Anda di halaman 1dari 65

2005

http://www.kalbefarma.com/cdk

ISSN : 0125-913X

147. Kardiologi

2005
http. www.kalbefarma.com/cdk
International Standard Serial Number: 0125 913X

147.
Kardiologi
Daftar isi :
2. Editorial
4. English Summary

Artikel
5. Penyakit Jantung Koroner Santoso, M. Setiawan, T.
10. Current Trends of Treatment in Hypertension William Sanjaya, Abdul
Hakim Alkatiri
13. Peranan Penghambat Reseptor Angiotensin II dalam Hipertrofi
Ventrikel Kiri Sunarya Soerianata, William Sanjaya
16. Angiotensin-II dan Remodelling Vaskuler Idris Idham, William
Sanjaya
20. Disfungsi Endotel dan Obat Antihipertensi Selvinna
26. Gas Nitrogen Oksida - Polutan atau Vital bagi Kehidupan? Jansen
Silalahi
31. Pengalaman Klinis Transplantasi Jantung Yanto Sandy Tjang, Gero
Tenderich, Lech Hornik, Michiel Morshuis, Kazutomo Minami,
Richardus Budiman, Reiner Korfer
Keterangan:
Infark miokard dan gambaran EKG-nya.
Dikutip dari: Clinical Symposia 1984; 36 (6): 14.

35. Pengenalan Miopati Mitokondria Santosa, Soenarto, Suyanto Hadi


43. Diet Sehat dengan Serat Olwin Nainggolan, Cornelis Adimunca
47. Efek Teh Hitam [(Camellia sinensis O.K. Var. Assamica (Mast)] terhadap Plak Aterosklerosis pada Kelinci (Oryctolagus cuniculus) strain
New Zealand White Sulistyowati T, Cornelis Adimunca, Raflizar
51. Rokok di Sinetron Tjandra Yoga Aditama
54. Kenaikan Kadar Hemoglobin setelah Pemberian Epoeitin Alfa
(HEMAPO) selama 12 Minggu pada Penderita Gagal Ginjal yang
Menjalani Hemodialisis Rully MA Roesli, Enday Sukandar, Rubin
Gondodiputro, Rachmat Permana
58. Produk Baru
59. Informatika Kedokteran
60. Kegiatan Ilmiah
62. Kapsul
63. Abstrak
64. RPPIK

EDITORIAL
Masalah kardiologi kembali menjadi topik bahasan Cermin Dunia
Kedokteran edisi ini.
Meskipun sebagian besar artikel mengupas masalah yang mendasar,
bukan berarti tidak mempunyai manfaat klinis-praktis, karena para klinisi
seyogyanya juga memahami masalah-masalah tersebut agar pengobatan
dan pengelolaan pasien lebih dilandasi oleh pemahaman patofisiologik
yang sesuai.
Kami selalu berharap agar artikel dalam majalah ini dapat selalu
menyumbang sesuatu bagi perkembangan pengetahuan para sejawat,
untuk itu komentar dan kritik selalu kami nantikan agar dapat dimanfaatkan guna perbaikan isi majalah kami.
Selamat membaca,
Redaksi

Cermin Dunia Kedokteran No. 147, 2005

2005

International Standard Serial Number: 0125 - 913X


KETUA PENGARAH

REDAKSI KEHORMATAN

Prof. Dr. Oen L.H. MSc

PEMIMPIN UMUM
Dr. Erik Tapan

KETUA PENYUNTING
Dr. Budi Riyanto W.

PELAKSANA

- Prof. DR. Sumarmo Poorwo Soedarmo


Staf Ahli Menteri Kesehatan
Departemen Kesehatan RI
Jakarta

- Prof. Dr. R Budhi Darmojo

Guru Besar Ilmu Penyakit Dalam


Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro
Semarang

- Prof. Drg. Siti Wuryan A Prayitno, SKM, - Prof. DR. Hendro Kusnoto, Drg, SpOrt.
Laboratorium Ortodonti
MScD, PhD.

Sriwidodo WS.

Bagian Periodontologi, Fakultas Kedokteran Gigi


Universitas Indonesia, Jakarta

TATA USAHA
- Dodi Sumarna

Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Trisakti


Jakarta

INFORMASI/DATABASE
Ronald T. Gultom

ALAMAT REDAKSI

- DR. Arini Setiawati

Majalah Cermin Dunia Kedokteran, Gedung Enseval


Jl. Letjen. Suprapto Kav. 4, Cempaka Putih, Jakarta
10510, P.O. Box 3117 JKT. Tlp. 021 - 4208171
E-mail : cdk@kalbe.co.id
http: //www.kalbefarma.com/cdk

Bagian Farmakologi
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Jakarta

NOMOR IJIN

DEWAN REDAKSI

151/SK/DITJEN PPG/STT/1976
Tanggal 3 Juli 1976

PENERBIT
Grup PT. Kalbe Farma Tbk.

- Dr. Boenjamin Setiawan Ph.D

- Prof. Dr. Sjahbanar


Zahir MSc.

Soebianto

PENCETAK
PT. Temprint

http://www.kalbefarma.com/cdk
PETUNJUK UNTUK PENULIS

Cermin Dunia Kedokteran menerima naskah yang membahas berbagai


aspek kesehatan, kedokteran dan farmasi, juga hasil penelitian di bidangbidang tersebut.
Naskah yang dikirimkan kepada Redaksi adalah naskah yang khusus untuk
diterbitkan oleh Cermin Dunia Kedokteran; bila pernah dibahas atau dibacakan
dalam suatu pertemuan ilmiah, hendaknya diberi keterangan mengenai nama,
tempat dan saat berlangsungnya pertemuan tersebut.
Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia atau Inggris; bila menggunakan
bahasa Indonesia, hendaknya mengikuti kaidah-kaidah bahasa Indonesia yang
berlaku. Istilah medis sedapat mungkin menggunakan istilah bahasa Indonesia
yang baku, atau diberi padanannya dalam bahasa Indonesia. Redaksi berhak
mengubah susunan bahasa tanpa mengubah isinya. Setiap naskah harus disertai
dengan abstrak dalam bahasa Indonesia. Untuk memudahkan para pembaca
yang tidak berbahasa Indonesia lebih baik bila disertai juga dengan abstrak
dalam bahasa Inggris. Bila tidak ada, Redaksi berhak membuat sendiri abstrak
berbahasa Inggris untuk karangan tersebut.
Naskah diketik dengan spasi ganda di atas kertas putih berukuran kuarto/
folio, satu muka, dengan menyisakan cukup ruangan di kanan kirinya, lebih
disukai bila panjangnya kira-kira 6 - 10 halaman kuarto disertai/atau dalam
bentuk disket program MS Word. Nama (para) pengarang ditulis lengkap,
disertai keterangan lembaga/fakultas/institut tempat bekerjanya. Tabel/skema/
grafik/ilustrasi yang melengkapi naskah dibuat sejelas-jelasnya dengan tinta
hitam agar dapat langsung direproduksi, diberi nomor sesuai dengan urutan

pemunculannya dalam naskah dan disertai keterangan yang jelas. Bila terpisah
dalam lembar lain, hendaknya ditandai untuk menghindari kemungkinan tertukar. Kepustakaan diberi nomor urut sesuai dengan pemunculannya dalam
naskah; disusun menurut ketentuan dalam Cummulated Index Medicus dan/
atau Uniform Requirement for Manuscripts Submitted to Biomedical Journals
(Ann Intern Med 1979; 90 : 95-9).
Contoh :
1. Basmajian JV, Kirby RL.Medical Rehabilitation. 1st ed. Baltimore, London:
William and Wilkins, 1984; Hal 174-9.
2. Weinstein L, Swartz MN. Pathogenetic properties of invading microorganisms. Dalam: Sodeman WA Jr. Sodeman WA, eds. Pathologic physiology: Mechanism of diseases. Philadelphia: WB Saunders, 1974;457-72.
3. Sri Oemijati. Masalah dalam pemberantasan filariasis di Indonesia. Cermin
Dunia Kedokt. 1990; 64: 7-10.
Bila pengarang enam orang atau kurang, sebutkan semua; bila tujuh atau lebih,
sebutkan hanya tiga yang pertama dan tambahkan dkk.
Naskah dikirimkan ke alamat : Redaksi Cermin Dunia Kedokteran, Gedung
Enseval, Jl. Letjen Suprapto Kav. 4, Cempaka Putih, Jakarta 10510 P.O.
Box 3117 JKT. Tlp. (021) 4208171. E-mail : cdk@kalbe.co.id
Pengarang yang naskahnya telah disetujui untuk diterbitkan, akan diberitahu
secara tertulis.
Naskah yang tidak dapat diterbitkan hanya dikembalikan bila disertai
dengan amplop beralamat (pengarang) lengkap dengan perangko yang cukup.

Tulisan dalam majalah ini merupakan pandangan/pendapat masing-masing penulis dan


tidak selalu merupakan pandangan atau kebijakan instansi/lembaga/bagian tempat kerja
si penulis.

English Summary
MITOCHONDIRIAL MYOPATHY
Santosa, Soenarto*, Suyanto Hadi**
Resident, *Professor, **Head of
Rheumatology subdivision, Dept. of
Internal Medicine, Faculty of Medicine,
Diponegoro
University,
Semarang, Central Java, Indonesia

Mitochondria are unique organella because they have DNA in


self called mitochondria DNA with
specific characteristics.
The term mitochondria myopathy refers to various syndromes
with diverse pathology, histochemistry and biochemistry characteristics. These syndromes are
often multisystemic with varying
signs and symptoms affecting
many organ system; and were
under exotic names such as CPEO
(chronic
progressive
external
ophthalmoplegia), MELAS (mitochondrial
encephalomyopathy,
lactic acidosis, and stroke-like
episodes), MERRF (myoclonic
epilepsy with ragged-red fibers),
MNGIE (myoneurogastrointestinal
encephalopathy), NARP (neurogenic weakness, ataxia, retinitis
pigmentosa).
The main function of mitochondria is to produce chemical
energy in the form of ATP molecule
that is used by body cells. When a
key component of respiration
chain is missing or defective, the
result is like the aftermath of a train
derailment. Mutation and deletion
of mitochondria DNA results many
mitochondrial syndromes.
The common approaches are
to give drug(s) that stimulate
enzymatic activity for transporting
electron or to give artificial electron acceptor. Gene therapy may
be used in the future.
Cermin Dunia Kedokt.2004; 147; 13-22
sta, sno, shi

Cermin Dunia Kedokteran No. 147, 2005

CLINICAL EXPERIENCE
TRANSPLANTATION

ON

HEART

Yanto Sandy Tjang, Gero Tenderich,


Lech Hornik, Michiel Morshuis,
Kazutomo Minami, Richardus Budiman, Reiner Korfer
Dept. of Cardiovascular and Thoracic Surgery, Cardiac and Diabetes
Center, Nordrhein Westfalen/ Ruhr
Bochum
University
Teaching
Hospital, Bad Oeynhausen, Germany

Improved longevity, advances


in prevention, diagnosis and treatment of cardiovascular diseases
have led to the rapidly growing
number of patients with heart
failure. The prevalence of heart
failure is increasing with age,
ranging from <1% in patients
under 50 years of age to 5% in
patients 50 to 70 years and 10% in
patients over 70 years of age.
Prognosis of chronic heart failure is
still very bad if the underlying
causes of disease are untreated.
Almost 50% of patients suffered
from chronic heart failure will die
within 4 years, whereas 50% of
end stage patients will die within 1
year. Despite different novel treatment modalities
either
non
pharmacologic, pharmacologic
or surgical procedures which have
recently emerged, heart transplantation is still well accepted as
treatment of choice for these
patients. On December 3th, 1967;
Christian Barnard successfully performed the first human orthotopic
heart transplantation in South
Africa. This success was then rapidly followed by other cardiac transplant centers around the world.
The improvement in actuarial
survival following cardiac transplantation is related not only to
better postoperative care but also
to improved patient selection.
Futhermore, the selection of donor

hearts for cardiac transplantation


also have impacts on success.
Since the initiation of the transplantation programmes in the
Heart & Diabetes Center NRW in
Bad Oeynhausen, Germany on
March the 13th, 1989; 1406 orthotopic heart transplantation have
been successfully perfomed. The
actuarial survival rates range
between 80%, 69%, 54%, and
39% in the first, fifth, tenth and
fifteenth year respectively.
Cermin Dunia Kedokt.2004; 147; 41-4
yst, gth, lhk, mms, kmi, rbn, rkr

NITROGEN OXIDES ESSENTIAL OR


POLLUTANT FOR LIFE ?
Jansen Silalahi
Dept. of Pharmacies, Faculty of
Mathematics and Physical Sciences,
Sumatra Utara University, Medan,
North Sumatra, Indonesia

Nitrogen oxide is generated


from amino acid L-arginine by
nitric oxide synthase enzymes in
endothelial mammalian cells including humans. It functions as
biological mediator allowing cells
to communicate each other.
Nitrogen oxide has an important role in controlling blood vessel
tone, blood flow and regulating
platelet function, gastrointestinal
motility, and reactivity of certain
airways as well as urinary bladder.
Nitrogen oxide also contributes to
host defense and pathophysiological changes such as in life
threatening hypotension and also
might cause tissue damage. By
understanding the physiological
roles, new drug development and
therapeutic application may be
developed by selectively enhance
or inhibit the production of nitrogen oxide from nitrogen oxidearginine pathway in biological system.
Cermin Dunia Kedokt.2004; 147; 36-40
jsi

Artikel
TINJAUAN KEPUSTAKAAN

Penyakit Jantung Koroner


Santoso M., Setiawan T.
SMF Penyakit Dalam RSUD Koja / Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Ukrida, Jakarta

PENDAHULUAN
Penyakit jantung koroner terutama disebabkan oleh
kelainan miokardium akibat insufisiensi aliran darah koroner
karena arterosklerosis yang merupakan proses degeneratif, di
samping banyak faktor lain. Karena itu dengan bertambahnya
usia harapan hidup manusia Indonesia, kejadiannya akan makin
meningkat dan menjadi suatu penyakit yang penting; apalagi
sering menyebabkan kematian mendadak.(1)
Tujuh jenis penyakit jantung terpenting ialah :
1. Penyakit jantung koroner (penyebab 80% kematian yang
disebabkan penyakit jantung)
2. Penyakit jantung akibat hipertensi (9%)
3. Penyakit jantung rernatik (2-3%)
4. Penyakit jantung kongenital (2%)
5. Endokarditis bakterialis (1-2%)
6. Penyakit jantung sifilitik (1%)
7. Cor pulmonale (1%),
8. dan lain-lain (5%).(4)
Aterosklerosis adalah suatu keadaan arteri besar dan kecil
yang ditandai oleh endapan lemak, trombosit, makrofag dan
leukosit di seluruh lapisan tunika intima dan akhirnya ke tunika
media.(5)
Telah diketahui bahwa aterosklerosis bukanlah suatu
proses berkesinambungan, melainkan suatu penyakit dengan
fase stabil dan fase tidak stabil yang silih berganti. Perubahan
gejala klinik yang tiba-tiba dan tak terduga agaknya berkaitan
dengan ruptur plak, meskipun ruptur tidak selalu diikuti gejala
klinik. Seringkali ruptur segera pulih; agaknya dengan cara
inilah proses plak berlangsung.(3,6)
Sekarang aterosklerosis tak lagi dianggap merupakan
proses penuaan saja. Timbulnya "bercak-bercak lemak" di
dinding arteria koronaria merupakan fenomena alamiah bahkan
sejak masa kanak-kanak dan tidak selalu harus menjadi lesi
aterosklerotik; terdapat banyak faktor saling berkaitan yang
dapat mempercepat proses aterogenik. Telah dikenal beberapa
faktor yang meningkatkan risiko terjadinya aterosklerosis
koroner pada individu tertentu.

FAKTOR FAKTOR RISIKO


Ada empat faktor risiko biologis yang tak dapat diubah,
yaitu: usia, jenis kelamin, ras, dan riwayat keluarga. Risiko
aterosklerosis koroner meningkat dengan bertambahnya usia;
penyakit yang serius jarang terjadi sebelum usia 40 tahun.
Tetapi hubungan antara usia dan timbulnya penyakit mungkin
hanya mencerminkan lebih panjangnya lama paparan terhadap
faktor- faktor aterogenik. Wanita agaknya relatif kebal terhadap
penyakit ini sampai menopause, dan kemudian menjadi sama
rentannya seperti pria; diduga oleh adanya efek perlindungan
estrogen. Orang Amerika-Afrika lebih rentan terhadap aterosklerosis daripada orang kulit putih. Riwayat keluarga yang
positif terhadap penyakit jantung koroner (saudara atau orang
tua yang menderita penyakit ini sebelum usia 50 tahun)
meningkatkan kemungkinan timbulnya aterosklerosis prematur.
Pentingnya pengaruh genetik dan lingkungan masih belum
diketahui. Komponen genetik dapat diduga pada beberapa
bentuk aterosklerosis yang nyata, atau yang cepat perkembangannya, seperti pada gangguan lipid familial. Tetapi,
riwayat keluarga dapat pula mencerminkan komponen
lingkungan yang kuat, seperti misalnya gaya hidup yang
menimbulkan stres atau obesitas.( 1 )
Faktor-faktor risiko lain masih dapat diubah, sehingga
berpotensi dapat memperlambat proses aterogenik. Faktorfaktor tersebut adalah peningkatan kadar lipid serum, hipertensi, merokok, gangguan toleransi glukosa dan diet tinggi
lemak jenuh, kolesterol, dan kalori.
Penyakit jantung akibat insufisiensi aliran darah koroner
dapat dibagi menjadi 3 jenis yang hampir serupa.( 4 ) :
- Penyakit jantung arteriosklerotik
- Angina pektoris
- Infark miokardium
PATOFISIOLOGI
Peningkatan tekanan darah sistemik pada hipertensi
menimbulkan peningkatan resistensi terhadap pemompaan
darah dari ventrikel kiri, sehingga beban kerja jantung bertambah, akibatnya terjadi hipertrofi ventrikel kiri untuk

Cermin Dunia Kedokteran No. 147, 2005

meningkatkan kekuatan kontraksi. Kemampuan ventrikel untuk


mempertahankan curah jantung dengan hipertrofi kompensasi
dapat terlampaui; kebutuhan oksigen yang melebihi kapasitas
suplai pembuluh koroner menyebabkan iskemia miokardium
lokal. Iskemia yang bersifat sementara akan menyebabkan
perubahan reversibel pada tingkat sel dan jaringan, dan menekan fungsi miokardium.
Berkurangnya kadar oksigen memaksa miokardium mengubah metabolisme yang bersifat aerobik menjadi metabolisme
anaerobik. Metabolisme anaerobik lewat lintasan glikolitik jauh
lebih tidak efisien apabila dibandingkan dengan metabolisme
aerobik melalui fosforilasi oksidatif dan siklus Krebs.
Pembentukan fosfat berenergi tinggi menurun cukup besar.
Hasil akhir metabolisme anaerob, yaitu asam laktat, akan
tertimbun sehingga menurunkan pH sel.
Gabungan efek hipoksia, berkurangnya energi yang tersedia, serta asidosis dengan cepat mengganggu fungsi ventrikel
kiri. Kekuatan kontraksi daerah miokardium yang terserang
berkurang; serabut-serabutnya memendek, dan daya serta
kecepatannya berkurang. Selain itu, gerakan dinding segmen
yang mengalami iskemia menjadi abnormal; bagian tersebut
akan menonjol keluar setiap kali ventrikel berkontraksi.
Berkurangnya daya kontraksi dan gangguan gerakan
jantung mengubah hemodinamika. Perubahan hemo-dinamika
bervariasi sesuai ukuran segmen yang mengalami iskemia, dan
derajat respon refleks kompensasi sistem saraf otonom.
Menurunnya fungsi ventrikel kiri dapat mengurangi curah
jantung dengan berkurangnya curah sekuncup (jumlah darah
yang dikeluarkan setiap kali jantung berdenyut). Berkurangnya
pengosongan ventrikel saat sistol akan memperbesar volume
ventrikel. Akibatnya, tekanan jantung kiri akan meningkat;
tekanan akhir diastolik ventrikel kiri dan tekanan baji dalam
kapiler paru-paru akan meningkat. Peningkatan tekanan
diperbesar oleh perubahan daya kembang dinding jantung
akibat iskemia. Dinding yang kurang lentur semakin memperberat peningkatan tekanan pada volume ventrikel tertentu
Pada iskemia, manifestasi hemodinamika yang sering terjadi
adalah peningkatan ringan tekanan darah dan denyut jantung
sebelum timbul nyeri. Jelas bahwa, pola ini merupakan respon
kompensasi simpatis terhadap berkurangnya fungsi miokardium. Dengan timbulnya nyeri sering terjadi perangsangan
lebih lanjut oleh katekolamin. Penurunan tekanan darah
merupakan tanda bahwa miokardium yang terserang iskemia
cukup luas atau merupakan suatu respon vagus.
Iskemia miokardium secara khas disertai oleh dua
perubahan elektrokardiogram akibat perubahan elektrofisiologi
selular, yaitu gelombang T terbalik dan depresi segmen ST.
Elevasi segmen ST dikaitkan dengan sejenis angina yang
dikenal dengan nama angina Prinzmetal.
Serangan iskemi biasanya mereda dalam beberapa menit
apabila ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan
oksigen sudah diperbaiki. Perubahan metabolik, fungsional,
hemodinamik dan elektrokardiografik yang terjadi semuanya
bersifat reversibel.(1, 2, 3, 5, 7)
Penyebab infark miokardium adalah terlepasnya plak
arteriosklerosis dari salah satu arteri koroner dan kemudian
tersangkut di bagian hilir sehingga menyumbat aliran darah ke

Cermin Dunia Kedokteran No. 147, 2005

seluruh miokardium yang diperdarahi oleh pembuluh tersebut.


Infark miokardium juga dapat terjadi jika lesi trombotik yang
melekat di arteri menjadi cukup besar untuk menyumbat total
aliran ke bagian hilir, atau jika suatu ruang jantung mengalami
hipertrofi berat sehingga kebutuhan oksigen tidak dapat
terpenuhi.( 1,2,5 )
Penyakit Jantung Arteriosklerotik
Pembuluh arteri mengikuti proses penuaan yang karakteristik seperti penebalan tunika intima, berkurangnya elastisitas,
penumpukan kalsium terutama di arteri-arteri besar.(2) menyebabkan fibrosis yang merata menyebabkan aliran darah lambat
laun berkurang. Iskemi yang relatif ringan tetapi berlangsung
lama dapat pula menyebabkan kelainan katup jantung.(4)
Manifestasi penyakit jantung koroner disebabkan ketidak
seimbangan antara kebutuhan oksigen miokrdium dengan
masuknya. Masuknya oksigen untuk miokardium sebetulnya
tergantung dari oksigen dalam darah dan arteria koronaria.
Oksigen dalam darah tergantung oksigen yang dapat diambil
oleh darah, jadi dipengaruhi oleh Hb, paru-paru dan oksigen
dalam udara pernapasan.
Di kenal dua keadaan ketidakseimbangan masukan terhadap kebutuhan oksigen yaitu :
- Hipoksemi (iskemi) yang ditimbulkan oleh kelainan
vaskular.
- Hipoksi (anoksi) yang disebabkan kekurangan oksigen
dalam darah.
Perbedaannya ialah pada iskemi terdapat kelainan vaskular
sehingga perfusi ke jaringan berkurang dan eleminasi metabolit
yang ditimbulkannya menurun juga, sehingga gejalanya akan
lebih cepat muncul.(1)
Ada beberapa hipotesis mengenai apa yang pertama kali
menyebabkan kerusakan sel endotel dan mencetuskan
rangkaian proses arteriosklerotik, yaitu :
1. Kolesterol Serum yang Tinggi
Hipotesis pertama mengisyaratkan bahwa kadar kolesterol
serum dan trigliserida yang tinggi dapat menyebabkan pembentukan arteriosklerosis. Pada pengidap arteriosklerosis,
pengedapan lemak ditemukan di seluruh kedalaman tunika
intima, meluas ke tunika media. ( 2,5,6,9 )
Kolesterol dan trigliserid di dalam darah terbungkus di
dalam protein pengangkut lemak yang disebut lipoprotein.
Lipoprotein berdensitas tinggi (high-density lipoprotein, HDL )
membawa lemak ke luar sel untuk diuraikan, dan diketahui
bersifat protektif melawan arteriosklerosis. Namun, lipoprotein
berdensitas rendah (low density lipoprotein,LDL) dan lipoprotein berdensitas sangat rendah (very-low-density lipoprotein,VLDL) membawa lemak ke sel tubuh, termasuk sel
endotel arteri, oksidasi kolesterol dan trigliserid menyebabkan
pembentukan radikal bebas yang diketahui merusak sel-sel
endotel.
2. Tekanan Darah Tinggi
Hipotesis ke dua mengenai terbentuknya arteriosklerosis di
dasarkan pada kenyataan bahwa tekanan darah yang tinggi
secara kronis menimbulkan gaya regang atau potong yang
merobek lapisan endotel arteri dan arteriol. Gaya regang terutama timbul di tempat-tempat arteri bercabang atau mem-

belok: khas untuk arteri koroner, aorta, dan arteri-arteri


serebrum. Dengan robeknya lapisan endotel, timbul kerusakan
berulang sehingga terjadi siklus peradangan, penimbunan sel
darah putih dan trombosit, serta pembentukan bekuan. Setiap
trombus yang terbentuk dapat terlepas dari arteri sehingga
menjadi embolus di bagian hilir. (5)
3. Infeksi Virus
Hipotesis ke tiga mengisyaratkan bahwa sebagian sel
endotel mungkin terinfeksi suatu virus. Infeksi mencetuskan
siklus peradangan; leukosit dan trombosit datang ke daerah
tersebut dan terbentuklah bekuan dan jaringan parut. Virus
spesifik yang diduga berperan dalam teori ini adalah sitomegalovirus, anggota dari famili virus herpes.
4. Kadar Besi Darah yang Tinggi
Hipotesis ke empat mengenai arterosklerosis arteri koroner
adalah bahwa kadar besi serum yang tinggi dapat merusak
arteri koroner atau memperparah kerusakan yang di sebabkan
oleh hal lain. Teori ini diajukan oleh sebagian orang untuk
menjelaskan perbedaan yang mencolok dalam insidens
penyakit arteri koroner antara pria dan wanita pramenopause.
Pria biasanya mempunyai kadar besi yang jauh lebih tinggi
daripada wanita haid.
Angina Pektoris
Angina pektoris ialah suatu sindrom klinis berupa serangan
nyeri dada yang khas, yaitu seperti ditekan atau terasa berat di
dada yang sering menjalar ke lengan kiri. Nyeri dada tersebut
biasanya timbul pada saat melakukan aktivitas dan segera
hilang bila aktivitas dihentikan.
Merupakan kompleks gejala tanpa kelainan morfologik
permanen miokardium yang disebabkan oleh insufisiensi relatif
yang sementara di pembuluh darah koroner. ( 1,4,5,7)
Nyeri angina dapat menyebar ke lengan kiri, ke punggung,
ke rahang atau ke daerah abdomen.
Penyebab angina pektoris adalah suplai oksigen yang tidak
adekuat ke sel-sel miokardium dibandingkan kebutuhan.
Jika beban kerja suatu jaringan meningkat maka kebutuhan
oksigen juga meningkat; pada jantung yang sehat, arteria
koroner berdilatasi dan mengalirkan lebih banyak darah dan
oksigen ke otot jantung; namun jika arteria koroner mengalami
kekakuan atau menyempit akibat arterosklerosis dan tidak
dapat berdilatasi sebagai respon peningkatan kebutuhan akan
oksigen, maka terjadi iskemi miokardium; sel-sel miokardium
mulai menggunakan glikolisis anaerob untuk memenuhi
kebutuhan energi mereka. Cara ini tidak efisien dan menyebabkan terbentuknya asam laktat. Asam laktat menurunkan
pH miokardium dan menimbulkan nyeri yang berkaitan dengan
angina pektoris. Apabila kebutuhan energi sel-sel jantung
berkurang, maka suplai oksigen menjadi adekuat dan sel-sel
otot kembali ke proses fosforilasi oksidatif untuk membentuk
energi. Proses ini tidak menghasilkan asam laktat. Dengan
hilangnya penimbunan asam laktat, maka nyeri angina pektoris
mereda. Dengan demikian, angina pektoris merupakan suatu
keadaan yang berlangsung singkat.(4,5,9)
Terdapat tiga jenis angina, yaitu :
1. Angina stabil
Disebut juga angina klasik, terjadi jika arteri koroner yang

arterosklerotik tidak dapat berdilatasi untuk meningkatkan


alirannya sewaktu kebutuhan oksigen meningkat. Peningkatan
kerja jantung dapat menyertai aktivitas misalnya berolah raga
atau naik tangga.
2. Angina prinzmetal
Terjadi tanpa peningkatan jelas beban kerja jantung dan
pada kenyataannya sering timbul pada waktu beristirahat atau
tidur. Pada angina prinzmetal terjadi spasme arteri koroner
yang menimbulkan iskemi jantung di bagian hilir. Kadangkadang tempat spasme berkaitan dengan arterosklerosis.
3. Angina tak stabil
Adalah kombinasi angina stabil dengan angina prinzmetal ;
dijumpai pada individu dengan perburukan penyakit arteri
koroner. Angina ini biasanya menyertai peningkatan beban
kerja jantung; hal ini tampaknya terjadi akibat arterosklerosis
koroner, yang ditandai oleh trombus yang tumbuh dan mudah
mengalami spasme.
Infark Miokardium ( MCI )
Infark miokardium adalah nekrosis miokard akibat gangguan aliran darah ke otot jantung. Klinis sangat mencemaskan
karena sering berupa serangan mendadak umumya pada pria
35-55 tahun, tanpa gejala pendahuluan.(1,4)
Infark miokard biasanya disebabkan oleh trombus arteri
koroner; prosesnya mula-mula berawal dari rupturnya plak
yang kemudian diikuti oleh pembentukan trombus oleh trombosit. Lokasi dan luasnya infark miokard tergantung pada jenis
arteri yang oklusi dan aliran darah kolateral.(1,2,6)
GAMBARAN KLINIS DAN LABORATORIUM (1,5,8)
Penyakit Jantung Arteriosklerotik
Gejala klinis :
- Sesak napas mulai dengan napas yang terasa pendek
sewaktu melakukan aktivitas yang cukup berat, yang
biasanya tak menimbulkan keluhan. Makin lama sesak
makin bertambah, sekalipun melakukan aktivitas ringan.
- Klaudikasio intermiten, suatu perasaan nyeri dan keram di
ekstremitas bawah, terjadi selama atau setelah olah raga
Peka terhadap rasa dingin
- Perubahan warna kulit
- Laboratorium(5) :
- Kadar kolesterol di atas 180 mg/dl pada orang yang
berusia 30 tahun atau kurang, atau di atas 200 mg/dl untuk
mereka yang berusia lebih dari 30 tahun, dianggap
beresiko khusus mengidap penyakit arteri koroner.
- Radiografik.
Angina Pektoris( 5,8,11 )
Gejala klinis :
Diagnosis seringkali berdasarkan keluhan nyeri dada yang
mempunyai ciri khas sebagai berikut :
- Letak
Sering pasien merasakan nyeri dada di daerah sternum atau
di bawah sternum (substernal), atau dada sebelah kiri dan
kadang-kadang menjalar ke lengan kiri, dapat menjalar ke
punggung, rahang, leher, atau ke lengan kanan. Nyeri dada juga

Cermin Dunia Kedokteran No. 147, 2005

dapat timbul di tempat lain seperti di daerah epigastrium, leher,


rahang, gigi, bahu.
- Kualitas
Pada angina, nyeri dada biasanya seperti tertekan benda
berat, atau seperti di peras atau terasa panas, kadang-kadang
hanya mengeluh perasaan tidak enak di dada karena pasien
tidak dapat menjelaskan dengan baik, lebih-lebih jika pendidikan pasien kurang. ( 4 )
- Hubungan dengan aktivitas
Nyeri dada pada angina pektoris biasanya timbul pada saat
melakukan aktivitas, misalnya sedang berjalan cepat, tergesagesa, atau sedang berjalan mendaki atau naik tangga. Pada
kasus yang berat aktivitas ringan seperti mandi atau menggosok
gigi, makan terlalu kenyang, emosi, sudah dapat menimbulkan
nyeri dada. Nyeri dada tersebut segera hilang bila pasien
menghentikan aktivitasnya.
Serangan angina dapat timbul pada waktu istirahat atau
pada waktu tidur malam.
- Lamanya serangan
Lamanya nyeri dada biasanya berlangsung 1-5 menit,
kadang-kadang perasaan tidak enak di dada masih terasa
setelah nyeri hilang. Bila nyeri dada berlangsung lebih dari 20
menit, mungkin pasien mendapat serangan infark miokard akut
dan bukan angina pektoris biasa.
Pada angina pektoris dapat timbul keluhan lain seperti
sesak napas, perasaan lelah, kadang-kadang nyeri dada disertai
keringat dingin. (4)
Pemeriksaan penunjang
- Elektrokardiogram (EKG)
Gambaran EKG saat istirahat dan bukan pada saat
serangan angina sering masih normal. Gambaran EKG dapat
menunjukkan bahwa pasien pernah mendapat infark miokard di
masa lampau. Kadang-kadang menunjukkan pembesaran
ventrikel kiri pada pasien hipertensi dan angina; dapat pula
menunjukkan perubahan segmen ST dan gelombang T yang
tidak khas. Pada saat serangan angina, EKG akan menunjukkan
depresi segmen ST dan gelombang T dapat menjadi negatif.
- Foto rontgen dada
Foto rontgen dada seringmenunjukkan bentuk jantung yang
normal; pada pasien hipertensi dapat terlihat jantung membesar
dan kadang-kadang tampak adanya kalsifikasi arkus aorta.
- Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium tidak begitu penting dalam
diagnosis angina pektoris. Walaupun demikian untuk menyingkirkan diagnosis infark jantung akut sering dilakukan pemeriksaan enzim CPK, SGOT atau LDH. Enzim tersebut akan
meningkat kadarnya pada infark jantung akut sedangkan pada
angina kadarnya masih normal.
Pemeriksaan lipid darah seperti kolesterol, HDL, LDL,
trigliserida dan pemeriksaan gula darah perlu dilakukan untuk
mencari faktor risiko seperti hiperlipidemia dan/atau diabetes
melitus.
Infark Miokardium (1,2,8,11)
Gejala klinis :
- Nyeri dada kiri seperti ditusuk-tusuk atau diiris-iris
menjalar ke lengan kiri.

Cermin Dunia Kedokteran No. 147, 2005

Nyeri dada serupa dengan angina tetapi lebih intensif dan


lama serta tidak sepenuhnya hilang dengan istirahat
ataupun pemberian nitrogliserin
- Dada rasa tertekan seperti ditindih benda berat, leher rasa
tercekik.
- Rasa nyeri kadang di daerah epigastrikum dan bisa
menjalar ke punggung.
- Rasa nyeri hebat sekali sehingga penderita gelisah, takut,
berkeringat dingin dan lemas.
Pemeriksaan penunjang :
- Pada EKG terdapat elevasi segmen ST diikuti dengan
perubahan sampai inversi gelombang T; kemudian muncul
peningkatan gelombang Q minimal di 2 sadapan.
- Peningkatan kadar enzim atau isoenzim merupakan
indikator spesifik infark miokard akut yaitu kreatinin
fosfoskinase (CPK/CK), SGOT, LDH, alfa hidroksi butirat
dehidrogenase, dan isoenzim CK-MB.
- Yang paling awal meningkat adalah CPK tetapi paling
cepat turun.
PENATALAKSANAAN (1,2,9,11)
Dibagi menjadi 2 jenis yaitu :
1.
Umum
2.
Mengatasi iskemia yang terdiri dari :
a. Medikamentosa
b. Revaskularisasi
Penatalaksanaan Umum
1. Penjelasan mengenai penyakitnya; pasien biasanya
tertekan, khawatir terutama untuk melakukan aktivitas.
2. Pasien harus menyesuaikan aktivitas fisik dan psikis
dengan keadaan sekarang
3. Pengendalian faktor risiko
4. Pencegahansekunder.
Karena umumnya sudah terjadi arteriosklerosis di pembuluh darah lain, yang akan berlangsung terus, obat pencegahan diberikan untuk menghambat proses yang ada. Yang
sering dipakai adalah aspirin dengan dosis 375 mg, 160 mg,
80mg.
5. Penunjang yang dimaksud adalah untuk mengatasi iskemia
akut, agar tak terjadi iskemia yang lebih berat sampai infark
miokardium. Misalnya diberi O2.
Mengatasi Iskemia
Medikamentosa
1.
Nitrat, dapat diberikan parenteral, sublingual, buccal,
oral,transdermal dan ada yang di buat lepas lambat
2.
Berbagai jenis penyekat beta untuk mengurangi kebutuhan
oksigen. Ada yang bekerja cepat seperti pindolol dan propanolol. Ada yang bekerja lambat seperti sotalol dan nadolol.
Ada beta 1 selektif seperti asebutolol, metoprolol dan atenolol.
3.
Antagonis kalsium
Revaskularisasi
1.
Pemakaian trombolitik
2.
Prosedur invasif non operatif, yaitu melebarkan aa
coronaria dengan balon.
3.
Operasi.

Angina Pektoris
Penatalaksanaannya :
- Pengobatan pada serangan akut, nitrogliserin sublingual 5
mg merupakan obat pilihan yang bekerja sekitar 1-2 menit
dan dapat diulang dengan interval 3 5 menit.
- Pencegahan serangan lanjutan :
+ Long acting nitrate, yaitu ISDN 3 dd 10-40 mg oral.
+ Beta blocker : propanolol, metoprolol, nadolol, atenolol,
dan pindolol.
+ Calcium antagonist : verapamil, diltiazem, nifedipin.
- Mengobati faktor presdiposisi dan faktor pencetus : stres,
emosi, hipertensi, DM, hiperlipidemia, obesitas, kurang
aktivitas dan menghentikan kebiasaan merokok.
- Memberi penjelasan perlunya aktivitas sehari-hari untuk
meningkatkan kemampuan jantung
Infark Miokardium
Penatalaksanaan :
- Istirahat total
- Diet makanan lunak serta rendah garam
- Pasang infus dekstrosa 5 % emergency
- Atasi nyeri :
Morfin 2,5 5 mg iv atau petidin 25 50 mg im
Lain - lain: nitrat , antagonis kalsium , dan beta bloker
- Oksigen 2 4 liter/menit
- Sedatif sedang seperti diazepam 3 dd 2 5 mg per oral
- Antikoagulan :
Heparin 20000 40000 U/24 jam atau drip iv atas indikasi
Diteruskan dengan asetakumarol atau warfarin
- Streptokinase / trombolisis.
KESIMPULAN
1. Penyakit jantung koroner merupakan kelainan miokardium
akibat insufisiensi aliran darah koroner oleh arteriosklerosis
yang merupakan proses degeneratif meskipun di pengaruhi
oleh banyak faktor.
2. Penyebab penyakit jantung koroner adalah terjadinya
penyempitan aliran darah ke otot jantung yang terjadi akibat
penebalan lapisan tunika intima dan rupturnya plak yang diikuti
oleh pembentukan trombus.

3. Pada penyakit jantung arteriosklerosis di kenal 2 keadaan


ketidakseimbangan Masukan kebutuhan oksigen yaitu terjadi
hipoksemi karena kelainan vaskular dan hipoksia karena
kekurangan oksigen dalam darah.
4. Ada 4 hipotesis penyebab kerusakan endotel yaitu
kolesterol serum yang tinggi, tekanan darah tinggi, infeksi
virus, kadar besi yang tinggi.
5. Sel endotel rusak akibat oksidasi kolesterol dan trigliserida yang mengedap di tunika intima sampai ke dalam tunika
media.
6. Nyeri dada hampir sama tempat dan kualitasnya, yang
membedakan adalah lama terjadinya. Pada angina pektoris
biasanya 1 - 5 menit sedangkan pada infark mio-kardium lebih
dari 20 menit.
7. Pada saat serangan EKG akan menunjukkan depresi
segmen ST dan gelombang T dapat menjadi negatif.
8. Untuk membedakan apakah angina pektoris atau infark
miokardium dilakukan pemeriksaan enzim CPK, SGOT, LDH
yang meninggi pada infark miokardium.

KEPUSTAKAAN
1.

Hanafi, Muin Rahman, Harun. Ilmu Penyakit Dalam jilid I. Jakarta: FKUI
1997, hal 1082-108.
2.
Kusmana, Hanafi. Buku Ajar Kardiologi. Jakarta: FKUI 1996, hal 15984.
3.
Kalim H. Penyakit Kardiovaskular dari Pediatrik sampai Geriatrik.
Jakarta: Balai Penerbit RS Jantung Harapan Kita. 2001. hal 226 35.
4.
Kusumawidjaja. Patologi. Jakarta: FKUI 1996. hal 110 16.
5.
Corwin E. Handbook of Pathophysiology, alih bahasa, Brahm U.Pendit ;
Endah P ed,, Jakarta 2000. hal 352 71.
6.
Lumanau J. Hiperhomosisteinemia., Dalam: Meditek. Jakarta : FK Ukrida
2004, hal 46 9 .
7.
Harun, Alwi ,Rasyidi, Infark miokard akut, Dalam Pedoman Diagnosis
dan Terapi Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: FKUI, 2001, hal 165 72.
8.
Mardi Santoso. Standar Pelayanan Medis RSUD Koja. Jakarta: RSUD
Koja 1992, hal. 252 56.
9.
Suyatna FD. Obat antiangina. Dalam; Farmakologi dan Terapi. Jakarta:
FKUI 1995, hal. 343 63.
10. Burnside JW. Physical Diagnosis, alih bahasa: Henny Lukmanto. Jakarta:
EGC 1995, hal 213 56.
11. Kapita Selekta Kedokteran. FKUI 2001, hal. 437 41.

A picture is a poem without words

Cermin Dunia Kedokteran No. 147, 2005

PRAKTIS

Current Trends of Treatment


in Hypertension
William Sanjaya, Abdul Hakim Alkatiri
Department of Cardiology and Vascular Medicine, Faculty of Medicine, University of Indonesia
National Cardiovascular Center Harapan Kita Hospital, Jakarta, Indonesia
Introduction
Several epidemiological studies1-7 have demonstrated that
systolic and diastolic blood pressure have a strong, continuous,
graded and etiologically significant positive association with
cardiovascular disease outcomes.1 These relations are
consistent in both men and women, in young, middle-aged, and
older subjects, among different racial and ethnic groups,1-5 and
within and between countries.6-7 Although there is a continuum
of cardiovascular risk across levels of blood pressure,1-7 the
classification of adults according to blood pressure provides a
framework for differentiating levels of risk associated with
various blood pressure categories and for defining treatment
thresholds and therapeutic goals.
Systolic, and diastolic blood pressures as predictors
Historically more emphasis has been placed on diastolic
than systolic blood pressure as a predictor of cerebro-vascular
and coronary heart disease. This was reflected in the design of
the major randomized controlled trials of hypertension
management, which almost universally, used diastolic blood
pressure thresholds as inclusion criteria until the 1990s.8
Subjects with isolated systolic hypertension were excluded by
definition from such trials. Nevertheless, large compilations of
observation data before4 and since 1990s9 confirm that both
systolic and diastolic blood pressure show a continuous graded
independent relationship with risk of stroke and coronary
events. In practice, given that we have randomized controlled
trial data supporting the treatment of isolated systolic10,11 and
diastolic hypertension8, we should conclude to use both systolic
and diastolic blood pressure for guidance of treatment
thresholds.
Classification of hypertension
In consequence, it would be appropriate to use a
classification of blood pressure without the term
hypertension. However, this could be confusing and might
detract blood pressure and diminish the case for tight blood
pressure control.12 Therefore, the 1999 WHO/ISH classification13 has been retained in Table 1, with the reservation that the
real threshold for hypertension must be considered as flexible,
being higher or lower based on the total cardiovascular risk
profile of each individual. Accordingly, the definition of high

10 Cermin Dunia Kedokteran No. 147, 2005

normal blood pressure in Table 1 includes values that may be


considered as high (i.e. hypertension) in high-risk subjects,
or acceptable in individuals at lower risk. As a result, the
subgroup borderline hypertension, present in the 1999 WHO/
ISH guidelines13 has not been retained.
Table 1. Definition and classification of blood pressure levels (mmHg)
Category
Optimal
Normal
High Normal
Grade 1 (mild)
Grade 2 (moderate)
Grade 3 (severe)
Isolated systolic
hypertension

Systolic
< 120
120-129
130-139
140-159
160-179
180
140

Diastolic
< 80
80-84
85-89
90-99
100-109
110
< 90

When a patients systolic and diastolic blood pressure fall


into different categories, the higher category should apply.
Isolated systolic hypertension can also be graded (grades 1,2,3)
according to systolic blood pressure values in the range
indicated, provided diastolic value are < 90.
Total cardiovascular risk
Historically, therapeutic intervention thresholds for the
treatment of cardiovascular risk factors such as blood pressure,
blood cholesterol and blood sugar have been based on variably
arbitrary cut-points of the individual risk factors. Because risk
factors cluster in individuals14-5 and there is a graded
association between each factor and overall cardiovascular
risk16, the contemporary approach to treatment is to determine
the threshold, at least for cholesterol and blood pressure
reduction, based on the calculation of estimated coronary17-8, or
cardiovascular (coronary plus stroke)19 risk over a defined,
relatively short-term (e.g. 5- or 10-year) period.
On this basis, a classification using stratification for total
cardiovascular risk is suggested in Table 2. It is derived from
the scheme included in the 1999 WHO/ISH guidelines13, but
extended to indicate the added risk in some group of subjects
with normal or high normal blood pressure. The terms low,
moderate, high, and very high added risk are calibrated to
indicate an approximate absolute 10-year risk of cardiovascular
disease of < 15%, 15-20%, 20-30%, and > 30%, respectively,
according to Framingham criteria.19

Table 2. Stratification of risk to quantify prognosis


Other risk
factors and
disease
history
No other RF
1-2 RF
3RF, TOD, DM
ACC

Normal
SBP 120-129
DBP 80-84
Average
Low
Moderate
High

Blood pressure (mmHg)


High Normal
Grade 1
Grade 2
SBP 130-139
SBP 140-159
SBP 160-179
DBP 85-89
DBP 90-99
DBP 100-109
Average
Low
Moderate
Low
Moderate
Moderate
High
High
High
Very high
Very high
Very high

Grade 3
SBP 180
DBP 110
High
Very high
Very high
Very high

RF, risk factors; ACC, associated clinical conditions; TOD, target organ damage; SBP, systolic blood pressure;
DBP, diastolic blood pressure

When to initiate anti-hypertensive treatment?


Guidelines for initiating anti-hypertensive treatment are
based on two criteria: (1) the total level of cardiovascular risk,
as indicated in Table 2; and (2) the level of systolic and
diastolic blood pressure (Table 1). The total level of
cardiovascular risk is the main indication for intervention, but
lower or higher blood pressure values are also less or more
stringent indicators for blood pressure lowering intervention.
With respect of the European Societies17-8 or the WHO/ISH13,
the recommendations summarized are no longer limited to
patients with grade 1 and 2 hypertension, but also extend to
subjects with high normal blood pressure. They also describe in
greater detail how to deal with patients with grade 3
hypertension.
Consideration of subjects with systolic blood pressure 130139 mmHg and diastolic blood pressure 85-89 mmHg for
possible initiation of anti-hypertensive treatment is based on
the following recent evidence:
1. The PROGRESS study20 has shown that patients with
previous stroke or transient ischemic attack and blood pressure
< 140/90 mmHg, if left untreated (placebo), have an incidence
of cardiovascular events of about 17% in 4 years (very high
risk according to the guidelines) and their risk is decreased by
24% by blood pressure lowering.
2. Similar observations have been made in the HOPE study21
for normotensive with high coronary risk.
3. The ABCD-Normotensive trial22 has shown that type 2diabetic patients with blood pressure < 140/90 mmHg may also
benefit by more aggressive blood pressure lowering, at least for
stroke prevention and progression of proteinuria.
4. The Framingham Heart Study23 has shown that male
subjects with high normal blood pressure have a 10-year
cardiovascular disease incidence of 10%, i.e. in the range that
these guidelines classify as low added risk.
Current therapeutic strategies
In most, if not at all, hypertensive patients, therapy should
be started gradually, and target blood pressure values achieved
progressively through several weeks. To reach such target
blood pressures, it is likely that a large proportion of patients
requiring combination therapy with more than one agent. The
proportion of patients requiring combination therapy will
depend on baseline blood pressure values. In grade I
hypertension, mono-therapy is likely to be successful more
frequently. The baseline blood pressure and the presence or

absence of complications appears to consider initiating therapy


either with a low dose of a single agent or with a low dose
combination of two agents.24
An obvious disadvantage of initiating with two drugs, even
if at a low dose, is that of potentially exposing the patient to an
unnecessary agent. The following two-drug combinations have
been found to be effective and well tolerated
Diuretic and -blocker;
Diuretic and ACE inhibitor or angiotensin receptor
antagonist;
Calcium antagonist (dihidropyridine) and -blocker;
Calcium antagonist and ACE-inhibitor or angiotensin
receptor antagonist;
Calcium antagonist and diuretic;
-blocker and -blocker.
Therefore, it can be concluded that the major classes of
anti-hypertensive agents: diuretics, -blockers, calcium
antagonists, ACE inhibitors and angiotensin receptor
antagonists, are suitable for the initiation and maintenance of
anti-hypertensive therapy.24
Conclusion
The primary goal of treatment of the hypertensive patient
is to achieve the maximum reduction in the long-term total risk
of cardiovascular morbidity and mortality. This requires
treatment of all reversible risk factors identified, including
smoking, dyslipidemia or diabetes, and the appropriate
management of associated clinical conditions, as well as
treatment of the raised blood pressure per se. Recommendations about pharmacological therapy are preceded by large
randomized trials based on fatal and non-fatal events of the
benefits obtained by the various classes of agents. This is the
strongest type of evidence available.

REFERENCES
1.
2.
3.

Stamler J, Stamler R, Neaton JD. Blood pressure, systolic and diastolic,


and cardiovascular risks: US population data. Arch Intern Med 1993; 153:
598-615.
Kennel WB. Blood pressure as a cardiovascular risk factor: prevention
and treatment. JAMA 1996; 275: 1571-6.
Sagie A, Larson MG, Levy D. The natural history of borderline isolated
systolic hypertension. N Engl J Med 1993; 329: 1912-7.

Cermin Dunia Kedokteran No. 147, 2005

11

4.

5.

6.
7.

8.

9.
10.

11.
12.
13.
14.

MacMahon S, Peto S, Cutler J, et al. Blood pressure, stroke, and coronary


heart disease. 1. Prolonged differences in blood pressure: prospective
observational studies corrected for the regression dilution bias. Lancet
1990; 335: 765-74.
Neaton JD, Wentworth D. Serum cholesterol, blood pressure, cigarette
smoking, and death from coronary artery disease: overall findings and
differences by age for 316,099 white men. Arch Intern Med 1992; 152:
56-64.
Eastern Stroke and Coronary Heart Disease Collaborative Research
Group: Blood pressure, cholesterol and stroke in eastern Asia. Lancet
1998; 352: 1801-7.
van den Hoogen PCW, Feskens EJM, Nagelkerke NJD, Menotte A,
Nissinen A, Kromhout D. The relation between blood pressure and
mortality due to coronary heart disease among men in different parts of
the world. N Engl J Med 2000; 342: 1-8.
Collins R, Peto R, MacMahon S, et al. Blood pressure, stroke, and
coronary heart disease. Part 2, short-term reductions in blood pressure:
overview of randomized drug trials in the epidemiological context.
Lancet 1990; 335: 827-39.
Prospective Studies Collaboration. Age specific relevance of usual blood
pressure to vascular mortality: a meta-analysis of individual data for one
million adults in 61 prospective studies. Lancet 2002; 360: 1903-13.
SHEP Collaborative Research Group. Prevention of stroke by antihypertensive drug treatment in older persons with isolated systolic
hypertension: final results of the Systolic Hypertension in the Elderly
Program (SHEP). JAMA 1991; 265: 3255-64.
Staessen JA, Fagard R, Thijs L, et al. Randomized double-blind
comparison of placebo and active treatment for alder patients with
isolated systolic hypertension. Lancet 1997; 350: 757-64.
Zanchetti A, Mancia G. Editors Corner. New year, new challenges. J
Hypertens 2003; 21: 1-2.
Guidelines Sub-committee. 1999 World Health OrganizationInternational Society of Hypertension guidelines for the management of
hypertension. J Hypertens 1999; 17: 151-83.
Meigs JB, DAgostino RB, Wilson PW Cuppies LA, Nathan DM, Singer
DE. Risk variable clustering in the insulin resistance syndrome,

12 Cermin Dunia Kedokteran No. 147, 2005

15.
16.

17.

18.

19.
20.
21.

22.
23.
24.

The Framingham Offspring Study. Diabetes 1997; 46: 1595-600.


Zanchetti A. The hypertensive patient with multiple risk factors: is
treatment really so difficult? Am J Hypertens 1997; 10: 223-9S.
Stamler J, Wentworth D, Neaton JD. Is relationship between serum
cholesterol and risk of premature death from coronary heart disease
continuous and graded? Findings in 356,222 primary screenees of the
Multiple Risk Factor Intervention Trial (MRFIT). JAMA 1986; 256:
2823-8.
Pyorala K, De Backer G, Graham I, Poole-Wilson P, Wood D. Prevention
of coronary heart disease in clinical practice. Recommendations of the
Task Force of the European Society of Cardiology, European
Atherosclerosis Society and European Society of Hypertension. Eur
Heart J 1994; 15: 1300-31.
Wood D, De Backer G, Faergeman O, Graham I, Mancia G, Pyorala K.
Prevention of coronary heart disease in clinical practice.
Recommendations of the second joint Task Force of European and other
societies on coronary prevention. Eur Heart J 1998; 19: 1434-503.
Anderson KM, Wilson PW, Odell PM, Kannel WB. An updated coronary
risk profile. A statement for health professionals. Circulation 1991; 83:
356-62.
PROGRESS Collaborative Study Group. Randomized trial of Perindopril
based blood pressure lowering regiment among 6,108 individuals with
previous stroke or transient ischemic attack. Lancet 2001: 358: 1033-41.
The Heart Outcomes Prevention Evaluation Study Investigators. Effects
of an angiotensin converting enzyme inhibitor, ramipril, on
cardiovascular events in high-risk patients. N Engl J Med 2000; 342: 14553.
Schrier RW, Estacio RO, Esler A, Mehler P. Effects of aggressive blood
pressure control in normo-tensive type 2 diabetic patients on albuminuria,
retinopathy, and stroke. Kidney Int 2002; 61: 1086-97.
Vasan RS, Larson MG, Leip EP, Evans JC, ODonnell CJ, Kannel WB,
Levy D. Impact of high-normal blood pressure on the risk of
cardiovascular disease. N Engl J Med 2001; 345: 1291-7.
Guidelines Committee. 2003 European Society of HypertensionEuropean Society of Cardiology guidelines for the management of arterial
hypertension. Journal of Hypertension 2003; 21: 1011-53.

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

Peranan Penghambat Reseptor


Angiotensin II dalam Hipertrofi
Ventrikel Kiri
Sunarya Soerianata, William Sanjaya
Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskuler, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita

PENDAHULUAN
Hipertensi merupakan suatu bentuk percepatan utama
perubahan patologis jantung dan pembuluh darah. Selain sebagai penyebab terpenting kerusakan berbagai organ sasaran,
hipertensi dapat mencetuskan aterosklerosis, disfungsi endotel,
hipertrofi ventrikel kiri yang meningkatkan risiko kejadian
stroke, kardiovaskuler, dan gagal ginjal.1,2
Prevalensi hipertrofi ventrikel kiri (HVK)
HVK sangat sering terjadi pada pasien-pasien hipertensi.
Pada tahun 1992, kelompok studi TOMHS melaporkan kejadian HVK yang dideteksi dengan ekokardiografi berkisar dari
24% sampai 45% pada pasien-pasien hipertensi ringan.3 Studistudi lain melaporkan kejadian yang sama, berkisar 20% pada
pasien hipertensi ringan sampai sekitar 50% pada pasien hipertensi berat.4,5 Yang menarik perhatian adalah kejadian HVK
(yang dideteksi dengan elektrokardiogram) secara bermakna
lebih tinggi pada kelompok pasien dengan peningkatan tekanan
darah pada pagi hari.6-7
Penyebab dan faktor-faktor risiko
Tekanan darah yang tinggi berhubungan kuat dengan
kejadian HVK, meskipun HVK itu sendiri sudah meramalkan
bahwa individu dengan tekanan darah yang normal akan
berkembang menjadi hipertensi.8 HVK itu sendiri lebih dipertimbangkan sebagai salah satu manifestasi awal kerusakan
organ sasaran akibat hipertensi. Tekanan darah diastolik (TDD)
berhubungan dengan peningkatan pembebanan tekanan yang
berkaitan dengan penebalan dinding ventrikel, sedangkan
tekanan darah sistolik (TDS) lebih berhubungan erat dengan
massa ventrikel kiri akibat peningkatan tekanan dan volume.9
Banyak penyebab HVK yang serupa dengan penyebab
semua penyakit kardiovaskuler. Penentu-penentu demografik
seperti usia, suku bangsa, dan riwayat keluarga sudah dikenal
berperan di dalam perkembangan HVK.10-13 Sumbangsih
genetik terhadap perkembangan HVK sudah merupakan bahan
penelitian tahun-tahun terakhir ini, dan hasilnya menunjukkan
bahwa saudara kembar dan genetik Afrika-Amerika mempunyai kecenderungan peningkatan massa ventrikel kiri.14-15

Dalam studi Framingham, HVK meningkatkan risiko penyakit


jantung koroner sebesar 3 sampai 5 kali lipat, stroke 6 kali
lipat, dan gagal jantung 15 kali lipat pada populasi umum.18
Studi terbaru EUROSTROKE menemukan hal serupa yaitu
bahwa HVK meningkatkan risiko stroke 2 kali lipat, dan
kejadian stroke fatal 4 kali lipat.17
Patofisiologi HVK
Hipertensi arterial merupakan penyebab utama HVK.
Hipertensi meningkatkan stres hemodinamik pada dinding
ventrikel, yang mencetuskan peningkatan segera aktifitas
sistem renin angiotensin aldosteron (SRAA). Hal ini selanjutnya akan meningkatkan penampilan faktor-faktor pertumbuhan
yang merangsang pertumbuhan /hipertrofi.18
SRAA menginduksi HVK baik secara tidak langsung melalui peningkatan tekanan darah, dan secara langsung sebagai
pengaruh tropik langsung pada miokardium. SRAA adalah
salah satu dari sejumlah faktor-faktor tropik yang meliputi
sistem saraf umum yang berperan pada HVK. Akan tetapi
SRAA kelihatannya memainkan peran tersendiri di dalam kejadian patologis HVK dengan memainkan perubahan-perubahan biokimiawi dan patologi yang memulai kejadian HVK.19
Kadar aldosteron dan angiotensin-II yang beredar berhubungan secara langsung dengan massa ventrikel kiri.19
Angiotensin-II mempunyai kemampuan kardiotropik yang
diperantarai sebagian besar oleh reseptor AT-1.2 Pengikatan
angiotensin II dengan reseptor ini menginduksi pertumbuhan
dan proliferasi miosit jantung21-1 , otot polos vaskuler23 dan selsel endotel koroner24, dan juga menghasilkan sekresi kolagen
melalui fibroblas jantung.25 Angiotensin II juga mempercepat
disfungsi endotel, dan mengakibatkan vasokonstriksi dan destabilisasi bersamaan plak aterosklerotik.26
Diagnosis HVK
Elektrokardiografi (EKG) mendeteksi HVK dengan mengukur perubahan elektrikal dan kecepatan repolarisasi di dalam
jantung yang disebabkan oleh peningkatan masa jantung.
Sudah terdapat sejumlah kriteria untuk menentukan HVK
dengan EKG, tetapi yang paling umum digunakan adalah

Cermin Dunia Kedokteran No. 147, 2005

13

kriteria durasi voltase Cornell (HVK didiagnosis bila lama


voltase melebihi 2400 mm/detik) dan kriteria voltase SolokowLyon (HVK didiagnosis jika penjumlahan amplitido SV1 dan
RV5/6 lebih besar dari 35 mm) dengan spesifisitas yang tinggi
dan sensitivitas yang dapat diterima.27
Ekokardiografi merupakan cara non-invasif yang aman
untuk menilai anatomi dan fungsi jantung. Prosedur ini biasanya tersedia luas di rumah sakit atau klinik jantung dan
mempunyai kemampuan pengukuran HVK yang akurat dengan
sensitivitas dan spesifisitas tinggi (80%). Ekokardiografi
mode M dan 2-dimensi selalu dipergunakan bersama-sama.
Ekokardiogram mode-M hanya menilai bagian kecil ventrikel
kiri. Hasilnya dapat memberikan informasi tentang berbagai
bentuk yang berbeda dari geometri verntrikel kiri dan besarnya
fungsi sistolik dan diastolik.28
Pencitraan resonansi magnetik (Magnetic Resonance
Imaging = MRI) telah dikenal sebagai baku emas deteksi LVH,
selain pencitraan bermutu tinggi, memungkinkan pengukuran
ketebalan dinding ventrikel kiri dan dimensi interna yang lain.27
Dalam praktek klinis, MRI memungkinkan pengukuran
pengaruh pengobatan pada regresi ventrikel kiri yang lebih
akurat, karena mampu mengenal perubahan ketebalan ventrikel
kiri sampai 1 mm.29
Pengobatan antihipertensi pada HVK
Ada lebih dari 1.000 uji klinis yang membandingkan
pengaruh berbagai kelas obat-obat antihipertensi terhadap
massa ventrikel kiri. Terdapat persetujuan umum di antara berbagai uji klinis bahwa penurunan tekanan darah yang
substansial disertai oleh pengurangan massa ventrikel kiri.
Kecuali vasodilator perifer, kebanyakan kelas obat-obat antihipertensi telah ditemukan menurunkan massa ventrikel kiri
dengan berbagai rentang.30 Sebuah metaanalisis atas uji klinis
ekokardiografi acak dan terkontrol selama 6 bulan atau lebih
menemukan bahwa pengurangan massa ventrikel kiri dengan
penghambat reseptor angiotensin lebih besar secara bermakna
daripada dengan penghambat beta.30
Penghambat reseptor angiotensin dan EKA menurunkan
tekanan darah dengan menghambat kinerja angiotensin II.
Akan tetapi penghambat EKA tidak menghambat SRAA secara
sempurna karena stimulasi kompensasi alternatif yaitu pada
jalur lokal EKA untuk pembentukan angiotensin II.31
Telmisartan Effectiveness of Left Ventricular Mass
Reduction (TELMAR)
TELMAR akan menilai pengaruh penghambat reseptor
angiotensin, telmisartan pada HVK dibandingkan dengan
penghambat beta, metoprolol pada dosis antihipertensi yang
serupa. TELMAR adalah uji klinis yang acak, tersamar ganda,
dan kelompok paralel dengan sejumlah 140 pasien dengan usia
18-80 tahun dengan hipertensi esensial yang tidak terkontrol
(TDS rerata pada waktu siang 140 mmHg, atau TDD 90
mmHg dan atau TDS malam 120 mmHg atau TDD n 70
mmHg yang diukur dengan pemantauan tekanan darah ambulatori, dan indeks masa ventrikel kiri > 0,8 g/cm pada wanita, >
1,1 g/cm pada laki-laki (secara MRI). Dosis telmisartan dimulai
40 mg selama 2 minggu pertama, 80 mg selama 5,5 bulan dan

14 Cermin Dunia Kedokteran No. 147, 2005

40 mg untuk 2 minggu terakhir. Metoprolol akan diberikan


pada dosis 47,5 mg selama 2 minggu, 95 mg selama 5,5 bulan,
dan 47,5 mg selama 2 minggu. Pemberian obat-obat tambahan
yang lain dengan hidroklorotiazid dan amlodipine diijinkan.
Titik akhir primernya adalah persentase perubahan indeks
massa ventrikel kiri dibandingkan basal dengan menggunakan
MRI. Variabel sekunder meliputi perubahan tekanan darah dan
respon laju nadi yang dinilai dengan pemantauan tekanan darah
ambulatori dan manual, dan stres dinding akhir sistolik, fungsi
sistolik dan diastolik ventrikel kiri yang dinilai dengan MRI.
Studi terpisah dilakukan sebelum studi utama untuk menentukan rentang normal data MRI pada berbagai usia populasi.32
KEPUSTAKAAN
1.
2.
3.

4.

5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.

13.
14.
15.

16.
17.

Chung O, Unger T. Angiotensin II receptor blockade and end-organ


protection. Am J Hypertens 1999; 12: 150S-156S.
Guidelines Subcommittee. 1999 WHO - ISH. Guidelines for the
management of hypertension. J Hypertens 1999; 17: 151-83.
Liebson PR, Grandits GA, Prineas R, et al. Echocardiography correlates
of left ventricular structure among 844 mildly hypertensive men and
women in the treatment of mild hypertension study (TOMHS).
Circulation 1993; 87: 476-86.
Hammond IW, Devereux RB, Alderman MH et al. The prevalence and
correlates of echocardiographic left ventricular hypertrophy among
employed patients with uncomplicated hypertension. J Am Coll Cardiol
1986; 7: 639-50.
Savage DD, Drayer JI, Henry WL et al. Echocardiographic assessment of
cardiac anatomy and function in hypertensive subjects. Circulation 1979;
59: 623-32.
Matsuo K, Kusogi T, Kamiya H et al. Morning rise in blood pressure is a
risk factor for cardiovascular complications in treated hypertensive
patients. J Hypertens 2002; 20: S314.
Ikeda T, Yamamoto K, Okada J et al. Morning rise in blood pressure
associates with hypertensive cardiovascular complications. J Hypertens
2002; 20: S150.
Post W, Larson M, Levy D. Impact of left ventricular structure on the
incidence of hypertension. The Framingham Heart Study. Circulation
1994; 90: 179-85.
Kahan T. The importance of left ventricular hypertrophy in human
hypertension. J Hypertens 1998; 16 (Suppl.7): S23-9.
Levy D, Anderson KM, Savage DD et al. Echocardiographically detected
left ventricular hypertrophy; prevalence and risk factors. Ann Intern Med
1988; 108: 7-13.
Xie M-H, Liu F-Y, Wong PC et al. Proximal nephron and renal effects of
DuP 753, a nonpeptide angiotensin II receptor antagonist. Kidney Int
1990; 38: 473-9.
Gardin JM, Wagenknecht LE, Anton-Culver H et al. Relationship of
cardiovascular risk factors to echocardiographic left ventricular mass in
healthy young black and white adult men and women. The CARDIA
study. Coronary Artery Risk Development in Young Adults. Circulation
1995; 92: 380-7.
Kannel W. Prognostic implications of electrocardiographically
determined left ventricular mass in the Framingham Study. Am J Cardiol
1996; 60: 86-93.
Harshfield GA, Hwang C, Grim CE. Circadian variation of blood
pressure in blacks: influence of age, gender, and activity. J Hum
Hypertens 1990; 4: 43-7.
Arnett D, Devereux R, Hong Y et al. Strong heritability of left ventricular
mass in hypertensive African Americans and relative wall thickness in
hypertensive whites: the HyperGEN Echocardiography Study. Circulation
1998; 98: 1-658.
Kannel WB, Cobb J. Left ventricular hypertrophy and mortality - results
from the Framingham study. Circulation 1994; 90: 179-85.
Bots ML, Nikitin Y, Salonen JT et al. Left Ventricular Hypertrophy and
risk of fatal and non-fatal stroke. EUROSTROKE: a collaborative study
among research centers in Europe. J Epidemiol Community Health 2002;
56: 18-13.

18. Tin LL, Beevers DG, Lip GY. Hypertension, left ventricular hypertrophy,
and sudden death. Curr Cardiol Rep 2002; 4: 449-57.
19. Levy D, Labib S, Anderson K. Determinants of the sensitivity and
specificity of electrocardiographic criteria for left ventricular hypertrophy. Circulation 1990; 81: 815-820.
20. Unger T, Chung O, Csikos T et al. Angiotensin receptors. J Hypertens
1996 ; 14 (Suppl 5) : S95-103.
21. Schrunkert H, Sadoshima J, Cornelius T et al. Angiotensin II-induced
growth responses in isolated adult rat heart. Evidence for loadindependent induction of cardiac protein synthesis by angiotensin II. Circ
Res 1995; 76: 489-97.
22. Paquet JL, Baudouin-Legros M, Brunelle G et al. Angiotensin II-induced
proliferation of aortic myocytes in spontaneously hypertensive rats. J
Hypertens 1990; 8: 565-72.
23. Gopal AS, Schnellbaecher MJ, Shen Z et al. Freehand three-dimensional
echocardiography for determination of left ventricular volume and mass
in patients with abnormal ventricles: comparison with magnetic
resonance imaging. J Am Soc Echocardiogr 1997; 10: 853-61.
24. Stoll M, Steckelings UM, Paul M et al. The angiotensin AT2-receptor
mediates inhibition of cell proliferation in coronary endothelial cells. J
Clin Invest 1995; 95; 651-7.
25. Lijnen PJ, Petrov VV, Fagard RH. Angiotensin II-induced stimulation of
collagen secretion and production in cardiac fibroblast is mediated via
angiotensin II subtype 1 receptors. JRAAS 2001; 2: 117-22.

26. Berry C, Brosnan MJ, Fennel J et al. Oxidative stress and vascular
damage in hypertension. Curr Opin Nephrol Hypertens 2001; 10: 247-55.
27. Liu J, Devereux R. Clinical assessment of cardiac hypertrophy. In: Left
Ventricular Hypertrophy. Sheridan D, ed. Churchill Livingstone: London,
1998.
28. Devereux RB, Roman M. Evaluation of cardiac and vascular structure
and function by echocardiography and other noninvasive techniques. In:
Hypertension: pathophysiology, diagnosis and management, Laragh JH,
Brenner B, eds. Raven Press Ltd; New York, 1995: 1969-85.
29. Otterstad JE, Smiseth O, Kjeldsen SE. Hypertensive left ventricular
hypertrophy: pathophysiology, assessment and treatment. Blood Press
1996; 5: 5-15.
30. Schmieder RE, Martus P, Klingbeil A. Reversal of left ventricular
hypertrophy in essential hypertension. A meta-analysis of randomized
double blind studies. JAMA 1996; 275: 1507-13.
31. Mervaala E, Muller DN, Schmidt F et al. Blood-pressure independent
effects in rats with human renin and angiotensinogen genes. Hypertension
2000; 35: 587-94.
32. Friedrich MG, Dahlof B, Sechtem U et al. Telmisartan Effectiveness on
Left Ventricular Mass Reduction (TELMAR) as assessed by magnetic
resonance imaging in patients with mild to moderate hypertension - a
prospective, randomized, double-blind comparison of telmisartan with
metoprolol over a period of six months - rationale and study design.
JRAAS 2003; 4: 234-43.

KALENDER KEGIATAN ILMIAH PERIODE APRIL JUNI 2005


Bulan

Tanggal
05 11

April

16 17

Kegiatan
Kongres Nasional II Asosiasi
Psikogeriatri Indonesia
(KONAS II API)
6th Jakarta Antimicrobial Update
2005 dan 1st International Parasitic
Update 2005
Kongres PANDI

19 23
Temu Ilmiah Reumatologi 2005
06 08

19 21
Mei

20 22

The 8th Course & Workshop


Basic Sciences in Oncology
The 5th Jakarta Nephrology and
Hypertension Course & Symposium
on Hypertension
Indonesian Acupuncture Expo

20 22

08 11

9th Annual Meeting of Indonesian


Society of Plastic Surgery (PIT 9
PERAPI)
Antimicrobials 2005 : Tailored
Therapy for Severe Infection

09 11

The 31th Annual Meeting Indonesian


Ophthalmologist Association

23 25

Juni
2nd National Congress of PERDICI
23 24

Tempat dan Sekretariat


Hotel Borobudur, Jakarta
Dept. Psikiatri FKUI-RSCM Jl. Salemba Raya no. 6, Jakarta Pusat
Tlp. : 021-70748554; Fax. : 021-39899128; e-mail: api_pdskji@yahoo.com
Hotel Sahid Jaya, Jakarta
Divisi Penyakit Tropik dan Infeksi, Departemen IP Dalam FKUI/RSCM
Telp: 021-3908157, 392 5491; Faks: 021-391 9106
E-mail: tropik@indosat.net.id; jade_update@yahoo.com
Hotel Borobudur, Jakarta
Bagian Biologi Kedokteran, FKUI/RSCM, Jl. Diponegoro no. 71, Jakarta
Tlp.: 021-53650013/15; Fax.: 021-56650015
E-mail: kongres_pandipersandi@hotmail.com
Hotel Sahid Jaya, Jakarta
Divisi Reumatologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/
RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, Jl. Diponegoro no. 71, Jakarta Pusat
Tlp.: +62-21-31930166; Fax. : +62-21-31936736
E-mail : reumatik@indosat.net.id
RSK Dharmais, Perhimpunan Onkologi Indonesia, Lt.5 RS Kanker Dharmais
Jl.S.Parman Kav 84-86, Slipi Jakarta Barat
Telp/Fax : 021-569 44168; e-mail : isosecr@link.net.id
Hotel Borobudur, Jakarta
PERNEFRI, FKUI / RSCM, Jl. Diponegoro no. 71, Jakarta
Tlp.: 3149208; Fax.: 3155551; e-mail: pernefri@cbn.net.id, jnhc@cbn.net.id
Jakarta Convention Center
Pacto Convex Ltd, Jakarta Hilton International
Jl.Gatot Subroto, Jakarta; Tlp.: 021-570 5800 ext 430
Fax.: 021- 570 5798 / 572 4608; email : iit@cbn.net.id
Hotel Horison, Bandung
Tlp.: 62-22-70-776-871; Fax.: 62-22-70-776-871/ 62-21-55-960-179
E-mail: pitperapi@pharma-pro.com
Hotel Borobudur, Jakarta
Departemen Farmakologi, FKUI/RSUPN CM, Jl. Salemba Raya 6, Jakarta
Tlp.: 021-4532202; Fax.: 021-4535833; e-mail : globalmedica@cbn.net.id
Hotel Planet Holiday, Padang
Bag. Mata RS. Dr. M. Djamil Padang
Tlp. : 0751-24245; Fax. : 0751-24245; e-mail : perdami@pdg.vision.net.id
Hotel Patra Jasa Semarang
GEO convex; Jl. Kebon Sirih Timur 4, Jakarta Pusat 10340
Tlp.: 62-21-314 9319; 315 3392; fax.: 62-21-230 5835; 314 9318
E-mail: perdici@geoconvex.co.id

Informasi terkini, detail dan lengkap (jadwal acara/pembicara) bisa diakses di http://www.kalbefarma.com/calendar

Cermin Dunia Kedokteran No. 147, 2005

15

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

Angiotensin-II
dan Remodelling Vaskuler
Idris Idham, William Sanjaya
Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskuler, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
R.S. Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita, Jakarta

PENDAHULUAN
Pengobatan hipertensi sudah diketahui tidak menurunkan
risiko infark miokard akut secara bermakna dan tidak meregresi
hipertrofi ventrikel kiri meskipun kelihatannya cukup untuk
mengendalikan tekanan darah pada saat pemeriksaan rawat
jalan. Keberhasilan penghambat Enzim Konversi Angiotensin
(EKA) untuk pengobatan penyakit kardiovaskuler menandakan
perlunya menilai kembali peranan sistem renin angiotensin
(SRA) dalam patofisiologi kelainan kardiovaskuler. Saat ini
sudah diterima dengan baik bahwa SRA bukan hanya sistem
sirkulasi hormonal, tetapi juga merupakan sistem jaringan yang
tersebar di berbagai organ kardiovaskuler.1-4
Sistem Renin Angiotensin
Sudah hampir 100 tahun yang lalu, Tigersted dan
Bergman5 menemukan renin, satu dari enzim utama SRA, yang
merupakan suatu bahan endokrin dari ekstraksi ginjal yang
dapat meningkatkan tekanan darah jika disuntikkan ke kelinci.

Gambar 1. Diagram skematik sistem renin angiotensin

Pada dekade selanjutnya ditemukan enzim-enzim lain dan


peptida-peptida efektor dari SRA.6-8 Kehilangan garam dan

16 Cermin Dunia Kedokteran No. 147, 2005

cairan atau aktivasi simpatetik mengakibatkan pelepasan


protease renin oleh ginjal dan pemecahan dekapeptida angiotensin (Ang) 1 dari prekursor protein angiotensinogen yang
berberat molekul tinggi. Efektor utama oktapeptida, Ang II,
kemudian dibentuk sebagian besar oleh aksi EKA dan enzimenzim yang lain seperti kimase kardiovaskuler. (Gb. 1)
Enzim Konversi Angiotensin
Saat ini sudah banyak diketahui bahwa EKA dapat diclone
dari sebuah gen manusia pada kromosom 17.11 EKA yang
terdiri dari 4024 basa dan 1306 asam amino merupakan sebuah
glikoprotein yang besar dan metalopeptidase seng yang sebagian besar dalam bentuk ektoenzim. Secara struktural, bagian
ekstraseluler yang besar merupakan sebuah homodimer dari
dua lobus identik terdekat, yang satu mengandung bagian
katalitik, dan yang lain mengikat satu atom seng, dengan pertautan transmembran oleh sebuah cabang pendek terminal
karboksil intraseluler. (Gb. 2)
Pemberian penghambat EKA menunjukkan induksi EKA
dan peningkatan kadar plasma EKA.12-14. Endotelin juga
dilaporkan dapat merangsang produksi EKA.15 Sudah diketahui
pula bahwa kadar plasma EKA juga meningkat pada keadaankeadaan inflamasi seperti pada penyakit sarkoidosis.16
Angiotensin II
Dahulu dipercaya bahwa pengaruh perifer dan sentral SRA
diperantarai oleh reseptor tunggal Ang. Saat ini dengan perkembangan reseptor ligan Ang II yang sangat spesifik dan
selektif, dikenal beberapa subtipe reseptor Ang pada mamalia
yang meliputi AT1 dan AT2. Reseptor AT1 memerantarai
pengaruh SRA yang paling klasik yang berkaitan dengan pengendalian tekanan darah dan hipertensi. Subtipe kedua reseptor Ang II, AT 2, dapat dihambat secara khusus oleh komposisi
PD123177, dimana CGP42112 dapat melepaskan bahan-bahan
agonis dan antagonis.17-19 Ang II itu sendiri terlibat dalam pertumbuhan sel melalui pengaruhnya pada jalur kinase, induksi
faktor-faktor transkripsi, proliferasi, dan diferensiasi sel.20

Gambar 2. Diagram skematik yang menunjukkan struktur EKA.

Manfaat reseptor-reseptor AT2 masih dalam penyidikan


dan berpengaruh pada antiproliferasi21-23, diferensiasi24,25,
program kematian sel26, dan regenerasi neuronal27, yang menambah manfaat SRA baru dari yang sudah ditetapkan. (Gb. 3)

Perkembangan konsep remodeling vaskuler


Spektrum signal yang mengaktifkan sel-sel endotel
bervariasi dari kekuatan mekanis (aliran dan tekanan) sampai
pada bahan-bahan vasoaktif dan mediator-mediator inflamasi.
(Gb. 4)28
Spektrum perubahan struktural pembuluh darah diilustrasikan pada gambar 5. Sebagai tanggapan terhadap peningkatan
tekanan arterial, struktur pembuluh berubah sedemikian sehingga perbandingan lebar lumen meningkat baik karena
peningkatan massa otot (Gb. 5, pembuluh A), atau pengaturan
unsur-unsur seluler dan bukan seluler (Gb. 5, pembuluh B).
Perubahan-perubahan ini meningkatkan reaktifitas vaskuler,
yang mengakibatkan peningkatan karakter tahanan perifer
hipertensi. Bentuk lain remodeling vaskuler melibatkan perubahan-perubahan utama pada ukuran luminal (Gb.5, pembuluh C dan D). Di dalam contoh ini, restrukturisasi aktif
komponen-komponen seluler dan bukan seluler dinding pembuluh mengakibatkan perubahan-perubahan bermakna ukuran
luminal, dengan perubahan-perubahan relatif kecil ketebalan
dinding. Contoh-contoh klinis bentuk remodeling meliputi
pelebaran pembuluh yang berkaitan dengan kecepatan aliran
darah yang tinggi (Gb.1, pembuluh D) (sebagai contoh fistula
arteriovena) atau hilangnya sel dan proteolisis matriks akibat
pembentukan aneurisma. Sebaliknya pengurangan massa dan
ukuran vaskuler terjadi karena pengurangan aliran darah jangka
panjang (Gb.5, pembuluh C). Selain itu mikrosirkulasi yang
jarang atau hilangnya area kapiler merupakan bentuk lain dari
remodeling vaskuler yang menyebabkan hipertensi dan iskemi
jaringan. Arsitektur dinding pembuluh juga berubah sebagai
tanggapan terhadap injury yang meliputi trombosis, migrasi
dan proliferasi sel-sel vaskuler, produksi matriks dan infiltrasi
sel-sel inflamasi.28

Gambar 3. Reseptor-reseptor sistem renin angiotensin

Gambar 5. Spektrum remodeling vaskuler

Gambar 4. Agen-agen remodeling vaskuler (signal, sensor, dan mediator)

Pembuluh A mewakili penyakit hipertensi vaskuler,


dengan hipertrofi vaskuler dengan lapisan media yang menebal
dan diameter lumen mengecil; pembuluh B: penyakit hipertensi
vaskuler tanpa hipertrofi medial, dan diameter lumen mengecil;
pembuluh C: pengurangan dimensi vaskuler sebagai respon
terhadap pengurangan aliran dalam jangka panjang; pembuluh
D: peningkatan dimensi pembuluh sebagai respon terhadap
peningkatan aliran jangka panjang; pembuluh E: hiperplasia
neointimal (migrasi dan proliferasi sel-sel otot polos vaskuler)
sebagai respon terhadap injury vaskuler; dan pembuluh F:

Cermin Dunia Kedokteran No. 147, 2005

17

aterosklerosis sebagai tanggapan terhadap injury vaskuler dari


lumen pembuluh.
Angiotensin dalam hipertrofi jantung dan vaskuler
Perhatian sekarang ini banyak dipusatkan kepada SRA
lokal yang berhubungan dengan peranannya dalam memelihara
struktur dan pertumbuhan kardiovaskuler.29-31 Sejumlah pendapat kuat telah mengemukakan peranan SRA dalam pertumbuhan dan hipertrofi kardiovaskuler. Angiotensin ini tidak
hanya menyebabkan pembebanan hemodinamik oleh aksi
vasokonstriksinya, tetapi juga meningkatkan tahanan perifer,
pembebanan akhir ventrikuler, dan beberapa pengaruh nonhemodinamik terhadap pertumbuhan. Di dalam biakan sel
angiotensin sudah terbukti merupakan stimulator kuat hiperplasia dan hipertrofi otot polos vaskuler.30,32
Tabel 1.

1.
2.

Sistem renin angiotensin di dalam hipertrofi jantung dan


vaskuler

Pengaruh-pengaruh hemodinamik
Meningkatkan tahanan perifer.
Meningkatkan beban awal dan akhir.
Aksi-aksi nonhemodinamik
Merangsang hipertrofi otot polos vaskuler.
Melepaskan faktor-faktor pertumbuhan (faktor pertumbuhan yang diperantarai platelet).
Mengaktifkan protoonkogen.
Mengatur aktifitas lokal simpatetik.

Perbaikan dan remodeling ventrikuler


Penurunan kesakitan dan kematian yang bermakna pada
penggunaan penghambat EKA di dalam gagal jantung kongesti
seperti yang dilaporkan studi CONSENSUS33 telah mengakibatkan para peneliti mempelajari penggunaan dini penghambat EKA untuk disfungsi ventrikel kiri. Sesudah infark
miokard akut, ventrikel kiri mengalami ekspansi dan remodeling.34 Pada studi hewan, kadar EKA mula-mula menurun pada
infark miokard akut. Akan tetapi setelah 48 jam, EKA
meningkat baik di dalam area infark miokard maupun hipertrofi
/remodeling miokardium.35-7 Peningkatan EKA pada jaringan
parut dan otot-otot yang hipertrofi ini dapat bertahan selama
berbulan-bulan. Saat ini juga telah ditunjukkan peningkatan
reseptor-reseptor Ang II tipe 1 yang sesuai dengan perbaikan
parut dan otot.

kardiovaskuler praklinik dan faktor risiko bebas untuk semua


komplikasi kardiovaskuler akibat hipertensi, sehingga pemulihan hipertrofi ventrikel kiri memungkinkan keuntungan prognostik.39 Karena Ang II berkaitan dengan hipertrofi ventrikel
kiri40, maka penghambatan angiotensin II dapat bermanfaat
dalam mengembalikan hipertrofi ventrikel kiri tersebut.41-2
Uji klinis The Losartan Intervention For Endpoint
reduction (LIFE)43 telah membandingkan keuntungan losartan
dan atenolol dalam pengobatan hipertensi dan perlindungan
sekunder kardiovaskuler. Titik akhir primernya adalah kesakitan dan kematian kardiovaskuler, sedangkan titik akhir kombinasi adalah kematian kardiovaskuler, infark miokard, dan
stroke. Keluaran klinis lain yang diukur adalah jumlah kematian, perawatan rumah sakit akibat angina pektoris dan gagal
jantung, prosedur revaskularisasi pembuluh koroner dan
perifer, resusitasi henti jantung dan timbulnya diabetes melitus.
Losartan telah ditetapkan sebagai obat penurun tekanan
darah dosis efektif sekali sehari dengan toleransi yang sempurna untuk menghambat Ang II pada reseptor tipe 1 dan mencegah nefropati diabetik.44 Keuntungan klinis yang lebih besar
pada kelompok pasien risiko tinggi dan toleransi yang lebih
baik daripada atenolol menunjukkan bahwa penggunaan nya
akan memperbaiki hasil pengobatan pasien-pasien hipertensi.
Hasil-hasil ini dapat secara langsung diterapkan dalam klinik.43
KESIMPULAN
Proses remodeling vaskuler merupakan dasar berbagai
penyakit vaskuler yang selalu menjadi tantangan bagi para
dokter, sehingga strategi pengobatan diarahkan pada pengaruh
respon remodeling yang bermakna klinis.28
Ang II berhubungan dengan berbagai jalur yang melibatkan proliferasi sel yang menuju remodeling vaskuler dan
hipertrofi ventrikel kiri, dan reseptor AT2 dapat terlibat di
dalam perkembangan, hambatan pertumbuhan, diferensiasi sel,
dan perbaikan jaringan yang memerantarai vasodilatasi. Hal
yang diterima secara luas adalah bahwa stimulasi reseptorreseptor AT2 dapat membantu mencegah keadaan-keadaan
seperti hipertrofi ventrikel kiri, dan remodeling pasca infark.26
KEPUSTAKAAN
1.
2.

Kesakitan dan kematian kardiovaskuler sebagai titik akhir


penurunan tekanan darah
Keuntungan penggunaan obat-obat hipertensi untuk menurunkan tekanan darah telah diketahui pada kelompok pasien
dengan risiko tinggi.38 Akan tetapi mereka masih mempunyai
laju komplikasi kardiovaskuler yang lebih cepat daripada
pasien-pasien tanpa hipertensi. Hal ini dapat merupakan akibat
kegagalan mencapai tekanan darah yang normal, atau sisa-sisa
kerusakan organ sasaran seperti hipertrofi ventrikel kiri atau
keduanya.
Hipertrofi ventrikel kiri merupakan wujud utama penyakit

18 Cermin Dunia Kedokteran No. 147, 2005

3.
4.
5.
6.
7.
8.

Johnston CI. Franz Volhard Lecture: renin angiotensin system: a dual


tissue and hormonal system for cardiovascular control. J Hypertens 1992;
10 (Suppl 7): 513-26.
Campbell DJ. Circulating and tissue angiotensin systems. J Clin Invest
1987; 79: 1-5.
Dzau VJ. Circulating versus local renin angiotensin system in
cardiovascular homeostasis. Circulation 1988; 77: 1-4.
Ganten D, Hermann K, Unger T, Lance R. The tissue renin angiotensin
system: focus on brain angiotensin, adrenal gland and arterial wall. Clin
Exp Hypertens A. 1983; 5: 1009-18.
Tigerstedt R, Bergmann P. Niere und Kreislauf. Scan Arch Physiol 1898;
8: 223-71.
Page I, Helmer O. A crystalline pressor substance (angiotonin) from the
reaction between renin and renin activator. J Exp Med 1940; 71: 29-42.
Braun-Menendez E, Fasciolo JC, Leloir LF, Munoz JM. The substance
causing renal hypertension. J Physiol 1940; 98: 283-98.
Skeggs L, Kahn J, Shumway N. The preparation and function of the
hypertension-converting enzyme. J Exp Med 1956; 103: 295-9.

9.
10.
11.
12.
13.

14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.

23.
24.
25.
26.

Okunishi BJ, Miyazaki M, Okamura T, Tada N. Different distribution of


two types of angiotensin-II-generating enzymes in the aortic wall.
Biochem Biophys Res Commun 1987; 149: 1186-92.
Husain A. The chymase angiotensin system in humans. J Hypertens 1993;
11: 1155-9.
Soubrier F, Alhenc-Gelas F, Hubert C, et al. Two putative active centers
in human angiotensin I converting enzymes revealed by molecular
cloning. Proc Natl Acad Sci USA 1988; 85: 9386-90.
Fyhrquist F, Hartling L, Gronhagen-Riska C. Induction of angiotensin 1
converting enzyme by captopril in cultured human endothelial cells. J
Clin Endocrinol Metab 1982; 55: 783-6.
Kohzuki M, Johnston CI, Chai SY et al. Measurement of angiotensin
converting enzyme induction and inhibition using quantitative in vitro
autoradiography: tissue selective induction after chronic lisinopril
treatment. J Hypertens 1991; 9: 579-87.
Chai SY, Perich R, Jackson B et al. Acute and chronic effects of
angiotensin converting enzyme inhibitors in tissue angiotensin converting
enzyme. Clin Exp Pharmacol Physiol 1992; 19(suppl 19): 7-12.
Kawaguchi H, Sawa H, Yasuda H. Effects of endothelin on angiotensin
converting enzyme activity in cultured pulmonary artery endothelial cells.
J Hypertens 1991; 9:171-4.
Weinstock JV. The significance of angiotensin 1 converting enzyme in
granulomatous inflammation: functions of ACE in granulomas.
Sarcoidosis 1986; 3: 19-26.
Bottari SP, De Gasparro M, Steckelings UM, Levens NR. Angiotensin II
receptor subtypes: characterization, signaling mechanism, and possible
physiological implications. Front Neuroendocrionol 1993; 14: 123-71.
Timmermans PBMWM, Wong PC, Chiu AT, et al. Angiotensin II
receptors and angiotensin II receptor antagonists. Pharmacol Rev 1993;
45: 123-71.
Unger T, Chung O, Csikos T et al. Angiotensin receptors. J Hypertens
1996; 14: S95-103.
Stroth U, Unger T. The Renin-angiotensin system and its receptors. J.
Cardiovasc.Pharmacol. 1999; 33(Suppl I): S21-28.
Stoll M, Steckelings UM, Paul M, Bottari SP, Meizger R, Unger T. The
angiotensin AT2 receptor mediates inhibition of cell proliferation in
coronary endothelial cells. J Clin Invest 1995; 95: 651-7.
Nakajima M, Hutchinson HG, Fujinaga M, et al. The angiotensin II type
2 (AT2) receptor antagonized the growth effects of the AT1 receptor:
gain of function study using in vivo gene transfer. Proc Natl Acad Sci
USA 1995; 92: 10663-7.
Munzenmatter DH, Greene AS. Opposing actions of angiotensin II on
microvascular growth and arterial blood pressure. Hypertension 1996; 27:
760-5.
Laflamme L, DeGasparo M, Gallo JM, Payet MD, Gallo-Payet N.
Angiotensin II induction of neurite outgrowth by AT2 receptors in
NG108-15 cells. J Biol Chem 1996; 271: 22729-35.
Meffert S, Stool M, Steckelings MU, Bottari SP, Unger T. The
angiotensin AT2 receptor inhibits proliferation and promotes
differentiation in PC12W cells. Mol Cell Endocrinol 1996; 122: 59-67.
Yamada T, Horiuchi M, Dzau VJ. Angiotensin II type 2 receptor
mediates programmed cell death. Proc Natl Acad Sci USA 1996; 93:
156-60.

27.
28.
29.
30.
31.
32.
33.

34.
35.
36.
37.
38.

39.

40.
41.
42.
43.

44.

Gallinat S, Csikos T, Meffert S, Herdegen T, Stoll M, Unger T. The


angiotensin AT2 receptor mediates down-regulation of neurofilament M
in PC12W cells. Neurosci Lett 1997; 227: 29-32.
Gibbons GH, Dzau VJ. The emerging concept of vascular remodeling. N
Engl J Med 1994; 330: 1431-8.
Dzau VJ, Gibbon GH. Endothelium and growth factors in vascular
remodeling of hypertension. Hypertension 1991; 18(suppl III): III-11521.
Schelling PM, Fischer H, Ganten D. Angiotensin and cell growth: a link
to cardiovascular hypertrophy? J Hypertens 1991; 9: 3-15.
Weber KT, Janicki JS. Angiotensin and the remodeling of the
myocardium. Br J Clin Pharmacol 1989; 28: 1415-505.
Baker KM, Booz GW, Doetal DE. Cardiac actions of angiotensin II: role
of an intracardiac renin angiotensin system. Ann Rev Physiol 1992; 54:
227-41.
The CONSENSUS Trial Study Group. Effect of enalapril on mortality in
severe congestive heart failure: results of the Cooperative North
Scandinavian Enalapril Survival Study (CONSENSUS). N Engl J Med
1987; 316: 1429-35.
Pfeffer MA, Braunwald E. Ventricular remodeling after myocardial
infarction: experimental observations and clinical implication. Circulation
1990; 81: 1161-72.
Fabris B, Jackson B, Kanazawa M, et al. Increased cardiac ACE in rats
with CHF. Clin Exp Pharmacol Physiol 1990; 17: 309-14.
Johnston CI, Mooser V, Sun Y, et al. Changes in cardiac angiotensin
converting enzyme after myocardial infarction and hypertrophy in rats.
Clin Exp Pharmacol Physiol 1990; 18: 107-10.
Jackson B, Mendelsohn FAO, Johnston CI. Angiotensin converting
enzyme inhibition: prospects for the future. J Cardiovasc Pharmacol
1991; 18(suppl 7): S4-8.
Neal B, MacMahon S, Chapman N. Effects of ACE inhibitors, calcium
antagonists, and other blood pressure lowering drugs results of
prospectively designed overviews of randomized trials. Blood Pressure
Lowering Treatment Trialists Collaboration. Lancet 2000; 356: 1955-64.
Mathew J, Sleight P, Lonn E, et al. Reduction of cardiovascular risk by
regression of electrocardiographic markers of left ventricular hypertrophy
by the angiotensin converting enzyme inhibitor ramipril. Circulation
2001; 104: 1615-21.
Brunner HR. Experimental and clinical evidence that angiotensin II is an
independent risk factor for cardiovascular disease. Am J Cardiol 2001;
87(8A): 3C-9C.
Dahlof B, Pennert K, Hansson L. Reversal of left ventricular hypertrophy
in hypertensive patients- a meta-analysis of 109 treatment studies. Am J
Hypertens 1992; 5: 95- 110.
Dahlof B. Left ventricular hypertrophy and angiotensin II antagonists.
Am J Hypertens 2001; 14: 174- 82.
Dahlof B, Devereux RB, Kjeldsen SE et al. Cardiovascular morbidity and
mortality in the Losartan Intervention For Endpoint reduction in
hypertension study (LIFE): a randomized trial against atenolol. Lancet
2002; 359: 995-1003.
Brenner BM, Cooper Me, de Zeeuw D et al. Effects of losartan on renal
and cardiovascular outcomes in patients with type 2 diabetes and
nephropathy. N Engl J Med 2001; 345: 861-9.

Crime, when it succeeds is called virtue


(Seneca)

Cermin Dunia Kedokteran No. 147, 2005

19

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

Disfungsi Endotel
dan Obat Antihipertensi
Selvinna, Rianto Setiabudy
Bagian Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Jakarta

PENDAHULUAN
Dewasa ini dunia kedokteran dan pengobatan maju dengan
sangat pesat, seiring dengan kemajuan pengetahuan di berbagai
bidang yang tak henti mencari dan meneliti sesuatu dari
berbagai sudut pandang. Teori patofisiologi atau terjadinya
suatu penyakit terus berkembang seiring dengan berbagai
temuan penelitian.
Salah satu teori tentang terjadinya penyakit adalah adanya
gangguan aliran darah ke jaringan maupun organ. Pada tingkat
seluler, para ahli menemukan bahwa sel endotel yang
merupakan lapisan terdalam dinding pembuluh darah, memiliki
peran dalam pengaturan aliran darah ke suatu organ(1,2).
Gangguan atau kerusakan fungsi endotel dapat berakibat
terjadinya gangguan pada organ terkait(1-3).
Misalnya pada hipertensi esensial, yang merupakan suatu
keadaan terjadinya peningkatan tekanan darah. Selama ini
patogenesis hipertensi esensial tidak diketahui, hanya diungkapkan tentang adanya faktorfaktor pencetus terjadinya
peningkatan tekanan darah. Kini, banyak ahli berpendapat
bahwa hipertensi esensial antara lain disebabkan karena
terjadinya gangguan fungsi endotel pembuluh darah (disfungsi
endotel)(1-5). Kelainan ini juga berperan pada komplikasi
kardiovaskuler yang menyertai aterosklerosis(1-4), diabetes
melitus(1,2), hiperkolesterolemi(1,2), gagal jantung(4,5), preeklampsi(6) dan lain-lain.
Diketahuinya peran endotel menimbulkan pemikiran
bahwa sebaiknya strategi pengobatan terhadap penyakitpenyakit tersebut juga ditujukan untuk memperbaiki fungsi
endotel(1,2,7).
Obat-obat antihipertensi, yang terdiri dari banyak golongan, sering disebut memiliki efek perbaikan disfungsi endotel
sehingga memberi manfaat bagi pembuluh darah pada pasien
hipertensi(1,2,7).
Makalah ini akan membahas peranan endotel dalam
patofisiologi hipertensi dan pengaruh beberapa obat antihipertensi terhadap disfungsi endotel tersebut.

20 Cermin Dunia Kedokteran No. 147, 2005

ENDOTEL DAN DISFUNGSI ENDOTEL


Endotel
Endotel adalah lapisan sel epitelial yang berasal dari
mesoderm yang membatasi dinding pembuluh darah dan
dinding pembuluh limfe(8). Endotel terletak di antara sirkulasi
darah dan pembuluh darah. Pada orang dewasa dengan berat
badan 70 kg, endotel meliputi area seluas 700 m2 dengan berat
11,5 kg(1).
Endotel sebagai organ vasoaktif telah banyak dibicarakan
oleh berbagai ahli(1,2,4) sehingga endotel makin dikenal
peranannya bukan hanya dalam mensekresi substansi yang
mengatur struktur dan tonus pembuluh darah(1-4) namun juga
beberapa fungsi lain seperti pengaturan hemodinamik,
metobolisme, inflamasi(3,9), dan proses trombogenik(9).
FUNGSI DAN DISFUNGSI ENDOTEL
1. Fungsi Endotel
Fungsi utama endotel adalah : 1. mengatur tonus pembuluh
darah, 2. mengatur adesi lekosit dan inflamasi, dan 3.
mempertahankan keseimbangan antara trombosis dan
fibrinolisis(3). Fungsi endotel ini dilakukan oleh substansisubstansi khusus(1-5) yang dikelompokkan dalam 2 golongan
besar yaitu Endothelium Derived Relaxing Factors (EDRFs)
dan Endothelium Derived Contrcting Factors (EDCFs)
(Gambar 1 dan Tabel 1).
EDRFs
Substansi yang tergolong EDRFs adalah : nitric oxide
(NO), prostasiklin, dan faktor relaksasi hiperpolarisasi
(Endothelium Derived Hyperpolarizing Factor, EDHF)(3-5).
NO merupakan EDRFs terpenting yang terbentuk dari
transformasi asam amino L-arginin menjadi sitrulin(7,10) melalui
jalur L-arginine-nitric oxide(10) dengan bantuan enzim NO
sintetase (NOS). NO diproduksi atas pengaruh asetilkolin,
bradikinin, serotonin, dan bertindak sebagai reseptor endotel

spesifik(7). NOS diaktivasi oleh adanya robekan pada pembuluh


darah dan estrogen, sebaliknya aktivasi NOS dihambat oleh
asam amino dalam sirkulasi dan oleh ADMA (asymmetrical
dimethylarginine). Pada pembuluh darah, sintesis NO mempengaruhi tonus pembuluh darah sehingga berperan pada
pengaturan tekanan darah(3-5,9), selain itu pada sistem saraf
pusat NO merupakan neurotransmiter yang menjalankan
beberapa fungsi termasuk pembentukan ingatan(10).
Prostasiklin dihasilkan endotel sebagai respons adanya
shear stress dan hipoksia. Prostasiklin meningkatkan cAMP
pada otot polos dan trombosit(1).
NO(3,10) dan prostasiklin secara sinergistik menghambat
agregasi trombosit sehingga dengan adanya kedua zat ini
terjadilah penghambatan aktivasi trombosit secara maksimal(1).

endotelin-2, dan endotelin-3. Telah ditemukan dua reseptor


endotelin, yaitu reseptor ETA dan ETB. Reseptor ETB berperan
dalam pembentukan NO dan prostasiklin, hal ini menjelaskan
mengapa endotelin memiliki efek vasodilatasi sesaat(1).
ET-1 menyebabkan vasodilatasi pada konsentrasi rendah
dan terusmenerus menimbulkan kontraksi pada konsentrasi
tinggi sehingga dapat menyebabkan iskemi, aritmi dan
kematian (otot) jantung(5).
Angiotensin II menyebabkan proliferasi dan migrasi sel
otot polos melalui reseptor AT1, selain itu angiotensin II
memproduksi vasokonstriktor poten dan menyebabkan retensi
garam dan air. Hal ini merupakan komponen utama dalam
patogenesis berbagai penyakit vaskuler seperti hipertensi(4,5).

Trombosit

Trombosit

Endotel
vaskuler

Relaksasi

Kontraksi

Sel otot polos


vaskuler

Gambar 1. Faktor-faktor yang menimbulkan relaksasi dan kontraksi yang dihasilkan endotel(1)
Ang I/II=angiotensin I/II, Thr=thrombin, TGF1= transforming growth factor 1, Ach= asetilkolin, 5-HT=5-hydroxy triptamine, serotonin,
ET-1=endothelin-1, ADP=adenosine diphosphate, BK=bradikinin, ACE=angiotensin converting enzyme, ECE=endothelin converting
enzyme, TXA2=tromboxane A2, PGH2=prostaglandin H2, O2-=superoxide, L-Arg=L-Arginin, NOS=nitric oxide synthase, NO= nitric oxide,
EDHF= endothelium derived hyperpolarizing factor, ETA/B= endothelin receptor type A/B, AT1=angiotensin receptor type 1,
TX=thromboxane, PGI2=prostasiklin I2, cAMP=cyclic adenosin mono phosphate, cGMP= cyclic guanosine mono phosphate

EDCFs
Endotel juga menghasilkan faktor kontraksi yang disebut
EDCFs seperti ET-1 (endotelin-1), tromboksan A2 (TXA2),
prostaglandin H2 (PGH2) , dan angiotensin II(1,3,9).
Pembuluh darah intramiokard lebih sensitif terhadap efek
vasokontriksi ET-1 daripada arteri koronaria, sehingga endotel
berperan penting dalam pengaturan aliran darah koroner.
Hingga kini terdapat 3 isoform endotelin, yaitu : endotelin-1,

2.

Disfungsi Endotel
Pada keadaan tertentu seperti penuaan(1,2), menopause(1,2),
dan keadaan patologis seperti hipertensi(1-4), diabetes
melitus(1,2), aterosklerosis(1-4), sel endotel teraktivasi untuk
menghasilkan faktor konstriksi seperti EDCF (TXA2, PGH2)
dan radikal bebas yang menghambat efek relaksasi NO.
Radikal bebas dapat menghambat fungsi endotel dengan
menyebabkan rusaknya NO(7,9).

Cermin Dunia Kedokteran No. 147, 2005

21

Tabel 1. Pengaturan fungsi oleh endotel(4)


Fungsi
Vasorelaksasi

Vasokonstriksi

Anti trombosit

Antikoagulan

Substansi
EDRFs :
NO
Prostasiklin, PGE2, PGD2
EDHF
EDCFs :
Endotelin-1
TXA2
PGH2
Angiotensin II
Superoksida
NO
Eikosanoid
Prostasiklin
Prostasiklin E2
Trombomodulin
Glikosaminoglikan
Hepatan sulfat
Dermatin sulfat

Ketidakseimbangan antara faktor kontraksi dan relaksasi


yang terjadi pada endotel inilah yang disebut disfungsi
endotel(1-4). Sumber lain menyebutkan disfungsi endotel
merupakan perubahan fungsi sel endotel yang berakibat pada
kegagalan availabilitas NO, sehingga disfungsi endotel harus
dibedakan dari kerusakan endotel yang berarti terjadinya
kerusakan anatomi endotel(7)(Gambar 2).
Letak endotel pada pembuluh darah sangat menguntungkan tapi juga sekaligus merugikan, karena pada keadaan
hipertensi, diabetes melitus, dan hiperlipidemia, endotel menjadi sasaran (target organ) dari kerusakan akibat penyakitpenyakit tersebut(2).

S tim u la si

bilitas NO. Dibanding orang normal, pemberian infus LNMMA (NGmonomethyl-L-arginine) pada pasien hipertensi
esensial menyebabkan tonus pembuluh darah menjadi lebih
rendah dan tidak terjadi penurunan respons terhadap asetilkolin
(vasodilator yang tergantung endotel) atau bradikinin(5,7). Hal
ini menunjukkan adanya kerusakan NO dan munculnya
rangsangan pelepasan NO pada arteri pasien hipertensi
esensial. Kerusakan NO ini kemudian dibuktikan dengan
adanya penurunan kadar nitrit dan nitrat plasma, yang
merupakan produk akhir dari oksidasi NO(7).
Adanya penurunan respons terhadap agonis endotel pada
pasien hipertensi tampaknya tidak berhubungan dengan
kerusakan reseptor membran atau jalur transduksi sinyal karena
penurunan ini terjadi pada berbagai agonis yang bekerja pada
reseptor atau pada jalur transduksi intraseluler yang berbeda(7).
Pendapat lain menyatakan bahwa hipertensi esensial
berhubungan dengan perubahan fungsi dan morfologi endotel
menyebabkan peningkatan volume sel sehingga endotel
mencembung ke dalam lumen. Pada pembuluh darah yang
hipertensi interaksi antara endotel dengan trombosit dan
monosit meningkat(4).
Pengaruh NO dalam terjadinya disfungsi endotel pada
hipertensi diuji pada sebuah penelitian dengan hewan coba
tikus hipertensi. Pada tikus yang mengalami hipertensi spontan,
aktivitas NOS meningkat namun aktivitas biologis NO
menurun, hal ini mungkin menunjukkan adanya inaktivasi oleh
O2, dan selain itu produksi TXA2 dan PHG2 juga meningkat.
Pada tikus yang hipertensinya diinduksi dengan garam, terjadi
penurunan produksi NO. Produksi ET-1 meningkat pada tikus
yang diinduksi dengan garam namun menurun pada tikus-tikus

In h ib isi

Gambar 2. Stimulasi dan inhibisi faktor-faktor kontraksi dan dilatasi endotel(9)

DISFUNGSI ENDOTEL PADA HIPERTENSI


Mekanisme disfungsi endotel pada hipertensi
Hasil penelitian menunjukkan bahwa disfungsi endotel
pada hipertensi esensial disebabkan oleh penurunan availa-

22 Cermin Dunia Kedokteran No. 147, 2005

yang mengalami hipertensi spontan. Hal ini menunjukkan adanya heterogenisitas disfungsi endotel dalam hipertensi
(Gambar 3)(1,5).
Penelitian pada manusia juga menunjukkan bahwa pada
pasien hipertensi esensial terjadi penurunan vasodilatasi oleh

Hipertensi yang
diinduksi garam

Hipertensi genetik

Sel otot
polos
vaskuler

Kontraksi

Relaksasi

Kontraksi

Relaksasi

Gambar 3. Heterogenisitas disfungsi endotel pada hipertensi(1,5)

endotel. Hal ini ditunjukkan dengan terjadinya penurunan


respons terhadap asetilkolin yang merupakan vasodilator yang
tergantung pada endotel(11).
Peran stres oksidatif
Pendapat lain tentang mekanisme terjadinya kerusakan NO
adalah produksi stres oksidatif. Stres oksidatif yang berupa
ROS (Reactive Oxygen Species) terutama anion superoksida ini
dapat bergabung dan menghancurkan peroksinitrat yang
menghasilkan NO, sehingga terjadi efek negatif terhadap
struktur dan fungsi pembuluh darah(7).
Pendapat tentang peran stres oksidatif tersebut didukung
oleh adanya bukti bahwa asam askorbat(2,3,9), yang merupakan
scavenger radikal bebas, dapat meningkatkan respons terhadap
asetilkolin pada sirkulasi perifer dan pada arteri koroner
epikardial(7)dan arteri brakial(2) pasien hipertensi esensial.
Kemungkinan lain dari mekanisme penurunan produksi
NO adalah terbentuknya analog L-arginin yaitu ADMA (NG
NGdimethyl-L-arginine) yang merupakan kompetitor endogen
bagi NOS(7,9,10). Belakangan ditemukan bahwa kadar ADMA
plasma berhubungan dengan tekanan arteri rata-rata dan faktor
risiko kardiovaskuler lain(7).
Interaksi antara NO dan vasokonstriktor
Interaksi antara sistem NO dan vasokonstriktor endotel,
terutama ET-1(4,5) dan angiotensin II, berperan dalam patogenesis disfungsi endotel. Walaupun pada pasien hipertensi
tidak terdapat peningkatan kadar ET-1 plasma, namun terjadi
peningkatan aktivitas vasokonstriktor ET-1 akibat penurunan
NO. NO mampu menginhibisi produksi dan aktivitas ET-1, dan
pada hipertensi esensial kemampuan inhibisi ini menghilang
karena adanya penurunan produksi NO(7).
Angiotensin II memiliki efek yang berbeda pada sistem

NO. Walaupun reseptor AT1 menyebabkan penurunan NO,


namun stimulasi AT2 menyebabkan sintesis NO pada endotel.
Dengan demikian apakah angiotensin II akan mempengaruhi
fungsi atau disfungsi endotel, tergantung dari efek reseptor
mana yang lebih dominan(5,7).
DISFUNGSI ENDOTEL DAN OBAT ANTIHIPERTENSI
Obat antihipertensi adalah obat yang memberi efek
penurunan tekanan darah. Obat-obat ini terdiri dari berbagai
golongan, berdasar mekanisme kerjanya (Tabel 2). Sebagian
besar telah diteliti manfaatnya pada endotel, terutama efek
untuk menimbulkan vasodilatasi(3-5,7).
Tabel 2. Berbagai golongan antihipertensi dan contohnya(12)
Golongan
Penyekat beta ( blocker)
Antagonis kalsium
Penghambat EKA (ACE Inhibitor)
Antagonis reseptor angiotensin II

Contoh
Atenolol
Nebivolol
Karvedilol
Nifedipin
Verapamil
Diltiazem
Kaptopril
Kuinapril
Lisinopril
Losartan
Kandesartan
Telmisartan

Penyekat beta (beta blockers)


Penyekat beta merupakan golongan obat antihipertensi
yang bekerja dengan menghambat adrenoseptor saraf
simpatis sehingga menimbulkan efek penurunan rangsang
simpatis(12).
Beberapa penelitian telah dilakukan untuk menilai efekti-

Cermin Dunia Kedokteran No. 147, 2005

23

vitas penyekat beta dalam memperbaiki disfungsi endotel.


Pengunaan atenolol selama 1 maupun 3 tahun terbukti tidak
memperbaiki respons terhadap asetilkolin maupun bradikinin
sehingga tidak menyebabkan vasodilatasi(7).
Nebivolol yang memiliki profil vasodilatasi mampu
meningkatkan relaksasi yang tergantung pada endotel, terbukti
dengan terjadinya peningkatan FBF (fore-arm blood flow,
aliran darah lengan bawah) setelah pemberian infus nebivolol
pada arteri brakialis. Efek ini secara nyata dihambat oleh LNMMA dan diperbaiki oleh L-arginin. Namun demikian, pada
penelitian lain penggunaan nebivolol pada pasien hipertensi
tidak berhasil menunjukkan adanya efek vasodilatasi jika tidak
disertai dengan pemberian asam askorbat sebagai antioksidan(7).
Karvedilol terbukti potensial dalam memperbaiki fungsi
endotel dan meningkatkan efek antioksidan. Hal ini tampak
karena karvedilol dapat meningkatkan dilatasi arteri brakialis
pasien hipertensi esensial(7).
Antagonis kalsium
Antagonis kalsium adalah golongan obat yang bekerja
menghambat masuknya ion kalsium melalui kanal yang
terdapat pada membran sel sehingga menyebabkan vasodilatasi
dan penurunan tekanan darah(12).
Kalsium intraseluler berperan dalam banyak proses
intraseluler, yaitu dalam mekanisme pemberian sinyal. Pada
penyakit pembuluh darah, peningkatan kalsium intraseluler
berperan dalam aktivasi trombosit, vasokonstriksi, proliferasi
otot polos pembuluh darah, serta pelepasan substansi vasoaktif
oleh sel-sel endotel. Penghambat jalur kalsium menghalangi
masuknya kalsium intraseluler melalui voltage operated
channels ke dalam sel-sel otot polos, sehingga terjadi vasodilatasi terutama pada arteri-arteri besar. Selain itu, antagonis
kalsium mempermudah vasodilatasi yang diinduksi oleh NO.
NO menurunkan kalsium intraseluler melalui guanilil siklase
sehingga menimbulkan peningkatan cGMP intraseluler(5).
Terapi jangka panjang dengan nifedipin atau isradipin pada
tikus hipertensi spontan dapat memperbaiki relaksasi endotel
terhadap asetilkolin(5,13). Hal yang menarik adalah pada terapi
jangka panjang dengan verapamil, tapi tidak pada terapi jangka
pendek, terjadi peningkatan efek relaksasi pada tikus hipertensi
dengan defisiensi NO(5).
Pendapat lain juga menyebutkan bahwa antagonis kalsium
menurunkan efek kontraktilitas ET-1, karena produksi ET-1
berhubungan dengan Ca++ intraseluler, walaupun secara in vitro
maupun in vivo antagonis kalsium tidak mengubah kuantitas
produksi ET-1(5).
Selain itu, endotelin mempotensiasi efek vasokonstriktor
lain seperti serotonin dan norepinefrin, bahkan pada
konsentrasi yang tidak merangsang respons kontraktilitas. Efek
potensiasi tidak langsung dari endotelin ini disebabkan oleh
peningkatan sensitivitas kalsium dari sel-sel otot polos dalam
kondisi hipertensi. Beberapa studi menunjukkan bahwa
pembuluh darah kecil lebih tergantung pada masuknya kalsium
ekstraseluler ke dalam sel daripada pembuluh darah besar. Jadi
pada sirkulasi lengan manusia, pemberian verapamil dan
nifedipin intraarteri dapat menghambat efek vasokonstriksi

24 Cermin Dunia Kedokteran No. 147, 2005

endotelin endogen(5).
Data yang didapat dari berbagai penelitian menunjukkan
bahwa antagonis kalsium terutama kelas dihidropiridin seperti
nifedipin mampu meningkatkan relaksasi yang tergantung pada
endotel(7). Muncul pertanyaan, yaitu bagaimana antagonis
kalsium mampu menimbulkan aktivitas tersebut pada sel
endotel, mengingat fungsi sel endotel tidak tergantung pada
kerja kanal kalsium. Bukti dari penelitian menunjukkan bahwa
antagonis kalsium memiliki efek antioksidan yang menjaga sel
endotel terhadap kerusakan akibat radikal bebas sehingga
antagonis kalsium mencegah rusaknya NO pada keadaan
hipertensi, yang pada akhirnya mencegah disfungsi endotel(7).
Mungkin dengan mekanisme antioksidan tersebut pula
penelitian pada hewan membuktikan bahwa antagonis kalsium
mampu menghambat aterogenesis(2).
Penghambat Enzim Konversi Angiotensin (EKA)
Dalam sistem renin angiotensin, EKA mengubah angiotensin I menjadi angiotensin II(3-5,12). Walaupun perubahan
angiotensin I menjadi angiotensin II ini terjadi terutama di
paru-paru, ternyata ditemukan pula sistem EKA jaringan di
sepanjang endotel pembuluh darah(2).
Obatobat yang termasuk dalam penghambat EKA (ACE
inhibitor) bekerja dengan menghambat enzim ini sehingga
angiotensin II(12), yang merupakan salah satu EDCFs, tidak
terbentuk. Selain itu, EKA menyebabkan degradasi bradikinin
menjadi peptida inaktif sehingga pemberian penghambat EKA
akan menyebabkan bradikinin tidak diubah(2,5,7).
Dengan demikian, peran penghambat EKA dalam disfungsi endotel adalah meningkatkan kadar bradikinin yang
merupakan vasodilator serta mencegah efek angiotensin II yang
bersifat sebagai vasokonstriktor poten(2-5,7).
Pendapat lain menyatakan bahwa penghambat EKA
memperbaiki fungsi endotel yang mengatur pembentukan
superoksida, bahkan pada konsentrasi di bawah ambang dari
angiotensin II yang tidak meningkatkan tekanan darah dapat
melipatgandakan aktivitas NADH dan produksi superoksida(5).
Salah satu penelitian yang membuktikan hal ini adalah
studi TREND (Trial on Reversing ENdothelial Dysfunction)
yang menggunakan regimen kuinapril 40 mg/hari pada pasien
penyakit jantung koroner. Hasil penelitian ini menunjukkan
adanya penurunan vasokonstriksi pembuluh darah koroner(5,7)
dan peningkatan fungsi vasomotor pada endotel(4).
Terapi dengan cilazapril selama 2 tahun mampu
meningkatkan respons terhadap asetilkolin pada pasien hipertensi esensial, hal ini juga terjadi pada penggunaan lisinopril
selama 3 tahun. Pemberian perindroprilat intravena mengembalikan respons normal pembuluh darah terhadap
rangsang endotel. Bahkan pada pasien dengan penyakit arteri
koroner, ramipril 10 mg/hari selama 4 minggu mampu meningkatkan dilatasi. Selain itu, karena pemberian ramipril dapat
mempertahankan aktivitas vasodilatasi asam askorbat, diduga
penghambat EKA memiliki aktivitas antioksidan(7).
Efek penghambat EKA terhadap perbaikan fungsi endotel
juga berlaku pada sirkulasi ginjal. Pada pasien hipertensi,
penghambat EKA terbukti secara spesifik memperbaiki respons
vasodilatasi pembuluh darah ginjal(7).

Namun, apakah efek penghambat EKA pada fungsi


endotel ini merupakan class effect atau hanya melibatkan jenis
obat tertentu, masih merupakan kontroversi dan memerlukan
penelitian lebih lanjut(3).
Antagonis reseptor angiotensin II
Angiotensin II yang terbentuk dari perubahan angiotensin I
oleh EKA merupakan vasokonstriktor kuat yang menyebabkan
kenaikan tekanan darah(12). Selain itu, angiotensin II memiliki
efek negatif terhadap fungsi endotel yaitu menyebabkan
pelepasan ET-1 dari sel pembuluh darah, produksi vasokonstriktor PGH2 dari endotel dan penghambatan aktivitas
NOS. Lebih dari itu, penelitian pada tikus menunjukkan bahwa
angiotensin II meningkatkan produksi radikal bebas yang akan
merusak fungsi relaksasi asetilkolin(7).
Obat-obat yang termasuk dalam antagonis reseptor
angiotensin II bekerja dengan menduduki reseptor AT1 secara
kompetitif sehingga efek angiotensin II tidak terjadi(12).
Penelitian menunjukkan bahwa pemberian antagonis
reseptor angiotensin II seperti losartan dapat menyebabkan
produksi anion superoksida dan relaksasi asetilkolin kembali
normal. Pemberian losartan jangka panjang akan memperbaiki
disfungsi endotel karena terjadi peningkatan relaksasi oleh NO
dan turunnya pembentukan EDCFs(7).
Selain itu, karena antagonis reseptor angiotensin II hanya
menghambat reseptor AT1, angiotensin II dapat berikatan
dengan reseptor AT2. Hal ini mungkin dapat menguntungkan
karena pengikatan angiotensin II dengan reseptor AT2 akan
merangsang sintesis NO pada sel endotel(7).
Pada studi lain, penggunaan kandesartan 8-16 mg/hari
selama lebih dari 1 tahun tidak terbukti meningkatkan respons
terhadap asetilkolin. Namun demikian, kandesartan dinyatakan
memiliki efek positif karena dapat mempengaruhi aktivitas
endotelin dengan cara menghambat umpan balik angiotensin II
pada sintesis endotelin(7).
Demikian pula halnya dengan penggunaan telmisartan 4080 mg/hari selama lebih dari 6 bulan tidak berhasil
menunjukkan adanya perbaikan dilatasi pada pasien hipertensi
esensial(7).
Secara keseluruhan, peran antagonis reseptor angiotensin
II terhadap perbaikan fungsi endotel pada pasien hipertensi
masih membutuhkan pembuktian lebih lanjut.
KESIMPULAN
Endotel merupakan organ yang memiliki peran penting
dalam patogenesis berbagai keadaan patologis seperti
hipertensi, aterosklerosis, hiperkolesterolemi, diabetes melitus,

dan lain-lain. Peran penting endotel terletak pada fungsinya


dalam mensekresi berbagai substansi yang mengatur konstriksi
dan relaksasi pembuluh darah. Ketidakseimbangan antara
faktor konstriksi dan relaksasi tersebut dapat menyebabkan
keadaan disfungsi endotel yang pada akhirnya menyebabkan
gangguan pada organ.
Hipertensi esensial merupakan salah satu keadaan patologis yang berhubungan dengan disfungsi endotel. Kini berbagai antihipertensi diteliti peranannya dalam memperbaiki
disfungsi endotel sebagai keadaan yang mendasari terjadinya
hipertensi esensial.
Dari banyaknya golongan antihipertensi, beberapa di
antaranya memang sudah terbukti memperbaiki disfungsi
endotel melalui mekanisme penghambatan faktor konstriksi
maupun melalui mekanisme antioksidan. Namun demikian,
apakah efek obat yang sudah diteliti tersebut dapat mewakili
semua obat dalam golongannya, masih diperlukan banyak studi
dan pembuktian lebih lanjut.
KEPUSTAKAAN
1.

Luscher TF, Barton M. Biology of the endothelium. Clin. Cardiol.1997;


20 Suppl 2:3-10
2.
Cooke JP. Therapeutic interventions in endothelial dysfunction:
endothelium as a target organ. Clin Cardiol. 1997; 20 Suppl 2:45-51
3.
Sowinski KM. Endothelial function and dysfunction. Report of the
American College of Clinical Pharmacy 2000 Annual Meeting; 2000 Nov
5-8, Los Angeles, California
4.
Kadirvelu A, Chee KH, Chim CL. Endothelial dysfunction in
cardiovascular diseases. Med. Progr. 2002 : 4-12
5.
Sargowo D. Peran endotel pada patogenesis penyakit kardiovaskular dan
program pencegahannya. Medika 1999; 10 : 643-55
6.
Chambers JC, Fusi L, Malik IS, Haskard DO, de Swiet M, Kooner JS.
Association of maternal endothelial dysfunction with preeclampsia.
JAMA 2001; 285 : 1607-12
7.
Taddei S, Virdis A, Ghiadoni L, Sudano I, Salvetti A. Effects of
antihypertensive drugs on endothelial dysfunction. Drugs 2002; 62 : 26584
8.
Dorlands Illustrated Medical Dictionary, 27th ed., WB. Saunders, 1988 :
556
9.
Goligorsky MS, Gross SS. The ins and outs of endothelial dysfunction :
much a do about NO-thing. Drug New Perspect 2001; 14 : 133-42
10. Moncada S, Higgs A. The L-arginine-nitric oxide pathway. N Engl J Med
1993; 329 : 2002-12
11. Panza JA, Quyyumi AA, Brush JE, Epstein SE. Abnormal endotheliumdependent vascular relaxation in patients with essential hypertension. N
Engl J Med 1990; 323 : 22-7
12. Oates JA, Brown NJ. Antihypertensive agents and drug therapy of
hypertension. In: Hardman JG, Gilman AG, eds. The pharmacological
Basis of Therapeutics. 10th ed.New York : McGraw-Hill; 2001.p. 891-5
13. Tschudi MR, Criscione L, Novosel D, Pfeiffer K, Lscher TF. Antihypertensive therapy augments endothelium-dependent relaxations in coronary
arteries of spontaneously hypertensive rats. Circulation 1994; 89: 2212-8.

It is a great shame to man to have a poor heart and rich purse

Cermin Dunia Kedokteran No. 147, 2005

25

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

Gas Nitrogen Oksida : polutan


atau vital bagi kehidupan?
Jansen Silalahi
Jurusan Farmasi F-MIPA Universitas Sumatera Utara, Medan

ABSTRAK
Gas nitrogen oksida dihasilkan dari asam amino L-arginin oleh enzim nitric oxide
synthase dalam sel-sel mamalia termasuk manusia dan berfungsi sebagai mediator
biologis yang memungkinkan sel-sel berkomunikasi dengan sesamanya. Nitrogen
oksida yang diproduksi secara kontiniu oleh sel-sel endotelium berperan mengendalikan
tonus pembuluh darah, aliran darah, tekanan darah, fungsi platelet, gerakan saluran
pencernaan, saluran pernafasan dan saluran kemih. Nitrogen oksida dalam jumlah
banyak terbentuk karena respon sistim imunitas untuk mempertahankan diri; tetapi juga
dapat menimbulkan perubahan patofisiologis seperti hipotensi yang fatal dan mungkin
juga menyebabkan kerusakan jaringan. Pemahaman mekanisme fisiologis, pengembangan obat dan penerapan metode terapi baru dapat dikembangkan dengan mempengaruhi secara selektif baik peningkatan dan inhibisi produksi nitrogen oksida dalam
sistim biologis.
PENDAHULUAN
Nitrogen monooksida (NO), juga disebut nitrogen oksida
atau nitrat oksida (nitric oxide) adalah suatu gas tak berwarna,
tanpa oksigen larut di dalam air; pada kondisi seperti ini
nitrogen oksida sangat stabil. Di udara, nitrogen oksida cepat
bereaksi dengan oksigen membentuk NO2, suatu gas berwarna
yang dapat memicu kerusakan jaringan. Pada konsentrasi yang
sangat rendah, nitrogen oksida relatif stabil, walaupun ada
oksigen1,2. Di alam terbuka, nitrogen oksida terbentuk dengan
memanaskan udara pada suhu tinggi seperti dalam mesin mobil
dan waktu terjadinya petir. Dalam hal ini, nitrogen dan oksigen
yang ada di udara akan bereaksi membentuk nitrogen oksida.
Pada saat petir nitrogen oksida dapat berubah menjadi NO2;
nitrogen oksida dan NO2 akan terbawa ke tanah dan menjadi
pupuk alami. Akan tetapi di daerah perkotaan nitrogen oksida
dan NO2 merupakan oksida nitrogen yang terdapat dalam
knalpot mobil dan berperan dalam pembentukan kabut
fotokimia (photochemical smog)3,4,5; jadi dua puluh tahun yang
lalu gas nitrogen oksida masih dianggap sebagai polutan atau
pencemar udara. Tetapi pada tahun 1987 diketahui bahwa sel
mammalia memproduksi nitrogen oksida, dan satu tahun
kemudian diketahui bahwa sel berkomunikasi sesamanya

26 Cermin Dunia Kedokteran No. 147, 2005

dengan nitrogen oksida. Nitrogen oksida terbentuk dalam tubuh


yang berfungsi secara fisiologis, sehingga pada tahun 1992,
nitrogen oksida oleh para ahli dikategorikan sebagai molecule
of the year6,7.
Nitrogen oksida adalah suatu radikal bebas (memiliki satu
elektron yang belum berpasangan) sehingga sangat reaktif8.
Obat antiangina nitrat organik sebagai vasodilator, sekarang
diketahui ternyata bekerja dengan melepaskan nitrogen oksida.
Dari hasil penelitian ditemukan bahwa nitrogen oksida bukan
saja hanya sebagai vasodilator dan bronkhodilator tetapi juga
berperan dalam sistim kekebalan dan sistim saraf5,7. Nitrogen
oksida berfungsi sebagai messenger biologis yang penting
dalam berbagai fungsi biologis sebagai neurotransmitter,
pembekuan darah, pengendalian tekanan darah, dan pada
kemampuan sistim imunitas untuk membunuh sel-sel tumor
dan parasit intraseluler. Tetapi produksi yang berlebihan pada
kondisi tertentu dapat menimbulkan keadaan patologis1,2,7,9,10.
BIOSINTESIS
Nitrogen oksida disintesis di dalam sel oleh enzim nitric
oxide synthase (NOS). Genom manusia dan tikus mengandung
3 gen yang menghasilkan tiga nitrogen oxide synthase yang

berbeda yakni (1) neuronal NOS atau nNOS ditemukan dalam


neuron (2) inducible NOS atau iNOS terdapat dalam makrofag
(3) endothelial NOS atau eNOS atau cNOS ditemukan dalam
endotel yakni sel-sel yang terutama terdapat sepanjang lumen
pembuluh darah. Kadar enzim nNOS dan eNOS relatif stabil,
aktivitasnya tergantung pada kadar kalsium. Sebaliknya kerja
iNOS tidak tergantung pada kadar kalsium, tetapi pada adanya
rangsangan seperti masuknya parasit ke dalam tubuh, menghasilkan lebih banyak nitrogen oksida dalam waktu yang lebih
lama dan berperan penting pada sistim imunitas dan inflamasi.
Semua jenis NOS menghasilkan nitrogen oksida dari L-arginin
dengan bantuan oksigen molekuler dan NADPH1,5,11.
NOS

HOOC-CH-(CH2)3-NH-C-NH2+2O2
HOOC-CH-(CH2)3-NH-C-NH2 + NO+2H2O
2NADPH

NH2
Arginin

N+H2

NH2
Sitrullin

Nitrogen oksida dapat berdifusi bebas melalui membran


sel. Nitrogen oksida bersifat reaktif dan berinteraksi dengan
berbagai molekul sehingga cepat habis di sekitar lokasi tempat
disintesis; nitrogen oksida bekerja mempengaruhi sel-sel di
sekitar titik lokasi sintesis7. Nitrogen oksida terdapat di dalam
udara yang dikeluarkan pernapasan (exhaled air), dan jumlahnya meningkat pada saat olah raga. Inhibitor kompetitif NOS
telah diidentifikasi yakni derivat arginin seperti N-monometilL-arginin, dimetilamin arginin, merupakan bahan dan alat yang
penting dalam meneliti peran nitrogen oksida dalam sistim
biologis1,11,12.
METABOLISME
Afinitas hemoglobin sangat tinggi terhadap nitrogen
oksida (sekitar 3000 kali lebih kuat dibanding dengan oksigen),
sehingga gas nitrogen oksida dapat diberikan melalui inhalasi,
karena akan bergabung dengan hemoglobin sebelum bergabung
dengan oksigen. Dalam air dan plasma, nitrogen oksida
dioksidasi menjadi nitrit, yang stabil selama beberapa jam1;
tetapi dalam darah, nitrit cepat berubah menjadi nitrat sehingga
konsentrasi nitrit dalam darah rendah sementara nitrat 100 kali
lebih tinggi (30 mol per liter). Sintesis nitrat endogen pada
orang yang rendah asupan nitratnya meningkat pada diare dan
demam dan dua kali lipat selama latihan fisik. Konsentrasi
nitrit dan nitrat meningkat dalam plasma pasien dengan syok
septik. Nitrogen oksida juga cepat teroksidasi menjadi oksida
nitrogen yang lebih tinggi dan akan menyebabkan nitrosasi
molekul-molekul yang mengandung gugus sulfhidril seperti
glutation, sistein dan albumin. Di samping itu, nitrogen oksida
berinteraksi dengan protein yang mengandung heme termasuk
mioglobin, gugus prostetik dari guanylate cyclase yang larut,
dan enzim-enzim yang mengandung pusat ion besi-sulfur. Jadi,
metabolisme nitrogen oksida sangat rumit1,2. Dalam sistim
biologis nitrogen oksida cepat berubah menjadi nitrit dan nitrat,
dan reaksi ini dipicu oleh logam transisi termasuk besi.
Hemoglobin menonaktifkan nitrogen oksida dengan mengikatnya membentuk nitrosohaemoglobin, dan dengan mengubahnya menjadi nitrat dan nitrit, akan menghasilkan methaemoglobin2,13. Oleh karena itu darah manusia secara normal
mengandung methaemoglobin pada konsentrasi tidak melebihi

2%, jika kadarnya meningkat menjadi 20% dapat mengganggu


pengangkutan oksigen namun masih dapat ditoleransi. Darah
yang mengandung methaemoglobin yang tinggi disebut
methaemoglobinemi dengan gejala-gejala sianosis, sesak napas,
mual dan muntah, dan syok. Kematian dapat terjadi jika kadar
methaemoglobin mencapai 70%13.
Nitrogen Oksida Pada Sistem Kardiovaskular
Sintesis nitrogen oksida di endotelium vaskular berperan
sebagai vasodilator yang penting untuk mengatur tekanan darah;
nitrogen oksida dilepaskan secara kontinu dari endotelium
arterial dan arteriol. Dalam sistim saraf pusat, nitrogen oksida
adalah suatu neurotransmiter yang mendukung berbagai fungsi
seperti pembentukan memori. Pada tingkat perifer, jaringan
saraf yang semula dikenal sebagai nonadrenergik dan nonkolinergik, melalui mekanisme yang tergantung pada nitrogen
oksida berperan sebagai mediator berbagai bentuk vasodilatasi
neurogenik dan meregulasi fungsi saluran pencernaan, pernafasan, alat kelamin5,6. Nitrogen oksida juga berperan menghambat agregasi platelet dan regulasi kontraksi jantung.
Banyak fakta menunjukkan beberapa penyakit berkaitan
dengan gangguan pembentukan dan fungsi nitrogen oksida1.
Selain itu, nitrogen oksida diproduksi dalam jumlah besar
selama reaksi-reaksi imunologis untuk mempertahankan diri.
Karena nitrogen oksida memiliki sifat sitotoksis dan dibentuk
oleh makrofag yang aktif, nitrogen oksida tampaknya berperan
dalam imunitas nonspesifik. Akan tetapi, produksi nitrogen
oksida yang berlebihan terlibat dalam patogenesis septic shock,
sirosis dan inflamasi1,9,14.
Inhibitor derivat arginin seperti dimetil arginin bersifat
vasokonstriksi dan menyebabkan hipertensi. Inhibisi tidak terjadi pada otot polos dan tidak mempengaruhi sistim lain di
dinding vaskular; kerja inhibitor ini tidak tergantung pada
endotelium, dan sifat vasokontriksinya disebabkan oleh inhibisi
mekanisme vasodilator endogen. Fakta ini menggiring pada
kesimpulan bahwa vasodilator nitrogen oksida esensiil dalam
pengendalian aliran dan tekanan darah. Oleh karena itu, konsep
lama yang menyatakan bahwa sistim kardiovaskular sebagai
satu sistim jaringan yang resisten harus dievaluasi kembali.
Tonus vasodilator oleh nitrogen oksida tampaknya dipertahankan selama aktivitas fisik sel-sel endotelium oleh stimuli
seperti aliran, denyutan dan tekanan. Nitrogen oksida yang
dilepaskan dari neuron nonadrenergik dan nonkolinergik juga
berperan mengendalikan aliran dan tekanan darah1,11.
Penemuan tonus vasodilator ini menunjukkan keberadaan
sistim nitrovasodilator endogen, yang kerjanya menyerupai
kerja senyawa seperti nitrogliserin, natrium nitroprusid;
senyawa tersebut merupakan vasodilator yang efektif secara
klinis, ternyata aktivitasnya adalah melalui perubahannya
menghasilkan nitrogen oksida. Reaksi nitrogen oksida dengan
ion ferro dalam gugus prostetik heme pada guanylate cyclase
yang larut dalam sel-sel otot polos vaskular meningkatkan
konsentrasi cGMP yang menyebabkan relaksasi vaskular1,14.
Fungsi ini semuanya dimediasi oleh aktivasi guanylate cyclase
yang larut (soluble guanylate cyclase) yang menyebabkan
peningkatan konsentrasi cyclic guanosine monophosphate
(cGMP) pada sel target. Karena adanya tekanan atau aktivasi

Cermin Dunia Kedokteran No. 147, 2005

27

reseptor pada endotelium vaskular oleh bradikinin atau asetilkolin, menyebabkan influks kalsium. Konsekuensi peningkatan
kalsium intraseluler merangsang eNOS. Nitrogen oksida yang
terbentuk dari L-arginin oleh enzim ini berdifusi ke sel-sel otot
polos yang terdekat, dan menstimulasi guanylate cyclase, yang
menyebabkan peningkatan sintesis cGMP dari guanosine
triphosphate (GTP)1.
Nitrogen oksida juga menghambat agregasi platelet melalui suatu mekanisme yang tergantung pada cGMP dan
bersinergi dengan prostasiklin, yang akan menghambat agregasi platelet. Tidak seperti prostasiklin, nitrogen oksida juga
menghambat adhesi platelet. Di samping itu platelet sendiri
menghasilkan nitrogen oksida yang akan bekerja sebagai suatu
mekanisme negative-feedback untuk menghambat aktivasi
platelet. Maka, agregasi platelet in vivo mungkin dikendalikan
oleh nitrogen oksida yang dihasilkan platelet dan juga oleh
nitrogen oksida dan prostasiklin yang dihasilkan oleh endotelium vaskular. Oleh karena itu, nitrovasodilator dikombinasikan dengan prostasiklin merupakan suatu pengobatan antithrombotik1,5.
Beberapa contoh sediaan farmasi (obat paten) antara lain
adalah Nitromack retard, Nitrocine, Nitrostat, Vascardin. Obat
ini mengandung senyawa organik nitrat yakni nitrogliserin dan
sejenisnya yang digunakan pada pengobatan angina pektoris
dan penyakit jantung koroner untuk berperan sebagai vasodilator koroner, relaksan otot polos, mencegah agregasi platelet
dengan cara melepaskan nitrogen oksida sebagai zat aktifnya5,14,15. Alpha-tokoferol dan gamma-tokoferol meningkatkan
produksi nitrogen oksida dan aktivitas NOS, sementara
gamma-tokoferol juga mencegah perubahan nitrogen oksida
menjadi NO2. Dengan demikian, berarti antioksidan melindungi nitrogen oksida sehingga memperpanjang aktivitasnya
yang berdampak positif pada kesehatan kardiovaskular2,9.
IMPLIKASI KLINIS
Relaksasi endotelium lebih nyata pada arteri daripada vena
yang berarti bahwa arteri lebih banyak memproduksi nitrogen
oksida daripada vena. Gliseril nitrat memberi efek dilatasi pada
vena; karena vena mensintesis lebih sedikit nitrogen oksida dibandingkan dengan arteri, vena lebih peka terhadap nitrogen
oksida dari luar (gliseril nitrat)2,5.
Relaksasi endotelium pada arteri koroner yang telah mengalami penebalan (atherosclerotic coronary arteries) berkurang
sedangkan pengaruh dan kepekaan terhadap vasokonstriktor
meningkat. Pemberian arginin dapat menormalkan gangguan
vaskular ini pada individu dengan hiperkolesterolemi. Pemberian arginin akan mencegah hipertensi pada hewan percobaan yang berbakat menderita hiperkolesterolemi dan juga
menyebabkan penurunan tekanan sistolik dan diastolik yang
cepat jika diberikan pada orang normal dan pasien dengan
hipertensi esensial1.
Turunan arginin yang termetilasi seperti N-N-dimetilarginin, N-monometilarginin, adalah inhibitor NOS yang
terdapat dalam plasma dan urin. Senyawa ini terakumulasi
dalam plasma pasien yang mengalami gagal ginjal akut.
Inhibisi NOS oleh senyawa ini dapat menjelaskan, paling tidak
ikut berperan pada, keadaan hipertensi dan gangguan sel darah

28 Cermin Dunia Kedokteran No. 147, 2005

putih yang terjadi pada kondisi ini1,2.


Inhalasi gas nitrogen oksida pada saluran pernapasan menyebabkan penurunan hipertensi pulmonal. Pemberian nitrogen
oksida secara inhalasi (18-36 ppm) selama tujuh hari dapat
memperbaiki fungsi paru pasien, yang menunjukkan bahwa
inhalasi nitrogen oksida membantu penyembuhan gangguan
paru-paru. Perlu dicatat bahwa nitrogen oksida endogen
ditemukan dalam udara yang dikeluarkan dari pernapasan
(exhaled air) dengan konsentrasi 5-20 ppb1,7.
Sistim Saraf Pusat dan Perifer
Nitric oxide synthase telah dideteksi dengan jumlah yang
beragam di semua daerah di otak manusia. Fakta menunjukkan
bahwa nitrogen oksida berperan dalam pembentukan memori.
In vitro, sesudah rangsangan reseptor spesifik, nitrogen oksida
dilepaskan dari postsinap dan bekerja pada presinap satu saraf
atau lebih pada berbagai arah. Nitrogen oksida dapat berperan
sebagai pembawa balik berita, sehingga sel-sel postsinap dapat
mengirim kembali signal ke neuron presinap. Hal ini akan
meningkatkan pelepasan glutamat sehingga terjadi peningkatan
transmisi sinaptik, suatu fenomena yang dikenal dengan long
term potentiation (potensiasi jangka panjang), dan diduga
terkait dengan pembentukan memori. Percobaan pada hewan
menunjukkan bahwa nitrogen oksida terlibat dalam memori,
karena inhibisi sintesis nitrogen oksida in vivo ternyata
mengganggu proses pembelajaran1,2,5.
Nitrogen oksida juga ditemukan dalam sebagian saraf
perifer yang mungkin berperan terhadap transmisi sensorik, dan
juga menjadi transmiter atau modulator dalam saraf nonadrenergik dan nonkolinergik. Di saluran pencernaan tikus,
nitrogen oksida menjadi mediator beberapa bentuk relaksasi,
termasuk dilatasi lambung dalam menyesuaikan tekanan dalam
lambung. Pada manusia, inhibitor NOS menurunkan relaksasi
elektris. Maka, sebagaimana dengan sistim kardiovaskular,
tampaknya nitrogen oksida sangat berperan pada fungsi fisiologis organ-organ saluran pencernaan1,2.
Jalur L-arginin-nitrogen oksida bertanggung jawab untuk
relaksasi bagian rongga dan oleh karena itu berperan pada
ereksi penis manusia. Nitrogen oksida terdapat dalam jaringan
penis berbagai hewan, juga manusia. Di samping itu, dosis
kecil inhibitor NOS akan menurunkan ereksi penis tikus yang
dipicu secara elektris. Jadi, nitrogen oksida diduga merupakan
mediator terakhir pada ereksi penis. Selama hubungan seks,
ereksi penis dimediasi oleh pelepasan nitrogen oksida dari
ujung saraf yang dekat ke pembuluh darah penis. Relaksasi
pembuluh darah ini menyebabkan darah menumpuk dalam
penis yang menyebabkan ereksi terjadi1,5. Menginhibisi sintesis
nitrogen oksida pada tikus memicu aktivitas berlebihan
kandung kemih dan mengurangi kapasitasnya.
Ada sistim saraf yang tersebar luas dalam tubuh yang
menggunakan nitrogen oksida sebagai neurotransmitter. Sarafsaraf ini terbukti penting sebagaimana halnya dengan saraf
adrenergik dan kolinergik, dan tidak berfungsinya sistim ini
dapat menyebabkan berbagai gangguan termasuk impotensi1.
Cara kerja obat sildenafil sitrat (Viagra) adalah dengan
menghambat penguraian nitrogen oksida sehingga efek fisiologis nitrogen oksida meningkat dan lebih lama bertahan5.

Juga diyakini bahwa nitrogen oksida bekerja dalam sistim


reproduksi bukan hanya pada proses ereksi. Pada saat terjadi
kontak antara sperma dan telur, pelepasan nitrogen oksida oleh
sperma mengaktifkan sel telur untuk melangsungkan meiosis
dan langkah lain dari proses pembuahan. Akrosom pada bagian
kepala sperma mengaktifkan nitrogen oksida sintase pada saat
memasuki sel telur. Pelepasan nitrogen oksida dalam sel telur
sangat penting untuk memicu tahap berikutnya dalam proses
menghalangi masuknya sperma lain dan mengatur pronuklei
untuk pembelahan. Pelepasan nitrogen oksida di sekitar glomerulus ginjal meningkatkan aliran darah yang melaluinya sehingga laju penyaringan dan pembentukan urin akan meningkat1,5.
Nitrogen Oksida dalam Imunitas dan Inflamasi
Satu abad yang lalu diyakini bahwa resistensi terhadap
kanker disebabkan adanya imunitas nonspesifik. Fenomena ini
dikaitkan dengan aktivitas makrofag. Data saat ini
mengindikasikan bahwa imunitas nonspesifik ini berkaitan
dengan induksi NOS. Jika hal ini benar, imunitas nonspesifik
karena nitrogen oksida adalah suatu fenomena umum yang
meliputi bukan hanya sistim retikuloendotel tetapi juga sel-sel
nonretikuloendotel seperti hepatosit, otot polos vaskular, dan
endotelium vaskular yang di dalamnya mengandung NOS.
Dalam organ paru-paru dan hati, sistim imunitas nonspesifik
karena nitrogen oksida ini tampaknya sangat penting, karena
kedua organ ini berada pada posisi yang sangat strategis dalam
sistim sirkulasi sebagai filter pertahanan tubuh. Nitrogen oksida
juga terlibat dalam imunitas spesifik, tetapi mekanismenya
belum diketahui dengan tuntas1,2.
Nitrogen oksida berperan secara parsial dalam inflamasi
akut dan kronis. Pengobatan dengan inhibitor NOS mengurangi
tingkat inflamasi akut pada tikus, sedangkan arginin bekerja
sebaliknya. Konsentrasi nitrit dalam plasma dan cairan sinovial
meningkat pada pasien artritis rematoid dan penyakit sendi
degeneratif1. Sumber nitrogen oksida dalam proses inflamasi
belum jelas, tetapi mungkin berasal dari pembuluh darah,
neutrofil dan makrofag. Nitrogen oksida diduga dapat merusak
jaringan, karena bersifat sitostatik atau sitotoksik tidak hanya
terhadap mikroba tetapi juga terhadap sel-sel penghasil
nitrogen oksida dan terhadap sel tetangganya. Kerusakan
jaringan dan sel dapat terjadi karena terbentuknya peroksinitrit
(ONOO-) hasil reaksi antara nitrogen oksida dengan
superoksida (O2._) yang terbentuk pada keadaan inflamasi. Di
samping itu, ONOO- juga dapat terurai menjadi zat toksis
seperti nitrogen dioksida15,18,19. Tetapi nitrogen oksida berperan
ganda yakni di satu pihak bersifat sitotoksik dan juga sebagai
vasodilator sehingga akan bersifat protektif. Dengan demikian
nitrogen oksida tampaknya bersifat multifungsi dalam reaksi
inflamasi, mulai dari vasodilator dan pembentukan edema,
modulasi ujung saraf sensoris dan aktivitas leukosit, sampai ke
toksisitas jaringan1,7,19.
Aktivasi makrofag oleh lipopolisakarida dan gamma
interferon, baik secara tersendiri atau bersamaan, menimbulkan
induksi NOS yang tidak tergantung pada kalsium (calcium
independent nitric oxide synthase). Induksi yang demikian
menyebabkan produksi berkesinambungan nitrogen oksida,
yang berdifusi ke sel target seperti sel-sel tumor, bakteri, fungi

dan cacing. Di sini, nitrogen oksida bergabung dengan inti


pusat besi dan sulfur dalam enzim kunci dari siklus pernapasan
dan jalur sintesis DNA. Enzim-enzim tersebut antara lain
adalah aconite hydratase, NADH dehydrogenase, succinateNADH dehydrogenase, dan ribonucleoside diphosphate
reductase1,17.
Nitrogen Oksida pada Keadaan Patologis
Produksi iNOS dalam dinding pembuluh dapat diinduksi
oleh sitokin dan oleh endotoksin lipopolisakarida yang bekerja
melalui pelepasan sitokin. Induksi ini terjadi baik dalam sel-sel
endotelium dan otot polos. In vitro, terjadi relaksasi yang
resisten terhadap vasokonstriktor tetapi dapat dicegah dengan
glukokortikoid dan inhibitor NOS. Pada syok endotoksin pada
hewan peningkatan produksi nitrogen oksida berhubungan
langsung dengan tingkat hipotensi. Nitrogen oksida yang
dilepaskan oleh enzim iNOS ini menyebabkan vasodilatasi dan
bersifat resisten terhadap vasokonstriktor seperti pada septik
syok, dan pada hipotensi karena terapi sitokin pada pasien
kanker1,2,5.
Inhibitor NOS dapat mencegah hipotensi pada hewan yang
diinduksi dengan lipopolisakarida dan pada hewan dengan syok
hemoragik dan anafilaktik. Pada pasien syok septik, dosis rendah monometil arginin pada terapi standar, memulihkan hipotensi. Percobaan hewan menunjukkan bahwa tingkat inhibisi
terhadap sintesis nitrogen oksida menjadi sangat penting untuk
menentukan hasil yang akan dicapai, karena dosis tinggi akan
menjurus ke vasokonstriksi kuat, yang dapat menyebabkan kerusakan organ, dan kematian. Efek ini terjadi pada kondisi tertentu seperti syok septik, karena pada kondisi ini hipotensi
terjadi bersamaan dengan peningkatan konsentrasi vasokonstriktor sirkulasi. Salah satu cara untuk mengatasi hal ini adalah
menghambat total pembentukan nitrogen oksida endogen dan
diikuti dengan pemberian nitrovasodilator untuk mengatasi
hipertensi dan mempertahankan homeostasis vaskular. Perlakuan demikian juga akan menghalangi agregasi platelet yang
mungkin terjadi selama inhibisi sintesis nitrogen oksida1,2.
Endotoksin juga menginduksi NOS dalam otot polos vena,
dan dalam miokardium dan endokardium, peningkatan sintesis
nitrogen oksida oleh enzim ini dapat menimbulkan disfungsi
jantung jika terjadi endotoksinemia. Lagi pula, disfungsi
jantung akibat dilatasi juga karena induksi enzim ini. Maka,
dalam jantung sebagaimana dalam sistim vaskular, nitrogen
oksida mempunyai peran fisiologis jika diproduksi oleh enzim
eNOS yang biasanya terdapat dalam miokardium; dan dapat
menjadi patologis, menyebabkan dilatasi dan kerusakan jaringan jika diproduksi dalam jumlah banyak dalam jangka lama
oleh enzim iNOS. Konsentrasi nitrat dan nitrit serum, metabolit
oksidasi nitrogen oksida, menjadi relevan pada pasien dengan
sirosis, terutama dengan sindrom hepatorenal, dan konsentrasi
ini berkorelasi dengan tingkat endotoksinemia1,2,5.
KESIMPULAN
Nitrogen oksida adalah mediator penting pada proses
homeostasis dan mekanisme pertahanan. Penyimpangan pembentukan dan aktivitasnya bersifat patologis. Produksi nitrogen

Cermin Dunia Kedokteran No. 147, 2005

29

oksida yang berlebihan pada keadaan infeksi serius seperti syok


septik menyebabkan dilatasi vaskuler yang kuat dan diikuti
dengan hipotensi yang fatal. Bagaimana perubahan konsentrasi
L-arginin mempengaruhi inisiasi, perkembangan, dan resolusi
dari sebagian kondisi patologis ini belum diketahui. Sejauh ini,
tampaknya peningkatan asupan arginin mempengaruhi reaktivitas vaskular dan menurunkan ketebalan intima pada aterosklerosis dan juga dapat mengurangi tekanan darah dan
pertumbuhan berlebihan dari sel-sel otot polos pada hipertensi.
Efek fisiologis dapat dimodifikasi dengan cara meningkatkan
konsentrasi aktif nitrogen oksida endogen seperti memperpanjang waktu paruh atau lamanya aktivitas. Senyawa nitrat
organik yang dapat menghasilkan nitrogen oksida dapat
digunakan untuk tujuan terapi jika produksi nitrogen oksida
terganggu. Inhalasi nitrogen oksida telah terbukti bermanfaat
pada pengobatan hipertensi pulmoner dan gangguan pernafasan
pada bayi dan orang dewasa.
Inhibitor nitrogen oksida synthase yakni derivat arginin
seperti monometil arginin, dimetil arginin sangat bermanfaat
sebagai alat untuk meneliti fungsi fisiologis nitrogen oksida.
Inhibisi selektif produksi nitrogen oksida membuka kemungkinan untuk tujuan terapi. Kadar produk sampingan produksi
nitrogen oksida dari arginin seperti nitrit, nitrat, L-sitrullin
dalam sistim biologis dapat menjadi alat untuk memantau
kondisi patologis dan perkembangan terapi yang dilakukan.

6.

KEPUSTAKAAN

18.

1.
2.
3.
4.
5.

Moncada S, Higgs A. The L-Arginine-Nitric Oxide Pathway. N Engl J


Med. 1993; 329: 2002-12.
Valiance P, Collier J. Biology and Clinical Relevance of Nitric Oxide.
BMJ 1994; 309 (August): 453-7.
Kiely G. Environmental Enginering. Mc Graw-Hill. New York. 1998:
341-4.
Silberberg MS. Chemistry: The Molecular Nature of Matter and Change.
2nded. Sydney: Mc Graw Hill. 2000: 575- 576.
Nitric Oxide (NO). http://users.rcn.com/jkimball.ma.ultranet/Biology
Pages/N/NO.html (diakses October 2003).

30 Cermin Dunia Kedokteran No. 147, 2005

7.
8.
9.
10.

11.

12.
13.
14.
15.
16.
17.

19.
20.
21.

Cassens RG. Use of Sodium Nitrite in Cured Meats Today. Food Technol.
1995(July): 72 - 80.
Lazarus SC. Just say NO: Nitric oxide and its role in allergic disease.
American Academy of Allergy, Asthma and Immunology 56th Annual
Meeting: Day 2. March 5, 2000
Silalahi J. Free radicals and antioxidant vitamins in degenerative diseases.
Maj. Kedokt. Indon. 2001; 51:1(1): 16-21.
Papas AM. Beyond alpha-tocoferol: The role of the other tocoferols and
tocotrienols. In: Meskin MS, Bidlack WR, Davies AJ., Omaye ST (eds).
Phytochemicals in Nutrition and Health. CRC. London. 2002: 61-77.
Sumanont Y, Murakami Y, Tohda M., Vajragupta O, Matsumoto K,
Watanabe H. Evaluation of the Nitric Oxide Radical Scavenging Activity
of Manganese Complexes of Curcumin and Its Derivative. Biol. Pharm.
Bull. 2004; 27(2): 170-173.
Ruschitzka FT, Wenger RH, Stallmach T, Gassmann M. et al. Nitric
oxide prevents cardiovascular disease and determines survival in
polyglobulic mice overexpressing erythropoietin. Proc. Natl. Acad. Sci.
2000: 92 (21): 11609-11613.
Adachi H, Nguyen PH, Belardinelli R, Jung T, Wasserman K. Nitric
Oxide Production during Exercise in Chronic Heart Failure. Am. Heart J.
1997:134(2): 196-203.
Finan A, Keenan P, Donovan F, Mayne P. Methemoglobinemia
associated with sodium nitrite and nitrate in three siblings. BMJ 1998;
317(24 Oct): 1138 - 9.
Breckenridge A. Recent Advances: Clinical pharmacology and therapeutics. BMJ 1995;310: 377- 80.
Informasi Spesialite Obat (ISO) Indonesia. ISFI. Jakarta, 2002.
Woodley M, Whelan A. Pedoman Pengobatan. Yogyakarta:Yayasan
Essentia Medica.. 1995: 131-135.
Shen JG, Zhao JL, Li MF, Wan Q, Xin WJ. Inhibitory effects of Ginkgo
Biloba Extract (EGb 761) on Oxygen free radicals, Nitric oxide, Myocardial Injury in Isolated Ischemic-Reperfused Hearts. In: Packer L,
Traber MG, Xin W. (eds). Proc. Internat. Symposium on Natural Antioxidants. June 20-24. 1995. Peking, China. AOAC Press. 1996: 453-65.
Zhang Z, Frears ER, Blake RD, Winyard PG. Inactivation of alphaProteinase Inhibitor by Simultaneous Generation of Nitric oxide and
Superoxide. In: Packer L, Traber MG, Xin W. (eds). Proc. Internat.
Symposium on Natural Antioxidants. June 20-24. 1995. Peking, China.
AOAC Press. 1996: 359-66.
Kikugawa K, Hiramoto K, Ohkawa T. Effects of Oxygen on the
Reactivity of Nitrogen Oxide Species Including Peroxynitrite. Biol.
Pharm. Bull. 2004: 27(1):17-23.
Friel JP. Kamus Kedokteran Dorland Edisi 26. Diterjemahkan oleh Tim
Penerjemah EGC. Jakarta. 1996
Wardlaw GM, Kessel MW. Perspective in Nutrition. 5th ed. McGraw-Hill.
2002: 249.

LAPORAN KLINIS

Pengalaman Klinis
Transplantasi Jantung
Yanto Sandy Tjang, Gero Tenderich, Lech Hornik, Michiel Morshuis,
Kazutomo Minami, Richardus Budiman, Reiner Krfer
Bagian Bedah Thoraks dan Kardiovaskuler, Pusat Jantung dan Diabetes Nordrhein Westfalen/
RS Pendidikan Universitas Ruhr Bochum, Bad Oeynhausen, Jerman

ABSTRAK
Meningkatnya umur harapan hidup, kemajuan bidang prevensi dan diagnosis serta
terapi dasar penyebab penyakit kardiovaskuler telah memberikan sumbangan besar
bagi meningkatnya jumlah penderita gagal jantung kronis. Prevalensi penyakit ini
meningkat sesuai dengan usia, berkisar dari <1% pada usia <50 tahun hingga 5% pada
usia 50-70 tahun dan 10% pada usia >70 tahun. Prognosis penderita gagal jantung
kronis sangatlah buruk jika penyebab yang mendasarinya tidak ditangani. Hampir 50%
penderita gagal jantung kronis meninggal dalam kurun waktu 4 tahun; 50% penderita
stadium akhir meninggal dalam kurun waktu 1 tahun. Meskipun berbagai terapi gagal
jantung kronis baik yang bersifat non farmakologis, farmakologis maupun bedah telah
berkembang pesat, transplantasi jantung masih merupakan pilihan terapi utama bagi
penderita gagal jantung. Pada 3 Desember 1967, di Afrika Selatan, Christian Barnard
berhasil melakukan transplantasi jantung orthotopik antar manusia untuk pertama kali.
Keberhasilan ini segera diikuti oleh pusat transplantasi jantung lainnya di berbagai
belahan dunia. Meningkatnya angka harapan hidup pasca transplantasi jantung tidak
hanya ditentukan oleh makin baiknya mutu perawatan pasca bedah, namun juga akibat
makin baiknya sistem seleksi kandidat transplantasi. Selain itu seleksi donor juga
sangat menentukan keberhasilan transplantasi jantung.
Sejak dimulainya program transplantasi di Pusat Jantung & Diabetes NRW di Bad
Oeynhausen, Jerman pada 13 Maret 1989, sebanyak 1406 transplantasi jantung
orthotopik telah berhasil dilakukan. Angka harapan hidup berkisar antara 80%, 69%,
54% dan 39% berturut-turut pada tahun pertama, ke lima, ke sepuluh dan ke lima belas.
Kata kunci: Gagal jantung, transplantasi jantung, angka harapan hidup.
PENDAHULUAN
Gagal jantung kronis sebagai penyebab utama kematian di
negara industri, saat ini juga menjadi salah satu penyebab
kematian utama di negara-negara berkembang(1). Di samping
meningkatnya umur harapan hidup manusia, kemajuan bidang
prevensi dan diagnosis serta terapi dasar penyebab penyakit
kardiovaskuler telah memberikan sumbangan besar bagi meningkatnya jumlah penderita gagal jantung kronis. Saat ini
diperkirakan hampir 5 juta penduduk di AS menderita gagal
jantung, dengan 550.000 jumlah kasus baru terdiagnosis setiap
tahunnya(2). Di samping itu gagal jantung kronis juga menjadi

penyebab 300.000 kematian setiap tahunnya. Lebih dari 34


milyar USD dibutuhkan setiap tahunnya untuk perawatan
medis penderita gagal jantung kronis ini. Bahkan Eropa
diperkirakan membutuhkan sekitar 1% dari seluruh anggaran
belanja kesehatan masyarakat(3).
Prevalensi gagal jantung kronis meningkat sesuai dengan
umur, berkisar dari <1% pada usia <50 tahun hingga 5% pada
usia 50-70 tahun dan 10% usia >70 tahun(2). Prognosis
penderita gagal jantung kronis sangatlah buruk jika penyebab
nya tidak ditangani. Hampir 50% penderita gagal jantung
kronis meninggal dalam kurun waktu 4 tahun ; 50% penderita

Cermin Dunia Kedokteran No. 147, 2005

31

stadium akhir meninggal dalam kurun waktu 1 tahun(4)


Meskipun berbagai kemajuan terapi gagal jantung kronis
baik yang bersifat non farmakologis, farmakologis maupun
secara bedah telah berkembang dengan pesat, transplantasi
jantung masih merupakan pilihan terapi utama bagi penderita
gagal jantung stadium akhir. Artikel ini bertujuan memberikan
gambaran tentang sejarah, indikasi, kontraindikasi transplantasi
jantung dan kriteria donor jantung serta pengalaman klinis
transplantasi jantung di pusat jantung kami.
SEJARAH TRANSPLANTASI JANTUNG
Rasa ingin tahu manusia yang tidak terbatas serta
keinginan hidup abadi tercermin secara nyata sejak tahap awal
sejarah transplantasi jantung. Oleh sebab itu, ide penggantian
jantung yang rusak dengan yang baru telah berkobar dalam
imajinasi manusia sejak beberapa abad yang lalu. Beberapa
catatan sehubungan dengan transplantasi jantung dapat
ditemukan dalam Kitab Perjanjian Lama maupun dalam cerita
mitologi Cina.(5,6,7).
Karya pionir Alexis Carrel di awal abad ke-20 telah
membawa ide transplantasi jantung keluar dari alam mitologi
dan menjadi kenyataan; bersama Morel, dia mengembangkan
teknik jahitan vaskuler di Perancis. Pada tahun 1904, dia
pindah ke Universitas Chicago dan setahun kemudian bersama
Charles Guthrie melakukan transplantasi jantung pertama pada
anjing yang hanya bertahan hidup selama 2 jam(8) . Untuk karya
besar ini, Carrel menerima Penghargaan Nobel di bidang
kedokteran di tahun 1912. Pada tahun 1933 Frank C. Mann
mengembangkan penelitian untuk mempelajari fisiologi dan
imunologi transplantasi jantung(9). Dialah yang pertama
menggambarkan perubahan patologi reaksi penolakan organ
dan mengkaitkannya dengan inkompatibilitas biologis antara
donor dan resipien. Berbagai penelitian eksperimental lainnya
terus berkembang untuk menyempurnakan transplantasi
jantung(10). Pada tahun 1951 Demikhov dari Rusia memelopori
transplantasi jantung-paru pada anjing(11). Penggabungan transplantasi jantung-paru ini bertujuan untuk menyederhanakan
teknik operasi. Penelitian penting lainnya berasal dari Lower
dan Shumway, yang pada tahun 1960 melaporkan transplantasi
jantung dengan menggunakan gabungan teknik bedah sederhana dengan upaya proteksi organ pada anjing; 5 dari 8 anjing
yang ditransplantasi jantungnya hidup kembali normal, namun
karena tidak mendapatkan obat imunosupresif, hewan-hewan
tersebut kemudian meninggal. Diperkirakan penyebab kematiannya adalah reaksi penolakan organ(12) .
Fase klinis transplantasi jantung dimulai pada tahun 1964.
James Hardy saat itu merencanakan transplantasi jantung dari
seorang lelaki muda yang meninggal karena kerusakan otak
irreversibel kepada seorang lelaki penderita gagal jantung
kronis berusia 68 tahun. Penderita itu tiba-tiba menjadi tidak
stabil namun karena si donor masih hidup (dalam arti belum
berhentinya fungsi jantung-paru, menurut definisi konsep mati
pada waktu itu), transplantasi jantung belum dapat dilaksanakan. Hardy terpaksa mentransplantasikan jantung seekor
simpanse. Meskipun secara teknis transplantasi ini sangat
memuaskan, jantung simpanse tersebut ternyata terlalu kecil

32

Cermin Dunia Kedokteran No. 147, 2005

sehingga tidak mampu mengambil alih fungsi sirkulasi manusia


yang menyebabkan penderita tersebut meninggal beberapa saat
kemudian(13). Christian Barnard tiba-tiba mengejutkan seluruh
dunia ketika pada tanggal 3 Desember 1967 berhasil melakukan transplantasi jantung antar manusia pertama kalinya di RS
Groote Schuur Cape Town, Afrika Selatan. Louis Washkansky,
lelaki berusia 54 tahun dengan gagal jantung stadium akhir
memperoleh donor jantung dari seorang wanita muda berusia
24 tahun yang didiagnosis menderita kerusakan otak berat
akibat kecelakaan lalu lintas. Sayangnya, resipien hanya
mampu bertahan hidup selama 18 hari dan meninggal karena
radang paru-paru(14). Keberhasilan ini segera diikuti oleh pusat
transplantasi jantung lainnya di berbagai belahan dunia. Meskipun hasil awal kurang memuaskan, dengan makin baiknya
kriteria seleksi donor dan resipien, penanganan terhadap
infeksi, penemuan teknik biopsi endomiokard untuk mendeteksi reaksi penolakan akut dan penemuan obat imunosupresif,
angka harapan hidup telah mencapai sekitar 80% di tahun
pertama(15) dan 70% di tahun ke lima(16). Saat in lebih dari
66.000 transplantasi jantung(17) dan 3047 transplantasi jantungparu(18) telah berhasil dilakukan di lebih dari 220 pusat jantung
di seluruh dunia(19).
Program transplantasi jantung di Pusat Jantung & Diabetes
Northrhine Westphalia Bad Oeynhausen berawal pada tanggal
13 Maret 1989, dan pada tahun yang sama sebanyak 39 transplantasi jantung telah dilakukan. Satu tahun kemudian, sejumlah 129 penderita gagal jantung kronik berhasil ditransplantasi(20). Angka ini melebihi jumlah total transplantasi jantung di
Jerman saat itu. Pada tahun berikutnya, jumlah transplantasi
meningkat menjadi 148, dalam arti hampir 3 kali transplantasi
jantung per minggu dan jumlah ini telah menembus rekor
nasional. Saat ini, program transplantasi jantung di Bad
Oeynhausen termasuk salah satu pusat transplantasi jantung
tersibuk di dunia (21).
INDIKASI DAN KONTRAINDIKASI
Menurut data dari ISHLT Registry (Badan registrasi perkumpulan internasional untuk transplantasi jantung dan paru),
latar belakang diagnosis yang menjadi indikasi utama transplantasi jantung adalah kardiomiopati dan penyakit jantung
koroner stadium akhir (Tabel 1).
Tabel 1.

Latar Belakang Diagnosis Indikasi Transplantasi Jantung

Diagnosis
Kardiomiopati
Penyakit Jantung Koroner stadium akhir
Penyakit Katup Jantung
Penyakit Jantung Kongenital
Retransplantasi jantung
Lain-lain

(17)

Proporsi (%)
45%
45%
3- 4%
2%
2%
2-3%

Meningkatnya angka harapan hidup pasca transplantasi


jantung tidak hanya ditentukan oleh makin baiknya mutu
perawatan pasca bedah, namun juga akibat makin baiknya
sistem seleksi kandidat transplantasi. Namun begitu hal ini
masih menjadi masalah yang kontroversial dan kriteria seleksi

kandidat umumnya bervariasi di antara pusat jantung. Kriteria


kandidat transplantasi yang lazim saat ini merupakan modifikasi dari acuan yang diterbitkan oleh Perhimpunan Kardiologi
Amerika (ACC) pada tahun 1993, dengan berdasarkan pada
Heart Failure Survival Score (HFSS) (Tabel 2).
Tabel 2. Kriteria seleksi resipien(22)
1. Diterima

Heart Failure Survival Score (HFSS) risiko tinggi


Peak VO2 <10 ml/kg/min setelah mencapai batas ambang
anaerobik
Gagal jantung NYHA class III/IV, refrakter terhadap terapi
medis secara maksimal
Iskemi berat, tidak memungkinkan untuk revaskularisasi
secara intervensi atau bedah
Aritmi ventrikuler simptomatik rekuren, refrakter terhadap
obat, ICD, dan tindakan bedah

2. Mungkin

HFSS risiko menengah


Peak VO2 <14 ml/kg/min dan keterbatasan fungsional berat
Instabilitas keseimbangan cairan dan fungsi ginjal meski
dengan disiplin tinggi, penimbangan berat badan tiap hari,
pembatasan garam & cairran serta pemakaian diuretik
Iskemia rekuren tidak stabil, tidak memungkinkan untuk
revaskularisasi.

3. Inadekuat

Hanya HFSS risiko rendah


Peak VO2 >1518 ml/kg/min tanpa indikasi lain
Hanya ejeksi fraksi ventrikel kiri < 20 %
Hanya riwayat gejala NYHA class III/IV
Hanya riwayat aritmi ventrikuler

Tabel 3. Kontraindikasi transplantasi jantung bagi resipien(22)


Penyakit jantung

Hipertensi pulmonal irreversibel (PVR >6 WU)

Penyakit lain

Infeksi aktif
Infark pulmonal dalam 68 minggu terakhir
Gangguan ginjal kronik yang signifikan dengan creatine
>2.5 or clearance <25 ml/min secara persisten
Gangguan hepatik kronik yang signifikan dengan
bilirubin >2.5 or ALT/AST >2X secara persisten
Malignansi aktif atau baru berlalu
Penyakit sistemik seperti amiloidosis
Penyakit paru kronik yang signifikan
Penyakit pembuluh darah karotis atau perifer yang
signifikan
Koagulopati yang signifikan
Penyakit ulkus lambung
Penyakit kronis utama
Diabetes dengan kerusakan end-organ dan/ atau diabetes
laten
Obesitas eksesif (e.g. >30% nilai normal)

Psikososial

Penyakit jiwa yang masih aktif


Bukti adanya penyalahgunaan obat, rokok dan alkohol
dalam kurun waktu 6 bulan terkhir, refrakter terhadap
nasehat ahli
Instabilitas psikososial, refrakter terhadap nasehat ahli

Usia

> 65 tahun

ALT/AST:

ratio serum alanine aminotransferase terhadap aspartate


aminotransferase; PVR: pulmonary vascular resistance; WU:
woods units.

Keadaan yang dipertimbangkan sebagai kontraindikasi


transplantasi jantung, didasarkan bukti menurunnya angka
harapan hidup baik jangka pendek maupun benefit jangka
panjang tertera dalam tabel 3.

SELEKSI DONOR
Seleksi donor juga sangat menentukan keberhasilan
transplantasi jantung. Karena suplai donor jantung sangat
terbatas, maka sangatlah diharapkan untuk sedapat mungkin
mengidentifikasi donor jantung yang sesuai. Upaya ini berdampak pada modifikasi cara skrining donor, sehingga banyak
kriteria lama yang ada, saat ini tidak berlaku lagi. Tabel 4
memuat daftar kontraindikasi absolut dan relatif sebagai donor
jantung di Pusat Jantung & Diabetes Northrhine Westphalia
(Heart and Diabetes Center NRW) di Bad Oeynhausen.
Tabel 4.

Kontraindikasi absolut and relatif sebagai donor jantung(20)

Absolut

Keracunan Karbonoksida (CO) dengan kadar Met-Hb. >20%


Aritmia ventrikuler kompleks
pO2 arterial < 80% meski dengan bantuan respirator
Penyakit jantung koroner berat dan difus secara angiografis
Riwayat miokardial infark
Infeksi HIV
Hipokinesia berat dan global dengan ejeksi fraksi <10%
Tumor intrakardial
Tumor infratentorial
Trauma toraks dengan melibatkan jantung

Relatif

Infeksi Hepatitis B/ C, transplantasi memungkinkan pada


resipien positif
Hipoperfusi berkepanjangan dengan tekanan sistolik < 60 mmHg
> 6 jam
Takikardi supraventrikuler rekuren
Terapi poli katekholamin dosis tinggi > 24 jam
Resusitasi kardiopulmoner > 30 menit
Hipertrofi ventrikuler kiri berat
Hipokinesia ventrikuler dengan ejeksi fraksi sekitar 10 - 25%
Keracunan CO dengan kadar Met-Hb. < 20%

PENGALAMAN KLINIS
Sejak dimulainya program transplantasi di Pusat Jantung &
Diabetes NRW di Bad Oeynhausen, Jerman; dari tanggal 13
Maret 1989 hingga 31 Desember 2004, sebanyak 1406 transplantasi jantung orthotopik telah berhasil dilakukan pada 1153
(82%) laki-laki dan 253 (18%) wanita dengan rentang umur
dari 2 hari hingga 78 tahun (mean 50,3 16.9). Umur donor
berkisar dari 1 hari hingga 72 tahun (mean 34,2 15,4). Indikasi transplantasi jantung berupa kardiomiopati dilatatif (50,9
%), penyakit jantung koroner (38,6%), penyakit katup jantung
(5,3%), penyakit jantung kongenital (2,8%), retransplantasi
jantung (2,0%), akut miokarditis (0,1%) dan lain-lain (0,3%).
Lama tunggu transplantasi jantung berkisar antara beberapa
jam hingga 1283 hari ( mean 198 240.5). Penyebab kematian
donor adalah: perdarahan traumatik (39,5%), perdarahan
spontan (41,5), hipoksi (7,3%), luka tembak (2,6%), iskemi
serebral (3,3%), tumor otak (2,4%), intoksikasi (1,8%) dan
lain-lain (1,5%). Donor organ ditransportasi dengan memakai
cairan Kardioplegia dengan masa iskemik berkisar antara 68
menit hingga 340 menit (mean 195,9 41,3). Begitu ditemukan
donor yang sesuai, pemberian obat imunosupresif segera
dimulai dengan siklosporin A, azathioprin dan metilprednisolon. Terapi induksi dengan antibodi mono/ poliklonal sangat
dibatasi, dan terapi jangka panjang sebisanya tanpa menggunakan steroid. Umumnya pasien mendapatkan terapi siklosporin
A dan azathioprin atau tacrolimus (FK 506) dan Mycophenolat

Cermin Dunia Kedokteran No. 147, 2005 33

Mofetil (CellCept). Pemantauan reaksi penolakan dilakukan


dengan memakai biopsi endomiokardium, elektrokardiografi,
monitor sitoimunologi, maupun dengan diagnostik radiologi.
Pengambilan keputusan penanganan lebih lanjut tergantung
gejala klinis pasien. Pemeriksaan tekanan darah, denyut
jantung, berat badan dan suhu tubuh mutlak diperlukan.

1.
2.
3.

1.0

4.

.9
.8

Angka kumulatif harapan hidup

REFERENSI

5.

.7

6.

.6

7.

.5
.4

8.

.3

9.
10.

.2
Fungsi survival

.1
0.0

Sensor

2
1

4
3

6
5

8
7

10
9

12
11

14
13

16
15

11.
12.
13.

Tahun

14.
Gambar 1.

Kurve angka kumulatif harapan hidup transplantasi jantung


15.

Terapi terhadap reaksi penolakan akut diawali dengan


pemberian obat imunosupresif dasar dengan dosis tinggi dan
terapi kortison dosis tinggi, yaitu 3 kali 1 gram sehari. Dalam
kasus tertentu diberikan FK 506 dan/atau Cell Cept atau terapi
dengan antibodi mono/ poliklonal selama beberapa hari. Angka
kematian dini sebesar 9,2%. Penyebab utama kematian berupa:
reaksi penolakan (24.8%), kegagalan multiorgan (16.3%),
kegagalan jantung kanan (11.6%), dan infeksi (10.9%). Kegagalan jantung kanan umumnya terjadi pada resipien yang
telah memiliki tekanan resistensi pulmonalis >400 dyne atau
gradien transpulmonalis >15 mmHg. Angka harapan hidup di
tahun pertama sekitar 80%, 69% di tahun ke lima, 54% di
tahun ke sepuluh dan 39% di tahun ke 15 (gambar 1). Angka
ini tentu sangat bermakna jika dibandingkan dengan prognosis
penderita gagal jantung kronik stadium akhir yang tidak
menjalani transplantasi jantung.

16.
17.

18.

19.

20.
21.
22.

Mendez GF, Cowie MR. The epidemiological features of heart


failure in developing countries: a review of the literature. Int J
Cardiol. 2001; 80: 213-9.
American Heart Association. 2002 Heart and Stroke Statistical
Update. Dallas, TX: American Heart Association, 2002.
Vitali E, Colombo T, Fratto P, et al. Surgical therapy in advanced
heart failure. Am J Cardiol. 2003;91(suppl):88F-94F.
Schocken DD, Arietta MI, Leaverton PE, et al. Prevalence and
mortality rate of congestive heart failure in the United States. J Am
Coll Cardiol.1992;20:301-6.
Sarton G. Introduction to the History of Science, Vol. I. Baltimore:
Williams & Wilkins, 1927.
Veith I. Huang Ti Nei Ching Su Wen - The Yellow Emperors
Classic of Internal Medicine. Baltimore: Williams & Wilkins, 1949.
Wong KC, Lien-Tae O. History of Chinese Medicine, 2nd ed. New
York: AMS Press, 1973: 21-57.
Carrel A, Guthrie CC. The transplantation of veins and organs. Am
Med. 1905; 10:1101-2.
Mann FC, Priestly JT, Markowitz J et al. Transplantation of the
intact mammalian heart. Arch Surg. 1933;26:219-24.
Barnard CN. A human cardiac transplant: an interim report of a
successful operation performed at Groote Schuur Hospital, Cape
Town. S Afr Med J. 1967; 41:1271-4.
Demikhov VP. Experimental transplantation of vital organs. New
York: Consultants Bureau, 1962.
Miller LW, Missov ED. Epidemiology of heart failure. Cardiol Clin.
2001; 19: 547-55.
Hardy JD, Chavez CM, Kurrus FD et al. Heart transplantation in
man. JAMA 1964; 188:114-22.
Marcus E, Wong SNT, Luisada AA. Homologous heart grafts. I.
Technique of interim parabiotic perfusion, II. Transplantation of
the heart in dogs. Surg Forum. 1953; 66:179-91.
OConnell JB, Renlund DG, Bristow MR. Cardiac transplantation:
Emerging role of the internist/ cardiologist. J Int Med. 1989;
225:147-56.
Lower RR, Shumway NE. Studies in orthotopic homotransplantations of the canine heart. Surg Forum. 1960;11:18-9.
Taylor DO, Edward LB, Boucek MM et al. The registry of the
international society for heart and lung transplantation: Twenty-first
official adult heart transplant report - 2004. J Heart Lung
Transplant. 2004;23:796-803.
Trulock EP, Edwards LB, Taylor DO et al. The registry of the
International Society for Heart and Lung Transplantation: Twentyfirst official adult lung and heart-lung transplant report - 2004. J
Heart Lung Transplant. 2004;23:804-15.
Hertz MI, Mohacsi PJ, Taylor DO, et al. The registry of the
international society for heart and lung transplantation: Introduction
to the twentieth annual reports 2003. J Heart Lung Transplant.
2003; 22: 610-5.
Tenderich G, Schulte-Eistrup S, El-Banayosy A et al. Aktueller
Stellenwert der Herztransplantation. Z Allg Med. 2001;77:67-72.
Schmid C, Schmitto JD, Scheld HH. Herztransplantation in
Deutschland. Ein geschichtlicher berblick. Steinkopff, Darmstadt,
2003.
Deng MC. Cardiac transplantation. Heart 2002; 87:177-84.

My only wish is that my wishes should be at rest


Ruckert

34

Cermin Dunia Kedokteran No. 147, 2005

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

Pengenalan Miopati Mitokondria


Santosa, Soenarto*, Suyanto Hadi**
Peserta Program Pendidikan Spesialis I, * Guru Besar, ** Kepala Sub Bagian Rematologi
Bagian Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro/ Rumah Sakit Dr Kariadi Semarang

ABSTRAK
Mitokondria adalah rangkaian organela yang unik karena memiliki DNA tersendiri
yang disebut DNA mitokondria dengan sifat-sifat yang spesifik.
Miopati mitokondria menampilkan berbagai sindrom dengan karakteristik patologi,
histokimia dan biokimia yang berbeda-beda yang terjadi sebagai akibat kelainan pada
mitokondria. Sindrom ini sering mengenai multisistem dengan berbagai gejala dan
tanda dari sistem organ yang terkena. Terdapat nama-nama yang eksotik sindrom ini
seperti CPEO (chronic progresive external ophthalmoplegia), MELAS (mitochondrial
encephalomyopathy, lactic acidosis, and strokelike episodes), MERRF (myoclonic
epilepsy with ragged-red fibers), MNGIE (myoneurogastrointestinal encephalopathy),
NARP (neurogenic weakness, ataxia, retinitis pigmentation).
Fungsi utama mitokondria adalah memproduksi energi kimia dalam bentuk
molekul ATP yang akan dipergunakan sel-sel tubuh. Bila komponen kunci rantai
respirasi dalam mitokondria hilang atau rusak maka akan terjadi proses berkelanjutan
yang tidak terkendali. Beberapa sindrom mitokondrial dapat disebabkan oleh berbagai
perubahan tingkat molekuler yang dapat berupa mutasi dan delesi dari DNA
mitokondria.
Terapi yang paling umum adalah pemberian zat untuk merangsang aktivitas enzim
transport elektron sisa atau memberikan aseptor elektron buatan. Terapi gen menjadi
terapi baru dalam pengobatan kelainan-kelainan mitokondria di masa mendatang.
PENDAHULUAN
Miopati adalah istilah umum untuk penyakit-penyakit yang
mengenai otot. Istilah miopati mitokondria berarti berbagai
sindrom dengan karakteristik patologi, histokimia dan biokimia
yang berbeda-beda. Sindrom ini sering timbul pada multisistem
dengan berbagai gejala dan tanda dari sistem organ yang
terkena. Miopati mitokondria secara khas disebabkan kelainan
pada rantai respirasi atau rantai transpor elektron mitokondria.1.2.4
Mitokondrion (jamak mitokondria: Inggris- mitochondrion, mitochondria) adalah kompartemen sel atau organel
tempat proses konversi energi dalam bentuk molekul ATP
(adenosine triphosphate) yang dibutuhkan berbagai aktivitas
fungsi sel. Mitokondria adalah suatu rangkaian organela unik
yang mengandung DNA sendiri.4,5

Pengetahuan tentang mitokondria mengantar kita ke cakrawala baru yaitu mithocondrial medicine sebagai dampak kemajuan pesat dalam dekade delapanpuluhan dan sembilan
puluhan dalam pengenalan kita mengenai mutasi DNA mitokondria (mtDNA); yang mendasari sekelompok kelainan
neuromuskular dengan struktur dan fungsi mitokondria abnormal. Kelainan neuromuskular ini merupakan kelompok gejala
penyakit, yang pada waktu lalu dinamai mitochondrial
myopathies atau cytopathies. Dan pengetahuan neuromuskular
tersebut masih merupakan yang terlengkap tentang kelainan
mitokondria. Sebagai penyakit yang pada hakekatnya merupakan kelainan gen tunggal, menunjukkan adanya hubungan
antara mutasi dan ekspresi fenotip sebagai cacat biokimia serta
manifestasi klinis.1,6
Pada makalah ini akan dibahas mengenai miopati mitokondria sebagai suatu manifestasi klinis dari kelainan mitokondria.

Cermin Dunia Kedokteran No. 147, 2005

35

MITOKONDRIA SEBAGAI ORGANEL TRANSDUKSI


ENERGI
Mitokondria berasal dari kata Yunani mito yang berarti
benang, dan chondrion yang berarti seperti granul (butiranbutiran), sehingga dapat diartikan sebagai organela dengan
rangkaian butir-butir yang tersusun seperti benang. Mitokondria merupakan organela yang unik karena memiliki DNA
tersendiri dengan sifat-sifat yang spesifik pula.4,7
1. Struktur Mitokondria
Mitokondria merupakan organel berupa kantung yang
diselaputi oleh dua membran, yaitu membran luar dan
membran dalam; sehingga mitokondria memiliki dua kompartemen, yaitu ruang antar membran (intermembrane space) dan
matriks (matrix) mitokondria yang diselimuti langsung oleh
membran dalam.1,8
Membran luar
Membran luar mengandung protein transport yang disebut
porin. Porin membentuk saluran yang berukuran relatif lebih
besar di lapisan ganda lipid membran luar; sehingga membran
luar dapat dianggap sebagai saringan yang memungkinkan
lolosnya ion maupun molekul kecil berukuran 5 kDa atau
kurang, termasuk protein berukuran kecil. Molekul-molekul
tersebut bebas memasuki ruang antar membran, namun sebagian besar tidak melewati membran dalam yang bersifat impermeabel. Ini berarti bahwa dalam hal kandungan molekul kecil,
di ruang antar membran bersifat ekuivalen dengan sitosol
sedangkan di ruang matriks berbeda.8
Protein yang terletak pada membran luar meliputi berbagai
enzim yang terlibat dalam biosintesis lipid mitokondria dan
enzim-enzim yang mengubah substrat lipid menjadi bentuk lain
untuk selanjutnya dimetabolisme di matriks mitokondria.8

dengan aktivitas utama mitokondria yaitu terlibat dalam siklus


asam trikarboksilat, oksidasi asam lemak dan pembentukan
energi. Rantai respirasi terdapat dalam membran dalam ini.8,9
Ruang antar membran
Ruang antar membran adalah ruang yang berada di antara
membran luar dan membran dalam mitokondria. Ruang ini
mengandung sekitar 6% dari total protein mitokondria dan
beberapa enzim yang bekerja menggunakan ATP (adenosine
triphosphate) yang tengah melewati ruang tersebut untuk memfosforilasi nukleotida lain.8
Matriks
Sebagian besar (sekitar 67%) protein mitokondria dijumpai
pada bagian matriks. Enzim-enzim yang dibutuhkan untuk
proses oksidasi piruvat, asam lemak dan untuk menjalankan
siklus asam trikarboksilat terdapat pada matriks ini.8
Rantai respirasi
Rantai respirasi dan inhibitornya dapat dilihat pada Tabel
1 yang juga merupakan ringkasan jalur metabolik mitokondria
pada gambar 2. Semua kompleks ini berada di membran dalam
dan mereka dapat dicapai oleh substrat baik yang berada pada
membran maupun pada matriks. Telah diketahui pula berbagai
inhibitor rantai respirasi dan efek kliniknya yang dapat dianggap sebagai pengetahuan awal dari mitochondrial medicine.5,8,9
Tabel 1. Kompleks enzim respirasi mitokondria, subunit yang disintesa
oleh mitokondria dan inhibitor rantai respirasi.5
Jumlah Polipeptida
(yang disintesis di Pusat redoks
mitokondria)

Kompleks

Aktivitas enzim

NADH-coQ
reductase

>45[7;ND1-4,4L,5,6] 8 FeS(3 pusat)

II

succinate- coQ
reductase

III

CoQH2
Cytochrome c
reductase
Cytochrome c
oxidase
ATP shyntase

2Cytochrome b
Cytochrome c1
2FeS(1pusat)
7-8 [1;cytochrome b] Cytochrome a
Cytochrome a3
2 Cu
10 [3;CO I,
COII,COIII]
10-16[2;ATP6,ATP8] tidak relevan

IV
V

4[tidak ada]

Inhibitor
Rotenone
Piericidine
Amytal
Malonate
Antimycin A
CO
CN
Oligomycin

Keterangan: NADH : nicotinamide adenine dinucleotide;CoQ:coenzyme Q;


ATP : adenosine triphospate

Gambar 1. Struktur mitokondria


Keterangan: diagram struktur tiga dimensi mitokondria, bagian bawah
adalah elektromikrograf mitokondria.

Membran dalam dan krista


Membran dalam dan matriks mitokondria terkait erat

36 Cermin Dunia Kedokteran No. 147, 2005

2. Metabolisme mitokondria
Fungsi utama mitokondria adalah memproduksi energi
kimia dalam bentuk ATP yang akan dipergunakan untuk aktivitas seluruh sel-sel tubuh manusia. Secara garis besar, reaksi
pembentukan ATP yang berlangsung di mitokondria dapat
dibagi menjadi 3 tahap:8
a. Reaksi oksidasi piruvat (atau asam lemak) menjadi CO2.
Reaksi ini terkait dengan reduksi NAD+ dan FAD menjadi
NADH dan FADH2. Reaksi-reaksi ini berlangsung dalam
ruang matriks mitokondria (lihat gambar 2).
b. Transfer elektron dari NADH dan FADH2 ke O2. Rentetan
reaksi ini berlangsung pada membran dalam dan terkait dengan
pembentukan proton motive force atau gradien elektrokimia
lintas membran dalam mitokondria.
c. Pemanfaatan energi yang tersimpan dalam bentuk gradien
elektrokimia untuk memproduksi ATP. Reaksi ini dikatalisis
oleh kompleks enzim F0-F1 ATP sintetase yang berlokasi pada
membran dalam.

Gambar 2. Jalur metabolik dalam mitokondria


Spiral menunjukkan reaksi oksidasi yang menghasilkan pelepasan acetyl-coenzim A dan penurunan flavoprotein. ADP
singkatan dari adenosine diphospate, ATP adenosine triphospate, ANT adenine nucleotide translocator, CACT carnitineacyl carnitine translocase, CoQ coenzyme Q, CPT carnitine palmitcyltransferase, DIC dicarboxylate carrier, ETF
electron-transfer flavoprotein. ETH-DH electron transfer dehydrogenase, FAD flavin adenine dinucleotide, FADH2
berarti FAD2, NADH nicotinamide adenine dinucleotide, PDHC pyruvate dehydrogenase complex, TCA tricarboxylic
acid, angka romawi I s/d V menunjukkan kompleks I s/d V.
Dikutip dariDiMauro S, Schon E.A. Mitochondrial Respiratory-Chain Diseases. N Eng J Med. 2003;348:2658-68.
http://www.nejm.org

3.

GENETIKA MITOKONDRIA
DNA mitokondria manusia merupakan DNA sirkuler
tertutup yang berada pada matriks mitokondria yang
mengandung 37 gen, dan berukuran 16569 pasang basa. Dua
puluh empat gen (24) diperlukan untuk translasi mtDNA [2
RNA ribosom (rRNAs) dan 22 RNA transfer (tRNA)] dan 13
mengkode subunit rantai respirasi, dengan perincian sebagai
berikut: 7 subunit untuk kompleks I [ND1, ND2, ND3, ND4,
ND4L, ND5 DAN ND6 (ND singkatan dari NADH
dehydrogenase)], 1 subunit untuk kompleks III (sitokrom b), 3
subunit untuk sitokrom oksidasi (COX1,II,III) serta 2 subunit
untuk ATP sintetase. Sebagian rantai respirasi dikode oleh
DNA nukleus. Genom DNA mitokondria manusia dapat dilihat
pada gambar 3.
Genetika mitokondria berbeda dengan hukum Mendel

dalam 3 aspek utama: diturunkan dari ibu, heteroplasmi dan


segregasi mitotik.2,8,9
1.

Diturunkan dari ibu


Secara hukum umum, semua DNA mitokondria dalam
zigot berasal dari ovum. Sehingga seorang ibu membawa
mutasi mtDNA pada semua anak-anaknya, tetapi hanya anak
perempuannya yang akan memindahkan mutasi tersebut pada
keturunannya. Bukti baru transmisi paternal mtDNA pada otot
rangka (tetapi tidak pada jaringan lain) pada pasien dengan
miopati mitokondria memberikan peringatan penting bahwa
sifat mtDNA yang diturunkan dari ibu bukan merupakan
hukum yang mutlak, tetapi tidak disangkal bahwa penyakitpenyakit yang berhubungan dengan mtDNA terutama diturunkan dari pihak ibu.9,10

Cermin Dunia Kedokteran No. 147, 2005

37

Gambar 3. Sebagian rantai respirasi dikode oleh DNA nukleus. Genom DNA mitokondria manusia

Gambar 3A menunjukkan genom mitokondria manusia. Gambar 3B menunjukkan subunit rantai respirasi
yang dikode oleh
DNA nukleus (nDNA) dan
mtDNA. Dikutip dariDiMauro S, Schon E.A.
Mitochondrial Respiratory-Chain Diseases. N Eng J Med. 2003;348:2658-68. http://www.nejm.org

2. Heteroplasmi dan efek ambang batas (threshold effect)


Terdapat ribuan molekul mtDNA dalam tiap sel, dan secara
umum terdapat beberapa mutasi patogenik mtDNA, tetapi
bukan semuanya. Sehingga sel dan jaringan tercampur mtDNA
normal dan mutan, keadaan ini disebut heteroplasmi. Hetero-

38 Cermin Dunia Kedokteran No. 147, 2005

plasmi juga terdapat pada tingkat organel yaitu mitokondrion


dengan mtDNA normal dan mutan yang bercampur. Pada
orang normal semua mtDNA adalah identik (homoplasmi).
Tidaklah mengherankan bila dengan jumlah mtDNA minimal
belum terjadi disfungsi oksidatif dan belum tampak tanda

klinis, ini yang disebut efek ambang batas. Tiap-tiap sel organ
memiliki ambang batas tersendiri, tergantung metabolisme
jaringan tersebut. Efek tersebut lebih rendah pada jaringan
yang tergantung pada metabolisme oksidatif, seperti: otak,
jantung, otot rangka, retina, tubulus ginjal, dan kelenjar
endokrin.9,10,11
3. Segregasi mitotik
Redistribusi acak organela saat pembelahan sel dapat
mengubah proporsi mtDNA mutan yang diterima oleh sel anak
perumpuan, jika efek ambang patogenik dalam jaringan yang
tidak terkena terlampaui, maka fenotip dapat juga berubah.
Pada gangguan mtDNA sering berhubungannya dengan umur,
jaringan yang terkena, dan variabilitas gambaran klinik.9,10
Mutasi DNA mitokondria ternyata relatif tinggi. mtDNA
secara alami dihadapkan pada faktor-faktor yang tidak
menguntungkan (Tabel 2) seperti: (a) tingginya kadar spesies
oksigen reaktif sebagai produk samping metabolisme oksidatif
mitokondria, (b) terpaparnya mtDNA terhadap oksigen reaktif
tersebut karena tidak adanya proteksi oleh nukleoprotein, yang
berlainan dengan DNA inti sel dan (c) tidak adanya sistem
repair DNA yang efektif di dalam organela ini.5
Tabel 2. Karakteristik mutasi pada DNA mitokondria
Terjadi dengan laju tinggi

Tidak ada mekanisme repair DNA yang efektif pada mitokondria

DNA mitokondria tidak memiliki proteksi nukleoprotein

Produksi spesies oksigen reaktif (ROS) yang tinggi di mitokondria


Faktor-faktor mitokondria adanya hot spot untuk mutasi mutasi yang
sama terjadi berkali-kali secara independen (seperti mutasi
DM/ketulian/MELAS A3243G dan LHON G11778A)
Faktor di inti sel menentukan fidelitas replikasi mtDNA
Ekspresi mutasi mtDNA poligenik dipengaruhi oleh faktor
pemodifikasi di inti sel, lingkungan sekuens mtDNA dan faktor
lingkungan
Dikutip dariSangkot M. Mitochondrial Medicine: Perspektif ke Depan. Dalam:
Suryadi H, dkk. Ed. Mitochondrial Medicine. Lembaga Eijman. Jakarta. 2003.
1-17.

MANIFESTASI KLINIS MIOPATI MITOKONDRIA


Beberapa gangguan mitokondria hanya mengenai satu
organ, tetapi kadang dapat mengenai berbagai sistem organ dan
yang sering tampak gambaran menonjol adalah neurologis dan
miopati. Terdapat beberapa klasifikasi klinis, tetapi tidak ada
yang tepat sama karena sering tumpang tindih. Gangguan
mitokondria terdapat pada umur dewasa atau akhir masa akil
balik, ini yang membedakan dengan gangguan DNA nukleus,
yang sering tampak pada masa kanak-kanak. Banyak pasien
terdapat sekelompok gambaran klinis yang menjadi satu
sindrom (Tabel 3).4,15
Sebenarnya kelainan mitokondria dapat mengenai semua
sel-sel organ tubuh, tetapi ada pula yang terjadi pada organ
tertentu, ini tergantung efek ambang batas tiap-tiap organ
tersebut. Gambaran klinis yang umum adalah kelemahan,
miopati proksimal, intoleran terhadap latihan, cepat lelah,
kramp otot, problem gastrointestinal, ptosis, paralisis otot mata
(oftalmoplegia eksternal), degenerasi retina (retinitis pigmentosum) dengan penurunan kemampuan melihat, kejang, ataksi

(kehilangan keseimbangan dan koordinasi) dan keterlambatan


belajar.11,12
Penyakit-penyakit mitokondria berhubungan dengan berbagai manifestasi klinis (Tabel 3). Kadang terdapat abnormalitas biokimia dan kelainan pada otot rangka, tetapi miopati
mungkin tidak tampak secara klinis. Secara umum, abnormalitas dapat dibagi dalam sindrom yang menyebabkan
miopati ekstremitas dengan atau tanpa oftalmoplegia dan yang
terutama manifestasi susunan saraf manusia. Dahulu pernah
diungkapkan kelainan yang terutama mengenai otot dengan
manifestasi intoleransi latihan, kelemahan otot dengan distribusi sekitar ekstremitas atau fascioscapulohumeral, atau disfungsi otot ekstra artikuler dengan atau tanpa keterlibatan mata
dan ekstremitas. Pada kasus yang lain dilaporkan kasus dengan
gejala hipermetabolisme, sangat menyukai garam, neuropati
perifer yang menunjukkan heterogenitas yang ekstrim. Walaupun sebagian besar kasus terjadi pada bayi, beberapa kasus
baru menimbulkan gejala setelah mencapai masa kanak-kanak
dan baru diketahui setelah dewasa.4
Miopai mitokondria yang timbul saat dewasa paling
banyak menyebabkan intoleransi latihan, kelemahan proksimal
atau menyeluruh dan jarang terjadi mioglobinemia, yang dapat
ditemukan pada umur 70-an. Kadar kretinin kinase dapat
normal atau meningkat, elektrofisiologi tidak menunjukkan
kelainan. Gambaran khas terbanyak pada biopsi otot adalah
peningkatan jumlah red ragged fiber dengan peningkatan aktivitas succinate dehydrogenase dan penurunan sitokrom
oksidase. Dengan mikroskop elektron menunjukkan peningkatan jumlah mitokondria dan terdapat mitokondria dengan
ukuran lebih besar atau penurunan jumlah mitokondria. Dengan
pemeriksaan Magnetic resonance spectroscopy menunjukkan
penurunan perbandingan fosfokreatinin terhadap fosfat inorganik. 4
Tabel 3. Penyakit-penyakit mitokondria
Sindrom
Early onset
Alpers (progressive infantile poliodystrophy)
Leighs (sub acute necrotizing
enchephalomyelopathy)
Pearsons (bone marrow/pancreas syndrome)
Chilhood or adult onset
Kearns-Sayre syndrome
MELAS (mitochondrial encephalomyopathy,
lactic acidosis, and strokelike episodes)
MERRF (myoclonic epilepsy with ragged-red
fibers)
MNGIE (myoneurogastrointestinal
encephalopathy)
Dementia, ataxia, deafnes, myopathy
NARP( neurogenik weakness, ataxia, retinitis
pigmentation
Poximal weakness and exercise intolerance
Exercise intolerance and myoglobinuria

Kelainan rantai
respirasi
I,VI,PDC
I,IV,PDC
I
I,II,III,IV,I+IV
IV
I,II,III,IV,I+IV
IV
I,I+IV
IV
I,I-III
III

Ket: I-IV : kompleks sitokrom I-IV, PDC : pyruvate dehydrogenase complex.


Dikutip dari Wortmann RL. Metabolic diseases of muscle, in: Koopman WJ,
ed. Arthritis and Allied Conditons, 4th ed, volume two. Philadelphia, Lippincott
Williams & Wilkins,2001:2416-2434.

Secara ringkas manifestasi kelainan mitokondria dapat


dilihat pada Tabel 4 di bawah ini.

Cermin Dunia Kedokteran No. 147, 2005

39

Tabel 4. Sindrom Klinis Penyakit-penyakit mitokondria

Sindrom
Alper
syndrome
Pearson
syndrome
Leigh
syndrome

CPEO
KearnsSayre
syndrome

MELAS

Gambaran utama
Polidistrofi infantil yang
progresif
Anemia sideroblastik pada
anak-anak, Pansitopenia,
Kegagalan eksokrin pankreas
Ensefalopati relaps subakut,
Tanda serebelar dan batang
otak
Oftalmoplegi eksternal, ptosis
bilateral
Oftalmoplegi ptosis eksternal,
Retinopati pigmentosum,
Salah satu dari:
Protein LCS > 1 gr/l
Ataksia serebelar
Blok jantung
Stroke like episode sebelum
40 tahun, Kejang dan/atau
demensia, Ragged red fiber
dan/atau asidosis laktat

MERRF

Mioklonus, Kejang, Ataksia


serebelar, Miopati

MNGIE

Ensefalopati,
neurogastoinstestinal,
Miopati, Tuli, Ataksia,
Demensia
Ataksia, Neuropati perifer,
Kelemahan dan intoleransi
latihan, Retinitis
pigmentosum

NARP

Gambaran tambahan

Defek tubulus ginjal


Lusensia ganglia basalis,
Riwayat penyakit keluarga
dengan kelainan
neurologis atau Leigh
syndrome
Miopati proksimal ringan
Tuli bilateral, Miopati,
Disfagia, Diabetes
mellitus, Hipoparatiroidi,
Demensia,

Diabetes mellitus,
Kardiomiopati (awal:
hipertrofi, lanjut: dilatasi)
Tuli bilateral, Retinopati
pigmentosum, Ataksia
serebelar
Demensia, Atrofi optik,
Tuli bilateral, Neuropati
perifer, Spastisitas,
Lipomata multipel

Lusensia ganglia basalis,


Abnomalitas,
elektroretinogram,
Neuropati sensorimotor

Keterangan: CPEO chronic progresive external ophthalmoplegia, MELAS


mitochondrial encephalomyopathy, lactic acidosis, and strokelike episodes,
MERRF myoclonic epilepsy with ragged-red fibers, MNGIE
myoneurogastrointestinal encephalopathy, NARP neurogenic weakness,
ataxia, retinitis pigmentation
Dikutip dari Chinnery P.F. Mitochondrial Disorder Overview (Mitochondrial
Enchephalomyopathies, Mitochondrial Myopathies, Oxydative Phosphorylation Disorder, Respiratory Chain Disorder). Genereviews.
http://www.genetest.org

ETIOLOGI
Dalam tiap-tiap sel, mitokondria dapat disamakan dengan
mesin mobil. Mesin biologi yang kecil ini mengkombinasikan
makanan yang kita makan dengan oksigen untuk memproduksi
energi bagi kelangsungan hidup. Energi yang dibentuk oleh
mitokondria disimpan dalam bentuk zat kimia yang disebut
adenosine triphosphate (ATP).12,14
Selain memproduksi energi seperti yang telah dijelaskan
sebelumnya, mitokondria juga terlibat dalam berbagai aktivitas
yang penting seperti memproduksi hormon steroid dan
membangun blok DNA. Adanya defek pada bagian mitokondrion yang disebut rantai respirasi atau rantai transport

40 Cermin Dunia Kedokteran No. 147, 2005

elektron akan menyebabkan miopati mitokondria yang melibatkan otot, dan bila melibatkan otak disebut ensefalomiopati
mitokondria. Proses yang terjadi tersebut menimbulkan gangguan suplai energi, timbunan sekunder produk toksik seperti
radikal bebas dan asidosis laktat, atau kombinasi dari kedua
keadaan tersebut.11
Bila komponen kunci rantai respirasi dalam mitokondria
hilang atau terjadi kerusakan maka akan terjadi proses yang
saling berkelanjutan. Peristiwa tersebut dapat terjadi dalam dua
tahap yaitu; (a)Yang pertama terjadi adalah tidak terbentuk
elektron. ATP tidak terbentuk secara efisien dan sel kehilangan
energi untuk melakukan fungsi normal. (b) Kedua, semua dari
tahap-tahap sesudahnya menjadi terhenti, selanjutnya sering
menimbulkan bahan kimia abnormal yang akan memproduksi
bahan toksik. Produk tersebut adalah radikal bebas dan
metabolik yang berlebihan seperti asam laktat yang dalam
jumlah besar akan membahayakan.11
Radikal bebas adalah molekul reaktif yang dapat merusak
DNA dan membran sel melalui jalur oksidasi. Normalnya,
rantai respirasi mitokondria membuat radikal bebas dalam
jumlah yang rendah selama proses pembuatan ATP. Bila
terdapat malfungsi pada rantai respirasi, maka produksi radikal
bebas meningkat. Radikal bebas ini kemudian menyebkan
kerusakan lebih lanjut mtDNA, yang akan mengakibatkan
vicious cycle timbulnya kerusakan dan produksi radikal
bebas. Tidak jelas berapa besar peranan pembentukan radikal
bebas ini dapat menyebabkan atau memperburuk keadaan
sehingga terjadi gejala-gejala penyakit mitokondria.11
Telah dilaporkan defek aktivitas enzim rantai respirasi dan
mutasi spesifik gen cytochrome b yang dibuktikan dengan
pemeriksaan biopsi, test biokimia dan molekuler pada pasienpasien dengan miopati mitokondria.13
Beberapa sindrom penyakit-penyakit mitokondria dapat
disebabkan oleh berbagai perubahan dalam tingkat molekuler.
Mutasi dapat terjadi pada DNA inti dan DNA mitokondria
(mtDNA). Kearns-sayre syndrome, Pearsons syndrome dan
chronic progresive external ophthalmoplegia (CPEO) berhubungan dengan berbagai defek yang mengenai kompleks
rantai respirasi mtDNA. Mitochondrial enchephalopathy, lactic
acidosis and stroke like (MELAS) syndrome dan myoclonus
epilepsy, regged red fiber disease (MERRF) disebabkan mutasi
tunggal gen mtDNA. Delesi multipel telah dilaporkan pada
lebih tiga kasus miopati familial dan miopati mitokondria
awitan lambat pada orang tua. Mutasi lokus tunggal gen
nukleus yang mengkonde protein pada kompleks I dan IV
menyebabkan sindrom miopati ekstremitas murni dan asidosis
laktat fulminan pada bayi. Deplesi mtDNA dapat menyebabkan
miopati pada anak-anak (lihat tabel 3 dan gambar 6 ).4,10
Sindrom mitokondrial yang didapat mungkin terjadi antara
lain miopati mitokondria akibat keracunan terapi zidofudine
(AZT) pada pasien dengan HIV, miopati yang diinduksi
clofibrate dan defesiensi selenium. Keracunan CN (sianida) CO
juga merupakan kelainan rantai respirasi mitokondria yang
sering terjadi. Abnormalitas mitokondria dapat juga terjadi
sebagai akibat proses penuan dan pada otot pasien-pasien
dengan polimiositis, miositis inclusion bodies dan reumatika
polimialgia.1,4,5

Gambar 6. Mutasi pada genom mitokondria manusia yang diketahui menyebakan penyakit.

Gangguan yang sering atau menonjol yang berhubungan dengan mutasi gen tertentu tercetak tebal. Penyakit akibat
mutasi yang mengganggu sintesis protein mitokondria. Penyakit yang disebabkan mutasi gen yang mengkode protein.
ECM encephalomyopathy; FBSN familial bilateral striatal necrosis; LHON Lebers hereditary optic neuropathy; LS
Leighs syndrome; MELAS mitochondrial encephalomyopathy, lactic acidosis, and strokelike episodes; MERRF
myoclonic epilepsy with ragged-red fibers; MILS maternallyinherited Leighs syndrome; NARP neuropathy, ataxia,
and retinitis pigmentosa; PEO progressive external ophthalmoplegia; PPK palmoplantar keratoderma; dan SIDS
sudden infant death syndrome. (Dikutip dariDiMauro S, Schon E.A. Mitochondrial Respiratory-Chain Diseases. N Eng J
Med. 2003;348:2658-68. http://www.nejm.org

PENGELOLAAN
Pada beberapa pasien dapat terlihat gambaran klinis
kelainan mitokondria yang spesifik. Evaluasi secara klinis
digunakan untuk menentukan fenotip yang kemudian dilakukan konfirmasi diagnosis dengan pemeriksaan laboratorium
termasuk tes genetik DNA dari sampel darah atau otot pasien.
Anamnesis riwayat keluarga secara lengkap penting dalam
diagnosis dan mengarahkan pemeriksaan laboratorium dan test
DNA yang akan dilakukan.11,15
Beberapa pemeriksaan penunjang diperlukan untuk konfirmasi diagnosis miopati mitokondria:11

Kadar laktat dan piruvat meningkat dapat menunjukkan


defisiensi rantai respirasi.
Kreatinin kinase serum yang tinggi terjadi pada deplesi
DNA mitokondria.

Biopsi otot untuk melihat fungsi rantai respirasi


Histokimia untuk mendeteksi proliferasi abnormal
mitokondria dan defisiensi sitokrom C oksidase.
Immunohistokimia digunakan untuk mendeteksi ada tidaknya protein spesifik untuk menyingkirkan diagnosis
penyakit lain atau konfirmasi hilangnya protein pada rantai
respirasi.
Parameter biokimia dapat menentukan enzim rantai
respirasi spesifik, tes khusus ini disebut polarography
measure oxygen.
Tes genetik dapat dilakukan pada DNA genom yang
diekstraksi dari darah bila dicurigai mutasi DNA dan
mtDNA, atau dari DNA genom yang diekstraksi dari otot
bila dicurigai mutasi mtDNA.11,15
Terapi yang paling umum adalah pemberian zat untuk
merangsang aktivitas enzim transport elektron sisa atau

Cermin Dunia Kedokteran No. 147, 2005

41

memberikan aseptor elektron buatan. Strategi metabolic by


pass dengan vitamin C dan menadion terbukti berhasil secara
bermakna untuk pasien dengan defisiensi kompleks respirasi
III. Kedua vitamin ini adalah akseptor elektron dengan potensi
elektrik yang tepat, sehingga memungkinkan rantai respirasi
berjalan kembali.1,6 Pemberian riboflavin oral bermanfaat untuk
pasien dengan defisiensi kompleks I dan /atau kompleks II.15
Sekarang ini mulai dipakai agen metabolik seperti
Coenzim Q10 (ubikuinon), yang merupakan komponen penting
dalam rantai transport elektron yang dapat meningkatkan
produksi ATP dan berperan sebagai anti oksidan. Obat lain
yang digunakan adalah L-carnitine, vitamin K, nicotinamide,
creatine. Latihan aerobik dengan intensitas sedang dapat juga
bermanfaat pada beberapa pasien dengan miopati mitokondria.
Walaupun bukti efikasinya masih terbatas, terapi ini telah
digunakan.1,4
Pemberian infus triacylglycerol ternyata tidak memberikan
perbedaan bermakna dibanding glukosa. Terapi gen menjadi
harapan baru dalam pengobatan kelainan - kelainan mitokondria di masa mendatang. 6,21,22

7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.

14.
15.

16.
17.

KEPUSTAKAAN
1.

2.
3.
4.
5.
6.

Beal MF, Martin JB. Nutritional and Metabolic Disease of the Nervous
Sistem in: Fauci A.S, Brunwald E, Isselbacher K.J. et all, ed. Harrisons
Principle of Internal Medicine 14th. McGraw-Hill. New York. 1998; 2:
2451-2457.
Mendell JR et al. Disease of Muscle in: Fauci A.S, Brunwald E,
Isselbacher K.J. et all, ed. Harrisons Principle of Internal Medicine 15th.
McGraw-Hill. New York. 2001; 2 : 2536-2540.
Wortmann RL. Myopathic Diseases. Buletin on the Rheumatic Disease.
2004; 51: 1-6.
Wortmann RL. Metabolic diseases of muscle, in: Koopman WJ, ed.
Arthritis and Allied Conditons, 4th ed , volume two. Lippincott Williams
& Wilkins. Philadelphia. 2001: 2416-2434.
Sangkot M. Mitochondrial Medicine: Perspektif ke Depan. Dalam:
Suryadi H, dkk. Ed. Mitochondrial Medicine. Lembaga Eijman. Jakarta.
2003. 1-17.
M. Sangkot. Kelaian Mitokondria, Diagnosis dan Pengobatan. Dalam:
Suryadi H, dkk. Ed. Mitochondrial Medicine. Lembaga Eijman. Jakarta.
2003. 71-89.

42 Cermin Dunia Kedokteran No. 147, 2005

18.

19.
20.

21.
22.

Dorland W.A.N. Kamus Kedokteran Dorland Edisi 29. EGC. Jakarta;


2002 : 442,1363.
Artika I.M, Struktur, Fungsi, dan Biogenesis. Mitokondri. Dalam:
Suryadi H, dkk. Ed. Mitochondrial Medicine. Lembaga Eijkman. Jakarta.
2003. 19-51.
DiMauro S, Schon E.A. Mitochondrial Respiratory-Chain Diseases. N
Eng J Med. 2003 ; 348 : 2658-68. http://www.nejm.org
John DR, Disease Caused by Genetic Defect of Mitochondria, in : Fauci
A.S, Brunwald E, Isselbacher K.J. et all, ed. Harrisons Principle of
Internal Medicine 15th. McGraw-Hill. New York. 2001; 1: 2451-2457.
Hesterlee S. Mitochondrial Disease in Perspective Symptoms, Diagnosis
and Hope for The Future. http://www.mitoresearch.org/Quest_6_5.htm
Hesterlee S. Mitochondrial Myopathy: An Energy Crisis in The Cells.
http://www.mitoresearch.org/Quest_6_4a.htm
Flaherty KR, Wald J, Weisman IM, et al. Unexplained Exertional
Limitation, Characterization of Patien with a Mitochondrial Myopathy.
Am J Respir Crit Care Med. 2001 ; 164 : 425-452. htttp : //
www.atsjournal.org
Griggs RC, Karpati G. Muscle Pain, Fatique, and Mitochondriopathies. N
Engl J Med.1999 ; 341 : 1076-1078. http://www.nejm.org
Chinnery P.F. Mitochondrial Disorder Overview (Mitochondrial
Enchephalomyopathies,
Mitochondrial
Myopathies,
Oxydative
Phosphorylation Disorder, Respiratory Chain Disorder). Genereviews.
http://www.genetest.org
Jhons D.R. Mitochondrial DNA and Disease. http://www.nejm.org
Wang L, Saada A, Eriksson S. Kinetic Properties of Mutant Human
Thymidine Kinase 2 Suggest a Mechanism for Mitochondrial DNA
Depletion Myopathy. The Jornal of Biological Chemistry. 2003 ; 278 :
6963-6968. http://www.cjb.org
Roef MJ, Kalhan SC, Reijngond D EL et al. Lactate Disposal via
Guconeogenesis Is Increased During Exercise in Patient with
Mitochondrial Myopathy Due Compex I Deficiency. Pediatric Research.
2001 : 592-597.
Wredenburg A, Wibom R, Graft C, et al. Increased Mitochondrial Mass
in Mitochondrial Myopathy Mice. PNAS. 2002 ; 99 : 15066-71.
http://www.pnas.org/cgi/doi/10.1073/pnas.232591499.
Yonemura K, Hasegawa Y, Kimura K, et al. Diffusion-Weighted Mr
Imaging In A Case Of Mitochondrial Mypathy, Enchepalopathy, Lactic
Acidosis, Strokelike Episodes. American Journal Neuroradiology. 2001 ;
22 : 269-272.
Roef MJ, Meer KD, Reijngoud DJ. Et al . Triacylglycerol infusion
improve exercise endurance in patients with mitochondrial myopathy due
to complex I deficiency. American Journal Nutrition. 2002 ; 75 : 237-44.
Taivalsalo T, Fu K, Johns T, et al. Gene shifting: a novel theraphy for
mitochondrial myopathy. Human Molekular Genetik. 1999 ; 8 : 0471052.

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

Diet Sehat dengan Serat


Olwin Nainggolan, Cornelis Adimunca
Pusat Penelitian dan Pengembangan Pemberantasan Penyakit
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan RI, Jakarta

ABSTRAK
Akhir-akhir ini peran serat dalam makanan turut diperhitungkan oleh para ahli
kesehatan. Berdasarkan bukti-bukti penelitian, serat dalam makanan dapat turut
mencegah penyakit, antara lain penyakit jantung, diabetes melitus, diare, kanker kolon
dan juga digunakan untuk menurunkan berat badan. Serat dapat diperoleh dari sayursayuran, buah dan rumput laut. Asupan serat yang dianjurkan adalah 25-35 g/hari.

PENDAHULUAN
Di masa sekarang ini telah terjadi pergeseran atau
perubahan pola penyakit penyebab mortalitas dan morbiditas di
kalangan masyarakat; ditandai dengan perubahan pola
penyakit-penyakit infeksi menjadi penyakit-penyakit degeneratif dan metabolik. Hasil Survai Kesehatan Rumah Tangga
(SKRT) menunjukkan kecenderungan kenaikan kematian yang
disebabkan oleh penyakit kardiovaskuler dari 16,5% (SKRT
1992), menjadi 18,9% (SKRT 1995).
Kecenderungan ini tidak hanya semata-mata akibat usia
lanjut, tetapi juga menyerang orang-orang yang usianya lebih
muda. Salah satu faktor yang mungkin menjadi penyebabnya
adalah gaya hidup (life style); mulai dari pola makan yang tidak
sehat sampai kurangnya aktivitas olah raga. Pola makan tidak
sehat meliputi antara lain diet tinggi lemak dan karbohidrat,
makanan dengan kandungan garam sodium yang tinggi,
rendahnya konsumsi makanan mengandung serat serta kebiasaan merokok dan minum minuman beralkohol.
Pola hidup di perkotaan yang sebagian masyarakatnya
begitu mobile dan sibuk, cenderung mengkonsumsi makanan
cepat saji; padahal diketahui makanan-makanan tersebut adalah
makanan rendah serat dan mengandung banyak garam. Menurut Widiatmo (1989), makin tinggi tingkat sosial ekonomi
seseorang biasanya berkorelasi dengan makin tingginya konsumsi makanan tinggi lemak, protein dan gula. Di masyarakat
golongan menengah ke atas, terjadi pergeseran pola makan dari

tinggi karbohidrat, tinggi serat dan rendah lemak ke konsumsi


rendah karbohidrat, tinggi lemak dan protein serta miskin serat
(Sujono, 1993). Hal inilah yang menyebabkan pergeseran pola
penyakit dari pola infeksi ke penyakit-penyakit degeneratif.
Perhatian terhadap peranan serat makanan (dietary fiber)
terhadap kesehatan mulai muncul setelah para ahli membandingkan tingginya kejadian kanker kolon di negara industri
maju yang konsumsi seratnya rendah dibandingkan dengan
negara-negara berkembang terutama di pedalaman Afrika yang
konsumsi seratnya tinggi.
Penelitian epidemiologis membuktikan bahwa orang-orang
Afrika berkulit hitam yang mengkonsumsi makanan tinggi
serat dan rendah lemak mempunyai angka kematian akibat
kanker usus kolon yang rendah dibandingkan orang Afrika
berkulit putih dengan diet rendah serat, tinggi lemak. Hasil
penelitian tersebut menunjukkan bahwa diet tinggi serat
mempunyai efek proteksi terhadap kanker kolon. Hipotesis ini
diperkuat oleh penelitian di Finlandia, di sana konsumsi
produk hewani sangat tinggi, tetapi karena konsumsi serat juga
tinggi, maka prevalensi kanker kolon tetap rendah.
Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika (US FDA)
telah menyetujui klaim kesehatan untuk serat larut yang berasal
dari Psyllium husk yaitu dapat mengurangi risiko penyakit
jantung koroner jika digunakan sebagai bagian dari diet rendah
lemak jenuh dan rendah kolesterol. Pengurangan risiko tersebut
disebabkan oleh rendahnya kadar kolesterol darah akibat

Cermin Dunia Kedokteran No. 147, 2005

43

mengkonsumsi serat larut; keputusan tersebut berkaitan dengan


petisi yang diminta oleh Kellogg Co.
JENIS-JENIS SERAT
Serat makanan dapat didefinisikan berdasarkan dua aspek,
yaitu definisi fisiologis dan definisi kimia. Definisi fisiologis:
serat makanan merupakan sisa sel tanaman setelah dihidrolisis
oleh enzim pencernaan manusia. Sedangkan secara kimia,
serat adalah polisakarida bukan pati dari tumbuhan ditambah
dengan lignin.
Terminologi serat makanan (dietary fiber) sebenarnya
berbeda dengan istilah serat kasar (crude fiber), yang juga
biasanya terikut dalam analisis proksimat bahan makanan.
Yang dimaksud dengan crude fiber adalah bagian tanaman
yang tidak dapat dihidrolisis menggunakan pelarut asam sulfat
(H2SO4) 1,25% dan alkali natrium hidroksida (NaOH) 1,25%.
Sedang dietary fiber adalah bagian dari bahan pangan yang
tidak dapat dihidrolisis oleh enzim-enzim pencernaan. Dengan
demikian nilai crude fiber selalu lebih rendah dibandingkan
dengan dietary fiber; lebih kurang 1/5 dari seluruh nilai serat
makanan. Ada dua tipe fiber yang penting yaitu soluble fiber
dan insoluble fiber . Soluble fiber (serat makanan larut dalam
air) antara lain: pectin, gum, -glucans, psyllium seed husk
(PSH). Serat makanan tidak larut air (insoluble fiber) berupa
selulosa, hemiselulosa serta lignin.
SUMBER SERAT
Penelitian menunjukkan bahwa rata-rata konsumsi serat
masyarakat Indonesia masih jauh dari kebutuhan serat yang
dianjurkan (30 g/hari)(1). Dari penelitian tersebut diketahui pula
tidak terdapat perbedaan yang mencolok antara konsumsi serat
di pedesaan dengan masyarakat di perkotaan. Konsumsi serat
di desa 10,78,1g., sedang rata-rata konsumsi di perkota-an 9,9
6,0 g. Rata-rata konsumsi serat di Amerika Utara hanya 8-12
g/hari. Konsumsi Amerika Serikat 10-15 g, sedangkan
konsumsi di Kanada 4,5-11 g/hari
Sayur-sayuran dan buah-buahan adalah sumber serat
makanan yang sangat mudah ditemukan dalam bahan makanan.
Sayuran dapat dikonsumsi dalam bentuk mentah maupun setelah melalui proses perebusan. Berikut dicantumkan beberapa
jenis bahan makanan yang paling sering dikonsumsi beserta
dengan kandungan seratnya dalam 100 gram bahan (tabel 1).
DIET TINGGI SERAT UNTUK KONTROL BERAT
BADAN
Serat larut air (soluble fiber) mis : pectin, -glucans dan
gum serta beberapa hemiselulosa mempunyai kemampuan menahan air dan dapat membentuk cairan kental dalam saluran
pencernaan. Dengan kemampuan ini serat larut dapat menunda
pengosongan makanan dari lambung, menghambat percampuran isi saluran cerna dengan enzim-enzim pencernaan,
sehingga terjadi pengurangan penyerapan zat-zat makanan di
bagian proksimal. Mekanisme inilah yang menyebabkan terjadinya penurunan penyerapan (absorbsi) asam amino dan
asam lemak oleh serat larut air. Cairan kental ini mengurangi
keberadaan asam amino dalam tubuh melalui penghambatan
peptida usus.

44 Cermin Dunia Kedokteran No. 147, 2005

Makanan dengan kandungan serat kasar yang tinggi


dilaporkan juga dapat menurunkan bobot badan. Makanan akan
tinggal dalam saluran pencernaan dalam waktu yang relatif
singkat sehingga absorbsi zat makanan akan berkurang. Selain
itu makanan yang mengandung serat relatif tinggi akan
memberi rasa kenyang sehingga menurunkan konsumsi makanan. Makanan dengan kandungan serat kasar yang tinggi biasanya mengandung kalori rendah, kadar gula dan lemak rendah
yang dapat membantu mengurangi terjadinya obesitas.
Tabel. Daftar kandungan serat per 100 gram sayur-sayuran, buahbuahan serta produk olahannya.
JENIS BAHAN MAKANAN
Sayursayuran

Bayam
Daun
pepaya
Daun
singkong
Kangkung
Seledri
Selada
Tomat
Paprika
Cabai
Kacang
panjang
Bawang
putih
Bawang
merah
Kentang
Lobak
Wortel
Brokoli
Kembang
kol
Asparagus
Jamur
Terong
Sawi
Buncis
Nangka
muda
Daun
kelor

Kandungan
serat/100 gr

0,8
2,1
1,2
1
0,7
0,6
1,2
1,4
0,3
2,5
1,1
0,6
0,3
0,7
0,9
0,5
0,9
0,6
1,2
0,1
2,0
3,2

Buahbuahan

Alpukat
Anggur
Apel
Belimbing
Jagung
Jambu biji
Jeruk bali
Jeruk
sitrun
Mangga
Melon
Nenas
Pepaya
Pisang
Semangka
Sirsak
Srikaya
Strawberi
Pear

Kandungan
serat/100 gr

1,4
1,7
0,7
0,9
2,9
5,6
0,4
2
0,4
0,3

Kacangkacangan
dan produk
olahannya

Kandungan
serat/100 gr

Kacang
kedelai
Kacang
tanah
Kacang
hijau
Kedelai
bubuk
Kecap
kental
Tahu
Susu
kedelai
Tauge

4,9

Kacang
panjang
Tempe
kedelai

3,2

2
4,1
2,5
0,6
0,1
0,1
0,7

1,4

0,4
0,7
0,6
0,5
2
0,7
6,5
3,0

1,4
2,0

Cat: Diambil dari berbagai sumber

DIET
TINGGI
SERAT
UNTUK
MENCEGAH
PENYAKIT JANTUNG
Penyebab utama penyakit jantung koroner (PJK) adalah
hiperlipidemi di dalam darah. PJK dimulai dengan terjadinya
aterosklerosis yaitu penebalan dinding arteri bagian dalam oleh
komponen lipid berupa kolesterol dan trigliserida. Mekanisme
terjadinya aterosklerosis dihubungkan dengan konsep disfungsi

endotel. Lapisan endotel merupakan lapisan yang berperan


pada pengaturan fungsi fisiologis pembuluh darah. Endotel
juga mencegah terjadinya agregasi trombosit dan menempelnya
sel-sel darah pada dinding pembuluh darah. Oleh karena itu
setiap gangguan pada dinding endotel akan menyebabkan
arteriosklerosis.
Serat lignin (insoluble fiber), pectin dan -glucans (soluble
fiber) mempunyai efek mengikat zat-zat organik seperti asam
empedu dan kolesterol sehingga menurunkan jumlah asam
lemak di dalam saluran pencernaan. Pengikatan empedu oleh
serat juga menyebabkan asam empedu keluar dari siklus
enterohepatik, karena asam empedu yang disekresi ke usus tak
dapat diabsorbsi tetapi terbuang ke dalam feses. Penurunan
jumlah asam empedu menyebabkan hepar harus menggunakan
kolesterol sebagai bahan untuk membentuk asam empedu. Hal
ini yang menyebabkan serat dapat menurunkan kadar
kolesterol.
DIET TINGGI SERAT UNTUK KONTROL GULA
DARAH
Adanya serat larut memperlambat absorbsi glukosa,
sehingga dapat ikut berperan mengatur gula darah dan memperlambat kenaikan gula darah. Kemampuan tersebut dinyatakan
dalam Glycaemic Index (GI) yang angkanya dari 0 sampai
dengan 100. Makanan yang cepat dirombak dan juga cepat
diserap dapat meningkatkan kadar gula darah, mempunyai
angka GI yang tinggi; sedangkan makanan yang lambat
dirombak dan lambat diserap masuk ke aliran darah mempunyai angka GI yang rendah. Hasil penelitian pada hewan
percobaan maupun pada manusia mengungkapkan bahwa
kenaikan kadar gula darah dapat ditekan jika karbohidrat
dikonsumsi bersama serat makanan. Hal ini sangat bermanfaat
bagi penderita diabetes, baik tipe I maupun tipe II.
DIET TINGGI SERAT UNTUK MENCEGAH DIARE
DAN KONSTIPASI
Pada umumnya seseorang buang air besar setiap hari.
Konstipasi dimulai dari kebiasaan makan yang tidak sehat.
Kebanyakan penderita kanker kolon, radang, luka berdarah
pada dinding usus memiliki riwayat kesulitan buang air besar.
Seseorang yang mengkonsumsi sedikit makanan berserat,
tinjanya akan keras, kering dan kecil-kecil. Memperbaiki intake
makanan berserat akan membantu seseorang untuk buang air
besar secara normal. Serat makanan di dalam usus, akan
menyerap cairan dan mengembang seperti karet busa,
membentuk tinja menjadi besar dan lembab, sehingga lebih
mudah keluar; konsumsi dietary fiber khususnya insoluble
fiber misalnya pectin akan menghasilkan feses yang lunak.
Dengan konsistensi feses yang lunak, hanya diperlukan sedikit
kontraksi otot untuk mengeluarkannya. Sebaliknya intake serat
yang rendah menyebabkan feses menjadi keras sehingga
diperlukan kontraksi otot rektum yang lebih besar untuk
mengeluarkannya; hal ini menyebabkan konstipasi, atau lebih
lanjut dapat menyebabkan wasir.
Fungsi serat makanan yang bersifat menyerap air dapat
mencegah terjadinya diare.

DIET TINGGI SERAT UNTUK MENCEGAH KANKER


KOLON
Kanker kolon merupakan salah satu masalah kesehatan di
negara Barat. Kejadian kanker kolon menempati urutan ke 4,
dan menempati peringkat ke 2 penyebab kematian karena
kanker. Penelitian di RS Dharmais (2001) mendapatkan 15
(6,5%) kasus kanker kolon dari 232 pada pasien yang di
kolonoskopi. Sedang di RSCM (1996-2001) terdapat 224 kasus
kanker kolon, terbanyak, yaitu 50 kasus pada tahun 2001;
berarti setiap minggu ditemukan 1 kasus kanker usus besar dari
tindakan kolonoskopi.
Konstipasi kronis mempunyai peluang untuk berkembang
menjadi kanker kolon. Ini disebabkan oleh tertumpuknya
karsinogen di permukaan kolon akibat tinja yang keras, kering
dan lambatnya gerak pembuangan. Konsumsi serat yang cukup
akan mempercepat transit feses dalam saluran pencernaan;
sehingga kontak antara kolon dengan berbagai zat karsinogen
yang terbawa dalam makanan lebih pendek, dengan demikian
mengurangi peluang terjadinya kanker kolon. Transit makanan
yang lebih cepat juga mengurangi kesempatan berbagai mikroorganisme dalam kolon untuk membentuk zat karsinogen.
KEBUTUHAN SERAT
Belum ada patokan baku atas konsumsi serat untuk setiap
orang. Anjuran biasanya ditujukan untuk kelompok tertentu.
US FDA menganjurkan Total Dietary Fiber (TDF) 25 g/2000
kalori atau 30 g/2500 kalori. The American Cancer Society,
The American Heart Association dan The American Diabetic
Association menyarankan 25-35 g fiber/hari dari berbagai
bahan makanan. Konsensus nasional pengelolaan diabetes di
Indonesia menyarankan 25 g/hari bagi orang yang berisiko
menderita DM. PERKI (Perhimpunan Kardiologi Indonesia)
2001 menyarankan 25-30 g/hari untuk kesehatan jantung dan
pembuluh darah. American Academy of Pediatrics menyarankan kebutuhan TDF sehari untuk anak adalah jumlah umur
(tahun) ditambah dengan 5 (g).
PENUTUP
Meskipun tidak mengandung zat gizi, peranan serat
makanan sangat penting. Jika konsumsi serat makanan yang
sehari-hari masih jauh dari yang dianjurkan, dapat ditambah
dengan serat yang banyak dipasarkan dalam bentuk kemasan.
Namun penggunaannya harus sesuai dosis yang dianjurkan,
sebab serat juga mempunyai efek yang tidak baik, misalnya
dapat mengurangi ketersediaan beberapa zat gizi. Fungsi serat
yang dapat mengikat asam empedu, juga mengurangi
penyerapan lemak sehingga vitamin larut lemak (vitamin D)
juga akan terhambat penyerapannya.
Enzim protease yang berperan dalam pencernaan protein
bisa terganggu karena kehadiran serat. Penurunan aktivitas
enzim tersebut diduga disebabkan oleh pengikatan atau interaksi dengan serat makanan.
Oleh sebab itu Pemerintah melalui Badan POM perlu
memberikan penjelasan kepada masyarakat tentang produk ini.
Badan POM (No KB 03.018.SP.2002) mengeluarkan penjelasan tentang produk-produk serat alami yang banyak dipasarkan
di Indonesia yang biasanya mempunyai komposisi antara lain:

Cermin Dunia Kedokteran No. 147, 2005

45

Psyllium husk (Plantago ovata) dan Isphagula hursk. Dalam


penjelasannya disebutkan bahwa, serat alami telah banyak
digunakan di seluruh dunia dan telah melalui penelitian ilmiah/
uji klinik di negara-negara maju. Berdasarkan penelitian
tersebut, sepanjang digunakan sesuai dengan anjuran, maka
produk serat alami psyllium dinyatakan aman dan bermanfaat.
Juga disebutkan bahwa serat alami jangan digunakan bersamasama dengan obat; digunakan sedikitnya - 1 jam setelah
mengkonsumsi obat karena serat yang diberikan bersamaan
dengan obat dapat menghambat absorbsi obat. Produk ini juga
tidak boleh digunakan tanpa air atau tidak boleh dimakan
dalam bentuk serbuk. Badan POM juga menganjurkan untuk
tidak mengkonsumsi serat pada penderita obstruksi usus besar,
penyempitan patologis saluran cerna dan juga pada penderita
diabetes mellitus yang kadar gulanya tidak bisa diatasi dengan
baik.
Oleh sebab itu Badan POM meminta kepada produsen
serat alami untuk melengkapi informasi produk yang dicantumkan pada kemasan. Masyarakat konsumen diminta untuk
membaca secara cermat aturan pakai dan informasi yang
membaca keterangan yang tercantum pada kemasan atau pada
brosur yang tersedia.

46 Cermin Dunia Kedokteran No. 147, 2005

KEPUSTAKAAN
1.

Jahari AB, Sumarno I. Epidemiologi Serat di Indonesia, Simposium


Seminar hasil Monica III, Pusat Jantung Nasional Harapan Kita, Jakarta,
2002.
2.
Achmad MA. Pengaruh perubahan pola hidup dan pola makan terhadap
peningkatan epidemi penyakit degenerasi. RS Pelni Petamburan, 2002.
3.
Badan POM. Penjelasan Badan POM no. KB.03.018.SD.2002 tentang
produk sehat alami yang mengandung Psyllium husk/Plantago ovata/
Isphagula husk.
4.
Dietary fiber. www.well.net.com/cardiof/fiber.htm
5.
Dietary fiber facts. www.makeriples.com/education/library/dietary_fiber/
dietary _fiber_facts
6.
Fiber. www.naturaltechniquer.com/dietary_fiber.htm
7.
Lestiany L. Peran serat dan penatalaksanaan kasus masalah berat. Bagian
Ilmu Gizi FKUI, Jakarta, 2002.
8.
Joseph G. Manfaat serat makanan bagi kesehatan kita. Makalah falsafah
sains (PPS 702), Program Pasca Sarjana IPB, 2002
9.
Syam AF. Peran dokter keluarga dalam penatalaksanaan penyakit
degeneratif khususnya peranan diet tinggi serat. Bagian Ilmu Penyakit
Dalam FK UI/RSCM, Jakarta 2002.
10. Slavin J, Darling M. Fiber in the diet. Department of Food Science and
Nutrition, University of Minnesota , 2000.
11. The Importance of dietary fiber. www.Geocities.com/b_sherback/
matol_fibre_fact.
12. Winarsi H. Peran serat makanan (dietary fiber) untuk mempertahankan
tubuh sehat. Makalah Falsafah Sains (PPS 702), Program Pasca Sarjana
IPB, 2001

HASIL PENELITIAN

Efek Teh Hitam

[(Camellia sinensis O.K. Var. Assamica (Mast)]

terhadap Plak Aterosklerosis


pada Kelinci (Oryctolagus cuniculus) strain
New Zealand White
Sulistyowati T, Cornelis Adimunca, Raflizar
Pusat Penelitian dan Pengembangan Pemberantasan Penyakit
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan RI, Jakarta

ABSTRAK
Teh merupakan bahan minuman alami yang mengandung zat antioksidan
flavonoid yang dapat bersifat antikarsinogenik, hipokolesterolemik serta kariostatik.
Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui apakah teh hitam bersifat antiaterosklerosis
pada kelinci.
Penelitian dilakukan dengan membagi kelinci ke dalam 4 kelompok perlakuan.
Kecuali kelompok A (kontrol positif) dan kelompok B (kontrol negatif), kelinci diberi
sari seduhan teh hitam (SSTH). Kecuali kelompok B, kelinci diberi margarin yang
mengandung asam lemak trans. Dosis SSTH yang diberikan untuk kelompok C (1X
Dosis Manusia = 211,68 mg/1,5 kgbb.) dan kelompok D (3X DM = 635,04 mg/1,5 kg
bb.). Setiap 2 minggu sekali, 12 ekor kelinci yang mewakili ke-4 kelompok diambil
aorta jantungnya, untuk dibuat preparat awetan yang selanjutnya diamati secara
histologis dan diukur tebal dinding arkus aortanya.
Kesimpulan : makin lama masa perlakuan TDA3 akan makin tebal. Pemberian
SSTH 1X DM belum mampu mencegah terjadinya ateroma, sedangkan SSTH 3X DM
sudah dapat mencegah terbentuknya ateroma dan aterosklerosis.
Kata kunci : teh hitam; plak aterosklerosis; asam lemak tak jenuh trans

PENDAHULUAN
Aterosklerosis merupakan suatu penyakit degeneratif;
lemak dan kolesterol terakumulasi di bawah lapisan endotel
dinding arteri (plak) menyebabkan penebalan serta kerusakan
lapisan intima dinding arteri. Plak ini mungkin berasal dari
pembentukan trans-isomer dan bermutasi dalam sel otot polos
dinding arteri. Meningkatnya ukuran plak menyebabkan penyempitan lumen pembuluh darah, sehingga merintangi aliran

darah; atau plak tersebut dapat terlepas ke dalam sirkulasi


darah menjadi emboli dan menyumbat pembuluh-pembuluh
yang lebih kecil. Hal ini dapat menyebabkan infark karena
terhentinya suplai darah(1).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa teh hitam mengandung senyawa flavonoid dengan kadar tinggi yang bersifat
antioksidan dan diperkirakan dapat melindungi tubuh terhadap
plak(2). Flavonoid berfungsi mengurangi radikal bebas

Cermin Dunia Kedokteran No. 147, 2005

47

hidroksil, radikal bebas superoksida dan radikal bebas peroksil


lipid(3).
Wanita berusia 55 tahun atau lebih yang minum sedikitnya
1-2 cangkir teh hitam sehari, aterosklerosisnya 54% lebih
sedikit dibandingkan dengan yang tidak minum teh hitam(4).
Sebagian besar asam lemak tak jenuh terdapat secara alami
sebagai cis-isomer, hanya sedikit yang trans-isomer. Asam
lemak trans berasal dari 3 sumber, yaitu produk lemak hewan
pemamah biak (susu, daging, jaringan adiposa), minyak yang
dihidrogenasi sebagian (margarin, shortening, cooking fats),
dan minyak yang telah dihilangkan baunya; terutama minyak
yang mengandung asam -linolenik (misal, kacang kedelai dan
rapeseed oils); sumber utama asam lemak trans pada manusia
adalah minyak yang dihidrogenasi sebagian(5).
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa asam lemak
trans pada derajat yang sama dengan asam lemak jenuh
menurunkan kadar kolesterol HDL, sedangkan asam lemak
jenuh tidak. Dengan demikian rasio kadar kolesterol LDL
terhadap kolesterol HDL pada asam lemak trans lebih besar
daripada asam lemak jenuh. Peningkatan absolut sebesar 2%
dari konsumsi asam lemak trans akan meningkatkan rasio
kolesterol LDL terhadap kolesterol HDL sebesar 0,1 unit.
Karena peningkatan 1 unit pada rasio dikaitkan dengan 53%
peningkatan risiko PJK, rata-rata konsumsi 2% kalori dari asam
lemak trans di AS diperkirakan menyebabkan sejumlah besar
kematian akibat PJK(6).
Tujuan penelitian : mengetahui efek teh hitam terhadap
plak aterosklerosis pada kelinci percobaan.
METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian bersifat Eksperimental dengan Rancangan Acak
Lengkap Petak Terbagi.
Variabel Independen I : dosis sari seduhan teh hitam (SSTH),
terdiri dari 4 taraf.
1. Kelompok A (kontrol positif), hanya diberi margarin 8%
tanpa SSTH.
2. Kelompok B (kontrol negatif), tanpa margarin maupun
SSTH.
3. Kelompok C : SSTH 1X DM (211,68mg/ml/1,5kgbb.) +
8% margarin.
4. Kelompok D : SSTH 3X DM (635,04mg/ml/1,5kgbb.) +
8% margarin.
Variabel Independen II : lama perlakuan, terdiri dari 4 taraf.
1. M2 = lama perlakuan 2 minggu.
2. M4 = lama perlakuan 4 minggu.
3. M6 = lama perlakuan 6 minggu.
4. M8 = lama perlakuan 8 minggu.
Variabel Dependen :
- Pengukuran dinding pembuluh darah (Arcus Aorta Ascenden)
Jumlah sampel : menurut rumus Federer
(T1 x T2) (n-1) 15 T = T1 = T2 = jumlah perlakuan
16n 16 15
n = jumlah ulangan minimal
16n 31 n 1,9375 2

48 Cermin Dunia Kedokteran No. 147, 2005

Cara Kerja
A. Teh Hitam : daun tanaman teh hitam [Camellia sinensis
O.K. Var. Assamica (Mast)] sesuai dosis masing-masing
diseduh dengan air mendidih, didiamkan selama 15
menit, kemudian disaring dan diambil filtratnya.
B.
Aterogen berupa hydrogenated vegetable oil, yaitu
margarin yang dicairkan.
C. Kelinci Percobaan: berumur 3 bulan; berat 1,5 kg sebanyak 48 ekor; dibagi menjadi 4 kelompok perlakuan
SSTH serta 4 macam lama perlakuan, masing-masing terdiri dari 3 ekor kelinci dengan cara kerja sebagai berikut:
1. Semua kelinci diberi minum air putih dan makanan
baku berupa pelet RB-11 yang mengandung kolesterol
109,59mg/100g. secara ad-libitum.
2. Semua kelinci kecuali kelompok B, diberi aterogen
8%.
3. Semua kelinci kelompok C D, diberi SSTH sesuai
dosis masing-masing.
4. Dilakukan pembedahan kelinci untuk mengambil
arkus aorta pada minggu ke-2, minggu ke-4, minggu
ke-6 dan minggu ke-8.
5. Dibuat preparat awetan aorta dengan Metode Parafin.
6. Dilakukan pengamatan histologis dan pengukuran
tebal dinding arkus aorta ascenden.
ANALISIS DATA
Data kuantitatif yang diperoleh, diuji kenormalan dan
homogenitasnya. Uji kenormalan dengan Metode Distribusi
Frekuensi menunjukkan bahwa data tidak normal. Uji homogenitas dengan Metode Barlett menunjukkan bahwa data tidak
homogen. Selanjutnya, data ditransformasi dan diuji kembali
kenormalan dan homogenitasnya dengan Metode masingmasing seperti disebut di atas.
Dari hasil uji kenormalan diketahui bahwa data normal,
tetapi dari hasil uji homogenitas diketahui bahwa data tidak
homogen. Data kemudian dianalisis secara Non Parametrik
menggunakan Analisis Friedman dilanjutkan dengan uji Berganda menurut Daniel. Derajat kepercayaan untuk menerima
hipotesis adalah 95%.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Pengukuran Tebal Dinding Arkus Aorta Ascenden
Dari data yang diperoleh, dengan jumlah ulangan total
masing-masing 12 ekor dapat diketahui bahwa rata-rata tebal
dinding arkus aorta ascenden (TDA3) pada kelompok A
68,4056 um; kelompok B 58,7667 um; kelompok C 56,2833
um; kelompok D 49,9445 um. Persentase selisih kelompok A-B
= 14,0908 %; kelompok B-C = 4,2259 %; kelompok selisih CD = 11,2623 %. Rata-rata TDA3 kelompok M2 45,1889 um;
kelompok M4 49,3667 um; kelompok M6 65,6556 um;
kelompok M8 73,1889 um. Persentase selisih kelompok M2M4 = 8,4628 %; kelompok M4-M6 = 24,8096 %; kelompok
M6-M8 = 10,2930 %.

Tabel 1.
No

Tebal Dinding Arkus Aorta Ascenden (TDA3) pada kelinci


dengan 4 macam dosis dan 4 macam lama perlakuan (m)
T1 =
DOSIS
A

1.
2.
3.

(n)

T2 = LAMA PERLAKUAN (MINGGU)


M2
M4
M6
M8
50,1333
68,4667
79,4000
82,8667
75,2000
66,2667
71,6667
66,0000
68,8000
53,3333
63,6667
75,0667

1
2
3

64,7111
13,0240

62,6889
8,1765

71,5778
7,8670

74,6445
8,4413

46,4667

39,0000

61,9333

2
3

44,6667
36,2667

49,4667
39,2667

48,8667
75,0000

119,866
7
64,2667
80,1333

42,4667
5,4443

42,5778
5,9675

61,9333
13,0667

88,0889
28,6410

48,2000
44,3333
38,5333

52,7333
62,2000
49,4000

73,6667
64,6667
43,6667

67,6000
69,8667
60,5333

43,6889
4,8655

54,7778
6,6404

60,6667
15,3948

66,0000
4,8681

32,4667
36,0667
21,1333

36,2667
36,0667
39,9333

69,8000
65,1333
70,4000

70,6667
56,5333
64,8667

29,8889
7,7933

37,4222
2,1770

68,4444
2,8832

64,0222
7,1044

X
SD
4.

5.
6.
X
SD
7.
8.
9.

1
2
3

X
SD
10.
11.
12.

Perlakuan (k)

1
2
3

X
SD

Rangking (R)
46
26
29
19

A
B
C
D

A
46
20*
17*
27*

B
26

C
29

D
19

3
7

10

Keterangan : * = berbeda bermakna ( = 0,05)


1. TDA3 kelompok A berbeda nyata terhadap TDA3 kelompok B, C dan D (p <
0,05).
2. TDA3 kelompok B tidak berbeda nyata terhadap TDA3 kelompok C dan D
(p> 0,05).
3. TDA3 kelompok C tidak berbeda nyata terhadap TDA3 kelompok D (p >
0,05).

Tabel 3. Hasil Uji Berganda Daniel antar lama perlakuan


M2

M4

M6

M8

14
8
22*
34*

22

36

48

14*
26*

12*

Perlakuan (k)
Rangking (R)
14
22
36
48

M2
M4
M6
M8

Keterangan : * = berbeda bermakna ( = 0,05)


1. TDA3 kelompok M2 berbeda nyata terhadap TDA3 kelompok M6 dan M8
(p< 0,05), tetapi tidak berbeda nyata terhadap TDA3 kelompok M4 (p>
0,05).
2. TDA3 kelompok M4 berbeda nyata terhadap TDA3 kelompok M6 dan M8
(p< 0,05).
3. TDA3 kelompok M6 berbeda nyata terhadap TDA3 kelompok M8 (p< 0,05).

Hasil analisis data secara Non Parametrik dengan Metode


Friedman menunjukkan bahwa perbedaan perlakuan menyebabkan perbedaan ketebalan dinding arkus aorta ascenden
(p < 0,05). Sedangkan hasil Uji Berganda Daniel ditunjukkan
oleh Tabel 2 :
Tabel 2. Hasil Uji Berganda Daniel antar dosis perlakuan
Tabel 4. Hasil Uji Berganda Daniel antar dosis dan lama perlakuan
K1

A
K2

M2
M4
M6
M8
M2
M4
M6
M8
M2
M4
M6
M8
M2
M4
M6
M8

R
34
27
41
44
11
13
26
47
12
20
25
31
3
6
38
30

M2
34
7
7
10
23
21
8
13
22
14
9
3
31
28
4
4

M4
27

M6
41

M8
44

M2
11

M4
13

M6
26

M8
47

M2
12

M4
20

M6
25

M8
31

M2
3

M4
6

M6
38

M8
30

14
17
16
14
1
20
15
7
2
4
24
21
11
3

3
30
28
15
6
29
21
16
10
38
35
3
11

33
31
18
3
32
24
19
13
41*
38
6
14

2
15
36
1
9
14
20
8
5
27
19

13
34
1
7
12
18
10
7
25
17

21
14
6
1
5
23
20
12
4

35
27
22
16
44*
41*
9
17

8
13
19
9
6
26
18

5
11
17
14
18
10

6
22
19
13
5

28
25
7
1

3
35
24

32
24

Keterangan : * = berbeda bermakna ( = 0,05)


1. TDA3 kelompok AM8 berbeda nyata terhadap TDA3 kelompok DM2 (p< 0,05), sedangkan TDA3 kelompok BM8 berbeda nyata terhadap TDA3
2. kelompok DM2 dan DM4 (p < 0,05).
3. Selain dari yang disebut di atas, TDA3 antara tiap kelompok dosis perlakuan/lama perlakuan tidak berbeda nyata (p > 0,05).

Cermin Dunia Kedokteran No. 147, 2005

49

B. Pengamatan Preparat Awetan


B.1. Preparat hewan yang diberi perlakuan selama 2 dan 4
minggu
Pada pengamatan preparat hewan yang diberi perlakuan
selama 2 minggu, pada kelompok A (kontrol positif), kelompok
B (kontrol negatif), kelompok C (1X DM) serta kelompok D
(3X DM) tidak terdapat ateroma ataupun aterosklerosis.
Hal ini mungkin karena paparan aterogen asam lemak trans
berupa hydrogenated vegetable oil (margarin) kurang lama
sehingga peningkatan kadar kolesterol LDL masih reversibel.
B.2. Preparat hewan yang diberi perlakuan selama 6
minggu
Pemberian aterogen mengandung asam lemak trans
selama 6 minggu, menyebabkan 33,33% dari kelinci kelompok
A (kontrol positif) mengalami aterosklerosis serta ateroma di
lapisan intima arkus aorta ascendennya. Sedangkan di kelompok C, yang diberi perlakuan aterogen serta SSTH sebanyak
1X DM (dosis manusia yang sudah dikonversi ke dalam dosis
kelinci) 33,33% didapati ateroma di lapisan intima arkus aorta
ascendennya, tetapi tidak terdapat aterosklerosis, mungkin
karena sensitivitasnya terhadap penyakit berbeda, sehingga
masing-masing 33,33% dari kelompok A dan C lebih cepat
mendapatkan ateroma / aterosklerosis dibandingkan dengan kelinci lain.
Pada A1 M6, terdapat deposit lemak di dinding arkus aorta
ascenden (ateroma) yang kemudian mengeras (mengalami pengapuran) dan terbentuk aterosklerosis.
Pada C1 M6, juga terdapat deposit lemak di lapisan intima
dinding arkus aorta ascenden (ateroma). Dalam hal ini khususnya pada C1 M6, ternyata flavonoid dalam SSTH efeknya
hanya sebatas menghambat perkembangan ateroma menjadi
aterosklerosis, tetapi tidak menghambat terjadinya ateroma;
sedangkan pada kelinci lain yang mempunyai daya tahan tubuh
lebih baik, efek flavonoid dalam SSTH dapat menghambat
terbentuknya ateroma dengan melindungi lapisan intima terhadap radikal bebas peroksil lipid sehingga mencegah masuknya kolesterol LDL.
B.3. Preparat hewan yang diberi perlakuan selama 8
minggu
Pemberian aterogen selama 8 minggu menyebabkan adanya ateroma pada 66,67% di kelompok A dan menyebabkan

ateroma serta aterosklerosis pada 33,33% di kelompok B


(kontrol negatif). Sedangkan pada kelinci lain tidak terdapat
ateroma ataupun aterosklerosis.
Pemberian aterogen menyebabkan masuknya kolesterol
LDL ke dalam lapisan intima arkus aorta ascenden kelinci A2
M8 dan A3 M8, kemudian teroksidasi selama 8 minggu
sehingga terbentuklah ateroma. Khususnya pada kelinci A2 M8
terdapat banyak sekali ateroma yang beberapa di antaranya
mulai ada pengapuran.
Ternyata, pada kelinci B1 M8 juga terdapat ateroma
maupun aterosklerosis; mungkin akibat munculnya sifat
genetik strain New Zealand White yang mempunyai
kecenderungan terkena aterosklerosis (40%), sehingga hanya
dengan pemberian makanan mengandung kolesterol selama 8
minggu tanpa aterogen asam lemak trans sudah dapat
menyebabkan terjadinya aterosklerosis.
KESIMPULAN
Pemberian SSTH sebesar 1X DM tidak cukup untuk
menghambat terjadinya ateroma. Sedangkan pemberian SSTH
sebanyak 3X DM sudah mampu mencegah terbentuknya baik
ateroma maupun aterosklerosis.
Pemberian asam lemak trans berupa hydrogenated
vegetable oil (dalam hal ini margarin) selama 6-8 minggu pada
kelinci betina strain New Zealand White menyebabkan aterosklerosis dan atau ateroma di lapisan intima dinding arkus aorta
ascenden saja, belum sampai ke arkus aorta descenden ataupun
aorta thoracalis.

KEPUSTAKAAN
1.
2.
3.
4.
5.
6.

Sutantyo E. The Effect of Palm Oil, Peanut Oil and Margarine on Serum
Lipoprotein and Atherosclerosis in Rats. Maj. Gizi Indon. 1994;19 (1-2) :
6989.
Geleijnse. Drinking Tea Protects Arteries from Cholesterol Build-up.
Arch. Intern. Med.1999;159 : 2170 - 4.
Tuminah S. Radikal Bebas dan Antioksidan - kaitannya dengan Nutrisi
dan Penyakit Kronis. Cermin Dunia Kedokt. 2000; 18 : 49-51.
Licher S. Whether its Green, Black, Jasmine or Earl Gray Tea could be
the Elixir of Health. 2000 June WebMD Medical News. [cited 2000 July
07]
Silalahi J. Hypocholesterolemic Factors in Foods : A Review. Indonesian
Food and Nutrition Progress. 2000; 7(1) : 26-35.
Trans Fatty Acid and Coronary Heart Disease., URL://www.nejm.org/
content/1999/0340/0025/1994.asp.

To do good to the bad is a danger just as great is to do bad to the good


Plautus

50 Cermin Dunia Kedokteran No. 147, 2005

HASIL PENELITIAN

Rokok di Sinetron
Tjandra Yoga Aditama
Departemen Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Rumah Sakit Persahabatan, Jakarta
Penerima WHO Award on Tobacco Control , 1999

PENDAHULUAN
Lima ratus juta orang yang dewasa yang hidup di muka
bumi akan meninggal akibat kebiasaan merokok. Sekitar 100
juta orang telah meninggal akibat rokok di abad 20, dan kalau
trend ini terus berjalan maka di abad 21 akan ada 1 milyar
orang yang meninggal akibat rokok. Setiap harinya sekitar 80100 ribu remaja di dunia menjadi pecandu dan ketagihan rokok.
Bila pola ini terus menetap maka sekitar 250 juta anak-anak
yang hidup sekarang ini akan meninggal akibat penyakit yang
berhubungan dengan kebiasaan merokok(1,2).
Ada berbagai alasan orang untuk mulai dan tetap, atau
bahkan meningkatkan konsumsi rokoknya. Salah satu yang
penting adalah pengaruh panutan dan tontonan. Dalam hal ini
peran artis serta film (termasuk sinetron) amatlah penting. Hal
inilah yang antara lain menjadi dasar sehingga di tahun 2003
yang lalu tema Hari Tanpa Tembakau seDunia adalah Tobacco
Free Film, Tobacco Free Fashion (3).
Untuk mengetahui pola merokok di sinetron - tontonan TV
yang amat populer di Indonesia - maka dilakukan penelitian
untuk melihat ada tidaknya adegan merokok di sinetron yang
disiarkan berbagai stasiun TV swasta di Jakarta. Penelitian ini
dilakukan pada bulan Mei 2003 untuk mengetahui pola
merokok di kalangan para selebritis Indonesia, utamanya artis
sinetron, dan juga kebiasaan merokok yang diperlihatkan pada
adegan sinetron TV Indonesia
BAHAN DAN CARA KERJA
Dilakukan pengamatan pada sinetron yang diputar di
beberapa stasiun TV swasta yang ada di Jakarta. Pengamatan
dilakukan oleh 5 orang perawat RS Persahabatan Jakarta pada
sore dan malam hari. Pada setiap sinetron kemudian dicatat
beberapa hal :
Stasiun TV
Judul sinetron

Jam dan tanggal penayangan


Ada tidaknya orang merokok
Siapa / peran apa yang merokok
Sebagai penelitian tambahan, dilakukan pula pengumpulan
data kebiasaan merokok di kalangan kameraman 2 stasiun TV
swasta. Kepada para kameraman ini ditanyakan apakah pada
saat penelitian berlangsung mereka perokok atau tidak. Pertanyaan diajukan oleh wartawan di stasiun TV tersebut yang
biasa meliput program-program kesehatan.
Seluruh data yang ada kemudian ditabulasikan dan disajikan
berikut ini.

HASIL PENELITIAN
Pengamatan dilakukan tanggal 29 Mei sampai dengan 2
Juni 2003 (5 hari). Pengamatan dilakukan pada 14 episode
sinetron yang disiarkan oleh 6 stasiun TV swasta, yaitu :

RCTI

SCTV

Indosiar

AnTV

Trans TV

Lativi
Dari 14 sinetron yang diamati ternyata 9 sinetron (64,28%)
menampilkan adegan merokok (Tabel 1):
Tabel 1. Adegan merokok di sinetron
Adegan merokok

Jumlah

Persentase

Ada
Tidak ada
Total

9
5
100

64,28 %
35, 72 %
100 %

Cermin Dunia Kedokteran No. 147, 2005

51

Dari 9 sinetron, 6 ada adegan merokoknya (66,66%); yang


merokok adalah pemeran penting di sinetron itu.
Tabel 2 memperlihatkan pola jenis kelamin perokok di
sinetron.
Tabel 2. Jenis kelamin perokok di sinetron
Yang Merokok
Laki-laki saja
Perempuan saja
Laki & Perempuan
Total

Jumlah
5 sinetron
1 sinetron
4 sinetron
14

Persentase
55,55%
11,12%
33,33%
100 %

Tabel 3 menggambarkan tokoh apa saja yang beradegan


merokok di dalam sinetron yang diamati. Data ini menunjukkan bahwa perokok terlihat pada pemeran bapak, pengusaha
dan sampai tukang parkir dan calo.
Tabel 3 . Peran perokok di sinetron
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11

Peran perokok di sinetron


Bapak
Pengusaha
Mandor
Penjual bunga
Wanita panggilan
Tamu di caf & rumah
Petugas parkir
Calo
Guru
Dokter
Pacarnya dokter

Sementara itu, data tentang kamerawan stasiun TV didapat


dari 2 stasiun TV swasta. Jumlah seluruh responden 92 orang,
89 di antaranya laki-laki dan 3 orang perempuan. Tidak ada
satupun dari responden perempuan yang merokok. Dari 89
kamerawan laki-laki 86 ( 96,62%) di antaranya perokok .
DISKUSI
Penelitian ini dilakukan selama 5 hari atas sebagian besar
(6) stasiun TV swasta yang ada. Pengamatan hanya dilakukan
di sore dan malam hari karena dilakukan oleh perawat rumah
sakit yang di pagi dan siang hari bekerja sehingga tidak dapat
menonton sinetron.
Didapatkan bahwa di sekitar dua per tiga sinetron kita
ternyata ada adegan merokok. Dalam kurun waktu 1988 1997
setidaknya 85% dari film Holywood ternama menampilkan
adegan merokok. Penelitian lain di India dari 395 film yang
diproduksi antara 1991 2002 menunjukkan bahwa 302 di
antaranya (76,5%) juga memperlihatkan adegan merokok.
Penelitian lain oleh National Coalition of TV Violence
menunjukkan bahwa dari 150 film yang dipantau di tahun 1989
ternyata 83% di antaranya memperlihatkan adegan merokok
pula (3).
Sementara itu, data penelitian ini juga menunjukkan bahwa
baik laki-laki maupun perempuan sama saja punya kebiasaan
merokok, hanya memang lebih banyak sinetron yang ada lakilaki yang merokok. Dari data tentang siapa yang merokok

52 Cermin Dunia Kedokteran No. 147, 2005

dalam sinetron tampak tidak ada pola tertentu; baik peran


orang baik ataupun orang jahat sama-sama merokok di
sinetron.
Data ini menunjukkan bahwa adegan merokok merupakan
bagian tidak terpisahkan dari sinetron di negara kita. Hal ini
jelas berakibat buruk bagi masyarakat karena seringkali orang
mulai, meneruskan atau makin banyak merokok karena melihat
public figure termasuk artis - merokok dan mengaitkannya
dengan dunia glamour.
WHO SEARO (South East Asia Regional Office)
Indonesia salah satu anggotanya - mentargetkan bahwa dalam
periode 2000 2010 harus dilakukan berbagai upaya agar total
konsumsi rokok turun setidaknya 1% setahun, dan jumlah
perokok anak-anak, wanita dan kelompok miskin turun masingmasing setidaknya 1% setahun di setiap kelompok masyarakat
itu. Untuk itu perlu dilakukan sedikitnya 9 prioritas kegiatan,
yang tampaknya harus pula dilakukan di Indonesia yang
disesuaikan dengan keadaan di sini (4).
Pertama adalah promosi kesehatan, yang seyogyanya
dilakukan dengan baik, terprogram dan sesuai ke sasaran, tidak
kalah meriah ketimbang promosi rokok yang amat gencar. Ke
dua perlindungan konsumen, yang meliputi pemberian seluruh
informasi secara lengkap, benar dan jujur ke pada konsumen
yang akan membeli rokok. Hal ini meliputi tulisan peringatan
bahaya yang tertera di bungkus rokok yang harusnya cukup
besar dan jelas, pencantuman kadar tar dan nikotin dalam
bungkus rokok dll. Ke tiga, bantuan bagi mereka yang ingin
berhenti merokok, antara lain dengan pembuatan brosur/kit cara
berhenti merokok, pelayanan klinik berhenti merokok dll. Ke
empat, perlindungan bagi mereka yang tidak merokok. Perlu
ditegaskan adanya hak azasi para non perokok untuk
menghirup udara bersih sehat bebas asap rokok.
Ke lima, pendekatan dari sudut fiskal dengan menaikkan
cukai rokok. Menurut WHO ini adalah bentuk pendekatan win win karena pendapatan dapat meningkat sementara dampak
buruk pada populasi yang rentan (anak-anak dan kelompok
miskin) akan menurun. Ke enam adalah pengaturan iklan
rokok di berbagai media, agar memberi infiormasi yang sahih
dan jangan bersifat mengajak kaum muda untuk mulai
merokok. Pendekatan ke tujuh adalah penelitian-penelitian di
berbagai sektor, yang meliputi kuantitas merokok, dampak
rokok, pengaruh pada lingkungan, kecenderungan merokok
dari waktu ke waktu dll. Penelitian dalam berbagai bentuknya
belum banyak dilakukan di negara kita, dan perlu terus
digalakkan. Kegiatan ke delapan adalah pembatasan penjualan rokok, jangan dekat sekolah, jangan di vending machine dll.
Sementara itu, pendekatan terakhir adalah pencegahan penyelundupan yang banyak menjadi masalah di beberapa negara
tetangga kita.
Sementara itu, pendekatan terbaik dewasa ini dalam penanggulangan merokok adalah dengan menerima dan mengimplementasikan FCTC (Framework Convention on Tobacco
Control). FCTC adalah suatu perjanjian/traktat (treaty) internasional pertama di bidang kesehatan masyarakat di dunia (5).
Materi FCTC sendiri secara lengkap terdiri dari beberapa
bab / bagian, yaitu preambul, definisi, tujuan, prinsip umum
dan obligasi umum. Kemudian dilanjutkan dengan Bab pola

tarif dan perpajakan untuk menurunkan kebutuhan dan


konsumsi tembakau serta pendekatan non tarif untuk menurunkan kebutuhan dan konsumsi tembakau, yang meliputi
perlindungan perokok pasif, peraturan perundangan, bungkus
rokok dan peringatannya, pendidikan pelatihan & pengetahuan
masyarakat serta iklan promosi & sponsor. Bab berikutnya
membahas penanganan ketergantungan rokok / bantuan
berhenti merokok. Isi FCTC selanjutnya adalah upaya yang
berhubungan dengan penyediaan rokok, yang meliputi pencegahan penyelundupan / perdagangan tidak sah, penjualan
oleh dan untuk anak-anak / usia muda dan pengaturan tentang
produksi dan pertanian. Di bagian akhir FCTC dibahas tentang
kompensasi, surveilans, riset dan tukar menukar informasi,
kerjasama ilmiah, teknik dan legal, pertemuan antar negara,
sekretariat, peran WHO, pelaporan dan implementasi, sumber
dana dan penutup
Banyak hal amat penting yang terkandung dalam FCTC,
dan tidaklah berlebihan kalau dikatakan bahwa FCTC merupakan kumpulan aturan yang amat lengkap untuk menanggulangi
masalah merokok. FCTC antara lain menjamin perlunya diimplementasikan peraturan perundangan untuk perlindungan
perokok pasif, antara lain dalam bentuk larangan merokok
secara total di seluruh tempat-tempat umum. Sejauh mungkin
harus pula dibuat aturan pelarangan penjualan rokok pada anak
berusia di bawah 18 tahun, dan juga bila mungkin pelarangan
penjualan rokok oleh mereka yang berusia di bawah 18 tahun
Selain itu, perlu ada standar yang meliputi semua proses
pembuatan rokok, yang mengacu pada standar internasional
(WHO) dan perusahaan rokok harus mau memberi informasi
lengkap (disclosure) tentang produknya. Sementara itu, untuk
para perokok juga harus disediakan program untuk membantu
proses berhenti merokok. Yang juga fundamental adalah aturan
dalam FCTC bahwa bungkus rokok harus mencantumkan
secara jelas tentang bahaya merokok dan kandungan bahan
berbahayanya. Disepakati bahwa peringatan bahaya rokok dalam bentuk berbagai gambar penyakit dan tulisan bahaya
rokok - akan mencakup minimal 30% sampai setengah
permukaan depan bungkus rokok. Pencantuman istilah low,
light, mild dll. yang selama ini memang menyesatkan tidak
boleh digunakan lagi. Istilah-istilah itu menyesatkan karena
sebenarnya tidak ada penurunan bahaya yang bermakna dengan
penurunan kadar tar dan nikotin dengan cara ini, dan istilah itu
memberi kesan rokok yang aman sehinggga si perokok
cenderung merasa boleh merokok dan bukan tidak mungkin
akan mengkonsumsi rokok lebih banyak lagi karena merasa
yang dihisapnya adalah rokok yang ringan.

Hal lain yang amat penting adalah pelarangan segala


bentuk iklan rokok, langsung atau tidak langsung. Ini akan
merupakan langkah raksasa. Harus diakui bahwa banyak sekali
remaja mulai merokok akibat melihat iklan, apalagi yang
diperankan oleh wanita cantik atau pria gagah. Perlu diingatkan
di sini bahwa merokok akan menimbulkan kulit keriput, bukan
kecantikan, dan merokok akan menyebabkan sakit paru dan
jantung dll, bukan kegagahan. FCTC juga mengatur bahwa
pelarangan iklan ini harus diimbangi dengan digalakkannya
penyuluhan kesehatan, termasuk di dalamnya adalah counter
advertising. FCTC juga mengatur perlunya dibentuk dan diaktifkannya suatu national coordinating mechanism untuk
program penanggulangan masalah merokok dan perlu ada
aturan hukum yang diharmonisasi antar negara untuk menurunkan konsumsi rokok. Ditegaskan pula bahwa pendekatan
melalui pola tarif dan perpajakan merupakan salah satu pendekatan ampuh dalam penanggulangan masalah merokok.
Cukai rokok dapat segera dinaikkan hingga didapat dana untuk
penanggulangan akibat buruk kebiasaan merokok, sementara
harus ada larangan penjualan rokok tax free atau duty free.
Selain itu FCTC juga mengatur perlunya aturan tegas tentang
penyelundupan rokok, antara lain dengan tulisan bahwa rokok
ini hanya boleh dijual di negara tertentu dll., terlaksananya
program surveilans, riset dan tukar menukar informasi antar
negara serta tersedianya global funds untuk membantu program
penaggulangan masalah merokok ini.
Indonesia tidak ikut menandatangai FCTC. Tetapi, masih
ada kesempatan karena dapat dilakukan accession, yaitu
kegiatan diplomatik yang menyatakan kita menerima FCTC (6).
Amat diharapkan agar pemerintah Indonesia dapat segera
melakukan accession terhadap FCTC ini, demi kesehatan
masyarakat kita, kini dan di masa mendatang !
KEPUSTAKAAN
1.
2.
3.
4.
5.
6.

de Beyer J, Bridgen LW. Tobacco Control Policy.Ottawa: World Bank &


RITC, 2003, hal. : 1-5
Tjandra Yoga Aditama. Masalah Merokok dan Penanggulangannya.
Jakarta : YP IDI, 2001 , hal. : 1 - 8.
WHO Tobacco Free Film , Tobacco Free Action. Geneve : WHO 2003 :1,
8-10
WHO SEARO. A Policy Framework for Tobacco Control. New Delhi :
WHO SEARO 2000 : 24-6
Tjandra Yoga Aditama. FCTC, Senjata Andalan Melawan Rokok. Harian
Kompas, 31 Mei 2003, hal. 12
Hammond R. Framework Convention on Tobacco Control.
Dipresentasikan di Framework Convention Alliance Awareness Raising
and Capacity Building Workshop on Tobacco Control and the FCTC,
Bangkok, 15 18 Juli 2004.

Unhappy is the man who is in advance of his time

Cermin Dunia Kedokteran No. 147, 2005

53

HASIL PENELITIAN

Kenaikan Kadar Hemoglobin


setelah Pemberian Epoeitin Alfa
(HEMAPO) selama 12 minggu,
pada Penderita Gagal Ginjal
yang Menjalani Hemodialisis
Rully MA Roesli, Enday Sukandar, Rubin Gondodiputro, Rachmat Permana
Sub-bagian Ginjal dan Hipertensi, Bagian Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran/Rumah Sakit Dr Hasan Sadikin, Bandung

ABSTRAK
Recombinant human erythropoeitin (rHu-EPO) dianjurkan diberikan pada semua
tingkat penderita Penyakit Ginjal Kronis (PGK) baik yang belum atau telah menjalani
terapi dialisis. Terapi EPO pada penderita PGK telah terbukti secara signifikan (evidence
level A) dapat menghilangkan gejala maupun mengurangi komplikasi akibat anemi pada
penderita PGK. Namun demikian, walaupun sudah dibuktikan bahwa pemberian rHuEPO pada penderita PGK secara bermakna memperbaiki kualitas hidup penderita,
mengingat harganya yang mahal, tidak semua pasien beruntung mendapatkannya.
Kemajuan bioteknologi di negara-negara Asia menghasil-kan kemampuan memproduksi
salah satu jenis rHu-EPO, yaitu epoeitin alfa (Hemapo) dengan biaya yang lebih murah
sehingga lebih terjangkau oleh pasien.
Dilakukan pengobatan epoeitin alfa (Hemapo), yang dibuat di Indonesia (dengan
lisensi dari Cina) terhadap 32 penderita gagal ginjal yang sedang menjalani hemodialisis
di 3 pusat dialisis di Bandung. Pengobatan dilakukan menggunakan Konsensus
PERNEFRI mengenai Manajemen Anemi Pasien Gagal Ginjal Kronik. Penelitian
dilakukan selama 12 minggu. Terjadi kenaikan kadar Hb (g/dl) setelah pemberian
epoeitin alfa pada minggu ke-4 (sebesar 13,10%), pada minggu ke-8 (24,40%), dan pada
minggu ke 12 (29,30%). Hal serupa terlihat pada kadar Ht. Terdapat kenaikan Ht(%)
setelah pemberian epoeitin alfa pada minggu ke-4 (sebesar 18,80%), pada minggu ke-8
(26,60%), dan pada minggu ke 12 (31,80%). Peningkatan Hb tertinggi, sebesar 5,1-6 g/dl
terlihat pada 2 penderita (6,20%). Sedangkan peningkatan Hb tertinggi adalah sebesar
2,1-3 g/dl pada 11 penderita (34,40%). Pada 4 penderita (12,50%) kadar Hb justru
menurun (respon tidak adekuat). Peningkatan Ht tertinggi, sebesar 16-20% terjadi pada 4
penderita (12,50%); kebanyakan meningkat 6-10% (pada 9 penderita - 28,10%). Pada 5
penderita (15,64%) kadar Hb justru menurun (respon tidak adekuat). Kemungkinan
penyebab tidak naiknya Hb dan Ht adalah defisiensi besi (pada 10 orang penderita),dan
proses inflamasi (pada 2 penderita). Efek samping yang didapatkan pada penelitian ini
adalah peningkatan tekanan darah (15%), flu like syndrome (12,5%) dan kemungkinan
vascular access clotting (1%).
Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa pemberian epoeitin alfa (Hemapo)
selama 12 minggu efektif meningkatkan Hb dan Ht pada penderita gagal ginjal yang
sedang menjalani dialisis.

54 Cermin Dunia Kedokteran No. 147, 2005

PENDAHULUAN
National Kidney Foundation di Amerika (NKF-K/DOQI)
merekomendasikan
pemberian
Recombinant
human
erythropoeitin (rHu-EPO) pada semua tingkat penderita
Penyakit Ginjal Kronis (PGK) baik yang belum atau telah
menjalani terapi dialisis1. Terapi EPO pada penderita PGK
telah terbukti secara bermakna (evidence level A) dapat
menghilangkan gejala maupun mengurangi komplikasi akibat
anemi pada penderita PGK. Selain itu terapi EPO dapat
mengurangi kebutuhan transfusi darah, mengurangi komplikasi
transfusi, mengurangi efek sekunder anemi terhadap sistim
kardiovaskuler, serta meningkatkan kualitas hidup secara
umum1,2. Sebelum terapi EPO digunakan, penanggulangan
anemia hanya dengan cara transfusi darah. Transfusi digunakan
secara luas pada penderita PGK, karena murah dan mudah;
namun berpotensi menularkan berbagai penyakit seperti
hepatitis B, hepatitis C dan HIV; serta berbagai komplikasi
lain, seperti hemosiderosis, overhidrasi, depresi sumsum tulang
dan meningkatnya sensitisasi terhadap HLA3.
Perhimpunan Nefrologi Indonesia (PERNEFRI) pada
tahun 2001, membuat konsensus manajemen anemi pada
penderita gagal ginjal yang disesuaikan dengan kondisi di
Indonesia4. Namun demikian, walaupun sudah dibuktikan
bahwa pemberian EPO pada penderita PGK secara bermakna
memperbaiki kualitas hidup penderita, mengingat harganya
yang mahal, tidak semua pasien beruntung mendapatkan
pengobatan ini.
Terdapat beberapa jenis EPO yang dapat digunakan untuk
manajemen anemi. Komposisi rantai karbohidrat, terutama
asam sialat membedakan efikasi obat, stabilitas, maupun
klirensnya. Ada 3 macam EPO berdasarkan kadar oligosakaridanya, yaitu epoeitin alfa (39% oligosakarida), epoeitin
beta (24%), dan epoeitin omega (21%). Kemajuan bioteknologi
di negara-negara Asia menghasilkan epoeitin alfa (Hemapo)
dengan biaya yang lebih murah sehingga lebih terjangkau oleh
pasien. Uji klinik telah dilakukan di beberapa rumah sakit di
Cina, dengan kenaikan Hb rerata sebesar 46%, dan Ht rerata
sebesar 47%, setelah 12 minggu pengobatan5.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui efektifitas
epoeitin alfa dalam hal kenaikan Hb dan Ht pada penderita
gagal ginjal yang menjalani hemodialisis di Indonesia dan efek
sampingnya.

kan konsentrasi feritin serum > 100 ug/L, nilai saturasi transferin > 20%. Ditentukan kriteria eksklusi, yaitu : tekanan darah
sistolik > 180 mmHg dan atau diastolik > 110 mmHg, sedang
mengalami infeksi/inflamasi, kehilangan darah kronik,
malnutrisi, hemoglobinopati dan anemi hemolisis.
Sebagai protokol pengobatan, digunakan Konsensus
Manajemen anemia pasien gagal ginjal kronik (PERNEFRI
2001). Pemberian selama 3 bulan (12 minggu).

METODE
Penelitian ini merupakan clinical trial melalui quasi
experimentation Rancangannya adalah setiap pasien berlaku
sebagai kontrol dirinya masing-masing yang akan dibandingkan dengan keadaan baseline (repeated measures design,
comparison to baseline). Penelitian dilakukan di RS Perjan Dr.
Hasan Sadikin, Klinik Spesialis Penyakit Dalam Perisai
Husada Bandung dan RS Khusus Ginjal Ny Habibie. Kriteria
inklusi: pasien gagal ginjal yang sudah menjalani hemodialisis
sekurang-kurangnya selama 6 bulan dan bersedia mengikuti
penelitian. Pada semua subjek penelitian yang terpilih dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, laboratorium, foto thorax
dan EKG. Keadaan anemia ditentukan dari pemeriksaan Hb
dan Ht (Hb < 8 g/dl atau Ht < 30 %). Sebelum terapi diharap-

Karakteristik pasien
Data rerata pasien pada awal penelitian : Usia 51.5 48
tahun ; 22 laki-laki dan 10 perempuan. Lama menjalani
hemodialisis (HD) 41.2 33 bulan. Penyebab gagal ginjal
adalah glomerulonefritis (14 orang), pielonefritis (16 orang),
hipertensi dan nefropati urat, masing-masing 1 orang. Hipertensi didiagnosis pada 27 orang; semuanya sedang dalam
pengobatan anti hipertensi. Dari hasil pemeriksaan EKG, foto
toraks maupun nilai CRP pasien dianggap tidak sedang
mengalami gangguan kardiovaskuler6, tidak menderita infeksi
atau inflamasi7. Kadar protein total dan albumin tidak
menunjukkan pasien dalam keadaan malnutrisi 7.
Rentang (range) kadar Hb 7,1- 9,7 g/dL dengan rerata
8,05 g/dL. Kadar Ht 21-30% dengan rerata 24.58%. Kadar Fe

Target : Hb > 10 g/dL dan Ht > 30%


Dosis epoeitin alfa fase koreksi
Epoeitin alfa : 3000 IU iv, 2 kali seminggu, selama 4
minggu.
Pemeriksaan Hb dan Ht setiap 4 minggu.
Target respons: Hb naik 1-2 g/dL dalam 4 minggu atau Ht
naik 2-4% dalam 2-4 minggu.
Jika target respons belum tercapai, dosis dinaikkan 50%,
dan jika Hb naik > 2,5 g/dL atau Ht naik > 8% dalam 4
minggu, dosis diturunkan 25%.
Jika target respons tercapai, pertahankan dosis EPO pada
kadar Hb > 10 g/dL
Terapi epoeitin alfa fase pemeliharaan
Dilakukan jika target Hb sudah tercapai (> 10 g/dL)
Dosis : 2000 IU iv., 2 kali seminggu, selama 2 bulan.
Pemeriksaan Hb dan Ht setiap 4 minggu.
Bila Hb mencapai > 12 g/dL dan status besi cukup, dosis
diturunkan 25%.
Sediaan Epoeitin Alfa (Hemapo)
Berupa sediaan dalam bentuk prefilled syringe 3000 IU.
Cara pemberian obat: intravena
Sediaan disimpan dalam suhu 2-8oC di tempat gelap, tidak
boleh dikocok atau disimpan dalam keadaan beku
HASIL PENELITIAN
Dilakukan penelitian terhadap 40 orang penderita gagal
ginjal yang telah menjalani hemodialisis, 32 orang mengikuti
penelitian sampai selesai selama 12 minggu; 8 orang berhenti :
6 orang karena efek samping obat dan 2 orang meninggal oleh
sebab yang tidak berhubungan dengan penelitian ini.

Cermin Dunia Kedokteran No. 147, 2005 55

23-282 g/dL dengan rerata 112.2 g/dl. TIBC 37-422 g/dl


dengan rerata 50,2 g/dL. Kadar Ferritin 100-385 g/dL dengan
rerata 158.1 g/dL. Sedangkan kadar Sat transferrin 11,296,7% dengan rerata 45,3%.
Kenaikan Kadar Hemoglobin (Hb) dan Hematokrit (Ht)
Sebelum pengobatan kadar Hb rata-rata 8,05 g/dL, Ht
rata-rata 24,58 %. Setelah diberi epoeitin alfa, kadar Hb
maupun Ht naik bermakna (grafik 1).
Grafik 1. Kenaikan Hemoglobin dan Hematokrit

KEL
I
II
III
IV
V
VI
VII
Total

KENAIKAN Hb
(-2) 0
01
1,1 2
2,1 3
3,1 4
4,1 5
5,1 6

Jumlah (n)
4
4
3
11
4
4
2
32

Persentase (%)
12.50
12.50
9.40
34.40
12.50
12.50
6.20
100.00

Jumlah (n)
5
7
9
7
4
32

Persentase (%)
15.64
21.88
28.10
21.88
12.50
100.00

Tabel 2. Rata-rata kenaikan Ht

PERUBAHAN Hb DAN Ht SETELAH


TERAPI HEMAPO

KEL
I
II
III
IV
V
Total

40.00
30.00

NILAI

Tabel 1. Rata-rata kenaikan Hb

20.00

KENAIKAN Ht
(-5) 0
05
6 - 10
II 15
16 20

10.00
0.00

Hb (g/dL)
Ht (vol %)

Terapi

stlh terapi

stlh terapi

stlh terapi

Sebelum

2 mgg

4 mgg

8 mgg

8.05
24.58

9.11
29.22

10.02
31.13

10.41
32.41

Hb (g/dL)

Ht (vol %)

Grafik 2 . Kenaikan Rata-rata Hemoglobin dan Hematokrit

Tetapi peningkatan terbanyak pada kelompok III (antara


6-10%), yaitu pada 9 penderita (28,10%). Terlihat bahwa pada
5 penderita (15,64 %) terjadi respon yang tidak adekuat, karena
justru terjadi penurunan kadar Ht (kelompok 1) (Tabel 2).
Prosentase peningkatan kadar Hb dan Ht tersebut juga
dapat dilihat pada Grafik 2 dan Grafik 3 .
Grafik 3. Prosentase Perubahan kadar Hb setelah Terapi Epoeitin Alfa
Selama 12 Minggu

PROSENTASE KENAIKAN RATA-RATA


HB DAN HT
35.00%
26.60%

18.80%

20.00%
13.10%

10.00%
5.00%

Terapi 4 mgg

Terapi 8 mgg

Terapi 12 mgg

Hb (g/dL)

13.10%

24.40%

29.30%

Ht (vol %)

18.80%

26.60%

31.80%

Jumlah pasien (%) yang Mengalami


Peningkatan HB

24.40%

25.00%

0.00%

40.00%

31.80%
29.30%

30.00%

15.00%

PROSENTASE PERUBAHAN HB SETELAH TERAPI


EPOITIN ALFA SELAMA 12 MINGGU
34.40%

30.00%
20.00%
12.50%

12.50%

12.50%

9.40%

10.00%

6.20%

0.00%
(-2) - 0

0-1

1,1 - 2

2,1 - 3

3,1 - 4

4,1 - 5

5,1 - 6

-10.00%
-12.50%

-20.00%

Ke naikan HB

Peningkatan kadar Hb dan Ht sudah terjadi secara


bermakna pada minggu ke 4, yaitu dari Hb 8.05 g/dl menjadi
9.11 g/dl (meningkat 13,10%) dan Ht dari 24,58% menjadi
29,22% (meningkat 18,8%). Selanjutnya dibandingkan dengan
sebelum terapi, pada minggu ke 8 telah terjadi peningkatan
sebesar 24,4% untuk Hb dan 26,6% untuk Ht. Pada minggu ke
12 peningkatan Hb mencapai 29,3% dan Ht 31,8% (Grafik 2).
Dari 32 penderita, peningkatan kadar Hb tertinggi terjadi
pada 2 orang, 5,4 g/dl pada seorang penderita wanita, dan 5,1
g/dl pada seorang penderita laki-laki, (kelompok VII, tabel 1).
Kebanyakan meningkat 2,1-3 g/dl di kelompok IV (11 orang 34,4 %). Pada 4 orang (12,5%) kadar Hb tidak meningkat
(respon tidak adekuat) bahkan turun (kelompok I).
Hal serupa terjadi pada kenaikan Ht. Peningkatan tertinggi
pada 4 orang (12,50%) dari kelompok V (meningkat 16-20%).

56

Cermin Dunia Kedokteran No. 147, 2005

Berdasarkan laporan8,9,10, penyebab respon tidak adekuat


penggunaan epoeitin alfa adalah defisiensi besi, hiperparatiroid
sekunder, keracunan aluminium, anemia hemolitik, defisiensi
asam folat dan vitamin B12, inflamasi, mieloma multipel, dan
pure red cell anemia. Pada penelitian ini penyebab respon tidak
adekuat tidak diketahui pasti, juga tidak didapatkan komplikasi
pure red cell anemia; mungkin penyebabnya adalah defisiensi
Fe. Hingga minggu ke 12 terdapat 10 (31%) penderita dengan
defisiensi besi absolut (feritin < 100g/dL).
Dari 4 orang penderita dengan respons tidak adekuat, 3 di
antaranya mempunyai kadar feritin < 100 g/dL yang tidak
meningkat walaupun sudah diberikan tablet besi sesuai
panduan. Sedangkan kemungkinan infeksi pada penelitian

Grafik 4. Prosentase Perubahan Ht Setelah Terapi Epoeitin Alfa Selama


12 Minggu
PROSENTASE PERUBAHAN HT SETELAH
TERAPI EPOITIN ALFA SELAMA 12 MINGGU

Jumlah Pasien (%) yang


Mengalami Peningkatan HT

35.00%
28.10%

30.00%
25.00%

21.88%

21.88%

20.00%
12.50%

15.00%
10.00%
5.00%
0.00%
-5.00%

(-5) - 0

0-5

6 - I0

II - 15

16 - 20

-10.00%

Tabel 4. Efek Samping Epoeitin Alfa pada Subjek Penelitian

-15.00%
-20.00%

dihentikan. Satu penderita melanjutkan penyuntikan disertai


pemberian parasetamol dan keluhan hilang pada minggu ke-3
setelah penyuntikan.
Kejadian pembekuan sebagian atau keseluruhan pada
vascular access (arteriovenous (AV) fistula), dapat ditemukan
pada pasien yang menggunakan epoeitin alfa. Komplikasi
trombosis sering karena kenaikan eritrosit akibat pemberian
epoeitin dan viskositas darah yang meningkat pada 13% pasien
hemodialisis6,11,13. Pada penelitian ini ditemukan 1 orang
dengan dugaan vascular access clotting. Sedangkan komplikasi
lain, seperti kejang, reaksi alergi, nyeri kepala, nyeri dada yang
dilaporkan sering ditemukan2,9, tidak dijumpai.

-15.64%

Jenis efek samping

Kenaikan Hematokrit

ini ditemukan pada 2 penderita, penderita pertama terkena


infeksi paru pada minggu ke-4: kadar Hb pada saat awal 8,1
g/dL, setelah terkena infeksi paru kadar Hb turun sampai 7
g/dL. Setelah infeksi parunya teratasi kadar Hb meningkat
sampai 11,1 g/dL pada akhir penelitian. Penderita ke dua
terkena gingivitis pada minggu ke-2, kadar CRP meningkat
sampai 11,98 mg/dL, tetapi kadar hemoglobinnya hanya sedikit
berubah. Berbagai variabel lain yang dapat menyebabkan tidak
beresponnya epoeitin alfa seperti dialisis yang tidak adekuat,
kualitas cairan dialisat, biokompatibilitas membran, tidak
ditentukan dalam penelitian ini7,11. Penggunaan dialiser tipe
selulosa dan ginjal re-use di tempat penelitian dapat berpengaruh terhadap respon dari eritropoesis7. Sedangkan kelainan
darah yang mungkin ada seperti pure red cell aplasia, hemoglobinopati, dan hiperparatiroid sekunder juga tidak diteliti11,12.
Efek Samping
Ditemukan efek samping hipertensi pada 6 orang, flu like
syndrome pada 5 orang, dan kemungkinan vascular access
clotting pada 1 orang. Hipertensi merupakan efek samping
yang sering terjadi pada pemberian epoeitin alfa. Angka
kejadiannya 23% dan terjadi saat awal pemberian6,8. Pada
penelitian ini kenaikan tekanan darah rata-rata 22/10 mmHg
terjadi pada 6 orang; sebelum terapi berkisar 140/90 mmHg.
Para penderita ini sejak awal sudah menggunakan obat
antihipertensi, dan setelah dosis obat dinaikkan tekanan darah
kembali ke semula; hanya pada satu penderita perlu ditambah
jenis obat anti hipertensinya. Flu like syndrome, menurut
kepustakaan, hanya terjadi pada kurang dari 1 %. Keadaan ini
berhubungan dengan pemberian obat secara intravena dan
dilaporkan juga pada pemberian subkutan. Gejalanya berupa
menggigil, perasaan dingin atau panas, nyeri otot, nyeri tulang,
demam, kesemutan dan nyeri abdomen yang muncul pada 2-12
jam setelah penyuntikan; jika demikian, pengobatan dihentikan.
Efek samping flu like syndrome ini dilaporkan bersifat self
limiting.8,11,12. Pada penelitian ini didapatkan 5 (15%) penderita
mengalami keluhan flu like syndrome. Keluhan timbul setelah
pemberian suntikan pertama; yang menonjol adalah nyeri otot.
Karena keluhan tersebut 3 orang menghentikan pengobatan
pada penyuntikan pertama dan 1 orang pada penyuntikan
kedua. Keluhan flu like syndrome hilang setelah pemberian

1.
2.
3.

Hipertensi
Flu like syndrome
Vascular access clotting

jumlah
6
5
1

persen
15,0
12,5
2,5

KESIMPULAN
Pemberian epoeitin alfa (Hemapo) selama 12 minggu
efektif dalam hal peningkatan Hb dan Ht, pada penderita gagal
ginjal yang sedang menjalani dialisis. Setelah 12 minggu rerata
Hb meningkat bermakna sebesar 29,30%, dan rerata Ht
meningkat bermakna sebesar 31,80%. Terdapat peningkatan
tekanan darah pada 15% penderita, tetapi dapat diatasi dengan
peningkatan dosis obat hipertensi. Sedangkan flu like syndrome
terjadi pada 12,5% penderita. Tidak ditemukan efek samping
lain selama pengobatan.
KEPUSTAKAAN
1.

National Kidney Foundation: K/DOQi Clinical Practice Guidelines for


Anemia of Chronic Kidney Disease 2000. Am J Kidney Dis. 2001;37
(suppl 1):182-238
2.
Treatment of renal anaemia. Nephrol Dial Transplant 2004;19 (suppl 2):
ii16 ii31
3.
Eckardt KU. Anemia in end-stage renal disease: pathophysiological
considerations. Nephrol Dial Transplant 2001;16(suppl):2-8
4.
Konsensus manajemen anemia pada penderita gagal ginjal kronik.
Perhimpunan Nefrologi Indonesia, 2001.
5.
Schellekens H. Biosimilar epoetins : how similar are they?. EJHP.3/2004;
Scientific section 43.
6.
Plassman GS, Horl WH. Effect of Erythropoietin on Cardiovascular
diseases. Am J Kidney Dis. 2001:4 (suppl) 205
7.
Madore F, Lowrie E, Lew NL, Lazarus JM, Bridges K, Owen WF.
Anemia in hemodialysis patients: variables affecting this outcome
predictor. J Am Soc Nephrol. 1997;8:1921-28
8.
Kampf D, Eckardt KU, Fischer HC. Pharmacokinetics of recombinant
human erythropoietin in dialysis patients after single and multiple
subcutaneous administrations. Nephron. 1992;61:393-8
9.
Anemia Work Group. NKF-DOQI clinical practice guidelines for the
treatment of anemia of chronic renal failure. Am J Kidney Dis. 1997;30
(suppl):192-240
10. European best practice guidelines for management in patient with chronic
renal failure. Working Party for European Best Practice Guidelines for
the Management of Anemia in Patient with Chronic Renal Failure.
Nephrol Dial Transplant 1999;14:1-50
11. Richardson. Clinical factors influencing response to epoetin. Nephrol
Dial Transplant. 2002;17:53-9
12. Epoetin alfa injection. Drug info. http://www.medscape.com
13. Parfrey PS. Cardiac disease in dialysis patients: diagnosis, burden of
disease, prognosis, risk factors and management. Nephrol Dial Transplant. 2000;15:58-68.

Cermin Dunia Kedokteran No. 147, 2005

57

Produk Baru
Kalferon
KOMPOSISI
Tiap vial mengandung interferon alfa-2b rekombinan 3 juta UI
FARMAKOLOGI
Interferon merupakan kelompok senyawa protein dan glikoprotein alami
dengan berat molekul 15.000 hingga 27.600 dalton. yang diproduksi dengan
teknik DNA rekombinan. Interferon alfa-2b rekombinan dihasilkan dari
fermentasi bakteri strain Escherichia coli pembawa plasma yang terbentuk
secara genetik yang mengandung gen interferon dari leukosit manusia.
Interferon memiliki aktivitas seluler berikatan dengan reseptor membran
spesifik di permukaan sel. Hal ini bertanggung jawab atas berbagai respons
selular yang meliputi penghambatan replikasi virus pada sel-sel yang terinfeksi
virus, supresi proliferasi sel dan aktivitas immunomodulasi seperti peningkatan
aktivitas fagositik makrofag dan meningkatkan sitotoksisitas spesifik limfosit
terhadap sel-sel target
FARMAKOKINETIK
Kadar serum rata-rata interferon alfa-2b setelah injeksi intramuskular dan
subkutan adalah sebanding. Konsentrasi puncak dalam darah pada kedua cara
pemberian tersebut adalah 18-116 UL/ml, dicapai dalam waktu 3-l2 jam
setelah pemberian. Waktu paruh eliminasi rata-rata adalah 2-3 jam ; sudah
tidak terdeteksi lagi dalam darah setelah 16 jam penyuntikan. Ginjal merupakan tempat utama katabolisme interferon.
INDIKASI
KALFERON diindikasikan untuk pengobatan hepatitis C akut maupun
kronis. Untuk hasil pengobatan hepatitis C kronis yang optimal sebaiknya
dikombinasikan dengan Ribavirin {Hepaviral).
DOSIS DAN CARA PEMBERIAN
Hepatitis C akut
Dosis yang dianjurkan adalah 3 juta UI KALFERON, 3 kali seminggu selama
12 minggu.
Hepatitis C kronis
Dosis yang dianjurkan adalah 3 juta UI KALFERON, 3 kali seminggu selama
24-48 minggu (sesuai genotipe virus hepatitis C), dikombinasikan dengan
ribavirin (Hepaviral).
Pemberian ribavirin (Hepaviral) disesuaikan dengan berat badan pasien
Berat badan pasien
< 55 kg
56 - 75 kg
> 75 kg

Dosis ribavirin (Hepaviral ) per hari


800 mg
1000 mg
1200 mg

Jumlah kapsul 200 mg


2 kapsul pagi, 2 kapsul sore
2 kapsul pagi, 3 kapsul sore
3 kapsul pagi, 3 kapsul sore

KALFERON diberikan secara subkutan atau intramuskular.


DOSIS PENYESUAIAN
Untuk pasien dengan jumlah leukosit, granulosit, atau trombosit yang rendah,
sebaiknya mengikuti panduan modifikasi dosis sebagai berikut:
Dosis KALFERON
Jumlah Trombosit Jumlah Sel Darah Putih Jumlah Granulosit
Dikurangi 50%
< 1,5 x I09/L
< 0,75 x 109/L
< 50 x 109/L
Dihentikan secara permanen < 1,0 x 109/L
< 0,5 x 109/L
< 25 x 109/L

Pasien dengan jumlah trombosit kurang dari 50.000/mm3 jangan diberi


KALFERON secara intramuskular, tetapi dengan pemberian subkutan.
Terapi KALFERON dapat dilanjutkan dengan dosis seperti dosis awal,
jika kadar eritrosit, granulosit, dan/atau jumlah trombosit kembali normal.
KALFERON harus disuntikkan segera setelah dilarutkan dengan 1 ml aqua
pro injeksi steril atau 1 ml larutan NaCI untuk injeksi.
KONTRAINDIKASI
Riwayat hipersensitivitas terhadap interferon alfa-2b rekombinan atau
komponen lainnya dari produk ini.
PERINGATAN DAN PERHATIAN
Peringatan
Hati-hati pada pasien dengan kondisi medis lemah seperti pada pasien

58

Cermin Dunia Kedokteran No. 147, 2005

dengan riwayat penyakit jantung dan pembuluh darah, penyakit paru, atau
diabetes melitus yang cenderung ketoasidosis, pasien dengan gangguan
koagulasi (misalnya tromboflebitis, emboli paru) atau mielosupresi berat.
Perhatian
Pasien yang menerima terapi interferon alfa-2b dosis tinggi sebaiknya
menghindari pekerjaan yang membutuhkan kesiagaan mental penuh, seperti
mengoperasikan mesin atau mengendarai kendaraan bermotor.
Reaksi hipersensitivitas akut (seperti urtikaria, angioedema, bronkokonstriksi, anafilaksi) terhadap injeksi interferon alfa-2b jarang dijumpai. Jika
terjadi, obat harus dihentikan dan segera diberi terapi medis yang sesuai. Ruam
kulit, yang sifatnya sementara, dilaporkan terjadi pada beberapa pasien setelah
penyuntikan, tetapi tidak sampai menyebabkan penghentian terapi.
INTERAKSI OBAT
Perlu diperhatikan pemberian interferon alfa-2b yang dikombinasikan
dengan obat-obat mielosupresif seperti zidovudine. Pemberian interferon alfa
bersama-sama dengan theophylline akan menurunkan klirensnya, sehingga
kadar theophyilline dalam darah meningkat 100%.
Karsinogenesis, Mutagenesis dan Gangguan Fertilitas
Wanita usia produktif sebaiknya tidak diterapi dengan interferon kecuali
mereka juga memakai alat kontrasepsi yang efektif selama terapi. Perlu
diperhatikan pemberian interferon alfa-2b pada pria subur.
Penelitian menunjukkan bahwa interferon alfa-2b tidak bersifat mutagenik.
Kehamilan : Kategori C
Terapi interferon alfa-2b hanya diberikan jika keuntungan terapi lebih besar
dibandingkan risikonya terhadap janin.
Wanita Menyusui
Perlu dipertimbangkan penghentian pemberian ASI atau menghentikan terapi
interferon alfa-2b; juga perlu dipertimbangkan pentingnya obat bagi si ibu.
Anak-anak
Keamanan dan efektivitas obat ini pada pasien anak usia di bawah 18 tahun
belum ditetapkan untuk indikasi lain selain hepatitis B.
Keamanan dan efektivitas interferon untuk hepatitis B kronik pada pasien anak
usia 1-17 tahun ditentukan hanya berdasarkan 1 uji klinis.
Keamanan dan efektivitas pada pasien anak di bawah usia 1 tahun belum
diketahui.
EFEK SAMPING
Efek samping yang umum adalah gejala mirip flu, seperti demam, nyeri
kepala, lelah, anoreksia, mual dan muntah yang makin ringan saat terapi
dilanjutkan. Beberapa gejala flu tersebut dapat diminimalkan jika penyuntikan
dilakukan menjelang tidur. Antipiretik juga dapat digunakan untuk mencegah
atau mengatasi demam dan nyeri kepala. Efek samping lain adalah menipisnya
rambut. Dianjurkan agar pasien terhidrasi dengan baik, terutama pada tahap
awal pengobatan. Efek samping spontan yang juga terjadi adalah gejala
nefrotik, pankreatitis, psikosis termasuk halusinasi, gagal ginjal dan insufisiensi ginjal.
PENYIMPANAN
Simpan KALFERON Interferon alfa-2b, sebelum dan setelah rekonstitusi
pada suhu 2-8C (36-46F).
KALFERON kit disimpan pada suhu kamar (<30C).
Hepaviral disimpan pada suhu <25C.
KEMASAN
KALFERON 3 juta UI/vial : Box berisi 3 vial
KALFERON Kit
: Box berisi 3 aqua pro injection + 3 disposable syringe
+ 3 alcohol swab

Hepaviral
: Box berisi 4 blister @ 10 kapsul Ribavirin 200 mg
HARUS DENGAN RESEP DOKTER
Diimpor dan dipasarkan oleh: PT Kalbe FarmaTbk., Bekasi-Indonesia
DIPRODUKSI OLEH:
Shenzhen Neptunus Interlong Bio-Technique Co., Ltd., Shenzhen-China.

Informatika Kedokteran
Website Kalbe Farma hadir dengan tampilan baru

Tampilan website Kalbe Farma yang baru, bisa diakses di http://www.kalbefarma.com

Memenuhi permintaan dari pelbagai pihak terutama para


dokter dan mereka yang ingin mendalami info-info kesehatan /
kedokteran praktis, maka sejak bulan Maret 2005, website PT
Kalbe Farma Tbk telah berubah bentuk wajah dan menambah
feature-featurenya. Selain fasilitas yang sudah ada seperti: (1)
berita-berita kesehatan dan kedokteran setiap hari di up date,
(2) informasi agenda seminar / simposium skala lokal hingga
internasional, (3) multiple search engines (Google, Yahoo,
SearchIndonesia, dll), (4) lowongan kerja di Kalbe Farma, dan
(5) berita-berita untuk para investor pemegang saham Kalbe
Farma, saat ini dengan wajah baru para netter bisa melakukan

hal-hal yang lebih interaktif seperti: (1) Forum Diskusi / Tanya


jawab mengenai pelbagai hal, penyakit, produk, dll., juga para
member website bisa (2) menyumbang artikel, reportase hingga
informasi simposium dan seminar yang akan diadakan. Mudahmudahan dengan tampilan dan pelbagai feature baru, website
kalbefarma dot com bisa lebih melayani masyarakat awam dan
kedokteran sesuai dengan moto perusahaan kami The
Scientific Pursuit of Health for a Better Life atau
Mengabdikan Ilmu untuk Kesehatan dan Kesejahteraan.
Silakan akses website kami di http://www.kalbefarma.com.
[SIM]

Cermin Dunia Kedokteran No. 147, 2005

59

Kegiatan Ilmiah
Laporan lengkap dari simposium, bisa diakses di
http://www.kalbefarma.com/seminar. Pada topik yang diberi tanda
Breaking News, berarti peserta simposium bisa memperoleh berita
dalam bentuk cetak (print) bersamaan dengan acara di Stand Kalbe
Farma, dan bisa langsung diakses pada homepage Kalbe Farma.
Management of Typhoid Fever with Levofloxacin: A Clinical
Experience, Surabaya 26 Februari 2005
Bertempat di Isyana Ballroom, Hotel Hyatt - Surabaya, PETRI
(Perhimpunan Peneliti Penyakit Tropik dan Infeksi Indonesia)
bekerjasama dengan PT Kalbe Farma, pada tanggal 26 Februari 2005
mengadakan simposium sehari dengan topik: Management of Typhoid
Fever with Levofloxacin : A Clinical Experience. Seminar yang
dihadiri sekitar 200 dokter menghadirkan pembicara seperti: Dr.
Nasronudin, SpPD-KPTI dan Prof. Dr. H. H. Nelwan, DTMH, SpPDKPTI. Dan sebagai moderator adalah : Prof. Dr. Eddy Soewandojo,
SpPD-KPTI dan DR. Dr. Suharto, MSc, DTMH, SpPD-KPTI.
Seminar Nyeri Kepala di Surabaya, 26 Februari 2005
Pada Sabtu, 26 Februari 2005, bertempat di Hotel Hyatt Regency
Surabaya, PERDOSSI (Persatuan Dokter Spesialis Saraf Indonesia)
bekerjasama dengan PT Kalbe Farma mengadakan Seminar Awam
Nyeri Kepala. Menurut Ma Djon, Product Manager Neuralgin PT
Kalbe Farma, tujuan utama diadakannya seminar ini adalah sebagai
edukasi ke masyarakat awam agar mengetahui penyebab dan
pencegahan problema nyeri kepala yang sering dialami dan kemudian
dapat mencegah lebih dini bila nyeri kepala yang diderita ternyata
berbahaya.
Seminar Tuberkulosis & HIV/AIDS, Jakarta 2 Maret 2005
Dalam rangka menyambut Hari TB sedunia yang jatuh pada
tanggal 24 Maret 2005, PPTI (Perkumpulan Pemberantasan
Tuberkulosis Indonesia) mengadakan seminar Tb dan HIV/AIDS,
pada hari Rabu, 2 Maret 2005 bertempat di Gedung Pusat PPTI,
Jakarta Respiratory Center.
Pertemuan Ilmiah Terpadu Bedah Anak Indonesia, Jakarta 11 12 Maret 2005
Dengan tema Manajemen Komprehensif Pembedahan pada Bayi
dan Anak, bertempat di Hotel Borobudur Jakarta, pada tanggal 11 - 12
Maret 2005 telah diadakan Pertemuan Ilmiah Terpadu Bedah Anak
Indonesia untuk pertama kalinya. Acara yang diikuti oleh sekitar 350
peserta terdiri dari dokter-dokter spesialis anestesi, penyakit anak,
penyakit dalam, bedah umum, dan bedah anak. Sebagian peserta
(sekitar 150) adalah dokter umum. Tidak mengherankan, karena saat
ini spesialis bedah anak, bisa langsung ditempuh oleh para dokter
umum di FK-FK seperti: Bandung, Surabaya dan Yogyakarta.
The Second Asian Congress of Pediatric Nutrition, Hotel Sahid
Jaya Jakarta, 1 4 Desember 2004
Pemenuhan kebutuhan nutrisi sangatlah penting bahkan sejak
dalam kandungan. Pada manusia, malnutrisi yang terjadi pada
intrauterine dan postnatal dini terutama mempengaruhi pada jumlah
sel otak. Perkembangan dari otak kecil (cerebellum) terutama dipengaruhi oleh kurangnya zat-zat gizi selama kehamilan. Hubungan antar
sinaps terutama dipengaruhi jika malnutrisi terjadi pada tahun ketiga
kehidupan.

60 Cermin Dunia Kedokteran No. 147, 2005

The 9th Western Pacific Congress On Chemotherapy And


Infectious Diseases, Bangkok, 1 - 5 Desember 2004
Infeksi regional merupakan hal yang menarik perhatian dunia,
dan masalah ini menjadi tema menarik dari pertemuan dua tahunan
Western Pacific Congress On Chemotherapy And Infectious Diseases
(WPCCID) kesembilan yang diadakan di Bangkok 1-5 Desember
2004 lalu. Salah satu yang dibahas misalnya mengenai penyakit
infeksi seperti TBC dan HIV yang termasuk penyebab terbesar
kematian dan kesakitan sehingga dijuluki sebagai pembunuh utama di
negara-negara tropis.
Simposium Current Diagnosis and Treatment In internal
Medicine 2004, Hotel Borobudur Jakarta, 4 - 5 Desember 2004
Nyeri muskuloskeletal yang umum dijumpai dalam masyarakat
seringkali tidak mudah didiagnosis. Suatu data dari poliklinik
Reumatologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI / RSUPN Cipto
Mangunkusumo Jakarta tahun 1992 bahkan menunjukkan ketidaktepatan diagnosis pada kasus ini mencapai lebih dari 70%. Hal ini
dikemukakan dr. Yoga Iwanoff Kasjmir, SpPD-KR pada acara
Simposium Current Diagnosis and Treatment In internal Medicine
2004 beberapa waktu lalu di Jakarta.
Update on TB Management, Hotel Borobudur Jakarta, 7
Desember 2004
Tuberkulosis masih merupakan masalah kesehatan besar.
Indonesia sendiri sampai saat ini 'betah' menjadi jawara sebagai
penyumbang jumlah pasien terbanyak ketiga di dunia. Penanggulanan
penyakit ini belum optimal, walaupun telah diperkenalkan strategi
DOTS yang telah berjalan lebih dari empat dekade. Demikian sekilas
ulasan Dr.Mukhtar Ikhsan, SpP(K), MARS pada acara seminar sehari
mengenai TB di Jakarta Selasa (7/12) lalu.
Pertemuan Ilmiah Tahunan V Endokrinologi, Hotel Patra Jasa
Semarang, 9-11 Desember 200
Komplikasi pada hati jarang sekali menjadi perhatian saat
memantau komplikasi kronik penderita Diabetes Melitus. Padahal
mengenai penyakit ini telah lama diketahui, tepatnya sejak tahun 1980
oleh Ludwid. Saat itu ia menyebut kondisi tersebut Non-alcoholic
Steatohepatitis (NASH), untuk sekelompok kelainan hati yang secara
histopatologi tidak dapat dibedakan dengan perlemakan hati akibat
alkohol.
PIT VIII PERDOSKI 2004, Hotel Discovery Kartika Plaza Bali, 912 Desember 2004
Saat ini semakin banyak aspek dalam etiologi dan patogenesis
dermatitis atopik yang telah ditemukan sehingga mengubah konsep
penatalaksanaan penyakit ini. Di antara penemuan yang penting
adalah mengenai toksin Staphylococcus aureus dan Streptococcus B
hemolyticus yang dapat bertindak sebagai superantigen pemacu
produksi IgE dan IL-4 oleh sel T yang berperan dalam inflamasi.
Superantigen memang dianggap sebagai salah satu faktor pencetus
kekambuhan dermatitis atopik.
Train of the Trainers (TOT), Jakarta 15 Januari 2005
Adalah menjadi pengetahuan umum bahwa belajar bisa dilakukan
seumur hidup. Namun saat menyampaikan informasi kepada orang
dewasa tentu harus berbeda caranya jika hal tersebut disampaikan

pada mereka yang masih sekolah. Guna meningkatkan ketrampilan


'mendidik' orang dewasa atau sering disebut dengan fasilitator, maka
pada tanggal 15 Januari 2005 bertempat di LAKESPRA SARYANTO
Jakarta diadakan suatu pelatihan "Train of the Trainers" oleh
Perhimpunan Dokter Kesehatan Kerja Indonesia (PP IDKI).
Seminar Upaya Minimalisasi Tuntutan Hukum di RS, Jakarta, 18
Januari 2005
Seminar awal tahun PERMAPKIN (Perhimpunan Manajer
Pelayanan Kesehatan Indonesia) kali ini mengambil topik "Upaya
Minimalisasi Tuntutan Hukum di RS". Topik dalam seminar ini
mengingatkan kita semua akan ramainya pelbagai berita mengenai
pelayanan kesehatan di Indonesia serta adanya kecenderungan masyarakat Indonesia untuk menikmati pelayanan di luar negeri, meskipun
itu hanya berkonsultasi dengan dokter saja.
Seminar Menuju Sehat dan Cantik Sepanjang Masa, Jakarta, 22
Januari 2005
Proses penuaan (aging process), menurut dr Edwin Djuanda dari
PASTI, adalah suatu proses alamiah yang akan dialami setiap
manusia. Proses ini bisa dihambat sehingga usia biologi tidak sama
dengan usia KTP. Artinya sel-sel tubuh manusia tidak setua dengan
tahun yang tercantum dalam KTP. Cabang baru ilmu kedokteran yang
mempelajari proses pemudaan kembali seluruh tubuh dikenal dengan
Anti Aging Medicine.
Temu Pers Perkumpulan Awet Sehat Indonesia (PASTI), Jakarta
22 Januari 2005
Aktifitas seksual yang optimal guna menjaga tubuh tetap awet
sehat, menurut Ketua I PASTI (Perkumpulan Awet Sehat Indonesia),
dr Edwin Djuanda SpKK, adalah 2 kali seminggu. Hal ini
dikemukakan pada Acara Temu PERS pendirian PASTI di Hotel JW
Marriot Jakarta, Sabtu 22 Januari 2005. PASTI atau Indonesia AntiAging Society merupakan perkumpulan pertama di Indonesia yang
peduli terhadap segala hal yang ada hubungannya dengan proses
ketuaan. Perkumpulan yang beranggotakan segenap lapisan masyarakat seperti ini sudah lama eksis di negara-negara maju termasuk
negara tetangga kita Singapura, Malaysia dan Thailand.

The 2nd Annual Meeting of ISOA-ISRA, Jakarta 18 - 19 Februari


2005
Sejak tanggal 18 hingga 19 Februari 2005 telah dilaksanakan
acara The 2nd Annual Meeting of ISOA-ISRA (Indonesian Society of
Obstetric Anesthesia-Indonesian of Regional Anesthesia and Pain
Medicine). Tema yang diambil tahun ini adalah 21th Century
Challenge to Improve Professionalism and Quality of Anesthesia
Services in Indonesia. Sebagai ketua pelaksana adalah dr Susilo
Chandra, SpAn. Disamping acara simposium sekitar 300 peserta bisa
juga mengikuti plenary lecture, workshop, pro-con debate dan PBLD
(Problem-based leraning Discussion). Acara juga dimeriahkan dengan
pameran produk anestesia dari berbagai industri farmasi termasuk PT
Kalbe Frama Tbk.
PIN Dietetic II 2005, Bandung 18 - 19 Februari 2005
Sekitar 450 orang yang terdiri dari ahli gizi, dokter spesialis gizi
dan peminat gizi lainnya berkumpul di Bandung sejak tanggal 18
hingga 19 Februari 2005 yang lalu. Mereka menghadiri suatu acara
yang disebut dengan Pertemuan Ilmiah Nasional (PIN) Dietetic II
2005. Sebagai nara sumber acara ini adalah para dokter spesialis gizi
dan ahli gizi yang terhimpun dalam wadah Asosiasi Dietisien
Indonesia (ASDI).
Pelatihan Pengelolaan Linen & Laundry, 23 - 24 Februari 2005 di
Jakarta
Tidak mudah mengelola Rumah Sakit saat ini. Banyak hal yang
harus dipelajari agar Rumah Sakit yang dikelola bisa berjalan efisien
dan efektif. Tentu ini diperlukan agar rumah sakit tersebut bisa
bersaing di era kompetisi saat ini. Inilah yang mendasari Pengurus
Besar PERMAPKIN (Perhimpunan Manajer Pelayanan Kesehatan
Indonesia) mengadakan Pelatihan selama 2 hari bertajuk Pengelolaan
Linen & Laundri, yang diadakan di Jakarta sejak tanggal 23 Februari
yang lalu.

Sepsis: from Basic Science to Clinical Management, Jakarta 28 30 Januari 2005


Akhir bulan Januari 2005, unit perawatan intensif (ICU) RSPAD
Gatot Subroto menyelenggarakan simposium mengenai Sepsi, yang
sehari sebelumnya diawali dengan workshop yang membahas tentang
farmakokinetik / farmakodinamik obat, ventilator pada anak dan
dewasa, serta tata laksana jalan napas.

Simposium Satelit II, Nutritional & Complementary in Cancer


Therapy, Surabaya 5 Maret 2005
Saat ini terapi atau pengobatan nutrisi dan komplemen/pelengkap
penyakit kanker mulai mendapat tempat tidak hanya pada penderita,
namun juga termasuk para dokter. Penyebabnya antara lain, kesulitan
menyembuhkan penyakit kanker. Apalagi seperti di Indonesia, umumnya pasien datang berobat ke dokter pada tahap sudah sangat lanjut.
Belum lagi jika diperhitungkan biaya-biaya obat kanker yang bisa
dibilang tidak murah lagi (meskipun untuk saat ini, pihak Kalbe Farma
telah menyediakan obat-obat kanker generik yang juga bisa diperoleh
para anggota Askes). Bersama ini disampaikan laporan dari Surabaya
mengenai presentasi pengobatan nutrisi dan komplemen yang diperoleh saat menghadiri simposium yang diadakan oleh Perhimpunan
Onkologi Indonesia.

Obrolan Manis: Ballancing Your Life, Jakarta 5 Februari 2005


Dari semua pasien yang menjalani terapi cuci darah, lebih dari
50% karena penyakit Kencing Manis yang tidak dikendalikan dengan
baik. Demikian pernyataan ahli ginjal dr Toga A Simatupang, saat
berbicara di hadapan peserta Seminar Awam Obrolan Manis, 5
Februari 2005 di Jakarta. Seminar yang diikuti oleh sekitar ratusan
peserta ini merupakan kerjasama PT Kalbe Farma dengan Medika,
Johnson and Johnson, Siloam Graha Medika Hospital, Prodia, Garuda
Sentra Medika, Tabloid Senior dan Koran Tempo.

Pelatihan Pengelolaan Linen & Laundry, 23 - 24 Februari 2005 di


Jakarta
Tidak mudah mengelola Rumah Sakit saat ini. Banyak hal yang
harus dipelajari agar Rumah Sakit yang dikelola bisa berjalan efisien
dan efektif. Tentu ini diperlukan agar rumah sakit tersebut bisa
bersaing di era kompetisi saat ini. Inilah yang mendasari Pengurus
Besar PERMAPKIN (Perhimpunan Manajer Pelayanan Kesehatan
Indonesia) mengadakan Pelatihan selama 2 hari bertajuk Pengelolaan
Linen & Laundri, yang diadakan di Jakarta sejak tanggal 23 Februari
yang lalu.

Cermin Dunia Kedokteran No. 147, 2005 61

apsul
Medication for Chronic Musculoskeletal Pain
Area of
Concerns

NSAID or
Antipyretics

Anticonvulsants

Antidepressants

Opioids

Chronic low
back pain

Effective acute
back pain in first
week

No systematic
reviews found

Not effective

Sustainedrelease opioid
effective

Not
recommended

May be
attempted

Contradictory for
CLBP
Level of
evidence
CLBP with
sciatica

Level of
evidence
Neck
with/without
limb pain

Level III

Level III

No systematic
reviews found

No systematic
reviews found

No systematic
reviews found

No systematic
reviews found

No systematic
reviews found

No systematic
reviews found

Topical
(NSAIDs or
capsaicin)
No systematic
reviews found

Level II
Sustained
release opioid
may be
attempted
Level II
Sustained
release opioid
effective

No systematic
reviews found

No systematic
reviews found

May be
attempted
Level of
evidence
Chronic
generalized
soft tissue
musculoskeletal
pain
Level of
evidence

Not effective

No studies

Level III

Contradictory

Level II
No studies

No studies

Level III

Sumber :
Evidence-based Recommendations for Medical Management of Chronic Non-Malignant Pain
Reference Guide for Clinicians of Physicians and Surgeons of Ontario, Nov. 2000

brw

62

Cermin Dunia Kedokteran No. 147, 2005

ABSTRAK
ASMA ATOPIK DAN LINGKUNGAN RUMAH
Suatu penelitian melibatkan 397
anak 5-11 tahun penderita asma atopik
dilakukan untuk menilai pengaruh
lingkungan rumah terhadap perjalanan
penyakitnya.
Mereka tinggal di 7 kota di AS dan
secara acak dibagi dua kelompok : satu
kelompok (469) mendapat 5 kali kunjungan rumah wajib dan 2 kali kunjungan tak wajib (optional) untuk
penerangan dan pencegahan terhadap
alergen tungau, asap rokok, kecoa,
hewan peliharaan, tikus dan jamur ;
lantai dan alat tidur anak dilapisi
dengan lapisan kedap alergen, diberi
mesin penyedot debu (jika lantainya
berkarpet) atau sikat lantai; selain itu
juga dilengkapi dengan alat penyaring
udara di kamar anak.
Kelompok ke dua (468) tidak diberi perlakuan apa-apa.
Penilaian tiap 2 minggu menunjukkan bahwa kejadian serangan asma
lebih rendah di kalangan intervensi,
baik selama intervensi (3.39 hari vs.
4.20 hari, p<0.001) maupun satu tahun
sesudahnya (2.62 vs. 3.21 hari,
p<0.001).
Juga didapatkan penurunan alergen seperti Dermatophagoides farinae
(Der f1) di tempat tidur (p<0.001).
Penurunan alergen kecoa dan
tungau (Der f1) di lantai kamar tidur
berhubungan bermakna dengan penurunan komplikasi asma (p<0.001).
N.Engl.J.Med.2004;351:1068-80
brw

RISIKO STROKE BERULANG


Studi di Oxfordshire, Inggris pada
April 2002 sd. April 2003 bertujuan
untuk menilai risiko stroke setelah TIA
atau minor stroke (skala NIHSS < 3);
selama periode tersebut ada 87 pasien
TIA dan 87 pasien minor stroke yang
datang; 83 pasien lain tidak di-

ikutsertakan karena didiagnosis major


stroke (NIHSS >3).
Semua pasien tersebut di follow-up
selama 3 bulan; selama masa tersebut
15 pasien TIA terserang stroke 2
fatal, 3 skala Rankinnya meningkat, 10
minor stroke. Di kelompok minor
stroke, 16 terserang stroke 4 fatal dan
2 meningkat disabilitasnya setelah 3
bulan.
Analisis statistik menghasilkan
risiko stroke setelah TIA sebesar 8%
(95%CI 2.3%-13,2%) dalam 7 hari,
11,5% (4.8%-18.2%) dalam 1 bulan
dan 17.3% (9.3%-25.3%) dalam 3
bulan; sedangkan untuk minor stroke,
risikonya berturut-turut 11.5% (4.811.2%); 15% (7.5-22.5%) dan 18.5%
(10.3%-26.7%).
Data ini menunjukkan bahwa
risiko stroke setelah TIA lebih besar
dari yang diperkirakan.
BMJ 2004; 328:326-8
brw

EFEKTIVITAS KONTROL DM
DENGAN HANYA DIET
Suatu studi cross sectional dilakukan atas 8626 pasien DM tipe 2 di
antara 253 618 pasien yang mendatangi
42 dokter praktek di Inggris (prevalensi: 3.4%); 756 (8.8%) dengan
diabetes tipe 1, 5170 (59.9%) dengan
diabetes tipe 2 yang menggunakan obat
antidiabetes dan 2700 (31.3%) pasien
diabetes tipe 2 yang hanya menggunakan cara diet tanpa OAD.
Mereka yang menggunakan cara
diet saja lebih sedikit yang menjalani
pemeriksaan tambahan seperti kadar
HbA1c, cholesterol dan mikroalbuminuri; juga pengukuran tekanan darah
dan denyut nadi kaki.
Sejumlah 38.4% pasien dengan
OAD kadar HbA1c nya di atas 7.5%,
dibandingkan dengan 17.3% di kalangan pasien dengan diet saja; pasien
dengan diet saja cenderung lebih

banyak yang hipertensi, lebih sedikit


yang hipertensinya diobati; mereka
45% lebih banyak yang hiperkholestrol
dan lebih sedikit yang diobati; sebaliknya mereka yang hanya diet lebih sedikit yang menderita komplikasi akibat
DMnya (65%) dibandingkan dengan
yang menggunakan OAD (80%).
Lancet 2004;363:423-28
brw

DETEKSI
DINI
KELAINAN
COLON
Saat ini terdapat tiga cara deteksi
kelainan colon barium enema dengan
kontras udara (ACBE), CT colonography (CTC) dan kolonoskopi; ketiga
cara ini dibandingkan sensitivitasnya
untuk deteksi polip dan kanker kolon.
Sejumlah 614 pasien dengan
riwayat darah samar faeces (+),
hematochezia, anemi defisiensi besi
atau riwayat keluarga kanker colon,
pertama-tama menjalani ACBE, kemudian 7-14 hari sesudahnya menjalani
CTC dan kolonoskopi sekaligus pada
hari yang sama.
Data dari 614 pasein tersebut
menun-jukkan bahwa untuk lesi 10
mm (n=63) sensitivitas ACBE 48%
(95%CI: 35-61), CTC 59% (46-71)
p=0.1083 (CTC vs. ACBE) dan untuk
kolonoskopi 98% (91-100); p=0.080
(kolonoskopi vs. CTC).
Untuk lesi 6-9 mm (n=116)
sensitivitas ACBE 35% (27-45), CTC
51% (41-60) p=0.0080 (CTC vs.
ACBE) dan kolonoskopi 99% (95100); p< 0.0001 (kolonoskopi vs. CTC)
Untuk lesi 10 mm spesifisitas
tertinggi ialah kolonoskopi (0.996)
dibandingkan dengan ACBE (0.90)
atau CTC (0.96); lagipula spesifisitas
ACBE dan CTC menurun jika lesinya
lebih kecil.
Lancet 2005;365:305-11
brw

Cermin Dunia Kedokteran No. 147, 2005

63

Ruang
Penyegar dan Penambah
Ilmu Kedokteran
Dapatkah saudara menjawab
pertanyaan-pertanyaan di bawah ini?
1.

Kematian akibat penyakit jantung terutama disebabkan oleh:


a) Penyakit jantung hipertensi
b) Penyakit jantung rematik
c) Penyakit jantung kongenital
d) Penyakit jantung koroner
e) Payah jantung

2.

Yang tidak disebabkan oleh gangguan aliran darah


koroner :
a) Infark miokard
b) Angina pektoris
c) Penyakit jantung aterosklerotik
d) Penyakit jantung hipertensi
e) Semua termasuk

3.

Panduan hipertensi mutakhir menentukan diagnosis


hipertensi jika sistolik dan diastolik masing-masing di
atas:
a) 120 dan 80 mmHg
b) 130 dan 80 mmHg
c) 140 dan 80 mmHg
d) 130 dan 90 mmHg
e) 140 dan 90 mmHg

4.

Rantai respirasi mitokhondria terdapat di bagian :


a) Membran luar
b) Membran dalam
c) Ruang antar membran
d) Matriks
e) Di semua bagian

5.

Fungsi utama mitokhondria :


a) Membentuk protein
b) Membentuk ATP
c) Menangkap radikal bebas
d) Mengurai ATP menjadi energi
e) Mengurai glukosa menjadi energi

6.

Pemeriksaan baku emas (gold standard) untuk diagnosis


LVH:
a) EKG
b) Tes treadmill
c) Ekhokardiografi
d) MRI
e) Ro thorax

7.

Di antara bahan makanan berikut yang kadar seratnya


relatif tertinggi ;
a) Daun pepaya
b) Daun singkong
c) Brokoli
d) Bayam
e) Tomat

8.

Konsumsi serat yang dianjurkan:


a) 15 25 g/hari
b) 25 35 g/hari
c) 35 45 g/hari
d) 45 60 g/hari
e) 60 80 g/hari

JAWABAN RPPIK :
1.
5.

64 Cermin Dunia Kedokteran No. 147, 2005

D
B

2.
6.

D
D

3.
7.

E
C

4.
8.

B
B

Anda mungkin juga menyukai