BAB II Perbedaan Kualitas Persahabatan Ditinjau Dari Status Identitas Pada Remaja Akhir
BAB II Perbedaan Kualitas Persahabatan Ditinjau Dari Status Identitas Pada Remaja Akhir
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Remaja
2.1.1 Definisi Remaja
Masa remaja mengacu pada proses kedewasaan atau masa pematangan
dari pubertas (Websters New Collegiate Dictionary, dikutip dalam Mwale, 2010).
Menurut Papalia, Wendkos-Olds, dan Feldman (2009), masa remaja terjadi
diantara umur 11 sampai dengan 19 atau 20 tahun. Sedangkan King (2008)
menganggap masa remaja terjadi antara umur 10 tahun hingga 21 tahun.
Santrock (2007) mendefinisikan masa remaja sebagai periode transisi dari masa
kanak-kanak ke masa dewasa yang meliputi perubahan biologis, kognitif, dan
sosial. Salah satu definisi masa remaja yang mungkin paling diterima adalah
definisi yang dikemukakan oleh Buhler (dikutip dalam Mwale, 2010), yaitu masa
remaja adalah masa perantara yang dimulai dengan dicapainya kematangan
fisiologis dan diakhiri dengan diperolehnya kematangan sosial,
seperti
kematangan sosial, seksual, hak dan kewajiban ekonomi dan hukum dewasa,
telah tercapai.
Dapat disimpulkan bahwa masa remaja adalah masa transisi dari kanakkanak ke kedewasaan, dimana terjadi proses pematangan fisik, psikis, dan sosial
pada diri individu. Transisi tersebut termasuk perubahan fisik, pola pikir abstrak,
rasa ingin mandiri dan menunjukkan jati diri, pergaulan dengan teman sebaya
yang berperan dalam pembentukan identitas sebagai seorang individu, serta
pengertian mengenai peran sosial yang akan diambilnya pada masa dewasa.
Remaja adalah sebuah konstruk sosial karena dalam masyarakat pre-industri
konsep remaja tidak dikenal. Masa remaja sendiri adalah masa yang
memberikan kesempatan bagi individu untuk berkembang, tidak hanya secara
fisik, tapi juga pada dimensi kompetensi kognitif dan sosial, kemandirian,
penghargaan diri, dan keintiman (Papalia et al., 2009).Walaupun masa remaja
telah lama dipandang sebagai periode stres berat dan cobaan, penelitian
menunjukkan bahwa masa remaja tidak sesulit yang dikira sebelumnya
(Steinberg & Levine, dikutip dalam Weiten & Llyod, 2006). Akan tetapi masa ini
merupakan masa penuh tekanan untuk orangtua karena remaja sedang mencari
jati diri mereka, hal tersebut berakibat pada menurunnya pengaruh orangtua dan
meningkatnya pengaruh teman sebaya. Gecas dan Seff (dikutip dalam Weiten &
Llyod, 2006) mengungkapkan bahwa pengaruh orangtua lebih besar dalam halhal penting seperti tujuan pendidikan dan perencanaan karir, sedangkan
kelompok sebaya berpengaruh besar pada hal-hal sepele seperti cara
berpakaian dan hiburan.
10
11
perhatian para remaja adalah pekerjaan di masa depan, kemudian diikuti dengan
keputusan kepercayaan politis dan religius, serta peran gender dewasa.
Erikson (dikutip dalam Papalia et al., 2009) mendefinisikan identitas sebagai
konsep diri yang koheren, terbuat dari tujuan, nilai, dan kepercayaan yang
dipegang teguh seseorang. Pengertian tersebut didapat melalui penggambaran
hubungan biologi, psikologi, dan kesadaran sosial, serta respon yang telah
dialami dan dimiliki seorang individu (Kroger, 2006). Identitas memberikan rasa
mengenai siapa diri individu, mengetahui apa yang saya dan apa yang bukan
saya (Cobb, 2007). Identitas memberikan kesempatan untuk individu mengalami
kontinuitas diri dari waktu ke waktu, individu dapat mengaitkan perilaku di masa
lalu dan perilaku yang diharapkan muncul di masa depan. Masa remaja sendiri
adalah waktu dimana tahap perkembangan psikososial kelima Erikson, identity
vs identity confusion terjadi (Papalia et al., 2009). Tahap ini, seperti tahap
sebelum dan sesudahnya, ditandai oleh sebuah krisis yang dijelaskan sebagai
momen penting dalam perkembangan.
Marcia (1980) menganggap identitas sebagai sebuah struktur diri yang
bersifat internal dan dibuat oleh individu yang berbentuk organisasi dinamis dari
drives, kemampuan, prinsip, dan sejarah individu. Perkembangan struktur
tersebut menentukan seberapa yakin seseorang mengenai keunikannya yang
berbeda dari orang lain. Marcia (dikutip dalam Santrock, 2007) menganggap
peneliti modern percaya bahwa perkembangan identitas tidak dimulai ataupun
berakhir di masa remaja, perkembangan tersebut dimulai dari masa bayi
berbentuk keterikatan, pengembangan rasa diri (sense of self), dan munculnya
kemandirian. Hal tersebut berakhir dengan meninjau kembali dan mengintegrasi
kehidupan saat lanjut usia. Perkembangan identitas sangat penting dalam masa
12
13
14
karir, orientasi peran gender, peran keluarga, dan dalam pandangan religius
serta politik. Perbedaan dalam rasa mengenai identitas terlihat lebih jelas pada
usia 18 hingga 21 tahun, perbedaan tersebut memberikan gambaran bahwa
walaupun introspeksi diri terjadi pada seluruh masa remaja, rasa mengenai
identitas diri yang jelas dan menetap baru mulai terjadi pada akhir periode
tersebut (Ct; Kroger, dikutip dalam Steinberg, 2011). Model status identitas
tersebut digunakan remaja akhir sebagai pendekatan dalam mendapatkan peran
dan nilai yang menggambarkan identitasnya (Kroger, 2006).
15
pilihan yang ada (King, 2008), dan cenderung mengikuti pemimpin yang kuat
(Papalia, et al., 2009).
Kroger (2006) memuat bahwa individu dalam kategori foreclosed memakai
orientasi normatif sebagai acuannya mengenai identitas dan cenderung setuju
dengan ekspektasi orang-orang signifikan disekitarnya dalam pembentukan
struktur identitas. Secara interpersonal, individu dalam kategori ini sangat dekat
dengan sesamanya.Keluarga individu foreclosure biasanya sangat dekat dan
berorientasi kepada anak, sehingga jarang memiliki konflik.
Moratorium Kecemasan seringkali dikaitkan dengan individu dalam kategori
ini. Individu yang berada dalam kategori moratorium belum memiliki komitmen
dan merasa bingung dengan alternatif-alternatif yang telah dieksplornya. Secara
kognitif, individu dengan status moratorium tergolong skeptis mengenai
kepastian (Boyes & Chandler, dalam Kroger, 2006). Individu lebih mengacu
kepada pengalaman dan memiliki pemikiran analitis. Secara interpersonal,
individu moratorium memiliki persahabatan yang didasari rasa hormat, tebuka,
dan tidak defensif kepada orang lain namun belum berkomitmen kepada satu
pasangan. Marcia (1980) mengatakan bahwa individu dalam tahap ini berada
dalam krisis identitas.Akan tetapi, ketika individu tersebut telah membuat
komitmen, maka ia akan langsung mencapai pencapaian identitas.
Identity Diffusion Difusi identitas (identity diffusion) adalah kategori yang
diperuntukkan untuk seseorang yang belum mengeksplorasi alternatif identitas
yang ada, dan belum memiliki komitmen (King, 2008). Seringkali, individu dalam
kategori ini memiliki kemandirian yang tidak memadai, penghargaan diri yang
kurang, dan rasa identitas yang rendah (Kroger, 2006). Para individu dalam
kategori ini memiliki tipe pembuatan keputusan yang dependen.Individu dalam
16
kategori ini cenderung tidak bahagia dan seringkali kesepian (Papalia, et al.,
2009).
Kategori-kategori ini bukanlah tahapan, melainkan representasi dari status
perkembangan identitas pada waktu tertentu, dan cenderung berubah-ubah ke
arah mana pun karena remaja terus berkembang (Marcia, dikutip dari Papalia, et
al., 2009).
Steinberg (2011) mengemukakan bahwa individu yang tergolong sebagai
identity achievers lebih sehat secara psikologis dari kategori lain karena memiliki
skor tinggi pada motivasi pencapaian, moral reasoning, intimacy dengan teman
sebaya, reflektif, dan matang dalam pemilihan karir. Sedangkan individu yang
tergolong dalam moratorium memiliki skor tinggi pada kecemasan,memiliki
konflik dengan otoritas, dan kurang tegas serta tidak dapat menjadi individu yang
otoriter.
Individu yang tergolong dalam foreclosure terlihat sebagai yang paling otoriter
dan paling berprasangka. Individu foreclosure juga memiliki kebutuhan untuk
mendapatkan penerimaan sosial (social approval) paling tinggi, dengan tingkat
kemandirian terendah,
dan
memiliki ikatan
yang sangat
kuat
dengan
17
otoritatif
(atau
demokratis)
yang
mendukung
remaja
untuk
18
bahwa
penelitian
mengindikasikan
proses
relasi
sosial
pria,
yang
memiliki
konsep
self-oriented
(intrapersonal).
19
20
2.3 Persahabatan
Persahabatan adalah sumber kebahagiaan dan dukungan yang tidak dapat
digantikan (Miller et al., 2007). Terdapat banyak definisi dari persahabatan.
Persahabatan seringkali digambarkan sebagai hubungan timbal balik yang
dilakukan secara sukarela (Bukowski & Hoza, dikutip dalam Thien et al., 2012).
Rusly (1997) mendefinisikan persahabatan sebagai suatu bentuk hubungan
timbal balik yang didalamnya terdapat rasa saling memiliki, rasa aman, saling
memperhatikan dan menjaga, komitmen, pertemanan, serta berbagi perasaan
dan pemikiran. Fehr (dikutip dalam Miller et al., 2007) mendefinisikan
persahabatan sebagai hubungan pribadi yang bersifat sukarela, biasanya
memberikan intimacy dan bantuan dimana kedua pihak menyukai satu sama lain
dan mencari pertemanan satu sama lain.
Dari definisi-definisi diatas dapat disimpulkan bahwa persahabatan adalah
bentuk hubungan timbal balik yang bersifat pribadi dan sukarela, yang terbentuk
berdasarkan rasa saling menyukai, saling memiliki, rasa aman bersama, serta
21
22
sering
menghabiskan
waktunya
bersama
teman
sebaya
dibandingkan keluarga (Larson, et al., dikutip dalam Miller et al., 2007). Selain
itu, remaja seringkali memilih teman-temannya untuk pemuasan kebutuhan
ikatan yang penting (important attachmentneeds)(Fraley & Davis, dikutip dalam
Miller et al., 2007). Selain perubahan sikap, hubungan sosial dimana
persahabatan terjadi juga berubah seiring berjalannya waktu (Miller et al., 2007).
Seiring bertambahnya usia remaja, grup pertemanan yang dimiliki akan semakin
kompleks.
23
Parker dan Asher (1993) mengemukakan bahwa terdapat dua sisi dari
persahabatan yang dapat dilihat, yaitu partisipasi individu dalam persahabatan
dan kualitas dari persahabatan tersebut. Partisipasi dalam persahabatan yang
dimaksud adalah kesadaran akan persahabatan yang dijalani, sedangkan
kualitas persahabatan adalah tingkat kebersamaan yang dirasakan dari
hubungan persahabatan tersebut, seperti dukungan dan tingkat konflik.
Partisipasi dalam persahabatan dapat dilihat dari respon individu terhadap
pertanyaan mengenai siapa sahabat mereka. Remaja memiliki persepsi menarik
mengenai persahabatan, karena remaja menganggap hubungan persahabatan
yang dimiliki berhubungan dengan penolakan dan rasa depresi (Demir & Urberg,
2004). Penelitian mengenai dimensi kualitas persahabatan menunjukkan efek
positif pada persahabatan kualitas tinggi, yaitu peningkatan self-esteem (Berndt
& Keefe; dikutip dalam Demir & Urberg, 2004) dan rasa kesendirian (loneliness)
yang rendah (Parker & Asher, 1993).
24
25
yang
mengacu
pada
frekuensi
ketidaksetujuan
dalam
sebuah
persahabatan; (3) Bantuan, yang terdiri dari dua sub-komponen, bantuan dan
saling menolong, serta perlindungan dari ketidakadilan dan tekanan dari orang
lain; (4) Keamanan, yang terdiri dari dua komponen utama: kepercayaan
terhadap sahabat dan kemampuan untuk menghadapi masalah, dengan kata
lain, kepercayaan bahwa persahabatan adalah ikatan yang berlanjut walau
terdapat konflik atau masalah; (5) Kedekatan, termasuk aspek mempercayai
kekuatan dari hubungan emosi dan keterikatan pada teman, dengan rasa sayang
atau kekhususan yang dialami dengan teman.
Pertemanan, atau melakukan hal bersama adalah aspek persahabatan yang
muncul paling awal dan yang paling penting untuk menjaga kekuatan dan
kedekatan hubungan (Berndt; Bukowski et al, dalam Matheson, Olsen, &
Weisner, 2007). Setelah pertemanan terbentuk, persahabatan yang lebih
mendalam, saling memberi, dan timbal-balik pun terbentuk.Piaget (1965)
menyatakan bahwa persahabatan tanpa saling memberi memiliki kualitas yang
rendah.
Dukungan adalah aspek persahabatan yang menjadi penting pada remaja
awal (Berndt, dikutip dalam Matheson et al, 2007). Berndt mengemukakan
bahwa saat berada dibawah tekanan, remaja mencari teman mereka untuk
26
pengertian, kasih sayang, dan bantuan karena remaja lebih peka terhadap
kebutuhan satu sama lain. Bantuan yang dimaksud dapat berbentuk apapun,
seperti tuntunan dan nasihat, dukungan instrumental seperti meminjamkan uang,
dan dukungan emosional, contohnya dengan menyediakan bahu untuk
bersandar (Parker & Asher, 1993; Turnbull, Blue-Banning, & Pereira, dikutip
dalam Matheson et al, 2007).
Dimensi dari persahabatan yang semakin meningkat seiring berjalannya usia
individu adalah penyelesaian konflik dan stabilitas (Matheson et al, 2007).
Sahabat dapat setuju dan tidak setuju satu sama lain, tetapi tanda bahwa
hubungan mereka erat adalah bagaimana mereka menyelesaikan dan mengatur
konflik yang terjadi di antara mereka (Parker & Asher, 1993).
Matheson et al (2007) menyatakan bahwa dimensi lain yang penting dalam
persahabatan di masa remaja adalah kepercayaan, kesetiaan, dan intimacy.
Remaja biasanya mengharapkan sahabatnya untuk tidak meninggalkan atau
mengkhianati satu sama lain dan juga untuk dapat mempercayakan rahasia intim
mereka tanpa merasa dihakimi. Selama masa remaja, sahabat saling terbuka
mengenai informasi pribadi untuk mempererat ikatan mereka. Intimacy dari
keterbukaan tersebut adalah langkah lebih besar dalam kedekatan dan
memperdalam hubungan yang ada.
Jones et al. (2013) menemukan hubungan signifikan antara kualitas
persahabatan dan pembentukan identitas pada remaja, terutama pada dimensi
dukungan dan konflik. Dukungan yang besar pada sebuah persahabatan
berhubungan dengan tingkat identity achievement yang lebih tinggi, dan tingkat
diffusion yang lebih rendah sedangkan tingkat konflik tinggi dalam persahabatan
berhubungan dengan status moratorium dan diffusion.
27
dan
Hoza
(dikutip
dalam
Arndorfer
&
Stormshank,
2008)
28
Status identitas dapat ditentukan dari dua aspek, yaitu eksplorasi yang
dilakukan
dan
komitmen
yang
diberikan
kepada
setiap
pilihan
yang
29
30
31