Anda di halaman 1dari 22

KEANAEKARAGAMAN JENIS LUMUT (Bryophyta)

BERDASARKAN KETINGGIAN DI GUNUNG RORE


KAUTIMBU TAMAN NASIONAL LORE LINDU (TNLL)
SULAWESI TENGAH

A. Latar Belakang

Sulawesi merupakan salah satu pulau dengan tingkat keanekaragaman

hayati yang tinggi, terdapat sekitar 5.000 spesies tumbuhan berpembuluh

(vascular plant) dan 15% diantaranya merupakan tumbuhan endemik

(Whitten dkk, 2002). Selain tumbuhan berpembuluh, salah satu potensi

sumber daya alam hayati jenis flora adalah lumut. Lumut merupakan

tumbuhan sederhana, memiliki 1.200 marga dengan 15.000 jenis (Gradstein

dkk, 2001), sehingga lumut dikategorikan sebagai kelompok tumbuhan

terbesar kedua setelah Angiospermae (Shaw dkk, 2000). Bila dilihat dari segi

ekologi, lumut sebagai tumbuhan perintis memegang peranan penting dalam

ekosistem hutan hujan tropis terutama menyangkut produktifitas,

dekomposisi serta pertumbuhan komunitas di hutan (Shaw dkk, 2000). Hal

tersebut dikarenakan kemampuannya mengabsorbsi dan menampung air

hujan (Kirmaci dan Agcagil, 2009), mencegah erosi tanah, dan sebagai

substrat perkecambahan biji (Glime, 2001).

Kehidupan lumut sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan seperti

ketinggian tempat dan tipe habitat. Menurut Gradestein (2005) zona montana

bawah pada kisaran ketinggian 1.000 - 2.000 meter diatas permukaan laut

memiliki vegetasi lumut yang sangat kaya, terutama daerah-daerah terbuka

1
yang diselingi oleh hutan sekunder. Demikian pula dengan penelitian yang

dilakukan Ariyanti dkk (2008) di Sulawesi Tengah pada tiga habitat yang

berbeda yaitu di hutan primer, hutan sekunder, dan perkebunan kakao

menunjukkan kekayaan jenis lumut sejati terendah ditemukan di perkebunan

kakao, diikuti hutan sekunder dan kemudian di hutan primer.

Secara geografis Gunung Rore Kautimbu terletak pada 120o18’32’’ BT

dan 1o16’33’’ LS yang secara administratif masuk dalam wilayah Desa Sedoa

Kecamatan Lore Utara Kabupaten Poso. Dilihat dari tipe hutanya, Gunung

Rore Kautimbu termasuk kedalam kategori hutan tropis yang terkenal dengan

tingkat keanekaragamannya yang tinggi (Windadri, 2009). Selain itu, gunung

ini juga merupakan wilayah dari Taman Nasional Lore Lindu yang

merupakan kawasan konservasi terbesar di Sulawesi Tengah dan menjadi

salah satu perwakilan untuk keanekaragaman hayati di bioregion Wallacea.

Bila dilihat dari seluruh kawasan Taman Nasional Lore Lindu, Gunung rore

kautimbu merupakan daerah dengan titik elevasi tertinggi yakn mencapai

2600 meter diatas permukaan laut (Ariyanti, 2005).

Dibandingkan dengan pulau-pulau besar lainnya yang ada di Indonesia,

jumlah jenis lumut yang tercatat di Sulawesi merupakan yang terendah. Hal

ini disebabkan penelitian lumut di Sulawesi belum banyak dilakukan

(Ariyanti, 2005). Maka berdasarkan hal tersebut penelitian mengenai

Keanekaragaman Jenis Lumut Berdasarkan Ketinggian Di Gunung Rore

Kautimbu Taman Nasional Lore Lindu Sulawesi Tengah ini perlu dilakukan

agar kiranya dapat menjadi sumber data ilmiah bagi pengembangan ilmu

2
pengetahuan yang berkelanjutan sekaligus sumber informasi dalam upaya

pelestarian lumut di kawasan Taman Nasional.

B. Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah pada penelitian ini adalah bagaimanakah

Keanekaragaman Jenis Lumut Berdasarkan Ketinggian Di Gunung Rore

Kautimbu Taman Nasional Lore Lindu Sulawesi Tengah.

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dilakukannya penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Mengetahui jenis-jenis bryophyta yang terdapat di Gunung Rore Kautimbu

Taman Nasional Lore Lindu Sulawesi Tengah.

2. Menetukan indeks keanekaragaman lumut berdasarkan ketinggian di

Gunung Rore Kautimbu Taman Nasional Lore Lindu Sulawesi Tengah.

D. Manfaat Penelitian

Penilitian ini diharapkan dapat melengkapi data dan informasi

mengenai keanekaragaman lumut di Sulawesi khususnya Taman Nasional

Lore Lindu serta diharapkan dapat bermanfaat dalam peningkatan ilmu

pengetahuan khususnya lumut.

E. Batasan Masalah

Mengingat banyak dan luasnya berbagai aspek dan komunitas lumut,

maka ruang lingkup penelitian ini dibatasi pada tingkat keanekaragaman

lumut berdasarkan ketinggian menurut Van Steenis (2006) yakni pada zona

sub-montana (1000 - 1500 meter diatas permukaan laut), montana (1500 -

2400 meter diatas permukaan lumut) dan zona alpin ( ≥ 2400 meter diatas

3
permukaan laut) di Gunung Rore Kautimbu Taman Nasional Lore Lindu

Sulawesi Tengah.

4
F. Tinjauan Pustaka

1. Tinjauan Umum Lumut

Lumut merupakan kelompok tumbuhan yang termasuk dalam divisi

bryophyta dan dapat hidup menempel pada substrat berupa pohon, kayu

lapuk, tanah, dan batuan dengan kondisi lingkungan lembab serta

penyinaran yang cukup. Kehidupan lumut dipengaruhi oleh faktor

lingkungan seperti, suhu, kelembaban dan cahaya. Lumut yang hidup pada

pohon akan dipengaruhi oleh struktur permukaan kulit kayu atau tempat

tersebut harus lembab dengan intensitas cahaya yang cukup (Ariyanti,

dkk., 2008).

Tumbuhan ini sudah menunjukkan diferensiasi antara organ

penyerap hara dan organ fotosintetik namun belum memiliki akar, batang

dan daun sejati. Lumut dikenal sebagai tumbuhan pelopor yang tumbuh di

suatu tempat sebelum tumbuhan lain mampu tumbuh karena tumbuhan

lumut berukuran kecil dan membentuk koloni yang dapat menjangkau area

yang luas (Saputra, 2013). Lumut merupakan tumbuhan poikilohidrik yang

bergantung pada kelembaban lingkungannya (Gradestein, dkk., 2001).

Pada periode kering lumut dapat bertahan, dan pada saat kondisi

lingkungan menjadi basah pertumbuhannya akan mengalami peremajaan

kembali (Tjitrosomo, 1984).

Menurut Najmi Indah (2009), secara umum struktur tubuh tumbuhan

lumut dapat diuraikan sebagai berikut:

5
a. Batang apabila dilihat secara melintang terdiri atas selapis sel kulit,

beberapa sel diantaranya membentuk rizoid-rizoid epidermis. Lapisan

kulit dalam (korteks) merupakan silinder pusat yang terdiri sel-sel

parenkimatik yang memanjang untuk mengangkut air dan garam, belum

terdapat floem dan xilem.

b. Daun tersusun atas satu lapis sel, sel-sel daunnya kecil, sempit, panjang,

dan mengandung kloroplas yang tersusun seperti jala. Lumut hanya

dapat tumbuh memanjang tetapi tidak membesar, karena tidak ada sel

berdinding sekunder yang berfungsi sebagai jaringan penyokong.

c. Rizoid terdiri dari selapis sel kadang dengan sekat yang tidak sempurna,

bentuk seperti benang sebagai akar untuk melekat pada tempat

tumbuhnya dan menyerap garam-garam mineral.

d. Sporofit terdiri atas vaginula atau kaki yang dilindungi oleh sisa

arkegonium, seta (tangkai), apofisis atau ujung seta yang membesar

yang merupakan peralihan dari tangkai dan sporangium, sporangium

dan kaliptra atau tudung yang berasal dari arkegonium bagian atas.

e. Gametofit terdiri atas anteridium (sel kelamin jantan) berbentuk seperti

gada yang menghasilkan sperma dan arkegonium (sel kelamin betina)

berbentuk seperti botol yang menghasilkan sel telur. Berikut adalah

bentuk morfologi dari lumut :

6
Gbr. 1.1 Morfologi Lumut (Sumber : Hasan dan Ariyanti, 2004)

Lumut dapat dibedakan menjadi tiga kelas yaitu lumut hati

(Hepaticopsida), lumut tanduk (Anthocerotopsida), dan lumut sejati

(Bryopsida). (Tjitrosomo, 1984).

a. Hepaticopsida

Hepaticopsida atau lumut hati banyak ditemukan menempel di

bebatuan, tanah, atau dinding tua yang lembab. Lumut hati hidup pada

tempat-tempat yang basah, untuk struktur tubuh yang higromorf dan

tempat-tempat yang kering, untuk struktur tubuh yang xeromorf (alat

penyimpan air). Lumut hati yang hidup sebagai epifit umumnya

menempel pada daun-daun pepohonan dalam rimba di daerah tropika.

Bentuk tubuhnya berupa lembaran mirip bentuk hati dan banyak

lekukan. Tubuhnya memiliki struktur yang menyerupai akar, batang

7
dan daun sehingga banyak yang menganggap kelompok lumut hati

merupakan kelompok peralihan dari tumbuhan Thallophyta menuju

Cormophyta. Seperti halnya lumut daun, lumut hati mempunyai rizoid

yang yang berfungsi untuk menempel dan menyerap zat-zat makanan.

Tubuhnya terbagi menjadi dua lobus sehingga tampak seperti lobus

pada hati. Berkembangbiak secara generatif dengan oogami, dan secara

vegetatif dengan fragmentasi, tunas, dan kuncup eram (Hasan dan

Ariyanti, 2004).

Berdasarkan bentuk talusnya, lumut hati dibagi menjadi 2

kelompok yaitu lumut hati bertalus dan lumut hati berdaun. Tubuh

lumut hati menyerupai talus (dorsiventral), bagian atas dorsal berbeda

dengan bagian bawah ventral. Daun bila ada tampak rusak dan tersusun

pada tiga deret pada batang sumbu. Alat kelamin terletak pada bagian

dorsal talus terminal, sporogonium sederhana tersusun atas bagian kaki

dan kapsul. Mekanisme merekahnya kapsul tidak menentu dan tidak

teratur.

b. Anthocerotopsida

Lumut tanduk hidup ditepi-tepi sungai atau danau dan sering kali

disepanjang selokan, dan ditepi jalan yang basah atau lembab. Salah

satu kelas dari lumut tanduk adalah Anthoceros laevis.Tubuh lumut

tanduk seperti lumut hati yaitu berupa talus, tetapi sporifitnya berupa

kapsul yang tumbuh memanjang seperti tanduk pada gametofit.

Berbeda dengan lumut lainnya, sel-sel talus Anthocerotopsida

mempunyai satu kloroplas besar pada masing-masing selnya.


8
Perkembangan lumut tanduk terjadi secara generatif dengan

membentuk anteridium dan arkhegonium yang terkumpul pada satu

lekukan sisi atas talus. Zigot mula-mula membelah menjadi dua sel

dengan suatu dinding pisah melintang. Sel diatas terus membelah yang

merupakan sporogenium diikuti oleh sel bagian bawah yang membelah

terus-menerus membentuk kaki yang berfungsi sebagai alat penghisap,

bila sporogenium masak maka akan pecah seperti buah polongan,

menghasilkan jaringan yang terdiri dari beberapa deretan sel-sel mandul

yang dinamakan kolumila ini diselubungi oleh sel jaringan yang

kemudian menghasilkan spora, yang disebut arkespora.

c. Bryopsida

Bryophyta dikenal sebagai lumut daun atau lumut sejati dan

merupakan kelas terbesar dalam pengklasifikasian lumut. Sporofit

bryophyta berumur panjang, berwarna kecokelatan terdiri atas kaki

yang berfungsi untuk menyerap nutrien dari gametofit, dan kapsul yang

disangga oleh suatu tangkai disebut seta. Spora masak dibebaskan dari

kapsul setelah operculum (struktur semacam tutup pada kapsul)

membuka secara perlahan-lahan melalui satu atau dua baris gigi-gigi

yang disebut peristom. Masyarakat pada umumnya lebih mengenal

lumut ini dibandingkan dengan lumut hati, karena tumbuhan tersebut

tumbuh pada tempat agak terbuka dan bentuknya lebih menarik.

Perbedaan yang jelas dibandingkan dengan lumut hati ialah adanya

simetri radial, yaitu daunnya tumbuh pada semua sisi sumbu utama.

9
Daun pada lumut sejati umumnya mempunyai rusuk tengah dan

tersusun pada batang mengikuti suatu garis spiral, yang panjangnya

dapat bervariasi dari suatu bagian. Rusuk tengahnya mengandung sel-

sel memanjang, dan memiliki berkas di pusat batangnya yang memiliki

sel-sel memanjang yang diduga berfungsi untuk mengangkut air dan

zat-zat hara. Struktur gametofit memiliki alat kelamin jantan dan betina

yang kecil, umumnya dalam kelompok yang terbukti dari adanya

modifikasi daun-daun yang mengelilinginya, dan terdapat pada

tumbuhan yang sama (banci), atau lebih sering pada dua individu

(jantan dan betina) yang terpisah.

Dalam daur hidupnya, lumut mengalami pergiliran keturunan yang

disebut dengan metagenesis. Tumbuhan lumut yang sering kita jumpai

merupakan bagian perkembangan lumut pada tahap gametofit (tumbuhan

penghasil gamet) yang haploid. Lumut mengalami siklus hidup

diplobiontik dengan pergantian generasi heteromorfik. Generasi yang

dominan adalah gametofit, sementara sporofitnya secara permanen

melekat dan tergantung pada gametofit. Generasi sporofit selama hidupnya

mendapat makanan dari gametofit seperti pada Gambar 1.2 (Mishler dan

Churchill, 2003).

10
Gbr 1.2 Siklus Hidup Lumut

Pada siklus hidup tumbuhan lumut, sporofit menghasilkan spora

yang akan berkecambah menjadi protonema. Selanjutnya dari protonema

akan muncul gametofit. Generasi gametofit mempunyai satu set kromosom

(haploid) dan menghasilkan organ sex (gametangium) yang disebut

archegonium (betina) yang menghasilkan sel telur dan antheredium

(jantan) yang menghasilkan sperma berflagella (antherezoid dan

spermatozoid).

Gametangium biasanya dilindungi oleh daun-daun khusus yang

disebut bractea (daun pelindung) atau oleh tipe struktur pelindung lainnya

(Mishler dan Churchill, 2003). Gametangium jantan (antheredium)

berbentuk bulat atau seperti gada, sedangkan gametogonium betinanya

(arkegonium) berbentuk seperti botol dengan bagian lebar disebut perut

dan bagian yang sempit disebut leher. Gametangia jantan dan betina dapat

11
dihasilkan pada tanaman yang sama (monoceous) atau pada tanaman

berbeda (dioceous) (Gradstein, 2003).

Fertilisasi sel telur oleh antherezoid menghasilkan zigot dengan dua

set kromosom (diploid). Zigot merupakan awal generasi sporofit.

Selanjutnya pembelahan zigot membentuk sporofit dewasa yang terdiri

dari kaki sebagai pelekat pada gametofit, seta atau tangkai dan kapsul

(sporangium) di bagian ujungnya. Kapsul merupakan tempat dihasilkannya

spora melalui meiosis. Setelah spora masak dan dibebaskan dari dalam

kapsul berarti satu siklus hidup telah lengkap (Hasan dan Ariyanti, 2004).

2. Ekologi Lumut

Menurut Vanderpoorten dan Goffinet (2009), secara umum

komunitas tumbuhan dipengaruhi oleh iklim makro dan iklim mikro di

suatu wilayah. Lumut akan banyak ditemukan di area yang teduh,

bervegetasi rapat, dan memiliki kelembaban tinggi (Windadri, 2007).

Tumbuhan lumut jarang ditemukan yang bersifat individu, melainkan

hidup berkelompok dan mempunyai bentuk-bentuk kehidupan khusus.

Habitat lumut tersebar mulai dari tanah, batang pohon, kayu lapuk,

bebatuan dan di permukaan daun (Windadri, 2010).

Keberadaan lumut di suatu tempat selalu dipengaruhi oleh faktor

lingkungan meliputi faktor biotik dan abiotik. Faktor biotik yang

mempengaruhi kehidupan tumbuhan lumut adalah menyangkut masalah

kompetisi di antara tumbuhan, baik untuk mendapatkan makanan maupun

untuk tempat hidupnya. Sedangkan faktor abiotiknya meliputi :

12
a. Suhu

Suhu merupakan faktor yang sangat penting bagi kehidupan

tumbuhan (Polunin, 1990). Suhu atau temperatur mempengaruhi semua

kegiatan tumbuhan seperti absorpsi air, fotosintesis, transpirasi,

respirasi, perkecambahan, tumbuh dan reproduksi. Temperatur yang

rendah hampir sama pengaruhnya dengan temperatur tinggi. Keduanya

sama-sama mempengaruhi proses metabolisme tumbuhan. Distribusi

lumut menjadi terbatas jika suhu optimal tidak terpenuhi karena kondisi

suhu lingkungan mempengaruhi pertumbuhan dan reproduksi tumbuhan

lumut (Vanderpoorten dan Goffinet, 2009). Menurut Glime (2001),

setiap jenis lumut memiliki toleransi yang berbeda dalam hal merespon

kondisi suhu di lingkungannya masing-masing. Lumut Fontinalis

merupakan salah satu contoh yang mengalami pertumbuhan optimal

pada suhu 10-15o C. Namun, banyak jenis lumut yang mampu bertahan

pada wilayah yang memiliki suhu 1o C. Hal ini memungkinkan lumut-

lumut tersebut dapat mempertahankan pertumbuhan dan distribusi

sepanjang tahun.

b. Intensitas Cahaya

Cahaya merupakan faktor yang penting bagi distribusi lumut

dalam suatu wilayah. Hal ini disebabkan kemampuan adaptasi sangat

berperan dalam merespon intensitas cahaya yang masuk ke dalam

13
wilayah di mana lumut tersebut tumbuh. Menurut Windadri (2007),

lumut menyukai habitat yang bervegetasi rapat sehingga intensitas

cahaya yang masuk menjadi tidak terlalu tinggi. Secara umum, lumut

tidak tahan terhadap intensitas cahaya yang tinggi, intensitas cahaya

yang mampu ditolerir oleh lumut adalah 500-1300 lux (Verdoorn,

1933).

c. Kelembaban

Kelembaban udara adalah banyaknya air di udara. Kelembaban

ini terkait dengan suhu, semakin rendah suhu umumnya akan

menaikkan kelembaban. Kelembaban udara berpengaruh terhadap

transpirasi, semakin rendah kelembaban udara maka transpirasi akan

semakin tinggi (Mujiman, 1997).

d. Curah Hujan

Curah hujan menjadi faktor penting bagi pertumbuhan lumut.

Curah hujan erat kaitannya dengan ketersediaan air untuk pertumbuhan

dan perkembangan tumbuhan (Polunin, 1960). Lumut akan mudah

ditemui pada semua habitat yang berdekatan dengan aliran air atau di

tempat yang memiliki kelembaban tinggi (Windadri, 2010) karena

distribusi lumut sebagian besar tergantung pada ketersediaan air

(Schofield, 1981). Ketergantungan terhadap ketersediaan air

menyebabkan seluruh struktur tubuh lumut termodifikasi untuk

mengabsorpsi air dari lingkungan sekitarnya. (Schofield, 1981). Air

juga menjadi elemen penting untuk perkecambahan spora lumut. Spora

14
lumut akan berkecambah pada wilayah yang terdapat air dan

kelembaban tinggi (Polunin, 1960). Struktur dalam tubuh tumbuhan

lumut yang bertanggung jawab terhadap aliran air dalam tubuh adalah

hydroid. Hydroid banyak ditemukan di tumbuhan lumut yang

acrocarpous (lumut yang sporofitnya muncul pada ujung batang) tetapi

tidak banyak ditemukan pada lumut pleurocarpous (Chopra, 1988).

3. Keanekaragaman Lumut

Keanekaragaman hayati (biological diversity atau biodiversity)

adalah istilah yang digunakan untuk menerangkan keragaman ekosistem

dan berbagai bentuk serta variabilitas hewan, tanaman serta jasad renik di

dunia. Lumut di kawasan hutan hujan pegunungan terdapat melimpah

dengan keanekaragaman yang tinggi. Lapisan lumut yang tebal di

permukaan lahan yang terbuka ataupun di lantai hutan, dapat

memperlambat aliran air sehingga mencegah erosi. Lumut epifit yang

tumbuh di batang pohon dapat memperlambat aliran air di permukaan

batang (stem flow). Hal ini dimungkinkan karena kemampuan lumut yang

tinggi dalam menyerap sekaligus menahan air hujan, mencapai 5-25 kali

bobot keringnya (Gradstein dkk., 2001).

Kekayaan jenis lumut di kawasan Indonesia telah dilaporkan oleh

beberapa peneliti diantaranya 426 jenis lumut di Irian Jaya dan 650 jenis di

Borneo (Tan, 1998). Berdasarkan checklist yang disusun oleh (Gradstein

dkk., 2005) di kawaswan Taman Nasional Lore Lindu terdapat 476 jenis

lumut di Sulawesi yang didalamnya termasuk 340 jenis lumut sejati dan

15
134 jenis lumut hati. SÖderstrÖm dkk. (2010) melaporkan 490 jenis lumut

sejati di Sumatera dan di pulau Jawa, ada 568 jenis lumut hati dan lumut

tanduk. Serta 628 jenis lumut sejati sebagian besar ditemukan di Jawa

Barat (Tan dkk., 2006).

Beberapa penelitian memperlihatkan keanekaragaman lumut

tertinggi dijumpai pada hutan primer, diikuti hutan sekunder dan

perkebunan (Sporn dkk., 2010). Penggundulan hutan khususnya di daerah

tropik menyebabkan hilangnya jenis lumut endemik. Alih fungsi hutan

primer menjadi hutan sekunder atau perkebunan akan menurunkan

keanekaragaman lumut epifit. Menurut Gradstein (2003) sekitar 20%

marga lumut hati shade epiphyte di hutan primer tidak dijumpai dihutan

sekunder ataupun di perkebunan, akibat terbukanya kanopi hutan primer.

Adanya pembukaan area hutan yang digantikan oleh perkebunan dengan

tanaman eksotik, menyisakan sekitar 10% jenis lumut, sedangkan pada

hutan sekunder tersisa sekitar 50-70% jenis lumut dibandingkan hutan

primer (Gradstein,2003).

Penelitian yang dilakukan Ariyanti (2005) di Sulawesi Tengah pada

tiga habitat yang berbeda yaitu di hutan primer, hutan sekunder, dan

perkebunan kakao menunjukkan kekayaan jenis lumut sejati terendah

ditemukan di perkebunan kakao, diikuti hutan sekunder. Kekayaan jenis

lumut sejati tertinggi ditemukan di hutan primer.

16
G. Metode Penelitian

1. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini akan dilaksanakan selama tiga bulan yakni dimulai

bulan Desember 2013 sampai dengan Februari 2014. Pengambilan

sampel dilakukan Gunung Rore Kautimbu Sulawesi Tengah pada titik

elevasi berbeda yang kemudian akan diidentifikasi lebih lanjut di

UPT. Sumber Daya Hayati Universitas Tadulako.

2. Alat dan Bahan

a. Alat

Alat yang digunakan pada penelitian ini antara lain GPS

untuk mengetahui koordinat lokasi dan letak ketinggian,

environment meter untuk mengukur suhu dan kelembaban, lux

meter untuk mengukur intensitas cahaya, kantung plastik, tali rafia,

pisau/alat pencongkel, lup, amplop spesimen, kotak spesimen,

mikroskop, pipet tetes, silet, gelas objek, gelas penutup, alat tulis

dan kamera.

b. Bahan

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu label, air

dan spesimen lumut yang diambil pada saat dilapangan.

17
3. Populasi dan Sampel

a. Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh jenis lumut

yang terdapat di Gunung Rore Kautimbu Provinsi Sulawesi

Tengah.

b. Sampel

Adapun sampel dalam penelitian ini adalah jenis lumut yang

ditemukan dalam plot pada setiap stasiun pengamatan.

4. Prosedur Penelitian

Penelitian bersifat deskriptif kuantitatif dengan memberikan

gambaran mengenai keanekaragaman lumut berdasarkan ketinggian

pada masing-masing stasiun di Gunung Rore Kautimbu.

Lokasi pengambilan sampel pada penelitian ini terbagi menjadi

3 stasiun. Penempatan Stasiun ini mengacu pada pengelompokkan

hutan kawasan mallesia berdasarkan ketinggian menurut Van steenis

(2006) yakni pada hutan sub-montana (1000 - 1500 meter diatas

permukaan laut), montana (1500 - 2400 meter diatas permukaan laut)

dan sub-alpine ( ≥ 2400 meter diatas permukaan laut).

Metode pengambilan data menggunakan transek dan petak

contoh menurut Mueller-Dumbois dan Ellenberg (1974) dengan

modifikasi. Ukuran plot yang digunakan adalah sebesar 20x20 m

18
dengan sub plot 1x1 m. Pada masing-masing stasiun diletakkan 2 buah

plot berukuran 20x20 m yang penempatanya secara purposive

sementara penempatan sub plot berukuran 1x1 m didasarkan pada

jenis substrat yang ditumbuhi oleh lumut, yakni pada substrat tanah,

batu, dan kayu lapuk (Gradestein dkk, 2001).

Untuk pengambilan sampel lumut yang terdapat di pohon akan

digunakan 2 buah petak sebesar 10x60 cm yang diletakkan pada

ketinggian 0-50 cm dan 100-200 cm diatas tanah (Apriana, 2010).

Gbr 1.3 Desain Plot Lumut di pohon (Sumber: Apriana, 2010)

Adapun prosedur pengambilan sampel sampai dengan tahapan

identifikasi adalah sebagai berikut :

1. Pemasangan plot berdasarkan ketinggian pada masing-masing

stasiun dengan jumlah plot 20x20 m sebanyak 2 buah dan jumlah

sub plot berdasarkan pada masing-masing subsrat yang ditumbuhi

lumut.

19
2. Pengkoleksian dilakukan dengan cara menyayat sampel lumut

beserta substratnya (Windadri, 2007) menggunakan bantuan pisau

atau alat pencongkel.

3. Setiap jenis lumut yang diperoleh dimasukkan ke dalam amplop

secara terpisah, kemudian diberi label yang telah diberi nomor urut

koleksi dan nama kolektor (Hasan dan Ariyanti, 2004).

4. Melakukan pengambilan data penunjang berupa suhu, kelembaban

dan intensitas cahaya pada lokasi penelitian serta pencatatan

mengenai letak geografis, ketinggian, serta jenis substrat yang

ditumbuhi lumut. Selain itu, perlu diambil pula gambar tumbuhan

lumut pada saat pengkoleksian dilapangan.

5. Sampel lumut yang diperoleh dari lapangan diawetkan dengan cara

dikering-anginkan dan dimasukkan ke dalam amplop kembali

(Windadri, 2010). Koleksi lumut disimpan dan disusun rapi dalam

kotak. Lumut berukuran besar dapat disimpan seperti menyimpan

koleksi tumbuhan tinggi dan perlu diberi kamfer untuk mencegah

kerusakan oleh serangga (Hasan dan Ariyanti, 2004).

6. Selanjutnya sampel di identifikasi di UPT. Sumber Daya Hayati

Universitas Tadulako dengan studi literatur menggunakan buku

identifikasi A Handbook of Malesian Mosses Vol. 1,2,3, Guide to

Liverworts and Hornworts of Java dan Mosses and Liverworts of

Hongkong , membandingkan dengan spesimen referensi, bantuan

ahli dan menggunakan fasilitas internet.

20
5. Analisa Data

Data yang didapat dari lapangan akan dianalisis dengan

menggunakan rumus sebagai berikut:  

a. Menghitung tingkat keanekaragaman lumut pada masing-masing

stasiun menggunakan Indeks(1963) dalam Ludwig dan Reynolds

(1988) sebagai berikut :

H` = - ∑ [ni/N] ln [ni/N]

Dimana :

ni= Jumlah individu spesies ke-i

N = Total jumlah semua jenis individu yang ditemukan

b. Menghitung kerapatan dan dominansi dari tumbuhan lumut dengan

menggunakan rumus :

Jumlah Individu suatu jenis


Kerapatan =
Luas seluruh plot

Kerapatan Suatu Jenis


Kerapatan Relatif = X 100%
Kerapatan Seluruh Jenis

Jumlah Plot yang ditempati Suatu Jenis


Frekuensi =
Jumlah Seluruh Plot

Frekuensi Suatu Jenis


Frekuensi Relatif = X 100%
Frekuensi Seluruh Jenis

c. Dominansi jenis pada beberapa elevasi ditunjukkan dengan indeks

nilai penting (INP) yang kemudian dihitung dengan menggunakan

rumus (Fachrul, 2007) :

21
INP = {FR (%) + KR (%)}

Diamana :

FR = Frekuensi Relatif dan KR = Kerapatan Relatif

22

Anda mungkin juga menyukai