Anda di halaman 1dari 23

8

BAB II
LANDASAN TEORI

2.1 Remaja
2.1.1 Definisi Remaja
Masa remaja mengacu pada proses kedewasaan atau masa pematangan
dari pubertas (Websters New Collegiate Dictionary, dikutip dalam Mwale, 2010).
Menurut Papalia, Wendkos-Olds, dan Feldman (2009), masa remaja terjadi
diantara umur 11 sampai dengan 19 atau 20 tahun. Sedangkan King (2008)
menganggap masa remaja terjadi antara umur 10 tahun hingga 21 tahun.
Santrock (2007) mendefinisikan masa remaja sebagai periode transisi dari masa
kanak-kanak ke masa dewasa yang meliputi perubahan biologis, kognitif, dan
sosial. Salah satu definisi masa remaja yang mungkin paling diterima adalah
definisi yang dikemukakan oleh Buhler (dikutip dalam Mwale, 2010), yaitu masa
remaja adalah masa perantara yang dimulai dengan dicapainya kematangan
fisiologis dan diakhiri dengan diperolehnya kematangan sosial,

seperti

kematangan sosial, seksual, hak dan kewajiban ekonomi dan hukum dewasa,
telah tercapai.
Dapat disimpulkan bahwa masa remaja adalah masa transisi dari kanakkanak ke kedewasaan, dimana terjadi proses pematangan fisik, psikis, dan sosial
pada diri individu. Transisi tersebut termasuk perubahan fisik, pola pikir abstrak,
rasa ingin mandiri dan menunjukkan jati diri, pergaulan dengan teman sebaya
yang berperan dalam pembentukan identitas sebagai seorang individu, serta
pengertian mengenai peran sosial yang akan diambilnya pada masa dewasa.
Remaja adalah sebuah konstruk sosial karena dalam masyarakat pre-industri
konsep remaja tidak dikenal. Masa remaja sendiri adalah masa yang
memberikan kesempatan bagi individu untuk berkembang, tidak hanya secara
fisik, tapi juga pada dimensi kompetensi kognitif dan sosial, kemandirian,
penghargaan diri, dan keintiman (Papalia et al., 2009).Walaupun masa remaja
telah lama dipandang sebagai periode stres berat dan cobaan, penelitian
menunjukkan bahwa masa remaja tidak sesulit yang dikira sebelumnya
(Steinberg & Levine, dikutip dalam Weiten & Llyod, 2006). Akan tetapi masa ini
merupakan masa penuh tekanan untuk orangtua karena remaja sedang mencari
jati diri mereka, hal tersebut berakibat pada menurunnya pengaruh orangtua dan
meningkatnya pengaruh teman sebaya. Gecas dan Seff (dikutip dalam Weiten &
Llyod, 2006) mengungkapkan bahwa pengaruh orangtua lebih besar dalam halhal penting seperti tujuan pendidikan dan perencanaan karir, sedangkan
kelompok sebaya berpengaruh besar pada hal-hal sepele seperti cara
berpakaian dan hiburan.

2.1.2 Perkembangan Kognitif Remaja

10

Remaja mengalami perubahan kognitif yang signifikan (Keating; Kuhn &


Franklin, dikutip dalam King, 2008). Remaja memasuki tahap perkembangan
kognitif Piaget yang paling tinggi yaitu formal operational stage, yang berarti
remaja dapat berpikir secara abstrak (King, 2008; Papalia, et al., 2009), idealistik,
dan logis (King, 2008). Perkembangan yang biasa terjadi pada usia 11 ini
memberikan cara baru yang fleksibel dalam memanipulasi informasi. Remaja
sudah tidak terikat pada masa kini dan mengerti akan waktu yang telah berlalu
dan ruang asing (Papalia, et al., 2009). Mereka memiliki kemampuan
memecahkan masalah menggunakan representasi verbal (King, 2008).
Tahap formal operasional dikatakan penuh akan idealisme dan kemungkinan
(King, 2008). Hal tersebut dapat dilihat dari cara remaja memberikan spekulasi
mengenai kualitas yang mereka ingin miliki sendiri atau mereka ingin orang lain
miliki. King menyebutkan bahwa pikiran remaja dapat berfantasi mengenai
kemungkinan-kemungkinan di masa depan.

2.2 Perkembangan Psikososial Remaja


2.2.1 Identitas
Peningkatan pemikiran abstrak dan idealis selama masa remaja merupakan
pondasi untuk mengeksplorasi identitas seorang individu (King, 2008). Pencarian
identitas sendiri dipandang oleh Erikson sebagai tugas perkembangan yang
terjadi sepanjang hidup, namun berfokus lebih besar pada remaja (Papalia &
Feldman, 2012). Menurut Cobb (2007), remaja akan mencari identitas mereka
dengan cara memperhatikan peran-peran sosial yang ada di sekitarnya. Erikson
(dikutip dalam Cobb, 2007) mengemukakan bahwa peran yang menjadi pusat

11

perhatian para remaja adalah pekerjaan di masa depan, kemudian diikuti dengan
keputusan kepercayaan politis dan religius, serta peran gender dewasa.
Erikson (dikutip dalam Papalia et al., 2009) mendefinisikan identitas sebagai
konsep diri yang koheren, terbuat dari tujuan, nilai, dan kepercayaan yang
dipegang teguh seseorang. Pengertian tersebut didapat melalui penggambaran
hubungan biologi, psikologi, dan kesadaran sosial, serta respon yang telah
dialami dan dimiliki seorang individu (Kroger, 2006). Identitas memberikan rasa
mengenai siapa diri individu, mengetahui apa yang saya dan apa yang bukan
saya (Cobb, 2007). Identitas memberikan kesempatan untuk individu mengalami
kontinuitas diri dari waktu ke waktu, individu dapat mengaitkan perilaku di masa
lalu dan perilaku yang diharapkan muncul di masa depan. Masa remaja sendiri
adalah waktu dimana tahap perkembangan psikososial kelima Erikson, identity
vs identity confusion terjadi (Papalia et al., 2009). Tahap ini, seperti tahap
sebelum dan sesudahnya, ditandai oleh sebuah krisis yang dijelaskan sebagai
momen penting dalam perkembangan.
Marcia (1980) menganggap identitas sebagai sebuah struktur diri yang
bersifat internal dan dibuat oleh individu yang berbentuk organisasi dinamis dari
drives, kemampuan, prinsip, dan sejarah individu. Perkembangan struktur
tersebut menentukan seberapa yakin seseorang mengenai keunikannya yang
berbeda dari orang lain. Marcia (dikutip dalam Santrock, 2007) menganggap
peneliti modern percaya bahwa perkembangan identitas tidak dimulai ataupun
berakhir di masa remaja, perkembangan tersebut dimulai dari masa bayi
berbentuk keterikatan, pengembangan rasa diri (sense of self), dan munculnya
kemandirian. Hal tersebut berakhir dengan meninjau kembali dan mengintegrasi
kehidupan saat lanjut usia. Perkembangan identitas sangat penting dalam masa

12

remaja, terutama remaja akhir, karena untuk pertama kalinya perkembangan


fisik, pemikiran, dan sosial berada pada satu titik yang memudahkan individu
untuk memilih dan penggabungan identitas-identitas pada masa kecilnya dalam
mencapai kedewasaan (Marcia & Carpendale, dikutip dalam Santrock, 2007).
Perkembangan identitas adalah suatu proses yang kompleks dan memiliki
banyak dimensi. Secara umum, terdapat tiga pendekatan untuk mengetahui
bagaimana rasa mengenai identitas seseorang berubah selama masa remaja,
yaitu self-conceptions, self-esteem, dan sense of identity (Steinberg, 2011). Selfconceptions atau konsep diri adalah pemikiran individu mengenai atribut dan trait
apa yang dimiliki, sedangkan self-esteem atau penghargaan diri adalah
pandangan positif atau negatif seorang remaja mengenai dirinya sendiri. Sense
of identity atau perasaan sebagai seorang individu sendiri adalah perasaan
individu mengenai siapa dia, darimana ia berasal, dan kemana ia akan
pergi.Sense of identity yang optimal dapat dicapai jika resolusi tahap psikososial
Erikson (1968) tercapai, yaitu saat seorang remaja mendapatkan rasa berada di
tubuh yang tepat (being at home in ones body), mengetahui tujuannya (knowing
where one is going), dan kepastian diri dari pengakuan orang di sekitarnya.
Steinberg (2011) mengemukakan bahwa dalam perkembangan identitas,
masyarakat memiliki peran penting dalam menentukan identitas seperti apa yang
dapat menjadi alternatif dan identitas seperti apa yang dapat diterima dan tidak.
Oleh karena itu perkembangan identitas akan berbeda antar budaya, antar subkultur dalam sebuah masyarakat, dan antara era sejarah yang berbeda (Kroger,
dikutip dalam Steinberg, 2011).

13

2.2.2 Status Identitas


Status identitas (Identity status) mengarah kepada satu titik pada proses
perkembangan identitas yang menggolongkan seseorang pada waktu tersebut
(Steinberg, 2011). Penggolongan tersebut bergantung pada ada atau tidak krisis
dan komitmen didalamnya (Papalia et al., 2009). Marcia mendefinisikan krisis
(atau eksplorasi) sebagai periode penting saat individu mengeksplorasi setiap
kemungkinan secara aktif dan menghubungkan pengetahuan mengenai dirinya
dan dunia sekitarnya. Sedangkan komitmen didefinisikan sebagai pengambilan
keputusan untuk melanjutkan perkembangan ke masa dewasa. Status identitas
pada awalnya dikonsepkan sebagai fitur topografi dari struktur identitas (Kroger,
2006). Cobb (2007) mengemukakan bahwa remaja mengeksplorasi pilihan
seperti karir, peran sosial, dan pertemanan dari lingkungan sekitarnya.
Sedangkan komitmen dapat didefinisikan sebagai pengambilan keputusan untuk
meneruskan identitas hingga masa dewasa.
Marcia menemukan korelasi antara status identitas dan karakteristik seperti
kecemasan, penghargaan diri, moral reasoning, dan pola perilaku (Papalia, et al.,
2009). Status identitas terdiri dari empat model yang menggambarkan
karakteristik masalah identitas pada remaja akhir, yaitu: identity achievement,
foreclosure, identity diffusion, dan moratorium (Marcia, 1980). Baik identity
achievement maupun moratorium dikategorikan sebagai status identitas tinggi,
karena individu yang berada di tahap tersebut telah mencapai komitmen.
Sedangkan foreclosure dan identity diffusion dikategorikan sebagai status
identitas rendah karena individu dalam tahap tersebut belum mencapai komitmen
(Kroger & Marcia, 2011). Erikson (dikutip dalam Kumru & Thompson, 2003)
mengemukakan bagaimana komitmen dalam identitas dapat terlihat dari pilihan

14

karir, orientasi peran gender, peran keluarga, dan dalam pandangan religius
serta politik. Perbedaan dalam rasa mengenai identitas terlihat lebih jelas pada
usia 18 hingga 21 tahun, perbedaan tersebut memberikan gambaran bahwa
walaupun introspeksi diri terjadi pada seluruh masa remaja, rasa mengenai
identitas diri yang jelas dan menetap baru mulai terjadi pada akhir periode
tersebut (Ct; Kroger, dikutip dalam Steinberg, 2011). Model status identitas
tersebut digunakan remaja akhir sebagai pendekatan dalam mendapatkan peran
dan nilai yang menggambarkan identitasnya (Kroger, 2006).

Jenis Identity Status


Identity Achievement. Pencapaian identitas (identity achievement) terjadi
ketika krisis dan komitmen terjadi pada seorang remaja. Individu telah
mengeksplorasi alternatif yang ada dan membuat komitmen (King, 2008).
Individu dalam kategori ini memiliki kemampuan untuk bekerja dengan baik
dibawah tekanan (Marcia, dikutip dalam Kroger, 2006). Penelitian dalam
sejumlah budaya menemukan bahwa individu dalam kategori ini cenderung lebih
matang dan lebih kompeten secara sosial daripada tiga model lainnya (Kroger;
Marcia, dalam Papalia, et al., 2009).
Foreclosure. Marcia (1980) menggambarkan foreclosure terjadi ketika
seseorang telah berkomitmen kepada suatu identitas, namun tidak memilih
sendiri identitas tersebut dan sedikit atau tidak sama sekali melalui tahap krisis.
Individu pada tahap ini memiliki karakteristik kepribadian yang konsisten seperti
tingkat konformitas yang tinggi, otoriter, dan tingkat aspirasi yang berubah-ubah
(Kroger, 2006). Seseorang dengan model ini kurang mengeksplorasi pilihan-

15

pilihan yang ada (King, 2008), dan cenderung mengikuti pemimpin yang kuat
(Papalia, et al., 2009).
Kroger (2006) memuat bahwa individu dalam kategori foreclosed memakai
orientasi normatif sebagai acuannya mengenai identitas dan cenderung setuju
dengan ekspektasi orang-orang signifikan disekitarnya dalam pembentukan
struktur identitas. Secara interpersonal, individu dalam kategori ini sangat dekat
dengan sesamanya.Keluarga individu foreclosure biasanya sangat dekat dan
berorientasi kepada anak, sehingga jarang memiliki konflik.
Moratorium Kecemasan seringkali dikaitkan dengan individu dalam kategori
ini. Individu yang berada dalam kategori moratorium belum memiliki komitmen
dan merasa bingung dengan alternatif-alternatif yang telah dieksplornya. Secara
kognitif, individu dengan status moratorium tergolong skeptis mengenai
kepastian (Boyes & Chandler, dalam Kroger, 2006). Individu lebih mengacu
kepada pengalaman dan memiliki pemikiran analitis. Secara interpersonal,
individu moratorium memiliki persahabatan yang didasari rasa hormat, tebuka,
dan tidak defensif kepada orang lain namun belum berkomitmen kepada satu
pasangan. Marcia (1980) mengatakan bahwa individu dalam tahap ini berada
dalam krisis identitas.Akan tetapi, ketika individu tersebut telah membuat
komitmen, maka ia akan langsung mencapai pencapaian identitas.
Identity Diffusion Difusi identitas (identity diffusion) adalah kategori yang
diperuntukkan untuk seseorang yang belum mengeksplorasi alternatif identitas
yang ada, dan belum memiliki komitmen (King, 2008). Seringkali, individu dalam
kategori ini memiliki kemandirian yang tidak memadai, penghargaan diri yang
kurang, dan rasa identitas yang rendah (Kroger, 2006). Para individu dalam
kategori ini memiliki tipe pembuatan keputusan yang dependen.Individu dalam

16

kategori ini cenderung tidak bahagia dan seringkali kesepian (Papalia, et al.,
2009).
Kategori-kategori ini bukanlah tahapan, melainkan representasi dari status
perkembangan identitas pada waktu tertentu, dan cenderung berubah-ubah ke
arah mana pun karena remaja terus berkembang (Marcia, dikutip dari Papalia, et
al., 2009).
Steinberg (2011) mengemukakan bahwa individu yang tergolong sebagai
identity achievers lebih sehat secara psikologis dari kategori lain karena memiliki
skor tinggi pada motivasi pencapaian, moral reasoning, intimacy dengan teman
sebaya, reflektif, dan matang dalam pemilihan karir. Sedangkan individu yang
tergolong dalam moratorium memiliki skor tinggi pada kecemasan,memiliki
konflik dengan otoritas, dan kurang tegas serta tidak dapat menjadi individu yang
otoriter.
Individu yang tergolong dalam foreclosure terlihat sebagai yang paling otoriter
dan paling berprasangka. Individu foreclosure juga memiliki kebutuhan untuk
mendapatkan penerimaan sosial (social approval) paling tinggi, dengan tingkat
kemandirian terendah,

dan

memiliki ikatan

yang sangat

kuat

dengan

orangtua.Individu yang dikategorikan sebagai identity diffused memiliki tingkat


masalah psikologis dan masalah interpersonal paling tinggi, karena individu
dalam kategori ini seringkali menarik diri dan menunjukkan tingkat intimacy
paling rendah terhadap teman sebayanya. Hal ini didukung penelitian oleh rseth
et al. (2009) yang menemukan bahwa Identity Achieved dan Moratorium memiliki
tingkat intimacy yang tinggi karena individu memiliki kedekatan dengan
pasangan dan dapat menjalin persahabatan baik dengan orang di sekitarnya.

17

Sedangkan pada Foreclosures dan Identity Diffused memiliki tingkat intimacy


lebih rendah dan juga tidak terlihat ada perbedaan signifikan antara keduanya.
Selain intimacy, terdapat perbedaan pendekatan dalam penyelesaian
masalah dan pengambilan keputusan jika dilihat dari status identitas. Hal
tersebut didukung oleh hasil studi Berzonsky dan Neimeyer (dikutip dalam
Adams, 1998) yang menemukan bahwa individu dengan status Foreclosure
cenderung lebih memilih pendekatan normatif, yaitu dimana ia menerapkan
tujuan dan standar yang berasal dari lingkungan sekitarnya, seperti keluarga,
teman, agama, negara, atau komunitas penting lainnya. Sedangkan individu
dengan status Identity Diffused cenderung menghindari masalah dan konflik.
Hasil penelitian ini juga mengemukakan bahwa individu dengan komitmen tinggi
memilih pendekatan informasional untuk menyelesaikan konfliknya.
Santrock (2007) mengungkapkan bahwa orangtua merupakan figur yang
berpengaruh dalam pencarian identitas seorang remaja. Dalam studi yang
membahas mengenai hubungan antara perkembangan identitas dan pola asuh
orangtua, Enright et al. (dikutip dalam Santrock, 2007) mengemukakan bahwa
orangtua

otoritatif

(atau

demokratis)

yang

mendukung

remaja

untuk

berpartisipasi dalam pengambilan keputusan dalam keluarga menghasilkan


remaja dengan status identity achievement. Berbeda dengan orangtua otoriter
yang membatasi perilaku remaja, mendukung identity foreclosure, serta orangtua
permisif yang membebaskan akan mendukung anak memasuki tahap identity
diffusion.

18

2.2.3 Pengaruh Jenis Kelamin Pada Status Identitas


Erikson mempercayai bahwa proses pembentukan identitas antara pria dan
wanita berbeda dalam hal konten, waktu, dan urutan (Cobb, 2007). Chae (2001)
mengemukakan

bahwa

penelitian

mengindikasikan

proses

relasi

sosial

(interpersonal) lebih terikat kepada konsep perkembangan identitas wanita


dibandingkan

pria,

yang

memiliki

konsep

self-oriented

(intrapersonal).

Perkembangan identitas wanita biasanya terkait dengan berhubungan dengan


orang lain, terutama pada permasalahan apa artinya menjadi wanita di
masyarakat dan di hubungan dengan orang lain (Archer, dikutip dalam Chae,
2001). Archer (dalam Chae, 2001) mengungkapkan bahwa perkembangan
identitas pria sangat kontras dengan wanita, karena pria lebih mengembangkan
kapasitas untuk menguasai talenta dan minat dalam rangka mencapai
kompetensi pribadi (personal competence) dan tidak berkaitan dengan hubungan
interpersonal. Erikson percaya bahwa wanita membiarkan identitas mereka
setengah terbuka, tidak menyelesaikannya seperti pria, agar dapat mengimbangi
calon pasangannya (Cobb, 2007). Hal tersebut terjadi karena adanya
kemungkinan bahwa wanita menyelesaikan permasalahan identitas dan intimasi
secara bersamaan, sedangkan pria menyelesaikannya secara berurutan.
Patterson, Sochting, dan Marcia (dikutip dalam Cobb, 2007), mengemukakan
bahwa terdapat dimensi lain yang penting dalam menggambarkan status
identitas pada wanita selain eksplorasi dan komitmen, yaitu keterkaitan
(relatedness). Akan tetapi, selama dekade terakhir, wanita cenderung memiliki
ketertarikan jurusan (vocational interests) yang kuat sehingga perbedaan jenis
kelamin yang ada mulai menghilang (Madison & Foster-Clark; Waterman, dikutip
dalam Santrock, 2007). Pada sebuah penelitian yang dilakukan oleh Sandhu dan

19

Tung (2006), ditemukan bahwa remaja perempuan cenderung lebih banyak


berada pada status achievement dan moratorium, dan lebih sedikit pada status
diffusion. Penelitian tersebut juga menemukan bahwa remaja perempuan maju
lebih cepat dalam perkembangan status identitas dibandingkan remaja laki-laki,
bahkan pada aspek yang sebelumnya dianggap lebih dominan laki-laki.

2.2.4 Dimensi Status Identitas


Untuk menentukan status identitas seseorang, Marcia (dikutip dalam Adams,
1998) berfokus kepada eksplorasi identitas pada tiga area yaitu pekerjaan,
agama, dan pandangan politik. Dari ketiga area tersebut, individu akan dinilai
berdasarkan dua sisi, yaitu tingkat komitmen individu dan tingkat pencarian atau
eksplorasi yang dilakukan individu. Adams, Shea, dan Fitch (dikutip dalam
Adams, 1998) menggunakan area-area tersebut sebagai dasar dari prototipe alat
ukur objective measures of ego identity status (OMEIS). Dari perkembangan alat
ukur tersebut, ditemukan bahwa identitas terdiri dari dua aspek yaitu, aspek
ideologis dan interpersonal. Kedua aspek ini didasari oleh teori Erikson (1968)
mengenai dua komponen identitas, yaitu identitas ego dan identitas diri.
Adams (1998) mengemukakan bahwa identitas ideologis didasari oleh
identitas ego, yaitu identitas yang terbentuk karena adanya komitmen pada karir
dan nilai ideologis yang berhubungan dengan politik, agama, dan filosofi
kehidupan, sedangkan dentitas interpersonal didasari oleh teori identitas diri
yang lebih mengarah kepada komitmen pada aspek sosial seperti pertemanan,
pemilihan pasangan, peran gender, dan pilihan aktivitas rekreasional. Dari
penemuan tersebut, Bennion dan Adams (1986) merevisi OMEIS dan

20

menambahkan dimensi hubungan interpersonal dalam pengukuran status


identitas.
Bennion dan Adams (1986) mengukur status identitas melalui tingkat
komitmen dan tingkat eksplorasi individu dalam dua dimensi, yaitu dimensi
ideologis dan interpersonal. Kedua dimensi tersebut dapat diukur berdasarkan
lima aspek yaitu, (1) pekerjaan, (2) agama, (3) pandangan politik, (4) gaya hidup,
dan (5) aspek interpersonal seperti pertemanan, berpacaran, peran gender dan
pemilihan rekreasional. Seluruh aspek tersebut mencakup pengukuran bagi
identitas ideologis dan identitas interpersonal dari seorang individu.

2.3 Persahabatan
Persahabatan adalah sumber kebahagiaan dan dukungan yang tidak dapat
digantikan (Miller et al., 2007). Terdapat banyak definisi dari persahabatan.
Persahabatan seringkali digambarkan sebagai hubungan timbal balik yang
dilakukan secara sukarela (Bukowski & Hoza, dikutip dalam Thien et al., 2012).
Rusly (1997) mendefinisikan persahabatan sebagai suatu bentuk hubungan
timbal balik yang didalamnya terdapat rasa saling memiliki, rasa aman, saling
memperhatikan dan menjaga, komitmen, pertemanan, serta berbagi perasaan
dan pemikiran. Fehr (dikutip dalam Miller et al., 2007) mendefinisikan
persahabatan sebagai hubungan pribadi yang bersifat sukarela, biasanya
memberikan intimacy dan bantuan dimana kedua pihak menyukai satu sama lain
dan mencari pertemanan satu sama lain.
Dari definisi-definisi diatas dapat disimpulkan bahwa persahabatan adalah
bentuk hubungan timbal balik yang bersifat pribadi dan sukarela, yang terbentuk
berdasarkan rasa saling menyukai, saling memiliki, rasa aman bersama, serta

21

berbagi perasaan dan pemikiran. Persahabatan menjadi penting terutama pada


masa remaja dan dewasa awal, mendukung perkembangan dan well-being
seseorang (Ponti, Guarnieri, Smorti, & Tani, 2010). Seiring dengan bertambah
matangnya seseorang, persahabatan memiliki beberapa karakteristik, seperti
ketika individu merendah diri mengenai pencapaian yang didapatkan ketika
berinteraksi dengan teman, serta menghindari berbohong kepada sahabat,
kecuali untuk membuat sahabat merasa lebih baik (Tice; DePaulo & Kashy;
dikutip dalam Baron & Byrne, 2004). Persahabatan biasanya berarti kedua
individu untuk menghabiskan waktu bersama lebih sering, berinteraksi dalam
situasi yang berbeda-beda, membuka diri, memberikan dukungan emosional
yang timbal balik (Baron & Byrne, 2004).
Ketidaksetujuan dan konflik dapat terjadi dalam sebuah hubungan, termasuk
juga pertemanan dan persahabatan. Hartup dan Stevens (1999) mengemukakan
bahwa persahabatan tidak selalu sama, beberapa ada yang ditandai dengan
kedekatan dan dukungan sosial, yang lain dengan konflik dan pertikaian.
Persahabatan dan ketertarikan romantis memang memiliki beberapa
kesamaan, akan tetapi norma sosial yang mengatur persahabatan tidak seketat
norma yang mengatur hubungan romantis, dan norma persahabatan lebih
mudah untuk berubah (Fehr, dikutip dalam Miller et al., 2007). Persahabatan juga
tidak melibatkan perilaku yang terlihat mengekspresikan ketertarikan.Sahabat
juga tidak menghabiskan waktu bersama sebanyak pasangan romantis.Miller et
al. (2007) mengemukakan bahwa persahabatan memiliki kewajiban lebih sedikit
dan biasanya tidak melibatkan perasaan yang intens, dan tidak eksklusif seperti
hubungan romantis.

22

2.3.1 Persahabatan Dalam Masa Remaja


Selman (dikutip dalam Miller, et al., 2007) mengemukakan bahwa
persahabatan melewati beberapa tahapan. Pada usia dibawah 10 tahun,
persahabatan dikategorikan dengan adanya fair-weather cooperation, yaitu
kesadaran mengenai perspektif teman dan kesadaran bahwa konflik akan lebih
mudah diselesaikan jika keinginan kedua pihak tercapai. Pada usia kanak-kanak
tengah dan akhir, persahabatan memasuki tahapan intimate-mutual sharing,
dimana persahabatan diartikan sebagai kerja sama yang memenuhi keinginan
kedua pihak, tetapi hubungan tersebut dipandang eksklusif dan posesif. Setelah
memasuki masa remaja, individu memasuki tahap akhir dari perkembangan
persahabatan, yaitu autonomous interdependence. Pada tahap ini individu
mengenali bahwa persahabatan yang mereka miliki tidak dapat memenuhi
seluruh kebutuhan emosional dan psikologis, dan teman yang berada dalam
hubungan tersebut dapat mengembangkan hubungan independen dengan orang
lain.
Dalam masa remaja, terdapat beberapa perubahan sikap yang dapat
mengubah hubungan persahabatan.Dalam sebuah studi, ditemukan bahwa
remajalebih

sering

menghabiskan

waktunya

bersama

teman

sebaya

dibandingkan keluarga (Larson, et al., dikutip dalam Miller et al., 2007). Selain
itu, remaja seringkali memilih teman-temannya untuk pemuasan kebutuhan
ikatan yang penting (important attachmentneeds)(Fraley & Davis, dikutip dalam
Miller et al., 2007). Selain perubahan sikap, hubungan sosial dimana
persahabatan terjadi juga berubah seiring berjalannya waktu (Miller et al., 2007).
Seiring bertambahnya usia remaja, grup pertemanan yang dimiliki akan semakin
kompleks.

23

Parker dan Asher (1993) mengemukakan bahwa terdapat dua sisi dari
persahabatan yang dapat dilihat, yaitu partisipasi individu dalam persahabatan
dan kualitas dari persahabatan tersebut. Partisipasi dalam persahabatan yang
dimaksud adalah kesadaran akan persahabatan yang dijalani, sedangkan
kualitas persahabatan adalah tingkat kebersamaan yang dirasakan dari
hubungan persahabatan tersebut, seperti dukungan dan tingkat konflik.
Partisipasi dalam persahabatan dapat dilihat dari respon individu terhadap
pertanyaan mengenai siapa sahabat mereka. Remaja memiliki persepsi menarik
mengenai persahabatan, karena remaja menganggap hubungan persahabatan
yang dimiliki berhubungan dengan penolakan dan rasa depresi (Demir & Urberg,
2004). Penelitian mengenai dimensi kualitas persahabatan menunjukkan efek
positif pada persahabatan kualitas tinggi, yaitu peningkatan self-esteem (Berndt
& Keefe; dikutip dalam Demir & Urberg, 2004) dan rasa kesendirian (loneliness)
yang rendah (Parker & Asher, 1993).

2.4 Kualitas Persahabatan Remaja


Kualitas persahabatan adalah salah satu dari dua elemen persahabatan.
Dalam persahabatan remaja, beberapa aspek dari kualitas persahabatan terlihat,
seperti saling berbagi, membuka diri, dan setia terhadap sahabatnya (Berndt,
2002). Pada masa perkembangan dari pra-remaja ke masa remaja, aspek
terpenting dari persahabatan atau pertemanan akrab adalah intimacy dan
keterbukaan diri (Berndt, 2002; Bukowski, dalam Zimmermann, 2004). Parker
dan Asher (1993) mengatakan bahwa kualitas persahabatan dapat dilihat dari
kedekatan, dukungan, dan tingkat konflik yang didapat oleh individu. Aspekaspek tersebut membedakan satu persahabatan dengan yang lain.

24

Berndt (2002) mengemukakan bahwa banyak studi yang menganggap


kualitas persahabatan tinggi memiliki efek positif secara langsung terhadap selfesteem, adaptasi sosial, dan kemampuan untuk menghadapi stressor pada
seorang individu. Selain itu, kualitas persahabatan yang tinggi dengan sahabat
dan teman sebaya juga menjaga ikatan dan penyesuaian sosial, regulasi emosi,
kompetensi sosial, dan kesuksesan dan penyesuaian di sekolah (Rabaglietti &
Ciairino, 2008). Kualitas persahabatan yang rendah (persahabatan yang kurang
mendukung, kurang setia, dan membuat seseorang tertekan) memiliki efek yang
negatif, yaitu terbentuknya rasa kesendirian (loneliness) karena terbentuknya
banyak konflik dalam persahabatan (Parker & Asher, 1993) dan depresi (Rubin,
dikutip dalam Demir & Urberg, 2004).

2.4.1 Dimensi Kualitas Persahabatan


Parker dan Asher (1993) menemukan aspek kualitatif yang konsisten dalam
pengukuran kualitas persahabatan, kualitas tersebut antara lain adalah: (1)
Pertemanan dan rekreasi (companionship and recreation), yaitu bagaimana
hubungan memberikan kesempatan bagi individu untuk menghabiskan waktu
bersama dalam kegiatan-kegiatan; (2) Dukungan dan perhatian (validation and
caring), yaitu pemberian dukungan untuk meningkatkan harga diri dalam suatu
hubungan persahabatan; (3) Bantuan dan bimbingan (help and guidance), yaitu
sejauh apa individu berbagi, menolong, dan membimbing satu sama lain dalam
hubungan persahabatan; (4) Saling terbuka (intimate exchange), yaitu tingkat
kedekatan dalam keterbukaan diri dan saling berbagi dalam hubungan
persahabatan; (5) Resolusi konflik (conflict resolution), yaitu bagaimana konflik
dalam hubungan diselesaikan; dan (6) Konflik dan Pengkhianatan (conflict and

25

betrayal), yaitu derajat kesetiaan dan kepercayaan antar sahabat. Seberapa


sering mereka bertengkar karena berargumen, tidak sepakat, jengkel, dan tidak
percaya.
Bukowski, Newman, dan Hartup (dikutip dalam Ponti, et al., 2010)
mengemukakan 5 dimensi kualitas persahabatan, yaitu (1) pertemanan, yang
mengacu pada banyaknya waktu yang dihabiskan bersama tanpa paksaan; (2)
Konflik,

yang

mengacu

pada

frekuensi

ketidaksetujuan

dalam

sebuah

persahabatan; (3) Bantuan, yang terdiri dari dua sub-komponen, bantuan dan
saling menolong, serta perlindungan dari ketidakadilan dan tekanan dari orang
lain; (4) Keamanan, yang terdiri dari dua komponen utama: kepercayaan
terhadap sahabat dan kemampuan untuk menghadapi masalah, dengan kata
lain, kepercayaan bahwa persahabatan adalah ikatan yang berlanjut walau
terdapat konflik atau masalah; (5) Kedekatan, termasuk aspek mempercayai
kekuatan dari hubungan emosi dan keterikatan pada teman, dengan rasa sayang
atau kekhususan yang dialami dengan teman.
Pertemanan, atau melakukan hal bersama adalah aspek persahabatan yang
muncul paling awal dan yang paling penting untuk menjaga kekuatan dan
kedekatan hubungan (Berndt; Bukowski et al, dalam Matheson, Olsen, &
Weisner, 2007). Setelah pertemanan terbentuk, persahabatan yang lebih
mendalam, saling memberi, dan timbal-balik pun terbentuk.Piaget (1965)
menyatakan bahwa persahabatan tanpa saling memberi memiliki kualitas yang
rendah.
Dukungan adalah aspek persahabatan yang menjadi penting pada remaja
awal (Berndt, dikutip dalam Matheson et al, 2007). Berndt mengemukakan
bahwa saat berada dibawah tekanan, remaja mencari teman mereka untuk

26

pengertian, kasih sayang, dan bantuan karena remaja lebih peka terhadap
kebutuhan satu sama lain. Bantuan yang dimaksud dapat berbentuk apapun,
seperti tuntunan dan nasihat, dukungan instrumental seperti meminjamkan uang,
dan dukungan emosional, contohnya dengan menyediakan bahu untuk
bersandar (Parker & Asher, 1993; Turnbull, Blue-Banning, & Pereira, dikutip
dalam Matheson et al, 2007).
Dimensi dari persahabatan yang semakin meningkat seiring berjalannya usia
individu adalah penyelesaian konflik dan stabilitas (Matheson et al, 2007).
Sahabat dapat setuju dan tidak setuju satu sama lain, tetapi tanda bahwa
hubungan mereka erat adalah bagaimana mereka menyelesaikan dan mengatur
konflik yang terjadi di antara mereka (Parker & Asher, 1993).
Matheson et al (2007) menyatakan bahwa dimensi lain yang penting dalam
persahabatan di masa remaja adalah kepercayaan, kesetiaan, dan intimacy.
Remaja biasanya mengharapkan sahabatnya untuk tidak meninggalkan atau
mengkhianati satu sama lain dan juga untuk dapat mempercayakan rahasia intim
mereka tanpa merasa dihakimi. Selama masa remaja, sahabat saling terbuka
mengenai informasi pribadi untuk mempererat ikatan mereka. Intimacy dari
keterbukaan tersebut adalah langkah lebih besar dalam kedekatan dan
memperdalam hubungan yang ada.
Jones et al. (2013) menemukan hubungan signifikan antara kualitas
persahabatan dan pembentukan identitas pada remaja, terutama pada dimensi
dukungan dan konflik. Dukungan yang besar pada sebuah persahabatan
berhubungan dengan tingkat identity achievement yang lebih tinggi, dan tingkat
diffusion yang lebih rendah sedangkan tingkat konflik tinggi dalam persahabatan
berhubungan dengan status moratorium dan diffusion.

27

2.4.2 Kualitas Persahabatan dan Jenis Kelamin


Veniegas dan Peplau (1997) mengemukakan bahwa sahabat paling dekat
yang biasanya dimiliki seseorang biasanya berjenis kelamin sama dengannya.
Kecenderungan untuk memiliki sahabat yang berjenis kelamin sama telah
ditemukan di setiap tingkat perkembangan (Karweit & Hansel; Rubin; Weiss &
Lowenthal; dalam Veniegas & Peplau, 1997). Sebuah studi oleh Bukowski,
Sippola,

dan

Hoza

(dikutip

dalam

Arndorfer

&

Stormshank,

2008)

mengungkapkan bahwa pertemanan sesama gender dan antar gender secara


umum dipilih, akan tetapi untuk persahabatan, kebanyakan orang akan memilih
sahabat yang memiliki jenis kelamin sama. Hal tersebut berarti jumlah
pertemanan antar gender di masa remaja meningkat, namun sahabat tetap
memiliki jenis kelamin yang sama. Walau hampir tidak pernah ditemukan
perbedaan kualitas persahabatan sesama gender antara pria dan wanita, jika
perbedaan muncul, biasanya hal tersebut dikarenakan wanita lebih menilai
persahabatan sesama gender mereka lebih berkualitas (Veniegas & Peplau,
1997).

2.5 Kerangka Berpikir


Remaja memiliki tugas untuk membangun identitas dan membangun
hubungan sosial dalam masa perkembangannya. Perkembangan identitas dapat
ditinjau dengan konsep status identitas. Terdapat empat status identitas yang
dibedakan dari ada atau tidak adanya komitmen dan krisis yaitu identity
achievement, moratorium, foreclosures, dan identity diffusion.

28

Status identitas dapat ditentukan dari dua aspek, yaitu eksplorasi yang
dilakukan

dan

komitmen

yang

diberikan

kepada

setiap

pilihan

yang

menggambarkan kepribadian seseorang. Menurut Bennion dan Adams (1986)


pilihan dalam bidang pekerjaan, agama, pandangan politik, gaya hidup,
danaspek interpersonal seperti persahabatan, berpacaran, peran gender dan
pemilihan rekreasional, dapat menggambarkan kepribadian seseorang.
Persahabatan dalam masa remaja juga merupakan hal yang penting untuk
perkembangan sosialnya. Persahabatan adalah bentuk hubungan timbal balik
yang bersifat pribadi dan sukarela, yang terbentuk berdasarkan rasa saling
menyukai, saling memiliki, rasa aman bersama, serta berbagi perasaan dan
pemikiran.Parker dan Asher (1993) mengatakan bahwa persahabatan terdiri dari
dua hal, yaitu kesadaran partisipasi individu dalam persahabatan dan derajat
kualitas persahabatan.Kualitas persahabatan memiliki efek positif dan negatif
yang bergantung pada tinggi rendahnya kualitas tersebut.
Kualitas persahabatan merupakan salah satu sisi dari persahabatan. Menurut
Berndt (2002) persahabatan remaja memiliki beberapa aspek dari kualitas
persahabatan, seperti saling berbagi, membuka diri, dan kesetiaan. Bukowski et
al. (dikutip dalam Ponti et al., 2010) mengemukakan lima aspek dari kualitas
persahabatan yaitu companionship, yang mengacu pada banyaknya waktu yang
dihabiskan bersama tanpa paksaan; konflik, yang mengacu pada frekuensi
ketidaksetujuan dalam sebuah persahabatan; bantuan, yaitu dukungan dan
bantuan yang diberikan sahabat; keamanan, yaitu rasa aman dan percaya yang
terasa ketika bersama sahabat; serta kedekatan, yaitu hubungan emosi dan
keterikatan pada sahabat.

29

Berdasarkan penelitian oleh rseth et al. (2009) mengenai intimacy, dan


Jones et al. (2013) mengenai karakteristik persahabatan, status identitas
memiliki hubungan dengan tiga aspek dari kualitas persahabatan yang dijelaskan
Bukowski et al. (dikutip salam Ponti, et al., 2010), yaitu kedekatan (closeness),
konflik (conflict), dan bantuan (help). Remaja dengan status identity achieved
dan moratorium memiliki tingkat kedekatan atau intimacy yang tinggi. Dukungan
yang tinggi, serta konflik rendah dapat ditemukan pada remaja dengan status
identity achieved. Sedangkan individu moratorium memiliki persahabatan dengan
tingkat konflik yang sedang, serta dukungan yang tergolong rendah.
Individu dengan status foreclosures memiliki tingkat kedekatan yang rendah,
dan tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan konflik dalam persahabatan.
Sedangkan individu dengan status identity diffused memiliki intimacy yang
sangat rendah. Dengan demikian, konflik yang terjadi pada persahabatan
dengan individu identity diffused cenderung tinggi.
Tiap status identitas akan memiliki tingkat kualitas persahabatan yang
berbeda satu sama lain. Hal ini bergantung pada tingkat intimacy pada tiap
subyek, karena hal tersebut merupakan salah satu dimensi dari kualitas
persahabatan dan memiliki hubungan positif dengan komitmen pada status
identitas. Dengan kata lain, jika seseorang memiliki status identitas achievement
maka individu tersebut memiliki kualitas persahabatan yang tinggi, sedangkan
individu yang memiliki status identitas

diffused akan memiliki kualitas

persahabatan yang tergolong rendah.

30

2.6 Hipotesis Penelitian


Pada penelitian ini, peneliti membuat hipotesis bahwa terdapat perbedaan
kualitas persahabatan antara status identitas pada remaja akhir.

31

Anda mungkin juga menyukai