ASURANSI KESEHATAN
NASIONAL
Hasbullah Thabrany
ASURANSI KESEHATAN
NASIONAL
Hasbullah Thabrany
Edisi ini merupakan adaptasi, penyempurnaan dan penyesuaian yang ide dasarnya
diambil dari buku Asuransi Kesehatan di Indonesia yang diterbitkan
oleh Pusat Kajian Ekonomi Kesehatan, tahun 2002
Buku ini dipersiapkan sebagai bahan utama pendidikan profesi asuransi kesehatan yang
diujikan oleh PAMJAKI. Untuk informasi lengkap tentang pendidikan profesi
asuransi kesehatan silahkan kunjungi website PAMJAKI di www.pamjaki.org
PAMJAKI (Perhimpunan Ahli Manajemen Jaminan dan Ahli Asuransi Kesehatan Indonesia),
Jakarta.
Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak mengumumkan atau memperbanyak
suatu ciptaan atau memberi izin untuk itu, dipidana dengan pidana penjara paling
lama 7 (tujuh) tahun dan/ atau denda paling banyak Rp 100.000.000,- (seratus juta
rupiah)
2.
KATA PENGANTAR
Keinginan untuk menerbitkan bahan pendidikan profesi untuk ujian Ahli Asuransi
Kesehatan sudah lama diidamkan oleh Pengurus PAMJAKI, namun demikian,
perkembangan perasuransian dan kesibukan penulis yang juga merupakan pengurus
PAMJAKI menyebabkan keinginan tersebut baru kali ini terwujud. Sebelum buku ini
disusun, ujian PAMJAKI menggunakan buku Asuransi Kesehatan di Indonesia yang
diterbitkan oleh Pusat Kajian Ekonomi Kesehatan FKM UI.
Dengan semangat tinggi untuk meningkatkan dan memperbaiki buku-buku pegangan
untuk ujian PAMJAKI, akhirnya PAMJAKI berhasil menyelesaikan 3 (tiga) buku dasar
pendidikan profesi ahli asuransi kesehatan, yang diantaranya adalah Asuransi Kesehatan
Nasional ini.
Sumber utama penulisan buku ini masih diambil dari buku Asuransi Kesehatan di
Indonesia yang diterbitkan oleh Pusat Kajian Ekonomi Kesehatan FKM UI. Namun
demikian, untuk memperkaya pembahasan buku ini penulis mengisi bahasan dengan
perkembangan asuransi kesehatan di Indonesia dalam bab-bab berikut: Introduksi
Asuransi Kesehatan, Asuransi Kesehatan PNS, JPK Jamsostek, Asuransi Komersial,
Asuransi Kesehatan Nasional : Contoh dan Masa Depannya di Indonesia, Sistem
Pembayaran Fasilitas Kesehatan dan Asuransi Kesehatan Nasional Dalam Sistem
Jaminan Sosial Nasional.
Kami berharap buku ini dapat memudahkan calon peserta ujian dalam mempersiapkan
diri menghadapi ujian PAMJAKI untuk memperoleh pengakuan sebagai profesional,
baik sebagai Ajun Ahli Asuransi Kesehatan ataupun Ahli Asuransi Kesehatan.
Diharapkan buku ini bermanfaat pula bagi para mahasiswa di bidang kesehatan ataupun
praktisi asuransi dalam mencari bahan-bahan rujukan yang terkait dengan asuransi
kesehatan.
Akhir kata, untuk meningkatkan kualitas pembelajaran dimasa depan PAMJAKI
mengundang para pembaca untuk memberikan kritik dan saran bagi penyempurnaan
buku ini. Kritik dan saran dapat disampaikan melalui sekretariat@pamjaki.org.
Selamat belajar, semoga sukses!
Oktober 2005
PAMJAKI
DAFTAR ISI
Kata Pengantar ....................................................................................................i
Daftar Isi ..................................................................................................................ii
Bab 1
Introduksi Asuransi Kesehatan .......................................................................................1
Bab 2
Asuransi Kesehatan Pegawai Negeri Sipil ......................................................................40
Bab 3
JPK Jamsostek ................................................................................................................55
Bab 4
Asuransi Kesehatan Komersial di Indonesia ..................................................................67
Bab 5
Asuransi Kesehatan Nasional : Contoh dan Masa Depannya di Indonesia ....................92
Bab 6
Sistem Pembayaran Fasilitas Kesehatan .........................................................................118
Bab 7
Asuransi Kesehatan Nasional Dalam Sistem Jaminan Sosial Nasional ..........................135
ii
BAB I
Introduksi Asuransi Kesehatan
1.1. Pendahuluan
Pemahaman tentang asuransi kesehatan di Indonesia masih sangat beragam. Dahulu
banyak yang menganggap bahwa JPKM adalah bukan asuransi kesehatan, apalagi asuransi
kesehatan komersial; kemudian JPKM dianggap sebagai asuransi sosial karena dijual
umumnya kepada masyarakat miskin di daerah-daerah. Asuransi kesehatan sosial (social
health insurance) adalah suatu mekanisme pendanaan pelayanan kesehatan yang semakin
banyak digunakan di seluruh dunia karena kehandalan sistem ini dalam menjamin kebutuhan
kesehatan rakyat suatu negara. Namun di Indonesia pemahaman tentang asuransi kesehatan
sosial masih sangat rendah karena sejak lama kita hanya mendapatkan informasi yang bias
tentang asuransi kesehatan yang didominasi dari Amerika yang didominasi oleh asuransi
kesehatan komersial. Literatur yang mengupas asuransi kesehatan sosial juga sangat terbatas.
Kebanyakan dosen maupun mahasiswa di bidang kesehatan tidak memahami asuransi sosial.
Pola pikir (mind set) kebanyakan sarjana kita sudah diarahkan kepada segala sesuatu yang
bersifat komersial, termasuk dalam pelayanan rumah sakit. Sehingga, begitu ada kata
sosial, seperti dalam asuransi sosial dan fungsi sosial rumah sakit maka hal itu hampir
selalu difahami dengan pelayanan atau program untuk orang miskin. Sesungguhnya asuransi
sosial bukanlah asuransi untuk orang miskin. Fungsi sosial bukanlah fungsi orang miskin. Ini
merupakan kekeliruan besar yang sudah mendarah daging di Indonesia yang menghambat
pembangunan kesehatan yang berkeadilan sesuai amanat UUD45. Bahkan konsep Undangundang Kesehatan yang dikeluarkan tahun 1992 (UU nomor 23/1992) jelas-jelas
memerintahkan Pemerintah dan mendorong pengembangan Jaminan Pemeliharaan
Kesehatan Masyarakat (JPKM) yang diambil dari konsep HMO (Health Maintenance
Organization) yang merupakan salah satu bentuk asuransi komersial kesehatan. Para
pengembang JPKM di Depkes-pun, tidak banyak yang memahami bahwa HMO dan JPKM
sesungguhnya asuransi komersial yang tidak sesuai dengan tujuan dan cita-cita bangsa
mewujudkan sistem kesehatan yang berkeadilan (egaliter). Akibatnya, asuransi kesehatan
sosial di Indonesia tidak berkembang baik sampai tahun 2005 ini. Selain Indonesia, negaranegara di Asia pada umumnya memang tertinggal dalam pengembangan asuransi kesehatan
sosial.
Pada tanggal 7-9 Maret 2005, WHO kantor regional Asia-Pasifik, Asia Tenggara, dan
Timur Tengah berkumpul di Manila untuk menggariskan kebijakan dan pedoman
pengembangan asuransi kesehatan sosial di wilayah Asia-Pasifik dan Timur Tengah.
Berbagai ahli dalam bidang asuransi kesehatan atau pendanaan kesehatan diundang untuk
perumusan tersebut. Karena variasi sistem pendanaan di Asia yang ada sekarang ini,
disepakati tujuan yang lebih luas dari pengembangan asuransi kesehatan sosial yaitu
mewujudkan akses universal kepada pelayanan kesehatan. Selain asuransi kesehatan sosial,
sistem pendanaan melalui pajak (National Health Service) dengan menyediakan pelayanan
H.Thabrany
kesehatan secara gratis atau hampir gratis kepada seluruh penduduk, seperti yang dilakukan
Malaysia, Sri Lanka, dan Muangtai juga mampu menyediakan akses universal tersebut.
Dalam bab ini kita akan memusatkan pembahasan kita pada pemahaman tentang asuransi dan
asuransi kesehatan sosial. Karena luasnya masalah asuransi kesehatan sosial, bab ini hanya
membahas garis-garis besar asuransi kesehatan sosial. Pembaca yang ingin mengetahui lebih
dalam tentang praktek-praktek asuransi kesehatan sosial dapat membaca buku lain atau
mengikuti ujian asuransi kesehatan yang diselenggarakan oleh PAMJAKI (Perhimpunan Ahli
Manajemen Jaminan dan Asuransi Kesehatan Indonesia)
H.Thabrany
Secara statistik dapat dihitung bahwa setiap orang memiliki probabilitas 0,003 (yaitu
3.000 orang dibagi 1.000.000 penduduk) untuk masuk rumah sakit. Jika rata-rata tagihan
rumah sakit untuk tiap perawatan adalah sebesar Rp 1 juta, maka setiap tahun dibutuhkan
dana sebesar 3.000 (orang) x Rp 1 juta atau sama dengan Rp 3 milyar. Walikota setempat
cukup cermat mengamati masalah ini. Dia bilang, dari pada setiap orang was-was
memikirkan biaya perawatan setiap jika ia atau keluarganya sakit, atau setiap hari kita
mencari sumbangan untuk mereka yang tidak mampu membayaryang bisa jadi juga diri
kita, mengapa tidak semua orang membayar saja sama rata. Nanti saya yang atur, ujarnya.
Jika kebutuhan biaya Rp 3 milyar dibagi rata kepada satu juta penduduk, maka tiap kepala
cukup membayar Rp 3.000 setahun (Rp 3 milyar dibagi 1.000.000 penduduk). Bukankah
membayar Rp 3.000 per orang per tahun merupakan beban ringan! Tukang becakpun
sanggup mengiur sebesar itu. Setelah dana Rp 3 milyar terkumpul, tidak ada lagi penduduk
yang kesulitan membayar tagihan rumah sakit. Jika ada yang sakit, yang kaya atau yang
miskin, tidak perlu lagi memikirkan biaya perawatan. Walikota akan mengambil dana dari
pot (pool) yang terkumpul dan membayarkannya ke rumah sakit. Beres? Teorinya begitu.
Dalam praktek, tidak semudah itu. Sebab, selalu saja ada orang yang tidak mau bayar iuran
meskipun hanya Rp 3.000 per orang per tahun. Bagaimana dengan biaya administrasi?
Bagaimana jika terjadi peningkatan biaya pelayanan? Dan masih banyak lagi yang menjadi
masalah. Masalah-masalah selanjutnya itulah yang dibahas dalam buku ini.
Dari ilustrasi diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa asuransi adalah suatu
mekanisme gotong royong yang dikelola secara formal dengan hak dan kewajiban yang
disepakati secara jelas. Dengan masing-masing penduduk membayar atau mengiur Rp 3.000
per tahun, siapa saja yang perlu perawatan akan dibiayai dari dana yang terkumpul. Dalam
istilah asuransi, kegotong-royongan ini disebut juga risk sharing. Dari segi dana yang
terkumpul (pool), maka asuransi juga dapat disebut sebagai suatu mekanisme risk pooling.
Dana dari masing-masing penduduk dikumpulkan untuk kepentingan bersama. Oleh
karenanya, asuransi dapat juga disebut suatu mekanisme hibah bersama. Dana yang
terkumpul merupakan hibah dari masing-masing penduduk yang akan digunakan untuk
kepentingan bersama. Dengan demikian iuran atau premi yang telah dibayar dari masingmasing anggota, jelas bukan tabungan dan karenanya tiap-tiap anggota tidak berhak meminta
kembali dana yang sudah dibayarkan atau diiurkan, meskipun ia tidak pernah sakit dan
karenanya tidak pernah menggunakan dana itu.
H.Thabrany
memiliki istilah asal atau akar kata tentang risiko. Sebab risiko diterjemahkan dari bahasa
Inggris risk. Akan tetapi kalau kita pelajari benar, sesungguhnya risk berkaitan dengan
bahasa Arab rizk yang kita terjemahkan dalam bahasa Indonesia menjadi rejeki. Keduanya
mempunyai aspek ketidak-pastian, terkait takdir. Risiko bersifat tidak pasti (uncertain),
demikian juga rejeki. Keduanya di Indonesia dikaitkan erat dengan takdir. Asuransi
sesungguhnya merupakan suatu cara mengelola risiko.
Dalam buku Asuransi Kesehatan di Indonesia, Thabrany (2001)1 telah membahas
dasar-dasar asuransi kesehatan. Dalam bab ini, dasar-dasar tersebut disajikan kembali dengan
modifikasi yang lebih mudah difahami mahasiswa. Umumnya kita tidak memperdalam katakata risiko atau resiko. Seseorang sering berbicara bahwa untuk melakukan suatu tindakan
ada risikonya, biasanya kita mengerti apa yang dimaksudkan. Ada bahayanya. Seberapa
besar bahaya tersebut, tidaklah diketahui dimuka oleh siapapun. Kita hanya bisa mengirangira probabilitas kejadiannya dan besarnya (berat-ringannya) risiko tersebut. Disini ada
ketidakpastian (uncertainty) tentang terjadinya dan besarnya risiko tersebut. Biasanya yang
disebut risiko mempunyai konotasi negatif yaitu umumnya orang mengartikan risiko sebagai
sesuatu yang dapat mencelakakan atau merugikan diri, sesuatu yang tidak diharapkan.
Sebenarnya, dalam pengertian ketidakpastian, ada juga risiko keberuntungan. Dalam konteks
ini, kata keberuntungan itupun merupakan suatu risiko, yaitu risiko positif, risiko yang
diharapkan, yang kita bedakan sebagai resiko. Tetapi yang menjadi fokus perhatian dunia
asuransi adalah risiko dalam kaitannya dengan kerugian baik berupa materiil maupun berupa
kehilangan kesempatan berproduksi seperti terkena suatu penyakit berat. Kata rejeki
mengandung ketidak-pastian juga, sebab dalam kepercayaan kebanyakan orang Indonesia,
rejeki setiap orang sudah ditetapkan oleh Tuhan akan tetapi kita tidak pernah tahu berapa
banyak akan kita peroleh dan kapan akan kita peroleh. Cuma saja, rejeki mempunyai
konotasi positif. Jadi rejeki adalah suatu ketidak-pastian yang diharapkan. Sedangkan risiko
merupakan ketidak-pastian yang tidak diharapkan. Oleh karenanya, asuransi bukanlah suatu
mekanisme untuk untung-untungan, untuk mendapatkan rejeki.
Dalam setiap langkah kehidupan kita, selalu saja ada risiko yang menyertai kehidupan
kita, baik yang kecil seperti terjatuh karena suatu kerikil sampai yang besar seperti
kecelakaan lalu lintas yang dapat menimbulkan kematian. Beruntung bahwa Tuhan telah
memberikan sifat alamiah manusia yang selalu menghindarkan diri dari berbagai risiko.
Setiap orang mempunyai cara tersendiri untuk menghindarkan dirinya dari berbagai risiko.
Secara umum, cara-cara menghindarkan diri dari berbagai risiko hidup dapat dikelompokan
menjadi empat kelompok besar yang akan dibahas di bawah ini.
H.Thabrany
menghindari terjadinya risiko terkena penyakit paru atau jantung tersebut adalah
menghindari bahan-bahan karsinogen (yang menyebabkan kanker) yang terkandung
dalam rokok. Kalau kita tidak ingin mendapat kecelakaan pesawat terbang, jangan
pernah naik pesawat terbang. Banyak orang melakukan teknik manajemen ini untuk
risiko besar yang mudah tampak. Seseorang akan menghindari naik gunung yang
terjal tanpa alat pengaman, karena risiko jatuh ke jurang tampak dengan mata
telanjang. Tetapi banyak orang tidak menyadari kalau risiko besar itu tidak tampak
sekarang atau risiko itu baru terjadi 20-30 tahun mendatang seperti risiko merokok.
Disinilah perlunya upaya penyadaran masyarakat tentang berbagai risiko kehidupan.
Karena tidak semua orang mampu melihat atau merasakan berbagai risiko kehidupan
atau kalaupun seseorang mampu mengenali risikobelum tentu ia mampu
menghindarinya, maka mekanisme menghindarkan risiko saja tidak cukup untuk
melindungi diri dari risiko yang begitu banyak dalam kehidupan ini.
2. Mengurangi risiko (risk reduction). Karena berbagai alasan, kita tidak bisa
menghindari sama sekali dari kemungkinan terjadinya suatu risiko pada diri kita, kita
dapat mengurangi akibat risiko yang terjadi pada diri kita. Contohnya, kita membuat
jembatan penyeberangan atau lampu khusus penyeberangan untuk mengurangi
jumlah orang yang menderita kecelakaan lalu lintas. Dengan demikian, pengemudi
kendaraan akan berhati-hati. Atau jika ada jembatan penyeberangan, maka risiko
tertabrak mobil akan menjadi lebih kecil, tetapi tidak meniadakan sama sekali.
Seorang pengendara sepeda motor diwajibkan memakai helm karena tidak ada satu
orangpun yang bisa seratus persen terhindar dari kecelekaan berkendara sepeda
motor. Jika helm digunakan, maka beratnya risiko (severity of risk) dapat dikurangi,
sehingga seseorang dapat terhindar dari kematian atau gegar otak yang memerlukan
biaya perawatan sangat besar. Perawatan intensif selama 7 (tujuh) hari di rumah sakit
bagi penderita gegar otak di tahun 2005 ini dapat mencapai lebih dari Rp 20 juta.
Tetapi, bagi kebanyakan pengendara sepeda motor, yang belum pernah menyaksikan
betapa dahsyatnya akibat gegar otak dan berapa mahalnya biaya perawatan akibat
gegar otak, tidak menyadari hal itu. Kalaupun mereka mengenakan helm, seringkali
sekedar untuk menghindari dari terkena penalti akibat pelanggaran (tilang) peraturan
lalu lintas oleh polisi yang sesungguhnya merupakan risiko kecil (yang hanya sebesar
ratusan ribu rupiah saja). Imunisasi terhadap penyakit hepatitis (radang hati), yang
dapat berkembang menjadi kanker hati yang perlu biaya mahal dalam perawatan atau
dapat mematikan pada usia muda, merupakan suatu upaya pengurangan risiko.
Karena prilaku manusia yang tidak selalu menyadari risiko besar itu, maka
mekanisme menurunkan risiko saja tidak memadai. Imunisasi hepatitis tidak
menjamin seratus persen bahwa setiap orang yang telah diimunisasi pasti tidak
terkena kanker hati. Masih perlu mekanisme manajemen risiko lain.
3. Memindahkan risiko (risk transfer). Karena sebaik apapun upaya mengurangi
risiko yang telah kita lakukan tidak menjamin 100% bahwa kita akan terbebas dari
segala risiko, maka kita dapat melindungi diri kita dengan tameng lapis ketiga dari
manajemen risiko yaitu mentransfer risiko diri kita ke pihak lain. Kita dapat
memindahkan seluruh atau sebagian risiko kepada pihak lain (yang dapat berupa
perusahaan asuransi, badan penyelenggara jaminan sosial, pemerintah, atau apapun
H.Thabrany
nama badan tersebut) dengan membayar sejumlah premi atau iuran, baik dalam
jumlah nominal tertentu maupun dalam jumlah relatif berupa prosentase dari gaji atau
harga pembelian (transaksi). Dengan teknik manajemen risiko ini, risiko yang
ditransfer hanyalah risiko finansial, bukan risiko secara keseluruhan. Ada sebagian
risiko yang tidak bisa ditransfer, misalnya rasa sakit. Ini merupakan prinsip yang
sangat fundamental di dalam asuransi. Kebanyakan orang tidak menyadari bahwa
setiap saat sesungguhnya ada risiko kematian dan sesungguhnya risiko kematian itu
(yang menimbulkan risiko ketiadaan dana bagi ahli warisnya untuk hidup sehari-hari
atau untuk membiayai pendidikan anak) dapat ditransfer dengan membeli asuransi
jiwa. Itulah sebabnya, kebanyakan orang di negara berkembang tidak membeli
asuransi jiwa, karena banyak orang tidak melihat kematian sebagai suatu risiko
finansial bagi ahli warisnya.
4. Mengambil risiko (risk asumption). Jika risiko tidak bisa dihindari, tidak bisa
dikurangi, dan tidak memadai atau tidak sanggup ditransfer, maka alternatif terakhir
adalah mengambil atau menerima risiko (sebagai takdir).
Tidak semua orang bersikap rasional dengan menerapkan prinsip-prinsip manajemen
risiko tersebut diatas. Ada orang yang tidak perduli dengan risiko yang dihadapinya, dia
ambil atau terima suatu risiko apa adanya. Orang yang berprilaku demikian disebut
pengambil risiko (risk taker). Apabila semua orang bersikap sebagai pengambil risiko, maka
usaha asuransi tidak akan pernah terjadi. Sebaliknya, jika seseorang bersikap sebagai
penghindari risiko (risk averter) maka ia menghindari, mengurangi, atau mentransfer risiko
yang mungkin terjadi pada dirinya. Apabila banyak orang bersikap menghindari risiko, maka
demand terhadap usaha asuransi akan tumbuh.
H.Thabrany
perusahaan merugi. Suatu risiko yang timbul akibat suatu tindakan kesengajaan
karena ingin mendapatkan santunan asuransi misalnya, maka risiko yang timbul tidak
dapat diasuransikan. Contoh, seseorang mempunyai asuransi kematian yang
besarannyakatakanlah satu milyar rupiahdapat saja dibunuh oleh ahli warisnya
guna mendapatkan manfaat/jaminan asuransi sebesar satu milyar rupiah. Kematian
yang disebabkan karena kesengajaan seperti itu tidak dapat ditanggung. Seseorang
yang sengaja mencoba bunuh diri dengan meminum racun serangga dan gagal
sehingga perlu perawatan di rumah sakit tidak berhak atas jaminan perawatan, karena
risiko sakitnya bukanlah risiko murni. Sakit kanker, yang membutuhkan perawatan
yang lama dan mahal, tidak pernah diharapakan oleh si penderita dan karenanya
penyakit kanker merupakan risiko murni yang dapat diasuransikan atau dijamin oleh
asuransi.
2. Risiko haruslah definitif. Pengertian definitif artinya bahwa risiko dapat dengan
pasti ditentukan kejadiannya dan difahami bersama tentang terjadi atau tidak terjadi.
Risiko sakit dan kematian ditetapkan dengan surat keterangan dokter. Risiko
kecelakaan lalu lintas ditetapkan dengan surat keterangan polisi. Risiko kebakaran
ditetapkan dengan berita acara dan bukti-bukti lain seperti foto kejadian.
3. Risiko haruslah bersifat statis. Suatu risiko dapat bersifat statis, artinya probabilitas
kejadiannya relatif statis atau konstan tanpa dipengaruhi perubahan politik dan
ekonomi suatu negara. Sebaliknya suatu risiko bisnis bersifat dinamis yaitu sangat
dipengaruhi stabilitas politik dan ekonomi. Tentu saja, risiko yang benar-benar statis
dalam jangka panjang tidak banyak. Risiko seseorang terserang kanker atau gagal
jantung akan relatif statis, tidak dipengaruhi keadaan ekonomi dan politik. Dalam
jangka panjang tentu saja risiko serangan jantung juga dipengaruhi keadaan ekonomi.
Di negara maju, yang relatif kaya dan pola makan enak yang mengandung banyak
lemak relatif tinggi, maka probabilits terkena serangan jantung lebih tinggi
dibandingkan dengan risiko serangan jantung di negara miskin.
4. Risiko berdampak finansial. Suatu risiko dapat mempunyai dampak finansial
maupun tidak. Risiko yang dapat diasuransikan, karena transfer risiko dilakukan
dengan membayar premi atau kontribusi, haruslah yang berdampak finansial. Suatu
kecelakaan diri misalnya mempunyai dampak finansial berupa biaya prawatan dan
atau kehilangan kesempatan untuk mendapatkan penghasilan. Selain berdampak
finansial, suatu kecelakaan juga menimbulkan rasa nyeri dan jika kecelakaan tersebut
menimbulkan kematian atau kecacatan, maka risiko tersebut menimbulkan beban
psikologis yang besar. Tentu saja yang dapat diasuransikan hanyalah risiko yang
bersifat finansial berupa biaya perawatan, kehilangan jiwa atau kecacatan yang
berdampak pada kehilangan penghasilan. Maka asuransi dapat menawarkan
penggantian biaya pengobatan dan perawatan (baik dengan uang atau pelayanan)
maupun uang tunai sebagai pengganti kehilangan penghasilan yang hilang akibat
kematian atau kecacatan.
5. Risiko haruslah measurable atau quantifiable. adalah syarat di mana besarnya
kerugian finansial akibat risiko tersebut dapat diketahui dengan tingkat akurasi yang
H.Thabrany
tinggi. Kalau seorang sakit, harus jelas diketahui bahwa orang itu menderita sakit
sewaktu berada di Bogor, dirawat di suatu rumah sakit di Bogor, dan membutuhkan
biaya perawatan sebesarkatakanlah Rp 20 juta. Besaran biaya perawatan tersebut
merupakan syarat dimana suatu skema asuransi dapat berjalan. Rasa sakit sangat sulit
diukur, meskipun kita punya berbagai instrumen, karena rasa sakit sangat subyektif
sifatnya. Itulah syarat yang diperlukan sehingga baik pemegang polis (peserta)
maupun
asuradur
dapat
mempunyai
kesepakatan
suatu
kontrak
pertanggungan/jaminan. Dalam hal asuransi jiwa, kita sangat sulit mengukur berapa
besar kerugian finansial akibat suatu kematian. Dalam hal ini, maka biasanya
asuradur menawarkan jumlah tertentu yang akan dipilih pemegang polis/peserta
untuk disepakati sebagai jumlah yang akan diasuransikan. Pilihan jumlah tertentu ini
disebut quantifiable (dapat ditetapkan jumlahnya) sehingga dapat dihitung premi
yang harus dibayarkan.
6. Ukuran risiko haruslah besar (large). Ukuran risiko (severity) memang relatif dan
dapat berbeda dari satu tempat ke tempat lain dan dari satu waktu ke waktu lain.
Risiko biaya rawat inap sebesar Rp 5 juta bisa dinilai besar oleh yang berpenghasilan
rendah akan tetapi dinilai kecil oleh yang berpenghasilan diatas Rp 50 juta sebulan.
Sebuah sistem asuransi harus secara cermat menilai risiko mana yang akan
diasuransikan. Dalam asuransi kesehatan, kecenderungan di dunia adalah menjamin
pelayanan kesehatan secara komprehensif karena ada kaitan antara risiko yang
besaran rupiahnya kecil, misalnya pengobatan dokter untuk gejala demam, karena
jika tidak dijamin bisa jadi gejala tersebut merupakan suatu kasus demam berdarah
yang mematikan yang memerlukan biaya perawatan yang mahal. Jadi menjamin
pelayanan kesehatan komprehensif merupakan kombinasi penurunan risiko (risk
reduction) dan transfer risiko. Suatu skema asuransi yang hanya menanggung risiko
yang kecil, misalnya hanya pengobatan di puskesmasseperti yang dulu
dipraktekkan dengan skema dana sehat atau JPKM, tidak memenuhi syarat asuransi.
Oleh karena itu, dimanapun di dunia, model asuransi mikro seperti itu tidak memiliki
sustainabilitas (kesinambungan) jangka panjang. Umumnya skema semacam itu
berusia pendek dan tidak menjadi besar.
Selain persyaratan sifat atau jenis risiko diatas, ada beberapa persyaratan yang terkait
dengan teknis asuransi dan kelayakan suatu risiko diasuransikan. Yang dimaksud dengan
kelayakan disini adalah khususnya kelayakan dalam aspek ekonomis. Suatu produk asuransi
yang preminya terlalu mahal tidak bisa dijual atau tidak menarik bagi masyarakat untuk ikut
asuransi tersebut. Harga premi atau besaran iuran yang menghabiskan 30% penghasilan
seseorang untuk premi atau iuran asuransi tidak layak untuk dikembangkan. Persyaratan
teknis asuransi adalah besarnya probabilitas kejadian, besarnya populasi yang terkena risiko
suatu kejadian, dan besarnya pool.
1. Probabilitas suatu kejadian risiko relatif kecil. Ukuran probabilitas besar dan kecil
juga relatif. Akan tetapi suatu kejadian yang lebih dari 50% kemungkinan terjadinya
(dalam bahasa statistik disebut probabilitas >0,5) akan menyebabkan biaya premi
menjadi besar dan tidak menarik untuk diasuransikan. Kejadian gagal ginjal yang
membutuhkan hemodialisa atau cuci darah seminggu dua kali mempunyai
H.Thabrany
probabilitas sangat kecil, yaitu kurang dari satu kejadian per 1.000 orang (p < 0,001).
Demikian juga kejadian kecelakaan pesawat terbang jauh lebih kecil lagi yaitu
umumnya kurang dari satu per 100.000 penerbangan. Probabilitas yang kecil
menghasilkan besaran premi atau iuran yang juga kecil.
2. Kerugian tidaklah boleh mengenai sejumlah penduduk/peserta yang besar jumlahnya
atau katastrofik (catastrophic) bagi asuradur. Pengertian katastrofik dapat berarti
unitnya yang besar artinya banyak orang yang terkena kerugian pada saat yang
bersamaan. Contohnya, kerugian yang terjadi akibat perang atau bencana alam besar
seperti Tsunami di Aceh yang mengenai penduduk yang banyak dengan besarnya
kerugian mencapai triliunan rupiah tidak dijamin oleh asuransi karena praktis suatu
usaha asuransi akan bangkrut. Suatu penyakit yang menjadi wabah, mengenai banyak
orang, tidak dijamin asuransi akan tetapi dijamin pemerintah melalui suatu undangundang wabah. Perusahaan asuransi tidak menanggung, atau mengecualikan dari
jaminan (exception), segala bentuk perawatan rumah sakit atau dokter sebagai akibat
bencana alam besar, peperangan ataupun suatu wabah. Katastropik juga dapat berarti
besarnya risiko yang terlalu besar atau terlalu mahal. Dalam bidang kesehatan, biaya
perawatan di ruang intensif yang lebih dari satu tahun pasti membutuhkan biaya yang
bisa mencapai milyaran rupiah. Besarnya biaya medis katastropik bervariasi sesuai
dengan kemampuan ekonomi suatu negara. WHO memberikan definisi biaya medis
katastropik bagi rumah tangga jika biaya pengobatan atau perawatan menghabiskan
lebih dari 40% penghasilan rumah tangga (WHO, 2000).2 Akan tetapi biaya medis
yang bersifat katastropik bagi rumah tangga ini justeru merupakan suatu persyaratan
untuk diasuransikan. Dalam buku-buku teks asuransi kesehatan, biaya perawatan
yang mahal sering disebut kasus-kasus major medicals (biaya medis mahal).
3. Harus ada sejumlah penduduk atau masyarakat yang homogen yang cukup besar yang
akan terkena risiko yang ikut serta dalam suatu skema asuransi. Maksudnya adalah
jika suatu asuransi diikuti oleh hanya sepuluh orang saja sedangkan risiko yang
timbul dapat bervariasi dari--katakanlah seribu rupiah sampai satu milyar rupiah,
maka iuran atau peremi dari peserta asuransi yang sepuluh orang ini tidak dapat
menutupi kebutuhan dana apabila risiko yang diasuransikan terjadi. Risiko yang
diperoleh dari sepuluh orang tersebut tidak bisa dijadikan patokan untuk menghitung
besarnya risiko yang akan timbul. Semakin besar suatu peserta semakin tinggi tingkat
akurasi prediksi biaya yang dibutuhkan untuk menjamin risiko. Dengan demikian,
akan semakin kuat kemampuan finansial sebuah perusahaan asuransi. Persyaratan
besarnya jumlah peserta atau pemegang polis merupakan suatu aplikasi hukum
matematik yang disebut hukum angka besar (the law of the large number). Hukum ini
menyebabkan semakin banyak usaha asuransi yang melakukan merjer (bergabung)
agar lebih kuat bersaing atau lebih mampu mengendalikan biaya atau mempunyai
tingkat efisiensi yang tinggi. Program asuransi kesehatan sosial selalu memenuhi
hukum angka besar ini karena sifatnya yang wajib. Sebaliknya usaha asuransi
kesehatan komersial seringkali bangkrut karena tidak mampu memiliki jumlah
peserta atau pemegang polis yang cukup besar.
H.Thabrany
Premi
Asuradur
Peserta
Manfaat
Uang/pelayanan
Dari ilustrasi diatas dapat dilihat bahwa ada dua elemen utama terselenggaranya
asuransi yaitu ada pembayaran premi/ iuran dan ada benefit/ manfaat. Kedua elemen inilah
yang mengikat kedua pihak (para pihak): peserta dan asuradur. Pada hakikatnya dalam
asuransi, secara umum, para pihak memiliki hak dan kewajiban sebagaimana layaknya
Introduksi Asuransi Kesehatan
10
H.Thabrany
11
H.Thabrany
tidak memenuhi kewajibannya, tidak membayar premi, ia tidak dapat dituntut. Akan tetapi
haknya otomatis hilang atau kontrak otomatis terputus (yang dalam istilah asuransi komersial
disebut lapse). Kontrak unilateral ini merupakan padanan (offset) dari sifat kondisional
dimana kewajiban membayar manfaat asuransi tidak selalu harus dilakukan oleh asuradur.
Kontrak Aleatory. Kontrak pada umumnya mempunyai keseimbangan nilai tukar
(economic value) antara kewajiban dan hak bagi pihak pertama maupun pihak kedua. Salah
satu pihak dapat (sah) menerima nilai yang jauh lebih besar dari kewajiban yang
dibayarkannya, tanpa ada hitungan hutang atau dapat digugat untuk membayar selisih nilai
tukar. Sebagai contoh, seseorang yang menjadi peserta asuransi kesehatan membayar premi
sebesar Rp 250.000 tiap bulan. Baru saja empat bulan ia membayar premi (total premi yang
dibayar menjadi 4 x Rp 250.000 atau sama dengan Rp 1 juta), ia terkena serangan jantung
dan memerlukan pembedahan yang memakan biaya (nilai tukar) Rp 150 juta yang dalam
kontrak asuransi tersebut memang pembedahan jantung ditanggung penuh. Maka peserta ini
berhak menerima operasi jantung tanpa ada kewajiban membayar selisih biaya bedah jantung
dengan premi yang telah dibayarnya. Sebab, tanpa kontrak aleatori, sesungguhnya peserta
tersebut baru membayar sebesar Rp 1 juta sedangkan ia sudah menerima Rp 150 juta. Dalam
kontrak asuransi, peserta tersebut tidak berhutang Rp 149 juta. Jika saja ia berhenti menjadi
peserta setelah itu, dengan tidak membayar premi lagi misalnya, maka ia tidak dapat dituntut
untuk melunasi selisih biaya yang besarnya Rp 149 juta. Sebaliknya, seorang peserta atau
pemegang polis bisa saja telah membayar premi sebesar Rp 250.000 sebulan untuk masa 10
tahun (atau sama dengan 10 tahun x 12 bulan x Rp 250.000 = Rp 30 juta, tanpa hitungan
bunga) akan tetapi ia tidak pernah sakit dan karenanya tidak pernah mengklaim manfaat
asuransi. Maka ia tidak berhak sama sekali atas manfaat asuransi (menerima hak senilai Rp 0
rupiah). Sedangkan asuradur telah menerima Rp 30 juta (plus bunga) tanpa kewajiban
membayar apapun kepada tertanggung.
Kontrak Adhesi. Dalam ikatan kontrak pada umumnya kedua belah pihak
mempunyai informasi yang relatif seimbang tentang nilai tukar dan kualitas barang atau jasa.
Dalam kontrak asuransi, pihak peserta atau pemegang polis--khususnya dalam asuransi
individual, tidak memiliki informasi yang seimbang dengan informasi yang dimiliki
asuradur. Asuradur tahu lebih banyak tentang besarnya probabilitas sakit dan biaya-biaya
pengobatan yang terkait sementara pihak peserta tidak mampu mengetahuinya dengan baik.
Akibatnya, sulit bagi peserta untuk menilai apakah premi yang dikenakan murah, wajar, atau
terlalu mahal. Dalam kata lain, peserta dalam posisi yang lemah (ignorance). Itulah
sebabnya, dalam industri asuransi dimanapun di dunia, pemerintah selalu mengatur dan
mengawasi dengan ketat berbagai aspek penyelenggaraan asuransi baik dalam hal paket
jaminan, isi dan bahasa polis, bahkan besarnya huruf dalam polis, dan berbagai persyaratan
asuradur yang menjamin peserta akan menerima haknya, jika obyek asuransi terjadi. Dalam
dunia asuransi, kontrak semacam ini sering disebut sebagai kontrak take it or leave it.
12
H.Thabrany
13
H.Thabrany
terpusat oleh satu badan penyelenggara pemerintah? Monopolikah itu namanya? Bukankah
kini jamannya privatisasi? Mengapa tidak dilepaskan kepada mekanisme pasar karena pasar
begitu kuat dan mampu mengatasi berbagai masalah? Bukankah kini jamannya otonomi
daerah sehingga seharusnya daerah diberi kewenangan mengurus masing-masing.
Pertanyaan-pertanyaan semacam itu kerap kali muncul sewaktu saya presentasi di berbagai
kesempatan dan daerah.
Di atas sudah dijelaskan bahwa pelayanan kesehatan memiliki ciri uncertainty dan
akses terhadap pelayanan kesehatan merupakan hak asasi setiap penduduk. Deklarasi PBB
tahun 1948 telah jelas menyebutkan bahwa setiap penduduk berhak atas jaminan kesehatan
manakala ia sakit. Apakah setiap orang memiliki visi dan kesadaran akan risiko yang
dihadapinya di kemudian hari? Meskipun banyak orang menyadari akan risiko dirinya, pada
umumnya kita tidak mempunyai kemauan dan kemampuan yang memadai untuk mencukupi
kebutuhan menutup risiko sakit yang terjadi di masa depan. Orang-orang muda akan ambil
risiko, risk taker, terhadap masa depannya karena pengalamannya menunjukkan bahwa
mereka jarang sakit. Ancaman sakit 10-20 tahun ke depan dinilainya terlalu jauh untuk
dipikirkan sekarang. Pada umumnya mereka tidak akan membeli, secara sukarela dan sadar,
asuransi untuk masa jauh ke depan tersebut meskipun mereka mampu membeli. Sebaliknya,
orang-tua dan sebagian orang yang punya penyakit kronis, bersedia membeli asuransi karena
pengalamannya membayar biaya berobat yang mahal. Namun penghasilan mereka sudah
jauh berkurang. Meskipun penghasilannya cukup, biaya pengobatan sudah jauh lebih besar
dari penghasilanya. Orang-orang seperti ini mau membeli asuransi, akan tetapi jika hanya
orang-orang tersebut yang mau membeli, perusahaan asuransi/bapel akan menarik premi
sangat besar untuk menutupi biaya berobat yang tinggi. Atau mereka tidak bersedia
menjamin orang-orang yang risikonya sub standar (diatas rata-rata). Akibatnya mereka tidak
bisa dijamin. Jika orang-orang yang sudah sakit-sakitan tersebut menderita penyakit menular,
penyakitnya tidak bisa disembuhkan. Penyakit menular yang tidak dapat disembuhkan,
karena tidak sanggup berobat dan tidak ada perusahaan asuransi/ bapel yang mau
menjaminnya, akan mengancam semua orang disekitarnya, karena penyakitnya dapat
menular kepada orang lain (eksternalitas).
Meskipun mereka tidak menderita penyakit menular, jika penyakit mereka sudah
sangat parah, dan mereka tidak mampu membayar, pada akhirnya banyak pihak harus turun
tangan membantu. Inilah prikemanusiaan yang beradab. Tidak ada di dunia manapun dimana
orang-orang seperti itu dibiarkan menderita tanpa bantuan. Jika bantuan diberikan secara
sukarela, jumlahnya seringkali tidak memadai. Ancaman sakit seperti itu dapat terkena siapa
saja, tua maupun muda, kaya maupun miskin. Oleh karena setiap orang suatu ketika akan
dapat menderita seperti itu, maka untuk menjamin semua orang tidak tambah menderita
karena tidak memiliki dana yang memadai, maka perlu diwajibkan untuk berasuransi. Jika
tidak diwajibkan, maka yang sakit-sakitan akan beli asuransi sebagai alat gotong royong atau
solidaritas sosial. Sementara yang sehat dan yang muda merasa tidak perlu dan karenanya
tidak membeli asuransi. Dengan demikian tidak mungkin terselenggara gotong-royong antara
kelompok kaya-miskin dan antara yang sehat dengan yang sakit.
Jadi asuransi sosial bertujuan untuk menjamin semua orang yang memerlukan
pelayanan kesehatan akan mendapatkannya tanpa perduli status ekonomi atau usianya. Inilah
14
H.Thabrany
prinsip keadilan sosial (social equity/social justice) yang menjadi falsafah hidup semua orang
di dunia. Jadi asuransi sosial memiliki fungsi redistribusi hak dan kewajiban antara berbagai
kelompok masyarakat: kayamiskin, sehat-sakit, muda-tua, risiko rendah-risiko tinggi. Inilah
hakikat peradaban manusia yang dapat diwujudkan dengan penyelenggaraan asuransi sosial.
Oleh karenanya, tidak ada satu negarapun di dunia-- baik itu negara liberal seperti Amerika
maupun negara yang lebih dekat ke sosialis, yang tidak memiliki sistem asuransi sosial atau
jaminan oleh negara langsung. Di Amerika misalnya, semua orangtanpa kecuali, yang
mempunyai penghasilan harus membayar premi Medicare. Medicare adalah program
asuransi sosial kesehatan untuk orang tua/pensiunan (usia 65 tahun keatas) untuk orangorang yang menderita penyakit terminalpenyakit yang tidak bisa sembuh. Setiap yang
berpenghasilan otomatis dipotong sebesar 1,45% penghasilannya untuk premi Medicare yang
jaminannya baru diperoleh jika ia berusia pensiun (65 tahun keatas). Majikannya, pemberi
kerja, wajib juga menambahkan 1,45% gaji yang dibayarkan untuk premi asuransi tersebut.
Jadi jumlahnya 2,9% dari gaji/upah sebulan. Negara-negara Eropa yang lebih kuat ikatan
sosialnya atau negara-negara Asia seperti Jepang, Korea, Taiwan, Filipina, dan Muangtai;
juga menyelenggarakan sistem asuransi sosial. Ada yang digabungkan dengan sistem
jaminan sosial (social security) ada juga negara yang membuat undang-undang asuransi
sosial khusus untuk kesehatan seperti Taiwan, Filipina, Kanada, dan Jerman. Tanpa
diwajibkan, maka tidak semua orang akan ikut serta. Cina yang komunis juga
menyelenggarakan sistem asuransi sosial untuk rakyatnya.
Jadi mewajibkan penduduk ikut serta dalam asuransi sosial bukanlah pemerkosaan
hak akan tetapi justeru untuk pemenuhan hak asasi yang dibiayai secara kolektif. Membayar
pajak adalah suatu kewajiban di negara manapun. Apakah kewajiban membayar pajak
merupakan pelanggaran hak asasi manusia? Kalau ada yang menjawab ya, maka semua
negara di dunia ini melanggar HAM. Mempunyai kartu penduduk atau paspor adalah suatu
kewajiban penduduk, dimanapun dan di negara manapun ia berada. Jadi tidak seperti apa
yang digambarkan oleh sebagian orang bahwa menyelenggarakan asuransi yang bersifat
wajib adalah bertentangan dengan fitrah manusia madani (civilized society). Justeru
masyarakat madani memiliki banyak sekali kewajiban individu terhadap masyarakat secara
kolektif. Inilah bentuk perwujudan kehidupan berbudaya.
Sesuatu yang sifatnya wajib harus diatur oleh yang paling kuasa. Dalam kehidupan
bernegara, yang paling kuasa adalah undang-undang yang dibuat oleh wakil rakyat. Itulah
sebabnya, sebuah asuransi sosial yang memenuhi syarat haruslah diatur berdasarkan undangundang. Di Indonesia, salah satu contoh asuransi sosial yang diatur UU adalah jaminan
pemeliharaan kesehatan dalam Undang-undang No. 3/1992 tentang Jamsostek.
15
H.Thabrany
hidup mewah. Namun untuk asuransi kesehatan, di Indonesia sayangnya banyak memiliki
pemahaman sama yaitu menjamin pelayanan kesehatan dengan biaya murah. Sehingga kasus
berat dan mahal tidak dijamin. Hal ini tidak sesuai dengan prinsip asuransi berat sama
dipikul. Sebab yang menjadi kebutuhan dasar, yang mempertahankan seseorang hidup dan
berproduksi seringkali justeru pelayanan operasi atau perawatan intensif di rumah sakit. Oleh
karenanya, di negara-negara lain, pada umumnya asuransi sosial dimulai dengan manjamin
pelayanan rawat inap, bukan rawat jalan yang murah. Tujuan penyelenggaraan asuransi
sosial ini adalah terpenuhinya kebutuhan penduduk, atau populasi tertentu, yang tanpa
asuransi sosial kemungkinan besar mereka tidak mampu memenuhinya sendiri-sendiri. Atau
jika mereka secara sukarela (komersial) membeli asuransi, mereka tidak sanggup atau tidak
punya disiplin cukup untuk membeli.
Dalam asuransi sosial, premi ditetapkan oleh peraturan yang besarnya umumnya
proporsional terhadap pendapatan/upah. Kombinasi paket jaminan/manfaat asuransi yang
sama dengan premi yang proporsional upah memfasilitasi terjadinya equity egaliter (keadilan
yang merata). Secara singkat equity egaliter berarti you get what you need yang lebih pas
untuk kesehatan. Dalam prinsip equity egaliter dilaksanakan prinsip seseorang harus
mendapatkan pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis yang ada pada dirinya
tetapi membayar sesuai dengan kemampuan ekonomi dirinya. Itulah sebabnya peserta
diharuskan membayar persentase tertentu dari upahnya. Hal ini memungkinkan pemerintah
memenuhi hak asasi pelayanan kesehatan seperti yang termaktub dalam UUD kita pasal 28H.
Hal ini merupakan penjabaran lebih lanjut dari sila keadilan sosial dalam Pancasila. Seluruh
negara maju dan menengah menggunakan prinsip asuransi sosial ini, baik yang terintegrasi
dengan jaminan sosial (social security) lainnya maupun yang dikelola tersendiri.
Contoh equity liberter adalah pelayanan kesehatan yang umumnya berlaku di
Indonesia sekarang ini. Seorang manajer yang sakit tifus masuk rumah sakit dan memilih
perawatan di kelas VIP dengan membayar biaya perawatan per hari Rp 250.000,- plus jasa
dokter, obat, pemeriksaan penunjang medis, dsb. Ia mendapat perawatan dari suster yang
cantik-cantik, dokternya berkunjung paling sedikit sekali dalam sehari (argo dokter jalan
terus), dan mendapat pilihan makanan yang enak. Total biaya perawatan waktu pulang adalah
Rp 5 juta. Adilkah (equitykah)? Tentu adil, sebab dia bayar mahal sehingga ia mendapatkan
pelayanan sesuai dengan yang ia bayar.
Seorang pedagang sayur gendongan menderita sakit tifus dan tidak diterima dirawat
di RS Swasta karena tidak mampu membayar uang muka yang diminta. Dengan menahan
berbagai rasa sakit dan panas di badan, ia harus pergi ke RS pemerintah yang mau
menerimanya tanpa uang muka. Ia kemudian di rawat di kelas IIIB dengan bangsal yang
rame, kamar mandi bersama, kebersihan ruangan dan bau yang kurang nyaman, serta
makanan yang standar. Dokter memeriksanya tiga hari sekali dan perawatnya kurang ramah.
Maklum karena perawat mendapat gaji UMR. Setelah dirawat 10 hari ia pulang dengan
hanya membayar Rp 500.000,-. Adilkah? Cukup adil. Sebab ia hanya mampu membayar
pelayanan yang seperti itu.
Seorang tukang ojek yang menderita tifus tetapi takut ke rumah sakit karena ia sering
mendengar tetangga dan kenalannya yang dirawat di RS menghabiskan ratusan ribu sampai
16
H.Thabrany
jutaan rupiah. Setelah berusaha mengobati sendiri dengan berbagai obat penurun panas tidak
sembuh, akhirnya ia pingsan karena rupanya telah tejadi perforasi (kebocoran) usus.
Akhirnya oleh tetangganya ia di bawa ke rumah sakit dan terpaksa harus masuk perawatan
intensif (ICU) dan pembedahan. Ia beruntung karena diberikan dispensasi untuk membayar
uang muka seadanya. Setelah pulang ia harus membayar Rp 5 juta, yang paling banyak untuk
perawatan intensif selama dua hari yang memakan biaya Rp 3,5 juta. Karena berhutang, ia
harus menjual motornya dan masih meminjam uang dari sanak keluarga untuk melunasi
tagihan rumah sakit tersebut. Ia tidak lagi berfikir darimana mencari nafkah setelah itu,
karena motor yang menjadi satu-satunya modal telah dilego. Untuk makan keluarga setelah
sembuh, terserah nasiblah. Adilkah? Menurut pandangan liberter, adil. Sebab ia memang
bernasib jelek dan berprilaku jelek takut berobat sejak dini.
Seorang tukang ojek lainnya yang juga menderita tifus dengan perforasi dan harus
masuk ICU tetapi bernasib kurang baik, karena rumah sakit yang didatanginya meminta uang
muka Rp 3 juta dan ia tidak memilikinya. Akhirnya ia terpaksa pulang dengan menandatangani surat pulang paksa dimana risiko setelah pulang menjadi tanggung jawabnya
sendiri. Dua hari kemudian ia meninggal dunia. Adilkah? Menurut pandangan liberter murni,
adil! Sebab memang ia tidak mampu membayar.
Pandangan egaliter menilai bahwa equity liberter baik untuk hal-hal di luar kesehatan.
Untuk kesehatan sangat tidak adil dan tidak manusiawi jika seorang yang hanya karena tidak
punya uang pada saat ia sakit harus kehilangan mata pencaharian dan menyengsarakan hidup
keluarganya atau meninggal dunia seperti dua kasus terakhir. Pandangan equity egaliter
dalam pelayanan kesehatan menilai bahwa kedua orang pada contoh terakhir seharusnya
mendapat pengobatan paling tidak seperti tukang sayur gendong. Pasien harus mendapatkan
pengobatan sesuai dengan kondisi medisnya dan tidak tergantung pada kemampuannya
membayar, apalagi sampai meninggal dunia.
Lalu siapa yang membiayainya? Untuk itulah harus diselenggarakan asuransi sosial
dimana baik si manajer maupun si tukang sayur atau tukang ojek membayar premi dimuka
sebesar, misalnya 5% dari penghasilannya. Mungkin sang manajer membayar premi
Rp 250.000 per bulan sedangkan si tukang sayur membayar Rp 10.000 sebulan dan tukang
ojek membayar Rp 20.000 sebulan untuk seluruh keluarganya. Pada waktu mereka sakit,
rumah sakit tidak perlu meminta uang muka. Si pasien tidak harus takut berobat ke rumah
sakit karena ia telah memiliki jaminan dan mengetahui bahwa ia tidak perlu membayar
rumah sakit, kecuali sejumlah iur biaya yang besarnya terjangkau atau sama sekali tidak
membayar apa-apa. Termasuk obat-obatan dan biaya ICU jika diperlukan, ia tidak perlu lagi
membayar atau hanya membayar iur biaya yang kecil. Hak perawatannya mungkin di kelas II
atau kelas III. Inilah yang disebut equity egaliter. Sang manajer yang ingin dirawat di ruang
VIP dapat menambah selisih biaya saja. Mungkin akhirnya sang manajer hanya membayar
biaya tambahan ruangan dan makanan yang besarnya hanya Rp 1-2 juta saja.
Pada prinsipnya premi asuransi sosial mirip pajak tetapi tidak progresif, bahkan
cenderung regresif. Dalam peraturan pajak, mereka yang berpenghasilan tinggi dikenakan
pajak dengan prosentase yang tinggi pula. Ini berlaku di seluruh dunia. Di Indonesia kalau
kita berpenghasilan Rp 1 juta sebulan, maka pajak penghasilan yang harus dibayar adalah
17
H.Thabrany
5% dari penghasilan kena pajak. Tetapi jika penghasilan kita mencapai Rp 100 juta sebulan,
maka pajak penghasilan yang harus kita bayar mencapai 35% dari penghasilan diatas Rp 200
juta setahun. Dalam asuransi sosial, justeru seringkali diberlakukan batas maksimum.
Misalnya premi asuransi sosial adalah 5% dari penghasilan sampai batas Rp 5 juta. Artinya,
jika penghasilan kita Rp 1 juta sebulan, maka kita bayar premi sebesar Rp 50.000 sebulan
untuk sekeluarga. Sedangkan jika penghasilan kita sebesar Rp 10 juta sebulan, premi yang
harus kita bayar adalah 5%x Rp 5 juta (batas maksimal) atau hanya sebesar Rp 250.000 saja.
Jika penghasilan kita Rp 100 juta sebulan, maka premi yang kita bayar juga hanya
Rp 250.000 saja. Perbedaan lain dengan pajak adalah penggunaannya. Pada asuransi sosial,
penggunaan dana hanya terbatas untuk kegiatan atau benefit yang telah ditetapkan. Tidak
bisa lain. Sementara penerimaan pajak dapat digunakan untuk berbagai program yang tidak
ditentukan dimuka. Itulah sebabnya, premi asuransi sosial atau jaminan sosial sering disebut
sebagai social security tax, jadi sangat mirip dengan ear-marked tax.
Karena sifatnya yang wajib dan mirip dengan pengenaan pajak, maka pengelolaan
asuransi sosial haruslah secara not for profit (nirlaba). Jadi tidak tepat kalau Jamsostek dan
Askes pegawai negeri dikelola oleh PT Persero yang berorientasi laba (for profit). Ini suatu
keajaiban dunia barangkali. Pengertian nirlaba harus dipahami bahwa yang tidak mencari
laba adalah badan atau lembaganya. Bukan juga berarti bahwa lembaga tadi tidak boleh ada
sisa dana. Bukan! Dulu istilah nirlaba dalam bahasa Inggris disebut non profit (tidak ada laba
atau sisa hasil usaha). Belakangan istilah itu telah diluruskan menjadi not for profit artinya
usaha yang dilakukan sama sekali bukan untuk mencari untung seperti layaknya perusahaan.
Tetapi usaha atau upaya yang dilakukan ditujukan untuk memberikan kesejahteraan sebesarbesarnya bagi anggota. Jadi mirip dengan negara. Negara tidak mencari laba, akan tetapi jika
ada kelebihan anggaran, maka anggaran itu dapat digunakan untuk tahun fiskal berikutnya
atau untuk cadangan negara. Jika lembaga pengelola asuransi sosial memiliki SHU, maka
pemerintah tidak menarik PPh (pajak penghasilan) badan. Sisa hasil usaha tersebut harus
digunakan untuk kepentingan peserta, seperti halnya bagi negara untuk kepentingan rakyat.
Penggunaan SHU jika ada dapat digunakan untuk perbaikan pelayanan, perluasan paket
jaminan, atau dikembalikan dalam bentuk potongan iuran pada periode berikutnya. Harus
diingat bahwa meskipun lembaga atau organisasi penyelenggara jaminan atau asuransi sosial
bersifat nirlaba, pegawai badan tersebut bersifat for profit. Setiap pegawai tetap wajib
membayar PPh 21, karena pegawai bersifat for profit. Jadi tidak benar kalau pegawai
penyelenggara asuransi sosial digaji rendah.
Oleh kareanya pada umumnya penyelenggara asuransi sosial adalah badan
pemerintah atau kuasi pemerintah yang disebut Trust Fund atau dalam bahasa Indonesia
dapat diterjemahkan sebagai Dana Amanat. Bentuk Dana Amanat ini dimiliki oleh seluruh
peserta, mirip dengan model Usaha Bersama (mutual) pada Asuransi Jiwa Bersama (AJB)
Bumi Putera dimana pemegang sahamnya adalah seluruh peserta/pemegang polis. Tetapi
produk asuransi yang dijual Bumi Putera bersifat komersial, bukan asuransi sosial. Asuransi
sosial sering disebut sebagai asuransi publik (public insurance), untuk membedakannya
dengan asuransi swasta (private insurance) yang umumnya bersifat komersial dan for profit.
Ada banyak bentuk asuransi swasta yang komersial dan nirlaba. Di Indonesia pandangan
tentang pengelola publik sering bias karena pegawai di sektor publik mendapat gaji yang
sangat berbeda sehingga dalam memberikan pelayanan seringkali tidak memuaskan
18
H.Thabrany
atau meminta uang bawah meja. Tak ada insentif bagi mereka untuk bekerja baik. Akibatnya,
pandangan masyarakat tentang pengelolaan lembaga publik atau pemerintahan pada
umumnya buruk. Karena mereka pura-puranya digaji, maka mereka juga pura-pura
bekerja.
Keunggulan
Penyelenggaraan asuransi sosial mempunyai banyak keunggulan mikro dan makro
yang antara lain dapat dijelaskan di bawah ini.
1. Tidak terjadi seleksi bias. Seleksi bias, khususnya adverse selection atau anti seleksi,
merupakan keadaan yang paling merugikan pihak asuradur. Pada anti seleksi terjadi
keadaan dimana orang-orang yang risiko tinggi atau di bawah standar saja yang
menjadi atau terus melanjutkan kepesertaan. Hal ini terjadi pada asuransi yang
sifatnya sukarela/komersial. Dalam asuransi sosial, dimana semua orangpaling
tidak dalam suatu kelompok tertentu seperti pegawai negeri atau pegawai swasta
wajib ikut, tidak terjadi anti seleksi. Yang memiliki risiko standar, sub standar,
maupun diatas standar semua ikut. Hal ini akan memungkinkan sebaran risiko yang
baik sehingga perkiraan klaim/biaya dapat dihitung lebih akurat.
2. Redistribusi/subsidi silang luas (equity egaliter). Karena semua orang dalam suatu
kelompok wajib ikut; baik yang kaya maupun yang miskin, yang sehat maupun yang
sakit, dan yang muda maupun yang tua; maka asuransi sosial memungkinkan
terjadinya subsidi silang yang luas. Yang kaya memberi subsidi kepada yang miskin.
Yang sehat memberi subsidi kepada yang sakit, dan yang muda memberi subsidi
kepada yang tua. Dalam asuransi komersial hanya terjadi subsidi antara yang sehat
dengan yang sakit saja.
3. Pool besar. Suatu mekanisme asuransi pada prinsipnya merupakan suatu risk pool,
suatu upaya menggabungkan risiko perorangan atau kumpulan kecil menjadi risiko
bersama dalam sebuah kumpulan yang jauh lebih besar. Semua anggota kelompok
tanpa kecuali harus ikut dalam asuransi sosial. Akibatnya pool atau kumpulan
anggota menjadi besar atau sangat besar. Sesuai dengan hukum angka besar, semakin
besar anggota semakin akurat prediksi berbagai kejadian. Ini hukum alam. Asuransi
sosial memungkinkan terjadinya pool yang sangat besar, sehingga prediksi biaya
misalnya dapat lebih akurat. Oleh karenanya, kemungkinan lembaga asuransi sosial
bangkrut adalah jauh lebih kecil dari lembaga asuransi komersial.
4. Menyumbang pertumbuhan ekonomi dengan penempatan dana premi/iuran dan dana
cadangan pada portofolio investasi seperti obligasi, deposito, maupun saham. Pada
umumnya portofolio investasi dana jaminan sosial/asuransi sosial dibatasi agar tidak
menganggu likuiditas dan solvabilitas program.
5. Administrasi sederhana. Asuransi sosial biasanya mempunyai produk tunggal yaitu
sama untuk semua peserta, tidak seperti asuransi komersial yang produknya sangat
19
H.Thabrany
beragam. Akibatnya administrasi asuransi sosial jauh lebih sederhana dan tidak
membutuhkan kemampuan sekompleks yang dibutuhkan asuransi komersial. Oleh
karenanya pada umumnya negara yang kurang memiliki sumber daya manusia yang
faham berbagai seluk-beluk asuransi sekalipun mudah menerapkan asuransi sosial.
6. Biaya administrasi murah. Selain produk dan administrasi sederhana, asuransi sosial
tidak membutuhkan rancangan paket terus-menerus, biaya pengumpulan dan analisis
data yang mahal, dan biaya pemasaran yang bisa menyerap 50% premi di tahun
pertama. Oleh karenanya biaya administrasi asuransi sosial di negara-negara maju
pada umumnya kurang dari 5% dari total premi yang diterima. Bandingkan dengan
asuransi komersial yang paling sedikit menghabiskan sekitar 12%, bahkan ada yang
menghabiskan sampai 50% dari premi yang diterima.
7. Memungkinkan pengenaan tarif fasilitas kesehatan seragam. Karena pool yang besar,
asuransi sosial memungkinkan pengaturan tarif fasilitas kesehatan yang seragam
sehingga semakin memudahkan administrasi dan membuat keseimbangan kerja antar
dokter atau tenaga kesehatan lainnya. Tarif yang seragam ini memungkinkan juga
penerapan standar mutu tertentu yang menguntungkan peserta.
8. Memungkinkan kendali biaya dengan buying power. Berbeda dengan mitos model
organisasi managed care (seperti HMO di Amerika dan bapel JPKM di Indonesia)
yang membayar kapitasi dan pelayanan terstruktur yang konon dapat mengendalikan
biaya, asuransi sosial dapat mengendalikan biaya lebih baik tanpa harus membayar
dokter atau fasilitas kesehatan dengan sistem risiko, seperti kapitasi. Meskipun
lembaga asuransi sosial membayar fasilitas kesehatan per pelayanan (fee for services)
yang disenangi dokter, asuransi sosial masih mampu mengendalikan biaya lebih baik
dari model organisasi managed care.
9. Memungkinkan peningkatan dan pemerataan pendapatan dokter/fasilitas kesehatan.
Asuransi sosial mempunyai pool yang besar dan menjamin lebih banyak orang dalam
mendapatkan pelayanan kesehatan yang dibutuhkan. Akibatnya lebih banyak orang
mampu berobat. Dengan kemampuan menerapkan tarif standar kepada fasilitas
kesehatan, asuransi sosial akan mampu memeratakan pendapatan para fasilitas
kesehatan yang bersedia memenuhi standar pelayanan dan tarif yang ditetapkan.
Apabila asuransi sosial telah mencakup lebih dari 60% penduduk, maka sebaran
fasilitas kesehatanpun dapat lebih merata tanpa pemerintah harus mewajibkan dokter
bekerja di daerah-daerah.
10. Memungkinkan semua penduduk tercakup. Orgasnisasi Kesehatan Dunia (WHO)
telah memasukan faktor cakupan asuransi kesehatan sebagai salah satu indikator
kinerja sistem kesehatan negara-negara di dunia.1 Organisasi ini juga menganjurkan
untuk perluasan cakupan hingga tercapai cakupan universal, semua penduduk
terjamin. Hal ini hanya mungkin jika asuransi yang diselenggarakan adalah asuransi
sosial yang mewajibkan semua penduduk menjadi peserta, tentunya secara bertahap.
Asuransi sosial memungkinkan terselenggaranya solidaritas sosial maksimum atau
1
20
H.Thabrany
Kelemahan
Selain berbagai keuntungan yang dapat dinikmati masyarakat baik secara mikro
maupun secara makro, asuransi sosial tidak lepas dari berbagai kelemahan. Kelemahankelemahan tersebut antara lain:
1. Pilihan terbatas. Karena asuransi sosial mewajibkan penduduk dan pengelolanya yang
paling tepat adalah suatu badan pemerintah atau kuasi pemerintah, maka masyarakat
tidak memiliki pilihan asuradur. Para ahli umumnya berpendapat bahwa hal ini tidak
begitu penting, karena pilihan yang lebih penting adalah pilihan fasilitas
kesehatannya. Asuransi sosial memungkinkan peserta bebas memilih fasilitas
kesehatan yang mana saja yang ia inginkan, karena fasilitas kesehatan dapat dibayar
secara FFS atau cara lain yang tidak mengikat. Berbeda dengan konsep HMO/JPKM
kini, yang memberikan pilihan asuradur tetapi setelah itu pilihan fasilitas kesehatan
terbatas pada yang telah mengikat kontrak. Mana yang lebih penting bagi peserta:
bebas memilih fasilitas kesehatan dengan biaya murah atau bebas memiliki asuradur
tetapi pilihan fasilitas kesehatan terbatas?
2. Manajemen kurang keratif/responsif. Karena asuransi sosial mempunyai produk yang
seragam dan biasanya tidak banyak berubah, maka kurang insentif bagi pengelolanya
untuk bekerja keras merespons terhadap demand peserta. Apabila askes sosial
dikelola oleh pegawai yang kurang selektif dan tidak memberikan insentif pada yang
berprestasi, maka manajemen cenderung kurang memuaskan peserta. Seringkali juga
karena penyelenggaranya tunggal, kurang ada tantangan sehingga respons terhadap
tuntutan peserta kurang cepat.
3. Pelayanan seragam. Pelayanan yang seragam bagi semua peserta menyebabkan
penduduk kelas menengah atas kurang memiliki kebanggaan khusus. Kelompok ini
pada umumnya ingin berbeda dari kebanyakan penduduk, sehingga kelompok ini
biasanya kurang suka dengan sistem asuransi sosial. Pelayanan yang seragam juga
sering menyebabkan waktu tunggu yang lama sehingga kurang menarik bagi
penduduk kelas atas. Namun demikian, lamanya waktu tunggu yang tidak bisa
diterima oleh kelas atas tertentu tidak bisa dijadikan alasan untuk membubarkan
sistem asuransi sosial yang berfungsi dan dinikmati lebih dari 90% penduduk. Untuk
mengatasi masalah ini, pemerintah biasanya memberikan kesempatan kepada mereka
membeli asuransi suplemen/tambahan seperti yang dikenal dengan Medisup/Medigap
di Amerika. Atau penduduk kelas atas dibiarkan tidak menggunakan haknya dalam
asuransi sosial atau jaminan pemerintah dan menggantinya dengan membeli asuransi
komersial seperti yang terjadi di Inggris.
21
H.Thabrany
4. Banyak fasilitas kesehatan yang tidak begitu suka. Profesional dokter seringkali
merasa kurang bebas dengan sistem asuransi sosial yang membayar mereka dengan
tarif seragam atau dengan model pembayaran lain yang kurang memaksimalkan
keuntungan dirinya. Pada umumnya fasilitas kesehatan lebih senang melayani orangperorang yang membayar langsung dan dengan tarif yang ditentukannya sendiri.
Tetapi perlu dipahami bahwa semua negara-negara maju, kecuali Amerika,
menerapkan sistem asuransi sosial sebagai satu-satunya sistem atau sebagai sistem
yang dominan di negaranya
22
H.Thabrany
dibagi-bagi kepada pemegang sahamnya. Laba yang diperoleh disumbangkan kepada yang
tidak mampu dalam berbagai bentuk seperti rabat harga premi atau bahkan pengobatan gratis.
Premi untuk asuransi ini disesuaikan dengan paket jaminan atau manfaat asuransi
yang ditanggung. Jadi asuransi model ini memulai dari penyusunan paket yang diperkirakan
diminati pembeli. Baru setelah itu harga premi dihitung untuk dijual. Di Indonesia paketpaket yang dijual sangat bervariasi dari hanya menjamin penyakit tertentu seperti penyakit
kanker atau gagal ginjal, paket komprehensif dengan paket platinum, emas, perak, perunggu,
plastik, dan mungkin kertas atau daun. Semakin tinggi atau luas jaminan dan semakin luks
jaminan paket yang dijual semakin mahal harga preminya. Asuransi ini memfasilitasi equity
liberter (You get what you pay for). Mereka yang miskin sudah pasti tidak bisa membeli
paket yang luasmisalnya menanggung pengobatan kanker, jantung, atau hemodialisa
karena harga preminya tidak terjangkau. Dalam pelayanan tentu saja jika mereka sakit
kanker, terpaksa asuransi tidak menjaminnya.
Sifat kontrak adhesi, dimana asuradur tahu jauh lebih banyak dari pemegang polis
atau peserta, khususnya perorangan, sangat kuat. Peserta dapat saja membeli paket yang jauh
lebih mahal dari yang sepantasnya. Agen yang menjual dengan mudah dapat mengarahkan
atau bahkan menggiring orang membeli produk tertentu yang kurang sesuai dengan
kondisinya. Perusahaan yang kurang bertanggung jawab dapat saja lalai atau menghilang
setelah menerima premi cukup besar. Atau perusahaan yang hanya memikirkan
keuntungannya dapat saja menghentikan atau tidak memperpanjang asuransi orang-orang
yang ternyata memiliki penyakit kronis setelah beberapa tahun menjadi peserta. Itulah
sebabnya, jika opsi ini yang dipilih sebagai pilihan dominan seperti di Amerika, maka
banyak sekali peraturan yang mengikat perusahaan dan praktek asuransi guna melindungi
peserta yang berada pada posisi lemah. Tahun 1997 misalnya, di Amerika terdapat lebih dari
1,000 usulan peraturan di bidang asuransi kesehatan.2 Peraturan yang dikeluarkan pemerintah
federal dan negara bagian Amerika, bukan hanya mengatur solvensi perusahaan, akan tetapi
mencakup pengaturan kontrak. Di Indonesia pengaturan kontrak asuransi kesehatan sama
sekali belum ada. Tahun 1997 pemerintah federal Amerika mengeluarkan peraturan yang
menyangkut protabilitas asuransi dan batas boleh memberlakukan pre-existing conditions.
Pada polis asuransi perorangan ada peraturan tentang polis non cancellable, dimana
perusahaan asuransi tidak boleh menghentikan/membatalkan polis bahkan menaikan premi
jika seorang peserta menderita suatu penyakit kronis.3
23
H.Thabrany
asuransi/ bapel JPKM dapat memperoleh harga yang lebih murah, mereka juga punya interes
untuk mendapatkan untung. Sementara provider masih tetap memiliki market power yang
kuat. Tidak banyak pilihan bagi perusahaan asuransi, kecuali mengeruk keuntungannya dari
pihak pasien/ konsumen. Tentu saja sebagai perantara, perusahaan asuransi/ bapel JPKM
akan mencari untung dari kedua pihak, pihak peserta/ pemegang polis dan pihak provider.
Maka kini, seorang pasien/konsumen/peserta mendapatkan pelaku baru yang juga melirik
kantong mereka.
Akankah konsumen mampu untuk memilih produk asuransi dan harga sesuai
kebutuhannya? Hampir tidak mungkin! Karena disini juga terjadi informasi asimetri.
Konsumen tidak mengetahui tingkat risiko dirinya dan hampir tidak mungkin mengetahui
apakah harga premi yang dibelinya pantas, terlalu murah, atau terlalu mahal. Sementara
penjual (perusahaan asuransi/bapel JPKM) dapat menciptakan produk dan cara pamasaran
yang menakutkan sehingga konsumen, jika ia mempunyai kemampuan keuangan, memilih
untuk membeli. Bagaimana dengan konsumen yang tidak mampu? Sejauh pasar belum jenuh,
asuradur akan memusatkan pada perhatian kepada pasar yang mampu membeli dan
profitable. Karena dalam pasar asuransi (swasta/sukarela) asuradur akan menetapkan premi
atas dasar risiko yang akan ditanggung (paket jaminan), risk based premium, maka besarnya
premi tidak dapat disesuaikan dengan kemampuan membeli seseorang. Maka sudah dapat
dipastikan bahwa penduduk yang miskin tidak akan mampu membeli premi. Oleh karenanya,
asuransi kesehatan swasta/sukarela/komersial tidak akan mampu mencakup seluruh
penduduk. Keinginan mencakup seluruh penduduk dengan mekanisme asuransi kesehatan
swasta hanyalah sebuah impian belaka. Hal ini dapat dibuktikan di Amerika, yang
menghabiskan lebih dari US$ 4.000 per kapita per tahun (tahun 2000 ini diperkirakan
Amerika menghabiskan US$ 1,8 triliun), akan tetapi lebih dari 40 juta penduduknya (16%)
tidak memiliki asuransi (HIAA, 1999)3.
Dengan terbatasnya pasar dan persaingan yang tinggi, volume penjualan tidak bisa
mencapai jumlah yang besar. Persaingan antara asuradur akan memaksa asuradur membuat
produk spesifik yang juga menyebabkan pool tidak optimal untuk mencakup berbagai
pelayanan. Persaingan menjual produk spesifik dan volume penjualan untuk masing-masing
produk yang relatif kecil menyebabkan contigency dan profit margin yang relatif besar.
Perusahaan asuransi Amerika menghabiskan rata-rata 12% faktor loading (biaya operasional,
laba, dan berbagai biaya non medis lainnya) (Shalala dan Reinhart, 1999). Departemen
Kesehatan membolehkan bapel menarik biaya loading sampai 30%.4 Asuradur swasta di
Indonesia memiliki rasio klaim yang bervariasi antara 40-70%, tergantung jenis produknya,
sehingga menyebabkan biaya tambahan bagi konsumen sebesar 30-60%. Jadi berbagai
skenario dan fakta yang terjadi, sudah dapat dipastikan bahwa asuransi kesehatan swasta
tidak bisa menurunkan biaya pelayanan kesehatan dan tidak mampu mencakup seluruh
penduduk.
Jelaslah ketergantungan pada sistem asuransi kesehatan swasta/ komersial (termasuk
disini sistem JPKM yang sekarang berlaku) gagal menciptakan cakupan universal dan
mencapai efisiensi makro. Trade off antara risk pooling dan biaya yang ditanggung
konsumen tidak seimbang. Sementara itu, hampir semua negara menginginkan cakupan
universal. Oleh karenanya, jika kedua komponen tujuan, universal dan efisensi makro, ingin
24
H.Thabrany
dicapai; maka membuat asuransi kesehatan swasta/ komersial akan gagal mencapai tujuan
tersebut.
Semua negara-negara maju telah meratifikasi konvensi PBB tentang hak asasi
manusia dan menempatkan pelayanan kesehatan sebagai salah satu hak dasar penduduk
(fundamental human right). Sebagai konsekuensi peletakkan hak dasar ini pemerintah
mengusahakan suatu sistem kesehatan yang mampu mencakup seluruh penduduk (universal)
secara adil dan merata (equity). Negara-negara maju pada umumnya mewujudkan peran serta
masyarakat dalam pembiayaan dan penyediaan kesehatan publik yang diatur oleh suatu
undang-undang. Pembiayaan publik dimaksudkan adalah pembiayaan oleh negara atau oleh
sistem asuransi kesehatan sosial yang didasarkan oleh undang-undang. Penyelenggara
pembiayaan publik dapat suatu badan pemerintah dapat pula badan swasta yang nirlaba.
Penyediaan kesehatan publik adalah penyediaan rumah sakit, klinik, pusat kesehatan, dan
sebagainya yang disediakan oleh negara yang dapat diselenggarakan secara otonom (terlepas
dari birokrasi pemerintahan) ataupun tidak otonom.
Dengan menempatkan salah satu atau kedua faktor pembiayaan dan atau penyediaan
oleh publik (public not for profit enterprise) memungkinkan terselenggaranya cakupan
universal dan pemerataan yang adil. Penempatan kesehatan sebagai hak asasi tidak selalu
berarti bahwa pemerintah harus menyediakan seluruh pelayanan dengan cuma-cuma. Yang
dimaksud pendanaan oleh publik adalah pendanaan oleh pemerintah dalam bentuk anggaran
belanja negara atau oleh penyelenggara asuransi social atau jaminan social. Penyelenggara
asuransi/jaminan social dapat dikelola langsung oleh organisasi birokrasi pemerintah atau
dikelola oleh badan/agency yang dibentuk pemerintah yang berfungsi otonom, tidak
dipengaruhi birokrasi pemerintah. Di Indonesia, banyak orang mengkhawatirkan penempatan
kesehatan sebagai hak asasi akan menyebabkan beban pemerintah menjadi sangat berat.
Pada hakikatnya, pembiayaan maupun penyediaan pelayanan dapat dilakukan oleh
pemerintah bersama swasta yang secara umum dapat dilihat dari gambar-1 .
Gambar-1.
Matriks Pembiayaan dan Penyediaan (delivery) pelayanan kesehatan
Penyediaan
Publik
Swasta
Publik
Inggris
Kanada, Jerman,
dan Taiwan
Pembiayaan
Swasta
Indonesia dan negara
berkembang lainnya
Jepang Amerika
Apabila pembiayaan diserahkan kepada sektor publik, yang bersifat sosial atau
nirlaba, maka terdapat dua pilihan utama yaitu pembiayaan dari penerimaan pajak (general
tax revenue) seperti yang dilakukan Inggris dan pembiayaan melalui asuransi sosial seperti
25
H.Thabrany
yang dilakukan Kanada, Taiwan, Jepang dan Jerman. Kanada dan Taiwan memberlakukan
sistem monopoli Propinsi dan Negara dengan hanya menggunakan satu badan
penyelenggara, yang sering dikenal Asuransi Kesehatan Nasional. Sementara Jerman dan
Jepang menggunakan undang-undang wajib asuransi sosial kesehatan dengan banyak
penyelenggara dari pihak swasta yang nirlaba.
Di Indonesia, pengertian asuransi sosial sangat sering disalah artikan dengan
pengertian derma atau pelayanan cuma-cuma. Sementara penyelenggaraan asuransi sosial
kesehatan yang sudah ada, program JPK PNS/Askes dan program JPK Jamsostek,
diselenggarakan oleh perusahaan publik yang berbentuk badan hukum berorientasi laba
(Persero). Hal ini menyebabkan semakin kacaunya pemahaman asuransi sosial. Distorsi
pemahaman ini menyebabkan sulitnya usaha-usaha mengusahakan suatu sistem asuransi
sosial yang konsisten.
Asuransi sosial adalah asuransi yang diselenggarakan atau diatur oleh pemerintah
yang melindungi golongan ekonomi lemah dan menjamin keadilan yang merata (equity).
Untuk mencapai tujuan tersebut, maka suatu asuransi sosial haruslah didasari pada suatu
undang-undang dengan pembayaran premi dan paket jaminan yang memungkinkan
terjadinya pemerataan. Dalam penyelenggaraanya, pada asuransi sosial mempunyai ciri (a)
kepesertaan wajib bagi sekelompok atau seluruh penduduk, (b) besaran premi ditetapkan oleh
undang-undang, umumnya proporsional terhadap pendapatan/gaji, dan (c) paketnya
ditetapkan sama untuk semua golongan pendapatan, yang biasanya sesuai dengan kebutuhan
medis (Thabrany, 1999)5. Dengan mekanisme ini, maka dimungkinkan tercapainya keadilan
sosial yang egaliter.
Dari segi pembiayaan, asuransi sosial mempunyai keunggulan dalam mencapai
efisiensi makro karena tidak memerlukan biaya perancangan produk, pemasaran, dan
pencapaian skala ekonomi yang optimal. Taiwan misalnya hanya menghabiskan kurang dari
3% premi untuk biaya administrasi (Depkes Taiwan, 1997)6. Program Medicare di Amerika
hanya menghabiskan biaya administrasi sebesar 3-4% sementra asuransi komersial swasta di
Amerika menghabiskan rata-rata 12% (Shalala dan Reinhardt, 1999)7
Kekuatan
1. Pemenuhan kebutuhan unik seseorang atau sekelompok orang. Karena sifat asuransi
komersial yang memenuhi demand, maka perusahaan asuransi akan bereaksi cepat
terhadap perubahan demand atau terhadap demand dari sekelompok orang. Oleh
karenanya asuransi kesehatan komersial akan lebih sesuai dengan permintaan
kelompok tertentu yang khususnya ingin mendapatkan pelayanan yang nyaman dan
bergengsi. Asuransi kesehatan komersial juga dapat memberikan pelayanan khusus
kepada suatu kelompok, misalnya perusahaan besar, dengan membuat paket khusus
(tailor made) yang sesuai dengan permintaan pembeli.
2. Merangsang pertumbuhan perdagangan/ ekonomi. Besarnya keuntungan yang dapat
dijanjikan oleh asuransi kesehatan dapat merangsang investor terjun menanam
modalnya di sektor ini. Meskipun jika dibandingkan dengan asuransi jiwa mungkin
26
H.Thabrany
Kelemahan
1. Pool relatif kecil. Bagaimanapun hebatnya perusahan asuransi komersial, pool jumlah
peserta tidak akan mampu menyamai pool asuransi sosial. Bahkan karena sifatnya
yang komersial atau usaha dagang maka usaha asuransi komersial terkena undangundang antimonopoli sehingga pelakunya akan banyak. Dengan pelaku yang banyak,
maka kepesertaan penduduk akan tersebar di berbagai perusahaan asuransi yang
menyebabkan skala ekonomi bisa tidak tercapai.
2. Produk sangat beragam dan manajemen kompleks. Beragamnya produk asuransi
kesehatan, yang secara teoritis dapat mencapai jutaan jenis, selain memberikan
pilihan bagi konsumen juga menuntut manajemen yang kompleks. Administrasi
kepesertaan harus dibuat berdasarkan basis data perorangan. Apalagi jika tiap
tertanggung dikenakan biaya awal (deductible), coinsurance, dan batas maksimum
yang berbeda-beda. Maka untuk mengelolanya diperlukan kecermatan tersendiri yang
lebih kompleks dari manajemen nasabah bank.
3. Menyediakan Equity liberter. Bagi masyarakat yang tidak suka memberikan bantuan
kepada pihak yang lebih lemah atau kepada pihak lain, maka asuransi komersial
menyediakan fasilitas bagi mereka. Premi yang dibayar asuransi kesehatan komersial
disesuaikan dengan risiko kelompok dimana seseorang berada (bukan risiko tiap
orang). Disinilah terjadi you get what you pay for. Peserta yang membeli paket
platinum dapat pelayanan yang spesial yang sesuai dengan paketnya. Sementara yang
membeli paket standar harus puas dengan pelayanan yang sesuai dengan harga premi
yang dibayarnya.
27
H.Thabrany
28
H.Thabrany
Tabel 1
Perbandingan model asuransi, cakupan, biaya dan status kesehatan di berbagai negara maju.
Askes
domi-nan
Negara
Amerika
Australia
Austria
Belanda
Belgia
Ceko
Denmark
Finlandia
Inggris
Islandia
Itali
Jepang
Jerman
Kanada
Korea
Luksemberg
Norwegia
Perancis
Portugal
Selandia Baru
Spanyol
Turki
Yunani
Komers
Sosial
Sosial
Sosial
Sosial
Sosial
Sosial
Sosial
Negara,
NHS
Sosial
Sosial
Sosial
Sosial
Nasio-nal
Sosial
Sosial
Sosial
Sosial
Sosial
Nasio-nal
Sosial
Sosial
Sosial
% penddk
dijamin
ASK
33,3
100
99
72
99
100
100
100
100
Biaya RI per
hari (US$),
1996
1.128
242
109
225
263
75
632
168
320
100
100
100
92,2
100
100
100
100
99,5
100
100
99,8
66
100
192
339
83
228
489
110
180
123
284
249
254
343
73
144
2.005
1.589
1.741
2.339
2.095
587
2.340
1.814
2.051
1.125
1.352
1.168
260
974
IMR,
1996
7,8
5,8
5,1
5,2
6,0
6,0
5,2
4,0
6,1
5,5
5,8
3,8
5,0
6,0
9,0
4,9
4,0
4,9
6,9
7,4
5,0
42,2
7,3
LE, wnt/pria,
1996
79,4/72,7
81,1/75,2
80,2/73,9
80,4/74,7
81,0/74,3
77,2/70,5
78,0/72,8
80,5/73,0
79,3/74,4
80,6/76,2
81,3/74,9
83,6/77,0
79,9/73,6
81,5/75,4
77,4/69,5
80,0/73,0
81,1/75,4
82,0/74,1
78,5/71,2
79,8/74,3
81,6/74,4
70,5/65,9
80,4/75,1
Dari tabel tersebut dapat kita lihat bahwa Amerika yang merupakan satu-satunya
negara maju yang menggantungkan sistem asuransinya pada asuransi komersial mempunyai
kinerja keuangan yang sangat mahal, hampir dua kali biaya termahal di negara lain, dan lebih
dari dua kali dari biaya kesehatan di Jepang dan Jerman yang sama-sama memiliki banyak
badan penyelenggara asuransi kesehatan. Bahkan biaya rawat inap perhari di Amerika
mencapai 5-10 kali lebih mahal dibandingkan negara-negara maju lainnya yang memiliki
pendapatan per kapita yang tidak jauh berbeda. Jika dilihat cakupan asuransinya, Amerika
masih memiliki 17% penduduk (43 juta jiwa) yang tidak mempunyai jaminan (uninsured).
Sementara indikator makro kesehatan, IMR dan LE, tidak menunjukan status yang lebih baik
dari banyak negara atau dari tetangganya Kanada.
Data diatas menunjukkan angka-angka cross sectional yang dapat menunjukkan bias
waktu. Apakah tingginya biaya kesehatan di Amerika konsisten dari waktu ke waktu?
Berbagai literatur ekonomi kesehatan menunjukkan konsistensi tersebut. Tentu saja, kita
tidak bisa membandingkan angka-angka nilai nominal dolar tersebut dengan keadaan di
Indonesia. Negara yang kaya memang akan mengeluarkan biaya besar karena memang biaya
hidup tinggi. Suatu ukuran yang dapat memantau beban finansial adalah besarnya biaya
kesehatan dibandingkan dengan produk domestik bruto (PDB). Perkembangan persentase
biaya kesehatan terhadap PDB di enam negara OECD, 1970-1997 telah dilakukan oleh
Ikegami dan Campbell (1999)9. Hasil penelitian tersebut disajikan pada Gambar-2.
29
H.Thabrany
16
Amerika
Kanada
Jepang
14
Jerman
Perancis
Inggris
12
10
8
6
4
2
0
1970
1975
1980
1985
1990
1997
30
H.Thabrany
31
H.Thabrany
Contoh Asuransi Komersial (contoh ini adalah produk yang dijual di Jakarta dan Jawa Barat
tanpa menyebutkan nama perusahaannya).
Sebuah perusahaan asuransi menjual paket standar perawatan kelas III dengan premi Rp
12.500 per orang per bulan dan TIDAK menanggung hemodialisa. Seorang pegawai atau
pedagang bergaji Rp 500.000 dan memiliki dua anak tidak akan mampu membeli paket ini
karena ia harus membayar 4 x Rp 12.500 = Rp 60.000 per bulan. Ini sama dengan 12%
penghasilannya sebulan. Kalau anggota keluarga ini perlu rawat inap atau hemodialisa, maka
ia harus bayar sendiri. Jika ia tidak memiliki uang, maka ya mungkin nyawa mengancam
jiwanya karena tidak ada yang menanggung.
Seorang pengusaha kecil berpenghasilan Rp 5.000.000 sebulan merasa perlu memilki asuransi
dan membeli paket standar diatas. Dia memiliki dua anak dan satu istri juga, maka dia mampu
membayar Rp 60.000,- yang merupakan 1,2% dari penghasilannya. Akan tetapi karena
paketnya tidak menanggung hemodialisa, maka jika anggota keluarganya memerlukan
hemodialisa, perusahaan asuransi tidak menanggungnya. Ia tetap masih harus membayar
seluruh biaya cuci darah yang mungkin menghabiskan seluruh penghasilannya setiap bulan.
Jadi perlindungannya tidak memadai.
Sebuah bapel JPKM menjual produknya dengan premi sebesar Rp 15.000 per bulan dengan
paket santunan rawat inap maksimum Rp 500.000 dan tidak menanggung hemodialisa.
Seorang penduduk dengan penghasilan sebesar Rp 500.000 dan mempunyai satu istri dan dua
anak, harus membayar 12% penghasilannya (Rp 60.000) sebulan. Jikapun ia memaksakan
membeli JPKM, jika ia perlu rawat inap berbiaya Rp 3.000.000,- maka bapel tersebut hanya
membayar Rp 500.000,- saja. Keluarga ini tidak akan sanggup membayar sisa biaya
perawatan yang lima kali lebih besar dari penghasilannya. Kalau keluarganya perlu
hemodialisa sudah pasti keluarga tersebut akan bangkrut atau keluarganya terpaksa direlakan
kembali ke pangkuan Ilahi.
32
H.Thabrany
5. Kepuasan fasilitas kesehatan lebih tinggi. Pembayaran jasa per pelayanan dan pilihan
bebas fasilitas kesehatan memberikan kepuasan tinggi kepada fasilitas kesehatan
tidak ada risiko finansial. Provider yang mampu memberikan pelayanan baik dan
memuaskan akan mendapat lebih banyak pasien.
6. Fraud atau kecurangan dan abuse atau pemakaian berlebihan sangat tinggi. Baik
peserta maupun fasilitas kesehatan tidak memiliki insentif untuk menggunakan
pelayanan lebih sedikit akan tetapi justeru sebaliknya. Peserta dapat merasa bahwa
pelayanan kesehatan dapat mereka terima dengan tidak perlu membayar.
7. Pengendalian mutu dan utilisasi kepada fasilitas kesehatan tidak relevan
Di Indonesia asuransi yang memberikan jaminan dalam bentuk uang diberikan oleh
perusahaan asuransi, baik yang langsung atau melalui kartu kredit. Mereka menawarkan
asuransi biaya perawatan dan pembedahan kepada pemegang kartu kredit, selain kepada
kumpulan seperti perusahaan. Asuransi kecelakaan Jasa raharja dan Jaminan Kecelakaan
Kerja Jamsostek juga memberikan jaminan dalam bentuk penggantian uang atau sejumlah
uang tertentu. Sebagian program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan (JPK) Jamsostek maupun
JPK bagi pegawai negeri juga dapat memberikan penggantian uang, khususnya untuk
pelayanan yang bersifat gawat darurat.
33
H.Thabrany
4. Pilihan fasilitas kesehatan terbatas. Membuat kontrak dengan fasilitas kesehatan tentu
tidak bisa dilakukan terhadap semua fasilitas kesehatan yang ada di suatu kota
tertentu. Akibatnya adalah pilihan fasilitas kesehatan tidak bisa seluas pada
pemberian jaminan dalam bentuk uang atau penggantian biaya. Tertanggung harus
memilih pelayanan pada jaringan fasilitas kesehatan tertentu, paling tidak harus ada
insentif agar tertanggung mau menggunakan jaringan fasilitas kesehatan yang
dikontrak. Jika tidak ada insentif finansial, maka sistem kontrak pelayanan tidak akan
berfungsi.
5. Kepuasan peserta menjadi kurang. Kontrak fasilitas kesehatan yang mengakibatkan
pilihan fasilitas kesehatan semakin terbatas mempunyai potensi keluhan dan ketidakpuasan peserta. Apabila ada sedikit saja pelayanan yang peserta kurang berkenan,
maka peserta akan mengeluh atau bahkan mengadukan hal tersebut.
6. Perlu kendali mutu. Karena kontrak fasilitas kesehatan memberikan pilihan fasilitas
kesehatan terbatas, maka calon peserta harus diyakinkan bahwa fasilitas kesehatan
yang dikontrak mempunyai standar mutu tertentu. Hal ini menimbulkan keharusan
asuradur melakukan berbagai upaya kendali mutu. Kendali mutu melalui fasilitas
kesehatan ini amat berguna untuk keperluan pemasaran atau kepuasan peserta, atau
memantau tanggung jawab pihak yang dikontrak terhadap berbagai standar. Kendali
mutu ini berlaku untuk semua asuradur yang melakukan kontrak pelayanan. Jadi
kendali mutu bukanlah monopoli organisasi managed care/bentuk JPKM.
7. Pada pembayaran tertentu, misalnya kapitasi, perlu ada telaah utilisasi (utilization
review). Apabila pembayaran fasilitas kesehatan dilakukan dengan sistem yang
berdasarkan risiko seperti kapitasi, maka terdapat potensi dimana fasilitas kesehatan
mengorbankan mutu pelayanan atau mengurangi jumlah pelayanan yang seharusnya
diterima oleh tertanggung. Oleh karenanya, cara pembayaran kapitasi secara intrinsik
mengharuskan adanya telaah utilisasi.
1.9. Ringkasan
Setelah berbagai model asuransi kesehatan dibahas diatas, maka di bawah ini
disajikan ringkasan berbagai aspek yang dapat dihasilkan dari jenis asuransi kesehatan
tersebut dan contoh-contoh yang ada di Indonesia dan di dunia.
34
H.Thabrany
Berbagai aspek yang dapat dihasilkan atau difasilitasi oleh asuransi kesehatan sosial
dan komersial
Asuransi
Aspek
Sifat gotong royong antar
golongan
Seleksi bias
Premi
Paket
Keadilan/ equity
Pilihan bapel/asuradur
Pilihan provider
Sosial (Wajib)
Komersial (Sukarela)
Tua-muda
Kaya-miskin
Sehat-sakit
Tidak ada
Sehat-sakit
Not risk-related
Biasanya proporsional (%)
terhadap upah
Sama untuk seluruh peserta
Egaliter, sosial
Biasanya tidak ada atau kecil
Umumnya sangat luas
Pada penerapan teknik managed
care, pilihan jadi terbatas
Sangat tinggi
Umumnya kecil/rendah
Pemenuhan kebutuhan medis
(medical needs)
Pemerintah atau quasi pemerintah
Bersifat nirlaba
Bervariasi dari kapitasi sampai
fee for service
Pelayanan
/managed care
Asuransi Komersial
(sukarela)
Produk Lippo, Metlife, ING,
Aetna, Jiwasraya, Bringin,
Kartu kredit, dll.
Askes tradisional di AS
Yang dijual oleh PT Askes,
PT Allianz managed care,
dan bapel JPKM
Di Amerika: Blue Cross/Blue
Shield, HMO, PPO, POS
(managed care
organizations)
35
H.Thabrany
Penyediaan
Publik
Swasta
Pembiayaan
Publik
Swasta
Inggris
Indonesia dan negara
berkembang lainnya
Kanada, Jerman, Jepang
Amerika
dan Taiwan
Jepang dan Jerman menyerahkan sebagian besar pembiayaan dan penyediaan kepada
sektor swasta, akan tetapi bersifat sosial (nirlaba) yang diatur oleh pemerintah,
sementara Amerika menyerahkan kepada mekanisme pasar (for profit dan not for profit).
Yang dimaksud dengan pembiayaan publik adalah pembiayaan dari dana pemerintah
atau asuransi sosial/jaminan sosial
Istilah Penting
Negara Kesejahteraan
Jaminan sosial
Asuransi sosial
Public insurance
Bantuan sosial
Means test
Asuransi komersial
Private insurance
Asuradur
Risk based premium
Non-risk related premium
Income based premium
Kebutuhan dasar layar (decent basic needs)
Kebutuhan dasar kesehatan
Nirlaba/not for profit
Pencari laba/For profit
Dividen
Badan hukum
Dana Amanat/Trust Fund
Wali amanat
Board of Trustees/Majlis Wali Amanat
Pengelolaan profesional
Insurance/Asuransi
Risiko
Telaah utilisasi/utilization review
Uncertainty
36
H.Thabrany
Risk avoidance
Risk reduction
Risk transfer
Risk asumption
Risk taker
Risk averter
Measurable
Quantifiable
Populasi homogen
Accidental
Pure risk
Catastrophic
Risk sharing
Adverse selection/anti selection
Bias selection
Favorable selection
Insured/tertanggung
Benefit/manfaat
Premi/iuran/kontribusi
Sukarela/voluntary
Wajib/mandatory/compulsory
Policy holder/pemegang polis
Anggota/member
Managed care
Kondisional
Unilateral
Aleatory
Adhesi
JPKM
Gakin
JPSBK
Deklarasi PBB 1948
Eksternalitas
Social justice
Social equity
Medicare
Market failure
Equity egaliter
Equity liberter
Pasal 28H UUD 45 amendemen
Earmarked tax
PT Persero
SHU, sisa hasil usaha
PPh21
PPh badan
Usaha bersama/mutual
37
H.Thabrany
Risk pool
Portofolio
Biaya administrasi
fasilitas kesehatan/provider
Jasa per pelayanan/fee for services
Organisasi Kesehatan Dunia/WHO
Medisup/Medigap
Demand
Need
You get what you need
You get what you pay for
Pre existing conditions
Non cancellable
Profitable
Contigency
Profit margin
Loading
Fairness in health care financing
Fundamental human right
Tailor made
Antimonopoli
Deductible
Coinsurance
Reimbursement
Indemnitas
Moral hazard
Workers compensation
Occupational injury
Fraud
Kredensialing
Rujukan
1
2
3
Depkes RI. Pembinaan Bapel JPKM: Kumpulan Materi. Depkes RI, Jakarta, 1995.
38
H.Thabrany
Shalala, DE dan Reinhardt UE. Interview: Viewing the US Health Care System from
Within: Candid Talk from HHS. Health Affairs 18(3): 47-55, 1999
Anderson, GF. And Paullier, JP. Health Spending, Access, and Outcomes: Trends in
Industrialized Countries. Health Affairs, 18(3):178-192
Ikegami, N dan Campbell, JC. Health Care Reform in Japan: The Virtue of Muddling
Trhough. Health Affairs 18(3):56-75.
39
H.Thabrany
BAB 2
Asuransi Kesehatan Pegawai Negeri Sipil
2.1. Pendahuluan
Penyelenggaraan asuransi kesehatan bagi pegawai negeri sipil (PNS) dan keluarganya
saat ini didasarkan atas Peraturan Pemerintah (PP) No 69/91 yang ditanda-tangani Presiden
Suharto pada tanggal 23 Desember 1991. Dalam PP tersebut istilah yang digunakan adalah
jaminan pemeliharaan kesehatan, tidak disebutkan asuransi kesehatan. Kata asuransi
kesehatan dapat ditemui pada PP No 2/92 tentang penunjukkan PT Asuransi Kesehatan
Indonesia disingkat PT Askes sebagai badan penyelenggara program pemeliharaan kesehatan
PNS. Istilah asuransi kesehatan yang disingkat askes digunakan karena istilah tersebut sudah
sangat populer di kalangan peserta pegawai negeri pada waktu badan penyelenggara bernama
Perum Husada Bhakti yang diatur oleh PP 22/1984 tentang Pemeliharaan Kesehatan Pegawai
Negeri Sipil dan Penerima Pensiun beserta anggota keluarganya.
Asuransi kesehatan pegawai negeri sipil merupakan suatu asuransi sosial yang diikuti
oleh seluruh pegawai negeri dan pensiun pegawai negeri dan merupakan program asuransi
kesehatan tertua di Indonesia. Asuransi sosial lain yang diikuti oleh seluruh peserta adalah
asuransi kecelakaan lalu lintas yang dikelola oleh PT Jasa Raharja. Namun demikian,
asuransi kecelakaan tersebut juga memberikan pertanggungan kematian. Asuransi kesehatan
pegawai negeri, yang selanjutnya disebut askes, juga merupakan satu-satunya asuransi
kesehatan yang mempunyai jumlah kepesertaan mencapai 13,8 juta jiwa. Dalam usianya
yang lebih tua dari usia negeri ini, jika diperhitungkan masa pemberian jaminan bagi pegawai
negeri di jaman penjajahan, telah banyak mengalami perubahan struktural.
Meskipun dalam praktek PT Asuransi Kesehatan Indonesia menawarkan produkproduk asuransi kesehatan komersial yang berbentuk JPKM, dalam Bab ini hanya akan
dibahas porsi asuransi kesehatan sosial (wajib). Porsi asuransi kesehatan komersial yang
dijual PT Askes akan dibahas pada Bab 4 tentang JPKM karena kesamaan sifat produk yang
dijual PT Askes dengan JPKM. Sistem asuransi kesehatan wajib ini juga menggunakan
teknik-teknik managed care seperti yang digunakan oleh JPKM. Perbedaannya dengan
JPKM adalah bahwa askes PNS ini bersifat wajib atau merupakan bentuk asuransi sosial
sehingga lebih tepat disebut Asuransi Sosial Kesehatan Terkendali (managed social health
insurance).
2.2. Sejarah
Di jaman penjajah Belanda, pegawai negeri yang berkebangsaan Eropa mendapat
jaminan kesehatan yang diatur oleh peraturan pemerintah Belanda (Staatsregeling No1/34).
Askes PNS
40
H. Thabrany
Empat tahun kemudian jaminan ini diperluas kepada pegawai pemerintah pribumi karena
protes dari pegawai pribumi. Namun demikian terdapat perbedaan jaminan dimana bangsa
Eropa dan kelas atas pribumi dapat menggunakan fasilitas kesehatan swasta sedangkan
pegawai kelas menengah dan bawah hanya dapat menggunakan fasilitas pemerintah. Sistem
jaminan yang diberikan adalah sistem penggantian atau reimbursement atas biaya pelayanan
kesehatan dengan menunjukkan bukti kwitansi. Pengelola jaminan ini adalah Departemen
Kesehatan beserta kantor kesehatan, inspektur kesehatan, di propinsi.
Pada periode awal kemerdekaan yaitu di tahun 1948 sistem penggantian biaya
berobat ini diteruskan dengan tetap mempertahankan dua sistem pegawai tinggi dan rendah,
hanya saja batasannya adalah gaji bulanan 420g. Selain itu pada jaman awal kemerdekaan ini
pegawai dikenakan kontribusi 3% dari biaya yang diajukan sedangkan sisanya mendapat
penggantian dari Depkes, melalui Ikes. Di tahun 1949 setelah uang Indonesia sudah
digunakan, batas gaji diubah menjadi Rp 850 sebulan. Pengelolaan dana untuk penggantian
biaya berobat PNS ini dilakukan oleh Dinas Restitusi Dirjen Bina Waluya. Pegawai yang
sudah memasuki pensiun tidak mendapatkan penggantian biaya berobat. Dapat dibayangkan
bahwa dengan cara penggantian yang didasarkan atas jasa per pelayanan, maka banyak
terjadi penyalah-gunaan dan mendorong timbulnya moral hazard.
Pada tahun 1960 Menteri Kesehatan waktu itu mengeluarkan instruksi untuk
mengembangkan jaminan kesehatan ini kepada pensiunan dan pegawai pemerintah dengan
nama Jakarta Pilot Project yang memang dimulai di Jakarta. Sistem penggantian biaya
diganti dengan sistem pembayaran langsung kepada PPK dan tidak lagi ada perbedaan antara
yang golongan gaji tinggi dengan golongan gaji rendah. Jaminanpun terbatas pada jaminan
rawat inap dan obat-obatan. Sistem pembayaran masih tetap menggunakan per pelayanan.
Birokrasi pemerintah menyebabkan sistem ini juga tidak efisien. Proyek ini berhasil
memperluas cakupan namun demikian biaya yang harus ditanggung pemerintah terus
membengkak. Padahal sistem ini tidak membayar jasa dokter. Karena jasa dokter tidak
dibayar inilah akhirnya sistem ini tidak juga memberikan keadilan yang merata, karena
pegawai yang miskin tidak mendapatkan pelayanan yang sama dengan pegawai yang kaya
yang mampu membayar dokter. Pilot ini menyebabkan pemerintah defisit sebesar Rp 600
juta pada saat itu. Sejalan dengan konsep kewajiban masyarakat untuk ikut bertanggung
jawab atas kesehatannya, maka mulai dipikirkan untuk menggalang pembiyaan dari pegawai
negeri sendiri.
Pada tahun 1966 Menteri Kesehatan Siwabessy mengeluarkan instruksi pembentukan
Komite Dana Sakit dengan iuran dari pegawai negeri sendiri. Dana yang dihimpun harus
digunakan semaksimal mungkin untuk kepentingan peserta, bukan untuk mencari laba bagi
pengelola. Sayangnya komite tersebut tidak berhasil menelurkan konsep yang diharapkan.
Pada tahun 1968 Menkes kemudian membentuk Panitia Pembentukan Badan Pemeliharaan
Kesehatan Pegawai Negeri dan Penerima Pensiun. Pada masa itu pemerintahan Orde Baru
masih mengalami kesulitan keuangan akibat Pemberontak PKI di tahun 1965. Mulai tahun
anggaran 1968/69 pemerintah tidak lagi mengalokasikan dana untuk penggantian biaya
kesehatan pegawai negeri. Pada 18 Maret 1968, Menteri Tenaga Kerja Awaloedin Djamin
membentuk Tim Kerja Kesejahteraan Pegawai Negeri (TKKPN) setelah upaya memperoleh
persetujuan dari Presiden tidak berhasil. Tim ini mendirikan tonggak sejarah penting
Askes PNS
41
H. Thabrany
berkembangnya asuransi kesehatan wajib di Indonesia. Modal awal adalah 50% dana
kesejahteraan pegawai negeri yang selama itu telah terkumpul dari potongan 10% gaji
pegawai aktif dan 5% uang pensiun. Badan hukum pengelola dikuatkan oleh Kepres No 230
tanggal 15 Juli 1968 yang merupakan cikal bakal PT Askes Indonesia. Untuk mendanai
program tersebut dikeluarkan Kepres no 122/68 menetapkan potongan gaji pegawai negeri
sebesar 5% untuk membiayai pemeliharaan kesehatan.
Selama Pelita I sampai Pelita III atau sejak tahun 1968 sampai tahun 1984, asuransi
kesehatan pegawai negeri ini dikelola oleh suatu badan yang disebut Badan Penyelenggara
Dana Pemeliharaan Kesehatan (BPDPK) yang berada di Departemen Kesehatan. Iuran untuk
asuransi kesehatan ini besarnya 5% dari gaji pokok. Pada awalnya jaminan diberikan dengan
bebas dimana peserta dapat memilih fasilitas kesehatan pemerintah atau swasta dengan
pembayaran fee for service. Manajemen masih sangat sentralistis. Pemakaian berlebihan
tentu saja tidak dapat dihindari, tidak heran pada awalnya program ini juga mengalami defisit
anggaran. Pada tahun 1970 besarnya iuran dikurangi menjadi hanya 3,89% gaji pokok untuk
pegawai aktif sementara pensiunan masih mengiur 5% dari pensiun yang diterima yang
diatur dengan Kepres No. 22/70. Sampai dengan tahun 1973, berbagai upaya pengendalian
biaya dan pelayanan terus dilakukan guna menyelamatkan program ini dari kebangkrutan.
Bahkan upaya untuk memperluas program asuransi kesehatan PNS kepada masyarakat non
PNS sebenarnya sudah mulai dipikirkan pada periode ini. Pada periode yang sama mutu
pelayanan sudah mulai mendapat perhatian dan karena berbagai standar pelayanan dan
pengaturan obat sudah mulai dilakukan. Pada tahun 1974, besar iuran dikurangi lagi dari
3,89% mejadi 2,75% gaji pokok, pensiunan tetap membayar iuran 5%. Pada tahun 1977
dikeluarkan Kepres No 8/77 yang menetapkan potongan iuran sebesar 2% gaji pokok yang
berlaku bagi pegawai aktif dan pensiunan. Sistem kapitasi kepada puskesmas sudah mulai
diperkenalkan pada tahun 1979 di Jakarta. Selama periode ini dasar-dasar pengendalian biaya
yang kini dikenal dengan teknik managed care sudah dilaksanakan oleh BPDPK. Pada tahun
1980 jumlah anak yang ditanggung dibatasi sebanyak-banyak tiga orang.
Untuk meningkatkan profesionalitas dan mengurangi birokrasi maka pada tahun 1984
pengelolaan asuransi kesehatan PNS ini mulai dipisahkan dari Depkes melalui PP No. 22 dan
23 tahun 1984. Perubahan bentuk badan ini juga untuk menyesuaikan diri fungsi pengelolaan
dana masyrakat yang tidak bisa dikelola menurut sistem akuntansi pemerintahan yang masih
terikat dengan ICW (Indische Comptabiliteit Wet) yang mengharuskan segala dana disetor ke
kas negara. Mulai tahun 1984 itu BPDPK berubah bentuk menjadi Perusahaan Umum
Husada Bhakti atau disingkat Perum PHB. Menteri teknis yang mengawasi PHB ini tetap
Menteri Kesehatan. Prakteknya, penyelenggaraan Perum PHB baru dilaksanakan secara
penuh pada 23 April tahun 1986. Di daerah-daerah dibentuk Kantor Cabang yang terus
berkembang sejalan dengan pertambahan jumlah pegawai negeri. Pada awal tahun 1992
jumlah cabang di seluruh Indonesia sudah berjumlah 27 cabang, masing-masing satu cabang
di tiap propinsi. Pada masa PHB inilah tenaga-tenaga khusus yang mengerti masalah asuransi
kesehatan mulai dididik. Untuk pendidikan ini PHB bekerja sama dengan Pusdiklat Depkes
RI, USAID, dan Zieken Fonds Belanda. Pada masa ini sistem pelayanan terkendali dengan
menggunakan teknik-teknik managed care semakin dimantapkan. Daftar obat yang dijamin
disusun berdasarkan Daftar Obat Esensial Nasional dan diperkenalkan dengan nama Daftar
Plafon Harga Obat, DPHO, di tahun 1987. Berbeda dengan bentuk BPDK, pada masa
Askes PNS
42
H. Thabrany
Perum PHB ini sumber dana tidak lagi hanya bergantung dari iuran peserta akan tetapi sudah
dapat ditambahkan dari penghasilan investasi dana yang belum terpakai.
Untuk lebih memberikan keluwesan perusahaan, menjawab tantangan jaman, dan
memenuhi peraturan yang telah dikeluarkan sebelumnya, maka status PHB ditingkatkan
menjadi PT Persero melalui PP No. 6/92 dengan nama PT Asuransi Kesehatan Indonesia
disingkat dengan nama PT Askes. Dengan bentuk Persero ini, Askes diberikan wewenang
untuk memperluas kepesertaan kepada berbagai badan usaha pemerintah maupun swasta.
Pada awalnya kewenangan ini sempat menimbulkan ketegangan antara PT Askes dan
PT Jamsostek yang ditunjuk untuk mengelola JPK untuk pegawai swasta. Namun setelah
komunikasi semakin baik, terdapat saling pengertian yang baik. PT Askes memang mendapat
kemudahan dari PP 14/93 yang mengatur bahwa perusahaan yang memberikan jaminan lebih
baik boleh tidak mendaftarkan diri pada PT Jamsostek.
Bagi mereka yang ingin mengetahui lebih rinci sejarah asuransi kesehatan PNS ini
dapat membaca buku Historical Development PT Askes Indonesia.1
2.3. Peserta
Peserta Askes PNS diatur oleh PP 69/91 sebagai berikut:
1. Peserta adalah Calon dan Pegawai Negeri Sipil, Penerima Pensiun, Veteran dan
Perintis Kemerdekaan. Pegawai negeri sipil aktif di lingkungan TNI dan Polri dan
anggota aktif TNI dan Polri tidak wajib menjadi peserta Askes karena mereka
mendapat jaminan dari sistem jaminan kesehatan bagi TNI dan Polri yang dikelola
Departemen Hankam.
2. Penerima Pensiun meliputi:
a. Pegawai Negeri Sipil yang berhenti dengan hak pensiun;
b. Prajurit Angkatan Bersenjata Republik Indonesia dan Pegawai Negeri Sipil di
lingkungan Departemen Pertahanan Keamanan dan Angkatan Bersenjata
Republik Indonesia yang berhenti dengan hak pensiun;
c. Pejabat Negara yang berhenti dengan hak pensiun;
d. Janda atau duda atau anak yatim piatu dari Pegawai Negeri Sipil, Prajurit
Angkatan Bersenjata Republik Indonesia serta Pejabat Negara yang mendapat hak
pensiun
3. Keluarga yang ditanggung meliputi isteri atau suami dari peserta dan anak yang sah
atau anak angkat dari peserta sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Semua yang tersebut diatas wajib menjadi peserta Askes dengan pembayaran premi
yang dipotong langsung dari gaji atau pensiun mereka. Dengan alasan untuk meningkatkan
efisiensi dan perluasan kepesertaan, pegawai badan usaha dan badan lainnya serta penerima
pensiunnya dapat menjadi peserta Askes dengan cara membayar premi tersendiri. Masa
menjadi peserta dimulai pada waktu iuran dipotong dari gaji seorang pegawai atau
pembayaran premi oleh badan non pemerintah. Masa kepesertaan berhenti jika iuran atau
1
Askes PNS
43
H. Thabrany
2.4. Premi
Pegawai Negeri Sipil, Penerima Pensiun wajib membayar iuran setiap bulan yang
besarnya serta tata cara pemungutannya ditetapkan dengan Keputusan Presiden. Besarnya
premi yang ditetapkan Kepres saat ini adalah 2% dari gaji pokok pegawai negeri. Pemerintah
sebagai majikan mulai ikut membayar iuran sebesar 0,5% upah di tahun 2004 dan akan terus
dinaikan secara bertahap. Kewajiban Pemerintah tersebut ditetapkan dengan PP 28/2003.
Sebelum otonomi daerah, pemungutan iuran Askes dilakukan langsung oleh Dirjen Anggaran
Departemen Keuangan dengan cara pemotongan langsung dana gaji pegawai sebelum gaji
tersebut dikirimkan kepada bendaharawan pembayar gaji di berbagai instansi pemerintah.
Setelah masa otonomi daerah, pemotongan gaji dilakukan oleh bendaharawan pembayar gaji
di daerah yang kemudian menyetorkannya ke Dirjen Anggaran. Barulah kemudian Dirjen
Anggaran menyerahkan dana tersebut kepada PT Askes.
Iuran untuk Veteran dan Perintis Kemerdekaan, ditanggung Pemerintah atas beban
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Iuran atau premi dari badan lainnya yang ikut
program Askes secara sukarela/komersial diatur dan ditagih langsung oleh PT Askes.
Dari tabel 2.1 dapat dilihat perkembangan jumlah peserta dan penerimaan premi
peserta wajib dari tahun ke tahun. Jumlah penerimaan premi telah meningkat dari Rp 104
milyar di tahun 1989 menjadi Rp 519 milyar di tahun 1999. Hal ini menunjukkan
pertumbuhan penerimaan premi rata-rata sebesar 17,1% per tahun selama 11 tahun.
Sementara jumlah pegawai dan pensiun yang menjadi peserta mengalami pertumbuhan dari
3,7 juta pegawai menjadi 5,1 juta pegawai. Sementara itu jumlah tertanggung telah
meningkat dari 11,8 juta di tahun 1989 menjadi 13,7 juta di tahun 1999. Perhatikan bahwa
jumlah peserta dan tertanggung mengalami penurunan di antara tahun 1994-1996. Hal
tersebut disebabkan karena perbaikan sistem informasi sehingga data ganda dapat dikurangi.
Selain itu, penurunan jumlah tertanggung yang cukup drastis disebabkan karena perubahan
kebijakan jaminan jumlah anak yang ditanggung dari tiga orang menjadi hanya dua orang
saja.
Jumlah premi yang diterima perkaryawan mengalami kenaikan dari Rp 28.136 di
tahun 1989 atau Rp 2.345 per pegawai per bulan menjadi Rp 101.272 tahun 1999 atau
Rp 8.349 per pegawai per bulan. Jika diperhitungkan besaran premi per tertanggung, maka
penerimaan premi di tahun 1989 adalah Rp 8.786 atau Rp 732 per kapita per bulan dan
Askes PNS
44
H. Thabrany
Rp 37.844 di tahun 1999 atau sebesar Rp 3.154 per kapita per bulan. Tentu saja jumlah
tersebut sangat kecil dibandingkan dengan paket jaminan komprehensif yang harus dijamin.
Jika diperhitungkan dengan nilai konstan 1993, penerimaan premi PT Askes dari
tahun 1992 meningkat dari Rp 193 milyar menjadi Rp 257 milyar di tahun 1997 akan tetapi
kemudian menurun menjadi hanya Rp 175 milyar di tahun 1999. Apabila diperhitungkan
penerimaan premi per pegawai dengan harga konstan, maka penerimaan premi tertinggi
diterima tahun 1993 sebesar Rp 50.756 per pegawai per tahun dan terendah pada tahun 1998
dengan jumlah premi Rp 33.134 per pegawai per tahun. Apabila diperhitungkan dengan
penerimaan premi per kapita per tahun dengan harga konstan 1993, maka premi tertinggi
diperoleh pada tahun 1993 dan terendah juga pada tahun 1998 dengan hanya 12.284 per
kapita. Artinya pada tahun 1998, Askes hanya menerima premi sebesar Rp 1.023 per kapita
per bulan pada harga konstan 1993. Dengan melihat penurunan premi riil, maka dapat
dipastikan bahwa pelayanan yang diberikan tidak mungkin mengalami perbaikan
dibandingkan dengan kualitas pelayanan di tahun 1993.
Masalah utama penerimaan premi pegawai negeri adalah kecilnya gaji pokok pegawai
negeri yang menyebabkan juga rendahnya premi yang diterima. Penggajian pegawai negeri
menggunakan sistem penggajian gaji pokok, tunjangan-tunjangan keluarga, jabatan,
tunjangan perbaikan penghasilan, dll., dan penghasilan tambahan dari honor proyek.
Meskipun dalam prakteknya pegawai negeri merupakan kelompok yang relatif lebih kaya
dibandingkan dengan pegawai swasta2, premi dari gaji pokok pegawai negeri menjadi sangat
kecil. Karena besarnya premi hanya diperhitungkan dari gaji pokok. Baru pada tahun 2001
ini pemerintah mengubah sistem penggajian pura-pura menjadi gaji yang lebih realistis,
meskipun belum memadai, dengan memasukkan tunjangan ke dalam komponen gaji pokok.
Besarnya penerimaan Askes dengan perubahan kebijakan tersebut diperkirakan dapat
meningkat sampai dua kali lipat dari tahun sebelumnya.
Masalah kedua dari premi Askes ini adalah kenaikan gaji pokok pegawai negeri tidak
selalu mengikuti perubahan biaya kesehatan atau perubahan harga-harga pelayanan kesehatan
dan obat. Bahkan kenaikan tersebut tidak dapat ditentukan periodenya. Pada suatu ketika
kenaikan gaji dapat berlaku tiga tahun sekali akan tetapi pada waktu lain bisa terjadi
perubahan kenaikan gaji setahun setelah perubahan gaji sebelumnya.
Askes PNS
45
H. Thabrany
Tabel 2.1.
Perkembangan peserta wajib dan besarnya iuran per peserta dan tertanggung PT
Askes Indonesia, 1989-1999
Premi
Penerimaan
premi (Rp
Jumlah peserta /peserta /th Jumlah
juta)
(pegawai)
(Rp)
tertanggung
104.132
3.701.024
28.136
11.852.220
112.232
4.021.075
27.911
12.486.084
112.220
4.241.556
26.457
13.304.182
179.500
4.446.110
40.372
13.951.215
241.787
4.763.733
50.756
14.162.680
268.800
5.075.329
52.962
18.449.601
292.266
5.326.994
54.865
15.783.935
318.319
5.513.026
57.739
16.478.587
418.507
5.451.267
76.772
15.853.439
475.919
5.034.450
94.532
13.579.991
519.169
5.126.474
101.272
13.718.754
Tahun
1989
1990
1991
1992
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
Premi/tertanggung/
th (Rp)
8.786
8.989
8.435
12.866
17.072
14.569
18.517
19.317
26.398
35.046
37.844
Diolah dari berbagai sumber Buku Kegiatan Perasuransian 1995-1999, dan Buku Historical Development PT
Askes 19953.
Tabel 2.2
Penerimaan premi PT Askes Indonesia tahun 1992-1999 menurut harga konstan 1993
Tahun
1992
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
Laporan Kegiatan Usaha Perasuransian Indonesia, 1995. Direktorat Asuransi, Depkeu RI, 1996
Laporan Kegiatan Usaha Perasuransian Indonesia, 1999. Direktorat Asuransi, Depkeu RI, 2000
Askes PNS
46
H. Thabrany
Askes PNS
47
H. Thabrany
meminta surat rujukan ke rumah sakit. Dengan cara ini , seluruh pegawai negeri yang tinggal
di berbagai kota dan desa, misalnya guru-guru SD dan petugas puskesmas sendiri, akan
mendapatkan pelayanan di puskesmas di seluruh tanah air. Di Puskesmas tersebut merupakan
pelayanan kesehatan dasar. Namun demikian, menurut PP 69/91, pelayanan kesehatan dasar
dapat juga diberikan oleh dokter umum, dokter gigi, balai pengobatan, balai kesehatan ibu
dan anak (BKIA), rumah bersalin dan sarana kesehatan dasar lainnya. Hanya saja, untuk
asuransi kesehatan wajib ini, pelayanan oleh dokter umum belum bisa dilakukan secara luas
karena minimnya biaya kapitasi. Uji coba sudah dilakukan di Jawa Timur atas biaya dari
Proyek Kesehatan IV Depkes, akan tetapi perluasan penggunaan dokter umum praktek sore
atau dokter keluarga belum dilakukan. Padahal jika premi cukup memadai, sistem pelayanan
melalui dokter keluarga akan sangat besar pengaruhnya tehadap efisiensi sistem kesehatan di
Indonesia.
Pelayanan kesehatan rujukan adalah pelayanan kesehatan yang diberikan melalui
sarana pelayanan kesehatan rujukan antara lain dokter spesialis, dokter gigi, rumah sakit, dan
sarana pelayanan kesehatan spesialistik lainnya. Termasuk dalam pelayanan kesehatan
tersebut diatas adalah pelayanan persalinan yang diberikan oleh pusat kesehatan masyarakat
(Puskesmas), balai pengobatan ibu dan anak (BKIA), rumah bersalin dan rumah-rumah sakit.
Rawat jalan rujukan dapat diperoleh di rumah sakit terdekat, pada umumnya rumah sakit
pemerintah daerah, pusat, atau rumah sakit tentara atau Polri. Di rumah sakit, pasien Askes
seharusnya diperiksa oleh spesialis yang diperlukan. Namun dalam praktek di daerah,
pemeriksaan rawat jalan rujukan tidak selalu dilakukan oleh spesialis yang diperlukan karena
ketiadaan tenaga spesialis tersebut.
Apabila dalam pelayanan rujukan diperlukan pemeriksaan laboratorium, radiologi,
atau tindakan medik lain, maka dokter spesilis di rumah sakit dapat merujuk pasien ke dokter
atau sarana lainnya. Hal ini disebut rujukan II. Pemeriksaan atau tindakan medik penunjang
yang ditanggung antara lain berbagai pemeriksaan laboratorium yang diperlukan,
pemeriksaan radiologi sampai CT Scan. Namun pemeriksaan CT Scan hanya dibatasi untuk
CT Scan kepala satu kali, sementara CT Scan organ tubuh lainnya tidak dijamin.
Perawatan dengan menginap di rumah sakit dapat dilakukan di rumah sakit
pemerintah, termasuk rumah sakit tentara dan Polri, atau di rumah sakit swasta yang
ditunjuk. Pasien harus mendapatkan surat rujukan dari dokter puskesmas. Untuk pegawai
negeri golongan I dan II kelas perawatan yang diberikan adalah kelas III di rumah sakit
pemerintah. Sementara untuk untuk golongan III diberikan perawatan di kelas II, dan untuk
golongan IV diberikan perawatan di kelas I RS pemerintah. Lama hari perawatan secara teori
tidak dibatasi. Namun peserta harus membayar cost sharing untuk lama hari perawatan yang
melebih 180 hari sesuai kelasnya. Tindakan bedah mencakup berbagai tindakan bedah kecil
sampai bedah besar seperti bedah jantung dijamin sesuai dengan tarif yang ditetapkan
Menteri. Untuk kasus bedah jantung, sesuai dengan SK Menkes, PT Askes hanya
memberikan penggantian maksimum sekitar Rp 50 juta rupiah.
Apabila biaya perawatan ternyata melebihi dari yang dijamin PT Askes, misalnya
karena peserta meminta perawatan di kelas yang lebih tinggi atau menerima obat yang di luar
daftar DPHO, maka peserta harus membayar kelebihan biayanya. Yang dimaksud dengan
Askes PNS
48
H. Thabrany
kelebihan biaya yang menjadi tanggung jawab peserta adalah apabila peserta
mempergunakan pemeliharaan kesehatan yang melebihi standar pelayanan kesehatan. Karena
standar pelayanan ini tidak tersedia secara luas dan tidak dipahami oleh para peserta,
seringkali dalam penerimaan rawat inapkhususnya di kota besar, seorang peserta harus
membayar cukup mahal. Beberapa keluhan peserta dan RS menyampaikan bahwa biaya yang
dijamin oleh PT Askes, sesuai dengan SKB Menteri, hanya menutupi sekitar 20% biaya saja.
PT Askes sendiri secara jujur mengakui bahwa penggantian biaya sesuai SKB memang jauh
dari biaya yang dibutuhkan untuk memberikan pelayanan. Pada saat buku ini ditulis,
perubahan tarif lama yang sudah berlangsung sekitar tiga tahun untuk Askes sedang dalam
proses. Sejalan dengan perubahan sistem gaji pokok PNS, maka diharapkan tahun 2001 ini
penerimaan premi PT Askes akan meningkat tajam dan karenanya pembayaran ke RS dapat
ditingkatkan. Pada sistem penggantian biaya rumah sakit sekarang ini, praktis nilai asuransi
PNS menjadi sangat kecil. Sebab dalam banyak hal, besarnya selisih biaya yang harus
ditanggung peserta bisa lebih besar dari biaya yang ditanggung Askes.
Obat-obat yang diperlukan diresepkan oleh dokter rumah sakit. Pasien mengambil
obat-obat tersebut di apotik yang ditunjuk. Jika obat-obat yang diresepkan termasuk dalam
Daftar Pelafon Harga Obat (DPHO) maka pasien tidak perlu membayar lagi. Namun apabila
obat yang diresepkan tidak termasuk dalam DPHO, maka pasien harus membayar sendiri.
Daftar obat Askes dikembangkan oleh tim dokter yang mempunyai keahlian klinik dan
farmakologik untuk menjamin bahwa obat-obat yang masuk dalam DPHO adalah obat-obat
yang secara esensial dibutuhkan oleh peserta dalam berbagai kasus penyakit yang diderita.
Obat DPHO bukanlah obat generik, akan tetapi obat yang dibutuhkan dapat diberikan dengan
harga yang memenuhi plafon tertentu. Bisa jadi suatu obat bermerek lokal, mee too drug,
yang oleh pasien dianggap sebagai obat paten masuk dalam DPHO. Obat penyakit kanker
juga termasuk dalam daftar obat yang ditanggung Askes. Sebenarnya obat-obat yang tidak
termasuk dalam DPHO akan tetapi mutlak dibutuhkan oleh pasien masih dapat ditanggung
asal ada surat keterangan dokter bahwa obat tersebut secara medis dibutuhkan. Misalnya
sebuah antibiotik mahal bisa ditanggung untuk suatu kasus penyakit infeksi, apabila dari
hasil uji sensitifitas obat (kultur) ternyata obat tersebutlah yang bisa menyembuhkan.
Tindakan hemodialisa, cuci darah, dan transplantasi ginjal juga ditanggung oleh Askes.
Hal ini tentu saja membuat biaya yang sedikit itu menjadi sangat kurang jika sebagian besar
biaya semua pelayanan harus ditanggung. Biaya untuk tindakan hemodialisa saja saat ini
sudah melampaui Rp 30 milyar setahun.
2.6. Kinerja
Dalam usianya yang melebihi 30 tahun, termasuk ketika menjadi BPDPK, PT Askes
telah mengalami pasang surut yang cukup bervariasi. Sebagai perusahaan asuransi, Askes
harus menunjukkan kemampuan solvabilitas keuangan yang memadai untuk memenuhi
berbagai kewajibannya. Sebagai suatu asuransi kesehatan sosial yang menerapkan prinsipprinsip managed care PT Askes harus mampu mengendalikan biaya berapapun besarnya
penerimaan. Jika di dalam pembahasan mengenai premi telah digambarkan bahwa premi
yang diterima sangat kecil bila dibandingkan dengan kewajiban Askes untuk menanggung
Askes PNS
49
H. Thabrany
begitu luas pelayanan, maka di bawah ini disajikan rasio klaim terhadap premi dan terhadap
penerimaan total. Penerimaan PT Askes bersumber dari penerimaan premi dan dari
penerimaan investasi dan penerimaan lain-lain. Sejak sebelum menjadi PT Askes, dana-dana
cadangan teknis dan kelebihan dana (setelah dipotong pajak penghasilan badan, tantiem atau
bonus bagi pengelola, dan dividen kepada pemerintah) disimpan dalam bentuk berbagai
instrumen investasi.
Tampak pada gambar 2.1 perkembangan aset, investasi, dan cadangan teknis PT
Askes dari tahun ke tahun. Harus disadari disini bahwa berkembangnya aset dan investasi
sejak tahun 1993 antara lain juga ikut dipengaruhi oleh perkembangan bisnis asuransi
komersialnya, meskipun jumlahnya masih jauh lebih kecil dibandingkan dengan aset dan
investasi dari program sosialnya. Tampak bahwa di tahun 1993 PT Askes telah memiliki aset
sebesar Rp 400 milyar dengan investasi sebesar Rp 353 milyar. Cadangan teknis yang
dikelola pada saat itu berjumlah Rp 115 milyar. Pada tahun 1999 aset PT Askes telah
berkembang menjadi Rp 702 milyar dan investasi sebesar Rp 610 milyar. Cadangan teknis di
tahun 1999 mencapai hampir Rp 256 milyar. Melihat kinerja keuangan tersebut, Sampai
tahun 1999 PT Askes masih mempunyai kinerja keuangan yang baik, yang dalam kriteria
pemeriksa pemerintah (BPK/BPKP) masuk kategori sehat.
Gambar 2.1
Perkembangan aset, investasi, dan cadangan teknis PT Askes Indonesia 1993-1999
800
Aset
Rp Milyar
600
Investasi
Cad Tek
400
200
0
1993
1994
1995
1996
Tahun
1997
1998
1999
Askes PNS
50
H. Thabrany
penerimaan premi tahun yang sama berkisar antara 54,5% sampai 93,3%. Rasio terendah
terjadi di tahun 1993 sedangkan rasio tertinggi terjadi di tahun 1991. Rata-rata rasio klaim
terhadap penerimaan premi selama kurun waktu tersebut adalah 72,1%.
Cukup
menggembirakan bahwa selama krisis ekonomi berlangsung di Indonesia, khususnya tahun
1998 1999, rasio klaim terhadap premi masih dapat ditekan sampai 76,7% dan 82,4%. Pada
kolom ketiga disajikan data rasio klaim terhadap total pendapatan Askes. Tampak bahwa jika
dilihat dari kinerja keuangan saja, Askes memiliki kinerja yang baik karena rata-rata selama
15 tahun tersebut Askes hanya menghabiskan 60% dana yang diterima untuk biaya
kesehatan.
Jika dilihat dari kedua rasio klaim tersebut, Askes seharusnya masih mampu
memberikan pelayanan yang lebih baik kepada pesertanya. Rasio klaim tersebut baik untuk
program asuransi komersial yang tentu saja harus membukukan keuangan yang memadai
bagi pemegang saham. Rasio klaim ini sangat jauh lebih rendah dari rasio klaim kebanyakan
program asuransi sosial di negara lain. Selisih antara penerimaan premi dan klaim dikenal
dengan biaya administrasi untuk program asuransi sosial. Jadi selama 15 tahun, rata-rata
biaya administrasi adalah 27,9% dari premi yang diterima. Angka ini jauh lebih tinggi dari
biaya administrasi asuransi sosial di Amerika (Medicare) yang 4%, Medicare Canada juga
4%, asuransi kesehatan nasional di Taiwan bahkan hanya 3%, dan asuransi kesehatan sosial
pluralistik di Jerman hanya menghabiskan 5% biaya administrasi4. Besarnya prosentasi biaya
administrasi dipengaruhi oleh besaran premi yang diterima. Semakin besar premi yang
diterima akan semakin kecil porsi biaya administrasi. Di negara-negara maju dimana besaran
premi sudah diperhitungkan dengan baik dan dibuat untuk memberikan pelayanan yang
memadai, maka rasio biaya administrai akan jauh lebih rendah. Sayangnya di Indonesia
belum ada standar berapa biaya administrasi yang layak untuk suatu program asuransi sosial.
Askes PNS
51
H. Thabrany
melampuai target tertentu. Hal ini tentu saja tidak memberikan risiko berarti bagi Dinas
Kesehatan untuk mengendalikan biaya. Selain itu, para dokter dan manajer (kepada Dinas)
juga tidak mendapat insentif yang memadai untuk mengendalikan biaya karena biaya yang
diterima Puskesmas bukanlah menjadi hak mereka. Oleh karenanya sistem pembayaran
kapitasi yang dilakukan Askes tidak memberikan pengendalian biaya yang besar seperti yang
diharapkan terjadi secara teori atau yang terjadi di negara-negara maju. Namun demikian,
sistem kapitasi ini telah memberikan penurunan tren kenaikan biaya seperti yang dilaporkan
Sulastomo.5
Tabel 2.3
Perkembangan rasio klaim (biaya kesehatan) terhadap premi diterima dan terhadap
total pendapatan PT Askes, 1984-1999
Tahun
1984
1985
1986
1987
1988
1989
1990
1991
1992
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
Rata-rata
Rasio
klaim/premi
diterima
68,1%
83,0%
63,6%
70,3%
65,5%
72,2%
83,3%
93,3%
67,1%
54,5%
64,0%
66,9%
73,1%
68,8%
76,7%
82,4%
72,1%
Rasio klaim
/total
pendatan
62,3%
75,2%
57,3%
59,1%
52,2%
56,1%
67,3%
66,9%
53,2%
45,6%
54,7%
58,1%
61,8%
63,4%
61,1%
65,8%
60,0%
Sulastomo. Sistem Pembayran Kapitasi di PT Askes. Dalam Thabrany H dan Hidayat B (Ed). Pembayaraan
Kapitasi. FKMUI, Depok, 1998.
Askes PNS
52
H. Thabrany
oleh pegawai negeri, seharusnya hal itu tidak terjadi. Namun dalam praktek tentu bisa
dimaklumi jika tidak semua tenaga kerja di PPK memahami peraturan ini. Dalam prakteknya,
banyak keluhan peserta yang merasa tidak diberi penjelasan tentang hak-haknya. Sebenarnya
dalam peraturan disebutkan bahwa peserta berhak memperoleh penjelasan dari Pemberi
Pelayanan Kesehatan. Namun tidak semua PPK juga memahami apa yang terjadi pada sistem
asuransi kesehatan pegawai negeri. Banyak tenaga kerja di PPK bahkan direktur RS yang
selalu mengeluh bahwa mereka dibayar dengan tidak memadai, dan tentu saja hal
berpengaruh pada pelayanan yang mereka lakukan.
Falsafah dasar pembayaran Askes kepada PPK diatur oleh SKB Menkes dan
Mendagri adalah untuk mencukupi iuran yang memang disadari tidak memadai. Surat
ketetapan tarif ini bersifat nasional dengan pengelompokan jenis RS bukan daerah. Pada
kota-kota besar, biaya pelayanan jauh lebih mahal karena memang tuntuan tenaga kerja di
rumah sakit, fasilitas, dan biaya-biaya operasional jauh lebih tinggi dari biaya rumah sakit
sejenis di daerah. Tentu saja pembayaran yang sama antara rumah sakit di kota besar dan di
daerah menimbulkan kesenjangan. Rumah sakit di kota pada umumnya tidak puas dengan
besarnya penggantian dari Askes sementara RS di kota kabupaten tidak mempersoalkan,
bahkan bisa jadi lebih senang dengan pembayaran Askes. Banyak dearah yang mematok
tarif Perda perawatan, pemeriksaan penunjang, dan tindakan medis yang sangat rendah,
dengan harapan biaya tersebut dapat terjangkau oleh semua pihak.
Pada masa otonomi daerah, pembayaran dengan tarif SKB menjadi masalah karena
kini RSUD merasa tidak ada kaitan struktural kerja dengan Depdagri atau Depkes. Oleh
karenanya SKB Menkes dan Mendagri yang mengatur pembayaran Askes ke RSUD dinilai
tidak lagi cocok. Untuk RSUD di daerah yang secara historis menetapkan tarif yang relatif
rendah, pembayaran Askes mungkin tidak jadi masalah. Akan tetapi RSUD di kota besar
yang ingin mendapatkan pemulihan biaya (cost recovery rate) yang memadai, bisa jadi tarif
yang ditetapkan jauh lebih tinggi dari kemampuan Askes membayar. Oleh karenanya mulai
ada suara-suara yang tidak menerima tarif SKB. Namun demikian, sampai saat ini hal
tersebut belum sampai pada penolakan pasien Askes.
Jalan keluar yang dikeluarkan oleh PT Askes adalah dengan memberikan
kewenangan kepada RS untuk menagih langsung selisih biaya antara tarif RS dengan
besarnya biaya yang dibayar Askes kepada pasien. Hal ini memang tidak bertentangan
dengan PP 69 karena memang disitu iur biaya dibenarkan. Namun yang menjadi masalah
adalah berapa besarnya iur biaya tersebut. Di negara-negara lain iur biaya biasanya terbatas
sebagai alat kendali utilisasi tetapi tidak memberatkan peserta. Di Amerika dan Jepang, iur
biaya biasanya berkisar pada 20-30% saja dengan batas maksium tertentu. Namun dalam
kasus Askes banyak keluhan bahwa iur biaya menjadi besar sekali, lebih besar dari yang
dijamin oleh Askes. Jika hal ini terus berlanjut asuransi menjadi tidak ada manfaatnya.
Dalam perjalanan Askes yang melampaui usia 30 tahun, banyak terjadi perubahan
demografis dan epidemiologis pada peserta. Penyakit kronis semakin meningkat sementara
iuran dihitung atas dasar pola penyakit lama yang masih lebih banyak penyakit menular.
Pengobatan penyakit kronis memakan waktu lama dan memakan biaya yang jauh lebih besar
daripada pengobatan penyakit menular. Sebagai ilustrasi dapat dilihat perkembangan kasus
Askes PNS
53
H. Thabrany
gagal ginjal dan tindakan hemodialisa (Tabel 2.3) yang menunjukkan kenaikan pesat dari
tahun ke tahun. Kasus-kasus seperti ini dapat menyerap dana sampai 10% dari total biaya
kesehatan. Oleh karenanya seharusnya besaran premi disesuaikan dengan perkembangan pola
penyakit tersebut. Apabila hal ini tidak dilakukan sementara PT Askes masih tetap berbentuk
PT Persero, maka manfaat Askes kepada pesertanya akan semakin menurun.
Table 2.3
Tren kenaikan jumlah penderita gagal ginjal dan tindakan hemodialisis 1989-1994
Tahun
1989
1990
1991
1992
1993
1994
Jumlah
penderita
481
800
1.059
1.327
1.567
1.740
Jumlah
tindakan
23.882
32.336
42.511
53.735
65.015
80.421
Upaya pengendalian biaya melalui negosiasi dengan rumah sakit dan puskesmas atau
menghimbau dokter spesialis menggunakan obat yang lebih rasional menghadapi berbagai
kendala. Salah satu kendala penting adalah bentuk badan hukum PT Persero yang tidak
sejalan dengan penyelenggaraan asuransi sosial. Sejak awal Menteri Siwabessy
mengharapkan pengumpulan dana asuransi kesehatan ini bukan untuk cari untung. Namun
demikian, pandangan pengambil keputusan pemerintah hanya melihat bahwa bentuk Persero
lebih mampu meningkatkan mutu pelayanan dan menghasilkan laba tanpa melihat misi
utama asuransi sosial. Banyak RS yang mengatakan bahwa masa kami RSU harus
mensubsidi PT yang mencari untung?. Dengan pembayaran RS yang jauh lebih rendah
sehingga direktur RS harus memutar akal menutupi selisih biaya untuk pasien Askes berarti
RS mensubsidi Askes. Sementara PT Askes terus membukukan laba. Hal ini yang
menimbulkan kecemburuan di kalangan pengelola RS pemerintah. Sementara itu, laba yang
diperolah Askes tidak dirasakan manfaatnya oleh peserta, padahal setiap bulan gaji peserta
dipotong sebagai premi. Sama halnya dengan Jamsostek, bentuk Persero ini merupakan
bentuk yang tidak konsisten sebagai pengelola asuransi sosial. Seharusnya laba yang diterima
menjadi hak peserta bukan hak pemerintah, sebagai pemegang saham. Ketidak sesuaian ini
sebenarnya dapat diselesaikan apabila PP yang mengatur PT Askes, meskipun berbentuk
Persero, disebutkan khusus sebagai lembaga not for profit. Contoh hal ini terdapat di Filipina
dimana the Philippine Health Insurance Corporation jelas-jelas disebutkan sebagai lembaga
nirlaba.
Askes PNS
54
H. Thabrany
BAB 3
JPK Jamsostek
3.1. Pendahuluan
Program Jamsostek (Jaminan Sosial Tenaga Kerja) merupakan suatu program
jaminan yang diselenggarakan pemerintah untuk memenuhi Konvensi ILO (International
Labour Organization) tentang hak-hak tenaga kerja yang meliputi program jaminan hari tua
(JHT), jaminan kematian (JKM), jaminan kecelakaan kerja (JKK), dan jaminan pemeliharaan
kesehatan (JPK). Sebagai salah satu negara yang meratifikasi (negara pihak) konvensi
international tersebut yang sudah disepakati hampir setengah abad yang lalu, Indonesia
berkewajiban memenuhi hak-hak tenaga kerja. Dalam pemenuhan hak-hak tenaga kerja
tersebut, Indonesia telah mengeluarkan UU No.3/1992 tentang Jamsostek. Undang-undang
ini dikeluarkan dalam waktu hanya semingga setelah UU No. 2/92, tentang asuransi yang
secara eskplisit memberikan ijin kepada perusahaan asuransi jiwa dan kerugian untuk
menjual produk asuransi kesehatan.
Program jaminan sosial merupakan program yang diselenggarakan oleh semua negara
maju di dunia dan merupakan program pemerintah dalam rangka ketahanan nasional dalam
bidang sosial. Luasnya program jaminan sosial tergantung dari kemampuan ekonomi dan
kemampuan umum suatu negara. Organisi tenaga kerja dunia dalam Konvensi Jaminan
Sosial No 102/52 menetapkan sembilan macam program yang merupakan bagian dari
jaminan sosial, yaitu: pemeliharaan kesehatan, tunjangan sakit, jaminan hamil dan bersalin
(maternity benefit), santunan kecelakaan kerja, tunjangan cacat, tunjangan kematian,
tunjangan hari tua, santunan pengangguran, dan tunjangan keluarga. Secara umum Indonesia
sudah hampir memenuhi kesembilan program tersebut, hanya saja beberapa program
digabung menjadi satu. Istilah program JPK yang digunakan memang tidak lepas dari
pengaruh Departemen Kesehatan yang pada saat yang sama mengembangkan program
Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat (JPKM) yang akan dibahas pada Bab 4.
Program Jamsostek wajib diikuti oleh seluruh pemberi kerja (perusahaan, dalam
artian seluruh lembaga yang menjalin hubungan ketenaga-kerjaan termasuk diantranya
lembaga seperti yayasan, rumah sakit, sekolah, lembaga swadaya masyarakat, dsb.). Untuk
tahap pertama program ini hanya diwajibkan kepada pemberi kerja atau majikan yang
memiliki 10 orang karyawan atau lebih, atau membayar upah lebih dari Rp 1 juta per bulan.
Jadi pemberi kerja yang hanya memiliki empat orang karyawan tetapi membayar upah
(bukan gaji pokok, tetapi take home pay) lebih dari Rp 1 juta untuk keempat karyawan
tersebut, wajib mengikut sertakan tenaga kerjanya pada program Jamsostek.
UU Jamsostek kemudian dilengkapi dengan Peraturan Pemerintah No 14/93 yang
menjabarkan lebih lanjut tentang program secara rinci. Lebih lanjut, pasal-pasal dalam PP
JPK Jamsostek
55
H.Thabrany
tersebut dijabarkan dengan Peraturan Menteri Tenaga Kerja No 5/93. Dalam UU No 2/92
tidak disebutkan bahwa penyelenggara program Jamsostek adalah PT (Persero) Jamsostek.
Penunjukkan PT Jamsostek sebagai badan penyelenggara adalah berdasarkan PP No 36/95.
Sebelum PP ini dikeluarkan penyelenggaraan Jamsostek dilaksanakan oleh PT Astek yang
merupakan pendahulu PT Jamsostek.
2.
3.
4.
5.
6.
JPK Jamsostek
56
H.Thabrany
4.
5.
6.
7.
Paket jaminan tersebut dijabarkan lebih lanjut dalam PP 14/93 dan dalam Peraturan
Menaker No. 05/Men/1993. Secara rinci jabaran lebih lanjut tentang JPK adalah sebagai
berikut:
Table 1. Paket Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Jamsostek Menurut Peraturan yang berlaku
Paket
Jumlah
tertanggung
Paket jaminan
Pemberian
pelayanan
JPK Jamsostek
57
H.Thabrany
Paket
Pelayanan
kesehatan
rujukan
Pelayanan
rawat inap
Pelayanan
gawat darurat
JPK Jamsostek
58
H.Thabrany
Paket
Pelayanan
kehamilan dan
persalinan
1. Diberikan di rumah
bersalin yang ditunjuk
2. Apabila terdapat
penyulit/komplikasi maka
pelayanan dapat diberikan
di RS
Obat
JPK Jamsostek
59
H.Thabrany
Paket
Pelayanan
khusus
1.
Lain-lain
JPK Jamsostek
60
H.Thabrany
JPK Jamsostek
61
H.Thabrany
Provisi opt-out dimana perusahaan atau pemberi kerja (untuk mudahnya selanjutnya
disebut perusahaan) dapat membeli asuransi kesehatan atau menyediakan sendiri pelayanan
kesehatan sangat mempengaruhi perkembangan program JPK Jamsostek. Meskipun klausul
tersebut menyebutkan bahwa perusahaan yang diberikan harus lebih baik dari yang diberikan
JPK Jamsostek, dalam prakteknya hal ini belum bisa dikendalikan. Pada bulan Februari
1998, Menteri Tenaga Kerja mengeluarkan surat keputusan menteri tentang kriteria
pelayanan yang lebih baik. Permenaker No 5/93 juga mengharuskan perusahaan tersebut
menyampaikan laporan secara periodik tentang jaminan kesehatan yang diberikan kepada
karyawannya. Namun demikian, hingga saat ini penegakkan hukum tentang hal ini belum
berjalan sebagaimana mestinya. Akibatnya perusahaan yang tidak memberikan jaminan
kesehatan kepada karyawannya, alias melanggar UU Jamsostek, tidak mendapatkan sangsi.
Tentu saja hal ini tidak mendorong perusahaan untuk bergabung dengan Jamsostek. Di lain
pihak, banyak perushaan yang menilai bahwa jaminan yang diberikan Jamsostek tidak
memenuhi harapan mereka, baik kualitasnya maupun jumlahnya. Akibatnya, banyak
perusahaan yang tidak mendaftarkan karyawannya ke Jamsostek. Oleh kerena itu
perkembangan kepesertaan JPK Jamsostek berjalan sangat lamban, jika dibandingkan dengan
potensi jumlah peserta yang memenuhi syarat. Tabel 3.1 menyajikan perkembangan jumlah
perusahaan, peserta (tenaga kerja), tertanggung (anggota keluarga), besarnya penerimaan
premi JPK dan rasio klaim (biaya medis) terhadap premi yang diterima.
Tabel 3.1
Perkembangan Jumlah Peserta dan Tertanggung JPK Jamsostek, 1991-2000
Tahun
1991
1992
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
Rata-rata
tumbuh
91-2000 (%)
40%
Jika dilihat dari pertumbuhan jumlah perusahaan, peserta, dan penerimaan premi
maka kinerja yang JPK Jamsostek cukup baik. Jumlah perusahaan yang mendaftarkan
karyawannya ke JPK Jamsostek meningkat rata-rata 53% setahun. Jumlah karyawan
meningkat rata-rata 40% setahun sedangkan jumlah tertanggung meningkat hanya 38% per
JPK Jamsostek
62
H.Thabrany
tahun. Artinya, semakin hari lebih banyak karyawan bujang atau keluarga kecil yang
bergabung dengan JPK Jamsostek. Data ini juga menunjukkan bahwa kebanyakan hanya
perusahaan kecil, rata-rata 91 karyawan per perusahaan selama 10 tahun, yang mendaftarkan
diri pada program JPK Jamsostek. Namun apabila dibandingkan dengan jumlah tenaga kerja
yang seharusnya mendaftar pada JPK Jamsostek, jumlah tersebut masih sangat sedikit.
Peraturan Pemerintah No. 14/93 yang mewajibkan pemberi kerja yang membayar
upah lebih dari Rp 1 juta per bulan wajib mendaftarkan karyawannya kepada Jamsostek.
Peraturan ini masih berlaku sampai saat ini. Apabila peraturan ini ditegakkan, maka paling
tidak 100 juta orang seharusnya sudah mendapatkan jaminan dari JPK Jamsostek. Perorangan
yang mempunyai seorang sopir dan dua pembantu sudah terkena kewajiban ini, karena untuk
ukuran Jakarta dengan upah minimum Rp 426.000 per bulan, orang tersebut sudah termasuk
pemberi kerja yang wajib mendaftarkan ke JPK Jamsostek. Jika dilihat jumlah tertanggung
yang hanya mencapai 2,7 juta jiwa di tahun 2000, jumlah ini kurang dari 3% dari jumlah
penduduk yang memenuhi syarat. Jika dibandingkan dengan jumlah tenaga kerja yang
terdaftar pada ketiga program Jamsostek lainnya yang mencapai 18,8 juta jiwa, pendaftar
JPK hanya mencapai 1,3 tenaga kerja. Ini berarti hanya 6,9% tenaga kerja yang mengambil
JPK dari seluruh peserta terdaftari. Jika dibandingkan dengan potensi tenaga kerja yang
menjalin hubungan kerja, yang menurut survei ILO berjumlah 56,2 jutaii, maka jumlah
tenaga kerja terdaftar pada JPK hanya 2,5% dari potensi tenaga kerja.
Pertumbuhan penerimaan premi mencapai rata-rata 51% per tahun dari Rp 4,5 milyar
di tahun 1991 menjadi Rp 155 milyar di tahun 2000. Namun demikian, jika dibandingkan
dengan penerimaan premi oleh perushaan asuransi komersial, maka besarnya premi yang
diterima JPK Jamsostek jauh lebih rendah. Total premi asuransi kesehatan dan kecelakaan
diri dari perusahaan asuransi komersial di tahun 1999 mencapai Rp 722 milyar.1 Jika
diperhitungkan besarnya premi yang diterima per kapita, maka di tahun 1991 JPK Jamsostek
menerima premi sebesar Rp 22.800 per kapita per tahun sedangkan di tahun 2000 besarnya
mencapai Rp 57,542 per kapita per tahun. Jika jumlah itu dibagi 12, maka premi bulanan
yang diterima JPK Jamsostek di tahun 2000 hanya mencapai Rp 4.795,-. Jelas jumlah
tersebut sangat kecil untuk menutupi kebutuhan kesehatan yang relatif luas. Bandingkan
dengan premi sebesar Rp 125.520 per jiwa per bulan untuk jaminan rawat inap saja dengan
santunan tahun pertama Rp 100.000,- yang dijual PT Central Asia Raya.2 Namun jia dilihat
dari rasio klaim yang rata-rata hanya 72% dari premi yang diterima, PT Jamsostek tidak
mengalami kerugian dalam mengelola JPK. Hal ini dapat terjadi karena pelayanan yang
diberikan menggunakan teknik-teknik managed care tertutup sehingga biaya dapat
terkendali. Hanya saja untuk bisa mengendalikan biaya yang sekecil itu, diperlukan upaya
yang keras.
Jika diperhatikan besarnya kontribusi dari gaji per tenaga kerja (TK) maka tampak
bahwa tenaga kerja yang terdaftar pada umumnya adalah tenaga kerja berupah rendah. Jika
pada tahun 2000 rata-rata premi per tenaga kerja adalah Rp 9.794, maka dapat diperkirakan
besarnya upah tenaga kerja tersebut. Jika diambil rata-rata premi sebesar 4,5% maka upah per
1
Djaelani. F. Perkembangan Asuransi Kesehatan di Indonesia. Seminar Nasional Asuransi Kesehatan, Jakarta,
Oktober 2000.
2
Iklan pada harian Kompas, 22 September 2001
JPK Jamsostek
63
H.Thabrany
bulan tenaga kerja yang didaftarkan rata-rata hanya Rp 217,650 per bulan. Jelas upah
tersebut merupakan upah di bawah upah minimum. Perkembangan premi per tenaga kerja
hanya tumbuh sebesar rata-rata 11% dalam sembilan tahun terakhir dan premi per kapita
tumbuh rata-rata dengan 13% per tahun. Jelas perkembangan premi ini tidak bisa mengikuti
perkembangan biaya kesehatan yang lebih tinggi.
Tabel 3.2
Analisis perkembangan premi JPK Jamsostek, 1991-2000
Tahun
1991
1992
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
Rata-rata
Ratio
TTG/TK
2,3
2,2
2,1
2,1
2,0
1,8
2,0
2,1
2,1
2,0
2,1
Pertumbuhan (%)
Ratio
TK/pers Premi/TK Premi/ kapita
119
115
42%
53%
75
-29%
-27%
81
16%
15%
87
3%
7%
102
5%
19%
91
30%
19%
78
4%
-3%
79
22%
24%
79
7%
9%
91
11%
13%
JPK Jamsostek
64
H.Thabrany
diberikan JPK Jamsostek akan semakin menurun kualitasnya. Batas besaran upah ini
juga menyebabkan tidak optimalnya subsidi silang yang diharapkan terjadi pada
program jaminan sosial.
3. Hanya perusahaan yang diwajibkan membayar premi sementara tenaga kerja tidak
diwajibkan. Hal ini tidak menimbulkan rasa memiliki oleh tenaga kerja. Di berbagai
belahan dunia, tenaga kerja biasanya ikut berkontribusi sehingga terdapat rasa
memiliki karena mereka juga ikut membayar. Bagi pengusaha, kewajiban yang hanya
dibebankan kepadanya sering dirasakan sebagai beban sehingga banyak yang tidak
melaporkan besar upah atau jumlah karyawan yang sebenarnya untuk mengurangi
kewajiban membayar premi.
4. Jaminan kesehatan ini tidak diberikan kepada mereka yang telah pensiun atau tidak
lagi dalam hubungan kerja. Akibatnya, para pensiunan yang tidak lagi menerima upah
dan mempunyai risiko sakit yang lebih tinggi tidak mendapatkan jaminan. Hal ini
menjadi beban yang berat bagi penduduk lanjut usia (lansia) di Indonesia. Begitu juga
mereka yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) tidak mendapatkan jaminan
selama mereka belum bekerja di tempat baru.
5. Batas jaminan sampai anak ketiga dan persalinan ketiga yang bertujuan untuk
menunjang program KB menimbulkan diskriminasi bagi anak keempat. Hal ini akan
menjadi beban berat bagi tenaga kerja, khususnya bila anak keempat atau persalinan
keempat menderita suatu penyakit atau penyulit berat.
6. Cakupan pelayanan yang tidak menjamin pengobatan kanker dan hemodialisa dapat
memberatkan ekonomi tenaga kerja, bukan saja bagi mereka yang berpenghasilan
rendah tetapi juga yang berpenghasilan tinggi.
7. Rumitnya pengelolaan JPK dan tingginya rasio klaim dibandingkan dengan tiga
program lainnya tentu saja kurang memberi insentif kepada PT Jamsostek sendiri
untuk mendorong pertumbuhan peserta yang tinggi. Hal ini juga ditambah kurangnya
tenaga yang menguasai dan mau memberikan perhatian khusus kepada JPK
Jamsostek.
8. Penegakan hukum terhadap pelanggaran oleh perusahaan, seperti pelaporan upah
yang lebih rendah dari yang sebenarnya, tidak mendaftarkan JPK padahal juga tidak
memberikan jaminan, dan berbagai pelanggaran lainnya tidak berada pada PT
Jamsostek. Penegakkan hukum merupakan kewenangan Depnakertrans. Visi dan
pemahaman pentingnya jaminan sosial antara petugas di PT Jamsostek dan di
Depnakertrans mungkin sangat berbeda sehingga tidak terjadi koordinasi yang baik.
9. Besarnya denda bagi perusahaan yang melanggar sebesar Rp 50 juta merupakan
sanksi yang ringan sehingga tidak mendorong perusahaan untuk secara aktif
mengikuti program ini.
10. Rumitnya manajemen akibat tingginya mutasi tenaga kerja, baik karena pindah kerja,
perubahan status perkawinan, penambahan atau pengurangan anggota keluarga, dsb.,
belum ditunjang oleh sistem informasi yang memadai.
11. Bentuk badan hukum PT Persero yang bersifat pencari laba tidak konsisten dengan
sifat penyelenggaraan jaminan sosial yang wajib yang bertujuan memaksimalkan
pelayanan bagi peserta. Bentuk badan hukum ini juga telah menimbulkan banyak
campur tangan pemerintah, selaku pemegang saham, terhadap manajemen Jamsostek.
Seharusnya pesertalah yang lebih menentukan manajemen. Oleh karenanya
perubahan bentuk badan hukum menjadi Trust Fund yang dikendalikan secara tri-
JPK Jamsostek
65
H.Thabrany
partit (pengusaha, tenaga kerja, dan pemerintah) sedang dalam pertimbangan. Selain
itu, karena bentuk persero ini juga timbul kesalah-fahaman bahwa Jamsostek
bertentangan dengan UU anti monopoli. Undang-undang anti monopoli berlaku untuk
usaha memproduksi sesuatu yang sifatnya sukarela, sementara program Jamsostek
merupakan program wajib yang merupakan kepentingan orang banyak tidak berlaku.
Oleh karenanya di berbagai belahan dunia, jaminan sosial tidak masuk dalam subyek
yang terkena UU anti monopoli dan hal ini diatur pada pasal 51 UU No5/99 tentang
Larangan Praktek Monopoli.
i
ii
JPK Jamsostek
66
H.Thabrany
BAB 4
Asuransi Kesehatan Komersial di Indonesia
4.1. JPKM
Program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat (JPKM) mulai dikenal luas
setelah dikeluarkan UU No 23/92 tetang kesehatan yang pada pasal 66 menggariskan bahwa
pemerintah mengembangkan, membina dan mendorong JPKM sebagai cara pemeliharaan
kesehatan praupaya berasaskan usaha bersama dan kekeluargaan. Sebelum JPKM masuk
dalam UU kesehatan tersebut, berbagai upaya memobilisasi dana masyarakat dengan
menggunakan prinsip asuransi telah dilakukan antara lain dengan program DUKM (Dana
Upaya Kesehatan Masyrakat) dan uji coba PKTK oleh PT Astek. Dengan memobilisasi dana
masyarakat diharapkan mutu pelayanan kesehatan dapat ditingkatkan tanpa harus
meningkatkan anggaran pemerintah. Konsep yang ditawarkan adalah secara perlahan
pembiayaan kesehatan harus ditanggung masyarakat sementara pemerintah akan lebih
berfungsi sebagai regulator.
Upaya memobilisasi dana masyarakat tidak terlepas dari berbagai upaya swastanisasi
di dunia yang memandang bahwa dominasi upaya pemerintah dalam berbagai aspek
kehidupan masyarakat akan menghadapi masalah biaya, efisiensi, dan mutu pelayanan.
Program swastanisasi besar-besaran dilaksanakan di Inggris pada masa Perdana Menteri
Margaret Tacher untuk berbagai program pemerintahnya pada awal tahun 80an. Perusahaan
penerbangan British Airways dan radio serta televisi BBC yang tadinya dikelola pemerintah
merupakan contoh bentuk swastaniasi upaya pemerintah Inggris. Sejak itu gelombang
privatisasi di dunia terus meluas. Di dalam sistem kesehatan Indonesia upaya itu antara lain
dapat dilihat dari upaya menggerakan pembiayaan kesehatan oleh masyarakat dan
transformasi RSUP menjadi RS Perjan (Perusahaan Jawatan). Namun demikian, di Inggris
sendiri sistem pelayanan kesehatan masih tetap dikelola pemerintah dengan sistem National
Health Service. Tetapi reformasi NHS terus berjalan hingga saat ini. Dalam kerangka pikir
inilah program JPKM yang bertujuan untuk memobilisasi dana masyarakat guna membiayai
pelayanan kesehatan dikembangkan.
Perkembangan JPKM tidak lepas dari peran pemerintah Amerika Serikat melalui
program bantuan pembangunannya (the United States Agency for International Development,
USAID). Pada tahun 1988 USAID membiayai proyek Analisis Kebijakan Ekonomi
Kesehatan (AKEK) di Depkes selama lima tahun. Dalam proyek inilah antara lain
berkembang pemikiran-pemikiran pembiayaan kesehatan yang semua dikenal dengan konsep
Dana Upaya Kesehatan Masyarakat (DUKM) yang secara operasional dijabarkan dalam
bentuk JPKM. Karena seperti biasanya proyek-proyek USAID selalu membawa konsultan
dari Amerika yang secara tidak langsung mempengaruhi pemikiran yang pada waktu itu
sangat populer di Amerika. Selama pertengahan tahun 1970an dan pertengahan 1980an
67
H. Thabrany
68
H. Thabrany
Landasan Hukum Penyelenggaraan JPKM. Dirjen Bina Peran Serta Masyarakat, Depkes, 1996
69
H. Thabrany
70
H. Thabrany
12. Bapel harus melakukan pemantauan standar pelayanan, mutu pelayanan, dan
sarana/prasarana yang dimiliki PPK
13. Bapel harus membayar PPK dengan cara kapitasi berdasarkan perhitungan yang
harus dapat dikaji ulang.
14. Bapel dan PPK secara bersama harus menyediakan dana cadangan untuk
pelayanan peserta. Dana cadangan tersebut dihimpun dengan menahan sebagian
pembayaran kapitasi kepada PPK yang besarnya antara 15-45% dari seluruh
pembayaran bapel yang harus tercantum dalam kontrak. Dana cadangan ini harus
dimanfaatkan untuk kepentingan PPK, peserta, dan bapel dengan terlebih dahulu
mendapat persetujuan dari Dirjen.
15. Bapel harus melakukan koordinasi dengan bapel lain dalam hal peserta memiliki
jaminan ganda yang harus dinyatakan dalam kontrak.
16. Bapel harus melakukan pencatatan pelaporan yang mencakup: laporan bulanan,
tahunan, evaluasi pelaksanaan tiap 6 (enam) bulan, rencana perluasan, dan
kegiatan lain yang diperlukan. Laporan tersebut harus disampaikan kepada
Dirjen/pejabat yang ditunjuk.
17. Badan yang tidak memenuhi peraturan diatas diancam denda Rp 500 juta atau
kurungan penjara paling lama 15 tahun sesuai dengan UU 23/92 pasal 80(2).
Kepesertaan
1. Setiap orang, secara perorangan atau kelompok, dapat menjadi peserta program
JPKM
2. Setiap orang yang menjadi peserta pada lebih dari satu bapel harus melaporkan
untuk koordinasi manfaat
3. Kepesertaan dapat dilakukan setiap saat. Untuk peserta perorangan, beban biaya
paket tidak boleh melebihi 110% paket terendah.
4. Pembayaran beban biaya PK wajib dilakukan setiap bulan atau untuk jangka
waktu tertentu
5. Kepesertaan setiap orang mulai berlaku saat kesepakatan ditanda-tangani
6. Peserta berhak mengajukan keluhan dan memperoleh penyelesaian atas keluhan
yang diajukan
Masalah utama dalam peraturan JPKM adalah bahwa program JPKM berusaha untuk
memenuhi kebutuhan (bukan permintaan) masyarakat dengan mengutamakan usaha promotif
dan preventif melalui sistem komersial. Padahal sistem komersial kurang perduli dengan
kebutuhan (need) akan tetapi lebih menekankan pada aspek permintaan (demand). Sehingga
jika suatu bapel dipaksakan harus menjual produk yang mengutamakan promotif dan
preventif, yang nota bene lebih merupakan barang publik, tentu saja akan sulit mendapatkan
pembeli. Dalam peraturan tersebut tampak tidak sesuainya tujuan program dan rancang
bangun program yang tercermin dalam kedua Permenkes tersebut.
71
H. Thabrany
72
H. Thabrany
JPKM
HMO
Transfer risiko
Pooling risiko
Sharing risiko
Dasar hukum
Tujuan
Kepesertaan
Kontrak
Sukarela
Unilateral
Kondisional
Aleatory
adhesi
Harus
Ada
Ada
Belum ada aturan khusus
Ada
Ada
Open enrollement
73
H. Thabrany
Item
Pelayanan
komprehensif
Program promotif dan
pencegahan
Limitasi dan eksklusi
Pembayaran PPK
Manajemen utilisasi
Manajemen mutu
Penanganan keluhan
JPKM
HMO
74
H. Thabrany
75
H. Thabrany
Jamsostek itu suatu JPKM atau asuransi kesehatan atau bukan? Kalau JPK Jamsostek adalah
JPKM atau asuransi, maka kenapa harus tunduk pada UU sendiri?
Soal peraturan mana yang mengatur; apakah itu UU No. 2/92, No. 3/92, atau UU No.
23/92, semuanya sama saja bagi penduduk atau peserta yang akan mendapatkan jaminan
kesehatan. Semuanya adalah undang-undang Negara RI. Semuanya disetujui oleh DPR dan
diundangkan oleh Presiden. Jadi semuanya sama-sama ikut mengatur agar penduduk
mendapatkan pelayanan kesehatan yang dibutuhkan. Kemanapun suatu program mengacu,
tidak jadi masalah bagi masyarakat. Semuanya dapat ditempatkan dan diatur bersama,
sehingga bisa saling memperkuat kepentingan Nasional di dalam rangka meningkatkan
derajat kesehatan, produktifitas dan kualitas hidup rakyat.
Secara objektif kita harus membandingkan ciri-ciri kontrak asuransi dan kontrak
JPKM. Apabila keduanya memiliki kesamaan, maka JPKM adalah asuransi. Pada Bab I kita
sudah membahas empat ciri utama kontrak asuransi yaitu kondisional, unilateral, aleotary,
dan adhesi. Keempat ciri kontrak tersebut juga terdapat dalam JPKM dan JPK Jamsostek.
Oleh karenanya, baik JPKM maupun JPK Jamsostek merupakan juga asuransi yang tidak
diselenggarakan oleh perusahaan asuransi. Literatur international sangat jelas mengenai
klasifikasi ini. Jika pada bagian terdahulu kita sudah membahas persamaan dan perbedaan
JPKM dengan HMO, yang sangat mirip, maka kita bisa belajar juga dari yang terjadi di
Amerika. Di Amerika, HMO memang juga bukan perusahaan asuransi tetapi yang
memberikan ijin dan yang mengawasi solvensi dan berbagai masalah hubungan pesertaHMO diatur oleh Departemen Asuransi. Karena meskipun HMO bukan perusahaan asuransi,
produk yang dijualnya adalah produk asuransi. Untuk membuat pengoperasian HMO relatif
standar di tingkat federal, maka the National Association of Insurance Commisioner (NAIC)
membuat apa yang disebut NAIC HMO Model, yang merupakan dasar untuk pengaturan
HMO di masing-masing negara bagian.
Dari kepentingan publik dan kesehatan masyarakat, apakah JPKM suatu asuransi
kesehatan atau bukan, menurut hemat penulis, tidak ada bedanya. Peserta JPKM atau
asuransi kesehatan harus dapat terlindungi dari kesulitan akses (karena biaya atau ketiadaan
fasilitas) apabila mereka terkena musibah suatu penyakit secara adil, terjangkau, dan efisien
secara nasional. Inilah yang menjadi tujuan kita bersama. Kita tidak ingin ada orang sakit
yang tidak bisa berobat karena tidak memiliki uang. Kita tidak ingin orang yang tidak perlu
berobat, lalu diobati hanya karena petugas kesehatan atau pemilik usaha di bidang kesehatan
memerlukan uang. Kita tidak ingin ada pelayanan untuk orang miskin dan ada pelayanan
untuk orang kaya. Yang kita inginkan adalah adanya pelayanan kesehatan dan pemeliharaan
kesehatan yang sesuai dengan kebutuhan medis seseorang, terlepas dari status ekonomi orang
tersebut (equity egaliter). Apakah mekanisme pemberian pemeliharaan kesehatan itu
diberikan melalui asuransi dengan penggantian biaya, ditanggung pemerintah, ditanggung
asuransi dengan jaminan pelayanan, atau ditanggung JPKM dengan pelayanan di tempat
tertentu; buat masyarakat tidak jadi masalah. Yang jadi masalah bagi masyarakat adalah jika
mereka tidak bisa mendapatkan jaminan yang memadai atau mendapat jaminan yang
memadai tetapi biayanya (premi, iuran, kontribusi, dll) mahal.
76
H. Thabrany
Konsekuensi serius dapat terjadi jika kita bersikeras bahwa JPKM bukan asuransi dan
karena JPKM tidak dikelola menurut prinsip-prinsip asuransi. Hal ini akan membawa akibat
sangat berat bagi peserta JPKM sendiri. Peserta JPKM akan mudah sekali menjadi korban
karena adanya kontrak adhesi dimana peserta berada pada posisi lemah. Karena bisnis JPKM
adalah bisnis risiko, maka persyaratan permodalan dan manajemen harus diatur sangat ketat
agar peserta tidak dirugikan. Kasus bapel JPKM IHBI (International Health Benefit
Indonesia) yang kini bangkrut sementara dana deposito (modal) yang disetor di Depkes
hanya sekitar 2,5% dari kewajibannya yang tidak dibayarkan ke RS (menurut sebuah
sumber), merupakan pelajaran yang sangat berharga. Jika saja JPKM dikelola menurut
prinsip-prinsip asuransi yang baik, hal itu kecil kemungkinannya terjadi. Akibatnya banyak
RS di Jakarta yang kehilangan kepercayaan terhadap JPKM. Inilah salah satu contoh, akibat
serius dari tidak tepatnya kita menempatkan JPKM.
Apakah Depkes tidak boleh mengatur asuransi kesehatan? Menurut penulis, tidak ada
alasan untuk itu. Di Amerika, Departemen Kesehatan dan Pelayanan Sosial bahkan
menyelenggarakan sendiri asuransi kesehatan sosial (Medicare), yang di dalam
administrasinya dikelola oleh Health Care Financing Administration (HIAA, 1996; HIAA,
1995; Kongsvedt, 1996)ii. Undang-undang asuransi sosial kesehatan di Jerman diatur dan
diawasi oleh Departemen Kesehatan Federaliii. Di Taiwan, Biro Asuransi Kesehatan
Nasional merupakan lembaga di bawah Departemen Kesehataniv. Tidak ada alasan bahwa
Departemen Kesehatan tidak boleh mengatur asuransi kesehatan, sehingga JPKM harus
bukan asuransi.
Thabrany, H. Pujianto, Mundiharno, Djazuli. Laporan Subsidi Silang Bapel dan Pemda. PT MJM-Dirat JPKM,
Jakarta 2001
77
H. Thabrany
Tabel 4.1
Perkembangan jumlah tertanggung yang diperoleh oleh bapel JPKM, 1998-1999
Jumlah bapel
Jumlah tertanggung
1998
14
108.000
1999
17
108.000
2000
21
286.734*
Sumber: Profil Kesehatan 2000, Laporan Subsidi Silang JPKM, Dirat JPKM.
* Angka perkiraan dan termasuk peserta bapel IHBI dan BCS yang telah bangkrut, yang berjumlah
sekitar 30.000 tertanggung..
Produk yang dijual bapel JPKM maupun oleh perusahaan asuransi sangat bervariasi
dari yang hanya menanggung perawatan di puskesmas dengan pembayaran kapitasi dan
penggantian biaya rawat inap di RS maksimum Rp 250.000 sampai yang menanggung
perawatan di luar negeri. Paket dengan jaminan sampai perawatan di luar negeri dijual oleh
PT Askes Indonesia, yang akan dibahas tersendiri di bagian belakang bab ini. Premi jual
bervariasi dari Rp 1.000 sampai yang berharga diatas Rp 100.000 per orang per bulan. Salah
satu contoh paket dan preminya dicantumkan dalam Bab I tentang ilustrasi produk asuransi
kesehatan komersial dan sosial.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Penyebab lambatnya pertumbuhan bapel dan peserta JPKM antara lain adalah:
Konsep JPKM dinilai terlalu ideal padahal konsep tersebut bertumpu pada
mekanisme asuransi kesehatan komersial yang seharusnya merespons permintaan.
Akibatnya tidak banyak investor berpengalaman yang berminat menanamkan
modalnya dalam bidang ini.
Peraturan bapel dan PPK yang tidak kondusif untuk bisnis jaminan dan terlalu
birokratis. Dalam prakteknya Depkes tidak mampu memantau dan menjamin
peraturan yang dibuatnya dipatuhi oleh badan penyelenggara.
Tersedia pilihan menjual asuransi kesehatan di luar JPKM yaitu yang berdasarkan UU
Asuransi. Perusahaan asuransi dapat menjual produk asuransi kesehatan tradisional,
yang lebih mudah dan menarik, maupun produk yang mirip JPKM tanpa harus terikat
pada peraturan JPKM.
Biaya kesehatan yang mahal belum menjadi masalah utama pembiayaan kesehatan
kita, bahkan justeru sebaliknya. Program JPKM yang menjanjikan pengendalian biaya
menjadi tidak relevan. Hal ini sangat berbeda dengan di Amerika dimana hampir
semua orang sangat khawatir akan mahalnya biaya kesehatan, sehingga berbagai
upaya pengendalian biaya melalui managed care menjadi pilihan yang menarik.
Contoh-contoh penyelenggaraan JPKM yang diselenggarakan Depkes memberikan
kesan bahwa JPKM adalah produk inferior. Percontohan JPKM di Klaten dan di
berbagai proyek HP IV menggunakan sarana puskesmas sebagai PPK dan dengan
premi yang hanya berkisar pada Rp 1.000 Rp 2.000 per bulan. Hal ini sama sekali
tidak bisa meyakinkan pembeli bahwa JPKM mempunyai jurus jaga mutu atau
meyakinkan bahwa mutu pelayanan yang diberikan patut untuk dibeli.
Masih murahnya pelayanan kesehatan yang dapat diperoleh di puskesmas dan rumah
sakit pemerintah menyebabkan masyarakat tidak merasakan sakit sebagai ancaman
keuangan mereka di kemudian hari.
Masih luasnya sikap risk taker di masyarakat dimana kesakitan dinilai sebagai suatu
fenomena alamiah yang harus diterima sebagai takdir.
78
H. Thabrany
8. Masih kuatnya sifat gotong royong tradisional masyarakat dimana apabila salah
seorang keluarga atau kerabat sakit, masyarakat yang lain ikut membantu
meringankan beban biaya si sakit.
9. Belum memadainya sumber daya manusia yang mampu mengelola asuransi
kesehatan, apalagi JPKM yang manajemennya lebih kompleks dari pengelolaan
asuransi kesehatan tradisional
10. Belum baiknya peraturan dan penegakan hukum dalam praktek asuransi kesehatan
termasuk JPKM, sehingga kasus-kasus penyimpangan penyelenggaraan asuransi
kesehatan dan asuransi lainnya menjadi trauma masyarakat yang mendorong mereka
tidak berasuransi.
Penjualan produk JPKM yang dijual perusahaan asuransi lebih berkembang
ketimbang yang dijual oleh bapel-bapel JPKM yang mendapat ijin operasional dari Depkes.
Produk JPKM antara lain juga di jual oleh perusahaan asuransi sepert PT Askes, PT Tugu
Mandiri, dan PT Allianz. Perkembangan produk JPKM yang dijual oleh perusahaan asuransi
jauh lebih banyak dari yang dijual oleh Bapel JPKM. Jumlah tertanggung atau anggota yang
mampu diraih oleh perusahaan asuransi jauh lebih banyak dari yang mampu dijual oleh bapel
JPKM. Jumlah peserta yang diraih PT Askes tahun 1999 sudah mencapai lebih dari 650 ribu
peserta dari 2.239 perusahaan dan pada tahun 2001 ini diperkirakan mencapai satu juta jiwa
(Lihat Tabel 4.1). Perusahaan asuransi Tugu Mandiri dan Allianz masing-masing telah
mampu memperoleh lebih dari 50.000 peserta managed care yang secara garis besar sama
dengan produk JPKM. Hal ini antara lain disebabkan karena kepercayaan pembeli
(perusahaan) jauh lebih tinggi kepada perusahaan asuransi daripada kepada bapel JPKM.
Kedua, pemilikan modal bapel JPKM pada umumnya sangat lemah sehingga bapel tersebut
tidak mampu merekrut tenaga profesional yang memadai jumlah dan kualitasnya. Ketiga
produk yang dijual bapel JPKM kurang mampu bersaing (cakupan dan harganya) dengan
produk yang dijual oleh perusahaan asuransi.
Gambar 4.1.
Perkembangan penjualan produk HMO/JPKM PT Askes Indonesia, 1995-1999
700
600
Tertanggung
Kontrak
1996
1997
500
400
300
200
100
0
1995
1998
1999
79
H. Thabrany
Perkembangan jumlah bapel dan jumlah penduduk yang dijamin melalui bapel JPKM
yang tidak memuaskan, kemudian mendorong Depkes memperluas program ini. Pada waktu
menjadi Menkes Prof. Farid Moeloek berhasil meyakinkan Presiden Habibie bahwa
kesehatan dan pendidikan merupakan kunci keberhasilan Indonesia di dalam bersaing di
dunia global. Untuk itu dicanangkan Indonesia Sehat 2010 yang dimaksudkan untuk
menjadikan setiap langkah pembangunan berwawasan kesehatan. Dalam Indonesia Sehat
2010 ini terdapat empat pilar utama yaitu: paradigma sehat, profesionalise, desentralisasi, dan
JPKM. Masuknya JPKM sebagai salah satu pilar Indonesia Sehat 2010 mendorong berbagai
upaya untuk memperluas JPKM. Dibentuklah Direktorat Khusus JPKM yang diharapkan
dapat memperkuat perkembangan JPKM. Sebelum itu, JPKM hanya diurus di bawah
koordinasi Sub Direktorat BIUK (Bina Institusi Upaya Kesehatan) yang tidak khusus
menangani JPKM.
Untuk mendorong meluasnya cakupan bapel JPKM, maka dalam rangka program
Jaring Pengaman Sosial Bidang Kesehatan (JPSBK) dikembangkan stimulasi JPKM dengan
pendirian pra bapel di setiap kota/kabupaten di akhir tahun 1998. Setiap pra bapel diberikan
dana sebesar Rp 10.000 per keluarga miskin untuk menjadikan keluarga tersebut anggota
JPKM. Pra bapel diberikan dana 8% (Rp 800 per keluarga) untuk biaya manajemen seperti
penerbitan kartu dan pemantauan pemanfaatan pelayanan kesehatan. Sisa dana yang
Rp 9.200 dibayarkan kepada puskesmas untuk digunakan khususnya untuk upaya promotif
dan preventif. Tercatat 354 pra bapel (termasuk beberapa bapel berijin) mendapatkan dana
stimulan tersebut. Direncanakan dana tersebut akan diberikan selama dua tahun dan selama
masa tersebut diharapkan para bapel dapat berkembang menjadi bapel penuh dan mampu
menjual produk JPKM kepada keluarga yang tidak miskin. Besarnya dana yang dikucurkan
pemerintah seluruhnya berjumlah Rp 180 milyar. Program ini tidak mendapatkan dana pada
tahun kedua seperti yang direncanakan semula. Sampai saat ini pada umumnya pra bapel
tersebut belum atau tidak bisa berkembang menjadi bapel penuh. Selain alasan dana tahun
kedua yang tidak dikucurkan, hampir semua bapel yang dikembangkan tidak memiliki modal
sendiri yang memadai. Pada umumnya pra bapel tersebut juga tidak memiliki pengalaman
dalam berbisnis jaminan kesehatan sehingga tidak berkembang seperti yang diharapkan.
Menyadari bahwa JPKM secara sukarela tidak bisa berkembang seperti yang
diharapkan, maka Depkes berkeinginan menjadikan kepesertaan JPKM wajib. Sebenarnya
bisa dihasilkan PP, akan tetapi PP tidak bisa bertentangan dengan UU Kesehatan yang tidak
menyebutkan keanggotaan JPKM bersifat wajib. Jadi jika JPKM mau diwajibkan, maka tidak
ada pilihan lain kecuali harus membuat suatu UU yang mewajibkan. Maka sejak Desember
1998 dirancanglah RUU JPKM. Namun demikian sampai Oktober 2001 , draft tersebut
belum dibahas di DPR.
80
H. Thabrany
paket komprehensif, bermutu, dan berkesinambungan dengan biaya terkendali tidak sesuai
dengan keadaan pasar di Indonesia. Keinginan JPKM mampu mengendalikan biaya dengan
pembayaran kapitasi tidak ditunjang oleh pasar pelayanan yang 85% masih didominasi
pembayar per orangan dengan tingkat harga yang masih sangat rendah. Pemberi pelayanan
tidak suka dan tidak siap menerima pembayaran kapitasi, karena pasar dari pasien perorangan
masih sangat kuat. Tingkat persaingan antara PPKpun, kecuali di kota besar seperti Jakarta,
masih sangat rendah. Biaya kesehatan di Indonesia juga masih sangat rendah sehingga tidak
mendorong berbagai pihak memikirkan pengendalian biaya. Bahkan masalah utama
pembiayaan kesehatan di Indnesia adalah rendahnya pengeluaran pemerintah dan
masyarakat. Hal ini sangat berbeda dengan masalah pembiayaan kesehatan di Amerika yang
sudah memprihatinkan semua pihak. Dengan demikian, upaya menerapkan konsep-konsep
HMO di Indonesia tidak bisa berjalan seperti yang diharapkan.
Jaminan komprehensif yang dijagokan pada akhirnya hanya sampai slogan belaka
karena kemampuan pembeli pada umumnya belum sanggup untuk menjamin pelayanan
komprehensif. Perusahaan asuransi besarpun tidak semuanya menjamin paket komprehensif
seperti yang diselenggarakan HMO di AS atau asuransi kesehatan lainnya di dunia. Jaminan
pelayanan yang bermutu sangat kontradiktif dengan percontohan JPKM dan program JPKM
JPSBK yang menggunakan puskesmas sebagai PPK. Meskipun pasien yang berkunjung ke
puskesmas di Jakarta setiap harinya memang banyak, pada umumnya golongan menengah
keatas, yang mampu tidak ke puskesmas. Mereka yang mampu, bahkan yang kurang mampu
sekalipun, lebih memilih ke dokter praktek sore untuk mendapatkan pelayanan yang
dipercaya lebih bermutu. Akibatnya timbul stigma bahwa program JPKM adalah program
untuk orang miskin. Dengan melekatnya citra puskesmas yang bagi masyarakat menengah
keatas dinilai tidak bermutu, maka kepercayaan terhadap JPKM menjadi tererosi.
Bercampur-baurnya konsep membantu yang miskin, menggerakan pembiayaan oleh
masyarakat model dana sehat, harapan efisiensi dari usaha pencari laba, menjual premi sesuai
kemampuan peserta, dan berbagai keinginan ideal lainnya bercampur baur dalam konsep
JPKM. Akibatnya program ini tidak bisa bergerak karena terlalu banyak arah/ tujuan yang
hendak dicapai. Terjadilah gerakan yang saling berlawanan sehingga program tidak bergerak.
Sebagai contoh, JPKM diharapkan sebagai program memandirikan masyarakat dalam
membiayai kesehatan, tetapi banyak pra bapel bahkan beberapa bapel menempatkan target
sasaran program JPKM justeru masyarakat ekonomi lemah. Program JPKM ingin
memberikan pelayanan bermutu dan dengan biaya terkendali, akan tetapi pra bapel dan
beberapa bapel menjual produknya dengan premi sesuai kesepakatan atau atas dasar
perhitungan tarif puskesmas. Jelas hal ini bertentangan dengan konsep komersial yang
menjadi bisnis utama badan usaha yang seharusnya menjawab permintaan.
Persyaratan bapel dan kewajiban bapel yang digariskan oleh Permenkes 527 dan 571
tidak ditunjang oleh kemampuan pemerintah memantau, membina, dan mengawasi
penyelenggaraan sesuai dengan peraturan yang telah dibuat. Lemahnya kemampuan
keuangan dan manajemen para bapel berijin juga membuat pemerintah setengah-setengah
dalam mengendalikannya. Jika dikendalikan terlalu ketat, sesuai peraturan yang ada, bisa jadi
semua bapel akan mundur. Jika peraturan tidak ditegakkan maka akan menjadi preseden yang
tidak baik bagi perkembangan JPKM selanjutnya.
81
H. Thabrany
Singkatnya, JPKM tidak berkembang seperti yang diharapkan karena terlalu banyak
yang hendak dicapai oleh program ini pada situasi yang belum memungkinkan untuk itu.
If we want to get everything then we will get nothing. Agar JPKM yang sudah menjadi salah
satu pilar Indonesia Sehat 2010 dapat berkembang, perlu perhatian serius dari pemerintah.
Berbagai peraturan JPKM perlu ditinjau kembali (apabila tujuan yang hendak dicapai tidak
berubah) untuk lebih menyesuaikan JPKM dengan kondisi lingkungan
yang
memungkinkannya berkembang.
82
H. Thabrany
Himpunan Peraturan Perundang-undangan Bidang Usaha Asuransi. Dirjen Lembaga Keuangan RI,
1993.
83
H. Thabrany
1. Produk standar yang dibuat perusahaan dimana pembeli tinggal memilih produkproduk yang telah dibuat. Produk ini sama dengan produk asuransi kesehatan
perorangan dimana pembeli hanya bisa memilih dari produk yang telah ada. Untuk
produk kumpulan, produk standar ini dijual ke kumpulan (umumnya masih ke
perusahaan) yang relatif kecil.
2. Produk rancangan khusus (taylor made) yang dibuat atas dasar permintaan pembeli
yang menginginkan pelayanan tertentu dijamin. Misalnya, ada perusahaan yang
meminta jaminan rawat inap sampai 90 hari tanpa memperhitungkan jumlah hari
rawat di ICU. Ada perusahaan yang menginginkan transplantasi ginjal dan sumsum
ditanggung. Bahkan ada perusahaan yang menginginkan tidak ada batasan.
Mengingat sifatnya yang komersial, produk asuransi kesehatan dapat sangat beragam
yang mencerminkan kombinasi dari jaminan yang diberikan, cara pembayaran
manfaat/benefit, besarnya biaya/beban sendiri, dan jaringan PPK yang boleh digunakan. Jika
dihitung kombinasi dari berbagai aspek tersebut diatas, maka secara teoritis dapat tersusun
lebih dari satu juta produk asuransi kesehatan. Hal tersebut tergantung dari berbagai
kombinasi, seperti :
1. Cakupan pelayanan yang ditanggung yang dapat bervariasi dari pelayanan promotifpreventif sampai pelayanan jangka panjang (long term care) (lihat gambar 4.2).
2. Besarnya biaya sendiri yang dapat berupa biaya pertama (deductible), iur biaya (copayment/coinsurance), batas pertanggungan maksium (limit) per perawatan, per
penyakit, atau total manfaat setahun.
3. Cara pembayaran manfaat/benefit yang dapat berupa uang tunai tanpa terkait dengan
pelayanan yang diberikan, penggantian biaya dengan atau tanpa batas maksium per
pelayanan atau per perawatan setelah tertanggung membayar dulu di muka,
pembayaran langsung ke PPK, ataupun kontrak pembayaran khusus seperti kapitasi.
4. Pilihan PPK seperti dokter praktek, dokter spesialis, rumah sakit, kelas perawatan,
PPK tertentu yang telah dikontrak atau bebas memilih dimana saja, tanggungan
pelayanan kesehatan di dalam dan di luar negeri.
5. Pelayanan tambahan lain yang digabungkan yang dapat berupa santunan kecelakaan
diri, sakit pada waktu bepergian ke luar negeri, santunan kematian, ongkos ambulan,
biaya repatriasi/evakuasi, santunan cacat tetap, dan pengembalian premi
84
H. Thabrany
Gambar 4. 2
Potensi Cakupan Pelayanan Dalam Paket Pertanggungan Asuransi Kesehatan
Promotif
Sehat
Pencegahan
Pengobatan segera
Klinis
Pengobatan berhasil
Ganggu
kegiatan
Mati
Pada umumnya paket jaminan yang ditawarkan oleh perusahaan asuransi adalah
sebagai berikut:
85
H. Thabrany
2.Rawat Jalan
Rawat jalan dokter umum maupun dokter spesialis biasanya ditanggung dengan plafon
penggantian tertentu.
Ada produk yang mengharuskan rujukan dari dokter umum untuk menjamin perawatan
oleh dokter spesialis
Biaya obat atau pemeriksaan penunjang ditanggung dengan plafon tertentu per kali atau
per tahun.
86
H. Thabrany
penggantian sejumlah uang apabila terjadi kecelakaan yang memenuhi syarat pertanggungan.
Perkembangan AKD dari segi premi menempati urutan pertama asuransi kesehatan dalam
periode awal. Namun demikian, kini jumlah premi dari penjualan asuransi kesehatan yang
bukan AKD sudah mulai melampaui jumlah premi yang diperoleh perusahaan asuransi di
Indonesia.
4. Asuransi Perjalanan
Asuransi perjalanan (travel insurance) kini juga mulai ramai diperdagangkan sejalan
dengan semakin banyaknya penduduk yang melakukan perjalanan untuk tujuan pekerjaan
maupun liburan. Asuransi perjalanan juga menjamin mahasiswa yang akan belajar di luar
negeri. Asuransi ini dijual untuk perjalanan satu minggu hingga satu tahun dan berlaku di
seluruh dunia. Paket jaminannya mencakup biaya perawatan/pengobatan selama perjalanan
yang diberikan dalam bentuk uang tunai, biaya evakuasi medis/repatriasi, santunan cacat, dan
mencakup santuan kematian.
A
250.000
10.000.000
10.000.000
62.500
48.125.000
D
50.000
2.000.000
2.000.000
12.500
9.625.000
Rawat jalan
Rawat jalan juga ditanggung dengan jaminan maksimum per tahun dan rincian
sebagai berikut:
PAKET/PLAN
Rawat jalan maksimum per tahun
A
1.250.000
87
B
1.000.000
C
750.000
D
500.000
H. Thabrany
88
H. Thabrany
Contoh produk askes tradisional (dari sebuah iklan di harian Kompas, 21 September
2001).
Produk: Santunan tunai harian untuk rawat inap
Karakteristik produk/manfaat:
Santunan uang tunai, maksimal Rp 200.000 apabila peserta dirawat di
rumah sakit di tahun pertama
BONUS tambahan santunan Rp 50.000 per hari untuk tahun kedua dan
seterusnya
Lama kontrak delapan tahun
Daya tarik yang ditawarkan:
Uang kembali 100%. Seluruh premi yang dibayarkan akan dikembalikan
pada akhir tahun ke delapan, meskipun peserta telah mengajukan klaim
berkali-kali
Bebas memilih rumah sakit di dalam dan di luar negeri
Tidak perlu pemeriksaan kesehatan.
Peserta diberikan waktu 15 hari untuk mempelajari polis. Apabila dalam
15 hari prospek merasa polis tidak sesuai harapannya, maka polis dapat
dibatalkan dan premi yang telah dibayar dikembalikan 100%
Pendaftaran mudah, melalui pos atau fax.
Tabel: Santunan tunai harian dan per tahun (Rp)
Masa
kontrak
Th ke 1
Th ke 2
Th ke 3
Th ke 4
Th ke 5
Th ke 6
Th ke 7
Th ke 8
Paket A
Paket B
Per hari
Per th
Per hari
Per th
100.000
36.500.000 150.000
54.750.000
150.000
54.750.000 200.000
73.000.000
200.000
73.000.000 250.000
91.250.000
250.000
91.250.000 300.000
109.500.000
300.000 109.500.000 350.000
127.750.000
350.000 127.750.000 400.000
146.000.000
400.000 146.000.000 450.000
164.250.000
450.000 164.250.000 500.000
182.500.000
Per hari
200.000
250.000
300.000
350.000
400.000
450.000
500.000
550.000
Paket C
Per th
73.000.000
91.250.000
109.500.000
127.750.000
146.000.000
164.250.000
182.500.000
200.750.000
Paket A
42.000
125.250
168.750
230.250
338.250
406.500
Paket B
50.520
148.500
200.250
272.250
399.750
485.250
89
Paket C
58.500
171.750
232.500
314.250
462.000
563.250
H. Thabrany
4.2.3. Perkembangan
Perkembangan kepesertaan dan perolehan premi setelah dikeluarkannya undangundang asuransi menunjukkan perkembangan yang menggembirakan perusahaan asuransi.
Namun demikian, pasar asuransi kesehatan tradisional ini pada umumnya masih sangat
terbatas di kota-kota besar dan dari perusahaan-perusahaan yang cukup besar pula.
Perkembangan penerimaan premi dan klaim usaha asuransi kesehatan adalah seperti
tercantum dalam tabel 4.2. Tampak dalam tabel tersebut perkembangan penerimaan premi
oleh perusahaan asuransi kerugian, yang menggabungkan laporan AKD dengan asuransi
kesehatan. Tampak pertumbuhan penerimaan premi melonjak tajam antara tahun 1996-1997.
Belum jelas benar apa yang menyebabkan lonjakan penerimaan premi AKD dan Kesehatan
ini. Namun setelah tahun 1997 terjadi peningkatan yang pesat rata-rata mencapai 24%
setahun.
Jika dibandingkan dengan penjualan premi AKD dan Kesehatan yang dilakukan oleh
perusahaan asuransi jiwa, tampaknya perusasaan asuransi jiwa lebih mampu memanfaatkan
peluang asuransi kesehatan ini. Di tahun 1999 perusahaan asuransi jiwa mampu
mengumpulkan premi sebesar hampir Rp 180 milyar dari produk AKD dan Rp 222 milyar
dari asuransi kesehatan murni. Jika dilihat perbedaan antara perusahaan asuransi nasional
dengan patungan, tampaknya perusahaan patungan dengan asing lebih mampu mengeruk
premi asuransi kesehatan. Hal ini mungkin terkait dengan tingkat kepercayaan konsumen dan
tingkat keahlian perusahaan asuransi international, khususnya perusahaan asuransi Amerika
yang telah banyak berpengalaman menjual asuransi kesehatan. Jumlah premi asuransi
kesehatan tersebut tidak termasuk dengan besarnya premi yang diterima oleh PT Askes dari
penjualan produk asuransi kesehatan komersialnya yang mencapai Rp 100 milyar tahun lalu.
Tabel 4. 2.
Perkembangan volume asuransi kesehatan dan kecelakaan diri yang dijual perusahaan
asuransi kerugian 1995-1999 (Rp juta)
Premi
Tahun
1995
1996
1997
1998
1999
50.231
54.243
145.568
180.130
225.049
Pertumbuhan
8,0%
168,4%
23,7%
24,9%
90
H. Thabrany
membolehkan perusahaan yang sudah memberikan pelayanan lebih baik untuk tidak ikut JPK
Jamsostek. Tanpa klausul ini, usaha asuransi kesehatan sulit berkembang lebih cepat lagi.
Tabel 4.3
Perkembangan penerimaan premi AKD dan asuransi kesehatan 1998-1999
(Rp juta)
Jenis
Premi 1999
Klaim 1999
perusahaan
AKD
Askes
AKD
Askes
ASURANSI KERUGIAN
BUMN
Nasional
100.884,3
11.868,6
Patungan
76.029,8
28.409,0
Reasuransi
35.410,6
48.135,6
Total
Asurnasi
kerugian
225.049,70
75.688,2
ASURANSI JIWA
BUMN
2.465,4
608,5
Nasional
132.883,8
67.379.9
Patungan
44.455,7 154.906,8
Total
179.804,9 222.895,3
Asurnasi
Jiwa
Grand
627.749,9*
TOTAL
Sumber: Laporan Kegiatan Asuransi 1999
*Jumlah tersebut tidak termasuk produk Askes komersial yang dijual
PT Askes yang masuk dalam kelompok JPKM
iv
91
H. Thabrany
BAB 5
Asuransi Kesehatan Nasional:
Contoh dan Masa Depannya di Indonesia
5.1. Pendahuluan
Hampir 60 tahun lamanya, kita mendengungkan sila Keadilan Sosial Bagi
Seluruh Rakyat dan Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, tetapi sebagian besar
penduduk Indonesia belum merasakan adanya pelanggaran kedua sila tersebut apabila
orang sakit tidak dirawat karena tidak mampu membayar biaya perawatan. Penderitaan
orang semacam itu sudah dianggap suatu hal yang rutin dan diterima secara budaya. Kini
semakin banyak dokter dan rumah sakit yang semakin kurang mementingkan kesehatan
pasiennya, tetapi lebih memelihara tingkat penghasilannya. Pasien tidak mampu berbuat
sesuatu karena adanya informasi asimetri yang menempatkan pasien pada posisi lemah
(consumer ignorance).1,2,3 Kecendrungan ini akan menambah beban berat bagi masyarakat
miskin dan yang tidak miskin sekalipun. Sampat saat ini belum ada kekuatan
penyeimbang atas informasi asimetri, kesenjangan informasi yang amat jauh, antara
dokter/provider dengan pasien yang hampir tak punya pengetahuan dan kemampuan
dalam mengambil keputusan konsumsi pelayanan kesehatan. Sebuah sistem asuransi
kesehatan nasional merupakan alat yang ampuh dalam mengatasi masalah informasi
asimetri tersebut dalam menolong konsumen (peserta/pasien) yang ignorance.
Setelah dimulainya program jaminan kesehatan masyarakat kurang mampu melalui
subsidi iuran pemerintah untuk penduduk kurang mampu, sekitar 54 juta jiwa, kini sekitar
145 juta penduduk masih terancam menjadi miskin jika ia terserang penyakit berat yang
membutuhkan perawatan di rumah sakit. Oleh karenanya ada pemikiran untuk menjamin
pelayanan perawatan di RS pemerintah kelas III, apapun kelas ekonomi penduduk. Kita
tidak mungkin mengandalkan mekanisme pasar dalam mencegah dan menolong proses
pemiskinan yang terus terjadi. Data-data survei rumah tangga menunjukkan bahwa lebih
dari 80% rumah tangga Indonesia menghabiskan 60% atau lebih dari pendapatannya
sebulan untuk belanja makanan. Jika sebuah rumah tangga harus membayar lebih dari
40% pendapatannya untuk berobat, maka rumah tangga tersebut terancam mengorbankan
konsumsi makanannya yang dapat menimbulkan berbagai komplikasi penyakit dan
komplikasi sosial ekonomi dari sebuah tatanan kehidupan sebuah keluarga. Pemberian
asuransi/jaminan kesehatan merupakan suatu upaya preventif terhadap bertambah
beratnya suatu penyakit, kematian, dan bahkan pencegahan terhadap berbagai masalah
sosial dan ekonomi. Inilah Paradigma baru yang harus kita pahami.
92
H. Thabrany
Istilah moral hazard umum digunakan untuk tertanggung (insured), namun demikian perilaku untuk
memanfaatkan informasi asimetri guna menguntungkan pihaknya sesungguhnya dapat juga dilakukan oleh
pengelola asuransi.
AKN : Contoh dan Masa Depannya di Indonesia
93
H. Thabrany
rinci dari prinsip nirlaba ini, pada saat ini sedang dalam proses perumusan yaitu perubahan
PP tentang BPJS yang kini masih PT Persero tersebut.
Kata asuransi pernah diharamkan karena dinilai begitu jelek. Penggunaan kata
asuransi pernah dihindari untuk membenarkan bahwa suatu upaya tidak terkena aturan
UU asuransi. Sebagai gantinya digunakan istilah jaminan yang diperdebatkan sebagai
bukan asuransi. Asuransi sebagai suatu instrumen sosial mempunyai mekanisme
transfer risiko, sebagai suatu instrumen yang sangat handal dalam mengatasi berbagai
risiko sosial dan ekonomi penduduk dimanapun di dunia. Segala sesuatu yang
mengandung unsur transfer risiko adalah asuransi. Tidak ada yang salah sama sekali
dengan asuransi. Dengan demikian, asuransi harus mendapat tempat yang baik. Dalam
bidang kesehatan, pelurusan istilah asuransi sudah dilakukan berbagai pihak, antara lain
oleh Professor Azrul Azwar, Sulastomo, dan Thabrany.5,6,7,8 Kini semakin banyak orang
memahami dan bahkan semakin banyak dokter dan pengambil keputusan yang
mendambakan meluasnya cakupan asuransi kesehatan. Sesungguhnya dunia international
telah lama menggunakan istilah asuransi kesehatan, baik dalam literatur maupun dalam
penyebutan program. Buku-buku teks yang mengupas manajemen risiko dan asuransi
selalu mengupas jaminan sosial dan asuransi sosial dalam sektor kesehatan. Judul
Asuransi Kesehatan Nasional (AKN) sengaja digunakan disini karena memang istilah
AKN (National Health Insurance) mudah difahami dan mudah dikomunikasikan,
khususnya di dunia internasional. Istilah AKN telah lama digunakan di Inggris, Kanada,
Amerika Serikat, Jepang, Taiwan, Filipina, Korea Selatan, dan Muangtai. Asuransi
Kesehatan Nasional sebagai suatu mekanisme transfer risiko dan pengumpulan dana
(pooling risks), kegotong-royongan (sharing risks), maupun pembayar (purchasing)
pelayanan kesehatan bagi penduduk merupakan pilihan yang paling handal dalam upaya
memberikan jaminan kesehatan bagi seluruh penduduk Indonesia sebagaimana
diamanatkan oleh UUD pasal 28H ayat (1) dan pasal 34 ayat (2).
94
H. Thabrany
negara, baik dikelola langsung oleh pemerintah maupun oleh suatu badan kuasi
pemerintah yang otonom.11,12,13,14, 15
Meskipun AKN mempunyai kesamaan prinsip dan tujuan, penyelenggaraan AKN
di dunia sangat bervariasi. Kanada memperkenalkan AKN yang kini disebut Medicare di
tahun 1961 dengan prinsip dasar menjamin akses universal, portabel, paket jaminan yang
sama bagi semua penduduk dan dilaksanakan otonom di tiap propinsi. Pendanaan AKN
merupakan kombinasi dari kontribusi wajib dan subsidi dari anggaran pemerintah pusat.
Pada tahun itu, hanya rawat inap yang dijamin oleh AKN. Pada tahun 1972, paket jaminan
diperluas dengan rawat jalan. Kini seluruh penduduk Kanada menikmati pelayanan
kesehatan komprehensif tanpa harus memikirkan berapa besar biaya yang mereka harus
keluarkan dari kantong sendiri, jika mereka sakit berat sekalipun. Beberapa jenis
pelayanan rumah sakit dan obat yang bukan esensial yang tidak dijamin AKN merupakan
pangsa pasar asuransi kesehatan komersial. 16,17,18
Negara tetangga Kanada telah lama bergelut untuk mewujudkan sebuah AKN.
Pasa saat ini, AS mempunyai asuransi kesehatan nasional rawat inap untuk penduduk
diatas 65 tahun saja yang disebut Medicare part A. Sekitar 50 juta penduduk AS yang
berusia di bawah 65 tahun (sekitar 25% penduduk usia produktif) tidak memiliki asuransi
kesehatan. Ini merupakan suatu bukti kegagalan mekanisme pasar dalam bidang
kesehatan, karena AS memang didominisasi oleh asuransi kesehatan komersial. Dengan
belanja kesehatan per kapita lebih dari US$ 5.000 per tahun, AS adalah satu-satunya
negara maju yang tidak mampu memiliki asuransi kesehatan nasional.19
Di Amerika di tahun 1970an, terdapat 15 usulan UU (Bill) AKN yang semuanya
kandas karena begitu banyak interes bisnis dan politik sehingga kepentingan publik tidak
terlindungi dengan baik.20 Di kala itu, 23% penduduk AS tidak memiliki asuransi
kesehatan yang didominasi oleh asuransi kesehatan komersial. Pada saat ini, 18%
penduduk AS yang tidak memiliki askes. Dalam hampir 30 tahun, AS tidak mampu
meningkatkan perluasan penduduk yang dicakup asuransi, yang dikala itu tinggal 23%
saja. Jelas sekali berbagai reformasi yang dilakukan Amerika dengan UU Portabilitas
Asuransi dan berbagai UU lain yang bertujuan memperluas cakupan asuransi, tanpa AKN,
gagal meningkatkan cakupan kepada seluruh penduduk. Inilah salah satu bukti market
failure dalam mencapai cakupan universal asuransi kesehatan. Sesungguhnya di AS telah
diusulkan puluhan model pendanaan dan penyelenggaraan yang dapat digolongkan
menjadi tiga model yaitu (1) kombinasi kontribusi wajib (payroll taxes) dan anggaran
pemerintah, (2) perluasan program Medicare dengan kontribusi wajib kepada seluruh
penduduk, dan (3) bantuan premi dari pemerintah untuk penduduk miskin dan tidak
mampu.21 Upaya terakhir untuk mewujudkan AKN di Amerika dilakukan oleh Presiden
Bill Clinton di tahun 1993 yang sekali lagi gagal karena kekuatan perusahaan asuransi,
yang memiliki dana lebih besar dan takut kehilangan pasar, lebih mampu mempengaruhi
anggota Kongres untuk menolak usulan Clinton. Kegagalan AS dalam mengembangkan
AKN, yang lebih mementingkan kepentingan pebisnis asuransi, merupakan pelajaran yang
harus sejak dini kita hindari.
Jerman dipandang sebagai negara pertama yang memperkenalkan asuransi
kesehatan sosial di jaman Otto von Bismark di tahun 1883. Pada masa lalu, jumlah badan
AKN : Contoh dan Masa Depannya di Indonesia
95
H. Thabrany
penyelenggara asuransi kesehatan sosial (sickness funds), yang seluruhnya bersifat nirlaba,
berjumlah ribuan. Namun demikian, karena dorongan efisiensi dan portabilitas, banyak
sickness funds yang merjer sehingga kini jumlahnya sudah menyusut menjadi 420 saja.
Semua penduduk dengan penghasilan di bawah EUR 3.375 per bulan wajib mambayar
kontribusi yang kini mencapai 14% dari upah sebulan. Penduduk yang berpenghasilan
diatas itu, boleh tidak menjadi peserta sickness funds, akan tetapi sekali mereka tidak ikut
(opt out) dengan membeli asuransi kesehatan komersial, mereka tidak diperkenankan ikut.
Akibatnya, hanya 10% saja penduduk Jerman yang membeli asuransi komersial.22,23,24,25
Jerman memang tidak memiliki satu lembaga asuransi kesehatan yang secara khusus
dirancang untuk menjamin seluruh penduduk. Namun demikian, Jerman telah menjamin
seluruh penduduknya dengan biaya yang separuh dari yang dikeluarkan Amerika.
Karena hubungan sejarah dengan Jerman, sistem asuransi kesehatan di Belanda
sedikit banyak mengikuti pola-pola Jerman dengan modifikasi disana-sini. Belanda
sesungguhnya juga memberlakukan AKN dengan pooling risiko biaya medis yang besar
(exceptional medical expenses) yang dikelola oleh satu badan bersekala nasional AWBZ.
Sementara pelayanan kesehatan yang tidak mahal dikelola oleh berbagai badan
penyelenggara asuransi kesehatan sosial yang bersifat nirlaba yang diatur oleh UU
Sickness Funds Act (ZFW). Sebagian penduduk berpenghasilan tinggi dibolehkan untuk
membeli asuransi kesehatan komersial.26,27,28 Dengan model yang hampir sama dengan
model Jerman, sistem asuransi kesehatan di Belanda memiliki pendanaan yang berskala
Nasional untuk perawatan kasus-kasus medis yang mahal.
Australia mengeluarkan UU Asuransi Nasionalnya di tahun 1973 dengan
memberikan jaminan pelayanan komprehensif kepada seluruh penduduk Australia, baik
yang berada di Australia maupun yang berada di beberapa negara tetangga seperti di
Selandia Baru dan warga negara beberapa negara Eropa yang tinggal di Australia.
Asuransi, yang juga disebut Medicare, ini dikelola oleh Health Insurance Commisioner di
tingkat negara Federal. Seluruh penduduk Australia tidak pernah harus memikirkan biaya
perawatan manakala mereka sakit dan karenanya penyakit tidak akan membuat mereka
jatuh miskin. Bagitu baiknya pengelolaan asuransi ini sehingga untuk merangsang
penduduk yang ingin membeli asuransi kesehatan swasta diberikan perangsang
pengurangan kontribusi asuransi wajib.29,30,31
Sebagai sekutu Jerman dalam Perang Dunia II di Asia, Jepang memiliki pola
sistem asuransi kesehatan yang mengikuti pola Jerman dengan berbagai modifikasi.
Di Jepang istilah AKN (Kokuho, Kokumin Kenko Hoken) digunakan untuk
penyelenggaraan asuransi kesehatan bagi pekerja mandiri (self-employed), pensiunan
swasta maupun pegawai negeri, dan anggota keluarganya. Penyelenggara AKN
diserahkan kepada pemerintah daerah. Sementara asuransi kesehatan bagi pekerja aktif di
sektor formal diatur dengan UU asuransi sosial kesehatan secara terpisah. Sesungguhnya
Jepang telah memulai mengembangkan asuransi sosial kesehatan sejak tahun 1922. Akan
tetapi, mewajibkan asuransi kesehatan bagi pekerja sektor formal saja tidak bisa menjamin
penduduk di sektor informal dan penduduk yang telah memasuki usia pensiun
mendapatkan jaminan kesehatan. Untuk memperluas jaminan kesehatan kepada seluruh
penduduk (universal coverage), Jepang kemudian memperluas cakupan asuransi
kesehatan dengan mengeluarkan UU AKN. Dalam sistem asuransi kesehatan di Jepang,
AKN : Contoh dan Masa Depannya di Indonesia
96
H. Thabrany
peserta dan anggota keluarganya harus membayar urun biaya (cost sharing) yang
bervariasi antara 20-30% dari biaya kesehatan yang digunakannya. Bagian urun biaya
inilah yang menjadi pangsa pasar asuransi kesehatan komersial. 32,33,34
Negara Asia yang pertama kali secara eksplisit menggunakan istilah AKN dengan
melakukan pooling nasional adalah Taiwan. Dengan komitmen Presiden yang sangat kuat
UU AKN dikeluarkan di tahun 1995 yang dikelola tunggal oleh Biro NHI yang
merupakan suatu Biro di dalam Depkes Taiwan. Sistem AKN di Taiwan dimulai dengan
menggabungkan penyelenggaraan asuransi kesehatan bagi pegawai negeri, pegawai
swasta, petani dan pekerja di sektor informal, yang sebelumnya dikelola secara sendirisendiri. Penggabungan tersebut telah meningkatkan efisiensi dan kualitas pelayanan yang
telah menjamin akses yang sama kepada seluruh penduduk, dengan jaminan komprehensif
yang sama, dan tingkat kepuasan peserta terus meningkat diatas 70%. Sistem AKN di
Taiwan merupakan salah satu sistem yang menanggung pengobatan tradisional Cina
dalam paket jaminan yang diberikan kepada pesertanya.35,36,37,38,39
Korea Selatan memulai asuransi sosial pada Desember 1976 dengan mewajibkan
perusahaan yang mempekerjakan 500 karyawan atau lebih, kemudian diperluas sampai
pemberi kerja dan satu orang karyawan, untuk menyediakan asuransi kesehatan. Cakupan
askes untuk pekerja mandiri sudah diuji-coba sejak tahun 1981 dan pada tahun 1989
seluruh penduduk telah memiliki asuransi. Suatu prestasi yang luar biasa, karena dalam
waktu 12 tahun Korea telah mampu mencapai cakupan universal. Tetapi
penyelenggaraanya masih dikelola oleh lebih dari 300 badan asuransi kesehatan yang
bersifat nirlaba. Sejak tahun 2000, penyelenggaraan dikelola oleh satu badan national
dengan iuran maksimum 8% dari upah yang ditanggung bersama antara pekerja, pemberi
kerja dan subsidi pemerintah.40,41,42 Yang cukup mengejutkan adalah jawaban para
pengusaha Korea yang terheran-heran ketika ditanya oleh delegasi Indonesia tentang apa
keberatan mereka terhadap penyelenggaraan AKN di Korea. Keheranan mereka timbul
karena mereka merasa sangat terbantu dengan AKN sehingga mereka dapat berkonsentrasi
memikirkan bisnis mereka, tanpa harus memikirkan kesehatan karyawannya.
Penyelenggaraan AKN di Muangtai telah mulai diusulkan pada tahun 1996 dan
kini sedang dalam proses penggabungan tiga badan penyelenggara yang sesungguhnya
sudah mencakup seluruh penduduk (universal coverage). Usulan penyelenggaraan AKN
di Muangtai menggabungkan konsep satu Badan Nasional dengan desentralisasi
pembayaran kepada fasilitas kesehatan (area purchasing board).43 Asuransi kesehatan di
Muangtai terdiri atas sistem jaminan kesehatan pegawai negeri yang paket jaminannya
amat liberal dan menjamin tidak saja anggota keluarga pegawai, akan tetapi mencakup
orang tua dan mertua pegawai. Seluruh pegawai swasta mendapat jaminan kesehatan
komprehensif melalui Badan Jaminan Sosial yang dikelola oleh Depnaker. Sedangkan
pekerja informal memperoleh jaminan melalui National Health Security Office, sebuah
lembaga independen yang mengelola sistem 30 Baht. Dengan sistem 30 Baht, seluruh
penduduk di luar pegawai swasta dan pegawai negeri berhak mendapat pelayanan
kesehatan komprehensif dengan hanya membayar 30 Baht (Rp 6.000) sekali berobat atau
dirawat, termasuk perawatan intensif dan pembedahan.44,45,46,47 Dengan demikian, seluruh
penduduk Muangtai kini juga telah terbebas dari ancaman menjadi miskin dan dapat lebih
produktif membangun negaranya.
AKN : Contoh dan Masa Depannya di Indonesia
97
H. Thabrany
98
H. Thabrany
99
H. Thabrany
100
H. Thabrany
101
H. Thabrany
adalah kebutuhan akan pelayanan yang merupakan upaya untuk mempertahankan hidup
dan tingkat produktifitas seseorang yang secara normatif diterima oleh norma-norma
masyarakat. Atas dasar pemahaman inilah, maka perlindungan dasar dalam bidang
kesehatan haruslah terkait dengan kebutuhan medis. Suatu kebutuhan yang relatif bagi tiap
orang dan hanya diketahui oleh dokter yang memeriksa seseorang. Disinilah nanti, letak
sulitnya mengelola sebuah AKN.
Dengan konsep dasar tersebut, maka pemberian bantuan biaya kesehatan hanya
kepada yang miskin saja, menurut kriteria yang kita gunakan sekarang, belumlah sesuai
dengan dasar kemanusiaan yang adil dan beradab. Sebab mereka yang tidak tergolong
miskin, yang masih mampu memenuhi kebutuhan dasar pangan, sandang, dan papan,
sering kali tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar kesehatan. Mereka itu, jika tidak
dijamin asuransi atau pemerintah, dimata kebutuhan medis adalah miskin (medically
poor). Itulah sebabnya, negara-negara persemakmuran dan negara-negara yang
berorientasi kesejahteraan (welfare oriented) menyediakan pelayanan kesehatan gratis
untuk semua penduduk, tidak hanya yang miskin. Itulah sebabnya dibutuhkan AKN yang
menjamin seluruh penduduk, yang kaya dan yang miskin. Fakta menunjukkan bahwa
negara miskin sekalipun, yang memberikan pelayanan kesehatan cuma-cuma, seperti Sri
Lanka dan Kuba, mempunyai status kesehatan yang lebih tinggi dari status kesehatan di
negara kita yang cenderung melepas pelayanan kesehatan kepada mekanisme pasar yang
memberatkan masyarakat.
Itulah pula sebabnya, ketika Kanada memulai AKN di tahun 1961 pelayanan
perawatan dan rawat inaplah yang mulai dijamin. Sejak pertama kali diundangkan,
Medicare di Amerika (semacam AKN untuk penduduk usia diatas 65 tahun dan penduduk
dibawah usia 65 tahun yang memiliki penyakit berat) hanya menanggung perawatan
rumah sakit dan perawatan yang berbiaya besar (Medicare part A) seperti yang telah
dijelaskan di muka. Filipina juga memalui AKNnya dengan menjamin biaya perawatan di
RS. Inggris dan banyak negara persemakmuran menjamin pelayanan rumah sakit tanpa
harus membayar bagi penduduknya.65 Malaysia mengikuti pola NHS Inggris dimana
setiap penduduk yang perlu perawatan di rumah sakit hanya membayar RM 3 (setara
dengan Rp 6.000) per hari, sudah termasuk biaya obat, pembedahan, perawatan intensif
bahkan jika diperlukan bedah jantung sekalipun. Banyak negara-negara lain juga berbuat
yang sama.66,67,68 Semua itu dilandasi pada pemahaman bahwa kebutuhan dasar kesehatan
bukanlah kebutuhan akan pelayanan yang biayanya murah. Pemerintah dan DPR
hendaknya memahami benar hal ini dan tidak terpengaruh pada tuntutan pihak-pihak yang
mempunyai interes dalam berbisnis asuransi kesehatan atau pelayanan kesehatan. Hal ini
pernah terjadi pada waktu PP 14/1993 yang mengatur Jamsostek, sehingga pengobatan
kanker, hemodialisa, pengobatan penyakit jantung yang mahal, dan pengobatan kelainan
bawaan tidak dijamin. Melepaskan pemberi kerja sendiri-sendiri membeli asuransi
kesehatan untuk karyawannya, seperti yang dibenarkan dalam PP tersebut tidak akan
menjamin bahwa setiap pekerja dan anggota keluarganya dapat memenuhi kebutuhan
dasar kesehatan mereka.69 Hendaknya hal ini tidak terulang lagi dalam PP yang mengatur
jaminan kesehatan dalam UU SJSN.
102
H. Thabrany
103
H. Thabrany
104
H. Thabrany
pembedahan, dan 7 hari di ICU? Bisa jadi biaya akhir di RS pemerintah sekalipun
mencapai diatas Rp 5 juta. Apakah tarif ini terjangkau semua lapisan masyarakat? Seorang
sarjana yang bergaji Rp 5 juta sebulan sekalipun, tidak mampu membayar biaya tersebut,
kecuali keluarganya harus puasa sebulan penuh.
Dengan demikian, pendapat yang menyatakan bahwa sesungguhnya kita telah
memiliki AKN atau NHS, tidak ditunjang oleh fakta dan secara konsepsional tidak valid.
Konsep terjangkau bisa digunakan dan valid digunakan untuk jasa transportasi, tarif
listrik, tarif telepon, dan sebagainya yang dapat dihitung kebutuhannya dan tidak
menimbulkan masalah kemanusiaan apabila konsumsinya dibatasi. Tetapi untuk
kesehatan, konsep terjangkau dengan model tarif pelayanan kesehatan per pelayanan sama
sekali tidak valid. Pemerintah Muangtai, karenanya, menerapkan kebijakan sederhana
yang disebut 30 Baht Policy, dimana setiap penduduk yang belum menjadi peserta
jaminan sosial hanya membayar 30 Baht (sekitar Rp 6.000) untuk setiap kali berobat di
rumah sakit, baik hanya rawat jalan maupun rawat inapsudah termasuk obat-obatan dan
pembedahan jika diperlukan.77,78,79 Namun di Indonesia, justeru sebaliknya, banyak RS
sudah diBUMNkan dan bahkan di Jakarta RSUD dijadikan PT (Perseroan Terbatas) dan
diminta mandiri dalam pendanaan yang berdampak pada kenaikan tarif. Bukan itu saja,
RS pemerintah menarik tarif operasi yang bersifat emergensi di luar jam kerja 1,5 sampai
dua kali lebih mahal dari tarif bukan emergensi. Dan tarif yang memanfaatkan
keterpojokan (karena emergensi di luar jam kerja) tersebut memang diatur pemerintah
(Permenkes). Jelas sekali bahwa kebijakan tersebut bukanlah kebijkan yang memihak
rakyat/publik, tetapi lebih memihak kepada pengelolayang nota bene adalah pegawai
negeri. Ada berbagai kebijakan pelayanan kesehatan kini, baik di pusat dan di daerah,
akan menambah beban berat rumah tangga dalam memenuhi kebutuhan hidup yang paling
fundamental. Tampak asuransi kesehatan, kita akan semakin banyak melakukan
pelanggaran prinsip keadilan sosial dan kemanusiaan yang beradab karena adanya
kecendrungan kebijakan yang mengarah lebih banyak memberatkan masyarakat.
Penerapan konsep ability to pay (ATP) dan willingness to pay (WTP) dalam
penetapan tarif pelayanan kesehatan di fasilitas publik (pemerintah) sesungguhnya juga
tidak akan bermanfaat menolong penduduk dari beban finansial yang berat, jika tarif
ditetapkan secara jasa per pelayanan (fee for service, FFS). Banyak pihak menyatakan
bahwa tarif puskesmas dan RS sudah dihitung atas dasar ATP/WTP masyarakat dan
karenanya masyarakat tidak akan terbebani. Ini adalah juga suatu kekeliruan konsep
permasalahan tarif terjangkau, karena sifat kebutuhan yang tidak pasti. Konsep WTP
yang banyak digunakan untuk evaluasi nilai hidup produktif dalam menghitung
opportunity losses80,81 bisa diterapkan jika tarif pelayanan ditetapkan per eposide
pengobatan. Survei-survei tentang ATP-WTP tidak akan valid selagi tarif pelayanan
puskesmas atau rumah sakit ditetapkan dengan FFS untuk masyrakat yang belum punya
asuransi karena adanya sifat uncertainty. Meskipun faktanya banyak masyarakat
membayar, maka pembayaran tersebut merupakan pembayaran terpaksa atau forced to pay
(FTP) dalam ke-penderitaan bukan karena kemauan dan kemampuannya membayar.
Pertanyaan yang paling mendasar kemudian muncul, yaitu, apakah manusiawi dan
normal jika pemerintah memaksa penduduknya yang sedang menderita sakit membayar di
luar kemampuannya? Data pasien di rumah sakit menunjukkan bahwa proporsi jumlah
penduduk miskin dan penduduk yang diberi keringanan sangat kecil di rumah-rumah sakit
AKN : Contoh dan Masa Depannya di Indonesia
105
H. Thabrany
pemerintah (tidak usah kita sajikan RS swasta) di Indonesia, jauh berada di bawah 5%.
Artinya, penduduk tidak mampu mempunyai dua pilihan, tidak berobat karena tidak punya
uang atau dipaksa membayardalam kependeritaan (lihat lampiran data pasien RS).
Kejadian DBD yang luar biasa baru-baru ini dapat menyadarkan kita akan ketidak-tepatan
kebijakan tarif pelayanan kesehatan di Indonesia.
106
H. Thabrany
melihat tanda-tanda yang amat jelas bahwa banyak serikat pekerja yang ditunggangi,
sehingga tanpa membaca dan memahami apa yang akan diatur dalam RUU SJSN, yang
sesungguhnya menjamin hak-hak mereka dengan lebih baik, justeru mereka tolak.
Penunggangan serikat pekerja dapat juga dilakukan oleh pihak-pihak yang menginginkan
status quo dalam penyelenggaraan jaminan sosial di Indonesia. Status quo memang dapat
menguntungkan beberapa pihak, namun rakyat akan terus menderita dan negara akan tetap
mempunyai ancaman stabilitas sosial. Inilah kenyataan kondisi di Indonesia, dimana
tenaga kerja yang berpendidikan lebih tinggi dari SLTA hanyalah 4,81% dari 98,8 juta
angkatan kerja.83 Pendidikan tenaga kerja yang rendah ini sangat mudah ditunggangi.
Salah satu kendala dan tantangan yang besar lain adalah kurangnya pemahaman
tentang konsep asuransi sosial, baik oleh pengambil keputusan, pemberi kerja, maupun
tenaga kerja. Pemahaman yang rendah tersebut menyebabkan rancangan asuransi sosial
kita, askes pegawai negeri dan askes pegawai swasta yang dikelola PT Jamsostek, menjadi
lebih negatif. Kinerja PT Askes, yang meskipun telah memiliki tingkat kepuasan yang
sangat baik di kalangan yang pernah menggunakan, sering dinilai sangat jelek oleh
pegawai negeri golongan atas yang justeru tidak pernah menggunakannya. Sulitnya
PT Askes memenuhi harapan seluruh pegawai negeri dan pensiunan, antara lain karena
tingkat kontribusi (2%) yang sama sekali tidak memadai untuk mendanai seluruh
pelayanan yang harus disediakannya. Akibatnya, di masa lalu pegawai negeri masih harus
membayar urun biaya yang cukup besar.84 Untunglah dalam dua tahun terakhir, Askes
telah bekerja keras untuk mengubah persepsi yang keliru tersebut. Demikian juga sikap
pemberi kerja dan tenaga kerja swasta yang mempunyai mindset kewajiban menjadi
peserta sebagai suatu paksaan tak menguntungkan, menyebabkan rendahnya partisipasi
mereka pada program JPK Jamsostek. Sikap pengambil keputusan dan masyarakat yang
sangat kurang terpapar dengan kinerja AKN di negara lain menjadi tantangan besar.
Sosialisasi dan pendidikan kebijakan publik yang memihak publik harus terus digalakkan.
Masih banyak pengambil keputusan, tokoh masyarakat, tokoh politik, bahkan
akademisi yang masih memandang segala bentuk peraturan yang mewajibkan penduduk
atau pemberi kerja sebagai peraturan yang usang. Mereka tidak sadar bahwa hak hanya
dapat diperoleh setelah ada kewajiban. Kewajiban membayar kontribusi sama
pentingnya dengan kewajiban membayar pajak. Tidak ada satu negarapun di dunia yang
tidak mewajibkan rakyatnya membayar pajak. Kosenkuensinya adalah bahwa pengelolaan
pungutan yang bersifat wajib harus dimonopoli oleh pemerintah atau lembaga kuasi
pemerintah yang dibentuk khusus oleh UU. Pada awal tahun 2005, DPRD Jawa Timur,
Satuan Pelaksana (Satpel) JPKM Rembang, dan Perhimpunan Bapel JPKM (Perbapel)
mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi atas UU SJSN khususnya pasal 5
yang menetapkan PT ASABRI, PT ASKES, PT Jamsostek, dan PT Taspen sebagai BPJS
yang dinilai monopolistis dan tidak memberi kesempatan daerah mengembangkan
jaminan social. Permohonan judicial review tersebut dipicu oleh SK Menkes 1241 yang
menunjuk PT Askes untuk menyelenggarakan program jaminan kesehatan bagi lebih
dari 36 juta penduduk dengan nilai dana sebesar Rp 2,1 Triliun. Hasil keputusan
Mahkamah Konstitusi (MK) memang membatalkan pasal 5 ayat 2,3 dan 4 UU SJSN
karena dinilai menutup kemungkinan daerah mengembangkan jaminan social. Namun
demikan, MK tidak membatalkan keempat BPJS tersebut untuk menyelenggarakan
jaminan socsal tingkat nasional/pusat. UU SJSN dinilai telah menampung keinginan
AKN : Contoh dan Masa Depannya di Indonesia
107
H. Thabrany
UUD45 pasal 34 ayat 2, namun MK menilai bahwa pemerintah daerah tidak boleh
dilarang untuk mengembangkan jaminan sosial. Yang menjadi tugas pemerintah
selanjutnya adalah bagaimana koordinasi antara program jaminan sosial, misalnya
kesehatan, yang nasional yang juga mencakup penduduk di daerah, dan yang
dikembangkan oleh daerah. Koordinasi benefit harus diatur dalam PP atau revisi UU
SJSN, jika diperlukan kelak. Pembahasan lebih lanjut tentang hasil MK ini dibahas dalam
Bab 7.
Banyak pihak masih juga memandang segala bentuk monopoli adalah pelanggaran
UU Antimonopoli. Padahal kalau dibaca dengan baik, UU Antimonopoli melarang usaha
bisnis yang bersifat sukarela, bukan melarang pemerintah yang mengelola suatu program
untuk kepentingan orang banyak. Tidak ada satu negarapun di dunia yang tidak
memonopoli pengelolaan pajak, kebijakan moneter, pengadilan, dan pertahanan
keamanan. Pengelolaan jaminan sosial dan AKN di AS (Medicare), Kanada (Medicare),
Australia (Medicare), Taiwan (Medicare), Korea, Filipina (Medicare) seluruhnya juga
dimonopoli oleh pemerintah atau lembaga kuasi pemerintah. Kesalah-fahaman tentang
monopoli ini juga perlu diluruskan. Namun demikian perlu disadari bahwa segala sesuatu
yang pengelolaannya bersifat monopolistik memerlukan pengawasan dan pengendalian
publik yang efektif, agar kepentingan publik dan kepuasan publik tetap menjadi prioritas
dan terjadi good governance.
Kita juga harus menyadari bahwa hanya 29,3% angkatan kerja yang bekerja pada
sektor formal sebagai karyawan. Selebihnya adalah pekerja mandiri dengan atau tanpa
dibantu keluarga atau buruh tetap (BPS 2001). Jika kita mampu memperluas asuransi
kesehatan kepada pekerja di sektor formal saja beserta anggota keluarga dan orang tua
mereka, maka kita sudah bisa menjamin sekitar separuh penduduk Indonesia. Hal tersebut
sudah akan berdampak besar bagi pembangunan sumber daya manusia dan peningkatan
mutu pelayanan kesehatan. Upaya memperluas cakupan asuransi kesehatan kepada
pekerja di sektor informal sangatlah sulit. Oleh karenanya, upaya pemerintah untuk
memberikan subsidi melalui fasilitas atau cara lain yang lebih akurat, misalnya dengan
menetapkan tarif tetap untuk suatu episode pengobatan ketimbang untuk tiap jenis
pelayanan seperti yang dilakukan di Malaysia atau Muangtai, harus tetap dipertahankan
sampai seluruh penduduk menjadi peserta AKN.
Penyelenggaraan AKN memang merupakan upaya mulia dan tanggung jawab
negara dalam memenuhi kebutuhan dasar penduduk. Namun demikian, fakta yang terjadi
di dunia menunjukkan bahwa penyelenggaraan AKN tidak bisa dilepaskan dari masalah
politik. Pelaku politik yang lebih mementingkan interest kelompoknya dapat saja menolak
inisiatif AKN yang diajukan partai lain. Syukur alhamdulillah, tampaknya hal ini tidak
terjadi di kalangan pimpinan partai politik di dalam Komisi VII DPR yang lalu dan
Komisi IX DPR saat ini. Dukungan penuh semua fraksi dalam UU asuransi sosial
kesehatan nasional, yang merupakan inisiatif DPR periode 1999-2004 dan tidak ada
perbedaan prinsip dengan yang diusulkan pemerintah dalam UU SJSN, menunjukkan
rendahnya interest golongan dalam hal ini. Begitu juga Komisi IX DPR periode 20042009 cukup solid mendukung kebijakan Depkes untuk menjamin penduduk kurang
mampu melalui PT Askes. Namun demikian, di tingkat bawah masih mungkin terdapat
sentimen golongan yang dapat mengurangi dukungan terhadap AKN.
AKN : Contoh dan Masa Depannya di Indonesia
108
H. Thabrany
Globalisasi dan kekuatan pasar memang tidak dapat dihindari dan tidak perlu
ditakutkan. Globalisasi dan kekuatan pasar memberikan peluang dan sekaligus ancaman
bagi kita, khsususnya dalam pengembangan sebuah AKN. Suka atau tidak suka, kita
saksikan banyaknya kesalah-fahaman tentang globalisasi yang diartikan sebagai keharusan
liberalisasi dan menyerahkan sepenuhnya nasib kita kepada mekanisme pasar global yang
kemudian diartikan bahwa mewajibkan pekerja menjadi peserta AKN sebagai
bertentangan dengan globalisasi. Banyak pengusaha, bahkan juga pengambil keputusan,
yang berpandangan demikian yang menjadi faktor penghambat terselenggaranya AKN.
Meskipun seluruh negara maju di dunia telah menyelenggarakan asuransi sosial dalam
berbagai bentuknya, perlu kita sadari bahwa akan tetap ada yang tidak setuju dengan
konsep asuransi sosial yang memandangnya hanya dari satu sisi saja seperti beban
biaya bagi dirinya atau bagi sektor publik.85 Banyak pihak kita yang tidak menyadari
bahwa ada market failure yang bersumber dari tingginya informasi asimetri yang
mengharuskan sektor publik (pemerintah) turun tangan. Globalisasi dan kekuatan pasar
tidak akan menyelesaikan segala macam masalah ekonomi dan sosial sekaligus. Joseph
Stiglitz, seorang ekonom terkemuka pemenang hadiah Nobel Ekonomi yang banyak
meneliti masalah informasi asimetri, dalam bukunya yang terbit tahun lalu telah
memperingatkan dunia akan adanya bahaya disamping harapan dari globalisasi.86 Ketidakfahaman akan sebuah sistem jaminan sosial dan globalisasi dapat menjadi penghambat
besar bagi AKN.
Ketidak-fahaman tentang penyelenggaraan AKN khususnya dan jaminan sosial
umumnya dapat kita lihat dari sikap-sikap yang berpendapat bahwa pemerintah tidak
bertanggung-jawab atas gangguan kesehatan keuangan badan penyelenggara. Pertanyaan
bagaimana kalau badan penyelenggara bangkrut? dan bagaimana distribusi kekayaan
yang dimiliki badan penyelenggara? menunjukkan rendahnya pemahaman tentang
sebuah sistem jaminan sosial. Ada pula anggapan yang menyatakan bahwa pemerintah
tidak perlu mensubsidi badan peyelenggara, oleh karenanya badan penyelenggara
diserahkan kepada BUMN, yang memang dasar pemikirannya harus secara finansial
mandiri. Aneh!, minggu ini kita menyaksikan keputusan Bank Indonesia menutup dua
bank swasta dan pemerintah menjamin dana nasabah tidak hilang. Bagaimana mungkin
pemerintah tidak perlu turun tangan untuk suatu sistem jaminan sosial yang memberikan
manfaat kepada seluruh rakyatnya! Kekeliruan pandang inilah yang sedang kita hadapi di
negeri ini. Di banyak negara, bahkan seluruh biaya operasional didanai dari anggaran
pemerintah di luar kontribusi pemerintah sebagai bentuk subsidi secara langsung.
Sesungguhnya, suatu sistem jaminan sosial atau AKN dirancang untuk tidak akan
bangkrut kecuali pemerintah bangkrut. Keseimbangan antara dana tekumpul dan
kewajiban dalam sebuah sistem AKN atau jaminan sosial akan terus dipantau dan
disesuaikan agar selalu likuid dan solven. Inilah hakikat sebuah jaminan sosial yang
belum cukup difahami oleh banyak pihak di Indonesia.
Masih banyak tantangan-tantangan lain yang harus diatasi agar UU SJSN yang
meletakan fondasi AKN dapat segera berjalan seperti yang direncanakan. Tantangan
terbesar adalah ketidak-tahuan dan kesalah-fahaman tentang asuransi sosial dan jaminan
sosial. Di Indonesia pendidikan kebijakan publik dan pembiayaan publik (public finance)
masih sangat kurang diberikan, sehingga mekanisme asuransi sosial sangat kurang
difahami. Pendidikan kita belum seimbang memberikan pendidikan dan pemahaman
AKN : Contoh dan Masa Depannya di Indonesia
109
H. Thabrany
tentang kekuatan pasar dan kegagalan pasar. Kurangnya tenaga yang memahami,
mempunyai komitmen, dan menguasai manajemen dapat merusak berbagai keutamaan
AKN. Dalam jangka pendek, tantangan terbesar tersebut dapat diatasi dengan sosialisasi,
pendidikan, dan pelatihan; asal kita mau dan punya tekad untuk itu. Dalam jangka
panjang, asuransi sosial dan jaminan sosial harus masuk dalam mata ajaran di bidang
ekonomi, kesejahteraan, kebijakan publik, dan juga di bidang kesehatan.
110
H. Thabrany
sebelum masa jabatannya habis. Kini kita akan bertaruh lagi, apakah AKN yang diatur
dalam UU SJSN akan bisa dilaksanakan segera?
Prospek yang baik dari AKN tidak saja dapat dilihat dari komitmen pemerintah
(termasuk Tim SJSN) dan para anggota Dewan, akan tetapi dukungan lembaga
internasional seperti ILO (International Labour Organization), WHO (World Health
Organization), Uni Eropa, GTZ (Lembaga Bantuan Teknis Pemerintah Jerman), ADB (the
Asian Development Bank), Bank Dunia dan lembaga-lembaga donor lainnya merupakan
suatu faktor positif. Tiga opsi bagi Indonesia telah diidentifikasi dan disebar-luaskan oleh
ILO Indonesia, termasuk diantaranya AKN secara virtual dan faktual87, dalam bentuk
laporan sebuah kajian kepada banyak pihak di dalam maupun di luar negeri. Disamping
itu, WHO Indonesia, GTZ, dan Uni Eropa telah berulang kali mensponsori berbagai studi,
seminar, loka-karya, maupun mensponsori tenaga ahli asing untuk memberikan bantuan
teknis di Indonesia dan mensponsori tenaga Indonesia belajar di negara lain. Bank
Pembangunan Asia dan Bank Dunia juga telah berperan penting dalam pembaharuan
sistem pembiayaan publik dan dalam pengembangan asuransi kesehatan melalui hibah dan
persetujuan pendanaan program-program terkait dengan asuransi kesehatan dalam
pinjaman yang diberikan. Semua itu memberikan kontribusi yang besar dalam
pemahaman masalah dan opsi-opsi perbaikan sistem jaminan sosial di Indonesia.
Banyak yang tidak menyadari bahwa sesungguhnya kita telah memiliki
pengalaman lebih dari 36 tahun dalam melaksanakan sebuah sistem asuransi kesehatan
sosial bagi pegawai negeri dan keluarganya. Disamping keluhan dan hujatan yang sering
kita dengar, yang umumnya datang dari kalangan atas peserta, masa 36 tahun
sesungguhnya merupakan pelajaran yang sangat berharga dan merupakan pondasi yang
kuat bagi perluasan asuransi kesehatan sosial. Selain pengalaman askes pegawai negeri,
askes sosial pegawai swasta juga sudah diselenggarakan sejak 10 tahun yang lalu.
Masalah kronis yang dimiliki askes sosial di Indonesia, yang menyebabkan banyaknya
keluhan dan hujatan, sesungguhnya bersumber dari rancangan sistem itu yang dengan
kontribusi sangat rendah (2% gaji pokok bagi PNS dan pensiunan pegawai negeri) harus
menjamin pelayanan komprehensif. Syukurlah, sejak tahun 2003 yang lalu, melalui
PP 28/2003 pemerintah telah mulai menambah kontribusi dalam rangka perbaikan
asuransi ini. Tanpa adanya perbaikan asuransi kesehatan pegawai negeri, AKN akan sulit
berkembang. Syukurlah bahwa PT Askes secara konsisten terus berupaya memperbaiki
kinerjanya terus-menerus.
Pengenalan dan promosi Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat (JPKM)
oleh Depkes, baik yang berhasil maupun yang tidak berhasil, telah pula memberikan
kontribusi kepada evolusi dan pemahaman kita terhadap pentingnya AKN. Program JPSBK (Jaring Pengaman Sosial Bidang Kesehatan) yang telah diluncurkan sejak awal masamasa krisis, yang dibiayai dari uang pinjaman yang kemudian diteruskan dengan program
JPK Gakin sebagai bagian dari pengalihan dana subsidi BBM, telah juga memberikan
pelajaran yang sangat berharga bagi pengembangan AKN. Program bagi penduduk miskin
tersebut, yang meskipun belum menyelesaikan seluruh masalah, telah memberikan
pemahaman lebih dalam bagi pentingnya pengembangan AKN. Program ini menunjukkan
semakin kuatnya komitmen pemerintah dalam menyediakan kebutuhan dasar kesehatan,
sebagai suatu investasi SDM menuju masa depan bangsa Indonesia yang lebih kompetitif.
AKN : Contoh dan Masa Depannya di Indonesia
111
H. Thabrany
Tanpa komitmen pemerintah yang kuat dan tanpa perubahan cara pandang belanja
kesehatan, dari sekedar membantu rakyat miskin menjadi suatu investasi SDM, kinerja
SDM kita akan terus terpuruk. Kita harus menyadari bahwa Indeks Pembangunan
Manusia kita semakin merosot ke urutan 112 dan Indeks Daya Saing Indonesia yang
berada diurutan ke 49 dari 49 negara yang disurvei. Negara-negara yang memiliki AKN
dan sistem jaminan sosial yang kuat mempunyai IPM dan indeks daya saing yang tinggi,
bahkan memiliki indeks tingkat korupsi yang rendah. Syukurlah hal ini semakin disadari
oleh kita semua. Semuanya itu, telah dan akan terus menambah kazanah ilmu kita dalam
bidang asuransi kesehatan.
Banyak pihak yang mengkhawatirkan bahwa AKN akan menurunkan daya saing
Indonesia di pasar internasional. Bahkan, IBCmenurut penulis dengan nada menakutnakuti, menyatakan bahwa AKN akan menyebabkan perusahaan asing enggan berinvestasi
di Indonesia. Prakteknya di negara maju dan di negara industri baru, kontribusi jaminan
sosialtermasuk kesehatan tidak menurunkan daya saing perusahaan. Masalah di
Indonesia sesungguhnya bukan kontribusi jaminan sosial atau tunjangan karyawan
(employement benefits, perks) tetapi pungutan-pungatan liar yang menambah beban
pengusaha. Survei biaya kesehatan yang dilakukan oleh Pusat Kajian Ekonomi Kesehatan
FKMUI menunjukkan bahwa rata-rata majikan telah mengeluarkan 5,24% dari upah
tenaga kerjanya untuk biaya kesehatan karyawannya.88 Jika sebuah AKN dijalankan, maka
sesungguhnya tidak banyak beban tambahan bagi pemberi kerja. Yang akan terjadi adalah
efisiensi yang lebih tinggi karena pool dan volume peserta yang lebih besar. Tidak akan
mungkin terjadi bahwa pengeluaran yang hanya berkisar 5-6% dari upah karyawan dapat
membuat sebuah usaha bangkrut dan tidak kompetitif. Kita harus melihatnya tidak hanya
dari biaya, akan tetapi banyak manfaat lain seperti meningkatnya moral pekerja, rasa
aman, produktifitas, dan bahkan kejujuran pekerja akan meningkat. Sebuah rumah tangga
sekalipun, jika harus mengeluarkan kontribusi setiap bulan sebesar 5% dari pengeluaran
rutinnya tidak akan membuat rumah tangga itu kolaps. Harus diingat bahwa pengeluaran
tersebut bukanlah pengeluaran sumbangan, akan tetapi pengeluaran kontijensi untuk
membiayai diri mereka sendiri.
Untuk meyakinkan bahwa kontribusi untuk AKN tidak akan membuat sebuah
usaha bangkrut, saya menganalisis data-data dari Badan Pusat Statistik tahun 1993 sampai
tahun 2000. Ternyata telah terjadi kenaikan upah riil tenaga kerja kita yang cukup berarti
sejak diundangkan UU Jamsostek. Sejak tahun 1993 UU Jamsostek sudah mewajibkan
pemberi kerja memberikan kontribusi sebesar 12,7% upah (hanya 2% kontribusi tenaga
kerja). Ternyata tingkat upah riil tetap meningkat. Artinyabeban tersebut tidak
mengurangi kemampuan perusahaan meningkatkan upah tenaga kerjanya. Analisis lebih
lanjut dari data tahun 2000 tentang proporsi biaya tenaga kerja terhadap biaya produksi
menunjukkan bahwa rata-rata perusahaan hanya mengeluarkan 8,1% saja dari biaya
produksi untuk upah tenaga kerjanya. Jika kontribusi AKN sebesar 5% yang sepenuhnya
ditanggung perusahaan, maka dampak kontribusi tersebut terhadap peningkatan biaya
produksi hanyalah 0,05 x 8,1% atau hanya akan meningkatkan biaya produksi sebesar
0,4%. Pecayakah kita bahwa kontribusi AKN yang diwajibkan kepada pemberi kerja
dapat menurunkan daya saing produk? Fakta sederhana saja menunjukkan bahwa di pasar
Indonesia terdapat begitu banyak produk dari negara-negara maju yang mewajibkan
pemberi kerja berkontribusi lebih besar dari itu.
AKN : Contoh dan Masa Depannya di Indonesia
112
H. Thabrany
Ditinjau dari persepsi tentang kemungkinan, manfaat, dan kesediaan pemberi kerja
mengikuti sebuah skema AKN, saya melakukan sebuah survei kecil kepada 100
direktur/manajer sumber daya manusia di Jakarta. Survei pendahuluan tersebut
menunjukkan bahwa mayoritas direktur SDM mempunyai pandangan positif tentang
AKN. Bahkan 83% dari mereka setuju kalau AKN dimulai pada tahun 2004 ini. Bahkan
ketika ditanyakan apakah karyawan mereka keberatan membayar tambahan iuran 3%,
61% menyatakan tidak. Meskipun survei ini baru merupakan survei pendahuluan dan
survei dengan sampel yang lebih besar masih diperlukan, sudah mulai tergambarkan
bahwa sesungguhnya apabila pemberi kerja dan pekerja memahami apa yang akan
dilakukan oleh sebuah sistem AKN, sesungguhnya mereka memahami manfaat besar bagi
perusahaan dan karyawannya. Hal ini konsisten dengan sikap para pengusaha di Korea
Selatan dan Muangtai yang saya temui. Dengan demikian, kita tidak perlu takut memulai
pengembangan AKN. Apabila penyelenggaraan AKN sudah bisa dirasakan manfaatnya,
pengusaha bahkan akan sangat mendukung seperti yang dilaporkan oleh Duque.89
Sebuah sistem AKN sesungguhnya tidak hanya berdampak besar pada akses
pelayanan kesehatan yang merupakan kebutuhan paling mendasar bagi manusia yang
hidup di muka bumi ini. Sebuah sistem AKN juga akan berdampak pada banyak aspek
kehidupan manusia lain dan bahkan kepada good governance, baik dalam pemerintahan
maupun dalam mengelola suatu badan usaha. Di Indonesia, saya yakin bahwa sistem AKN
juga akan berdampak pada peningkatan kepatuhan pembayar pajak, karena dalam AKN
hubungan kontribusi wajib dengan manfaat yang diterima oleh peserta akan sangat dekat.
Hal ini merupakan suatu media pendidikan kepatuhan penduduk dalam memberikan
kontribusi untuk kepentingan bersama.
Di bidang praktek kedokteran, tidak diragukan lagi bahwa AKN mempunyai
dampak besar bagi profesionalisme praktek dokter dan rumah sakit. Sebuah sistem AKN
akan lebih menjamin terselenggaranya penataan praktek dokter keluarga yang amat dicitacitakan oleh Departemen Kesehatan dan Ikatan Dokter Indonesia. Fakta-fakta di dunia
menunjukkan bahwa sistem praktek dokter keluarga hanya bisa berjalan apabila ditunjang
oleh sebuah sistem pembiayaan melalui AKN atau sepenuhnya dibiayai oleh pemerintah.
Sebuah sistem AKN juga akan mendorong pemerataan distribusi dokter dan rumah sakit,
karena terjadinya maldistribusi dokter dan rumah sakityang terkonsentrasi di kota besar
terjadi karena duitnya ada di kota. Tanpa AKN, hanya masyarakat kotalah yang mampu
membeli jasa medik dokter maupun rumah sakit. Akan tetapi dengan AKN, yang
menjamin semua orang, uang akan terdistribusi lebih merata (money follow patients).
Dokter, rumah sakit, dan fasilitas kesehatan lainnya akan dengan sendirinya mengikuti
distribusi peserta atau pasien.
Untuk mencakup seluruh penduduk kita memerlukan berbagai kondisi seperti,
stabilitas politik, stabilitas keamanan, porsi pekerja di sektor formal yang semakin
meningkat, infrastruktur perpajakan, tingkat pendatapan penduduk, jaringan PPK, dan
kemampuan manajemen.90 Akan tetapi, kita tidak boleh menunggu agar semua kondisi
tersebut terpenuhi. Akan terlalu banyak korban dan kesulitan jika kita menunggu kondisi
tersebut terpenuhi. Stabilitas politik dan keamanan merupakan prasyarat utama, sedangkan
kondisi lainnya dapat kita bangun bersama-sama dengan upaya perluasan cakupan AKN.
Upaya untuk mencapai cakupan universal melalui AKN dapat dimulai dari sektor yang
AKN : Contoh dan Masa Depannya di Indonesia
113
H. Thabrany
mudah dikelola, yaitu mencakup seluruh pekerja di sektor formal terlebih dahulu seperti
yang dilakukan berbagai negera di dunia.
Namun demikain, kita harus menyadari bahwa AKN adalah alat untuk mencapai
cakupan universal, bukan tujuan. Sebuah sistem AKN merupakan alat yang ampuh yang
telah dibuktikan di negara lain, khususnya di negara yang komitmen NHSnya rendah atau
penerimaan negara dari pajak relatif rendah. Tampaknya kondisi Indonesia, dimana belum
sampai 5% penduduk Indonesia yang telah memiliki NPWP dan karenanya rutin
membayar pajak, sistem AKN jauh lebih layak dari sistem NHS.
Think big, start small, act now! Itulah yang harus kita lakukan. Kita tidak boleh
menunggu sampai ekonomi baik, sampai fasilitas kesehatan siap, atau sampai kemampuan
manajemen memadai. Pada waktu Otto von Bismark memperkenalkan asuransi sosial
kesehatan di tahun 1883, keadaan ekonomi Jerman masih lebih jelek dari kondisi kita
sekarang. Jumlah penduduk yang bekerja di sektor formal hanya 10% dari total tenaga
kerja pada waktu itu.91 Pada waktu Inggris memperkenalkan AKN di tahun 1911, dan
kemudian mengubah menjadi NHS di tahun 1948, kondisi ekonomi dan fasilitas
kesehatannya juga tidak sebagus yang kita miliki sekarang. Pada waktu Presiden Rosevelt
di Amerika memperkenalkan jaminan sosial di tahun 1935, yang kemudian diamandemen
dengan manambah Medicare di tahun 1965, juga keadaan ekonomi dan fasilitas kesehatan
Amerika tidak sebaik yang kita miliki sekarang. Pada waktu Malaysia memulai sistem
NHSnya, atau Filipina memulai AKNnya, kondisinya juga belum sebaik yang mereka
miliki sekarang.
Akan tetapi memang kita harus menyadari berbagai keterbasan yang kita miliki.
Kita harus melaksanakan AKN dengan tetap hati-hati dan realistis. Ambisi yang terlalu
besar hanya akan menghancurkan sistem yang akan kita bangun. Fasilitas kesehatan dan
mutu pelayanan yang disediakannya harus terus diperbaiki, sambil kita memperluas
cakupan kepesertaan. Manajemen AKN harus terus dikembangkan untuk menjamin bahwa
pelayanan kesehatan yang diberikan memenuhi kebutuhan dan harapan peserta dan
kemudian seluruh penduduk. Evaluasi harus terus menerus dijalankan agar kita dapat terus
memperbaiki kinerja AKN. Segala tantangan, keberatan, dan ketidak-puasan harus terus
diatasi secara seksama dan tuntas. Program AKN baru akan berhasil baik jika semua
pemberi kerja, pekerja, dan seluruh peserta merasa perlu dan diuntungkan dengan menjadi
peserta AKN.
Sering kita tidak menyadari bahwa sesungguhnya sebagian besar rakyat kita tidak
akan mampu memenuhi kebutuhan kesehatannya. Banyak diantara kita pun bisa jadi tidak
mampu membiayai pelayanan kesehatan yang kita perlukan di saat kita memerlukannya,
jika suatu penyakit berat dan mahal pengobatannya menimpa kita. Kita tidak boleh
mengatakan bahwa asuransi kesehatan tidak penting atau tidak kita perlukan hanya karena
kita belum pernah merasakan manfaat atau mengalami kebutuhan. Inilah hakikat asuransi,
menjamin masa depan, masa dimana kita belum pernah mengalaminya. Inilah pula
tantangan terbesar yang menyebabkan banyak pihak, tanpa menyadari bahwa dirinya
suatu ketika juga dapat jadi miskin karena sakit, tidak mendukung sebuah sistem AKN.
Kita memang harus menunjukkan bukti untuk meyakinkan banyak pihak. Untuk
114
H. Thabrany
menujukkan bukti tersebut, diperlukan keberanian bertindak. Tidak ada bukti, tanpa
keberanian bertindak.
Perjalanan jauh dimulai dari langkah pertama yang kecil, bangunan besar dimulai
dari pemasangan batu yang kecil, dan rasa kenyang dimulai dengan sesuap makanan.
Sebuah AKN yang besar dapat kita mulai dengan menata batu satu persatu sampai ia
menjadi bangunan besar.
Rujukan
1
Feldstein PJ. Health Care Economics. 4th Ed. Delmar Publ. Albany, NY, USA. 1993
Henderson JW. Health Economics and Policy. 2nd Ed. South-Western Thomson Learning.
Mason, Ohio, USA 2002
3
Thabrany, H. Kegagalan Pasar dalam Asuransi Kesehatan. MKI Juni 2001
4
lihat UU 9/1969 BUMN jo UU BUMN 2003
5
Azwar, A. Pengantar Pelayanan Dokter Keluarga. Yayasan Penerbit Ikatan Dokter Indonesia.
Jakarta, 1996
6
Azwar, A. Catatan Tentang Asuransi Kesehatan. Yayasan Penerbit Yayasan Penerbit Ikatan
Dokter Indonesia. Jakarta, 1995
7
Sulastomo. Asuransi Kesehatan dan Managed Care. PT Asuransi Kesehatan Indonesia,
Jakarta.1997
8
Thabrany. H. Introduksi Asuransi Kesehatan. Yayasan Penerbit Ikatan Dokter Indonesia. Jakarta,
1999
9
HIAA. Gorup Health Insurance part A. HIAA, Washington DC. 1997
10
Dixon A and Mossialos E. Health System in Eight Countries: Trends and Challenges. The
European Observatory on Health Care Systems. London, 2002
11
Henderson JW. Op Cit
12
Rejda, GE. Social Insurance and Economic Security. 3rd Ed. Prentice Hall, New Jersey, USA.
1988
13
Friedlander WA and Apte RZ. Introduction to Social Welfare. Prentice Hall. Englewood, New
Jersey, USA, 1980
14
Keintz RM. NHI and Income Distribution. D.C. Health and Company, Lexington, USA, 1976
15
Merritt Publishing, Glossary of Insurance Terms, Santa Monica, CA, USA 1996
16
Tuohy CH. The Costs Of Constraint And Prospects For Health Care
Reform In Canada. Health Affairs: 21(3): 32-46, 2002
17
Vayda E dan Deber RB. The Canadian Health-Care System: A Devdelopmental Overview.
Dalam Naylor D. Canadian Health Care and The State. McGill-Queens University Press.
Montreal, Canada, 1992
18
Roemer MI. Health System of the World. Vol II. Oxford University Press. Oxford, UK. 1993
19
Thabrany, H. Kegagalan Pasar. Op Cit
20
Keintz RM. National Health Insurance and Income Distribution. D.C. Health and Company,
Lexington, USA, 1976
21
Rubin, HW. Dictionary of Insurance Terms. 4th Ed. Barrons Educational Series, Inc.
Hauppauge, NY, USA 2000
22
Dixon and Mossialos. Op Cit.
23
Stierle. F. German Health Insurance System. Makalah disajikan pada Seminar Asuransi
Kesehatan Sosial, Jakarta 2001
2
115
H. Thabrany
24
Rucket, P. Universal Coverage And Equitable Access To Health Care: The European and
German Experience. Makalah disajikan pada Asia Pacific Summit on Health Insurance and
Managed Care. Jakarta, 22-24 Mei, 2002
25
Lankers, C. The German Health Care System. Makalah disajikan pada Kunjungan Tim SJSN di
Berlin, 24 Juni 2003
26
Schoultz F. Competition in the Dutch Health Care System. Rotterdam, 1995
27
Dixon and Mossialos. Op Cit
28
Roemer, Milton I. Op Cit
29
www.health.gov.au
30
Hall Jlourenco RA and Viney R. Carrots and Sticks- The Fall and Fall of Private Health
Insurance in Australia. Health Econ 8 (8):653-660, 1999
31
Dixon A and Mossialos E. Op Cit
32
Yoshikawa A, Bhattacharya J, Vogt WB. Health Economics of Japan. University of Tokyo
Press, Tokyo, 1996
33
Okimoto DI dan Yoshikawa A. Japans Health System: Efficiency and Effectiveness in
Universal Care. Faulkner & Gray Inc. New York, USA, 1993
34
Nitayarumphong S. Universal Coverage of Health Care: Challenges for Developing Countries.
Paper presented in Workshop of Thailand Universal Coverage. 2002
35
Lee YC, Chang HJ dan Lin PF. Global Budget Payment System: Lesson from Taiwan. Makalah
disajikan dalam Summit
36
BNHI. National Health Insurance Profile 2001. BNHI, Taipei 2002
37
Liu CS. National Health Insurance in Taiwan. Makalah disajikan pada Seminar Menyongsong
Asuransi Kesehatan Nasional, Jakarta 3-5 Maret 2004
38
Rachel Lu J and Hsiao WC. Does Universal Health Insurance Make Health Care Unaffordable?
Lessons From Taiwan. Health Affairs: 22(3): 77-88, 2003
39
Cheng TM. Taiwans New National Health Insurance: Genesis and And Experience So Far.
Health Affairs: 22(3):61-76
40
Am-Gu. National Health Insurance in Korea. Makalah disajikan dalam Loka Karya Sistem
Jaminan Sosial di Bali, 10-17 Februari 2004
41
Thabrany, H. Universal Coverage in Korea and Thailand. Laporan kepada Proyek Social Health
Insurance, Uni Eropa. Oktober 2003.
42
Park, . National Health Insurance in Korea, 2002. Research Division, NHIC. Memeograph
presented for an Indonesian delegate.
43
Pongpisut. Achieving Universal Coverage of Health Care in Thailand through 30 Baht Policy.
Makalah disampaikan pada SEAMIC Conference, Chiang Mai, Thailand, 14-17 Januari 2002
44
Siamwalla A. Implementing Universal Health Insurance. Dalam Pramualratana P dan
Wibulpopprasert S. Health Insurance Systems in Thailand. HSRI, Nonthaburi, Muangtai, 2002
45
Tangchareonsathien V, Teokul, W dan Chanwongpaisal L. Thailand Health Financing System.
Makalah disajikan pada Loka Karya Social Health Insurance, Bangkok, 7-9 Juli 2003
46
SSO. Social Health Insurance Scheme in Thailand. SSO, Bangkok 2002
47
WHO/SEARO. Social Health Insurance: Report of a Regional Consultation. WHO, New Delhi,
2003
48
Novales MA dan Alcantara MO. National Health Insurance Program in Philippines. Makalah
disampaikan pada Summit Jakarta
49
EkaPutri. A. National Health Insurance Program in Decentralized Government in Archipelago
Country: Lesson from the Philippine. Makalah Studi. Asian Scholarship Foundation, 2003.
50
WHO/SEARO.Social HI. Op Cit
51
Sulastomo. Asuransi Kesehatan SosialSebuah Pilihan. Raja Grafindo Persada. Jakarta 2002
116
H. Thabrany
52
Sutadji OA. Pengalaman PT Askes dalam Menyelenggarakan Asuransi Kesehatan Sosial untuk
Masyarakat Umum. Makalah disampaikan pada Loka Karya Menyongsong AKN, Jakarta 3-4
Maret 2004.
53
UU SJSN, 2004
54
Dionne G. Hand Book of Insurance. Kluwer Publication, Boston, 2000
55
Rejda. Op Cit
56
Rosen HS. Public Finance.5th Ed. MC-Graw Hill. New York, USA. 1999
57
Dionne G, Op Cit.
58
Rosen, Oc Cit.
59
Rejda. Op Cit.
60
Butler Op Cit
61
WHO/SEARO Op Cit.
62
Thabrany, H. Rasional Pembayaran Kapitasi. YP IDI. 2000
63
Feldstein. Op Cit
64
Hederson Op Cit
65
Roemer. Op Cit
66
Thabrany, H. Rancang Bangun Sistem Jaminan Kesehatan. Kompas 20-11-2001
67
Dixon Op Cit.
68
Roemer. Op Cit.
69
ILO Indonesia. Social Security and Coverage for All: Restructuring Social Security Scheme in
IndonesiaIssues and Options. ILO, Jakarta 2002
70
Thabrany dkk. Review Pembiayaan Kesehatan Kesehatan di Indonesia. Pusat Kajian Ekonomi
Kesehatan Universitas Indonesia, Depok, 2002
71
Saadah F, Pradhan M, dan Sudarti. Indonesian Health Sector: Analysis of National Social
Economic Surveys for 1995, 1997, and 1998. Mimegoraf, World Bank, 2001
72
Pradhan M and Prescott N. Social Risk Menagement Options for Medical Care in Indonesia.
Health Econ. 11: 431446 (2002)
73
Thabrany, H dkk. Review Pembiayaan. Op Cit
74
WHO. World Health Report 2000.p55, Geneva, 2001
75
Asher MG. The Pension System in Singapore. The World Bank, Washington DC, USA, 1999
76
ILO Int. Social Security of the World. ILO, Geneva 2002
77
Viroj, T. Makalah dipresentasikan di Loka Karya SHI Bangkok, Juli 2003.
78
Pongpisut, Op Cit.
79
SSO-Thailand. Op Cit
80
Yeung RM, Smith RD, McGhee SM. Willingness to pay and size of health benefit: an integrated
model to test for sensitivity to scale. Health Econ. 1: . (2003)
81
Ryan M. A comparison of stated preferencemethods for estimating monetary values. Health
Econ. 4: (2003)
82
Jakarta Post, 13 Februari 2004
83
BPS. Statistik Indonesia 2001. BPS, Jakarta, 2002
84
Sutadji. Op Cit.
85
Gertler P and Solon O. Who Benefits from Social Health Insurance in Developing Countries.
memeograf, Berkeley, USA, 2000
86
Stiglitz. J. The Roraring NintiesSeeds of Destruction. Allen Lane. London, UK, 2003
87
ILO Indonesia. Op Cit
88
Chusnun, P. dkk. Laporan Survei Biaya Kesehatan Karyawan, PKEK UI, 2003
89
Duque III F T. Universal Social Health Insurance Coverage in the Philippine. Makalah disajikan
pada Regional Consultation on SHI. Bangkok, 7-9 Juli 2003
90
Thabrany H. Introduksi Asuransi Kesehatan. Yayasan Penerbit IDI, Jakarta 1999.
91
Rucket P. Op Cit
117
H. Thabrany
BAB 6
Sistem Pembayaran Fasilitas Kesehatan
6.1. Pendahuluan
Pelayanan kesehatan di Indonesia tumbuh dan berkembang secara tradisional
mengikuti perkembangan pasar dan sedikit sekali pengaruh intervensi pemerintah dalam
sistem pembayaran. Dokter, klinik, dan rumah sakit pemerintah maupun swasta sama-sama
menggunakan sistem pembayaran jasa per pelayanan (fee for service) karena secara
tradisional sistem itulah yang berkembang. Sistem ini juga merupakan sistem paling
sederhana yang tumbuh dan terus digunakan karena tekanan untuk pengendalian biaya belum
tampak. Di negara maju, baik di Eropa, Amerika, maupun Asia, tekanan tingginya biaya
kesehatan sudah lama dirasakan. Semua pihak ingin mengendalikan biaya kesehatan tersebut,
karena semua pihak sudah merasakan beban ekonomi yang berat untuk membayar kontribusi
asuransi kesehatan sosial atau anggaran belanja negara, atau membeli premi asuransi
kesehatan. Tekanan inilah yang mendorong implementasi berbagai sistem pembayaran
kepada fasilitas kesehatan. Di Indonesia, biaya pelayanan kesehatan masih sangat rendah,
bahkan boleh dikatakan masalah sesungguhnya yang kita hadapi adalah masalah rendahnya
biaya kesehatan, rendahnya akses kepada fasilitas kesehatan, dan bukan mahalnya biaya
kesehatan.
Meskipun tekanan untuk penerapan berbagai sistem pembayaran belum besar di
Indonesia, praktek beberapa sistem pembayaran alternatif, selain jasa per pelayanan, sudah
dilaksanakan oleh beberapa pihak misalnya PT Askes Indonesia dan beberapa perusahaan
yang sudah merasakan perlunya kendali biaya. Dalam bab ini kita akan mengupas berbagai
alternatif sistem pembayaran yang di masa datang, mau tidak mau, kita akan menerapkannya.
Undang-undang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang akan mendorong tumbuhnya
sistem asuransi kesehatan sosial di Indonesia sudah mengantisipasi hal itu dan karenanya
sudah memberikan indikasi akan perlunya penerapan sistem pembayaran prospektif. Bahkan
pada tahun 2005 ini Departemen Kesehatan telah memulai penerapan SJSN tersebut dengan
memberikan jaminan kepada penduduk yang berobat ke puskesmas atau dirawat di RS kelas
III. Sistem jaminan oleh Pemerintah ini dikelola oleh PT Askes agar sistem pembayaran
dapat dilaksanakan guna mendorong efisiensi dalam sistem kesehatan Indonesia. Dalam
sistem tersebut, PT Askes sudah mencanangkan untuk membayar puskesmas dengan sistem
kapitasi dan membayar RS dengan sistem paket. Berbagai sistem pembayaran lain akan
dibahas dalam bab ini untuk memberikan pemahaman kepada para pembaca.
Sebelum kita memulai membahas sistem pembayaran, dalam bab ini akan dibahas
secara ringkas masalah-masalah dalam biaya kesehatan. Biaya kesehatan adalah masukan
(input) finansial yang diperlukan dalam rangka memproduksi pelayanan kesehatan, baik yang
bersifat promotif-preventif maupun yang bersifat kuratif-rehabilitatif. Tidak ada dikotomi
pembiayaan kesehatan untuk kegiatan promotif-preventif dengan kuratif-rehabilitatif. Semua
Sistem Pembayaran Fasilitas Kesehatan
118
H. Thabrany
119
H. Thabrany
bahwa inflasi biaya kesehatan selalu lebih tinggi dari inflasi biaya umum karena dalam
banyak hal pimpinan rumah sakit tidak punya kendali atas biaya pelayanan medis di rumah
sakit itu. Selain rumah sakit, kebijakan pemerintah, pembayar pihak ketiga seperti asuransi,
tenaga kesehatan sendiri, dan masyarakat tidak memiliki insentif untuk mengendalikan biaya.
Apa yang disampaikan oleh para ahli di Amerika dapat tampak jelas kita amati di
Indonesia. Peraturan Menteri Kesehatan menggariskan tarif pelayanan dengan
mempertimbangkan biaya satuan (unit cost). Berbagai buku pedoman dan pelatihan-pelatihan
yang diberikan di berbagai perguruan tinggi telah menerjemahkan biaya satuan dalam satuan
terkecil seperti konsultasi dokter, biaya imunisasi, biaya pasang pen, dan sebagainya. Karena
dokter dibayar untuk tiap konsultasi, bukan untuk satu episode pengobatan sampai pasien
sembuh, maka dokter akan senang memberikan konsultasi atau visite yang lebih banyak.
Semakin banyak dokter visite kepada pasien yang dirawat, semakin banyak penghasilannya.
Di sisi lain, pasien menilai bahwa dokter yang sering visite adalah dokter yang baik dan
pasien lebih senang jika dokter lebih sering visite. Jika pasien harus membayar sendiri,
hampir tidak pernah pasien menolak visite dokter karena menyadari bahwa biayanya akan
tambah mahal. Pasien juga tidak mampu mengetahui apakah visite dokter perlu sesering itu
atau cukup sekali dua kali. Apabila perawatan pasien dibayar oleh majikan atau asuransi,
pasien tambah senang dengan semakin banyak visite dokter, karena tidak ada beban biaya
yang akan dikeluarkannya. Hatinya semakin tenang dan menilai bahwa dokter tersebut baik
sekali. Sang dokter pun semakin senang, karena penghasilannya akan bertambah. Maka
terjadilah kolusi sempurna yang menyebabkan biaya perawatan tambah mahal.
Kolusi dokter-pasien dalam sebuah sistem dimana pasien tidak membayar sendiri
sebagian besar biaya kesehatan bagi dirinya mendapat pupuk yang subur dari kemajuan
teknologi. Teknologi sinar rontgen, sinar gama, dan bahkan gelombang suara telah digunakan
dalam diagnosis suatu penyakit seperti CT Scan, Gama Knife, dan USG tiga dimensi dan
berwarna. Dokter semakin suka dengan perkembangan teknologi tersebut karena banyak hal
yang dahulu tidak bisa diketahui kini bisa diketahui dengan lebih akurat. Namun harus
disadari bahwa teknologi baru tersebut mahal harganya, karena riset penemuannya ditambah
marjin keuntungan pembuat alat-alat canggih memang tinggi. Dokter tidak bertepuk sebelah
tangan, karena pasien yang mendapat pelayanan teknologi canggih yang bisa
didemonstrasikan di hadapannya juga merasa senang. Seorang ibu hamil akan sangat senang
diperlihatkan tampilan pemeriksaan USG tiga dimensi dan bewarna. Yang tidak diketahui
oleh pasien adalah harga yang harus dibayar atas kesenangan dirinya dan kesenangan dokter
yang menggunakan alat tersebut. Maka jadilah teknologi baru dan lebih baik menambah
tingginya biaya diagnosis dan pengobatan di rumah sakit.
Tingginya biaya kesehatan yang diperlukan untuk memproduksi satu unit pelayanan
menyebabkan rumah sakit menagih (charge) ke pasien atau ke pihak penjamin (asuransi)
semakin tinggi. Apalagi jika rumah sakit tersebut bersifat pencari laba (for profit) dimana
pemodal menuntut uang yang ditanam untuk membangun rumah sakit dan berbagai biaya
yang terkait dengan itu kembali dalam jangka waktu tertentu. Seperti telah disinggung
dimuka, sistem pembayaran jasa per pelayanan (retrospektif, karena biasanya baru diketahui
besarannya setelah seluruh pelayanan diberikan kepada pasien), lebih mendorong tingginya
tagihan yang harus dibayar penjamin atau pasien. Tingginya tagihan rumah sakit, yang
menjadi biaya bagi pihak asuransi, mendorong pihak asuransi atau pemerintah (dalam
120
H. Thabrany
hal biaya rumah sakit bagi penduduk dibayar pemerintahseperti yang dilakukan di
Malaysia), untuk mengembangkan sistem pembayaran prospektif. Secara umum, sistem
pembayaran pelayanan rumah sakit dapat berbentuk satu atau lebih dari pilihan berikut
(Kongstvedt, 1996).
Sesuai tagihan, biasanya secara retrospektif dan sesuai jasa per pelayanan
Kapitasi
Per kasus
Per diem
Global budget
121
H. Thabrany
membeli polis asuransi. Bahkan di Indonesia, berbeda dengan teori yang dipromosikan,
bapel-bapel Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarkat (JPKM) juga masih membayar
rumah sakit dengan cara pembayaran JPP. Kekeliruan faham tersebut dapat difahami karena
lebih dari 80% pelayanan rumah sakit di Indonesia memang masih dibayar oleh pasien
sendiri (bukan oleh asuransi maupun majikan) dan karenanya sumber dananya adalah dari
kantong keluarga pasien (DKS). Memang cara pembayaran JPP akan tetap subur pada
lingkungan dimana pasien tidak memiliki asuransi dan membayar setiap pelayanan yang
ditagih fasilitas kesehatan.
Dari sisi pengendalian biaya kesehatan, cara pembayaran JPP ini mempunyai
kelemahan karena fasilitas kesehatan maupun dokter akan terus dirangsang (mendapat
insentif) untuk memberikan pelayanan lebih banyak. Semakin banyak jenis pelayanan yang
diberikan semakin banyak fasilitas kesehatan atau dokter mendapatkan uang. Jangan heran
kalau pada beberapa rumah sakit, lima atau enam dokter spesialis berbeda melakukan visite
kepada seroang pasien yang sama setiap hari. Semakin banyak visite dokter, semakin banyak
dokter tersebut memperoleh jasa atau penghasilan. Begitu juga dengan jenis tindakan
diagnosis seperti laboratorium atau prosedur lainnya. Pasien akan ditagih untuk setiap jenis
pemeriksaan. Apabila dokter atau bahkan perawatpada beberapa kasus mendapat insentif
(berupa bonus prosentase tertentu dari pemeriksaan), maka dokter atau perawat akan lebih
banyak meminta pemeriksaan lab untuk memantau kondisi medis pasiennya. Padahal visite
atau pemeriksaan berulang-ulang mungkin tidak memberikan manfaat pada pasiennya.
Sebagai contoh, visite pemeriksaan gula darah dua hari sekali mungkin juga sudah cukup
untuk proses penyembuhan pasien, akan tetapi karena ada rangsangan uang untuk visite atau
pemeriksaan gula darah setiap hari, maka hal itu dilakukan. Kondisi seperti ini disebut moral
hazard atau abuse dalam pelayanan kesehatan. Di negara maju, pemberian bonus seperti itu
dilarang oleh pemerintah karena pasien atau pihak pembayar dapat dirugikan oleh prilaku
tenaga kesehatan. Kesulitan besar pengendalian biaya dengan pembayaran JPP adalah bahwa
pasien tidak memahami apakah suatu pelayanan memang diperlukan, diperlukan sesering
yang diberikan, dan besarnya tiap-tiap tarif jasa. Oleh karena cara pembayaran retrospektif
ini mempunyai potensi pemborosan dan kenaikan biaya kesehatan, maka di seluruh dunia,
pemerintah berupaya mengendalikan biaya dengan melakukan cara pembayaran prospetif
yang akan dibahas kemudian dalam bab ini.
Pembayaran retrospektif yang pada umumnya berbentuk pembayaran JPP dapat
bersumber dari:
Uang yang dimiliki oleh pasien atau keluarga pasien atau DKS
Uang yang bersumber dari majikan pasien atau keluarga pasien
Uang yang bersumber dari perusahaan atau badan asuransi/jaminan sosial seperti PT
Askes dan PT Jamsostek atau badan asuransi komersial seperti bapel JPKM dan
perusahaan asuransi
Uang pemerintah yang mengganti biaya seorang pasien misalnya pada korban
pemboman di Hotel Mariott atau di depan Kedutaan Besar Australia
Uang yang bersumber dari lembaga donor seperti Dompet Duafa, Dana Kemanusiaan
Kompas, RCTI Peduli, Pundi Amal SCTV dll
Uang yang bersumber dari keluarga besar pasien atau kerabat pasien yang
menyumbang untuk pengobatan seorang pasien
122
H. Thabrany
123
H. Thabrany
catatan medis pasien yang keluar (discharged) rumah sakit. Pada generasi kedua ini
diperoleh 23 kelompok mayor yang menyangkut sistem tubuh yang terkena penyakit,
misalnya sistem pernafasan dan sistem pencernaan. Generasi kedua menghasilkan 467 DRG
yang menyangkut ada tidaknya pembedahan dan komplikasi atau komorbiditas. Komplikasi
adalah penyulit suatu penyakit yang terjadi karena perjalan penyakit yang sudah lanjut akibat
terlambat diagnosis, pengobatan, atau ikut terganggunya sistem lain. Perforasi usus
merupakan suatu komplikasi dari penyakit tifus. Sedangkan komorbiditas adalah adanya
penyakit lain (yang tidak terkait dengan penyakit utama) yang secara kebetulan terjadi secara
kebetulan. Sebagai contoh, seorang yang menderita tifus bisa juga kebetulan menderita
diabetes mellitus.
Secara formal, sistem pembayaran DRG digunakan oleh pemerintah Amerika Serikat
dalam program Medicare mulai tanggal 1 Oktober 1983 (Beck, 1984; Smith dan Fottler,
1985). Program Medicare adalah program asuransi sosial di Amerika yang dananya
dikumpulkan dari iuran wajib pekerja sebesar 1,45% gaji/penghasilannya ditambah 1,45%
lagi dari majikan pekerja. Namun demikian, dana yang terkumpul tersebut hanya digunakan
untuk membiayai perawatan rumah sakit dan perawatan jangka panjang (long term care) bagi
penduduk berusia 65 tahun keatas dan penduduk yang menderita penyakit terminal (penyakit
yang tidak bisa lagi disembuhkan) seperti gagal ginjal. Jadi program Medicare merupakan
program anak membiayai orang tua yang dikelola secara nasional oleh pemerintah Federal
Amerika.
Kini sistem pembayaran DRG juga digunakan dalam program Medicare di Australia,
program Medicare di Taiwan, program jaminan sosial di Muangtai, pembiayaan rumah sakit
di Malaysia, dan juga program asuransi kesehatan sosial di Jerman. Berbeda dengan program
Medicare di Amerika, program Medicare di Australia, Kanada, dan Taiwan merupakan
program asuransi sosial yang dibiayai dari iuran wajib seluruh penduduk yang
berpenghasilan dan digunakan untuk penduduk yang membayar iuran tersebut dan anggota
keluarganya. Program Medicare di luar Amerika merupakan program Asuransi Kesehatan
Nasional (AKN). Indonesia juga sudah merintis program AKN seperti yang diatur dalam
Undang-undang nomor 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN).
Hanya saja program AKN di Indonesia saat ini belum diterapkan terhadap seluruh penduduk.
Diharapkan di tahun 2010 nanti, separuh penduduk Indonesia sudah mendapatkan jaminan
kesehatan melalui SJSN.
124
H. Thabrany
ALOS
(Days)
DRG
A01Z
A02Z
A03Z
A04Z
A05Z
A06Z
A40Z
A41Z
B01Z
B02A
B02B
B02C
B03A
B03B
B04A
Liver Transplant
Multiple Organs Transplant
Lung Transplant
Bone Marrow Transplant
Heart Transplant
Tracheostomy Any Age Any
Cond
Ecmo - Cardiac Surgery
Intubation Age<16
Ventricular Shunt Revision
Craniotomy + Ccc
Craniotomy + Smcc
Craniotomy Cc
Spinal Procedures + Cscc
Spinal Procedures Cscc
Extracranial Vascular Pr +Cscc
31.46
18.28
22.47
22.34
19.62
20,027
6,286
10,238
5,685
8,953
12,298
16.14
7.37
5.85
20.02
11.10
7.88
14.88
5.38
8.11
11,308
3,477
1,721
5,414
2,986
2,338
3,627
1,614
2,273
91,078
41,703
73,945
29,427
60,568
48,748 37,440
12,219 8,742
6,458 4,737
23,327 17,913
12,757 9,771
9,947 7,609
15,119 11,492
6,960 5,346
9,006 6,733
125
H. Thabrany
126
H. Thabrany
127
H. Thabrany
Cara menghitung biaya kapitasi tidaklah sulit. Hanya saja, untuk Indonesia saat ini
barangkali data yang tersedia masih sangat terbatas. Tambahan, banyak fasilitas kesehatan
(health care provider) dan badan asuransi yang juga tidak memiliki informasi yang cukup
untuk bisa menghitung besar pembayaran kapitasi yang memuaskan kedua belah pihak. Oleh
karenanya, perlu dilakukan usaha bersama untuk menghimpun informasi yang akurat, agar
baik fasilitas kesehatan maupun badan asuransi sama-sama menanggung risiko dan insentif
finansial yang memadai. Jika pembagian risiko dan insentif tidak memadai maka di masa
datang akan banyak timbul konflik-konflik yang mengancam kesinambungan pembayaran
kapitasi.
Langkah-langkah menghitung biaya kapitasi adalah sebagai berikut (Thabrany,
2001):
1. Menetapkan jenis-jenis pelayanan yang akan dicakup dalam pembayaran kapitasi
2. Menghitung angka utilisasi dalam satuan jumlah pengguna per 1.000 populasi yang
akan dibayar secara kapitasi
3. Mendapatkan rata-rata biaya per jenis pelayanan untuk suatu wilayah
4. Menghitung biaya per kapita per bulan untuk tiap jenis pelayanan
5. Menjumlahkan biaya per kapita per bulan untuk seluruh pelayanan.
Tabel : Contoh perhitungan kapitasi sebuah Perusahaan HMO di AS
(dikutip dari Steenwyk, 1989)7
Jenis Pelayanan
Rates / 1000
orang/th
Rata-rata
biaya per
pelayanan ($)
3.400
350
150
200
240
45
40
15
25
250
80
600
434,5
54,0
60,0
60,0
80,0
850,0
450,0
225,0
1.500,0
85,0
300,0
13,0
Kapitasi
per orang
per bulan
($)
9,78
1,58
0,75
1,00
1,60
3,19
1,50
0,28
3,13
1,77
2,00
0,65
1.000
-
30,0
-
2,50
29,73
128
H. Thabrany
Dalam situasi dimana pembayaran kapitasi sudah diberlakukan secara luas, fasilitas
kesehatan yang bersifat memaksimalkan laba dapat melakukan hal-hal sebagai berikut
(Thabrany, 2001):8
129
H. Thabrany
Salah satu cara untuk mengevaluasi berbagai reaksi negatif prilaku fasilitas kesehatan
yang mendapatkan pembayaran kapitasi dan yang mendapatkan pembayaran JPP adalah
dengan mengevaluasi utilisasi biaya, status kesehatan, dan kepuasan pasien. Di Indonesia,
sepanjang pengetahuan saya, belum ada evaluasi yang sahih dan terpercaya. Di Amerika,
pada awal perkembangan HMO di mana keluhan atas rendahnya kualitas pelayanan HMO
sangat tinggi, penelitian eskperimental dilakukan oleh Rand Corporation. Hasilnya tidak
menunjukkan adanya penurunan mutu pelayanan pada HMO yang membayar kapitasi akan
tetapi terdapat efisiensi sampai 30% (Rand, 1993).9
Keseimbangan informasi antara fasilitas kesehatan dan badan asuransi merupakan
kunci sustainabilitas pembayaran kapitasi. Transfer risiko tidaklah berarti bahwa fasilitas
kesehatan harus menanggung rugi karena informasi yang tidak memadai. Trasfer risiko
dengan pembayaran kapitasi menempatkan fasilitas kesehatan pada risiko fluktuasi utilisasi
yang bukan katastropik dan memberikan insentif kepada fasilitas kesehatan untuk
menghindari moral hazard. Karena rentang risiko kapitasi bagi fasilitas kesehatan adalah
fluktuasi normal dan pemberian insentif kepada fasilitas kesehatan untuk melakukan usahausaha pencegahan guna mendapatkan laba yang memadai, maka informasi utilisasi haruslah
diketahui bersama. Artinya, keterbukaan data utilisasi antara badan asuransi dan fasilitas
kesehatan harus cukup memadai agar besaran pembayaran kapitasi tidak menyebabkan salah
satu pihak menderita kerugian sistematis.
Jadi dalam sistem pembayaran kapitasi, telaah utilisasi (utilization review) mutlak
diperlukan untuk dua hal. Pertama, telaah utilisasi dapat memberikan informasi kepada badan
asuransi dan fasilitas kesehatan tentang apakah pelayanan yang diberikan selama ini sudah
pas, pada titik optimal, atau belum. Utilisasi di bawah optiomal menunjukkan mutu
pelayanan yang tidak memenuhi standar. Sementara utilisasi yang berlebihan merugikan
fasilitas kesehatan. Telaah utilisasi dilakukan pada fasilitas kesehatan yang dikontrak kapitasi
dan fasilitas kesehatan rujukan. Dengan demikian dapat dipantau fasilitas kesehatan mana
yang rajin merujuk dan mana yang kurang merujuk. Telaah utlisasi ini juga sangat penting
untuk mengetahui apakah keluhan anggota/peserta tentang kualitas yang kurang memadai
memang terjadi.
Keterbukaan dan saling percaya merupakan faktor yang sangat penting yang secara
periodik dikomunikasikan. Telaah utlisasi membutuhkan keterbukaan ini, sehingga badan
asuransi dan fasilitas kesehatan sama-sama mengetahui besarnya risiko yang ditransfer dari
badan asuransi ke fasilitas kesehatan. Dengan demikian, maka besaran kapitasi menjadi fair
(adil). Pembayaran kapitasi yang ditetapkan sepihak tidak akan menghasilkan status
kesehatan yang optimal dan merupakan ancaman kelangsungan hubungan badan asuransi dan
fasilitas kesehatan.
130
H. Thabrany
131
H. Thabrany
menetapkan tarif per kasus yang berlaku sama di semua rumah sakit di suatu daerah, maka
kondisi pasien yang pada umumnya tidak terlindungi asuransi akan lebih tertolong. Di
Malaysia dan Singapura misalnya, pemerintah bersama organisasi profesi telah menetapkan
tarif untuk berbagai kasus di rumah sakit swasta sehingga pasien bisa mengira-ngira besarnya
yang harus ia bayar. Sedangkan untuk RS publik di Malaysia, penduduk hanya membayar
per diem yang sangat murah.
Di Muangtai pemerintahnya menerapkan sistem skema 30 Baht yang dikelola oleh
Health Security Office dengan membayar kapitasi ke rumah sakit. Setiap penduduk Muangtai
yang berusia 16-59 tahun yang bukan pegawai negeri dan bukan pegawai swasta (yang
keduanya sudah memiliki jaminan kesehatan) hanya membayar sebesar 30 Baht (sekitar Rp
6.000) setiap kali berobat atau dirawat. Pembayaran semacam ini bukanlah pembayaran per
kasus atau per episode pengobatan. Pembayaran seperti di Muangtai tersebut hanya
merupakan copayment, pembayaran formalitas bahwa perawatan yang diterimanya tidak
gratis. Hampir seluruh biaya perawatan tersebut sesungguhnya sudah dibayar oleh
pemerintah Muangtai kepada RS.
132
H. Thabrany
untuk mendapatkan pembayaran per diem dengan atau tanpa perawatan intensif. Modifikasi
lain juga dapat dilakukan dengan sliding scale per diem. Dalam cara pembayaran ini, badan
asuransi yang membayar sejumlah tertentu hari rawat, misalnya kurang dari 1.000 hari rawat
per tahun, akan membayar sedikit lebih mahal per hari dibandingkan dengan badan asuransi
yang membayar lebih dari 3.000 hari rawat per tahun. Modifikasi per diem dapat juga
dilakukan dengan tarif per diem differensial. Pada pembayaran per diem differensial, rumah
sakit akan dibayar dengan tarif per diem yang lebih tinggi pada beberapa hari pertama dan
tarif per diem yang lebih rendah pada hari tertentu (misalnya hari ke lima) dan seterusnya.
6.5. Ringkasan
Pelayanan kesehatan, khususnya pelayanan di rumah sakit, bukanlah pelayanan yang
dapat mengikuti hukum pasar seperti halnya pelayanan bengkel mobil atau pelayanan hotel.
Akibatnya, mekanisme pasar yang dapat mengendalikan biaya tidak terjadi di dalam
pelayanan kesehatan. Biaya pelayanan kesehatan terus meningkat dari tahun ke tahun yang
lebih besar dari peningkatan karena inflasi. Biaya pelayanan kesehatan meningkat karena ada
inflasi umum dan juga karena ada pelayanan baru dan peningkatan kualitas pelayanan karena
adanya teknologi dan tuntutan baru. Berbagai pihak berupaya melakukan pengendalian biaya
pelayanan kesehatan dengan berbagai cara pembayaran. Cara pembayaran tradisional yang
jumlahnya ditentukan setelah pelayanan diberikan (pembayaran retrospektif) justeru
memberikan dorongan bagi inflasi yang lebih tinggi dan pemberian pelayanan baru yang
semakin mahal.
133
H. Thabrany
Rujukan
1
Thabrany, Hasbullah. 2005. Pendanaan Kesehatan di Indonesia. RajaGrafindo Pers. Jakarta, 2005
Beck, Donald F. 1984. Principles of Reimbursement in Health Care. Aspen Publication. Rockville, MD.
USA. p 12
3
Smith, Howard L. dan Fottler, Myron D. 1985. Prospective Payment. Aspen Publication. Rockville, MD.
USA. p 2
4
Kongsvedt, Peter R. 1996. The Managed Health Cara Handbook. 3rd Ed. Aspen Publication. Gaitersburg, MD,
USA,
5
Bolan, Peter. Making Managed Healthcare Work: A Practical Guide to Strategies and Solutions. 1993. Aspen
Publication, Gaitersburg, MD. USA
6
HIAA. 1997. Managed Care: Integrating Delivery and Financing of Health Care, Part A. Washington, DC,
USA.
7
Steenwyk. J. 1989. Costs and Utilization Rates: Establishing Per Capita Budgets. dalam (Kongstvedt, P.R.
Ed) The ManagedHealth Care Handbook. Aspen Pub., Rockville, NM.
8
Thabrany, Hasbullah. Rasional Pembayaran Kapitasi. Yayasan Penerbitan IDI. 2001
9
Rand Corporation. Free for All.
10
Sandier, Simon; Polton, Dominique; Paris, Valerie; and Thomson, Sarah. 2002. France Health Care System.
Dalam Health Care Systems in Eight Countries: Trends and Challenges. Europen Observatory Health Care
System.
2
134
H. Thabrany
BAB 7
Asuransi Kesehatan Nasional Dalam
Sistem Jaminan Sosial Nasional
Sistem pendaaan kesehatan di Indonesia kini menderita penyakit kronis dan
masyarakat Indonesia dapat menjadi miskin jika saja ada satu atau lebih anggota keluarganya
yang harus dirawat di rumah sakit, meskipun di RS pemerintah. Meminta pendanaan
seluruhnya atau sebagian besar dari anggaran belanja Pemerintah (baik pusat maupun daerah)
seperti yang dilakukan Muangtai dan Malaysia tidak bisa diharapkan saat ini. Kebanyakan
pejabat kita belum menerima konsep investasi kesehatan untuk pembangunan manusia
Indonesia yang tangguh. Karenanya anggaran kesehatan masih sangat minim dan pendanaan
pelayanan kesehatan, paling tidak biaya rumah sakit, bagi seluruh rakyat dinilai
menghabiskan dana publik. Dalam kondisi seperti ini, skema asuransi sosial yang bersifat
wajib dan didanai dari iuran yang proporsional terhadap penghasilan (prosentase upah, dan
pasti terjangkau semua pihak) merupakan solusi terbaik. Hal ini, Alhamdulillah, sudah
disetujui DPR tanggal 28 September 2004 yang tercantum dalam Undang-Undang Sistem
Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Upaya yang telah dirintis lebih dari tiga tahun akhirnya
membuahkan hasil tahun 2004.
Berikut ini disajikan suatu konsep lebih rinci dari UU SJSN tersebut, yang Insya
Allah akan diatur dalam Peraturan Pemerintah atau Peraturan Presiden. Namun sebelum
konsep pendanaan dan pengaturan manfaat SJSN tersebut dibahas rinci, untuk memberikan
pemahaman mengapa alternatif tersebut terpilih, berikut ini disajikan berbagai keunggulan
dan kelemahan dari beberapa alternatif terpilih.
135
H Thabrany
dijamin. Disini akan dibahas opsi tiga jenis manfaat yaitu manfaat rawat inap dan biaya
medis yang mahal saja yang dijamin, pelayanan komprehensif dengan urun biaya (cost
sharing) untuk pelayanan tertentu dalam rangka mengendalikan moral hazard, dan
komprehensif tanpa urun biaya.
Secara ringkas kelebihan dan kekurangan masing-masing opsi dapat dilihat pada
matriks di bawah ini
Paket jaminan dimulai dengan
Penyelenggara
Opsi III.
Komprehensif tanpa
cost sharing
Single payer di
tingkat Nasional
atau Provinsi .
Efisien, egaliter,
manajemen paling
mudah, sustainabilitas tinggi
Efisien, egaliter,
manajemen lebih
kompleks, sustainabilitas tinggi
Oligo payer di
tingkat National
atau Provinsi
Efisien, egaliter
dalam kelompok,
manajemen paling
mudah, sustainabilitas tinggi
Multi payer 1 di
pusat/ provinsi
Kurang efisien,
egaliter dalam kelom
pok, manajemen mu
dah, risk pool mung
kin masalah, sustaina
bilitas mungkin
masalah
Multi payer 2 di
tingkat
provinse/kab-kota
Kurang efisien,
egaliter dalam
kelompok,
manajemen mudah,
risk pool masalah,
ancaman
sustainabilitas
Multi payer 3,
dengan banyak
badan dari pusat
sampai kab-kota
136
H Thabrany
Single
payer
Nasional
Single
payer
Propinsi
Oligo
payer
Nasional
Single
collector,
multi payer
Multi
payer
district I
Multi
payer
district II
Efisiensi
Kualitas,
konsumen
+++++
++++
+++
++
++
+/-
++
++
++++
++++
++++
++++
+++
+++
+++
+/-
+++++
+++++
+++++
+++++
+++++
+/-
++++
+++++
++++
++++
++++
+++
+++
+++++
++++
+++
++++
+/-
++
+++
++++
++++
+++
++
++
++
+
++
++
++++
+/+/+/+/+/++++
Kualitas,
fasilitas
kesehatan
Keterjangkauan
Keberlanjutan
Subsidi silang
Equity
Portabilitas
Desentralisasi
Di dalam pengambilan keputusan bentuk yang paling pas untuk Indonesia kita harus
mencermati kelebihan dan kekurangan tersebut. Kombinasi beberapa bentuk dapat dilakukan.
Yang paling penting untuk diingat ialah bahwa salah satu bentuk mungkin pas untuk saat ini
kemudian pada masa yang akan datang dapat berubah menjadi bentuk yang lain. Misalnya,
untuk satu badan asuransi nasional meskipun banyak memiliki kelebihan mungkin sulit
dilakukan saat ini karena situasi politik yang belum memungkinkan. Dalam prakteknya,
pilihan bentuk badan penyelenggara merupakan pilihan yang paling sulit dan paling
dipengaruhi aspek politis dan kepentingan berbagai pihak. Undang-Undang SJSN telah
memberikan indikasi bahwa penyelenggaraan asuransi kesehatan nasional di Indonesia
paling tidak akan menjadi oligo-payer, ada dua badan penyelenggara jaminan sosial (BPJS)
yang menyelenggarakan, yaitu PT Askes dan PT Jamsostek (yang tidak lagi bertujuan
mencari laba, baca naskah UU SJSN terlampir). Pemerintah daerah tidak perlu khawatir,
sebab meskipun penyelenggara di daerah adalah kantor cabang PT Askes atau PT Jamsostek,
pekerjanya adalah orang daerah. Dana yang terkumpul juga dibayarkan kepada fasilitas
kesehatan daerah. Sehingga tidak terjadi aliran dana dari daerah ke pusat yang digunakan
oleh pusat.
137
H Thabrany
138
H Thabrany
139
H Thabrany
Tim SJSN telah menyepakati untuk mengembangkan substansi jaminan sosial yang
meliputi jaminan kesehatan, jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, jaminan pensiun,
dan jaminan kematian. Semula disiapkan untuk menyediakan Jaminan Penanggulangan
Pemutusan Hubungan Kerja (JPPHK), namun karena keterlambatan selesainya konsep SJSN
dan UU Nomor 13/2003 tentang Ketenaga Kerjaan sudah mewajibkan majikan membayar
pesangon apabila terjadi PHK, maka JPPHK kemudian dihilangkan. Tim juga bersepakat
untuk memperbaiki sistem jaminan sosial yang ada (yang dikelola oleh PT ASABRI, PT
Askes, PT Jamsostek, dan PT Taspen) agar nantinya menjadi jaminan yang seragam tanpa
membedakan status pekerjaan penduduk. Pada awalnya konsep Jaminan Sosial Nasional
akan mendirikan tiga lembaga yaitu Lembaga Jaminan Sosial Nasional yang merupakan
suatu lembaga Tri Partit (Majelis Wali Amanat) yang berfungsi sebagai pengambil kebijakan
umum dan pengawasan yang tidak operasional. Selain itu dibentuk satu Administrasi
Jaminan Sosial Nasional yang bertugas mengelola kepesertaan, mengumpulkan iuran dan
mengelola dana. Terkahir adalah Badan Penyelenggara Jaminan Sosial yang terdiri dari dua
badan yaitu Satu Badan yang mengelola program yang bersifat jangka panjang (jaminan hari
tua, jaminan pensiun, jaminan kematian, dan jaminan pemutusan hubungan kerja) dan satu
Badan Penyelenggara Jaminan yang bersifat jangka pendek (jaminan kecelakaan kerja dan
jaminan pemeliharaan kesehatan). Namun demikian, karena berbagai ketakutan kehilangan
peran, usul ini ditolak beberapa wakil dari Departemen dan wakil Badan Penyelenggara yang
ada. Sebagai kompromi akhirnya disepakati bahwa keempat badan penyelenggara tetap
beroperasi sendiri-sendiri tetapi harus berubah tujuan menjadi lembaga yang nirlaba, seseuai
dengan prinsip dasar penyelenggaraan jaminan sosial. Pada tahap ini belum diputuskan
apakah tugas keempat badan penyelenggara tersebut akan tetap atau akan ada spesialisasi
penyelenggaraan seperti yang diinginkan oleh sebagian anggota DPR dan anggota Tim SJSN.
Tim juga telah menyepakati untuk memperluas jaminan mulai dengan penduduk yang
bekerja dengan orang/badan dengan menerima upah dan penduduk miskin. Kelompok
penduduk ini semula disebut sektor formal yang merupakan sektor yang paling mudah
dikelola, namun karena dalam debat-debat di DPR tidak ada satu definisi sektor formal dan
informal yang pas, akhirnya istilah sektor formal dan informal dihapuskan. Secara bertahap
jaminan akan diperluas kepada yang tidak miskin yang tidak menerima upah/gaji secara rutin
seperti kelompok pedagang, petani, nelayan, dan pekerja rumah tangga sehingga suatu saat
seluruh rakyat mendapat jaminan untuk bisa hidup sehat, layak, dan produktif. Pentahapan
kepesertaan seperti ini tidak secara jelas, bisa difahami dalam UU SJSN.
Landasan Hukum yang kini tersedia dalam atau melandasi sistem jaminan sosial di sektor
kesehatan adalah:
1. UUD 1945 amendemen pasal 28H ayat 1, bahwa setiap penduduk berhak atas
pelayanan kesehatan dan ayat 3 bahwa setiap penduduk berhak atas jaminan sosial.
2. UUD 1945 amendemen pasal 34 ayat 2, bahwa negara mengembangkan sistem
jaminan sosial bagi seluruh rakyat
3. UUD 1945 amendemen pasal 34 ayat 3, bahwa negara bertanggung jawab atas
penyediaan fasilitas kesehatan yang layak
4. UU No 3/1992 tentang Jamsostek
5. PP 69/1991 tentang JPK PNS
6. UU No 23/1992 tentang Kesehatan, khususnya pasal 66
140
H Thabrany
141
H Thabrany
selagi tindakan medis tersebut memang diperkirakan oleh dokter (secara obyektif) akan
efektif untuk penyembuhan atau mengembalikan produktifitas pasien. Pelayanan perawatan
di kelas I atau VIP di rumah sakit pemerintah atau RS swasta bukanlah kebutuhan dasar
medis. Pemberian obat yang sekedar menghilangkan gatal-gatal atau menjadikan penampilan
seseorang lebih gagah atau lebih cantik, bukanlah kebutuhan dasar medis.
b. Prinsip dasar AKN
Penyelenggaraan AKN dilaksanakan berdasarkan prinsip-prinsip asuransi sosial yang
menjamin solidaritas luas diantara berbagai kelompok penduduk, penerapan teknik kendali
biaya (managed care), menjamin portabilitas dan penyelenggaraan yang akuntabel,
transparan, dan responsif. Untuk menjamin semua penduduk turut serta, maka seluruh
pemberi kerja diwajibkan mendaftarkan tenaga kerja dan anggota keluarganya ke BPJS yang
menyelenggarakan AKN dan sekaligus membayar iuran secara rutin ke rekening BPJS
tersebut. Besarnya iuran belum ditetapkan dalam UU SJSN dan akan ditetapkan dalam
Peraturan Pemerintah. Namun besaran iuran diperkirakan antara 5 %-6 % dari gaji/upah yang
ditanggung bersama antara pemberi kerja dan tenaga kerja. Pada program Jamsostek yang
pada tahun 2004 masih berlaku, besaran iuran adalah 3% untuk pekerja lajang dan 6% untuk
pekerja yang telah berkeluarga. Perbedaan besaran iuran ini banyak disalah-gunakan pemberi
kerja dengan mendaftarkan tenaga kerja, umumnya wanita yang sudah berkeluarga, sebagai
tenaga kerja lajang guna mengurangi kewajibannya. Oleh karena itu, dalam SJSN seharusnya
tidak lagi dibedakan antara pekerja lajang dan pekerja yang telah berkeluarga, seperti yang
juga diterapkan di seluruh negara di dunia.
Penduduk miskin akan didaftarkan oleh pemerintah (kemungkinan yang terbaik adalah oleh
Dinas Kesehatan atau Dinas Sosial) dari suatu Kota/kabupaten. Iuran penduduk miskin dan
tidak mampu (mempunyai penghasilan tetapi tidak mencukupi) akan dibayar oleh
Pemerintah. Besaran iuran penduduk miskin ini adalah nilai nominal tertentu. Dalam
prakteknya iuran ini harus diperhitungkan sebesar rata-rata iuran bagi pekerja di daerah
tersebut agar kebutuhan kecukupan dana (prinsip adequacy dalam perhitungan aktuaria dapat
terpenuhi). Bagi pekerja mandiri, iuran sebaiknya ditetapkan berdasarkan rata-rata
pendapatan dari berbagai kelompok pekerjaan. Misalnya untuk petani mandiri, tukang becak,
dan nelayan mandiri ada satu besar iuran. Untuk sopir taksi, pedagang kios di pasar, atau
pedagang kios di pusat perbelanjaan yang dikerjakan sendiri iurannya lebih tinggi dari
kelompok petani, karena nilai rata-rata penghasilan yang diperoleh (dari survei) lebih tinggi.
Peserta yang telah terdaftar (baik yang bayar sendiri iurannya, yang dibayarkan oleh
pemerintah atau pemberi kerja) akan mendapatkan kartu peserta untuk berobat di fasilitas
kesehatan yang mengikat kontrak dan sepakat memberikan pelayanan dengan standar mutu
yang ditetapkan BPJS. Dengan demikian, fasilitas kesehatan tidak boleh dan tidak perlu
membedakan pelayanan bagi kelompok miskin maupun kelompok yang berpenghasilan
rendah. Untuk mengendalikan moral hazard, setiap kali peserta memerlukan pelayanan
tertentu, maka peserta harus membayar urun biaya (cost sharing) yang tidak besar tetapi
cukup mengendalikan pelayanan dan biaya. Besaran urun biaya akan diatur dalam PP,
hendaknya bervariasi antara 10 %-30 % tergantung jenis pelayanan. Untuk menghindari
beban berat bagi peserta, maka urun biaya harus dibatasi sampai jumlah maksimum tertentu,
142
H Thabrany
misalnya sebesar satu bulan UMP. Dana urun biaya merupakan hak fasilitas kesehatan yang
jumlahnya telah diperhitungkan dalam kalkukasi pembayaran prospektif dari BPJS kepada
fasilitas kesehatan. Untuk mengurangi moral hazard dari sisi fasilitas kesehatan, maka BPJS
harus melakukan telaah utilisasi (utilization review) guna menjamin ketepatan penggunaan
dan kualitas pelayanan yang diterima peserta.
c. Strategi pengembangan
Undang-undang memang belum rinci menggariskan strategi pengembangan program
dan perluasan kepesertaan. Mudah-mudahan dalam waktu dekat strategi tersebut dapat
dirumuskan. Berikut ini disajikan strategi hipotetis atau usulan strategi yang dapat digunakan
untuk perluasan kepesertaan AKN maupun pengembangan sistem pelayanan kepada anggota
dan pembayaran kepada fasilitas kesehatan.
Karena pada saat ini masih banyak jumlah penduduk di sektor formal yang belum
memiliki jaminan, maka pada 5-10 tahun pertama perluasan kepesertaan akan dipusatkan
pada kelompok sektor formal, khususnya yang berada di perkotaan, dan penduduk miskin
sebagai pengganti program JPSBK/JPK Gakin yang kini sudah dimulai oleh Depkes dengan
menjaminkan sekitar 54 juta penduduk termiskin melalui subsidi iuran ke PT Askes. Prioritas
kedua kelompok ini didasarkan pada pertimbangan kemudahan mengumpulkan iuran yang
merupakan faktor esensial dalam suksesnya SJSN. Hal ini juga berkaitan dengan
ketersediaan dan kesiapan fasilitas kesehatan untuk melayani jumlah peserta yang besar.
Sasaran perluasan lima tahun pertama ditujukan kepada tenaga kerja yang saat ini sama
sekali belum memiliki jaminan. Pada saat yang bersamaan, Pemda mendaftarkan dan
membayarkan iuran penduduk miskin yang kini menerima JPK Gakin kepada BPJS yang
ditunjuk. Kepesertaa penduduk pekerja mandiri (sektor informal) harus tetap terbuka secara
aktif. Artinya penduduk itu sendiri yang berinisiatif mendaftar, akan tetapi mereka harus siap
membayar secara rutin, bukan hanya pada saat mereka menderita sakit dan membutuhkan
pelayanan. Penegakan hukum, atau upaya aktif BPJS mendatangi penduduk sektor ini
hendaknya tidak dilakukan dalam 10 tahun pertama, karena biaya administratifnya akan
sangat besar dan tidak sebanding dengan iuran yang akan terkumpul. Untuk menjamin bahwa
penduduk sektor informal dapat memenuhi kebutuhan dasr medisnya, maka pelayanan
kesehatan di fasilitas pemerintah masih harus tetap mendapatkan subisidi yang ditujukan bagi
mereka yang belum menjadi peserta AKN.
d. Kelembagaan.
Secara prinsip, Tim SJSN telah sepakat bahwa badan penyelenggara haruslah bersifat
nirlaba (prinsip Trust Fund atau Public Corporation). Ada berbagai pilihan kelembagaan dari
yang terpusat sampai yang tersebar (desentralisasi). Semakin terpusat, penyelenggaraan
semakin efisien dan semakin portabel tetapi juga kurang responsif terhadap perubahan
kebutuhan peserta. Sebaliknya semakin banyak penyelenggara maka semakin tidak efisien
dan tidak portabel akan tetapi semakin responsif terhadap perubahan kebutuhan peserta. Agar
penyelenggaraan benar-benar memihak kepada peserta, maka biaya administrasi dibatasi
143
H Thabrany
sampai maksimum 5% dari seluruh iuran yang diterima. Undang-Undang SJSN telah
menyepakati mengambil bentuk BPJS yang terpusat, yang kemungkinannya diberikan
kepada PT Askes atau PT Jamsostek atau kedua-duanya. Pilihan ini mempunyai potensi
kurang responsif terhadap tuntutan peserta di daerah. Untuk mengatasi hal itu, maka kantor
cabang di daerah harus diberikan otonomi luas dalam penyelenggarannya. Untuk antisipasi
hal ini, UU telah menggariskan bahwa besaran pembayaran dan cara pembayaran antara
BPJS kepada fasilitas kesehatan dinegosiasikan di tingkat wilayah. Hal ini akan
menimbulkan perbedaan sistem pembayaran dan besaran pembayaran antar daerah, yang
memang memiliki karakteristik yang berbeda. Ini adalah salah satu contoh otonomi kantor
cabang di daerah yang diberikan UU untuk menampung tuntutan masyarakat di daerah.
Prinsip Dasar:
Prinsip
portabilitas.
Seorang
peserta
tidak
boleh
kehilangan
perlindungan/jaminan bagi dirinya atau anggota keluarganya apabila ia pindah
tempat tinggal, pindah kerja, atau sementara tidak bekerja.
Prinsip nirlaba (not for profit). Pengelolaan program AKN diselenggarakan atas
dasar tidak mencari atau memupuk laba untuk sekelompok orang atau pemerintah,
akan tetapi memaksimalkan pelayanan. Badan penyelenggara dibebaskan dari
kewajiban membayar pajak penghasilan badan (PPh Badan) atas sisa anggaran
atau hasil usaha/nilai tambah. Badan penyelenggara juga tidak membayarkan
dividen atas sisa anggaran atau sisa hasil usaha atau keuntungan yang
diperolehnya. Seluruh dana berupa sisa hasil usaha atau anggaran yang tidak
144
H Thabrany
digunakan disimpan dan diakumulasi dalam bentuk dana cadangan dari tahun ke
tahun. Apabila jumlah dana cadangan ini sangat besar suatu ketika, maka besaran
iuran oleh seluruh peserta akan diturunkan
Prinsip tambahan yang perlu diperhatikan adalah:
Mendapat dukungan dari pemberi kerja dan organisasi tenaga kerja yang memahami
bahwa program tersebut pada akhirnya akan bermanfaat untuk meningkatkan
produktifitas mereka.
Manfaat yang diberikan cukup layak dan memadai jumlah dan mutunya. Oleh
karenanya pelayanan medis yang mahal harus dijamin, sementara pelayanan yang
murah dapat dikurangi atau dikenakan urun biaya. Besarnya manfaat harus secara
reguler, dalam periode yang wajar, disesuaikan dengan kebutuhan peserta yang
berkembang sejalan dengan peningkatan taraf hidupnya.
Jumlah iuran harus cukup memadai untuk membiayai manfaat yang diberikan (prinsip
adequacy). Jumlah iuran yang melebihi manfaat yang diberikan akan lebih baik
karena kelebihan dana akan diakumulasi. Akan tetapi jumlah iuran yang terlalu besar
dapat memberatkan sektor usaha dan karenanya dapat menurunkan angka partisipasi.
Penyelenggaraan dilakukan dengan profesional, transparan, bersih, dan bertanggungjawab. Oleh karenya seluruh peserta harus bisa memperoleh informasi akurat tentang
penyelenggaraan, besaran iuran yang terkumpul, dan besarnya dana yang dihabiskan
untuk pelayanan dan biaya manajemen.
145
H Thabrany
Adanya dukungan pemerintah yang kuat yang menjamin berbagai pihak memenuhi
kewajibannya. Dukungan pemerintah harus diwujudkan dalam bentuk pemberian
dana subsidi atau talangan jika diperlukan. Dengan demikian, seluruh peserta dan
pemberi kerja tidak merasa khawatir kalau ternyata biaya kesehatan membengkak dan
BPJS bangkrut. Sperti halnya Bank Indonesia, BPJS hanya bisa bangkrut apabila
pemerintah bangkrut. Ketegasan kewajiban pemerintah ini sudah tercantum dalam
UU, guna menjamin tingkat kesehatan BPJS
146
H Thabrany
dibayarkan oleh PT Askes dan PT Jamsostek kepada Pemerintah, seperti yang selama ini
berlangsung, yang jumlahnya melebihi satu triliun rupiah setahun. Sejak BPJS menyesuaikan
diri, diharapkan tahun 2005 sudah selesai, maka dividen tersebut seluruhnya akan masuk ke
rekening peserta sesuai dengan jumlah iuran yang telah disetorkannya.
Dengan keluarnya UU SJSN, maka bapel-bapel JPKM yang sekarang ada atau prabapel yang sebelumnya mengelola JPKM JPSBK tidak bisa lagi beroperasi untuk melayani
kebutuhan dasar medis. Begitu juga dengan perusahaan asuransi atau perusahaan lain, yang
melakukan kontrak dengan perusahaan untuk menjamin pelayananan atau biaya kesehatan
karyawan suatu perusahaan, tidak boleh lagi beroperasi untuk menjamin kebutuhan dasar
medis. Mereka boleh beroperasi untuk menjual produk asuransi kesehatan suplemen atau
tambahan, yang tidak dijamin oleh SJSN. Bisa saja sebuah perusahaan membelikan asuransi
kesehatan yang mencakup paket dasar tetapi tetap wajib iur untuk SJSN. Tentu hal ini
bersifat duplikatif dan menjadi lebih mahal bagi perusahaan. Bapel JPKM dapat juga
mengubah diri menjadi grup povider (kelompok fasilitas kesehatan) yang melakukan kontrak
dengan BPJS, atau menjadi lembaga penjamin manajemen mutu dan utilisasi yang
independen.
147
H Thabrany
dari gajinya. Dengan demikian tidak ada diskriminasi antar golongan pekerjaan. Tugas yang
berat ini harus dilaksanakan oleh Dewan dan diharapkan dapat selesai paling lama dalam
waktu 5 (lima) tahun. Dewan ini memiliki kewenangan mengawasi dan mengevaluasi
keempat BPJS yang ditetapkan dalam UU.
Untuk efisiensi dan efektifitas fungsi DJSN, maka harus ada beberapa Komite yang
terdiri dari para ahli dan yang sehari-hari mengerjakan evaluasi atas penyelenggaraan
jaminan sosial yang sesuai dengan UU SJSN. Komite dapat dibentuk secara permanen untuk
terus-menerus memantau penyelenggaraan, misalnya Komite Investasi, agar BPJS tidak
seenaknya menempatkan dana yang mungkin lebih didorong atas kepentingan tertentu.
Komite yang diperlukan antara lain:
1. Komite Aktuaria: tugasnya adalah melakukan evaluasi rutin tentang iuran dan
perkiraan biaya medis serta menerbitkan tabel iuran, khususnya untuk pekerja
mandiri dan penduduk miskin atau kurang mampu secara berkala.
2. Komite Investasi: Komite ini sangat penting karena BPJS, khsusnya BPJS
penyelenggara program Jaminan Hari Tua dan Jaminan Pensiun akan mengakumulasi
dan menghimpun ratusan Triliun rupiah (Dana Amanat) di masa datang. Kalau saja
dana tersebut diinvestasikan pada portofolio yang tidak tepat, akan memberikan hasil
pengembangan dana yang kurang optimal. Idealnya, Dana Amanat akan memberikan
hasil yang lebih tinggi dari bunga Deposito, paling sedikit 2% diatas itu. Sehingga
peserta akan merasa puas dengan perkembangan dana yang mereka miliki. Komite ini
bertugas menyusun perumusan dan pedoman portofolio investasi bagi kantor pusat
dan kantor cabang BPJS.
3. Komite Perselisihan: Perselisihan akan selalu muncul pada operasi yang begitu
besar, apalagi dalam program AKN. Komite memantau dan menyelesaikan secara
internal berbagai perselisihan yang menyangkut pembayaran iuran, pembayaran
kepada fasilitas kesehatan, dan perselisihan lain yang melibatkan badan, peserta,
pemberi kerja, dan atau fasilitas kesehatan
4. Komite pelayanan: Komite ini khususnya diperlukan untuk program AKN dengan
tugas melakukan pemantauan dan perumusan jenis-jenis pelayanan, obat dan bahan
medis habis pakai yang dijamin atau tidak dijamin serta besaran urun biaya. Komite
juga melakukan evaluasi dan perumusan tentang mutu pelayanan fasilitas kesehatan,
persyaratan mutu pelayanan, dan merumuskan tentang pedomaan telaah utilisasi
terhadap pelayanan yang diberikan kepada peserta
148
H Thabrany
bubar. Risiko hancurnya penyelenggaraan SJSN adalah risiko negara, bukan risiko
perusahaan atau sekelompok orang pemegang saham, dalam hal penyelenggaraan asuransi
kesehatan komersial. Oleh karena itu, aturan pengelolaan keuangan harus secara eksplisit
dirumuskan dan harus ditaati betul oleh pengelola. Pengelola harus dipilih dari orang-orang
yang bersih dan mempunyai dedikasi tinggi untuk mewujudkan terselenggaranya AKN yang
baik. Beberapa elemen penting pengelolaan keuangan yang patut dipertimangkan adalah:
Paling lambat setiap tanggal 5 bulan berjalan, pemberi kerja wajib menyetorkan
potongan iuran pekerja dan menambahkan iuran yang menjadi kewajibannya ke rekening
BPJS. Misalnya, iuran untuk bulan Januari 2005 harus sudah dibayarkan oleh pemberi kerja
kepada BPJS paling lambat tanggal 5 Januari 2005. Pengusaha yang lalai harus dikenakan
sanksi berupa denda atau kalau terus-menerus lalai, maka Direktur Keuangan atau Direktur
Utama harus bisa diseret ke pengadilan atau dikenai hukuman kurungan. Tanpa ada
penegakan hukum yang tegas, khususnya dalam lima tahun pertama penyelenggaraan, maka
SJSN tidak akan berjalan baik. Lima tahun pertama amat penting untuk meyakinkan semua
pemberi kerja membayar iuran. Kalau pemberi kerja tidak bisa yakin bahwa SJSN
diselenggarakan dengan bersih, jujur, dan betul-betul memihak peserta, maka akan sulit
mengembangkan SJSN di kemudian hari. Praktisnya pembayaran iuran akan dibayar
sekaligus untuk semua program jaminan sosial, hanya saja kepada rekening yang berbeda.
Untuk keperluan pengawasan, BPJS bersama dengan pegawai pengawas dari
Departemen terkait dapat melakukan pemeriksaan sewaktu-waktu kepda pemberi kerja dan
mengajukannya ke pengadilan jika terdapat pelanggaran. Pengalaman penyelenggaraan
program Jamsostek menunjukkan bahwa banyak pemberi kerja yang tidak jujur dengan
laporan upah pekerja. Pemberi kerja melaporkan upah yang lebih rendah kepada Jamsostek
agar iurannya bisa lebih kecil. Ke depan, hal ini akan mudah dideteksi oleh pekerja sendiri
karena SJSN dirancang untuk lebih transparan. Badan Penyelenggara diwajibkan melaporkan
rekening peserta JHT dan JP setiap tahun. Dengan demikian apabila pengusaha melaporkan
upah yang lebih rendah, akan tampak dari akumulasi iuran yang dibayarkan ke BPJS yang
pada akhir tahun laporannya akan diterima setiap peserta. Selain itu, peserta juga akan
mengetahui dari tahun ke tahun besaran dana yang dimilikinya untuk masa tuanya,. Akan
tetapi peserta tidak boleh mengambilnya, karena dana tersebut baru bisa diambil jika ia
pensiun, mengalami cacat total tetap, atau meninggal dunia.
Badan pengelola AKN dalam lima tahun pertama, sebelum jumlah peserta cukup
besar, hanya dapat menggunakan iuran yang diterima untuk biaya administrasi maksimum
15% iuran, pada tahun ke 6-10 besarnya biaya operasional harus maksimum 10%, dan
menjadi maksimum 5% pada tahun ke 11 dan seterusnya. Dengan demikian,
penyelenggaraan AKN ini akan lebih menguntungkan bagi perusahaan yang selama ini
membeli asuransi kesehatan yang mempunyai loading (biaya operasional, biaya pemasaran
dan keuntungan) yang mencapai 40% dari premi. Pembatasan ini sangat penting dirumuskan
dalam peraturan, agar semua peserta dan pemberi kerja yang akan mengiur mengetahui
dengan jelas bahwa mereka akan diuntungkan dengan pool yang besar yang dikelola secara
nasional.
149
H Thabrany
Dana yang terkumpul tidak selalu harus habis pada tahun itu, akan tetapi harus cukup
membiayai semua kebutuhan yang akan timbul di tahun itu. Ini adalah prinsip solvabilitas.
Untuk menjamin kecukupan dana ini, maka dana yang terkumpul harus dikelola dengan
sangat hati-hati (prudent) Dana yang belum digunakan harus diinvestasikan agar memberikan
nilai tambah untuk menutupi biaya yang dibutuhkan dan untuk menambah dana cadangan.
Akan tetapi investasi harus dilakukan agar setiap saat dana dibutuhkan, dana tersebut dapat
cair. Ini adalah prinsip likuiditas. Manajemen keuangan harus benar-benar carmat agar
tercapai kesimbangan antara kebutuhan dana untuk membayar manfaat dan
menginvestasikan yang belum diperlukan. Untuk mencapai titik optium tersebut, tidak
sembarang investasi dibolehkan. Investasi yang berisiko tinggi, seperti saham dan properti
harus dihindari, meskipun akan memberikan hasil yang tinggi. Jikapun dibenarkan,
proporsinya harus sangat dibatasi, misalnya tidak lebih dari 5% dari total dana yang dapat
diinvestasikan. Untuk dana jaminan kesehatan, dana akan lebih banyak diinvestasikan dalam
bentuk deposito, reksa dana, dan sebagian mungkin dalam instrumen investasi jangka pendek
lain yang aman seperti SBI. Dana hari tua dan pensiun yang digunakan dalam jangka
panjang, harus ditanam dalam instrumen jangka panjang. Akan tetapi untuk jaminan
kesehatan yang kebutuhan nya setiap saat dapat terjadi, instrumen investasi jangka panjang
tidak diperlukan.
150
H Thabrany
terkait pelayanan kepada peserta, bukan sistem secara umum yang berlaku bagi semua
fasilitas kesehatan. Hanya fasilitas kesehatan yang mengikat kontrak dengan BPJS-lah yang
terkena peraturan sistem pelayanan dan pembayaran BPJS. Sebagai contoh, BPJS dapat
mengembangkan sistem pelayanan terstruktur dengan pembayaran kapitasi global ke rumah
sakit, kapitasi parsial ke dokter keluarga, dan atau mengembangkan sistem pembayaran DRG
kepada rumah sakit.
Undang-undang juga mewajibkan BPJS untuk mengumumkan kinerja keuangan dan
kinerja pelayanan (akses, biaya satuan per group pelayanan atau diagnosis, kepuasan peserta
per fasilitas dan kota/kabupaten, dll). Hal ini sangat perlu untuk menjamin agar semua
peserta memahami segala macam masalah yang dihadapi dan memahami kalau misalnya
diperlukan kenaikan biaya iuran, pengendalian yang lebih ketat yang membutuhkan urun
biaya lebih tinggi, dan meningkatkan kepercayaan peserta kepada BPJS. Akan sangat baik
jika BPJS menyampaikan laporan tersebut atau mempublikasikan hasil-hasil penelitian yang
dibiayainya setiap enam bulan di paling sedikit 10 media masa nasional dan di website.
Meskipun UU tidak secara eksplisit mengatur hal itu, untuk kinerja yang terbaik, BPJS dapat
melakukan yang lebih dari itu guna menjamin transparansi dan pemahaman peserta akan
masalah yang dihadapi BPJS.
Salah satu komponen penting dalam menjamin kepuasan peserta adalah tugas BPJS
untuk menerbitkan buku saku yang berisi hak dan kewajiban peserta dan anggota
keluarganya, tata cara memperoleh pelayanan, pelayanan yang ditanggung/dijamin, dan
jaminan yang tidak ditanggung, besaran urun biaya untuk berbagai pelayanan, dll. Selain itu
BPJS wajib menerbitkan revisi buku saku tersebut setiap terjadi perubahan kebijakan iuran,
paket pelayanan, maupun prosedur pelayanan dan mencantumkan seluruh isi buku saku
tersebut dalam website BPJS.
Pengendalian mutu pelayanan merupakan faktor yang juga tidak kalah pentingnya.
Oleh karena itu BPJS wajib mengembangkan sistem kendali mutu (quality assurance) di
berbagai fasilitas yang dikontrak di barbagai daerah. Seharusnyalah BPJS melakukan
berbagai upaya untuk menjamin bahwa setiap peserta akan mendapatkan pelayanan
kesehatan dengan kualitas terbaik menurut standar profesi dan kemampuan tenaga dan
keuangan suatu daerah.
151
H Thabrany
manfaat non-medis antara peserta yang iurannya dibayar oleh pemerintah (penduduk miskin
dan tidak mampu) dan penduduk yang membayar iuran penuh dari upahnya, ditambah iuran
oleh majikannya. Fasilitas kesehatan untuk penerima bantuan iuran (PBI) dapat digunakan
hanya fasilitas kesehatan publik seperti puskesmas dan rumah sakit publik (pemerintah) yang
masih mendapat subsidi pemerintah pusat maupun daerah. Dokter keluarga pada periode 10
tahun pertama akan digunakan untuk melayani pegawai negeri dan pegawai swasta yang
selama ini sudah mendapat jaminan pelayanan komprehensif. Untuk menjamin pelayanan
terstruktur dapat terselenggara dengan memuaskan, fasilitas kesehatan yang dikontrak
sebaiknya rumah sakit yang memiliki dokter keluarga binaan dimana rumah sakit tersebut
akan mendapatkan rujukan.
Rujukan dari dokter keluarga harus dikomunikasikan (pasien dikembalikan dengan
informasi pelayanan medis yang telah diberikan) oleh fasilitas kesehatan agar dokter
keluarga dapat mengikuti perkembangan penyakit pasien yang dirujuknya. Rujukan yang
kurang tepat harus diperbaiki agar tidak terulang kembali. Dokter keluarga ini akan menjadi
dokter primer yang berfungsi sebagai gatekeeper.
Sejalan dengan konsep Indonesia Sehat, dan paradigma pencegahan lebih baik dari
pengobatan, maka BPJS harus memberikan pelayanan pencegahan. Pelayanan kontrasespi
dan konseling keluarga berencana merupakan pelayanan pencegahan penting dalam
mengendalikan besarnya jumlah peserta dalam jangka panjang. Untuk menurunkan angka
kematian ibu dan kematian bayi, BPJS harus mampu menyediakan Pelayanan ante natal
lengkap, minimum 4 kali selama kehamilan dan pemeriksaan rutin setiap tiga bulan kepada
ibu dan anaknya, sampai anak mencapai usia lima tahun. BPJS harus mampu menjamin
pemeriksaan medik rutin untuk mendeteksi dini penyakit-penyakit kurang gizi dan penyakit
infeksi kronis pada anak berusia di bawah lima tahun. Program seperti ini akan jauh lebih
cepat meningkatkan status kesehatan yang selama ini tidak cukup cepat meningkat. Angka
kematian bayi dan ibu di Sri Lanka dan Malaysia bisa jauh lebih rendah dari di Indonesia
karena semua anak dan ibu dapat menerima pelayanan tersebut secara gratis. Di Indonesia,
seorang ibu yang bersalin di puskesmas harus membayar tidak sedikit. Konon di Jakarta saat
ini biaya persalinan di puskemas dapat mencapai Rp 300.000. Dalam kondisi seperti itu,
tentu saja perempuan miskin akan cendrung tidak ke puskesmas, tetapi ke dukun yang lebih
murah atau tidak sama sekali. Kepada peserta yang relatif tua, pelayanan pencegahan dapat
diberikan dengan pemeriksaan medik berkala sederhana yang rinciannya ditetapkan DJSN
tiap tiga tahun sekali bagi peserta yang berusia 50 tahun atau lebih
Banyak pihak yang mengkritisi bahwa AKN hanya memberikan pelayanan kuratif
dan tidak memberikan pelayanan preventif kesehatan masyarakat. Harus disadari bahwa
pelayanan kesehatan masyarakat seperti penyuluhan masal, pembersihan lingkungan, dan
penanganan polusi adalah tugas Dinas Kesehatan yang harus didanai dari APBN/APBD.
Meskipun demikian, pelayanan kuratif pada hakikatnya juga memiliki nilai preventif untuk
mencegah memberatnya kasus atau kematian dini. Oleh karena itu, dalam AKN digariskan
bahwa setiap peserta berhak atas jaminan berupa pelayanan komprehensif. Meskipun ada
peserta yang mungkin tidak menggunakan haknya untuk kasus ringan seperti pilek dan alergi
sederhana, mereka akan menggunakan haknya dalam pengobatan kasus-kasus rawat jalan
mahal di rumah sakit dan pelayanan perawatan di rumah sakit pemerintah atau swasta.
152
H Thabrany
Jaminan yang diberikan mencakup biaya pemeriksaan dokter keluarga dan dokter spesialis,
biaya perawatan, pemeriksaan penunjang, obat-obatan, bahan medis lainnya sejauh secara
medis diperlukan menurut standar profesi medis yang secara ilmiah telah dibuktikan
efektifitasnya. Ada juga yang mengkritik bahwa pelayanan hemodialisa dan operasi jantung
seharusnya tidak masuk dalam paket yang dijamin karena biayanya mahal. Kritik ini
sesungguhnya tidak tepat, karena pelayanan hemodialisa termasuk pelayanan dasar medis,
yang memungkinkan seseorang hidup dan berproduksi. Jika hemodialisa tidak dijamin, maka
peserta yang mengalami gagal ginjal total akan otomatis meninggal dunia dalam dua minggu.
Tentu hal ini tidak sesuai dengan pri-kemanusiaan.
Untuk pelayanan kesehatan primer, untuk mencegah dan mengobati kasus-kasus yang
tidak perlu ditangani dokter spesialis, BPJS harus melakukan kontrak dengan dokter
keluarga. Dokter keluarga (termasuk dokter gigi) adalah dokter yang mendapat pelatihan
khusus dan mendapat sertifikasi dari organisasi profesi (seperti IDI dan PDGI) sebagai dokter
yang berkonstrasi pada pelayanan kepada suatu keluarga secara utuh. Akan sangat baik dan
memungkinkan dengan sistem AKN, dokter keluarga akan mendapat kontrak pelayanan
dengan pembayaran kapitasi. Untuk pelayanan rujukan, peserta dapat memilih pelayanan di
klinik spesialis atau di rumah sakit yang dikehendaki tetapi harus mendapatkan rujukan dari
dokter keluarga yang dipilihnya. Pembayaran kepada klinik spesialis dan rumah sakit dapat
saja masih berdasar jasa per pelayanan, akan tetapi dengan tarif yang diatur sama di suatu
wilayah dan dapat mencakup obat-obatan sekaligus. Jadi klinik dan rumah sakit harus
bekerja sama dengan apotik untuk mengatur obat-obatan yang cost-effective, guna menjamin
pengendalian biaya dan pemberian pengobatan yang rasional. Secara rinci hal ini harus
diatur oleh BPJS.
Hak perawatan peserta idealnya sama untuk seluruh peserta, yang di negara maju
disebut sebagai semi-private room and board. Di Indonesia barangkali ruang perawatan
tersebut setara dengan ruang perawatan kelas II yang distandardisasi. Artinya, BPJS
menetapkan besar ruangan, jumlah tempat tidur, rasio TT terhadap dokter dan perawat, serta
standar pelayanan lainnya, terlepas dari status kepemilikan RS (pemerintah atau swasta).
Namun untuk pertama kali, karena variasi tingkat penghasilan, pendidikan, dan status sosial,
program AKN masih harus mentolerir perbedaan perawatan di rumah sakit kelas III (tiga)
untuk peserta penerima bantuan iuran (PBI) dan yang memiliki upah 200% UMP. Misalnya,
di Jakarta UMP tahun 2004 adalah Rp 720.000 per bulan, seorang pekerja yang mendapatkan
upah atau gaji sebesar sampai dengan Rp Rp 1.000.000 akan mendapat perawatan di kelas
III (baik RS publik maupun swasta). Karena upah Rp 1 jtua tersebut dibawah 200% UMP
yang besarannya adalah 200%x Rp 720.000 atau Rp 1.440.000. Tentu BPJS harus
mengembangkan standar perawatan kelas III yang dapat diterima. Pekerja dengan gaji
dibawah Rp 1 juta tersebut, tentu masih dapat menerima perawatan di kelas III. Untuk
pekerja yang bergaji lebih tinggi, misalnya diatas Rp 1.440.000 akan mendapat perawatan di
kelas II (dua). Peserta yang mempunyai upah > 500% UMP, misalnya, akan mendapat
perawatan di kelas I. Tetapi peserta yang ingin dirawat di kelas VIP harus membayar
sendirinya selisih biayanya atau selisih biaya tersebut dibayar oleh perusahaan asuransi atau
bapel JPKM swasta. Inilah prinsip koordinasi manfaat.
153
H Thabrany
Guna mengendalikan moral hazard, maka peserta diminta membayar urun biaya
sebagai rem yang telah digariskan dalam UU. Untuk setiap perawatan di rumah sakit
pemerintah atau swasta di kelas II keatas, peserta wajib membayar urun biaya sebesar 10%
dari biaya-biaya pemeriksaan dokter, perawatan, dan biaya pemeriksaan penunjang dan urun
biaya sebesar 20% dari biaya obat dan bahan habis pakai. Penerapan urun biaya bisa
menimbulkan beban berat bagi peserta, dan jika ini terjadi, tujuan SJSN tidak tercapai. Inilah
plus-minusnya asuransi. Oleh karena itu, pengenaan urun biaya harus mencapai angka
maksimum tertentu, misalnya sampai sebesar UMP. Apabila besaran urun biaya melampaui
UMP, maka peserta hanya membayar sebesar UMP di suatu wilayah. Ketentuan besaran urun
biaya ini harus tercantum dalam perjanjian kerja sama antara BPJS dengan fasilitas kesehatan
dan peserta harus mendapat informasi tertulis dalam brosur atau website.
Di beberapa negara, urun biaya lebih besar dikenakan untuk pelayanan rawat jalan
yang lebih besar tingkat moral hazardnya ketimbang rawat inap. Bahkan di Filipina rawat
jalan tidak dijamin, alias peserta harus membayar urun biaya 100% dari biaya rawat jalan. Di
Indonesia kita bisa menggunakan sistem berbeda mengingat orang Indonesia cendrung
maunya berobat ke spesialis, meskipun sesungguhnya tidak perlu. Peserta sering minta
dirujuk, ini moral hazard namanya. Untuk menghindari hal tersebut maka setiap peserta dapat
diwajibkan membayar urun biaya sebesar 30% dari biaya obat rawat jalan spesialis dengan
biaya maksium sebesar UMP.
154
H Thabrany
155
H Thabrany
Tidak ada kewajiban tanpa hak dan sebaliknya, maka fasilitas kesehatan
mempunyai hak untuk:
1) Dilibatkan dalam melakukan kontrak dengan BPJS apabila fasilitas kesehatan setuju
dengan tarif yang telah ditetapkan bersama BPJS daerah dengan asosiasi fasilitas
kesehatan dan setuju dengan persyaratan lain seperti manajemen mutu dan
manajemen utilisasi.
2) Menerima pembayaran tepat waktu sesuai dengan tarif prospektif yang disepakati dan
mendapatkan pembayaran paling lambat 15 hari setelah klaim (dalam hal pembayaran
memerlukan klaim atau tagihan seperti pada pembayaran sistem DRG), sesuai dengan
ketetapan UU.
3) Secara bersama-sama dalam suatu propinsi, fasilitas kesehatan berhak mengajukan
permohonan peninjauan tarif atau cara pembayaran dan kemudian bernegosiasi
dengan difasilitasi oleh Dinas Kesehatan setempet.
4) Mengatur cara pembayaran dokter spesialis yang bertugas atau berpraktek di fasilitas
kesehatan tersebut.
5) Mengambil keputusan medis atas peserta yang dirawat sesuai dengan standar
pelayanan medis yang telah ditetapkan oleh organisasi profesi terkait yang tertinggi,
yang dapat diberikan di fasilitas kesehatan tersebut.
6) Dapat ikut serta dalam pembahasan iuran oleh komite aktuaria, penetapan tarif dan
penyelesaian perselisihan.
7) Mendapatkan informasi tentang kinerja BPJS, peraturan-peraturan operasional yang
terkait dengan pelayanan dan informasi tentang data demografik peserta.
156
H Thabrany
157
H Thabrany
158
H Thabrany
159
H Thabrany
160
H Thabrany
161
H Thabrany
162
H Thabrany
163
H Thabrany
164
H Thabrany
MENGADILI
Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian;
Menyatakan Pasal 5 ayat (2), (3), dan (4) Undang-undang Republik
Indonesia Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial
Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor
150, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4456)
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
Menyatakan Pasal 5 ayat (2), (3), dan (4) Undang-undang Republik
Indonesia Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial
Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor
150, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4456)
tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
Menolak permohonan Pemohon selebihnya;
Memerintahkan pemuatan
sebagaimana mestinya;
Putusan
ini
dalam
Berita
Negara
165
H Thabrany