Anda di halaman 1dari 172

PERHIMPUNAN AHLI MANAJEMEN JAMINAN DAN

ASURANSI KESEHATAN INDONESIA

ASURANSI KESEHATAN
NASIONAL

Edisi Oktober 2005

Hasbullah Thabrany

PERHIMPUNAN AHLI MANAJEMEN JAMINAN DAN


ASURANSI KESEHATAN INDONESIA

ASURANSI KESEHATAN
NASIONAL

Edisi Oktober 2005

Hasbullah Thabrany

Edisi Oktober 2005

Edisi ini merupakan adaptasi, penyempurnaan dan penyesuaian yang ide dasarnya
diambil dari buku Asuransi Kesehatan di Indonesia yang diterbitkan
oleh Pusat Kajian Ekonomi Kesehatan, tahun 2002

Asuransi Kesehatan Nasional

Buku ini dipersiapkan sebagai bahan utama pendidikan profesi asuransi kesehatan yang
diujikan oleh PAMJAKI. Untuk informasi lengkap tentang pendidikan profesi
asuransi kesehatan silahkan kunjungi website PAMJAKI di www.pamjaki.org

Hak Cipta dilindungi undang-undang

Dilarang memperbanyak isi buku ini


baik sebagian atau seluruhnya
dalam bentuk apapun
tanpa izin tertulis
dari Penerbit

PAMJAKI (Perhimpunan Ahli Manajemen Jaminan dan Ahli Asuransi Kesehatan Indonesia),
Jakarta.

Sanksi Pelanggaran Pasal 44 : Undang-undang No. 7 tahun 1987


Tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 6 Tahun 1982
Tentang Hak Cipta
1.

Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak mengumumkan atau memperbanyak
suatu ciptaan atau memberi izin untuk itu, dipidana dengan pidana penjara paling
lama 7 (tujuh) tahun dan/ atau denda paling banyak Rp 100.000.000,- (seratus juta
rupiah)

2.

Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual


kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun
dan/ atau denda paling banyak Rp 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah)

KATA PENGANTAR
Keinginan untuk menerbitkan bahan pendidikan profesi untuk ujian Ahli Asuransi
Kesehatan sudah lama diidamkan oleh Pengurus PAMJAKI, namun demikian,
perkembangan perasuransian dan kesibukan penulis yang juga merupakan pengurus
PAMJAKI menyebabkan keinginan tersebut baru kali ini terwujud. Sebelum buku ini
disusun, ujian PAMJAKI menggunakan buku Asuransi Kesehatan di Indonesia yang
diterbitkan oleh Pusat Kajian Ekonomi Kesehatan FKM UI.
Dengan semangat tinggi untuk meningkatkan dan memperbaiki buku-buku pegangan
untuk ujian PAMJAKI, akhirnya PAMJAKI berhasil menyelesaikan 3 (tiga) buku dasar
pendidikan profesi ahli asuransi kesehatan, yang diantaranya adalah Asuransi Kesehatan
Nasional ini.
Sumber utama penulisan buku ini masih diambil dari buku Asuransi Kesehatan di
Indonesia yang diterbitkan oleh Pusat Kajian Ekonomi Kesehatan FKM UI. Namun
demikian, untuk memperkaya pembahasan buku ini penulis mengisi bahasan dengan
perkembangan asuransi kesehatan di Indonesia dalam bab-bab berikut: Introduksi
Asuransi Kesehatan, Asuransi Kesehatan PNS, JPK Jamsostek, Asuransi Komersial,
Asuransi Kesehatan Nasional : Contoh dan Masa Depannya di Indonesia, Sistem
Pembayaran Fasilitas Kesehatan dan Asuransi Kesehatan Nasional Dalam Sistem
Jaminan Sosial Nasional.
Kami berharap buku ini dapat memudahkan calon peserta ujian dalam mempersiapkan
diri menghadapi ujian PAMJAKI untuk memperoleh pengakuan sebagai profesional,
baik sebagai Ajun Ahli Asuransi Kesehatan ataupun Ahli Asuransi Kesehatan.
Diharapkan buku ini bermanfaat pula bagi para mahasiswa di bidang kesehatan ataupun
praktisi asuransi dalam mencari bahan-bahan rujukan yang terkait dengan asuransi
kesehatan.
Akhir kata, untuk meningkatkan kualitas pembelajaran dimasa depan PAMJAKI
mengundang para pembaca untuk memberikan kritik dan saran bagi penyempurnaan
buku ini. Kritik dan saran dapat disampaikan melalui sekretariat@pamjaki.org.
Selamat belajar, semoga sukses!
Oktober 2005

PAMJAKI

DAFTAR ISI
Kata Pengantar ....................................................................................................i
Daftar Isi ..................................................................................................................ii

Bab 1
Introduksi Asuransi Kesehatan .......................................................................................1

Bab 2
Asuransi Kesehatan Pegawai Negeri Sipil ......................................................................40

Bab 3
JPK Jamsostek ................................................................................................................55

Bab 4
Asuransi Kesehatan Komersial di Indonesia ..................................................................67

Bab 5
Asuransi Kesehatan Nasional : Contoh dan Masa Depannya di Indonesia ....................92

Bab 6
Sistem Pembayaran Fasilitas Kesehatan .........................................................................118

Bab 7
Asuransi Kesehatan Nasional Dalam Sistem Jaminan Sosial Nasional ..........................135

ii

BAB I
Introduksi Asuransi Kesehatan
1.1. Pendahuluan
Pemahaman tentang asuransi kesehatan di Indonesia masih sangat beragam. Dahulu
banyak yang menganggap bahwa JPKM adalah bukan asuransi kesehatan, apalagi asuransi
kesehatan komersial; kemudian JPKM dianggap sebagai asuransi sosial karena dijual
umumnya kepada masyarakat miskin di daerah-daerah. Asuransi kesehatan sosial (social
health insurance) adalah suatu mekanisme pendanaan pelayanan kesehatan yang semakin
banyak digunakan di seluruh dunia karena kehandalan sistem ini dalam menjamin kebutuhan
kesehatan rakyat suatu negara. Namun di Indonesia pemahaman tentang asuransi kesehatan
sosial masih sangat rendah karena sejak lama kita hanya mendapatkan informasi yang bias
tentang asuransi kesehatan yang didominasi dari Amerika yang didominasi oleh asuransi
kesehatan komersial. Literatur yang mengupas asuransi kesehatan sosial juga sangat terbatas.
Kebanyakan dosen maupun mahasiswa di bidang kesehatan tidak memahami asuransi sosial.
Pola pikir (mind set) kebanyakan sarjana kita sudah diarahkan kepada segala sesuatu yang
bersifat komersial, termasuk dalam pelayanan rumah sakit. Sehingga, begitu ada kata
sosial, seperti dalam asuransi sosial dan fungsi sosial rumah sakit maka hal itu hampir
selalu difahami dengan pelayanan atau program untuk orang miskin. Sesungguhnya asuransi
sosial bukanlah asuransi untuk orang miskin. Fungsi sosial bukanlah fungsi orang miskin. Ini
merupakan kekeliruan besar yang sudah mendarah daging di Indonesia yang menghambat
pembangunan kesehatan yang berkeadilan sesuai amanat UUD45. Bahkan konsep Undangundang Kesehatan yang dikeluarkan tahun 1992 (UU nomor 23/1992) jelas-jelas
memerintahkan Pemerintah dan mendorong pengembangan Jaminan Pemeliharaan
Kesehatan Masyarakat (JPKM) yang diambil dari konsep HMO (Health Maintenance
Organization) yang merupakan salah satu bentuk asuransi komersial kesehatan. Para
pengembang JPKM di Depkes-pun, tidak banyak yang memahami bahwa HMO dan JPKM
sesungguhnya asuransi komersial yang tidak sesuai dengan tujuan dan cita-cita bangsa
mewujudkan sistem kesehatan yang berkeadilan (egaliter). Akibatnya, asuransi kesehatan
sosial di Indonesia tidak berkembang baik sampai tahun 2005 ini. Selain Indonesia, negaranegara di Asia pada umumnya memang tertinggal dalam pengembangan asuransi kesehatan
sosial.
Pada tanggal 7-9 Maret 2005, WHO kantor regional Asia-Pasifik, Asia Tenggara, dan
Timur Tengah berkumpul di Manila untuk menggariskan kebijakan dan pedoman
pengembangan asuransi kesehatan sosial di wilayah Asia-Pasifik dan Timur Tengah.
Berbagai ahli dalam bidang asuransi kesehatan atau pendanaan kesehatan diundang untuk
perumusan tersebut. Karena variasi sistem pendanaan di Asia yang ada sekarang ini,
disepakati tujuan yang lebih luas dari pengembangan asuransi kesehatan sosial yaitu
mewujudkan akses universal kepada pelayanan kesehatan. Selain asuransi kesehatan sosial,
sistem pendanaan melalui pajak (National Health Service) dengan menyediakan pelayanan

Introduksi Asuransi Kesehatan

H.Thabrany

kesehatan secara gratis atau hampir gratis kepada seluruh penduduk, seperti yang dilakukan
Malaysia, Sri Lanka, dan Muangtai juga mampu menyediakan akses universal tersebut.
Dalam bab ini kita akan memusatkan pembahasan kita pada pemahaman tentang asuransi dan
asuransi kesehatan sosial. Karena luasnya masalah asuransi kesehatan sosial, bab ini hanya
membahas garis-garis besar asuransi kesehatan sosial. Pembaca yang ingin mengetahui lebih
dalam tentang praktek-praktek asuransi kesehatan sosial dapat membaca buku lain atau
mengikuti ujian asuransi kesehatan yang diselenggarakan oleh PAMJAKI (Perhimpunan Ahli
Manajemen Jaminan dan Asuransi Kesehatan Indonesia)

1.2. Rasional Asuransi


Dalam kamus atau perbendaharaan kata bangsa Indonesia, kata asuransi tidak dikenal.
Akan tetapi istilah jaminan atau tanggungan sudah lama dikenal di Indonesia. Kata
asuransi berasal dari bahasa Inggris insurance, yang berasal dari akar kata in-sure yang
berarti memastikan. Dalam konteks asuransi kesehatan, asuransi memastikan bahwa
seseorang yang menderita sakit akan mendapatkan pelayanan yang dibutuhkannya tanpa
harus mempertimbangkan keadaan ekonominya. Ada pihak yang menjamin atau
menanggung biaya pengobatan atau perawatannya. Pihak yang menjamin ini dalam bahasa
Inggris disebut insurer atau dalam UU Asuransi disebut asuradur. Asuransi merupakan
jawaban atas sifat ketidak-pastian (uncertain) dari kejadian sakit dan kebutuhan pelayanan
kesehatan. Untuk memastikan bahwa kebutuhan pelayanan kesehatan dapat dibiayai secara
memadai, maka seseorang atau kelompok kecil orang melakukan transfer risiko kepada
pihak lain yang disebut insurer, asuradur, ataupun badan penyelenggara jaminan/asuransi.
Sebagai ilustrasi, andaikan di suatu kota terdapat satu juta penduduk yang setiap
tahunnya terdapat 3.000 orang yang dirawat di rumah sakit. Tidak ada seorang pendudukpun
yang tahu pasti siapa yang akan masuk rumah sakit pada suatu bulan atau suatu hari tertentu.
Misalkan setiap perawatan di rumah sakit membutuhkan dana sebesar Rp 1 juta. Bisa jadi
hari ini keluarga tukang becak yang masuk rumah sakit, maka sangat sulit baginya membayar
Rp 1 juta. Apa yang harus dilakukan? Apakah setiap hari kita harus meminta sumbangan
untuk keluarga seperti tukang becak. Tentu hal itu bisa dilakukan. Akan tetapi bagaimana
kita menjamin bahwa setiap hari terkumpul sumbangan yang memadai untuk mendanai
kebutuhan perawatan di rumah sakit yang rata-rata 7-10 orang setiap hari. Tentu
masyarakatpun akan bosan mengumpulkan atau memberikan sumbangan terus menerus. Bisa
jadi seorang direktur bank setempat yang bergaji Rp 25 juta sebulan, yang hari itu dirawat.
Jika biaya perawatan yang harus dibayarnya juga sebesar Rp 1 juta, tidak ada masalah.
Direktur bank tersebut mampu membayarnya, akan tetapi jika biaya perawatan sampai Rp 50
juta, mungkin direktur bank tersebut juga bisa jatuh miskin. Untungnya, untuk seorang
direktur seringkali biaya perawatan tersebut ditanggung oleh perusahaan. Karena sifat
uncertain, maka biaya perawatan untuk keluarga tukang becakpun dapat saja mencapai
Rp 50 juta. Dalam hal ini, hampir dapat dipastikan bahwa si tukang becak akan terpaksa
meninggal atau cacat seumur hidup yang akan menjadi beban masyarakat juga. Terjadi
ketidak-adilan sosial disini. Yang berpenghasilan rendah yang tidak sanggup bayar tidak ada
yang menjamin, sementara yang bergaji tinggi justeru dijamin.

Introduksi Asuransi Kesehatan

H.Thabrany

Secara statistik dapat dihitung bahwa setiap orang memiliki probabilitas 0,003 (yaitu
3.000 orang dibagi 1.000.000 penduduk) untuk masuk rumah sakit. Jika rata-rata tagihan
rumah sakit untuk tiap perawatan adalah sebesar Rp 1 juta, maka setiap tahun dibutuhkan
dana sebesar 3.000 (orang) x Rp 1 juta atau sama dengan Rp 3 milyar. Walikota setempat
cukup cermat mengamati masalah ini. Dia bilang, dari pada setiap orang was-was
memikirkan biaya perawatan setiap jika ia atau keluarganya sakit, atau setiap hari kita
mencari sumbangan untuk mereka yang tidak mampu membayaryang bisa jadi juga diri
kita, mengapa tidak semua orang membayar saja sama rata. Nanti saya yang atur, ujarnya.
Jika kebutuhan biaya Rp 3 milyar dibagi rata kepada satu juta penduduk, maka tiap kepala
cukup membayar Rp 3.000 setahun (Rp 3 milyar dibagi 1.000.000 penduduk). Bukankah
membayar Rp 3.000 per orang per tahun merupakan beban ringan! Tukang becakpun
sanggup mengiur sebesar itu. Setelah dana Rp 3 milyar terkumpul, tidak ada lagi penduduk
yang kesulitan membayar tagihan rumah sakit. Jika ada yang sakit, yang kaya atau yang
miskin, tidak perlu lagi memikirkan biaya perawatan. Walikota akan mengambil dana dari
pot (pool) yang terkumpul dan membayarkannya ke rumah sakit. Beres? Teorinya begitu.
Dalam praktek, tidak semudah itu. Sebab, selalu saja ada orang yang tidak mau bayar iuran
meskipun hanya Rp 3.000 per orang per tahun. Bagaimana dengan biaya administrasi?
Bagaimana jika terjadi peningkatan biaya pelayanan? Dan masih banyak lagi yang menjadi
masalah. Masalah-masalah selanjutnya itulah yang dibahas dalam buku ini.
Dari ilustrasi diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa asuransi adalah suatu
mekanisme gotong royong yang dikelola secara formal dengan hak dan kewajiban yang
disepakati secara jelas. Dengan masing-masing penduduk membayar atau mengiur Rp 3.000
per tahun, siapa saja yang perlu perawatan akan dibiayai dari dana yang terkumpul. Dalam
istilah asuransi, kegotong-royongan ini disebut juga risk sharing. Dari segi dana yang
terkumpul (pool), maka asuransi juga dapat disebut sebagai suatu mekanisme risk pooling.
Dana dari masing-masing penduduk dikumpulkan untuk kepentingan bersama. Oleh
karenanya, asuransi dapat juga disebut suatu mekanisme hibah bersama. Dana yang
terkumpul merupakan hibah dari masing-masing penduduk yang akan digunakan untuk
kepentingan bersama. Dengan demikian iuran atau premi yang telah dibayar dari masingmasing anggota, jelas bukan tabungan dan karenanya tiap-tiap anggota tidak berhak meminta
kembali dana yang sudah dibayarkan atau diiurkan, meskipun ia tidak pernah sakit dan
karenanya tidak pernah menggunakan dana itu.

1.3. Risiko dan Risiko Sakit


1.3.1. Pemahaman tentang Risiko
Di Indonesia banyak orang menggunakan istilah resiko, bukan risiko. Sesungguhnya
ada perbedaan makna antara resiko dan risiko. Dalam bidang asuransi istilah resiko
digunakan untuk hal-hal yang sifatnya spekulatif. Sebagi contoh, seorang berdagang mobil
mempunyai resiko rugi apabila ia tidak hati-hati mengelola usahanya atau tidak mengikuti
perkembangan pasar mobil. Sedangkan istilah risiko digunakan dalam asuransi untuk
kejadian-kejadian yang dapat diasuransikan yang sifatnya bukan spekulatif. Risiko ini
disebut juga pure risk atau risiko murni. Dalam bahasa Indonesia memang kita tidak

Introduksi Asuransi Kesehatan

H.Thabrany

memiliki istilah asal atau akar kata tentang risiko. Sebab risiko diterjemahkan dari bahasa
Inggris risk. Akan tetapi kalau kita pelajari benar, sesungguhnya risk berkaitan dengan
bahasa Arab rizk yang kita terjemahkan dalam bahasa Indonesia menjadi rejeki. Keduanya
mempunyai aspek ketidak-pastian, terkait takdir. Risiko bersifat tidak pasti (uncertain),
demikian juga rejeki. Keduanya di Indonesia dikaitkan erat dengan takdir. Asuransi
sesungguhnya merupakan suatu cara mengelola risiko.
Dalam buku Asuransi Kesehatan di Indonesia, Thabrany (2001)1 telah membahas
dasar-dasar asuransi kesehatan. Dalam bab ini, dasar-dasar tersebut disajikan kembali dengan
modifikasi yang lebih mudah difahami mahasiswa. Umumnya kita tidak memperdalam katakata risiko atau resiko. Seseorang sering berbicara bahwa untuk melakukan suatu tindakan
ada risikonya, biasanya kita mengerti apa yang dimaksudkan. Ada bahayanya. Seberapa
besar bahaya tersebut, tidaklah diketahui dimuka oleh siapapun. Kita hanya bisa mengirangira probabilitas kejadiannya dan besarnya (berat-ringannya) risiko tersebut. Disini ada
ketidakpastian (uncertainty) tentang terjadinya dan besarnya risiko tersebut. Biasanya yang
disebut risiko mempunyai konotasi negatif yaitu umumnya orang mengartikan risiko sebagai
sesuatu yang dapat mencelakakan atau merugikan diri, sesuatu yang tidak diharapkan.
Sebenarnya, dalam pengertian ketidakpastian, ada juga risiko keberuntungan. Dalam konteks
ini, kata keberuntungan itupun merupakan suatu risiko, yaitu risiko positif, risiko yang
diharapkan, yang kita bedakan sebagai resiko. Tetapi yang menjadi fokus perhatian dunia
asuransi adalah risiko dalam kaitannya dengan kerugian baik berupa materiil maupun berupa
kehilangan kesempatan berproduksi seperti terkena suatu penyakit berat. Kata rejeki
mengandung ketidak-pastian juga, sebab dalam kepercayaan kebanyakan orang Indonesia,
rejeki setiap orang sudah ditetapkan oleh Tuhan akan tetapi kita tidak pernah tahu berapa
banyak akan kita peroleh dan kapan akan kita peroleh. Cuma saja, rejeki mempunyai
konotasi positif. Jadi rejeki adalah suatu ketidak-pastian yang diharapkan. Sedangkan risiko
merupakan ketidak-pastian yang tidak diharapkan. Oleh karenanya, asuransi bukanlah suatu
mekanisme untuk untung-untungan, untuk mendapatkan rejeki.
Dalam setiap langkah kehidupan kita, selalu saja ada risiko yang menyertai kehidupan
kita, baik yang kecil seperti terjatuh karena suatu kerikil sampai yang besar seperti
kecelakaan lalu lintas yang dapat menimbulkan kematian. Beruntung bahwa Tuhan telah
memberikan sifat alamiah manusia yang selalu menghindarkan diri dari berbagai risiko.
Setiap orang mempunyai cara tersendiri untuk menghindarkan dirinya dari berbagai risiko.
Secara umum, cara-cara menghindarkan diri dari berbagai risiko hidup dapat dikelompokan
menjadi empat kelompok besar yang akan dibahas di bawah ini.

1.3.2. Cara-cara Menghindari Risiko


Dalam ilmu manajemen risiko atau risk management, kita mengenal beberapa teknik
menghadapi risiko yang dapat terjadi pada semua aspek kehidupan kita. Teknik-teknik
tersebut adalah (vaughan, literatur):
1. Menghindarkan risiko (risk avoidance). Kalau kita merokok, ada risiko terkena
penyakit kanker paru atau penyakit jantung (kardiovaskuler). Salah satu cara

Introduksi Asuransi Kesehatan

H.Thabrany

menghindari terjadinya risiko terkena penyakit paru atau jantung tersebut adalah
menghindari bahan-bahan karsinogen (yang menyebabkan kanker) yang terkandung
dalam rokok. Kalau kita tidak ingin mendapat kecelakaan pesawat terbang, jangan
pernah naik pesawat terbang. Banyak orang melakukan teknik manajemen ini untuk
risiko besar yang mudah tampak. Seseorang akan menghindari naik gunung yang
terjal tanpa alat pengaman, karena risiko jatuh ke jurang tampak dengan mata
telanjang. Tetapi banyak orang tidak menyadari kalau risiko besar itu tidak tampak
sekarang atau risiko itu baru terjadi 20-30 tahun mendatang seperti risiko merokok.
Disinilah perlunya upaya penyadaran masyarakat tentang berbagai risiko kehidupan.
Karena tidak semua orang mampu melihat atau merasakan berbagai risiko kehidupan
atau kalaupun seseorang mampu mengenali risikobelum tentu ia mampu
menghindarinya, maka mekanisme menghindarkan risiko saja tidak cukup untuk
melindungi diri dari risiko yang begitu banyak dalam kehidupan ini.
2. Mengurangi risiko (risk reduction). Karena berbagai alasan, kita tidak bisa
menghindari sama sekali dari kemungkinan terjadinya suatu risiko pada diri kita, kita
dapat mengurangi akibat risiko yang terjadi pada diri kita. Contohnya, kita membuat
jembatan penyeberangan atau lampu khusus penyeberangan untuk mengurangi
jumlah orang yang menderita kecelakaan lalu lintas. Dengan demikian, pengemudi
kendaraan akan berhati-hati. Atau jika ada jembatan penyeberangan, maka risiko
tertabrak mobil akan menjadi lebih kecil, tetapi tidak meniadakan sama sekali.
Seorang pengendara sepeda motor diwajibkan memakai helm karena tidak ada satu
orangpun yang bisa seratus persen terhindar dari kecelekaan berkendara sepeda
motor. Jika helm digunakan, maka beratnya risiko (severity of risk) dapat dikurangi,
sehingga seseorang dapat terhindar dari kematian atau gegar otak yang memerlukan
biaya perawatan sangat besar. Perawatan intensif selama 7 (tujuh) hari di rumah sakit
bagi penderita gegar otak di tahun 2005 ini dapat mencapai lebih dari Rp 20 juta.
Tetapi, bagi kebanyakan pengendara sepeda motor, yang belum pernah menyaksikan
betapa dahsyatnya akibat gegar otak dan berapa mahalnya biaya perawatan akibat
gegar otak, tidak menyadari hal itu. Kalaupun mereka mengenakan helm, seringkali
sekedar untuk menghindari dari terkena penalti akibat pelanggaran (tilang) peraturan
lalu lintas oleh polisi yang sesungguhnya merupakan risiko kecil (yang hanya sebesar
ratusan ribu rupiah saja). Imunisasi terhadap penyakit hepatitis (radang hati), yang
dapat berkembang menjadi kanker hati yang perlu biaya mahal dalam perawatan atau
dapat mematikan pada usia muda, merupakan suatu upaya pengurangan risiko.
Karena prilaku manusia yang tidak selalu menyadari risiko besar itu, maka
mekanisme menurunkan risiko saja tidak memadai. Imunisasi hepatitis tidak
menjamin seratus persen bahwa setiap orang yang telah diimunisasi pasti tidak
terkena kanker hati. Masih perlu mekanisme manajemen risiko lain.
3. Memindahkan risiko (risk transfer). Karena sebaik apapun upaya mengurangi
risiko yang telah kita lakukan tidak menjamin 100% bahwa kita akan terbebas dari
segala risiko, maka kita dapat melindungi diri kita dengan tameng lapis ketiga dari
manajemen risiko yaitu mentransfer risiko diri kita ke pihak lain. Kita dapat
memindahkan seluruh atau sebagian risiko kepada pihak lain (yang dapat berupa
perusahaan asuransi, badan penyelenggara jaminan sosial, pemerintah, atau apapun

Introduksi Asuransi Kesehatan

H.Thabrany

nama badan tersebut) dengan membayar sejumlah premi atau iuran, baik dalam
jumlah nominal tertentu maupun dalam jumlah relatif berupa prosentase dari gaji atau
harga pembelian (transaksi). Dengan teknik manajemen risiko ini, risiko yang
ditransfer hanyalah risiko finansial, bukan risiko secara keseluruhan. Ada sebagian
risiko yang tidak bisa ditransfer, misalnya rasa sakit. Ini merupakan prinsip yang
sangat fundamental di dalam asuransi. Kebanyakan orang tidak menyadari bahwa
setiap saat sesungguhnya ada risiko kematian dan sesungguhnya risiko kematian itu
(yang menimbulkan risiko ketiadaan dana bagi ahli warisnya untuk hidup sehari-hari
atau untuk membiayai pendidikan anak) dapat ditransfer dengan membeli asuransi
jiwa. Itulah sebabnya, kebanyakan orang di negara berkembang tidak membeli
asuransi jiwa, karena banyak orang tidak melihat kematian sebagai suatu risiko
finansial bagi ahli warisnya.
4. Mengambil risiko (risk asumption). Jika risiko tidak bisa dihindari, tidak bisa
dikurangi, dan tidak memadai atau tidak sanggup ditransfer, maka alternatif terakhir
adalah mengambil atau menerima risiko (sebagai takdir).
Tidak semua orang bersikap rasional dengan menerapkan prinsip-prinsip manajemen
risiko tersebut diatas. Ada orang yang tidak perduli dengan risiko yang dihadapinya, dia
ambil atau terima suatu risiko apa adanya. Orang yang berprilaku demikian disebut
pengambil risiko (risk taker). Apabila semua orang bersikap sebagai pengambil risiko, maka
usaha asuransi tidak akan pernah terjadi. Sebaliknya, jika seseorang bersikap sebagai
penghindari risiko (risk averter) maka ia menghindari, mengurangi, atau mentransfer risiko
yang mungkin terjadi pada dirinya. Apabila banyak orang bersikap menghindari risiko, maka
demand terhadap usaha asuransi akan tumbuh.

1.3.3. Risiko yang dapat diasuransikan


Diatas telah dijelaskan empat kelompok besar manajemen risiko dimana asuransi
merupakan cara terakhir sebelum kita terima atau ambil. Tidak semua risiko dapat
diasuransikan. Ada persyaratan risiko yang dapat diasuransikan (insurable risks). Kita tidak
mungkin mengasuransikan semua risiko, dari yang paling kecil seperti terserang pilek saja
atau kehilangan sebuah pinsil sampai yang besar sekaligus seperti kehilangan nyawa atau
rumah tinggal. Ada beberapa syarat di mana suatu risiko; baik itu risiko kehilangan harta
benda, risiko kebakaran, risiko sakit, risiko kecelakaan dan sebagainya, dapat diasuransikan.
Adapun syarat-syarat tersebut adalah sebagai berikut.
1. Risiko tersebut haruslah bersifat murni (pure). Menurut sifat kejadiannya, risiko
dapat timbul benar-benar sebagai suatu kebetulan atau accidental dan dapat timbul
karena suatu perbuatan spekulatif. Risiko murni adalah risiko yang tidak dibuat-buat,
disengaja, atau dicari-cari bahkan tidak dapat dihindari dalam jangka pendek. Orang
berdagang mempunyai risiko rugi, tetapi risiko rugi tersebut dapat dihindari dengan
manajemen yang baik, belanja yang hat-hati, dan sebagainya. Risiko rugi akibat suatu
usaha dagang merupakan risiko spekulatif yang tidak dapat diasuransikan. Oleh
karenanya tidak ada asuransi yang menawarkan pertanggungan kalau suatu

Introduksi Asuransi Kesehatan

H.Thabrany

perusahaan merugi. Suatu risiko yang timbul akibat suatu tindakan kesengajaan
karena ingin mendapatkan santunan asuransi misalnya, maka risiko yang timbul tidak
dapat diasuransikan. Contoh, seseorang mempunyai asuransi kematian yang
besarannyakatakanlah satu milyar rupiahdapat saja dibunuh oleh ahli warisnya
guna mendapatkan manfaat/jaminan asuransi sebesar satu milyar rupiah. Kematian
yang disebabkan karena kesengajaan seperti itu tidak dapat ditanggung. Seseorang
yang sengaja mencoba bunuh diri dengan meminum racun serangga dan gagal
sehingga perlu perawatan di rumah sakit tidak berhak atas jaminan perawatan, karena
risiko sakitnya bukanlah risiko murni. Sakit kanker, yang membutuhkan perawatan
yang lama dan mahal, tidak pernah diharapakan oleh si penderita dan karenanya
penyakit kanker merupakan risiko murni yang dapat diasuransikan atau dijamin oleh
asuransi.
2. Risiko haruslah definitif. Pengertian definitif artinya bahwa risiko dapat dengan
pasti ditentukan kejadiannya dan difahami bersama tentang terjadi atau tidak terjadi.
Risiko sakit dan kematian ditetapkan dengan surat keterangan dokter. Risiko
kecelakaan lalu lintas ditetapkan dengan surat keterangan polisi. Risiko kebakaran
ditetapkan dengan berita acara dan bukti-bukti lain seperti foto kejadian.
3. Risiko haruslah bersifat statis. Suatu risiko dapat bersifat statis, artinya probabilitas
kejadiannya relatif statis atau konstan tanpa dipengaruhi perubahan politik dan
ekonomi suatu negara. Sebaliknya suatu risiko bisnis bersifat dinamis yaitu sangat
dipengaruhi stabilitas politik dan ekonomi. Tentu saja, risiko yang benar-benar statis
dalam jangka panjang tidak banyak. Risiko seseorang terserang kanker atau gagal
jantung akan relatif statis, tidak dipengaruhi keadaan ekonomi dan politik. Dalam
jangka panjang tentu saja risiko serangan jantung juga dipengaruhi keadaan ekonomi.
Di negara maju, yang relatif kaya dan pola makan enak yang mengandung banyak
lemak relatif tinggi, maka probabilits terkena serangan jantung lebih tinggi
dibandingkan dengan risiko serangan jantung di negara miskin.
4. Risiko berdampak finansial. Suatu risiko dapat mempunyai dampak finansial
maupun tidak. Risiko yang dapat diasuransikan, karena transfer risiko dilakukan
dengan membayar premi atau kontribusi, haruslah yang berdampak finansial. Suatu
kecelakaan diri misalnya mempunyai dampak finansial berupa biaya prawatan dan
atau kehilangan kesempatan untuk mendapatkan penghasilan. Selain berdampak
finansial, suatu kecelakaan juga menimbulkan rasa nyeri dan jika kecelakaan tersebut
menimbulkan kematian atau kecacatan, maka risiko tersebut menimbulkan beban
psikologis yang besar. Tentu saja yang dapat diasuransikan hanyalah risiko yang
bersifat finansial berupa biaya perawatan, kehilangan jiwa atau kecacatan yang
berdampak pada kehilangan penghasilan. Maka asuransi dapat menawarkan
penggantian biaya pengobatan dan perawatan (baik dengan uang atau pelayanan)
maupun uang tunai sebagai pengganti kehilangan penghasilan yang hilang akibat
kematian atau kecacatan.
5. Risiko haruslah measurable atau quantifiable. adalah syarat di mana besarnya
kerugian finansial akibat risiko tersebut dapat diketahui dengan tingkat akurasi yang

Introduksi Asuransi Kesehatan

H.Thabrany

tinggi. Kalau seorang sakit, harus jelas diketahui bahwa orang itu menderita sakit
sewaktu berada di Bogor, dirawat di suatu rumah sakit di Bogor, dan membutuhkan
biaya perawatan sebesarkatakanlah Rp 20 juta. Besaran biaya perawatan tersebut
merupakan syarat dimana suatu skema asuransi dapat berjalan. Rasa sakit sangat sulit
diukur, meskipun kita punya berbagai instrumen, karena rasa sakit sangat subyektif
sifatnya. Itulah syarat yang diperlukan sehingga baik pemegang polis (peserta)
maupun
asuradur
dapat
mempunyai
kesepakatan
suatu
kontrak
pertanggungan/jaminan. Dalam hal asuransi jiwa, kita sangat sulit mengukur berapa
besar kerugian finansial akibat suatu kematian. Dalam hal ini, maka biasanya
asuradur menawarkan jumlah tertentu yang akan dipilih pemegang polis/peserta
untuk disepakati sebagai jumlah yang akan diasuransikan. Pilihan jumlah tertentu ini
disebut quantifiable (dapat ditetapkan jumlahnya) sehingga dapat dihitung premi
yang harus dibayarkan.
6. Ukuran risiko haruslah besar (large). Ukuran risiko (severity) memang relatif dan
dapat berbeda dari satu tempat ke tempat lain dan dari satu waktu ke waktu lain.
Risiko biaya rawat inap sebesar Rp 5 juta bisa dinilai besar oleh yang berpenghasilan
rendah akan tetapi dinilai kecil oleh yang berpenghasilan diatas Rp 50 juta sebulan.
Sebuah sistem asuransi harus secara cermat menilai risiko mana yang akan
diasuransikan. Dalam asuransi kesehatan, kecenderungan di dunia adalah menjamin
pelayanan kesehatan secara komprehensif karena ada kaitan antara risiko yang
besaran rupiahnya kecil, misalnya pengobatan dokter untuk gejala demam, karena
jika tidak dijamin bisa jadi gejala tersebut merupakan suatu kasus demam berdarah
yang mematikan yang memerlukan biaya perawatan yang mahal. Jadi menjamin
pelayanan kesehatan komprehensif merupakan kombinasi penurunan risiko (risk
reduction) dan transfer risiko. Suatu skema asuransi yang hanya menanggung risiko
yang kecil, misalnya hanya pengobatan di puskesmasseperti yang dulu
dipraktekkan dengan skema dana sehat atau JPKM, tidak memenuhi syarat asuransi.
Oleh karena itu, dimanapun di dunia, model asuransi mikro seperti itu tidak memiliki
sustainabilitas (kesinambungan) jangka panjang. Umumnya skema semacam itu
berusia pendek dan tidak menjadi besar.
Selain persyaratan sifat atau jenis risiko diatas, ada beberapa persyaratan yang terkait
dengan teknis asuransi dan kelayakan suatu risiko diasuransikan. Yang dimaksud dengan
kelayakan disini adalah khususnya kelayakan dalam aspek ekonomis. Suatu produk asuransi
yang preminya terlalu mahal tidak bisa dijual atau tidak menarik bagi masyarakat untuk ikut
asuransi tersebut. Harga premi atau besaran iuran yang menghabiskan 30% penghasilan
seseorang untuk premi atau iuran asuransi tidak layak untuk dikembangkan. Persyaratan
teknis asuransi adalah besarnya probabilitas kejadian, besarnya populasi yang terkena risiko
suatu kejadian, dan besarnya pool.
1. Probabilitas suatu kejadian risiko relatif kecil. Ukuran probabilitas besar dan kecil
juga relatif. Akan tetapi suatu kejadian yang lebih dari 50% kemungkinan terjadinya
(dalam bahasa statistik disebut probabilitas >0,5) akan menyebabkan biaya premi
menjadi besar dan tidak menarik untuk diasuransikan. Kejadian gagal ginjal yang
membutuhkan hemodialisa atau cuci darah seminggu dua kali mempunyai

Introduksi Asuransi Kesehatan

H.Thabrany

probabilitas sangat kecil, yaitu kurang dari satu kejadian per 1.000 orang (p < 0,001).
Demikian juga kejadian kecelakaan pesawat terbang jauh lebih kecil lagi yaitu
umumnya kurang dari satu per 100.000 penerbangan. Probabilitas yang kecil
menghasilkan besaran premi atau iuran yang juga kecil.
2. Kerugian tidaklah boleh mengenai sejumlah penduduk/peserta yang besar jumlahnya
atau katastrofik (catastrophic) bagi asuradur. Pengertian katastrofik dapat berarti
unitnya yang besar artinya banyak orang yang terkena kerugian pada saat yang
bersamaan. Contohnya, kerugian yang terjadi akibat perang atau bencana alam besar
seperti Tsunami di Aceh yang mengenai penduduk yang banyak dengan besarnya
kerugian mencapai triliunan rupiah tidak dijamin oleh asuransi karena praktis suatu
usaha asuransi akan bangkrut. Suatu penyakit yang menjadi wabah, mengenai banyak
orang, tidak dijamin asuransi akan tetapi dijamin pemerintah melalui suatu undangundang wabah. Perusahaan asuransi tidak menanggung, atau mengecualikan dari
jaminan (exception), segala bentuk perawatan rumah sakit atau dokter sebagai akibat
bencana alam besar, peperangan ataupun suatu wabah. Katastropik juga dapat berarti
besarnya risiko yang terlalu besar atau terlalu mahal. Dalam bidang kesehatan, biaya
perawatan di ruang intensif yang lebih dari satu tahun pasti membutuhkan biaya yang
bisa mencapai milyaran rupiah. Besarnya biaya medis katastropik bervariasi sesuai
dengan kemampuan ekonomi suatu negara. WHO memberikan definisi biaya medis
katastropik bagi rumah tangga jika biaya pengobatan atau perawatan menghabiskan
lebih dari 40% penghasilan rumah tangga (WHO, 2000).2 Akan tetapi biaya medis
yang bersifat katastropik bagi rumah tangga ini justeru merupakan suatu persyaratan
untuk diasuransikan. Dalam buku-buku teks asuransi kesehatan, biaya perawatan
yang mahal sering disebut kasus-kasus major medicals (biaya medis mahal).
3. Harus ada sejumlah penduduk atau masyarakat yang homogen yang cukup besar yang
akan terkena risiko yang ikut serta dalam suatu skema asuransi. Maksudnya adalah
jika suatu asuransi diikuti oleh hanya sepuluh orang saja sedangkan risiko yang
timbul dapat bervariasi dari--katakanlah seribu rupiah sampai satu milyar rupiah,
maka iuran atau peremi dari peserta asuransi yang sepuluh orang ini tidak dapat
menutupi kebutuhan dana apabila risiko yang diasuransikan terjadi. Risiko yang
diperoleh dari sepuluh orang tersebut tidak bisa dijadikan patokan untuk menghitung
besarnya risiko yang akan timbul. Semakin besar suatu peserta semakin tinggi tingkat
akurasi prediksi biaya yang dibutuhkan untuk menjamin risiko. Dengan demikian,
akan semakin kuat kemampuan finansial sebuah perusahaan asuransi. Persyaratan
besarnya jumlah peserta atau pemegang polis merupakan suatu aplikasi hukum
matematik yang disebut hukum angka besar (the law of the large number). Hukum ini
menyebabkan semakin banyak usaha asuransi yang melakukan merjer (bergabung)
agar lebih kuat bersaing atau lebih mampu mengendalikan biaya atau mempunyai
tingkat efisiensi yang tinggi. Program asuransi kesehatan sosial selalu memenuhi
hukum angka besar ini karena sifatnya yang wajib. Sebaliknya usaha asuransi
kesehatan komersial seringkali bangkrut karena tidak mampu memiliki jumlah
peserta atau pemegang polis yang cukup besar.

Introduksi Asuransi Kesehatan

H.Thabrany

1.4. Jenis Asuransi


Diatas telah dibahas bahwa asuransi merupakan cara manajemen risiko dimana
seseorang atau sekelompok kecil orang (yang disebut pemegang polis/policy holder atau
peserta/participant) melakukan transfer risiko yang dihadapinya dengan membayar premi
(iuran atau kontribusi) kepada pihak asuransi (yang disebut asuradur/insurer atau badan
penyelenggara asuransi). Dalam hal pemegang polis atau peserta bersifat perseorangan, maka
ia akan manjamin dirinya sendiri dan atau termasuk anggota keluarganya. Dalam hal
pemegang polis atau peserta bersifat kelompok kecil (misalnya suatu perusahaan atau
instansi), maka yang dijamin biasanya anggota kelompok tersebut (karyawan dan anggota
keluarganya). Dengan pembayaran premi/ iuran tersebut, maka segala risiko biaya yang
terjadi akibat kejadian yang telah disepakati dalam perjanjian kontrak (atau ditetapkan dalam
peraturan) yang terjadi pada pemegang polis, peserta, dan anggota keluarganya (tergantung
dari spesifikasi dalam kontrak) akan menjadi kewajiban asuradur. Orang-orang yang
termasuk dalam daftar yang dijamin dalam kontrak atau peraturan disebut tertanggung atau
insured. Risiko yang harus ditanggung asuradur disebut benefit atau manfaat asuransi,
yang besarnya atau scopenya ditetapkan dimuka dalam kontrak atau peraturan. Dalam
asuransi kesehatan, manfaat ini sering disebut paket jaminan (benefit package/packet) karena
berbeda dengan manfaat asuransi jiwa atau kerugian yang sering dalam bentuk sejumlah
uang, manfaat asuransi kesehatan pada umumnya berbentuk daftar pelayanan kesehatan yang
dijamin oleh asuradur.
Secara sederhana pengertian asuransi dapat digambarkan dengan ilustrasi berikut.
Wajib/Sukarela

Premi
Asuradur

Peserta

Manfaat

Uang/pelayanan

Dari ilustrasi diatas dapat dilihat bahwa ada dua elemen utama terselenggaranya
asuransi yaitu ada pembayaran premi/ iuran dan ada benefit/ manfaat. Kedua elemen inilah
yang mengikat kedua pihak (para pihak): peserta dan asuradur. Pada hakikatnya dalam
asuransi, secara umum, para pihak memiliki hak dan kewajiban sebagaimana layaknya
Introduksi Asuransi Kesehatan

10

H.Thabrany

sebuah kontrak. Tertanggung merupakan orang yang mempunyai kewajiban membayar


premi. Dalam program Jamsostek, Askes dan JPKM, yang nantinya semua akan diatur dalam
Sistem Jaminan Sosial Nasional, tertanggung disebut pesertatanpa membedakan siapa
yang membayar iuran. Di dalam asuransi kesehatan tradisional/ konvensional, yaitu asuransi
kesehatan yang dijual oleh perusahaan asuransi yang manfaatnya ditetapkan atau dibatasi
dengan nilai jumlah uang tertentu, peserta disebut pemegang polis (policy holder) dan
anggota keluarga yang dijamin disebut tertanggung. Dalam asuransi kesehatan yang dikelola
oleh bukan perusahaan asuransi di Amerika (yang biasa dikenal di Indonesia dengan
managed care) tertanggung disebut anggota atau member. Pemegang polis atau peserta
berkewajiban membayar premi/iuran sedangkan tertanggung tidak selalu merupakan orang
yang harus membayar premi. Asuradur adalah orang atau badan yang telah menerima premi
dan karenanya mempunyai kewajiban membayar atau menanggung manfaat asuransi. Dalam
Peraturan Menteri Kesehatan nomor 571/572 tahun 1993 tentang JPKM, yang dimasa datang
JPKM sukarela ini hanya akan menjual produk asuransi kesehatan suplemen, asuradur ini
disebut Badan Penyelenggara JPKM yang disingkat Bapel.

1.5. Kontrak Asuransi


Mekanisme asuransi merupakan hubungan kontraktual dimana peserta mempunyai
kewajiban membayar premi dan mempunyai hak mendapatkan manfaat asuransi. Asuradur
mempunyai hak menerima pembayaran premi dan berkewajiban membayarkan manfaat, baik
langsung kepada tertanggung dalam bentuk uang maupun membayarkan manfaat tersebut
kepada pihak ketiga yang memberikan pelayanan seperti bengkel mobil atau fasilitas
kesehatan. Namun demikian, dibandingkan dengan hubungan kontraktual lainnya, kontrak
asuransi memiliki ciri khas yang secara bersama-sama tidak dimiliki oleh hubungan
kontraktual lainnya. Karena kekhasan kontrak asuransi inilah, maka pengelolaan atau bisnis
asuransi sangat ketat diatur atau dilaksanakan langsung oleh pemerintah. Ciri khas kontrak
asuransi tersebut adalah sebagai berikut:
Kontrak kondisional. Dalam kontrak asuransi, kewajiban asuradur baru akan terjadi
jika kondisi tertentu (sakit atau kehilangan harta benda) terjadi pada diri tertanggung.
Apabila tertanggung tidak mengalami kejadian tersebut, maka tidak ada kewajiban bagi
asuradur. Kontrak lain, seperti kontrak pembelian barang atau sewa gedung, tidak memiliki
sifat kondisional ini. Oleh karena itu, dalam kontrak asuransi seperti asuransi kesehatan
pegawai negeri, pegawai yang lebih dari 20 tahun tidak pernah sakit sedangkan ia terus
membayar iuran (karena bersifat wajib dan langsung dipotong dari gajinya), tidak berhak
menuntut uang iurannya kembali kepada Askes. Secara hukum, hal ini sah. Berbeda dengan
kontrak tabungan hari tua (yang disebut Dana Pensiun Lembaga KeuanganDPLK) di bank,
penabung atau ahli warisnya berhak mendapatkan kembali uang yang disimpannya secara
rutin tiap bulan pada suatu waktu tertentu atau setelah penabung meninggal dunia.
Kontrak unilateral. Pada umumnya kontrak bersifat bilateral dalam artian masingmasing pihak mempunyai kewajiban dan hak dan masing-masing dapat dituntut jika salah
satu pihak tidak melaksanakan kewajibannya. Dalam kontrak asuransi, pihak yang dapat
dituntut karena tidak memenuhi kewajibannya hanyalah pihak asuradur. Apabila tertanggung

Introduksi Asuransi Kesehatan

11

H.Thabrany

tidak memenuhi kewajibannya, tidak membayar premi, ia tidak dapat dituntut. Akan tetapi
haknya otomatis hilang atau kontrak otomatis terputus (yang dalam istilah asuransi komersial
disebut lapse). Kontrak unilateral ini merupakan padanan (offset) dari sifat kondisional
dimana kewajiban membayar manfaat asuransi tidak selalu harus dilakukan oleh asuradur.
Kontrak Aleatory. Kontrak pada umumnya mempunyai keseimbangan nilai tukar
(economic value) antara kewajiban dan hak bagi pihak pertama maupun pihak kedua. Salah
satu pihak dapat (sah) menerima nilai yang jauh lebih besar dari kewajiban yang
dibayarkannya, tanpa ada hitungan hutang atau dapat digugat untuk membayar selisih nilai
tukar. Sebagai contoh, seseorang yang menjadi peserta asuransi kesehatan membayar premi
sebesar Rp 250.000 tiap bulan. Baru saja empat bulan ia membayar premi (total premi yang
dibayar menjadi 4 x Rp 250.000 atau sama dengan Rp 1 juta), ia terkena serangan jantung
dan memerlukan pembedahan yang memakan biaya (nilai tukar) Rp 150 juta yang dalam
kontrak asuransi tersebut memang pembedahan jantung ditanggung penuh. Maka peserta ini
berhak menerima operasi jantung tanpa ada kewajiban membayar selisih biaya bedah jantung
dengan premi yang telah dibayarnya. Sebab, tanpa kontrak aleatori, sesungguhnya peserta
tersebut baru membayar sebesar Rp 1 juta sedangkan ia sudah menerima Rp 150 juta. Dalam
kontrak asuransi, peserta tersebut tidak berhutang Rp 149 juta. Jika saja ia berhenti menjadi
peserta setelah itu, dengan tidak membayar premi lagi misalnya, maka ia tidak dapat dituntut
untuk melunasi selisih biaya yang besarnya Rp 149 juta. Sebaliknya, seorang peserta atau
pemegang polis bisa saja telah membayar premi sebesar Rp 250.000 sebulan untuk masa 10
tahun (atau sama dengan 10 tahun x 12 bulan x Rp 250.000 = Rp 30 juta, tanpa hitungan
bunga) akan tetapi ia tidak pernah sakit dan karenanya tidak pernah mengklaim manfaat
asuransi. Maka ia tidak berhak sama sekali atas manfaat asuransi (menerima hak senilai Rp 0
rupiah). Sedangkan asuradur telah menerima Rp 30 juta (plus bunga) tanpa kewajiban
membayar apapun kepada tertanggung.
Kontrak Adhesi. Dalam ikatan kontrak pada umumnya kedua belah pihak
mempunyai informasi yang relatif seimbang tentang nilai tukar dan kualitas barang atau jasa.
Dalam kontrak asuransi, pihak peserta atau pemegang polis--khususnya dalam asuransi
individual, tidak memiliki informasi yang seimbang dengan informasi yang dimiliki
asuradur. Asuradur tahu lebih banyak tentang besarnya probabilitas sakit dan biaya-biaya
pengobatan yang terkait sementara pihak peserta tidak mampu mengetahuinya dengan baik.
Akibatnya, sulit bagi peserta untuk menilai apakah premi yang dikenakan murah, wajar, atau
terlalu mahal. Dalam kata lain, peserta dalam posisi yang lemah (ignorance). Itulah
sebabnya, dalam industri asuransi dimanapun di dunia, pemerintah selalu mengatur dan
mengawasi dengan ketat berbagai aspek penyelenggaraan asuransi baik dalam hal paket
jaminan, isi dan bahasa polis, bahkan besarnya huruf dalam polis, dan berbagai persyaratan
asuradur yang menjamin peserta akan menerima haknya, jika obyek asuransi terjadi. Dalam
dunia asuransi, kontrak semacam ini sering disebut sebagai kontrak take it or leave it.

Introduksi Asuransi Kesehatan

12

H.Thabrany

1.6. Pembayaran Premi


Dalam pembayaran premi, menurut sifat kepesertaannya, kita dapat membagi
asuransi menjadi dua golongan besar yaitu pembayaran premi yang bersifat wajib dan
bersifat sukarela (lihat ilustrasi). Dalam asuransi sosial kepesertaan bersifat wajib, dalam
asuransi komersial tidak ada kewajiban seseorang untuk ikut atau membeli asuransi. Sifat
membeli merupakan suatu transaksi sukarela dalam perdagangan (commerce). Atas dasar
kewajiban menjadi peserta inilah, asuransi secara garis besar dibagi menjadi dua kelompok
besar yaitu asuransi sosial dan asuransi komersial. Banyak pihak di Indonesia yang
mengasosiasikan asuransi sosial sebagai asuransi bagi kelompok masyarakat dengan
ekonomi lemah, sehingga pada awalnya JPKM dinyatakan sebagai bukan asuransi komersial.
Dalam literatur asuransi dan jaminan sosial, kepesertaan yang bersifat wajib merupakan ciri
utama dari asuransi sosial.

1.6.1. Asuransi Sosial


Banyak pihak di Indonesia yang mempunyai pengertian yang keliru tentang asuransi
sosial. Kebanyakan orang beranggapan bahwa asuransi sosial adalah suatu program asuransi
untuk masyarakat miskin atau kurang mampu. Dalam banyak kesempatan interaksi dengan
masyarakat di kalangan sektor kesehatan, banyak yang beranggapan bahwa Jaminan
Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat (JPKM) yang diperkenalkan Departemen Kesehatan
(Depkes) juga merupakan program jaminan untuk masyarakat miskin. Hal ini barangkali
terkait dengan program JPKM dalam rangka Jaring Pengaman Sosial Bidang Kesehatan
(JPSBK) dimana Depkes memberikan insentif kepada organisasi di kabupaten yang disebut
pra bapel (badan penyelenggara) untuk mengembangkan JPKM. Program JPSBK ini
memberikan dana Rp 10.000 per tahun untuk tiap keluarga miskin (gakin) kepada pra bapel
yang berjumlah 354 di seluruh Indonesia dimana Rp 800 diantaranya digunakan oleh pra
bapel untuk administrasi. Diharapkan bahwa setelah dua tahun program ini, pra bapel dapat
membuat produk JPKM dan menjualnya kepada masyarakat selain gakin. Mungkin dengan
program inilah maka terbentuk pemahaman bahwa program JPKM adalah program asuransi
sosial. Sebenarnya, konsep JPKM adalah konsep asuransi komersial yang dilandasi oleh
kepesertaan sukarela. Diskusi lebih lanjut tentang hal ini akan diberikan kemudian.
Dalam Undang-Undang No 2/92 tentang asuransi disebutkan bahwa program asuransi
sosial adalah program asuransi yang diselenggarakan secara wajib berdasarkan suatu undangundang, dengan tujuan untuk memberikan perlindungan dasar bagi kesejahteraan masyarakat.
Dalam UU ini disebutkan bahwa program asuransi sosial hanya dapat diselenggarakan oleh
Badan Usaha Milik Negara (pasal 14). Namun demikian, tidak ada penjelasan lebih rinci
tentang asuransi sosial dalam UU tersebut. Untuk lebih menjelaskan tentang apa, mengapa
dan bagaimana asuransi sosial dilaksanakan, berikut ini akan dijelaskan berbagai rasional dan
contoh-contoh program asuransi sosial di dunia dan di Indonesia.
Mengapa harus diwajibkan? Apakah dalam jaman era globalisasi ini masih perlu
mewajibkan setiap tenaga kerja atau setiap penduduk untuk menjadi peserta asuransi
kesehatan seperti halnya asuransi kesehatan pegawai negeri? Mengapa harus dikelola secara

Introduksi Asuransi Kesehatan

13

H.Thabrany

terpusat oleh satu badan penyelenggara pemerintah? Monopolikah itu namanya? Bukankah
kini jamannya privatisasi? Mengapa tidak dilepaskan kepada mekanisme pasar karena pasar
begitu kuat dan mampu mengatasi berbagai masalah? Bukankah kini jamannya otonomi
daerah sehingga seharusnya daerah diberi kewenangan mengurus masing-masing.
Pertanyaan-pertanyaan semacam itu kerap kali muncul sewaktu saya presentasi di berbagai
kesempatan dan daerah.
Di atas sudah dijelaskan bahwa pelayanan kesehatan memiliki ciri uncertainty dan
akses terhadap pelayanan kesehatan merupakan hak asasi setiap penduduk. Deklarasi PBB
tahun 1948 telah jelas menyebutkan bahwa setiap penduduk berhak atas jaminan kesehatan
manakala ia sakit. Apakah setiap orang memiliki visi dan kesadaran akan risiko yang
dihadapinya di kemudian hari? Meskipun banyak orang menyadari akan risiko dirinya, pada
umumnya kita tidak mempunyai kemauan dan kemampuan yang memadai untuk mencukupi
kebutuhan menutup risiko sakit yang terjadi di masa depan. Orang-orang muda akan ambil
risiko, risk taker, terhadap masa depannya karena pengalamannya menunjukkan bahwa
mereka jarang sakit. Ancaman sakit 10-20 tahun ke depan dinilainya terlalu jauh untuk
dipikirkan sekarang. Pada umumnya mereka tidak akan membeli, secara sukarela dan sadar,
asuransi untuk masa jauh ke depan tersebut meskipun mereka mampu membeli. Sebaliknya,
orang-tua dan sebagian orang yang punya penyakit kronis, bersedia membeli asuransi karena
pengalamannya membayar biaya berobat yang mahal. Namun penghasilan mereka sudah
jauh berkurang. Meskipun penghasilannya cukup, biaya pengobatan sudah jauh lebih besar
dari penghasilanya. Orang-orang seperti ini mau membeli asuransi, akan tetapi jika hanya
orang-orang tersebut yang mau membeli, perusahaan asuransi/bapel akan menarik premi
sangat besar untuk menutupi biaya berobat yang tinggi. Atau mereka tidak bersedia
menjamin orang-orang yang risikonya sub standar (diatas rata-rata). Akibatnya mereka tidak
bisa dijamin. Jika orang-orang yang sudah sakit-sakitan tersebut menderita penyakit menular,
penyakitnya tidak bisa disembuhkan. Penyakit menular yang tidak dapat disembuhkan,
karena tidak sanggup berobat dan tidak ada perusahaan asuransi/ bapel yang mau
menjaminnya, akan mengancam semua orang disekitarnya, karena penyakitnya dapat
menular kepada orang lain (eksternalitas).
Meskipun mereka tidak menderita penyakit menular, jika penyakit mereka sudah
sangat parah, dan mereka tidak mampu membayar, pada akhirnya banyak pihak harus turun
tangan membantu. Inilah prikemanusiaan yang beradab. Tidak ada di dunia manapun dimana
orang-orang seperti itu dibiarkan menderita tanpa bantuan. Jika bantuan diberikan secara
sukarela, jumlahnya seringkali tidak memadai. Ancaman sakit seperti itu dapat terkena siapa
saja, tua maupun muda, kaya maupun miskin. Oleh karena setiap orang suatu ketika akan
dapat menderita seperti itu, maka untuk menjamin semua orang tidak tambah menderita
karena tidak memiliki dana yang memadai, maka perlu diwajibkan untuk berasuransi. Jika
tidak diwajibkan, maka yang sakit-sakitan akan beli asuransi sebagai alat gotong royong atau
solidaritas sosial. Sementara yang sehat dan yang muda merasa tidak perlu dan karenanya
tidak membeli asuransi. Dengan demikian tidak mungkin terselenggara gotong-royong antara
kelompok kaya-miskin dan antara yang sehat dengan yang sakit.
Jadi asuransi sosial bertujuan untuk menjamin semua orang yang memerlukan
pelayanan kesehatan akan mendapatkannya tanpa perduli status ekonomi atau usianya. Inilah

Introduksi Asuransi Kesehatan

14

H.Thabrany

prinsip keadilan sosial (social equity/social justice) yang menjadi falsafah hidup semua orang
di dunia. Jadi asuransi sosial memiliki fungsi redistribusi hak dan kewajiban antara berbagai
kelompok masyarakat: kayamiskin, sehat-sakit, muda-tua, risiko rendah-risiko tinggi. Inilah
hakikat peradaban manusia yang dapat diwujudkan dengan penyelenggaraan asuransi sosial.
Oleh karenanya, tidak ada satu negarapun di dunia-- baik itu negara liberal seperti Amerika
maupun negara yang lebih dekat ke sosialis, yang tidak memiliki sistem asuransi sosial atau
jaminan oleh negara langsung. Di Amerika misalnya, semua orangtanpa kecuali, yang
mempunyai penghasilan harus membayar premi Medicare. Medicare adalah program
asuransi sosial kesehatan untuk orang tua/pensiunan (usia 65 tahun keatas) untuk orangorang yang menderita penyakit terminalpenyakit yang tidak bisa sembuh. Setiap yang
berpenghasilan otomatis dipotong sebesar 1,45% penghasilannya untuk premi Medicare yang
jaminannya baru diperoleh jika ia berusia pensiun (65 tahun keatas). Majikannya, pemberi
kerja, wajib juga menambahkan 1,45% gaji yang dibayarkan untuk premi asuransi tersebut.
Jadi jumlahnya 2,9% dari gaji/upah sebulan. Negara-negara Eropa yang lebih kuat ikatan
sosialnya atau negara-negara Asia seperti Jepang, Korea, Taiwan, Filipina, dan Muangtai;
juga menyelenggarakan sistem asuransi sosial. Ada yang digabungkan dengan sistem
jaminan sosial (social security) ada juga negara yang membuat undang-undang asuransi
sosial khusus untuk kesehatan seperti Taiwan, Filipina, Kanada, dan Jerman. Tanpa
diwajibkan, maka tidak semua orang akan ikut serta. Cina yang komunis juga
menyelenggarakan sistem asuransi sosial untuk rakyatnya.
Jadi mewajibkan penduduk ikut serta dalam asuransi sosial bukanlah pemerkosaan
hak akan tetapi justeru untuk pemenuhan hak asasi yang dibiayai secara kolektif. Membayar
pajak adalah suatu kewajiban di negara manapun. Apakah kewajiban membayar pajak
merupakan pelanggaran hak asasi manusia? Kalau ada yang menjawab ya, maka semua
negara di dunia ini melanggar HAM. Mempunyai kartu penduduk atau paspor adalah suatu
kewajiban penduduk, dimanapun dan di negara manapun ia berada. Jadi tidak seperti apa
yang digambarkan oleh sebagian orang bahwa menyelenggarakan asuransi yang bersifat
wajib adalah bertentangan dengan fitrah manusia madani (civilized society). Justeru
masyarakat madani memiliki banyak sekali kewajiban individu terhadap masyarakat secara
kolektif. Inilah bentuk perwujudan kehidupan berbudaya.
Sesuatu yang sifatnya wajib harus diatur oleh yang paling kuasa. Dalam kehidupan
bernegara, yang paling kuasa adalah undang-undang yang dibuat oleh wakil rakyat. Itulah
sebabnya, sebuah asuransi sosial yang memenuhi syarat haruslah diatur berdasarkan undangundang. Di Indonesia, salah satu contoh asuransi sosial yang diatur UU adalah jaminan
pemeliharaan kesehatan dalam Undang-undang No. 3/1992 tentang Jamsostek.

Mekanisme adverse selection.


Dalam asuransi sosial, manfaat/paket jaminan ditetapkan oleh UU sama atau relatif
sama bagi seluruh peserta dengan tujuan memenuhi kebutuhan para anggotanya. Seringkali
manfaat ini disebut paket dasar. Dalam asuransi putus kerja atau pensiun, besarnya manfaat
memang relatif rendah untuk memenuhi kebutuhan minimum hidup, cukup untuk makan,
transportasi, perumahan, dan pendidikan. Manfaat pasti tidak diberikan agar pesertanya dapat

Introduksi Asuransi Kesehatan

15

H.Thabrany

hidup mewah. Namun untuk asuransi kesehatan, di Indonesia sayangnya banyak memiliki
pemahaman sama yaitu menjamin pelayanan kesehatan dengan biaya murah. Sehingga kasus
berat dan mahal tidak dijamin. Hal ini tidak sesuai dengan prinsip asuransi berat sama
dipikul. Sebab yang menjadi kebutuhan dasar, yang mempertahankan seseorang hidup dan
berproduksi seringkali justeru pelayanan operasi atau perawatan intensif di rumah sakit. Oleh
karenanya, di negara-negara lain, pada umumnya asuransi sosial dimulai dengan manjamin
pelayanan rawat inap, bukan rawat jalan yang murah. Tujuan penyelenggaraan asuransi
sosial ini adalah terpenuhinya kebutuhan penduduk, atau populasi tertentu, yang tanpa
asuransi sosial kemungkinan besar mereka tidak mampu memenuhinya sendiri-sendiri. Atau
jika mereka secara sukarela (komersial) membeli asuransi, mereka tidak sanggup atau tidak
punya disiplin cukup untuk membeli.
Dalam asuransi sosial, premi ditetapkan oleh peraturan yang besarnya umumnya
proporsional terhadap pendapatan/upah. Kombinasi paket jaminan/manfaat asuransi yang
sama dengan premi yang proporsional upah memfasilitasi terjadinya equity egaliter (keadilan
yang merata). Secara singkat equity egaliter berarti you get what you need yang lebih pas
untuk kesehatan. Dalam prinsip equity egaliter dilaksanakan prinsip seseorang harus
mendapatkan pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis yang ada pada dirinya
tetapi membayar sesuai dengan kemampuan ekonomi dirinya. Itulah sebabnya peserta
diharuskan membayar persentase tertentu dari upahnya. Hal ini memungkinkan pemerintah
memenuhi hak asasi pelayanan kesehatan seperti yang termaktub dalam UUD kita pasal 28H.
Hal ini merupakan penjabaran lebih lanjut dari sila keadilan sosial dalam Pancasila. Seluruh
negara maju dan menengah menggunakan prinsip asuransi sosial ini, baik yang terintegrasi
dengan jaminan sosial (social security) lainnya maupun yang dikelola tersendiri.
Contoh equity liberter adalah pelayanan kesehatan yang umumnya berlaku di
Indonesia sekarang ini. Seorang manajer yang sakit tifus masuk rumah sakit dan memilih
perawatan di kelas VIP dengan membayar biaya perawatan per hari Rp 250.000,- plus jasa
dokter, obat, pemeriksaan penunjang medis, dsb. Ia mendapat perawatan dari suster yang
cantik-cantik, dokternya berkunjung paling sedikit sekali dalam sehari (argo dokter jalan
terus), dan mendapat pilihan makanan yang enak. Total biaya perawatan waktu pulang adalah
Rp 5 juta. Adilkah (equitykah)? Tentu adil, sebab dia bayar mahal sehingga ia mendapatkan
pelayanan sesuai dengan yang ia bayar.
Seorang pedagang sayur gendongan menderita sakit tifus dan tidak diterima dirawat
di RS Swasta karena tidak mampu membayar uang muka yang diminta. Dengan menahan
berbagai rasa sakit dan panas di badan, ia harus pergi ke RS pemerintah yang mau
menerimanya tanpa uang muka. Ia kemudian di rawat di kelas IIIB dengan bangsal yang
rame, kamar mandi bersama, kebersihan ruangan dan bau yang kurang nyaman, serta
makanan yang standar. Dokter memeriksanya tiga hari sekali dan perawatnya kurang ramah.
Maklum karena perawat mendapat gaji UMR. Setelah dirawat 10 hari ia pulang dengan
hanya membayar Rp 500.000,-. Adilkah? Cukup adil. Sebab ia hanya mampu membayar
pelayanan yang seperti itu.
Seorang tukang ojek yang menderita tifus tetapi takut ke rumah sakit karena ia sering
mendengar tetangga dan kenalannya yang dirawat di RS menghabiskan ratusan ribu sampai

Introduksi Asuransi Kesehatan

16

H.Thabrany

jutaan rupiah. Setelah berusaha mengobati sendiri dengan berbagai obat penurun panas tidak
sembuh, akhirnya ia pingsan karena rupanya telah tejadi perforasi (kebocoran) usus.
Akhirnya oleh tetangganya ia di bawa ke rumah sakit dan terpaksa harus masuk perawatan
intensif (ICU) dan pembedahan. Ia beruntung karena diberikan dispensasi untuk membayar
uang muka seadanya. Setelah pulang ia harus membayar Rp 5 juta, yang paling banyak untuk
perawatan intensif selama dua hari yang memakan biaya Rp 3,5 juta. Karena berhutang, ia
harus menjual motornya dan masih meminjam uang dari sanak keluarga untuk melunasi
tagihan rumah sakit tersebut. Ia tidak lagi berfikir darimana mencari nafkah setelah itu,
karena motor yang menjadi satu-satunya modal telah dilego. Untuk makan keluarga setelah
sembuh, terserah nasiblah. Adilkah? Menurut pandangan liberter, adil. Sebab ia memang
bernasib jelek dan berprilaku jelek takut berobat sejak dini.
Seorang tukang ojek lainnya yang juga menderita tifus dengan perforasi dan harus
masuk ICU tetapi bernasib kurang baik, karena rumah sakit yang didatanginya meminta uang
muka Rp 3 juta dan ia tidak memilikinya. Akhirnya ia terpaksa pulang dengan menandatangani surat pulang paksa dimana risiko setelah pulang menjadi tanggung jawabnya
sendiri. Dua hari kemudian ia meninggal dunia. Adilkah? Menurut pandangan liberter murni,
adil! Sebab memang ia tidak mampu membayar.
Pandangan egaliter menilai bahwa equity liberter baik untuk hal-hal di luar kesehatan.
Untuk kesehatan sangat tidak adil dan tidak manusiawi jika seorang yang hanya karena tidak
punya uang pada saat ia sakit harus kehilangan mata pencaharian dan menyengsarakan hidup
keluarganya atau meninggal dunia seperti dua kasus terakhir. Pandangan equity egaliter
dalam pelayanan kesehatan menilai bahwa kedua orang pada contoh terakhir seharusnya
mendapat pengobatan paling tidak seperti tukang sayur gendong. Pasien harus mendapatkan
pengobatan sesuai dengan kondisi medisnya dan tidak tergantung pada kemampuannya
membayar, apalagi sampai meninggal dunia.
Lalu siapa yang membiayainya? Untuk itulah harus diselenggarakan asuransi sosial
dimana baik si manajer maupun si tukang sayur atau tukang ojek membayar premi dimuka
sebesar, misalnya 5% dari penghasilannya. Mungkin sang manajer membayar premi
Rp 250.000 per bulan sedangkan si tukang sayur membayar Rp 10.000 sebulan dan tukang
ojek membayar Rp 20.000 sebulan untuk seluruh keluarganya. Pada waktu mereka sakit,
rumah sakit tidak perlu meminta uang muka. Si pasien tidak harus takut berobat ke rumah
sakit karena ia telah memiliki jaminan dan mengetahui bahwa ia tidak perlu membayar
rumah sakit, kecuali sejumlah iur biaya yang besarnya terjangkau atau sama sekali tidak
membayar apa-apa. Termasuk obat-obatan dan biaya ICU jika diperlukan, ia tidak perlu lagi
membayar atau hanya membayar iur biaya yang kecil. Hak perawatannya mungkin di kelas II
atau kelas III. Inilah yang disebut equity egaliter. Sang manajer yang ingin dirawat di ruang
VIP dapat menambah selisih biaya saja. Mungkin akhirnya sang manajer hanya membayar
biaya tambahan ruangan dan makanan yang besarnya hanya Rp 1-2 juta saja.
Pada prinsipnya premi asuransi sosial mirip pajak tetapi tidak progresif, bahkan
cenderung regresif. Dalam peraturan pajak, mereka yang berpenghasilan tinggi dikenakan
pajak dengan prosentase yang tinggi pula. Ini berlaku di seluruh dunia. Di Indonesia kalau
kita berpenghasilan Rp 1 juta sebulan, maka pajak penghasilan yang harus dibayar adalah

Introduksi Asuransi Kesehatan

17

H.Thabrany

5% dari penghasilan kena pajak. Tetapi jika penghasilan kita mencapai Rp 100 juta sebulan,
maka pajak penghasilan yang harus kita bayar mencapai 35% dari penghasilan diatas Rp 200
juta setahun. Dalam asuransi sosial, justeru seringkali diberlakukan batas maksimum.
Misalnya premi asuransi sosial adalah 5% dari penghasilan sampai batas Rp 5 juta. Artinya,
jika penghasilan kita Rp 1 juta sebulan, maka kita bayar premi sebesar Rp 50.000 sebulan
untuk sekeluarga. Sedangkan jika penghasilan kita sebesar Rp 10 juta sebulan, premi yang
harus kita bayar adalah 5%x Rp 5 juta (batas maksimal) atau hanya sebesar Rp 250.000 saja.
Jika penghasilan kita Rp 100 juta sebulan, maka premi yang kita bayar juga hanya
Rp 250.000 saja. Perbedaan lain dengan pajak adalah penggunaannya. Pada asuransi sosial,
penggunaan dana hanya terbatas untuk kegiatan atau benefit yang telah ditetapkan. Tidak
bisa lain. Sementara penerimaan pajak dapat digunakan untuk berbagai program yang tidak
ditentukan dimuka. Itulah sebabnya, premi asuransi sosial atau jaminan sosial sering disebut
sebagai social security tax, jadi sangat mirip dengan ear-marked tax.
Karena sifatnya yang wajib dan mirip dengan pengenaan pajak, maka pengelolaan
asuransi sosial haruslah secara not for profit (nirlaba). Jadi tidak tepat kalau Jamsostek dan
Askes pegawai negeri dikelola oleh PT Persero yang berorientasi laba (for profit). Ini suatu
keajaiban dunia barangkali. Pengertian nirlaba harus dipahami bahwa yang tidak mencari
laba adalah badan atau lembaganya. Bukan juga berarti bahwa lembaga tadi tidak boleh ada
sisa dana. Bukan! Dulu istilah nirlaba dalam bahasa Inggris disebut non profit (tidak ada laba
atau sisa hasil usaha). Belakangan istilah itu telah diluruskan menjadi not for profit artinya
usaha yang dilakukan sama sekali bukan untuk mencari untung seperti layaknya perusahaan.
Tetapi usaha atau upaya yang dilakukan ditujukan untuk memberikan kesejahteraan sebesarbesarnya bagi anggota. Jadi mirip dengan negara. Negara tidak mencari laba, akan tetapi jika
ada kelebihan anggaran, maka anggaran itu dapat digunakan untuk tahun fiskal berikutnya
atau untuk cadangan negara. Jika lembaga pengelola asuransi sosial memiliki SHU, maka
pemerintah tidak menarik PPh (pajak penghasilan) badan. Sisa hasil usaha tersebut harus
digunakan untuk kepentingan peserta, seperti halnya bagi negara untuk kepentingan rakyat.
Penggunaan SHU jika ada dapat digunakan untuk perbaikan pelayanan, perluasan paket
jaminan, atau dikembalikan dalam bentuk potongan iuran pada periode berikutnya. Harus
diingat bahwa meskipun lembaga atau organisasi penyelenggara jaminan atau asuransi sosial
bersifat nirlaba, pegawai badan tersebut bersifat for profit. Setiap pegawai tetap wajib
membayar PPh 21, karena pegawai bersifat for profit. Jadi tidak benar kalau pegawai
penyelenggara asuransi sosial digaji rendah.
Oleh kareanya pada umumnya penyelenggara asuransi sosial adalah badan
pemerintah atau kuasi pemerintah yang disebut Trust Fund atau dalam bahasa Indonesia
dapat diterjemahkan sebagai Dana Amanat. Bentuk Dana Amanat ini dimiliki oleh seluruh
peserta, mirip dengan model Usaha Bersama (mutual) pada Asuransi Jiwa Bersama (AJB)
Bumi Putera dimana pemegang sahamnya adalah seluruh peserta/pemegang polis. Tetapi
produk asuransi yang dijual Bumi Putera bersifat komersial, bukan asuransi sosial. Asuransi
sosial sering disebut sebagai asuransi publik (public insurance), untuk membedakannya
dengan asuransi swasta (private insurance) yang umumnya bersifat komersial dan for profit.
Ada banyak bentuk asuransi swasta yang komersial dan nirlaba. Di Indonesia pandangan
tentang pengelola publik sering bias karena pegawai di sektor publik mendapat gaji yang
sangat berbeda sehingga dalam memberikan pelayanan seringkali tidak memuaskan

Introduksi Asuransi Kesehatan

18

H.Thabrany

atau meminta uang bawah meja. Tak ada insentif bagi mereka untuk bekerja baik. Akibatnya,
pandangan masyarakat tentang pengelolaan lembaga publik atau pemerintahan pada
umumnya buruk. Karena mereka pura-puranya digaji, maka mereka juga pura-pura
bekerja.

Keunggulan
Penyelenggaraan asuransi sosial mempunyai banyak keunggulan mikro dan makro
yang antara lain dapat dijelaskan di bawah ini.
1. Tidak terjadi seleksi bias. Seleksi bias, khususnya adverse selection atau anti seleksi,
merupakan keadaan yang paling merugikan pihak asuradur. Pada anti seleksi terjadi
keadaan dimana orang-orang yang risiko tinggi atau di bawah standar saja yang
menjadi atau terus melanjutkan kepesertaan. Hal ini terjadi pada asuransi yang
sifatnya sukarela/komersial. Dalam asuransi sosial, dimana semua orangpaling
tidak dalam suatu kelompok tertentu seperti pegawai negeri atau pegawai swasta
wajib ikut, tidak terjadi anti seleksi. Yang memiliki risiko standar, sub standar,
maupun diatas standar semua ikut. Hal ini akan memungkinkan sebaran risiko yang
baik sehingga perkiraan klaim/biaya dapat dihitung lebih akurat.
2. Redistribusi/subsidi silang luas (equity egaliter). Karena semua orang dalam suatu
kelompok wajib ikut; baik yang kaya maupun yang miskin, yang sehat maupun yang
sakit, dan yang muda maupun yang tua; maka asuransi sosial memungkinkan
terjadinya subsidi silang yang luas. Yang kaya memberi subsidi kepada yang miskin.
Yang sehat memberi subsidi kepada yang sakit, dan yang muda memberi subsidi
kepada yang tua. Dalam asuransi komersial hanya terjadi subsidi antara yang sehat
dengan yang sakit saja.
3. Pool besar. Suatu mekanisme asuransi pada prinsipnya merupakan suatu risk pool,
suatu upaya menggabungkan risiko perorangan atau kumpulan kecil menjadi risiko
bersama dalam sebuah kumpulan yang jauh lebih besar. Semua anggota kelompok
tanpa kecuali harus ikut dalam asuransi sosial. Akibatnya pool atau kumpulan
anggota menjadi besar atau sangat besar. Sesuai dengan hukum angka besar, semakin
besar anggota semakin akurat prediksi berbagai kejadian. Ini hukum alam. Asuransi
sosial memungkinkan terjadinya pool yang sangat besar, sehingga prediksi biaya
misalnya dapat lebih akurat. Oleh karenanya, kemungkinan lembaga asuransi sosial
bangkrut adalah jauh lebih kecil dari lembaga asuransi komersial.
4. Menyumbang pertumbuhan ekonomi dengan penempatan dana premi/iuran dan dana
cadangan pada portofolio investasi seperti obligasi, deposito, maupun saham. Pada
umumnya portofolio investasi dana jaminan sosial/asuransi sosial dibatasi agar tidak
menganggu likuiditas dan solvabilitas program.
5. Administrasi sederhana. Asuransi sosial biasanya mempunyai produk tunggal yaitu
sama untuk semua peserta, tidak seperti asuransi komersial yang produknya sangat

Introduksi Asuransi Kesehatan

19

H.Thabrany

beragam. Akibatnya administrasi asuransi sosial jauh lebih sederhana dan tidak
membutuhkan kemampuan sekompleks yang dibutuhkan asuransi komersial. Oleh
karenanya pada umumnya negara yang kurang memiliki sumber daya manusia yang
faham berbagai seluk-beluk asuransi sekalipun mudah menerapkan asuransi sosial.
6. Biaya administrasi murah. Selain produk dan administrasi sederhana, asuransi sosial
tidak membutuhkan rancangan paket terus-menerus, biaya pengumpulan dan analisis
data yang mahal, dan biaya pemasaran yang bisa menyerap 50% premi di tahun
pertama. Oleh karenanya biaya administrasi asuransi sosial di negara-negara maju
pada umumnya kurang dari 5% dari total premi yang diterima. Bandingkan dengan
asuransi komersial yang paling sedikit menghabiskan sekitar 12%, bahkan ada yang
menghabiskan sampai 50% dari premi yang diterima.
7. Memungkinkan pengenaan tarif fasilitas kesehatan seragam. Karena pool yang besar,
asuransi sosial memungkinkan pengaturan tarif fasilitas kesehatan yang seragam
sehingga semakin memudahkan administrasi dan membuat keseimbangan kerja antar
dokter atau tenaga kesehatan lainnya. Tarif yang seragam ini memungkinkan juga
penerapan standar mutu tertentu yang menguntungkan peserta.
8. Memungkinkan kendali biaya dengan buying power. Berbeda dengan mitos model
organisasi managed care (seperti HMO di Amerika dan bapel JPKM di Indonesia)
yang membayar kapitasi dan pelayanan terstruktur yang konon dapat mengendalikan
biaya, asuransi sosial dapat mengendalikan biaya lebih baik tanpa harus membayar
dokter atau fasilitas kesehatan dengan sistem risiko, seperti kapitasi. Meskipun
lembaga asuransi sosial membayar fasilitas kesehatan per pelayanan (fee for services)
yang disenangi dokter, asuransi sosial masih mampu mengendalikan biaya lebih baik
dari model organisasi managed care.
9. Memungkinkan peningkatan dan pemerataan pendapatan dokter/fasilitas kesehatan.
Asuransi sosial mempunyai pool yang besar dan menjamin lebih banyak orang dalam
mendapatkan pelayanan kesehatan yang dibutuhkan. Akibatnya lebih banyak orang
mampu berobat. Dengan kemampuan menerapkan tarif standar kepada fasilitas
kesehatan, asuransi sosial akan mampu memeratakan pendapatan para fasilitas
kesehatan yang bersedia memenuhi standar pelayanan dan tarif yang ditetapkan.
Apabila asuransi sosial telah mencakup lebih dari 60% penduduk, maka sebaran
fasilitas kesehatanpun dapat lebih merata tanpa pemerintah harus mewajibkan dokter
bekerja di daerah-daerah.
10. Memungkinkan semua penduduk tercakup. Orgasnisasi Kesehatan Dunia (WHO)
telah memasukan faktor cakupan asuransi kesehatan sebagai salah satu indikator
kinerja sistem kesehatan negara-negara di dunia.1 Organisasi ini juga menganjurkan
untuk perluasan cakupan hingga tercapai cakupan universal, semua penduduk
terjamin. Hal ini hanya mungkin jika asuransi yang diselenggarakan adalah asuransi
sosial yang mewajibkan semua penduduk menjadi peserta, tentunya secara bertahap.
Asuransi sosial memungkinkan terselenggaranya solidaritas sosial maksimum atau
1

Laporan WHO 2000.

Introduksi Asuransi Kesehatan

20

H.Thabrany

memungkinkan terselenggaranya keadilan sosial (social justice). Pendekatan asuransi


komersial tidak mungkin mencakup seluruh penduduk dan memaksimalkan
solidaritas sosial.

Kelemahan
Selain berbagai keuntungan yang dapat dinikmati masyarakat baik secara mikro
maupun secara makro, asuransi sosial tidak lepas dari berbagai kelemahan. Kelemahankelemahan tersebut antara lain:
1. Pilihan terbatas. Karena asuransi sosial mewajibkan penduduk dan pengelolanya yang
paling tepat adalah suatu badan pemerintah atau kuasi pemerintah, maka masyarakat
tidak memiliki pilihan asuradur. Para ahli umumnya berpendapat bahwa hal ini tidak
begitu penting, karena pilihan yang lebih penting adalah pilihan fasilitas
kesehatannya. Asuransi sosial memungkinkan peserta bebas memilih fasilitas
kesehatan yang mana saja yang ia inginkan, karena fasilitas kesehatan dapat dibayar
secara FFS atau cara lain yang tidak mengikat. Berbeda dengan konsep HMO/JPKM
kini, yang memberikan pilihan asuradur tetapi setelah itu pilihan fasilitas kesehatan
terbatas pada yang telah mengikat kontrak. Mana yang lebih penting bagi peserta:
bebas memilih fasilitas kesehatan dengan biaya murah atau bebas memiliki asuradur
tetapi pilihan fasilitas kesehatan terbatas?
2. Manajemen kurang keratif/responsif. Karena asuransi sosial mempunyai produk yang
seragam dan biasanya tidak banyak berubah, maka kurang insentif bagi pengelolanya
untuk bekerja keras merespons terhadap demand peserta. Apabila askes sosial
dikelola oleh pegawai yang kurang selektif dan tidak memberikan insentif pada yang
berprestasi, maka manajemen cenderung kurang memuaskan peserta. Seringkali juga
karena penyelenggaranya tunggal, kurang ada tantangan sehingga respons terhadap
tuntutan peserta kurang cepat.
3. Pelayanan seragam. Pelayanan yang seragam bagi semua peserta menyebabkan
penduduk kelas menengah atas kurang memiliki kebanggaan khusus. Kelompok ini
pada umumnya ingin berbeda dari kebanyakan penduduk, sehingga kelompok ini
biasanya kurang suka dengan sistem asuransi sosial. Pelayanan yang seragam juga
sering menyebabkan waktu tunggu yang lama sehingga kurang menarik bagi
penduduk kelas atas. Namun demikian, lamanya waktu tunggu yang tidak bisa
diterima oleh kelas atas tertentu tidak bisa dijadikan alasan untuk membubarkan
sistem asuransi sosial yang berfungsi dan dinikmati lebih dari 90% penduduk. Untuk
mengatasi masalah ini, pemerintah biasanya memberikan kesempatan kepada mereka
membeli asuransi suplemen/tambahan seperti yang dikenal dengan Medisup/Medigap
di Amerika. Atau penduduk kelas atas dibiarkan tidak menggunakan haknya dalam
asuransi sosial atau jaminan pemerintah dan menggantinya dengan membeli asuransi
komersial seperti yang terjadi di Inggris.

Introduksi Asuransi Kesehatan

21

H.Thabrany

4. Banyak fasilitas kesehatan yang tidak begitu suka. Profesional dokter seringkali
merasa kurang bebas dengan sistem asuransi sosial yang membayar mereka dengan
tarif seragam atau dengan model pembayaran lain yang kurang memaksimalkan
keuntungan dirinya. Pada umumnya fasilitas kesehatan lebih senang melayani orangperorang yang membayar langsung dan dengan tarif yang ditentukannya sendiri.
Tetapi perlu dipahami bahwa semua negara-negara maju, kecuali Amerika,
menerapkan sistem asuransi sosial sebagai satu-satunya sistem atau sebagai sistem
yang dominan di negaranya

1.6.2. Asuransi Komersial


Seperti telah dijelaskan dimuka, asuransi komersial berbasis pada kepesertaan
sukarela. Kata komersial berasal dari bahasa Inggris commerce yang berarti berdagang.
Dalam berdagang tentu tidak boleh ada paksaan. Dasarnya adalah pedagang menawarkan
barang atau jasanya dan sebagian masyarakat yang merasa memerlukan barang atau jasa
tersebut akan membelinya. Tidak ada paksaan bahwa seseorang harus membeli barang
tersebut/jasa tersebut. Agar seorang pedagang atau suatu perusahaan dapat menjual barang
atau jasanya, maka ia harus bekerja keras memperoleh informasi barang atau jasa apa yang
diminati (ada demand) masyarakat. Kalau seorang pedagang menjual barang yang tidak
diminati masyarakat, maka barang atau jasa yang dijualnya tidak akan laku dan pedagang
tersebut akan merugi. Sebaliknya jika pedagang tersebut sangat jeli melihat minat masyrakat
calon konsumennya, maka ia dapat menjual barang atau jasa dalam jumlah besar dan
memperoleh laba yang besar pula. Oleh karena itu model pedagang perorangan atau
perusahaan for profit sangat cocok terjun di dunia komersial ini. Basis komersial inilah yang
membedakan sistem asuransi mekanisme pasar dengan sistem asuransi sosial yang berbasis
regulasi, bukan pasar. Asuransi komersial merespons terhadap demand (permintaan)
masyarakat sedangkan asuransi sosial merespons terhadap needs (kebutuhan) masyarakat.
Tujuan utama dari penyelenggaraan asuransi kesehatan komersial ini adalah
pemenuhan keinginan (demand) perorangan yang beragam. Dengan demikian, perusahaan
akan merancang berbagai produk, bahkan dapat mencapai ribuan jenis produk, yang sesuai
dengan permintaan masyarakat. Secara teoritis bahkan dapat dibuat lebih dari satu juta
produk, apabila demand masyrakat memang bervariasi sebanyak itu. Disinilah letak
pemborosan, tidak efisien, secara makro karena pada akhirnya untuk dapat menjual produk
yang sangat bervariasi tersebut dibutuhkan biaya besar. Biaya besar tersebut dibutuhkan
untuk riset pasar, perancangan produk, pengembangan sistem informasi, penjualan, komisi
agen atau broker, dan keuntungan perusahaan. Jangan heran jika ada perusahaan asuransi
yang mematok biaya pelayanan sebesar 50% dari premi yang dijual. Artinya, setiap 100
rupiah premi yang diterima, hanya Rp 50 saja yang akan dibayarkan ke fasilitas kesehatan.
Motif utama pengelola atau asuradur adalah mencari laba. Itulah sebabnya asuransi
model ini dikenal sebagai asuransi komersial karena biasanya memang bertujuan dagang atau
mencari untung. Namun bisa saja suatu lembaga nirlaba, seperti yayasan atau perhimpunan
masyarakat seperti Nahdatul Ulama, Muhamadiah, perhimpunan katolik dll,
menyelenggarakan model asuansi komerisal tetapi tidak untuk mencari laba yang akan

Introduksi Asuransi Kesehatan

22

H.Thabrany

dibagi-bagi kepada pemegang sahamnya. Laba yang diperoleh disumbangkan kepada yang
tidak mampu dalam berbagai bentuk seperti rabat harga premi atau bahkan pengobatan gratis.
Premi untuk asuransi ini disesuaikan dengan paket jaminan atau manfaat asuransi
yang ditanggung. Jadi asuransi model ini memulai dari penyusunan paket yang diperkirakan
diminati pembeli. Baru setelah itu harga premi dihitung untuk dijual. Di Indonesia paketpaket yang dijual sangat bervariasi dari hanya menjamin penyakit tertentu seperti penyakit
kanker atau gagal ginjal, paket komprehensif dengan paket platinum, emas, perak, perunggu,
plastik, dan mungkin kertas atau daun. Semakin tinggi atau luas jaminan dan semakin luks
jaminan paket yang dijual semakin mahal harga preminya. Asuransi ini memfasilitasi equity
liberter (You get what you pay for). Mereka yang miskin sudah pasti tidak bisa membeli
paket yang luasmisalnya menanggung pengobatan kanker, jantung, atau hemodialisa
karena harga preminya tidak terjangkau. Dalam pelayanan tentu saja jika mereka sakit
kanker, terpaksa asuransi tidak menjaminnya.
Sifat kontrak adhesi, dimana asuradur tahu jauh lebih banyak dari pemegang polis
atau peserta, khususnya perorangan, sangat kuat. Peserta dapat saja membeli paket yang jauh
lebih mahal dari yang sepantasnya. Agen yang menjual dengan mudah dapat mengarahkan
atau bahkan menggiring orang membeli produk tertentu yang kurang sesuai dengan
kondisinya. Perusahaan yang kurang bertanggung jawab dapat saja lalai atau menghilang
setelah menerima premi cukup besar. Atau perusahaan yang hanya memikirkan
keuntungannya dapat saja menghentikan atau tidak memperpanjang asuransi orang-orang
yang ternyata memiliki penyakit kronis setelah beberapa tahun menjadi peserta. Itulah
sebabnya, jika opsi ini yang dipilih sebagai pilihan dominan seperti di Amerika, maka
banyak sekali peraturan yang mengikat perusahaan dan praktek asuransi guna melindungi
peserta yang berada pada posisi lemah. Tahun 1997 misalnya, di Amerika terdapat lebih dari
1,000 usulan peraturan di bidang asuransi kesehatan.2 Peraturan yang dikeluarkan pemerintah
federal dan negara bagian Amerika, bukan hanya mengatur solvensi perusahaan, akan tetapi
mencakup pengaturan kontrak. Di Indonesia pengaturan kontrak asuransi kesehatan sama
sekali belum ada. Tahun 1997 pemerintah federal Amerika mengeluarkan peraturan yang
menyangkut protabilitas asuransi dan batas boleh memberlakukan pre-existing conditions.
Pada polis asuransi perorangan ada peraturan tentang polis non cancellable, dimana
perusahaan asuransi tidak boleh menghentikan/membatalkan polis bahkan menaikan premi
jika seorang peserta menderita suatu penyakit kronis.3

Kegagalan pasar asuransi komersial/Swasta


Karena sifat uncertainty mengundang usaha asuransi, maka kini banyak pemain baru.
Kolusi antara dokter-rumah sakit dan perusahaan farmasi menyebabkan harga pelayanan
kesehatan terus semakin mahal. Risiko sakit perorangan semakin mahal, maka demand baru
terbentuk; membeli asuransi kesehatan. Bagaimana pentaripan asuransi? Tidak bisa
dilepaskan dari tarif jasa dokter, rumah sakit, obat, laboratorium, dan alat-alat medis lainnya.
Bisakan asuransi mendapatkan harga yang pantas (fair)? Sulit! Meskipun perusahaan
2
3

HIAA. Managed Care part B. Washington, D.C., 1997


HIAA. Health Insurance Premier, Washington, D.C., 2000

Introduksi Asuransi Kesehatan

23

H.Thabrany

asuransi/ bapel JPKM dapat memperoleh harga yang lebih murah, mereka juga punya interes
untuk mendapatkan untung. Sementara provider masih tetap memiliki market power yang
kuat. Tidak banyak pilihan bagi perusahaan asuransi, kecuali mengeruk keuntungannya dari
pihak pasien/ konsumen. Tentu saja sebagai perantara, perusahaan asuransi/ bapel JPKM
akan mencari untung dari kedua pihak, pihak peserta/ pemegang polis dan pihak provider.
Maka kini, seorang pasien/konsumen/peserta mendapatkan pelaku baru yang juga melirik
kantong mereka.
Akankah konsumen mampu untuk memilih produk asuransi dan harga sesuai
kebutuhannya? Hampir tidak mungkin! Karena disini juga terjadi informasi asimetri.
Konsumen tidak mengetahui tingkat risiko dirinya dan hampir tidak mungkin mengetahui
apakah harga premi yang dibelinya pantas, terlalu murah, atau terlalu mahal. Sementara
penjual (perusahaan asuransi/bapel JPKM) dapat menciptakan produk dan cara pamasaran
yang menakutkan sehingga konsumen, jika ia mempunyai kemampuan keuangan, memilih
untuk membeli. Bagaimana dengan konsumen yang tidak mampu? Sejauh pasar belum jenuh,
asuradur akan memusatkan pada perhatian kepada pasar yang mampu membeli dan
profitable. Karena dalam pasar asuransi (swasta/sukarela) asuradur akan menetapkan premi
atas dasar risiko yang akan ditanggung (paket jaminan), risk based premium, maka besarnya
premi tidak dapat disesuaikan dengan kemampuan membeli seseorang. Maka sudah dapat
dipastikan bahwa penduduk yang miskin tidak akan mampu membeli premi. Oleh karenanya,
asuransi kesehatan swasta/sukarela/komersial tidak akan mampu mencakup seluruh
penduduk. Keinginan mencakup seluruh penduduk dengan mekanisme asuransi kesehatan
swasta hanyalah sebuah impian belaka. Hal ini dapat dibuktikan di Amerika, yang
menghabiskan lebih dari US$ 4.000 per kapita per tahun (tahun 2000 ini diperkirakan
Amerika menghabiskan US$ 1,8 triliun), akan tetapi lebih dari 40 juta penduduknya (16%)
tidak memiliki asuransi (HIAA, 1999)3.
Dengan terbatasnya pasar dan persaingan yang tinggi, volume penjualan tidak bisa
mencapai jumlah yang besar. Persaingan antara asuradur akan memaksa asuradur membuat
produk spesifik yang juga menyebabkan pool tidak optimal untuk mencakup berbagai
pelayanan. Persaingan menjual produk spesifik dan volume penjualan untuk masing-masing
produk yang relatif kecil menyebabkan contigency dan profit margin yang relatif besar.
Perusahaan asuransi Amerika menghabiskan rata-rata 12% faktor loading (biaya operasional,
laba, dan berbagai biaya non medis lainnya) (Shalala dan Reinhart, 1999). Departemen
Kesehatan membolehkan bapel menarik biaya loading sampai 30%.4 Asuradur swasta di
Indonesia memiliki rasio klaim yang bervariasi antara 40-70%, tergantung jenis produknya,
sehingga menyebabkan biaya tambahan bagi konsumen sebesar 30-60%. Jadi berbagai
skenario dan fakta yang terjadi, sudah dapat dipastikan bahwa asuransi kesehatan swasta
tidak bisa menurunkan biaya pelayanan kesehatan dan tidak mampu mencakup seluruh
penduduk.
Jelaslah ketergantungan pada sistem asuransi kesehatan swasta/ komersial (termasuk
disini sistem JPKM yang sekarang berlaku) gagal menciptakan cakupan universal dan
mencapai efisiensi makro. Trade off antara risk pooling dan biaya yang ditanggung
konsumen tidak seimbang. Sementara itu, hampir semua negara menginginkan cakupan
universal. Oleh karenanya, jika kedua komponen tujuan, universal dan efisensi makro, ingin

Introduksi Asuransi Kesehatan

24

H.Thabrany

dicapai; maka membuat asuransi kesehatan swasta/ komersial akan gagal mencapai tujuan
tersebut.
Semua negara-negara maju telah meratifikasi konvensi PBB tentang hak asasi
manusia dan menempatkan pelayanan kesehatan sebagai salah satu hak dasar penduduk
(fundamental human right). Sebagai konsekuensi peletakkan hak dasar ini pemerintah
mengusahakan suatu sistem kesehatan yang mampu mencakup seluruh penduduk (universal)
secara adil dan merata (equity). Negara-negara maju pada umumnya mewujudkan peran serta
masyarakat dalam pembiayaan dan penyediaan kesehatan publik yang diatur oleh suatu
undang-undang. Pembiayaan publik dimaksudkan adalah pembiayaan oleh negara atau oleh
sistem asuransi kesehatan sosial yang didasarkan oleh undang-undang. Penyelenggara
pembiayaan publik dapat suatu badan pemerintah dapat pula badan swasta yang nirlaba.
Penyediaan kesehatan publik adalah penyediaan rumah sakit, klinik, pusat kesehatan, dan
sebagainya yang disediakan oleh negara yang dapat diselenggarakan secara otonom (terlepas
dari birokrasi pemerintahan) ataupun tidak otonom.
Dengan menempatkan salah satu atau kedua faktor pembiayaan dan atau penyediaan
oleh publik (public not for profit enterprise) memungkinkan terselenggaranya cakupan
universal dan pemerataan yang adil. Penempatan kesehatan sebagai hak asasi tidak selalu
berarti bahwa pemerintah harus menyediakan seluruh pelayanan dengan cuma-cuma. Yang
dimaksud pendanaan oleh publik adalah pendanaan oleh pemerintah dalam bentuk anggaran
belanja negara atau oleh penyelenggara asuransi social atau jaminan social. Penyelenggara
asuransi/jaminan social dapat dikelola langsung oleh organisasi birokrasi pemerintah atau
dikelola oleh badan/agency yang dibentuk pemerintah yang berfungsi otonom, tidak
dipengaruhi birokrasi pemerintah. Di Indonesia, banyak orang mengkhawatirkan penempatan
kesehatan sebagai hak asasi akan menyebabkan beban pemerintah menjadi sangat berat.
Pada hakikatnya, pembiayaan maupun penyediaan pelayanan dapat dilakukan oleh
pemerintah bersama swasta yang secara umum dapat dilihat dari gambar-1 .
Gambar-1.
Matriks Pembiayaan dan Penyediaan (delivery) pelayanan kesehatan

Penyediaan
Publik
Swasta

Publik
Inggris
Kanada, Jerman,
dan Taiwan

Pembiayaan
Swasta
Indonesia dan negara
berkembang lainnya
Jepang Amerika

* Jepang dan Jerman menyerahkan sebagian besar pembiayaan dan penyediaan


kepada sektor swasta, akan tetapi bersifat sosial (nirlaba) yang diatur oleh
pemerintah, sementara Amerika menyerahkan kepada mekanisme pasar (for profit dan
not for profit).

Apabila pembiayaan diserahkan kepada sektor publik, yang bersifat sosial atau
nirlaba, maka terdapat dua pilihan utama yaitu pembiayaan dari penerimaan pajak (general
tax revenue) seperti yang dilakukan Inggris dan pembiayaan melalui asuransi sosial seperti

Introduksi Asuransi Kesehatan

25

H.Thabrany

yang dilakukan Kanada, Taiwan, Jepang dan Jerman. Kanada dan Taiwan memberlakukan
sistem monopoli Propinsi dan Negara dengan hanya menggunakan satu badan
penyelenggara, yang sering dikenal Asuransi Kesehatan Nasional. Sementara Jerman dan
Jepang menggunakan undang-undang wajib asuransi sosial kesehatan dengan banyak
penyelenggara dari pihak swasta yang nirlaba.
Di Indonesia, pengertian asuransi sosial sangat sering disalah artikan dengan
pengertian derma atau pelayanan cuma-cuma. Sementara penyelenggaraan asuransi sosial
kesehatan yang sudah ada, program JPK PNS/Askes dan program JPK Jamsostek,
diselenggarakan oleh perusahaan publik yang berbentuk badan hukum berorientasi laba
(Persero). Hal ini menyebabkan semakin kacaunya pemahaman asuransi sosial. Distorsi
pemahaman ini menyebabkan sulitnya usaha-usaha mengusahakan suatu sistem asuransi
sosial yang konsisten.
Asuransi sosial adalah asuransi yang diselenggarakan atau diatur oleh pemerintah
yang melindungi golongan ekonomi lemah dan menjamin keadilan yang merata (equity).
Untuk mencapai tujuan tersebut, maka suatu asuransi sosial haruslah didasari pada suatu
undang-undang dengan pembayaran premi dan paket jaminan yang memungkinkan
terjadinya pemerataan. Dalam penyelenggaraanya, pada asuransi sosial mempunyai ciri (a)
kepesertaan wajib bagi sekelompok atau seluruh penduduk, (b) besaran premi ditetapkan oleh
undang-undang, umumnya proporsional terhadap pendapatan/gaji, dan (c) paketnya
ditetapkan sama untuk semua golongan pendapatan, yang biasanya sesuai dengan kebutuhan
medis (Thabrany, 1999)5. Dengan mekanisme ini, maka dimungkinkan tercapainya keadilan
sosial yang egaliter.
Dari segi pembiayaan, asuransi sosial mempunyai keunggulan dalam mencapai
efisiensi makro karena tidak memerlukan biaya perancangan produk, pemasaran, dan
pencapaian skala ekonomi yang optimal. Taiwan misalnya hanya menghabiskan kurang dari
3% premi untuk biaya administrasi (Depkes Taiwan, 1997)6. Program Medicare di Amerika
hanya menghabiskan biaya administrasi sebesar 3-4% sementra asuransi komersial swasta di
Amerika menghabiskan rata-rata 12% (Shalala dan Reinhardt, 1999)7
Kekuatan
1. Pemenuhan kebutuhan unik seseorang atau sekelompok orang. Karena sifat asuransi
komersial yang memenuhi demand, maka perusahaan asuransi akan bereaksi cepat
terhadap perubahan demand atau terhadap demand dari sekelompok orang. Oleh
karenanya asuransi kesehatan komersial akan lebih sesuai dengan permintaan
kelompok tertentu yang khususnya ingin mendapatkan pelayanan yang nyaman dan
bergengsi. Asuransi kesehatan komersial juga dapat memberikan pelayanan khusus
kepada suatu kelompok, misalnya perusahaan besar, dengan membuat paket khusus
(tailor made) yang sesuai dengan permintaan pembeli.
2. Merangsang pertumbuhan perdagangan/ ekonomi. Besarnya keuntungan yang dapat
dijanjikan oleh asuransi kesehatan dapat merangsang investor terjun menanam
modalnya di sektor ini. Meskipun jika dibandingkan dengan asuransi jiwa mungkin

Introduksi Asuransi Kesehatan

26

H.Thabrany

asuransi kesehatan relatif kurang menguntungkan, tetapi penjualan asuransi kesehatan


oleh perusahaan asuransi jiwa akan menambah efisiensi perusahaan. Dana yang
terkumpul dari premi asuransi kesehatan juga dapat ditanam dalam berbagai
portofolio investasi sehingga dapat juga menyumbang pada pertumbuhan ekonomi.
3. Kepuasan peserta relatif lebih tinggi. Karena asuransi komersial sangat fleksibel
dalam menyusun paket jaminan dan banyaknya pelaku menimbulkan persaingan,
maka asuransi komersial dapat memenuhi selera pesertanya/ pemegang polisnya
dengan cepat. Karenanya, dibandingkan dengan asuransi sosial, kepuasan peserta
pada umumnya lebih tinggi pada asuransi komersial. Namun demikian harus disadari
bahwa kepuasan yang lebih tinggi tersebut harus dibayar dengan premi yang lebih
mahal.
4. Produk akan sangat beragam sehingga memberikan pilihan bagi konsumen. Dalam
asuransi kesehatan komersial, setiap perusahaan atau bapel akan merancang produk
yang diharapkan dapat memenuhi permintaan calon konsumennya (prospeknya).
Bahkan setiap perusahan dapat menawarkan banyak produk. Akibatnya akan banyak
sekali tersedia produk yang dapat dipilih oleh prospek sesuai persepsi kebutuhannya
dan sesuai juga dengan kemampuan keuangannya.

Kelemahan
1. Pool relatif kecil. Bagaimanapun hebatnya perusahan asuransi komersial, pool jumlah
peserta tidak akan mampu menyamai pool asuransi sosial. Bahkan karena sifatnya
yang komersial atau usaha dagang maka usaha asuransi komersial terkena undangundang antimonopoli sehingga pelakunya akan banyak. Dengan pelaku yang banyak,
maka kepesertaan penduduk akan tersebar di berbagai perusahaan asuransi yang
menyebabkan skala ekonomi bisa tidak tercapai.
2. Produk sangat beragam dan manajemen kompleks. Beragamnya produk asuransi
kesehatan, yang secara teoritis dapat mencapai jutaan jenis, selain memberikan
pilihan bagi konsumen juga menuntut manajemen yang kompleks. Administrasi
kepesertaan harus dibuat berdasarkan basis data perorangan. Apalagi jika tiap
tertanggung dikenakan biaya awal (deductible), coinsurance, dan batas maksimum
yang berbeda-beda. Maka untuk mengelolanya diperlukan kecermatan tersendiri yang
lebih kompleks dari manajemen nasabah bank.
3. Menyediakan Equity liberter. Bagi masyarakat yang tidak suka memberikan bantuan
kepada pihak yang lebih lemah atau kepada pihak lain, maka asuransi komersial
menyediakan fasilitas bagi mereka. Premi yang dibayar asuransi kesehatan komersial
disesuaikan dengan risiko kelompok dimana seseorang berada (bukan risiko tiap
orang). Disinilah terjadi you get what you pay for. Peserta yang membeli paket
platinum dapat pelayanan yang spesial yang sesuai dengan paketnya. Sementara yang
membeli paket standar harus puas dengan pelayanan yang sesuai dengan harga premi
yang dibayarnya.

Introduksi Asuransi Kesehatan

27

H.Thabrany

4. Biaya administrasi tinggi. Karena kompleksnya produk asuransi komersial, maka


biaya administrasi (loading) menjadi relatif jauh lebih besar dibandingkan dengan
sistem asuransi sosial. Perusahaan asuransi komersial harus menyewa aktuaris,
melakukan riset pasar, melakukan perbagai upaya pemasaran dan penjualan, dan
harus membayar dividen atas laba yang ditargetkan pemegang saham. Seluruh biayabiaya tersebut pada akhirnya harus dibayar oleh pemegang polis/peserta.
5. Tidak mungkin mencapai cakupan universal. Seperti telah dijelaskan diatas,
penduduk/kelompok kecil yang meskipun memilik demand akan tetapi tidak memiliki
uang, tidak akan membeli asuransi. Akibatnya tidak mungkin seluruh penduduk
tercakup asuransi kesehatan. Maka di banyak negara asuransi kesehatan komersial
hanya bisa dijual sebagai produk suplemen atau asuransi tambahan terhadap asuransi
sosial kepada mereka yang ingin mendapat pelayanan yang lebih memuaskan.
6. Secara makro tidak efisien. Dominasi asuransi kesehatan komersial, bukan sebagai
produk suplemen, akan menyebabkan pada akhirnya biaya kesehatan tidak terkendali,
meskipun mayoritas produk yang dijual dalam bentuk managed care (bentuk JPKM
sekarang). Hal ini disebabkan oleh: pertama, tingginya biaya administrasi. Kedua,
tidak mungkinnya penduduk miskin membeli asuransi kesehatan yang mengakibatkan
pemerintah tetap harus mengeluarkan anggaran khusus untuk penduduk miskin.
Ketiga, berbagai pelayanan yang secara medis tidak esensial tetapi penting untuk
menarik konsumen untuk membeli dimasukan dalam paket.

1.7. Asuransi Sosial Kesehatan di Berbagai Negara dan


Berbagai Indikator Makro Kesehatan
Seperti telah disampaikan diatas, negara-negara yang lebih konsisten mencari
cakupan universal dan efisiensi makro (biaya kesehatan nasional yang rendah) tidak
menggantungkan sistemnya pada asuransi kesehatan swasta, baik dalam bentuk tradisionalindemnitas maupun dalam bentuk managed care (HMO, PPO, maupun POS). Tentu saja
argumen teoritis yang dikemukan diatas tidak cukup meyakinkan tanpa adanya data empirik.
Data empirik yang menyajikan cakupan universal dan efisiensi makro saja, juga tidak cukup
meyakinkan manfaat asuransi sosial kesehatan (ASK). Oleh karena itu kita harus juga
melihat indikator outcome (keluaran) secara makro. Tujuan cakupan universal dan efisiensi
saja tidak memadai jika pelayanan yang diberikan tidak cukup berkualitas. Untuk
menentukan pelayanan yang berkualitas, antara lain, kita bisa melihatnya dari keluaran yaitu
status kesehatan. pengukuran status kesehatan yang lazim digunakan adalah angka kematian
bayi dan umur harapan hidup. Memang kedua indikator ini tidak hanya dipengaruhi oleh
sistem kesehatan, akan tetapi berbagai analisis menunjukkan bahwa sistem tersebut
mempunyai korelasi yang kuat terhadap keluaran status kesehatan. Dalam Tabel-1 disajikan
perbandingan data empirik yang di olah dari karya Anderson dan Paullier, 19998.

Introduksi Asuransi Kesehatan

28

H.Thabrany

Tabel 1
Perbandingan model asuransi, cakupan, biaya dan status kesehatan di berbagai negara maju.
Askes
domi-nan

Negara
Amerika
Australia
Austria
Belanda
Belgia
Ceko
Denmark
Finlandia
Inggris
Islandia
Itali
Jepang
Jerman
Kanada
Korea
Luksemberg
Norwegia
Perancis
Portugal
Selandia Baru
Spanyol
Turki
Yunani

Komers
Sosial
Sosial
Sosial
Sosial
Sosial
Sosial
Sosial
Negara,
NHS
Sosial
Sosial
Sosial
Sosial
Nasio-nal
Sosial
Sosial
Sosial
Sosial
Sosial
Nasio-nal
Sosial
Sosial
Sosial

% penddk
dijamin
ASK
33,3
100
99
72
99
100
100
100
100

Biaya RI per
hari (US$),
1996
1.128
242
109
225
263
75
632
168
320

Biaya Kes per


kapita (US$),
1997
3.925
1.805
1.793
1.838
1.747
904
1.848
1.447
1.347

100
100
100
92,2
100
100
100
100
99,5
100
100
99,8
66
100

192
339
83
228
489
110
180
123
284
249
254
343
73
144

2.005
1.589
1.741
2.339
2.095
587
2.340
1.814
2.051
1.125
1.352
1.168
260
974

IMR,
1996
7,8
5,8
5,1
5,2
6,0
6,0
5,2
4,0
6,1
5,5
5,8
3,8
5,0
6,0
9,0
4,9
4,0
4,9
6,9
7,4
5,0
42,2
7,3

LE, wnt/pria,
1996
79,4/72,7
81,1/75,2
80,2/73,9
80,4/74,7
81,0/74,3
77,2/70,5
78,0/72,8
80,5/73,0
79,3/74,4
80,6/76,2
81,3/74,9
83,6/77,0
79,9/73,6
81,5/75,4
77,4/69,5
80,0/73,0
81,1/75,4
82,0/74,1
78,5/71,2
79,8/74,3
81,6/74,4
70,5/65,9
80,4/75,1

Catatan: RI= rawat inap, IMR=infant mortality rate, LE=life expectancy.

Dari tabel tersebut dapat kita lihat bahwa Amerika yang merupakan satu-satunya
negara maju yang menggantungkan sistem asuransinya pada asuransi komersial mempunyai
kinerja keuangan yang sangat mahal, hampir dua kali biaya termahal di negara lain, dan lebih
dari dua kali dari biaya kesehatan di Jepang dan Jerman yang sama-sama memiliki banyak
badan penyelenggara asuransi kesehatan. Bahkan biaya rawat inap perhari di Amerika
mencapai 5-10 kali lebih mahal dibandingkan negara-negara maju lainnya yang memiliki
pendapatan per kapita yang tidak jauh berbeda. Jika dilihat cakupan asuransinya, Amerika
masih memiliki 17% penduduk (43 juta jiwa) yang tidak mempunyai jaminan (uninsured).
Sementara indikator makro kesehatan, IMR dan LE, tidak menunjukan status yang lebih baik
dari banyak negara atau dari tetangganya Kanada.
Data diatas menunjukkan angka-angka cross sectional yang dapat menunjukkan bias
waktu. Apakah tingginya biaya kesehatan di Amerika konsisten dari waktu ke waktu?
Berbagai literatur ekonomi kesehatan menunjukkan konsistensi tersebut. Tentu saja, kita
tidak bisa membandingkan angka-angka nilai nominal dolar tersebut dengan keadaan di
Indonesia. Negara yang kaya memang akan mengeluarkan biaya besar karena memang biaya
hidup tinggi. Suatu ukuran yang dapat memantau beban finansial adalah besarnya biaya
kesehatan dibandingkan dengan produk domestik bruto (PDB). Perkembangan persentase
biaya kesehatan terhadap PDB di enam negara OECD, 1970-1997 telah dilakukan oleh
Ikegami dan Campbell (1999)9. Hasil penelitian tersebut disajikan pada Gambar-2.

Introduksi Asuransi Kesehatan

29

H.Thabrany

Penelitian kedua orang tersebut menunjukkan bahwa Amerika secara konsisten


menghabiskan biaya kesehatan sebagai prosentasi terhadap PDB yang terus meningkat tak
terkendali. Dibandingkan dengan Jepang dan Inggris yang memiliki sistem pembiayaan dan
penyediaan kesehatan yang terkendali (bukan managed care) ternyata Amerika
menghabiskan jauh lebih besar, baik dalam nilai nominal dolar maupun dalam prosentase
terhadap PDB. Dari enam negara yang dibandingkan, hanya Amerikalah yang
menggantungkan pembiayaan kesehatan yang dominan kepada mekanisme pasar asuransi
kesehatan komersial/ swasta, termasuk berbagai bentuk managed care seperti HMO, PPO,
dan POS.
Gambar-2
Perkembangan Biaya Kesehatan (% PDB) di Enam Negara Maju, 1970-1997

16

Amerika
Kanada
Jepang

14

Jerman
Perancis
Inggris

12
10
8
6
4
2
0
1970

1975

1980

1985

1990

1997

Disusun dari data Health Affairs

1.8. Pemberian Benefit


Dari segi pemberian atau pembayaran manfaat kita dapat membagi jaminan asuransi
menjadi dua bagian besar, yaitu pembayaran manfaat dalam bentuk uang atau penggantian
uang dan pemberian jaminan berbentuk pelayanan. Dalam asuransi kesehatan, pembayaran
dalam bentuk uang dikenal dengan nama asuransi kesehatan tradisional yang dapat
memberikan penggantian uang lump sum, sejumlah tertentu (indemnitas) atau sesuai dengan
tagihan (reimbursement). Sedangkan manfaat yang diberikan dalam bentuk pelayanan kini
dikenal dengan istilah populer di Amerika sebagai managed care (pelayanan terkendali).
Pemberian jaminan dalam bentuk uang ataupun pelayanan dapat diberikan baik oleh asuransi
kesehatan sosial maupun asuransi kesehatan komersial.

Introduksi Asuransi Kesehatan

30

H.Thabrany

1.8.1. Jaminan Uang


Tradisi asuransi, termasuk asuransi kesehatan, adalah memberikan penggantian uang.
Undang-undang No.2/92 tentang Asuransi di Indonesia juga mempunyai definisi yang sama.
Dalam asuransi kesehatan di masa lalu, dimana provider belum cukup banyak dan moral
hazard belum meluas, jaminan uang berjalan cukup baik. Dalam praktek, pemberian jaminan
uang sering bermasalah karena mudahnya moral hazard terjadi dan kesulitan teknis
menentukan kebutuhan yang pas. Asuransi mobil di Indonesia juga seringkali memberikan
jaminan dalam bentuk pelayanan jika mobil yang diasuransikan rusak karena kecelakaan.
Perusahaan asuransi biasanya mengirim mobil yang rusak ke bengkel tertentu. Prinsip yang
sama digunakan dalam pelayanan kesehatan, dimana pasien harus mendapat pengobatan atau
perawatan di provider tertentu di rumah sakit atau klinik. Bukan hanya bapel JPKM yang
melakukan hal itu, perusahaan asuransi juga melakukan hal yang sama. Dalam asuransi
kesehatan pemberian jaminan berupa uang harus dikelola lebih rumit karena kebutuhan tidak
selalu pas dengan uang jaminan sementara kebutuhan pelayanan medis tidak dapat ditunda.
Akibatnya permainan kuitansi atau pelayanan mudah disesuaikan yang pada akhirnya
meningkatkan premi. Penggantian dengan kwitansi mengundang moral hazard yang lebih
tinggi lagi.
Pemberian jaminan dalam bentuk uang dalam asuransi kesehatan mempunyai
berbagai kelebihan dan kekurangan seperti:
1. Tidak perlu ada kontrak atau kerja sama dengan Pemberi Pelayanan Kesehatan
(fasilitas kesehatan, provider). Pada asuransi indemnitas dimana peserta dapat
mengajukan klaim berdasarkan kwitansi biaya berobat di rumah sakit tidak
diperlukan kontrak khusus antara perusahaan asuransi dengan provider. Pada
umumnya produk indemnitas di Indonesia hanya menanggung biaya rumah sakit.
2. Pilihan fasilitas kesehatan luas. Akibat tidak adanya kontrak dengan fasilitas
kesehatan, maka peserta atau tertanggung mempunyai kebebasan memilih fasilitas
kesehatan dimana ia akan mendapatkan pengobatan. Pilihan yang luas ini sangat
disukai orang-orang yang menghendaki pelayanan yang sesuai dengan seleranya.
Pada umumnya golongan ekonomi atas, apalagi yang mobilitasnya tinggi, sangat
menyukai asuransi model ini. Pilihan bebas ini dapat diberikan oleh usaha asuransi
komersial maupun asuransi sosial pada asuransi kecelakaan kerja (workers
compensation, occupational injury, dll).
3. Pembayaran fasilitas kesehatan FFS. Karena jaminan diberikan dalam bentuk uang
jumlah tertentu atau reimbursement dan tanpa ada kontrak, maka pembayaran fasilitas
kesehatan dilakukan sesuai dengan jasa yang diberikan (fee for service). Cara
pembayaran ini sangat disukai oleh fasilitas kesehatan karena fasilitas kesehatan tidak
perlu menanggung risiko finansial.
4. Kepuasan peserta lebih tinggi. Kepuasan peserta tinggi karena mereka tidak harus
mendapatkan pelayanan dari fasilitas kesehatan yang belum mereka kenal. Apabila
mereka mendapatkan fasilitas kesehatan yang kurang baik pelayanannya, peserta
tidak bisa menyalahkan kepada asuradur.

Introduksi Asuransi Kesehatan

31

H.Thabrany

Ilustrasi asuransi kesehatan komersial dan sosial


Contoh asuransi kesehatan sosial.
Pegawai negeri golongan IA bergaji Rp 500.000 per bulan dan membayar premi sebesar 2%
dari gajinya atau Rp (2/100) x Rp 500.000 = Rp 5.000,- sebulan untuk satu keluarganya, satu
istri dan dua anak. Jadi premi perbulan per orang menjadi hanya sebesar Rp 1.250. Jika salah
seorang anggota keluarganya harus dirawat inap atau harus menjalani cuci darah, maka Askes
menjaminnya (dengan tambahan iur biaya saat ini).
Pegawai negeri lain bergolongan IV C dengan gaji sebesar Rp 1.500.000 per bulan. Pegawai
ini membayar premi 2% atau (2/100) x Rp 1.500.000,- atau = Rp 30.000 per keluarga per
bulan. Karena anaknya sudah besar ia hanya menanggung istrinya. Jika salah seorang dari
keduanya harus rawat inap atau harus hemodialisa, maka Akses menanggung pelayanan
hemodialisa (saat ini dengan iur biaya) yang sama besarnya seperti pegawai golongan IA tadi.
Contoh diatas menunjukkan adanya subsidi silang antara yang lebih kaya kepada yang lebih
miskin atau dari golongan IVC kepada golongan IA.

Contoh Asuransi Komersial (contoh ini adalah produk yang dijual di Jakarta dan Jawa Barat
tanpa menyebutkan nama perusahaannya).
Sebuah perusahaan asuransi menjual paket standar perawatan kelas III dengan premi Rp
12.500 per orang per bulan dan TIDAK menanggung hemodialisa. Seorang pegawai atau
pedagang bergaji Rp 500.000 dan memiliki dua anak tidak akan mampu membeli paket ini
karena ia harus membayar 4 x Rp 12.500 = Rp 60.000 per bulan. Ini sama dengan 12%
penghasilannya sebulan. Kalau anggota keluarga ini perlu rawat inap atau hemodialisa, maka
ia harus bayar sendiri. Jika ia tidak memiliki uang, maka ya mungkin nyawa mengancam
jiwanya karena tidak ada yang menanggung.
Seorang pengusaha kecil berpenghasilan Rp 5.000.000 sebulan merasa perlu memilki asuransi
dan membeli paket standar diatas. Dia memiliki dua anak dan satu istri juga, maka dia mampu
membayar Rp 60.000,- yang merupakan 1,2% dari penghasilannya. Akan tetapi karena
paketnya tidak menanggung hemodialisa, maka jika anggota keluarganya memerlukan
hemodialisa, perusahaan asuransi tidak menanggungnya. Ia tetap masih harus membayar
seluruh biaya cuci darah yang mungkin menghabiskan seluruh penghasilannya setiap bulan.
Jadi perlindungannya tidak memadai.
Sebuah bapel JPKM menjual produknya dengan premi sebesar Rp 15.000 per bulan dengan
paket santunan rawat inap maksimum Rp 500.000 dan tidak menanggung hemodialisa.
Seorang penduduk dengan penghasilan sebesar Rp 500.000 dan mempunyai satu istri dan dua
anak, harus membayar 12% penghasilannya (Rp 60.000) sebulan. Jikapun ia memaksakan
membeli JPKM, jika ia perlu rawat inap berbiaya Rp 3.000.000,- maka bapel tersebut hanya
membayar Rp 500.000,- saja. Keluarga ini tidak akan sanggup membayar sisa biaya
perawatan yang lima kali lebih besar dari penghasilannya. Kalau keluarganya perlu
hemodialisa sudah pasti keluarga tersebut akan bangkrut atau keluarganya terpaksa direlakan
kembali ke pangkuan Ilahi.

Introduksi Asuransi Kesehatan

32

H.Thabrany

5. Kepuasan fasilitas kesehatan lebih tinggi. Pembayaran jasa per pelayanan dan pilihan
bebas fasilitas kesehatan memberikan kepuasan tinggi kepada fasilitas kesehatan
tidak ada risiko finansial. Provider yang mampu memberikan pelayanan baik dan
memuaskan akan mendapat lebih banyak pasien.
6. Fraud atau kecurangan dan abuse atau pemakaian berlebihan sangat tinggi. Baik
peserta maupun fasilitas kesehatan tidak memiliki insentif untuk menggunakan
pelayanan lebih sedikit akan tetapi justeru sebaliknya. Peserta dapat merasa bahwa
pelayanan kesehatan dapat mereka terima dengan tidak perlu membayar.
7. Pengendalian mutu dan utilisasi kepada fasilitas kesehatan tidak relevan
Di Indonesia asuransi yang memberikan jaminan dalam bentuk uang diberikan oleh
perusahaan asuransi, baik yang langsung atau melalui kartu kredit. Mereka menawarkan
asuransi biaya perawatan dan pembedahan kepada pemegang kartu kredit, selain kepada
kumpulan seperti perusahaan. Asuransi kecelakaan Jasa raharja dan Jaminan Kecelakaan
Kerja Jamsostek juga memberikan jaminan dalam bentuk penggantian uang atau sejumlah
uang tertentu. Sebagian program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan (JPK) Jamsostek maupun
JPK bagi pegawai negeri juga dapat memberikan penggantian uang, khususnya untuk
pelayanan yang bersifat gawat darurat.

1.8.2. Jaminan Pelayanan


1. Perlu kerja sama/kontrak dengan fasilitas kesehatan. Untuk bisa memberikan jaminan
dalam bentuk pelayanan, maka diperlukan sebuah ikatan kerja sama atau kontrak
dengan fasilitas kesehatan. Tentu saja tidak semua fasilitas kesehatan dapat dikontrak.
Untuk itu ada proses kredensialing.
2. Mengurangi moral hazard dari sisi peserta/pemegang polis. Pemberian jaminan
melalui fasilitas kesehatan yang dikontrak mempunyai dua keuntungan. Pertama,
peserta digiring pada pelayanan yang biayanya/tarifnya sudah disepakati atau
diketahui sehingga lebih mudah memperkirakan biayanya. Kedua, apabila kontrak
dengan fasilitas kesehatan disertai berbagai upaya kendali biaya dan moral hazard,
misalnya dengan pengunaan formularium yang disepakati, maka jaminan pelayanan
dapat mengurangi biaya. Kontrak dengan fasilitas kesehatan, harus disadari, tidak
menjamin menghilangkan moral hazard dari sisi fasilitas kesehatan itu sendiri.
3. Pembayaran fasilitas kesehatan dapat bervariasi. Dengan melakukan kontrak dengan
fasilitas kesehatan, maka terbuka kemungkinan berbagai cara pembayaran kepada
fasilitas kesehatan. Cara pembayaran dapat dilakukan per jasa pelayanan yang disukai
fasilitas kesehatan baik dengan rabat tertentu atau tanpa rabat. Cara pembayaran lain
adalah dengan tarif paket tertentu baik itu per hari rawat, per tindakan, per diagnosis
(di Indonesia belum berkembang), maupun dengan pembayaran tanggung risiko yang
disebut kapitasi.

Introduksi Asuransi Kesehatan

33

H.Thabrany

4. Pilihan fasilitas kesehatan terbatas. Membuat kontrak dengan fasilitas kesehatan tentu
tidak bisa dilakukan terhadap semua fasilitas kesehatan yang ada di suatu kota
tertentu. Akibatnya adalah pilihan fasilitas kesehatan tidak bisa seluas pada
pemberian jaminan dalam bentuk uang atau penggantian biaya. Tertanggung harus
memilih pelayanan pada jaringan fasilitas kesehatan tertentu, paling tidak harus ada
insentif agar tertanggung mau menggunakan jaringan fasilitas kesehatan yang
dikontrak. Jika tidak ada insentif finansial, maka sistem kontrak pelayanan tidak akan
berfungsi.
5. Kepuasan peserta menjadi kurang. Kontrak fasilitas kesehatan yang mengakibatkan
pilihan fasilitas kesehatan semakin terbatas mempunyai potensi keluhan dan ketidakpuasan peserta. Apabila ada sedikit saja pelayanan yang peserta kurang berkenan,
maka peserta akan mengeluh atau bahkan mengadukan hal tersebut.
6. Perlu kendali mutu. Karena kontrak fasilitas kesehatan memberikan pilihan fasilitas
kesehatan terbatas, maka calon peserta harus diyakinkan bahwa fasilitas kesehatan
yang dikontrak mempunyai standar mutu tertentu. Hal ini menimbulkan keharusan
asuradur melakukan berbagai upaya kendali mutu. Kendali mutu melalui fasilitas
kesehatan ini amat berguna untuk keperluan pemasaran atau kepuasan peserta, atau
memantau tanggung jawab pihak yang dikontrak terhadap berbagai standar. Kendali
mutu ini berlaku untuk semua asuradur yang melakukan kontrak pelayanan. Jadi
kendali mutu bukanlah monopoli organisasi managed care/bentuk JPKM.
7. Pada pembayaran tertentu, misalnya kapitasi, perlu ada telaah utilisasi (utilization
review). Apabila pembayaran fasilitas kesehatan dilakukan dengan sistem yang
berdasarkan risiko seperti kapitasi, maka terdapat potensi dimana fasilitas kesehatan
mengorbankan mutu pelayanan atau mengurangi jumlah pelayanan yang seharusnya
diterima oleh tertanggung. Oleh karenanya, cara pembayaran kapitasi secara intrinsik
mengharuskan adanya telaah utilisasi.

1.9. Ringkasan
Setelah berbagai model asuransi kesehatan dibahas diatas, maka di bawah ini
disajikan ringkasan berbagai aspek yang dapat dihasilkan dari jenis asuransi kesehatan
tersebut dan contoh-contoh yang ada di Indonesia dan di dunia.

Introduksi Asuransi Kesehatan

34

H.Thabrany

Berbagai aspek yang dapat dihasilkan atau difasilitasi oleh asuransi kesehatan sosial
dan komersial
Asuransi
Aspek
Sifat gotong royong antar
golongan
Seleksi bias

Premi

Paket
Keadilan/ equity
Pilihan bapel/asuradur
Pilihan provider

Kemampuan pengendalian biaya


Kompetisi bapel/asuradur
Response pelayanan medis
Badan penyelenggara
Pembayaran fasilitas kesehatan

Sosial (Wajib)

Komersial (Sukarela)

Tua-muda
Kaya-miskin
Sehat-sakit
Tidak ada

Sehat-sakit

Not risk-related
Biasanya proporsional (%)
terhadap upah
Sama untuk seluruh peserta
Egaliter, sosial
Biasanya tidak ada atau kecil
Umumnya sangat luas
Pada penerapan teknik managed
care, pilihan jadi terbatas
Sangat tinggi
Umumnya kecil/rendah
Pemenuhan kebutuhan medis
(medical needs)
Pemerintah atau quasi pemerintah
Bersifat nirlaba
Bervariasi dari kapitasi sampai
fee for service

Adverse atau favorable,


tergantung keahlian
bapel/asuradur
Risk-related
Biasanya dalam jumlah harga
tertentu
Bervariasi sesuai pilihan peserta
Liberter, individual
Luas
Pada model tradisional, umumnya
sangat luas
Pada model managed care,
pilihan terbatas
Sangat rendah
Umumnya tinggi
Pemenuhan permintaan medis
(demand)
Bebas (pemerintah atau swasta)
Bersifat pencari laba/nirlaba
Bervariasi dari kapitasi sampai
fee for service

Contoh badan asuransi/asuradur dan pemberian manfaat asuransi


Asuransi
Manfaat
Uang (indemnitas/
reimbursement)

Pelayanan
/managed care

Asuransi Sosial (wajib)


Jasa Raharja, JKK
Jamsostek, Medicare di AS

Askes wajib, JPK Jamsostek,


AKN Kanada, AKN Taiwan,
AKN Filipina, AKN Korea,
AKN Muangtai, dan askes
semua negara maju lainnya
di dunia

Asuransi Komersial
(sukarela)
Produk Lippo, Metlife, ING,
Aetna, Jiwasraya, Bringin,
Kartu kredit, dll.
Askes tradisional di AS
Yang dijual oleh PT Askes,
PT Allianz managed care,
dan bapel JPKM
Di Amerika: Blue Cross/Blue
Shield, HMO, PPO, POS
(managed care
organizations)

AKN= Asuransi Kesehatan Nasional

Introduksi Asuransi Kesehatan

35

H.Thabrany

Matriks Pembiayaan dan Penyediaan (delivery) pelayanan kesehatan yang


dilaksanakan berbagai negara di dunia

Penyediaan
Publik
Swasta

Pembiayaan
Publik
Swasta
Inggris
Indonesia dan negara
berkembang lainnya
Kanada, Jerman, Jepang
Amerika
dan Taiwan

Jepang dan Jerman menyerahkan sebagian besar pembiayaan dan penyediaan kepada
sektor swasta, akan tetapi bersifat sosial (nirlaba) yang diatur oleh pemerintah,
sementara Amerika menyerahkan kepada mekanisme pasar (for profit dan not for profit).
Yang dimaksud dengan pembiayaan publik adalah pembiayaan dari dana pemerintah
atau asuransi sosial/jaminan sosial

Istilah Penting
Negara Kesejahteraan
Jaminan sosial
Asuransi sosial
Public insurance
Bantuan sosial
Means test
Asuransi komersial
Private insurance
Asuradur
Risk based premium
Non-risk related premium
Income based premium
Kebutuhan dasar layar (decent basic needs)
Kebutuhan dasar kesehatan
Nirlaba/not for profit
Pencari laba/For profit
Dividen
Badan hukum
Dana Amanat/Trust Fund
Wali amanat
Board of Trustees/Majlis Wali Amanat
Pengelolaan profesional
Insurance/Asuransi
Risiko
Telaah utilisasi/utilization review
Uncertainty

Introduksi Asuransi Kesehatan

36

H.Thabrany

Risk avoidance
Risk reduction
Risk transfer
Risk asumption
Risk taker
Risk averter
Measurable
Quantifiable
Populasi homogen
Accidental
Pure risk
Catastrophic
Risk sharing
Adverse selection/anti selection
Bias selection
Favorable selection
Insured/tertanggung
Benefit/manfaat
Premi/iuran/kontribusi
Sukarela/voluntary
Wajib/mandatory/compulsory
Policy holder/pemegang polis
Anggota/member
Managed care
Kondisional
Unilateral
Aleatory
Adhesi
JPKM
Gakin
JPSBK
Deklarasi PBB 1948
Eksternalitas
Social justice
Social equity
Medicare
Market failure
Equity egaliter
Equity liberter
Pasal 28H UUD 45 amendemen
Earmarked tax
PT Persero
SHU, sisa hasil usaha
PPh21
PPh badan
Usaha bersama/mutual

Introduksi Asuransi Kesehatan

37

H.Thabrany

Risk pool
Portofolio
Biaya administrasi
fasilitas kesehatan/provider
Jasa per pelayanan/fee for services
Organisasi Kesehatan Dunia/WHO
Medisup/Medigap
Demand
Need
You get what you need
You get what you pay for
Pre existing conditions
Non cancellable
Profitable
Contigency
Profit margin
Loading
Fairness in health care financing
Fundamental human right
Tailor made
Antimonopoli
Deductible
Coinsurance
Reimbursement
Indemnitas
Moral hazard
Workers compensation
Occupational injury
Fraud
Kredensialing

Rujukan
1

Thabrany, Hasbullah. Asuransi Kesehatan di Indonesia. Pusat Kajian Ekonomi


Kesehatan FKMUI, Depok 2001.

2
3

WHO. World Health Report 2000. Geneva, 2001


Health Insurance Association of America (HIAA). Source Book of Health Insurance Data.
HIAA, Wahington D.C., 1999.

Depkes RI. Pembinaan Bapel JPKM: Kumpulan Materi. Depkes RI, Jakarta, 1995.

Thabrany, H. Introduksi Asuransi Kesehatan. Yayasan Penerbit Ikatan Dokter


Indonesia, Jakarta, 1999.

Depkes Taiwan. Public Health in Taiwan, ROC. Taipei, 1997

Introduksi Asuransi Kesehatan

38

H.Thabrany

Shalala, DE dan Reinhardt UE. Interview: Viewing the US Health Care System from
Within: Candid Talk from HHS. Health Affairs 18(3): 47-55, 1999

Anderson, GF. And Paullier, JP. Health Spending, Access, and Outcomes: Trends in
Industrialized Countries. Health Affairs, 18(3):178-192

Ikegami, N dan Campbell, JC. Health Care Reform in Japan: The Virtue of Muddling
Trhough. Health Affairs 18(3):56-75.

Introduksi Asuransi Kesehatan

39

H.Thabrany

BAB 2
Asuransi Kesehatan Pegawai Negeri Sipil

2.1. Pendahuluan
Penyelenggaraan asuransi kesehatan bagi pegawai negeri sipil (PNS) dan keluarganya
saat ini didasarkan atas Peraturan Pemerintah (PP) No 69/91 yang ditanda-tangani Presiden
Suharto pada tanggal 23 Desember 1991. Dalam PP tersebut istilah yang digunakan adalah
jaminan pemeliharaan kesehatan, tidak disebutkan asuransi kesehatan. Kata asuransi
kesehatan dapat ditemui pada PP No 2/92 tentang penunjukkan PT Asuransi Kesehatan
Indonesia disingkat PT Askes sebagai badan penyelenggara program pemeliharaan kesehatan
PNS. Istilah asuransi kesehatan yang disingkat askes digunakan karena istilah tersebut sudah
sangat populer di kalangan peserta pegawai negeri pada waktu badan penyelenggara bernama
Perum Husada Bhakti yang diatur oleh PP 22/1984 tentang Pemeliharaan Kesehatan Pegawai
Negeri Sipil dan Penerima Pensiun beserta anggota keluarganya.
Asuransi kesehatan pegawai negeri sipil merupakan suatu asuransi sosial yang diikuti
oleh seluruh pegawai negeri dan pensiun pegawai negeri dan merupakan program asuransi
kesehatan tertua di Indonesia. Asuransi sosial lain yang diikuti oleh seluruh peserta adalah
asuransi kecelakaan lalu lintas yang dikelola oleh PT Jasa Raharja. Namun demikian,
asuransi kecelakaan tersebut juga memberikan pertanggungan kematian. Asuransi kesehatan
pegawai negeri, yang selanjutnya disebut askes, juga merupakan satu-satunya asuransi
kesehatan yang mempunyai jumlah kepesertaan mencapai 13,8 juta jiwa. Dalam usianya
yang lebih tua dari usia negeri ini, jika diperhitungkan masa pemberian jaminan bagi pegawai
negeri di jaman penjajahan, telah banyak mengalami perubahan struktural.
Meskipun dalam praktek PT Asuransi Kesehatan Indonesia menawarkan produkproduk asuransi kesehatan komersial yang berbentuk JPKM, dalam Bab ini hanya akan
dibahas porsi asuransi kesehatan sosial (wajib). Porsi asuransi kesehatan komersial yang
dijual PT Askes akan dibahas pada Bab 4 tentang JPKM karena kesamaan sifat produk yang
dijual PT Askes dengan JPKM. Sistem asuransi kesehatan wajib ini juga menggunakan
teknik-teknik managed care seperti yang digunakan oleh JPKM. Perbedaannya dengan
JPKM adalah bahwa askes PNS ini bersifat wajib atau merupakan bentuk asuransi sosial
sehingga lebih tepat disebut Asuransi Sosial Kesehatan Terkendali (managed social health
insurance).

2.2. Sejarah
Di jaman penjajah Belanda, pegawai negeri yang berkebangsaan Eropa mendapat
jaminan kesehatan yang diatur oleh peraturan pemerintah Belanda (Staatsregeling No1/34).

Askes PNS

40

H. Thabrany

Empat tahun kemudian jaminan ini diperluas kepada pegawai pemerintah pribumi karena
protes dari pegawai pribumi. Namun demikian terdapat perbedaan jaminan dimana bangsa
Eropa dan kelas atas pribumi dapat menggunakan fasilitas kesehatan swasta sedangkan
pegawai kelas menengah dan bawah hanya dapat menggunakan fasilitas pemerintah. Sistem
jaminan yang diberikan adalah sistem penggantian atau reimbursement atas biaya pelayanan
kesehatan dengan menunjukkan bukti kwitansi. Pengelola jaminan ini adalah Departemen
Kesehatan beserta kantor kesehatan, inspektur kesehatan, di propinsi.
Pada periode awal kemerdekaan yaitu di tahun 1948 sistem penggantian biaya
berobat ini diteruskan dengan tetap mempertahankan dua sistem pegawai tinggi dan rendah,
hanya saja batasannya adalah gaji bulanan 420g. Selain itu pada jaman awal kemerdekaan ini
pegawai dikenakan kontribusi 3% dari biaya yang diajukan sedangkan sisanya mendapat
penggantian dari Depkes, melalui Ikes. Di tahun 1949 setelah uang Indonesia sudah
digunakan, batas gaji diubah menjadi Rp 850 sebulan. Pengelolaan dana untuk penggantian
biaya berobat PNS ini dilakukan oleh Dinas Restitusi Dirjen Bina Waluya. Pegawai yang
sudah memasuki pensiun tidak mendapatkan penggantian biaya berobat. Dapat dibayangkan
bahwa dengan cara penggantian yang didasarkan atas jasa per pelayanan, maka banyak
terjadi penyalah-gunaan dan mendorong timbulnya moral hazard.
Pada tahun 1960 Menteri Kesehatan waktu itu mengeluarkan instruksi untuk
mengembangkan jaminan kesehatan ini kepada pensiunan dan pegawai pemerintah dengan
nama Jakarta Pilot Project yang memang dimulai di Jakarta. Sistem penggantian biaya
diganti dengan sistem pembayaran langsung kepada PPK dan tidak lagi ada perbedaan antara
yang golongan gaji tinggi dengan golongan gaji rendah. Jaminanpun terbatas pada jaminan
rawat inap dan obat-obatan. Sistem pembayaran masih tetap menggunakan per pelayanan.
Birokrasi pemerintah menyebabkan sistem ini juga tidak efisien. Proyek ini berhasil
memperluas cakupan namun demikian biaya yang harus ditanggung pemerintah terus
membengkak. Padahal sistem ini tidak membayar jasa dokter. Karena jasa dokter tidak
dibayar inilah akhirnya sistem ini tidak juga memberikan keadilan yang merata, karena
pegawai yang miskin tidak mendapatkan pelayanan yang sama dengan pegawai yang kaya
yang mampu membayar dokter. Pilot ini menyebabkan pemerintah defisit sebesar Rp 600
juta pada saat itu. Sejalan dengan konsep kewajiban masyarakat untuk ikut bertanggung
jawab atas kesehatannya, maka mulai dipikirkan untuk menggalang pembiyaan dari pegawai
negeri sendiri.
Pada tahun 1966 Menteri Kesehatan Siwabessy mengeluarkan instruksi pembentukan
Komite Dana Sakit dengan iuran dari pegawai negeri sendiri. Dana yang dihimpun harus
digunakan semaksimal mungkin untuk kepentingan peserta, bukan untuk mencari laba bagi
pengelola. Sayangnya komite tersebut tidak berhasil menelurkan konsep yang diharapkan.
Pada tahun 1968 Menkes kemudian membentuk Panitia Pembentukan Badan Pemeliharaan
Kesehatan Pegawai Negeri dan Penerima Pensiun. Pada masa itu pemerintahan Orde Baru
masih mengalami kesulitan keuangan akibat Pemberontak PKI di tahun 1965. Mulai tahun
anggaran 1968/69 pemerintah tidak lagi mengalokasikan dana untuk penggantian biaya
kesehatan pegawai negeri. Pada 18 Maret 1968, Menteri Tenaga Kerja Awaloedin Djamin
membentuk Tim Kerja Kesejahteraan Pegawai Negeri (TKKPN) setelah upaya memperoleh
persetujuan dari Presiden tidak berhasil. Tim ini mendirikan tonggak sejarah penting

Askes PNS

41

H. Thabrany

berkembangnya asuransi kesehatan wajib di Indonesia. Modal awal adalah 50% dana
kesejahteraan pegawai negeri yang selama itu telah terkumpul dari potongan 10% gaji
pegawai aktif dan 5% uang pensiun. Badan hukum pengelola dikuatkan oleh Kepres No 230
tanggal 15 Juli 1968 yang merupakan cikal bakal PT Askes Indonesia. Untuk mendanai
program tersebut dikeluarkan Kepres no 122/68 menetapkan potongan gaji pegawai negeri
sebesar 5% untuk membiayai pemeliharaan kesehatan.
Selama Pelita I sampai Pelita III atau sejak tahun 1968 sampai tahun 1984, asuransi
kesehatan pegawai negeri ini dikelola oleh suatu badan yang disebut Badan Penyelenggara
Dana Pemeliharaan Kesehatan (BPDPK) yang berada di Departemen Kesehatan. Iuran untuk
asuransi kesehatan ini besarnya 5% dari gaji pokok. Pada awalnya jaminan diberikan dengan
bebas dimana peserta dapat memilih fasilitas kesehatan pemerintah atau swasta dengan
pembayaran fee for service. Manajemen masih sangat sentralistis. Pemakaian berlebihan
tentu saja tidak dapat dihindari, tidak heran pada awalnya program ini juga mengalami defisit
anggaran. Pada tahun 1970 besarnya iuran dikurangi menjadi hanya 3,89% gaji pokok untuk
pegawai aktif sementara pensiunan masih mengiur 5% dari pensiun yang diterima yang
diatur dengan Kepres No. 22/70. Sampai dengan tahun 1973, berbagai upaya pengendalian
biaya dan pelayanan terus dilakukan guna menyelamatkan program ini dari kebangkrutan.
Bahkan upaya untuk memperluas program asuransi kesehatan PNS kepada masyarakat non
PNS sebenarnya sudah mulai dipikirkan pada periode ini. Pada periode yang sama mutu
pelayanan sudah mulai mendapat perhatian dan karena berbagai standar pelayanan dan
pengaturan obat sudah mulai dilakukan. Pada tahun 1974, besar iuran dikurangi lagi dari
3,89% mejadi 2,75% gaji pokok, pensiunan tetap membayar iuran 5%. Pada tahun 1977
dikeluarkan Kepres No 8/77 yang menetapkan potongan iuran sebesar 2% gaji pokok yang
berlaku bagi pegawai aktif dan pensiunan. Sistem kapitasi kepada puskesmas sudah mulai
diperkenalkan pada tahun 1979 di Jakarta. Selama periode ini dasar-dasar pengendalian biaya
yang kini dikenal dengan teknik managed care sudah dilaksanakan oleh BPDPK. Pada tahun
1980 jumlah anak yang ditanggung dibatasi sebanyak-banyak tiga orang.
Untuk meningkatkan profesionalitas dan mengurangi birokrasi maka pada tahun 1984
pengelolaan asuransi kesehatan PNS ini mulai dipisahkan dari Depkes melalui PP No. 22 dan
23 tahun 1984. Perubahan bentuk badan ini juga untuk menyesuaikan diri fungsi pengelolaan
dana masyrakat yang tidak bisa dikelola menurut sistem akuntansi pemerintahan yang masih
terikat dengan ICW (Indische Comptabiliteit Wet) yang mengharuskan segala dana disetor ke
kas negara. Mulai tahun 1984 itu BPDPK berubah bentuk menjadi Perusahaan Umum
Husada Bhakti atau disingkat Perum PHB. Menteri teknis yang mengawasi PHB ini tetap
Menteri Kesehatan. Prakteknya, penyelenggaraan Perum PHB baru dilaksanakan secara
penuh pada 23 April tahun 1986. Di daerah-daerah dibentuk Kantor Cabang yang terus
berkembang sejalan dengan pertambahan jumlah pegawai negeri. Pada awal tahun 1992
jumlah cabang di seluruh Indonesia sudah berjumlah 27 cabang, masing-masing satu cabang
di tiap propinsi. Pada masa PHB inilah tenaga-tenaga khusus yang mengerti masalah asuransi
kesehatan mulai dididik. Untuk pendidikan ini PHB bekerja sama dengan Pusdiklat Depkes
RI, USAID, dan Zieken Fonds Belanda. Pada masa ini sistem pelayanan terkendali dengan
menggunakan teknik-teknik managed care semakin dimantapkan. Daftar obat yang dijamin
disusun berdasarkan Daftar Obat Esensial Nasional dan diperkenalkan dengan nama Daftar
Plafon Harga Obat, DPHO, di tahun 1987. Berbeda dengan bentuk BPDK, pada masa

Askes PNS

42

H. Thabrany

Perum PHB ini sumber dana tidak lagi hanya bergantung dari iuran peserta akan tetapi sudah
dapat ditambahkan dari penghasilan investasi dana yang belum terpakai.
Untuk lebih memberikan keluwesan perusahaan, menjawab tantangan jaman, dan
memenuhi peraturan yang telah dikeluarkan sebelumnya, maka status PHB ditingkatkan
menjadi PT Persero melalui PP No. 6/92 dengan nama PT Asuransi Kesehatan Indonesia
disingkat dengan nama PT Askes. Dengan bentuk Persero ini, Askes diberikan wewenang
untuk memperluas kepesertaan kepada berbagai badan usaha pemerintah maupun swasta.
Pada awalnya kewenangan ini sempat menimbulkan ketegangan antara PT Askes dan
PT Jamsostek yang ditunjuk untuk mengelola JPK untuk pegawai swasta. Namun setelah
komunikasi semakin baik, terdapat saling pengertian yang baik. PT Askes memang mendapat
kemudahan dari PP 14/93 yang mengatur bahwa perusahaan yang memberikan jaminan lebih
baik boleh tidak mendaftarkan diri pada PT Jamsostek.
Bagi mereka yang ingin mengetahui lebih rinci sejarah asuransi kesehatan PNS ini
dapat membaca buku Historical Development PT Askes Indonesia.1

2.3. Peserta
Peserta Askes PNS diatur oleh PP 69/91 sebagai berikut:
1. Peserta adalah Calon dan Pegawai Negeri Sipil, Penerima Pensiun, Veteran dan
Perintis Kemerdekaan. Pegawai negeri sipil aktif di lingkungan TNI dan Polri dan
anggota aktif TNI dan Polri tidak wajib menjadi peserta Askes karena mereka
mendapat jaminan dari sistem jaminan kesehatan bagi TNI dan Polri yang dikelola
Departemen Hankam.
2. Penerima Pensiun meliputi:
a. Pegawai Negeri Sipil yang berhenti dengan hak pensiun;
b. Prajurit Angkatan Bersenjata Republik Indonesia dan Pegawai Negeri Sipil di
lingkungan Departemen Pertahanan Keamanan dan Angkatan Bersenjata
Republik Indonesia yang berhenti dengan hak pensiun;
c. Pejabat Negara yang berhenti dengan hak pensiun;
d. Janda atau duda atau anak yatim piatu dari Pegawai Negeri Sipil, Prajurit
Angkatan Bersenjata Republik Indonesia serta Pejabat Negara yang mendapat hak
pensiun
3. Keluarga yang ditanggung meliputi isteri atau suami dari peserta dan anak yang sah
atau anak angkat dari peserta sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Semua yang tersebut diatas wajib menjadi peserta Askes dengan pembayaran premi
yang dipotong langsung dari gaji atau pensiun mereka. Dengan alasan untuk meningkatkan
efisiensi dan perluasan kepesertaan, pegawai badan usaha dan badan lainnya serta penerima
pensiunnya dapat menjadi peserta Askes dengan cara membayar premi tersendiri. Masa
menjadi peserta dimulai pada waktu iuran dipotong dari gaji seorang pegawai atau
pembayaran premi oleh badan non pemerintah. Masa kepesertaan berhenti jika iuran atau
1

Historical Development PT (Persero) Asuransi Kesehatan Indonesia. PT Askes. Jakarta, 1995

Askes PNS

43

H. Thabrany

premi tidak lagi dibayarkan.


Peraturan pemerintah itu juga mengatur kewajiban peserta sebagai berikut:
1. Peserta wajib memberikan keterangan yang sebenarnya tentang jati dirinya beserta
keluarganya untuk penyusunan data peserta.
2. Peserta beserta keluarganya wajib memiliki tanda pengenal diri yang diterbitkan oleh
Badan Penyelenggara.
3. Peserta dan keluarganya wajib mengetahui dan mentaati peraturan penyelenggaraan
pemeliharaan kesehatan.

2.4. Premi
Pegawai Negeri Sipil, Penerima Pensiun wajib membayar iuran setiap bulan yang
besarnya serta tata cara pemungutannya ditetapkan dengan Keputusan Presiden. Besarnya
premi yang ditetapkan Kepres saat ini adalah 2% dari gaji pokok pegawai negeri. Pemerintah
sebagai majikan mulai ikut membayar iuran sebesar 0,5% upah di tahun 2004 dan akan terus
dinaikan secara bertahap. Kewajiban Pemerintah tersebut ditetapkan dengan PP 28/2003.
Sebelum otonomi daerah, pemungutan iuran Askes dilakukan langsung oleh Dirjen Anggaran
Departemen Keuangan dengan cara pemotongan langsung dana gaji pegawai sebelum gaji
tersebut dikirimkan kepada bendaharawan pembayar gaji di berbagai instansi pemerintah.
Setelah masa otonomi daerah, pemotongan gaji dilakukan oleh bendaharawan pembayar gaji
di daerah yang kemudian menyetorkannya ke Dirjen Anggaran. Barulah kemudian Dirjen
Anggaran menyerahkan dana tersebut kepada PT Askes.
Iuran untuk Veteran dan Perintis Kemerdekaan, ditanggung Pemerintah atas beban
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Iuran atau premi dari badan lainnya yang ikut
program Askes secara sukarela/komersial diatur dan ditagih langsung oleh PT Askes.
Dari tabel 2.1 dapat dilihat perkembangan jumlah peserta dan penerimaan premi
peserta wajib dari tahun ke tahun. Jumlah penerimaan premi telah meningkat dari Rp 104
milyar di tahun 1989 menjadi Rp 519 milyar di tahun 1999. Hal ini menunjukkan
pertumbuhan penerimaan premi rata-rata sebesar 17,1% per tahun selama 11 tahun.
Sementara jumlah pegawai dan pensiun yang menjadi peserta mengalami pertumbuhan dari
3,7 juta pegawai menjadi 5,1 juta pegawai. Sementara itu jumlah tertanggung telah
meningkat dari 11,8 juta di tahun 1989 menjadi 13,7 juta di tahun 1999. Perhatikan bahwa
jumlah peserta dan tertanggung mengalami penurunan di antara tahun 1994-1996. Hal
tersebut disebabkan karena perbaikan sistem informasi sehingga data ganda dapat dikurangi.
Selain itu, penurunan jumlah tertanggung yang cukup drastis disebabkan karena perubahan
kebijakan jaminan jumlah anak yang ditanggung dari tiga orang menjadi hanya dua orang
saja.
Jumlah premi yang diterima perkaryawan mengalami kenaikan dari Rp 28.136 di
tahun 1989 atau Rp 2.345 per pegawai per bulan menjadi Rp 101.272 tahun 1999 atau
Rp 8.349 per pegawai per bulan. Jika diperhitungkan besaran premi per tertanggung, maka
penerimaan premi di tahun 1989 adalah Rp 8.786 atau Rp 732 per kapita per bulan dan

Askes PNS

44

H. Thabrany

Rp 37.844 di tahun 1999 atau sebesar Rp 3.154 per kapita per bulan. Tentu saja jumlah
tersebut sangat kecil dibandingkan dengan paket jaminan komprehensif yang harus dijamin.
Jika diperhitungkan dengan nilai konstan 1993, penerimaan premi PT Askes dari
tahun 1992 meningkat dari Rp 193 milyar menjadi Rp 257 milyar di tahun 1997 akan tetapi
kemudian menurun menjadi hanya Rp 175 milyar di tahun 1999. Apabila diperhitungkan
penerimaan premi per pegawai dengan harga konstan, maka penerimaan premi tertinggi
diterima tahun 1993 sebesar Rp 50.756 per pegawai per tahun dan terendah pada tahun 1998
dengan jumlah premi Rp 33.134 per pegawai per tahun. Apabila diperhitungkan dengan
penerimaan premi per kapita per tahun dengan harga konstan 1993, maka premi tertinggi
diperoleh pada tahun 1993 dan terendah juga pada tahun 1998 dengan hanya 12.284 per
kapita. Artinya pada tahun 1998, Askes hanya menerima premi sebesar Rp 1.023 per kapita
per bulan pada harga konstan 1993. Dengan melihat penurunan premi riil, maka dapat
dipastikan bahwa pelayanan yang diberikan tidak mungkin mengalami perbaikan
dibandingkan dengan kualitas pelayanan di tahun 1993.
Masalah utama penerimaan premi pegawai negeri adalah kecilnya gaji pokok pegawai
negeri yang menyebabkan juga rendahnya premi yang diterima. Penggajian pegawai negeri
menggunakan sistem penggajian gaji pokok, tunjangan-tunjangan keluarga, jabatan,
tunjangan perbaikan penghasilan, dll., dan penghasilan tambahan dari honor proyek.
Meskipun dalam prakteknya pegawai negeri merupakan kelompok yang relatif lebih kaya
dibandingkan dengan pegawai swasta2, premi dari gaji pokok pegawai negeri menjadi sangat
kecil. Karena besarnya premi hanya diperhitungkan dari gaji pokok. Baru pada tahun 2001
ini pemerintah mengubah sistem penggajian pura-pura menjadi gaji yang lebih realistis,
meskipun belum memadai, dengan memasukkan tunjangan ke dalam komponen gaji pokok.
Besarnya penerimaan Askes dengan perubahan kebijakan tersebut diperkirakan dapat
meningkat sampai dua kali lipat dari tahun sebelumnya.
Masalah kedua dari premi Askes ini adalah kenaikan gaji pokok pegawai negeri tidak
selalu mengikuti perubahan biaya kesehatan atau perubahan harga-harga pelayanan kesehatan
dan obat. Bahkan kenaikan tersebut tidak dapat ditentukan periodenya. Pada suatu ketika
kenaikan gaji dapat berlaku tiga tahun sekali akan tetapi pada waktu lain bisa terjadi
perubahan kenaikan gaji setahun setelah perubahan gaji sebelumnya.

Thabrany, H. Pegawai Negeri Memang Lebih Kaya. Kompas 1996.

Askes PNS

45

H. Thabrany

Tabel 2.1.
Perkembangan peserta wajib dan besarnya iuran per peserta dan tertanggung PT
Askes Indonesia, 1989-1999
Premi
Penerimaan
premi (Rp
Jumlah peserta /peserta /th Jumlah
juta)
(pegawai)
(Rp)
tertanggung
104.132
3.701.024
28.136
11.852.220
112.232
4.021.075
27.911
12.486.084
112.220
4.241.556
26.457
13.304.182
179.500
4.446.110
40.372
13.951.215
241.787
4.763.733
50.756
14.162.680
268.800
5.075.329
52.962
18.449.601
292.266
5.326.994
54.865
15.783.935
318.319
5.513.026
57.739
16.478.587
418.507
5.451.267
76.772
15.853.439
475.919
5.034.450
94.532
13.579.991
519.169
5.126.474
101.272
13.718.754

Tahun
1989
1990
1991
1992
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999

Premi/tertanggung/
th (Rp)
8.786
8.989
8.435
12.866
17.072
14.569
18.517
19.317
26.398
35.046
37.844

Diolah dari berbagai sumber Buku Kegiatan Perasuransian 1995-1999, dan Buku Historical Development PT
Askes 19953.

Tabel 2.2
Penerimaan premi PT Askes Indonesia tahun 1992-1999 menurut harga konstan 1993

Tahun
1992
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999

Penerimaan Premi /pegawai/ Premi /kapita


premi (Rp jt) tahun (Rp)
/tahun (Rp)
43.411
13.835
193.011
241.787
50.756
17.072
244.364
48.147
13.245
243.555
45.721
15.431
44.177
14.780
243.549
257.068
47.158
16.215
166.814
33.134
12.284
34.156
12.763
175.099

Laporan Kegiatan Usaha Perasuransian Indonesia, 1995. Direktorat Asuransi, Depkeu RI, 1996
Laporan Kegiatan Usaha Perasuransian Indonesia, 1999. Direktorat Asuransi, Depkeu RI, 2000

Askes PNS

46

H. Thabrany

2.5. Paket Jaminan


Secara teori, PT Askes harus memberikan jaminan yang disebut komprehensif
meliputi upaya peningkatan/ promosi, pencegahan, penyembuhan, dan pemulihan kesehatan.
Namun dalam prakteknya, jaminan yang diberikan lebih ditekankan pada penyembuhan dan
pemulihan dengan mengenakan iur biaya (cost sharing) yang cukup besar, meskipun
pelayanan diberikan di dalam jaringan PPK yang ditunjuk. Dalam Pasal 12 PP 69/91
memang disebutkan bahwa Semua biaya yang melebihi standar pelayanan dan tarif
sebagaimana yang ditetapkan Menteri Kesehatan menjadi beban dan tanggung jawab
peserta. Menyadari bahwa iuran peserta tidak akan mencukupi untuk membiayai jaminan
yang harus disediakan oleh PT Askes, maka peraturan menggariskan bahwa jaminan tersebut
terutama diberikan di PPK pemerintah, dengan sistem pelayanan terstruktur. Peserta harus
menggunakan pelayanan puskesmas dulu sebelum bisa mendapatkan pemeriksaan dan
pengobatan di rumah sakit pemerintah, dan beberapa RS swasta yang bersedia. Untuk
mencukupi pembiayaannya, maka tarif ke puskesmas dan RS pemerintah yang harus dibayar
oleh PT Askes ditetapkan oleh pemerintah melalui Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri
Dalam Negeri dan Menteri Kesehatan.
Tarif yang harus dibayar PT Askes kepada PPK pemerintah, khususnya RS,
ditetapkan secara nasional dengan memberikan pembagian kelas RS. Tarif untuk RS tipe B
lebih mahal dari tarif untuk RS tipe C dan D. Perbedaan biaya dan tarif Perda (Peraturan
Daerah) antar daerah tidak terakomodir. Akibatnya, RS di kota besar dimana tarif Perda dan
tarif yang ditetapkan sendiri oleh RS (untuk perawatan di kelas II dan kelas I) banyak
mengeluh akibat rendahnya tarif SKB. Beberapa RS di kota kecil dimana Perda menetapkan
tarif yang amat rendah, tarif SKB bisa jadi lebih tinggi dari tarif Perda atau tarif yang
ditetapkan RS sendiri. Akan tetapi untuk RS di kota besar, tarif SKB bisa jadi sangat jauh
dari tarif Perda atau tarif yang ditetapkan RS. Akibatnya RS merasa mendapat beban dalam
melayani pasien Askes dan karenanya pelayanan kepada peserta Askes dinilai kurang
mendapat perhatian. Hal ini menimbulkan banyak keluhan, khususnya dari kalangan kelas
menengah. Berbagai survei kepuasan peserta baik yang dilakukan oleh Askes maupun oleh
pihak lain menunjukkan sebagian besar (84-97%) peserta merasa puas dengan berbagai
tingkat pelayanan. Namun demikian, penilaian hasil survei harus dikaji lebih dalam
bagaimana pengukuran dan bagaimana data kepuasan peserta diperoleh. Selanjutnya pada era
persaingan ketat sekarang ini, berbagai usaha mentargetkan kepuasan 100% untuk mampu
bersaing.
Pemeriksaan dan pengobatan rawat jalan pertama harus dilakukan di puskesmas.
Setiap pegawai negeri yang telah mendaftarkan diri dan keluarganya sebagai peserta Askes,
dengan membawa bukti-bukti bahwa yang bersangkutan adalah pegawai negeri, memilih satu
puskesmas dimana ia dan keluarganya akan berobat. PT Askes telah melakukan kontrak
pembayaran kapitasi kepada Dinas Kesehatan untuk memberikan pelayanan rawat jalan
tingkat I di puskesmas. Obat-obatan yang dibutuhkan disediakan di puskesmas dan harga
obat ini sudah diperhitungkan dalam kontrak pembayaran kapitasi. Apabila dokter di
puskesmas menilai perlu perawatan rujukan, maka dokter akan merujuknya ke RS terdekat.
Dalam prakteknya, khususnya di kota besar, banyak peserta yang datang ke puskemas hanya

Askes PNS

47

H. Thabrany

meminta surat rujukan ke rumah sakit. Dengan cara ini , seluruh pegawai negeri yang tinggal
di berbagai kota dan desa, misalnya guru-guru SD dan petugas puskesmas sendiri, akan
mendapatkan pelayanan di puskesmas di seluruh tanah air. Di Puskesmas tersebut merupakan
pelayanan kesehatan dasar. Namun demikian, menurut PP 69/91, pelayanan kesehatan dasar
dapat juga diberikan oleh dokter umum, dokter gigi, balai pengobatan, balai kesehatan ibu
dan anak (BKIA), rumah bersalin dan sarana kesehatan dasar lainnya. Hanya saja, untuk
asuransi kesehatan wajib ini, pelayanan oleh dokter umum belum bisa dilakukan secara luas
karena minimnya biaya kapitasi. Uji coba sudah dilakukan di Jawa Timur atas biaya dari
Proyek Kesehatan IV Depkes, akan tetapi perluasan penggunaan dokter umum praktek sore
atau dokter keluarga belum dilakukan. Padahal jika premi cukup memadai, sistem pelayanan
melalui dokter keluarga akan sangat besar pengaruhnya tehadap efisiensi sistem kesehatan di
Indonesia.
Pelayanan kesehatan rujukan adalah pelayanan kesehatan yang diberikan melalui
sarana pelayanan kesehatan rujukan antara lain dokter spesialis, dokter gigi, rumah sakit, dan
sarana pelayanan kesehatan spesialistik lainnya. Termasuk dalam pelayanan kesehatan
tersebut diatas adalah pelayanan persalinan yang diberikan oleh pusat kesehatan masyarakat
(Puskesmas), balai pengobatan ibu dan anak (BKIA), rumah bersalin dan rumah-rumah sakit.
Rawat jalan rujukan dapat diperoleh di rumah sakit terdekat, pada umumnya rumah sakit
pemerintah daerah, pusat, atau rumah sakit tentara atau Polri. Di rumah sakit, pasien Askes
seharusnya diperiksa oleh spesialis yang diperlukan. Namun dalam praktek di daerah,
pemeriksaan rawat jalan rujukan tidak selalu dilakukan oleh spesialis yang diperlukan karena
ketiadaan tenaga spesialis tersebut.
Apabila dalam pelayanan rujukan diperlukan pemeriksaan laboratorium, radiologi,
atau tindakan medik lain, maka dokter spesilis di rumah sakit dapat merujuk pasien ke dokter
atau sarana lainnya. Hal ini disebut rujukan II. Pemeriksaan atau tindakan medik penunjang
yang ditanggung antara lain berbagai pemeriksaan laboratorium yang diperlukan,
pemeriksaan radiologi sampai CT Scan. Namun pemeriksaan CT Scan hanya dibatasi untuk
CT Scan kepala satu kali, sementara CT Scan organ tubuh lainnya tidak dijamin.
Perawatan dengan menginap di rumah sakit dapat dilakukan di rumah sakit
pemerintah, termasuk rumah sakit tentara dan Polri, atau di rumah sakit swasta yang
ditunjuk. Pasien harus mendapatkan surat rujukan dari dokter puskesmas. Untuk pegawai
negeri golongan I dan II kelas perawatan yang diberikan adalah kelas III di rumah sakit
pemerintah. Sementara untuk untuk golongan III diberikan perawatan di kelas II, dan untuk
golongan IV diberikan perawatan di kelas I RS pemerintah. Lama hari perawatan secara teori
tidak dibatasi. Namun peserta harus membayar cost sharing untuk lama hari perawatan yang
melebih 180 hari sesuai kelasnya. Tindakan bedah mencakup berbagai tindakan bedah kecil
sampai bedah besar seperti bedah jantung dijamin sesuai dengan tarif yang ditetapkan
Menteri. Untuk kasus bedah jantung, sesuai dengan SK Menkes, PT Askes hanya
memberikan penggantian maksimum sekitar Rp 50 juta rupiah.
Apabila biaya perawatan ternyata melebihi dari yang dijamin PT Askes, misalnya
karena peserta meminta perawatan di kelas yang lebih tinggi atau menerima obat yang di luar
daftar DPHO, maka peserta harus membayar kelebihan biayanya. Yang dimaksud dengan

Askes PNS

48

H. Thabrany

kelebihan biaya yang menjadi tanggung jawab peserta adalah apabila peserta
mempergunakan pemeliharaan kesehatan yang melebihi standar pelayanan kesehatan. Karena
standar pelayanan ini tidak tersedia secara luas dan tidak dipahami oleh para peserta,
seringkali dalam penerimaan rawat inapkhususnya di kota besar, seorang peserta harus
membayar cukup mahal. Beberapa keluhan peserta dan RS menyampaikan bahwa biaya yang
dijamin oleh PT Askes, sesuai dengan SKB Menteri, hanya menutupi sekitar 20% biaya saja.
PT Askes sendiri secara jujur mengakui bahwa penggantian biaya sesuai SKB memang jauh
dari biaya yang dibutuhkan untuk memberikan pelayanan. Pada saat buku ini ditulis,
perubahan tarif lama yang sudah berlangsung sekitar tiga tahun untuk Askes sedang dalam
proses. Sejalan dengan perubahan sistem gaji pokok PNS, maka diharapkan tahun 2001 ini
penerimaan premi PT Askes akan meningkat tajam dan karenanya pembayaran ke RS dapat
ditingkatkan. Pada sistem penggantian biaya rumah sakit sekarang ini, praktis nilai asuransi
PNS menjadi sangat kecil. Sebab dalam banyak hal, besarnya selisih biaya yang harus
ditanggung peserta bisa lebih besar dari biaya yang ditanggung Askes.
Obat-obat yang diperlukan diresepkan oleh dokter rumah sakit. Pasien mengambil
obat-obat tersebut di apotik yang ditunjuk. Jika obat-obat yang diresepkan termasuk dalam
Daftar Pelafon Harga Obat (DPHO) maka pasien tidak perlu membayar lagi. Namun apabila
obat yang diresepkan tidak termasuk dalam DPHO, maka pasien harus membayar sendiri.
Daftar obat Askes dikembangkan oleh tim dokter yang mempunyai keahlian klinik dan
farmakologik untuk menjamin bahwa obat-obat yang masuk dalam DPHO adalah obat-obat
yang secara esensial dibutuhkan oleh peserta dalam berbagai kasus penyakit yang diderita.
Obat DPHO bukanlah obat generik, akan tetapi obat yang dibutuhkan dapat diberikan dengan
harga yang memenuhi plafon tertentu. Bisa jadi suatu obat bermerek lokal, mee too drug,
yang oleh pasien dianggap sebagai obat paten masuk dalam DPHO. Obat penyakit kanker
juga termasuk dalam daftar obat yang ditanggung Askes. Sebenarnya obat-obat yang tidak
termasuk dalam DPHO akan tetapi mutlak dibutuhkan oleh pasien masih dapat ditanggung
asal ada surat keterangan dokter bahwa obat tersebut secara medis dibutuhkan. Misalnya
sebuah antibiotik mahal bisa ditanggung untuk suatu kasus penyakit infeksi, apabila dari
hasil uji sensitifitas obat (kultur) ternyata obat tersebutlah yang bisa menyembuhkan.
Tindakan hemodialisa, cuci darah, dan transplantasi ginjal juga ditanggung oleh Askes.
Hal ini tentu saja membuat biaya yang sedikit itu menjadi sangat kurang jika sebagian besar
biaya semua pelayanan harus ditanggung. Biaya untuk tindakan hemodialisa saja saat ini
sudah melampaui Rp 30 milyar setahun.

2.6. Kinerja
Dalam usianya yang melebihi 30 tahun, termasuk ketika menjadi BPDPK, PT Askes
telah mengalami pasang surut yang cukup bervariasi. Sebagai perusahaan asuransi, Askes
harus menunjukkan kemampuan solvabilitas keuangan yang memadai untuk memenuhi
berbagai kewajibannya. Sebagai suatu asuransi kesehatan sosial yang menerapkan prinsipprinsip managed care PT Askes harus mampu mengendalikan biaya berapapun besarnya
penerimaan. Jika di dalam pembahasan mengenai premi telah digambarkan bahwa premi
yang diterima sangat kecil bila dibandingkan dengan kewajiban Askes untuk menanggung

Askes PNS

49

H. Thabrany

begitu luas pelayanan, maka di bawah ini disajikan rasio klaim terhadap premi dan terhadap
penerimaan total. Penerimaan PT Askes bersumber dari penerimaan premi dan dari
penerimaan investasi dan penerimaan lain-lain. Sejak sebelum menjadi PT Askes, dana-dana
cadangan teknis dan kelebihan dana (setelah dipotong pajak penghasilan badan, tantiem atau
bonus bagi pengelola, dan dividen kepada pemerintah) disimpan dalam bentuk berbagai
instrumen investasi.
Tampak pada gambar 2.1 perkembangan aset, investasi, dan cadangan teknis PT
Askes dari tahun ke tahun. Harus disadari disini bahwa berkembangnya aset dan investasi
sejak tahun 1993 antara lain juga ikut dipengaruhi oleh perkembangan bisnis asuransi
komersialnya, meskipun jumlahnya masih jauh lebih kecil dibandingkan dengan aset dan
investasi dari program sosialnya. Tampak bahwa di tahun 1993 PT Askes telah memiliki aset
sebesar Rp 400 milyar dengan investasi sebesar Rp 353 milyar. Cadangan teknis yang
dikelola pada saat itu berjumlah Rp 115 milyar. Pada tahun 1999 aset PT Askes telah
berkembang menjadi Rp 702 milyar dan investasi sebesar Rp 610 milyar. Cadangan teknis di
tahun 1999 mencapai hampir Rp 256 milyar. Melihat kinerja keuangan tersebut, Sampai
tahun 1999 PT Askes masih mempunyai kinerja keuangan yang baik, yang dalam kriteria
pemeriksa pemerintah (BPK/BPKP) masuk kategori sehat.

Gambar 2.1
Perkembangan aset, investasi, dan cadangan teknis PT Askes Indonesia 1993-1999
800
Aset

Rp Milyar

600

Investasi

Cad Tek

400
200
0
1993

1994

1995

1996
Tahun

1997

1998

1999

Sumber: Berbagai Laporan Kegiatan Usaha Perasuransian Indonesia, 1993-1999.

Apabila dilihat dari kemampuan PT Askes mengendalikan biaya, maka tampaknya


Askes masih mampu mengendalikan biaya pelayanan. Perkembangan penerimaan premi
menurut harga berlaku hanya tumbuh rata-rata sebesar 17,1 % setahun selama kurun waktu
1989-1999, akan tetapi perkembangan biaya kesehatan selama periode yang sama tumbuh
dengan rata-rata sebesar 19,2% setahun. Perkembangan biaya kesehatan tersebut telah
memperhitungkan berbagai upaya pengendalian biaya. Kelambatan pertumbuhan penerimaan
premi ini dapat ditutupi dengan penerimaan lain-lain seperti hasil investasi. Dalam kurun
waktu lima belas tahun lebih, 1984-1999, Askes PNS mempunyai rasio klaim terhadap

Askes PNS

50

H. Thabrany

penerimaan premi tahun yang sama berkisar antara 54,5% sampai 93,3%. Rasio terendah
terjadi di tahun 1993 sedangkan rasio tertinggi terjadi di tahun 1991. Rata-rata rasio klaim
terhadap penerimaan premi selama kurun waktu tersebut adalah 72,1%.
Cukup
menggembirakan bahwa selama krisis ekonomi berlangsung di Indonesia, khususnya tahun
1998 1999, rasio klaim terhadap premi masih dapat ditekan sampai 76,7% dan 82,4%. Pada
kolom ketiga disajikan data rasio klaim terhadap total pendapatan Askes. Tampak bahwa jika
dilihat dari kinerja keuangan saja, Askes memiliki kinerja yang baik karena rata-rata selama
15 tahun tersebut Askes hanya menghabiskan 60% dana yang diterima untuk biaya
kesehatan.
Jika dilihat dari kedua rasio klaim tersebut, Askes seharusnya masih mampu
memberikan pelayanan yang lebih baik kepada pesertanya. Rasio klaim tersebut baik untuk
program asuransi komersial yang tentu saja harus membukukan keuangan yang memadai
bagi pemegang saham. Rasio klaim ini sangat jauh lebih rendah dari rasio klaim kebanyakan
program asuransi sosial di negara lain. Selisih antara penerimaan premi dan klaim dikenal
dengan biaya administrasi untuk program asuransi sosial. Jadi selama 15 tahun, rata-rata
biaya administrasi adalah 27,9% dari premi yang diterima. Angka ini jauh lebih tinggi dari
biaya administrasi asuransi sosial di Amerika (Medicare) yang 4%, Medicare Canada juga
4%, asuransi kesehatan nasional di Taiwan bahkan hanya 3%, dan asuransi kesehatan sosial
pluralistik di Jerman hanya menghabiskan 5% biaya administrasi4. Besarnya prosentasi biaya
administrasi dipengaruhi oleh besaran premi yang diterima. Semakin besar premi yang
diterima akan semakin kecil porsi biaya administrasi. Di negara-negara maju dimana besaran
premi sudah diperhitungkan dengan baik dan dibuat untuk memberikan pelayanan yang
memadai, maka rasio biaya administrai akan jauh lebih rendah. Sayangnya di Indonesia
belum ada standar berapa biaya administrasi yang layak untuk suatu program asuransi sosial.

2.7. Upaya Pengendalian Biaya dan masalah yang dihadapi


Peraturan pemerintah mengharuskan badan penyelenggara, dalam hal ini PT Askes,
terus mengembangkan sistem guna memenuhi kebutuhan pelayanan kesehatan pesertanya.
Untuk itu, peraturan ini memberikan pedoman pembayaran PPK dan penarikan dana melalui
berbagai cara seperti iuran biaya (co payment, cost sharing), pembayaran berdasarkan jumlah
peserta (sistem kapitasi), sistem anggaran/ budget, sistem tarif berdasarkan kelompok
pelayanan (sistem paket), dan tarif berdasarkan diagnosa (DRG). Oleh karenanya PT Askes
telah melaksanakan berbagai uji coba sistem pembayaran kapitasi parsial, kapitasi total dan
pembayaran sistem paket. Pembayaran kapitasi total yang diselenggarakan oleh Askes
belumlah merupakan pembayaran kapitasi total yang kita kenal di Amerika. Sebab
pembayaran kapitasi total yang dilakukan Askes tidak mentransfer risiko sepenuhnya kepada
PPK.
Dalam pembayaran sistem kapitasi total Askes, Dinas Kesehatan diberikan plafon
untuk pembayaran rawat jalan rujukan dan rawat inap. Pembayaran ke rumah sakit tetap
dilakukan oleh PT Askes. Dinas Kesehatan hanya mendapat bonus jika jumlah rujukan tidak
4

Thabrany, H. Kegagalan Asuransi Kesehatan Komersial. MKI, Juni 2000.

Askes PNS

51

H. Thabrany

melampuai target tertentu. Hal ini tentu saja tidak memberikan risiko berarti bagi Dinas
Kesehatan untuk mengendalikan biaya. Selain itu, para dokter dan manajer (kepada Dinas)
juga tidak mendapat insentif yang memadai untuk mengendalikan biaya karena biaya yang
diterima Puskesmas bukanlah menjadi hak mereka. Oleh karenanya sistem pembayaran
kapitasi yang dilakukan Askes tidak memberikan pengendalian biaya yang besar seperti yang
diharapkan terjadi secara teori atau yang terjadi di negara-negara maju. Namun demikian,
sistem kapitasi ini telah memberikan penurunan tren kenaikan biaya seperti yang dilaporkan
Sulastomo.5

Tabel 2.3
Perkembangan rasio klaim (biaya kesehatan) terhadap premi diterima dan terhadap
total pendapatan PT Askes, 1984-1999

Tahun
1984
1985
1986
1987
1988
1989
1990
1991
1992
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
Rata-rata

Rasio
klaim/premi
diterima
68,1%
83,0%
63,6%
70,3%
65,5%
72,2%
83,3%
93,3%
67,1%
54,5%
64,0%
66,9%
73,1%
68,8%
76,7%
82,4%
72,1%

Rasio klaim
/total
pendatan
62,3%
75,2%
57,3%
59,1%
52,2%
56,1%
67,3%
66,9%
53,2%
45,6%
54,7%
58,1%
61,8%
63,4%
61,1%
65,8%
60,0%

Pembayaran prospektif yang digariskan oleh PP tersebut mengandung konsekuensi


pengorbanan mutu pelayanan dan utilisasi. Hal ini sudah diantisipasi dan karenanya PPK
yang dikontrak diharuskan memberikan pelayanan kesehatan sebaik-baiknya sesuai dengan
kebutuhan medis. Tentu saja karena pelayanan diberikan di fasilitas pemerintah dan dikelola
5

Sulastomo. Sistem Pembayran Kapitasi di PT Askes. Dalam Thabrany H dan Hidayat B (Ed). Pembayaraan
Kapitasi. FKMUI, Depok, 1998.

Askes PNS

52

H. Thabrany

oleh pegawai negeri, seharusnya hal itu tidak terjadi. Namun dalam praktek tentu bisa
dimaklumi jika tidak semua tenaga kerja di PPK memahami peraturan ini. Dalam prakteknya,
banyak keluhan peserta yang merasa tidak diberi penjelasan tentang hak-haknya. Sebenarnya
dalam peraturan disebutkan bahwa peserta berhak memperoleh penjelasan dari Pemberi
Pelayanan Kesehatan. Namun tidak semua PPK juga memahami apa yang terjadi pada sistem
asuransi kesehatan pegawai negeri. Banyak tenaga kerja di PPK bahkan direktur RS yang
selalu mengeluh bahwa mereka dibayar dengan tidak memadai, dan tentu saja hal
berpengaruh pada pelayanan yang mereka lakukan.
Falsafah dasar pembayaran Askes kepada PPK diatur oleh SKB Menkes dan
Mendagri adalah untuk mencukupi iuran yang memang disadari tidak memadai. Surat
ketetapan tarif ini bersifat nasional dengan pengelompokan jenis RS bukan daerah. Pada
kota-kota besar, biaya pelayanan jauh lebih mahal karena memang tuntuan tenaga kerja di
rumah sakit, fasilitas, dan biaya-biaya operasional jauh lebih tinggi dari biaya rumah sakit
sejenis di daerah. Tentu saja pembayaran yang sama antara rumah sakit di kota besar dan di
daerah menimbulkan kesenjangan. Rumah sakit di kota pada umumnya tidak puas dengan
besarnya penggantian dari Askes sementara RS di kota kabupaten tidak mempersoalkan,
bahkan bisa jadi lebih senang dengan pembayaran Askes. Banyak dearah yang mematok
tarif Perda perawatan, pemeriksaan penunjang, dan tindakan medis yang sangat rendah,
dengan harapan biaya tersebut dapat terjangkau oleh semua pihak.
Pada masa otonomi daerah, pembayaran dengan tarif SKB menjadi masalah karena
kini RSUD merasa tidak ada kaitan struktural kerja dengan Depdagri atau Depkes. Oleh
karenanya SKB Menkes dan Mendagri yang mengatur pembayaran Askes ke RSUD dinilai
tidak lagi cocok. Untuk RSUD di daerah yang secara historis menetapkan tarif yang relatif
rendah, pembayaran Askes mungkin tidak jadi masalah. Akan tetapi RSUD di kota besar
yang ingin mendapatkan pemulihan biaya (cost recovery rate) yang memadai, bisa jadi tarif
yang ditetapkan jauh lebih tinggi dari kemampuan Askes membayar. Oleh karenanya mulai
ada suara-suara yang tidak menerima tarif SKB. Namun demikian, sampai saat ini hal
tersebut belum sampai pada penolakan pasien Askes.
Jalan keluar yang dikeluarkan oleh PT Askes adalah dengan memberikan
kewenangan kepada RS untuk menagih langsung selisih biaya antara tarif RS dengan
besarnya biaya yang dibayar Askes kepada pasien. Hal ini memang tidak bertentangan
dengan PP 69 karena memang disitu iur biaya dibenarkan. Namun yang menjadi masalah
adalah berapa besarnya iur biaya tersebut. Di negara-negara lain iur biaya biasanya terbatas
sebagai alat kendali utilisasi tetapi tidak memberatkan peserta. Di Amerika dan Jepang, iur
biaya biasanya berkisar pada 20-30% saja dengan batas maksium tertentu. Namun dalam
kasus Askes banyak keluhan bahwa iur biaya menjadi besar sekali, lebih besar dari yang
dijamin oleh Askes. Jika hal ini terus berlanjut asuransi menjadi tidak ada manfaatnya.
Dalam perjalanan Askes yang melampaui usia 30 tahun, banyak terjadi perubahan
demografis dan epidemiologis pada peserta. Penyakit kronis semakin meningkat sementara
iuran dihitung atas dasar pola penyakit lama yang masih lebih banyak penyakit menular.
Pengobatan penyakit kronis memakan waktu lama dan memakan biaya yang jauh lebih besar
daripada pengobatan penyakit menular. Sebagai ilustrasi dapat dilihat perkembangan kasus

Askes PNS

53

H. Thabrany

gagal ginjal dan tindakan hemodialisa (Tabel 2.3) yang menunjukkan kenaikan pesat dari
tahun ke tahun. Kasus-kasus seperti ini dapat menyerap dana sampai 10% dari total biaya
kesehatan. Oleh karenanya seharusnya besaran premi disesuaikan dengan perkembangan pola
penyakit tersebut. Apabila hal ini tidak dilakukan sementara PT Askes masih tetap berbentuk
PT Persero, maka manfaat Askes kepada pesertanya akan semakin menurun.

Table 2.3
Tren kenaikan jumlah penderita gagal ginjal dan tindakan hemodialisis 1989-1994
Tahun
1989
1990
1991
1992
1993
1994

Jumlah
penderita
481
800
1.059
1.327
1.567
1.740

Jumlah
tindakan
23.882
32.336
42.511
53.735
65.015
80.421

Upaya pengendalian biaya melalui negosiasi dengan rumah sakit dan puskesmas atau
menghimbau dokter spesialis menggunakan obat yang lebih rasional menghadapi berbagai
kendala. Salah satu kendala penting adalah bentuk badan hukum PT Persero yang tidak
sejalan dengan penyelenggaraan asuransi sosial. Sejak awal Menteri Siwabessy
mengharapkan pengumpulan dana asuransi kesehatan ini bukan untuk cari untung. Namun
demikian, pandangan pengambil keputusan pemerintah hanya melihat bahwa bentuk Persero
lebih mampu meningkatkan mutu pelayanan dan menghasilkan laba tanpa melihat misi
utama asuransi sosial. Banyak RS yang mengatakan bahwa masa kami RSU harus
mensubsidi PT yang mencari untung?. Dengan pembayaran RS yang jauh lebih rendah
sehingga direktur RS harus memutar akal menutupi selisih biaya untuk pasien Askes berarti
RS mensubsidi Askes. Sementara PT Askes terus membukukan laba. Hal ini yang
menimbulkan kecemburuan di kalangan pengelola RS pemerintah. Sementara itu, laba yang
diperolah Askes tidak dirasakan manfaatnya oleh peserta, padahal setiap bulan gaji peserta
dipotong sebagai premi. Sama halnya dengan Jamsostek, bentuk Persero ini merupakan
bentuk yang tidak konsisten sebagai pengelola asuransi sosial. Seharusnya laba yang diterima
menjadi hak peserta bukan hak pemerintah, sebagai pemegang saham. Ketidak sesuaian ini
sebenarnya dapat diselesaikan apabila PP yang mengatur PT Askes, meskipun berbentuk
Persero, disebutkan khusus sebagai lembaga not for profit. Contoh hal ini terdapat di Filipina
dimana the Philippine Health Insurance Corporation jelas-jelas disebutkan sebagai lembaga
nirlaba.

Askes PNS

54

H. Thabrany

BAB 3
JPK Jamsostek
3.1. Pendahuluan
Program Jamsostek (Jaminan Sosial Tenaga Kerja) merupakan suatu program
jaminan yang diselenggarakan pemerintah untuk memenuhi Konvensi ILO (International
Labour Organization) tentang hak-hak tenaga kerja yang meliputi program jaminan hari tua
(JHT), jaminan kematian (JKM), jaminan kecelakaan kerja (JKK), dan jaminan pemeliharaan
kesehatan (JPK). Sebagai salah satu negara yang meratifikasi (negara pihak) konvensi
international tersebut yang sudah disepakati hampir setengah abad yang lalu, Indonesia
berkewajiban memenuhi hak-hak tenaga kerja. Dalam pemenuhan hak-hak tenaga kerja
tersebut, Indonesia telah mengeluarkan UU No.3/1992 tentang Jamsostek. Undang-undang
ini dikeluarkan dalam waktu hanya semingga setelah UU No. 2/92, tentang asuransi yang
secara eskplisit memberikan ijin kepada perusahaan asuransi jiwa dan kerugian untuk
menjual produk asuransi kesehatan.
Program jaminan sosial merupakan program yang diselenggarakan oleh semua negara
maju di dunia dan merupakan program pemerintah dalam rangka ketahanan nasional dalam
bidang sosial. Luasnya program jaminan sosial tergantung dari kemampuan ekonomi dan
kemampuan umum suatu negara. Organisi tenaga kerja dunia dalam Konvensi Jaminan
Sosial No 102/52 menetapkan sembilan macam program yang merupakan bagian dari
jaminan sosial, yaitu: pemeliharaan kesehatan, tunjangan sakit, jaminan hamil dan bersalin
(maternity benefit), santunan kecelakaan kerja, tunjangan cacat, tunjangan kematian,
tunjangan hari tua, santunan pengangguran, dan tunjangan keluarga. Secara umum Indonesia
sudah hampir memenuhi kesembilan program tersebut, hanya saja beberapa program
digabung menjadi satu. Istilah program JPK yang digunakan memang tidak lepas dari
pengaruh Departemen Kesehatan yang pada saat yang sama mengembangkan program
Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat (JPKM) yang akan dibahas pada Bab 4.
Program Jamsostek wajib diikuti oleh seluruh pemberi kerja (perusahaan, dalam
artian seluruh lembaga yang menjalin hubungan ketenaga-kerjaan termasuk diantranya
lembaga seperti yayasan, rumah sakit, sekolah, lembaga swadaya masyarakat, dsb.). Untuk
tahap pertama program ini hanya diwajibkan kepada pemberi kerja atau majikan yang
memiliki 10 orang karyawan atau lebih, atau membayar upah lebih dari Rp 1 juta per bulan.
Jadi pemberi kerja yang hanya memiliki empat orang karyawan tetapi membayar upah
(bukan gaji pokok, tetapi take home pay) lebih dari Rp 1 juta untuk keempat karyawan
tersebut, wajib mengikut sertakan tenaga kerjanya pada program Jamsostek.
UU Jamsostek kemudian dilengkapi dengan Peraturan Pemerintah No 14/93 yang
menjabarkan lebih lanjut tentang program secara rinci. Lebih lanjut, pasal-pasal dalam PP

JPK Jamsostek

55

H.Thabrany

tersebut dijabarkan dengan Peraturan Menteri Tenaga Kerja No 5/93. Dalam UU No 2/92
tidak disebutkan bahwa penyelenggara program Jamsostek adalah PT (Persero) Jamsostek.
Penunjukkan PT Jamsostek sebagai badan penyelenggara adalah berdasarkan PP No 36/95.
Sebelum PP ini dikeluarkan penyelenggaraan Jamsostek dilaksanakan oleh PT Astek yang
merupakan pendahulu PT Jamsostek.

3.2. Perbedaan JPK Jamsostek dengan Program Jamsostek


Lainnya
Seperti telah dijelaskan diatas, program JPK Jamsostek adalah bagian dari program
jaminan sosial tenaga kerja. Akan tetapi, dibandingkan dengan tiga program lainnya,
program JPK memiliki perbedaan sebagai berikut:
1.

2.
3.

4.

5.

6.

Program JPK merupakan program yang manfaatnya (benefit) diberikan dalam


bentuk pelayanan sementra ketiga program lainnya manfaat diberikan dalam bentuk
uang tunai.
Yang menjadi tertanggung (berhak menerima manfaat) tidak hanya tenaga kerja
akan tetapi anggota keluarga tenaga kerja juga berhak memperoleh jaminan
Sifat kepesertaan JPK adalah wajib bersyarat sementra ketiga program lainnya
wajib mutlak. Pemberi kerja yang telah memiliki program JPK yang lebih baik
boleh tidak mendaftarkan karyawannya kepada PT Jamsostek.
Besarnya kontribusi/premi antara tenaga kerja lajang dan tenaga kerja yang telah
berkeluarga berbeda besarnya. Untuk tenaga kerja lajang besarnya premi adalah 3%
upah sementara untuk tenaga kerja kawin besarnya premi adalah 6% dari upah
sebulan.
Terdapat batas penghasilan dimana kontribusi karyawan dibatasi (cap/ceiling)
sampai upah sebesar Rp 1 juta per bulan. Jadi untuk tenaga kerja kawin yang
bergaji Rp 5 juta per bulan besarnya premi adalah Rp 60.000 (6%), sama besaran
premi untuk tenaga kerja bergai Rp 1 juta.
Bersama dengan program JKK dan JKM, program JPK merupakan program
berbasis asuransi sosial sedangkan program JHT berbasis program tabungan.

3.3. Manfaat/Paket Jaminan JPK Jamsostek


Pemberian paket JPK Jamsostek menggunakan teknik-teknik managed care,
khususnya HMO di Amerika. Oleh karena itu, jaminan yang diberikan meliputi aspek
promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif akan tetapi aspek kuratif dan rehabilitatif lebih
ditekankan. Secara singkat paket jaminan JPK dijelaskan dalam UU menjamin pelayanan
sebagai berikut:
1.
2.
3.

Rawat jalan tingkat pertama


Rawat jalan tingkat lanjutan/rujukan
Rawat inap minimal rawat mondok satu hari dengan rujukan. Pelayanan rawat inap
diberikan di RSU pusat dan daerah dan RS Swasta yang ditunjuk

JPK Jamsostek

56

H.Thabrany

4.
5.

6.
7.

Pemeriksaan kehamilan dan pertolongan persalinan baik persalinan normal maupun


persalinan patologis dan/atau gugur kandungan
Penunjang diagnostik yang dipandang perlu oleh pelaksana pelayanan kesehatan
rujukan yang meliputi pemeriksaan laboratorium, radiologi, dan pemeriksaan
penunjang lain
Pelayanan khusus yang meliputi kaca mata, prothese gigi, alat bantu dengar,
prothese anggota gerak, dan prothese mata.
Pelayanan gawat darurat yang merupakan pelayanan yang harus segera dilakukan
untuk menghindari hal yang fatal bagi penderita.

Paket jaminan tersebut dijabarkan lebih lanjut dalam PP 14/93 dan dalam Peraturan
Menaker No. 05/Men/1993. Secara rinci jabaran lebih lanjut tentang JPK adalah sebagai
berikut:
Table 1. Paket Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Jamsostek Menurut Peraturan yang berlaku

Paket

Diatur PP 14/93, pasal


33-46

Jumlah
tertanggung

Istri/suami yang sah dan anak


sebanyak-banyaknya 3 (tiga)
orang
Semua tertanggung berhak
atas paket jaminan dasar
diberikan secara menyeluruh,
terstruktur, terpadu, dan
berkesinambungan
1. Pelayanan diberikan oleh
pelaksana pelayanan
kesehatan (PPK)
berdasarkan perjanjian
tertulis dengan PT
Jamsostek
2. PT Jamsostek membayar
PPK secara praupaya
dengan sistem kapitasi
3. Pelayanan diberikan sesuai
kebutuhan medis dan
standar pelayanan dengan
memperhatikan mutu
pelayanan
4. Tertanggung dapat
memilih PPK yang
ditunjuk badan
penyelenggara
5. Dalam keadaan tertentu
tertanggung dapat
menerima pelayanan dari
PPK di luar yang ditunjuk

Paket jaminan

Pemberian
pelayanan

JPK Jamsostek

Diatur Permenaker 05/93 pasal 20-40

Paket rawat jalan tingkat I meliputi


pelayanan:
1. Bimbingan dan konsultasi
2. Pemeriksaan kehamilan, nifas, dan ibu
menyusui
3. Keluarga berencana
4. Imunisasi bayi, anak, dan ibu menyusui
5. Pemeriksaan dan pengobatan dokter
umum
6. Pemeriksaan dan pengobatan dokter gigi
7. Pemeriksaan laboratorium sederhana
8. Tindakan medis sederhana
9. Obat DOEN (Daftar Obat Esensial
Nasional) Plus
10. Rujukan ke rawat jalan II
Pelayanan rujukan meliputi:
1. Pemeriksaan dan pengobatan oleh dokter
spesialis
2. Pemeriksaan penunjang diagnostik
lanjutan
3. Obat DOEN Plus atau generik
4. Tindakan khusus lainnya

57

H.Thabrany

Paket

Diatur PP 14/93, pasal


33-46

Diatur Permenaker 05/93 pasal 20-40

Pelayanan
kesehatan
rujukan

1. Pelayanan rawat jalan I


diberikan oleh PPK I
2. Apabila diperlukan
rujukan, maka PPK I harus
memberikan surat rujukan
kepada PPK rujukan yang
ditunjuk

1. PPK I meliputi: Balai pengobatan,


Puskesmas, dan Dokter umum praktek
swasta
2. Peserta harus memilih satu PPK I dimana
ia akan mendapat pelayanan tingkat I
3. Pelayanan dokter spesialis memerlukan
rujuan dari PPK I
4. Pelayanan tindakan/pemeriksaan
spesialistik memerlukan rujukan dari
dokter spesialis

Pelayanan
rawat inap

1. Pelayanan rawat inap yang


melebihi ketentuan
Menaker maka selisih
biayanya harus dibayar
sendiri oleh peserta

Pelayanan
gawat darurat

1. Dalam keadaan gawat


darurat tertanggung dapat
langsung menerima
pelayanan dari PPK
terdekat
2. Apabila diperlukan rawat
inap, maka dalam tempo 7
(tujuh) hari peserta harus
menyerahkan bukti bahwa
ia masih bekerja
3. Apabila perawatan
diberikan di luar RS yang
ditunjuk, maka jaminan
hanya diberikan sampai 7
(tujuh) hari dengan standar
biaya yang ditetapkan

1. Pelayanan rawat inap meliputi:


pemeriksaan dokter, tindakan medis,
penunjang diagnostik, obat DOEN
Plus/generik, menginap dan makan
2. Maksimum rawat inap adalah 60 hari
termasuk perawatan ICU/ICCU untuk
tiap jenis penyakit dalam satu tahun
3. Maksimum rawat inap ICU?ICCU adalah
20 hari
4. Standar rawat inap adalah di kelas II RS
pemerintah atau kelas III RS Swasta
Termasuk kategori gawat darurat adalah:
1. Kecelakaan/ruda paksa bukan akibat
kerja
2. Serangan jantung
3. Serangan asma berat
4. Kejang
5. Pendarahan berat
6. Muntah berak dengan dehidrasi
7. Kehilangan kesadaran/koma termasuk
ayan
8. Gelisah atau gangguan jiwa
9. Persalinan mendadak, perdarahan, dan
ketuban pecah dini

JPK Jamsostek

58

H.Thabrany

Paket

Diatur PP 14/93, pasal


33-46

Diatur Permenaker 05/93 pasal 20-40

Pelayanan
kehamilan dan
persalinan

1. Diberikan di rumah
bersalin yang ditunjuk
2. Apabila terdapat
penyulit/komplikasi maka
pelayanan dapat diberikan
di RS

Obat

1. Resep obat harus diambil


di apotik yang ditunjuk
2. Obat yang diberikan
adalah standar obat yang
ditetapkan Jamsostek
3. Apabila obat yang
diberikan di luar standar,
maka selisih biaya menjadi
tanggungan peserta

1. Hanya persalinan I, II, dan III yang


ditanggung yang ditolong dokter
umum, bidan atau dukun yang diakui
2. Apabila sewaktu masuk Jamsostek
sudah memiliki tiga anak, persalinan
tidak lagi ditanggung
3. Persalinan yang ditanggung adalah jika
usia kehamilan mencapai 26 minggu
atau lebih
4. Lama menginap persalinan yang
ditanggung adalah antara 3-5 hari,
termasuk perawatan ibu dan bayi
5. Persalinan dengan penyulit yang
memerlukan tindakan spesialistik
diperhitungkan sebagai kasus rawat
inap biasa
6. Biaya persalinan normal tiap anak Rp
50.000 (1993), Rp 75.00 di tahun 1997
dan kini Rp .
Obat yang ditanggung adalah obat yang
termasuk dalam DOEN Plus atau generik.
Jumlah jenis obat dalam daftar ini
mencakup jenis obat

JPK Jamsostek

59

H.Thabrany

Paket

Diatur PP 14/93, pasal


33-46

Diatur Permenaker 05/93 pasal 20-40

Pelayanan
khusus

1. Kaca mata hanya diberikan


melalui optik yang
ditunjuk atas dasar resep
dr. spesialis mata
2. Prothese mata hanya
diberikan melalui RS atau
perusahaan alat kesehatan
atas resep dr. spesialis
mata
3. Prothese gigi diberikan di
balai pengobatan gigi yang
ditunjuk atas dasar resep
seorang drg.
4. Alat bantu dengar
diberikan di RS atau
perushaan alat kesehatna
yang ditunjuk atas dasar
resep dr. spesialis THT
5. Prothese anggota gerak
hanya diberikan di RS
Rehabilitasi atas dasar
resep dr. spesialis
1. PT Jamsostek melakukan
pemantauan mutu
pelayanan yang diberikan
oleh PPK

1.

Lain-lain

Tindakan diagnostik yang ditanggung


meliputi pemeriksaan elektro
ensefalografi (EEG), elektro
kardiografi (ECG), Ultra sonografi
(USG), dan computerized tomography
scanning (CT-scan).
Besarnya maksimum biaya penggantian
adalah sebagai berikut (1997):
2. Frame dan lensa Rp 60.000
3. Lensa tiap dua tahun Rp 30.000
4. Frame tiap tiga tahun Rp 20.000
5. Prothese mata Rp 100.000
6. Prothese gigi Rp 100.000
7. Prothese tangan Rp 125.000
8. Prothese kaki Rp 150.000
9. Alat bantu dengar Rp 100.000
10. Penggantian prothese dan orthese
akibat rusak atau hilag tidak diganti

Pelayanan yang dipantau meliputi angka


kunjungan, pemakaian obat, rujukan
penunjang diagnostik, dan lama perawatan

Pelayanan yang tidak ditanggung oleh JPK Jamsostek adalah:


1. Pelayanan kesehatan di luar PPK yang ditunjuk
2. Penyakit atau cedera yang diakibatkan karena hubungan kerja dan karena
kesengajaan
3. Penyakit yang diakibatkan oleh alkohol, narkotik, penyakit kelamin, dan AIDS
4. Perawatan kosmetik
5. Pemeriksaan kesehatan berkala (medical check up)
6. Transplantasi organ tubuh, termasuk sumsum tulang
7. Pemeriksaan dan tindakan untuk kesuburan/fertilitas
8. Penyakit kanker
9. Hemodialisa
10. Obat-obat vitamin, berbentuk makanan tambahan atau susu, susu bayi, obat
gosok, obat infertilitas, dan obat kanker.
11. Alat perawatan seperti termometer dan eskap
12. Biaya transportasi ke dan dari PPK
13. Biaya tindakan medik superspesialistik

JPK Jamsostek

60

H.Thabrany

Seperti telah dijelaskan diatas, program JPK Jamsostek menggunakan teknik-teknik


HMO dalam pengendalian biayanya. Teknik-teknik yang digunakan adalah:
1. Peserta harus menggunakan PPK I yang telah menjalin kontrak dengan Jamsostek.
Apabila peserta tidak menggunakan PPK I yang ditunjuk, maka peserta harus
menanggung sendiri biaya pelayanan, kecuali dalam keadaan gawat darurat.
2. Untuk mendapatkan pelayanan rujukan seperti pemeriksaan oleh dokter spesialis atau
perawatan di rumah sakit, diperlukan surat rujukan dari PPK I. Tanpa rujukan peserta
tidak dapat mendapatkan pelayanan rujukan
3. Pembayaran kepada PPK dilakukan dengan sistem kapitasi. Dalam prakteknya,
pembayaran kapitasi pada umumnya dilakukan kepada PPK I saja. Sedangkan kepada
rumah sakit, pembayaran kapitasi hanya dilakukan pada daerah tertentu yang jumlah
pesertanya memadai (Purwoko dan Masud, 1998). Di Jakarta dan di berbagai cabang
lainnya, PT Jamsostek mengontrakkan kepada bapel JPKM (kini tidak lagi menjadi
keharusan) secara kapitasi untuk selanjutnya melakukan kontrak kepada berbagai
PPK. Bapel JPKM dan badan lainnya ini disebut Main Provider.
4. Mengadakan telaah utilisasi dan pengendalian mutu pelayanan. Ratio pelayanan
rujukan dengan kunjungan PPK I yang terlalu rendah atau terlalu tinggi merupakan
indikasi untuk telaah selanjutnya. Begitu juga dengan lama hari rawat yang panjang
atau terlalu pendek menjadi indikator untuk telaah utilisasi.

3.4. Perkembangan JPK Jamsostek


Program JPK Jamsostek dimulai dengan penyelenggaraan pilot proyek Jaminan
Pemeliharaan Kesehatan Tenaga Kerja di lima Propinsi selama lima tahun sebelum UU
Jamsostek disahkan. Jumlah peserta mencapai lebih dari 70.000 orang. Pengelolaan uji coba
dilakukan oleh PT Asuransi Sosial Tenaga Kerja (Astek) yang juga sebuah persero yang pada
waktu itu hanya mengelola asuransi kecelakaan kerja. Atas dasar uji coba yang bersifat
sukarela itulah kemudian JPK Jamsostek diperluas dengan menjadikan program JPK wajib
melalui UU Jamsostek. Namun demikian dalam PP 14/93, kewajiban itu dibatasi hanya pada
pemberi kerja yang belum memberikan jaminan kesehatan yang lebih baik dari yang
diberikan oleh JPK Jamsostek. Klausul opsional (opt-out) ini antara lain, menurut satu
sumber di Jamsostek sendiri, menunjukkan bahwa PT Jamsostek belum siap untuk mengelola
jumlah peserta yang sangat besar. Disisi lain, dalam proses perundang-undangan, banyak
sekali perusahaan asuransi yang menuntut agar mereka diberikan ruang untuk berbisnis
dalam bidang asuransi kesehatan. Apalagi UU No 2/92 tentang asuransi juga dikeluarkan
pada bulan Februari juga dan peraturan pemerintah untuk kedua UU tersebut juga baru
dikeluarkan setahun kemudian. Antara UU dan dikeluarkannya PP cukup banyak tersedia
waktu melobi pemerintah untuk mengatur pelaksanaan program Jamsostek. Oleh karenanya
dapat dipahami bahwa pada akhirnya kemudian PP 14/93 memberikan peluang kepada
perusahaan asuransi untuk mengambil kue dalam program JPK Jamsostek.

JPK Jamsostek

61

H.Thabrany

Provisi opt-out dimana perusahaan atau pemberi kerja (untuk mudahnya selanjutnya
disebut perusahaan) dapat membeli asuransi kesehatan atau menyediakan sendiri pelayanan
kesehatan sangat mempengaruhi perkembangan program JPK Jamsostek. Meskipun klausul
tersebut menyebutkan bahwa perusahaan yang diberikan harus lebih baik dari yang diberikan
JPK Jamsostek, dalam prakteknya hal ini belum bisa dikendalikan. Pada bulan Februari
1998, Menteri Tenaga Kerja mengeluarkan surat keputusan menteri tentang kriteria
pelayanan yang lebih baik. Permenaker No 5/93 juga mengharuskan perusahaan tersebut
menyampaikan laporan secara periodik tentang jaminan kesehatan yang diberikan kepada
karyawannya. Namun demikian, hingga saat ini penegakkan hukum tentang hal ini belum
berjalan sebagaimana mestinya. Akibatnya perusahaan yang tidak memberikan jaminan
kesehatan kepada karyawannya, alias melanggar UU Jamsostek, tidak mendapatkan sangsi.
Tentu saja hal ini tidak mendorong perusahaan untuk bergabung dengan Jamsostek. Di lain
pihak, banyak perushaan yang menilai bahwa jaminan yang diberikan Jamsostek tidak
memenuhi harapan mereka, baik kualitasnya maupun jumlahnya. Akibatnya, banyak
perusahaan yang tidak mendaftarkan karyawannya ke Jamsostek. Oleh kerena itu
perkembangan kepesertaan JPK Jamsostek berjalan sangat lamban, jika dibandingkan dengan
potensi jumlah peserta yang memenuhi syarat. Tabel 3.1 menyajikan perkembangan jumlah
perusahaan, peserta (tenaga kerja), tertanggung (anggota keluarga), besarnya penerimaan
premi JPK dan rasio klaim (biaya medis) terhadap premi yang diterima.
Tabel 3.1
Perkembangan Jumlah Peserta dan Tertanggung JPK Jamsostek, 1991-2000
Tahun
1991
1992
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
Rata-rata
tumbuh
91-2000 (%)

Pemberi Tenaga Kerja


Kerja
723
85,926
958
110,345
3,419
256,402
5,624
458,257
8,034
698,052
9,452
961,594
10,892
989,094
14,225
1,110,478
15,628
1,235,818
16,707
1,321,844
53%

40%

Tertanggung Premi diterima Rasio biaya


(Rp000) medis (%)
199,695
4,553,000
63.9
238,022
8,280,000
62.2
537,173
13,657,000
59.1
963,619
28,263,000
67.5
1,414,175
44,365,000
80.7
1,725,618
64,314,563
79,7
1,949,011
86,233,060
76.1
2,338,075 100,220,435
88.5
2,567,576 136,103,858
74,6
2,699,977 155,360,770
65,4
Rata-rata
38%
51%
72%

Sumber: PT Jamsostek, Divisi JPK, 2001

Jika dilihat dari pertumbuhan jumlah perusahaan, peserta, dan penerimaan premi
maka kinerja yang JPK Jamsostek cukup baik. Jumlah perusahaan yang mendaftarkan
karyawannya ke JPK Jamsostek meningkat rata-rata 53% setahun. Jumlah karyawan
meningkat rata-rata 40% setahun sedangkan jumlah tertanggung meningkat hanya 38% per

JPK Jamsostek

62

H.Thabrany

tahun. Artinya, semakin hari lebih banyak karyawan bujang atau keluarga kecil yang
bergabung dengan JPK Jamsostek. Data ini juga menunjukkan bahwa kebanyakan hanya
perusahaan kecil, rata-rata 91 karyawan per perusahaan selama 10 tahun, yang mendaftarkan
diri pada program JPK Jamsostek. Namun apabila dibandingkan dengan jumlah tenaga kerja
yang seharusnya mendaftar pada JPK Jamsostek, jumlah tersebut masih sangat sedikit.
Peraturan Pemerintah No. 14/93 yang mewajibkan pemberi kerja yang membayar
upah lebih dari Rp 1 juta per bulan wajib mendaftarkan karyawannya kepada Jamsostek.
Peraturan ini masih berlaku sampai saat ini. Apabila peraturan ini ditegakkan, maka paling
tidak 100 juta orang seharusnya sudah mendapatkan jaminan dari JPK Jamsostek. Perorangan
yang mempunyai seorang sopir dan dua pembantu sudah terkena kewajiban ini, karena untuk
ukuran Jakarta dengan upah minimum Rp 426.000 per bulan, orang tersebut sudah termasuk
pemberi kerja yang wajib mendaftarkan ke JPK Jamsostek. Jika dilihat jumlah tertanggung
yang hanya mencapai 2,7 juta jiwa di tahun 2000, jumlah ini kurang dari 3% dari jumlah
penduduk yang memenuhi syarat. Jika dibandingkan dengan jumlah tenaga kerja yang
terdaftar pada ketiga program Jamsostek lainnya yang mencapai 18,8 juta jiwa, pendaftar
JPK hanya mencapai 1,3 tenaga kerja. Ini berarti hanya 6,9% tenaga kerja yang mengambil
JPK dari seluruh peserta terdaftari. Jika dibandingkan dengan potensi tenaga kerja yang
menjalin hubungan kerja, yang menurut survei ILO berjumlah 56,2 jutaii, maka jumlah
tenaga kerja terdaftar pada JPK hanya 2,5% dari potensi tenaga kerja.
Pertumbuhan penerimaan premi mencapai rata-rata 51% per tahun dari Rp 4,5 milyar
di tahun 1991 menjadi Rp 155 milyar di tahun 2000. Namun demikian, jika dibandingkan
dengan penerimaan premi oleh perushaan asuransi komersial, maka besarnya premi yang
diterima JPK Jamsostek jauh lebih rendah. Total premi asuransi kesehatan dan kecelakaan
diri dari perusahaan asuransi komersial di tahun 1999 mencapai Rp 722 milyar.1 Jika
diperhitungkan besarnya premi yang diterima per kapita, maka di tahun 1991 JPK Jamsostek
menerima premi sebesar Rp 22.800 per kapita per tahun sedangkan di tahun 2000 besarnya
mencapai Rp 57,542 per kapita per tahun. Jika jumlah itu dibagi 12, maka premi bulanan
yang diterima JPK Jamsostek di tahun 2000 hanya mencapai Rp 4.795,-. Jelas jumlah
tersebut sangat kecil untuk menutupi kebutuhan kesehatan yang relatif luas. Bandingkan
dengan premi sebesar Rp 125.520 per jiwa per bulan untuk jaminan rawat inap saja dengan
santunan tahun pertama Rp 100.000,- yang dijual PT Central Asia Raya.2 Namun jia dilihat
dari rasio klaim yang rata-rata hanya 72% dari premi yang diterima, PT Jamsostek tidak
mengalami kerugian dalam mengelola JPK. Hal ini dapat terjadi karena pelayanan yang
diberikan menggunakan teknik-teknik managed care tertutup sehingga biaya dapat
terkendali. Hanya saja untuk bisa mengendalikan biaya yang sekecil itu, diperlukan upaya
yang keras.
Jika diperhatikan besarnya kontribusi dari gaji per tenaga kerja (TK) maka tampak
bahwa tenaga kerja yang terdaftar pada umumnya adalah tenaga kerja berupah rendah. Jika
pada tahun 2000 rata-rata premi per tenaga kerja adalah Rp 9.794, maka dapat diperkirakan
besarnya upah tenaga kerja tersebut. Jika diambil rata-rata premi sebesar 4,5% maka upah per
1

Djaelani. F. Perkembangan Asuransi Kesehatan di Indonesia. Seminar Nasional Asuransi Kesehatan, Jakarta,
Oktober 2000.
2
Iklan pada harian Kompas, 22 September 2001

JPK Jamsostek

63

H.Thabrany

bulan tenaga kerja yang didaftarkan rata-rata hanya Rp 217,650 per bulan. Jelas upah
tersebut merupakan upah di bawah upah minimum. Perkembangan premi per tenaga kerja
hanya tumbuh sebesar rata-rata 11% dalam sembilan tahun terakhir dan premi per kapita
tumbuh rata-rata dengan 13% per tahun. Jelas perkembangan premi ini tidak bisa mengikuti
perkembangan biaya kesehatan yang lebih tinggi.
Tabel 3.2
Analisis perkembangan premi JPK Jamsostek, 1991-2000

Tahun
1991
1992
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
Rata-rata

Premi per bulan


Per TK Per kapita
4.416
1.900
6.253
2.899
4.439
2.119
5.140
2.444
5.296
2.614
5.574
3.106
7.265
3.687
7.521
3.572
9.178
4.417
9.794
4.795

Ratio
TTG/TK
2,3
2,2
2,1
2,1
2,0
1,8
2,0
2,1
2,1
2,0
2,1

Pertumbuhan (%)
Ratio
TK/pers Premi/TK Premi/ kapita
119
115
42%
53%
75
-29%
-27%
81
16%
15%
87
3%
7%
102
5%
19%
91
30%
19%
78
4%
-3%
79
22%
24%
79
7%
9%
91
11%
13%

3.5. Masalah-masalah yang dihadapi


Dalam perkembangan JPK Jamsostek yang hampir 10 tahun, tampak jelas sekali
bahwa JPK Jamsostek tidak masih jauh dari tujuan jaminan sosial untuk memberikan
perlindungan yang memadai kepada seluruh tenaga kerja dan keluarganya. Tujuan tersebut
tidak bisa tercapai tanpa perubahan mendasar berbagai peraturan JPK Jamsostek. Berbagai
masalah struktural yang terdapat dalam peraturan tersebut adalah sebagai berikut:
1. Opsi boleh tidak ikut JPK Jamsostek dimanfaatkan oleh perusahaan untuk tidak
mengikuti JPK Jamsostek. Disinyalir banyak perusahaan yang tidak memberikan
jaminan kesehatan kepada karyawannya sekalipun tidak mendaftarkan tenaga
kerjanya ke JPK Jamsostek.
2. Batas gaji untuk perhitungan premi yang masih tetap Rp 1 juta sebulan sering
ditafsirkan sebagai hanya pegawai yang bergaji rendah saja yang wajib ikut JPK
Jamsostek. Padahal sebenarnya seluruh tenaga kerja harus menjadi peserta, akan
tetapi untuk yang gajinya lebih dari Rp 1 juta hanya membayar premi maksimum Rp
60.000. Batas ini membuat iuran JPK tidak akan memadai untuk memberikan
pelayanan yang bermutu dan lebih luas. Jika hal ini berlanjut, maka pelayanan yang

JPK Jamsostek

64

H.Thabrany

diberikan JPK Jamsostek akan semakin menurun kualitasnya. Batas besaran upah ini
juga menyebabkan tidak optimalnya subsidi silang yang diharapkan terjadi pada
program jaminan sosial.
3. Hanya perusahaan yang diwajibkan membayar premi sementara tenaga kerja tidak
diwajibkan. Hal ini tidak menimbulkan rasa memiliki oleh tenaga kerja. Di berbagai
belahan dunia, tenaga kerja biasanya ikut berkontribusi sehingga terdapat rasa
memiliki karena mereka juga ikut membayar. Bagi pengusaha, kewajiban yang hanya
dibebankan kepadanya sering dirasakan sebagai beban sehingga banyak yang tidak
melaporkan besar upah atau jumlah karyawan yang sebenarnya untuk mengurangi
kewajiban membayar premi.
4. Jaminan kesehatan ini tidak diberikan kepada mereka yang telah pensiun atau tidak
lagi dalam hubungan kerja. Akibatnya, para pensiunan yang tidak lagi menerima upah
dan mempunyai risiko sakit yang lebih tinggi tidak mendapatkan jaminan. Hal ini
menjadi beban yang berat bagi penduduk lanjut usia (lansia) di Indonesia. Begitu juga
mereka yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) tidak mendapatkan jaminan
selama mereka belum bekerja di tempat baru.
5. Batas jaminan sampai anak ketiga dan persalinan ketiga yang bertujuan untuk
menunjang program KB menimbulkan diskriminasi bagi anak keempat. Hal ini akan
menjadi beban berat bagi tenaga kerja, khususnya bila anak keempat atau persalinan
keempat menderita suatu penyakit atau penyulit berat.
6. Cakupan pelayanan yang tidak menjamin pengobatan kanker dan hemodialisa dapat
memberatkan ekonomi tenaga kerja, bukan saja bagi mereka yang berpenghasilan
rendah tetapi juga yang berpenghasilan tinggi.
7. Rumitnya pengelolaan JPK dan tingginya rasio klaim dibandingkan dengan tiga
program lainnya tentu saja kurang memberi insentif kepada PT Jamsostek sendiri
untuk mendorong pertumbuhan peserta yang tinggi. Hal ini juga ditambah kurangnya
tenaga yang menguasai dan mau memberikan perhatian khusus kepada JPK
Jamsostek.
8. Penegakan hukum terhadap pelanggaran oleh perusahaan, seperti pelaporan upah
yang lebih rendah dari yang sebenarnya, tidak mendaftarkan JPK padahal juga tidak
memberikan jaminan, dan berbagai pelanggaran lainnya tidak berada pada PT
Jamsostek. Penegakkan hukum merupakan kewenangan Depnakertrans. Visi dan
pemahaman pentingnya jaminan sosial antara petugas di PT Jamsostek dan di
Depnakertrans mungkin sangat berbeda sehingga tidak terjadi koordinasi yang baik.
9. Besarnya denda bagi perusahaan yang melanggar sebesar Rp 50 juta merupakan
sanksi yang ringan sehingga tidak mendorong perusahaan untuk secara aktif
mengikuti program ini.
10. Rumitnya manajemen akibat tingginya mutasi tenaga kerja, baik karena pindah kerja,
perubahan status perkawinan, penambahan atau pengurangan anggota keluarga, dsb.,
belum ditunjang oleh sistem informasi yang memadai.
11. Bentuk badan hukum PT Persero yang bersifat pencari laba tidak konsisten dengan
sifat penyelenggaraan jaminan sosial yang wajib yang bertujuan memaksimalkan
pelayanan bagi peserta. Bentuk badan hukum ini juga telah menimbulkan banyak
campur tangan pemerintah, selaku pemegang saham, terhadap manajemen Jamsostek.
Seharusnya pesertalah yang lebih menentukan manajemen. Oleh karenanya
perubahan bentuk badan hukum menjadi Trust Fund yang dikendalikan secara tri-

JPK Jamsostek

65

H.Thabrany

partit (pengusaha, tenaga kerja, dan pemerintah) sedang dalam pertimbangan. Selain
itu, karena bentuk persero ini juga timbul kesalah-fahaman bahwa Jamsostek
bertentangan dengan UU anti monopoli. Undang-undang anti monopoli berlaku untuk
usaha memproduksi sesuatu yang sifatnya sukarela, sementara program Jamsostek
merupakan program wajib yang merupakan kepentingan orang banyak tidak berlaku.
Oleh karenanya di berbagai belahan dunia, jaminan sosial tidak masuk dalam subyek
yang terkena UU anti monopoli dan hal ini diatur pada pasal 51 UU No5/99 tentang
Larangan Praktek Monopoli.

Surat Pembaca Kompas, tanggal 23 Desember 2003, hal 5


Tanggal 17 November 2003, saya mengajukan klaim penggantian biaya atas istri
saya yang dirawat inap di rumah sakit akibat kecelakaan. Saya mengajukan
klaim kepada PT Jamsostek Cabang Salemba, Jakarta, ternyata ditolak.
Kelangkapan surat yang saya ajukan memang salinan, tetapi sarat hukum dan
sah karena telah dilegalisasi oleh pihak rumah sakit sesuai dengan aslinya.
Sementara surat kuitansi yang asli digunakan untuk klaim asuransi lainnya.
Kalau memiliki tiga asuransi, apakah sebanyak itu pula kuitansi asli harus
dibuat untuk mengajukan klaim? Sementara pihak rumah sakit hanya
mengeluarkan satu kuitansi asli dan satu salinan yang telah dilegaliasi. Mengacu
pada ketentuan PT Jamsostek yang meminta kuitansi asli pula, berarti dari
sekian banyak asuransi hanya dapat satu klaim asuransi, sementara premi
dibayar terus
TONI
Kmp Baru Kb Koja RT 012 RW 016, Penjaringan, Jakarta Utara

i
ii

Jamsostek web data, 2001


ILO. National labor force survey, 2000

JPK Jamsostek

66

H.Thabrany

BAB 4
Asuransi Kesehatan Komersial di Indonesia
4.1. JPKM
Program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat (JPKM) mulai dikenal luas
setelah dikeluarkan UU No 23/92 tetang kesehatan yang pada pasal 66 menggariskan bahwa
pemerintah mengembangkan, membina dan mendorong JPKM sebagai cara pemeliharaan
kesehatan praupaya berasaskan usaha bersama dan kekeluargaan. Sebelum JPKM masuk
dalam UU kesehatan tersebut, berbagai upaya memobilisasi dana masyarakat dengan
menggunakan prinsip asuransi telah dilakukan antara lain dengan program DUKM (Dana
Upaya Kesehatan Masyrakat) dan uji coba PKTK oleh PT Astek. Dengan memobilisasi dana
masyarakat diharapkan mutu pelayanan kesehatan dapat ditingkatkan tanpa harus
meningkatkan anggaran pemerintah. Konsep yang ditawarkan adalah secara perlahan
pembiayaan kesehatan harus ditanggung masyarakat sementara pemerintah akan lebih
berfungsi sebagai regulator.
Upaya memobilisasi dana masyarakat tidak terlepas dari berbagai upaya swastanisasi
di dunia yang memandang bahwa dominasi upaya pemerintah dalam berbagai aspek
kehidupan masyarakat akan menghadapi masalah biaya, efisiensi, dan mutu pelayanan.
Program swastanisasi besar-besaran dilaksanakan di Inggris pada masa Perdana Menteri
Margaret Tacher untuk berbagai program pemerintahnya pada awal tahun 80an. Perusahaan
penerbangan British Airways dan radio serta televisi BBC yang tadinya dikelola pemerintah
merupakan contoh bentuk swastaniasi upaya pemerintah Inggris. Sejak itu gelombang
privatisasi di dunia terus meluas. Di dalam sistem kesehatan Indonesia upaya itu antara lain
dapat dilihat dari upaya menggerakan pembiayaan kesehatan oleh masyarakat dan
transformasi RSUP menjadi RS Perjan (Perusahaan Jawatan). Namun demikian, di Inggris
sendiri sistem pelayanan kesehatan masih tetap dikelola pemerintah dengan sistem National
Health Service. Tetapi reformasi NHS terus berjalan hingga saat ini. Dalam kerangka pikir
inilah program JPKM yang bertujuan untuk memobilisasi dana masyarakat guna membiayai
pelayanan kesehatan dikembangkan.
Perkembangan JPKM tidak lepas dari peran pemerintah Amerika Serikat melalui
program bantuan pembangunannya (the United States Agency for International Development,
USAID). Pada tahun 1988 USAID membiayai proyek Analisis Kebijakan Ekonomi
Kesehatan (AKEK) di Depkes selama lima tahun. Dalam proyek inilah antara lain
berkembang pemikiran-pemikiran pembiayaan kesehatan yang semua dikenal dengan konsep
Dana Upaya Kesehatan Masyarakat (DUKM) yang secara operasional dijabarkan dalam
bentuk JPKM. Karena seperti biasanya proyek-proyek USAID selalu membawa konsultan
dari Amerika yang secara tidak langsung mempengaruhi pemikiran yang pada waktu itu
sangat populer di Amerika. Selama pertengahan tahun 1970an dan pertengahan 1980an

Askes Komersial di Indonesia

67

H. Thabrany

memang banyak sekali publikasi-publikasi yang mengemukakan keberhasilan model Health


Maintenance Organization (HMO) di Amerika dalam mengendalikan biaya kesehatan.
Sebenarnya keberhasilan HMO di Amerika dalam pengendalian biaya kesehatan relatif
dibandingkan dengan model asuransi kesehatan tradisional. Artinya, keberhasilan HMO di
Amerika hanya dibandingkan dengan model asuransi lain yang ada di Amerika, tidak
dibandingkan dengan model asuransi yang ada di negara-negara maju lainnya yang
mempunyai kemampuan pengendalian biaya jauh lebih kuat dari HMO.
Namun demikian, karena proyek AKEK dan berbagai proyek pembiayaan kesehatan
lainnya di Indonesia selama dekade tahun 1980an lebih banyak didominasi oleh pengaruh
Amerika, maka tidaklah mengherankan jika konsep sistem pembiayaan kesehatan kita pada
waktu itu (hingga saat ini) lebih banyak mengikuti pola Amerika yang boros dan tidak
egaliter. Sementara pengaruh donor-donor dari negara-negara lain pada waktu itu tidak
banyak. Hal ini tidak saja berlaku dalam model JPKM, akan tetapi juga mempengaruhi
sistem asuransi lainnya dan sistem lainnya seperti sistem pendidikan dan keuangan.
Pada prinsipnya JPKM merupakan program asuransi kesehatan komersial yang
mengambil bentuk managed care, khususnya bentuk HMO di Amerika. Dalam ayat 4 pasal
66 UU 23/92 yang sama disebutkan bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan
JPKM diatur oleh Peraturan Pemerintah. Namun demikian, sampai saat ini PP dimaksud
belum pernah berhasil dikeluarkan.

4.1.1. Peraturan JPKM


Penyelenggaraan JPKM sampai saat ini masih menggunakan Peraturan Menteri
Kesehatan (Permenkes) No. 527 dan 571 tahun 1993, padahal amanat UU 23/ 1992, pasal 66
ayat 4 mengharuskan pengaturan lebih lanjut dari JPKM diatur oleh Peraturan Pemerintah.
Sebenarnya usulan PP tentang JPKM sudah diajukan oleh Depkes untuk disahkan sebagai
peraturan JPKM yang isinya tidak banyak berbeda dengan dua Perarturan Menteri Kesehatan
(Permenkes) No. 527 dan 571 tahun 1993. Namun demikian, sampai saat ini PP tersebut
tidak pernah disetujui ditingkat nasional/diluar Departemen kesehatan.
Dalam
penjelasannya, Dirjen Binkesmas pernah menyampaikan kepada media masa bahwa karena
ketiadaan PP padahal program JPKM hendak digerakkan, maka Permenkes tersebut
digunakan sebagai landasan peraturan. Secara hukum, Permenkes kurang mempunyai
kekuatan untuk mempengaruhi sektor lain, apalagi dengan sistem peraturan perundangan
baru di Indonesia, Permenkes tidak lagi tercantum dalam hirarki perundangan. Hirarki
perundangan secara berurutan adalah UUD45, UU, Peraturan Pemerintah, Peraturan
Presiden, dan terakhir Peraturan Daerah. Jika dipelajari dengan seksama, tampak bahwa
Permenkes 527 dan 571 mengandung banyak pengulangan dan mengatur hal-hal yang tidak
esensial, sehingga jika dilaksanakan secara konsekuen, maka bapel JPKM akan sulit menjual
produknya. Hal ini berbeda dengan peraturan asuransi yang lebih luwes. Sebagai contoh
pada pasal 7 Permenkes 527 mengatur paket dasar harus mempertimbangkan pola penyakit,
pola pemanfaatan, pola biaya rata-rata, pola jenis dan jumlah sarana kesehatan. Contoh lain
tentang pembayaran kapitasi (pasal 24) yang harus sesuai karakteristik peserta dan
penyesuaian besarnya pembayaran harus mendapat persetujuan Dirjen. Untuk memudahkan

Askes Komersial di Indonesia

68

H. Thabrany

para pembaca, dibawah ini disajikan rangkuman kedua peraturan tersebut.


Peraturan Menteri Kesehatan nomor 527/93 dan nomor 571 /93 mengatur hal-hal
sebagai berikut:1
Tujuan program JPKM adalah mewujudkan derajat kesehatan masyarakat yang
optimal melalui:
1. Pembudayaan prilaku hidup sehat
2. Penciptaan kemandirian masyarakat dalam memilih dan membiayai pelayanan
kesehatan yang diperlukan
3. Penyelenggaraan PK paripurna dengan mengutamakan upaya peningkatan
kesehatan dan pencegahan penyakit
4. Pemberian jaminan kepada setiap peserta untuk mendapatkan PK yang sesuai
dengan kebutuhannya, bermutu, dan berkesinambungan
5. Penyelenggaraan pemeliharaan kesehatan secara berhasil guna dan berdaya guna
Paket jaminan
1. Paket jaminan mencakup pencegahan penyakit, peningkatan kesehatan,
penyembuhan,
dan
dilaksanakan
secara
paripurna
(komprehensif),
berkesinambungan, dan bermutu. Paket tersebut harus disusun sesuai dengan
kebutuhan peserta.
2. Paket terbagi atas paket dasar dan paket tambahan. Paket dasar yang wajib
diselenggarakan oleh sebuah bapel. Karena bapel dapat menjual paket tambahan
hanya setelah menjual paket dasar, maka paket dasar ini pada hakikatnya sama
dengan peraturan minimum benefit dalam peraturan asuransi kesehatan di
Amerika.
3. Paket pemeliharaan dasar adalah sebagai berikut:
a. Rawat jalan meliputi promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif
(pemulihan) sesuai kebutuhan medis. Pelayanan ini harus mencakup
imunisasi, keluraga berencana, pelayanan ibu dan anak dengan catatan
pelayanan persalinan hanya diberikan sampai anak kedua.
b. Rawat inap sesuai kebutuhan medis meliputi 5(lima) hari rawat.
c. Pemeriksaan penunjang meliputi radio diagnostik dan atau ultrasonografi,
laboratorium klinik.
4. Paket tambahan dilaksanakan sesuai dengan kesepakatan bapel dengan peserta
5. Dalam keadaan gawat darurat peserta dapat memperoleh pelayanan pada setiap
PPK.
6. Peserta tidak perlu membayar lagi di PPK apabila pelayanan yang diberikan
sesuai dengan paket yang dipilihnya

Landasan Hukum Penyelenggaraan JPKM. Dirjen Bina Peran Serta Masyarakat, Depkes, 1996

Askes Komersial di Indonesia

69

H. Thabrany

Badan Penyelenggara (bapel)


1. Badan penyelenggara harus berbentuk badan hukum pemerintah atau swasta yang
dapat berupa Perseroan Terbatas atau Koperasi.
2. Badan penyelenggara harus mendapat ijin operasional dari Depkes. Syarat untuk
mengajukan ijin adalah:
a. Hasil studi kelayakan dengan kesimpulan layak
b. Memiliki rencana usaha yang meliputi: organisasi, tenaga yang memenuhi
kualifikasi yang diperlukan, jaringan PPK, dan tatalaksana
penyelenggaraan
c. Memiliki rencana operasional setiap tahun yang mencakup peserta, modal,
dana cadangan, investasi, paket, pembiayaan, dan ketenagaan.
d. Memiliki modal dan dana cadangan
3. Penyelenggaraan JPKM harus terpisah dari program lain secara organisasi,
pengelolaan, tenaga, sarana dan dana
4. Bapel wajib menyelenggarakan paket dasar
5. Bapel harus meminta persetujuan Dirjen tentang besarnya atau perubahan besar
beban biaya (premi) penyelenggaraan pemeliharaan kesehatan
6. Bapel membuat ketentuan tertulis mengenai informasi bagi peserta dan PPK,
paket, dan tata cara memperoleh pelayanan
7. Pembentukan kantor cabang jika peserta lebih dari 500 orang dan kantor
pembantu cabang jika peserta kurang dari 500 orang di suatu wilayah harus
mendapat persetujuan dari Dirjen (Kesmas).
8. Kantor cabang mempunyai fungsi yang sama denga bapel
9. Kantor pembantu cabang berfungsi: mewakili kantor pusat/cabang, pemasaran,
pendaftaran peserta, mengelola keuangan, melaporkan kegiatan pengelolaan
keuangan ke kantor cabang/pusat, mendistribusikan kartu peserta, dan membantu
menangani keluhan peserta
10. Bapel harus:
a. Memiliki modal paling sedikit sama dengan anggaran operasional satu
tahun pertama.
b. Memiliki Dana cadangan sebanyak 25% dari anggaran pelayanan
kesehatan satu tahun yang disesuaikan tiap tahun. Dana cadangan ini harus
berbentuk Deposito atas nama Menteri Kesehatan
c. Harus menyisihkan sebagian sisa hasil usaha untuk cadangan teknis
d. Menyediakan dana setiap bulan paling sedikit sama dengan 3 (tiga) bulan
anggaran pemeliharaan kesehatan, dalam bentuk tunai atau saldo bank.
e. Investasi dana harus mempertimbangkan kelangsungan penyelenggaraan
dan hanya dapat ditanam dalam bentuk: deposito, obligasi, tanah, atau
tanah dan bangunan
f. Memberikan kemudahan kepada peserta dalam bentuk: memberikan kartu
peserta, menyediakan PPK, memberi informasi yang jelas kepada peserta
g. Menampung dan menyelesaikan segala keluhan peserta untuk memperoleh
pelayanan
11. Badan penyelenggara dapat mengiklankan produknya tetapi harus jujur dan
bertanggung jawab serta tidak bertentangan dengan peraturan yang berlaku.
Pelaksanaan iklan harus terlebih dahulu mendapat persetujuan dari Dirjen.

Askes Komersial di Indonesia

70

H. Thabrany

12. Bapel harus melakukan pemantauan standar pelayanan, mutu pelayanan, dan
sarana/prasarana yang dimiliki PPK
13. Bapel harus membayar PPK dengan cara kapitasi berdasarkan perhitungan yang
harus dapat dikaji ulang.
14. Bapel dan PPK secara bersama harus menyediakan dana cadangan untuk
pelayanan peserta. Dana cadangan tersebut dihimpun dengan menahan sebagian
pembayaran kapitasi kepada PPK yang besarnya antara 15-45% dari seluruh
pembayaran bapel yang harus tercantum dalam kontrak. Dana cadangan ini harus
dimanfaatkan untuk kepentingan PPK, peserta, dan bapel dengan terlebih dahulu
mendapat persetujuan dari Dirjen.
15. Bapel harus melakukan koordinasi dengan bapel lain dalam hal peserta memiliki
jaminan ganda yang harus dinyatakan dalam kontrak.
16. Bapel harus melakukan pencatatan pelaporan yang mencakup: laporan bulanan,
tahunan, evaluasi pelaksanaan tiap 6 (enam) bulan, rencana perluasan, dan
kegiatan lain yang diperlukan. Laporan tersebut harus disampaikan kepada
Dirjen/pejabat yang ditunjuk.
17. Badan yang tidak memenuhi peraturan diatas diancam denda Rp 500 juta atau
kurungan penjara paling lama 15 tahun sesuai dengan UU 23/92 pasal 80(2).
Kepesertaan
1. Setiap orang, secara perorangan atau kelompok, dapat menjadi peserta program
JPKM
2. Setiap orang yang menjadi peserta pada lebih dari satu bapel harus melaporkan
untuk koordinasi manfaat
3. Kepesertaan dapat dilakukan setiap saat. Untuk peserta perorangan, beban biaya
paket tidak boleh melebihi 110% paket terendah.
4. Pembayaran beban biaya PK wajib dilakukan setiap bulan atau untuk jangka
waktu tertentu
5. Kepesertaan setiap orang mulai berlaku saat kesepakatan ditanda-tangani
6. Peserta berhak mengajukan keluhan dan memperoleh penyelesaian atas keluhan
yang diajukan
Masalah utama dalam peraturan JPKM adalah bahwa program JPKM berusaha untuk
memenuhi kebutuhan (bukan permintaan) masyarakat dengan mengutamakan usaha promotif
dan preventif melalui sistem komersial. Padahal sistem komersial kurang perduli dengan
kebutuhan (need) akan tetapi lebih menekankan pada aspek permintaan (demand). Sehingga
jika suatu bapel dipaksakan harus menjual produk yang mengutamakan promotif dan
preventif, yang nota bene lebih merupakan barang publik, tentu saja akan sulit mendapatkan
pembeli. Dalam peraturan tersebut tampak tidak sesuainya tujuan program dan rancang
bangun program yang tercermin dalam kedua Permenkes tersebut.

4.1.2. JPKM dan HMO


Secara garis besar antara JPKM dan HMO terdapat banyak sekali persamaan dan
sedikit perbedaan. Secara umum persamaan antara JPKM dan HMO adalah:

Askes Komersial di Indonesia

71

H. Thabrany

1. Kemiripan nama. Sama-sama menggunakan kata pemeliharaan kesehatan (health


maintenance)
2. Tidak diatur UU asuransi. Keduanya sama-sama diatur oleh UU tersendiri.
3. Kepesertaan sukarela. Di Indonesia tidak begitu jelas, disebut kepesertaan aktif,
tetapi yang jelas bukan wajib (compulsory/mandatory)
4. Sama-sama memberikan jaminan dalam bentuk pelayanan pada PPK tertentu.
5. Sistem terutup. Sama-sama menggunakan sistem tertutup, artinya apabila peserta
berobat di luar jaringan PPK yang dikontrak, bapel/HMO tidak menanggung.
6. Pembayaran kapitasi. Namun pembayaran kapitasi tidak lagi menjadi ciri HMO
sekarang, karena dalam praktek tidak mungkin HMO hanya membayar secara
kapitasi.
7. Pelayanan komprehensif. Sama-sama mengklaim memberikan pelayanan
komprehensif
8. Keharusan program jaga mutu. Meskipun dalam praktek di Indonesia hal ini
belum berjalan sesuai yang diharapkan
9. Keharusan program manajemen utilisasi. Juga di Indonesia belum berjalan
sebagaimana yang diharapkan
10. Keharusan penanganan keluhan. Juga di Indonesia belum berjalan sebagaimana
yang diharapkan
Selain persamaan diatas, terdapat beberapa perbedaan penting, yaitu:
1. Perijinan dan pengawasan. Di Indonesia perijinan bapel diberikan oleh Depkes.
Di Amerika, Depkes hanya memberi rekomendasi, sedangkan perijian dan
pengawasan dilakukan oleh Departemen Asuransi yang lebih memiliki
kemampuan untuk mengawasi usaha asuransi
2. Pengaturan. Di Amerika peraturan HMO yang dikendalikan oleh pemerintah
pusat (federal) hanyalah untuk HMO yang ingin mendapatkan kualifikasi
pemerintah federal. Pada umumnya HMO diatur oleh peraturan pemerintah
negara bagian berdasarkan NAIC MHO Model Act (suatu kerangka peraturan
yang dibuat oleh Asosiasi Direktur Departemen Asuransi negara bagian). Di
Indonesia pertauran JPKM bersifat nasional.
3. Badan penyelenggara. Di Indonesa badan penyelenggara digiring kepada bentuk
for profit sementara di Amerika badan not for profit yang dirangsang untuk
mendirikan HMO dengan berbagai insentif. Oleh karenanya di Amerika nama
badan penyelenggara disebut dengan kata Organization, karena serikat pekerja,
yayasan, atau universitas juga dapat mendirikan HMO.
4. Persyaratan permodalan. Di Amerika modal HMO harus dikaitkan dengan
risiko/tanggung jawab HMO (risk base capital). Di Indonesia, persyaratan
permodalan HMO masih terlalu rendah sehingga menimbulkan potensi kesulitan
solvabilitas.
Secara lebih rinci, perbedaan dan persamaan JPKM dan HMO di Amerika dapat
dilihat dari tabel berikut ini.

Askes Komersial di Indonesia

72

H. Thabrany

Persamaan dan Perbedaan JPKM dan HMO di Amerika


Item
Dasar

JPKM

HMO

Respons terhadap uncertainty.


Transfer risiko
UU 23/92 (belum dilengkapi dengan
PP yang dibutuhkan)
Permenkes 527 dan 571/1993,
568/1996
Pembudayaan prilaku hidup
sehat
Kemandirian masyarakat dalam
membiayai pelayanan
kesehatan
Meningkatkan derajat
kesehatan
Pemberian pelayanan yang
berhasil guna dan berdaya guna
Sukarela/aktif
Unilateral
Kondisional
Aleatory
Adhesi

Respons terhadap uncertainty. Transfer


risiko
Undang-undang HMO untuk federally
qualified HMO (1973 dan amanedemen
selanjutnya) dan NAIC HMO Model

Transfer risiko
Pooling risiko

Dengan membayar premi


Pooling risiko perorangan,
kelompok homogen dan heterogen
(community rating)

Dengan membayar iuran/premi


Pooling risiko perorangan, kelompok
homogen dan heterogen
(community & adjusted community rating)

Sharing risiko

Sharing risiko antara yang sakit dan


yang sehat, provider dan payer.

Yang dapat menjadi


bapel

Suatu yang berbadan hukum. Secara


eskplisit PT, BUMN, BUMD, dan
Koperasi
Berbagai bentuk. Misalnya
pemberian JPSBK diberikan baik
yang berbentuk yayasan maupun PT
Departemen Kesehatan

Sharing risiko antara yang sakit dan yang


sehat, provider dan payer. Payer/HMO
tanggung risiko penuh
Perorangan, serikat pekerja, organisasi,
LSM, Yayasan, Perusahaan

Dasar hukum

Tujuan

Kepesertaan
Kontrak

Bapel yang didorong


pemerintah
Perijinan dan
pengawasan keuangan
Concern terhadap
solvency
Pemasaran dan
underwriting
Ancaman bias selection
Ancaman moral hazard
Kontrol terhadap
adverse selection
Kontrol terhadap moral
hazard
Bentuk benefit

Memastikan bahwa kebutuhan


pelayanan kesehatan peserta terpenuhi
Meningkatkan derajat kesehatan
Meningkatkan produktifitas kerja
Pemberian pelayanan yang berhasil
guna dan berdaya guna

Sukarela
Unilateral
Kondisional
Aleatory
adhesi

Harus

Bapel nirlaba mendapat hibah modal tetapi


bapel for profit hanya diberikan jaminan
pinjaman
Departemen asuransi dan (+ HCFA
untuk Federally Qualified HMO)
Harus

Fokus pada kumpulan

Fokus pada kumpulan

Ada
Ada
Belum ada aturan khusus

Ada
Ada
Open enrollement

Terutama kepada PPK. Melalui


peserta dalam bentuk paket terbatas
Melalui PPK secara tertutup,
kecuali untuk kasus gawat darurat

Terutama kepada PPK (kini juga melalui


peserta)
Melalui PPK secara tertutup, kecuali untuk
kasus gawat darurat

Askes Komersial di Indonesia

73

H. Thabrany

Item
Pelayanan
komprehensif
Program promotif dan
pencegahan
Limitasi dan eksklusi
Pembayaran PPK

Manajemen utilisasi

Manajemen mutu

Penanganan keluhan

JPKM

HMO

Secara teori, belum pelaksanaan.


Permenkes mengatur paket dasar
tapi disebut komprehensif
Harus ada
Dalam praktek sangat banyak
Secara teori hanya kapitasi. Dalam
pelaksanaan sebagian besar tidak
membayar kapitasi
Harus dilaksanakan. Dalam praktek
belum berjalan karena PPK masih
jauh lebih kuat. Berlum berkembang
Menjadi penting (dan suatu
keharusan menurut peraturan)
untuk meyakinkan penjualan dan
menghindari moral hazard dari PPK
Diharuskan ada, untuk menjamin
bahwa pelayanan yang diberikan
memenuhi standar tertentu
Upaya bisnis rutin

Sudah dilaksanakan. Tidak ada tingkatan


paket dasar komprehensif.
Harus ada
Umumnya sedikit, kecuali beberapa
pelayanan tertentu
Dulu hanya kapitasi. Kini yang terbanyak
dengan FFS dengan diskon
Selalu ada. Penekanan melalui provider
dengan juga melalui peserta
Ada prospective, concurrent, dan
retrospective utilization revie.
Menjadi penting untuk meyakinkan
penjualan dan menghindari moral hazard
dari PPK
Diharuskan ada, untuk menjamin bahwa
pelayanan yang diberikan memenuhi
standar tertentu
Upaya bisnis rutin

4.1.3. JPKM sebagai asuransi


Judul diatas mungkin menggelitik sebagian orang dan juga dimasukkannya Bab 4
yang membahas JPKM di dalam buku ini dapat dipertanyakan. Sampai saat ini masih banyak
orang yang berpendapat bahwa JPKM bukan asuransi. Alasannya adalah asuransi memberi
penggantian uang sedangkan JPKM tidak memberikan penggantian uang". Topik ini sengaja
disajikan disini agar para pembaca dapat memahami benar berbagai pendapat yang ada di
masyarakat.
Alasan yang dikemukakan diatas mungkin hanya benar secara peraturan perundangundangan, karena dalam perakteknya perusahaan asuransi yang menjual asuransi kesehatan
tidak selalu memberi penggantian uang. Dalam UU No 2/92 definisi asuransi memang
berbeda dengan definisi JPKM. Dalam UU No 2/92 pada Bab I pasal 1 dijelaskan defisini
asuransi atau pertanggungan sebagai perjanjian antara dua pihak atau lebih, dengan mana
pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung, dengan menerima premi asuransi,
untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan atau
kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga
yang mungkin akan diderita tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti,
atau untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya
seseorang yang dipertanggungkan2. Dalam UU No 23/92 pasal 66 ayat 2 disebutkan
Jaminan pemeliharaan kesehatan masyarakat merupakan cara penyelenggaraan
2

Himpunan Peraturan Perundang-undangan di Bidang Usaha Perasuransian. Dirjen Lembaga


Keuangan, Departemen Keuangan RI. Jakarta 1993

Askes Komersial di Indonesia

74

H. Thabrany

pemeliharaan kesehatan dan pembiayaannya, dikelola secara terpadu untuk tujuan


meningkatkan derajat kesehatan, wajib dilaksanakan oleh setiap badan penyelenggara.
Dalam Permenkes No 571/1993 dijelaskan bahwa JPKM adalah suatu cara penyelenggaraan
pemeliharaan kesehatan yang paripurna berdasarkan asas usaha bersama dan
kekeluargaan, yang berkesinambungan dan dengan mutu yang terjamin serta pembiayaan
yang dilaksanakan secara praupaya. Kemudian pada butir b disebutkan Program JPKM
adalah upaya pemeliharaan kesehatan untuk peserta suatu badan penyelenggara yang
pembiayaannya dilakukan secara praupaya dan dikelola berdasarkan jaminan pemeliharaan
kesehatan masyarakat.i
Jadi menurut definisi yang digunakan oleh kedua UU tersebut, memang terdapat
perbedaan. Undang-undang asuransi memang menyebutkan kata penggantian, namun
dalam prakteknya penggantian tidak selalu dalam bentuk uang. Baik dalam asuransi
kesehatan maupun asuransi kendaraan bermotor, apabila terjadi peristiwa sakit/kerusakan
kendaraan akibat kecelakaan, tidak semua perusahaan asuransi memberikan penggantian
dalam bentuk uang. Banyak perusahaan asuransi yang mengganti biaya pengobatan dengan
membayar langsung ke rumah sakit yang ditunjuk. Banyak perusahaan asuransi yang
menunjuk bengkel mobil tertentu dimana tertanggung menerima beres perbaikan mobil yang
rusak. Jadi soal penggantian tidaklah harus berbentuk uang. Dalam dunia asuransi di
Amerika hal ini dilengkapi dengan pernyataan assignement of benefits yang ditanda tangani
oleh pemegang polis.
Soal penggantian uang atau pemberian pelayanan (sebagai pengganti uang) hanyalah
suatu mekanisme pelaksanaan tanggung jawab badan penyelenggara atau asuradur dalam
memberikan benefit seperti yang telah dibahas dalam Bab I. Ciri manajemen utilisasi,
pembayaran kapitasi, pengendalian mutu, penanganan keluhan peserta dan jurus-jurus lain
yang ada di JPKM bukan merupakan ekslusi asuransi. Program-program tersebut adalah
bentuk upaya pengendalian biaya untuk mengurangi risiko biaya dan upaya pemasaran,
khususnya yang terkait dengan sistem pembayaran kapitasi kepada PPK. Jurus-jurus JPKM
adalah kiat manajemen yang harus dilakukan akibat pembayaran benefit diberikan dalam
bentuk pelayanan kepada PPK yang dikontrak dengan pembayaran kapitasi. Seandainya
perusahaan asuransi kesehatan tradisional melakukan kontrak kapitasi juga, mereka akan
melakukan hal itu meskipun tidak diatur oleh pemerintah. Menyatakan bahwa "JPKM bukan
asuransi" mempunyai konsekuensi standar ganda pada saat kita berkomunikasi di dunia
internasional.
Dari segi substansi, penulis berpendapat bahwa perdebatan tentang hal ini tidak perlu
dipermasalahkan, jika hanya untuk memuaskan salah satu pendapat. Hal ini perlu
dituntaskan karena hal ini membawa konsekuensi sosial, ekonomi dan kebijakan yang dapat
mengganggu tujuan Nasional dalam bidang kesehatan. Perbedaan persepsi ini mempunyai
dampak yang sangat serius dalam pengembangan JPKM itu sendiri di kemudian hari.
Beberapa pihak menganggap hal ini perlu ditegaskan agar rujukan pelaksanaan program
asuransi kesehatan atau JPKM menjadi jelas. Ada yang berpendapat bahwa jika JPKM itu
suatu asuransi, maka program JPKM harus tunduk pada UU No. 2/92 tentang asuransi.
Tetapi, jika JPKM bukan asuransi, maka UU No. 2/92 tidak bisa digunakan untuk pengaturan
atau rujukan program JPKM. Lalu bagaimana dengan UU No. 3/92? Apakah program JPK

Askes Komersial di Indonesia

75

H. Thabrany

Jamsostek itu suatu JPKM atau asuransi kesehatan atau bukan? Kalau JPK Jamsostek adalah
JPKM atau asuransi, maka kenapa harus tunduk pada UU sendiri?
Soal peraturan mana yang mengatur; apakah itu UU No. 2/92, No. 3/92, atau UU No.
23/92, semuanya sama saja bagi penduduk atau peserta yang akan mendapatkan jaminan
kesehatan. Semuanya adalah undang-undang Negara RI. Semuanya disetujui oleh DPR dan
diundangkan oleh Presiden. Jadi semuanya sama-sama ikut mengatur agar penduduk
mendapatkan pelayanan kesehatan yang dibutuhkan. Kemanapun suatu program mengacu,
tidak jadi masalah bagi masyarakat. Semuanya dapat ditempatkan dan diatur bersama,
sehingga bisa saling memperkuat kepentingan Nasional di dalam rangka meningkatkan
derajat kesehatan, produktifitas dan kualitas hidup rakyat.
Secara objektif kita harus membandingkan ciri-ciri kontrak asuransi dan kontrak
JPKM. Apabila keduanya memiliki kesamaan, maka JPKM adalah asuransi. Pada Bab I kita
sudah membahas empat ciri utama kontrak asuransi yaitu kondisional, unilateral, aleotary,
dan adhesi. Keempat ciri kontrak tersebut juga terdapat dalam JPKM dan JPK Jamsostek.
Oleh karenanya, baik JPKM maupun JPK Jamsostek merupakan juga asuransi yang tidak
diselenggarakan oleh perusahaan asuransi. Literatur international sangat jelas mengenai
klasifikasi ini. Jika pada bagian terdahulu kita sudah membahas persamaan dan perbedaan
JPKM dengan HMO, yang sangat mirip, maka kita bisa belajar juga dari yang terjadi di
Amerika. Di Amerika, HMO memang juga bukan perusahaan asuransi tetapi yang
memberikan ijin dan yang mengawasi solvensi dan berbagai masalah hubungan pesertaHMO diatur oleh Departemen Asuransi. Karena meskipun HMO bukan perusahaan asuransi,
produk yang dijualnya adalah produk asuransi. Untuk membuat pengoperasian HMO relatif
standar di tingkat federal, maka the National Association of Insurance Commisioner (NAIC)
membuat apa yang disebut NAIC HMO Model, yang merupakan dasar untuk pengaturan
HMO di masing-masing negara bagian.
Dari kepentingan publik dan kesehatan masyarakat, apakah JPKM suatu asuransi
kesehatan atau bukan, menurut hemat penulis, tidak ada bedanya. Peserta JPKM atau
asuransi kesehatan harus dapat terlindungi dari kesulitan akses (karena biaya atau ketiadaan
fasilitas) apabila mereka terkena musibah suatu penyakit secara adil, terjangkau, dan efisien
secara nasional. Inilah yang menjadi tujuan kita bersama. Kita tidak ingin ada orang sakit
yang tidak bisa berobat karena tidak memiliki uang. Kita tidak ingin orang yang tidak perlu
berobat, lalu diobati hanya karena petugas kesehatan atau pemilik usaha di bidang kesehatan
memerlukan uang. Kita tidak ingin ada pelayanan untuk orang miskin dan ada pelayanan
untuk orang kaya. Yang kita inginkan adalah adanya pelayanan kesehatan dan pemeliharaan
kesehatan yang sesuai dengan kebutuhan medis seseorang, terlepas dari status ekonomi orang
tersebut (equity egaliter). Apakah mekanisme pemberian pemeliharaan kesehatan itu
diberikan melalui asuransi dengan penggantian biaya, ditanggung pemerintah, ditanggung
asuransi dengan jaminan pelayanan, atau ditanggung JPKM dengan pelayanan di tempat
tertentu; buat masyarakat tidak jadi masalah. Yang jadi masalah bagi masyarakat adalah jika
mereka tidak bisa mendapatkan jaminan yang memadai atau mendapat jaminan yang
memadai tetapi biayanya (premi, iuran, kontribusi, dll) mahal.

Askes Komersial di Indonesia

76

H. Thabrany

Konsekuensi serius dapat terjadi jika kita bersikeras bahwa JPKM bukan asuransi dan
karena JPKM tidak dikelola menurut prinsip-prinsip asuransi. Hal ini akan membawa akibat
sangat berat bagi peserta JPKM sendiri. Peserta JPKM akan mudah sekali menjadi korban
karena adanya kontrak adhesi dimana peserta berada pada posisi lemah. Karena bisnis JPKM
adalah bisnis risiko, maka persyaratan permodalan dan manajemen harus diatur sangat ketat
agar peserta tidak dirugikan. Kasus bapel JPKM IHBI (International Health Benefit
Indonesia) yang kini bangkrut sementara dana deposito (modal) yang disetor di Depkes
hanya sekitar 2,5% dari kewajibannya yang tidak dibayarkan ke RS (menurut sebuah
sumber), merupakan pelajaran yang sangat berharga. Jika saja JPKM dikelola menurut
prinsip-prinsip asuransi yang baik, hal itu kecil kemungkinannya terjadi. Akibatnya banyak
RS di Jakarta yang kehilangan kepercayaan terhadap JPKM. Inilah salah satu contoh, akibat
serius dari tidak tepatnya kita menempatkan JPKM.
Apakah Depkes tidak boleh mengatur asuransi kesehatan? Menurut penulis, tidak ada
alasan untuk itu. Di Amerika, Departemen Kesehatan dan Pelayanan Sosial bahkan
menyelenggarakan sendiri asuransi kesehatan sosial (Medicare), yang di dalam
administrasinya dikelola oleh Health Care Financing Administration (HIAA, 1996; HIAA,
1995; Kongsvedt, 1996)ii. Undang-undang asuransi sosial kesehatan di Jerman diatur dan
diawasi oleh Departemen Kesehatan Federaliii. Di Taiwan, Biro Asuransi Kesehatan
Nasional merupakan lembaga di bawah Departemen Kesehataniv. Tidak ada alasan bahwa
Departemen Kesehatan tidak boleh mengatur asuransi kesehatan, sehingga JPKM harus
bukan asuransi.

4.1.4. Perkembangan dan rencana ke depan


Sampai dengan saat ini terdapat 21 bapel yang telah mendapatkan ijin operasional
JPKM dari Depkes. Masih puluhan permohonan yang sedang dalam proses perolehan ijin.
Pada umumnya bapel yang telah mendapat ijin hanya bermodal sangat kecil untuk ukuran
asuransi kesehatan. Ada bapel yang hanya bermodalkan Rp 30 juta rupiah yang telah
mendapatkan ijin operasional dari Depkes. Bapel yang bermodal relatif besar hanya memiliki
modal Rp 500 juta saja. Hal ini tentu saja mempengaruhi kinerja penjualan dan pelayanan
yang diberikan oleh para bapel tersebut. Jumlah tertanggung sebuah bapel di tahun 1999 ada
yang hanya mencapai 441 jiwa sedangkan jumlah peserta bapel terbesar (di luar peserta
perusahaan asuransi) hanya berkisar pada 28.878 orang saja (yang pada akhir tahun 2000
telah bangkrut karena kesulitan solvabilitas)3. Jumlah tertanggung yang mampu diraih oleh
bapel JPKM tersebut adalah sebagai berikut:

Thabrany, H. Pujianto, Mundiharno, Djazuli. Laporan Subsidi Silang Bapel dan Pemda. PT MJM-Dirat JPKM,
Jakarta 2001

Askes Komersial di Indonesia

77

H. Thabrany

Tabel 4.1
Perkembangan jumlah tertanggung yang diperoleh oleh bapel JPKM, 1998-1999
Jumlah bapel
Jumlah tertanggung

1998
14
108.000

1999
17
108.000

2000
21
286.734*

Sumber: Profil Kesehatan 2000, Laporan Subsidi Silang JPKM, Dirat JPKM.
* Angka perkiraan dan termasuk peserta bapel IHBI dan BCS yang telah bangkrut, yang berjumlah
sekitar 30.000 tertanggung..

Produk yang dijual bapel JPKM maupun oleh perusahaan asuransi sangat bervariasi
dari yang hanya menanggung perawatan di puskesmas dengan pembayaran kapitasi dan
penggantian biaya rawat inap di RS maksimum Rp 250.000 sampai yang menanggung
perawatan di luar negeri. Paket dengan jaminan sampai perawatan di luar negeri dijual oleh
PT Askes Indonesia, yang akan dibahas tersendiri di bagian belakang bab ini. Premi jual
bervariasi dari Rp 1.000 sampai yang berharga diatas Rp 100.000 per orang per bulan. Salah
satu contoh paket dan preminya dicantumkan dalam Bab I tentang ilustrasi produk asuransi
kesehatan komersial dan sosial.

1.

2.

3.

4.

5.

6.

7.

Penyebab lambatnya pertumbuhan bapel dan peserta JPKM antara lain adalah:
Konsep JPKM dinilai terlalu ideal padahal konsep tersebut bertumpu pada
mekanisme asuransi kesehatan komersial yang seharusnya merespons permintaan.
Akibatnya tidak banyak investor berpengalaman yang berminat menanamkan
modalnya dalam bidang ini.
Peraturan bapel dan PPK yang tidak kondusif untuk bisnis jaminan dan terlalu
birokratis. Dalam prakteknya Depkes tidak mampu memantau dan menjamin
peraturan yang dibuatnya dipatuhi oleh badan penyelenggara.
Tersedia pilihan menjual asuransi kesehatan di luar JPKM yaitu yang berdasarkan UU
Asuransi. Perusahaan asuransi dapat menjual produk asuransi kesehatan tradisional,
yang lebih mudah dan menarik, maupun produk yang mirip JPKM tanpa harus terikat
pada peraturan JPKM.
Biaya kesehatan yang mahal belum menjadi masalah utama pembiayaan kesehatan
kita, bahkan justeru sebaliknya. Program JPKM yang menjanjikan pengendalian biaya
menjadi tidak relevan. Hal ini sangat berbeda dengan di Amerika dimana hampir
semua orang sangat khawatir akan mahalnya biaya kesehatan, sehingga berbagai
upaya pengendalian biaya melalui managed care menjadi pilihan yang menarik.
Contoh-contoh penyelenggaraan JPKM yang diselenggarakan Depkes memberikan
kesan bahwa JPKM adalah produk inferior. Percontohan JPKM di Klaten dan di
berbagai proyek HP IV menggunakan sarana puskesmas sebagai PPK dan dengan
premi yang hanya berkisar pada Rp 1.000 Rp 2.000 per bulan. Hal ini sama sekali
tidak bisa meyakinkan pembeli bahwa JPKM mempunyai jurus jaga mutu atau
meyakinkan bahwa mutu pelayanan yang diberikan patut untuk dibeli.
Masih murahnya pelayanan kesehatan yang dapat diperoleh di puskesmas dan rumah
sakit pemerintah menyebabkan masyarakat tidak merasakan sakit sebagai ancaman
keuangan mereka di kemudian hari.
Masih luasnya sikap risk taker di masyarakat dimana kesakitan dinilai sebagai suatu
fenomena alamiah yang harus diterima sebagai takdir.

Askes Komersial di Indonesia

78

H. Thabrany

8. Masih kuatnya sifat gotong royong tradisional masyarakat dimana apabila salah
seorang keluarga atau kerabat sakit, masyarakat yang lain ikut membantu
meringankan beban biaya si sakit.
9. Belum memadainya sumber daya manusia yang mampu mengelola asuransi
kesehatan, apalagi JPKM yang manajemennya lebih kompleks dari pengelolaan
asuransi kesehatan tradisional
10. Belum baiknya peraturan dan penegakan hukum dalam praktek asuransi kesehatan
termasuk JPKM, sehingga kasus-kasus penyimpangan penyelenggaraan asuransi
kesehatan dan asuransi lainnya menjadi trauma masyarakat yang mendorong mereka
tidak berasuransi.
Penjualan produk JPKM yang dijual perusahaan asuransi lebih berkembang
ketimbang yang dijual oleh bapel-bapel JPKM yang mendapat ijin operasional dari Depkes.
Produk JPKM antara lain juga di jual oleh perusahaan asuransi sepert PT Askes, PT Tugu
Mandiri, dan PT Allianz. Perkembangan produk JPKM yang dijual oleh perusahaan asuransi
jauh lebih banyak dari yang dijual oleh Bapel JPKM. Jumlah tertanggung atau anggota yang
mampu diraih oleh perusahaan asuransi jauh lebih banyak dari yang mampu dijual oleh bapel
JPKM. Jumlah peserta yang diraih PT Askes tahun 1999 sudah mencapai lebih dari 650 ribu
peserta dari 2.239 perusahaan dan pada tahun 2001 ini diperkirakan mencapai satu juta jiwa
(Lihat Tabel 4.1). Perusahaan asuransi Tugu Mandiri dan Allianz masing-masing telah
mampu memperoleh lebih dari 50.000 peserta managed care yang secara garis besar sama
dengan produk JPKM. Hal ini antara lain disebabkan karena kepercayaan pembeli
(perusahaan) jauh lebih tinggi kepada perusahaan asuransi daripada kepada bapel JPKM.
Kedua, pemilikan modal bapel JPKM pada umumnya sangat lemah sehingga bapel tersebut
tidak mampu merekrut tenaga profesional yang memadai jumlah dan kualitasnya. Ketiga
produk yang dijual bapel JPKM kurang mampu bersaing (cakupan dan harganya) dengan
produk yang dijual oleh perusahaan asuransi.

Gambar 4.1.
Perkembangan penjualan produk HMO/JPKM PT Askes Indonesia, 1995-1999

700
600

Tertanggung

Kontrak

1996

1997

500
400
300
200
100
0
1995

1998

1999

Sumber: Laporan Manajemen PT Askes Indonesia, 1999

Askes Komersial di Indonesia

79

H. Thabrany

Perkembangan jumlah bapel dan jumlah penduduk yang dijamin melalui bapel JPKM
yang tidak memuaskan, kemudian mendorong Depkes memperluas program ini. Pada waktu
menjadi Menkes Prof. Farid Moeloek berhasil meyakinkan Presiden Habibie bahwa
kesehatan dan pendidikan merupakan kunci keberhasilan Indonesia di dalam bersaing di
dunia global. Untuk itu dicanangkan Indonesia Sehat 2010 yang dimaksudkan untuk
menjadikan setiap langkah pembangunan berwawasan kesehatan. Dalam Indonesia Sehat
2010 ini terdapat empat pilar utama yaitu: paradigma sehat, profesionalise, desentralisasi, dan
JPKM. Masuknya JPKM sebagai salah satu pilar Indonesia Sehat 2010 mendorong berbagai
upaya untuk memperluas JPKM. Dibentuklah Direktorat Khusus JPKM yang diharapkan
dapat memperkuat perkembangan JPKM. Sebelum itu, JPKM hanya diurus di bawah
koordinasi Sub Direktorat BIUK (Bina Institusi Upaya Kesehatan) yang tidak khusus
menangani JPKM.
Untuk mendorong meluasnya cakupan bapel JPKM, maka dalam rangka program
Jaring Pengaman Sosial Bidang Kesehatan (JPSBK) dikembangkan stimulasi JPKM dengan
pendirian pra bapel di setiap kota/kabupaten di akhir tahun 1998. Setiap pra bapel diberikan
dana sebesar Rp 10.000 per keluarga miskin untuk menjadikan keluarga tersebut anggota
JPKM. Pra bapel diberikan dana 8% (Rp 800 per keluarga) untuk biaya manajemen seperti
penerbitan kartu dan pemantauan pemanfaatan pelayanan kesehatan. Sisa dana yang
Rp 9.200 dibayarkan kepada puskesmas untuk digunakan khususnya untuk upaya promotif
dan preventif. Tercatat 354 pra bapel (termasuk beberapa bapel berijin) mendapatkan dana
stimulan tersebut. Direncanakan dana tersebut akan diberikan selama dua tahun dan selama
masa tersebut diharapkan para bapel dapat berkembang menjadi bapel penuh dan mampu
menjual produk JPKM kepada keluarga yang tidak miskin. Besarnya dana yang dikucurkan
pemerintah seluruhnya berjumlah Rp 180 milyar. Program ini tidak mendapatkan dana pada
tahun kedua seperti yang direncanakan semula. Sampai saat ini pada umumnya pra bapel
tersebut belum atau tidak bisa berkembang menjadi bapel penuh. Selain alasan dana tahun
kedua yang tidak dikucurkan, hampir semua bapel yang dikembangkan tidak memiliki modal
sendiri yang memadai. Pada umumnya pra bapel tersebut juga tidak memiliki pengalaman
dalam berbisnis jaminan kesehatan sehingga tidak berkembang seperti yang diharapkan.
Menyadari bahwa JPKM secara sukarela tidak bisa berkembang seperti yang
diharapkan, maka Depkes berkeinginan menjadikan kepesertaan JPKM wajib. Sebenarnya
bisa dihasilkan PP, akan tetapi PP tidak bisa bertentangan dengan UU Kesehatan yang tidak
menyebutkan keanggotaan JPKM bersifat wajib. Jadi jika JPKM mau diwajibkan, maka tidak
ada pilihan lain kecuali harus membuat suatu UU yang mewajibkan. Maka sejak Desember
1998 dirancanglah RUU JPKM. Namun demikian sampai Oktober 2001 , draft tersebut
belum dibahas di DPR.

4.1.5. Masalah yang dihadapi


Banyak pihak tidak melihat bahwa JPKM berhasil merealisir model-model yang
diharapkan. Penyebab utamanya adalah terlalu idealnya program disusun yang tidak sesuai
dengan keadaan pasar di Indonesia. Konsep HMO yang terdengar rasional seperti menjamin

Askes Komersial di Indonesia

80

H. Thabrany

paket komprehensif, bermutu, dan berkesinambungan dengan biaya terkendali tidak sesuai
dengan keadaan pasar di Indonesia. Keinginan JPKM mampu mengendalikan biaya dengan
pembayaran kapitasi tidak ditunjang oleh pasar pelayanan yang 85% masih didominasi
pembayar per orangan dengan tingkat harga yang masih sangat rendah. Pemberi pelayanan
tidak suka dan tidak siap menerima pembayaran kapitasi, karena pasar dari pasien perorangan
masih sangat kuat. Tingkat persaingan antara PPKpun, kecuali di kota besar seperti Jakarta,
masih sangat rendah. Biaya kesehatan di Indonesia juga masih sangat rendah sehingga tidak
mendorong berbagai pihak memikirkan pengendalian biaya. Bahkan masalah utama
pembiayaan kesehatan di Indnesia adalah rendahnya pengeluaran pemerintah dan
masyarakat. Hal ini sangat berbeda dengan masalah pembiayaan kesehatan di Amerika yang
sudah memprihatinkan semua pihak. Dengan demikian, upaya menerapkan konsep-konsep
HMO di Indonesia tidak bisa berjalan seperti yang diharapkan.
Jaminan komprehensif yang dijagokan pada akhirnya hanya sampai slogan belaka
karena kemampuan pembeli pada umumnya belum sanggup untuk menjamin pelayanan
komprehensif. Perusahaan asuransi besarpun tidak semuanya menjamin paket komprehensif
seperti yang diselenggarakan HMO di AS atau asuransi kesehatan lainnya di dunia. Jaminan
pelayanan yang bermutu sangat kontradiktif dengan percontohan JPKM dan program JPKM
JPSBK yang menggunakan puskesmas sebagai PPK. Meskipun pasien yang berkunjung ke
puskesmas di Jakarta setiap harinya memang banyak, pada umumnya golongan menengah
keatas, yang mampu tidak ke puskesmas. Mereka yang mampu, bahkan yang kurang mampu
sekalipun, lebih memilih ke dokter praktek sore untuk mendapatkan pelayanan yang
dipercaya lebih bermutu. Akibatnya timbul stigma bahwa program JPKM adalah program
untuk orang miskin. Dengan melekatnya citra puskesmas yang bagi masyarakat menengah
keatas dinilai tidak bermutu, maka kepercayaan terhadap JPKM menjadi tererosi.
Bercampur-baurnya konsep membantu yang miskin, menggerakan pembiayaan oleh
masyarakat model dana sehat, harapan efisiensi dari usaha pencari laba, menjual premi sesuai
kemampuan peserta, dan berbagai keinginan ideal lainnya bercampur baur dalam konsep
JPKM. Akibatnya program ini tidak bisa bergerak karena terlalu banyak arah/ tujuan yang
hendak dicapai. Terjadilah gerakan yang saling berlawanan sehingga program tidak bergerak.
Sebagai contoh, JPKM diharapkan sebagai program memandirikan masyarakat dalam
membiayai kesehatan, tetapi banyak pra bapel bahkan beberapa bapel menempatkan target
sasaran program JPKM justeru masyarakat ekonomi lemah. Program JPKM ingin
memberikan pelayanan bermutu dan dengan biaya terkendali, akan tetapi pra bapel dan
beberapa bapel menjual produknya dengan premi sesuai kesepakatan atau atas dasar
perhitungan tarif puskesmas. Jelas hal ini bertentangan dengan konsep komersial yang
menjadi bisnis utama badan usaha yang seharusnya menjawab permintaan.
Persyaratan bapel dan kewajiban bapel yang digariskan oleh Permenkes 527 dan 571
tidak ditunjang oleh kemampuan pemerintah memantau, membina, dan mengawasi
penyelenggaraan sesuai dengan peraturan yang telah dibuat. Lemahnya kemampuan
keuangan dan manajemen para bapel berijin juga membuat pemerintah setengah-setengah
dalam mengendalikannya. Jika dikendalikan terlalu ketat, sesuai peraturan yang ada, bisa jadi
semua bapel akan mundur. Jika peraturan tidak ditegakkan maka akan menjadi preseden yang
tidak baik bagi perkembangan JPKM selanjutnya.

Askes Komersial di Indonesia

81

H. Thabrany

Singkatnya, JPKM tidak berkembang seperti yang diharapkan karena terlalu banyak
yang hendak dicapai oleh program ini pada situasi yang belum memungkinkan untuk itu.
If we want to get everything then we will get nothing. Agar JPKM yang sudah menjadi salah
satu pilar Indonesia Sehat 2010 dapat berkembang, perlu perhatian serius dari pemerintah.
Berbagai peraturan JPKM perlu ditinjau kembali (apabila tujuan yang hendak dicapai tidak
berubah) untuk lebih menyesuaikan JPKM dengan kondisi lingkungan
yang
memungkinkannya berkembang.

4.2. Asuransi Kesehatan Tradisional


Seperti yang telah dijelaskan dalam Bab I pasal 1, yang dimaksud asuransi kesehatan
tradisional adalah sistem asuransi yang pada umumnya memberikan penggantian dalam
bentuk uang tunai atau penggantian biaya berobat. Bentuk yang paling tradisional adalah
dimana asuradur tidak melakukan kontrak dengan PPK. Dalam prakteknya, bentuk ini
tidaklah banyak, baik di Indonesia maupun di Amerika. Di Indonesia banyak perusahaan
asuransi yang melakukan kontrak dengan PPK, khususnya rumah sakit, untuk memberikan
pelayanan kepada pemegang polis dan tertanggung kemudian RS tersebut melakukan
penagihan kepada asuradur. Pembayaran kepada RS biasanya dilakukan secara fee for
services (FFS). Dalam konteks seperti ini, tidak ada perbedaan berarti antara asuradur
tradisional dengan bapel JPKM, karena kebanyakan bapel JPKM juga membayar RS menurut
pelayanan yang diberikan (FFS). Harus disadari bahwa cara pembayaran tersebut sangat
tergantung pada kondisi pasar setempat dan tingkat persaingan asuransi. Dengan demikian,
membagi produk asuransi berdasarkan bentuk JPKM dan asuransi kesehatan tradisional
sangat sulit dilakukan. Faktanya perusahaan asuransi juga menjual produk yang mirip dengan
JPKM atau produk hibrid seperti PPO (preferred provider organization) di Amerika. Untuk
lebih memudahkan penyajian, apa yang akan dibahas di dalam bab ini adalah produk-produk
asuransi yang dijual oleh Perusahaan Asuransi yang beroperasi atas dasar UU Asuransi
No. 2/1992.
Sejarah penjualan asuransi kesehatan tradisional sebenarnya telah berlangsung lama.
Pada awal tahun 1970an perusahaan asuransi Nasuha telah menjual produk asuransi
kesehatan. Beberapa produk asuransi kesehatan penyakit kanker telah juga dijual pada tahun
70an. Namun pada umumnya penjualan produk asuransi kesehatan pada saat itu pada
umumnya berbentuk produk tumpangan (rider) dan hanya dijual oleh beberapa perusahaan
asuransi saja. Produk asuransi kesehatan belum mendapat perhatian masyarakat, peraturan
belum jelas dan pasarnya juga masih sangat terbatas. Baru setelah UU No 2/92
mencantumkan bahwa perusahaan asuransi jiwa boleh menjual produk asuransi kesehatan
dan UU Jamsostek dikeluarkan seminggu kemudian, maka penjualan asuransi kesehatan
menjadi ramai.

Askes Komersial di Indonesia

82

H. Thabrany

4.2.1. Landasan Hukum


Kata kesehatan masuk dalam UU No 2/92 pada dua bagian yaitu pada bagian obyek
asuransi dan pada pasal 1. Dalam pasal 4 disebutkan Perusahaan asuransi jiwa hanya dapat
menyelenggarakan usaha di bidang asuransi jiwa, asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan
diri .4 Pada awalnya pasal ini menimbulkan kontroversi dan protes di kalangan
perusahaan asuransi kerugian. Dalam UU Asuransi, usaha asuransi dibagi menjadi dua
bagian besar yaitu: Asuransi kerugian dan asuransi jiwa. Selain kedua bentuk usaha asuransi
tersebut, terdapat usaha re-asuransi dan penunjang asuransi seperti aktuaria, agen, dan penilai
risiko yang diperkirakan menjadi beban asuradur (underwriter). Melihat sifat risikonya,
asuransi kesehatan merupakan asuransi kerugian karena besarnya kehilangan dapat diukur
dengan mudah, yaitu biaya pengobatan atau perawatan akibat kehilangan kesehatan.
Sementara pada asuransi jiwa, besarnya risiko tidak bisa diukur akan tetapi bisa
dikuantifikasi. Oleh karenanya sifat alamiah jenis asuransi jiwa berbeda dengan asuransi
kesehatan. Namun, jika dilihat dari obyeknya sama-sama manusia, usaha asuransi jiwa dan
kesehatan sangat erat hubungannya. Itulah sebabnya dalam UU tersebut hanya disebutkan
bahwa usaha asuransi jiwa dapat menjual asuransi kesehatan sementara penegasan itu tidak
perlu dilakukan karena asuransi kesehatan merupakan asuransi kerugian. Jadi perusahaan
asuransi kerugian secara otomatis boleh menjual asuransi kesehatan.
Banyak orang berpendapat bahwa adanya UU Asuransi, UU Jamsostek dan UU
Kesehatan menimbulkan konflik karena semuanya mengatur asuransi kesehatan. Hal ini
sebenarnya tidak tepat. Undang-undang asuransi tidak mengatur asuransi kesehatan. UU
asuransi mengatur berbagai persyaratan modal, operasional, dan pelaporan perusahaan
asuransi, reasuransi, dan penunjang asuransi. Undang-undang asuransi sama sekali tidak
mengatur kontrak spesifik asuransi kesehatan seperti halnya berbagai UU di Amerika yang
misalnya mengatur paket minimum, pre-existing condition, dan portabilitas. Undang-undang
dan peraturan lain yang merincinya hanya mengatur bisnis asuransi, tanpa mengatur produk
masing-masing asuransi. Sementara itu UU Kesehatan juga tidak mengatur asuransi
kesehatan meskipun dalam pasal 66 disebutkan bahwa pemerintah mendorong
pengembangan JPKM, yang merupakan salah satu produk asuransi kesehatan. Namun
demikian, dalam pengaturan JPKM selanjutnya yang diatur dengan Permenkes, pada
hakikatnya Permenkes tersebut memang mengatur bisnis asuransi kesehatan yang dijual oleh
bukan perusahaan asuransi (yaitu oleh bapel JPKM). Memang di Amerika, produk yang sama
dengan JPKM (HMO) umumnya diatur oleh Departemen Asuransi karena meskipun produk
HMO sama sekali tidak menggunakan nama asuransi, pada hakikatnya produk yang dijual
adalah produk asuransi kesehatan.

4.2.2. Produk asuransi kesehatan traditional dan manfaat pelayanan


Produk asuransi kesehatan tradisional dapat dibagi menjadi dua bagian besar yaitu
produk asuransi kumpulan/grup dan produk perorangan. Produk asuransi kumpulan dapat
dibedakan menjadi dua bagian besar yaitu:
4

Himpunan Peraturan Perundang-undangan Bidang Usaha Asuransi. Dirjen Lembaga Keuangan RI,

1993.

Askes Komersial di Indonesia

83

H. Thabrany

1. Produk standar yang dibuat perusahaan dimana pembeli tinggal memilih produkproduk yang telah dibuat. Produk ini sama dengan produk asuransi kesehatan
perorangan dimana pembeli hanya bisa memilih dari produk yang telah ada. Untuk
produk kumpulan, produk standar ini dijual ke kumpulan (umumnya masih ke
perusahaan) yang relatif kecil.
2. Produk rancangan khusus (taylor made) yang dibuat atas dasar permintaan pembeli
yang menginginkan pelayanan tertentu dijamin. Misalnya, ada perusahaan yang
meminta jaminan rawat inap sampai 90 hari tanpa memperhitungkan jumlah hari
rawat di ICU. Ada perusahaan yang menginginkan transplantasi ginjal dan sumsum
ditanggung. Bahkan ada perusahaan yang menginginkan tidak ada batasan.
Mengingat sifatnya yang komersial, produk asuransi kesehatan dapat sangat beragam
yang mencerminkan kombinasi dari jaminan yang diberikan, cara pembayaran
manfaat/benefit, besarnya biaya/beban sendiri, dan jaringan PPK yang boleh digunakan. Jika
dihitung kombinasi dari berbagai aspek tersebut diatas, maka secara teoritis dapat tersusun
lebih dari satu juta produk asuransi kesehatan. Hal tersebut tergantung dari berbagai
kombinasi, seperti :
1. Cakupan pelayanan yang ditanggung yang dapat bervariasi dari pelayanan promotifpreventif sampai pelayanan jangka panjang (long term care) (lihat gambar 4.2).
2. Besarnya biaya sendiri yang dapat berupa biaya pertama (deductible), iur biaya (copayment/coinsurance), batas pertanggungan maksium (limit) per perawatan, per
penyakit, atau total manfaat setahun.
3. Cara pembayaran manfaat/benefit yang dapat berupa uang tunai tanpa terkait dengan
pelayanan yang diberikan, penggantian biaya dengan atau tanpa batas maksium per
pelayanan atau per perawatan setelah tertanggung membayar dulu di muka,
pembayaran langsung ke PPK, ataupun kontrak pembayaran khusus seperti kapitasi.
4. Pilihan PPK seperti dokter praktek, dokter spesialis, rumah sakit, kelas perawatan,
PPK tertentu yang telah dikontrak atau bebas memilih dimana saja, tanggungan
pelayanan kesehatan di dalam dan di luar negeri.
5. Pelayanan tambahan lain yang digabungkan yang dapat berupa santunan kecelakaan
diri, sakit pada waktu bepergian ke luar negeri, santunan kematian, ongkos ambulan,
biaya repatriasi/evakuasi, santunan cacat tetap, dan pengembalian premi

Askes Komersial di Indonesia

84

H. Thabrany

Gambar 4. 2
Potensi Cakupan Pelayanan Dalam Paket Pertanggungan Asuransi Kesehatan

Promotif

Sehat
Pencegahan

Area kondisi tubuh produktif

Pengobatan segera

Klinis
Pengobatan berhasil

Ganggu
kegiatan

Mati

Area hari produktif yg hilang


Tak diobati/Gagal

Penyembuhan tak sempurna/cacat


Waktu/Umur

Pada umumnya paket jaminan yang ditawarkan oleh perusahaan asuransi adalah
sebagai berikut:

1. Rawat Inap di Rumah Sakit


a. Biaya rawat inap
Umumnya masa rawat inap yang dijamin bervariasi dari maksimum 60 hari sampai
365 hari setahun
Umumnya untuk setiap perawatan di rumah sakit asuradur memberikan santunan
berupa uang sejumlah tertentu, misalnya Rp 100.000 - Rp 500.000 per hari.
Tertanggung dapat menggunakan dana tersebut untuk membiayai perawatan dan atau
keperluan lain misalnya transportasi, biaya keluarga di rumah, dan lain-lain.
b. Penggantian biaya ruang perawatan dan makanan (room & board)
Mencakup biaya ruang, makanan, dan pelayanan asuhan keperawatan rutin.
Penggantian biaya atas dasar plafon/batas maksimum per hari sesuai paket yang dibeli
peserta atau perusahaan. Biasanya penggantian mengacu pada tarif kamar tertentu di
RS swasta, misalnya kelas III, kelas II, dsb.
Penggantian biaya penuh sesuai tagihan rumah sakit. Pada produk ini seringkali
asuradur membayarkan langsung ke RS atas tagihan RS.

Askes Komersial di Indonesia

85

H. Thabrany

c. Biaya pelayanan dan bahan medis lain (biaya aneka)


Biaya konsultasi dokter/visite yang dapat dibatasi jenisnya (dokter umum/spesialis)
atau jumlahnya per hari atau dalam bentuk maksimum biaya yang diganti.
Kebanyakan RS membedakan jenis-jenis biaya ini dalam tagihan/klaimnya.
Biaya obat atau bahan medis yang masuk kelompok medicines, pemeriksaan
radiologi, pemeriksaan laboratorium, pemakaian ruang operasi, dan pelayanan
ambulan atau fasilitas lain.
Bebarapa produk membatasi biaya obat pada obat-obat generik atau sesuai dengan
resep dokter
Biaya pembedahan yang mencakup sewa kamar operasi, bahan dan obat-obatan, dan
honor dokter bedah.
Biaya anestesi (jasa dan bahan) pada umumnya dimasukkan sebagai komponen
jaminan pembedahan.
Biaya-biaya ini dibayar dengan tiga cara:
Biaya maksimum untuk tiap pelayanan yang diberikan.
Untuk pembedahan seringkali digabungkan antara biaya dokter bedah dan
anestesi dengan plafon penggantian tertentu. Ada produk yang membedakan
operasi khusus, sedang, kecil, dsb.
Dibayar penuh sesuai tagihan rumah sakit
d. Biaya Pelayanan Intensif (Intensive Care Unit)
Perawatan intesif penyakit jantung (ICCU) atau pelayanan intensif umum (ICU)
biasanya ditanggung sampai maksimum jumlah hari, atau biaya, atau kombinasi
keduanya.
e. Biaya penunjang medik
Biaya penunjang medik seperti laboratorium, radiologi, patologi anatomi, dan
pemeriksaan penunjang medis lain biasanya ditanggung dengan plafon tertentu.

2.Rawat Jalan

Rawat jalan dokter umum maupun dokter spesialis biasanya ditanggung dengan plafon
penggantian tertentu.
Ada produk yang mengharuskan rujukan dari dokter umum untuk menjamin perawatan
oleh dokter spesialis
Biaya obat atau pemeriksaan penunjang ditanggung dengan plafon tertentu per kali atau
per tahun.

3. Asuransi Kecelakaan Diri


Asuransi kecelakaan diri (AKD) merupakan kombinasi dari asuransi kesehatan dan
jiwa karena jaminan yang diberikan tidak hanya terbatas pada biaya pengobatan apabila
terjadi kecelakaan. Justeru yang lebih ditawarkan dari AKD ini adalah jaminan cacat tetap
dan jaminan kematian akibat kecelakaan. Biasanya jaminan diberikan dalam bentuk
Askes Komersial di Indonesia

86

H. Thabrany

penggantian sejumlah uang apabila terjadi kecelakaan yang memenuhi syarat pertanggungan.
Perkembangan AKD dari segi premi menempati urutan pertama asuransi kesehatan dalam
periode awal. Namun demikian, kini jumlah premi dari penjualan asuransi kesehatan yang
bukan AKD sudah mulai melampaui jumlah premi yang diperoleh perusahaan asuransi di
Indonesia.

4. Asuransi Perjalanan
Asuransi perjalanan (travel insurance) kini juga mulai ramai diperdagangkan sejalan
dengan semakin banyaknya penduduk yang melakukan perjalanan untuk tujuan pekerjaan
maupun liburan. Asuransi perjalanan juga menjamin mahasiswa yang akan belajar di luar
negeri. Asuransi ini dijual untuk perjalanan satu minggu hingga satu tahun dan berlaku di
seluruh dunia. Paket jaminannya mencakup biaya perawatan/pengobatan selama perjalanan
yang diberikan dalam bentuk uang tunai, biaya evakuasi medis/repatriasi, santunan cacat, dan
mencakup santuan kematian.

5. Asuransi Kesehatan Pensiun


Beberapa perusahaan asuransi seperti Bringin Life dan Tugu Mandiri sudah
menawarkan produk asuransi kesehatan dengan pembayaran premi sekaligus atau berkala
selama masa kerja. Jaminan diberikan ketika pegawai tersebut memasuki usia pensiun
sampai pegawai tersebut dan pasangannya meninggal dunia. Karena saat ini tidak tersedia
program pemerintah yang menjamin pensiunan mendapatkan pelayanan kesehatan, produk
seperti ini menarik pasar. Namun demikian, banyak pembeli yang belum bisa yakin benar
dengan produk yang ditawarkan karena belum banyak pengalaman.
Contoh paket yang ditawarkan oleh Asuransi Bringin Life adalah:
Rawat inap
ITEM
Biaya Kamar & Makan / Hari
Aneka Biaya Perawatan RS
Biaya Operasi
Kunjungan Dokter / Hari
Maksimum santunan per tahun

A
250.000
10.000.000
10.000.000
62.500
48.125.000

Paket Jaminan (Rp)


B
C
75.000
125.000
3.000.000
5.000.000
3.000.000
5.000.000
18.750
31.250
24.062.500 14.437.500

D
50.000
2.000.000
2.000.000
12.500
9.625.000

Rawat jalan
Rawat jalan juga ditanggung dengan jaminan maksimum per tahun dan rincian
sebagai berikut:
PAKET/PLAN
Rawat jalan maksimum per tahun

Askes Komersial di Indonesia

A
1.250.000

87

B
1.000.000

C
750.000

D
500.000

H. Thabrany

Ruang Lingkup Rawat Jalan :


a. Rawat Jalan Tingkat Pertama :
Pemeriksaan dan pengobatan oleh dokter umum.
Pemeriksaan dan pengobatan oleh dokter gigi
Pemberian obat-obatan sesuai dengan kebutuhan medis
b. Rawat Jalan Tingkat Lanjutan :
Pemeriksaan dan pengobatan oleh dokter spesialis
Pemberian obat-obatan sesuai dengan kebutuhan medis
c. Penunjang Diagnostik :
Pemeriksaan laboratorium klinik dan pelayanan radiology
Pelayanan elektromedis : EEG, EKG, EMG dan USG
Pelayanan Endoskopi, CT Scanning dan MRI
d. Pelayanan Emergency (Gawat Darurat) :
Kecelakaan/rudapaksa
Serangan jantung
Serangan asma berat
Kehilangan kesadaran
Kejang dengan demam tinggi
Muntah berak disertai dehidrasi
Kolik (kejang perut)
e. Pelayanan Rehabilitasi
Kacamata
Gigi palsu
Alat Bantu dengar
Alat kesehatan : pin, srew

Askes Komersial di Indonesia

88

H. Thabrany

Contoh produk askes tradisional (dari sebuah iklan di harian Kompas, 21 September
2001).
Produk: Santunan tunai harian untuk rawat inap
Karakteristik produk/manfaat:
Santunan uang tunai, maksimal Rp 200.000 apabila peserta dirawat di
rumah sakit di tahun pertama
BONUS tambahan santunan Rp 50.000 per hari untuk tahun kedua dan
seterusnya
Lama kontrak delapan tahun
Daya tarik yang ditawarkan:
Uang kembali 100%. Seluruh premi yang dibayarkan akan dikembalikan
pada akhir tahun ke delapan, meskipun peserta telah mengajukan klaim
berkali-kali
Bebas memilih rumah sakit di dalam dan di luar negeri
Tidak perlu pemeriksaan kesehatan.
Peserta diberikan waktu 15 hari untuk mempelajari polis. Apabila dalam
15 hari prospek merasa polis tidak sesuai harapannya, maka polis dapat
dibatalkan dan premi yang telah dibayar dikembalikan 100%
Pendaftaran mudah, melalui pos atau fax.
Tabel: Santunan tunai harian dan per tahun (Rp)
Masa
kontrak
Th ke 1
Th ke 2
Th ke 3
Th ke 4
Th ke 5
Th ke 6
Th ke 7
Th ke 8

Paket A
Paket B
Per hari
Per th
Per hari
Per th
100.000
36.500.000 150.000
54.750.000
150.000
54.750.000 200.000
73.000.000
200.000
73.000.000 250.000
91.250.000
250.000
91.250.000 300.000
109.500.000
300.000 109.500.000 350.000
127.750.000
350.000 127.750.000 400.000
146.000.000
400.000 146.000.000 450.000
164.250.000
450.000 164.250.000 500.000
182.500.000

Per hari
200.000
250.000
300.000
350.000
400.000
450.000
500.000
550.000

Paket C
Per th
73.000.000
91.250.000
109.500.000
127.750.000
146.000.000
164.250.000
182.500.000
200.750.000

Tabel: Besarnya premi bulanan per orang (Rp)


Usia (tahun)
0-15
16-39
40-44
45-49
50-54
55-57

Askes Komersial di Indonesia

Paket A
42.000
125.250
168.750
230.250
338.250
406.500

Paket B
50.520
148.500
200.250
272.250
399.750
485.250

89

Paket C
58.500
171.750
232.500
314.250
462.000
563.250

H. Thabrany

4.2.3. Perkembangan
Perkembangan kepesertaan dan perolehan premi setelah dikeluarkannya undangundang asuransi menunjukkan perkembangan yang menggembirakan perusahaan asuransi.
Namun demikian, pasar asuransi kesehatan tradisional ini pada umumnya masih sangat
terbatas di kota-kota besar dan dari perusahaan-perusahaan yang cukup besar pula.
Perkembangan penerimaan premi dan klaim usaha asuransi kesehatan adalah seperti
tercantum dalam tabel 4.2. Tampak dalam tabel tersebut perkembangan penerimaan premi
oleh perusahaan asuransi kerugian, yang menggabungkan laporan AKD dengan asuransi
kesehatan. Tampak pertumbuhan penerimaan premi melonjak tajam antara tahun 1996-1997.
Belum jelas benar apa yang menyebabkan lonjakan penerimaan premi AKD dan Kesehatan
ini. Namun setelah tahun 1997 terjadi peningkatan yang pesat rata-rata mencapai 24%
setahun.
Jika dibandingkan dengan penjualan premi AKD dan Kesehatan yang dilakukan oleh
perusahaan asuransi jiwa, tampaknya perusasaan asuransi jiwa lebih mampu memanfaatkan
peluang asuransi kesehatan ini. Di tahun 1999 perusahaan asuransi jiwa mampu
mengumpulkan premi sebesar hampir Rp 180 milyar dari produk AKD dan Rp 222 milyar
dari asuransi kesehatan murni. Jika dilihat perbedaan antara perusahaan asuransi nasional
dengan patungan, tampaknya perusahaan patungan dengan asing lebih mampu mengeruk
premi asuransi kesehatan. Hal ini mungkin terkait dengan tingkat kepercayaan konsumen dan
tingkat keahlian perusahaan asuransi international, khususnya perusahaan asuransi Amerika
yang telah banyak berpengalaman menjual asuransi kesehatan. Jumlah premi asuransi
kesehatan tersebut tidak termasuk dengan besarnya premi yang diterima oleh PT Askes dari
penjualan produk asuransi kesehatan komersialnya yang mencapai Rp 100 milyar tahun lalu.
Tabel 4. 2.
Perkembangan volume asuransi kesehatan dan kecelakaan diri yang dijual perusahaan
asuransi kerugian 1995-1999 (Rp juta)
Premi
Tahun
1995
1996
1997
1998
1999

50.231
54.243
145.568
180.130
225.049

Pertumbuhan

8,0%
168,4%
23,7%
24,9%

Sumber: Laporan Kegiatan Asuransi 1999

Perkembangan usaha asuransi kesehatan tradisional di Indonesia memang baru tahap


permulaan yang mulai berkembang setelah UU Jamsostek dikeluarkan. Pertumbuhan
asuransi kesehatan tradisional, selain disebabkan banyak usaha asuransi patungan yang telah
berpengalaman menjual produk asuransi kesehatan, khususnya perusahaan asuransi yang
pernah beroperasi di Amerika, juga didorong oleh PP 14/93 tentang Jamsostek yang

Askes Komersial di Indonesia

90

H. Thabrany

membolehkan perusahaan yang sudah memberikan pelayanan lebih baik untuk tidak ikut JPK
Jamsostek. Tanpa klausul ini, usaha asuransi kesehatan sulit berkembang lebih cepat lagi.

Tabel 4.3
Perkembangan penerimaan premi AKD dan asuransi kesehatan 1998-1999
(Rp juta)
Jenis
Premi 1999
Klaim 1999
perusahaan
AKD
Askes
AKD
Askes
ASURANSI KERUGIAN
BUMN
Nasional
100.884,3
11.868,6
Patungan
76.029,8
28.409,0
Reasuransi
35.410,6
48.135,6
Total
Asurnasi
kerugian
225.049,70
75.688,2
ASURANSI JIWA
BUMN
2.465,4
608,5
Nasional
132.883,8
67.379.9
Patungan
44.455,7 154.906,8
Total
179.804,9 222.895,3
Asurnasi
Jiwa
Grand
627.749,9*
TOTAL
Sumber: Laporan Kegiatan Asuransi 1999
*Jumlah tersebut tidak termasuk produk Askes komersial yang dijual
PT Askes yang masuk dalam kelompok JPKM

Landasan Hukum Penyelenggaraan JPKM (kumpulan peraturan). Ditjen DPSM,


Jakarta 1996.
ii
Managed care: Managed care: Integrating the Delivery and Financing of Health Care,
Part A. HIAA, Wshington D.C., 1995
Managed care: Managed care: Integrating the Delivery and Financing of Health Care,
Part B. HIAA, Wshington D.C., 1996
Kongstvedt, P.R. The Managed Health Care Handbook. Third Ed. Aspen Publication,
Gaithersburg, MD. 1996
iii
Health Care in Germany. The Federal Ministry for Health, Germany. Kiel, Germany,
1995.
i

iv

Bureau of National Health Insurance, Taiwan.

Askes Komersial di Indonesia

91

H. Thabrany

BAB 5
Asuransi Kesehatan Nasional:
Contoh dan Masa Depannya di Indonesia
5.1. Pendahuluan
Hampir 60 tahun lamanya, kita mendengungkan sila Keadilan Sosial Bagi
Seluruh Rakyat dan Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, tetapi sebagian besar
penduduk Indonesia belum merasakan adanya pelanggaran kedua sila tersebut apabila
orang sakit tidak dirawat karena tidak mampu membayar biaya perawatan. Penderitaan
orang semacam itu sudah dianggap suatu hal yang rutin dan diterima secara budaya. Kini
semakin banyak dokter dan rumah sakit yang semakin kurang mementingkan kesehatan
pasiennya, tetapi lebih memelihara tingkat penghasilannya. Pasien tidak mampu berbuat
sesuatu karena adanya informasi asimetri yang menempatkan pasien pada posisi lemah
(consumer ignorance).1,2,3 Kecendrungan ini akan menambah beban berat bagi masyarakat
miskin dan yang tidak miskin sekalipun. Sampat saat ini belum ada kekuatan
penyeimbang atas informasi asimetri, kesenjangan informasi yang amat jauh, antara
dokter/provider dengan pasien yang hampir tak punya pengetahuan dan kemampuan
dalam mengambil keputusan konsumsi pelayanan kesehatan. Sebuah sistem asuransi
kesehatan nasional merupakan alat yang ampuh dalam mengatasi masalah informasi
asimetri tersebut dalam menolong konsumen (peserta/pasien) yang ignorance.
Setelah dimulainya program jaminan kesehatan masyarakat kurang mampu melalui
subsidi iuran pemerintah untuk penduduk kurang mampu, sekitar 54 juta jiwa, kini sekitar
145 juta penduduk masih terancam menjadi miskin jika ia terserang penyakit berat yang
membutuhkan perawatan di rumah sakit. Oleh karenanya ada pemikiran untuk menjamin
pelayanan perawatan di RS pemerintah kelas III, apapun kelas ekonomi penduduk. Kita
tidak mungkin mengandalkan mekanisme pasar dalam mencegah dan menolong proses
pemiskinan yang terus terjadi. Data-data survei rumah tangga menunjukkan bahwa lebih
dari 80% rumah tangga Indonesia menghabiskan 60% atau lebih dari pendapatannya
sebulan untuk belanja makanan. Jika sebuah rumah tangga harus membayar lebih dari
40% pendapatannya untuk berobat, maka rumah tangga tersebut terancam mengorbankan
konsumsi makanannya yang dapat menimbulkan berbagai komplikasi penyakit dan
komplikasi sosial ekonomi dari sebuah tatanan kehidupan sebuah keluarga. Pemberian
asuransi/jaminan kesehatan merupakan suatu upaya preventif terhadap bertambah
beratnya suatu penyakit, kematian, dan bahkan pencegahan terhadap berbagai masalah
sosial dan ekonomi. Inilah Paradigma baru yang harus kita pahami.

AKN : Contoh dan Masa Depannya di Indonesia

92

H. Thabrany

5.2. Mengapa Asuransi Kesehatan Nasional ?


Istilah asuransi di Indonesia sesungguhnya belum mendapat tempat yang cukup
baik karena pengalaman dan ketidak-tahuan penduduk. Praktek-praktek bisnis asuransi
yang masih sering menimbulkan kekecewaan pemegang polis (atau yang di Indonesia
lebih sering dikenal dengan istilah peserta), baik karena ketidak-fahaman peserta, polis
yang kurang melindungi peserta, polis yang tercetak dengan hurup kecil dan sulit dibaca,
maupun karena tindakan moral hazard* dari pengelola bisnis asuransi, telah menimbulkan
image yang kurang baik dari kata-kata asuransi. Ketidak-fahaman tentang asuransi di
kalangan masyarakat luas juga telah menimbulkan kesan negatif dari upaya-upaya
penyediaan asuransi secara nasional, baik dalam bidang kesehatan maupun dalam bidang
perlindungan hari tua maupun kematian. Kesan jeleknya pelayanan Askes (oleh PT Askes)
yang dahulu dirasakan oleh banyak peserta pegawai negeri golongan III dan IV masih
banyak membekas dan sering diungkapkan sebagai kelemahan nasional. Meskipun
sesungguhnya banyak perbaikan telah dilakukan Askes, namun sebagian masyarakat
pegawai negeri dan swasta, masih memiliki kesan pelayanan yang buruk. Kenyataannya
PT Askes beberapa kali mendapat penghargaan dari pengamat asuransi kesehatan dan
pengamat BUMN sebagai pengelola asuransi kesehatan terbaik. Tentu tidak mudah dan
tidak cepat mengubah persepsi yang sudah terlanjur kurang baik, khususnya oleh
masyarakat kelas atas. Data pemantauan Askes memang menunjukkan bahwa tingkat
kepuasan peserta terhadap pelayanan Askes mencapai sekitar 80%, artinya masih ada
sekitar 20% peserta yang kurang atau tidak puas. Sesungguhnya tingkat kepuasan ini
merupakan tingkat yang tinggi untuk suatu asuransi sosial.
Praktek penyelenggaraan asuransi sosial juga telah terdistorsi, dengan
menyamakan badan penyelenggara sebagai unit bisnis yang harus mendapatkan
keuntungan finansial, sehingga menambah buruk kesan asuransi yang sesungguhnya
sangat netral dan merupakan alat ampuh dalam menjalin kegotong-royongan penduduk
dimanapun di dunia. Sejarah masih mencatat sampai saat ini bahwa lima badan
penyelenggara asuransi sosial, yaitu PT Askes Indonesia, PT Jamsostek, PT Taspen,
PT ASABRI, dan PT Jasa Raharja adalah BUMN Persero yang bertujuan mencari laba.4
Bentuk badan hukum penyelenggara asuransi sosial yang merupakan PT Persero, yang
secara legal bertujuan mencari keuntungan dan inheren tidak mendapatkan subsidi
pemerintah, sama sekali tidak sesuai dengan prinsip universal, visi dan misi suatu program
asuransi sosial. Kebijakan masa lalu ini merupakan kebijakan keajaiban dunia ke
delapan di dunia, karena sepanjang pengetahuan penulis, Indonesia adalah satu-satunya
negara yang menyelenggarakan program asuransi sosial dimana badan penyelenggaranya
menyetorkan laba bagi keuangan negara. Syukurlah, Undang-Undang Sistem Jaminan
Sosial Nasional (SJSN) telah meluruskan penerapan konsep asuransi sosial dengan
menetapkan keempat BUMN tersebut sebagai Badan Penyelenggara Jaminan Sosial yang
harus bersifat nirlaba. Artinya, jika terdapat surplus operasional, maka dana surplus
tersebut akan dikembalikan sepenuhnya untuk manfaat bagi peserta. Pengaturan lebih

Istilah moral hazard umum digunakan untuk tertanggung (insured), namun demikian perilaku untuk
memanfaatkan informasi asimetri guna menguntungkan pihaknya sesungguhnya dapat juga dilakukan oleh
pengelola asuransi.
AKN : Contoh dan Masa Depannya di Indonesia

93

H. Thabrany

rinci dari prinsip nirlaba ini, pada saat ini sedang dalam proses perumusan yaitu perubahan
PP tentang BPJS yang kini masih PT Persero tersebut.
Kata asuransi pernah diharamkan karena dinilai begitu jelek. Penggunaan kata
asuransi pernah dihindari untuk membenarkan bahwa suatu upaya tidak terkena aturan
UU asuransi. Sebagai gantinya digunakan istilah jaminan yang diperdebatkan sebagai
bukan asuransi. Asuransi sebagai suatu instrumen sosial mempunyai mekanisme
transfer risiko, sebagai suatu instrumen yang sangat handal dalam mengatasi berbagai
risiko sosial dan ekonomi penduduk dimanapun di dunia. Segala sesuatu yang
mengandung unsur transfer risiko adalah asuransi. Tidak ada yang salah sama sekali
dengan asuransi. Dengan demikian, asuransi harus mendapat tempat yang baik. Dalam
bidang kesehatan, pelurusan istilah asuransi sudah dilakukan berbagai pihak, antara lain
oleh Professor Azrul Azwar, Sulastomo, dan Thabrany.5,6,7,8 Kini semakin banyak orang
memahami dan bahkan semakin banyak dokter dan pengambil keputusan yang
mendambakan meluasnya cakupan asuransi kesehatan. Sesungguhnya dunia international
telah lama menggunakan istilah asuransi kesehatan, baik dalam literatur maupun dalam
penyebutan program. Buku-buku teks yang mengupas manajemen risiko dan asuransi
selalu mengupas jaminan sosial dan asuransi sosial dalam sektor kesehatan. Judul
Asuransi Kesehatan Nasional (AKN) sengaja digunakan disini karena memang istilah
AKN (National Health Insurance) mudah difahami dan mudah dikomunikasikan,
khususnya di dunia internasional. Istilah AKN telah lama digunakan di Inggris, Kanada,
Amerika Serikat, Jepang, Taiwan, Filipina, Korea Selatan, dan Muangtai. Asuransi
Kesehatan Nasional sebagai suatu mekanisme transfer risiko dan pengumpulan dana
(pooling risks), kegotong-royongan (sharing risks), maupun pembayar (purchasing)
pelayanan kesehatan bagi penduduk merupakan pilihan yang paling handal dalam upaya
memberikan jaminan kesehatan bagi seluruh penduduk Indonesia sebagaimana
diamanatkan oleh UUD pasal 28H ayat (1) dan pasal 34 ayat (2).

5.3. Asuransi Kesehatan Nasional di Berbagai Negara


Apa sesungguhnya Asuransi Kesehatan Nasional (AKN)? Istilah AKN (National
Health Insurance) kini semakin banyak digunakan di dunia internasional. Inggris
merupakan negara pertama yang memperkenal AKN di tahun 19119. Meskipun sistem
kesehatan di Inggris kini lebih dikenal dengan istilah National Health Service (NHS),
sesungguhnya sistem tersebut juga merupakan AKN yang dibiayai dari kontribusi wajib
oleh tenaga kerja (termasuk di sektor informal) dan pemberi kerja. Namun demikian,
karena penyaluran dananya melalui belanja negara langsung, semacam APBN di
Indonesia, maka sistem di Inggris tersebut lebih dikenal dengan NHS (tax-funded)
ketimbang AKN. Negara-negara Eropa lain, pada umumnya juga memiliki cakupan
universal dengan sistem NHS yang mengikuti pola Inggris.10 Baik NHS maupun AKN
mempunyai tujuan yang sama yaitu menjamin bahwa seluruh penduduk mendapatkan
pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis penduduk tersebut. Yang berbeda
adalah bahwa pendanaannya AKN lebih bertumpu pada kontribusi khusus yang bersifat
wajib (yang ekivalen dengan pajak) dan dikelola secara terpisah dari anggaran belanja

AKN : Contoh dan Masa Depannya di Indonesia

94

H. Thabrany

negara, baik dikelola langsung oleh pemerintah maupun oleh suatu badan kuasi
pemerintah yang otonom.11,12,13,14, 15
Meskipun AKN mempunyai kesamaan prinsip dan tujuan, penyelenggaraan AKN
di dunia sangat bervariasi. Kanada memperkenalkan AKN yang kini disebut Medicare di
tahun 1961 dengan prinsip dasar menjamin akses universal, portabel, paket jaminan yang
sama bagi semua penduduk dan dilaksanakan otonom di tiap propinsi. Pendanaan AKN
merupakan kombinasi dari kontribusi wajib dan subsidi dari anggaran pemerintah pusat.
Pada tahun itu, hanya rawat inap yang dijamin oleh AKN. Pada tahun 1972, paket jaminan
diperluas dengan rawat jalan. Kini seluruh penduduk Kanada menikmati pelayanan
kesehatan komprehensif tanpa harus memikirkan berapa besar biaya yang mereka harus
keluarkan dari kantong sendiri, jika mereka sakit berat sekalipun. Beberapa jenis
pelayanan rumah sakit dan obat yang bukan esensial yang tidak dijamin AKN merupakan
pangsa pasar asuransi kesehatan komersial. 16,17,18
Negara tetangga Kanada telah lama bergelut untuk mewujudkan sebuah AKN.
Pasa saat ini, AS mempunyai asuransi kesehatan nasional rawat inap untuk penduduk
diatas 65 tahun saja yang disebut Medicare part A. Sekitar 50 juta penduduk AS yang
berusia di bawah 65 tahun (sekitar 25% penduduk usia produktif) tidak memiliki asuransi
kesehatan. Ini merupakan suatu bukti kegagalan mekanisme pasar dalam bidang
kesehatan, karena AS memang didominisasi oleh asuransi kesehatan komersial. Dengan
belanja kesehatan per kapita lebih dari US$ 5.000 per tahun, AS adalah satu-satunya
negara maju yang tidak mampu memiliki asuransi kesehatan nasional.19
Di Amerika di tahun 1970an, terdapat 15 usulan UU (Bill) AKN yang semuanya
kandas karena begitu banyak interes bisnis dan politik sehingga kepentingan publik tidak
terlindungi dengan baik.20 Di kala itu, 23% penduduk AS tidak memiliki asuransi
kesehatan yang didominasi oleh asuransi kesehatan komersial. Pada saat ini, 18%
penduduk AS yang tidak memiliki askes. Dalam hampir 30 tahun, AS tidak mampu
meningkatkan perluasan penduduk yang dicakup asuransi, yang dikala itu tinggal 23%
saja. Jelas sekali berbagai reformasi yang dilakukan Amerika dengan UU Portabilitas
Asuransi dan berbagai UU lain yang bertujuan memperluas cakupan asuransi, tanpa AKN,
gagal meningkatkan cakupan kepada seluruh penduduk. Inilah salah satu bukti market
failure dalam mencapai cakupan universal asuransi kesehatan. Sesungguhnya di AS telah
diusulkan puluhan model pendanaan dan penyelenggaraan yang dapat digolongkan
menjadi tiga model yaitu (1) kombinasi kontribusi wajib (payroll taxes) dan anggaran
pemerintah, (2) perluasan program Medicare dengan kontribusi wajib kepada seluruh
penduduk, dan (3) bantuan premi dari pemerintah untuk penduduk miskin dan tidak
mampu.21 Upaya terakhir untuk mewujudkan AKN di Amerika dilakukan oleh Presiden
Bill Clinton di tahun 1993 yang sekali lagi gagal karena kekuatan perusahaan asuransi,
yang memiliki dana lebih besar dan takut kehilangan pasar, lebih mampu mempengaruhi
anggota Kongres untuk menolak usulan Clinton. Kegagalan AS dalam mengembangkan
AKN, yang lebih mementingkan kepentingan pebisnis asuransi, merupakan pelajaran yang
harus sejak dini kita hindari.
Jerman dipandang sebagai negara pertama yang memperkenalkan asuransi
kesehatan sosial di jaman Otto von Bismark di tahun 1883. Pada masa lalu, jumlah badan
AKN : Contoh dan Masa Depannya di Indonesia

95

H. Thabrany

penyelenggara asuransi kesehatan sosial (sickness funds), yang seluruhnya bersifat nirlaba,
berjumlah ribuan. Namun demikian, karena dorongan efisiensi dan portabilitas, banyak
sickness funds yang merjer sehingga kini jumlahnya sudah menyusut menjadi 420 saja.
Semua penduduk dengan penghasilan di bawah EUR 3.375 per bulan wajib mambayar
kontribusi yang kini mencapai 14% dari upah sebulan. Penduduk yang berpenghasilan
diatas itu, boleh tidak menjadi peserta sickness funds, akan tetapi sekali mereka tidak ikut
(opt out) dengan membeli asuransi kesehatan komersial, mereka tidak diperkenankan ikut.
Akibatnya, hanya 10% saja penduduk Jerman yang membeli asuransi komersial.22,23,24,25
Jerman memang tidak memiliki satu lembaga asuransi kesehatan yang secara khusus
dirancang untuk menjamin seluruh penduduk. Namun demikian, Jerman telah menjamin
seluruh penduduknya dengan biaya yang separuh dari yang dikeluarkan Amerika.
Karena hubungan sejarah dengan Jerman, sistem asuransi kesehatan di Belanda
sedikit banyak mengikuti pola-pola Jerman dengan modifikasi disana-sini. Belanda
sesungguhnya juga memberlakukan AKN dengan pooling risiko biaya medis yang besar
(exceptional medical expenses) yang dikelola oleh satu badan bersekala nasional AWBZ.
Sementara pelayanan kesehatan yang tidak mahal dikelola oleh berbagai badan
penyelenggara asuransi kesehatan sosial yang bersifat nirlaba yang diatur oleh UU
Sickness Funds Act (ZFW). Sebagian penduduk berpenghasilan tinggi dibolehkan untuk
membeli asuransi kesehatan komersial.26,27,28 Dengan model yang hampir sama dengan
model Jerman, sistem asuransi kesehatan di Belanda memiliki pendanaan yang berskala
Nasional untuk perawatan kasus-kasus medis yang mahal.
Australia mengeluarkan UU Asuransi Nasionalnya di tahun 1973 dengan
memberikan jaminan pelayanan komprehensif kepada seluruh penduduk Australia, baik
yang berada di Australia maupun yang berada di beberapa negara tetangga seperti di
Selandia Baru dan warga negara beberapa negara Eropa yang tinggal di Australia.
Asuransi, yang juga disebut Medicare, ini dikelola oleh Health Insurance Commisioner di
tingkat negara Federal. Seluruh penduduk Australia tidak pernah harus memikirkan biaya
perawatan manakala mereka sakit dan karenanya penyakit tidak akan membuat mereka
jatuh miskin. Bagitu baiknya pengelolaan asuransi ini sehingga untuk merangsang
penduduk yang ingin membeli asuransi kesehatan swasta diberikan perangsang
pengurangan kontribusi asuransi wajib.29,30,31
Sebagai sekutu Jerman dalam Perang Dunia II di Asia, Jepang memiliki pola
sistem asuransi kesehatan yang mengikuti pola Jerman dengan berbagai modifikasi.
Di Jepang istilah AKN (Kokuho, Kokumin Kenko Hoken) digunakan untuk
penyelenggaraan asuransi kesehatan bagi pekerja mandiri (self-employed), pensiunan
swasta maupun pegawai negeri, dan anggota keluarganya. Penyelenggara AKN
diserahkan kepada pemerintah daerah. Sementara asuransi kesehatan bagi pekerja aktif di
sektor formal diatur dengan UU asuransi sosial kesehatan secara terpisah. Sesungguhnya
Jepang telah memulai mengembangkan asuransi sosial kesehatan sejak tahun 1922. Akan
tetapi, mewajibkan asuransi kesehatan bagi pekerja sektor formal saja tidak bisa menjamin
penduduk di sektor informal dan penduduk yang telah memasuki usia pensiun
mendapatkan jaminan kesehatan. Untuk memperluas jaminan kesehatan kepada seluruh
penduduk (universal coverage), Jepang kemudian memperluas cakupan asuransi
kesehatan dengan mengeluarkan UU AKN. Dalam sistem asuransi kesehatan di Jepang,
AKN : Contoh dan Masa Depannya di Indonesia

96

H. Thabrany

peserta dan anggota keluarganya harus membayar urun biaya (cost sharing) yang
bervariasi antara 20-30% dari biaya kesehatan yang digunakannya. Bagian urun biaya
inilah yang menjadi pangsa pasar asuransi kesehatan komersial. 32,33,34
Negara Asia yang pertama kali secara eksplisit menggunakan istilah AKN dengan
melakukan pooling nasional adalah Taiwan. Dengan komitmen Presiden yang sangat kuat
UU AKN dikeluarkan di tahun 1995 yang dikelola tunggal oleh Biro NHI yang
merupakan suatu Biro di dalam Depkes Taiwan. Sistem AKN di Taiwan dimulai dengan
menggabungkan penyelenggaraan asuransi kesehatan bagi pegawai negeri, pegawai
swasta, petani dan pekerja di sektor informal, yang sebelumnya dikelola secara sendirisendiri. Penggabungan tersebut telah meningkatkan efisiensi dan kualitas pelayanan yang
telah menjamin akses yang sama kepada seluruh penduduk, dengan jaminan komprehensif
yang sama, dan tingkat kepuasan peserta terus meningkat diatas 70%. Sistem AKN di
Taiwan merupakan salah satu sistem yang menanggung pengobatan tradisional Cina
dalam paket jaminan yang diberikan kepada pesertanya.35,36,37,38,39
Korea Selatan memulai asuransi sosial pada Desember 1976 dengan mewajibkan
perusahaan yang mempekerjakan 500 karyawan atau lebih, kemudian diperluas sampai
pemberi kerja dan satu orang karyawan, untuk menyediakan asuransi kesehatan. Cakupan
askes untuk pekerja mandiri sudah diuji-coba sejak tahun 1981 dan pada tahun 1989
seluruh penduduk telah memiliki asuransi. Suatu prestasi yang luar biasa, karena dalam
waktu 12 tahun Korea telah mampu mencapai cakupan universal. Tetapi
penyelenggaraanya masih dikelola oleh lebih dari 300 badan asuransi kesehatan yang
bersifat nirlaba. Sejak tahun 2000, penyelenggaraan dikelola oleh satu badan national
dengan iuran maksimum 8% dari upah yang ditanggung bersama antara pekerja, pemberi
kerja dan subsidi pemerintah.40,41,42 Yang cukup mengejutkan adalah jawaban para
pengusaha Korea yang terheran-heran ketika ditanya oleh delegasi Indonesia tentang apa
keberatan mereka terhadap penyelenggaraan AKN di Korea. Keheranan mereka timbul
karena mereka merasa sangat terbantu dengan AKN sehingga mereka dapat berkonsentrasi
memikirkan bisnis mereka, tanpa harus memikirkan kesehatan karyawannya.
Penyelenggaraan AKN di Muangtai telah mulai diusulkan pada tahun 1996 dan
kini sedang dalam proses penggabungan tiga badan penyelenggara yang sesungguhnya
sudah mencakup seluruh penduduk (universal coverage). Usulan penyelenggaraan AKN
di Muangtai menggabungkan konsep satu Badan Nasional dengan desentralisasi
pembayaran kepada fasilitas kesehatan (area purchasing board).43 Asuransi kesehatan di
Muangtai terdiri atas sistem jaminan kesehatan pegawai negeri yang paket jaminannya
amat liberal dan menjamin tidak saja anggota keluarga pegawai, akan tetapi mencakup
orang tua dan mertua pegawai. Seluruh pegawai swasta mendapat jaminan kesehatan
komprehensif melalui Badan Jaminan Sosial yang dikelola oleh Depnaker. Sedangkan
pekerja informal memperoleh jaminan melalui National Health Security Office, sebuah
lembaga independen yang mengelola sistem 30 Baht. Dengan sistem 30 Baht, seluruh
penduduk di luar pegawai swasta dan pegawai negeri berhak mendapat pelayanan
kesehatan komprehensif dengan hanya membayar 30 Baht (Rp 6.000) sekali berobat atau
dirawat, termasuk perawatan intensif dan pembedahan.44,45,46,47 Dengan demikian, seluruh
penduduk Muangtai kini juga telah terbebas dari ancaman menjadi miskin dan dapat lebih
produktif membangun negaranya.
AKN : Contoh dan Masa Depannya di Indonesia

97

H. Thabrany

Filipina merupakan negara berkembang setingkat Indonesia, yang memiliki


penduduk tersebar di lebih dari 7.000 pulau, yang menancapkan tekad AKN di akhir
Milenium kedua. Di tahun 1995, Filipina berhasil mengeluarkan UU AKN yang
menggabungkan penyelenggaraan asuransi kesehatan bagi pegawai negeri dan pegawai
swasta yang sebelumnya dikelola sendiri-sendiri ke dalam suatu badan AKN. Sebagai
negara berkembang yang kini berpendapatan per kapita sedikit diatas US$ 1.000, Filipina
merupakan negara berkembang yang berhasil dalam mengembangkan AKN menuju
cakupan seluruh penduduk. Memang saat ini cakupan penduduknya baru mencapai sekitar
60% saja, namun demikian seluruh pekerja di sektor formal telah menjadi peserta.
Meskipun paket jaminannya belum komprehensif, paling tidak Filipina sudah mampu
meniadakan ancaman pemiskinan karena sakit bagi sebagian besar penduduknya.48,49,50

5.4. Asuransi Kesehatan Sosial Sebagai Tulang Punggung


AKN
Dari beberapa situasi yang saya sampaikan diatas, jelaslah bahwa AKN merupakan
suatu alat menjamin cakupan universal yang semakin banyak diterapkan oleh negara maju
maupun berkembang. Sistem AKN menjadi suatu alternatif sistem NHS yang semakin
menunjukkan kehandalannya. Dalam praktek di beberapa negara, AKN dapat
diundangkan dalam satu UU tersendiri atau dapat digabungkan dengan UU JS seperti
Medicare di AS. Dalam prakteknya juga terdapat variasi dimana AKN dapat dikelola
seluruhnya secara sentral atau mengakomodir pengelolaan yang terdesentralisasi. Dimana
kemampuan manajemen suatu negara memadai, pengelolaan terpusat memberikan
efisiensi yang tinggi sehingga dana yang semakin terbatas dapat digunakan secara lebih
optimal. Sistem AKN juga dapat dikembangkan oleh negara maju maupun berkembang.
Pada waktu Departemen Kesehatan dipimpin oleh Professor Siwabessy, di tahun
1968 Menkes pada waktu itu sudah mencita-citakan terwujudnya sebuah Sistem AKN.51,52
Kini tampaknya harapan Siwabessy mulai tampak di ufuk era Reformasi Indonesia.
Pemerintah telah mengajukan UU SJSN pada tanggal 26 Januari 2004 yang lalu dan telah
diundangkan oleh Presiden Megawati pada hari terakhirnya di Istana. Penanda-tanganan
UU SJSN, yang diberi nomor 40 tahun 2004, pada hari terakhir dengan mengundang lima
Menteri terkait, merupakan hal yang tidak biasa, mengandung makna simbolik bahwa
Presiden Megawati ingin menyampaikan inilah yang bisa kuwariskan untuk rakyat
Indonesia. Klausul-klausul yang mengatur jaminan kesehatan dalam UU SJSN tentang
Jaminan Kesehatan memenuhi kriteria sebagai suatu usulan National Health Insurance.53
Meskipun dalam UU SJSN tidak kita dapati istilah Asuransi Kesehatan Nasional, apa
yang diatur dalam pasal-pasal merupakan upaya mewujudkan sebuah sistem AKN sebagai
bagian dari SJSN. Dalam UU itu jelas disebutkan bahwa Jaminan Kesehatan
diselenggarakan berdasarkan mekanisme asuransi sosial dan berlaku secara Nasional, oleh
karenanya UU tersebut sesungguhnya merupakan landasan terselenggaranya sebuah
sistem AKN. Dengan demikian, kini kita akan memasuki era baru dimana pemerintah
telah memiliki komitmen yang tinggi untuk menyelenggarakan AKN, yang ditahun 2005
telah dimulai dengan memberikan jaminan kesehatan bagi sekitar 54 juta penduduk
termiskin melalui PT Askes. Seperti halnya di negara-negara lain yang telah lebih dahulu

AKN : Contoh dan Masa Depannya di Indonesia

98

H. Thabrany

menyelenggarakan AKN, komitmen pemerintah ini sangat dipengaruhi oleh komitmen


Presidennya. Presiden Megawati telah mempunyai komitmen untuk memulai
penyelenggaran AKN sejak ia menjadi Wakil Presiden. Kalau orang lain bisa, masa kita
tidak bisa!. Itulah kata-kata singkat yang disampaikan Ibu Presiden pada waktu anggota
Tim SJSN melaporkan perkembangan dan hasil kerja Tim kepada beliau tanggal 20
Nopember 2003 di Istana Negara. Kini Kabinet Indonesia Bersatu, dibawah pimpinan
Presiden Susilo Bambang Yudoyono, program memberikan jaminan kepada penduduk
kurang mampu sudah dimulai.
Mekanisme asuransi sosial sebagai suatu mekanisme pooling dan sharing health
risks merupakan barang baru di Indonesia namun sesungguhnya sudah lama dikenal di
dunia. Asuransi sosial sebagai tulang punggung dari sebuah sistem jaminan sosial54,55,56
masih belum difahami oleh banyak pihak. Sampai saat inipun, belum banyak pihakbaik
di kalangan intelektual maupun orang awam, yang memahami konsep asuransi sosial.
Masih banyak pihak yang memahami asuransi sosial sebagai suatu asuransi untuk orang
miskin. Kata-kata sosial di Indonesia telah melekat dengan orang miskin yang tidak
mendapat prioritas atau dengan penyelenggaraan suatu kegiatan yang tidak didasarkan
pada perhitungan ekonomis. Sehingga sering kali orang berasumsi bahwa asuransi sosial
adalah asuransi yang penyelenggaraanya tidak profesional, tidak baik, dan segala yang
negatif. Rancang bangun asuransi sosial di Indonesia selama ini telah menyuburkan
kesalah-fahaman tersebut. Disinilah perlunya pembaruan sistem asuransi/jaminan sosial di
Indonesia. Sesungguhnya definisi asuransi sosial memang bervariasi, namun demikian,
semua definisi tersebut mempunyai empat elemen yang sama, yaitu:57,58,59,60,61
1. Kepesertaan asuransi sosial bersifat wajib. Kewajiban menjadi peserta merupakan
suatu syarat mutlak, agar setiap orang mendapatkan perlindungan, terjamin atau
terasuransikan. Kelompok penduduk yang diwajibkan dapat mencakup suatu
kelompok tertentu, misalnya pegawai negeri, pegawai swasta dari perusahaan
dengan jumlah karyawan tertentu, atau seluruh penduduk. Kelompok penduduk
yang diwajibkan, hanyalah sebuah tahapan untuk menuju cakupan seluruh
penduduk. Masih banyak yang sulit memahami bahwa pentahapan mewajibkan
kelompok-kelompok tertentu sebagai tidak adil atau tidak tepat. Sesungguhnya
pentahapan kewajiban adalah pendekatan manajemen untuk mencapai tujuan, yang
merupakan suatu keharusansebuah langkah awal sebelum ribuan langkah
berikutnya diambil, bukan sebuah tujuan akhir. Masih banyak pihak yang
memahami kepesertaan wajib sebagai sesuatu pemaksaan yang tidak perlu
sehingga masih banyak pihak yang belum mendukung konsep SJSN kerena
kesalah-fahaman ini. Sesungguhnya, wajib berkontribusi pada AKN atau SJSN
adalah dalam rangka memenuhi hak-hak kesehatan bagi penduduk, sebagaimana
wajib membayar pajak yang merupakan suatu keharusan di negara manapun di
dunia.
2. Paket jaminan, manfaat (benefit), yang dijamin adalah setara dengan kebutuhan
setiap peserta. Sesungguhnya asuransi sosial bertujuan memenuhi kebutuhan dasar
sehingga manfaat asuransi seringkali disebut perlindungan dasar. Pemenuhan
kebutuhan dasar merupakan syarat mutlak agar setiap penduduk dapat berproduksi.
Namun demikian, pemahaman tentang perlindungan dasar kesehatan seringkali
AKN : Contoh dan Masa Depannya di Indonesia

99

H. Thabrany

disamakan dengan perlindungan dasar kebutuhan dasar lain seperti pangan,


sandang, dan papan. Sesungguhnya kebutuhan dasar kesehatan sangat berbeda dan
tidak bisa disamakan dengan kebutuhan dasar lain, seperti yang akan saya bahas
lebih lanjut. Pemahaman yang tidak tepat tersebut, telah menyebabkan rancangan
manfaat (benefit design) jaminan sosial kita yang kini sudah berjalan, baik Askes
pegawai negeri maupun Jamsostek bagi pegawai swasta menjadi kurang optimal
dalam mengatasi risiko finansial yang terkait dengan risiko sakit. Alhamdulillah,
konsep AKN dalam UU SJSN merupakan suatu perbaikan dari rancangan manfaat
yang kurang optimal tersebut.
3. Kontribusi (iuran, premi) merupakan proporsi dari pendapatan. Kontribusi yang
proporsional, biasanya persentase tertentu dari upah, gaji, atau penghasilan
merupakan suatu cara pendanaan yang menjamin bahwa setiap orang yang
memiliki penghasilan mampu mengiur. Jika diperhatikan dengan kewajiban
membayar pajak yang juga proporsional, maka kontribusi ini memang sangat
mirip. Oleh karenanya di beberapa negara sering disebut sosial security atau sosial
insurance tax. Sesungguhnya kontribusi asuransi sosial merupakan pajak yang
penggunaannya khusus untuk mendanai manfaat (benefit) asuransi wajib tersebut,
sehingga kadang disebut juga earmarked tax. Namun demikian ada sedikit
perbedaan kontribusi wajib asuransi sosial yaitu umumnya sedikit regresif jika
dibandingkan besaran kontribusi pajak yang umumnya progresif.
4. Pengelolaannya bersifat nirlaba (not for profit). Jika kita perhatikan
penyelenggaraan asuransi sosial di seluruh dunia, maka terdapat kesamaan pola
penyelenggaraan yaitu dikelola oleh suatu badan pemerintah atau oleh suatu badan
kuasi pemerintah yang bersifat nirlaba. Indonesia merupakan satu-satunya negara
yang saat ini masih mengelola asuransi sosial oleh BUMN Persero yang bersifat
for profit. Untunglah, UU SJSN telah menempatkan pengelolaan asuransi sosial di
Indonesia yang konsisten dengan prinsip-prinsip universal.

5.5. Perlindungan Dasar Kesehatan yang juga belum


difahami
Penetapan manfaat (benefit) AKN yang menjamin kebutuhan dasar kesehatan
dapat menjadi perdebatan panjang yang merugikan publik. Saya mengamati bahwa
pemahaman kebutuhan dasar kesehatan di Indonesia masih beragam. Banyak pihak
memahami kebutuhan dasar kesehatan sebagai pelayanan kesehatan yang relatif murah.
Hal ini terjadi karena pada umumnya banyak pihak menyamakan kebutuhan kesehatan
dengan kebutuhan lain. Bahkan kebijakan kesehatan di Indonesia belum secara khusus
menempatkan kesehatan sebagai kebutuhan dasar yang harus dapat diperoleh secara
memadai. Karena sifat alamiah kebutuhan kesehatan yang sangat berbeda dengan
kebutuhan dasar lain, maka sesungguhnya kebutuhan dasar kesehatan harus difahami dan
diperlakukan secara berbeda. Pemahaman perbedaan kebutuhan dasar kesehatan ini sangat
penting dalam merancang jaminan yang bersifat dasar dalam bidang kesehatan. Sebab,
jaminan yang sifatnya diatas paket dasar menjadi bagian asuransi kesehatan swasta atau

AKN : Contoh dan Masa Depannya di Indonesia

100

H. Thabrany

dilepas pada mekanisme pasar. Tanpa adanya keseragaman pemahaman tentang


kebutuhan dasar kesehatan, maka pengaturan AKN akan lebih menguntungkan sebagian
kecil orang yang berbisnis di bidang kesehatan, bukan memihak kepada produktifitas
penduduk secara keseluruhan. Pada akhirnya, negaralah yang dirugikan.
Perbedaan fundamental adalah bahwa kebutuhan akan pelayanan kesehatan
mempunyai sifat ketidak pastian (uncertainty) sehingga kebutuhan biaya kesehatan pada
tingkat rumah tangga tidak dapat dihitung.62,63,64 Suatu keluarga muda yang relatif sehat
mungkin tidak pernah mempunyai kebutuhan berobat dalam satu tahun dan karenanya
biaya kesehatan rumah tangga itu menjadi nol. Sebaliknya suatu keluarga pensiunan dapat
menghabiskan biaya lebih dari Rp 2 juta sebulan untuk standar selera kualitas pelayanan
dasar sekalipun. Sebuah keluarga yang salah seorang anggota keluarganya harus masuk
perawatan intensif membutuhkan biaya puluhan juta rupiah. Apakah biaya kesehatan yang
jutaan tersebut untuk memenuhi bukan kebutuhan dasar atau diatas dasar?
Apa sesungguhnya kebutuhan dasar? Secara filosofis kebutuhan dasar dapat kita
fahami sebagai kebutuhan seseorang yang hidup yang apabila tidak dipenuhi ia tidak akan
mampu berproduksi. Atas dasar asumsi inilah, batas garis kemiskinan ditetapkan. Akan
tetapi, batas garis kemiskinan (poverty line) dapat bervariasi besar di antara berbagai
negara karena tingkat penghasilan dan pemahaman tentang kebutuhan dasar yang terus
berkembang. Di Indonesia, kebutuhan dasar pangan seseorang dipatok 2.100 kalori sehari.
Kebutuhan kalori tersebut, dengan minimum 44 gram protein, dapat dipenuhi dengan
biaya Rp 8.500 per hari apabila ia membeli bahan mentah dan memasak sendiri. Jelas
makan di restoran yang berharga Rp 15.000 per kali makan saja, bukanlah kebutuhan
dasar. Kebutuhan dasar sandang dan papan yang memungkinkan seseorang berproduksi,
bersekolah atau bekerja, mudah dihitung. Orang yang tidak mampu memenuhi kebutuhan
dasar pangan, sandang, dan papan tersebut kita sebut orang miskin. Apakah mereka yang
tidak tergolong miskin selalu mampu memenuhi kebutuhan perawatan atau pembedahan?
Pasti tidak! Jika seseorang yang membutuhkan perawatan intensif tidak dirawat, apakah ia
bisa berproduksi? Pasti tidak! Disinilah letak sulitnya menetapkan kebutuhan dasar
kesehatan. Apakah perawatan di ICU, pengobatan kanker, atau hemodialisa (cuci darah)
bukankah kebutuhan-kebutuhan dasar? Seseorang bahkan dapat meninggal, bukan hanya
tidak berproduksi, jika kebutuhan akan pengobatan atau perawatan tersebut tidak
dipenuhi. Oleh karenanya lebih mudah menetapkan besaran jaminan pensiun dasar
daripada menetapkan jaminan kesehatan dasar, apalagi kemudian ada interest bagi pihak
swasta untuk menjual asuransi diatas kebutuhan dasar.
Di Indonesia terdapat banyak orang yang salah faham tentang arti kebutuhan dasar
pelayanan kesehatan sebagai pelayanan dasar rawat jalan tingkat pertama atau pelayanan
kesehatan yang murah biayanya seperti pengobatan di puskesmas. Rawat jalan rujukan
dan rawat inap sering disebut sebagai pelayanan sekunder dan tersier yang kemudian
diasosiasikan sebagai kebutuhan sekunder dan tersier. Faham ini sama sekali
bertentangan dengan asas kemanusiaan dan asas kebersamaan atau tanggung-jawab
bersama. Kalau kita renungkan kembali makna kebutuhan dasar adalah kebutuhan yang
memungkinkan seseorang hidup dan berproduksi, maka faham tersebut adalah keliru.
Faham yang banyak dianut adalah bahwa kebutuhan dasar kesehatan tidak terkait dengan
tingkat kesulitan atau tingkat biaya pelayanan kesehatan. Kebutuhan dasar kesehatan
AKN : Contoh dan Masa Depannya di Indonesia

101

H. Thabrany

adalah kebutuhan akan pelayanan yang merupakan upaya untuk mempertahankan hidup
dan tingkat produktifitas seseorang yang secara normatif diterima oleh norma-norma
masyarakat. Atas dasar pemahaman inilah, maka perlindungan dasar dalam bidang
kesehatan haruslah terkait dengan kebutuhan medis. Suatu kebutuhan yang relatif bagi tiap
orang dan hanya diketahui oleh dokter yang memeriksa seseorang. Disinilah nanti, letak
sulitnya mengelola sebuah AKN.
Dengan konsep dasar tersebut, maka pemberian bantuan biaya kesehatan hanya
kepada yang miskin saja, menurut kriteria yang kita gunakan sekarang, belumlah sesuai
dengan dasar kemanusiaan yang adil dan beradab. Sebab mereka yang tidak tergolong
miskin, yang masih mampu memenuhi kebutuhan dasar pangan, sandang, dan papan,
sering kali tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar kesehatan. Mereka itu, jika tidak
dijamin asuransi atau pemerintah, dimata kebutuhan medis adalah miskin (medically
poor). Itulah sebabnya, negara-negara persemakmuran dan negara-negara yang
berorientasi kesejahteraan (welfare oriented) menyediakan pelayanan kesehatan gratis
untuk semua penduduk, tidak hanya yang miskin. Itulah sebabnya dibutuhkan AKN yang
menjamin seluruh penduduk, yang kaya dan yang miskin. Fakta menunjukkan bahwa
negara miskin sekalipun, yang memberikan pelayanan kesehatan cuma-cuma, seperti Sri
Lanka dan Kuba, mempunyai status kesehatan yang lebih tinggi dari status kesehatan di
negara kita yang cenderung melepas pelayanan kesehatan kepada mekanisme pasar yang
memberatkan masyarakat.
Itulah pula sebabnya, ketika Kanada memulai AKN di tahun 1961 pelayanan
perawatan dan rawat inaplah yang mulai dijamin. Sejak pertama kali diundangkan,
Medicare di Amerika (semacam AKN untuk penduduk usia diatas 65 tahun dan penduduk
dibawah usia 65 tahun yang memiliki penyakit berat) hanya menanggung perawatan
rumah sakit dan perawatan yang berbiaya besar (Medicare part A) seperti yang telah
dijelaskan di muka. Filipina juga memalui AKNnya dengan menjamin biaya perawatan di
RS. Inggris dan banyak negara persemakmuran menjamin pelayanan rumah sakit tanpa
harus membayar bagi penduduknya.65 Malaysia mengikuti pola NHS Inggris dimana
setiap penduduk yang perlu perawatan di rumah sakit hanya membayar RM 3 (setara
dengan Rp 6.000) per hari, sudah termasuk biaya obat, pembedahan, perawatan intensif
bahkan jika diperlukan bedah jantung sekalipun. Banyak negara-negara lain juga berbuat
yang sama.66,67,68 Semua itu dilandasi pada pemahaman bahwa kebutuhan dasar kesehatan
bukanlah kebutuhan akan pelayanan yang biayanya murah. Pemerintah dan DPR
hendaknya memahami benar hal ini dan tidak terpengaruh pada tuntutan pihak-pihak yang
mempunyai interes dalam berbisnis asuransi kesehatan atau pelayanan kesehatan. Hal ini
pernah terjadi pada waktu PP 14/1993 yang mengatur Jamsostek, sehingga pengobatan
kanker, hemodialisa, pengobatan penyakit jantung yang mahal, dan pengobatan kelainan
bawaan tidak dijamin. Melepaskan pemberi kerja sendiri-sendiri membeli asuransi
kesehatan untuk karyawannya, seperti yang dibenarkan dalam PP tersebut tidak akan
menjamin bahwa setiap pekerja dan anggota keluarganya dapat memenuhi kebutuhan
dasar kesehatan mereka.69 Hendaknya hal ini tidak terulang lagi dalam PP yang mengatur
jaminan kesehatan dalam UU SJSN.

AKN : Contoh dan Masa Depannya di Indonesia

102

H. Thabrany

5.6. Kebutuhan akan Asuransi Kesehatan


Banyak pihak yang menyatakan bahwa kita belum sanggup malaksanakan AKN
seperti yang dilakukan Malaysia, SriLanka, Muangtai atau Filipina. Sesungguhnya kita
belum memiliki visi dan faham yang sama dan belum mempunyai kemauan untuk itu.
Bukan belum sanggup! Dana sesungguhnya merupakan alat untuk mencapai tujuan yang
dirumuskan dari visi dan kemauan yang sama tersebut. Bukankah Malaysia dan Srilanka
telah memulai kebijakan itu puluhan tahun yang lalu, di kala kondisi ekonominya lebih
buruk dari keadaan kita sekarang. Keraguan dan komentar-komentar tentang belum
saatnya kita memikirkan AKN merupakan pandangan yang kurang memperhatikan
kebutuhan akan asuransi kesehatan.
Sesungguhnya kebutuhan (needs) akan asuransi kesehatan di Indonesia sangat
besar, akan tetapi permintaan (demand) terhadap asuransi kesehatan memang sangat kecil.
Kondisi tersebut bukanlah suatu anomali, karena prilaku masyarakat di negara manapun
sama saja. Sering kita keliru dalam mengambil kebijakan dengan menyampaikan argumen
bahwa masyarakat kita belum insurance minded. Manusia di seluruh dunia mempunyai
prilaku yang sama, tidak cukup sadar dan tidak cukup bertindak dalam menghadapi risiko
kesehatan di masa depan. Itulah sebabnya, tidak ada satu negara majupun, yang tidak
menjamin pelayanan kesehatanbaik melalui asuransi wajib ataupun melalui dana pajak
(tax funded), paling tidak untuk penduduk berusia lanjut dan berisiko tinggi seperti yang
dilakukan AS. Sesungguhnya inilah hakikat masyarakat berbudaya atau masyarakat
madani (civilized society), membuat sebuah sistem dimana pada akhirnya seluruh
masyarakat terjamin. Tidak ada satu negarapun yang menunggu sampai ekonominya baik
dan masyarakatnya sadar akan asuransi kesehatan. Kesadaran akan sesuatu yang belum
terjadi memang harus dipaksakan. Oleh karenanya sebuah sistem AKN atau jaminan
sosial memerlukan sebuah undang-undang, yang bersifat memaksa untuk kepentingan dan
kebaikan masa depan penduduk itu sendiri.
Kebutuhan akan asuransi dapat dilihat dari data-data survei Susenas maupun
survei-survei rumah tangga lainnya. Data-data survei secara konsisten menunjukkan
bahwa untuk membiayai rawat inap seorang anggota keluarga, sebuah rumah tangga
Indonesia harus mengeluarkan lebih dari sebulan gajinya.70,71 Tidaklah mengherankan jika
pelayanan rawat inap di rumah sakit pemerintah sekalipun, lebih banyak dinikmati oleh
mereka yang kaya. Data menunjukkan bahwa 40,6 persen hari rawat di RS
publik/pemerintah dikonsumsi oleh 20% penduduk terkaya, sementara 20% penduduk
termiskin hanya mengkonsumsi 5,9% hari rawat.72 Penduduk di kelompok menengah ke
bawah merupakan penduduk yang mempunyai beban berat memikul biaya rumah sakit
yang mencapai 2-4 kali penghasilannya sebulan.73 Organisasi Kesehatan Dunia (WHO)
telah jelas memberikan pedoman terhadap kasus biaya kesehatan katastropik untuk
mengembangkan asuransi kesehatan74 sebagai upaya mencegah penurunan produktifitas
penduduk dan mencegah sebuah rumah tangga menjadi miskin. Jika setiap rumah tangga
dapat diorganisir dalam sebuah sistem asuransi kesehatan dengan membayar 5-6%
penghasilannya sebulan, mereka tidak akan pernah menghadapi risiko finansial yang dapat
menjadikannya miskin. Pemerintah Singapura mewajibkan setiap rakyatnya menabung 68% sebulan untuk biaya kesehatan.75 Korea, Muangtai, Taiwan, Filipina, Jepang, Mexico,

AKN : Contoh dan Masa Depannya di Indonesia

103

H. Thabrany

dan negara-negara maju di Eropa dan Amerika yang sudah melaksanakan


asuransi/jaminan sosial secara luas mewajibkan kontribusi antara 2,5%-14% dari upah
atau penghasilan sebulan.76 Beban kontribusi rutin sebesar itu, tentu jauh lebih ringan dan
tidak akan merusak tatanan ekonomi rumah tangga. Apalagi, jika pemerintah memberikan
subsidi kontribusi agar besaran kontribusi bisa turun, seperti yang dilakukan Muangtai.
Gambar . Skema Pengorganisasi Pendanaan yang Direkomendasi WHO.

Dikutip dari WHR 2000.

5.7. Perlu Perubahan Cara Pandang


Ada pihak-pihak yang memandang bahwa sesungguhnya kita telah memiliki AKN
atau NHS karena pemerintah sudah mensubsidi lebih dari 70% biaya puskesmas dan
rumah sakit. Yang kini menjadi beban masyarakat adalah urun biaya (cost-sharing) saja.
Sesungguhnya ide untuk meringankan beban biaya kesehatan rumah tangga memang
sudah lama kita pikirkan. Hanya saja, dalam implementasinya kita telah terjebak pada
semantik terjangkau, pada sistem yang kita ciptakan yang kurang memahami aspek
uncertainty atau unpredictability biaya kesehatan di tingkat rumah tangga. Pembangunan
puskesmas dan rumah sakit pemerintah antara lain merupakan upaya agar pelayanan
kesehatan dapat dijangkau oleh sebagian besar penduduk secara geografis. Pemerintah
daerah menetapkan tarif pelayanan dengan prinsip terjangkau atau affordable oleh
semua pihak. Tetapi kita terjebak pada satu tarif jasa per pelayanan, yang tidak mungkin
kita memprediksi biaya akhir. Bagaimana mungkin kita bisa mengatakan pelayanan
tersebut terjangkau, kalau biaya akhir tidak pernah diketahui jumlahnya. Sebagai contoh,
kita tidak mungkin memastikan biaya akhir seorang yang dirawat di RS pemerintah kelas
III yang tarifnya berkisar Rp 20.000-Rp 50.000 per hari--tidak termasuk biaya obat dan
tindakan operasi. Berapa yang harus dibayar seorang yang dirawat selama 20 hari, dengan

AKN : Contoh dan Masa Depannya di Indonesia

104

H. Thabrany

pembedahan, dan 7 hari di ICU? Bisa jadi biaya akhir di RS pemerintah sekalipun
mencapai diatas Rp 5 juta. Apakah tarif ini terjangkau semua lapisan masyarakat? Seorang
sarjana yang bergaji Rp 5 juta sebulan sekalipun, tidak mampu membayar biaya tersebut,
kecuali keluarganya harus puasa sebulan penuh.
Dengan demikian, pendapat yang menyatakan bahwa sesungguhnya kita telah
memiliki AKN atau NHS, tidak ditunjang oleh fakta dan secara konsepsional tidak valid.
Konsep terjangkau bisa digunakan dan valid digunakan untuk jasa transportasi, tarif
listrik, tarif telepon, dan sebagainya yang dapat dihitung kebutuhannya dan tidak
menimbulkan masalah kemanusiaan apabila konsumsinya dibatasi. Tetapi untuk
kesehatan, konsep terjangkau dengan model tarif pelayanan kesehatan per pelayanan sama
sekali tidak valid. Pemerintah Muangtai, karenanya, menerapkan kebijakan sederhana
yang disebut 30 Baht Policy, dimana setiap penduduk yang belum menjadi peserta
jaminan sosial hanya membayar 30 Baht (sekitar Rp 6.000) untuk setiap kali berobat di
rumah sakit, baik hanya rawat jalan maupun rawat inapsudah termasuk obat-obatan dan
pembedahan jika diperlukan.77,78,79 Namun di Indonesia, justeru sebaliknya, banyak RS
sudah diBUMNkan dan bahkan di Jakarta RSUD dijadikan PT (Perseroan Terbatas) dan
diminta mandiri dalam pendanaan yang berdampak pada kenaikan tarif. Bukan itu saja,
RS pemerintah menarik tarif operasi yang bersifat emergensi di luar jam kerja 1,5 sampai
dua kali lebih mahal dari tarif bukan emergensi. Dan tarif yang memanfaatkan
keterpojokan (karena emergensi di luar jam kerja) tersebut memang diatur pemerintah
(Permenkes). Jelas sekali bahwa kebijakan tersebut bukanlah kebijkan yang memihak
rakyat/publik, tetapi lebih memihak kepada pengelolayang nota bene adalah pegawai
negeri. Ada berbagai kebijakan pelayanan kesehatan kini, baik di pusat dan di daerah,
akan menambah beban berat rumah tangga dalam memenuhi kebutuhan hidup yang paling
fundamental. Tampak asuransi kesehatan, kita akan semakin banyak melakukan
pelanggaran prinsip keadilan sosial dan kemanusiaan yang beradab karena adanya
kecendrungan kebijakan yang mengarah lebih banyak memberatkan masyarakat.
Penerapan konsep ability to pay (ATP) dan willingness to pay (WTP) dalam
penetapan tarif pelayanan kesehatan di fasilitas publik (pemerintah) sesungguhnya juga
tidak akan bermanfaat menolong penduduk dari beban finansial yang berat, jika tarif
ditetapkan secara jasa per pelayanan (fee for service, FFS). Banyak pihak menyatakan
bahwa tarif puskesmas dan RS sudah dihitung atas dasar ATP/WTP masyarakat dan
karenanya masyarakat tidak akan terbebani. Ini adalah juga suatu kekeliruan konsep
permasalahan tarif terjangkau, karena sifat kebutuhan yang tidak pasti. Konsep WTP
yang banyak digunakan untuk evaluasi nilai hidup produktif dalam menghitung
opportunity losses80,81 bisa diterapkan jika tarif pelayanan ditetapkan per eposide
pengobatan. Survei-survei tentang ATP-WTP tidak akan valid selagi tarif pelayanan
puskesmas atau rumah sakit ditetapkan dengan FFS untuk masyrakat yang belum punya
asuransi karena adanya sifat uncertainty. Meskipun faktanya banyak masyarakat
membayar, maka pembayaran tersebut merupakan pembayaran terpaksa atau forced to pay
(FTP) dalam ke-penderitaan bukan karena kemauan dan kemampuannya membayar.
Pertanyaan yang paling mendasar kemudian muncul, yaitu, apakah manusiawi dan
normal jika pemerintah memaksa penduduknya yang sedang menderita sakit membayar di
luar kemampuannya? Data pasien di rumah sakit menunjukkan bahwa proporsi jumlah
penduduk miskin dan penduduk yang diberi keringanan sangat kecil di rumah-rumah sakit
AKN : Contoh dan Masa Depannya di Indonesia

105

H. Thabrany

pemerintah (tidak usah kita sajikan RS swasta) di Indonesia, jauh berada di bawah 5%.
Artinya, penduduk tidak mampu mempunyai dua pilihan, tidak berobat karena tidak punya
uang atau dipaksa membayardalam kependeritaan (lihat lampiran data pasien RS).
Kejadian DBD yang luar biasa baru-baru ini dapat menyadarkan kita akan ketidak-tepatan
kebijakan tarif pelayanan kesehatan di Indonesia.

5.8. Tantangan AKN


Data-data survei maupun data dari fasilitas kesehatan jelas menunjukkan bahwa
terdapat barir finansial yang besar sekali bagi lebih dari 180 juta penduduk Indonesia,
dalam memenuhi kebutuhan kesehatan sebagai kebutuhan hidup yang paling mendasar.
Kebijakan publik yang ada sekarang ini belum mendukung terpenuhinya hak-hak
penduduk dalam bidang kesehatan seperti yang tercantum dalam UUD pasal 28H(1).
Dengan demikian, saya menyimpulkan bahwa AKN merupakan suatu keharusan. Langkah
yang ditempuh Pemerintah dan DPR untuk mengeluarkan UU SJSN adalah langkah yang
sangat tepat.
Kalau kita mengikuti berita atau artikel di surat kabar, sudah berulang kali kita
baca beberapa pandangan orang asing yang menolak sistem yang mewajibkan asuransi
kesehatan. Beberapa kali penulis terlibat perdebatan dengan the International Bussiness
Chambers of Commers yang dengan terbuka menyatakan menolak AKN. Apa pasalnya?
Tentu sebagai pengusaha, mereka ingin memperoleh keuntungan yang besar dengan
sedikit mungkin mengeluarkan biaya tenaga kerja. Seorang Konsultan USAID malah
pernah menyampaikan analisis bernada menakut-nakuti kepada Menko Perekonomian,
dengan menyatakan bahwa apabila SJSN dilaksanakan dalam waktu dekat, maka akan
terjadi pemutusan hubungan kerja sebanyak 300.000 orang per tahun. Apakah benar
demikian? Sesungguhnya, prilaku orang asing tersebut sudah dapat dibaca. Mereka hanya
ingin mengeruk keuntungan yang besar dari tenaga kerja murah bangsa Indonesia. Dalam
diskusi dan analisis yang lebih dalam terhadap pernyataan mereka, tampak jelas bahwa
mereka sama sekali tidak mengerti jaminan sosial, asuransi sosial maupun sistem
kesehatan. Jangankan sistem Indonesia, sistem yang berlaku di negerinya sendiri mereka
tak faham. Tidak pernah terjadi di dunia ada program jaminan sosial atau asuransi sosial
yang membuat sebuah usaha bangkrut. Kita memang harus berhati-hati dalam menanggapi
komentar orang asing, bisa jadi mereka mempunyai tujuan yang lebih jelek terhadap
kemajuan bangsa Indonesia. Akan sangat celaka, apabila mentalitas inlander masih kita
miliki, dengan mendengar begitu saja apa yang dikatakan orang asing, hanya karena ia
seorang bule!
Buruh dan Pengusaha juga banyak yang terpengaruh provokasi penolakan AKN
dan kemudian menyatakan menolak atau meminta agar pembahasan RUU SJSN ditunda.82
Dalam sebuah loka karya pembahsan RUU SJSN di Jakarta, tampak jelas di mata penulis
bahwa banyak serikat pekerja telah ditunggangi. Dengan lantang mereka menolak RUU
SJSN dan menuntut perbaikan sistem Jamsostek. Ironinya, apa yang mereka tuntut sudah
jelas tercantum dalam RUU SJSN, sesuai dengan apa yang mereka tuntut! Sebuah sistem
jaminan sosial memang tidak lepas dari masalah politik praktis dan politik bisnis. Saya

AKN : Contoh dan Masa Depannya di Indonesia

106

H. Thabrany

melihat tanda-tanda yang amat jelas bahwa banyak serikat pekerja yang ditunggangi,
sehingga tanpa membaca dan memahami apa yang akan diatur dalam RUU SJSN, yang
sesungguhnya menjamin hak-hak mereka dengan lebih baik, justeru mereka tolak.
Penunggangan serikat pekerja dapat juga dilakukan oleh pihak-pihak yang menginginkan
status quo dalam penyelenggaraan jaminan sosial di Indonesia. Status quo memang dapat
menguntungkan beberapa pihak, namun rakyat akan terus menderita dan negara akan tetap
mempunyai ancaman stabilitas sosial. Inilah kenyataan kondisi di Indonesia, dimana
tenaga kerja yang berpendidikan lebih tinggi dari SLTA hanyalah 4,81% dari 98,8 juta
angkatan kerja.83 Pendidikan tenaga kerja yang rendah ini sangat mudah ditunggangi.
Salah satu kendala dan tantangan yang besar lain adalah kurangnya pemahaman
tentang konsep asuransi sosial, baik oleh pengambil keputusan, pemberi kerja, maupun
tenaga kerja. Pemahaman yang rendah tersebut menyebabkan rancangan asuransi sosial
kita, askes pegawai negeri dan askes pegawai swasta yang dikelola PT Jamsostek, menjadi
lebih negatif. Kinerja PT Askes, yang meskipun telah memiliki tingkat kepuasan yang
sangat baik di kalangan yang pernah menggunakan, sering dinilai sangat jelek oleh
pegawai negeri golongan atas yang justeru tidak pernah menggunakannya. Sulitnya
PT Askes memenuhi harapan seluruh pegawai negeri dan pensiunan, antara lain karena
tingkat kontribusi (2%) yang sama sekali tidak memadai untuk mendanai seluruh
pelayanan yang harus disediakannya. Akibatnya, di masa lalu pegawai negeri masih harus
membayar urun biaya yang cukup besar.84 Untunglah dalam dua tahun terakhir, Askes
telah bekerja keras untuk mengubah persepsi yang keliru tersebut. Demikian juga sikap
pemberi kerja dan tenaga kerja swasta yang mempunyai mindset kewajiban menjadi
peserta sebagai suatu paksaan tak menguntungkan, menyebabkan rendahnya partisipasi
mereka pada program JPK Jamsostek. Sikap pengambil keputusan dan masyarakat yang
sangat kurang terpapar dengan kinerja AKN di negara lain menjadi tantangan besar.
Sosialisasi dan pendidikan kebijakan publik yang memihak publik harus terus digalakkan.
Masih banyak pengambil keputusan, tokoh masyarakat, tokoh politik, bahkan
akademisi yang masih memandang segala bentuk peraturan yang mewajibkan penduduk
atau pemberi kerja sebagai peraturan yang usang. Mereka tidak sadar bahwa hak hanya
dapat diperoleh setelah ada kewajiban. Kewajiban membayar kontribusi sama
pentingnya dengan kewajiban membayar pajak. Tidak ada satu negarapun di dunia yang
tidak mewajibkan rakyatnya membayar pajak. Kosenkuensinya adalah bahwa pengelolaan
pungutan yang bersifat wajib harus dimonopoli oleh pemerintah atau lembaga kuasi
pemerintah yang dibentuk khusus oleh UU. Pada awal tahun 2005, DPRD Jawa Timur,
Satuan Pelaksana (Satpel) JPKM Rembang, dan Perhimpunan Bapel JPKM (Perbapel)
mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi atas UU SJSN khususnya pasal 5
yang menetapkan PT ASABRI, PT ASKES, PT Jamsostek, dan PT Taspen sebagai BPJS
yang dinilai monopolistis dan tidak memberi kesempatan daerah mengembangkan
jaminan social. Permohonan judicial review tersebut dipicu oleh SK Menkes 1241 yang
menunjuk PT Askes untuk menyelenggarakan program jaminan kesehatan bagi lebih
dari 36 juta penduduk dengan nilai dana sebesar Rp 2,1 Triliun. Hasil keputusan
Mahkamah Konstitusi (MK) memang membatalkan pasal 5 ayat 2,3 dan 4 UU SJSN
karena dinilai menutup kemungkinan daerah mengembangkan jaminan social. Namun
demikan, MK tidak membatalkan keempat BPJS tersebut untuk menyelenggarakan
jaminan socsal tingkat nasional/pusat. UU SJSN dinilai telah menampung keinginan
AKN : Contoh dan Masa Depannya di Indonesia

107

H. Thabrany

UUD45 pasal 34 ayat 2, namun MK menilai bahwa pemerintah daerah tidak boleh
dilarang untuk mengembangkan jaminan sosial. Yang menjadi tugas pemerintah
selanjutnya adalah bagaimana koordinasi antara program jaminan sosial, misalnya
kesehatan, yang nasional yang juga mencakup penduduk di daerah, dan yang
dikembangkan oleh daerah. Koordinasi benefit harus diatur dalam PP atau revisi UU
SJSN, jika diperlukan kelak. Pembahasan lebih lanjut tentang hasil MK ini dibahas dalam
Bab 7.
Banyak pihak masih juga memandang segala bentuk monopoli adalah pelanggaran
UU Antimonopoli. Padahal kalau dibaca dengan baik, UU Antimonopoli melarang usaha
bisnis yang bersifat sukarela, bukan melarang pemerintah yang mengelola suatu program
untuk kepentingan orang banyak. Tidak ada satu negarapun di dunia yang tidak
memonopoli pengelolaan pajak, kebijakan moneter, pengadilan, dan pertahanan
keamanan. Pengelolaan jaminan sosial dan AKN di AS (Medicare), Kanada (Medicare),
Australia (Medicare), Taiwan (Medicare), Korea, Filipina (Medicare) seluruhnya juga
dimonopoli oleh pemerintah atau lembaga kuasi pemerintah. Kesalah-fahaman tentang
monopoli ini juga perlu diluruskan. Namun demikian perlu disadari bahwa segala sesuatu
yang pengelolaannya bersifat monopolistik memerlukan pengawasan dan pengendalian
publik yang efektif, agar kepentingan publik dan kepuasan publik tetap menjadi prioritas
dan terjadi good governance.
Kita juga harus menyadari bahwa hanya 29,3% angkatan kerja yang bekerja pada
sektor formal sebagai karyawan. Selebihnya adalah pekerja mandiri dengan atau tanpa
dibantu keluarga atau buruh tetap (BPS 2001). Jika kita mampu memperluas asuransi
kesehatan kepada pekerja di sektor formal saja beserta anggota keluarga dan orang tua
mereka, maka kita sudah bisa menjamin sekitar separuh penduduk Indonesia. Hal tersebut
sudah akan berdampak besar bagi pembangunan sumber daya manusia dan peningkatan
mutu pelayanan kesehatan. Upaya memperluas cakupan asuransi kesehatan kepada
pekerja di sektor informal sangatlah sulit. Oleh karenanya, upaya pemerintah untuk
memberikan subsidi melalui fasilitas atau cara lain yang lebih akurat, misalnya dengan
menetapkan tarif tetap untuk suatu episode pengobatan ketimbang untuk tiap jenis
pelayanan seperti yang dilakukan di Malaysia atau Muangtai, harus tetap dipertahankan
sampai seluruh penduduk menjadi peserta AKN.
Penyelenggaraan AKN memang merupakan upaya mulia dan tanggung jawab
negara dalam memenuhi kebutuhan dasar penduduk. Namun demikian, fakta yang terjadi
di dunia menunjukkan bahwa penyelenggaraan AKN tidak bisa dilepaskan dari masalah
politik. Pelaku politik yang lebih mementingkan interest kelompoknya dapat saja menolak
inisiatif AKN yang diajukan partai lain. Syukur alhamdulillah, tampaknya hal ini tidak
terjadi di kalangan pimpinan partai politik di dalam Komisi VII DPR yang lalu dan
Komisi IX DPR saat ini. Dukungan penuh semua fraksi dalam UU asuransi sosial
kesehatan nasional, yang merupakan inisiatif DPR periode 1999-2004 dan tidak ada
perbedaan prinsip dengan yang diusulkan pemerintah dalam UU SJSN, menunjukkan
rendahnya interest golongan dalam hal ini. Begitu juga Komisi IX DPR periode 20042009 cukup solid mendukung kebijakan Depkes untuk menjamin penduduk kurang
mampu melalui PT Askes. Namun demikian, di tingkat bawah masih mungkin terdapat
sentimen golongan yang dapat mengurangi dukungan terhadap AKN.
AKN : Contoh dan Masa Depannya di Indonesia

108

H. Thabrany

Globalisasi dan kekuatan pasar memang tidak dapat dihindari dan tidak perlu
ditakutkan. Globalisasi dan kekuatan pasar memberikan peluang dan sekaligus ancaman
bagi kita, khsususnya dalam pengembangan sebuah AKN. Suka atau tidak suka, kita
saksikan banyaknya kesalah-fahaman tentang globalisasi yang diartikan sebagai keharusan
liberalisasi dan menyerahkan sepenuhnya nasib kita kepada mekanisme pasar global yang
kemudian diartikan bahwa mewajibkan pekerja menjadi peserta AKN sebagai
bertentangan dengan globalisasi. Banyak pengusaha, bahkan juga pengambil keputusan,
yang berpandangan demikian yang menjadi faktor penghambat terselenggaranya AKN.
Meskipun seluruh negara maju di dunia telah menyelenggarakan asuransi sosial dalam
berbagai bentuknya, perlu kita sadari bahwa akan tetap ada yang tidak setuju dengan
konsep asuransi sosial yang memandangnya hanya dari satu sisi saja seperti beban
biaya bagi dirinya atau bagi sektor publik.85 Banyak pihak kita yang tidak menyadari
bahwa ada market failure yang bersumber dari tingginya informasi asimetri yang
mengharuskan sektor publik (pemerintah) turun tangan. Globalisasi dan kekuatan pasar
tidak akan menyelesaikan segala macam masalah ekonomi dan sosial sekaligus. Joseph
Stiglitz, seorang ekonom terkemuka pemenang hadiah Nobel Ekonomi yang banyak
meneliti masalah informasi asimetri, dalam bukunya yang terbit tahun lalu telah
memperingatkan dunia akan adanya bahaya disamping harapan dari globalisasi.86 Ketidakfahaman akan sebuah sistem jaminan sosial dan globalisasi dapat menjadi penghambat
besar bagi AKN.
Ketidak-fahaman tentang penyelenggaraan AKN khususnya dan jaminan sosial
umumnya dapat kita lihat dari sikap-sikap yang berpendapat bahwa pemerintah tidak
bertanggung-jawab atas gangguan kesehatan keuangan badan penyelenggara. Pertanyaan
bagaimana kalau badan penyelenggara bangkrut? dan bagaimana distribusi kekayaan
yang dimiliki badan penyelenggara? menunjukkan rendahnya pemahaman tentang
sebuah sistem jaminan sosial. Ada pula anggapan yang menyatakan bahwa pemerintah
tidak perlu mensubsidi badan peyelenggara, oleh karenanya badan penyelenggara
diserahkan kepada BUMN, yang memang dasar pemikirannya harus secara finansial
mandiri. Aneh!, minggu ini kita menyaksikan keputusan Bank Indonesia menutup dua
bank swasta dan pemerintah menjamin dana nasabah tidak hilang. Bagaimana mungkin
pemerintah tidak perlu turun tangan untuk suatu sistem jaminan sosial yang memberikan
manfaat kepada seluruh rakyatnya! Kekeliruan pandang inilah yang sedang kita hadapi di
negeri ini. Di banyak negara, bahkan seluruh biaya operasional didanai dari anggaran
pemerintah di luar kontribusi pemerintah sebagai bentuk subsidi secara langsung.
Sesungguhnya, suatu sistem jaminan sosial atau AKN dirancang untuk tidak akan
bangkrut kecuali pemerintah bangkrut. Keseimbangan antara dana tekumpul dan
kewajiban dalam sebuah sistem AKN atau jaminan sosial akan terus dipantau dan
disesuaikan agar selalu likuid dan solven. Inilah hakikat sebuah jaminan sosial yang
belum cukup difahami oleh banyak pihak di Indonesia.
Masih banyak tantangan-tantangan lain yang harus diatasi agar UU SJSN yang
meletakan fondasi AKN dapat segera berjalan seperti yang direncanakan. Tantangan
terbesar adalah ketidak-tahuan dan kesalah-fahaman tentang asuransi sosial dan jaminan
sosial. Di Indonesia pendidikan kebijakan publik dan pembiayaan publik (public finance)
masih sangat kurang diberikan, sehingga mekanisme asuransi sosial sangat kurang
difahami. Pendidikan kita belum seimbang memberikan pendidikan dan pemahaman
AKN : Contoh dan Masa Depannya di Indonesia

109

H. Thabrany

tentang kekuatan pasar dan kegagalan pasar. Kurangnya tenaga yang memahami,
mempunyai komitmen, dan menguasai manajemen dapat merusak berbagai keutamaan
AKN. Dalam jangka pendek, tantangan terbesar tersebut dapat diatasi dengan sosialisasi,
pendidikan, dan pelatihan; asal kita mau dan punya tekad untuk itu. Dalam jangka
panjang, asuransi sosial dan jaminan sosial harus masuk dalam mata ajaran di bidang
ekonomi, kesejahteraan, kebijakan publik, dan juga di bidang kesehatan.

5.9. Prospek Asuransi Kesehatan Nasional


Sebuah sistem jaminan sosial ataupun AKN merupakan sebuah pekerjaan besar
yang tidak bisa dikerjakan oleh hanya sebagian kecil orang dalam waktu singkat. Sebuah
jaminan sosial ataupun AKN adalah suatu alat yang handal dalam meningkatkan tingkat
kesejahteraan rakyat dan dalam melakukan redistribusi pendapatan dalam mewujudkan
keadilan sosial. Oleh karenanya, UU SJSN yang merumuskan AKN sebagai salah satu sub
sistemnya akan sangat dipengaruhi oleh komitmen dan dukungan pemerintah, dukungan
pelaku bisnis, dukungan para pekerja, dan dukungan para profesi kesehatan. Di
penghujung Kabinet Gotong Royong tampak secercah harapan terwujudnya sebuah SJSN.
Komitmen Pemerintah dan DPR sudah tampak, meskipun belum meluas.
Kalau kita berpandangan positif, sesungguhnya sudah ada kemajuan besar dalam
perjalanan bangsa Indonesia menuju terwujudnya kesejahteraan yang semakin merata.
Perubahan UUD yang secara eksplisit mencantumkan hak rakyat terhadap jaminan sosial
dan pelayanan kesehatan dan kewajiban negara mengembangkan jaminan sosial bagi
seluruh rakyat, sesungguhnya bangsa Indonesia sudah semakin sadar akan pentingnya
SJSN. Sampai dokumen perubahan UUD, memang kemajuan tersebut sudah terlihat.
Pertanyaan selanjutnya adalah apakah kita telah benar-benar menyadari bahwa perubahan
UUD yang memaksa negara, pemerintah dan seluruh rakyat, untuk mewujudkan sebuah
SJSN
Pada waktu penyusunan RUU SJSN, banyak pihak yang sangsi bahwa RUU
tersebut akan selesai dibahas. Pada pidato pengukuhan penulis di Universitas Indonesia,
penulis yakin betul bahwa RUU SJSN akan selesai dibahas sebelum penggantian anggota
DPR hasil Pemilu 2004. Banyak pihak yang pesimistis, meskipun anggota DPR di Komisi
VIImenurut pandangan saya, sebenarnya sudah cukup bulat. Jika kita perhatikan dari
kinerja para anggota Dewan, khususnya Komisi VII, tampak bahwa mereka sudah
membuat dua UU inisiatif yang sama-sama berupaya memperbaiki dan menempatkan
sistem jaminan sosial, termasuk AKN, pada jalur yang konsisten dengan prinsip-prinsip
universal sebuah jaminan sosial. Belum pernah terjadi anggota DPR dari berbagai fraksi
secara sadar dan aklamasi berinisiatif mengusulkan UU Asoskenas dan UU Revisi UU
Jamsostek, yang secara substansial keduanya mempunyai konsep dasar yang sama dengan
UU SJSN yang diajukan pemerintah. Oleh karena UU SJSN ini merupakan amanat Sidang
Umum MPR, maka saya yakin dan penuh harap bahwa UU SJSN akan dapat disetujui
sebelum Sidang Umum yang akan datang. Tentu saja, saya yakin bahwa para anggota
Dewan juga berupaya sekuat tenaga menyelesaikan tekadnya dan amanatnya sendiri

AKN : Contoh dan Masa Depannya di Indonesia

110

H. Thabrany

sebelum masa jabatannya habis. Kini kita akan bertaruh lagi, apakah AKN yang diatur
dalam UU SJSN akan bisa dilaksanakan segera?
Prospek yang baik dari AKN tidak saja dapat dilihat dari komitmen pemerintah
(termasuk Tim SJSN) dan para anggota Dewan, akan tetapi dukungan lembaga
internasional seperti ILO (International Labour Organization), WHO (World Health
Organization), Uni Eropa, GTZ (Lembaga Bantuan Teknis Pemerintah Jerman), ADB (the
Asian Development Bank), Bank Dunia dan lembaga-lembaga donor lainnya merupakan
suatu faktor positif. Tiga opsi bagi Indonesia telah diidentifikasi dan disebar-luaskan oleh
ILO Indonesia, termasuk diantaranya AKN secara virtual dan faktual87, dalam bentuk
laporan sebuah kajian kepada banyak pihak di dalam maupun di luar negeri. Disamping
itu, WHO Indonesia, GTZ, dan Uni Eropa telah berulang kali mensponsori berbagai studi,
seminar, loka-karya, maupun mensponsori tenaga ahli asing untuk memberikan bantuan
teknis di Indonesia dan mensponsori tenaga Indonesia belajar di negara lain. Bank
Pembangunan Asia dan Bank Dunia juga telah berperan penting dalam pembaharuan
sistem pembiayaan publik dan dalam pengembangan asuransi kesehatan melalui hibah dan
persetujuan pendanaan program-program terkait dengan asuransi kesehatan dalam
pinjaman yang diberikan. Semua itu memberikan kontribusi yang besar dalam
pemahaman masalah dan opsi-opsi perbaikan sistem jaminan sosial di Indonesia.
Banyak yang tidak menyadari bahwa sesungguhnya kita telah memiliki
pengalaman lebih dari 36 tahun dalam melaksanakan sebuah sistem asuransi kesehatan
sosial bagi pegawai negeri dan keluarganya. Disamping keluhan dan hujatan yang sering
kita dengar, yang umumnya datang dari kalangan atas peserta, masa 36 tahun
sesungguhnya merupakan pelajaran yang sangat berharga dan merupakan pondasi yang
kuat bagi perluasan asuransi kesehatan sosial. Selain pengalaman askes pegawai negeri,
askes sosial pegawai swasta juga sudah diselenggarakan sejak 10 tahun yang lalu.
Masalah kronis yang dimiliki askes sosial di Indonesia, yang menyebabkan banyaknya
keluhan dan hujatan, sesungguhnya bersumber dari rancangan sistem itu yang dengan
kontribusi sangat rendah (2% gaji pokok bagi PNS dan pensiunan pegawai negeri) harus
menjamin pelayanan komprehensif. Syukurlah, sejak tahun 2003 yang lalu, melalui
PP 28/2003 pemerintah telah mulai menambah kontribusi dalam rangka perbaikan
asuransi ini. Tanpa adanya perbaikan asuransi kesehatan pegawai negeri, AKN akan sulit
berkembang. Syukurlah bahwa PT Askes secara konsisten terus berupaya memperbaiki
kinerjanya terus-menerus.
Pengenalan dan promosi Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat (JPKM)
oleh Depkes, baik yang berhasil maupun yang tidak berhasil, telah pula memberikan
kontribusi kepada evolusi dan pemahaman kita terhadap pentingnya AKN. Program JPSBK (Jaring Pengaman Sosial Bidang Kesehatan) yang telah diluncurkan sejak awal masamasa krisis, yang dibiayai dari uang pinjaman yang kemudian diteruskan dengan program
JPK Gakin sebagai bagian dari pengalihan dana subsidi BBM, telah juga memberikan
pelajaran yang sangat berharga bagi pengembangan AKN. Program bagi penduduk miskin
tersebut, yang meskipun belum menyelesaikan seluruh masalah, telah memberikan
pemahaman lebih dalam bagi pentingnya pengembangan AKN. Program ini menunjukkan
semakin kuatnya komitmen pemerintah dalam menyediakan kebutuhan dasar kesehatan,
sebagai suatu investasi SDM menuju masa depan bangsa Indonesia yang lebih kompetitif.
AKN : Contoh dan Masa Depannya di Indonesia

111

H. Thabrany

Tanpa komitmen pemerintah yang kuat dan tanpa perubahan cara pandang belanja
kesehatan, dari sekedar membantu rakyat miskin menjadi suatu investasi SDM, kinerja
SDM kita akan terus terpuruk. Kita harus menyadari bahwa Indeks Pembangunan
Manusia kita semakin merosot ke urutan 112 dan Indeks Daya Saing Indonesia yang
berada diurutan ke 49 dari 49 negara yang disurvei. Negara-negara yang memiliki AKN
dan sistem jaminan sosial yang kuat mempunyai IPM dan indeks daya saing yang tinggi,
bahkan memiliki indeks tingkat korupsi yang rendah. Syukurlah hal ini semakin disadari
oleh kita semua. Semuanya itu, telah dan akan terus menambah kazanah ilmu kita dalam
bidang asuransi kesehatan.
Banyak pihak yang mengkhawatirkan bahwa AKN akan menurunkan daya saing
Indonesia di pasar internasional. Bahkan, IBCmenurut penulis dengan nada menakutnakuti, menyatakan bahwa AKN akan menyebabkan perusahaan asing enggan berinvestasi
di Indonesia. Prakteknya di negara maju dan di negara industri baru, kontribusi jaminan
sosialtermasuk kesehatan tidak menurunkan daya saing perusahaan. Masalah di
Indonesia sesungguhnya bukan kontribusi jaminan sosial atau tunjangan karyawan
(employement benefits, perks) tetapi pungutan-pungatan liar yang menambah beban
pengusaha. Survei biaya kesehatan yang dilakukan oleh Pusat Kajian Ekonomi Kesehatan
FKMUI menunjukkan bahwa rata-rata majikan telah mengeluarkan 5,24% dari upah
tenaga kerjanya untuk biaya kesehatan karyawannya.88 Jika sebuah AKN dijalankan, maka
sesungguhnya tidak banyak beban tambahan bagi pemberi kerja. Yang akan terjadi adalah
efisiensi yang lebih tinggi karena pool dan volume peserta yang lebih besar. Tidak akan
mungkin terjadi bahwa pengeluaran yang hanya berkisar 5-6% dari upah karyawan dapat
membuat sebuah usaha bangkrut dan tidak kompetitif. Kita harus melihatnya tidak hanya
dari biaya, akan tetapi banyak manfaat lain seperti meningkatnya moral pekerja, rasa
aman, produktifitas, dan bahkan kejujuran pekerja akan meningkat. Sebuah rumah tangga
sekalipun, jika harus mengeluarkan kontribusi setiap bulan sebesar 5% dari pengeluaran
rutinnya tidak akan membuat rumah tangga itu kolaps. Harus diingat bahwa pengeluaran
tersebut bukanlah pengeluaran sumbangan, akan tetapi pengeluaran kontijensi untuk
membiayai diri mereka sendiri.
Untuk meyakinkan bahwa kontribusi untuk AKN tidak akan membuat sebuah
usaha bangkrut, saya menganalisis data-data dari Badan Pusat Statistik tahun 1993 sampai
tahun 2000. Ternyata telah terjadi kenaikan upah riil tenaga kerja kita yang cukup berarti
sejak diundangkan UU Jamsostek. Sejak tahun 1993 UU Jamsostek sudah mewajibkan
pemberi kerja memberikan kontribusi sebesar 12,7% upah (hanya 2% kontribusi tenaga
kerja). Ternyata tingkat upah riil tetap meningkat. Artinyabeban tersebut tidak
mengurangi kemampuan perusahaan meningkatkan upah tenaga kerjanya. Analisis lebih
lanjut dari data tahun 2000 tentang proporsi biaya tenaga kerja terhadap biaya produksi
menunjukkan bahwa rata-rata perusahaan hanya mengeluarkan 8,1% saja dari biaya
produksi untuk upah tenaga kerjanya. Jika kontribusi AKN sebesar 5% yang sepenuhnya
ditanggung perusahaan, maka dampak kontribusi tersebut terhadap peningkatan biaya
produksi hanyalah 0,05 x 8,1% atau hanya akan meningkatkan biaya produksi sebesar
0,4%. Pecayakah kita bahwa kontribusi AKN yang diwajibkan kepada pemberi kerja
dapat menurunkan daya saing produk? Fakta sederhana saja menunjukkan bahwa di pasar
Indonesia terdapat begitu banyak produk dari negara-negara maju yang mewajibkan
pemberi kerja berkontribusi lebih besar dari itu.
AKN : Contoh dan Masa Depannya di Indonesia

112

H. Thabrany

Ditinjau dari persepsi tentang kemungkinan, manfaat, dan kesediaan pemberi kerja
mengikuti sebuah skema AKN, saya melakukan sebuah survei kecil kepada 100
direktur/manajer sumber daya manusia di Jakarta. Survei pendahuluan tersebut
menunjukkan bahwa mayoritas direktur SDM mempunyai pandangan positif tentang
AKN. Bahkan 83% dari mereka setuju kalau AKN dimulai pada tahun 2004 ini. Bahkan
ketika ditanyakan apakah karyawan mereka keberatan membayar tambahan iuran 3%,
61% menyatakan tidak. Meskipun survei ini baru merupakan survei pendahuluan dan
survei dengan sampel yang lebih besar masih diperlukan, sudah mulai tergambarkan
bahwa sesungguhnya apabila pemberi kerja dan pekerja memahami apa yang akan
dilakukan oleh sebuah sistem AKN, sesungguhnya mereka memahami manfaat besar bagi
perusahaan dan karyawannya. Hal ini konsisten dengan sikap para pengusaha di Korea
Selatan dan Muangtai yang saya temui. Dengan demikian, kita tidak perlu takut memulai
pengembangan AKN. Apabila penyelenggaraan AKN sudah bisa dirasakan manfaatnya,
pengusaha bahkan akan sangat mendukung seperti yang dilaporkan oleh Duque.89
Sebuah sistem AKN sesungguhnya tidak hanya berdampak besar pada akses
pelayanan kesehatan yang merupakan kebutuhan paling mendasar bagi manusia yang
hidup di muka bumi ini. Sebuah sistem AKN juga akan berdampak pada banyak aspek
kehidupan manusia lain dan bahkan kepada good governance, baik dalam pemerintahan
maupun dalam mengelola suatu badan usaha. Di Indonesia, saya yakin bahwa sistem AKN
juga akan berdampak pada peningkatan kepatuhan pembayar pajak, karena dalam AKN
hubungan kontribusi wajib dengan manfaat yang diterima oleh peserta akan sangat dekat.
Hal ini merupakan suatu media pendidikan kepatuhan penduduk dalam memberikan
kontribusi untuk kepentingan bersama.
Di bidang praktek kedokteran, tidak diragukan lagi bahwa AKN mempunyai
dampak besar bagi profesionalisme praktek dokter dan rumah sakit. Sebuah sistem AKN
akan lebih menjamin terselenggaranya penataan praktek dokter keluarga yang amat dicitacitakan oleh Departemen Kesehatan dan Ikatan Dokter Indonesia. Fakta-fakta di dunia
menunjukkan bahwa sistem praktek dokter keluarga hanya bisa berjalan apabila ditunjang
oleh sebuah sistem pembiayaan melalui AKN atau sepenuhnya dibiayai oleh pemerintah.
Sebuah sistem AKN juga akan mendorong pemerataan distribusi dokter dan rumah sakit,
karena terjadinya maldistribusi dokter dan rumah sakityang terkonsentrasi di kota besar
terjadi karena duitnya ada di kota. Tanpa AKN, hanya masyarakat kotalah yang mampu
membeli jasa medik dokter maupun rumah sakit. Akan tetapi dengan AKN, yang
menjamin semua orang, uang akan terdistribusi lebih merata (money follow patients).
Dokter, rumah sakit, dan fasilitas kesehatan lainnya akan dengan sendirinya mengikuti
distribusi peserta atau pasien.
Untuk mencakup seluruh penduduk kita memerlukan berbagai kondisi seperti,
stabilitas politik, stabilitas keamanan, porsi pekerja di sektor formal yang semakin
meningkat, infrastruktur perpajakan, tingkat pendatapan penduduk, jaringan PPK, dan
kemampuan manajemen.90 Akan tetapi, kita tidak boleh menunggu agar semua kondisi
tersebut terpenuhi. Akan terlalu banyak korban dan kesulitan jika kita menunggu kondisi
tersebut terpenuhi. Stabilitas politik dan keamanan merupakan prasyarat utama, sedangkan
kondisi lainnya dapat kita bangun bersama-sama dengan upaya perluasan cakupan AKN.
Upaya untuk mencapai cakupan universal melalui AKN dapat dimulai dari sektor yang
AKN : Contoh dan Masa Depannya di Indonesia

113

H. Thabrany

mudah dikelola, yaitu mencakup seluruh pekerja di sektor formal terlebih dahulu seperti
yang dilakukan berbagai negera di dunia.
Namun demikain, kita harus menyadari bahwa AKN adalah alat untuk mencapai
cakupan universal, bukan tujuan. Sebuah sistem AKN merupakan alat yang ampuh yang
telah dibuktikan di negara lain, khususnya di negara yang komitmen NHSnya rendah atau
penerimaan negara dari pajak relatif rendah. Tampaknya kondisi Indonesia, dimana belum
sampai 5% penduduk Indonesia yang telah memiliki NPWP dan karenanya rutin
membayar pajak, sistem AKN jauh lebih layak dari sistem NHS.
Think big, start small, act now! Itulah yang harus kita lakukan. Kita tidak boleh
menunggu sampai ekonomi baik, sampai fasilitas kesehatan siap, atau sampai kemampuan
manajemen memadai. Pada waktu Otto von Bismark memperkenalkan asuransi sosial
kesehatan di tahun 1883, keadaan ekonomi Jerman masih lebih jelek dari kondisi kita
sekarang. Jumlah penduduk yang bekerja di sektor formal hanya 10% dari total tenaga
kerja pada waktu itu.91 Pada waktu Inggris memperkenalkan AKN di tahun 1911, dan
kemudian mengubah menjadi NHS di tahun 1948, kondisi ekonomi dan fasilitas
kesehatannya juga tidak sebagus yang kita miliki sekarang. Pada waktu Presiden Rosevelt
di Amerika memperkenalkan jaminan sosial di tahun 1935, yang kemudian diamandemen
dengan manambah Medicare di tahun 1965, juga keadaan ekonomi dan fasilitas kesehatan
Amerika tidak sebaik yang kita miliki sekarang. Pada waktu Malaysia memulai sistem
NHSnya, atau Filipina memulai AKNnya, kondisinya juga belum sebaik yang mereka
miliki sekarang.
Akan tetapi memang kita harus menyadari berbagai keterbasan yang kita miliki.
Kita harus melaksanakan AKN dengan tetap hati-hati dan realistis. Ambisi yang terlalu
besar hanya akan menghancurkan sistem yang akan kita bangun. Fasilitas kesehatan dan
mutu pelayanan yang disediakannya harus terus diperbaiki, sambil kita memperluas
cakupan kepesertaan. Manajemen AKN harus terus dikembangkan untuk menjamin bahwa
pelayanan kesehatan yang diberikan memenuhi kebutuhan dan harapan peserta dan
kemudian seluruh penduduk. Evaluasi harus terus menerus dijalankan agar kita dapat terus
memperbaiki kinerja AKN. Segala tantangan, keberatan, dan ketidak-puasan harus terus
diatasi secara seksama dan tuntas. Program AKN baru akan berhasil baik jika semua
pemberi kerja, pekerja, dan seluruh peserta merasa perlu dan diuntungkan dengan menjadi
peserta AKN.
Sering kita tidak menyadari bahwa sesungguhnya sebagian besar rakyat kita tidak
akan mampu memenuhi kebutuhan kesehatannya. Banyak diantara kita pun bisa jadi tidak
mampu membiayai pelayanan kesehatan yang kita perlukan di saat kita memerlukannya,
jika suatu penyakit berat dan mahal pengobatannya menimpa kita. Kita tidak boleh
mengatakan bahwa asuransi kesehatan tidak penting atau tidak kita perlukan hanya karena
kita belum pernah merasakan manfaat atau mengalami kebutuhan. Inilah hakikat asuransi,
menjamin masa depan, masa dimana kita belum pernah mengalaminya. Inilah pula
tantangan terbesar yang menyebabkan banyak pihak, tanpa menyadari bahwa dirinya
suatu ketika juga dapat jadi miskin karena sakit, tidak mendukung sebuah sistem AKN.
Kita memang harus menunjukkan bukti untuk meyakinkan banyak pihak. Untuk

AKN : Contoh dan Masa Depannya di Indonesia

114

H. Thabrany

menujukkan bukti tersebut, diperlukan keberanian bertindak. Tidak ada bukti, tanpa
keberanian bertindak.
Perjalanan jauh dimulai dari langkah pertama yang kecil, bangunan besar dimulai
dari pemasangan batu yang kecil, dan rasa kenyang dimulai dengan sesuap makanan.
Sebuah AKN yang besar dapat kita mulai dengan menata batu satu persatu sampai ia
menjadi bangunan besar.

Rujukan
1

Feldstein PJ. Health Care Economics. 4th Ed. Delmar Publ. Albany, NY, USA. 1993
Henderson JW. Health Economics and Policy. 2nd Ed. South-Western Thomson Learning.
Mason, Ohio, USA 2002
3
Thabrany, H. Kegagalan Pasar dalam Asuransi Kesehatan. MKI Juni 2001
4
lihat UU 9/1969 BUMN jo UU BUMN 2003
5
Azwar, A. Pengantar Pelayanan Dokter Keluarga. Yayasan Penerbit Ikatan Dokter Indonesia.
Jakarta, 1996
6
Azwar, A. Catatan Tentang Asuransi Kesehatan. Yayasan Penerbit Yayasan Penerbit Ikatan
Dokter Indonesia. Jakarta, 1995
7
Sulastomo. Asuransi Kesehatan dan Managed Care. PT Asuransi Kesehatan Indonesia,
Jakarta.1997
8
Thabrany. H. Introduksi Asuransi Kesehatan. Yayasan Penerbit Ikatan Dokter Indonesia. Jakarta,
1999
9
HIAA. Gorup Health Insurance part A. HIAA, Washington DC. 1997
10
Dixon A and Mossialos E. Health System in Eight Countries: Trends and Challenges. The
European Observatory on Health Care Systems. London, 2002
11
Henderson JW. Op Cit
12
Rejda, GE. Social Insurance and Economic Security. 3rd Ed. Prentice Hall, New Jersey, USA.
1988
13
Friedlander WA and Apte RZ. Introduction to Social Welfare. Prentice Hall. Englewood, New
Jersey, USA, 1980
14
Keintz RM. NHI and Income Distribution. D.C. Health and Company, Lexington, USA, 1976
15
Merritt Publishing, Glossary of Insurance Terms, Santa Monica, CA, USA 1996
16
Tuohy CH. The Costs Of Constraint And Prospects For Health Care
Reform In Canada. Health Affairs: 21(3): 32-46, 2002
17
Vayda E dan Deber RB. The Canadian Health-Care System: A Devdelopmental Overview.
Dalam Naylor D. Canadian Health Care and The State. McGill-Queens University Press.
Montreal, Canada, 1992
18
Roemer MI. Health System of the World. Vol II. Oxford University Press. Oxford, UK. 1993
19
Thabrany, H. Kegagalan Pasar. Op Cit
20
Keintz RM. National Health Insurance and Income Distribution. D.C. Health and Company,
Lexington, USA, 1976
21
Rubin, HW. Dictionary of Insurance Terms. 4th Ed. Barrons Educational Series, Inc.
Hauppauge, NY, USA 2000
22
Dixon and Mossialos. Op Cit.
23
Stierle. F. German Health Insurance System. Makalah disajikan pada Seminar Asuransi
Kesehatan Sosial, Jakarta 2001
2

AKN : Contoh dan Masa Depannya di Indonesia

115

H. Thabrany

24

Rucket, P. Universal Coverage And Equitable Access To Health Care: The European and
German Experience. Makalah disajikan pada Asia Pacific Summit on Health Insurance and
Managed Care. Jakarta, 22-24 Mei, 2002
25
Lankers, C. The German Health Care System. Makalah disajikan pada Kunjungan Tim SJSN di
Berlin, 24 Juni 2003
26
Schoultz F. Competition in the Dutch Health Care System. Rotterdam, 1995
27
Dixon and Mossialos. Op Cit
28
Roemer, Milton I. Op Cit
29
www.health.gov.au
30
Hall Jlourenco RA and Viney R. Carrots and Sticks- The Fall and Fall of Private Health
Insurance in Australia. Health Econ 8 (8):653-660, 1999
31
Dixon A and Mossialos E. Op Cit
32
Yoshikawa A, Bhattacharya J, Vogt WB. Health Economics of Japan. University of Tokyo
Press, Tokyo, 1996
33
Okimoto DI dan Yoshikawa A. Japans Health System: Efficiency and Effectiveness in
Universal Care. Faulkner & Gray Inc. New York, USA, 1993
34
Nitayarumphong S. Universal Coverage of Health Care: Challenges for Developing Countries.
Paper presented in Workshop of Thailand Universal Coverage. 2002
35
Lee YC, Chang HJ dan Lin PF. Global Budget Payment System: Lesson from Taiwan. Makalah
disajikan dalam Summit
36
BNHI. National Health Insurance Profile 2001. BNHI, Taipei 2002
37
Liu CS. National Health Insurance in Taiwan. Makalah disajikan pada Seminar Menyongsong
Asuransi Kesehatan Nasional, Jakarta 3-5 Maret 2004
38
Rachel Lu J and Hsiao WC. Does Universal Health Insurance Make Health Care Unaffordable?
Lessons From Taiwan. Health Affairs: 22(3): 77-88, 2003
39
Cheng TM. Taiwans New National Health Insurance: Genesis and And Experience So Far.
Health Affairs: 22(3):61-76
40
Am-Gu. National Health Insurance in Korea. Makalah disajikan dalam Loka Karya Sistem
Jaminan Sosial di Bali, 10-17 Februari 2004
41
Thabrany, H. Universal Coverage in Korea and Thailand. Laporan kepada Proyek Social Health
Insurance, Uni Eropa. Oktober 2003.
42
Park, . National Health Insurance in Korea, 2002. Research Division, NHIC. Memeograph
presented for an Indonesian delegate.
43
Pongpisut. Achieving Universal Coverage of Health Care in Thailand through 30 Baht Policy.
Makalah disampaikan pada SEAMIC Conference, Chiang Mai, Thailand, 14-17 Januari 2002
44
Siamwalla A. Implementing Universal Health Insurance. Dalam Pramualratana P dan
Wibulpopprasert S. Health Insurance Systems in Thailand. HSRI, Nonthaburi, Muangtai, 2002
45
Tangchareonsathien V, Teokul, W dan Chanwongpaisal L. Thailand Health Financing System.
Makalah disajikan pada Loka Karya Social Health Insurance, Bangkok, 7-9 Juli 2003
46
SSO. Social Health Insurance Scheme in Thailand. SSO, Bangkok 2002
47
WHO/SEARO. Social Health Insurance: Report of a Regional Consultation. WHO, New Delhi,
2003
48
Novales MA dan Alcantara MO. National Health Insurance Program in Philippines. Makalah
disampaikan pada Summit Jakarta
49
EkaPutri. A. National Health Insurance Program in Decentralized Government in Archipelago
Country: Lesson from the Philippine. Makalah Studi. Asian Scholarship Foundation, 2003.
50
WHO/SEARO.Social HI. Op Cit
51
Sulastomo. Asuransi Kesehatan SosialSebuah Pilihan. Raja Grafindo Persada. Jakarta 2002

AKN : Contoh dan Masa Depannya di Indonesia

116

H. Thabrany

52

Sutadji OA. Pengalaman PT Askes dalam Menyelenggarakan Asuransi Kesehatan Sosial untuk
Masyarakat Umum. Makalah disampaikan pada Loka Karya Menyongsong AKN, Jakarta 3-4
Maret 2004.
53
UU SJSN, 2004
54
Dionne G. Hand Book of Insurance. Kluwer Publication, Boston, 2000
55
Rejda. Op Cit
56
Rosen HS. Public Finance.5th Ed. MC-Graw Hill. New York, USA. 1999
57
Dionne G, Op Cit.
58
Rosen, Oc Cit.
59
Rejda. Op Cit.
60
Butler Op Cit
61
WHO/SEARO Op Cit.
62
Thabrany, H. Rasional Pembayaran Kapitasi. YP IDI. 2000
63
Feldstein. Op Cit
64
Hederson Op Cit
65
Roemer. Op Cit
66
Thabrany, H. Rancang Bangun Sistem Jaminan Kesehatan. Kompas 20-11-2001
67
Dixon Op Cit.
68
Roemer. Op Cit.
69
ILO Indonesia. Social Security and Coverage for All: Restructuring Social Security Scheme in
IndonesiaIssues and Options. ILO, Jakarta 2002
70
Thabrany dkk. Review Pembiayaan Kesehatan Kesehatan di Indonesia. Pusat Kajian Ekonomi
Kesehatan Universitas Indonesia, Depok, 2002
71
Saadah F, Pradhan M, dan Sudarti. Indonesian Health Sector: Analysis of National Social
Economic Surveys for 1995, 1997, and 1998. Mimegoraf, World Bank, 2001
72
Pradhan M and Prescott N. Social Risk Menagement Options for Medical Care in Indonesia.
Health Econ. 11: 431446 (2002)
73
Thabrany, H dkk. Review Pembiayaan. Op Cit
74
WHO. World Health Report 2000.p55, Geneva, 2001
75
Asher MG. The Pension System in Singapore. The World Bank, Washington DC, USA, 1999
76
ILO Int. Social Security of the World. ILO, Geneva 2002
77
Viroj, T. Makalah dipresentasikan di Loka Karya SHI Bangkok, Juli 2003.
78
Pongpisut, Op Cit.
79
SSO-Thailand. Op Cit
80
Yeung RM, Smith RD, McGhee SM. Willingness to pay and size of health benefit: an integrated
model to test for sensitivity to scale. Health Econ. 1: . (2003)
81
Ryan M. A comparison of stated preferencemethods for estimating monetary values. Health
Econ. 4: (2003)
82
Jakarta Post, 13 Februari 2004
83
BPS. Statistik Indonesia 2001. BPS, Jakarta, 2002
84
Sutadji. Op Cit.
85
Gertler P and Solon O. Who Benefits from Social Health Insurance in Developing Countries.
memeograf, Berkeley, USA, 2000
86
Stiglitz. J. The Roraring NintiesSeeds of Destruction. Allen Lane. London, UK, 2003
87
ILO Indonesia. Op Cit
88
Chusnun, P. dkk. Laporan Survei Biaya Kesehatan Karyawan, PKEK UI, 2003
89
Duque III F T. Universal Social Health Insurance Coverage in the Philippine. Makalah disajikan
pada Regional Consultation on SHI. Bangkok, 7-9 Juli 2003
90
Thabrany H. Introduksi Asuransi Kesehatan. Yayasan Penerbit IDI, Jakarta 1999.
91
Rucket P. Op Cit

AKN : Contoh dan Masa Depannya di Indonesia

117

H. Thabrany

BAB 6
Sistem Pembayaran Fasilitas Kesehatan
6.1. Pendahuluan
Pelayanan kesehatan di Indonesia tumbuh dan berkembang secara tradisional
mengikuti perkembangan pasar dan sedikit sekali pengaruh intervensi pemerintah dalam
sistem pembayaran. Dokter, klinik, dan rumah sakit pemerintah maupun swasta sama-sama
menggunakan sistem pembayaran jasa per pelayanan (fee for service) karena secara
tradisional sistem itulah yang berkembang. Sistem ini juga merupakan sistem paling
sederhana yang tumbuh dan terus digunakan karena tekanan untuk pengendalian biaya belum
tampak. Di negara maju, baik di Eropa, Amerika, maupun Asia, tekanan tingginya biaya
kesehatan sudah lama dirasakan. Semua pihak ingin mengendalikan biaya kesehatan tersebut,
karena semua pihak sudah merasakan beban ekonomi yang berat untuk membayar kontribusi
asuransi kesehatan sosial atau anggaran belanja negara, atau membeli premi asuransi
kesehatan. Tekanan inilah yang mendorong implementasi berbagai sistem pembayaran
kepada fasilitas kesehatan. Di Indonesia, biaya pelayanan kesehatan masih sangat rendah,
bahkan boleh dikatakan masalah sesungguhnya yang kita hadapi adalah masalah rendahnya
biaya kesehatan, rendahnya akses kepada fasilitas kesehatan, dan bukan mahalnya biaya
kesehatan.
Meskipun tekanan untuk penerapan berbagai sistem pembayaran belum besar di
Indonesia, praktek beberapa sistem pembayaran alternatif, selain jasa per pelayanan, sudah
dilaksanakan oleh beberapa pihak misalnya PT Askes Indonesia dan beberapa perusahaan
yang sudah merasakan perlunya kendali biaya. Dalam bab ini kita akan mengupas berbagai
alternatif sistem pembayaran yang di masa datang, mau tidak mau, kita akan menerapkannya.
Undang-undang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang akan mendorong tumbuhnya
sistem asuransi kesehatan sosial di Indonesia sudah mengantisipasi hal itu dan karenanya
sudah memberikan indikasi akan perlunya penerapan sistem pembayaran prospektif. Bahkan
pada tahun 2005 ini Departemen Kesehatan telah memulai penerapan SJSN tersebut dengan
memberikan jaminan kepada penduduk yang berobat ke puskesmas atau dirawat di RS kelas
III. Sistem jaminan oleh Pemerintah ini dikelola oleh PT Askes agar sistem pembayaran
dapat dilaksanakan guna mendorong efisiensi dalam sistem kesehatan Indonesia. Dalam
sistem tersebut, PT Askes sudah mencanangkan untuk membayar puskesmas dengan sistem
kapitasi dan membayar RS dengan sistem paket. Berbagai sistem pembayaran lain akan
dibahas dalam bab ini untuk memberikan pemahaman kepada para pembaca.
Sebelum kita memulai membahas sistem pembayaran, dalam bab ini akan dibahas
secara ringkas masalah-masalah dalam biaya kesehatan. Biaya kesehatan adalah masukan
(input) finansial yang diperlukan dalam rangka memproduksi pelayanan kesehatan, baik yang
bersifat promotif-preventif maupun yang bersifat kuratif-rehabilitatif. Tidak ada dikotomi
pembiayaan kesehatan untuk kegiatan promotif-preventif dengan kuratif-rehabilitatif. Semua
Sistem Pembayaran Fasilitas Kesehatan

118

H. Thabrany

kegiatan tersebut merupakan suatu kesinambungan (continuum) yang perlu dilaksanakan


guna mencapai tujuan kesehatan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Masukan
finansial, berupa dana dari pemerintah maupun dari masyarakat kemudian dihitung per unit
pelayanan. Jumlah uang yang dibelanjakan untuk memproduksi satu unit atau kelompok unit
pelayanan merupakan biaya produksi pelayanan kesehatan. Fasilitas kesehatan kemudian
menagih atau meminta pasien membayar (baik langsung dari kantong pasien sendiri maupun
dari pihak pembayarnya) sejumlah uang yang biasanya lebih besar dari biaya produksi.
Tagihan ini disebut harga pelayanan kesehatan di fasilitas kesehatan. Harga pelayanan
kesehatan di fasilitas kesehatan merupakan biaya bagi pembayar. Sebagai contoh, tagihan
rumah sakit sebesar Rp 1.000.000 kepada seorang pasien peserta PT Askes atau PT
Jamsostek merupakan harga atau tarif (bukan biaya) bagi rumah sakit. Akan tetapi, tagihan
tersebut menjadi biaya bagi PT Askes atau PT Jamsostek karena besarnya uang yang
dibayarkan oleh kedua asuransi tersebut merupakan beban biaya yang harus dikeluarkan
dalam rangka produksi sistem asuransi yang dikelolanya. Dalam bab ini, fokus pembahasan
adalah biaya kesehatan yang diperlukan dalam memproduksi satu unit pelayanan kesehatan.
Berbagai faktor seperti biaya hidup pegawai fasilitas kesehatan, tuntutan dokter, harga obatobatan, harga dan kelengkapan peralatan medis, biaya listrik, biaya kebersihan, biaya
perijinan dan sebagainya menentukan biaya pelayanan kesehatan di fasilitas kesehatan.
Pelayanan medis, khususnya di rumah sakit, mempunyai dilema yang tidak dimiliki
oleh pelayanan lain seperti pada pelayanan hotel, bengkel mobil, dan pelayanan restoran.
Pelayanan medis di rumah sakit merupakan pelayanan yang dibutuhkan setiap orang di era
modern, paling sedikit sekali dalam masa hidupnya. Pelayanan medis di rumah sakit bersifat
tidak pasti (uncertain) (Feldstein, 1998; Phelps ; Rappaport;), baik waktu, tempat, maupun
besar biaya yang dibutuhkan (Thabrany, 2005).1 Karena sifat pelayanan yang tidak pasti,
maka tidak semua orang siap dengan uang yang dibutuhkan untuk membiayai pelayanan
tersebut. Di lain pihak, rumah sakit yang tidak mendapat pendanaan sepenuhnya dari
pemerintah mengalami dilema harus menutupi biaya-biaya yang dikeluarkan seperti jasa
dokter, bahan medis habis pakai, sewa alat medis, biaya listrik, biaya pemeliharaan gedung,
dan biaya-biaya modal atau investasi lainnya. Dalam pelayanan rumah sakit, sering terdapat
bad debt, yang merupakan biaya rumah sakit yang tidak bisa ditagih kepada pasien atau
keluarga pasien. Agar rumah sakit bisa terus menyediakan pelayanan, besarnya bad debt
harus dikompensasi dengan penerimaan lain, yang seringkali dibebankan, baik secara
eksplisit maupun diperhitungkan dalam rencana perhitungan pentarifan, kepada pasien lain
yang mampu membayar atau yang dibayar oleh majikan pasien atau oleh perusahaan
asuransi.

6.2. Faktor-faktor yang mempengaruhi biaya kesehatan


Pada garis besarnya, biaya pelayanan medis di rumah sakit terus meningkat dari tahun
ke tahun di negara manapun. Menurut Donald F Beck (1984)2 peningkatan biaya pelayanan
medis bersumber dari dua kelompok utama yaitu inflasi biaya normal dan biaya pelayanan
yang baru dan lebih baik. Komponen inflasi biaya rumah sakit mencakup dua pertiga
kenaikan biaya rumah sakit dan sepertiga kenaikan biaya bersumber dari pelayanan teknologi
baru yang lebih baik dan lebih mahal. Howard Smith dan Myron Fottler (1985)3 menyatakan

Sistem Pembayaran Fasilitas Kesehatan

119

H. Thabrany

bahwa inflasi biaya kesehatan selalu lebih tinggi dari inflasi biaya umum karena dalam
banyak hal pimpinan rumah sakit tidak punya kendali atas biaya pelayanan medis di rumah
sakit itu. Selain rumah sakit, kebijakan pemerintah, pembayar pihak ketiga seperti asuransi,
tenaga kesehatan sendiri, dan masyarakat tidak memiliki insentif untuk mengendalikan biaya.
Apa yang disampaikan oleh para ahli di Amerika dapat tampak jelas kita amati di
Indonesia. Peraturan Menteri Kesehatan menggariskan tarif pelayanan dengan
mempertimbangkan biaya satuan (unit cost). Berbagai buku pedoman dan pelatihan-pelatihan
yang diberikan di berbagai perguruan tinggi telah menerjemahkan biaya satuan dalam satuan
terkecil seperti konsultasi dokter, biaya imunisasi, biaya pasang pen, dan sebagainya. Karena
dokter dibayar untuk tiap konsultasi, bukan untuk satu episode pengobatan sampai pasien
sembuh, maka dokter akan senang memberikan konsultasi atau visite yang lebih banyak.
Semakin banyak dokter visite kepada pasien yang dirawat, semakin banyak penghasilannya.
Di sisi lain, pasien menilai bahwa dokter yang sering visite adalah dokter yang baik dan
pasien lebih senang jika dokter lebih sering visite. Jika pasien harus membayar sendiri,
hampir tidak pernah pasien menolak visite dokter karena menyadari bahwa biayanya akan
tambah mahal. Pasien juga tidak mampu mengetahui apakah visite dokter perlu sesering itu
atau cukup sekali dua kali. Apabila perawatan pasien dibayar oleh majikan atau asuransi,
pasien tambah senang dengan semakin banyak visite dokter, karena tidak ada beban biaya
yang akan dikeluarkannya. Hatinya semakin tenang dan menilai bahwa dokter tersebut baik
sekali. Sang dokter pun semakin senang, karena penghasilannya akan bertambah. Maka
terjadilah kolusi sempurna yang menyebabkan biaya perawatan tambah mahal.
Kolusi dokter-pasien dalam sebuah sistem dimana pasien tidak membayar sendiri
sebagian besar biaya kesehatan bagi dirinya mendapat pupuk yang subur dari kemajuan
teknologi. Teknologi sinar rontgen, sinar gama, dan bahkan gelombang suara telah digunakan
dalam diagnosis suatu penyakit seperti CT Scan, Gama Knife, dan USG tiga dimensi dan
berwarna. Dokter semakin suka dengan perkembangan teknologi tersebut karena banyak hal
yang dahulu tidak bisa diketahui kini bisa diketahui dengan lebih akurat. Namun harus
disadari bahwa teknologi baru tersebut mahal harganya, karena riset penemuannya ditambah
marjin keuntungan pembuat alat-alat canggih memang tinggi. Dokter tidak bertepuk sebelah
tangan, karena pasien yang mendapat pelayanan teknologi canggih yang bisa
didemonstrasikan di hadapannya juga merasa senang. Seorang ibu hamil akan sangat senang
diperlihatkan tampilan pemeriksaan USG tiga dimensi dan bewarna. Yang tidak diketahui
oleh pasien adalah harga yang harus dibayar atas kesenangan dirinya dan kesenangan dokter
yang menggunakan alat tersebut. Maka jadilah teknologi baru dan lebih baik menambah
tingginya biaya diagnosis dan pengobatan di rumah sakit.
Tingginya biaya kesehatan yang diperlukan untuk memproduksi satu unit pelayanan
menyebabkan rumah sakit menagih (charge) ke pasien atau ke pihak penjamin (asuransi)
semakin tinggi. Apalagi jika rumah sakit tersebut bersifat pencari laba (for profit) dimana
pemodal menuntut uang yang ditanam untuk membangun rumah sakit dan berbagai biaya
yang terkait dengan itu kembali dalam jangka waktu tertentu. Seperti telah disinggung
dimuka, sistem pembayaran jasa per pelayanan (retrospektif, karena biasanya baru diketahui
besarannya setelah seluruh pelayanan diberikan kepada pasien), lebih mendorong tingginya
tagihan yang harus dibayar penjamin atau pasien. Tingginya tagihan rumah sakit, yang
menjadi biaya bagi pihak asuransi, mendorong pihak asuransi atau pemerintah (dalam

Sistem Pembayaran Fasilitas Kesehatan

120

H. Thabrany

hal biaya rumah sakit bagi penduduk dibayar pemerintahseperti yang dilakukan di
Malaysia), untuk mengembangkan sistem pembayaran prospektif. Secara umum, sistem
pembayaran pelayanan rumah sakit dapat berbentuk satu atau lebih dari pilihan berikut
(Kongstvedt, 1996).

Sesuai tagihan, biasanya secara retrospektif dan sesuai jasa per pelayanan

Sesuai tagihan akan tetapi dengan negosiasi diskon/rabat khusus

Diagnostic related group

Kapitasi

Per kasus

Per diem

Bed leasing (sewa tempat tidur)

Performance based incentives

Global budget

6.3. Sistem Pembayaran Retrospektif


Berbagai aspek pembayaran retrospektif
Pembayaran retrospektif sesuai namanya berarti bahwa besaran biaya dan jumlah
biaya yang harus dibayar oleh pasien atau pihak pembayar, misalnya asuransi atau
perusahaan majikan pasien, ditetapkan setelah pelayanan diberikan. Kata retro berarti di
belakang atau ditetapkan belakangan setelah pelayanan diberikan. Cara pembayaran
retrospektif merupakan cara pembayaran yang sejak awal pelayanan kesehatan dikelola
secara bisnis, artinya fihak fasilitas kesehatan menetapkan tarif pelayanan. Oleh karenanya
cara pembayaran ini disebut juga dengan cara pembayaran tradisional atau fee for service
(jasa per pelayanan). Di Indonesia, cara pembayaran jasa per pelayanan sering disebut
dengan istilah cara pembayaran out of pocket (dari kantong sendiri).
Penggunaan istilah cara pembayaran dari kantong sendiri (DKS) untuk cara
pembayaran jasa per pelayanan (JPP) sesungguhkan tidak tepat. Cara pembayaran jasa per
pelayanan adalah cara fasilitas kesehatan menagih biaya yang dirinci menurut pelayanan
yang diberikan, misalnya biaya untuk tiap visite dokter, infus, biaya ruangan, tiap jenis obat
yang diberikan, tiap jenis pemeriksaan laboratorium, dsb. Sedangkan DKS merupakan
sumber dana untuk membayar secara JPP. Pembayran DKS dapat berbentuk JPP dan dapat
juga berbentuk sejumlah uang tetap. Misalnya di Malaysia, seorang pasien yang berobat di
RS publik (RS pemerintah) hanya membayar 3 RM per hari (setara dengan Rp 6.300 di tahun
2005) untuk setiap hari perawatan, meskipun perawatan tersebut merupakan perawatan sakit
ringan maupun perawatan untuk transplantasi ginjal. Jumlah pembayaran DKS sendiri itu
sudah termasuk obat-obtan dan segala macam tindakan yang diberikan kepada pasien. Di
Muangtai, pasien hanya membayar 30 Baht per episode perawatan, artinya sampai pasien
pulang dari rumah sakit tanpa memperhatikan jumlah hari perawatan. Jadi cara pembayaran
JPP tidak selalu sama dengan cara pembayaran DKS. Selain DKS, pembayaran JPP dapat
dilakukan oleh sebuah perusahaan untuk seorang karyawan atau anggota keluarga karyawan
tersebut yang menjadi tanggungan perusahaan. Pembayaran JPP juga dapat dilakukan oleh
perusahaan asuransi yang menjadi penanggung pembayaran seorang pasien yang telah

Sistem Pembayaran Fasilitas Kesehatan

121

H. Thabrany

membeli polis asuransi. Bahkan di Indonesia, berbeda dengan teori yang dipromosikan,
bapel-bapel Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarkat (JPKM) juga masih membayar
rumah sakit dengan cara pembayaran JPP. Kekeliruan faham tersebut dapat difahami karena
lebih dari 80% pelayanan rumah sakit di Indonesia memang masih dibayar oleh pasien
sendiri (bukan oleh asuransi maupun majikan) dan karenanya sumber dananya adalah dari
kantong keluarga pasien (DKS). Memang cara pembayaran JPP akan tetap subur pada
lingkungan dimana pasien tidak memiliki asuransi dan membayar setiap pelayanan yang
ditagih fasilitas kesehatan.
Dari sisi pengendalian biaya kesehatan, cara pembayaran JPP ini mempunyai
kelemahan karena fasilitas kesehatan maupun dokter akan terus dirangsang (mendapat
insentif) untuk memberikan pelayanan lebih banyak. Semakin banyak jenis pelayanan yang
diberikan semakin banyak fasilitas kesehatan atau dokter mendapatkan uang. Jangan heran
kalau pada beberapa rumah sakit, lima atau enam dokter spesialis berbeda melakukan visite
kepada seroang pasien yang sama setiap hari. Semakin banyak visite dokter, semakin banyak
dokter tersebut memperoleh jasa atau penghasilan. Begitu juga dengan jenis tindakan
diagnosis seperti laboratorium atau prosedur lainnya. Pasien akan ditagih untuk setiap jenis
pemeriksaan. Apabila dokter atau bahkan perawatpada beberapa kasus mendapat insentif
(berupa bonus prosentase tertentu dari pemeriksaan), maka dokter atau perawat akan lebih
banyak meminta pemeriksaan lab untuk memantau kondisi medis pasiennya. Padahal visite
atau pemeriksaan berulang-ulang mungkin tidak memberikan manfaat pada pasiennya.
Sebagai contoh, visite pemeriksaan gula darah dua hari sekali mungkin juga sudah cukup
untuk proses penyembuhan pasien, akan tetapi karena ada rangsangan uang untuk visite atau
pemeriksaan gula darah setiap hari, maka hal itu dilakukan. Kondisi seperti ini disebut moral
hazard atau abuse dalam pelayanan kesehatan. Di negara maju, pemberian bonus seperti itu
dilarang oleh pemerintah karena pasien atau pihak pembayar dapat dirugikan oleh prilaku
tenaga kesehatan. Kesulitan besar pengendalian biaya dengan pembayaran JPP adalah bahwa
pasien tidak memahami apakah suatu pelayanan memang diperlukan, diperlukan sesering
yang diberikan, dan besarnya tiap-tiap tarif jasa. Oleh karena cara pembayaran retrospektif
ini mempunyai potensi pemborosan dan kenaikan biaya kesehatan, maka di seluruh dunia,
pemerintah berupaya mengendalikan biaya dengan melakukan cara pembayaran prospetif
yang akan dibahas kemudian dalam bab ini.
Pembayaran retrospektif yang pada umumnya berbentuk pembayaran JPP dapat
bersumber dari:
Uang yang dimiliki oleh pasien atau keluarga pasien atau DKS
Uang yang bersumber dari majikan pasien atau keluarga pasien
Uang yang bersumber dari perusahaan atau badan asuransi/jaminan sosial seperti PT
Askes dan PT Jamsostek atau badan asuransi komersial seperti bapel JPKM dan
perusahaan asuransi
Uang pemerintah yang mengganti biaya seorang pasien misalnya pada korban
pemboman di Hotel Mariott atau di depan Kedutaan Besar Australia
Uang yang bersumber dari lembaga donor seperti Dompet Duafa, Dana Kemanusiaan
Kompas, RCTI Peduli, Pundi Amal SCTV dll
Uang yang bersumber dari keluarga besar pasien atau kerabat pasien yang
menyumbang untuk pengobatan seorang pasien

Sistem Pembayaran Fasilitas Kesehatan

122

H. Thabrany

6.4. Sistem Pembayaran Prospektif


Pembayaran retrospektif terdiri dari berbagai jenis pembayaran seperti diagnostic
related group, kapitasi, per diem, ambulatory care group, dan global budget. Di bawah ini
akan dibahas lebih dalam masing-masing sistem pembayaran prospektif tersebut.

6.4.1. Diagnostic Related Group (DRG)


Pengertian DRG dapat disederhanakan dengan cara pembayaran dengan biaya satuan
per diagnosis, bukan biaya satuan per jenis pelayanan medis maupun non medis yang
diberikan kepada seorang pasien dalam rangka penyembuhan suatu penyakit. Sebagai contoh,
jika seorang pasien menderita demam berdarah, maka pembayaran ke rumah sakit sama
besarnya untuk setiap kasus demam berdarah, tanpa memperhatikan berapa hari pasien
dirawat di sebuah rumah sakit dan jenis rumah sakitnya. Pembayaran dilakukan berdasarkan
diagnosis keluar pasien. Konsep DRG sesungguhnya sederhana yaitu bahwa rumah sakit
mendapat pembayaran berdasarkan rata-rata biaya yang dihabiskan oleh berbagai rumah sakit
untuk suatu diagnosis. Jika di Jakarta misalnya terdapat 10 ribu kasus demam berdarah di
tahun 2004 dan dari hasil analisis biaya diperoleh angka rata-rata biaya per kasus misalnya
adalah Rp 2 juta, maka setiap rumah sakit di Jakarta yang mengobati pasien demam berdarah
akan dibayar Rp 2 juta untuk setiap pasien.
Sejarah
Mengahadapi dilema biaya kesehatan di rumah sakit, upaya pengendalian biaya
rumah sakit sudah banyak dilakukan orang. Smith dan Fottler (1985) menyampaikan bahwa
upaya mendapatkan rata-rata biaya per diagnosis telah dilakukan oleh rumah sakit akademik
Yale-New Haven oleh Robert Fetter dan John Thomson. Riset kedua ahli tersebut dimulai di
tahun 1970 dengan tujuan untuk memperbaiki proses telaah utilisasi. Telaah utilisasi adalah
upaya untuk menilai apakah pemberian berbagai tindakan medis, baik untuk diagnosis
maupun untuk terapi, memang wajar dan diperlukan atau ada indikasi penyalah-gunaan.
Awalnya DRG yang dikembangkan di Yale tersebut terdiri atas pengelompokan yang luas
yang berdasarkan klasifikasi ICD-8-Clinical Modification. Data yang digunakan mencakup
data rumah sakit di tiga negara bagian Amerika yaitu New Jersey, Connecticut, dan South
Carolina dengan menghasilkan 83 katagori mayor diagnosis. Upaya pengelompokan
dilakukan atas dasar tiga prinsip yaitu (1) pengelompokan secara pengelolaan klinis yang
mencakup klasifikasi anatomis dan fisiologis; (2) jumlah kasus cukup banyak untuk
menghasilkan informasi statistik yang signifikan; dan (3) mencakup berbagai diagnosis
dalam ICD-8-CM tanpa adanya overlap. Dengan menggunakan alogritme interaktif,
pengelompokan lebih lanjut dilakukan dengan memperhitungkan diagnosis sekunder,
prosedur pembedahan, usia pasien, dan pelayanan khusus, pada akhirnya dihasilkan 383
DRG.
Generasi kedua DRG dikembangkan di tahun 1981 untuk menyesuaikan DRG dengan
pengelompokan diagnosis dalam ICD-9-CM. Pada generasi kedua, data yang digunakan
untuk menyusun DRG adalah data nasional dari 332 rumah sakit yang mencakup 400.000

Sistem Pembayaran Fasilitas Kesehatan

123

H. Thabrany

catatan medis pasien yang keluar (discharged) rumah sakit. Pada generasi kedua ini
diperoleh 23 kelompok mayor yang menyangkut sistem tubuh yang terkena penyakit,
misalnya sistem pernafasan dan sistem pencernaan. Generasi kedua menghasilkan 467 DRG
yang menyangkut ada tidaknya pembedahan dan komplikasi atau komorbiditas. Komplikasi
adalah penyulit suatu penyakit yang terjadi karena perjalan penyakit yang sudah lanjut akibat
terlambat diagnosis, pengobatan, atau ikut terganggunya sistem lain. Perforasi usus
merupakan suatu komplikasi dari penyakit tifus. Sedangkan komorbiditas adalah adanya
penyakit lain (yang tidak terkait dengan penyakit utama) yang secara kebetulan terjadi secara
kebetulan. Sebagai contoh, seorang yang menderita tifus bisa juga kebetulan menderita
diabetes mellitus.
Secara formal, sistem pembayaran DRG digunakan oleh pemerintah Amerika Serikat
dalam program Medicare mulai tanggal 1 Oktober 1983 (Beck, 1984; Smith dan Fottler,
1985). Program Medicare adalah program asuransi sosial di Amerika yang dananya
dikumpulkan dari iuran wajib pekerja sebesar 1,45% gaji/penghasilannya ditambah 1,45%
lagi dari majikan pekerja. Namun demikian, dana yang terkumpul tersebut hanya digunakan
untuk membiayai perawatan rumah sakit dan perawatan jangka panjang (long term care) bagi
penduduk berusia 65 tahun keatas dan penduduk yang menderita penyakit terminal (penyakit
yang tidak bisa lagi disembuhkan) seperti gagal ginjal. Jadi program Medicare merupakan
program anak membiayai orang tua yang dikelola secara nasional oleh pemerintah Federal
Amerika.
Kini sistem pembayaran DRG juga digunakan dalam program Medicare di Australia,
program Medicare di Taiwan, program jaminan sosial di Muangtai, pembiayaan rumah sakit
di Malaysia, dan juga program asuransi kesehatan sosial di Jerman. Berbeda dengan program
Medicare di Amerika, program Medicare di Australia, Kanada, dan Taiwan merupakan
program asuransi sosial yang dibiayai dari iuran wajib seluruh penduduk yang
berpenghasilan dan digunakan untuk penduduk yang membayar iuran tersebut dan anggota
keluarganya. Program Medicare di luar Amerika merupakan program Asuransi Kesehatan
Nasional (AKN). Indonesia juga sudah merintis program AKN seperti yang diatur dalam
Undang-undang nomor 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN).
Hanya saja program AKN di Indonesia saat ini belum diterapkan terhadap seluruh penduduk.
Diharapkan di tahun 2010 nanti, separuh penduduk Indonesia sudah mendapatkan jaminan
kesehatan melalui SJSN.

Arti pembayaran DRG


Dalam pembayaran DRG, rumah sakit maupun pihak pembayar tidak lagi merinci
tagihan dengan merinci pelayanan apa saja yang telah diberikan kepada seorang pasien. Akan
tetapi rumah sakit hanya menyampaikan diagnosis pasien waktu pulang dan memasukan
kode DRG untuk diagnosis tersebut. Besarnya tagihan untuk diagnosis tersebut sudah
disepakati oleh seluruh rumah sakit di suatu wilayah dan pihak pembayar misalnya badan
asuransi/jaminan sosial atau tarif DRG tersebut telah ditetapkan oleh pemerintah sebelum
tagihan rumah sakit dikeluarkan. Contoh pembayaran DRG dari program DRG di Australia
dapat dilihat pada Tabel di bawah ini.

Sistem Pembayaran Fasilitas Kesehatan

124

H. Thabrany

Tabel : Contoh DRG dan besaran tarif DRG di Australia, 2004.


DRG Description

ALOS
(Days)

DRG
A01Z
A02Z
A03Z
A04Z
A05Z
A06Z
A40Z
A41Z
B01Z
B02A
B02B
B02C
B03A
B03B
B04A

Liver Transplant
Multiple Organs Transplant
Lung Transplant
Bone Marrow Transplant
Heart Transplant
Tracheostomy Any Age Any
Cond
Ecmo - Cardiac Surgery
Intubation Age<16
Ventricular Shunt Revision
Craniotomy + Ccc
Craniotomy + Smcc
Craniotomy Cc
Spinal Procedures + Cscc
Spinal Procedures Cscc
Extracranial Vascular Pr +Cscc

31.46
18.28
22.47
22.34
19.62

Average Cost per DRG


($)
Total Direct Ohead
71,051
35,417
63,706
23,743
51,615

20,027
6,286
10,238
5,685
8,953

29.76 52,976 40,678

12,298

16.14
7.37
5.85
20.02
11.10
7.88
14.88
5.38
8.11

11,308
3,477
1,721
5,414
2,986
2,338
3,627
1,614
2,273

91,078
41,703
73,945
29,427
60,568

48,748 37,440
12,219 8,742
6,458 4,737
23,327 17,913
12,757 9,771
9,947 7,609
15,119 11,492
6,960 5,346
9,006 6,733

Sumber: Website Department of Family Service Australia, 2004

Pembayaran dengan cara DRG mempunyai keutamaan sebagai berikut:


Memudahkan administrasi pembayaran bagi rumah sakit dan pihak pembayar
Memudahkan pasien memahami besaran biaya yang harus dibayarnya
Memudahkan penghitungan pendapatan (revenue) rumah sakit
Memberikan insentif kepada rumah sakit dan tenaga kesehatan untuk menggunakan
sumber daya seefisien mungkin
Memudahkan pemahaman klien dalam melakukan sosialisasi/pemasaran pelayanan
rumah sakit
Memberikan surplus atau laba yang lebih besar kepada rumah sakit yang lebih efisien
dan menimbulkan kerugian bagi rumah sakit yang tidak efisien. Aritnya cara
pembayaran DRG akan mendorong rumah sakit menjadi lebih profesional dan lebih
efisien.

Sistem Pembayaran Fasilitas Kesehatan

125

H. Thabrany

Selain memberikan keutamaan, pembayaran DRG juga mempunyai kelemahan


sebagai berikut:
Penerapannnya membutuhkan pembayar pihak ketiga yang cukup dominan, misalnya
dengan sistem asuransi kesehatan nasional atau pemerintah yang membayar
pelayanan medis bagi rakyatnya
Penerapannya membutuhkan sistem informasi kesehatan, khususnya pencatat rekam
medis, yang akurat dan komprehensif. Sistem komputerisasi dan teknologi kumputer
kini sangat memudahkan penyelenggaraan sistem ini
Sistem pembayaran DRG di dalam lingkungan rumah sakit yang mayoritas pasiennya
membayar dari kantong sendiri sulit dilaksanakan kecuali jika ada komitmen kuat
pemerintah yang diwujudkan dalam peraturan yang ditegakkan pelaksanaannya.
Pasien yang tidak memiliki asuransi tidak akan sanggup membayar suatu biaya
pelayanan medis untuk kasus-kasus katastrofik (yang biaya pengobatan atau
perawatannya besar)
Cara pembayaran DRG di Indonesia sudah menjadi wacana sejak lebih dari 10 tahun
yang lalu. Namun demikian, karena sistem asuransi kesehatan atau sistem pembayaran rumah
sakit oleh pemerintah belum berjalan dengan baik dan belum mencakup sebagian besar
penduduk, maka cara pembayaran DRG hanya sampai wacana. Berbagai seminar dan studi
sudah dilakukan, namun komitmen pemerintah untuk menggunakan cara pembayaran DRG
untuk mengendalikan biaya rumah sakit tampaknya masih sangat rendah. Rumah sakit
sendiri belum mendapat insentif atau rangsangan untuk menggunakan cara pembayaran
DRG.

6.4.2. Pembayaran Kapitasi


Sejarah singkat
Cara pembayaran kapitasi sesungguhnya sudah lama digunakan di Eropa, jauh
sebelum HMO (Health Maintenance Organization), yang kita tiru di Indonesia dengan nama
JPKM, menggunakan sistem pembayaran kapitasi di Amerika. Sistem asuransi kesehatan
sosial di Belanda telah lebih dahulu membayar dokter keluarga dengan cara pembayaran
kapitasi untuk sejumlah orang yang menjadi tanggung-jawab dokter keluarga. Di Jerman,
asosiasi asuransi kesehatan sosial sesungguhnya membayar kapitasi kepada asosiasi dokter di
suatu wilayah dengan cara kapitasi. Dalam sistem pembayaran kapitasi di Jerman, asosiasi
dokter (semacam ikatan dokter) mendapat dana dari badan asuransi kesehatan sosial
berdasarkan jumlah orang yang akan dilayani di wilayah dimana para dokter bergabung
dalam asosiasi. Misalnya, di wilayah X ada 200.000 orang dan disepakati bahwa tiap orang
mendapat pembayaran kapitasi, katakanlah, Euro 100 setahun; maka asosiasi dokter akan
mendapatkan dana 200.000 x Euro 100 atau Euro 20 juta per tahun. Dana Euro 20 juta ini
nantinya dikelola asosiasi dokter kepada para anggotanya dengan cara JPP. Tetapi yang
mengendalikan dana bukannya badan asuransi, para dokter itu sendiri yang menjadi pengurus
asosiasi yang akan membagikan dana Euro 20 juta kepada anggotanya. Di Eropa, hampir
semua upaya asuransi kesehatan dilakukan dalam bentuk asuransi kesehatan sosial yang
bersifat wajib, jadi bukan jual-beli, dengan cara setiap orang membayar iuran bulanan
Sistem Pembayaran Fasilitas Kesehatan

126

H. Thabrany

sejumlah prosentase tertentu dari gaji/upahnya. Penyelenggaranya adalah badan asuransi,


yang bukan perusahaan asuransi yang mencari untung. Badan asuransi tersebut tidak mencari
untung (nirlaba) dan karenanya lebih transparan dalam manajemen dan memiliki anggota
hampir seluruh penduduk.
Di Amerika, upaya asuransi kesehatan didominasi dengan sistem asuransi kesehatan
komersial yang berupa jual-beli, baik dalam bentuk managed care seperti HMO maupun
dalam bentuk asuransi kesehatan tradisional. Di Amerika pembayaran kapitasi lebih dikenal
setelah Amerika mengeluarkan UU HMO di tahun 1973 yang mendorong pembayaran
kapitasi dari HMO kepada dokter dalam praktek grup dan perorangan (HIAA, MC A;
Kongsvedt, 19964 ;Bolan,).5 Namun demikian, pembayaran kapitasi kepada perorangan
dokter praktek tidak berjalan di Amerika, karena jumlah orang yang membeli asuransi HMO
tidak banyak. Kebanyakan asuransi kesehatan yang dijual di Amerika adalah asuransi
kesehatan tradisional yang membayar fasilitas kesehatan dengan JPP. Karena kondisi yang
seperti itu, maka pembayaran kapitasi di Amerika tidak berjalan sebaik pembayaran kapitasi
di Eropa.

Hakikat pembayaran kapitasi


Pembayaran kapitasi merupakan suatu cara pengendalian biaya dengan menempatkan
fasilitas kesehatan pada posisi menanggung risiko, seluruhnya atau sebagian, dengan cara
menerima pembayaran atas dasar jumlah jiwa yang ditanggung. Di Amerika, ada keharusan
bahwa HMO merupakan badan penanggaung risiko penuh (asume risk), sehingga kapitasi
penuh kepada fasilitas kesehatan tidak berarti bahwa fasilitas kesehatan akan menanggung
segala risiko katastropik.6 Ada mekanisme stop loss dalam kontrak kapitasi penuh. Artinya,
kalau ternyata jumlah orang yang berobat jauh lebih tinggi dari yang diperhitungkan atau
disepakati dimuka, maka HMO tetap bertanggung-jawab menambah dana kepada fasilitas
kesehatan yang dibayar secara kapitasi. Meskipun di Indonesia, secara eksplisit hal ini belum
diatur, mengingat sifat alamiah fasilitas kesehatan bukanlah risk bearer, maka mekanisme
stop loss haruslah juga diberlakukan, jika nanti cara pembayaran kapitasi ini diterapkan. Hal
ini sangat penting dalam menjaga kesinambungan kontrak kapitasi.
Mekanisme pembayaran cara kapitasi ini merupakan cara meningkatkan efisiensi
dengan memanfaatkan mekanisme pasar pada sistem pembayar pihak ketiga, baik itu
asuransi, maupun pemerintah. Secara teoritis, pada situasi pasar kompetitif, fasilitas
kesehatan akan memasang tarif sama dengan tarif rata-rata di pasar (average market cost). Di
semua negara hal ini tidak terjadi karena mekanisme pasar tidak berlaku dalam pelayanan
kesehatan. Di banyak negara Eropa, Asia, Amerika, dan Australia pemerintahlah yang
menentukan tarif, karena kegagalan mekanisme pasar. Pada pasar monopoli atau oligopoli,
fasilitas kesehatan dapat menetapkan harga diatas average cost. Dalam prakteknya, jika
tidak ada pengaturan pemerintah fasilitas kesehatan secara virtual selalu berada dalam
kondisi pasar monopoli/oligopoli. Jika pembayar membayar dengan kapitasi, fasilitas
kesehatan akan menekan biaya hingga paling tidak biaya per unit pelayanan yang diberikan
sama atau lebih kecil dari average cost. Dengan demikian fasilitas kesehatan akan menekan
jumlah kunjungan sehingga revenue akan sama dengan atau lebih besar dari revenue jika ia
harus melayani pasien dengan cara pembayaran JPP.

Sistem Pembayaran Fasilitas Kesehatan

127

H. Thabrany

Cara menghitung biaya kapitasi tidaklah sulit. Hanya saja, untuk Indonesia saat ini
barangkali data yang tersedia masih sangat terbatas. Tambahan, banyak fasilitas kesehatan
(health care provider) dan badan asuransi yang juga tidak memiliki informasi yang cukup
untuk bisa menghitung besar pembayaran kapitasi yang memuaskan kedua belah pihak. Oleh
karenanya, perlu dilakukan usaha bersama untuk menghimpun informasi yang akurat, agar
baik fasilitas kesehatan maupun badan asuransi sama-sama menanggung risiko dan insentif
finansial yang memadai. Jika pembagian risiko dan insentif tidak memadai maka di masa
datang akan banyak timbul konflik-konflik yang mengancam kesinambungan pembayaran
kapitasi.
Langkah-langkah menghitung biaya kapitasi adalah sebagai berikut (Thabrany,
2001):
1. Menetapkan jenis-jenis pelayanan yang akan dicakup dalam pembayaran kapitasi
2. Menghitung angka utilisasi dalam satuan jumlah pengguna per 1.000 populasi yang
akan dibayar secara kapitasi
3. Mendapatkan rata-rata biaya per jenis pelayanan untuk suatu wilayah
4. Menghitung biaya per kapita per bulan untuk tiap jenis pelayanan
5. Menjumlahkan biaya per kapita per bulan untuk seluruh pelayanan.
Tabel : Contoh perhitungan kapitasi sebuah Perusahaan HMO di AS
(dikutip dari Steenwyk, 1989)7

Jenis Pelayanan

Kunjungan rawat jalan


Kunjungan rumah sakit
Kunjungan emergensi
Check up
Bedah Minor
Rawat inap
Rawat pulang hari yang sama
Asisten bedah
Kebidanan
Psikiatri
Anestesi
Imunisasi dan suntikan
Lain
Pelayanan medis lain
Total Kapitasi

Sistem Pembayaran Fasilitas Kesehatan

Rates / 1000
orang/th

Rata-rata
biaya per
pelayanan ($)

3.400
350
150
200
240
45
40
15
25
250
80
600

434,5
54,0
60,0
60,0
80,0
850,0
450,0
225,0
1.500,0
85,0
300,0
13,0

Kapitasi
per orang
per bulan
($)
9,78
1,58
0,75
1,00
1,60
3,19
1,50
0,28
3,13
1,77
2,00
0,65

1.000
-

30,0
-

2,50
29,73

128

H. Thabrany

Dalam situasi dimana pembayaran kapitasi sudah diberlakukan secara luas, fasilitas
kesehatan yang bersifat memaksimalkan laba dapat melakukan hal-hal sebagai berikut
(Thabrany, 2001):8

Reaksi positif Kapitasi


1. Fasilitas kesehatan memberikan pelayanan yang berkualitas tinggi, dengan
menegakkan diagnosis yang tepat dan memberikan pengobatan atau tindakan
yang tepat. Dengan pelayanan yang baik ini, pasien akan cepat sembuh dan tidak
kembali ke fasilitas kesehatan untuk konsultasi atau tindakan lebih lanjut yang
menambah biaya. Taktik ini dilakukan oleh fasilitas kesehatan yang berupaya
mendapatkan keuntungan jangka pendek
2. Fasilitas kesehatan memberikan pelayanan promotif dan preventif untuk
mencegah insidens kesakitan. Apabila angka kesakitan baru menurun, maka
peserta tentu tidak perlu lagi berkunjung ke fasilitas kesehatan yang akan
menurunkan utilisasi menjadi lebih rendah dan biaya pelayanan menjadi lebih
kecil. Strategi ini dilakukan oleh fasilitas kesehatan untuk mendapatkan
keuntungan jangka panjang. Strategi ini hanya bisa dilakukan pada situasi ada
pembayar pihak ketiga tunggal atau beberapa pembayar (misalnya asuransi
kesehatan atau pemerintah).
3. Fasilitas kesehatan memberikan pelayanan yang pas, tidak lebih dan tidak kurang,
untuk mempertahankan efisiensi operasi dan tetap memegang jumlah pasien JK
sebagai income security. Hal ini akan berfungsi baik untuk mencari keuntungan
jangka pendek maupun jangka panjang dan jika situasi pasar sangat kompetitif,
dimana fasilitas kesehatan sulit mencari pasien/langganan baru.
Reaksi negatif
1. Jika kapitasi yang dibayarkan terpisah-pisah (parsial) antara pelayanan rawat jalan
primer, rawat jalan rujukan dan rawat inap rujukan dan tanpa diimbangi dengan
insentif yang memadai untuk mengurangi rujukan, fasilitas kesehatan akan
dengan mudah merujuk pasiennya ke spesialis atau merawat di rumah sakit.
Dengan merujuk, waktunya untuk memeriksa menjadi lebih cepat dan risiko
finansial menjadi lebih kecil. Dengan demikian, fasilitas kesehatan primer dan
sekunder dapat mengantongi surplus jangka pendek yang dikehendaki.
2. Fasilitas kesehatan dapat mempercepat waktu pelayanan sehingga tersedia waktu
lebih banyak untuk melayani pasien non jaminan atau yang membayar dengan
JPP yang "dinilai" membayar lebih banyak. Artinya mutu pelayanan dapat
dikurangi, karena waktu pelayanan yang singkat. Jika ini terjadi, pada kapitasi
parsial pihak pembayar ketiga pada akhirnya dapat memikul biaya lebih besar
karena efek akumulatif penyakit yang menjadi lebih mahal di kemudian hari.
Pasien yang tidak mendapatkan pelayanan rawat jalan yang memadai akan
menderita penyakit yang lebih berat, akibatnya biaya pengobatan sekunder dan
tersier menjadi lebih mahal.

Sistem Pembayaran Fasilitas Kesehatan

129

H. Thabrany

3. Fasilitas kesehatan dapat tidak memberikan pelayanan dengan baik, supaya


kunjungan pasien kapitasi tidak cukup banyak. Hal ini menimbulkan banyaknya
keluhan anggota atas pelayanan yang tidak memuaskan. Untuk jangka pendek
strategi ini mungkin berhasil menambah surplus kepada fasilitas kesehatan, tetapi
untuk jangka panjang hal ini akan merugikan fasilitas kesehatan itu sendiri.

Salah satu cara untuk mengevaluasi berbagai reaksi negatif prilaku fasilitas kesehatan
yang mendapatkan pembayaran kapitasi dan yang mendapatkan pembayaran JPP adalah
dengan mengevaluasi utilisasi biaya, status kesehatan, dan kepuasan pasien. Di Indonesia,
sepanjang pengetahuan saya, belum ada evaluasi yang sahih dan terpercaya. Di Amerika,
pada awal perkembangan HMO di mana keluhan atas rendahnya kualitas pelayanan HMO
sangat tinggi, penelitian eskperimental dilakukan oleh Rand Corporation. Hasilnya tidak
menunjukkan adanya penurunan mutu pelayanan pada HMO yang membayar kapitasi akan
tetapi terdapat efisiensi sampai 30% (Rand, 1993).9
Keseimbangan informasi antara fasilitas kesehatan dan badan asuransi merupakan
kunci sustainabilitas pembayaran kapitasi. Transfer risiko tidaklah berarti bahwa fasilitas
kesehatan harus menanggung rugi karena informasi yang tidak memadai. Trasfer risiko
dengan pembayaran kapitasi menempatkan fasilitas kesehatan pada risiko fluktuasi utilisasi
yang bukan katastropik dan memberikan insentif kepada fasilitas kesehatan untuk
menghindari moral hazard. Karena rentang risiko kapitasi bagi fasilitas kesehatan adalah
fluktuasi normal dan pemberian insentif kepada fasilitas kesehatan untuk melakukan usahausaha pencegahan guna mendapatkan laba yang memadai, maka informasi utilisasi haruslah
diketahui bersama. Artinya, keterbukaan data utilisasi antara badan asuransi dan fasilitas
kesehatan harus cukup memadai agar besaran pembayaran kapitasi tidak menyebabkan salah
satu pihak menderita kerugian sistematis.
Jadi dalam sistem pembayaran kapitasi, telaah utilisasi (utilization review) mutlak
diperlukan untuk dua hal. Pertama, telaah utilisasi dapat memberikan informasi kepada badan
asuransi dan fasilitas kesehatan tentang apakah pelayanan yang diberikan selama ini sudah
pas, pada titik optimal, atau belum. Utilisasi di bawah optiomal menunjukkan mutu
pelayanan yang tidak memenuhi standar. Sementara utilisasi yang berlebihan merugikan
fasilitas kesehatan. Telaah utilisasi dilakukan pada fasilitas kesehatan yang dikontrak kapitasi
dan fasilitas kesehatan rujukan. Dengan demikian dapat dipantau fasilitas kesehatan mana
yang rajin merujuk dan mana yang kurang merujuk. Telaah utlisasi ini juga sangat penting
untuk mengetahui apakah keluhan anggota/peserta tentang kualitas yang kurang memadai
memang terjadi.
Keterbukaan dan saling percaya merupakan faktor yang sangat penting yang secara
periodik dikomunikasikan. Telaah utlisasi membutuhkan keterbukaan ini, sehingga badan
asuransi dan fasilitas kesehatan sama-sama mengetahui besarnya risiko yang ditransfer dari
badan asuransi ke fasilitas kesehatan. Dengan demikian, maka besaran kapitasi menjadi fair
(adil). Pembayaran kapitasi yang ditetapkan sepihak tidak akan menghasilkan status
kesehatan yang optimal dan merupakan ancaman kelangsungan hubungan badan asuransi dan
fasilitas kesehatan.

Sistem Pembayaran Fasilitas Kesehatan

130

H. Thabrany

Dalam mengkomunikasikan data utilisasi, badan asuransi dan fasilitas kesehatan


harus sama-sama menyadari bahwa terjadi variasi di dalam fasilitas kesehatan dan di luar
fasilitas kesehatan. Di dalam suatu fasilitas kesehatan terjadi variasi utilisasi dari waktu ke
waktu dan dari suatu kelompok penduduk ke kelompok penduduk lain. Sementara di antara
berbagai fasilitas kesehatan terjadi juga variasi yang sama. Besaran pembayaran kapitasi
dihitung berdasarkan rata-rata utilisasi antar fasilitas kesehatan, bukan hanya variasi yang
terjadi di dalam suatu fasilitas kesehatan. Hal ini dapat menimbulkan salah pengertian jika
tidak dikomunikasikan dengan baik. Besarnya pembayaran kapitasi dengan penyesuaian
terhadap besarnya risiko yang harus ditanggung oleh suatu fasilitas kesehatan atau suatu
kelompok fasilitas kesehatan (adjusted capitation rate) dapat dilakukan untuk lebih
menjamin keadilan di antara fasilitas kesehatan. Namun hal ini tidak didasarkan atas variasi
utilisasi di dalam suatu fasilitas kesehatan, akan tetapi atas dasar variasi risiko kelompok
suatu fasilitas kesehatan yang berbeda dengan risiko rata-rata anggota seluruhnya.

6.4.3. Pembayaran per kasus/paket


Sistem pembayaran per kasus (case rates) banyak digunakan untuk membayar rumah
sakit dalam kasus-kasus tertentu. Pembayaran per kasus ini mirip dengan pembayaran DRG,
yaitu dengan mengelompokan berbagai jenis pelayanan menjadi satu kesatuan (Kongstvedt,
1996). Pengelompokan ini harus ditetapkan dulu dimuka dan disetujui kedua belah pihak,
yaitu pihak rumah sakit dan pihak pembayar. Sebagai contoh, kelompok pelayanan yang
disebut per kasus misalnya pelayanan persalinan normal, persalinan dengan sectio, pelayanan
ruang intensif akan tetapi tidak berdasarkan diagnosis penyakit. Rumah sakit akan menerima
pembayaran sejumlah tertentu atas pelayanan suatu kasus, tanpa mempertimbangkan berapa
banyak dan berapa lama suatu kasus ditangani. Sebagai contoh yang paling umum adalah
persalinan normal, misalnya Rp 2 juta per persalinan normal. Rumah sakit akan mendapat
pembayaran sebesar Rp 2 juta, meskipun suatu persalinan ada persalinan yang memerlukan
infus, partus lama, ada perdarahan lebih dari normal, ada yang dirawat satu hari atau empat
hari.
Seperti juga pada pembayaran DRG, dengan pembayaran per kasus, RS akan
didorong untuk lebih cermat dalam melakukan diagnosis, lebih hemat dalam menggunakan
sumber daya, lebih cermat dalam pemeriksaan laboratorium atau pemeriksaan penunjang
lain. Apabila sebuah RS yang telah sepakat mendapat pembayaran Rp 2 juta mampu
melayani suatu persalinan dengan biaya hanya Rp 1,5 juta, maka RS tersebut mendapat
surplus atau laba. Akan tetapi, kalau karena kecerobohan dokter, bidan atau perawat
menyebabkan terjadi suatu komplikasi, sehingga baik si ibu maupun si bayi dirawat lebih
lama dan menghabiskan biaya Rp 3 juta, maka rumah sakit tersebut akan merugi Rp 1 juta
pada kasus itu.
Di Indonesia sesungguhnya pembayaran per kasus sudah sering digunakan dengan
mengelompokan pembedahan menjadi bedah mikro, bedah kecil, bedah sedang, bedah besar,
bedah khusus, perawatan satu hari (one day care) dan sebagainya. Yang belum terjadi di
Indonesia adalah tarif yang sama untuk kasus yang sama di berbagai rumah sakit. Akibatnya,
pasien perorangan yang harus membayar DKS tidak mempunyai pilihan yang tepat dan tidak
selalu dapat memilih tarif per kasus yang sesuai dengan kantongnya. Apabila pemerintah

Sistem Pembayaran Fasilitas Kesehatan

131

H. Thabrany

menetapkan tarif per kasus yang berlaku sama di semua rumah sakit di suatu daerah, maka
kondisi pasien yang pada umumnya tidak terlindungi asuransi akan lebih tertolong. Di
Malaysia dan Singapura misalnya, pemerintah bersama organisasi profesi telah menetapkan
tarif untuk berbagai kasus di rumah sakit swasta sehingga pasien bisa mengira-ngira besarnya
yang harus ia bayar. Sedangkan untuk RS publik di Malaysia, penduduk hanya membayar
per diem yang sangat murah.
Di Muangtai pemerintahnya menerapkan sistem skema 30 Baht yang dikelola oleh
Health Security Office dengan membayar kapitasi ke rumah sakit. Setiap penduduk Muangtai
yang berusia 16-59 tahun yang bukan pegawai negeri dan bukan pegawai swasta (yang
keduanya sudah memiliki jaminan kesehatan) hanya membayar sebesar 30 Baht (sekitar Rp
6.000) setiap kali berobat atau dirawat. Pembayaran semacam ini bukanlah pembayaran per
kasus atau per episode pengobatan. Pembayaran seperti di Muangtai tersebut hanya
merupakan copayment, pembayaran formalitas bahwa perawatan yang diterimanya tidak
gratis. Hampir seluruh biaya perawatan tersebut sesungguhnya sudah dibayar oleh
pemerintah Muangtai kepada RS.

6.4.4. Pembayaran per diem


Pembayaran per diem merupakan pembayaran yang dinegosiasi dan disepakati
dimuka yang didasari pada pembayaran per hari perawatan, tanpa mempertimbangkan biaya
yang dihabiskan oleh rumah sakit (Kongstvedt, 1996). Misalnya suatu badan asuransi atau
pemerintah membayar per hari perawatan di kelas III sebesar Rp 250.000 per hari untuk
kasus apapun yang sudah mencakup biaya ruangan, jasa konsultasi/visite dokter, obat-obatan,
pemeriksaan laboratorium dan pemeriksanaan penunjang lainnya. Sebuah rumah sakit yang
efisien dapat mengendalikan biaya perawatan dengan memberikan obat yang paling costeffective, memeriksa laboratorium hanya untuk jenis pemeriksaan yang memang diperlukan
benar, memiliki dokter yang dibayar gaji bulanan dan bonus, serta berbagai penghematan
lainnya; akan mendapatkan surplus. Esensi pembayaran per diem adalah pembayaran dalam
sistem mekanisme pasar, dimana RS harus memenuhi kebutuhan dananya sendiri yang tidak
mendapat dana dari pemerintah.
Di Malaysia, penduduk Malaysia juga membayar per diem untuk perawatan di RS
pemerintah sebesar 3 RM per hari (sekitar Rp 6.300), meskipun si pasien perlu dirawat di
ruang perawatan intensif atau memerlukan transplantasi sumsum tulang. Kalau penduduk
Malaysia dirawat di Institut Jantung Nasional maka ia hanya membayar 10 RM per hari.
Meskipun pembayaran tersebut merupakan pembayaran per diem, akan tetapi sifatnya
berbeda. Karena sesungguhnya, biaya yang dihabiskan oleh rumah sakit bisa jadi lebih dari
2.000 RM per hari. Hanya saja, pemerintah yang membayar hampir seluruh biaya yang
dihabiskan RS, bukan si pasien atau pembayar pihak ketiga. Rumah sakit publik
mendapatkan dana secara global, seperti yang akan dibahas dalam kemudian.
Pembayaran per diem yang berbasis pasar dapat juga dimodifikasi dengan melakukan
kombinasi kasus atau jenis tindakan (Kongstvedt, 1996). Sebagai contoh, RS dapat negosiasi
untuk mendapatkan pembayaran per diem untuk kasus pembedahan yang berbeda dengan
pembayaran per diem untuk kasus tanpa pembedahan. Demikian juga RS dapat bernegosiasi

Sistem Pembayaran Fasilitas Kesehatan

132

H. Thabrany

untuk mendapatkan pembayaran per diem dengan atau tanpa perawatan intensif. Modifikasi
lain juga dapat dilakukan dengan sliding scale per diem. Dalam cara pembayaran ini, badan
asuransi yang membayar sejumlah tertentu hari rawat, misalnya kurang dari 1.000 hari rawat
per tahun, akan membayar sedikit lebih mahal per hari dibandingkan dengan badan asuransi
yang membayar lebih dari 3.000 hari rawat per tahun. Modifikasi per diem dapat juga
dilakukan dengan tarif per diem differensial. Pada pembayaran per diem differensial, rumah
sakit akan dibayar dengan tarif per diem yang lebih tinggi pada beberapa hari pertama dan
tarif per diem yang lebih rendah pada hari tertentu (misalnya hari ke lima) dan seterusnya.

6.4.5. Global budget


Global budget (anggaran global) untuk RS banyak dilakukan di Eropa (Sandier, dkk,
2002) dan juga di Malaysia. Sesungguhnya global budget merupakan cara pendanaan
rumah sakit oleh pemerintah atau suatu badan asuransi kesehatan nasional dimana RS
mendapat dana untuk membiayai seluruh kegiatannya untuk masa satu tahun. Alokasi dana
ke RS tersebut diperhitungkan dengan mempertimbangkan jumlah pelayanan tahun
sebelumnya, kegiatan lain yang diperkirakan akan dilaksanakan, dan kinerja RS tersebut.
Manajemen RS mempunyai keleluasaan mengatur dana anggaran global tersebut untuk gaji
dokter, belanja operasional, pemeliharaan RS, dll. Sistem ini pada umumnya dilaksanakan di
negara-negara dimana penduduk berhak mendapat pelayanan rumah sakit tanpa harus
membayar atau membayar sedikit copayment.
10

Sebelumnya pendanaan dilakukan dengan anggaran global, rumah sakit mendapat


anggaran rutin dalam bentuk gaji pegawai, belanja pemeliharan, belanja investasi dan
sebagainya. Dengan model belanja seperti anggaran belanja pemerintah Indonesia yang lalu,
dimana ada anggaran rutin dan anggaran pembangunan, dana yang mengalir ke rumah sakit
sering tidak efisien atau dikorupsi. Untuk memberi insentif kepada manajemen RS agar lebih
efisien, maka manajemen RS diberikan sejumlah dana atau anggaran global dengan
keharusan mencapai target jumlah dan kualitas pelayanan tertentu kepada masyarakat yang
menjadi tanggung jawabnya. Dengan cara demikian, maka anggaran akan lebih terkendali.

6.5. Ringkasan
Pelayanan kesehatan, khususnya pelayanan di rumah sakit, bukanlah pelayanan yang
dapat mengikuti hukum pasar seperti halnya pelayanan bengkel mobil atau pelayanan hotel.
Akibatnya, mekanisme pasar yang dapat mengendalikan biaya tidak terjadi di dalam
pelayanan kesehatan. Biaya pelayanan kesehatan terus meningkat dari tahun ke tahun yang
lebih besar dari peningkatan karena inflasi. Biaya pelayanan kesehatan meningkat karena ada
inflasi umum dan juga karena ada pelayanan baru dan peningkatan kualitas pelayanan karena
adanya teknologi dan tuntutan baru. Berbagai pihak berupaya melakukan pengendalian biaya
pelayanan kesehatan dengan berbagai cara pembayaran. Cara pembayaran tradisional yang
jumlahnya ditentukan setelah pelayanan diberikan (pembayaran retrospektif) justeru
memberikan dorongan bagi inflasi yang lebih tinggi dan pemberian pelayanan baru yang
semakin mahal.

Sistem Pembayaran Fasilitas Kesehatan

133

H. Thabrany

Para ahli ekonomi kesehatan kemudian mengembangkan berbagai cara pembayaran


prospektif, yaitu pembayaran yang jumlahnya sudah disepakati di muka, meskipun
pembayarannya dilakukan setelah pelayanan diberikan. Cara pembayaran prospektif terdiri
atas cara pembayaran kapitasi, pembayaran DRG, per kasus/paket, per diem, ambulatory
patient group, dan pembayaran anggaran global. Masing-masing cara pembayaran
membutuhkan syarat-syarat tertentu dan rumah sakit dapat menerima satu atau lebih cara
pembayaran.

Rujukan
1

Thabrany, Hasbullah. 2005. Pendanaan Kesehatan di Indonesia. RajaGrafindo Pers. Jakarta, 2005
Beck, Donald F. 1984. Principles of Reimbursement in Health Care. Aspen Publication. Rockville, MD.
USA. p 12
3
Smith, Howard L. dan Fottler, Myron D. 1985. Prospective Payment. Aspen Publication. Rockville, MD.
USA. p 2
4
Kongsvedt, Peter R. 1996. The Managed Health Cara Handbook. 3rd Ed. Aspen Publication. Gaitersburg, MD,
USA,
5
Bolan, Peter. Making Managed Healthcare Work: A Practical Guide to Strategies and Solutions. 1993. Aspen
Publication, Gaitersburg, MD. USA
6
HIAA. 1997. Managed Care: Integrating Delivery and Financing of Health Care, Part A. Washington, DC,
USA.
7
Steenwyk. J. 1989. Costs and Utilization Rates: Establishing Per Capita Budgets. dalam (Kongstvedt, P.R.
Ed) The ManagedHealth Care Handbook. Aspen Pub., Rockville, NM.
8
Thabrany, Hasbullah. Rasional Pembayaran Kapitasi. Yayasan Penerbitan IDI. 2001
9
Rand Corporation. Free for All.
10
Sandier, Simon; Polton, Dominique; Paris, Valerie; and Thomson, Sarah. 2002. France Health Care System.
Dalam Health Care Systems in Eight Countries: Trends and Challenges. Europen Observatory Health Care
System.
2

Sistem Pembayaran Fasilitas Kesehatan

134

H. Thabrany

BAB 7
Asuransi Kesehatan Nasional Dalam
Sistem Jaminan Sosial Nasional
Sistem pendaaan kesehatan di Indonesia kini menderita penyakit kronis dan
masyarakat Indonesia dapat menjadi miskin jika saja ada satu atau lebih anggota keluarganya
yang harus dirawat di rumah sakit, meskipun di RS pemerintah. Meminta pendanaan
seluruhnya atau sebagian besar dari anggaran belanja Pemerintah (baik pusat maupun daerah)
seperti yang dilakukan Muangtai dan Malaysia tidak bisa diharapkan saat ini. Kebanyakan
pejabat kita belum menerima konsep investasi kesehatan untuk pembangunan manusia
Indonesia yang tangguh. Karenanya anggaran kesehatan masih sangat minim dan pendanaan
pelayanan kesehatan, paling tidak biaya rumah sakit, bagi seluruh rakyat dinilai
menghabiskan dana publik. Dalam kondisi seperti ini, skema asuransi sosial yang bersifat
wajib dan didanai dari iuran yang proporsional terhadap penghasilan (prosentase upah, dan
pasti terjangkau semua pihak) merupakan solusi terbaik. Hal ini, Alhamdulillah, sudah
disetujui DPR tanggal 28 September 2004 yang tercantum dalam Undang-Undang Sistem
Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Upaya yang telah dirintis lebih dari tiga tahun akhirnya
membuahkan hasil tahun 2004.
Berikut ini disajikan suatu konsep lebih rinci dari UU SJSN tersebut, yang Insya
Allah akan diatur dalam Peraturan Pemerintah atau Peraturan Presiden. Namun sebelum
konsep pendanaan dan pengaturan manfaat SJSN tersebut dibahas rinci, untuk memberikan
pemahaman mengapa alternatif tersebut terpilih, berikut ini disajikan berbagai keunggulan
dan kelemahan dari beberapa alternatif terpilih.

7.1. Alternatif Penyelenggaraan, Suatu Analisis


Pilihan alternatif penyelenggaraan asuransi kesehatan sosial dapat dianalisis dari dua
sisi penting yaitu dari sisi badan penyelenggara dan dari sisi paket jaminan atau manfaat yang
menjadi hak peserta. Badan penyelenggara dapat berbentuk badan tunggal di tingkat nasional
(single payer), dapat berbentuk badan tunggal di tiap daerah yang secara aktuarial memenuhi
hukum angka besar, dapat hanya beberapa badan di tingkat nasional (oligo payer) atau
oligopoli di tingkat daerah, dan dapat terdiri atas banyak badan penyelenggara (multi payer)
baik di tingkat nasional maupun daerah. Tiap pilihan mempunyai keunggulan dalam
efisiensi, efektifitas, dan kecepatan responsif terhadap masalah di lapangan. Semua pilihan
sah saja, tidak ada yang benar atau salah dalam hal ini. Akan tetapi masing-masing alternatif
memiliki nilai plus dan minusnya.
Pilihan alternatif paket jaminan (manfaat) sesungguhnya tidak banyak, kecuali kalau
kita akan membahas secara rinci masing-masing pelayanan yang dijamin dan yang tidak

AKN dalam SJSN

135

H Thabrany

dijamin. Disini akan dibahas opsi tiga jenis manfaat yaitu manfaat rawat inap dan biaya
medis yang mahal saja yang dijamin, pelayanan komprehensif dengan urun biaya (cost
sharing) untuk pelayanan tertentu dalam rangka mengendalikan moral hazard, dan
komprehensif tanpa urun biaya.
Secara ringkas kelebihan dan kekurangan masing-masing opsi dapat dilihat pada
matriks di bawah ini
Paket jaminan dimulai dengan
Penyelenggara

Opsi I. Rawat Inap


dan biaya mahal

Opsi II. Komprehensif


dengan cost sharing

Opsi III.
Komprehensif tanpa
cost sharing

Single payer di
tingkat Nasional
atau Provinsi .

Efisien, egaliter,
manajemen paling
mudah, sustainabilitas tinggi

Efisien, egaliter,
manajemen lebih
kompleks, sustainabilitas tinggi

Kurang efisien, egaliter, manajemen


kompleks, sustainabilitas tinggi

Oligo payer di
tingkat National
atau Provinsi

Efisien, egaliter
dalam kelompok,
manajemen paling
mudah, sustainabilitas tinggi

Efisien, egaliter dalam


kelompok, manajemen
lebih kompleks,
sustainabilitas tinggi

Kurang efisien, ega


liter dalam kelom pok,
manajemen kompleks,
sustaina bilitas tinggi

Multi payer 1 di
pusat/ provinsi

Kurang efisien,
egaliter dalam kelom
pok, manajemen mu
dah, risk pool mung
kin masalah, sustaina
bilitas mungkin
masalah

Kurang efisien, egaliter


dalam kelom pok,
manajemen mudah, risk
pool mungkin masalah,
sustainabilitas mungkin
masalah

Lebih kurang efi sien,


egaliter dalam kelom
pok, manaje men
mudah, risk pool
mungkin ma salah,
sustainabilitas mungkin
masalah

Multi payer 2 di
tingkat
provinse/kab-kota

Kurang efisien,
egaliter dalam
kelompok,
manajemen mudah,
risk pool masalah,
ancaman
sustainabilitas

Kurang efisien, egaliter


dalam kelompok,
manajemen kompleks,
risk pool masalah,
ancaman sustainabilitas

Paling tidak efisien,


egaliter makin terbatas,
manajemen sukar, risk
pool masalah besar,
ancaman sustainabilitas

Multi payer 3,
dengan banyak
badan dari pusat
sampai kab-kota

Lebih kurang efisien,


egaliter dalam
kelompok,
manajemen sukar,
risk pool masalah,
sustainabilitas
masalah

Kurang efisien, egaliter


dalam
kelompok,manajemen
kompleks, risk pool
masalah, ancaman
sustainabilitas

Paling tidak efisien,


egaliter makin terbatas,
manajemen sukar, risk
pool masalah besar,
ancaman sustainabilitas

AKN dalam SJSN

136

H Thabrany

Sesungguhnya kelebihan dan kekurangan dari penyelenggaraan dan paket jaminan


pelayanan yang disediakan bervariasi luas. Yang banyak terjadi di beberapa negara, karena
latar belakang politik dan sosial yang beragam, variasi luas yang terjadi umumnya dalam
badan penyelenggara, bukan dalam paket jaminan. Setelah didiskusikan bersama oleh
berbagai unsur, alternatif badan penyelenggara selaku payer mempunyai kelebihan dan
kekurangan tersebut dapat diringkas dan disederhanakan seperti disajikan dari hasil rumusan
sebagai berikut.
Unsur

Single
payer
Nasional

Single
payer
Propinsi

Oligo
payer
Nasional

Single
collector,
multi payer

Multi
payer
district I

Multi
payer
district II

Efisiensi
Kualitas,
konsumen

+++++

++++

+++

++

++

+/-

++

++

++++

++++

++++

++++

+++

+++

+++

+/-

+++++
+++++
+++++
+++++
+++++
+/-

++++
+++++
++++
++++
++++
+++

+++
+++++
++++
+++
++++
+/-

++
+++
++++
++++
+++
++

++
++
+
++
++
++++

+/+/+/+/+/++++

Kualitas,
fasilitas
kesehatan
Keterjangkauan
Keberlanjutan
Subsidi silang
Equity
Portabilitas
Desentralisasi

Di dalam pengambilan keputusan bentuk yang paling pas untuk Indonesia kita harus
mencermati kelebihan dan kekurangan tersebut. Kombinasi beberapa bentuk dapat dilakukan.
Yang paling penting untuk diingat ialah bahwa salah satu bentuk mungkin pas untuk saat ini
kemudian pada masa yang akan datang dapat berubah menjadi bentuk yang lain. Misalnya,
untuk satu badan asuransi nasional meskipun banyak memiliki kelebihan mungkin sulit
dilakukan saat ini karena situasi politik yang belum memungkinkan. Dalam prakteknya,
pilihan bentuk badan penyelenggara merupakan pilihan yang paling sulit dan paling
dipengaruhi aspek politis dan kepentingan berbagai pihak. Undang-Undang SJSN telah
memberikan indikasi bahwa penyelenggaraan asuransi kesehatan nasional di Indonesia
paling tidak akan menjadi oligo-payer, ada dua badan penyelenggara jaminan sosial (BPJS)
yang menyelenggarakan, yaitu PT Askes dan PT Jamsostek (yang tidak lagi bertujuan
mencari laba, baca naskah UU SJSN terlampir). Pemerintah daerah tidak perlu khawatir,
sebab meskipun penyelenggara di daerah adalah kantor cabang PT Askes atau PT Jamsostek,
pekerjanya adalah orang daerah. Dana yang terkumpul juga dibayarkan kepada fasilitas
kesehatan daerah. Sehingga tidak terjadi aliran dana dari daerah ke pusat yang digunakan
oleh pusat.

AKN dalam SJSN

137

H Thabrany

7.2. Rancangan Asuransi Kesehatan Nasional Indonesia:


Suatu Skenario
Deklarasi Hak Asasi Manusia yang dikeluarkan oleh Perserikatan Bangsa Bangsa di
tahun 1947 telah menempatkan kesehatan sebagai salah satu hak asasi dan menyebutkan
bahwa setiap penduduk berhak atas jaminan manakala ia sakit. Deklarasi ini telah diikuti oleh
Konvensi International Labor Organization (ILO) No 52 tahun 1948 yang memberikan hak
tenaga kerja atas sembilan macam jaminan termasuk di antaranya Jaminan Kesehatan.
Indonesia sebagai negara yang telah meratifikasi konvensi tersebut secara bertahap wajib
mewujudkan terselenggaranya jaminan kesehatan bagi semua, sesuai dengan kemampuan
dan perkembangan negara.
Untuk Pegawai Negeri dan keluarganya, Indonesia telah mewujudkan jaminan
kesehatan mereka sejak tahun 1968. Akan tetapi anak yang ditanggung hanya sampai dua
anak dan peserta masih harus membayar urun biaya yang cukup banyak untuk pelayanan
yang dijamin, khususnya pelayanan yang mahal biayanya. Meskipun secara proporsional
tampaknya tidak begitu besar, akan tetapi beban biaya riil masih besar. Sebagai contoh, untuk
operasi jantung memang PT Askes menjamin sampai Rp 112 juta, namun peserta masih
harus membayar sampai Rp 36 juta. Jumlah yang harus dibayar peserta pegawai negeri
tersebut, masih besar sekali, lebih dari satu tahun gajinya. Di tahun 1992 Indonesia telah
mengeluarkan UU Jamsostek yang juga mewajibkan majikan membayarkan iuran untuk
jaminan kesehatan. Sayang, karena PP 14/1993 membolehkan opt out (perusahaan yang bisa
memberikan pelayanan yang lebih baik boleh tidak ikut) cakupan program JPK dari
Jamsostek tidak lebih dari 1,2 juta tenaga kerja. Selain itu manfaatnya masih sangat terbatas.
Pengobatan penyakit kanker, sakit jantung, dan hemodialisa tidak dijamin. Ini sangat ironis,
sebab asuransi bertujuan menghilangkan beban biaya yang besar, tetapi program JPK
Jamsostek justeru tidak menjamin pelayanan yang mahal yang tidak sanggup ditanggung
sendiri oleh pekerja. Selain itu, pegawai swasta yang pensiun, yang penghasilannya
berkurang atau tidak ada sama sekali, usia yang tua memiliki risiko sakit yang tinggi, tidak
mendapat jaminan karena program Jamsostek hanya menjamin dikala pekerja masih aktif.
Kedua program jaminan tersebut (Askes dan Jamsostek) tidak mengalami perbaikan berarti
untuk masa yang cukup lama, sementara standar kebutuhan hidup dan kebutuhan kesehatan
telah berubah banyak. Program jaminan, yang dapat digolongkan sebagai program jaminan
sosial, juga belum cukup memadai. Program pensiun untuk pegawai swasta masih belum
terwujud sama sekali. Jumlah dana jaminan sosial yang terkumpul oleh dua program jaminan
hari tua dan pensiun (PT Jamsostek dan PT Taspen) sampai saat ini masih kecil sekali,
sekitar Rp 28 triliun, atau kurang dari 2 % dari Produk Domestik Bruto. Jumlah tersebut
tentu belum mempunyai daya ungkit ekonomi yang berarti bagi pertumbuhan ekonomi di
Indonesia.
Untuk merealisasi komitmen global Indonesia dalam bidang jaminan sosial, Sidang Majelis
Permusyawaratan Rakyat RI di tahun 2000 dan 2002 telah mengamendemen UUD 1945
dengan mencantumkan pasal 28H dan pasal 34 yang menugaskan pemerintah untuk
mengembangkan Jaminan Sosial bagi seluruh rakyat. Secara universal jaminan sosial
mencakup jaminan hari tua, jaminan pensiun, jaminan kematian, jaminan kecelakaan kerja,

AKN dalam SJSN

138

H Thabrany

dan jaminan kesehatan termasuk jaminan persalinan (maternity benefits). Dengan


amendemen UUD tersebut, maka landasan hukum untuk meningkatkan kesejahteraan
(sekaligus meningkatkan produktifitas rakyat dan negara) bagi seluruh rakyat dengan
mengembangkan dan memperluas jaminan sosial sudah sangat kuat.
Untuk melaksanakan amanat pengembangan jaminan sosial tersebut, Presiden telah
mengeluarkan Kepres No. 20 tahun 2002 yang membentuk Tim Sistem Jaminan Sosial
Nasional yang diketuai oleh almarhumah Prof. Yaumil Agus Achir, pada waktu itu bertugas
Deputi Wakil Presiden untuk Kesejahteraan Sosial dan kemudian Kepala BKKBN. Sebelum
dikeluarkan Keppres tersebut, tim sudah dibentuk dibawah SK Menko Kesra dan kemudian
SK Sekretaris Wakil Presiden yang pada waktu itu masih dijabat oleh Megawati
Seokarnoputri. Setelah Prof Yaumil meninggal dunia, Dr. Sulastomo, MPH, AAK ditugasi
menjadi Ketua Tim SJSN dengan Kepres Nomor 110/2003. Penulis sendiri termasuk sebagai
anggota Tim dan bertugas sebagai Sekretaris Sub Tim Jaminan Kesehatan dan kemudian
bertugas sebagai Konsultan Asian Development Bank untuk membantu Tim menyusun
Naskah Akademik dan RUU SJSN sampai RUU disampaikan ke DPR. Sejak dibentuknya
Tim, empat orang yang berperan penting dalam pengembangan SJSN yaitu Prof. Indra
Hattari, FSAI (aktuaris dan ahli jaminan pensiun), Prof Sentanoe (ahli jamianan sosial), Prof
Yaumil A. Achir, dan Drs. Mungid telah meninggal dunia sebelum menyaksikan hasil karya
besar bangsa.
Dalam merumuskan konsep jaminan sosial untuk Indonesia Tim menyepakati suatu jaminan
sosial harus dibangun diatas tiga pilar yaitu:
Pilar pertama yang terbawah adalah pilar bantuan sosial (social assistance) bagi mereka yang
miskin dan tidak mampu atau tidak memiliki penghasilan tetap yang memadai untuk
memenuhi kebutuhan dasar hidup yang layak. Dalam prateksnya, bantuan sosial ini
diwujudkan dengan bantuan iuran oleh pemerintah agar mereka yang miskin dan tidak
mampu dapat tetap menjadi peserta SJSN.
Pilar kedua adalah pilar asuransi sosial yang merupakan suatu sistem asuransi yang wajib
diikuti bagi semua penduduk yang mempunyai penghasilan (meskipun kecil) dengan
membayar iuran yang proporsional terhadap penghasilannya. Pilar satu dan pilar kedua ini
merupakan fondasi SJSN untuk memenuhi kebutuhan dasar yang layak yang harus diikuti
dan diterima oleh seluruh rakyat (pilar jaminan sosial publik).
Pilar ketiga adalah pilar tambahan atau suplemen bagi mereka yang menginginkan jaminan
yang lebih besar dari kebutuhan standar hidup yang layak dan mampu menyediakan jaminan
tersebut (pilar jaminan swasta/privat). Pilar ini dapat diisi dengan membeli asuransi
komersial (baik asuransi kesehatan, pensiun, atau asuransi jiwa), tabungan sendiri, atau
program-program lain yang dapat dilakukan oleh perorangan atau kelompok seperti investasi
saham, reksa dana, atau membeli properti sebagai tabungan bagi dirinya atau keluarganya.
Pada pilar ketiga jaminan kesejahteraan, yang akan dipenuhi adalah keinginan (want,
demand) sedangkan pada dua pilar pertama yang dipenuhi adalah kebutuhan (need).

AKN dalam SJSN

139

H Thabrany

Tim SJSN telah menyepakati untuk mengembangkan substansi jaminan sosial yang
meliputi jaminan kesehatan, jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, jaminan pensiun,
dan jaminan kematian. Semula disiapkan untuk menyediakan Jaminan Penanggulangan
Pemutusan Hubungan Kerja (JPPHK), namun karena keterlambatan selesainya konsep SJSN
dan UU Nomor 13/2003 tentang Ketenaga Kerjaan sudah mewajibkan majikan membayar
pesangon apabila terjadi PHK, maka JPPHK kemudian dihilangkan. Tim juga bersepakat
untuk memperbaiki sistem jaminan sosial yang ada (yang dikelola oleh PT ASABRI, PT
Askes, PT Jamsostek, dan PT Taspen) agar nantinya menjadi jaminan yang seragam tanpa
membedakan status pekerjaan penduduk. Pada awalnya konsep Jaminan Sosial Nasional
akan mendirikan tiga lembaga yaitu Lembaga Jaminan Sosial Nasional yang merupakan
suatu lembaga Tri Partit (Majelis Wali Amanat) yang berfungsi sebagai pengambil kebijakan
umum dan pengawasan yang tidak operasional. Selain itu dibentuk satu Administrasi
Jaminan Sosial Nasional yang bertugas mengelola kepesertaan, mengumpulkan iuran dan
mengelola dana. Terkahir adalah Badan Penyelenggara Jaminan Sosial yang terdiri dari dua
badan yaitu Satu Badan yang mengelola program yang bersifat jangka panjang (jaminan hari
tua, jaminan pensiun, jaminan kematian, dan jaminan pemutusan hubungan kerja) dan satu
Badan Penyelenggara Jaminan yang bersifat jangka pendek (jaminan kecelakaan kerja dan
jaminan pemeliharaan kesehatan). Namun demikian, karena berbagai ketakutan kehilangan
peran, usul ini ditolak beberapa wakil dari Departemen dan wakil Badan Penyelenggara yang
ada. Sebagai kompromi akhirnya disepakati bahwa keempat badan penyelenggara tetap
beroperasi sendiri-sendiri tetapi harus berubah tujuan menjadi lembaga yang nirlaba, seseuai
dengan prinsip dasar penyelenggaraan jaminan sosial. Pada tahap ini belum diputuskan
apakah tugas keempat badan penyelenggara tersebut akan tetap atau akan ada spesialisasi
penyelenggaraan seperti yang diinginkan oleh sebagian anggota DPR dan anggota Tim SJSN.
Tim juga telah menyepakati untuk memperluas jaminan mulai dengan penduduk yang
bekerja dengan orang/badan dengan menerima upah dan penduduk miskin. Kelompok
penduduk ini semula disebut sektor formal yang merupakan sektor yang paling mudah
dikelola, namun karena dalam debat-debat di DPR tidak ada satu definisi sektor formal dan
informal yang pas, akhirnya istilah sektor formal dan informal dihapuskan. Secara bertahap
jaminan akan diperluas kepada yang tidak miskin yang tidak menerima upah/gaji secara rutin
seperti kelompok pedagang, petani, nelayan, dan pekerja rumah tangga sehingga suatu saat
seluruh rakyat mendapat jaminan untuk bisa hidup sehat, layak, dan produktif. Pentahapan
kepesertaan seperti ini tidak secara jelas, bisa difahami dalam UU SJSN.
Landasan Hukum yang kini tersedia dalam atau melandasi sistem jaminan sosial di sektor
kesehatan adalah:
1. UUD 1945 amendemen pasal 28H ayat 1, bahwa setiap penduduk berhak atas
pelayanan kesehatan dan ayat 3 bahwa setiap penduduk berhak atas jaminan sosial.
2. UUD 1945 amendemen pasal 34 ayat 2, bahwa negara mengembangkan sistem
jaminan sosial bagi seluruh rakyat
3. UUD 1945 amendemen pasal 34 ayat 3, bahwa negara bertanggung jawab atas
penyediaan fasilitas kesehatan yang layak
4. UU No 3/1992 tentang Jamsostek
5. PP 69/1991 tentang JPK PNS
6. UU No 23/1992 tentang Kesehatan, khususnya pasal 66

AKN dalam SJSN

140

H Thabrany

7. UU 43/1999 tentang pegawai negeri sipil


8. PP Nomor 28/2003 tentang asuransi kesehatan pegawai negeri.

7.3. Ringkasan untuk sub sistem AKN


Dasar pertimbangan utama perluasan AKN adalah rendahnya cakupan asuransi
kesehatan di Indonesia jika dibandingkan dengan cakupan asuransi kesehatan di negara
tetangga. Di Muangtai, sudah 100% penduduknya (cakupan universal) memiliki jaminan
kesehatan. Di Filipina, cakupan asuransi kesehatan nasional sudah mencapai hampir 60%
penduduk. Di Indonesia, data Susenas 2001 menunjukkan bahwa baru sekitar 40 juta
penduduk (20,2 %) memiliki jaminan kesehatan dengan manfaat yang bervariasi. Dari
jumlah itu, 6,8 % atau sekitar 13,2 juta penduduk memiliki jaminan dalam bentuk Kartu
Sehat/JPK Gakin atau jaminan yang bersifat sementara. Dengan demikian, hanya sekitar 27
juta penduduk (hampir 14 %) saja yang memiliki jaminan yang berkesinambungan, ini tidak
jauh berbeda dengan angka 13% penduduk yang terjamin di tahun 1992. Padahal, data-data
survei angkatan kerja maupun data Susenas menunjukkan bahwa sekitar 30 juta penduduk
bekerja di perusahaan, badan, atau pemerintah. Jika rata-rata setiap pekerja memiliki tiga
tanggungan saja, maka sekitar 90 juta jiwa seharusnya sudah memiliki jaminan kesehatan.
Selain itu, jaminan yang dimiliki oleh 14 % penduduk itupun tidak seragam dan tidak selalu
memenuhi kebutuhan dasar medis karena masih tingginya urun biaya (cost sharing) untuk
pelayanan mahal seperti pengobatan kanker, hemodialisa dan operasi jantung atau bahkan
tidak dijamin sama sekali dalam program JPK Jamsostek atau jaminan yang diberikan oleh
perusahaan.
Sebagian dari mereka yang memiliki asuransi kesehatan atau JPKM (dibelikan oleh
majikan) juga menerima manfaat asuransi yang bervariasi yang tidak selalu memenuhi
kebutuhan dasar medis pekerja dan keluarganya. Rendahnya cakupan penduduk dan kurang
memadainya jaminan kesehatan disebabkan karena perundang-undangan yang ada telah lama
tidak disesuaikan dengan kebutuhan yang berubah dan belum difahaminya konsep dan
manfaat jaminan atau asuransi sosial. Oleh karenanya, perubahan perundangan untuk
memperluas cakupan penduduk dan memperbaiki manfaat jaminan sudah tidak dapat ditunda
lagi.
a. Tujuan dan Manfaat.
Perluasan program Asuransi Kesehatan Nasional dalam SJSN bertujuan untuk
memperluas cakupan penduduk yang memiliki jaminan kesehatan yang memenuhi kebutuhan
dasar medis, tanpa membedakan status ekonomi penduduk. Dengan pemenuhan kebutuhan
dasar medis, penduduk akan dengan tenang melakukan kegiatan produksinya setiap hari
(belajar dan bekerja) sehingga pada akhirnya akan meningkatkan pendapatan negara melalui
pajak penghasilan atau pajak penjualan hasil produksi penduduk tersebut. Perlu dicatat
bahwa pengertian kebutuhan dasar medis bukanlah pelayanan medis (kesehatan) yang murah
harganya seperti pelayanan dokter praktek, puskesmas, atau obat generik. Kebutuhan dasar
medis adalah kebutuhan pelayanan medis yang memungkinkan seseorang hidup dan
berproduksi, sehingga termasuk disini pelayanan hemodialisa atau bedah jantung sekalipun,

AKN dalam SJSN

141

H Thabrany

selagi tindakan medis tersebut memang diperkirakan oleh dokter (secara obyektif) akan
efektif untuk penyembuhan atau mengembalikan produktifitas pasien. Pelayanan perawatan
di kelas I atau VIP di rumah sakit pemerintah atau RS swasta bukanlah kebutuhan dasar
medis. Pemberian obat yang sekedar menghilangkan gatal-gatal atau menjadikan penampilan
seseorang lebih gagah atau lebih cantik, bukanlah kebutuhan dasar medis.
b. Prinsip dasar AKN
Penyelenggaraan AKN dilaksanakan berdasarkan prinsip-prinsip asuransi sosial yang
menjamin solidaritas luas diantara berbagai kelompok penduduk, penerapan teknik kendali
biaya (managed care), menjamin portabilitas dan penyelenggaraan yang akuntabel,
transparan, dan responsif. Untuk menjamin semua penduduk turut serta, maka seluruh
pemberi kerja diwajibkan mendaftarkan tenaga kerja dan anggota keluarganya ke BPJS yang
menyelenggarakan AKN dan sekaligus membayar iuran secara rutin ke rekening BPJS
tersebut. Besarnya iuran belum ditetapkan dalam UU SJSN dan akan ditetapkan dalam
Peraturan Pemerintah. Namun besaran iuran diperkirakan antara 5 %-6 % dari gaji/upah yang
ditanggung bersama antara pemberi kerja dan tenaga kerja. Pada program Jamsostek yang
pada tahun 2004 masih berlaku, besaran iuran adalah 3% untuk pekerja lajang dan 6% untuk
pekerja yang telah berkeluarga. Perbedaan besaran iuran ini banyak disalah-gunakan pemberi
kerja dengan mendaftarkan tenaga kerja, umumnya wanita yang sudah berkeluarga, sebagai
tenaga kerja lajang guna mengurangi kewajibannya. Oleh karena itu, dalam SJSN seharusnya
tidak lagi dibedakan antara pekerja lajang dan pekerja yang telah berkeluarga, seperti yang
juga diterapkan di seluruh negara di dunia.
Penduduk miskin akan didaftarkan oleh pemerintah (kemungkinan yang terbaik adalah oleh
Dinas Kesehatan atau Dinas Sosial) dari suatu Kota/kabupaten. Iuran penduduk miskin dan
tidak mampu (mempunyai penghasilan tetapi tidak mencukupi) akan dibayar oleh
Pemerintah. Besaran iuran penduduk miskin ini adalah nilai nominal tertentu. Dalam
prakteknya iuran ini harus diperhitungkan sebesar rata-rata iuran bagi pekerja di daerah
tersebut agar kebutuhan kecukupan dana (prinsip adequacy dalam perhitungan aktuaria dapat
terpenuhi). Bagi pekerja mandiri, iuran sebaiknya ditetapkan berdasarkan rata-rata
pendapatan dari berbagai kelompok pekerjaan. Misalnya untuk petani mandiri, tukang becak,
dan nelayan mandiri ada satu besar iuran. Untuk sopir taksi, pedagang kios di pasar, atau
pedagang kios di pusat perbelanjaan yang dikerjakan sendiri iurannya lebih tinggi dari
kelompok petani, karena nilai rata-rata penghasilan yang diperoleh (dari survei) lebih tinggi.
Peserta yang telah terdaftar (baik yang bayar sendiri iurannya, yang dibayarkan oleh
pemerintah atau pemberi kerja) akan mendapatkan kartu peserta untuk berobat di fasilitas
kesehatan yang mengikat kontrak dan sepakat memberikan pelayanan dengan standar mutu
yang ditetapkan BPJS. Dengan demikian, fasilitas kesehatan tidak boleh dan tidak perlu
membedakan pelayanan bagi kelompok miskin maupun kelompok yang berpenghasilan
rendah. Untuk mengendalikan moral hazard, setiap kali peserta memerlukan pelayanan
tertentu, maka peserta harus membayar urun biaya (cost sharing) yang tidak besar tetapi
cukup mengendalikan pelayanan dan biaya. Besaran urun biaya akan diatur dalam PP,
hendaknya bervariasi antara 10 %-30 % tergantung jenis pelayanan. Untuk menghindari
beban berat bagi peserta, maka urun biaya harus dibatasi sampai jumlah maksimum tertentu,

AKN dalam SJSN

142

H Thabrany

misalnya sebesar satu bulan UMP. Dana urun biaya merupakan hak fasilitas kesehatan yang
jumlahnya telah diperhitungkan dalam kalkukasi pembayaran prospektif dari BPJS kepada
fasilitas kesehatan. Untuk mengurangi moral hazard dari sisi fasilitas kesehatan, maka BPJS
harus melakukan telaah utilisasi (utilization review) guna menjamin ketepatan penggunaan
dan kualitas pelayanan yang diterima peserta.
c. Strategi pengembangan
Undang-undang memang belum rinci menggariskan strategi pengembangan program
dan perluasan kepesertaan. Mudah-mudahan dalam waktu dekat strategi tersebut dapat
dirumuskan. Berikut ini disajikan strategi hipotetis atau usulan strategi yang dapat digunakan
untuk perluasan kepesertaan AKN maupun pengembangan sistem pelayanan kepada anggota
dan pembayaran kepada fasilitas kesehatan.
Karena pada saat ini masih banyak jumlah penduduk di sektor formal yang belum
memiliki jaminan, maka pada 5-10 tahun pertama perluasan kepesertaan akan dipusatkan
pada kelompok sektor formal, khususnya yang berada di perkotaan, dan penduduk miskin
sebagai pengganti program JPSBK/JPK Gakin yang kini sudah dimulai oleh Depkes dengan
menjaminkan sekitar 54 juta penduduk termiskin melalui subsidi iuran ke PT Askes. Prioritas
kedua kelompok ini didasarkan pada pertimbangan kemudahan mengumpulkan iuran yang
merupakan faktor esensial dalam suksesnya SJSN. Hal ini juga berkaitan dengan
ketersediaan dan kesiapan fasilitas kesehatan untuk melayani jumlah peserta yang besar.
Sasaran perluasan lima tahun pertama ditujukan kepada tenaga kerja yang saat ini sama
sekali belum memiliki jaminan. Pada saat yang bersamaan, Pemda mendaftarkan dan
membayarkan iuran penduduk miskin yang kini menerima JPK Gakin kepada BPJS yang
ditunjuk. Kepesertaa penduduk pekerja mandiri (sektor informal) harus tetap terbuka secara
aktif. Artinya penduduk itu sendiri yang berinisiatif mendaftar, akan tetapi mereka harus siap
membayar secara rutin, bukan hanya pada saat mereka menderita sakit dan membutuhkan
pelayanan. Penegakan hukum, atau upaya aktif BPJS mendatangi penduduk sektor ini
hendaknya tidak dilakukan dalam 10 tahun pertama, karena biaya administratifnya akan
sangat besar dan tidak sebanding dengan iuran yang akan terkumpul. Untuk menjamin bahwa
penduduk sektor informal dapat memenuhi kebutuhan dasr medisnya, maka pelayanan
kesehatan di fasilitas pemerintah masih harus tetap mendapatkan subisidi yang ditujukan bagi
mereka yang belum menjadi peserta AKN.
d. Kelembagaan.
Secara prinsip, Tim SJSN telah sepakat bahwa badan penyelenggara haruslah bersifat
nirlaba (prinsip Trust Fund atau Public Corporation). Ada berbagai pilihan kelembagaan dari
yang terpusat sampai yang tersebar (desentralisasi). Semakin terpusat, penyelenggaraan
semakin efisien dan semakin portabel tetapi juga kurang responsif terhadap perubahan
kebutuhan peserta. Sebaliknya semakin banyak penyelenggara maka semakin tidak efisien
dan tidak portabel akan tetapi semakin responsif terhadap perubahan kebutuhan peserta. Agar
penyelenggaraan benar-benar memihak kepada peserta, maka biaya administrasi dibatasi

AKN dalam SJSN

143

H Thabrany

sampai maksimum 5% dari seluruh iuran yang diterima. Undang-Undang SJSN telah
menyepakati mengambil bentuk BPJS yang terpusat, yang kemungkinannya diberikan
kepada PT Askes atau PT Jamsostek atau kedua-duanya. Pilihan ini mempunyai potensi
kurang responsif terhadap tuntutan peserta di daerah. Untuk mengatasi hal itu, maka kantor
cabang di daerah harus diberikan otonomi luas dalam penyelenggarannya. Untuk antisipasi
hal ini, UU telah menggariskan bahwa besaran pembayaran dan cara pembayaran antara
BPJS kepada fasilitas kesehatan dinegosiasikan di tingkat wilayah. Hal ini akan
menimbulkan perbedaan sistem pembayaran dan besaran pembayaran antar daerah, yang
memang memiliki karakteristik yang berbeda. Ini adalah salah satu contoh otonomi kantor
cabang di daerah yang diberikan UU untuk menampung tuntutan masyarakat di daerah.

Prinsip Dasar:

Prinsip solidaritas sosial atau kegotong-royongan. Jaminan Kesehatan Nasional


(AKN) diselenggarakan berdasarkan mekanisme asuransi sosial yang wajib untuk
menuju cakupan universal (universal coverage) yang akan dicapai secara bertahap,
sehingga tercipta subsidi silang antara yang kaya kepada yang miskin, antara yang
muda kepada yang tua, antara yang sehat kepada yang sakit, dan antara daerah
kaya ke daerah miskin.

Prinsip efisiensi. Manfaat terutama diberikan dalam bentuk pelayanan yang


terkendali, baik utilisasi maupun biayanya. manfaat dalam bentuk santunan uang
hanya diberikan untuk kondisi tertentu. Dalam efisiensi sistem (pengendalian
biaya), peserta diwajibkan membayar urun biaya dalam bentuk (co-insurance) atau
co-payment setiap kali peserta memanfaatkan pelayanan tertentu. Co-insurance
adalah pembayaran dalam bentuk prosentese tertentu dari biaya kesehatan yang
dihabiskannya. Sedangkan co-payment adalah pembayaran dalam jumlah tetap per
kali kunjungan atau perawatan.

Prinsip ekuitas. Program AKN diselenggarakan berdasarkan prinsip keadilan


dimana setiap penduduk, tanpa memandang suku, bangsa, agama, aliran politik,
dan status ekonomi, harus memperoleh pelayanan kesehatan sesuai dengan
kebutuhan dasar medisnya dan membayar iuran sesuai dengan kemampuan
ekonominya.

Prinsip
portabilitas.
Seorang
peserta
tidak
boleh
kehilangan
perlindungan/jaminan bagi dirinya atau anggota keluarganya apabila ia pindah
tempat tinggal, pindah kerja, atau sementara tidak bekerja.

Prinsip nirlaba (not for profit). Pengelolaan program AKN diselenggarakan atas
dasar tidak mencari atau memupuk laba untuk sekelompok orang atau pemerintah,
akan tetapi memaksimalkan pelayanan. Badan penyelenggara dibebaskan dari
kewajiban membayar pajak penghasilan badan (PPh Badan) atas sisa anggaran
atau hasil usaha/nilai tambah. Badan penyelenggara juga tidak membayarkan
dividen atas sisa anggaran atau sisa hasil usaha atau keuntungan yang
diperolehnya. Seluruh dana berupa sisa hasil usaha atau anggaran yang tidak

AKN dalam SJSN

144

H Thabrany

digunakan disimpan dan diakumulasi dalam bentuk dana cadangan dari tahun ke
tahun. Apabila jumlah dana cadangan ini sangat besar suatu ketika, maka besaran
iuran oleh seluruh peserta akan diturunkan
Prinsip tambahan yang perlu diperhatikan adalah:

Prinsip responsif. Penyelenggaraan AKN harus responsif terhadap tuntutan


peserta sesuai dengan perubahan standar hidup para peserta yang mungkin berbeda
dan terus berkembang di berbagai daerah

Prinsip koordinasi manfaat. Dalam pemberian manfaat, tidak boleh terjadi


duplikasi jaminan atau pembayaran kepada fasilitas kesehatan antara program
AKN dengan program asuransi atau jaminan lain seperti jaminan kecelakaan lalu
lintas yang menimpa seorang peserta AKN. Koordinasi ini belum diatur dalam
UU. Prinsip koordinasi ini menjadi penting ketika Pemda mengembangkan (bukan
yang berdiri sendiri) jaminan sosial lokal. Salah satu contoh yang bisa diatur
misalnya, jaminan kesehatan pusat menanggung biaya pengobatan dan perawatan
sementara jaminan kesehatan daerah menanggung biaya transportasi atau
menanggung urun biaya yang tidak dijamin oleh JKN yang bersifat nasional.

7.4. Key Success Factor:


Penyelenggaran AKN berhasil apabila:

Mendapat dukungan dari pemberi kerja dan organisasi tenaga kerja yang memahami
bahwa program tersebut pada akhirnya akan bermanfaat untuk meningkatkan
produktifitas mereka.

Manfaat yang diberikan cukup layak dan memadai jumlah dan mutunya. Oleh
karenanya pelayanan medis yang mahal harus dijamin, sementara pelayanan yang
murah dapat dikurangi atau dikenakan urun biaya. Besarnya manfaat harus secara
reguler, dalam periode yang wajar, disesuaikan dengan kebutuhan peserta yang
berkembang sejalan dengan peningkatan taraf hidupnya.

Jumlah iuran harus cukup memadai untuk membiayai manfaat yang diberikan (prinsip
adequacy). Jumlah iuran yang melebihi manfaat yang diberikan akan lebih baik
karena kelebihan dana akan diakumulasi. Akan tetapi jumlah iuran yang terlalu besar
dapat memberatkan sektor usaha dan karenanya dapat menurunkan angka partisipasi.

Penyelenggaraan dilakukan dengan profesional, transparan, bersih, dan bertanggungjawab. Oleh karenya seluruh peserta harus bisa memperoleh informasi akurat tentang
penyelenggaraan, besaran iuran yang terkumpul, dan besarnya dana yang dihabiskan
untuk pelayanan dan biaya manajemen.

AKN dalam SJSN

145

H Thabrany

Adanya kestabilan politik dan ekonomi yang memungkinkan dunia usaha


berkembang dengan inflasi yang terkendali dan prediktabel

Adanya dukungan pemerintah yang kuat yang menjamin berbagai pihak memenuhi
kewajibannya. Dukungan pemerintah harus diwujudkan dalam bentuk pemberian
dana subsidi atau talangan jika diperlukan. Dengan demikian, seluruh peserta dan
pemberi kerja tidak merasa khawatir kalau ternyata biaya kesehatan membengkak dan
BPJS bangkrut. Sperti halnya Bank Indonesia, BPJS hanya bisa bangkrut apabila
pemerintah bangkrut. Ketegasan kewajiban pemerintah ini sudah tercantum dalam
UU, guna menjamin tingkat kesehatan BPJS

7.5. Status Hukum Badan Penyelenggara


Oleh karena mekanisme Jaminan Kesehatan merupakan suatu mekanisme asuransi
sosial yang bertujuan memenuhi kebutuhan bersama (gotong royong) yang bersifat wajib,
maka badan penyelenggara haruslah bersifat nirlaba. Bentuk yang ideal adalah suatu badan
hukum tersendiri, yang bukan Perusahaan Terbatas dan bukan pula BUMN/BUMD. Bentuk
usaha mutual (usaha bersama) seperti AJB Bumi Putra merupakan alternatif yang mendekati
bentuk ideal. Semua peserta adalah pemegang saham. Tidak ada pendiri atau pemegang
saham yang mempunyai hak veto atau suara mayoritas. Bentuk yang ideal dari Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) adalah sebagai suatu badan hukum tersendiri yang
diatur dalam UU SJSN, seperti halnya Bank Indonesia yang diatur oleh UU BI dan Dana
Pensiun Pemberi Kerja yang diatur oleh UU Nomor 11/1992 tentang Dana Pensiun. Bentuk
badan hukum seperti ini memungkinkan penyelenggaraan asuransi yang bertujuan sosial
secara taat asas dengan pengelolaan yang otonom, tanpa campur tangan birokrasi, dan tanpa
konflik dengan UU lain. Satu-satunya kekuasaan yang mengatur diatasnya adalah Undangundang yang mengaturnya.
Namun demikian, dalam UU SJSN para pakar hukum dan sebagian birokrat tidak
setuju dengan bentuk badan khusus tersebut, kecuali jika ada UU khusus yang mengaturnya,
seperti UU BI yang mengatur bentuk badan tersebut. Sesungguhnya UU Bank Indonesia dan
UU Dana Pensiun (UU nomor 11/1992) telah memberikan contoh bentuk Dana Pensiun
Pemberi Kerja sebagai badan seperti itu. Perdebatan mengenai hal itu berkepanjangan dan
tidak selesai dalam satu tahun. Jalan tengah yang diambil akhirnya untuk sementara UU
SJSN menggunakan bentuk Persero akan tetapi ada pengaturan khusus yang krusial yaitu
bersifat nirlaba oleh UU SJSN. Ini sementara dapat kita terima. Akan kita lihat apabila dalam
penyelenggaraannya nanti timbul konflik dengan UU BUMN atau pengawas yang
mengawasi BUMN, maka bentuk Persero harus diubah kembali. Bantuk Persero seperti yang
diatur oleh BUMN mengandung keunggulan dimana penyelenggara mempunyai otonomi
luas dalam mengelola pegawai dan dana. Tujuan mencari laba, seperti yang tercantum dalam
UU BUMN saja yang berbeda dengan BPJS yang bertujuan nirlaba. Perbedaan lain adalah
bahwa kepemilikan BPJS sepenuhnya milik negara dan BPJS ini tidak boleh menjual satu
sahampun kepada perseorangan atau badan. Dalam UU sudah disebutkan bahwa sisa hasil
usaha, pendapatan investasi, dan segala macam dana yang tidak atau belum digunakan akan
digunakan untuk sebesar-besarnya kepentingan peserta. Jadi tidak ada lagi dividen yang akan

AKN dalam SJSN

146

H Thabrany

dibayarkan oleh PT Askes dan PT Jamsostek kepada Pemerintah, seperti yang selama ini
berlangsung, yang jumlahnya melebihi satu triliun rupiah setahun. Sejak BPJS menyesuaikan
diri, diharapkan tahun 2005 sudah selesai, maka dividen tersebut seluruhnya akan masuk ke
rekening peserta sesuai dengan jumlah iuran yang telah disetorkannya.
Dengan keluarnya UU SJSN, maka bapel-bapel JPKM yang sekarang ada atau prabapel yang sebelumnya mengelola JPKM JPSBK tidak bisa lagi beroperasi untuk melayani
kebutuhan dasar medis. Begitu juga dengan perusahaan asuransi atau perusahaan lain, yang
melakukan kontrak dengan perusahaan untuk menjamin pelayananan atau biaya kesehatan
karyawan suatu perusahaan, tidak boleh lagi beroperasi untuk menjamin kebutuhan dasar
medis. Mereka boleh beroperasi untuk menjual produk asuransi kesehatan suplemen atau
tambahan, yang tidak dijamin oleh SJSN. Bisa saja sebuah perusahaan membelikan asuransi
kesehatan yang mencakup paket dasar tetapi tetap wajib iur untuk SJSN. Tentu hal ini
bersifat duplikatif dan menjadi lebih mahal bagi perusahaan. Bapel JPKM dapat juga
mengubah diri menjadi grup povider (kelompok fasilitas kesehatan) yang melakukan kontrak
dengan BPJS, atau menjadi lembaga penjamin manajemen mutu dan utilisasi yang
independen.

7.6. Struktur organisasi dan Manajemen


Dalam UU SJSN yang belum memiliki Peraturan Pemerintah dan Peraturan Presiden
yang mengatur lebih rinci penyelenggaraan, struktur organisasi BPJS tentu saja belum
dirumuskan. Berbagai alternatif dapat dikembangkan untuk mengoptimalkan
penyelenggaraan dan manajemen jaminan kesehatan yang sesuai dengan prinsip-prinsip
dasar dan visi-misi penyelenggaraan jaminan sosial, yang memihak rakyat banyak. Struktur
organisasi dan manajemen akan diatur kemudian, praktisnya setelah Dewan Jaminan Sosial
Nasional dibentuk dan membuat rumusan kebijakan umum. Sebagai sebuah Dewan yang
berfungsi advokasi, pemantauan, dan pengawasan, DJSN tidak bisa membuat peraturan dan
tidak bisa menjadi lembaga pengawal berjalannya AKN dengan baik. Fungsi pengawal dan
penegakan hukum dapat dilakukan oleh Departemen Kesehatan, Departemen Tenaga Kerja,
atau Departemen Sosial.
Dewan Jaminan Sosial Nasional akan segera dibentuk setelah UU SJSN ditandatangani Presiden tanggal 18 Oktober 2004. Anggota Dewan terdiri dari 15 orang yang terdiri
atas unsur Pemerintah, serikat pekerja, serikat pengusaha, tokoh atau para ahli dalam bidang
jaminan sosial (lihat naskah UU terlampir). Semula RUU SJSN dalam dalam perdebatan di
Panitia Kerja maupun Panitia Khusus jumlah masing-masing wakil akan ditetapkan. Bahkan
draf awal menyebutkan proses seleksi dan pengangkatan anggota DJSN. Namun, karena
masalah tersebut cukup sulit diputuskan, maka UU tidak menyebutkan. Presiden diharapkan
akan menetapkan wakil-wakilnya secara bijaksana. Dewan ini akan merumuskan dan
menyinkronkan penyelenggaraan jaminan sosial bagi seluruh rakyat. Nantinya, seluruh
rakyat akan memiliki jaminan sosial yang sama skemanya, setara prosentase iurannya, dan
setara manfaat yang akan diterima. Kesetaraan tidak berarti sama persis, sebab tidak bisa
dipastikan semua peserta akan sama pernah menerima operasi ginjal, akan tetapi setara
dimaksudkan sesuai dengan kebutuhan medis peserta. Iurannya pun setara, artinya kalau
pegawai negeri membayar 5% iuran dari gajinya, maka pegawai swasta juga membayar 5%
AKN dalam SJSN

147

H Thabrany

dari gajinya. Dengan demikian tidak ada diskriminasi antar golongan pekerjaan. Tugas yang
berat ini harus dilaksanakan oleh Dewan dan diharapkan dapat selesai paling lama dalam
waktu 5 (lima) tahun. Dewan ini memiliki kewenangan mengawasi dan mengevaluasi
keempat BPJS yang ditetapkan dalam UU.
Untuk efisiensi dan efektifitas fungsi DJSN, maka harus ada beberapa Komite yang
terdiri dari para ahli dan yang sehari-hari mengerjakan evaluasi atas penyelenggaraan
jaminan sosial yang sesuai dengan UU SJSN. Komite dapat dibentuk secara permanen untuk
terus-menerus memantau penyelenggaraan, misalnya Komite Investasi, agar BPJS tidak
seenaknya menempatkan dana yang mungkin lebih didorong atas kepentingan tertentu.
Komite yang diperlukan antara lain:
1. Komite Aktuaria: tugasnya adalah melakukan evaluasi rutin tentang iuran dan
perkiraan biaya medis serta menerbitkan tabel iuran, khususnya untuk pekerja
mandiri dan penduduk miskin atau kurang mampu secara berkala.
2. Komite Investasi: Komite ini sangat penting karena BPJS, khsusnya BPJS
penyelenggara program Jaminan Hari Tua dan Jaminan Pensiun akan mengakumulasi
dan menghimpun ratusan Triliun rupiah (Dana Amanat) di masa datang. Kalau saja
dana tersebut diinvestasikan pada portofolio yang tidak tepat, akan memberikan hasil
pengembangan dana yang kurang optimal. Idealnya, Dana Amanat akan memberikan
hasil yang lebih tinggi dari bunga Deposito, paling sedikit 2% diatas itu. Sehingga
peserta akan merasa puas dengan perkembangan dana yang mereka miliki. Komite ini
bertugas menyusun perumusan dan pedoman portofolio investasi bagi kantor pusat
dan kantor cabang BPJS.
3. Komite Perselisihan: Perselisihan akan selalu muncul pada operasi yang begitu
besar, apalagi dalam program AKN. Komite memantau dan menyelesaikan secara
internal berbagai perselisihan yang menyangkut pembayaran iuran, pembayaran
kepada fasilitas kesehatan, dan perselisihan lain yang melibatkan badan, peserta,
pemberi kerja, dan atau fasilitas kesehatan
4. Komite pelayanan: Komite ini khususnya diperlukan untuk program AKN dengan
tugas melakukan pemantauan dan perumusan jenis-jenis pelayanan, obat dan bahan
medis habis pakai yang dijamin atau tidak dijamin serta besaran urun biaya. Komite
juga melakukan evaluasi dan perumusan tentang mutu pelayanan fasilitas kesehatan,
persyaratan mutu pelayanan, dan merumuskan tentang pedomaan telaah utilisasi
terhadap pelayanan yang diberikan kepada peserta

7.7. Pengelolaan Keuangan


Pengelolaan keuangan merupakan inti keberhasilan program AKN. Apabila BPJS
tidak mampu mengelola dana, mulai dari penerimaan iuran, investasi, sampai pembayaran
dan pencadangan dana, maka kepercayaan peserta (dan pengusaha) akan hilang. Apabila
kepercayaan tersebut hilang, maka penyelenggaraan AKN dan SJSN otomatis berhenti atau

AKN dalam SJSN

148

H Thabrany

bubar. Risiko hancurnya penyelenggaraan SJSN adalah risiko negara, bukan risiko
perusahaan atau sekelompok orang pemegang saham, dalam hal penyelenggaraan asuransi
kesehatan komersial. Oleh karena itu, aturan pengelolaan keuangan harus secara eksplisit
dirumuskan dan harus ditaati betul oleh pengelola. Pengelola harus dipilih dari orang-orang
yang bersih dan mempunyai dedikasi tinggi untuk mewujudkan terselenggaranya AKN yang
baik. Beberapa elemen penting pengelolaan keuangan yang patut dipertimangkan adalah:
Paling lambat setiap tanggal 5 bulan berjalan, pemberi kerja wajib menyetorkan
potongan iuran pekerja dan menambahkan iuran yang menjadi kewajibannya ke rekening
BPJS. Misalnya, iuran untuk bulan Januari 2005 harus sudah dibayarkan oleh pemberi kerja
kepada BPJS paling lambat tanggal 5 Januari 2005. Pengusaha yang lalai harus dikenakan
sanksi berupa denda atau kalau terus-menerus lalai, maka Direktur Keuangan atau Direktur
Utama harus bisa diseret ke pengadilan atau dikenai hukuman kurungan. Tanpa ada
penegakan hukum yang tegas, khususnya dalam lima tahun pertama penyelenggaraan, maka
SJSN tidak akan berjalan baik. Lima tahun pertama amat penting untuk meyakinkan semua
pemberi kerja membayar iuran. Kalau pemberi kerja tidak bisa yakin bahwa SJSN
diselenggarakan dengan bersih, jujur, dan betul-betul memihak peserta, maka akan sulit
mengembangkan SJSN di kemudian hari. Praktisnya pembayaran iuran akan dibayar
sekaligus untuk semua program jaminan sosial, hanya saja kepada rekening yang berbeda.
Untuk keperluan pengawasan, BPJS bersama dengan pegawai pengawas dari
Departemen terkait dapat melakukan pemeriksaan sewaktu-waktu kepda pemberi kerja dan
mengajukannya ke pengadilan jika terdapat pelanggaran. Pengalaman penyelenggaraan
program Jamsostek menunjukkan bahwa banyak pemberi kerja yang tidak jujur dengan
laporan upah pekerja. Pemberi kerja melaporkan upah yang lebih rendah kepada Jamsostek
agar iurannya bisa lebih kecil. Ke depan, hal ini akan mudah dideteksi oleh pekerja sendiri
karena SJSN dirancang untuk lebih transparan. Badan Penyelenggara diwajibkan melaporkan
rekening peserta JHT dan JP setiap tahun. Dengan demikian apabila pengusaha melaporkan
upah yang lebih rendah, akan tampak dari akumulasi iuran yang dibayarkan ke BPJS yang
pada akhir tahun laporannya akan diterima setiap peserta. Selain itu, peserta juga akan
mengetahui dari tahun ke tahun besaran dana yang dimilikinya untuk masa tuanya,. Akan
tetapi peserta tidak boleh mengambilnya, karena dana tersebut baru bisa diambil jika ia
pensiun, mengalami cacat total tetap, atau meninggal dunia.
Badan pengelola AKN dalam lima tahun pertama, sebelum jumlah peserta cukup
besar, hanya dapat menggunakan iuran yang diterima untuk biaya administrasi maksimum
15% iuran, pada tahun ke 6-10 besarnya biaya operasional harus maksimum 10%, dan
menjadi maksimum 5% pada tahun ke 11 dan seterusnya. Dengan demikian,
penyelenggaraan AKN ini akan lebih menguntungkan bagi perusahaan yang selama ini
membeli asuransi kesehatan yang mempunyai loading (biaya operasional, biaya pemasaran
dan keuntungan) yang mencapai 40% dari premi. Pembatasan ini sangat penting dirumuskan
dalam peraturan, agar semua peserta dan pemberi kerja yang akan mengiur mengetahui
dengan jelas bahwa mereka akan diuntungkan dengan pool yang besar yang dikelola secara
nasional.

AKN dalam SJSN

149

H Thabrany

Dana yang terkumpul tidak selalu harus habis pada tahun itu, akan tetapi harus cukup
membiayai semua kebutuhan yang akan timbul di tahun itu. Ini adalah prinsip solvabilitas.
Untuk menjamin kecukupan dana ini, maka dana yang terkumpul harus dikelola dengan
sangat hati-hati (prudent) Dana yang belum digunakan harus diinvestasikan agar memberikan
nilai tambah untuk menutupi biaya yang dibutuhkan dan untuk menambah dana cadangan.
Akan tetapi investasi harus dilakukan agar setiap saat dana dibutuhkan, dana tersebut dapat
cair. Ini adalah prinsip likuiditas. Manajemen keuangan harus benar-benar carmat agar
tercapai kesimbangan antara kebutuhan dana untuk membayar manfaat dan
menginvestasikan yang belum diperlukan. Untuk mencapai titik optium tersebut, tidak
sembarang investasi dibolehkan. Investasi yang berisiko tinggi, seperti saham dan properti
harus dihindari, meskipun akan memberikan hasil yang tinggi. Jikapun dibenarkan,
proporsinya harus sangat dibatasi, misalnya tidak lebih dari 5% dari total dana yang dapat
diinvestasikan. Untuk dana jaminan kesehatan, dana akan lebih banyak diinvestasikan dalam
bentuk deposito, reksa dana, dan sebagian mungkin dalam instrumen investasi jangka pendek
lain yang aman seperti SBI. Dana hari tua dan pensiun yang digunakan dalam jangka
panjang, harus ditanam dalam instrumen jangka panjang. Akan tetapi untuk jaminan
kesehatan yang kebutuhan nya setiap saat dapat terjadi, instrumen investasi jangka panjang
tidak diperlukan.

7.8. Kewajiban BPJS


Secara garis besar, UU SJSN mewajibkan BPJS untuk memberikan jaminan kepada
seluruh peserta sesuai dengan ketentuan yang diatur oleh UU SJSN dan yang diatur oleh
peraturan pemerintah, dan atau DJSN. Karena sistem AKN menggunakan teknik managed
care dalam pengendalian biaya, maka timbul masalah dimana bisa terjadi di suatu daerah
yang cukup banyak pesertanya, tetapi fasilitas kesehatan yang akan dikontrak tidak memadai
jumlahnya dan tidak selalu menyediakan pelayanan atau dokter spesialis yang dibutuhkan.
Sebagai contoh, di Kalimantan bisa jadi banyak perusahaan kayu yang memiliki ribuan
karyawan, akan tetapi rumah sakit atau dokter spesialis mungkin tidak tersedia. Dalam hal
itu, BPJS wajib menyediakan tenaga (baik dari dalam maupun luar negeri) dan atau fasilitas
kesehatan guna memenuhi kebutuhan kesehatan para pesertanya. Apabila penyediaan tenaga
dan fasilitas tidak efisien atau terlalu mahal, BPJS wajib memberikan kompensasi lain seperti
memberikan penggantian biaya berobat. Disinilah pentingnya ada Komite Pelayanan yang
selalu memantau kondisi di berbagai daerah, kepuasan peserta dan memantau kelayakan
manfaat program.
Komite pelayanan melakukan evaluasi terhadap kepatuhan fasilitas kesehatan yang
dikontrak atas standar pelayanan dan standar mutu yang harus dipatuhi, yang telah ditetapkan
BPJS dalam rangka menjamin mutu dan kepuasan peserta. Komite pelayanan dapat meminta
Direksi untuk memutuskan kontrak kepada fasilitas kesehatan yang tidak mampu memenuhi
standar yang ditetapkan. Inilah yang dimaksud UU bahwa BPJS mengembangkan sistem
pelayanan dan pembayaran. Beberapa pihak di Depkes kurang memahami hal ini dan menilai
bahwa UU SJSN terlalu jauh memberikan kewenangan, kewenangan mengembangkan sistem
pelayanan dan pembayaran yang seharusnya kewenangan Depkes,
kepada BPJS.
Sesungguhnya yang diatur BPJS adalah kewenangan sistem pelayanan dan pembayaran yang

AKN dalam SJSN

150

H Thabrany

terkait pelayanan kepada peserta, bukan sistem secara umum yang berlaku bagi semua
fasilitas kesehatan. Hanya fasilitas kesehatan yang mengikat kontrak dengan BPJS-lah yang
terkena peraturan sistem pelayanan dan pembayaran BPJS. Sebagai contoh, BPJS dapat
mengembangkan sistem pelayanan terstruktur dengan pembayaran kapitasi global ke rumah
sakit, kapitasi parsial ke dokter keluarga, dan atau mengembangkan sistem pembayaran DRG
kepada rumah sakit.
Undang-undang juga mewajibkan BPJS untuk mengumumkan kinerja keuangan dan
kinerja pelayanan (akses, biaya satuan per group pelayanan atau diagnosis, kepuasan peserta
per fasilitas dan kota/kabupaten, dll). Hal ini sangat perlu untuk menjamin agar semua
peserta memahami segala macam masalah yang dihadapi dan memahami kalau misalnya
diperlukan kenaikan biaya iuran, pengendalian yang lebih ketat yang membutuhkan urun
biaya lebih tinggi, dan meningkatkan kepercayaan peserta kepada BPJS. Akan sangat baik
jika BPJS menyampaikan laporan tersebut atau mempublikasikan hasil-hasil penelitian yang
dibiayainya setiap enam bulan di paling sedikit 10 media masa nasional dan di website.
Meskipun UU tidak secara eksplisit mengatur hal itu, untuk kinerja yang terbaik, BPJS dapat
melakukan yang lebih dari itu guna menjamin transparansi dan pemahaman peserta akan
masalah yang dihadapi BPJS.
Salah satu komponen penting dalam menjamin kepuasan peserta adalah tugas BPJS
untuk menerbitkan buku saku yang berisi hak dan kewajiban peserta dan anggota
keluarganya, tata cara memperoleh pelayanan, pelayanan yang ditanggung/dijamin, dan
jaminan yang tidak ditanggung, besaran urun biaya untuk berbagai pelayanan, dll. Selain itu
BPJS wajib menerbitkan revisi buku saku tersebut setiap terjadi perubahan kebijakan iuran,
paket pelayanan, maupun prosedur pelayanan dan mencantumkan seluruh isi buku saku
tersebut dalam website BPJS.
Pengendalian mutu pelayanan merupakan faktor yang juga tidak kalah pentingnya.
Oleh karena itu BPJS wajib mengembangkan sistem kendali mutu (quality assurance) di
berbagai fasilitas yang dikontrak di barbagai daerah. Seharusnyalah BPJS melakukan
berbagai upaya untuk menjamin bahwa setiap peserta akan mendapatkan pelayanan
kesehatan dengan kualitas terbaik menurut standar profesi dan kemampuan tenaga dan
keuangan suatu daerah.

7.9. Hak peserta


Seperti dikemukakan diatas, BPJS wajib memberikan informasi yang rinci dan jelas
kepada seluruh peserta tentang hak-hak peserta. Hak terpenting peserta adalah hak atas
pelayanan. Idealnya, seperti tercantum dalam UU SJSN, manfaat yang diberikan bersifat
komprehensif dan diberikan di fasilitas kesehatan swasta atau fasilitas kesehatan pemerintah
yang mandiri (otonom) dimana birokrasi pemerintah yang tidak efisien tidak mempengaruhi
kinerja pelayanan. Namun dalam jangka pendek tentu tidak mungkin mencapai hal itu,
karena biaya yang mahal dan transformasi fasilitas kesehatan pemerintah menjadi suatu
badan otonomyang dalam UU Perbendahaan Negara disebut Badan Layanan Umum
(BLU), belum memungkinkan. Untuk 10 tahun pertama masih dapat ditolerir perbedaan

AKN dalam SJSN

151

H Thabrany

manfaat non-medis antara peserta yang iurannya dibayar oleh pemerintah (penduduk miskin
dan tidak mampu) dan penduduk yang membayar iuran penuh dari upahnya, ditambah iuran
oleh majikannya. Fasilitas kesehatan untuk penerima bantuan iuran (PBI) dapat digunakan
hanya fasilitas kesehatan publik seperti puskesmas dan rumah sakit publik (pemerintah) yang
masih mendapat subsidi pemerintah pusat maupun daerah. Dokter keluarga pada periode 10
tahun pertama akan digunakan untuk melayani pegawai negeri dan pegawai swasta yang
selama ini sudah mendapat jaminan pelayanan komprehensif. Untuk menjamin pelayanan
terstruktur dapat terselenggara dengan memuaskan, fasilitas kesehatan yang dikontrak
sebaiknya rumah sakit yang memiliki dokter keluarga binaan dimana rumah sakit tersebut
akan mendapatkan rujukan.
Rujukan dari dokter keluarga harus dikomunikasikan (pasien dikembalikan dengan
informasi pelayanan medis yang telah diberikan) oleh fasilitas kesehatan agar dokter
keluarga dapat mengikuti perkembangan penyakit pasien yang dirujuknya. Rujukan yang
kurang tepat harus diperbaiki agar tidak terulang kembali. Dokter keluarga ini akan menjadi
dokter primer yang berfungsi sebagai gatekeeper.
Sejalan dengan konsep Indonesia Sehat, dan paradigma pencegahan lebih baik dari
pengobatan, maka BPJS harus memberikan pelayanan pencegahan. Pelayanan kontrasespi
dan konseling keluarga berencana merupakan pelayanan pencegahan penting dalam
mengendalikan besarnya jumlah peserta dalam jangka panjang. Untuk menurunkan angka
kematian ibu dan kematian bayi, BPJS harus mampu menyediakan Pelayanan ante natal
lengkap, minimum 4 kali selama kehamilan dan pemeriksaan rutin setiap tiga bulan kepada
ibu dan anaknya, sampai anak mencapai usia lima tahun. BPJS harus mampu menjamin
pemeriksaan medik rutin untuk mendeteksi dini penyakit-penyakit kurang gizi dan penyakit
infeksi kronis pada anak berusia di bawah lima tahun. Program seperti ini akan jauh lebih
cepat meningkatkan status kesehatan yang selama ini tidak cukup cepat meningkat. Angka
kematian bayi dan ibu di Sri Lanka dan Malaysia bisa jauh lebih rendah dari di Indonesia
karena semua anak dan ibu dapat menerima pelayanan tersebut secara gratis. Di Indonesia,
seorang ibu yang bersalin di puskesmas harus membayar tidak sedikit. Konon di Jakarta saat
ini biaya persalinan di puskemas dapat mencapai Rp 300.000. Dalam kondisi seperti itu,
tentu saja perempuan miskin akan cendrung tidak ke puskesmas, tetapi ke dukun yang lebih
murah atau tidak sama sekali. Kepada peserta yang relatif tua, pelayanan pencegahan dapat
diberikan dengan pemeriksaan medik berkala sederhana yang rinciannya ditetapkan DJSN
tiap tiga tahun sekali bagi peserta yang berusia 50 tahun atau lebih
Banyak pihak yang mengkritisi bahwa AKN hanya memberikan pelayanan kuratif
dan tidak memberikan pelayanan preventif kesehatan masyarakat. Harus disadari bahwa
pelayanan kesehatan masyarakat seperti penyuluhan masal, pembersihan lingkungan, dan
penanganan polusi adalah tugas Dinas Kesehatan yang harus didanai dari APBN/APBD.
Meskipun demikian, pelayanan kuratif pada hakikatnya juga memiliki nilai preventif untuk
mencegah memberatnya kasus atau kematian dini. Oleh karena itu, dalam AKN digariskan
bahwa setiap peserta berhak atas jaminan berupa pelayanan komprehensif. Meskipun ada
peserta yang mungkin tidak menggunakan haknya untuk kasus ringan seperti pilek dan alergi
sederhana, mereka akan menggunakan haknya dalam pengobatan kasus-kasus rawat jalan
mahal di rumah sakit dan pelayanan perawatan di rumah sakit pemerintah atau swasta.

AKN dalam SJSN

152

H Thabrany

Jaminan yang diberikan mencakup biaya pemeriksaan dokter keluarga dan dokter spesialis,
biaya perawatan, pemeriksaan penunjang, obat-obatan, bahan medis lainnya sejauh secara
medis diperlukan menurut standar profesi medis yang secara ilmiah telah dibuktikan
efektifitasnya. Ada juga yang mengkritik bahwa pelayanan hemodialisa dan operasi jantung
seharusnya tidak masuk dalam paket yang dijamin karena biayanya mahal. Kritik ini
sesungguhnya tidak tepat, karena pelayanan hemodialisa termasuk pelayanan dasar medis,
yang memungkinkan seseorang hidup dan berproduksi. Jika hemodialisa tidak dijamin, maka
peserta yang mengalami gagal ginjal total akan otomatis meninggal dunia dalam dua minggu.
Tentu hal ini tidak sesuai dengan pri-kemanusiaan.
Untuk pelayanan kesehatan primer, untuk mencegah dan mengobati kasus-kasus yang
tidak perlu ditangani dokter spesialis, BPJS harus melakukan kontrak dengan dokter
keluarga. Dokter keluarga (termasuk dokter gigi) adalah dokter yang mendapat pelatihan
khusus dan mendapat sertifikasi dari organisasi profesi (seperti IDI dan PDGI) sebagai dokter
yang berkonstrasi pada pelayanan kepada suatu keluarga secara utuh. Akan sangat baik dan
memungkinkan dengan sistem AKN, dokter keluarga akan mendapat kontrak pelayanan
dengan pembayaran kapitasi. Untuk pelayanan rujukan, peserta dapat memilih pelayanan di
klinik spesialis atau di rumah sakit yang dikehendaki tetapi harus mendapatkan rujukan dari
dokter keluarga yang dipilihnya. Pembayaran kepada klinik spesialis dan rumah sakit dapat
saja masih berdasar jasa per pelayanan, akan tetapi dengan tarif yang diatur sama di suatu
wilayah dan dapat mencakup obat-obatan sekaligus. Jadi klinik dan rumah sakit harus
bekerja sama dengan apotik untuk mengatur obat-obatan yang cost-effective, guna menjamin
pengendalian biaya dan pemberian pengobatan yang rasional. Secara rinci hal ini harus
diatur oleh BPJS.
Hak perawatan peserta idealnya sama untuk seluruh peserta, yang di negara maju
disebut sebagai semi-private room and board. Di Indonesia barangkali ruang perawatan
tersebut setara dengan ruang perawatan kelas II yang distandardisasi. Artinya, BPJS
menetapkan besar ruangan, jumlah tempat tidur, rasio TT terhadap dokter dan perawat, serta
standar pelayanan lainnya, terlepas dari status kepemilikan RS (pemerintah atau swasta).
Namun untuk pertama kali, karena variasi tingkat penghasilan, pendidikan, dan status sosial,
program AKN masih harus mentolerir perbedaan perawatan di rumah sakit kelas III (tiga)
untuk peserta penerima bantuan iuran (PBI) dan yang memiliki upah 200% UMP. Misalnya,
di Jakarta UMP tahun 2004 adalah Rp 720.000 per bulan, seorang pekerja yang mendapatkan
upah atau gaji sebesar sampai dengan Rp Rp 1.000.000 akan mendapat perawatan di kelas
III (baik RS publik maupun swasta). Karena upah Rp 1 jtua tersebut dibawah 200% UMP
yang besarannya adalah 200%x Rp 720.000 atau Rp 1.440.000. Tentu BPJS harus
mengembangkan standar perawatan kelas III yang dapat diterima. Pekerja dengan gaji
dibawah Rp 1 juta tersebut, tentu masih dapat menerima perawatan di kelas III. Untuk
pekerja yang bergaji lebih tinggi, misalnya diatas Rp 1.440.000 akan mendapat perawatan di
kelas II (dua). Peserta yang mempunyai upah > 500% UMP, misalnya, akan mendapat
perawatan di kelas I. Tetapi peserta yang ingin dirawat di kelas VIP harus membayar
sendirinya selisih biayanya atau selisih biaya tersebut dibayar oleh perusahaan asuransi atau
bapel JPKM swasta. Inilah prinsip koordinasi manfaat.

AKN dalam SJSN

153

H Thabrany

Guna mengendalikan moral hazard, maka peserta diminta membayar urun biaya
sebagai rem yang telah digariskan dalam UU. Untuk setiap perawatan di rumah sakit
pemerintah atau swasta di kelas II keatas, peserta wajib membayar urun biaya sebesar 10%
dari biaya-biaya pemeriksaan dokter, perawatan, dan biaya pemeriksaan penunjang dan urun
biaya sebesar 20% dari biaya obat dan bahan habis pakai. Penerapan urun biaya bisa
menimbulkan beban berat bagi peserta, dan jika ini terjadi, tujuan SJSN tidak tercapai. Inilah
plus-minusnya asuransi. Oleh karena itu, pengenaan urun biaya harus mencapai angka
maksimum tertentu, misalnya sampai sebesar UMP. Apabila besaran urun biaya melampaui
UMP, maka peserta hanya membayar sebesar UMP di suatu wilayah. Ketentuan besaran urun
biaya ini harus tercantum dalam perjanjian kerja sama antara BPJS dengan fasilitas kesehatan
dan peserta harus mendapat informasi tertulis dalam brosur atau website.
Di beberapa negara, urun biaya lebih besar dikenakan untuk pelayanan rawat jalan
yang lebih besar tingkat moral hazardnya ketimbang rawat inap. Bahkan di Filipina rawat
jalan tidak dijamin, alias peserta harus membayar urun biaya 100% dari biaya rawat jalan. Di
Indonesia kita bisa menggunakan sistem berbeda mengingat orang Indonesia cendrung
maunya berobat ke spesialis, meskipun sesungguhnya tidak perlu. Peserta sering minta
dirujuk, ini moral hazard namanya. Untuk menghindari hal tersebut maka setiap peserta dapat
diwajibkan membayar urun biaya sebesar 30% dari biaya obat rawat jalan spesialis dengan
biaya maksium sebesar UMP.

7.10. Pelayanan yang tidak ditanggung BPJS (eksklusi)


Jaminan kesehatan bertujuan untuk menjamin seseorang memenuhi kebutuhan
medisnya jika suatu penyakit atau kecelakaan terjadi yang sifatnya accidental, atau tidak
dikehendaki. Dengan demikian, pelayanan yang sifatnya keinginan dan bukan kebutuhan
tidak dijamin (eksklusi). Berbagai Pelayanan kesehatan yang bersifat kosmetik, baik berupa
pemeriksaan, pengobatan, maupun pembedahan tidak boleh dijamin. Selain itu pelayanan
kesehatan yang timbul atau yang merupakan akibat dari pemakaian obat terlarang (narkoba)
dan penggunaan minuman keras juga harus tidak dijamin. Jika dijamin, maka program AKN
akan menyubsidi prilaku yang tidak sehat dan ini akan merangsang prilaku yang buruk
tersebut terus berkembang. Penyakit kelamin atau penyakit yang terkait dengan prilaku tidak
sehat seperti gonore, HIV-AIDS juga seharusnya tidak dijamin. Dilema timbul pada
penjaminan HIV-AIDS, karena bayi dan ibu hamil bisa tekena padahal ia berprilaku baik.
Akan tetapi kalai secara umum dinyatakan kasus HIV-ADIS dijamin, maka mungkin dana
AKN akan banyak tersedot untuk pecandu narkotika dan pekerja seks komersial (baik
perempuan, laki-laki, maupun waria) yang sangat rawat terhadap AIDS. Maka penjaminan
HIV-AIDS harus dilakukan kasus per kasus. Disinilah perlunya ada Komite Pelayanan yang
memberikan penilaian secara rutin akan berhak-tidaknya sesorang terhadap pelayanan
tertentu. Pengguguran dan komplikasi dari pengguguran kandungan, kecuali upaya
pengguguran kehamilan dalam rangka menyelamatkan nyawa seorang ibu, juga sebaiknya
tidak dijamin. Terakhir, Pelayanan kesehatan yang timbul akibat upaya bunuh diri juga tidak
perlu dijamin.

AKN dalam SJSN

154

H Thabrany

7.11. Fasilitas Kesehatan


Yang dimaksud dengan fasilitas kesehatan adalah dokter keluarga, dokter spesialis,
klinik praktek bersama, klinik 24 jam, rumah bersalin, RS pemerintah, RS swasta, Apotik,
Laboratorium klinik, laboratorium radiologi, dan fasilitas lain yang akan ditetapkan oleh
DJSN. Untuk menjamin bahwa setiap peserta dan anggota keluarganya yang berhak
menerima manfaat AKN menerima pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis, pelayanan
harus diberikan oleh fasilitas kesehatan yang diseleksi dan diterima oleh BPJS. Proses seleksi
dan penerimaan untuk dikontrak sebagai fasilitas kesehatan ini dikenal dengan istilah
kredensialing (credentialing). Puskesmas dan ruang perawatan kelas III RS pemerintah yang
memberikan pelayanan dengan tarif subsidi untuk sementara tidak dimasukan dalam
kelompok fasilitas kesehatan dalam BPJS karena fasilitas tersebut akan diarahkan untuk
memberikan pelayanan kepada penduduk yang belum terdaftar pada BPJS, sampai seluruh
penduduk menjadi peserta BPJS. BPJS membayar fasilitas kesehatan dengan tarif prospektif
yang diarahkan pada tarif paket seperti kapitasi, tarif paket rawat jalan, paket prosedur, paket
per hari rawat, atau paket per kelompok diagnosis (DRG). Sistem pembayaran kepada
fasilitas kesehatan dibahas dan disepekati dalam suatu musyawarah antara Kantor Cabang
BPJS, Dinas Kesehatan setempat, dan asosiasi profesi atau fasilitas kesehatan setempat.
Besarnya biaya pengobatan dan perawatan yang ditanggung oleh AKN ditetapkan
bersama oleh Dinas Kesehatan dan Asosiasi Fasilitas kesehatan setempat dengan
mempertimbangkan pemenuhan biaya produksi operasional fasilitas kesehatan dan total
perkiraan biaya pelayanan untuk seluruh peserta untuk satu tahun tidak melebihi 80% iuran
setahun yang terkumpul di suatu kota/kabupaten. Batasan 80% ini digunakan untuk
memberikan ruang ketersediaan dana cadangan (5%), dana untuk rujukan ke fasilitas
kesehatan di provinsi atau di ibu kota (10%) dan biaya operasional sebesar 5%.
Fasilitas kesehatan yang dikontrak mempunyai hak dan kewajiban atau tugas tertentu.
Tugas pokok fasilitas kesehatan adalah sebagai berikut:
1) Memberikan pelayanan kesehatan, termasuk promotif preventif terhadap pasien,
sesuai dengan kebutuhan medis peserta.
2) Memeriksa kelayakan pengobatan peserta pada tingkat institusi. Pasien rujukan yang
tidak memerlukan perawatan tidak diperkenankan dirawat inap.
3) Mematuhi aturan manajemen utilisasi dan manajemen mutu yang dikembangkan oleh
BPJS sesuai dengan peraturan yang lebih tinggi.
4) Mengisi basis data laporan utilisasi dan menyerahkan disket laporan atau
mengirimkannya melalui email ke Pusat Informasi BPJS setiap tanggal 10 untuk
utilisasi bulan sebelumnya.
5) Melakukan pembinaan dan jika mungkin memberikan kesempatan kepada dokter
primer untuk berinteraksi aktif dengan dokter spesialis yang merawat seorang peserta
dalam rangka memantau derajat kesehatan peserta yang menjadi tanggungannya.
6) Merujuk ke Dinas Kesehatan/Dinas Sosial setiap orang sakit yang belum menjadi
peserta tetapi tidak mampu membayar biaya perawatan/pengobatan yang
dibutuhkannya untuk menjadi peserta PBI.

AKN dalam SJSN

155

H Thabrany

Tidak ada kewajiban tanpa hak dan sebaliknya, maka fasilitas kesehatan
mempunyai hak untuk:
1) Dilibatkan dalam melakukan kontrak dengan BPJS apabila fasilitas kesehatan setuju
dengan tarif yang telah ditetapkan bersama BPJS daerah dengan asosiasi fasilitas
kesehatan dan setuju dengan persyaratan lain seperti manajemen mutu dan
manajemen utilisasi.
2) Menerima pembayaran tepat waktu sesuai dengan tarif prospektif yang disepakati dan
mendapatkan pembayaran paling lambat 15 hari setelah klaim (dalam hal pembayaran
memerlukan klaim atau tagihan seperti pada pembayaran sistem DRG), sesuai dengan
ketetapan UU.
3) Secara bersama-sama dalam suatu propinsi, fasilitas kesehatan berhak mengajukan
permohonan peninjauan tarif atau cara pembayaran dan kemudian bernegosiasi
dengan difasilitasi oleh Dinas Kesehatan setempet.
4) Mengatur cara pembayaran dokter spesialis yang bertugas atau berpraktek di fasilitas
kesehatan tersebut.
5) Mengambil keputusan medis atas peserta yang dirawat sesuai dengan standar
pelayanan medis yang telah ditetapkan oleh organisasi profesi terkait yang tertinggi,
yang dapat diberikan di fasilitas kesehatan tersebut.
6) Dapat ikut serta dalam pembahasan iuran oleh komite aktuaria, penetapan tarif dan
penyelesaian perselisihan.
7) Mendapatkan informasi tentang kinerja BPJS, peraturan-peraturan operasional yang
terkait dengan pelayanan dan informasi tentang data demografik peserta.

7.12. Penegakan hukum


Badan penyelenggara bersama Pemeriksa dari Departemen Terkait harus diberikan
kewenangan untuk melakukan inspeksi kepada pemberi kerja dan melaporkan setiap
pelanggaran pemberi kerja dalam memenuhi kewajibannya membayar iuran atau melaporkan
besaran iuran yang tidak sesuai dengan ketentutan UU. Kewenangan resmi berada di
Departemen, namun demikian secara praktis BPJS dapat dilibatkan untuk bersama-sama
melakukan inspeksi. Pemberi kerja yang terlambat membayarkan iurannya dikenakan denda
dari jumlah iuran yang harus dibayarkan untuk tiap bulan keterlambatan. Pembayaran iuran
dalam hitungan hari dikenakan denda rata-rata harian atas dasar besarnya denda bulanan.
Pemberi Kerja yang terlambat membayar iuran berturut-turut lebih dari tiga kali dalam
setahun juga harus dikenakan denda tambahan. Pemberi Kerja yang tidak memenuhi
kewajiban membayarkan iuran pada waktu yang itetapkan atau membayarkan iuran tidak
sesuai dengan peraturan perundangan dikenakan denda.
Agar permainan berlangsung seimbang, apabila terjadi kelalaian pada pihak BPJS,
maka pihak BPJS wajib membayar ganti rugi kepada pihak perusahaan yang lebih besar dari
denda yang dikenakan kepada pemberi kerja.

AKN dalam SJSN

156

H Thabrany

7.13. Penyelenggaraan AKN Pasca Keputusan Mahkamah


Konstitusi
Pada tanggal 1 Februari 2005, tiga pemohon masing-masing Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah Provinsi Jawa Timur, Satuan Pelaksana Jaminan Pemeliharaan Kesehatan
Masyarakat (selanjutnya disebut sebagai SATPEL JPKM), dan Perhimpunan Badan
Penyelenggara Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat (selanjutnya disebut sebagai
PERBAPEL JPKM) mengajukan gugatan (Judicial Review) ke Mahkamah Konstitusi (MK)
tentang UU SJSN. Para pemohon menilai bahwa Pasal 5 ayat (1), ayat (2), (3) dan ayat (4)
dan Pasal 52 tidak sesuai dengan UUD45, bersifat monopolistis, tidak adil/selaras dengan
UU Otonomi Daerah. Oleh karenanya, ketiga pemohon meminta MK untuk membatalkan
pasal dan ayat tersebut dalam UU SJSN.
Pasal 5 UU SJSN menyebutkan bahwa Pasal 5 ayat (1) yang berbunyi Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial harus dibentuk dengan undang-undang. Sedangkan Pasal 5 ayat (2) yang
berbunyi Sejak berlakunya undang-undang ini,badan penyelenggara jaminan sosial yang ada
dinyatakan sebagaiBadan Penyelenggara Jaminan Sosial menurut undang-undang ini.
Sementara Pasal 5 ayat (3), yang berbunyi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:
a. Perusahaan Perseroan (Persero) Jaminan Sosial Tenaga Kerja
(JAMSOSTEK);
b. Perusahaan Perseroan (Persero) Dana Tabungan dan Asuransi
Pegawai Negeri (TASPEN);
c. Perusahaan Perseroan (Persero) Asuransi Sosial Angkatan
Bersenjata Republik Indonesia (ASABRI);
d. Perusahaan Perseroan (Persero) Asuransi Kesehatan Indonesia
(ASKES)
Pasal 5 ayat (4) berbunyi Dalam hal diperlukan Badan Penyelenggara Jaminan
Sosial selain dimaksud pada ayat (3), dapat dibentuk yang baru dengan undang-undang.

Keputusan MK tentang Permohonan


Pada hal 237 Keputusan MK berbunyi Menimbang, dengan pertimbanganpertimbangan sebagaimana diuraikan di atas, terlepas dari terbukti-tidaknya dalil-dalil
Pemohon dalam pemeriksaan terhadap materi permohonan a quo, telah jelas bagi Mahkamah
bahwa Pemohon I cukup memenuhi syarat sebagaimana dimaksud Pasal 51 ayat (1) UUMK
sehingga memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk bertindak selaku Pemohon
dalam permohonan a quo;
Pada hal 239 keputusan MK berbunyi Menimbang, berdasarkan uraian di atas,
tampak nyata bahwa Pemohon II tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud
Pasal 51 ayat (1) UUMK serta syarat kerugian konstitusional yang telah menjadi
pendirian Mahkamah sebagaimana telah diuraikan di atas, sehingga Mahkamah

AKN dalam SJSN

157

H Thabrany

berpendapat bahwa Pemohon II tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing)


dalam permohonan a quo;
Pada hal 240 keputusan MK berbunyi Oleh karena itu, Mahkamah
berpendapat, Pemohon III baik sebagai perorangan warga negara Indonesia maupun
atas nama PERBAPEL JPKM, tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud
Pasal 51 ayat (1) UUMK sehingga harus dinyatakan tidak mempunyai kedudukan
hukum (legal standing) dalam permohonan a quo;
Terhadap Isi gugatan, Keputusan MK menyatakan (Hal 263-272)
bahwa berdasarkan uraian di atas dan setelah membaca seluruh
Penjelasan undang-undang a quo, Mahkamah berpendapat, sepanjang
menyangkut sistem jaminan sosial yang dipilih, UU SJSN telah
cukup memenuhi maksud Pasal 34 ayat (2) UUD 1945, yakni
bahwa sistem yang dipilih itu mencakup seluruh rakyat dengan
maksud untuk meningkatkan keberdayaan masyarakat yang lemah dan
tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan;
bahwa oleh karena sistem jaminan sosial yang dipilih, menurut
pendapat Mahkamah, telah memenuhi maksud Pasal 34 ayat (2) UUD
1945, maka berarti UU SJSN dengan sendirinya juga merupakan
penegasan kewajiban negara terhadap hak atas jaminan sosial sebagai
bagian dari hak asasi manusia, sebagaimana dimaksud Pasal 28H ayat
(3) UUD 1945, yang mewajibkan negara untuk menghormati (to
respect), melindungi (to protect), dan menjamin pemenuhannya (to
fulfil);
Menimbang, kendati Mahkamah berpendapat bahwa, sepanjang
menyangkut sistem yang dipilih, UU SJSN telah memenuhi ketentuan
Pasal 34 ayat (2) UUD 1945, Mahkamah masih perlu
mempertimbangkan lebih lanjut apakah undang-undang a quo telah
tepat dalam mengimplementasikan pengertian Negara dalam Pasal
34 ayat (2) UUD 1945. Terhadap pertanyaan tersebut, Mahkamah akan
mempertimbangkan sebagai berikut:
bahwa, secara historis, cita negara yang tertuang dalam alinea
keempat Pembukaan UUD 1945, tidak terlepas dari arus utama
(mainstream) pemikiran yang berkembang pada saat UUD 1945
disusun, yakni pemikiran yang dikenal sebagai paham negara
kesejahteraan (welfare state atau welvaart staat), yang mewajibkan
negara bertanggungjawab dalam urusan kesejahteraan rakyatnya, yang
antara lain di dalamnya termasuk fungsi negara untuk
mengembangkan jaminan sosial (social security) bagi rakyatnya;

AKN dalam SJSN

158

H Thabrany

bahwa paham negara kesejahteraan dimaksud tercermin pula dalam


judul Bab XIV UUD 1945 yang berbunyi KESEJAHTERAAN
SOSIAL
yang
dengan
Perubahan
Keempat
menjadi
PEREKONOMIAN NASIONAL DAN KESEJAHTERAAN
SOSIAL. Kemudian, dalam pandangan Majelis Permusyawaratan
Rakyat (MPR), sebagai lembaga yang berwenang membuat dan
mengubah
undang-undang
dasar,
fungsi
negara
untuk
mengembangkan jaminan sosial dimaksud bukan hanya dipandang
masih tetap relevan melainkan justru dipertegas guna mewujudkan
cita-cita kesejahteraan umum sebagaimana dimaksud oleh Pembukaan
UUD 1945 alinea keempat; hal mana ternyata dari ditambahkannya
tiga ayat ke dalam Pasal 34 UUD 1945 pada saat MPR melakukan
perubahan terhadap UUD 1945 untuk kali keempat;
bahwa, dengan demikian, terminologi negara dalam Pasal 34 ayat
(2) UUD 1945, dalam hubungannya dengan paham negara
kesejahteraan, sesungguhnya lebih menunjuk kepada pelaksanaan
fungsi pelayanan sosial negara bagi rakyat atau warga negaranya.
Sehingga, fungsi tersebut merupakan bagian dari fungsi-fungsi
pemegang kekuasaan pemerintahan negara menurut UUD 1945. Agar
fungsi dimaksud dapat berjalan, maka pemegang kekuasaan
pemerintahan negara membutuhkan wewenang;
bahwa, menurut UUD 1945, kekuasaan pemerintahan negara
dilaksanakan oleh Pemerintah (Pusat) dan Pemerintahan Daerah,
sehingga pada Pemerintahan Daerah pun melekat pula fungsi
pelayanan sosial dimaksud. Dengan demikian, Pemerintahan Daerah
juga memiliki wewenang guna melaksanakan fungsi dimaksud. Hal itu
sebagai konsekuensi logis dari dianutnya ajaran otonomi, sebagaimana
diatur terutama dalam Pasal 18 ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi,
Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur
dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan
tugas pembantuan, sementara pada ayat (5)-nya ditegaskan bahwa
otonomi yang dimaksud adalah otonomi yang seluas-luasnya kecuali
urusan pemerintahan yang oleh undangundang ditentukan sebagai
urusan Pemerintah Pusat;
bahwa Pemerintahan Daerah juga memiliki wewenang dalam rangka
pelaksanaan fungsi pelayanan sosial negara lebih jauh telah dituangkan
dalam UU Pemda, sebagaimana terutama ternyata dari bunyi Pasal 22
huruf h UU Pemda yang bahkan secara tegas menyebutkan bahwa
pengembangan sistem jaminan sosial merupakan kewajiban daerah.
Sementara itu, menurut Pasal 167 ayat (1) dan (2) UU Pemda,
pengembangan sistem jaminan sosial dimasukkan sebagai bidang yang
anggarannya harus diprioritaskan sebagai bagian dari upaya
perlindungan dan peningkatan kualitas kehidupan masyarakat dalam

AKN dalam SJSN

159

H Thabrany

rangka pemenuhan kewajiban daerah sebagaimana dimaksud Pasal 22


huruf h UU Pemda;
Menimbang bahwa, berdasarkan pertimbangan-pertimbangan di atas,
meskipun Mahkamah berpendapat bahwa UU SJSN telah cukup
memenuhi maksud Pasal 34 ayat (2) UUD 1945, dalam arti bahwa
sistem jaminan sosial yang dipilih UU SJSN telah cukup menjabarkan
maksud Undang-Undang Dasar yang menghendaki agar sistem
jaminan sosial yang dikembangkan mencakup seluruh rakyat dan
bertujuan untuk meningkatkan keberdayaan masyarakat yang lemah
dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan, namun
Mahkamah tidak sependapat dengan pendirian Pemerintah maupun
Dewan Perwakilan Rakyat yang menyatakan bahwa kewenangan
untuk menyelenggarakan sistem jaminan sosial tersebut secara
eksklusif merupakan kewenangan Pemerintah (Pusat), sebagaimana
tercermin dari ketentuan dalam Pasal 5, khususnya ayat (4), UU SJSN.
Sebab, jika diartikan demikian, hal itu akan bertentangan dengan
makna pengertian negara yang di dalamnya mencakup Pemerintah
(Pusat) maupun Pemerintahan Daerah sebagaimana dimaksud oleh
Pasal 18 ayat (5) UUD 1945, yang kemudian dijabarkan dalam UU
Pemda. Atas dasar Pasal 22 huruf h UU Pemda, Pemerintahan Daerah
mempunyai kewajiban untuk mengembangkan sistem jaminan sosial.
Namun, Mahkamah juga tidak sependapat dengan Pemohon yang
mendalilkan kewenangan untuk mengembangkan sistem jaminan
sosial secara eksklusif merupakan kewenangan Daerah dengan
argumentasi bahwa sesuai dengan ajaran otonomi yang seluas-luasnya,
yang menurut Pemohon sesuai dengan Pasal 18 ayat (5) UUD 1945
sebagaimana dijabarkan lebih lanjut dalam UU Pemda khususnya
Pasal 22 dan Pasal 167 ayat (1) dan (2), maka sepanjang suatu urusan
oleh undang-undang tidak ditentukan sebagai urusan atau kewenangan
Pemerintah (Pusat), maka hal itu merupakan urusan atau kewenangan
Daerah.
Mahkamah tidak sependapat dengan dalil Pemohon tersebut, sebab
jika jalan pikiran demikian diikuti, maka di satu pihak, besar
kemungkinan terjadi keadaan di mana hanya daerah-daerah tertentu
saja yang mampu menyelenggarakan sistem jaminan sosial dan itu pun
tidak menjamin bahwa jaminan sosial yang diberikan tersebut cukup
memenuhi standar kebutuhan hidup yang layak antara daerah yang
satu dengan daerah yang lain, serta di lain pihak, jika karena alasan
tertentu seseorang terpaksa harus pindah ke lain daerah, tidak terdapat
jaminan akan kelanjutan penikmatan hak atas jaminan sosial orang
yang bersangkutan setelah berada di daerah lain. Keadaan demikian
akan bertentangan dengan maksud Pasal 34 ayat (2) UUD 1945 yang
menghendaki hak atas jaminan sosial itu harus dapat dinikmati oleh
setiap orang atau seluruh rakyat;

AKN dalam SJSN

160

H Thabrany

Menimbang, sejalan dengan pendapat Mahkamah bahwa


pengembangan sistem jaminan sosial adalah bagian dari pelaksanaan
fungsi pelayanan sosial negara yang kewenangan untuk
menyelenggarakannya berada di tangan pemegang kekuasaan
pemerintahan negara, di mana kewajiban pelaksanaan sistem jaminan
sosial tersebut, sesuai dengan Pasal 18 ayat (5) UUD 1945
sebagaimana dijabarkan lebih lanjut dalam UU Pemda khususnya
Pasal 22 huruf h, bukan hanya menjadi kewenangan Pemerintah Pusat
tetapi dapat juga menjadi kewenangan Pemerintahan Daerah, maka
UU SJSN tidak boleh menutup peluang Pemerintahan Daerah untuk
ikut juga mengembangkan sistem jaminan sosial. Tertutupnya peluang
Pemerintahan Daerah untuk ikut mengembangkan sistem jaminan
sosial dikarenakan adanya ketentuan dalam Pasal 5 UU SJSN yang
berbunyi:
(1) Badan Penyelenggara Jaminan Sosial harus dibentuk dengan
undangundang;
(2) Sejak berlakunya undang-undang ini,
badan penyelenggara
jaminansosial yang ada dinyatakan sebagai Badan
Penyelenggara JaminanSosial menurut undang-undang ini;
(3) Badan Penyelenggara Jaminan Sosial sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) adalah:
a. Perusahaan Perseroan (Persero) Jaminan Sosial Tenaga
Kerja (JAMSOSTEK);
b. Perusahaan Perseroan (Persero) Dana Tabungan dan
Asuransi Pegawai Negeri (TASPEN);
c. Perusahaan Perseroan (Persero) Asuransi Sosial Angkatan
Bersenjata Republik Indonesia (ASABRI);
d. Perusahaan Perseroan (Persero) Asuransi Kesehatan
Indonesia (ASKES);
(4) Dalam hal diperlukan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
selain dimaksud pada ayat (3), dapat dibentuk yang baru dengan
undangundang.
Menimbang, dengan membaca dan memahami secara seksama seluruh
ketentuan dalam Pasal 5 UU SJSN di atas, tampak bahwa, di satu
pihak, perumusan Pasal 5 di atas menutup peluang Pemerintahan
Daerah untuk ikut mengembangkan suatu sub-sistem jaminan sosial
dalam kerangka sistem jaminan sosial nasional sesuai dengan
kewenangan yang diturunkan dari ketentuan Pasal 18 ayat (2) dan (5)
UUD 1945. Di pihak lain, dalam ketentuan Pasal 5 itu sendiri terdapat
rumusan yang saling bertentangan serta sangat berpeluang
menimbulkan multi-interpretasi yang bermuara pada ketidakpastian
hukum (rechtsonzekerheid) yang oleh karena itu bertentangan dengan
Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.

AKN dalam SJSN

161

H Thabrany

Dikatakan menutup peluang Pemerintahan Daerah oleh karena dengan


adanya Pasal 5 ayat (4) dan kaitannya dengan Pasal 5 ayat (1) UU
SJSN tidak memungkinkan bagi Pemerintahan Daerah untuk
membentuk badan penyelenggara jaminan sosial tingkat daerah.
Padahal, sebagaimana telah diuraikan dalam pertimbangan di atas,
Pemerintahan Daerah justru diwajibkan untuk mengembangkan sistem
jaminan sosial. Oleh karena itu, Pasal 5 ayat (1) UU SJSN harus
ditafsirkan bahwa ketentuan tersebut adalah dimaksudkan untuk
pembentukan badan penyelenggara tingkat nasional yang berada di
pusat, sedangkan untuk pembentukan badan penyelenggara jaminan
sosial tingkat daerah dapat dibentuk dengan peraturan daerah dengan
memenuhi ketentuan tentang sistem jaminan sosial nasional
sebagaimana diatur dalam UU SJSN;
Sementara itu, dikatakan terdapat rumusan yang saling bertentangan
serta
berpeluang
menimbulkan
ketidakpastian
hukum
(rechtsonzekerheid) karena pada ayat (1) dinyatakan bahwa Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial harus dibentuk dengan undang-undang,
sementara pada ayat (3) dikatakan bahwa Persero JAMSOSTEK,
Persero TASPEN, Persero ASABRI, dan Persero ASKES adalah
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), padahal tidak semua badan-badan tersebut dibentuk dengan
undangundang. Seandainya pembentuk undang-undang bermaksud
menyatakan bahwa selama belum terbentuknya Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), badan-badan sebagaimana disebutkan pada ayat (3) di atas
diberi hak untuk bertindak sebagai badan penyelenggara jaminan
sosial, maka hal itu sudah cukup tertampung dalam Ketentuan
Peralihan pada Pasal 52 UU SJSN. Atau, jika dengan rumusan
dalam Pasal 5 ayat (1) UU SJSN di atas pembentuk undangundang
bermaksud menyatakan bahwa badan penyelenggara jaminan sosial
harus memenuhi persyaratan yang ditentukan dalam undangundang
yang maksudnya adalah UU SJSN a quo maka penggunaan kata
dengan dalam ayat (1) tersebut tidak memungkinkan untuk diberi
tafsir demikian. Karena makna frasa dengan undang-undang
berbeda dengan frasa dalam undang-undang. Frasa dengan
undang-undang menunjuk pada pengertian bahwa pembentukan
setiap badan penyelenggara jaminan sosial harus dengan undangundang, sedangkan frasa dalam undang-undang menunjuk pada
pengertian bahwa pembentukan badan penyelenggara jaminan sosial
harus memenuhi ketentuan undang-undang. Ketentuan dalam Pasal 5
ayat (4), makin memperkuat kesimpulan bahwa pembentuk undangundang memang bermaksud menyatakan, badan penyelenggara
jaminan sosial harus dibentuk dengan undang-undang tersendiri.

AKN dalam SJSN

162

H Thabrany

Kemungkinan tafsir lainnya adalah, dengan rumusan dalam Pasal 5


ayat (2) dan (3) UU SJSN di atas, maka tidak ada lagi kebutuhan untuk
memenuhi ketentuan Pasal 5 ayat (1), sebab badan-badan sebagaimana
yang disebut pada ayat (2) dan (3) itulah yang dimaksud oleh ayat (1)
dan pada saat yang sama sesungguhnya tidak ada kebutuhan bagi
adanya rumusan sebagaimana tertuang dalam ayat (4). Oleh karena itu,
dengan menghubungkan ketentuan ayat (1), (2), (3), dan (4) dari Pasal
5 UU SJSN tersebut, maka tidak dapat ditarik kesimpulan lain kecuali
bahwa memang kehendak pembentuk undang-undang untuk
menyatakan bahwa JAMSOSTEK, TASPEN, ASABRI, dan ASKES
sajalah yang merupakan badan penyelenggara jaminan sosial
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) serta tidak mungkin lagi
membentuk badan penyelenggara jaminan sosial lain di luar itu.
Kesimpulan demikian juga tercermin dari keterangan Pemerintah,
keterangan DPR, maupun keterangan para Ahli yang diajukan
Pemerintah sebagaimana yang telah diuraikan di atas.
Menimbang, oleh karena di satu pihak, telah ternyata bahwa Pasal 5
ayat (1), (2), (3), dan (4) UU SJSN saling berkait yang sebagai
akibatnya daerah menjadi tidak mempunyai peluang untuk
mengembangkan sistem jaminan sosial dan membentuk badan
penyelenggara sosial, sementara di pihak lain keberadaan undangundang yang mengatur tentang pembentukan badan
penyelenggara jaminan sosial nasional di tingkat pusat
merupakan kebutuhan, maka Pasal 5 ayat (1) UU SJSN cukup
memenuhi kebutuhan dimaksud dan tidak bertentangan dengan
Undang-Undang Dasar sepanjang ketentuan dalam Pasal 5 ayat
(1) UU SJSN tersebut ditafsirkan semata-mata dalam rangka
pembentukan badan penyelenggara jaminan sosial nasional di
tingkat pusat.
Menimbang bahwa, berdasarkan uraian-uraian dalam pertimbangan di
atas, sebagian dalil Pemohon yang menyangkut tertutupnya peluang
Pemerintahan Daerah untuk ikut mengembangkan suatu sistem
jaminan sosial berdasarkan kewenangan yang diturunkan dari Pasal 18
ayat (2) dan (5) UUD 1945, sebagaimana telah dijabarkan lebih lanjut
khususnya dalam Pasal 22 huruf h UU Pemda, cukup beralasan.
Sedangkan, terhadap Pasal 52 UU SJSN yang juga dimohonkan
pengujian oleh Pemohon, Mahkamah berpendapat bahwa
ketentuan Pasal 52 UU SJSN tersebut justru dibutuhkan untuk
mengisi kekosongan hukum (rechtsvacuum) dan menjamin
kepastian hukum (rechtszekerheid) karena belum adanya badan
penyelenggara jaminan sosial yang memenuhi persyaratan agar
UU SJSN dapat dilaksanakan. Dengan demikian permohonan
Pemohon sepanjang menyangkut Pasal 52 UU SJSN, tidak cukup
beralasan.

AKN dalam SJSN

163

H Thabrany

Menimbang bahwa, berdasarkan seluruh pertimbangan tersebut di atas,


Mahkamah berpendapat permohonan Pemohon dapat dikabulkan
untuk sebagian yaitu:
Pasal 5 ayat (3), yang berbunyi Badan Penyelenggara Jaminan
Sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:
a. Perusahaan Perseroan (Persero) Jaminan Sosial Tenaga Kerja
(JAMSOSTEK);
b. Perusahaan Perseroan (Persero) Dana Tabungan dan Asuransi
Pegawai Negeri (TASPEN);
c. Perusahaan Perseroan (Persero) Asuransi Sosial Angkatan
Bersenjata Republik Indonesia (ASABRI);
d. Perusahaan Perseroan (Persero) Asuransi Kesehatan Indonesia
(ASKES)
karena materi yang terkandung di dalamnya telah tertampung
dalam Pasal 52 yang apabila dipertahankan keberadaannya akan
menimbulkan multitafsir dan ketidakpastian hukum.
Pasal 5 ayat (2) yang berbunyi Sejak berlakunya undang-undang ini
badan penyelenggara jaminan sosial yang ada dinyatakan sebagai
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial menurut undang-undang ini
karena walaupun tidak dimohonkan dalam petitum namun ayat ini
merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dari ayat (3)
sehingga jika dipertahankan juga akan menimbulkan multitafsir dan
ketidakpastian hukum sebagaimana Pasal 5 ayat (3).
Pasal 5 ayat (4) yang berbunyi Dalam hal diperlukan Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial selain dimaksud pada ayat (3), dapat
dibentuk yang baru dengan undang-undang karena ternyata
menutup peluang bagi Pemerintahan Daerah untuk membentuk
dan mengembangkan badan penyelenggara jaminan sosial tingkat
daerah dalam kerangka sistem jaminan sosial nasional.
Sedangkan Pasal 5 ayat (1) yang berbunyi Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial harus dibentuk dengan undang-undang
tidakbertentangan dengan UUD 1945 asalkan ditafsirkan bahwa
yang dimaksud oleh ketentuan tersebut adalah pembentukan
badan penyelenggara jaminan sosial tingkat nasional yang berada
di Pusat. Dengan demikian permohonan Pemohon sepanjang
mengenai Pasal 5 ayat (1), sebagaimana halnya Pasal 52 UU SJSN,
juga tidak cukup beralasan.
Mengingat Pasal 56 ayat (2) dan (5) serta Pasal 57 ayat (1) dan (3)
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi;

AKN dalam SJSN

164

H Thabrany

MENGADILI
Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian;
Menyatakan Pasal 5 ayat (2), (3), dan (4) Undang-undang Republik
Indonesia Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial
Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor
150, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4456)
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
Menyatakan Pasal 5 ayat (2), (3), dan (4) Undang-undang Republik
Indonesia Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial
Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor
150, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4456)
tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
Menolak permohonan Pemohon selebihnya;
Memerintahkan pemuatan
sebagaimana mestinya;

Putusan

ini

dalam

Berita

Negara

Demikian diputuskan dalam rapat permusyawaratan hakim yang


dihadiri oleh 9 (sembilan) Hakim Konstitusi pada hari Kamis, 18
Agustus 2005, dan diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah
Konstitusi yang terbuka untuk umum pada hari ini Rabu, 31 Agustus
2005
ARTI KEPUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI
Keputusan MK tersebut pada hakikatnya menetapkan bahwa keempat BPJS,
ASABRI, ASKES, Jamsostek, dan Taspen tetap berlaku untuk program jaminan sosial
tingkat nasional (hal 270). Namun demikian, apabila pemda berminat membentuk dan
mengembangkan badan penyelenggara tingkat daerah, tetapi bukan eksklusif hanya badan
daerah itu saja yang beroperasi (hal 265), maka pemda dapat membentuk badan
penyelenggara jaminan sosial tingkat daerah. Artinya, di tiap daerah yang berminat
mendirikan badan penyelenggara, dengan Perda, maka badan tersebut perlu berkoordinasi
dengan BPJS tingkat nasional/pusat. Pengaturan lebih lanjut tentang peran badan
penyelenggara daerah dapat diatur dalam Peraturan Pemerintah.

AKN dalam SJSN

165

H Thabrany

Anda mungkin juga menyukai