Kardiologi
Kardiologi
http://www.kalbefarma.com/cdk
ISSN : 0125-913X
147. Kardiologi
2005
http. www.kalbefarma.com/cdk
International Standard Serial Number: 0125 913X
147.
Kardiologi
Daftar isi :
2. Editorial
4. English Summary
Artikel
5. Penyakit Jantung Koroner Santoso, M. Setiawan, T.
10. Current Trends of Treatment in Hypertension William Sanjaya, Abdul
Hakim Alkatiri
13. Peranan Penghambat Reseptor Angiotensin II dalam Hipertrofi
Ventrikel Kiri Sunarya Soerianata, William Sanjaya
16. Angiotensin-II dan Remodelling Vaskuler Idris Idham, William
Sanjaya
20. Disfungsi Endotel dan Obat Antihipertensi Selvinna
26. Gas Nitrogen Oksida - Polutan atau Vital bagi Kehidupan? Jansen
Silalahi
31. Pengalaman Klinis Transplantasi Jantung Yanto Sandy Tjang, Gero
Tenderich, Lech Hornik, Michiel Morshuis, Kazutomo Minami,
Richardus Budiman, Reiner Korfer
Keterangan:
Infark miokard dan gambaran EKG-nya.
Dikutip dari: Clinical Symposia 1984; 36 (6): 14.
EDITORIAL
Masalah kardiologi kembali menjadi topik bahasan Cermin Dunia
Kedokteran edisi ini.
Meskipun sebagian besar artikel mengupas masalah yang mendasar,
bukan berarti tidak mempunyai manfaat klinis-praktis, karena para klinisi
seyogyanya juga memahami masalah-masalah tersebut agar pengobatan
dan pengelolaan pasien lebih dilandasi oleh pemahaman patofisiologik
yang sesuai.
Kami selalu berharap agar artikel dalam majalah ini dapat selalu
menyumbang sesuatu bagi perkembangan pengetahuan para sejawat,
untuk itu komentar dan kritik selalu kami nantikan agar dapat dimanfaatkan guna perbaikan isi majalah kami.
Selamat membaca,
Redaksi
2005
REDAKSI KEHORMATAN
PEMIMPIN UMUM
Dr. Erik Tapan
KETUA PENYUNTING
Dr. Budi Riyanto W.
PELAKSANA
- Prof. Drg. Siti Wuryan A Prayitno, SKM, - Prof. DR. Hendro Kusnoto, Drg, SpOrt.
Laboratorium Ortodonti
MScD, PhD.
Sriwidodo WS.
TATA USAHA
- Dodi Sumarna
INFORMASI/DATABASE
Ronald T. Gultom
ALAMAT REDAKSI
Bagian Farmakologi
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Jakarta
NOMOR IJIN
DEWAN REDAKSI
151/SK/DITJEN PPG/STT/1976
Tanggal 3 Juli 1976
PENERBIT
Grup PT. Kalbe Farma Tbk.
Soebianto
PENCETAK
PT. Temprint
http://www.kalbefarma.com/cdk
PETUNJUK UNTUK PENULIS
pemunculannya dalam naskah dan disertai keterangan yang jelas. Bila terpisah
dalam lembar lain, hendaknya ditandai untuk menghindari kemungkinan tertukar. Kepustakaan diberi nomor urut sesuai dengan pemunculannya dalam
naskah; disusun menurut ketentuan dalam Cummulated Index Medicus dan/
atau Uniform Requirement for Manuscripts Submitted to Biomedical Journals
(Ann Intern Med 1979; 90 : 95-9).
Contoh :
1. Basmajian JV, Kirby RL.Medical Rehabilitation. 1st ed. Baltimore, London:
William and Wilkins, 1984; Hal 174-9.
2. Weinstein L, Swartz MN. Pathogenetic properties of invading microorganisms. Dalam: Sodeman WA Jr. Sodeman WA, eds. Pathologic physiology: Mechanism of diseases. Philadelphia: WB Saunders, 1974;457-72.
3. Sri Oemijati. Masalah dalam pemberantasan filariasis di Indonesia. Cermin
Dunia Kedokt. 1990; 64: 7-10.
Bila pengarang enam orang atau kurang, sebutkan semua; bila tujuh atau lebih,
sebutkan hanya tiga yang pertama dan tambahkan dkk.
Naskah dikirimkan ke alamat : Redaksi Cermin Dunia Kedokteran, Gedung
Enseval, Jl. Letjen Suprapto Kav. 4, Cempaka Putih, Jakarta 10510 P.O.
Box 3117 JKT. Tlp. (021) 4208171. E-mail : cdk@kalbe.co.id
Pengarang yang naskahnya telah disetujui untuk diterbitkan, akan diberitahu
secara tertulis.
Naskah yang tidak dapat diterbitkan hanya dikembalikan bila disertai
dengan amplop beralamat (pengarang) lengkap dengan perangko yang cukup.
English Summary
MITOCHONDIRIAL MYOPATHY
Santosa, Soenarto*, Suyanto Hadi**
Resident, *Professor, **Head of
Rheumatology subdivision, Dept. of
Internal Medicine, Faculty of Medicine,
Diponegoro
University,
Semarang, Central Java, Indonesia
CLINICAL EXPERIENCE
TRANSPLANTATION
ON
HEART
Artikel
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
PENDAHULUAN
Penyakit jantung koroner terutama disebabkan oleh
kelainan miokardium akibat insufisiensi aliran darah koroner
karena arterosklerosis yang merupakan proses degeneratif, di
samping banyak faktor lain. Karena itu dengan bertambahnya
usia harapan hidup manusia Indonesia, kejadiannya akan makin
meningkat dan menjadi suatu penyakit yang penting; apalagi
sering menyebabkan kematian mendadak.(1)
Tujuh jenis penyakit jantung terpenting ialah :
1. Penyakit jantung koroner (penyebab 80% kematian yang
disebabkan penyakit jantung)
2. Penyakit jantung akibat hipertensi (9%)
3. Penyakit jantung rernatik (2-3%)
4. Penyakit jantung kongenital (2%)
5. Endokarditis bakterialis (1-2%)
6. Penyakit jantung sifilitik (1%)
7. Cor pulmonale (1%),
8. dan lain-lain (5%).(4)
Aterosklerosis adalah suatu keadaan arteri besar dan kecil
yang ditandai oleh endapan lemak, trombosit, makrofag dan
leukosit di seluruh lapisan tunika intima dan akhirnya ke tunika
media.(5)
Telah diketahui bahwa aterosklerosis bukanlah suatu
proses berkesinambungan, melainkan suatu penyakit dengan
fase stabil dan fase tidak stabil yang silih berganti. Perubahan
gejala klinik yang tiba-tiba dan tak terduga agaknya berkaitan
dengan ruptur plak, meskipun ruptur tidak selalu diikuti gejala
klinik. Seringkali ruptur segera pulih; agaknya dengan cara
inilah proses plak berlangsung.(3,6)
Sekarang aterosklerosis tak lagi dianggap merupakan
proses penuaan saja. Timbulnya "bercak-bercak lemak" di
dinding arteria koronaria merupakan fenomena alamiah bahkan
sejak masa kanak-kanak dan tidak selalu harus menjadi lesi
aterosklerotik; terdapat banyak faktor saling berkaitan yang
dapat mempercepat proses aterogenik. Telah dikenal beberapa
faktor yang meningkatkan risiko terjadinya aterosklerosis
koroner pada individu tertentu.
Angina Pektoris
Penatalaksanaannya :
- Pengobatan pada serangan akut, nitrogliserin sublingual 5
mg merupakan obat pilihan yang bekerja sekitar 1-2 menit
dan dapat diulang dengan interval 3 5 menit.
- Pencegahan serangan lanjutan :
+ Long acting nitrate, yaitu ISDN 3 dd 10-40 mg oral.
+ Beta blocker : propanolol, metoprolol, nadolol, atenolol,
dan pindolol.
+ Calcium antagonist : verapamil, diltiazem, nifedipin.
- Mengobati faktor presdiposisi dan faktor pencetus : stres,
emosi, hipertensi, DM, hiperlipidemia, obesitas, kurang
aktivitas dan menghentikan kebiasaan merokok.
- Memberi penjelasan perlunya aktivitas sehari-hari untuk
meningkatkan kemampuan jantung
Infark Miokardium
Penatalaksanaan :
- Istirahat total
- Diet makanan lunak serta rendah garam
- Pasang infus dekstrosa 5 % emergency
- Atasi nyeri :
Morfin 2,5 5 mg iv atau petidin 25 50 mg im
Lain - lain: nitrat , antagonis kalsium , dan beta bloker
- Oksigen 2 4 liter/menit
- Sedatif sedang seperti diazepam 3 dd 2 5 mg per oral
- Antikoagulan :
Heparin 20000 40000 U/24 jam atau drip iv atas indikasi
Diteruskan dengan asetakumarol atau warfarin
- Streptokinase / trombolisis.
KESIMPULAN
1. Penyakit jantung koroner merupakan kelainan miokardium
akibat insufisiensi aliran darah koroner oleh arteriosklerosis
yang merupakan proses degeneratif meskipun di pengaruhi
oleh banyak faktor.
2. Penyebab penyakit jantung koroner adalah terjadinya
penyempitan aliran darah ke otot jantung yang terjadi akibat
penebalan lapisan tunika intima dan rupturnya plak yang diikuti
oleh pembentukan trombus.
KEPUSTAKAAN
1.
Hanafi, Muin Rahman, Harun. Ilmu Penyakit Dalam jilid I. Jakarta: FKUI
1997, hal 1082-108.
2.
Kusmana, Hanafi. Buku Ajar Kardiologi. Jakarta: FKUI 1996, hal 15984.
3.
Kalim H. Penyakit Kardiovaskular dari Pediatrik sampai Geriatrik.
Jakarta: Balai Penerbit RS Jantung Harapan Kita. 2001. hal 226 35.
4.
Kusumawidjaja. Patologi. Jakarta: FKUI 1996. hal 110 16.
5.
Corwin E. Handbook of Pathophysiology, alih bahasa, Brahm U.Pendit ;
Endah P ed,, Jakarta 2000. hal 352 71.
6.
Lumanau J. Hiperhomosisteinemia., Dalam: Meditek. Jakarta : FK Ukrida
2004, hal 46 9 .
7.
Harun, Alwi ,Rasyidi, Infark miokard akut, Dalam Pedoman Diagnosis
dan Terapi Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: FKUI, 2001, hal 165 72.
8.
Mardi Santoso. Standar Pelayanan Medis RSUD Koja. Jakarta: RSUD
Koja 1992, hal. 252 56.
9.
Suyatna FD. Obat antiangina. Dalam; Farmakologi dan Terapi. Jakarta:
FKUI 1995, hal. 343 63.
10. Burnside JW. Physical Diagnosis, alih bahasa: Henny Lukmanto. Jakarta:
EGC 1995, hal 213 56.
11. Kapita Selekta Kedokteran. FKUI 2001, hal. 437 41.
PRAKTIS
Systolic
< 120
120-129
130-139
140-159
160-179
180
140
Diastolic
< 80
80-84
85-89
90-99
100-109
110
< 90
Normal
SBP 120-129
DBP 80-84
Average
Low
Moderate
High
Grade 3
SBP 180
DBP 110
High
Very high
Very high
Very high
RF, risk factors; ACC, associated clinical conditions; TOD, target organ damage; SBP, systolic blood pressure;
DBP, diastolic blood pressure
REFERENCES
1.
2.
3.
11
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.
24.
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
PENDAHULUAN
Hipertensi merupakan suatu bentuk percepatan utama
perubahan patologis jantung dan pembuluh darah. Selain sebagai penyebab terpenting kerusakan berbagai organ sasaran,
hipertensi dapat mencetuskan aterosklerosis, disfungsi endotel,
hipertrofi ventrikel kiri yang meningkatkan risiko kejadian
stroke, kardiovaskuler, dan gagal ginjal.1,2
Prevalensi hipertrofi ventrikel kiri (HVK)
HVK sangat sering terjadi pada pasien-pasien hipertensi.
Pada tahun 1992, kelompok studi TOMHS melaporkan kejadian HVK yang dideteksi dengan ekokardiografi berkisar dari
24% sampai 45% pada pasien-pasien hipertensi ringan.3 Studistudi lain melaporkan kejadian yang sama, berkisar 20% pada
pasien hipertensi ringan sampai sekitar 50% pada pasien hipertensi berat.4,5 Yang menarik perhatian adalah kejadian HVK
(yang dideteksi dengan elektrokardiogram) secara bermakna
lebih tinggi pada kelompok pasien dengan peningkatan tekanan
darah pada pagi hari.6-7
Penyebab dan faktor-faktor risiko
Tekanan darah yang tinggi berhubungan kuat dengan
kejadian HVK, meskipun HVK itu sendiri sudah meramalkan
bahwa individu dengan tekanan darah yang normal akan
berkembang menjadi hipertensi.8 HVK itu sendiri lebih dipertimbangkan sebagai salah satu manifestasi awal kerusakan
organ sasaran akibat hipertensi. Tekanan darah diastolik (TDD)
berhubungan dengan peningkatan pembebanan tekanan yang
berkaitan dengan penebalan dinding ventrikel, sedangkan
tekanan darah sistolik (TDS) lebih berhubungan erat dengan
massa ventrikel kiri akibat peningkatan tekanan dan volume.9
Banyak penyebab HVK yang serupa dengan penyebab
semua penyakit kardiovaskuler. Penentu-penentu demografik
seperti usia, suku bangsa, dan riwayat keluarga sudah dikenal
berperan di dalam perkembangan HVK.10-13 Sumbangsih
genetik terhadap perkembangan HVK sudah merupakan bahan
penelitian tahun-tahun terakhir ini, dan hasilnya menunjukkan
bahwa saudara kembar dan genetik Afrika-Amerika mempunyai kecenderungan peningkatan massa ventrikel kiri.14-15
13
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18. Tin LL, Beevers DG, Lip GY. Hypertension, left ventricular hypertrophy,
and sudden death. Curr Cardiol Rep 2002; 4: 449-57.
19. Levy D, Labib S, Anderson K. Determinants of the sensitivity and
specificity of electrocardiographic criteria for left ventricular hypertrophy. Circulation 1990; 81: 815-820.
20. Unger T, Chung O, Csikos T et al. Angiotensin receptors. J Hypertens
1996 ; 14 (Suppl 5) : S95-103.
21. Schrunkert H, Sadoshima J, Cornelius T et al. Angiotensin II-induced
growth responses in isolated adult rat heart. Evidence for loadindependent induction of cardiac protein synthesis by angiotensin II. Circ
Res 1995; 76: 489-97.
22. Paquet JL, Baudouin-Legros M, Brunelle G et al. Angiotensin II-induced
proliferation of aortic myocytes in spontaneously hypertensive rats. J
Hypertens 1990; 8: 565-72.
23. Gopal AS, Schnellbaecher MJ, Shen Z et al. Freehand three-dimensional
echocardiography for determination of left ventricular volume and mass
in patients with abnormal ventricles: comparison with magnetic
resonance imaging. J Am Soc Echocardiogr 1997; 10: 853-61.
24. Stoll M, Steckelings UM, Paul M et al. The angiotensin AT2-receptor
mediates inhibition of cell proliferation in coronary endothelial cells. J
Clin Invest 1995; 95; 651-7.
25. Lijnen PJ, Petrov VV, Fagard RH. Angiotensin II-induced stimulation of
collagen secretion and production in cardiac fibroblast is mediated via
angiotensin II subtype 1 receptors. JRAAS 2001; 2: 117-22.
26. Berry C, Brosnan MJ, Fennel J et al. Oxidative stress and vascular
damage in hypertension. Curr Opin Nephrol Hypertens 2001; 10: 247-55.
27. Liu J, Devereux R. Clinical assessment of cardiac hypertrophy. In: Left
Ventricular Hypertrophy. Sheridan D, ed. Churchill Livingstone: London,
1998.
28. Devereux RB, Roman M. Evaluation of cardiac and vascular structure
and function by echocardiography and other noninvasive techniques. In:
Hypertension: pathophysiology, diagnosis and management, Laragh JH,
Brenner B, eds. Raven Press Ltd; New York, 1995: 1969-85.
29. Otterstad JE, Smiseth O, Kjeldsen SE. Hypertensive left ventricular
hypertrophy: pathophysiology, assessment and treatment. Blood Press
1996; 5: 5-15.
30. Schmieder RE, Martus P, Klingbeil A. Reversal of left ventricular
hypertrophy in essential hypertension. A meta-analysis of randomized
double blind studies. JAMA 1996; 275: 1507-13.
31. Mervaala E, Muller DN, Schmidt F et al. Blood-pressure independent
effects in rats with human renin and angiotensinogen genes. Hypertension
2000; 35: 587-94.
32. Friedrich MG, Dahlof B, Sechtem U et al. Telmisartan Effectiveness on
Left Ventricular Mass Reduction (TELMAR) as assessed by magnetic
resonance imaging in patients with mild to moderate hypertension - a
prospective, randomized, double-blind comparison of telmisartan with
metoprolol over a period of six months - rationale and study design.
JRAAS 2003; 4: 234-43.
Tanggal
05 11
April
16 17
Kegiatan
Kongres Nasional II Asosiasi
Psikogeriatri Indonesia
(KONAS II API)
6th Jakarta Antimicrobial Update
2005 dan 1st International Parasitic
Update 2005
Kongres PANDI
19 23
Temu Ilmiah Reumatologi 2005
06 08
19 21
Mei
20 22
20 22
08 11
09 11
23 25
Juni
2nd National Congress of PERDICI
23 24
Informasi terkini, detail dan lengkap (jadwal acara/pembicara) bisa diakses di http://www.kalbefarma.com/calendar
15
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
Angiotensin-II
dan Remodelling Vaskuler
Idris Idham, William Sanjaya
Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskuler, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
R.S. Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita, Jakarta
PENDAHULUAN
Pengobatan hipertensi sudah diketahui tidak menurunkan
risiko infark miokard akut secara bermakna dan tidak meregresi
hipertrofi ventrikel kiri meskipun kelihatannya cukup untuk
mengendalikan tekanan darah pada saat pemeriksaan rawat
jalan. Keberhasilan penghambat Enzim Konversi Angiotensin
(EKA) untuk pengobatan penyakit kardiovaskuler menandakan
perlunya menilai kembali peranan sistem renin angiotensin
(SRA) dalam patofisiologi kelainan kardiovaskuler. Saat ini
sudah diterima dengan baik bahwa SRA bukan hanya sistem
sirkulasi hormonal, tetapi juga merupakan sistem jaringan yang
tersebar di berbagai organ kardiovaskuler.1-4
Sistem Renin Angiotensin
Sudah hampir 100 tahun yang lalu, Tigersted dan
Bergman5 menemukan renin, satu dari enzim utama SRA, yang
merupakan suatu bahan endokrin dari ekstraksi ginjal yang
dapat meningkatkan tekanan darah jika disuntikkan ke kelinci.
17
1.
2.
Pengaruh-pengaruh hemodinamik
Meningkatkan tahanan perifer.
Meningkatkan beban awal dan akhir.
Aksi-aksi nonhemodinamik
Merangsang hipertrofi otot polos vaskuler.
Melepaskan faktor-faktor pertumbuhan (faktor pertumbuhan yang diperantarai platelet).
Mengaktifkan protoonkogen.
Mengatur aktifitas lokal simpatetik.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.
24.
25.
26.
27.
28.
29.
30.
31.
32.
33.
34.
35.
36.
37.
38.
39.
40.
41.
42.
43.
44.
19
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
Disfungsi Endotel
dan Obat Antihipertensi
Selvinna, Rianto Setiabudy
Bagian Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Jakarta
PENDAHULUAN
Dewasa ini dunia kedokteran dan pengobatan maju dengan
sangat pesat, seiring dengan kemajuan pengetahuan di berbagai
bidang yang tak henti mencari dan meneliti sesuatu dari
berbagai sudut pandang. Teori patofisiologi atau terjadinya
suatu penyakit terus berkembang seiring dengan berbagai
temuan penelitian.
Salah satu teori tentang terjadinya penyakit adalah adanya
gangguan aliran darah ke jaringan maupun organ. Pada tingkat
seluler, para ahli menemukan bahwa sel endotel yang
merupakan lapisan terdalam dinding pembuluh darah, memiliki
peran dalam pengaturan aliran darah ke suatu organ(1,2).
Gangguan atau kerusakan fungsi endotel dapat berakibat
terjadinya gangguan pada organ terkait(1-3).
Misalnya pada hipertensi esensial, yang merupakan suatu
keadaan terjadinya peningkatan tekanan darah. Selama ini
patogenesis hipertensi esensial tidak diketahui, hanya diungkapkan tentang adanya faktorfaktor pencetus terjadinya
peningkatan tekanan darah. Kini, banyak ahli berpendapat
bahwa hipertensi esensial antara lain disebabkan karena
terjadinya gangguan fungsi endotel pembuluh darah (disfungsi
endotel)(1-5). Kelainan ini juga berperan pada komplikasi
kardiovaskuler yang menyertai aterosklerosis(1-4), diabetes
melitus(1,2), hiperkolesterolemi(1,2), gagal jantung(4,5), preeklampsi(6) dan lain-lain.
Diketahuinya peran endotel menimbulkan pemikiran
bahwa sebaiknya strategi pengobatan terhadap penyakitpenyakit tersebut juga ditujukan untuk memperbaiki fungsi
endotel(1,2,7).
Obat-obat antihipertensi, yang terdiri dari banyak golongan, sering disebut memiliki efek perbaikan disfungsi endotel
sehingga memberi manfaat bagi pembuluh darah pada pasien
hipertensi(1,2,7).
Makalah ini akan membahas peranan endotel dalam
patofisiologi hipertensi dan pengaruh beberapa obat antihipertensi terhadap disfungsi endotel tersebut.
Trombosit
Trombosit
Endotel
vaskuler
Relaksasi
Kontraksi
Gambar 1. Faktor-faktor yang menimbulkan relaksasi dan kontraksi yang dihasilkan endotel(1)
Ang I/II=angiotensin I/II, Thr=thrombin, TGF1= transforming growth factor 1, Ach= asetilkolin, 5-HT=5-hydroxy triptamine, serotonin,
ET-1=endothelin-1, ADP=adenosine diphosphate, BK=bradikinin, ACE=angiotensin converting enzyme, ECE=endothelin converting
enzyme, TXA2=tromboxane A2, PGH2=prostaglandin H2, O2-=superoxide, L-Arg=L-Arginin, NOS=nitric oxide synthase, NO= nitric oxide,
EDHF= endothelium derived hyperpolarizing factor, ETA/B= endothelin receptor type A/B, AT1=angiotensin receptor type 1,
TX=thromboxane, PGI2=prostasiklin I2, cAMP=cyclic adenosin mono phosphate, cGMP= cyclic guanosine mono phosphate
EDCFs
Endotel juga menghasilkan faktor kontraksi yang disebut
EDCFs seperti ET-1 (endotelin-1), tromboksan A2 (TXA2),
prostaglandin H2 (PGH2) , dan angiotensin II(1,3,9).
Pembuluh darah intramiokard lebih sensitif terhadap efek
vasokontriksi ET-1 daripada arteri koronaria, sehingga endotel
berperan penting dalam pengaturan aliran darah koroner.
Hingga kini terdapat 3 isoform endotelin, yaitu : endotelin-1,
2.
Disfungsi Endotel
Pada keadaan tertentu seperti penuaan(1,2), menopause(1,2),
dan keadaan patologis seperti hipertensi(1-4), diabetes
melitus(1,2), aterosklerosis(1-4), sel endotel teraktivasi untuk
menghasilkan faktor konstriksi seperti EDCF (TXA2, PGH2)
dan radikal bebas yang menghambat efek relaksasi NO.
Radikal bebas dapat menghambat fungsi endotel dengan
menyebabkan rusaknya NO(7,9).
21
Vasokonstriksi
Anti trombosit
Antikoagulan
Substansi
EDRFs :
NO
Prostasiklin, PGE2, PGD2
EDHF
EDCFs :
Endotelin-1
TXA2
PGH2
Angiotensin II
Superoksida
NO
Eikosanoid
Prostasiklin
Prostasiklin E2
Trombomodulin
Glikosaminoglikan
Hepatan sulfat
Dermatin sulfat
S tim u la si
bilitas NO. Dibanding orang normal, pemberian infus LNMMA (NGmonomethyl-L-arginine) pada pasien hipertensi
esensial menyebabkan tonus pembuluh darah menjadi lebih
rendah dan tidak terjadi penurunan respons terhadap asetilkolin
(vasodilator yang tergantung endotel) atau bradikinin(5,7). Hal
ini menunjukkan adanya kerusakan NO dan munculnya
rangsangan pelepasan NO pada arteri pasien hipertensi
esensial. Kerusakan NO ini kemudian dibuktikan dengan
adanya penurunan kadar nitrit dan nitrat plasma, yang
merupakan produk akhir dari oksidasi NO(7).
Adanya penurunan respons terhadap agonis endotel pada
pasien hipertensi tampaknya tidak berhubungan dengan
kerusakan reseptor membran atau jalur transduksi sinyal karena
penurunan ini terjadi pada berbagai agonis yang bekerja pada
reseptor atau pada jalur transduksi intraseluler yang berbeda(7).
Pendapat lain menyatakan bahwa hipertensi esensial
berhubungan dengan perubahan fungsi dan morfologi endotel
menyebabkan peningkatan volume sel sehingga endotel
mencembung ke dalam lumen. Pada pembuluh darah yang
hipertensi interaksi antara endotel dengan trombosit dan
monosit meningkat(4).
Pengaruh NO dalam terjadinya disfungsi endotel pada
hipertensi diuji pada sebuah penelitian dengan hewan coba
tikus hipertensi. Pada tikus yang mengalami hipertensi spontan,
aktivitas NOS meningkat namun aktivitas biologis NO
menurun, hal ini mungkin menunjukkan adanya inaktivasi oleh
O2, dan selain itu produksi TXA2 dan PHG2 juga meningkat.
Pada tikus yang hipertensinya diinduksi dengan garam, terjadi
penurunan produksi NO. Produksi ET-1 meningkat pada tikus
yang diinduksi dengan garam namun menurun pada tikus-tikus
In h ib isi
yang mengalami hipertensi spontan. Hal ini menunjukkan adanya heterogenisitas disfungsi endotel dalam hipertensi
(Gambar 3)(1,5).
Penelitian pada manusia juga menunjukkan bahwa pada
pasien hipertensi esensial terjadi penurunan vasodilatasi oleh
Hipertensi yang
diinduksi garam
Hipertensi genetik
Sel otot
polos
vaskuler
Kontraksi
Relaksasi
Kontraksi
Relaksasi
Contoh
Atenolol
Nebivolol
Karvedilol
Nifedipin
Verapamil
Diltiazem
Kaptopril
Kuinapril
Lisinopril
Losartan
Kandesartan
Telmisartan
23
endotelin endogen(5).
Data yang didapat dari berbagai penelitian menunjukkan
bahwa antagonis kalsium terutama kelas dihidropiridin seperti
nifedipin mampu meningkatkan relaksasi yang tergantung pada
endotel(7). Muncul pertanyaan, yaitu bagaimana antagonis
kalsium mampu menimbulkan aktivitas tersebut pada sel
endotel, mengingat fungsi sel endotel tidak tergantung pada
kerja kanal kalsium. Bukti dari penelitian menunjukkan bahwa
antagonis kalsium memiliki efek antioksidan yang menjaga sel
endotel terhadap kerusakan akibat radikal bebas sehingga
antagonis kalsium mencegah rusaknya NO pada keadaan
hipertensi, yang pada akhirnya mencegah disfungsi endotel(7).
Mungkin dengan mekanisme antioksidan tersebut pula
penelitian pada hewan membuktikan bahwa antagonis kalsium
mampu menghambat aterogenesis(2).
Penghambat Enzim Konversi Angiotensin (EKA)
Dalam sistem renin angiotensin, EKA mengubah angiotensin I menjadi angiotensin II(3-5,12). Walaupun perubahan
angiotensin I menjadi angiotensin II ini terjadi terutama di
paru-paru, ternyata ditemukan pula sistem EKA jaringan di
sepanjang endotel pembuluh darah(2).
Obatobat yang termasuk dalam penghambat EKA (ACE
inhibitor) bekerja dengan menghambat enzim ini sehingga
angiotensin II(12), yang merupakan salah satu EDCFs, tidak
terbentuk. Selain itu, EKA menyebabkan degradasi bradikinin
menjadi peptida inaktif sehingga pemberian penghambat EKA
akan menyebabkan bradikinin tidak diubah(2,5,7).
Dengan demikian, peran penghambat EKA dalam disfungsi endotel adalah meningkatkan kadar bradikinin yang
merupakan vasodilator serta mencegah efek angiotensin II yang
bersifat sebagai vasokonstriktor poten(2-5,7).
Pendapat lain menyatakan bahwa penghambat EKA
memperbaiki fungsi endotel yang mengatur pembentukan
superoksida, bahkan pada konsentrasi di bawah ambang dari
angiotensin II yang tidak meningkatkan tekanan darah dapat
melipatgandakan aktivitas NADH dan produksi superoksida(5).
Salah satu penelitian yang membuktikan hal ini adalah
studi TREND (Trial on Reversing ENdothelial Dysfunction)
yang menggunakan regimen kuinapril 40 mg/hari pada pasien
penyakit jantung koroner. Hasil penelitian ini menunjukkan
adanya penurunan vasokonstriksi pembuluh darah koroner(5,7)
dan peningkatan fungsi vasomotor pada endotel(4).
Terapi dengan cilazapril selama 2 tahun mampu
meningkatkan respons terhadap asetilkolin pada pasien hipertensi esensial, hal ini juga terjadi pada penggunaan lisinopril
selama 3 tahun. Pemberian perindroprilat intravena mengembalikan respons normal pembuluh darah terhadap
rangsang endotel. Bahkan pada pasien dengan penyakit arteri
koroner, ramipril 10 mg/hari selama 4 minggu mampu meningkatkan dilatasi. Selain itu, karena pemberian ramipril dapat
mempertahankan aktivitas vasodilatasi asam askorbat, diduga
penghambat EKA memiliki aktivitas antioksidan(7).
Efek penghambat EKA terhadap perbaikan fungsi endotel
juga berlaku pada sirkulasi ginjal. Pada pasien hipertensi,
penghambat EKA terbukti secara spesifik memperbaiki respons
vasodilatasi pembuluh darah ginjal(7).
25
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
ABSTRAK
Gas nitrogen oksida dihasilkan dari asam amino L-arginin oleh enzim nitric oxide
synthase dalam sel-sel mamalia termasuk manusia dan berfungsi sebagai mediator
biologis yang memungkinkan sel-sel berkomunikasi dengan sesamanya. Nitrogen
oksida yang diproduksi secara kontiniu oleh sel-sel endotelium berperan mengendalikan
tonus pembuluh darah, aliran darah, tekanan darah, fungsi platelet, gerakan saluran
pencernaan, saluran pernafasan dan saluran kemih. Nitrogen oksida dalam jumlah
banyak terbentuk karena respon sistim imunitas untuk mempertahankan diri; tetapi juga
dapat menimbulkan perubahan patofisiologis seperti hipotensi yang fatal dan mungkin
juga menyebabkan kerusakan jaringan. Pemahaman mekanisme fisiologis, pengembangan obat dan penerapan metode terapi baru dapat dikembangkan dengan mempengaruhi secara selektif baik peningkatan dan inhibisi produksi nitrogen oksida dalam
sistim biologis.
PENDAHULUAN
Nitrogen monooksida (NO), juga disebut nitrogen oksida
atau nitrat oksida (nitric oxide) adalah suatu gas tak berwarna,
tanpa oksigen larut di dalam air; pada kondisi seperti ini
nitrogen oksida sangat stabil. Di udara, nitrogen oksida cepat
bereaksi dengan oksigen membentuk NO2, suatu gas berwarna
yang dapat memicu kerusakan jaringan. Pada konsentrasi yang
sangat rendah, nitrogen oksida relatif stabil, walaupun ada
oksigen1,2. Di alam terbuka, nitrogen oksida terbentuk dengan
memanaskan udara pada suhu tinggi seperti dalam mesin mobil
dan waktu terjadinya petir. Dalam hal ini, nitrogen dan oksigen
yang ada di udara akan bereaksi membentuk nitrogen oksida.
Pada saat petir nitrogen oksida dapat berubah menjadi NO2;
nitrogen oksida dan NO2 akan terbawa ke tanah dan menjadi
pupuk alami. Akan tetapi di daerah perkotaan nitrogen oksida
dan NO2 merupakan oksida nitrogen yang terdapat dalam
knalpot mobil dan berperan dalam pembentukan kabut
fotokimia (photochemical smog)3,4,5; jadi dua puluh tahun yang
lalu gas nitrogen oksida masih dianggap sebagai polutan atau
pencemar udara. Tetapi pada tahun 1987 diketahui bahwa sel
mammalia memproduksi nitrogen oksida, dan satu tahun
kemudian diketahui bahwa sel berkomunikasi sesamanya
HOOC-CH-(CH2)3-NH-C-NH2+2O2
HOOC-CH-(CH2)3-NH-C-NH2 + NO+2H2O
2NADPH
NH2
Arginin
N+H2
NH2
Sitrullin
27
reseptor pada endotelium vaskular oleh bradikinin atau asetilkolin, menyebabkan influks kalsium. Konsekuensi peningkatan
kalsium intraseluler merangsang eNOS. Nitrogen oksida yang
terbentuk dari L-arginin oleh enzim ini berdifusi ke sel-sel otot
polos yang terdekat, dan menstimulasi guanylate cyclase, yang
menyebabkan peningkatan sintesis cGMP dari guanosine
triphosphate (GTP)1.
Nitrogen oksida juga menghambat agregasi platelet melalui suatu mekanisme yang tergantung pada cGMP dan
bersinergi dengan prostasiklin, yang akan menghambat agregasi platelet. Tidak seperti prostasiklin, nitrogen oksida juga
menghambat adhesi platelet. Di samping itu platelet sendiri
menghasilkan nitrogen oksida yang akan bekerja sebagai suatu
mekanisme negative-feedback untuk menghambat aktivasi
platelet. Maka, agregasi platelet in vivo mungkin dikendalikan
oleh nitrogen oksida yang dihasilkan platelet dan juga oleh
nitrogen oksida dan prostasiklin yang dihasilkan oleh endotelium vaskular. Oleh karena itu, nitrovasodilator dikombinasikan dengan prostasiklin merupakan suatu pengobatan antithrombotik1,5.
Beberapa contoh sediaan farmasi (obat paten) antara lain
adalah Nitromack retard, Nitrocine, Nitrostat, Vascardin. Obat
ini mengandung senyawa organik nitrat yakni nitrogliserin dan
sejenisnya yang digunakan pada pengobatan angina pektoris
dan penyakit jantung koroner untuk berperan sebagai vasodilator koroner, relaksan otot polos, mencegah agregasi platelet
dengan cara melepaskan nitrogen oksida sebagai zat aktifnya5,14,15. Alpha-tokoferol dan gamma-tokoferol meningkatkan
produksi nitrogen oksida dan aktivitas NOS, sementara
gamma-tokoferol juga mencegah perubahan nitrogen oksida
menjadi NO2. Dengan demikian, berarti antioksidan melindungi nitrogen oksida sehingga memperpanjang aktivitasnya
yang berdampak positif pada kesehatan kardiovaskular2,9.
IMPLIKASI KLINIS
Relaksasi endotelium lebih nyata pada arteri daripada vena
yang berarti bahwa arteri lebih banyak memproduksi nitrogen
oksida daripada vena. Gliseril nitrat memberi efek dilatasi pada
vena; karena vena mensintesis lebih sedikit nitrogen oksida dibandingkan dengan arteri, vena lebih peka terhadap nitrogen
oksida dari luar (gliseril nitrat)2,5.
Relaksasi endotelium pada arteri koroner yang telah mengalami penebalan (atherosclerotic coronary arteries) berkurang
sedangkan pengaruh dan kepekaan terhadap vasokonstriktor
meningkat. Pemberian arginin dapat menormalkan gangguan
vaskular ini pada individu dengan hiperkolesterolemi. Pemberian arginin akan mencegah hipertensi pada hewan percobaan yang berbakat menderita hiperkolesterolemi dan juga
menyebabkan penurunan tekanan sistolik dan diastolik yang
cepat jika diberikan pada orang normal dan pasien dengan
hipertensi esensial1.
Turunan arginin yang termetilasi seperti N-N-dimetilarginin, N-monometilarginin, adalah inhibitor NOS yang
terdapat dalam plasma dan urin. Senyawa ini terakumulasi
dalam plasma pasien yang mengalami gagal ginjal akut.
Inhibisi NOS oleh senyawa ini dapat menjelaskan, paling tidak
ikut berperan pada, keadaan hipertensi dan gangguan sel darah
29
6.
KEPUSTAKAAN
18.
1.
2.
3.
4.
5.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
19.
20.
21.
Cassens RG. Use of Sodium Nitrite in Cured Meats Today. Food Technol.
1995(July): 72 - 80.
Lazarus SC. Just say NO: Nitric oxide and its role in allergic disease.
American Academy of Allergy, Asthma and Immunology 56th Annual
Meeting: Day 2. March 5, 2000
Silalahi J. Free radicals and antioxidant vitamins in degenerative diseases.
Maj. Kedokt. Indon. 2001; 51:1(1): 16-21.
Papas AM. Beyond alpha-tocoferol: The role of the other tocoferols and
tocotrienols. In: Meskin MS, Bidlack WR, Davies AJ., Omaye ST (eds).
Phytochemicals in Nutrition and Health. CRC. London. 2002: 61-77.
Sumanont Y, Murakami Y, Tohda M., Vajragupta O, Matsumoto K,
Watanabe H. Evaluation of the Nitric Oxide Radical Scavenging Activity
of Manganese Complexes of Curcumin and Its Derivative. Biol. Pharm.
Bull. 2004; 27(2): 170-173.
Ruschitzka FT, Wenger RH, Stallmach T, Gassmann M. et al. Nitric
oxide prevents cardiovascular disease and determines survival in
polyglobulic mice overexpressing erythropoietin. Proc. Natl. Acad. Sci.
2000: 92 (21): 11609-11613.
Adachi H, Nguyen PH, Belardinelli R, Jung T, Wasserman K. Nitric
Oxide Production during Exercise in Chronic Heart Failure. Am. Heart J.
1997:134(2): 196-203.
Finan A, Keenan P, Donovan F, Mayne P. Methemoglobinemia
associated with sodium nitrite and nitrate in three siblings. BMJ 1998;
317(24 Oct): 1138 - 9.
Breckenridge A. Recent Advances: Clinical pharmacology and therapeutics. BMJ 1995;310: 377- 80.
Informasi Spesialite Obat (ISO) Indonesia. ISFI. Jakarta, 2002.
Woodley M, Whelan A. Pedoman Pengobatan. Yogyakarta:Yayasan
Essentia Medica.. 1995: 131-135.
Shen JG, Zhao JL, Li MF, Wan Q, Xin WJ. Inhibitory effects of Ginkgo
Biloba Extract (EGb 761) on Oxygen free radicals, Nitric oxide, Myocardial Injury in Isolated Ischemic-Reperfused Hearts. In: Packer L,
Traber MG, Xin W. (eds). Proc. Internat. Symposium on Natural Antioxidants. June 20-24. 1995. Peking, China. AOAC Press. 1996: 453-65.
Zhang Z, Frears ER, Blake RD, Winyard PG. Inactivation of alphaProteinase Inhibitor by Simultaneous Generation of Nitric oxide and
Superoxide. In: Packer L, Traber MG, Xin W. (eds). Proc. Internat.
Symposium on Natural Antioxidants. June 20-24. 1995. Peking, China.
AOAC Press. 1996: 359-66.
Kikugawa K, Hiramoto K, Ohkawa T. Effects of Oxygen on the
Reactivity of Nitrogen Oxide Species Including Peroxynitrite. Biol.
Pharm. Bull. 2004: 27(1):17-23.
Friel JP. Kamus Kedokteran Dorland Edisi 26. Diterjemahkan oleh Tim
Penerjemah EGC. Jakarta. 1996
Wardlaw GM, Kessel MW. Perspective in Nutrition. 5th ed. McGraw-Hill.
2002: 249.
LAPORAN KLINIS
Pengalaman Klinis
Transplantasi Jantung
Yanto Sandy Tjang, Gero Tenderich, Lech Hornik, Michiel Morshuis,
Kazutomo Minami, Richardus Budiman, Reiner Krfer
Bagian Bedah Thoraks dan Kardiovaskuler, Pusat Jantung dan Diabetes Nordrhein Westfalen/
RS Pendidikan Universitas Ruhr Bochum, Bad Oeynhausen, Jerman
ABSTRAK
Meningkatnya umur harapan hidup, kemajuan bidang prevensi dan diagnosis serta
terapi dasar penyebab penyakit kardiovaskuler telah memberikan sumbangan besar
bagi meningkatnya jumlah penderita gagal jantung kronis. Prevalensi penyakit ini
meningkat sesuai dengan usia, berkisar dari <1% pada usia <50 tahun hingga 5% pada
usia 50-70 tahun dan 10% pada usia >70 tahun. Prognosis penderita gagal jantung
kronis sangatlah buruk jika penyebab yang mendasarinya tidak ditangani. Hampir 50%
penderita gagal jantung kronis meninggal dalam kurun waktu 4 tahun; 50% penderita
stadium akhir meninggal dalam kurun waktu 1 tahun. Meskipun berbagai terapi gagal
jantung kronis baik yang bersifat non farmakologis, farmakologis maupun bedah telah
berkembang pesat, transplantasi jantung masih merupakan pilihan terapi utama bagi
penderita gagal jantung. Pada 3 Desember 1967, di Afrika Selatan, Christian Barnard
berhasil melakukan transplantasi jantung orthotopik antar manusia untuk pertama kali.
Keberhasilan ini segera diikuti oleh pusat transplantasi jantung lainnya di berbagai
belahan dunia. Meningkatnya angka harapan hidup pasca transplantasi jantung tidak
hanya ditentukan oleh makin baiknya mutu perawatan pasca bedah, namun juga akibat
makin baiknya sistem seleksi kandidat transplantasi. Selain itu seleksi donor juga
sangat menentukan keberhasilan transplantasi jantung.
Sejak dimulainya program transplantasi di Pusat Jantung & Diabetes NRW di Bad
Oeynhausen, Jerman pada 13 Maret 1989, sebanyak 1406 transplantasi jantung
orthotopik telah berhasil dilakukan. Angka harapan hidup berkisar antara 80%, 69%,
54% dan 39% berturut-turut pada tahun pertama, ke lima, ke sepuluh dan ke lima belas.
Kata kunci: Gagal jantung, transplantasi jantung, angka harapan hidup.
PENDAHULUAN
Gagal jantung kronis sebagai penyebab utama kematian di
negara industri, saat ini juga menjadi salah satu penyebab
kematian utama di negara-negara berkembang(1). Di samping
meningkatnya umur harapan hidup manusia, kemajuan bidang
prevensi dan diagnosis serta terapi dasar penyebab penyakit
kardiovaskuler telah memberikan sumbangan besar bagi meningkatnya jumlah penderita gagal jantung kronis. Saat ini
diperkirakan hampir 5 juta penduduk di AS menderita gagal
jantung, dengan 550.000 jumlah kasus baru terdiagnosis setiap
tahunnya(2). Di samping itu gagal jantung kronis juga menjadi
31
32
Diagnosis
Kardiomiopati
Penyakit Jantung Koroner stadium akhir
Penyakit Katup Jantung
Penyakit Jantung Kongenital
Retransplantasi jantung
Lain-lain
(17)
Proporsi (%)
45%
45%
3- 4%
2%
2%
2-3%
2. Mungkin
3. Inadekuat
Penyakit lain
Infeksi aktif
Infark pulmonal dalam 68 minggu terakhir
Gangguan ginjal kronik yang signifikan dengan creatine
>2.5 or clearance <25 ml/min secara persisten
Gangguan hepatik kronik yang signifikan dengan
bilirubin >2.5 or ALT/AST >2X secara persisten
Malignansi aktif atau baru berlalu
Penyakit sistemik seperti amiloidosis
Penyakit paru kronik yang signifikan
Penyakit pembuluh darah karotis atau perifer yang
signifikan
Koagulopati yang signifikan
Penyakit ulkus lambung
Penyakit kronis utama
Diabetes dengan kerusakan end-organ dan/ atau diabetes
laten
Obesitas eksesif (e.g. >30% nilai normal)
Psikososial
Usia
> 65 tahun
ALT/AST:
SELEKSI DONOR
Seleksi donor juga sangat menentukan keberhasilan
transplantasi jantung. Karena suplai donor jantung sangat
terbatas, maka sangatlah diharapkan untuk sedapat mungkin
mengidentifikasi donor jantung yang sesuai. Upaya ini berdampak pada modifikasi cara skrining donor, sehingga banyak
kriteria lama yang ada, saat ini tidak berlaku lagi. Tabel 4
memuat daftar kontraindikasi absolut dan relatif sebagai donor
jantung di Pusat Jantung & Diabetes Northrhine Westphalia
(Heart and Diabetes Center NRW) di Bad Oeynhausen.
Tabel 4.
Absolut
Relatif
PENGALAMAN KLINIS
Sejak dimulainya program transplantasi di Pusat Jantung &
Diabetes NRW di Bad Oeynhausen, Jerman; dari tanggal 13
Maret 1989 hingga 31 Desember 2004, sebanyak 1406 transplantasi jantung orthotopik telah berhasil dilakukan pada 1153
(82%) laki-laki dan 253 (18%) wanita dengan rentang umur
dari 2 hari hingga 78 tahun (mean 50,3 16.9). Umur donor
berkisar dari 1 hari hingga 72 tahun (mean 34,2 15,4). Indikasi transplantasi jantung berupa kardiomiopati dilatatif (50,9
%), penyakit jantung koroner (38,6%), penyakit katup jantung
(5,3%), penyakit jantung kongenital (2,8%), retransplantasi
jantung (2,0%), akut miokarditis (0,1%) dan lain-lain (0,3%).
Lama tunggu transplantasi jantung berkisar antara beberapa
jam hingga 1283 hari ( mean 198 240.5). Penyebab kematian
donor adalah: perdarahan traumatik (39,5%), perdarahan
spontan (41,5), hipoksi (7,3%), luka tembak (2,6%), iskemi
serebral (3,3%), tumor otak (2,4%), intoksikasi (1,8%) dan
lain-lain (1,5%). Donor organ ditransportasi dengan memakai
cairan Kardioplegia dengan masa iskemik berkisar antara 68
menit hingga 340 menit (mean 195,9 41,3). Begitu ditemukan
donor yang sesuai, pemberian obat imunosupresif segera
dimulai dengan siklosporin A, azathioprin dan metilprednisolon. Terapi induksi dengan antibodi mono/ poliklonal sangat
dibatasi, dan terapi jangka panjang sebisanya tanpa menggunakan steroid. Umumnya pasien mendapatkan terapi siklosporin
A dan azathioprin atau tacrolimus (FK 506) dan Mycophenolat
1.
2.
3.
1.0
4.
.9
.8
REFERENSI
5.
.7
6.
.6
7.
.5
.4
8.
.3
9.
10.
.2
Fungsi survival
.1
0.0
Sensor
2
1
4
3
6
5
8
7
10
9
12
11
14
13
16
15
11.
12.
13.
Tahun
14.
Gambar 1.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
34
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
ABSTRAK
Mitokondria adalah rangkaian organela yang unik karena memiliki DNA tersendiri
yang disebut DNA mitokondria dengan sifat-sifat yang spesifik.
Miopati mitokondria menampilkan berbagai sindrom dengan karakteristik patologi,
histokimia dan biokimia yang berbeda-beda yang terjadi sebagai akibat kelainan pada
mitokondria. Sindrom ini sering mengenai multisistem dengan berbagai gejala dan
tanda dari sistem organ yang terkena. Terdapat nama-nama yang eksotik sindrom ini
seperti CPEO (chronic progresive external ophthalmoplegia), MELAS (mitochondrial
encephalomyopathy, lactic acidosis, and strokelike episodes), MERRF (myoclonic
epilepsy with ragged-red fibers), MNGIE (myoneurogastrointestinal encephalopathy),
NARP (neurogenic weakness, ataxia, retinitis pigmentation).
Fungsi utama mitokondria adalah memproduksi energi kimia dalam bentuk
molekul ATP yang akan dipergunakan sel-sel tubuh. Bila komponen kunci rantai
respirasi dalam mitokondria hilang atau rusak maka akan terjadi proses berkelanjutan
yang tidak terkendali. Beberapa sindrom mitokondrial dapat disebabkan oleh berbagai
perubahan tingkat molekuler yang dapat berupa mutasi dan delesi dari DNA
mitokondria.
Terapi yang paling umum adalah pemberian zat untuk merangsang aktivitas enzim
transport elektron sisa atau memberikan aseptor elektron buatan. Terapi gen menjadi
terapi baru dalam pengobatan kelainan-kelainan mitokondria di masa mendatang.
PENDAHULUAN
Miopati adalah istilah umum untuk penyakit-penyakit yang
mengenai otot. Istilah miopati mitokondria berarti berbagai
sindrom dengan karakteristik patologi, histokimia dan biokimia
yang berbeda-beda. Sindrom ini sering timbul pada multisistem
dengan berbagai gejala dan tanda dari sistem organ yang
terkena. Miopati mitokondria secara khas disebabkan kelainan
pada rantai respirasi atau rantai transpor elektron mitokondria.1.2.4
Mitokondrion (jamak mitokondria: Inggris- mitochondrion, mitochondria) adalah kompartemen sel atau organel
tempat proses konversi energi dalam bentuk molekul ATP
(adenosine triphosphate) yang dibutuhkan berbagai aktivitas
fungsi sel. Mitokondria adalah suatu rangkaian organela unik
yang mengandung DNA sendiri.4,5
Pengetahuan tentang mitokondria mengantar kita ke cakrawala baru yaitu mithocondrial medicine sebagai dampak kemajuan pesat dalam dekade delapanpuluhan dan sembilan
puluhan dalam pengenalan kita mengenai mutasi DNA mitokondria (mtDNA); yang mendasari sekelompok kelainan
neuromuskular dengan struktur dan fungsi mitokondria abnormal. Kelainan neuromuskular ini merupakan kelompok gejala
penyakit, yang pada waktu lalu dinamai mitochondrial
myopathies atau cytopathies. Dan pengetahuan neuromuskular
tersebut masih merupakan yang terlengkap tentang kelainan
mitokondria. Sebagai penyakit yang pada hakekatnya merupakan kelainan gen tunggal, menunjukkan adanya hubungan
antara mutasi dan ekspresi fenotip sebagai cacat biokimia serta
manifestasi klinis.1,6
Pada makalah ini akan dibahas mengenai miopati mitokondria sebagai suatu manifestasi klinis dari kelainan mitokondria.
35
Kompleks
Aktivitas enzim
NADH-coQ
reductase
II
succinate- coQ
reductase
III
CoQH2
Cytochrome c
reductase
Cytochrome c
oxidase
ATP shyntase
2Cytochrome b
Cytochrome c1
2FeS(1pusat)
7-8 [1;cytochrome b] Cytochrome a
Cytochrome a3
2 Cu
10 [3;CO I,
COII,COIII]
10-16[2;ATP6,ATP8] tidak relevan
IV
V
4[tidak ada]
Inhibitor
Rotenone
Piericidine
Amytal
Malonate
Antimycin A
CO
CN
Oligomycin
2. Metabolisme mitokondria
Fungsi utama mitokondria adalah memproduksi energi
kimia dalam bentuk ATP yang akan dipergunakan untuk aktivitas seluruh sel-sel tubuh manusia. Secara garis besar, reaksi
pembentukan ATP yang berlangsung di mitokondria dapat
dibagi menjadi 3 tahap:8
a. Reaksi oksidasi piruvat (atau asam lemak) menjadi CO2.
Reaksi ini terkait dengan reduksi NAD+ dan FAD menjadi
NADH dan FADH2. Reaksi-reaksi ini berlangsung dalam
ruang matriks mitokondria (lihat gambar 2).
b. Transfer elektron dari NADH dan FADH2 ke O2. Rentetan
reaksi ini berlangsung pada membran dalam dan terkait dengan
pembentukan proton motive force atau gradien elektrokimia
lintas membran dalam mitokondria.
c. Pemanfaatan energi yang tersimpan dalam bentuk gradien
elektrokimia untuk memproduksi ATP. Reaksi ini dikatalisis
oleh kompleks enzim F0-F1 ATP sintetase yang berlokasi pada
membran dalam.
3.
GENETIKA MITOKONDRIA
DNA mitokondria manusia merupakan DNA sirkuler
tertutup yang berada pada matriks mitokondria yang
mengandung 37 gen, dan berukuran 16569 pasang basa. Dua
puluh empat gen (24) diperlukan untuk translasi mtDNA [2
RNA ribosom (rRNAs) dan 22 RNA transfer (tRNA)] dan 13
mengkode subunit rantai respirasi, dengan perincian sebagai
berikut: 7 subunit untuk kompleks I [ND1, ND2, ND3, ND4,
ND4L, ND5 DAN ND6 (ND singkatan dari NADH
dehydrogenase)], 1 subunit untuk kompleks III (sitokrom b), 3
subunit untuk sitokrom oksidasi (COX1,II,III) serta 2 subunit
untuk ATP sintetase. Sebagian rantai respirasi dikode oleh
DNA nukleus. Genom DNA mitokondria manusia dapat dilihat
pada gambar 3.
Genetika mitokondria berbeda dengan hukum Mendel
37
Gambar 3. Sebagian rantai respirasi dikode oleh DNA nukleus. Genom DNA mitokondria manusia
Gambar 3A menunjukkan genom mitokondria manusia. Gambar 3B menunjukkan subunit rantai respirasi
yang dikode oleh
DNA nukleus (nDNA) dan
mtDNA. Dikutip dariDiMauro S, Schon E.A.
Mitochondrial Respiratory-Chain Diseases. N Eng J Med. 2003;348:2658-68. http://www.nejm.org
klinis, ini yang disebut efek ambang batas. Tiap-tiap sel organ
memiliki ambang batas tersendiri, tergantung metabolisme
jaringan tersebut. Efek tersebut lebih rendah pada jaringan
yang tergantung pada metabolisme oksidatif, seperti: otak,
jantung, otot rangka, retina, tubulus ginjal, dan kelenjar
endokrin.9,10,11
3. Segregasi mitotik
Redistribusi acak organela saat pembelahan sel dapat
mengubah proporsi mtDNA mutan yang diterima oleh sel anak
perumpuan, jika efek ambang patogenik dalam jaringan yang
tidak terkena terlampaui, maka fenotip dapat juga berubah.
Pada gangguan mtDNA sering berhubungannya dengan umur,
jaringan yang terkena, dan variabilitas gambaran klinik.9,10
Mutasi DNA mitokondria ternyata relatif tinggi. mtDNA
secara alami dihadapkan pada faktor-faktor yang tidak
menguntungkan (Tabel 2) seperti: (a) tingginya kadar spesies
oksigen reaktif sebagai produk samping metabolisme oksidatif
mitokondria, (b) terpaparnya mtDNA terhadap oksigen reaktif
tersebut karena tidak adanya proteksi oleh nukleoprotein, yang
berlainan dengan DNA inti sel dan (c) tidak adanya sistem
repair DNA yang efektif di dalam organela ini.5
Tabel 2. Karakteristik mutasi pada DNA mitokondria
Terjadi dengan laju tinggi
Kelainan rantai
respirasi
I,VI,PDC
I,IV,PDC
I
I,II,III,IV,I+IV
IV
I,II,III,IV,I+IV
IV
I,I+IV
IV
I,I-III
III
39
Sindrom
Alper
syndrome
Pearson
syndrome
Leigh
syndrome
CPEO
KearnsSayre
syndrome
MELAS
Gambaran utama
Polidistrofi infantil yang
progresif
Anemia sideroblastik pada
anak-anak, Pansitopenia,
Kegagalan eksokrin pankreas
Ensefalopati relaps subakut,
Tanda serebelar dan batang
otak
Oftalmoplegi eksternal, ptosis
bilateral
Oftalmoplegi ptosis eksternal,
Retinopati pigmentosum,
Salah satu dari:
Protein LCS > 1 gr/l
Ataksia serebelar
Blok jantung
Stroke like episode sebelum
40 tahun, Kejang dan/atau
demensia, Ragged red fiber
dan/atau asidosis laktat
MERRF
MNGIE
Ensefalopati,
neurogastoinstestinal,
Miopati, Tuli, Ataksia,
Demensia
Ataksia, Neuropati perifer,
Kelemahan dan intoleransi
latihan, Retinitis
pigmentosum
NARP
Gambaran tambahan
Diabetes mellitus,
Kardiomiopati (awal:
hipertrofi, lanjut: dilatasi)
Tuli bilateral, Retinopati
pigmentosum, Ataksia
serebelar
Demensia, Atrofi optik,
Tuli bilateral, Neuropati
perifer, Spastisitas,
Lipomata multipel
ETIOLOGI
Dalam tiap-tiap sel, mitokondria dapat disamakan dengan
mesin mobil. Mesin biologi yang kecil ini mengkombinasikan
makanan yang kita makan dengan oksigen untuk memproduksi
energi bagi kelangsungan hidup. Energi yang dibentuk oleh
mitokondria disimpan dalam bentuk zat kimia yang disebut
adenosine triphosphate (ATP).12,14
Selain memproduksi energi seperti yang telah dijelaskan
sebelumnya, mitokondria juga terlibat dalam berbagai aktivitas
yang penting seperti memproduksi hormon steroid dan
membangun blok DNA. Adanya defek pada bagian mitokondrion yang disebut rantai respirasi atau rantai transport
elektron akan menyebabkan miopati mitokondria yang melibatkan otot, dan bila melibatkan otak disebut ensefalomiopati
mitokondria. Proses yang terjadi tersebut menimbulkan gangguan suplai energi, timbunan sekunder produk toksik seperti
radikal bebas dan asidosis laktat, atau kombinasi dari kedua
keadaan tersebut.11
Bila komponen kunci rantai respirasi dalam mitokondria
hilang atau terjadi kerusakan maka akan terjadi proses yang
saling berkelanjutan. Peristiwa tersebut dapat terjadi dalam dua
tahap yaitu; (a)Yang pertama terjadi adalah tidak terbentuk
elektron. ATP tidak terbentuk secara efisien dan sel kehilangan
energi untuk melakukan fungsi normal. (b) Kedua, semua dari
tahap-tahap sesudahnya menjadi terhenti, selanjutnya sering
menimbulkan bahan kimia abnormal yang akan memproduksi
bahan toksik. Produk tersebut adalah radikal bebas dan
metabolik yang berlebihan seperti asam laktat yang dalam
jumlah besar akan membahayakan.11
Radikal bebas adalah molekul reaktif yang dapat merusak
DNA dan membran sel melalui jalur oksidasi. Normalnya,
rantai respirasi mitokondria membuat radikal bebas dalam
jumlah yang rendah selama proses pembuatan ATP. Bila
terdapat malfungsi pada rantai respirasi, maka produksi radikal
bebas meningkat. Radikal bebas ini kemudian menyebkan
kerusakan lebih lanjut mtDNA, yang akan mengakibatkan
vicious cycle timbulnya kerusakan dan produksi radikal
bebas. Tidak jelas berapa besar peranan pembentukan radikal
bebas ini dapat menyebabkan atau memperburuk keadaan
sehingga terjadi gejala-gejala penyakit mitokondria.11
Telah dilaporkan defek aktivitas enzim rantai respirasi dan
mutasi spesifik gen cytochrome b yang dibuktikan dengan
pemeriksaan biopsi, test biokimia dan molekuler pada pasienpasien dengan miopati mitokondria.13
Beberapa sindrom penyakit-penyakit mitokondria dapat
disebabkan oleh berbagai perubahan dalam tingkat molekuler.
Mutasi dapat terjadi pada DNA inti dan DNA mitokondria
(mtDNA). Kearns-sayre syndrome, Pearsons syndrome dan
chronic progresive external ophthalmoplegia (CPEO) berhubungan dengan berbagai defek yang mengenai kompleks
rantai respirasi mtDNA. Mitochondrial enchephalopathy, lactic
acidosis and stroke like (MELAS) syndrome dan myoclonus
epilepsy, regged red fiber disease (MERRF) disebabkan mutasi
tunggal gen mtDNA. Delesi multipel telah dilaporkan pada
lebih tiga kasus miopati familial dan miopati mitokondria
awitan lambat pada orang tua. Mutasi lokus tunggal gen
nukleus yang mengkonde protein pada kompleks I dan IV
menyebabkan sindrom miopati ekstremitas murni dan asidosis
laktat fulminan pada bayi. Deplesi mtDNA dapat menyebabkan
miopati pada anak-anak (lihat tabel 3 dan gambar 6 ).4,10
Sindrom mitokondrial yang didapat mungkin terjadi antara
lain miopati mitokondria akibat keracunan terapi zidofudine
(AZT) pada pasien dengan HIV, miopati yang diinduksi
clofibrate dan defesiensi selenium. Keracunan CN (sianida) CO
juga merupakan kelainan rantai respirasi mitokondria yang
sering terjadi. Abnormalitas mitokondria dapat juga terjadi
sebagai akibat proses penuan dan pada otot pasien-pasien
dengan polimiositis, miositis inclusion bodies dan reumatika
polimialgia.1,4,5
Gambar 6. Mutasi pada genom mitokondria manusia yang diketahui menyebakan penyakit.
Gangguan yang sering atau menonjol yang berhubungan dengan mutasi gen tertentu tercetak tebal. Penyakit akibat
mutasi yang mengganggu sintesis protein mitokondria. Penyakit yang disebabkan mutasi gen yang mengkode protein.
ECM encephalomyopathy; FBSN familial bilateral striatal necrosis; LHON Lebers hereditary optic neuropathy; LS
Leighs syndrome; MELAS mitochondrial encephalomyopathy, lactic acidosis, and strokelike episodes; MERRF
myoclonic epilepsy with ragged-red fibers; MILS maternallyinherited Leighs syndrome; NARP neuropathy, ataxia,
and retinitis pigmentosa; PEO progressive external ophthalmoplegia; PPK palmoplantar keratoderma; dan SIDS
sudden infant death syndrome. (Dikutip dariDiMauro S, Schon E.A. Mitochondrial Respiratory-Chain Diseases. N Eng J
Med. 2003;348:2658-68. http://www.nejm.org
PENGELOLAAN
Pada beberapa pasien dapat terlihat gambaran klinis
kelainan mitokondria yang spesifik. Evaluasi secara klinis
digunakan untuk menentukan fenotip yang kemudian dilakukan konfirmasi diagnosis dengan pemeriksaan laboratorium
termasuk tes genetik DNA dari sampel darah atau otot pasien.
Anamnesis riwayat keluarga secara lengkap penting dalam
diagnosis dan mengarahkan pemeriksaan laboratorium dan test
DNA yang akan dilakukan.11,15
Beberapa pemeriksaan penunjang diperlukan untuk konfirmasi diagnosis miopati mitokondria:11
41
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
KEPUSTAKAAN
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Beal MF, Martin JB. Nutritional and Metabolic Disease of the Nervous
Sistem in: Fauci A.S, Brunwald E, Isselbacher K.J. et all, ed. Harrisons
Principle of Internal Medicine 14th. McGraw-Hill. New York. 1998; 2:
2451-2457.
Mendell JR et al. Disease of Muscle in: Fauci A.S, Brunwald E,
Isselbacher K.J. et all, ed. Harrisons Principle of Internal Medicine 15th.
McGraw-Hill. New York. 2001; 2 : 2536-2540.
Wortmann RL. Myopathic Diseases. Buletin on the Rheumatic Disease.
2004; 51: 1-6.
Wortmann RL. Metabolic diseases of muscle, in: Koopman WJ, ed.
Arthritis and Allied Conditons, 4th ed , volume two. Lippincott Williams
& Wilkins. Philadelphia. 2001: 2416-2434.
Sangkot M. Mitochondrial Medicine: Perspektif ke Depan. Dalam:
Suryadi H, dkk. Ed. Mitochondrial Medicine. Lembaga Eijman. Jakarta.
2003. 1-17.
M. Sangkot. Kelaian Mitokondria, Diagnosis dan Pengobatan. Dalam:
Suryadi H, dkk. Ed. Mitochondrial Medicine. Lembaga Eijman. Jakarta.
2003. 71-89.
18.
19.
20.
21.
22.
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
ABSTRAK
Akhir-akhir ini peran serat dalam makanan turut diperhitungkan oleh para ahli
kesehatan. Berdasarkan bukti-bukti penelitian, serat dalam makanan dapat turut
mencegah penyakit, antara lain penyakit jantung, diabetes melitus, diare, kanker kolon
dan juga digunakan untuk menurunkan berat badan. Serat dapat diperoleh dari sayursayuran, buah dan rumput laut. Asupan serat yang dianjurkan adalah 25-35 g/hari.
PENDAHULUAN
Di masa sekarang ini telah terjadi pergeseran atau
perubahan pola penyakit penyebab mortalitas dan morbiditas di
kalangan masyarakat; ditandai dengan perubahan pola
penyakit-penyakit infeksi menjadi penyakit-penyakit degeneratif dan metabolik. Hasil Survai Kesehatan Rumah Tangga
(SKRT) menunjukkan kecenderungan kenaikan kematian yang
disebabkan oleh penyakit kardiovaskuler dari 16,5% (SKRT
1992), menjadi 18,9% (SKRT 1995).
Kecenderungan ini tidak hanya semata-mata akibat usia
lanjut, tetapi juga menyerang orang-orang yang usianya lebih
muda. Salah satu faktor yang mungkin menjadi penyebabnya
adalah gaya hidup (life style); mulai dari pola makan yang tidak
sehat sampai kurangnya aktivitas olah raga. Pola makan tidak
sehat meliputi antara lain diet tinggi lemak dan karbohidrat,
makanan dengan kandungan garam sodium yang tinggi,
rendahnya konsumsi makanan mengandung serat serta kebiasaan merokok dan minum minuman beralkohol.
Pola hidup di perkotaan yang sebagian masyarakatnya
begitu mobile dan sibuk, cenderung mengkonsumsi makanan
cepat saji; padahal diketahui makanan-makanan tersebut adalah
makanan rendah serat dan mengandung banyak garam. Menurut Widiatmo (1989), makin tinggi tingkat sosial ekonomi
seseorang biasanya berkorelasi dengan makin tingginya konsumsi makanan tinggi lemak, protein dan gula. Di masyarakat
golongan menengah ke atas, terjadi pergeseran pola makan dari
43
Bayam
Daun
pepaya
Daun
singkong
Kangkung
Seledri
Selada
Tomat
Paprika
Cabai
Kacang
panjang
Bawang
putih
Bawang
merah
Kentang
Lobak
Wortel
Brokoli
Kembang
kol
Asparagus
Jamur
Terong
Sawi
Buncis
Nangka
muda
Daun
kelor
Kandungan
serat/100 gr
0,8
2,1
1,2
1
0,7
0,6
1,2
1,4
0,3
2,5
1,1
0,6
0,3
0,7
0,9
0,5
0,9
0,6
1,2
0,1
2,0
3,2
Buahbuahan
Alpukat
Anggur
Apel
Belimbing
Jagung
Jambu biji
Jeruk bali
Jeruk
sitrun
Mangga
Melon
Nenas
Pepaya
Pisang
Semangka
Sirsak
Srikaya
Strawberi
Pear
Kandungan
serat/100 gr
1,4
1,7
0,7
0,9
2,9
5,6
0,4
2
0,4
0,3
Kacangkacangan
dan produk
olahannya
Kandungan
serat/100 gr
Kacang
kedelai
Kacang
tanah
Kacang
hijau
Kedelai
bubuk
Kecap
kental
Tahu
Susu
kedelai
Tauge
4,9
Kacang
panjang
Tempe
kedelai
3,2
2
4,1
2,5
0,6
0,1
0,1
0,7
1,4
0,4
0,7
0,6
0,5
2
0,7
6,5
3,0
1,4
2,0
DIET
TINGGI
SERAT
UNTUK
MENCEGAH
PENYAKIT JANTUNG
Penyebab utama penyakit jantung koroner (PJK) adalah
hiperlipidemi di dalam darah. PJK dimulai dengan terjadinya
aterosklerosis yaitu penebalan dinding arteri bagian dalam oleh
komponen lipid berupa kolesterol dan trigliserida. Mekanisme
terjadinya aterosklerosis dihubungkan dengan konsep disfungsi
45
KEPUSTAKAAN
1.
HASIL PENELITIAN
ABSTRAK
Teh merupakan bahan minuman alami yang mengandung zat antioksidan
flavonoid yang dapat bersifat antikarsinogenik, hipokolesterolemik serta kariostatik.
Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui apakah teh hitam bersifat antiaterosklerosis
pada kelinci.
Penelitian dilakukan dengan membagi kelinci ke dalam 4 kelompok perlakuan.
Kecuali kelompok A (kontrol positif) dan kelompok B (kontrol negatif), kelinci diberi
sari seduhan teh hitam (SSTH). Kecuali kelompok B, kelinci diberi margarin yang
mengandung asam lemak trans. Dosis SSTH yang diberikan untuk kelompok C (1X
Dosis Manusia = 211,68 mg/1,5 kgbb.) dan kelompok D (3X DM = 635,04 mg/1,5 kg
bb.). Setiap 2 minggu sekali, 12 ekor kelinci yang mewakili ke-4 kelompok diambil
aorta jantungnya, untuk dibuat preparat awetan yang selanjutnya diamati secara
histologis dan diukur tebal dinding arkus aortanya.
Kesimpulan : makin lama masa perlakuan TDA3 akan makin tebal. Pemberian
SSTH 1X DM belum mampu mencegah terjadinya ateroma, sedangkan SSTH 3X DM
sudah dapat mencegah terbentuknya ateroma dan aterosklerosis.
Kata kunci : teh hitam; plak aterosklerosis; asam lemak tak jenuh trans
PENDAHULUAN
Aterosklerosis merupakan suatu penyakit degeneratif;
lemak dan kolesterol terakumulasi di bawah lapisan endotel
dinding arteri (plak) menyebabkan penebalan serta kerusakan
lapisan intima dinding arteri. Plak ini mungkin berasal dari
pembentukan trans-isomer dan bermutasi dalam sel otot polos
dinding arteri. Meningkatnya ukuran plak menyebabkan penyempitan lumen pembuluh darah, sehingga merintangi aliran
47
Cara Kerja
A. Teh Hitam : daun tanaman teh hitam [Camellia sinensis
O.K. Var. Assamica (Mast)] sesuai dosis masing-masing
diseduh dengan air mendidih, didiamkan selama 15
menit, kemudian disaring dan diambil filtratnya.
B.
Aterogen berupa hydrogenated vegetable oil, yaitu
margarin yang dicairkan.
C. Kelinci Percobaan: berumur 3 bulan; berat 1,5 kg sebanyak 48 ekor; dibagi menjadi 4 kelompok perlakuan
SSTH serta 4 macam lama perlakuan, masing-masing terdiri dari 3 ekor kelinci dengan cara kerja sebagai berikut:
1. Semua kelinci diberi minum air putih dan makanan
baku berupa pelet RB-11 yang mengandung kolesterol
109,59mg/100g. secara ad-libitum.
2. Semua kelinci kecuali kelompok B, diberi aterogen
8%.
3. Semua kelinci kelompok C D, diberi SSTH sesuai
dosis masing-masing.
4. Dilakukan pembedahan kelinci untuk mengambil
arkus aorta pada minggu ke-2, minggu ke-4, minggu
ke-6 dan minggu ke-8.
5. Dibuat preparat awetan aorta dengan Metode Parafin.
6. Dilakukan pengamatan histologis dan pengukuran
tebal dinding arkus aorta ascenden.
ANALISIS DATA
Data kuantitatif yang diperoleh, diuji kenormalan dan
homogenitasnya. Uji kenormalan dengan Metode Distribusi
Frekuensi menunjukkan bahwa data tidak normal. Uji homogenitas dengan Metode Barlett menunjukkan bahwa data tidak
homogen. Selanjutnya, data ditransformasi dan diuji kembali
kenormalan dan homogenitasnya dengan Metode masingmasing seperti disebut di atas.
Dari hasil uji kenormalan diketahui bahwa data normal,
tetapi dari hasil uji homogenitas diketahui bahwa data tidak
homogen. Data kemudian dianalisis secara Non Parametrik
menggunakan Analisis Friedman dilanjutkan dengan uji Berganda menurut Daniel. Derajat kepercayaan untuk menerima
hipotesis adalah 95%.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Pengukuran Tebal Dinding Arkus Aorta Ascenden
Dari data yang diperoleh, dengan jumlah ulangan total
masing-masing 12 ekor dapat diketahui bahwa rata-rata tebal
dinding arkus aorta ascenden (TDA3) pada kelompok A
68,4056 um; kelompok B 58,7667 um; kelompok C 56,2833
um; kelompok D 49,9445 um. Persentase selisih kelompok A-B
= 14,0908 %; kelompok B-C = 4,2259 %; kelompok selisih CD = 11,2623 %. Rata-rata TDA3 kelompok M2 45,1889 um;
kelompok M4 49,3667 um; kelompok M6 65,6556 um;
kelompok M8 73,1889 um. Persentase selisih kelompok M2M4 = 8,4628 %; kelompok M4-M6 = 24,8096 %; kelompok
M6-M8 = 10,2930 %.
Tabel 1.
No
1.
2.
3.
(n)
1
2
3
64,7111
13,0240
62,6889
8,1765
71,5778
7,8670
74,6445
8,4413
46,4667
39,0000
61,9333
2
3
44,6667
36,2667
49,4667
39,2667
48,8667
75,0000
119,866
7
64,2667
80,1333
42,4667
5,4443
42,5778
5,9675
61,9333
13,0667
88,0889
28,6410
48,2000
44,3333
38,5333
52,7333
62,2000
49,4000
73,6667
64,6667
43,6667
67,6000
69,8667
60,5333
43,6889
4,8655
54,7778
6,6404
60,6667
15,3948
66,0000
4,8681
32,4667
36,0667
21,1333
36,2667
36,0667
39,9333
69,8000
65,1333
70,4000
70,6667
56,5333
64,8667
29,8889
7,7933
37,4222
2,1770
68,4444
2,8832
64,0222
7,1044
X
SD
4.
5.
6.
X
SD
7.
8.
9.
1
2
3
X
SD
10.
11.
12.
Perlakuan (k)
1
2
3
X
SD
Rangking (R)
46
26
29
19
A
B
C
D
A
46
20*
17*
27*
B
26
C
29
D
19
3
7
10
M4
M6
M8
14
8
22*
34*
22
36
48
14*
26*
12*
Perlakuan (k)
Rangking (R)
14
22
36
48
M2
M4
M6
M8
A
K2
M2
M4
M6
M8
M2
M4
M6
M8
M2
M4
M6
M8
M2
M4
M6
M8
R
34
27
41
44
11
13
26
47
12
20
25
31
3
6
38
30
M2
34
7
7
10
23
21
8
13
22
14
9
3
31
28
4
4
M4
27
M6
41
M8
44
M2
11
M4
13
M6
26
M8
47
M2
12
M4
20
M6
25
M8
31
M2
3
M4
6
M6
38
M8
30
14
17
16
14
1
20
15
7
2
4
24
21
11
3
3
30
28
15
6
29
21
16
10
38
35
3
11
33
31
18
3
32
24
19
13
41*
38
6
14
2
15
36
1
9
14
20
8
5
27
19
13
34
1
7
12
18
10
7
25
17
21
14
6
1
5
23
20
12
4
35
27
22
16
44*
41*
9
17
8
13
19
9
6
26
18
5
11
17
14
18
10
6
22
19
13
5
28
25
7
1
3
35
24
32
24
49
KEPUSTAKAAN
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Sutantyo E. The Effect of Palm Oil, Peanut Oil and Margarine on Serum
Lipoprotein and Atherosclerosis in Rats. Maj. Gizi Indon. 1994;19 (1-2) :
6989.
Geleijnse. Drinking Tea Protects Arteries from Cholesterol Build-up.
Arch. Intern. Med.1999;159 : 2170 - 4.
Tuminah S. Radikal Bebas dan Antioksidan - kaitannya dengan Nutrisi
dan Penyakit Kronis. Cermin Dunia Kedokt. 2000; 18 : 49-51.
Licher S. Whether its Green, Black, Jasmine or Earl Gray Tea could be
the Elixir of Health. 2000 June WebMD Medical News. [cited 2000 July
07]
Silalahi J. Hypocholesterolemic Factors in Foods : A Review. Indonesian
Food and Nutrition Progress. 2000; 7(1) : 26-35.
Trans Fatty Acid and Coronary Heart Disease., URL://www.nejm.org/
content/1999/0340/0025/1994.asp.
HASIL PENELITIAN
Rokok di Sinetron
Tjandra Yoga Aditama
Departemen Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Rumah Sakit Persahabatan, Jakarta
Penerima WHO Award on Tobacco Control , 1999
PENDAHULUAN
Lima ratus juta orang yang dewasa yang hidup di muka
bumi akan meninggal akibat kebiasaan merokok. Sekitar 100
juta orang telah meninggal akibat rokok di abad 20, dan kalau
trend ini terus berjalan maka di abad 21 akan ada 1 milyar
orang yang meninggal akibat rokok. Setiap harinya sekitar 80100 ribu remaja di dunia menjadi pecandu dan ketagihan rokok.
Bila pola ini terus menetap maka sekitar 250 juta anak-anak
yang hidup sekarang ini akan meninggal akibat penyakit yang
berhubungan dengan kebiasaan merokok(1,2).
Ada berbagai alasan orang untuk mulai dan tetap, atau
bahkan meningkatkan konsumsi rokoknya. Salah satu yang
penting adalah pengaruh panutan dan tontonan. Dalam hal ini
peran artis serta film (termasuk sinetron) amatlah penting. Hal
inilah yang antara lain menjadi dasar sehingga di tahun 2003
yang lalu tema Hari Tanpa Tembakau seDunia adalah Tobacco
Free Film, Tobacco Free Fashion (3).
Untuk mengetahui pola merokok di sinetron - tontonan TV
yang amat populer di Indonesia - maka dilakukan penelitian
untuk melihat ada tidaknya adegan merokok di sinetron yang
disiarkan berbagai stasiun TV swasta di Jakarta. Penelitian ini
dilakukan pada bulan Mei 2003 untuk mengetahui pola
merokok di kalangan para selebritis Indonesia, utamanya artis
sinetron, dan juga kebiasaan merokok yang diperlihatkan pada
adegan sinetron TV Indonesia
BAHAN DAN CARA KERJA
Dilakukan pengamatan pada sinetron yang diputar di
beberapa stasiun TV swasta yang ada di Jakarta. Pengamatan
dilakukan oleh 5 orang perawat RS Persahabatan Jakarta pada
sore dan malam hari. Pada setiap sinetron kemudian dicatat
beberapa hal :
Stasiun TV
Judul sinetron
HASIL PENELITIAN
Pengamatan dilakukan tanggal 29 Mei sampai dengan 2
Juni 2003 (5 hari). Pengamatan dilakukan pada 14 episode
sinetron yang disiarkan oleh 6 stasiun TV swasta, yaitu :
RCTI
SCTV
Indosiar
AnTV
Trans TV
Lativi
Dari 14 sinetron yang diamati ternyata 9 sinetron (64,28%)
menampilkan adegan merokok (Tabel 1):
Tabel 1. Adegan merokok di sinetron
Adegan merokok
Jumlah
Persentase
Ada
Tidak ada
Total
9
5
100
64,28 %
35, 72 %
100 %
51
Jumlah
5 sinetron
1 sinetron
4 sinetron
14
Persentase
55,55%
11,12%
33,33%
100 %
53
HASIL PENELITIAN
ABSTRAK
Recombinant human erythropoeitin (rHu-EPO) dianjurkan diberikan pada semua
tingkat penderita Penyakit Ginjal Kronis (PGK) baik yang belum atau telah menjalani
terapi dialisis. Terapi EPO pada penderita PGK telah terbukti secara signifikan (evidence
level A) dapat menghilangkan gejala maupun mengurangi komplikasi akibat anemi pada
penderita PGK. Namun demikian, walaupun sudah dibuktikan bahwa pemberian rHuEPO pada penderita PGK secara bermakna memperbaiki kualitas hidup penderita,
mengingat harganya yang mahal, tidak semua pasien beruntung mendapatkannya.
Kemajuan bioteknologi di negara-negara Asia menghasil-kan kemampuan memproduksi
salah satu jenis rHu-EPO, yaitu epoeitin alfa (Hemapo) dengan biaya yang lebih murah
sehingga lebih terjangkau oleh pasien.
Dilakukan pengobatan epoeitin alfa (Hemapo), yang dibuat di Indonesia (dengan
lisensi dari Cina) terhadap 32 penderita gagal ginjal yang sedang menjalani hemodialisis
di 3 pusat dialisis di Bandung. Pengobatan dilakukan menggunakan Konsensus
PERNEFRI mengenai Manajemen Anemi Pasien Gagal Ginjal Kronik. Penelitian
dilakukan selama 12 minggu. Terjadi kenaikan kadar Hb (g/dl) setelah pemberian
epoeitin alfa pada minggu ke-4 (sebesar 13,10%), pada minggu ke-8 (24,40%), dan pada
minggu ke 12 (29,30%). Hal serupa terlihat pada kadar Ht. Terdapat kenaikan Ht(%)
setelah pemberian epoeitin alfa pada minggu ke-4 (sebesar 18,80%), pada minggu ke-8
(26,60%), dan pada minggu ke 12 (31,80%). Peningkatan Hb tertinggi, sebesar 5,1-6 g/dl
terlihat pada 2 penderita (6,20%). Sedangkan peningkatan Hb tertinggi adalah sebesar
2,1-3 g/dl pada 11 penderita (34,40%). Pada 4 penderita (12,50%) kadar Hb justru
menurun (respon tidak adekuat). Peningkatan Ht tertinggi, sebesar 16-20% terjadi pada 4
penderita (12,50%); kebanyakan meningkat 6-10% (pada 9 penderita - 28,10%). Pada 5
penderita (15,64%) kadar Hb justru menurun (respon tidak adekuat). Kemungkinan
penyebab tidak naiknya Hb dan Ht adalah defisiensi besi (pada 10 orang penderita),dan
proses inflamasi (pada 2 penderita). Efek samping yang didapatkan pada penelitian ini
adalah peningkatan tekanan darah (15%), flu like syndrome (12,5%) dan kemungkinan
vascular access clotting (1%).
Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa pemberian epoeitin alfa (Hemapo)
selama 12 minggu efektif meningkatkan Hb dan Ht pada penderita gagal ginjal yang
sedang menjalani dialisis.
PENDAHULUAN
National Kidney Foundation di Amerika (NKF-K/DOQI)
merekomendasikan
pemberian
Recombinant
human
erythropoeitin (rHu-EPO) pada semua tingkat penderita
Penyakit Ginjal Kronis (PGK) baik yang belum atau telah
menjalani terapi dialisis1. Terapi EPO pada penderita PGK
telah terbukti secara bermakna (evidence level A) dapat
menghilangkan gejala maupun mengurangi komplikasi akibat
anemi pada penderita PGK. Selain itu terapi EPO dapat
mengurangi kebutuhan transfusi darah, mengurangi komplikasi
transfusi, mengurangi efek sekunder anemi terhadap sistim
kardiovaskuler, serta meningkatkan kualitas hidup secara
umum1,2. Sebelum terapi EPO digunakan, penanggulangan
anemia hanya dengan cara transfusi darah. Transfusi digunakan
secara luas pada penderita PGK, karena murah dan mudah;
namun berpotensi menularkan berbagai penyakit seperti
hepatitis B, hepatitis C dan HIV; serta berbagai komplikasi
lain, seperti hemosiderosis, overhidrasi, depresi sumsum tulang
dan meningkatnya sensitisasi terhadap HLA3.
Perhimpunan Nefrologi Indonesia (PERNEFRI) pada
tahun 2001, membuat konsensus manajemen anemi pada
penderita gagal ginjal yang disesuaikan dengan kondisi di
Indonesia4. Namun demikian, walaupun sudah dibuktikan
bahwa pemberian EPO pada penderita PGK secara bermakna
memperbaiki kualitas hidup penderita, mengingat harganya
yang mahal, tidak semua pasien beruntung mendapatkan
pengobatan ini.
Terdapat beberapa jenis EPO yang dapat digunakan untuk
manajemen anemi. Komposisi rantai karbohidrat, terutama
asam sialat membedakan efikasi obat, stabilitas, maupun
klirensnya. Ada 3 macam EPO berdasarkan kadar oligosakaridanya, yaitu epoeitin alfa (39% oligosakarida), epoeitin
beta (24%), dan epoeitin omega (21%). Kemajuan bioteknologi
di negara-negara Asia menghasilkan epoeitin alfa (Hemapo)
dengan biaya yang lebih murah sehingga lebih terjangkau oleh
pasien. Uji klinik telah dilakukan di beberapa rumah sakit di
Cina, dengan kenaikan Hb rerata sebesar 46%, dan Ht rerata
sebesar 47%, setelah 12 minggu pengobatan5.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui efektifitas
epoeitin alfa dalam hal kenaikan Hb dan Ht pada penderita
gagal ginjal yang menjalani hemodialisis di Indonesia dan efek
sampingnya.
kan konsentrasi feritin serum > 100 ug/L, nilai saturasi transferin > 20%. Ditentukan kriteria eksklusi, yaitu : tekanan darah
sistolik > 180 mmHg dan atau diastolik > 110 mmHg, sedang
mengalami infeksi/inflamasi, kehilangan darah kronik,
malnutrisi, hemoglobinopati dan anemi hemolisis.
Sebagai protokol pengobatan, digunakan Konsensus
Manajemen anemia pasien gagal ginjal kronik (PERNEFRI
2001). Pemberian selama 3 bulan (12 minggu).
METODE
Penelitian ini merupakan clinical trial melalui quasi
experimentation Rancangannya adalah setiap pasien berlaku
sebagai kontrol dirinya masing-masing yang akan dibandingkan dengan keadaan baseline (repeated measures design,
comparison to baseline). Penelitian dilakukan di RS Perjan Dr.
Hasan Sadikin, Klinik Spesialis Penyakit Dalam Perisai
Husada Bandung dan RS Khusus Ginjal Ny Habibie. Kriteria
inklusi: pasien gagal ginjal yang sudah menjalani hemodialisis
sekurang-kurangnya selama 6 bulan dan bersedia mengikuti
penelitian. Pada semua subjek penelitian yang terpilih dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, laboratorium, foto thorax
dan EKG. Keadaan anemia ditentukan dari pemeriksaan Hb
dan Ht (Hb < 8 g/dl atau Ht < 30 %). Sebelum terapi diharap-
Karakteristik pasien
Data rerata pasien pada awal penelitian : Usia 51.5 48
tahun ; 22 laki-laki dan 10 perempuan. Lama menjalani
hemodialisis (HD) 41.2 33 bulan. Penyebab gagal ginjal
adalah glomerulonefritis (14 orang), pielonefritis (16 orang),
hipertensi dan nefropati urat, masing-masing 1 orang. Hipertensi didiagnosis pada 27 orang; semuanya sedang dalam
pengobatan anti hipertensi. Dari hasil pemeriksaan EKG, foto
toraks maupun nilai CRP pasien dianggap tidak sedang
mengalami gangguan kardiovaskuler6, tidak menderita infeksi
atau inflamasi7. Kadar protein total dan albumin tidak
menunjukkan pasien dalam keadaan malnutrisi 7.
Rentang (range) kadar Hb 7,1- 9,7 g/dL dengan rerata
8,05 g/dL. Kadar Ht 21-30% dengan rerata 24.58%. Kadar Fe
KEL
I
II
III
IV
V
VI
VII
Total
KENAIKAN Hb
(-2) 0
01
1,1 2
2,1 3
3,1 4
4,1 5
5,1 6
Jumlah (n)
4
4
3
11
4
4
2
32
Persentase (%)
12.50
12.50
9.40
34.40
12.50
12.50
6.20
100.00
Jumlah (n)
5
7
9
7
4
32
Persentase (%)
15.64
21.88
28.10
21.88
12.50
100.00
KEL
I
II
III
IV
V
Total
40.00
30.00
NILAI
20.00
KENAIKAN Ht
(-5) 0
05
6 - 10
II 15
16 20
10.00
0.00
Hb (g/dL)
Ht (vol %)
Terapi
stlh terapi
stlh terapi
stlh terapi
Sebelum
2 mgg
4 mgg
8 mgg
8.05
24.58
9.11
29.22
10.02
31.13
10.41
32.41
Hb (g/dL)
Ht (vol %)
18.80%
20.00%
13.10%
10.00%
5.00%
Terapi 4 mgg
Terapi 8 mgg
Terapi 12 mgg
Hb (g/dL)
13.10%
24.40%
29.30%
Ht (vol %)
18.80%
26.60%
31.80%
24.40%
25.00%
0.00%
40.00%
31.80%
29.30%
30.00%
15.00%
30.00%
20.00%
12.50%
12.50%
12.50%
9.40%
10.00%
6.20%
0.00%
(-2) - 0
0-1
1,1 - 2
2,1 - 3
3,1 - 4
4,1 - 5
5,1 - 6
-10.00%
-12.50%
-20.00%
Ke naikan HB
56
35.00%
28.10%
30.00%
25.00%
21.88%
21.88%
20.00%
12.50%
15.00%
10.00%
5.00%
0.00%
-5.00%
(-5) - 0
0-5
6 - I0
II - 15
16 - 20
-10.00%
-15.00%
-20.00%
-15.64%
Kenaikan Hematokrit
1.
2.
3.
Hipertensi
Flu like syndrome
Vascular access clotting
jumlah
6
5
1
persen
15,0
12,5
2,5
KESIMPULAN
Pemberian epoeitin alfa (Hemapo) selama 12 minggu
efektif dalam hal peningkatan Hb dan Ht, pada penderita gagal
ginjal yang sedang menjalani dialisis. Setelah 12 minggu rerata
Hb meningkat bermakna sebesar 29,30%, dan rerata Ht
meningkat bermakna sebesar 31,80%. Terdapat peningkatan
tekanan darah pada 15% penderita, tetapi dapat diatasi dengan
peningkatan dosis obat hipertensi. Sedangkan flu like syndrome
terjadi pada 12,5% penderita. Tidak ditemukan efek samping
lain selama pengobatan.
KEPUSTAKAAN
1.
57
Produk Baru
Kalferon
KOMPOSISI
Tiap vial mengandung interferon alfa-2b rekombinan 3 juta UI
FARMAKOLOGI
Interferon merupakan kelompok senyawa protein dan glikoprotein alami
dengan berat molekul 15.000 hingga 27.600 dalton. yang diproduksi dengan
teknik DNA rekombinan. Interferon alfa-2b rekombinan dihasilkan dari
fermentasi bakteri strain Escherichia coli pembawa plasma yang terbentuk
secara genetik yang mengandung gen interferon dari leukosit manusia.
Interferon memiliki aktivitas seluler berikatan dengan reseptor membran
spesifik di permukaan sel. Hal ini bertanggung jawab atas berbagai respons
selular yang meliputi penghambatan replikasi virus pada sel-sel yang terinfeksi
virus, supresi proliferasi sel dan aktivitas immunomodulasi seperti peningkatan
aktivitas fagositik makrofag dan meningkatkan sitotoksisitas spesifik limfosit
terhadap sel-sel target
FARMAKOKINETIK
Kadar serum rata-rata interferon alfa-2b setelah injeksi intramuskular dan
subkutan adalah sebanding. Konsentrasi puncak dalam darah pada kedua cara
pemberian tersebut adalah 18-116 UL/ml, dicapai dalam waktu 3-l2 jam
setelah pemberian. Waktu paruh eliminasi rata-rata adalah 2-3 jam ; sudah
tidak terdeteksi lagi dalam darah setelah 16 jam penyuntikan. Ginjal merupakan tempat utama katabolisme interferon.
INDIKASI
KALFERON diindikasikan untuk pengobatan hepatitis C akut maupun
kronis. Untuk hasil pengobatan hepatitis C kronis yang optimal sebaiknya
dikombinasikan dengan Ribavirin {Hepaviral).
DOSIS DAN CARA PEMBERIAN
Hepatitis C akut
Dosis yang dianjurkan adalah 3 juta UI KALFERON, 3 kali seminggu selama
12 minggu.
Hepatitis C kronis
Dosis yang dianjurkan adalah 3 juta UI KALFERON, 3 kali seminggu selama
24-48 minggu (sesuai genotipe virus hepatitis C), dikombinasikan dengan
ribavirin (Hepaviral).
Pemberian ribavirin (Hepaviral) disesuaikan dengan berat badan pasien
Berat badan pasien
< 55 kg
56 - 75 kg
> 75 kg
58
dengan riwayat penyakit jantung dan pembuluh darah, penyakit paru, atau
diabetes melitus yang cenderung ketoasidosis, pasien dengan gangguan
koagulasi (misalnya tromboflebitis, emboli paru) atau mielosupresi berat.
Perhatian
Pasien yang menerima terapi interferon alfa-2b dosis tinggi sebaiknya
menghindari pekerjaan yang membutuhkan kesiagaan mental penuh, seperti
mengoperasikan mesin atau mengendarai kendaraan bermotor.
Reaksi hipersensitivitas akut (seperti urtikaria, angioedema, bronkokonstriksi, anafilaksi) terhadap injeksi interferon alfa-2b jarang dijumpai. Jika
terjadi, obat harus dihentikan dan segera diberi terapi medis yang sesuai. Ruam
kulit, yang sifatnya sementara, dilaporkan terjadi pada beberapa pasien setelah
penyuntikan, tetapi tidak sampai menyebabkan penghentian terapi.
INTERAKSI OBAT
Perlu diperhatikan pemberian interferon alfa-2b yang dikombinasikan
dengan obat-obat mielosupresif seperti zidovudine. Pemberian interferon alfa
bersama-sama dengan theophylline akan menurunkan klirensnya, sehingga
kadar theophyilline dalam darah meningkat 100%.
Karsinogenesis, Mutagenesis dan Gangguan Fertilitas
Wanita usia produktif sebaiknya tidak diterapi dengan interferon kecuali
mereka juga memakai alat kontrasepsi yang efektif selama terapi. Perlu
diperhatikan pemberian interferon alfa-2b pada pria subur.
Penelitian menunjukkan bahwa interferon alfa-2b tidak bersifat mutagenik.
Kehamilan : Kategori C
Terapi interferon alfa-2b hanya diberikan jika keuntungan terapi lebih besar
dibandingkan risikonya terhadap janin.
Wanita Menyusui
Perlu dipertimbangkan penghentian pemberian ASI atau menghentikan terapi
interferon alfa-2b; juga perlu dipertimbangkan pentingnya obat bagi si ibu.
Anak-anak
Keamanan dan efektivitas obat ini pada pasien anak usia di bawah 18 tahun
belum ditetapkan untuk indikasi lain selain hepatitis B.
Keamanan dan efektivitas interferon untuk hepatitis B kronik pada pasien anak
usia 1-17 tahun ditentukan hanya berdasarkan 1 uji klinis.
Keamanan dan efektivitas pada pasien anak di bawah usia 1 tahun belum
diketahui.
EFEK SAMPING
Efek samping yang umum adalah gejala mirip flu, seperti demam, nyeri
kepala, lelah, anoreksia, mual dan muntah yang makin ringan saat terapi
dilanjutkan. Beberapa gejala flu tersebut dapat diminimalkan jika penyuntikan
dilakukan menjelang tidur. Antipiretik juga dapat digunakan untuk mencegah
atau mengatasi demam dan nyeri kepala. Efek samping lain adalah menipisnya
rambut. Dianjurkan agar pasien terhidrasi dengan baik, terutama pada tahap
awal pengobatan. Efek samping spontan yang juga terjadi adalah gejala
nefrotik, pankreatitis, psikosis termasuk halusinasi, gagal ginjal dan insufisiensi ginjal.
PENYIMPANAN
Simpan KALFERON Interferon alfa-2b, sebelum dan setelah rekonstitusi
pada suhu 2-8C (36-46F).
KALFERON kit disimpan pada suhu kamar (<30C).
Hepaviral disimpan pada suhu <25C.
KEMASAN
KALFERON 3 juta UI/vial : Box berisi 3 vial
KALFERON Kit
: Box berisi 3 aqua pro injection + 3 disposable syringe
+ 3 alcohol swab
Hepaviral
: Box berisi 4 blister @ 10 kapsul Ribavirin 200 mg
HARUS DENGAN RESEP DOKTER
Diimpor dan dipasarkan oleh: PT Kalbe FarmaTbk., Bekasi-Indonesia
DIPRODUKSI OLEH:
Shenzhen Neptunus Interlong Bio-Technique Co., Ltd., Shenzhen-China.
Informatika Kedokteran
Website Kalbe Farma hadir dengan tampilan baru
59
Kegiatan Ilmiah
Laporan lengkap dari simposium, bisa diakses di
http://www.kalbefarma.com/seminar. Pada topik yang diberi tanda
Breaking News, berarti peserta simposium bisa memperoleh berita
dalam bentuk cetak (print) bersamaan dengan acara di Stand Kalbe
Farma, dan bisa langsung diakses pada homepage Kalbe Farma.
Management of Typhoid Fever with Levofloxacin: A Clinical
Experience, Surabaya 26 Februari 2005
Bertempat di Isyana Ballroom, Hotel Hyatt - Surabaya, PETRI
(Perhimpunan Peneliti Penyakit Tropik dan Infeksi Indonesia)
bekerjasama dengan PT Kalbe Farma, pada tanggal 26 Februari 2005
mengadakan simposium sehari dengan topik: Management of Typhoid
Fever with Levofloxacin : A Clinical Experience. Seminar yang
dihadiri sekitar 200 dokter menghadirkan pembicara seperti: Dr.
Nasronudin, SpPD-KPTI dan Prof. Dr. H. H. Nelwan, DTMH, SpPDKPTI. Dan sebagai moderator adalah : Prof. Dr. Eddy Soewandojo,
SpPD-KPTI dan DR. Dr. Suharto, MSc, DTMH, SpPD-KPTI.
Seminar Nyeri Kepala di Surabaya, 26 Februari 2005
Pada Sabtu, 26 Februari 2005, bertempat di Hotel Hyatt Regency
Surabaya, PERDOSSI (Persatuan Dokter Spesialis Saraf Indonesia)
bekerjasama dengan PT Kalbe Farma mengadakan Seminar Awam
Nyeri Kepala. Menurut Ma Djon, Product Manager Neuralgin PT
Kalbe Farma, tujuan utama diadakannya seminar ini adalah sebagai
edukasi ke masyarakat awam agar mengetahui penyebab dan
pencegahan problema nyeri kepala yang sering dialami dan kemudian
dapat mencegah lebih dini bila nyeri kepala yang diderita ternyata
berbahaya.
Seminar Tuberkulosis & HIV/AIDS, Jakarta 2 Maret 2005
Dalam rangka menyambut Hari TB sedunia yang jatuh pada
tanggal 24 Maret 2005, PPTI (Perkumpulan Pemberantasan
Tuberkulosis Indonesia) mengadakan seminar Tb dan HIV/AIDS,
pada hari Rabu, 2 Maret 2005 bertempat di Gedung Pusat PPTI,
Jakarta Respiratory Center.
Pertemuan Ilmiah Terpadu Bedah Anak Indonesia, Jakarta 11 12 Maret 2005
Dengan tema Manajemen Komprehensif Pembedahan pada Bayi
dan Anak, bertempat di Hotel Borobudur Jakarta, pada tanggal 11 - 12
Maret 2005 telah diadakan Pertemuan Ilmiah Terpadu Bedah Anak
Indonesia untuk pertama kalinya. Acara yang diikuti oleh sekitar 350
peserta terdiri dari dokter-dokter spesialis anestesi, penyakit anak,
penyakit dalam, bedah umum, dan bedah anak. Sebagian peserta
(sekitar 150) adalah dokter umum. Tidak mengherankan, karena saat
ini spesialis bedah anak, bisa langsung ditempuh oleh para dokter
umum di FK-FK seperti: Bandung, Surabaya dan Yogyakarta.
The Second Asian Congress of Pediatric Nutrition, Hotel Sahid
Jaya Jakarta, 1 4 Desember 2004
Pemenuhan kebutuhan nutrisi sangatlah penting bahkan sejak
dalam kandungan. Pada manusia, malnutrisi yang terjadi pada
intrauterine dan postnatal dini terutama mempengaruhi pada jumlah
sel otak. Perkembangan dari otak kecil (cerebellum) terutama dipengaruhi oleh kurangnya zat-zat gizi selama kehamilan. Hubungan antar
sinaps terutama dipengaruhi jika malnutrisi terjadi pada tahun ketiga
kehidupan.
apsul
Medication for Chronic Musculoskeletal Pain
Area of
Concerns
NSAID or
Antipyretics
Anticonvulsants
Antidepressants
Opioids
Chronic low
back pain
Effective acute
back pain in first
week
No systematic
reviews found
Not effective
Sustainedrelease opioid
effective
Not
recommended
May be
attempted
Contradictory for
CLBP
Level of
evidence
CLBP with
sciatica
Level of
evidence
Neck
with/without
limb pain
Level III
Level III
No systematic
reviews found
No systematic
reviews found
No systematic
reviews found
No systematic
reviews found
No systematic
reviews found
No systematic
reviews found
Topical
(NSAIDs or
capsaicin)
No systematic
reviews found
Level II
Sustained
release opioid
may be
attempted
Level II
Sustained
release opioid
effective
No systematic
reviews found
No systematic
reviews found
May be
attempted
Level of
evidence
Chronic
generalized
soft tissue
musculoskeletal
pain
Level of
evidence
Not effective
No studies
Level III
Contradictory
Level II
No studies
No studies
Level III
Sumber :
Evidence-based Recommendations for Medical Management of Chronic Non-Malignant Pain
Reference Guide for Clinicians of Physicians and Surgeons of Ontario, Nov. 2000
brw
62
ABSTRAK
ASMA ATOPIK DAN LINGKUNGAN RUMAH
Suatu penelitian melibatkan 397
anak 5-11 tahun penderita asma atopik
dilakukan untuk menilai pengaruh
lingkungan rumah terhadap perjalanan
penyakitnya.
Mereka tinggal di 7 kota di AS dan
secara acak dibagi dua kelompok : satu
kelompok (469) mendapat 5 kali kunjungan rumah wajib dan 2 kali kunjungan tak wajib (optional) untuk
penerangan dan pencegahan terhadap
alergen tungau, asap rokok, kecoa,
hewan peliharaan, tikus dan jamur ;
lantai dan alat tidur anak dilapisi
dengan lapisan kedap alergen, diberi
mesin penyedot debu (jika lantainya
berkarpet) atau sikat lantai; selain itu
juga dilengkapi dengan alat penyaring
udara di kamar anak.
Kelompok ke dua (468) tidak diberi perlakuan apa-apa.
Penilaian tiap 2 minggu menunjukkan bahwa kejadian serangan asma
lebih rendah di kalangan intervensi,
baik selama intervensi (3.39 hari vs.
4.20 hari, p<0.001) maupun satu tahun
sesudahnya (2.62 vs. 3.21 hari,
p<0.001).
Juga didapatkan penurunan alergen seperti Dermatophagoides farinae
(Der f1) di tempat tidur (p<0.001).
Penurunan alergen kecoa dan
tungau (Der f1) di lantai kamar tidur
berhubungan bermakna dengan penurunan komplikasi asma (p<0.001).
N.Engl.J.Med.2004;351:1068-80
brw
EFEKTIVITAS KONTROL DM
DENGAN HANYA DIET
Suatu studi cross sectional dilakukan atas 8626 pasien DM tipe 2 di
antara 253 618 pasien yang mendatangi
42 dokter praktek di Inggris (prevalensi: 3.4%); 756 (8.8%) dengan
diabetes tipe 1, 5170 (59.9%) dengan
diabetes tipe 2 yang menggunakan obat
antidiabetes dan 2700 (31.3%) pasien
diabetes tipe 2 yang hanya menggunakan cara diet tanpa OAD.
Mereka yang menggunakan cara
diet saja lebih sedikit yang menjalani
pemeriksaan tambahan seperti kadar
HbA1c, cholesterol dan mikroalbuminuri; juga pengukuran tekanan darah
dan denyut nadi kaki.
Sejumlah 38.4% pasien dengan
OAD kadar HbA1c nya di atas 7.5%,
dibandingkan dengan 17.3% di kalangan pasien dengan diet saja; pasien
dengan diet saja cenderung lebih
DETEKSI
DINI
KELAINAN
COLON
Saat ini terdapat tiga cara deteksi
kelainan colon barium enema dengan
kontras udara (ACBE), CT colonography (CTC) dan kolonoskopi; ketiga
cara ini dibandingkan sensitivitasnya
untuk deteksi polip dan kanker kolon.
Sejumlah 614 pasien dengan
riwayat darah samar faeces (+),
hematochezia, anemi defisiensi besi
atau riwayat keluarga kanker colon,
pertama-tama menjalani ACBE, kemudian 7-14 hari sesudahnya menjalani
CTC dan kolonoskopi sekaligus pada
hari yang sama.
Data dari 614 pasein tersebut
menun-jukkan bahwa untuk lesi 10
mm (n=63) sensitivitas ACBE 48%
(95%CI: 35-61), CTC 59% (46-71)
p=0.1083 (CTC vs. ACBE) dan untuk
kolonoskopi 98% (91-100); p=0.080
(kolonoskopi vs. CTC).
Untuk lesi 6-9 mm (n=116)
sensitivitas ACBE 35% (27-45), CTC
51% (41-60) p=0.0080 (CTC vs.
ACBE) dan kolonoskopi 99% (95100); p< 0.0001 (kolonoskopi vs. CTC)
Untuk lesi 10 mm spesifisitas
tertinggi ialah kolonoskopi (0.996)
dibandingkan dengan ACBE (0.90)
atau CTC (0.96); lagipula spesifisitas
ACBE dan CTC menurun jika lesinya
lebih kecil.
Lancet 2005;365:305-11
brw
63
Ruang
Penyegar dan Penambah
Ilmu Kedokteran
Dapatkah saudara menjawab
pertanyaan-pertanyaan di bawah ini?
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
JAWABAN RPPIK :
1.
5.
D
B
2.
6.
D
D
3.
7.
E
C
4.
8.
B
B