Nefrolitiasis
Nefrolitiasis
Pyelonefritis
Infark ginjal
Perdarahan ginjal
Kelainan ginekologi
Obstruksi ureter dari nekrosis papil ginjal, gumpalan darah, atau striktur ureter
TEKNIK PENCITRAAN UTAMA: CT HELIKAL TANPA KONTRAS
Diagnosis dapat dikonfirmasi dengan computed tomography (CT), ultrasonografi ginjal,
maupun intravenous pyelography (IVP).
CT helikal tanpa kontras adalah teknik pencitraan yang dianjurkan pada pasien
yang diduga menderita nefrolitiasis. Teknik tersebut memiliki beberapa keuntungan
dibandingkan teknik pencitraan lainnya, antara lain: tidak memerlukan material radiokontras;
dapat memperlihatkan bagian distal ureter; dapat mendeteksi batu radiolusen (seperti batu
asam urat), batu radio-opaque, dan batu kecil sebesar 1-2 mm; dan dapat mendeteksi
hidronefrosis dan kelainan ginjal dan intra-abdomen selain batu yang dapat menyebabkan
timbulnya gejala pada pasien. Pada penelitian yang dilakukan terhadap 100 pasien yang
datang ke UGD dengan nyeri pinggang, CT helikal memiliki sensitivitas 98%, spesifisitas
100%, dan nilai prediktif negatif 97% untuk diagnosis batu ureter.
Ultrasonografi memiliki kelebihan karena tidak menggunakan radiasi, tetapi teknik
ini kurang sensitif dalam mendeteksi batu dan hanya bisa memperlihatkan ginjal dan ureter
proksimal. Penelitian retrospektif pada 123 pasien menunjukkan bahwa, dibandingkan
dengan CT Helikal sebagai gold standard, ultrasonografi memiliki sensitivitas 24% dan
spesifisitas 90%. Batu dengan diameter lebih kecil dari 3 mm juga sering terlewatkan dengan
ultrasonografi.
Radiografi
Konvensional
(kidney-ureter-bladder
view)
tidak
cukup
untuk
menegakkan diagnosis karena tidak memperlihatkan batu pada ginjal atau ureter (walaupun
batu radio-opaque kecil) dan tidak memberikan informasi mengenai kemungkinan adanya
obstruksi.
Intravenous pyelography (IVP) memiliki sedikit keuntungan pada nefrolitiasis,
meningkatkan risiko pasien terhadap infusi radiokontras dan gagal ginjal akut akibat kontras,
dan memberikan hanya sedikit informasi dibandingkan CT helikal tanpa kontras.
Kalsium fosfat
Asam urat
Cystine
hiperkalsiuria (ekskresi kalsium urin 24 jam > 300 mg pada pria, > 250 mg pada wanita, atau
> 4 mg/kg pada pria dan wanita).
Hiperkalsiuria Dapat Terjadi Secara Idiopatik
Hiperkalsiuria biasanya terjadi pada hiperparatiroidisme primer, sarkoidosis, kelebihan
vitamin D, pengobatan kortikosteroid, asidosis tubulus ginjal, hipertiroidisme, dan neoplasma
malignan. Apabila tidak ditemukan satupun dari kondisi tersebut, maka meningkatnya
ekskresi kalsium urin dikatakan idiopatik. Beberapa pasien dengan hiperkalsiuria idiopatik
memiliki riwayat keluarga hiperkalsiuria dan cenderung memiliki dasar genetik untuk
penyakit ini. Hiperkalsiuria dapat dikategorikan berdasarkan perkiraan letak primer kelainan:
Hiperkalsiuria absorptif dimana kebanyakan pasien dengan hiperkalsiuria idiopatik
menyerap terlalu banyak kalsium dari usus. Sebagian besar dari mereka memiliki kadar 1,25
dihidroksivitamin D yang tinggi dan kadar serum fosforus yang rendah; dengan hipotesis
bahwa mereka memproduksi lebih banyak 1,25 dihidroksivitamin D atau memang lebih
sensitif terhadap substansi tersebut. Breslau dkk menunjukkan bahwa tidak semua
hiperkalsiuria idiopatik dimediasi oleh 1,25 dihidroksivitamin D, sehingga diduga terdapat
mekanisme lain yang mendasari hiperabsorpsi kalsium dalam usus.
Hiperkalsiuria resorptif terjadi apabila peningkatan turnover tulang menyebabkan
terjadinya kehilangan kalsium tulang ke urin.
Kebocoran ginjal disebabkan oleh kelainan primer pada transpor tubulus ginjal yang
menyebabkan kebocoran kalsium ke urin dan selanjutnya terjadi peningkatan absorpsi
kalsium usus atau mobilisasi kalsium dari tulang.
Untuk Mengurangi Kalsium Dalam Urin, Batasi Sodium, Berikan Tiazida
Hiperkalsiuria idiopatik bertambah buruk dengan pemberian diet tinggi sodium dan protein
hewani. Diuretik tiazida menurunkan ekskresi kalsium urin dan memicu retensi mineral.
Untuk itu, pengobatan hiperkalsiuria idiopatik terdiri dari intake cairan yang tinggi,
pembatasan diet sodium, dan pemberian diuretik tiazida.
Pembatasan Diet Kalsium Tidak Dianjurkan
Untuk beberapa alasan, membatasi diet kalsium tidak dianjurkan untuk pasien dengan
hiperkalsiuria idiopatik. Pembatasan diet kalsium menyebabkan terjadinya keseimbangan
kalsium negatif. Selanjutnya, diduga bahwa dengan sedikitnya kalsium yang terikat dengan
oksalat diet, maka semakin banyak oksalat yang tidak berikatan diserap di kolon dan akhirnya
diekskresi dalam urin. Peningkatan oksalat urin ini dapat menuju keadaan supersaturasi,
walaupun kadar kalsium urin tetap tidak berubah. Hal tersebut meningkatkan kecenderungan
pembentukan batu.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa diet kalsium yang tinggi sebenarnya
berkaitan dengan menurunnya kejadian batu kalsium pada pria maupun wanita. Penelitian
terhadap 120 pasien dengan batu kalsium oksalat dan hiperkalsiuria menyimpulkan bahwa
diet kalsium normal, rendah sodium, dan rendah protein hewani berkaitan dengan frekuensi
batu kalsium yang lebih rendah dibandingkan dengan diet rendah kalsium. Walaupun kedua
macam diet tersebut berkaitan dengan menurunnya konsentrasi kalsium urin, ekskresi oksalat
urin meningkat pada mereka dengan diet rendah kalsium dan menurun pada mereka dengan
diet kalsium normal. Penurunan ekskresi oksalat urin pada pasien dengan diet kalsium normal
terjadi karena adanya pengikatan oksalat diet oleh kalsium diet di usus, sehingga mengurangi
jumlah oksalat bebas yang tersedia untuk diabsorpsi. Walaupun ekskresi kalsium oksalat
turun pada kedua kelompok, namun penurunan lebih banyak terjadi pada mereka dengan
intake kalsium yang normal. Dibandingkan dengan mereka yang mendapatkan diet rendah
kalsium, pasien dengan diet kalsium normal, rendah sodium, rendah protein memiliki risiko
menderita batu lebih rendah yang mencapai 50% selama 5 tahun.
Hiperparatiroidisme
Hiperparatiroidisme primer dapat menyebabkan hiperkalsiuria dan nefrolitiasis. Dalam
sebuah penelitian didapatkan bahwa 56 (4,9%) dari 1132 pasien dengan nefrolitiasis
terdiagnosis hiperparatiroidisme. Paratiroidektomi mencegah timbulnya kembali penyakit
batu pada 48 pasien. Akan tetapi, hanya 17-24% pasien dengan hiperparatiroidisme primer
memiliki batu urin yang terdiri dari kalsium oksalat atau kalsium fosfat. Telah dilakukan
banyak penelitian, namun sulit untuk menentukan mengapa sebagian kecil dari pasien ini
menderita batu. Terdapat dua penelitian yang setidaknya dapat memberikan penjelasan untuk
hal tersebut.
Parks dkk menemukan bahwa, dibandingkan dengan pasien nefrolitiasis dengan
hiperkalsiuria idiopatik, mereka dengan hiperparatiroidisme primer memiliki kadar kalsium
serum yang meningkat (tetapi biasanya < 11,5 mg/dL), derajat hiperkalsiuria yang lebih
tinggi (352 mg/hari vs 252 mg/hari, P < .001), dan kadar fosfat serum yang lebih rendah (2,45
vs 3,10 mg/dL, P < .001).
Odvina dkk menemukan bahwa, pada penelitian terhadap 131 pasien dengan
hiperparatiroidisme primer, 78 menderita nefrolitiasis dan 53 tidak. Mereka yang menderita
batu mengekskresi kalsium dalam jumlah yang lebih banyak (343 mg/hari) dibandingkan
dengan mereka yang tidak menderita batu (273 mg/hari), memiliki saturasi urin kalsium
oksalat yang lebih tinggi, dan mengekskresi kalsium dua kali lebih banyak setelah diberikan 1
g kalsium oral.
Dari
penelitian
tersebut
dapat
disimpulkan
bahwa
pada
pasien
dengan
diberikan diet rendah kalsium (dimana sedikit kalsium tersedia untuk mengikat oksalat diet,
seperti yang dijelaskan sebelumnya) dan dapat menjelaskan secara parsial mengapa diet
rendah kalsium berkaitan dengan peningkatan frekuensi penyakit batu kalsium.
Pasien dengan malabsorpsi lemak dalam usus (misalnya karena inflammatory bowel
disease atau operasi bypass usus untuk obesitas) juga dapat mengalami hiperoksaluria. Hal
tersebut terjadi karena lemak usus yang berlebihan mengikat kalsium diet dan membiarkan
oksalat bebas menjadi lebih cepat diabsorpsi di kolon. Jarang terjadi, hiperoksaluria dapat
disebabkan oleh satu dari beberapa kelainan metabolisme oksalat yang diturunkan secara
resesif.
Jumlah
orang
dengan
obesitas
yang
semakin
berkembang
menyebabkan
meningkatnya jumlah operasi gastric bypass.Walaupun prosedur yang berlaku saat ini tidak
memiliki risiko metabolik yang sama seperti yang tercatat pada tahun 1970 dimana dilakukan
jenis operasi bypass yang berbeda, namun insiden batu ginjal tetap tinggi dengan prosedur
tersebut. Analisis yang dilakukan terhadap 1436 pasien yang menjalani operasi Roux-en-Y
gastric bypass menunjukkan bahwa 60 dari mereka menderita batu kalsium setelahnya. Di
antara mereka, 31 yang diteliti lebih lanjut memiliki kadar oksalat yang lebih tinggi dan kadar
sitrat yang lebih rendah selama 12 bulan follow-up.
Tidak Cukup Sitrat, Suatu Inhibitor Batu
Hipositraturia didefinisikan sebagai ekskresi sitrat urin harian kurang dari 500 mg pada
wanita dan 434 mg pada pria. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, sitrat berperan
penting dalam menghambat pembentukan kristal kalsium dan mencegah pembentukan batu.
Ekskresi sitrat urin terutama ditentukan oleh reabsorpsi tubulus, yang meningkat
dengan muatan asam dan menurun dengan muatan basa. Kadar sitrat urin yang rendah sering
dijumpai pada kondisi yang menyebabkan asidosis metabolik kronis, seperti inflammatory
bowel disease, malabsorpsi usus, dan asidosis tubulus ginjal, yang semuanya meningkatkan
kejadian nefrolitiasis. Akan tetapi, pada sebagian besar pasien nefrolitiasis dengan
hipositraturia, penyebabnya tidak jelas, dan mekanisme hipositraturia tidak dapat ditentukan.
Saat ini, diet tinggi protein, rendah karbohidrat menjadi popular untuk menurunkan
berat badan, tetapi hal tersebut juga memiliki efek metabolik yang meningkatkan risiko
terkena penyakit batu. Metabolisme diet yang kaya protein hewani menghasilkan lebih
banyak ion hidrogen yang disangga oleh tulang, sehingga melepaskan kalsium dari tulang
dan meningkatkan ekskresi kalsium urin. Diet tersebut juga menyebabkan asidosis
intraseluler, sehingga menyebabkan menurunnya ekskresi sitrat dalam urin. Pada akhirnya,
kecenderungan terbentuknya batu dalam urin pun meningkat.
BATU STRUVIT HARUS DIHILANGKAN
Batu struvit adalah hasil dari infeksi traktus urin bagian atas dengan bakteri penghasil urease
(Proteus sp, Haemophilus sp, Klebsiella sp, dan Ureaplasma urealyticum). Hidrolisis urea
menghasilkan ammonium dan ion hidroksil dan urin alkali yang persiten, dan rangkaian ini
memicu pembentukan batu yang tersusun atas magnesium ammonium fosfat, seperti struvit.
Batu struvit lebih sering terjadi pada wanita dan pada pasien yang memiliki obstruksi
traktus urin kronis atau kelainan neurologis yang mengganggu fungsi normal dari vesika
urinaria untuk mengosongkan isinya.
Pengobatan yang dilakukan harus bisa mengeradikasi infeksi dengan antibiotik dan
menyingkirkan batu yang penuh bakteri dengan satu dari beberapa teknik intervensi. Asam
asetohidroksamatmenghambat urease dan telah digunakan untuk mengobati penyakit batu
struvit, namun sering memiliki efek samping yang berat.
BATU ASAM URAT TERBENTUK DALAM URIN YANG SANGAT ASAM
Batu asam urat terutama terjadi pada pasien dengan pH urin yang rendah dan hiperurikosuria.
Pasa beberapa pasien, urin pH yang sangat rendah ini diakibatkan oleh defek pada sekresi
ammonia ginjal, yang menyebabkan kurangnya penyanggaan pada ion hidrogen yang
tersekresi.
Kecenderungan pembentukan batu asam urat dilaporkan meningkat pada orang yang
mengalami obesitas dengan sindrom metabolik. Beberapa penelitian telah menunjukkan
bahwa kelainan pada produksi ammonia oleh ginjal kemungkinan disebabkan oleh resistensi
insulin. Batu urat bersifat radiolusen namun dapat dilihat pada ultrasonografi dan CT helikal.
Pada CT helikal, mereka dapat dibedakan dari batu kalsium dari densitasnya yang lebih
rendah.
Karena asam urat jauh lebih larut pada larutan basa, pencegahan dan pengobatan
harus terdiri dari alkalinisasi urin ke pH lebih dari 6,0 dengan sodium bikarbonat oral atau
larutan sitrat dan hidrasi. Pengobatan ini sesungguhnya akan melarutkan batu asam urat.
Apabila hiperurisemia atau hiperurikosuria terjadi, allopurinol dapat diberikan.
BATU CYSTINE JUGA TERBENTUK DALAM URIN YANG ASAM
Penyakit batu cystine terjadi pada seseorang yang diturunkan kelainan transpor tubulus ginjal
dan gastrointestinal resesif autosom dari empat asam amino, yaitu cystine, ornothine,
arginine,dan lysine. Di antara asam amino tersebut, cystine paling tidak larut dalam suasana
urin asam normal sehingga mengendap menjadi batu. Onset dimulai pada usia muda
dibandingkan pada penyakit batu kalsium; batunya bersifat radio-opaque. Kelarutan cystine
adalah sekitar 243 mg/L pada urin normal dan meningkat dengan pH. Beberapa pasien dapat
mengekskresi 1000mg per hari.
Pengobatan terdiri dari:
Hidrasi, untuk mendapatkan volum urin harian 3-3,5 L
Alkalinisasi urin menjadi oH lebih besar dari 6,5 dengan menggunakan potassium alkali
(potassium sitrat) atau sodium bikarbonat
Pengurangan intake protein dan sodium untuk mengurangi ekskresi cystine
Apabila pengukurannya gagal, D-penicillamine (Depen), tiopronin (Thiola), atau
captopril (Capoten) dapat diberikan untuk mengubah cystine menjadi kompleks obat disulfide
cystine yang lebih larut. Captopril memiliki efek yang sedang dan biasa diberikan dengan
kompleks obat disulfide lainnya; captopril juga memiliki kelemahan yaitu menyebabkan
hipotensi. Efek samping dari D-penicillamine dan tiopronin meliputi nyeri abdomen,
kehilangan selera, demam, proteinuria, dan pada beberapa kasus sindrom nefrotik.
PEMERIKSAAN PENUNJANG DAN PENATALAKSANAAN NEFROLITIASIS
Evaluasi diagnostik dari batu pertama yang ditemukan meliputi pemeriksaan kimia darah
rutin (elektrolit, kreatinin, kalsium), urinalisis, pengukuran kadar hormon paratiroid, dan CT
helikal tanpa kontras. Analisis batu sebaiknya selalu dilakukan apabila material batunya
didapatkan.
Siapa saja di bawah usia 20 tahun yang menderita penyakit batu untuk pertama
kalinya memerlukan evaluasi yang lebih luas, meliputi skrining untuk asidosis tubulus ginjal,
cystinuria, dan hiperoksaluria. Pemeriksaan lebih luas juga diperlukan pada pasien dengan
riwayat diare kronis, sarkoidosis, atau kondisi yang berkaitan dengan asidosis tubulus ginjal
(seperti pada sindrom Sjgren), pada pasien dengan riwayat keluarga batu ginjal, pada pasien
dengan diet penurunan berat badan yang tinggi protein, dan pada mereka yang menjalani
operasi bypass gaster untuk obesitas. Pada pasien yang berisiko tinggi ini, evaluasi sebaiknya
meliputi pemeriksaan urin 24 jam untuk mengukur kadar kalsium, oksalat, sitrat, asam urat,
kreatinin, sodium, dan volum.
Petunjuk diagnostik lainnya sering bermanfaat dalam mengambil keputusan untuk
melakukan evaluasi yang lebih komprehensif.