Anda di halaman 1dari 18

TETANUS

I. Definisi
Tetanus adalah penyakit yang mengenai sistem saraf yang disebabkan oleh
tetanospasmin yaitu neurotoksin yang dihasilkan oleh Clostridium tetani. Penyakit ini
ditandai oleh adanya trismus, disfagia, dan rigiditas otot lokal yang dekat dengan tempat luka,
sering progresif menjadi spasme otot umum yang berat serta diperberat dengan kegagalan
respirasi dan ketidakstabilan kardiovaskular. Gejala klinis tetanus hampir selalu berhubungan
dengan kerja toksin pada susunan saraf pusat dan sistem saraf autonom dan tidak pada sistem
saraf perifer atau otot(4,6).
II. Etiologi
Kuman yang menghasilkan toksin adalah Clostridridium tetani, kuman berbentuk
batang ukurannya kurang lebih 0,4 x 6 m dan mempunyai sifat(1,2,5,6) :

Basil Gram-positif dengan spora pada pada salah satu ujungnya sehingga membentuk
gambaran tongkat penabuh drum atau raket tenis.

Obligat anaerob

Menghasilkan eksotosin yang kuat.

Mampu membentuk spora (terminal spore) yang mampu bertahan dalam suhu tinggi,
kekeringan dan desinfektans.

Kuman hidup di tanah dan di dalam usus binatang, terutama pada tanah di daerah
pertanian/peternakan.

Kuman ini memiliki toksin yang dapat menghancurkan sel darah merah, merusak leukosit
dan merupakan tetanospasmin yaitu toksin yang neuro tropik yang dapat menyebabkan
ketegangan dan spasme otot

Clostridium tetani menghasilkan 2 eksotosin yaitu tetanospamin dan tetanolisin.


Tetanospaminlah yang dapat menyebabkan penyakit tetanus.

Gambar Mikroskopik Clostridium tetani

III. Epidemiologi
Tetanus tersebar di seluruh dunia dengan angka kejadian tergantung pada jumlah
populasi masyarakat yang tidak kebal, tingkat populasi masyarakat yang tidak kebal, tingkat
pencemaran biologi lingkungan peternakan/ pertanian, dan adanya luka pada kulit atau
mukosa. Tetanus pada anak tersebar di seluruh dunia, terutama pada daerah risiko tinggi
dengan cakupan imunisasi DTP yang rendah angka kejadian pada anak laki-laki lebih tinggi,
akibat perbedaaan aktivitas fisiknya. 2 Reservoir utama kuman ini adalah yang mengandung
kotoran ternak, kuda dan sebagainya, sehingga risiko penyakit ini didaerah peternakan sangat
besar. Spora kuman Clostridium tetani yang tahan terhadap kekeringan dapat bertebaran di
mana-mana; misalnya dalam debu jalanan, lampu operasi, bubuk antiseptic (dermatol),
ataupun pada alat suntik dan operasi.. Port dentre tak selalu dapat diketahui dengan pasti,
namun diduga melalui(1):
1. Luka tusuk, patah tulang komplikasi kecelakaan, gigitan binatang, luka bakar yang luas
2. Luka operasi, luka yang tak dibersihkan (debridement) dengan baik.
3. Otitis media, karies gigi, luka kronik
4. Pemotongan tali pusat yang tidak steril, pembubuhan punting tali pusat dengan kotoran
binatang, bubuk kopi, bubuk ramuan dan daun-daunan merupakan penyebab utama
masuknya spora pada punting tali pusat yang menyebabkan terjadinya kasus tetanus
neonatorum.
IV. Patogenesis
Clostridium tetani masuk ke dalam tubuh manusia biasanya melalui luka dalam
bentuk spora. Penyakit akan muncul bila spora tumbuh menjadi bentuk vegetatif yang
menghasilkan tetanospasmin pada keadaan tekanan oksigen rendah, nekrosis jaringan atau
berkurangnya potensi oksigen(6).
Masa inkubasi dan beratnya penyakit terutama ditentukan oleh kondisi luka. Beratnya
penyakit terutama berhubungan dengan jumlah dan kecepatan produksi toksin serta jumlah
toksin yang mencapai susunan saraf pusat. Faktor-faktor tersebut selain ditentukan oleh
kondisi luka, mungkin juga ditentukan oleh strain Clostridium tetani. Pengetahuan tentang
patofisiologi penyakit tetanus telah menarik perhatian para ahli dalam 20 tahun terakhir ini,
namun kebanyakan penelitian berdasarkan atas percobaan pada hewan(6).
2

IV. 1. Penyebaran toksin


Toksin yang dikeluarkan oleh Clostridium tetani menyebar dengan berbagai cara,
sebagai berikut(6):
1. Masuk ke dalam otot
Toksin masuk ke dalam otot yang terletak dibawah atau sekitar luka, kemudian ke
otot-otot sekitarnya dan seterusnya secara ascenden melalui sinap ke dalam susunan saraf
pusat.
2. Penyebaran melalui sistem limfatik
Toksin yang berada dalam jaringan akan secara cepat masuk ke dalam nodus
limfatikus, selanjutnya melalui sistem limfatik masuk ke peredaran darah sistemik.
3. Penyebaran ke dalam pembuluh darah.
Toksin masuk ke dalam pembuluh darah terutama melalui sistem limfatik, namun
dapat pula melalui sistem kapiler di sekitar luka. Penyebaran melalui pembuluh darah
merupakan cara yang penting sekalipun tidak menentukan beratnya penyakit. Pada
manusia sebagian besar toksin diabsorbsi ke dalam pembuluh darah, sehingga
memungkinkan untuk dinetralisasi atau ditahan dengan pemberian antitoksin dengan
dosis optimal yang diberikan secara intravena. Hal yang sangat penting adalah toksin bisa
menyebar ke otot-otot lain bahkan ke organ lain melalui peredaran darah, sehingga secara
tidak langsung meningkatkan transport toksin ke dalam susunan saraf pusat.
4. Toksin masuk ke susunan saraf pusat (SSP)
Toksin masuk kedalam SSP dengan penyebaran melalui serabut saraf, secara retrograd
toksin mencapai SSP melalui sistem saraf motorik, sensorik dan autonom. Toksin yang
mencapai kornu anterior medula spinalis atau nukleus motorik batang otak kemudian
bergabung dengan reseptor presinaptik dan saraf inhibitor.
IV. 2. Mekanisme kerja toksin tetanus(6).
1. Jenis toksin
Clostridium tetani menghasilkan tetanolisin dan tetanospsmin. Tetanolisin mempunyai
efek hemolisin dan protease, pada dosis tinggi berefek kardiotoksik dan neurotoksik.
3

Sampai saat ini peran tetanolisin pada tetanus manusia belum diketahui pasti.
Tetanospasmin mempunyai efek neurotoksik, penelitian mengenai patogenesis penyakit
tetanus terutama dihubungkan dengan toksin tersebut
2. Toksin tetanus dan reseptornya pada jaringan saraf
Toksin tetanus berkaitan dengan gangliosid ujung membran presinaptik, baik pada
neuromuskular junction, mupun pada susunan saraf pusat. Ikatan ini penting untuk
transport toksin melalui serabut saraf, namun hubungan antara pengikat dan toksisitas
belum diketahui secara jelas.
3. Kerja toksin tetanus pada neurotransmitter
Tempat kerja utama toksin adalah pada sinaps inhibisi dari susunan saraf pusat, yaitu
dengan jalan mencegah pelepasan neurotransmitter inhibisi seperti glisin, Gamma Amino
Butyric Acid (GABA), dopamin dan noradrenalin. GABA adalah neuroinhibitor yang
paling utama pada susunan saraf pusat, yang berfungsi mencegah pelepasan impuls saraf
yang eksesif. Toksin tetanus tidak mencegah sintesis atau penyimpanan glisin maupun
GABA, namun secara spesifik menghambat pelepasan kedua neurotransmitter tersebut di
daerah sinaps dangan cara mempengaruhi sensitifitas terhadap kalsium dan proses
eksositosis.
IV. 3. Perubahan akibat toksin tetanus(6).
1. Susunan saraf pusat
Efek terhadap inhibisi presinap menimbulkan keadaan terjadinya letupan listrik yang
terus-menerus yang disebut sebagai Generator of pathological enhance excitation.
Keadaan ini menimbulkan aliran impuls dengan frekuensi tinggi dari SSP ke perifer,
sehingga terjadi kekakuan otot dan kejang. Semakin banyak saraf inhibisi yang terkena
makin berat kejang yang terjadi. Stimulus seperti suara, emosi, raba dan cahaya dapat
menjadi pencetus kejang karena motorneuron di daerah medula spinalis berhubungan
dengan jaringan saraf lain seperti retikulospinalis. Kadang kala ditemukan saat bebas
kejang (interval), hal ini mungkin karena tidak semua saraf inhibisi dipengaruhi toksin,
ada beberapa yang resisten terhadap toksin.

Rasa sakit
Rasa sakit timbul dari adanya kekakuan otot dan kejang. Kadang kala ditemukan

neurotic pain yang berat pada tetanus lokal sekalipun pada saat tidak ada kejang. Rasa
sakit ini diduga karena pengaruh toksin terhadap sel saraf ganglion posterior, sel-sel pada
kornu posterior dan interneuron.

Fungsi Luhur
Kesadaran penderita pada umumnya baik. Pada mereka yang tidak sadar biasanya

berhubungan dengan seberapa besar efek toksin terhadap otak, seberapa jauh efek
hipoksia, gangguan metabolisme dan sedatif atau antikonvulsan yang diberikan.
2. Aktifitas neuromuskular perifer(6).
Toksin tetanus menyebabkan penurunan pelepasan asetilkolin sehingga mempunyai
efek neuroparalitik, namun efek ini tertutup oleh efek inhibisi di susunan saraf pusat.
Neuroparalitik bisa terjadi bila efek toksin terhadap SSP tidak terjadi, namun hal ini sulit
karena toksin secara cepat menyebar ke SSP. Kadang-kadang efek neuroparalitik terlihat
pada tetanus sefal yaitu paralisis nervus fasialis, hal ini mungkin n. fasialis lebih sensitif
terhadap efek paralitik dari toksin atau karena axonopathi.
3. Perubahan pada sistem saraf autonom(6).
Pada tetanus terjadi fluktuasi dari aktifitas sistem simpatis dan parasimpatis, hal ini
mungkin terjadi karena adanya ketidakseimbangan dari kedua sistem tersebut.
Mekanisme terjadinya disfungsi sistem autonom karena efek toksin yang berasal dari otot
(retrograd) maupun hasil penyebaran intraspinalis (dari kornu anterior ke kornu lateralis
medula spinalis torakal). Gangguan sistem autonom bisa terjadi secara umum mengenai
berbagai organ seperti kardiovaskular, saluran cerna, kandung kemih, fungsi kendali suhu
dan kendali otot bronkus, namun dapat pula hanya mengenai salah satu organ tertentu.
4. Gangguan Sistem pernafasan
Gangguan sistem pernafasan dapat terjadi akibat(6):

a. Kekakuan dan hipertonus dari otot-otot interkostal, badan dan abdomen; otot
diafragma terkena paling akhir. Kekakuan dinding thorax apalagi bila kejang yang
terjadi sangat sering mengakibatkan keterbatasan pergerakan rongga dada sehingga
menganggu ventilasi. Tetanus berat sering mengakibatkan gagal nafas yang ditandai
dengan hipoksia dan hiperkapnia. Namun dapat terjadi takipnea akibat aktifitas
berlebihan dari saraf di pusat persarafan yang tidak terkena efek toksin.
b. Ketidakmampuan untuk mengeluarkan sekret trakea dan bronkus karena adanya
spasme dan kekakuan otot faring dan ketidakmampuan untuk dapat batuk dan
menelan dengan baik. Sehingga terdapat resiko tinggi untuk terjadinya aspirasi yang
dapat menimbulkan pneumonia, bronkopneumonia dan atelektasis.
6. Gangguan metabolik(6).
Metabolik rate pada tetanus secara bermakna meningkat dikarenakan adanya kejang,
peningkatan tonus otot, aktifitas berlebihan dari sistem saraf simpatik dan perubahan
hormonal. Konsumsi oksigen meningkat, hal ini pada kasus tertentu dapat dikurangi
dengan pemberian muscle relaxans. Berbagai percobaan memperlihatkan adanya
peningkatan ekskresi urea nitogen, katekolamin plasma dan urin, serta penurunan serum
protein terutama fraksi albumin.
Peninggian katekolamin meningkatkan metabolik rate, bila asupan oksigen tidak
dapat memenuhi kebutuhan tersebut, misalnya karena disertai masalah dalam sistem
pernafasan maka akan terjadi hipoksia dengan segala akibatnya. Katabolisme protein
yang berat, ketidakcukupan protein dan hipoksia akan menimbulkan metabolisme anaerob
dan mengurangi pembentukan ATP, keadaan ini akan mengurangi kemampuan sistem
imunitas dalam mengenali toksin sebagai antigen sehingga mengakibatkan tidak
cukupnya antibodi yang dibentuk. Fenomena ini mungkin dapat menerangkan mengapa
pada penderita tetanus yang sudah sembuh tidak/kurang ditemukan kekebalan terhadap
toksin.
V. Manifestasi Klinis
Variasi masa inkubasi sangat lebar, biasanya berkisar anatara 5-14 hari. Makin lama
masa inkubasi, gejala yang timbul makin ringan. Derajat berat penyakit selain berdasarkan
gejala klinis yang tampak juga dapat diramalkan dari lama masa inkubasi atau lama period of
6

onset. Kekakuan dimulai pada otot setempat atau trismus, kemudian menjalar ke seluruh
tubuh, tanpa disertai gangguan kesadaran. Kekakuan tetanus sangat khas, yaitu fleksi kedua
lengan dan ekstensi pada kedua kaki, fleksi pada kedua kaki, tubuh kaku melengkung bagai
busur(1).
Penyakit ini biasanya terjadi mendadak dengan ketegangan otot yang makin
bertambah terutama pada rahang dan leher. Dalam waktu 48 jam penyakit ini menjadi nyata
dengan(2):
1. Trismus (kesukaran membuka mulut) karena spasme otot-otot mastikatoris.
2. Kaku kuduk sampai epistotonus (karena ketegangan otot-otot erector trunki)
3. Ketegangan otot dinding perut (harus dibedakan dengan abdomen akut)
4. Kejang tonik terutama bila dirangsang karena toksin terdapat di kornu anterior.
5. Risus sardonikus karena spasme otot muka (alis tertarik ke atas),sudut mulut tertarik ke
luar dan ke bawah, bibir tertekan kuat pada gigi.
6. Kesukaran menelan,gelisah, mudah terangsang, nyeri anggota badan sering merupakan
gejala dini.
7. Spasme yang khas , yaitu badan kaku dengan epistotonus, ekstremitas inferior dalam
keadaan ekstensi, lengan kaku dan tangan mengepal kuat. Anak tetap sadar. Spasme mulamula intermitten diselingi periode relaksasi. Kemudian tidak jelas lagi dan serangan
tersebut disertai rasa nyeri. Kadang-kadang terjadi perdarahan intramusculus karena
kontraksi yang kuat.
8. Asfiksia dan sianosis terjadi akibat serangan pada otot pernapasan dan laring. Retensi urine
dapat terjadi karena spasme otot urethral. Fraktur kolumna vertebralis dapat pula terjadi
karena kontraksi otot yang sangat kuat.
9. Suhu tubuh biasanya tidak tinggi dan terdapat pada stadium akhir.
10. Biasanya terdapat leukositosis ringan dan kadang-kadang peninggian tekanan cairan otak.
Manifestasi klinis tetanus terdiri atas 4 macam yaitu(4,6,7):
a. Tetanus lokal
Tetanus lokal merupakan bentuk penyakit tetanus yang ringan dengan angka
kematian sekitar 1%. Gejalanya meliputi kekakuan dan spasme yang menetap disertai
rasa sakit pada otot disekitar atau proksimal luka.

Pada tetanus lokal dijumpai adanya kontraksi otot yang persisten, pada daerah
tempat dimana luka terjadi (agonis, antagonis, dan fixator). Hal inilah merupakan
tanda dari tetanus lokal. Kontraksi otot tersebut biasanya ringan, bisa bertahan dalam
beberapa bulan tanpa progressif dan biasanya menghilang secara bertahap. Tetanus
lokal ini bisa berlanjut menjadi generalized tetanus, tetapi dalam bentuk yang ringan
dan jarang menimbulkan kematian. Bisa juga tetanus lokal ini dijumpai sebagai
prodromal dari klasik tetanus atau dijumpai secara terpisah. Hal ini terutama dijumpai
sesudah pemberian profilaksis antitoksin.
b. Tetanus Cephalic
Tetanus cephalic adalah bentuk yang jarang dari tetanus. Masa inkubasi
berkisar 1 2 hari, yang berasal dari otitis media kronik (seperti dilaporkan di India ),
luka pada daerah muka dan kepala, termasuk adanya benda asing dalam rongga
hidung.
Gejalanya berupa trismus, disfagia, rhisus sardonikus dan disfungsi nervus
kranial. Tetanus sefal jarang terjadi, dapat berkembang menjadi tetanus umum dan
prognosisnya biasanya jelek.
c. Tetanus umum
Bentuk tetanus yang paling sering ditemukan. Sering menyebabkan
komplikasi yang tidak dikenal beberapa tetanus lokal oleh karena gejala timbul secara
diam-diam. Trismus merupakan gejala utama yang sering dijumpai ( 50 %), yang
disebabkan oleh kekakuan otot-otot masseter, bersamaan dengan kekakuan otot leher
yang menyebabkan terjadinya kaku kuduk dan kesulitan menelan. Gejala lain berupa
Risus Sardonicus (Sardonic grin) yakni spasme otot-otot muka, opistotonus
( kekakuan otot punggung), kejang dinding perut. Spasme dari laring dan otot-otot
pernafasan bisa menimbulkan sumbatan saluran nafas, sianose asfiksia. Bisa terjadi
disuria dan retensi urine,kompressi frak tur dan pendarahan didalam otot. Kenaikan
temperatur biasanya hanya sedikit, tetapi begitupun bisa mencapai 40 C. Bila
dijumpai hipertermi ataupun hipotermi, tekanan darah tidak stabil dan dijumpai
takhikardia, penderita biasanya meninggal. Diagnosa ditegakkan hanya berdasarkan
gejala klinis.

d. Tetanus neonatorum
Tetanus yang terjadi pada bayi baru lahir, disebabkan adanya infeksi tali pusat,
umumnya karena tehnik pemotongan tali pusat yang aseptik dan ibu yang tidak
mendapat imunisasi yang adekuat. Gejala yang sering timbul adalah ketidakmampuan
untuk menetek, kelemahan, irritable diikuti oleh kekakuan dan spasme. Posisi tubuh
klasik : trismus, kekakuan pada otot punggung menyebabkan opisthotonus yang berat
dengan lordosis lumbal. Bayi mempertahankan ekstremitas atas fleksi pada siku
dengan tangan mendekap dada, pergelangan tangan fleksi, jari mengepal, ekstremitas
bawah hiperekstensi dengan dorsofleksi pada pergelangan dan fleksi jari-jari kaki.
Kematian biasanya disebabkan henti nafas, hipoksia, pneumonia, kolaps sirkulasi dan
kegagalan jantung paru.
Klasifikasi tetanus berdasarkan derajat panyakit menurut modifikasi dari klasifikasi
Abletts dapat dibagi menjadi IV diantaranya, yaitu(8):

Derajat I (tetanus ringan)


Trismus ringan sampai sedang (3cm)
Kekakuan umum: kaku kuduk, opistotonus, perut papan
Tidak dijumpai disfagia atau ringan
Tidak dijumpai kejang
Tidak dijumpai gangguan respirasi

Derajat II (tetanus sedang)


Trismus sedang (3cm atau lebih kecil)
Kekakuan jelas
Dijumpai kejang rangsang, tidak ada kejang spontan
Takipneu
Disfagia ringan

Derajat III (tetanus berat)


Trismus berat (1cm)
Otot spastis, kejang spontan
Takipne, takikardia
Serangan apne (apneic spell)
Disfagia berat
Aktivitas sistem autonom meningkat

Derajat IV (stadium terminal), derajat III ditambah dengan :


Gangguan autonom berat
Hipertensi berat dan takikardi, atau
Hipotensi dan bradikardi
Hipertensi berat atau hipotensi berat
9

VI. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan temuan klinis dan riwayat imunisasi(8):
-

Adanya riwayat luka yang terkontaminasi, namun 20% dapat tanpa riwayat luka.

Riwayat tidak diimunisasi atau imunisasi tidak lengkap

Trismus, disfagia, rhisus sardonikus, kekakuan pada leher, punggung, dan otot perut
(opisthotonus), rasa sakit serta kecemasan.

Pada tetanus neonatorum keluhan awal berupa tidak bisa menetek

Kejang umum episodik dicetusklan dengan rangsang minimal maupun spontan


dimana kesadaran tetap baik.

Temuan laboratorium(8):
-

Lekositosis ringan

Trombosit sedikit meningkat

Glukosa dan kalsium darah normal

Cairan serebrospinal normal tetapi tekanan dapat meningkat

Enzim otot serum mungkin meningkat

EKG dan EEG biasanya normal

Kultur anaerob dan pemeriksaan mikroskopis nanah yang diambil dari luka dapat
membantu, tetapi Clostridium tetani sulit tumbuh dan batang gram positif berbentuk
tongkat penabuh drum seringnya tidak ditemukan.

Kreatinin fosfokinase dapat meningkat karena aktivitas kejang (> 3U/ml)

VII. Diagnosis banding


Berikut ini Tabel yang memperlihatkan diagnosis banding Tetanus(7):
PENYAKIT

GAMBARAN PERBEDAAN

10

INFEKSI
Meningoencephalitis

Demam, trismus tidak ada, sensorium depresi, abnormal CSF

Polio

Trismus tidak ada, paralisa tipe flaccid, abnormal CSF

Rabies

Gigitan binatang, trismus tidak ada, hanya oropharingeal spasme

Lesi oropharyngeal

Hanya local, regiditas seluruh tubuh atau spasme tidak ada

Peritonitis

Trismus atau spasme seluruh tubuh tidak ada

PENYAKIT CNS
Stastus epilepticus

Sensorium depressi

Hemorrhage atau tumor

Trismus tidak ada, sensorium depressi

KELAINAN PSYCHIATRIC
Hysteria

Trismus inkonstan, relaksasi komplet diantara spasme

KELAINAN MUSCULOSKLETAL
Trauma

Hanya local

VIII. Komplikasi
Komplikasi tetanus yang sering terjadi adalah pneumonia, bronkopneumonia dan
sepsis. Komplikasi terjadi karena adanya gangguan pada sistem respirasi antara lain spasme
laring atau faring yang berbahaya karena dapat menyebabkan hipoksia dan kerusakan otak.
Spasme saluran nafas atas dapat menyebabkan aspirasi pneumonia atau atelektasis.
Komplikasi pada sistem kardiovaskuler berupa takikardi, bradikardia, aritmia, gagal jantung,
hipertensi, hipotensi, dan syok. Kejang dapat menyebabkan fraktur vertebra atau kifosis.
Komplikasi lain yang dapat terjadi berupa tromboemboli, pendarahan saluran cerna, infeksi
saluran kemih, gagal ginjal akut, dehidrasi dan asidosis metabolik(2,4,6).

IX. Penatalaksanaan
1. Dasar
a. Memutuskan invasi toksin dengan antibiotik dan tindakan bedah(1,2,4,6).
1. Antibiotik

11

Penggunaan antibiotik ditujukan untuk memberantas kuman tetanus bentuk vegetatif.


Clostridium peka terhadap penisilin grup beta laktam termasuk penisilin G, ampisilin,
karbenisilin, tikarsilin, dan lain-lain. Kuman tersebut juga peka terhadap klorampenikol,
metronidazol, aminoglikosida dan sefalosporin generasi ketiga.
Penisilin G dengan dosis 1 juta unit IV setiap 6 jam atau penisilin prokain 1,2 juta 1
kali sehari. Penisilin G digunakan pada anak dengan dosis 100.000 unit/kgBB/hari IV
selama 10-14 hari.
Pemakaian ampisilin 150 mg/kg/hari dan kanamisin 15 mg/kgBB/hari digunakan bila
diagnosis tetanus belum ditegakkan, kemudian bila diagnosa sudah ditegakkan diganti
Penisilin G.
Rauscher (1995) menganjurkan pemberian metronidazole awal secara loading dose 15
mg/kgBB dalam 1 jam dilanjutkan 7,5 mg/kgBB selama 1 jam perinfus setiap 6 jam. Hal
ini pemberian metronidazole secara bermakna menunjukkan angka kematian yang rendah,
perawatan di rumah sakit yang pendek dan respon yang baik terhadap pengobatan tetanus
sedang.
Pada penderita yang sensitif terhadap penisilin maka dapat digunakan tetrasiklin
dengan dosis 25-50 mg/kg/hari, dosis maksimal 2 gr/hari dibagi 4 dosis dan diberikan
secara peroral.
Bila terjadi pneumonia atau septikemia diberikan metisilin 200 mg/kgBB/hari selama
10 hari atau metisilin dengan dosis yang sama ditambah gentamisin 5-7,5 mg/kgBB/hari.
2. Perawatan luka
Luka dibersihkan atau dilakukan debridemen terhadap benda asing dan luka
dibiarkan terbuka. Sebaiknya dilakukan setelah penderita mendapat anti toksin dan
sedasi. Pada tetanus neonatorum tali pusat dibersihkan dengan betadine dan hidrogen
peroksida, bila perlu dapat dilakukan omphalektomi.
b. Netralisasi toksin(1,2,4,6).
1. Anti tetanus serum

12

Dosis anti tetanus serum yang digunakan adalah 50.000-100.000 unit, setengah
dosis diberikan secara IM dan setengahnya lagi diberikan secara IV, sebelumnya
dilakukan tes hipersensitifitas terlebih dahulu. Pada tetanus neonatorum diberikan
10.000 unit IV.
Udwadia (1994) mengemukakan sebaiknya anti tetanus serum tidak diberikan
secara intrathekal karena dapat menyebabkan meningitis yang berat karena terjadi iritasi
meningen. Namun ada beberapa pendapat juga untuk mengurangi reaksi pada meningen
dengan pemberian ATS intratekal dapat diberikan kortikosteroid IV, adapun dosis ATS
yang disarankan 250-500 IU.
2. Human Tetanus Immunuglobulin (HTIG)
Human tetanus imunoglobulin merupakan pengobatan utama pada tetanus dengan
dosis 3000-6000 unit secara IM, HTIG harus diberikan sesegera mungkin. Kerr dan
Spalding (1984) memberikan HTIG pada neonatus sebanyak 500 IU IV dan 800-2000 IU
intrathekal. Pemberian intrathekal sangat efektif bila diberikan dalam 24 jam pertama
setelah timbul gejala.
Namun penelitian yang dilakukan oleh Abrutyn dan Berlin (1991) menyatakan
pemberian immunoglobulin tetanus intratekal tidak memberikan keuntungan karena
kandungan fenol pada HTIG dapat menyebabkan kejang bila diberikan secara intrathekal.
Pemberian HTIG 500IU IV atau IM mempunyai efektivitas yang sama.
Dosis HTIG masih belum dibakukan, Miles (1993) mengemukakan dosis yang dapat
diberikan adalah 30-300IU/kgBB IM, sedangkan Kerr (1991) mengemukakan HTIG
sebaiknya diberikan 1000 IU IV dan 2000 IU IM untuk meningkatkan kadar antitoksin
darah sebelum debridemen luka.
c. Menekan efek toksin pada SSP(1,2,4).
1. Benzodiazepin
Diazepam merupakan golongan benzodiazepin yang sering digunakan. Obat ini
mempunyai aktivitas sebagai penenang, anti kejang, dan pelemas otot yang kuat. Pada
tingkat supraspinal mempunyai efek sedasi, tidur, mengurangi ketakutan dan ketegangan
fisik serta penenang dan pada tingkat spinal menginhibisi refleks polisinaps. Efek
13

samping dapat berupa depresi pernafasan, terutama terjadi bila diberikan dalam dosis
besar. Dosis diazepam yang diberikan pada neonatus adalah 0,3-0,5 mg/kgBB/kali
pemberian. Udwadia (1994), pemberian diazepam pada anak dan dewasa 5-20 mg 3 kali
sehari, dan pada neonatus diberikan 0,1-0,3 mg/kgBB/kali pemberian IV setiap 2-4 jam.
Pada tetanus ringan obat dapat diberikan per oral, sedangkan tetanus lain sebaiknya
diberikan drip IV lambat selama 24 jam.
2. Barbiturat
Fenobarbital (kerja lama) diberikan secara IM dengan dosis 30 mg untuk neonatus
dan 100 mg untuk anak-anak tiap 8-12 jam, bila dosis berlebihan dapat menyebabkan
hipoksisa dan keracunan. Fenobarbital intravena dapat diberikan segera dengan dosis 5
mg/kgBB, kemudian 1 mg/kgBB yang diberikan tiap 10 menit sampai otot perut relaksasi
dan spasme berkurang. Fenobarbital dapat diberikan bersama-sama diazepam dengan
dosis 10 mg/kgBB/hari dibagi 2-3 dosis melalui selang nasogastrik.
3. Fenotiazin
Klorpromazin diberikan dengan dosis 50 mg IM 4 kali sehari (dewasa), 25 mg IM 4
kali sehari (anak), 12,5 mg IM 4 kali sehari untuk neonatus. Fenotiazin tidak dibenarkan
diberikan secara IV karena dapat menyebabkan syok terlebih pada penderita dengan
tekanan darah yang labil atau hipotensi.
2. Umum(2,6).
Penderita perlu dirawat dirumah sakit, diletakkan pada ruang yang tenang pada unit
perawatan intensif dengan stimulasi yang minimal. Pemberian cairan dan elektrolit serta
nutrisi harus diperhatikan. Pada tetanus neonatorum, letakkan penderita di bawah
penghangat dengan suhu 36,2-36,5oC (36-37oC), infus IV glukosa 10% dan elektrolit 100125 ml/kgBB/hari. Pemberian makanan dibatasi 50 ml/kgBB/hari berupa ASI atau 120
kal/kgBB/hari dan dinaikkan bertahap. Aspirasi lambung harus dilakukan untuk melihat
tanda bahaya. Pemberian oksigen melalui kateter hidung dan isap lendir dari hidung dan
mulut harus dikerjakan.

14

Trakheostomi dilakukan bila saluran nafas atas mengalami obstruksi oleh spasme atau
sekret yang tidak dapat hilang oleh pengisapan. Trakheostomi dilakukan pada bayi lebih
dari 2 bulan. Pada tetanus neonatorum, sebaiknya dilakukan intubasi endotrakhea.
Bantuan ventilator diberikan pada :
1. Semua penderita dengan tetanus derajat IV
2. Penderita dengan tetanus derajat III dimana spasme tidak terkendali dengan terapi
konservatif dan PaO2 <>
3. Terjadi komplikasi yang serius seperti atelektasis, pneumonia dan lain-lain
3. Berdasarkan tingkat penyakit tetanus(6).
a. Tetanus ringan
Penderita diberikan penaganan dasar dan umum, meliputi pemberian
antibiotik, HTIG/anti toksin, diazepam, membersihkan luka dan perawatan suportif
seperti diatas.
b. Tetanus sedang
Penanganan umum seperti diatas. Bila diperlukan dilakukan intubasi atau
trakeostomi dan pemasangan selang nasogastrik delam anestesia umum. Pemberian
cairan parenteral, bila perlu diberikan nutrisi secara parenteral.
c. Tetanus berat
Penanganan umum tetanus seperti diatas. Perawatan pada ruang perawatan
intensif, trakeostomi atau intubasi dan pemakaian ventilator sangat dibutuhkan serta
pemberikan cairan yang adekuat. Bila spasme sangat hebat dapat diberikan
pankuronium bromid 0,02 mg/kgBB IV diikuti 0,05 mg/kg/dosis diberikan setiap 2-3
jam. Bila terjadi aktivitas simpatis yang berlebihan dapat diberikan beta bloker seperti
propanolo atau alfa dan beta bloker labetolol.
X. Pencegahan

15

Mengingat perawatan kasus tetanus sulit dan mahal maka untuk pencegahan, perlu
dilakukan(1,2,4):

Perawatan luka.
Perawatan luka harus segera dilakukan terutama pada luka tusuk, luka kotor
atau luka yang diduga tercemar dengan spora tetanus. Terutama perawatan luka guna
mencegah timbulnya jaringan aerob.

Pemberian ATS dan toksoid Tetanus pada luka


Dengan Profilaksis dengan pemberian ATS hanya efektif pada luka baru
(kurang dari 6 jam) dan harus segera dilanjutkan dengan imunisasi aktif.

Imunisasi aktif
Imunisasi aktif yang diberikan yaitu DPT, DT, atau Toksoid tetanus.jenis
imunisasi tergantung dari jumlah golongan umur dan jenis kelamin. Vaksin DPT
diberikan sebagai imunisasi dasar sebanyak 3 kali, DPT IV pada usia 18 bulan dan
DPT V pada usia 5 tahun, dan saat usia 12 tahun diberikan dT. Toksoid tetanus
diberikan pada wanita usia subur, perempuan usia 12 tahun, dan ibu hamil. DPT/Dt
diberikan setelah pasien sembuh dilanjutkan imunisasi ulangan diberikan sesuai
jadwal, oleh karena tetanus tidak menimbulkan kekebalan yang berlangsung lama.

XI. Prognosis
Prognosis tetanus pada anak dipengaruhi oleh beberapa factor. Jika masa tunas pendek
( kurang dari 7 hari ); usia yang sangat muda ( neonatus), bila disertai Frekuensi kejang yang
tinggi, pengobatan terlambat, period of onset yang pendek (jarak antara trismu dan timbulnya
kejang), adanya komplikasi terutama spasme otot pernapasan dan abstruksi jalan napas,
kesemuanya itu prognosisnya buruk. Mortalitas tetanus masih tinggi; di bagian Ilmu
Kesehatan Anak RSCM Jakarta didapatkan angka 80 % untuk tetanus neonatorum dan 30 %
untuk tetanus anak(1,2,3).

16

Prognosis tetanus diklasifikasikan dari tingkat keganasannya, dimana (3):


1. Ringan; bila tidak adanya kejang umum ( generalized spasm )
2. Sedang; bila sekali muncul kejang umum
3. Berat ; bila kejang umum yang berat sering terjadi.
Masa inkubasi neonatal tetanus berkisar antara 3 -14 hari, tetapi bisa lebih pendek
atau pun lebih panjang. Berat ringannya penyakit juga tergantung pada lamanya masa
inkubasi, makin pendek masa inkubasi biasanya prognosa makin jelek(6,9).
Penderita dengan undernutrisi mempunyai prognosis 2 kali lebih jelek dari yang
mempunyai gizi baik. Tetanus lokal mempunyai prognosis yang lebih baik dari tetanus
umum. (6,9).
Sistem Skoring(9).

Masa inkubasi
Awitan penyakit
Tempat masuk

Skor 1

Skor 0

<>
<>
Tali pusat, uterus, fraktur

> 7 hari
> 48 jam
Selain tempat tersebut

terbuka, postoperatif, bekas


Spasme
Panas badan (per rektal)
Takikardia dewasa
neonatus

suntikan IM
(+)
> 38,4 0C (> 40 0C)
> 120 x/menit
> 150 x/menit

(-)
< 38,4 0C ( < 40 0C)
<>
<>

Tabel klasifikasi untuk prognosis Tetanus(9).


Tingkat

Skor

Prognosis

Ringan
Sedang
Berat
Sangat berat

0-1
2-3
4
5-6

<>
10 20
20 40
> 50

DAFTAR PUSTAKA
1. Soedarmo, Sumarmo P. Poorwo. Herry Garna, dkk. Buku Ajar Infeksi & Pediatric
Tropis. Edisi Kedua. Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI. Badan Penerbit IDAI,
Jakarta. 2002. Hal 322 329
17

2. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Ilmu
Kesehatan Anak. Jilid 2. Infomedika. Jakarta. 1986. Hal 568 573.
3. http://tongkal09.wordpress.com/2010/04/18/tetanus-pada-anak/
4. Behrman, kligman, Arvin. Nelson. Ilmu kesehatan anak. Edisi 15. Vol. 2. EGC.
Jakarta. 2000. Hal 1004 1007.
5. http://mikrobia.files.wordpress.com/2008/05/i-wayan-arditayasa-078114135.pdf
6. http://referensikedokteran.blogspot.com/2010/07/tetanus.html
7. http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/3456/1/penysaraf-kiking2.pdf
8. http://www.4shared.com/document/jdZelxVS/TETANUS-1.html
9. http://karikaturijo.blogspot.com/2009/07/referat-tetanus-disusun-oleh-mfikih.html

18

Anda mungkin juga menyukai