumpulan dari sporangium akan membentuk sorus. Sorus merupakan kumpulan spora yang berada di bawah daun (Karimah, 2020). 2.3 Pembiakan Spora Spora merupakan tumbuhan paku yang memiliki dua lapisan dinding sebagai perlindungan, yaitu dinding luar disebut eksin dan dinding dalam disebut intin. Daerah eksin yang terbuka dan tipis yang disebut apertura. Apertura merupakan zona germinasi, yang berfungsi sebagai organ pengatur mekanisme perubahan volume cairan sel (Pranita et al., 2017). Selain dari penjelasan diatas tipe-tipe spora pada tumbuhan paku secara umum dibedakan menjadi dua tipe yaitu monolete (membulat seperti kacang) dan trilete. Pembagian tipe spora tersebut berdasarkan ada tidaknya struktur tipis yang menyerupai aperture yaitu bekas luka spora tetrad. Karakteristik dari masing- masing spora dapat dijadikan sebagai landasan untuk membedakan masing- masing jenis tumbuhan paku (Rosalin, 2014). Spora juga memiliki fase pembentukan, fase pembentukan spora dalam daur hidup tumbuhan paku disebut generasi sporofit dan fase pembentukan gamet disebut generasi gametofit. Berdasarkan jenis sporanya, tumbuhan paku dibedakan menjadi tumbuhan paku homospora dan heterospora dan peralihan antara homospora dan heterospora. Jenis-jenis Tumbuhan paku homospora menghasilkan spora dengan ukuran yang sama dan tidak dapat dibedakan, misalnya Lycopodium sp. Begitu juga dengan jenis spora yang lainnya yang memiliki bentuk dan ukuran yang berbeda (paku kawat) (Anas, 2016). 2.4 Media Tanam Salah satu faktor penting dalam berbudidaya tanaman adalah terletak pada kualitas media tanam. Media tanam yang baik adalah media yang mampu menyediakan air dan unsur hara dalam jumlah yang cukup bagi pertumbuhan tanaman. Hal ini dapat ditemukan pada media tanam berbahan cocopeat. Cocopeat ini cocok digunakan pada lahan kering karena kita tahu lahan kering merupakan lahan yang sangat kekurangan air dan tergantung pada air hujan, selain itu kering juga miskin unsur hara yang sangat dibutuhkan oleh tanaman (Sari, 2015). Arang sekam merupakan media tanam yang praktis digunakan karena tidak perlu disterilisasi, hal ini disebabkan mikroba patogen telah mati selama proses pembakaran. Arang sekam mengandung unsur hara N 0,3%, P2O5 15%, K2O 31%, dan beberapa unsur hara lainnya dengan pH 6,8. Selain hal tersebut, arang sekam juga memiliki kemampuan menahan air tinggi, bertekstur remah, siklus udara dan KTK tinggi, dan dapat mengabsorbsi sinar matahari (Naimnule, 2016). Media tanam selanjutnya yang paling sering digunakan adalah tanah. Tanah menurut ahli geologi adalah suatu benda padat berdimensi tiga terdiri dari panjang lebar dan dalam yang merupakan bagian dari kulit bumi. Kata tanah seperti banyak kata umumnya mempunyai beberapa pengertian. Pengertian tradisional, tanah adalah medium alami untuk pertabahan tanaman dan merupakan daratan. Salah satu cabang ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang tanah adalah geoteknik, dimana cabang ilmu ini sangat penting bagi seorang insinyur sipil pada saat diperlukan strutur tanah untuk mendesain suatu bangunan (Afriani, 2014). 2.5 Sterilisasi Media Tanam Pada saat menanam tumbuhan sterilisasi media tanam merupakan suatu hal yang penting. Sterilisasi media tanam bertujuan untuk meminimalkan gangguan oleh mikroorganisme yang tidak dikehendaki (kontaminan), agar tidak mengalami kerusakan yang dapat mempengaruhi kualitas inokulan. Sterilisasi media dapat dilakukan dengan tiga cara yaitu secara mekanik, fisik dan kimiawi. Cara fisik dan mekanik dapat dilakukan dengan teknik sterilisasi media menggunakan iradiasi sinar gamma Co-60, autoklaf, penambahan larutan NaOCl 10%, dan pencucian media dengan air kran (Dewi et al., 2017). Salah satu cara untuk dapat melindungi tanaman tetap higienis adalah dengan melakukan sterilisasi media tanam. Sterilisasi media tanam dapat dilakukan dengan beberapa cara salah satunya adalah dengan menggunakan autoclave. Sterilisasi media tanam dilakukan untuk menghilangkan mikroba yang tidak diinginkan dalam media tanam. Kombinasi media tanam organik dan tanah serta perlakuan sterilisasi media tanam diduga dapat memberikan pengaruh terhadap hasil tanaman (Permatasari, 2021). Pada media tanam tanah yang tidak steril terdapat berbagai macam bakteri dan mikroflora lain yang dapat merangsang maupun menghambat perkembangan ektomikoriza dan jika dalam tanah lebih banyak potensi mikroflora yang bersifat menghambat dari pada yang menstimulir perkembangan ektomikoriza maka akan menurunkan presentase kolonisasi. Sifat penghambatan dan stimulasi dari mikroflora juga tergantung pada ketahanan fungi ektomikoriza terhadap antibiotik yang dihasilkan oleh miktroflora (Budi, 2014). 2.6 Faktor Keberhasilan dan Kegagalan Terdapat beberapa faktor keberhasilan seperti Intensitas cahaya, tingkat kebutuhan intensitas cahaya tiap jenis tanaman paku berbeda-beda. Kelompok paku-pakuan yang menyukai tempat terlindung (heliofob) dan di dominasi oleh paku-pakuan yang berdaun halus atau kecil. Contohnya Adiantum sp, Pteris sp, dan Polypodium sp. Ada pula kelompok paku-pakuan yang hidup dalam keadaan sedikit terlindung (subheliofil). Contohnya Nephrolepis falkata (Rizkiani, 2019). Kelembapan udara, kelembapan udara adalah kandungan air yang terdapat di udara. Sehingga tinggi rendahnya intensitas cahaya matahari mempengaruhi kecepatan evaporasi kandungan air di udara. Kelembapan udara menjadi pengaruh besar terhadap penyebaran tumbuhan paku. Tingkat kelembapan udara 30% adalah persentase terendah yang masih dapat ditoleransi oleh paku terhadap pertumbuhan dan perkembangannya (Hardyansyah, 2021). Keberadaan tumbuhan paku (Pteridophyta) di suatu tempat juga dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Faktor lingkungan tersebut meliputi faktor biotik dan abiotik, secara umum tumbuhan paku tidak dapat tumbuh pada habitat yang kering, kebanyakan dari tumbuhan paku biasanya hidup di tempat yang kelembabannya tinggi, dan teduh. Faktor biotik yang mempengaruhi pertumbuhan paku adalah berkaitan dengan masalah kempetisi antara tumbuhan paku itu sendiri. Baik untuk mendapatkan makanan dan tempat hidupnya (Lestari, 2018). BAB III METODOLOGI 3.1 Tempat dan Waktu Percobaan ini dilaksanakan di Pre-Nursery, Experimental farm, Fakultas Pertanian, Universitas Hasanuddin. yang berlangsung mulai 29 September–4 November 2022. 3.2 Alat dan Bahan Alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah: wadah plastik yang memiliki penutup 3 pcs, pinset, alat penyiram/hand sprayer. Bahan yang digunakan dalam percobaan ini adalah: spora suplir/pakuan- pakuan jenis paku sejati, cocopeat, tanah, dan sekam, plastik bening, akuades, air ac atau air hujan, label. 3.3 Prosedur Kerja Prosedur kerja praktikum ini, yaitu: 1. Mengambil spora dari tanaman yang sehat dengan cara mengusap pinggir daun yang sudah dewasa atau potong daun yang masih memiliki spora dan masukkan dalam plastik bening dan kering anginkan sampai penutup spora pecah dan berhamburan seperti tepung. 2. Mengisi wadah plastik dengan media tanam cocopeat, tanah, dan kombinasi tanah-sekam 1:1. (Media tanam harus dalam keadaan steril. Sterilisasi media tanam dapat dilakukan dengan menyangrai media tanam sebelum digunakan). 3. Menaburkan spora secara merata lalu lembabkan dengan cara menyemprotkan /percikan akuades, air AC, atau air hujan. 4. Menutup rapat wadah yang telah ditaburi spora. 5. Memberi label dan menuliskan nama spesies spora pada penutup wadah. 6. Menyimpan wadah pada tempat terlindung/teduh namun tidak gelap. 7. Menjaga kelembaban media dengan cara menyemprotkan air (tergantung kondisi). 8. Mengusahakan tidak terlalu sering membuka wadah agar terhindar dari kekeringan dan kelembaban terjamin. 9. Setelah beberapa saat wadah pesemaian mulai penuh ditumbuhi benang- benang. berwarna hijau dan terus berkembang dan berubah bentuk menjadi daun-daun kecil yang pipih bentuknya seperti hati. 3.4 Parameter Pengamatan Parameter pengamatan pada pembiakan spora meliputi: 1. Kecepatan tumbuh benang-benang hijau Pengamatan kecepatan tumbuh benang hijau dilakukan dengan mengamati lama hari benih spora berkecambah setelah penanaman. Praktikan diharapkan mencatat lama hari prothallus (calon tanaman pakis/suplir) berkecambah setelah disemai. Ciri-ciri prothallus yang berkecambah adalah memiliki daun sekitar dua helai (bibit pakis/suplir). Pengamatan dilakukan setiap hari sampai benih spora berkecambah. 2. Jumlah prothallus yang tumbuh (tergantung kondisi) Pengamatan jumlah prothallus yang tumbuh dilakukan dengan menghitung dan memastikan banyaknya prothallus (calon tanaman spora) yang tumbuh pada media tanam jika spora telah berkecambah (parameter 1). Jika kondisi memungkinkan, disarankan jumlah Prothallus yang tumbuh dihitung pada mikroskop untuk memastikan jumlah Prothallus yang akurat. BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Pengamatan 4.1.1 Kecepatan Tumbuh Benang-Benang Halus (HST) Grafik 3. Kecepatan Tumbuh Benang-Benang Halus
Sumber: Data Primer Setelah diolah, 2022
4.2.2 Jumlah Prothallus yang Tumbuh
Sumber: Data Primer Setelah diolah, 2022
4.2 Pembahasan Berdasarkan hasil pengamatan yang kami lakukan dapat kita lihat bahwa pada media tanam (Cocopeat, tanah, dan tanah+sekam) menunjukkan indikasi kegagalan pada tanaman spora. Salah satu penyebab faktor kegagalan pada tanaman spora ini adalah banyaknya kandungan air yang diperoleh tanaman spora sehingga tanaman spora sulit untuk tumbuh. Hal ini sesuai dengan pendapat Hardyansyah (2021) bahwa kelembapan udara adalah kandungan air yang terdapat di udara. Sehingga tinggi rendahnya intensitas cahaya matahari mempengaruhi kecepatan evaporasi kandungan air di udara. Kelembapan udara menjadi pengaruh besar terhadap penyebaran tumbuhan paku. Spora adalah alat perkembangbiakan tumbuhan paku yang utama. Dengan alat perkembangbiakan tersebut tumbuhan paku biasanya tumbuh di bawah naungan tumbuhan lain, serta banyak di temukan di pinggiran aliran sungai yang memiliki subtrat tanah yang lembab sebagai media tumbuh, karena pembuahan mutlak memerlukan bantuan air sebagai media spermatozoid berpindah menuju archegonium. Hal ini sesuai dengan pendapat Letari (2018) yang mengatakan bahwa kebanyakan dari tumbuhan paku biasanya hidup di tempat yang kelembabannya tinggi, dan teduh. Faktor biotik yang mempengaruhi pertumbuhan paku adalah berkaitan dengan masalah kempetisi antara tumbuhan paku itu sendiri. Baik untuk mendapatkan makanan dan tempat hidupnya Pemilihan media tanam dengan menggunakan sekam merupakan salah satu pilihan yang baik dan cukup efektif. Karena tanaman suplir mampu dengan mudah untuk mengalami proses pertumbuhan, jika suatu media sekam digabung dengan media lain misalnya dengan tanah. Selain dari media tanam, intensitas cahaya juga diperlukan dalam proses tumbuh tanaman spora. Hal ini sesuai dengan pendapat Rizkiani (2019) yang menyatakan bahwa terdapat beberapa faktor keberhasilan seperti intensitas cahaya, tingkat kebutuhan intensitas cahaya tiap jenis tanaman paku berbeda-beda. DAFTAR PUSTAKA Afriani dan Lusmeilia. 2014. Kuat Geser Tanah, Yogyakarta: Graha Ilmu. Amin, N. dan Jumisah. 2019. Jenis Tumbuhan Paku di Kawasan Tergantung Kute Kecamatan Darul Hasanah Kabupaten Aceh Tenggara. Jurnal Biotik, 7(1): 18-27. Anas, A. 2016. Karakteristik Spora Tumbuhan Paku (pteridophita) Dari Hutan Lumut Suaka Margasatwa “Dataran Tinggi Yang”, Pegunungan Argopuro. Skripsi, Fakultas Matematika dan Ilmu pengatahuan Alam. Universitas Jember. Jember. Budi, S. W. 2014. Pengaruh Sterilisasi Media dan Dosis Inokulum terhadap Pembentukan Ektomikoriza dan Pertumbuhan Shorea selanica Blume. Jurnal Silvikultur Tropika. 3(2): 76-80 Dewi, T. M., Anne, N., dan Pudjawati, S. E. S. 2017. Efek sterelisasi dan Komposisi Media Produksi Inokulan Fungsi Mikoriza Arbuskula Terhadap Kolonisasi Akar, Panjang akar, dan Bobot Kering Akar Sorgum. Jurnal Agro, 4(1): 24-31 Effendi, M., Lailaty, I. Q., Nudin, Rustandi U. dan Samsudin A. D. 2016. Komposisi dan Keanekaragaman Flora di Gunung Pesagi Sumatera. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 2. 2(2): 1-10 Hardyansyah, P. 2021. Identifikasi Tumbuhan Paku Sejati (Filicinae) Epifit Di Kawasan Hutan Lindung Pematang Kabuto Kecamatan Punduh Pedada Kabupaten Pesawaran. Skripsi, Fakultas Tarbiyah dan Keguruan. Universitas Islam Negri Raden Intan. Lampung Karimah, I. D. 2020. Karakteristik Morfologi Spora Tumbuhan Paku (Pteridophita) Pada Kelas Filicinae (Paku Sejati) Di Gunung Tanggamus, Lampung. Skripsi, Fakultas Tarbiyah dan Keguruan. Universitas Islam Negri Raden Intan. Lampung. Lestari, S. 2018. Identifikasi Tumbuhan Paku Sejati (Filicinae) Epifit di Gunung Pesagi Kabupaten Lampung Barat. Skripsi, Fakultas Tarbiyah dan Keguruan. Universitas Islam Negeri Raden Intan: Lampung. Mardiyah, A., Hasanuddin, dan Eriawati. 2016. Karatersitik Warna Sorus Tumbuhan Paku di Kawasan Gunung Paroy Kecamatan Lhoong Kabupaten Aceh Besar. Prosiding Seminar Nasional Biotik. 2(1): 1-7. Naimnule, M. A. 2016. Pengaruh Takaran Arang Sekam dan Pupuk Kandang Sapi Terhadap Pertumbuhan dan Hasil Kacang Hijau (Vigna Radiata L). Jurnal Pertanian Konservasi Lahan Kering, 1(4): 118-120. Permatasari, A. D., dan Nurhidayati, T. 2014. Pengaruh inokulan bakteri penambat nitrogen, bakteri pelarut fosfat dan mikoriza asal Desa Condro, Lumajang, Jawa Timur terhadap pertumbuhan tanaman cabe rawit. Jurnal Sains dan Seni. 3(2): 44-48. Pranita, S. H., Mahanal, S., dan Sari M. S. 2017. Karakteristik Spora Tumbuhan Paku Asplenium Kawasan Hutan Raya R. Soerjo. Jurnal Pendidikan, 2(4): 454-458. Rizkiani, S. 2019. Identifikasi Tumbuhan Paku Sejati (Filicinae) Terestrial Di Gunung Pesagi Kabupaten Lampung Barat. Skripsi, Fakultas Tarbiyah dan Keguruan. Universitas Islam Negri Raden Intan. Lampung. Rosalin, I., 2014, Keanekaragaman Morfologi dan Struktur Reproduksi Tumbuhan Paku Terestrial di Kapus Institut Pertanian Bogor-Darmaga, Skripsi, Program Studi Biologi, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Sari, D. R. 2015. Aplikasi Konsentrasi Paklobutrazole Pada Beberapa Komposisi Media Tanam Berbahan Cocopeat Terhadap Pertumbuhan dan Hasil Bawang Merah (Allium ascalonicum L). Skripsi, Fakultas Pertanian. Universitas Jember: Jember LAMPIRAN
Gambar 37. Alat dan Gambar 38. Pelepasan Gambar 39. Pelepasa Bahan. Spora. Spora dengan Metode Kering Angingkan.
Gambar 40. Mengisi Gambar 41. Menaburkan Gambar 42.
Wadah Plastik dengan spora Kedalam Media Memberikan Label. Media Tanam. Tanam.
Gambar 43. Gambar 44. Pengamatan Gambar 45.
Menyemprokan Air pada Ke-1. Pengamatan Ke-2. Media.