Demam Tifoid Pada Anak - Aneh
Demam Tifoid Pada Anak - Aneh
Tutor:
Dr. Nur Faizah, SP.A
Disusun Oleh:
Rostikawaty Azizah
G1A009022
Besarnya angka pasti kasus demam tifoid di dunia sangat sulit ditentukan karena
penyakit ini dikenal mempunyai gejala dengan spektrum klinis yang sangat luas. Data World
Health Organization (WHO) tahun 2003 memperkirakan terdapat sekitar 17 juta kasus
demam tifoid di seluruh dunia dengan insidensi 600.000 kasus kematian tiap tahun. Di negara
berkembang, kasus demam tifoid dilaporkan sebagai penyakit endemis dimana 95%
merupakan kasus rawat jalan sehingga insidensi yang sebenarnya adalah 15-25 kali lebih
besar dari laporan rawat inap di rumah sakit. Di Indonesia demam tifoid dapat ditemukan
pada semua umur, tetapi yang paling sering pada anak besar,umur 5- 9 tahun. Sehingga masih
diperlukan adanya pengkajian mengenai demam tifoid
makrofag telah
teraktivasi dan hiperaktif maka saat fagositosis kuman Salmonella terjadi pelepasan
beberapa mediator inflamasi yang selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi inflamasi
sistemik seperti demam, malaise, mialgia, sakit kepala, sakit perut, instabilitas vascular,
gangguan mental, dan koagulasi.
Di dalam plague peyeri makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hyperplasia
jaringan (S. typhi intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe lambat,
hyperplasia jaringan, dan nekrosis organ). Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat
erosi pembuluh darah sekitar plague Peyeri yang sedang mengalami nekrosis dan
Pada anak, periode inkubasi demam tifoid antara 540 hari dengan rata-rata
antara 1040 hari. Gejala klinis demam tifoid sangat bervariasi, hal tersebut dapat
terjadi disebabkan oleh faktor galur Salmonella, status nutrisi dan imunologik
penjamu, serta lama sakit di rumahnya. Penampilan demam pada kasus demam tifoid
mempunyai istilah khusus yaitu step-ladder temperature chart yang ditandai dengan
demam timbul insidius, kemudian naik secara bertahap tiap harinya dan mencapai
titik tertinggi pada akhir minggu pertama. Setelah itu demam akan bertahan tinggi.
Pada minggu ke-4, demam turun perlahan secara lisis. Demam lebih tinggi saat sore
dan malam hari dibandingkan dengan pagi harinya.
Pada minggu pertama, gejala klinisnya yaitu demam, nyeri kepala, pusing, nyeri
otot, anoreksia, mual, muntah, obstipasi/diare, perasaan tidak enak di perut, batuk, dan
epistaksis.Dalam minggu ke-2, gejala telah lebih jelas, yaitu berupa demam,
bradikardia relatif (peningkatan suhu 1oC tidak diikuti dengan peningkatan denyut
nadi 8 kali per menit), lidah yang berselaput, hepatomegali, splenomegali,
meteroismus, ganguan mental berupa somnolen, stupor, koma, delirium, dan psikosis.
3. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid
dibagi dalam empat kelompok, yaitu (Prasetyo., Ismoedijanto, 2010) :
a. Pemeriksaan darah tepi
Pada penderita demam tifoid bisa didapatkan anemia, jumlah leukosit normal, bisa
menurun atau meningkat, mungkin didapatkan trombositopenia dan hitung jenis
biasanya normal atau sedikit bergeser ke kiri, mungkin didapatkan aneosinofilia
dan limfositosis relatif, terutama pada fase lanjut.
ilmuwan mendapatkan bahwa hitung jumlah dan jenis leukosit serta laju endap
darah tidak mempunyai nilai sensitivitas, spesifisitas dan nilai perkiraan yang
cukup tinggi untuk dipakai dalam membedakan antara penderita demam tifoid atau
bukan, akan tetapi adanya leukopenia dan limfositosis relatif menjadi dugaan kuat
diagnosis demam tifoid.
b. Identifikasi kuman mekakui isolasi / biakan
Diagnosis pasti demam tifoid dapat ditegakkan bila ditemukan bakteri S. typhi
dalam biakan dari darah, urine, feses, sumsum tulang, cairan duodenum atau dari
rose spots. Berkaitan dengan patogenesis penyakit, maka bakteri akan lebih mudah
ditemukan dalam darah dan sumsum tulang pada awal penyakit, sedangkan pada
stadium berikutnya di dalam urine dan feses. Hasil biakan yang positif memastikan
demam tifoid akan tetapi hasil negatif tidak menyingkirkan demam tifoid, karena
hasilnya tergantung pada beberapa faktor. Faktor-faktor yang mempengaruhi hasil
biakan meliputi
(1) jumlah darah yang diambil
(2) perbandingan volume darah dari media empedu
(3) waktu pengambilan darah.
Volume 10-15 mL dianjurkan untuk anak besar, sedangkan pada anak kecil
dibutuhkan. 2-4 mL. Sedangkan volume sumsum tulang yang dibutuhkan untuk
kultur hanya sekitar 0.5-1mL.Bakteri dalam sumsum tulang ini juga lebih sedikit
dipengaruhi oleh antibiotika daripada bakteri dalam darah. Hal ini dapat
menjelaskan teori bahwa kultur sumsum tulang lebih tinggi hasil positifnya bila
dibandingkan dengan darah walaupun dengan volume sampel yang lebih sedikit
dan sudah mendapatkan terapi antibiotika sebelumnya.
Media pembiakan yang direkomendasikan untuk S.typhi adalah media
empedu (gall) dari sapi dimana dikatakan media Gall ini dapat meningkatkan
positivitas hasil karena hanya S. typhi dan S. paratyphi yang dapat tumbuh pada
media tersebut Biakan darah terhadap Salmonella juga tergantung dari saat
pengambilan pada perjalanan penyakit. Beberapa peneliti melaporkan biakan darah
positif 40-80% atau 70-90% dari penderita pada minggu pertama sakit dan positif
10-50% pada akhir minggu ketiga.4,9 Sensitivitasnya akan menurun pada sampel
penderita yang telah mendapatkan antibiotika dan meningkat sesuai dengan volume
darah dan rasio darah dengan media kultur yang dipakai.6 Bakteri dalam feses
ditemukan meningkat dari minggu pertama (10-15%) hingga minggu ketiga (75%)
dan turun secara perlahan. Biakan urine positif setelah minggu pertama. Biakan
sumsum tulang merupakan metode baku emas karena mempunyai sensitivitas
paling tinggi dengan hasil positif didapat pada 80-95% kasus dan sering tetap
positif selama perjalanan penyakit dan menghilang pada fase penyembuhan.
Metode ini terutama bermanfaat untuk penderita yang sudah pernah mendapatkan
terapi atau dengan kultur darah negatif sebelumnya. Prosedur terakhir ini sangat
invasif sehingga tidak dipakai dalam praktek sehari-hari. Pada keadaan tertentu
dapat dilakukan kultur pada spesimen empedu yang diambil dari duodenum dan
memberikan hasil yang cukup baik akan tetapi tidak digunakan secara luas karena
adanya risiko aspirasi terutama pada anak. Salah satu penelitian pada anak
penapisan sedangkan uji tabung membutuhkan teknik yang lebih rumit tetapi
dapat digunakan untuk konfirmasi hasil dari uji hapusan. Penelitian pada anak oleh
Choo dkk (1990) mendapatkan sensitivitas dan spesifisitas masing-masing sebesar
89% pada titer O atau H >1/40 dengan nilai prediksi positif sebesar 34.2% dan nilai
prediksi negatif sebesar 99.2%.14 Beberapa penelitian pada kasus demam tifoid
anak dengan hasil biakan positif, ternyata hanya didapatkan sensitivitas uji Widal
sebesar 64-74% dan spesifisitas sebesar 76-83%. Interpretasi dari uji Widal ini harus
memperhatikan beberapa faktor antara lain sensitivitas, spesifisitas, stadium
penyakit; faktor penderita seperti status imunitas dan status gizi yang dapat
mempengaruhi pembentukan antibodi; gambaran imunologis dari masyarakat
setempat (daerah endemis atau non-endemis); faktor antigen; teknik serta reagen
yang digunakan. Kelemahan uji Widal yaitu rendahnya sensitivitas dan spesifisitas
serta sulitnya melakukan interpretasi hasil membatasi penggunaannya dalam
penatalaksanaan penderita demam tifoid akan tetapi hasil uji Widal yang positif akan
memperkuat dugaan pada tersangka penderita demam tifoid (penanda infeksi).3 Saat
ini walaupun telah digunakan secara luas di seluruh dunia, manfaatnya masih
diperdebatkan dan sulit dijadikan pegangan karena belum ada kesepakatan akan nilai
standar aglutinasi (cut-off point). Untuk mencari standar titer uji Widal seharusnya
ditentukan titer dasar (baseline titer) pada anak sehat di populasi dimana pada
daerah endemis seperti Indonesia akan didapatkan peningkatan titer antibodi O dan
H pada anak-anak sehat. Antigen O
Antigen O merupakan somatik yang terletak di lapisan luar tubuh kuman. Struktur
kimianya terdiri dari lipopolisakarida. Antigen ini tahan terhadap pemanasan 100C
selama 25 jam, alkohol dan asam yang ence1.
a. Antigen H
Antigen H merupakan antigen yang terletak di flagela, fimbriae atau fili S. typhi dan
berstruktur kimia protein. S. typhi mempunyai antigen H phase-1 tunggal yang juga
dimiliki beberapa Salmonella lain. Antigen ini tidak aktif pada pemanasan di atas
suhu 60C dan pada pemberian alkohol atau asam.
b. Antigen Vi
Antigen Vi terletak di lapisan terluar S. Typhi (kapsul) yang melindungi kuman dari
fagositosisn dengan struktur kimia glikolipid, akan rusak biladipanaskan selama 1
jam pada suhu 60C, dengan pemberian asam dan fenol. Antigen ini digunakan
untuk mengetahui adanya karier.
c. OuterMembrane Protein (OMP)
Antigen OMP S typhi merupakan bagian dinding sel yang terletak di luar membran
sitoplasma dan lapisan peptidoglikan yang membatasi sel terhadap lingkungan
sekitarnya. OMP ini terdiri dari 2 bagian yaitu protein porin dan protein nonporin.
Porin merupakan komponen utama OMP, terdiri atas protein OMP C, OMP D, OMP
F dan merupakan saluran hidrofilik yang berfungsi untuk difusi solut dengan BM <
6000. Sifatnya resisten terhadap proteolisis dan denaturasi pada suhu 85100C.
Protein nonporin terdiri atas protein OMP A, protein a dan lipoprotein, bersifat
sensitif terhadap protease, tetapi fungsinya masih belum diketahui dengan jelas.
Beberapa peneliti menemukan antigen OMP S typhi yang sangat spesifik yaitu
antigen protein 50 kDa/52 kDa.
2) Tes TUBEX
Tes TUBEX merupakan tes aglutinasi kompetitif semi kuantitatif yang
sederhana dan cepat (kurang lebih 2 menit) dengan menggunakan partikel yang
berwarna untuk meningkatkan sensitivitas. Spesifisitas ditingkatkan dengan
menggunakan antigen O9 yang benar-benar spesifik yang hanya ditemukan pada
Salmonella serogrup D. Tes ini sangat akurat dalam diagnosis infeksi akut karena
hanya mendeteksi adanya antibodi IgM dan tidak mendeteksi antibodi IgG dalam
waktu beberapa menit. Walaupun belum banyak penelitian yang menggunakan tes
TUBEX ini, beberapa penelitian pendahuluan menyimpulkan bahwa tes ini
mempunyai sensitivitas dan spesifisitas yang lebih baik daripada uji Widal.4
Penelitian oleh Lim dkk (2002) mendapatkan hasil sensitivitas 100% dan spesifisitas
100%.15 Penelitian lain mendapatkan sensitivitas sebesar 78% dan spesifisitas
sebesar 89%.9 Tes ini dapat menjadi pemeriksaan yang ideal, dapat digunakan untuk
pemeriksaan secara rutin karena cepat, mudah dan sederhana, terutama di negara
berkembang.
3) Metode Enzim Immuniassay (EIA) DOT
Uji serologi ini didasarkan pada metode untuk melacak antibodi spesifik IgM
dan IgG terhadap antigen OMP 50 kD S. typhi. Deteksi terhadap IgM menunjukkan
fase awal infeksi pada demam tifoid akut sedangkan deteksi terhadap IgM dan IgG
menunjukkan demam tifoid pada fase pertengahan infeksi. Pada daerah endemis
dimana didapatkan tingkat transmisi demam tifoid yang tinggi akan terjadi
peningkatan deteksi IgG spesifik akan tetapi tidak dapat membedakan antara kasus
akut, konvalesen dan reinfeksi. Pada metode Typhidot-M yang merupakan
modifikasi dari metode Typhidot telah dilakukan inaktivasi dari IgG total sehingga
memberikan hasil yang memuaskan sehingga saat ini penggunaannya masih terbatas
dalam laboratorium penelitian
4. Gold Standart Diagnosis
Pemberian makan dalam porsi kecil tetapi sering. Biasanya disajikan dalam bentuk
bubur saring.
Medikamentosa
Obat terpilih untuk penderita demam tifoid adalah kloramphenikol dengan
dosis 50-100 mg/kgBb/ hari maksimal 2 gr/hari. Obat diberikan sampai 7 hari bebas
panas, minimal diberikan selama 10 hari. Bila dalam 10 hari pemberian
kloramphenikol panas tidak turun maka obat diganti ampicilin 200mg/kgBb/hari
diberkan secara Iv selama 10-14 hari. Demikian juga bila ditemukan Hb<8 g/dl, dan
atau leukosit <2000/mm3 obat diganti dengan ampicilin.
Pada kasus berat, dapat diberi seftriakson dengan dosis 80 mg/kg BB/kali dan
diberikan sekali sehari, intravena, selama 5-7 hari.
Pada ensefalopati tifoid diberikan juga dexamethason dengan dosis awal 3
mg/kgBB/kali, dilanjutkan 1 mg/kgBB/6 jam, sebanyak 8 kali (selama 48 jam), lalu di
stop tanpa tapering off, reduksi cairan 4/5 kebutuhan, lakukan pemeriksaan elektrolit,
dan dilakukan Lumbal Punksi bila tidak terdapat kontraindikasi.
2. Non medikamentosa
Pencegahan demam tifoid diupayakan melalui berbagai cara: umum dan
khusus/imunisasi. Termasuk cara umum antara lain adalah peningkatan higiene dan
sanitasi karena perbaikan higiene dan sanitasi saja dapat menurunkan insidensi
demam tifoid. (Penyediaan air bersih, pembuangan dan pengelolaan sampah).
Menjaga kebersihan pribadi dan menjaga apa yang masuk mulut (diminum atau
dimakan) tidak tercemar Salmonella typhi. Pemutusan rantai transmisi juga penting
yaitu pengawasan terhadap penjual (keliling) minuman/makanan.
Ada dua vaksin untuk mencegah demam tifoid. Yang pertama adalah vaksin
yang diinaktivasi (kuman yang mati) yang diberikan secara injeksi. Yang kedua
adalah vaksin yang dilemahkan (attenuated) yang diberikan secara oral. Ada beberapa
orang yang tidak boleh mendapatkan vaksin tifoid atau harus menunggu. Yang tidak
boleh mendapatkan vaksin tifoid diinaktivasi (per injeksi) adalah orang yang memiliki
reaksi yang berbahaya saat diberi dosis vaksin sebelumnya, maka ia tidak boleh
mendapatkan vaksin dengan dosis lainnya. Orang yang tidak boleh mendapatkan
vaksin tifoid yang dilemahkan (per oral) adalah : orang yang mengalami reaksi
berbahaya saat diberi vaksin sebelumnya maka tidak boleh mendapatkan dosis
lainnya, orang yang memiliki sistem imunitas yang lemah maka tidak boleh
mendapatkan vaksin ini, mereka hanya boleh mendapatkan vaksin tifoid yang
diinaktifasi, diantara mereka adalah penderita HIV/AIDS atau penyakit lain yang
menyerang sistem imunitas, orang yang sedang mengalami pengobatan dengan obatobatan yang mempengaruhi sistem imunitas tubuh semisal steroid selama 2 minggu
atau lebih, penderita kanker dan orang yang mendapatkan perawatan kanker dengan
sinar X atau obat-obatan. Vaksin tifoid oral tidak boleh diberikan dalam waktu 24 jam
bersamaan dengan pemberian antibiotik.
Suatu vaksin, sebagaimana obat-obatan lainnya, bisa menyebabkan problem
serius seperti reaksi alergi yang parah. Resiko suatu vaksin yang menyebabkan
bahaya serius atau kematian sangatlah jarang terjadi. Problem serius dari kedua jenis
vaksin tifoid sangatlah jarang. Pada vaksin tifoid yang diinaktivasi, reaksi ringan yang
dapat terjadi adalah : demam (sekitar 1 orang per 100), sakit kepada (sekitar 3 orang
per 100) kemerahan atau pembengkakan pada lokasi injeksi (sekitar 7 orang per 100).
Pada vaksin tifoid yang dilemahkan, reaksi ringan yang dapat terjadi adalah demam
atau sakit kepada (5 orang per 100), perut tidak enak
F. Prognosis
Prognosis demam tifoid tergantung dari umur, keadaan umum, derajat kekebalan tubuh,
jumlah dan virulensi Salmonella, serta cepat dan tepatnya pengobatan. Angka kematian
pada anak-anak adalah 2,6% dan pada orang dewasa adalah 7,4 %. Sehingga rata-ratanya
adalah 5,7%.
G. Komplikasi
Komplikasi demam tifoid dapat dibagi di dalam :
Komplikasi intestinal
1. Perdarahan usus
2. Perforasi usus
3. Ileus paralitik
Komplikasi ekstraintetstinal
1. Komplikasi kardiovaskular: kegagalan sirkulasi perifer (renjatan/sepsis), miokarditis,
trombosis dan tromboflebitis.
2. Komplikasi
darah:
anemia
hemolitik,
trombositopenia
dan atau
koagulasi
III. KESIMPULAN
1. Demam tifoid atau typhus abdominalis merupakan penyakit infeksi sistemik terutama
mengenai sistem retikuloendotelial, jaringan limfoid intestinal, dan kantung empedu, yang
disebabkan oleh kuman basil gram negatif Salmonella typhi maupun Salmonella
paratyphi.
2. Utama dari manifetasi klinik demam tifoid adalah : adanya demam lebih dari 7 hari,
gangguan gastrointestinal dan gangguan kesadaran
3. Penegakan diagnosis dari demam tifoid adalah didasarkan atas anamnesis, pemeriksaan
fisik dan pemeriksaan penunjang.
4. Gold standar dalam penegakan diagnosis demam tifoid adalah pemeriksaan kultur.
5. Penatalaksanaan kasus demam tifoid memerlukan upaya medikamentosa dan non medika
mentosa
6. Komplikasi demam tifoid dibagi menjadi 2, komplikasi intestinal dan ekstraintestinal.
IV.DAFTAR PUSTAKA
Dorland. 1998. Kamus Saku Kedokteran Dorland Edisi 25. Jakarta: EGC.
Ganong, WF. 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, Jakarta: EGC.
Garna Herry, dkk. 2010. Buku Ajar Infeksi dan Pediatri Tropis Edisi Kedua. Jakarta: Bagian Ilmu
Kesehatan Anak FKUI.
Gunawan, SG, dkk. 2007. Farmakologi dan Terapi Edisi 5. Jakarta: FKUI.
Mansjoer, Arif, dkk. 1999. Kapita Selekta Kedokteran Jilid 1 Edisi 3. Jakarta: Media Aesculapius
FKUI.
Nasronudin, dkk. 2007. Penyakit Infeksi di Indonesia: Solusi Kini dan Mendatang. Jakarta: Airlangga
University Press.
Staf Pengajar FKUI. 1994. Mikrobiologi Kedokteran. Jakarta: Bina Rupa Aksara.
Sudoyo, AW, dkk. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 3 Edisi 4. Jakarta: FKUI.
Prasetyo, Risky Vitria., Ismoedijanto. 2010. Metode diagnostik demam tifoid pada anak.
Divisi tropik dan penyakit infeksi Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK UNAIR/ RSU
dr.Soetomo Surabaya
Siswandari, wahyu. 2012. Lecture : Pemeriksaan laboratorium pada infeksi bakteri.Blok
TROPMED
Wardhani, puspa., Prihatani., Probohusodo, M.Y. 2005. Kemampuan uji tabung widal
menggunakan antigen import dan antigen lokal. ndonesian Journal of Clinical
Pathology and Medical Laboratory, Vol. 12, No. 1, Nov 2005: 31-37