Anda di halaman 1dari 16

Feb 5, '08 8:56 Pembuatan Briket Arang Dari Enceng Gondok (Eichornia Crasipess Solm) AM Dengan Sagu Sebagai

Pengikat untuk Judul Riset : PEMBUATAN BRIKET ARANG DARI ENCENG GONDOK (Eichornia Crasipess Solm) DENGAN SAGU SEBAGAI PENGIKAT

Oleh Pembimbing

: Adi Candra Brades, Febrina Setyawati Tobing : Ir.H.A.R.Fachry,M.Eng

PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang Pakar perminyakan Indonesia, DR Kurtubi (2004), menyatakan bahwa mulai tahun

2004, produksi perminyakan Indonesia berada pada level terendah dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Produksi minyak mentah pada triwulan I/2004 hanya sekitar 0,98 juta bph atau sekitar 360 juta barrel dalam satu tahun, sedangkan pada tahun 1999, produksi minyak masih sekitar 1,4 juta bph. Diketahui pula bahwa harga bahan bakar minyak dunia pun meningkat pesat. Permasalahan inilah yang membawa dampak pada meningkatnya harga jual bahan bakar minyak termasuk minyak tanah Indonesia. Di sisi lain, permintaan bahan bakar minyak dalam negeri jumlahnya terus meningkat akibat adanya usaha-usaha perbaikan ekonomi dan pertambahan penduduk. Minyak tanah di Indonesia yang selama ini di subsidi, menjadi beban yang sangat berat bagi pemerintah Indonesia karena nilai subsidinya meningkat pesat menjadi lebih dari 49 triliun rupiah per tahun dengan penggunaan lebih kurang 10 juta kilo liter per tahun. Namun dibalik ancaman serius di atas, ada peluang bagi energi-energi alternatif, khususnya bagi energi yang dapat diperbaharui (renewable energy). Sumber energi alternatif

yang dapat diperbaharui di Indonesia relatif lebih banyak, satu diantaranya adalah biomassa ataupun bahan-bahan limbah organik. Biomassa ataupun bahan-bahan limbah organik ini dapat diolah dan dijadikan sebagai bahan bakar alternatif, contohnya dengan pembuatan briket. Selama ini, pembuatan briket hanya terbuat dari batubara saja. Maka, peneliti mencoba pembuatan briket dari enceng gondok. Enceng gondok merupakan tumbuhan rawa atau air, yang mengapung di atas permukaan air. Di ekosistem air, enceng gondok ini merupakan tanaman pengganggu atau gulma yang dapat tumbuh dengan cepat (3% per hari). Khususnya di Sumatera Selatan, enceng gondok ini banyak tumbuh di aliran Sungai Musi ataupun saluran-saluran air lainnya. Pesatnya pertumbuhan enceng gondok ini mengakibatkan berbagai kesulitan seperti terganggunya transportasi, penyempitan sungai, dan masalah lain karena penyebarannya yang menutupi permukaan sungai/perairan. Untuk mengurangi permasalahan tersebut, maka perlu dilakukan pembersihan sungai/saluran-saluran air. Supaya enceng gondok ini tidak menumpuk dan menjadi limbah biomassa, maka dapat dilakukan suatu pemanfaatan alternatif terhadap enceng gondok ini dengan jalan pembuatan briket arang. Kandungan selulosa dan senyawa organik pada enceng gondok berpotensi memberikan nilai kalor yang cukup baik. Dengan demikian briket arang dari enceng gondok ini dapat dimanfaatan sebagai bahan bakar alternatif, disamping dapat membuat dampak yang sangat baik pula bagi lingkungan.

1.2

Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah:

1)

Untuk meningkatkan pemanfaatan enceng gondok dengan membuat briket arang sebagai bahan bakar alternatif.

2)

Untuk mengetahui pengaruh terhadap kualitas briket arang apabila dalam pembuatannya dilakukan dengan bermacam-macam variabel seperti perubahan ukuran partikel arang, jumlah arang, dan jumlah bahan pengikat, serta mengetahui kondisi optimumnya.

3)

Untuk mengetahui besarnya nilai uji proximat briket bioarang yang dihasilkan, meliputi: nilai kalor, kerapatan, kadar air lembab (Inherent Moisture), kadar abu (Ash), kadar karbon padat (Fixed Carbon), Uji kecepatan pembakaran, dan kadar sulfur.

1.3 1) 2)

Permasalahan Apakah enceng gondok dan tepung sagu dapat dimanfaatkan pada pembuatan briket. Bagaimanakah pengaruh ukuran partikel arang, jumlah arang dan jumlah bahan pengikat yang akan digunakan sehingga dapat dihasilkan kualitas yang optimal dari briket.

1.4 1)

Manfaat Penelitian Dapat memanfaatkan enceng gondok dan tepung sagu pada pembuatan briket sebagai bahan bakar alternatif dalam usaha penghematan energi.

2)

Mengetahui secara teoritis dan praktek dalam skala kecil (laboratorium) teknik pembuatan briket arang.

3)

Mengurangi pencemaran lingkungan agar tercipta lingkungan yang bersih dan sehat.

1.5 1)

Ruang Lingkup Penelitian Bahan baku yang digunakan adalah enceng gondok yang berasal dari perairan di pinggiran Sungai Musi.

2)

Bahan yang digunakan sebagai pengikat adalah larutan kanji (tepung sagu).

3)

Variabel yang digunakan pada penelitian ini adalah ukuran partikel arang, jumlah arang, dan jumlah bahan pengikat.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Enceng Gondok Enceng gondok (Eichornia crossipes) merupakan tumbuhan air yang tumbuh di rawa-

rawa, danau, waduk dan sungai yang alirannya tenang. Menurut sejarahnya, enceng gondok di Indonesia dibawa oleh seorang ahli botani dari Amerika ke Kebun Raya Bogor. Akibat pertumbuhan yang cepat (3% per hari), enceng gondok ini mampu menutupi seluruh permukaan suatu kolam. Enceng gondok tersebut lalu dibuang melalui sungai di sekitar Kebun Raya Bogor sehingga menyebar ke sungai-sungai, rawa-rawa, dan danau-danau di seluruh Indonesia. Enceng gondok yang berada di perairan Indonesia, mempunyai bentuk dan ukuran yang beraneka ragam, mulai dari ketinggian beberapa sentimeter sampai 1,5 meter, dengan diameter mulai dari 0,9 sentimeter sampai 1,9 sentimeter. Enceng gondok dewasa, terdiri dari akar, bakal tunas, tunas atau stolon, daun, petiole, dan bunga. Daun-daun enceng gondok berwarna hijau terang berbentuk telur yang melebar atau hampir bulat dengan garis tengah sampai 15 sentimeter. Pada bagian tangkai daun terdapat masa yang menggelembung yang berisi serat seperti karet busa. Kelopak bunga berwarna ungu muda agak kebiruan. Setiap kepala putik dapat menghasilkan sekitar 500 bakal biji atau 5000 biji setiap tangkai bunga, sehingga enceng gondok dapat berkembang biak dengan dua cara, yaitu dengan tunas dan biji. Pertumbuhan enceng gondok yang sangat cepat (3% per hari) menimbulkan berbagai masalah, antara lain mempercepat pendangkalan sungai atau danau, menurunkan produksi ikan, mempersulit saluran irigasi, dan menyebabkan penguapan air sampai 3 sampai 7 kali

lebih besar daripada penguapan air di perairan terbuka (Soemarwoto, 1977), sedangkan Oshawa dan Risdiono (1977) menyatakan bahwa kehilangan air di Rawa Pening karena penguapan oleh enceng gondok, 4 kali lebih besar daripada penguapan air pada perairan terbuka.

2.1.1

Komposisi Kimia Enceng Gondok Komposisi kimia enceng gondok tergantung pada kandungan unsur hara tempatnya

tumbuh, dan sifat daya serap tanaman tersebut. Enceng gondok mempunyai sifat-sifat yang baik antara lain dapat menyerap logam-logam berat, senyawa sulfida, selain itu mengandung protein lebih dari 11,5 %, dan mengandung selulosa yang lebih tinggi besar dari non selulosanya seperti lignin, abu, lemak, dan zat-zat lain. Pada tabel 1, Anonymous (1966) dalam penelitiannya terhadap enceng gondok dari Banjarmasin mengemukakan kandungan kimia tangkai enceng gondok tua yang segar.

Tabel 2.1. Kandungan Kimia Enceng Gondok Segar Senyawa Kimia Ai 92, r 6 Persentase (%)

Abu Serat kasar Karbohidrat Lemak Protein Fosfor sebagai P2O5 Kalium sebagai K2O Klorida Alkanoid (Sumber: Anonymous, 1952)

0,44 2,09 0,17 0,35 0,16 0,52 0,42 0,26 2,22

Sedangkan, R. Roechyati (1983) mengemukakan kandungan dari tangkai enceng gondok kering tanur pada tabel 2.

Tabel 2.2. Kandungan Kimia Enceng Gondok Kering Senyawa Kimia Selulosa Pentosa Lignin Silika Abu (Sumber: R. Roechyati (1983) Persentase (%) 64,51 15,61 7,69 5,56 12

2.2

Tepung Sagu Sagu merupakan tanaman tropik yang sangat produktif sebagai penghasil pati dan

energi. Diperkirakan produktifitas sagu dapat mencapai dua kali produktifitas ubi kayu. Pada saat ini potensi produksi sagu di Indonesia diperkirakan 4.913 ton tepung kering per tahun. Jumlah ini masih dapat dikembangkan menjadi 90 kali lipat jika dilakukan pemanfaatan 50 persen dari total daerah rawa yang ada dan dilakukan perbaikan teknik budidaya (Soekarto dan Wijandi, 1983).

2.2.1

Komposisi Kimia Tepung Sagu Secara kimiawi pati sagu memiliki kandungan karbohidrat lebih tinggi dari pada

jagung dan beras, tetapi kandungan protein dan lemaknya rendah. Pati sagu mengandung 28% amilosa dan 72% amilopektin (Harsanto dalam Setyawati, 1989). Komposisi kimia tepung sagu per 100 gram bahan dapat dilihat pada tabel 3.

Tabel 2.3. Komposisi Kimiawi Tepung Sagu Per 100 gram Bahan Bahan Penyusun Air (gram) Protein (gram) Lemak (gram) Karbohidrat (gram) Thiamin Kalsium (miligram) Serat (gram) Kalori (kalori) (Sumber: Harsanto, 1986) Jumlah 14,0 0,7 0,2 84,7 11,0 0,2 353,0 Bahan Penyusun Fosfor (miligram) Besi (miligram) Vitamin A (SI) Riboflavin Niasin Asam askorbat Abu (gram) Jumlah 13,0 1,3 0,01 0,4

Komponen terbesar yang terdapat dalam tepung sgu adalah pati. Pati adalah homopolimer yang terdiri dari molekul-molekul glukosa melalui ikatan glikosida dengan melepaskan molekul air (Matz dalam Zulviani, 1992). Menurut Winarno (1989), setiap pati memiliki karakteristik yang khas tergantung pada rantai C-nya dan bercabang atau lurus rantai molekulnya. Pati terdiri dari dua fraksi yang dapat dipisahkan dengan air panas. Fraksi terlarut disebut amilosa dan fraksi tidak terlarut disebut amilopektin. Amilosa mempunyai stuktur lurus dengan ikatan (1,4) a-D glukosa, sedangkan amilopektin mempunyai cabang dengan ikatan (1,6) a-D glukosa sebanyak 4 % sampai 5 % dari berat total. Pati dari berbagai tanaman mempunyai bentuk granula (butir) pati yang berbeda-beda. Dengan mikroskop jenis pati dapat dibedakan karena mempunyai bentuk, ukuran, dan letak hilum yang unik (Fennema, 1976). Ukuran granula (butir) pati sagu relatif lebih besar dari pada granula pati jenis lainnya, yaitu sekitar 15 mikron sampai 65 mikron dan umumnya berukuran antara 20 mikron sampai 60 mikron. Bentuk granulanya oval (bulat telur) dengan letah hilum granula yang tidak terpusat (Radley, 1976). Menurut Charley (1970), pada pemanasan 60 oC pati sagu mulai mengalami pengembangan volume dan gelatinisasi mulai berlangsung.

Dilihat dari komposisi kimianya, sagu merupakan bahan pangan yang kurang menguntungkan jika ditinjau dari kandungan protein, lemak dan vitaminnya yang sangat rendah. Salah satu cara untuk menaikkan nilai gizi tepung sagu adalah dengan mencampurkan bahan pangan lain yang kaya protein, lemak, dan vitamin sehingga dapat saling melengkapi kekurangan zat gizi masing-masing bahan pangan itu sendiri.

2.3

Briket Bioarang Menurut Supriyono (1997), arang merupakan bahan padat yang berpori dan

merupakan hasil pengarangan bahan yang mengandung karbon. Sebagian besar pori-pori arang masih tertutup oleh hidrokarbon, tar, dan senyawa organik lain yang komponennya terdiri dari karbon tertambat (Fixed Carbon), abu, air, nitrogen dan sulfur. Sedangkan, bioarang merupakan arang (salah satu jenis bahan bakar) yang dibuat dari aneka macam bahan hayati atau biomassa, misalnya kayu, ranting, daun-daunan, rumput, jerami, ataupun limbah pertanian lainnya. Bioarang ini dapat digunakan dengan melalui proses pengolahan, salah satunya adalah menjadi briket bioarang. Adan (1998) menyatakan, briket adalah gumpalan yang terbuat dari bahan lunak yang dikeraskan. Sedangkan briket bioarang adalah gumpalan-gumpalan atau batangan-batangan aranga yang terbuat dari bioarang (bahan lunak). Bioarang sebenarnya termasuk bahan lunak yang dengan proses tertentu diolah menjadi bahan arang keras dengan bentuk tertentu. Kualitas bioarang ini tidak kalah dengan batubara atau bahan bakr jenis arang lainnya. Faktor-faktor yang mempengaruhisifat briket arang adalah berat jenis bahan bakar atau berat jenis serbuk arang, kehalusan serbuk, suhu karbonisasi, dan tekanan pengempaan. Selain itu, pencampuran formula dengan briket juga mempengaruhi sifat briket. Menurut Mahajoeno (2005), syarat briket yang baik adalah briket yang permukaannya halus dan tidak meninggalkan bekas hitam di tangan. Selain itu, sebagai bahan bakar, briket juga harus memenuhi kriteria sebagai berikut: a. Mudah dinyalakan

b. Tidak mengeluarkan asap c. Emisi gas hasil pembakaran tidak mengandung racun

d. Kedap air dan hasil pembakaran tidak berjamur bila disimpan pada waktu lama e. Menunjukkan upaya laju pembakaran (waktu, laju pembakaran, dan suhu pembakaran) yang baik. (Nursyiwan dan Nuryetti, 2005)

2.4

Bahan Pengikat Untuk merekatkan partikel-partikel zat dalam bahan baku pada proses pembuatan

briket maka diperlukan zat pengikat sehingga dihasilkan briket yang kompak. Berdasarkan fungsi dari pengikat dan kualitasnya, pemilihan bahan pengikat dapat dibagi sebagai berikut :

1) Berdasarkan sifat / bahan baku perekatan briket : Adapun karakteristik bahan baku perekatan untuk pembuatan briket adalah sebagai berikut : Memiliki gaya kohesi yang baik bila dicampur dengan semikokas atau batu bara. Mudah terbakar dan tidak berasap. Mudah didapat dalam jumlah banyak dan murah harganya. Tidak mengeluarkan bau, tidak beracun dan tidak berbahaya.

2) Berdasarkan jenis Jenis bahan baku yang umum dipakai sebagai pengikat untuk pembuatan briket, yaitu :

Pengikat anorganik Pengikat anorganik dapat menjaga ketahanan briket selama proses pembakaran sehingga dasar permeabilitas bahan bakar tidak terganggu. Pengikat anorganik ini mempunyai kelemahan yaitu adanya tambahan abu yang berasal dari bahan pengikat sehingga dapat menghambat pembakaran dan menurunkan nilai kalor. Contoh dari pengikat anorganik antara lain semen, lempung, natrium silikat.

Pengikat organik Pengikat organik menghasilkan abu yang relatif sedikit setelah pembakaran briket dan umumnya merupakan bahan perekat yang efektif. Contoh dari pengikat organik di antaranya kanji, tar, aspal, amilum, molase dan parafin. (a) Clay (lempung) Clay atau yang sering disebut lempung umumnya banyak digunakan sebagai bahan pengikat briket. Jenis-jenis lempung yang dapat dipakai untuk pembuatan briket terdiri dari jenis lempung warna kemerah-merahan, kekuning-kuningan dan abu-abu. (b) Tapioka dan Caustic Soda Jenis tapioka beragam kualitasnya tergantung dari pemakaian. Jenis Caustic Soda yang dipergunakan memiliki konsentrasi 98 % dan berbentuk Flake. Apabila dicampur dengan tapioka akan membentuk sebagai perekat.

Dari jenis-jenis bahan pengikat atau perekat di atas, yang paling umum digunakan adalah bahn perekat kanji.

2.5

Proses Karbonisasi

Proses karbonisasi merupakan suatu proses dimana bahan-bahan berupa batang, daun, batubara, serbuk gergaji, tempurung kelapa, dan lain-lain, dipanaskan dalam ruangan tanpa kontak dengan udara selama proses pembakaran sehingga terbentuk arang. Proses karbonisasi merupakan salah satu tahap yang penting dalam pembuatan briket bioarang. Pada umumnya proses ini dilakukan pada temperatur 500 800 oC. Kandungan zat yang mudah menguap akan hilanh sehingga akan terbentuk struktur pori awal. (Widowati, 2003) Menurut Hasani (1996), proses karbonisasi merupakan suatu proses pembakaran tidak sempurna dari bahan-bahan organik dengan jumlah oksigen yang sangat terbatas, yang menghasilkan arang serta menyebabkan penguraian senyawa organik yang menyusun struktur bahan membentuk uap air, methanol, uap-uap asam asetat dan hidrokarbon. Proses pengarangan dapat dibagi menjadi empat tahap sebagai berikut: (a) Penguapan air, kemudian penguraian selulosa menjadi destilat yang sebagian besar mengandung asam-asam dan metanol. (b) Penguraian selulosa secara intensif hingga menghasilkan gas serta sedikit air. (c) Penguraian senyawa lignin menghasilkan lebih banyak tar yang akan bertambah jumlahnya pada waktu yang lama dan suhu tinggi. (d) Pembentukan gas hidrogen merupan proses pemurnian arang yang terbentuk.

2.6

Teknologi Pembriketan Proses pembriketan adalah proses pengolahan yang mengalami perlakuan

penggerusan, pencampuran bahan baku, pencetakan dan pengeringan pada kondisi tertentu, sehingga diperoleh briket yang mempunyai bentuk, ukuran fisik, dan sifat kimia tertentu. Tujuan dari pembriketan adalah untuk meningkatkan kualitas bahan sebagai bakar, mempermudah penanganan dan transportasi serta mengurangi kehilangan bahan dalam bentuk debu pada proses pengangkutan.

Beberapa faktor yang mempengaruhi pembriketan antara lain: (a) Ukuran dan distribusi partikel Ukuran partikel mempengaruhi kekuatan briket yang dihasilkan karena ukuran yang lebih kecil akan menghasilkan rongga yang lebih kecil pula sehingga kuat tekan briket akan semakin besar. Sedangkan distribusi ukuran akan menentukan kemungkinan penyusunan (packing) yang lebih baik. (b) Kekerasan bahan Kekuatan briket yang diperoleh akan berbanding terbalik dengan kekerasan bahan penyusunnya. (c) Sifat elastisitas dan plastisitas bahan. (Hasjim, 1991) Briket adalah bahan bakar padat yang dapat digunakan sebagai sumber energi alternatif yang mempunyai bentuk tertentu. Kandungan air pada pembriketan antara 10 20 % berat. Ukuran briket bervariasi dari 20 100 gram. Pemilihan proses pembriketan tentunya harus mengacu pada segmen pasar agar dicapai nilai ekonomi, tekhnis dan lingkungan yang optimal. Pembriketan bertujuan untuk memperoleh suatu bahan bakar yang berkualitas yang dapat digunakan untuk semua sektor sebagai sumber energi pengganti. Beberapa tipe / bentuk briket yang umum dikenal, antara lain : bantal (oval), sarang tawon (honey comb), silinder (cylinder, telur (egg), dan lain-lain. Adapun keuntungan dari bentuk briket adalah sebagai berikut : 1. Ukuran dapat disesuaikan dengan kebutuhan. 2. Porositas dapat diatur untuk memudahkan pembakaran. 3. Mudah dipakai sebagai bahan bakar. Secara umum beberapa spesifikasi briket yang dibutuhkan oleh konsumen adalah sebagai berikut :

1. Daya tahan briket. 2. Ukuran dan bentuk yang sesuai untuk penggunaannya. 3. Bersih (tidak berasap), terutama untuk sektor rumah tangga. 4. Bebas gas-gas berbahaya. 5. Sifat pembakaran yang sesuai dengan kebutuhan (kemudahan dibakar, efisiensi energi, pembakaran yang stabil). Adapun faktor-faktor yang perlu diperhatikan didalam pembuatan briket antara lain :

(a)

Bahan baku Briket dapat dibuat dari bermacam-macam bahan baku, seperti ampas tebu, sekam padi,

serbuk gergaji, dll. Bahan utama yang harus terdapat didalam bahan baku adalah selulosa. Semakin tinggi kandungan selulosa semakin baik kualitas briket, briket yang mengandung zat terbang yang terlalu tinggi cenderung mengeluarkan asap dan bau tidak sedap.

(b)

Bahan pengikat Untuk merekatkan partikel-partikel zat dalam bahan baku pada proses pembuatan briket

maka diperlukan zat pengikat sehingga dihasilkan briket yang kompak.

Secara umum proses pembuatan briket melalui tahap penggerusan, pencampuran, pencetakan, pengeringan dan pengepakan. (a) Penggerusan adalah menggerus bahan baku briket untuk mendapatkan ukuran butir tertentu. Alat yang digunakan adalah crusher.

(b) Pencampuran adalah mencampur bahan baku briket pada komposisis tertentu untuk mendapatkan adonan yang homogen. Alat yang digunakan adalah mixer, combining blender, horizontal kneader dan freet mill. (c) Pencetakan adalah mencetak adonan briket untuk mendapatkan bentuk tertentu sesuaikan yang diinginkan. Alat yang digunakan adalah Briquetting Machine. (d) Pengeringan adalah proses mengeringkan briket dengan menggunakan udara panas pada temperatur tertentu untuk menurunkan kandungan air briket. (e) Pengepakan adalah pengemasan produk briket sesuai dengan spesifikasi kualitas dan kuantitas yang telah ditentukan. Beberapa parameter kualitas briket yang akan mempengaruhi pemanfaatannya antara lain :

1) Kandungan Air Moisture yang dikandung dalam briket dapat dinyatakan dalam dua macam : (a) Free moisture (uap air bebas) Free moisture dapat hilang dengan penguapan, misalnya dengan air-drying. Kandungan free moisture sangat penting dalam perencanaan coal handling dan preperation equipment. (b) Inherent moisture (uap air terikat) Kandungan inherent moisture dapat ditentukan dengan memanaskan briket antara temperatur 104 110 oC selama satu jam.

2) Kandungan Abu

Semua briket mempunyai kandungan zat anorganik yang dapat ditentukan jumlahnya sebagai berat yang tinggal apabila briket dibakar secara sempurna. Zat yang tinggal ini disebut abu. Abu briket berasal dari clay, pasir dan bermacam-macam zat mineral lainnya. Briket dengan kandungan abu yang tinggi sangat tidak menguntungkan karena akan membentuk kerak.

3) Kandungan Zat Terbang (Volatile matter) Zat terbang terdiri dari gas-gas yang mudah terbakar seperti hidrogen, karbon monoksida (CO), dan metana (CH4), tetapi kadang-kadang terdapat juga gas-gas yang tidak terbakar seperti CO2 dan H2O. Volatile matter adalah bagian dari briket dimana akan berubah menjadi volatile matter (produk) bila briket tersebut dipanaskan tanpa udara pada suhu lebih kurang 950 oC. Untuk kadar volatile matter 40 % pada pembakaran akan memperoleh nyala yang panjang dan akan memberikan asap yang banyak. Sedangkan untuk kadar volatile matter rendah antara 15 25% lebih disenangi dalam pemakaian karena asap yang dihasilkan sedikit.

4) Nilai Kalor Nilai kalor dinyatakan sebagai heating value, merupakan suatu parameter yang penting dari suatu thermal coal. Gross calorific value diperoleh dengan membakar suatu sampel briket didalam bomb calorimeter dengan mengembalikan sistem ke ambient tempertur. Net calorific value biasanya antara 93-97 % dari gross value dan tergantung dari kandungan inherent moisture serta kandungan hidrogen dalam briket.

2.7

Standar Kualitas Briket Bioarang Saat ini belum ada suatu standar kualitas briket bioarang. Namun, persyaratan briket

arang kayu menurut Sudrajat (1982) adalah: Fixed Carbon > 60 %

Kadar abu Nilai kalor Kerapatan

< > >

8% 6000 cal/gr 0,7 gr/cm3

Sifat briket arang kayu diantaranya dapat dipengaruhi oleh jenis kayunya (bahan baku). Kayu dengan berat jenis tinggi akan menghasilkan briket arang dengan kadar fixed carbon dan nilai kalor yang tinggi pula.

METODOLOGI PENELITIAN

Pada penelitian ini menggunakan metode eksperimen yang data-datanya diperoleh dengan jalan melakukan eksperimen. Pada prinsipnya untuk membuat briket ini digunakan proses yang meliputi : Pengeringan, pemisahan, karbonisasi, pencampuran dan pencetakan. Penelitian ini akan dilakukan di Laboratorium Pertambangan dan Energi Palembang. Adapun variabel penelitian yang dilakukan adalah : 1) Ukuran partikel arang 2) Jumlah arang enceng gondok 3) Jumlah bahan pengikat Penelitian Batubara Departemen

Anda mungkin juga menyukai