Anda di halaman 1dari 8

AGAR ECENG GONDOK TIDAK BIKIN

GONDOK
Oleh: Toto Supartono
Sumber: http://katabermakna.blogspot.com/
Pendahuluan

Eceng gondok yang memiliki nama ilmiah Eichornia crassipes merupakan tumbuhan air dan lebih
sering dianggap sebagai tumbuhan pengganggu perairan. Eceng gondok memiliki tingkat
pertumbuhan yang sangat cepat. Dalam tempo 34 bulan saja, eceng gondok mampu menutupi lebih
dar 70% permukaan danau. Cepatnya pertumbuhan eceng gondok dan tingginya daya tahan hidup
menjadikan tumbuhan ini sangat sulit diberantas. Pada beberapa negara, pemberantasan eceng
gondok secara mekanik, kimia dan biologi tidak pernah memberikan hasil yang optimal. Ada juga
hasil penelitian yang menunjukkan bahwa eceng gondok berpotensi menghilangkan air permukaan
sampai 4 kali lipat jika dibandingkan dengan permukaan terbuka. Pertumbuhan populasi eceng
gondok yang tidak terkendali menyebabkan pendangkalan ekosistem perairan dan tertutupnya sungai
serta danau.
Selain sisi gelapnya, tumbuhan yang aslinya berasal dari Brazil ini juga ternyata memiliki sisi
terangnya. Beberapa penelitian menunjukkan, eceng gondok dapat menetralisir logam berat yang
terkandung dalam air. Pada beberapa daerah, eceng gondok bermanfaat sebagai bahan baku
kerajinan tangan. Karena kandungan seratnya yang tinggi, eceng gondok bahkan dapat dimanfaatkan
sebagai bahan baku industri. Di Thailand, eceng gondok sudah menjadi komoditi petani, dibuat plotplot seperti pencetakan sawah-sawah di Jawa. Di negara gajah putih ini, eceng gondok juga telah
menjadi bahan baku industri kerajinan rakyat.
Pengolah Limbah Domestik
Dari berbagai hasil penelitian, eceng gondok terbukti mampu menyerap zat kimia baik yang berasal
dari limbah industri maupun rumah tangga (domestik). Karena kemampuannya itu, eceng gondok
dapat dimanfaatkan untuk mengolah limbah kedua sumber tersebut (industri dan rumah tangga)
secara biologi.
Salah satu gambaran untuk mengetahui kemampuan eceng gondok dalam mengelola limbah domestik
adalah hasil penelitian Djaenudin (2006). Pada penelitian ini, air yang digunakan berasal dari
pembuangan air limbah domestik Desa Tlogomas, Kotamadya Malang, Provinsi Jawa Timur. Air

limbah ini ditambung dalam sebuah reaktor dengan volume 58,8 meter kubik, ketebalan dinding dan
alas berbeton mencapai 20 cm. Reaktor ini dilengkapi dengan inlet (tempat masuknya air) dan inlet
(tempat keluarnya air). Bagian dasar reaktor diisi dengan kerikil (berdiameter antara 3-4 mm) hingga
terisi tiga perempat dari kedalaman reaktor. Eceng gondok ditanam seluas setengahnya dari luas
permukaan reaktor. Lama penyimapanan air dalam reaktor adalah 3,17 hari.
Penelitian tersebut memperoleh hasil sebagai berikut: nilai TSS (total padatan terlarut) outlet ratarata 180 mg/l, sudah di bawah nilai baku mutu yang dipersyaratkan yaitu 200 mg/l. Nilai rata-rata
efisiensi pengolahan TSS 31,7. Nilai Total-P outlet rata-rata 0,8 mg/l, masih di atas nilai baku mutu
yang dipersyaratkan yaitu 0,1 mg/l. Nilai rata-rata efisiensi pengolahan Total-P 42,64. Nilai Total-N
outlet rata-rata 32,5 mg/l, masih di atas nilai baku mutu yang dipersyaratkan yaitu 20 mg/l. Nilai
rata-rata efisiensi pengolahan Total-N 52,13 Nilai COD outlet rata-rata 225 mg/l, masih berada di atas
nilai baku mutu yang dipersyaratkan yaitu 100 mg/l. Nilai rata-rata efisiensi pengolahan COD 42,1.
Nilai pH air limbah tidak mengalami perubahan secara berarti yaitu berkisar antar nilai 6 dan 8.
Penggantian tanaman sebaiknya dilakukan sebulan sekali. Meskipun hampir sebagian besar
parameter yang diamati masih berada di atas baku mutu yang dipersyaratkan, eceng gondok telah
mampu mengurangi kandungan zat-zat pencemar dalam perairan. Dengan demikian, untuk
mengembalikan kualitas air, pengolahan secara biologi ini harus dilakukan secara berulang.
Penyerap Logam Berat
Dewasa ini, pencemaran logam berat merupakan salah satu permasalahan yang banyak dihadapi oleh
ekosistem perairan. Umumnya, upaya penanganan pencemaran logam berat memerlukan biaya yang
cukup mahal. Namun, eceng gondok menawarkan pemecahan masalah tersebut dengan biaya yang
cukup murah. Beberapa logam berat yang sering mencemari ekosistem perairan diantaranya Fe, Mg,
Mn, Pb, dan Ni.
Menurut Widyanto dan Suselo (1977), kemampuan eceng gondok dalam menyerap logam berat
tergantung pada beberapa hal, seperti jenis logam berat dan umur gulma. Penyerapan logam berat per
satuan berat kering tersebut lebih tinggi pada umur muda daripada umur tua. Logam berat beracun
yang dapat diserap oleh eceng gondok terhadap berat keringnya adalah Cd (1,35 mg/g), Hg (1,77
mg/g), dan Ni (1,16 mg/g) dengan larutan yang masing-masing mengandung logam berat sebesar 3
ppm. Muramoto dan Oki (1983) mengungkapkan, eceng gondok mampu menyerap logam berat Cd
sebesar 1,24 mg/g; Pb sebesar 1,93 mg/g; dan Hg sebesar 0,98 mg/g terhadap berat keringnya yang
ditumbuhkan dalam media yang mengandung logam berat 1 ppm. Sementara itu, hasil percobaan
Chigbo et al. (1980) menunjukkan, Hg dan As yang mampu diserap oleh logam berat masing-masing
sebesar 2,23 dan 3,28 mg/g dari berat keringnya.
Berdasarkan bagian tanamannya, logam berat yang terserap lebih banyak berkumpul di akar daripada
di bagian lainnya. Misalnya hasil penelitian Jana dan Das (2003) untuk penyerapan Cd. Pada bagian
akar, konsentrasi Cd berkisar 125 152 mikrogram per gram berat kering akar, dan pada bagian daun
sebesar 21 63 mikrogram per gram berat kering daun.
Selanjutnya, eceng gondok juga ternyata mampu menyerap uranium yang terlarut dalam perairan.
Menurut Yatim (1991), uranium yang diserap dan terakumulasi pada akar sekitar 40 60%, dan
dapat terlepas pada pembilasan. Hasil penelitian selanjutnya menunjukkan, tingkat penyerapan
uranium oleh eceng gondok dipengaruhi pH, kadar nutrisi larutan dan berat awal eceng gondok. Pada

pH yang lebih rendah, penyerapan uranium oleh eceng gondok lebih banyak karena pada kondisi pH
ini uranium terdapat dalam bentuk ion uranil yang stabil dan mempunyai ukuran ion yang lebih kecil.
Uranium juga lebih banyak diserap oleh eceng gondok yang memiliki massa lebih besar. Ini karena
eceng gondok yang lebih berat mempunyai permukaan akar yang lebih luas. Akan tetapi, pada larutan
nutrisi yang lebih pekat, penyerapan uranium oleh eceng gondok cenderung berkurang. Ini karena
adanya peningkatan kompetisi antara penyerapan uranium dengan penyerapan unsur nutrisi oleh
tanaman. Pada larutan Hoagland 10% dengan pH 5 dan kandungan uranium 8 12 ppm, kapisitas
penyerapan uranium dalam kondisi maksimal, yakni berkisar antara 500 600 g per gram berat
kering eceng gondok setelah 10 12 hari. Pada kondisi ini, laju pertumbuhan eceng gondok sekitar
3% berat kering per hari. Pada larutan limbah, kapasitas eceng gondok menyerap uranium sekitar
200 g per gram berat kering tanaman setelah 8 hari laju, dan laju pertumbuhannya mencapai 2 %
berat kering per hari.
Pada populasi 1 ha, kapasitas eceng gondok menyerap uranium (dengan tetap memperhatikan
pertumbuhannya) sekitar 2,16 kg (pada larutan Hoagland) dan 0,98 kg (pada larutan limbah).
Dengan memperhitungkan fraksi uranium yang terbilas, pengurangan uranium dari larutan Hoagland
dan limbah masing-masing sekitar 3, 16 dan 1,76 kg. Dengan demikian, eceng gondok mempunyai
potensi dimanfaatkan sebagai kolektor uranium.
Bahan Baku Pulp dan Kertas
Di saat sedang menurunnya pasokan kayu tropis dan meningkatnya kerusakan hutan, eceng gondok
dapat dijadikan sebagai penyedia bahan baku pulp yang bernilai ekonomis. Menurut Patt (1992),
proses pulping kimia masih dianggap menguntungkan secara ekonomis apabila nilai rendemen
tersaring di atas 40% dan bilangan Kappa dibawah 25. Hasil penelitian Supriyanto dan Muladi (1999)
menunjukkan, rendemen tersaring pulp eceng gondok sekitar 44,28% dan bilangan Kappa sebesar
16,55. Sementara itu, sifat fisika dan mekanika kertas yang dihasilkan pada nilai interpolasi derajat
giling 40SR meliputi: kerapatan kertas sebesar 0,993%, kekuatan tarik sebesar 4060 m, kekuatan
retak sebesar 338 kPa dan kekuatan sobek sebesar 346 mN. Berdasarkan data tersebut, maka kualitas
pulp dan kertas dari eceng gondok menurut standar tergolong dalam kelas kualita II. Dengan
demikian, eceng gondok memiliki prospek sebagai bahan baku kertas yang bernilai ekonomis cukup
tinggi.
Bahan Baku Pupuk Organik
Dalam industri pupuk alternatif, eceng gondok juga dapat dijadikan sebagai bahan baku pupuk
organik. Ini karena mengandung N, P, K, dan bahan organik yang cukup tinggi. Daerah yang sudah
mengembangkan pabrik pupuk berbahanbaku eceng gondok adalah Kabupaten Lamongan. Ketika
pertama kali berproduksi ditahun 2001 pabrik pupuk eceng gondok mempunyai kapasitas produksi 57 ton sehari. Kini setelah ada penambahan mesin baru maka kapasitas produksi ditingkatkan hingga
mencapai 15 ton sehari. Pupuk organik yang dihasilkan dari pabrik ini diberi nama Pupuk Maharani.
Untuk mendapatkan pupuk organik yang berstandar internasional, pupuk ini diberi campuran bahan
lainnya. Bahan tersebut adalah kotoran binatang (ayam, sapi atau lembu) serta ramuan enrichment
yang diperoleh dari pengkomposan. Enrichment adalah sebuah formula khusus agar kadar standar
organiknya tercapai. Berdasarkan hasil uji laboratorium, pupuk ini memiliki kandungan unsur hara N

sebesar 1,86%; P205 sebesar 1,2%; K20 sebesar 0,7%; C/N ratio sebesar 6,18%; bahan organik seebsar
25,16% serta C organik:19,81. Dengan kandungan seperti ini, pupuk dari eceng gondok mampu
menggantikan pupuk anorganik,dan dapat mengurangi penggunaan bahan kimia hingga 50% dari
dosisnya. Sebagai bahan perbandingan, Winarno (1993) menyebutkan, eceng gondok dalam keadaan
segar memiliki komposisi bahan organic 36,59%, C organic 21,23% N total 0,28%, P total 0,0011%
dan K total 0,016%.
Penggunaan pupuk organik berbahan baku eceng gondok memberikan hasil yang sangat
menggembirakan. Anakan (percabangan) dari tiap batang lebih banyak dibandingkan awalnya.
Dengan tambahan pupuk Maharani, diperoleh 18-20 anakan padi. Sedangkan dengan urea, hanya
diperoleh 14-16 anakan padi. Tanaman yang diberi tambahan pupuk organik juga memiliki warna
daun merata hijau. Sementara itu, tanaman yang diberi urea, awalnya memiliki daun berwarna hijau
tapi lama kelamaan kekuningan. Tidak hanya itu, tanaman padi yang diberi tambahan pupuk organik
ini memiliki batang yang lebih kuat dari tiupan angin dan tampilan fisiknya lebih tegak.
Hasil yang memuaskan tidak hanya berupa tampilan fisik, melainkan juga berupa produksi dan biaya
yang dikeluarkan. Penggunaan pupuk organik telah meningkatkan produksi gabah rata-rata 500 kg
tiap hektarnya. Dari segi biaya, penggunaan pupuk organik menghasilkan efisiensi pupuk Rp.
265.000/ha/panen. Sebab, dengan menggunakan pupuk anorganik, rata-rata biaya yang dibutuhkan
sebesar Rp 900.000 per hektar. Sedangkan dengan tambahan pupuk organik, biaya yang dibutuhkan
sebesar Rp 635.000 per hektar. Komposisi pemberian pupuk tiap 1 hektare sawah padi terdiri atas
500 kg pupuk organik dan 150 kg urea, tanpa tambahan KCL (Siagian, 2006).
Sumber Pakan Ternak dan Ikan
Sebagaimana tanaman lainnya, eceng gondok dapat dijadikan pakan ternak. Karena tingginya
kandungan serat kasar, eceng gondok harus diolah terlebih dahulu. Salah satu teknik pengolahannya
adalah melalui teknologi fermentasi. Pada proses ini, eceng gondok diolah menjadi tepung, kemudian
difermentasi secara padat dengan menggunakan campuran mineral dan mikroba Trichoderma
harzianum yang dilakukan selama 4 hari pada suhu ruang.
Proses fermentasi ini mampu meningkatkan nilai gizi yang terkandung dalam eceng gondok. Protein
kasar meningkat sebesar 61,81% (6,31 ke 10,21%) dan serat kasar turun 18% (dari 26,61 ke 21,82%).
Pada saat dikonsumsikan pada ayam, eceng gondok fermentasi tidak menimbulkan pengaruh yang
berbeda secara nyata terhadap konsumsi, bobot hidup, konversi pakan, persentase karkas, lemak
abdomen dan bobot organ pencernaan (proventrikulus dan ventrikulus), meskipun terdapat
kecendrungan penurunan nilai gizi pada peningkatan produk fermentasi eceng gondok. Karena itu,
eceng gondok fermentasi dapat dicampurkan sampai tingkat 15% dalam ransum ayam pedaging
(Mahmilia, 2005).
Pada penelitian lain, daun eceng gondok dapat dimanfaatkan sebagai pakan pelet tepung untuk
budidaya ikan, meski tidak sebaik pelet komersil. Ikan yang digunakan pada penelitian ini adalah
jenis nila. Pemeliharaan dilakukan selama 8 minggu dengan perlakuan pellet bertepung daun eceng
gondok 10%; 20%; 30%; dan pembanding (tanpa campuran pelet tepung). Hasil penelitian
menunjukan bahwa pemberian pellet betepung daun eceng gondok 10% memberikan pengaruh
terbaik bagi pertumbuhan nisbi (193,25%), nilai efisiensi pakan (40,31%). Akan tetapi, pemberian
pellet komersil sebagai pembanding masih lebih baik dibandingkan dengan pemberian pellet

bertepung daun eceng gondok, baik pertumbuhan nisbi maupun nilai efisiensi pakan (Timburas,
2000).
Bahan Baku Kerajinan Tangan
Di tangan orang-orang kreatif, membludaknya populasi eceng gondok bukanlah sebuah musibah
melainkan sebuah anugrah. Di tangan orang-orang kreatif inilah, eceng gondok dapat disulap menjadi
benda-benda yang sangat menarik dan berdayaguna, seperti sandal jepit, tas cantik, kursi, dan lainlain.
Pemandangan tangan-tangan kreatif dalam mengubah eceng gondok bisa disaksikan di Dusun
Pengaron, Desa Pengumbulandi Tikungan, Kabupaten Lamongan. Menjelang matahari terbenam, di
pinggir jendela sebagian besar rumah di sana, jari-jari lentik perempuan muda dengan lincah
menganyam helai demi helai serat eceng gondok. Dengan ulet dan terampil, mereka menyulap
helayan eceng gondok kering menjadi sebuah tas. Dalam sehari, rata-rata setiap orangnya mampu
menyelesaikan lima tas anyaman. Setiap satu tas ia mendapat upah Rp 2.250 hingga 4.000. Dengan
demikian, penghasilannya mencapai Rp 500.000 per bulannya.
Tas-tas yang sudah tersebut ditampung pada seorang pengusaha. Dalam sebulan, tas yang terkumpul
bisa mencapai 1.500-2.000 tas. Kemudian, tas-tas tersebut dikirim ke department store terkenal
seperti, Sarinah Thamrin di Jakarta, berbagai art shop di Bali dan Surabaya. Tidak hanya itu, tas-tas
itu juga sudah diekspor ke beberapa negara seperti Taiwan dan Malaysia. Setiap bulannya, sekitar
1.600 tas ke dua negara itu dan umumnya dijual dengan harga minimal Rp 15.000.
Tidak diragukan lagi, eceng gondok berpotensi meningkatkan pendapatan masyarakat. Tidak hanya
pengrajin, tambahan pendapatan ini juga dapat dirasakan oleh para pengumpul eceng gondok dari
rawa-rawa, sungai, atau waduk. Misalnya di Kabupaten Simalungun, eceng gondok basah dihargai Rp
200 per kilogram dan eceng gondok kering Rp 6.000 per kilogram (Malau, 2006). Selain dijadikan
tas, di Simalungun ini, eceng gondok dijadikan juga sebagai sandal, baki, topi, dan barang-barang
lainnya, kemudian dia jual di hotel-hotel dan lokasi pariwisata Prapat.
Kisah sukses pengrajin eceng gondok lainnya yang patut ditiru adalah bernama Lita. Dia seorang
pengusaha wanita dari Surabaya. Karena berkreatif memanfaatkan produk yang ramah lingkungan
itu, pada tahun 2000, dia pernah mendapat hadiah kalpataru lingkungan. Pada awal usahanya, dia
hanya membuat aksesoris rumah seperti, tempat koran, tempat pinsil, tempat sampah, tas, tempat
tisu, dan souvenir kecil lainya. Pada perkembangan berikutnya, wanita yang telah memiliki 150
karyawan ini mulai mengembangkan bentuk meubel seperti sofa, meja, dan produk lainnya. Karena
bentuknya yang unik, produk-produk tersebut banyak diminati dan diekspor ke Jepang, Italia, Kuala
Lumpur, Belanda, dan Eropa dengan harga yang cukup tinggi per unitnya. Sofa, misalnya, dapat
dihargai Rp 4 15 juta per unitnya.
Kesimpulan
Jelas sudah, enceng gondok memiliki banyak manfaat, baik manfaat ekologi dan manfaat ekonomi.
Dari sisi ekologi, eceng gondok mampu meningkatkan kualitas air yang tercemar. Berkat eceng
gondok, logam berat dan polutan lainnya bisa diserap dari ekosistem perairan. Dari sisi ekonomi,
eceng gondok mampu memberikan pendapatan tambahan bagi masyarakat. Di tangan orang-orang

kreatif, tumbuhan ini bisa berubah menjadi barang-barang yang bermanfaat (seperti sandal, tas,
bahkan sofa) sehingga bernilai ekonomi tinggi. Akhirulkata, eceng gondok bukanlah musibah,
melainkan anugrah.

Halaman 1 dari 2
Saat ini tersedia beberapa bentuk kerajinan tangan yang dibuat dari bahan baku enceng gondok. Beberapa
produk kerajinan yang ada seperti tas tangan, dompet, keranjang dan aneka produk lain tersebut menggunakan
tangkai enceng gondok yang dikeringkan untuk dianyam membentuk produk yang diinginkan.
Memenuhi kebutuhan enceng gondok untuk daerah Yogyakarta, bahan baku enceng gondok dipasok dari daerah
Rawa Pening, Ambarawa dan dari Kulonprogo.
Pemasok memperoleh enceng gondok dari hasil tanaman liar dan bukan dari pembudidayaan. Penduduk Rawa
Pening hanya tinggal mengambil tanaman yang tumbuh liar dan memenuhi hamparan permukaan rawa.
Pengolah tidak perlu memikirkan ketersediaan bahan baku tanaman enceng gondok untuk pemanenan
berikutnya, karena jumlah yang tersedia sangat banyak. Mereka tinggal menunggu atau berpindah ke area lain
dimana tanaman sudah cukup besar untuk diambil tangkai daunnya. Perkembangbiakan dan pertumbuhan
tanaman enceng gondok memang sangat cepat.
Proses perlakuan tangkai daun untuk bahan baku kerajinan ini meliputi hal-hal sebagai berikut:
1. Pengambilan dan seleksi tanaman enceng gondok yang sudah tua dan memiliki tangkai yang besar dan
panjang.
2. Pemotongan tangkai dari bagian daun dan bonggol akar
3. Pengeringan tangkai dengan jalan diikat dan dijemur di bawah terik sinar matahari. Penjemuran dilakukan
dengan jalan digantung di para-para atau diletakkan begitu saja di tanah.
4. Pengepakan ikatan tangkai daun untuk siap disetor ke pengrajin.
Bagian tanaman enceng gondok yang diambil untuk hiasan adalah bagian tangkai daunnya saja. Tanaman ini
sebagaimana jenis tanaman air lainnya tidak memiliki batang, jadi hanya terdiri dari daun, tangkai daun, bonggol
akar dan akar itu sendiri. Dengan demikian setelah diambil bagian tangkainya, tentu saja akan menghasilkan
limbah berupa bagian sisa tanaman yang tidak diolah lebih lanjut.
Limbah tanaman enceng gondok ini biasanya dibuang kembali ke dalam rawa. Bagian bonggol yang biasanya
masih memiliki tunas anakan akan membantu perkembangbiakan tanaman lebih lanjut dan menjadi semakin
tidak terkendali. Untuk bagian lain akan mengalami proses pembusukan dan diharapkan oleh masyarakat akan
dapat berubah menjadi kompos secara alami di dasar rawa.
Saat ini ada sebagian masyarakat di tepian Rawa Pening yang memiliki mata pencaharian sebagai pengumpul
kompos. Mereka mengambil kompos dari dasar rawa yang sebagian besar berasal dari pembusukan tanaman
enceng gondok. Akan tetapi kalau ditinjau lebih jauh, aktivitas sembacam ini sangat tidak efisien. Orang harus
mengambil kompos dari dasar rawa dengan menggunakan ember keruk dan kemudian mengeringkan kompos
yang telah diambil tersebut. Lama waktu untuk pengomposan secara alami ini juga tidak dapat diperkirakan
karena sifatnya alamiah. Kepemilikan lahan sumber kompos juga akan dapat menjadi sumber konflik kalau
kapasitas kompos yang tersedia sudah mulai menipis.
Di sisi lain aktivitas membiarkan tanaman air membusuk di air seperti ini akan dapat mempercepat proses
pendangkalan rawa dengan lebih cepat.
Berdasarkan permasalahan yang ada maka perlu dicari langkah alternatif penyelesaian yang mungkin dapat

ditempuh. Perkembangbiakan tanaman enceng gondok di Rawa Pening perlu dibatasi untuk mencegah over
populasi yang berakibat merugikan dan mengancam eksistensi Rawa Pening itu sendiri. Salah satu cara yang
dapat diterapkan adalah dengan tidak membuang limbah bonggol tanaman enceng gondok ke dalam rawa.
Limbah tanaman enceng gondok ini tetap diharapkan sebagai bahan baku kompos. Akan tetapi proses
pengomposan yang dilakukan hendaknya dilakukan di daratan saja dengan diolah secara lebih khusus. Jadi
bagian sisa tanaman setelah diambil tangkai daunnya jangan dibuang lagi ke dalam air, melainkan dikumpulkan
untuk dijadikan bahan baku kompos. Apabila proses pemotongan dilakukan secara langsung di tengah rawa,
maka hendaknya pengumpul juga membawa sekalian bagian sisa tanaman dan tidak dibuang ke dalam rawa.
Proses pengomposan yang dilakukan di darat mestinya akan jauh lebih memudahan dan dapat meningkatkan
nilai tambah dari tanaman enceng gondok ini. Proses pengomposan dapat dilakukan dengan menimbun limbah
tanaman dalam ukuran lebar 1 meter sepanjang 4-5 meter dengan ketinggian dapat mencapai sekitar 1 meter.
Alas tempat pengomposan dapat dari tanah yang diratakan atau lebih baik lagi menggunakan lantai semen
dengan kemiringan secukupnya. Tanaman dapat dicacah jika tersedia alat pencacah dengan mesin atau secara
manual, karena jika potongan bahan berukuran kecil akan dapat mempercepat proses pengomposan. Proses
pengomposan juga dapat dipercepat dengan menggunakan starter bakteri pengurai atau dapat dengan
menggunakan EM4.
Proses perlakuan pada saat pengomposan dapat dilakukan dengan membolak-balik timbunan stiap seminggu
sekali. Sekitar 2-3 bulan maka akan dapat dihasilkan kompos dari limbahan enceng gondok ini.
Dengan langkah-langkah yang ditawarkan tersebut diharapkan dapat ikut mengatasi permasalahan enceng
gondok di Rawa Pening ini. Proses ini tentu saja tidak akan merugikan bagi masyarakat pengumpul tangkai daun
dan juga pengumpul kompos, bahkan diharapkan langkah ini akan dapat meningkatkan pendapatan mereka atau
menghasilkan mata pencaharian baru. Pada sisi lain kelestarian Rawa Pening akan tetap dapat terjaga baik.

Tanaman Eceng gondok dan juga biasa disebut enceng gondok dengan namaLatin:Eichhornia
crassipes, ialah jenis tumbuhan air yang mengapung di air. Selain dikenal nama eceng gondok, di
beberapa wilayah Indonesia, eceng gondokmempunyai sebutan lain misalkan di daerah seperti
Palembang ecen gondok dikenal dengan nama Kelipuk.
Eceng gondok menyesuaikan hidup di permukaan air dengan akarnya yang menempel
kepermukaan tanah bawah air, tinggi dari tanaman eceng gondoktersebut bisa mencapai 0.5 sampai
dengan 9.0 meter, jenis daun dari tanaman aireceng gondok mempunyai daun tunggal membentuk
oval dan ujung pangkalnya sedikit meruncing, dengan bunga berbentuk bulir dengan kelopak
menyerupai tabung dan mempunyai biji berbentuk bula-bulat, dan jenis akarnya adalah serabut.
Manfaat tanaman eceng gondok :
Eceng gondok mempunyai zat humat yang bisa menghasilkan senyawa fitohara dan mampu
mempercepat akar tanaman.
Pemanfaatan tanaman eceng gondok sebagai pupuk sudah di aku oleh pembuat pupuk yang
menggunakan bahan dasar tanaman eceng gondok tersebut.
Tanamaninisangatmudahsekaliditemukandikolamkolamdangkaldanjugarawarawa

Cara membuat pupuk organik dengan berbahan dasar eceng gondokmengandalkan EM4 :

Pelapukan Kompos Termurah


Bahan
- 1000Kg tanaman Eceng gondok (Dengan cara dicincang atau juga digiling hingga halus, 'untuk
hasil pupuk yang halus')
- 5 Kg MikroDec
- 2 Buah Pagar bambu berukuran Panjang 1 Meter, Tinggi 1 Meter
- 2 Buah Pagar bambu berukuran Panjang 2 Meter, Tinggi 1 Meter
Cara Pembuatan
- Rangkai pagar bambu berbentuk 'kandang' berukuran 1x2x1 Meter sebagai tempat pembuatan
kompos
- Masukkan eceng gondok
- Lakukan pemadatan dengan cara menginjak-injak tumpukan hingga setinggi 20Cm
- Taburkan MikroDek secara merata di atas tumpukan
- Masukkan kembali eceng gondok
- Lakukan pemadatan dengan cara menginjak-injak tumpukan hingga timbunan bertambah tinggi
20Cm
- Taburkan MikroDek secara merata di atas tumpukan
- Ulangi cara di atas sampai timbunan eceng gondok setinggi 60 - 1 Meter
- Tutup timbunan dengan plastik
- Pada hari ke dua, suhu timbunan akan mulai meningkat sampai 70/ 80 C
- Proses pembuatan kompos pupuk selesai setelah 14 hari dan suhu telah turun menjadi 30
celcius. Catatan
- Pagar bambu yang menjadi 'cetakan' dapat dilepaskan pada saat proses penutupan timbunan
dengan plastik untuk
digunakan pada pembuatan timbunan berikutnya (jika material eceng gondok lebih dari 1 ton).
- Proses pelapukan dilakukan oleh mikroba thermofilik aerob (dapat bertahan hidup pada suhu 80 C)
yang memerlukan
sedikit oksigen
- Penutupan plastik pada material bertujuan untuk menciptakan temperatur 'tinggi' yang diperlukan
untuk mempercepat
proses pelapukan.

Anda mungkin juga menyukai