Anda di halaman 1dari 9

Nikah Muda (Bawah Umur), sunnah mubah makruh

atau haram?
Posted by orgawam pada November 5, 2008
Sehubungan dengan pernikahan kontroversi Pujiono Cahyo Widianto alias Syekh Puji dengan
Lutfiana Ulfa (12), kami mencari artikel yang layak untuk membahas kasus ini. Bukan
sekedar boleh tidaknya, atau dampak psikologis semata, namun bagaimana (seorang yg lebih
mengetahui ttg masalah ini menuliskan tentang) ajaran agama kita memandangnya.
Kebetulan ku temukan sebuah artikel yg cukup lengkap, obyektif. Semoga bermanfaat.
Nikah Muda dalam Kacamata Fikih Islam
03/11/2008
Oleh Amiruddin Thamrin
Di antara keistimewaan Islam adalah fleksibelitas, universalitas, rasional, sesuai tempat dan
zaman serta mudah diterima khalayak, baik yang berkaitan masalah ibadah, akhlak,
muamalat, maupun berkaitan hukum (aturan) perkawinan. Isu nikah muda sering menjadi
polemik dan kontroversi dalam masyarakat dikarenakan masih adanya asumsi bahwa hal itu
dianjurkan agama, didorong serta dicontohkan Nabi Muhamad. Tepatkah asumsi tersebut?
Tulisan singkat ini dimaksudkan tak lain sekedar memberikan kontribusi tentang isu kawin
muda (nikah di bawah umur) dalam pandangan agama, dalam kaitan ini fikih Islam. Harapan
semoga ajaran Islam yang sudah sangat indah, mudah, memiliki norma-norma kemanusiaan
dan terhormat ini tidak diselewengkan dan diterapkan hanya untuk kepentingan pribadi tanpa
mengindahkan norma-norma kemanusiaan serta etika-etika umum masyarakat lainnya.
Usia Nikah
Istilah dan batasan nikah muda (nikah di bawah umur) dalam kalangan pakar hukum Islam
sebenarnya masih simpang-siur yang pada akhirnya menghasilkan pendapat yang berbeda.
Maksud nikah muda menurut pendapat mayoritas, yaitu, orang yang belum mencapai baligh
bagi pria dan belum mencapai menstruasi (haid) bagi perempuan.
Syariat Islam tidak membatasi usia tertentu untuk menikah. Namun, secara implisit, syariat
menghendaki orang yang hendak menikah adalah benar-benar orang yang sudah siap mental,
pisik dan psikis, dewasa dan paham arti sebuah pernikahan yang merupakan bagian dari
ibadah, persis seperti harus pahamnya apa itu salat bagi orang yang melakukan ibadah salat,
haji bagi yang berhaji, transaksi dagang bagi pebisnis.
Tidak ditetapkannya usia tertentu dalam masalah usia sebenarnya memberikan kebebasan
bagi umat untuk menyesuaikan masalah tersebut tergantung situasi, kepentingan, kondisi
pribadi keluarga dan atau kebiasaan masyarakat setempat, yang jelas kematangan jasmani dan
rohani kedua belah pihak menjadi prioritas dalam agama.
Dorongan adanya kesetaraan

Dalam fikih, ada yang disebut kafaah (baca kesetaraan). Kafaah di sini bukan berarti agama
Islam mengakui adanya perbedaan (kasta) dalam masyarakat. Kafaah bukan pula suatu
keharusan dan sama sekali bukan menjadi syarat dalam akad ikatan perkawinan, namun
pertimbangan kafaah hanya sebagai anjuran dan dorongan agar perkawinan berjalan dengan
keserasian dan saling pengertian antara kedua belah pihak dus demi langgengnya bahtera
rumah tangga. Di antaranya, kesetaraan dalam hal ketakwaan, sebaiknya orang yang sangat
takwa dan sangat rajin menjalankan ibadah agama, tidak dianjurkan bahkan tidak dibolehkan
untuk dinikahkan dengan seorang yang rusak agamanya (sama sekali tidak memikirkan
agama).
Juga seorang perempuan intelektual tidak dianjurkan dan tidak cocok nikah dengan suami
yang bodoh. Juga masalah umur, tidaklah setara (imbang) antara laki-laki yang berumur 50
tahun dengan gadis berusia 13 tahun (apalagi lebih muda dari umur itu). Ketidaksetaraan
seperti ini serta perbedaan yang mencolok antara kedua belah pihak tidak didukung syariat
karena dikhawatirkan akan kuatnya timbul benturan-benturan antara kedua belah pihak
dikarenakan perbedaan yang sangat mencolok tersebut.
Sedangkan kesetaraan dan persamaan dalam masalah keturunan, ras, kaya-miskin tidaklah
menjadi masalah dalam Islam, karena Islam tidak memandang keturunan, suku bangsa serta
miskin dan kaya. Miskin bukan merupakan cela (keaiban) dalam pandangan agama, yang cela
hanyalah kekayaan yang didapat dari usaha ilegal dan kemiskinan akibat kemalasan.
Perkawinan Rasul dengan Sayidah Aisyah
Ada yang berdalih bahwa kawin muda merupakan tuntunan Nabi yang patut ditiru. Pendapat
ini sama sekali tidak benar karena Nabi tidak permah mendorong dan menganjurkan untuk
melakukan pernikahan di bawah umur. Akad pernikahan antara Rasul dengan Sayidah Aisyah
yang kala itu baru berusia sekitar 10 tahun tidak bisa dijadikan sandaran dan dasar pegangan
usia perkawinan dengan alasan sebagai berikut:
Pertama: perkawinan itu merupakan perintah Allah sebagaimana sabda Rasul,
Saya diperlihatkan wajahmu (Sayidah Aisyah) dalam mimpi sebanyak dua kali, Malaikat
membawamu dengan kain sutera nan indah dan mengatakan bahwa ini adalah istrimu. (HR
Bukhari dan Muslim);
Kedua: Rasul sendiri sebenarnya tidak berniat berumah tangga kalaulah bukan karena
desakan para sahabat lain yang diwakili Sayidah Khawlah binti Hakim yang masih
merupakan kerabat Rasul, di mana mereka melihat betapa Rasul setelah wafatnya Sayidah
Khadijah, istri tercintanya sangat membutuhkan pendamping dalam mengemban dakwah
Islam;
Ketiga: Perkawinan Rasul dengan Sayidah Aisyah mempunyai hikmah penting dalam dakwah
dan pengembangan ajaran Islam dan hukum-hukunya dalam berbagai aspek kehidupan
khususnya yang berkaitan dengan masalah keperempuanan yang banyak para kaum
perempuan bertanya kepada Nabi melalui Sayidah Aisyah. Dikarenakan kecakapan dan
kecerdasan Sayidah Aisyah sehingga ia menjadi gudang dan sumber ilmu pengetahuan
sepanjang zaman;

Keempat: masyarakat Islam (Hejaz) saat itu sudah terbiasa dengan masalah nikah muda dan
sudah biasa menerima hal tersebut. Walaupun terdapat nikah muda, namun secara fisik
maupun psikis telah siap sehingga tidak timbul adanya asumsi buruk dan negatif dalam
masyarakat.
Kita tidak memperpanjang masalah perkawinan ideal dan indah antara Rasul dengan Sayidah
Aisyah, jadikanlah itu sebagai suatu pengecualian (kekhususan) yang mempunyai hikmah
penting dalam sejarah agama.
Islam dalam prinsipnya tidak melarang secara terang-terangan tentang pernikahan muda usia,
namun Islam juga tak pernah mendorong atau mendukung perkawinan usia muda (di bawah
umur) tersebut, apa lagi dilaksanakan dengan tidak sama sekali mengindahkan dimensidimensi mental, hak-hak anak, psikis dan pisik terutama pihak perempuannya, dan juga
kebiasaan dalam masyarakat, dengan dalih bahwa Islam sendiri tidak melarang.
Agama sebaiknya tidak dipandang dengan kasatmata, namun lebih jauh lagi agama
menekankan maksud dan inti dari setiap ajarannya dan tuntunannya, dalam masalah
perkawinan ini, Islam mendorong hal-hal agar lebih menjamin kepada suksesnya sebuah
perkawinan. Yang diminta adalah kematangan kedua pihak dalam menempuh kehidupan
berkeluarga sehingga tercipta hubungan saling memberi dan menerima, berbagi rasa, saling
curhat dan menasihati antara suami-istri dalam mangarungi bahtera rumah tangga dan
meningkatkan ketakwaan.
Usia Nikah menurut Undang-Undang Negara
Bab II pasal 7 ayat satu menyebutkan bahwa perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria
sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak perempuan sudah mencapai umur
16 (enam belas) tahun. Juga tentang Usia Perkawinan Dalam Bab IV Kompilasi Hukum
Islam (KHI) pasal 15 menyebutkan bahwa demi untuk kemaslahatan keluarga dan rumah
tangga perkawinan hanya beleh dilakukan calon mempelai yang telah mencapai umur yang
ditetapkan dalam pasal 7 Undang-Undang (UU) Nomor 1 tahun 1974 yakni calon suami
sekurang-kurangnya berumur 19 tahun dan calon istri sekurang-kurangnya berumur 16 tahun.
Dalam UU perkawinan di sejumlah negara Arab hampir sama dengan UU Indonesia Seperti
di Suriah, yang menjelaskan batas usia pernikahan untuk pria adalah jika telah mencapai 18
tahun dan untuk perempuannya jika sudah berusia 16 tahun (UU Perkawinan Suriah, pasal
16).

ARTIKEL 2

Masih Muda Mau Nikah, Bolehkah?


By admin on April 20, 2010
Assalamualaikum.., langsung saja ustadz, saya mau tanya:
1.Apakah menikah muda disyariatkan dalam islam?

2.Kalau jadi menikah, siapa yang harus di penuhi, kebutuhan orangtua atau istri? karena saya
menjadi tulang punggung keluarga?
3.Bolehkah menikah sambil belajar ( sekolah ), karena kemauan calon istri yang mau
sekolah? dan bagaimana agar terjaga dari fitnah?
IT, di Bumi Allah
Bismillahirrahmanirrahim, Wa alaikumussalam warahmatullahi wa barakaatuh.
Alhamdulillah, Pertama-tama, saya ingin mendudukkan terlebih dahulu, sedikit
kesalahpahaman sebagian kalangan kaum muslim, tentang makna dari kata syari atau
disyariatkan.
Kata syari, atau yang lazim diterjemahkan dengan disyariatkan, punya dua kemungkinan
makna:
1. Ditetapkan sebagai syariat.
2. Dibenarkan menurut syariat.
Mengacu pada pertanyaan di atas, mana yang dimaksud antara dua makna tersebut? Apakah
maknanya ditetapkan sebagai syariat? Atau dibenarkan menurut syariat? Keduanya memiliki
indikasi makna yang berbeda, oleh sebab itu akan berbeda pula jawaban dari pertanyaan
tersebut.
Bila maksudnya ditetapkan sebagai syariat, maka artinya ada hukum tertentu yang berlaku
pada menikah di usia muda ini, entah itu mubah yang maknanya bisa dibenarkan dalam
syariat, sunnah, atau wajib.
Bila artinya dibenarkan dalam syariat, maka artinya secara hukum Islam
memperbolehkannya, tapi tidaklah dianjurkan, apalagi diwajibkan. Dan, memang
demikianlah adanya. Menikah di usia muda, secara hukum asal diperbolehkan. Namun juga
tidak dianjurkan, apalagi diwajibkan. Tapi, bila dikaitkan dengan situasi dan kondisi pada
orang yang akan menikah, hukumnya bisa bervariasi.
Hukum asal itu berasal dari sabda Nabi -shollallohu alaihi wa sallam- yang sangat populer,
Wahai kawula muda. Barangsiapa diantara kalian yang sudah memiliki baa-ah
(kemampuan seksual), hendaknya ia menikah. Sesungguhnya yang demikian itu lebih dapat
memelihara pandangan mata dan kemaluan. Barangsiapa yang belum mampu, hendaknya ia
berpuasa. Sesungguhnya puasa itu adalah obat baginya. [1]
Yakni, menikah itu diperintahkan, saat seseorang sudah memiliki kemampuan seksual
sesungguhnya. Artinya, mulai saat itu saat seseorang sudah baligh, ia sudah menerima
perintah menikah.
Mulai dari remaja hingga dewasa, seorang muslim sudah menerima syariat untuk menikah.
Hukum itu kian menguat, bila kemampuan, potensi, dan hasrat seksual semakin meningkat.
Sehingga suatu saat bisa dianjurkan atau disunnahkan, dan bisa juga diwajibkan.

Saat ia sudah dianjurkan atau bahkan diwajibkan, maka ukuran apakah seseorang masih
tergolong muda atau bahkan terlalu muda, atau sudah cukup umur untuk menikah dalam
kaca mata syariat Islam tidaklah menjadi ukuran. Hukum tetap berlaku dengan alasan
hukumnya. Muda dan tua bukanlah alasan hukum dalam menikah.
Namun, bila dalam kemudaan, seseorang punya kendala untuk menikah, seperti soal aturan
kenegaraan bila di negaranya menikah muda dilarang, belum mengerti hukum-hukum dan
adab pasutri, belum mampu mencari nafkah, atau hal-hal lain, maka itu termasuk kondisi di
mana seseorang belum bisa segera menikah. Di saat itulah ia disyariatkan berpuasa, untuk
menahan hasrat seksualnya.
Hal itu juga berlaku, bila ia sudah dewasa namun memiliki beberapa kendala yang
menyebabkan ia sulit untuk menikah, atau sulit mendapatkan orang lain yang sudi
menikahkan dia dengan putrinya kalau ia seorang pria, atau sulit mendapatkan orang yang
mau menikahkan dirinya dengan putranya.
Jadi dalam usia apapun, bila seseorang masih terkendala menikah, atau ada mudharat besar
bila ia segera menikah, maka hukum penundaan menikah demi maslahat itu tetap berlaku
bagi dirinya.
Barangsiapa yang belum mampu, hendaknya ia berpuasa. Sesungguhnya puasa itu adalah
obat baginya
Kewajiban menolong orang tua, terlebih bagi anak lelaki, berlaku seumur hidupnya. Seorang
anak wajib menolong dan membantu orang tuanya, untuk urusan dunia dan akhirat,
sebagaimana orang tua berkewajiban mengurus, merawat, dan membesarkan anak-anaknya
dahulu.
Sementara, kewajiban terhadap istri adalah kewajiban baru bagi seseorang, yang juga harus
dipenuhi. Lalu, mana yang harus didahulukan?
Keduanya tidak boleh diadu/dibenturkan. Kalau seseorang belum mampu menghidupi istri
karena harus menolong orang tuanya, dan ia masih mampu menahan hasrat menikahnya,
maka ia harus menunda menikah. Karena bila dipaksakan, ia harus mengorbankan salah satu
dari kewajiban tersebut.
Tapi, bila ia mau menikah dan merasa mampu untuk menanggung kedua kewajiban tersebut,
ia boleh menikah segera. Apalagi, bila hasrat menikah begitu besar, dan bila tidak menikah
dikhawatirkan ia terjerumus pada perbuatan haram, maka ia wajib segera menikah.
Bila orang tua bisa sekadar dibantu nafkahnya, maka seorang suami bisa lebih banyak
menafkahi istri, dengan tetap membantu orang tuanya. Bila orang tuanya tidak
berpenghasilan, maka anak-anaknya, termasuk dia, harus bersama-sama bekerja sama
menanggung kewajiban memenuhi kebutuhan orang tua mereka. Bila seseorang hanya bisa
melakukannya dengan mengajak orang tuanya hidup satu atap dengan dirinya dan juga
istrinya, maka itu harus dilakukan.

Hanya saja, orang tua yang baik tentunya akan mengalah, tidak membebani anak dan juga
menantunya. Tapi secara hukum, anak terutama anak laki-laki yang memang bertugas
mencari naskah wajib memperhatikan kebutuhan orang tuanya, meskipun ia sudah menikah.
Adapun anak perempuan, bisa membantu sebatas yang dia mampu. Ia juga bisa mengajak
suaminya, untuk membantu orang tuanya, bila orang tuanya memang membutuhkan
bantuannya. Terutama sekali, bila orang tuanya hanya memiliki anak tunggal. Dan kebetulan,
sang orang tua juga miskin dan tidak berkemampuan.
Menikah dengan tetap belajar, boleh-boleh saja, asalkan belajar di sekolah itu tidak
mengganggu jalannya rumah tangga secara baik, aman, terkendali, tenteram, dan
menyenangkan. Tujuan-tujuan berumah tangga, termasuk memiliki anak, juga jangan , hanya
karena urusan belajar di sekolah.
Karena persoalannya, kewajiban membina rumah tangga yang diwadahidengan
sakinah(ketentraman), untuk membuahkan mawaddah dan rahmah (cinta dan kasih sayang)
adalah kewajiban yang pasti di depan mata. Sementara sekolah, hanya salah satu dari bentuk
kewajiban umum yang biasanya berhukum fardhu kifayah, tidak boleh rumah tangga
dikorbankan karena sekolah.
Kalau yang dijadikan tujuan sekolah adalah mencari ilmu semata, maka menuntut ilmu toh
bisa dilakukan tanpa ruang sekolah. Bisa dengan membaca buku, makalah, dan artikel di
internet, dengan dialog dan diskusi bersama teman, menghadiri seminar, pengajian, dan
sejenisnya. Sehingga, sekolah tidak boleh dipaksakan.
Agar terhindar dari fitnah? Di sini, kata fitnah sengaja saya miringkan, karena yang dimaksud
di sini adalah fitnah bahasa Arab, yang salah satu maknanya adalah godaan atau musibah.
Bagaimana cara menghindari bencana, dan agar seorang wanita tidak menjadi godaan bagi
kaum pria saat bersekolah, sementara ia sudah berumah tangga?
Kuncinya adalah pada upaya memilih sekolah yang paling aman dalam pandangan syariat,
bila memang diputuskan si istri tetap bersekolah. Kalau di pesantren, pilihlah pesantren yang
para pengajarnya adalah wanita saja. Yang pergaulannya baik. Yang dasar akidah dan metode
memahami Islamnya bersih dari syubhat, kebidahan, dan kesesatan. Bila pendidikan umum,
carilah yang interaksi dengan lawan jenis dapat dibatasi, sehingga tidak terjadi keharaman
dalam proses belajar mengajar tersebut.
Sulit? Tentu saja. Bahkan, secara jujur saya nyatakan, sulit mencari balai pendidikan umum
sekarang ini terutama di negri kita yang aman bagi kaum wanita untuk belajar di dalamnya,
tanpa menjadi godaan bagi kaum pria, tanpa menjerumuskan dirinya pada hal-hal yang
dilarang dalam Islam, dan dalam pergaulan pria dengan kaum wanita.
Meski demikian, balai-balai pendidikan yang relatif aman, kini juga mulai banyak
bermunculan, seiring dengan kesadaran umat Islam terhadap ajaran Islam sesungguhnya.
Namun, saya pribadi menganjurkan: bila sudah memutuskan berumah tangga, sebaiknya

fokuskan perhatian pada pembinaan rumah tangga. Bila masih ingin sekolah, tunda saja
pernikahannya.
Wallahu Alamu Bishshawaab..
ARTIKEL 3
NIKAH MUDA DALAM PANDANGAN FIQIH *
Isu nikah muda sering menjadi polemik dan kontroversi dalam masyarakat. Bagaimana hukum Islam
memandang kasus seperti ini
Diantara keistimewaan ajaran agama Islam adalah fleksibel, universal, rasional, sesuai dengan tempat dan
zaman serta mudah diterima oleh khalayak, baik yang berkaitan dengan masalah ibadat, akhlak, muamalat,
maupun yang berkaitan dengan hukum (aturan) pernikahan.
Isu nikah muda sering menjadi polemik dan kontroversi dalam masyarakat dikarenakan masih adanya asumsi
bahwa hal tersebut dianjurkan oleh agama, didorong serta dicontohkan oleh Baginda Nabi Muhamad SAW.
Tepatkan asumsi tersebut? tulisan singkat ini dimaksudkan tak lain sekedar memberikan kontribusi tentang isu
nikah muda (nikah dibawah umur) dalam pandangan agama, dalam kaitan ini fiqih Islam. Harapan semoga
ajaran agama Islam ini yang sudah sangat indah, mudah, memiliki norma-norma kemanusiaan dan terhormat ini
tidak diselewengkan dan diterapkan hanya untuk kepentingan pribadi tanpa mengindahkan norma-norma
kemanusiaan serta etika-etika umum masyarakat lainnya.
Usia Pernikahan
Istilah dan batasan nikah muda (nikah dibawah umur) dalam kalangan pakar hukum Islam sebenarnya masih
simpang siur yang pada akhirnya menghasilkan pendapat yang berbeda. Maksud nikah muda menurut pendapat
mayoritas yaitu orang yang belum mencapai baligh bagi pria dan belum mencapai menstruasi (haidh) bagi
wanita.
Syariat Islam tidak mengatur atau memberikan batasan usia tertentu untuk melaksanakan suatu pernikahan.
Namun secara implisit syariat menghendaki pihak orang yang hendak melakukan pernikahan adalah benarbenar orang yang sudah siap mental, pisik dan psikis, dewasa. Dan paham akan arti sebuah pernikahan yang
merupakan bagian dari ibadah, persis seperti harus pahamnya apa itu shalat bagi orang yang melakukan ibadah
shalat, haji bagi yang berhaji, transaksi dagang bagi pebisnis. Karenanya, tidak ditetapkannya usia tertentu
dalam masalah usia sebenarnya memberikan kebebasan bagi umat untuk menyesuaikan masalah tersebut
tergantung situasi, kepentingan, kondisi pribadi keluarga dan atau kebiasaan masyarakat setempat, yang jelas
kematangan jasmani dan rohani kedua belah pihak menjadi prioritas dalam agama.
Kafaah
Dalam fiqih Islam ada yang disebut kafaah (baca kesetaraan). Kafaah di sini bukan berarti agama Islam
mengakui adanya perbedaan (kasta) dalam masyarakat. Kafaah bukan pula suatu keharusan dan sama sekali
bukan menjadi syarat dalam akad ikatan pernikahan, namun pertimbangan kafaah hanya sekedar sebagai
anjuran dan dorongan agar pernikahan berjalan dengan keserasian dan saling pengertian antara kedua belah
pihak dus demi langgengnya bahtera rumah tangga.
Diantaranya adalah kesetaraan dalam hal ketakwaan, sebaiknya orang yang sangat takwa dan sangat rajin
menjalankan ibadah agama, tidak dianjurkan bahkan tidak dibolehkan untuk dinikahkan dengan seorang yang
rusak agamanya (sama sekali tidak memikirkan agama). Juga seorang wanita intelektual (cendikiawati) tidak
dianjurkan dan tidak cocok nikah dengan suami yang bodoh. Juga masalah umur tidaklah setara (imbang)
antara laki-laki yang berumur 50 tahun dengan gadis berusia 13 tahun (apalagi lebih muda dari umur itu).
Ketidak setaraan seperti ini serta perbedaan yang mencolok antara kedua belah pihak tidak didukung oleh
syariat karena dikhawatirkan akan timbul benturan-benturan antara kedua belah pihak dikarenakan perbedaan
yang sangat mencolok tersebut . Sedangkan kesetaraan dan persamaan dalam masalah keturunan, ras, kayamiskin tidaklah menjadi masalah dalam agama Islam, karena Islam tidak memandang keturunan, suku bangsa

serta miskin dan kaya. Miskin bukan merupakan cela (keaiban) dalam pandangan agama, yang cela hanyalah
kekayaan yang didapat dari usaha ilegal dan kemiskinan akibat kemalasan.
Rasul SAW dengan Sayidah Aisyah RA
Ada yang berdalih bahwa nikah muda merupakan tuntunan Nabi SAW yang patut ditiru. Pendapat ini sama
sekali tidak benar karena Nabi SAW tidak permah mendorong dan menganjurkna untuk melakukan pernikahan di
bawah umur. Akad pernikahan antara Rasul SAW dengan Sayidah Aisyah RA yang kala itu baru berusia sekitar
10 tahun tidak bisa dijadikan sandaran dan dasar pegangan usia pernikahan dengan alas an sbb:
Pertama: pernikahan tersebut merupakan perintah dari Allah SAW sebagaimana sabda Rasul SAW, Saya
diperlihatkan wajahmu (Sayidah Aisyah) dalam mimpi sebanyak dua kali, Malaikat membawamu dengan kain
sutera nan indah dan mengatakan bahwa ini adalah istrimu. (HR. Bukhari dan Muslim).
Kedua; Rasul SAW sendiri sebenarnya tidak berniat untuk berumah tangga kalaulah bukan karena desakan para
sahabat lain yang diwakili oleh Sayidah Khawlah binti Hakim yang masih merupakan kerabat Rasul SAW, di
mana mereka melihat betapa Rasul SAW setelah wafatnya Sayidah Khadijah RA istri tercintanya sangat
membutuhkan pendamping dalam mengemban dakwah Islam.
Ketiga; Pernikahan Rasul SAW dengan Sayidah Aisyah mempunyai hikmah penting dalam dakwah dan
pengembangan ajaran Islam dan hukum-hukunya dalam berbagai aspek kehidupan khususnya yang berkaitan
dengan masalah kewanitaan yang banyak para kaum perempuan bertanya kepada Nabi SAW melalui Sayidah
Aisyah RA. Dikarenakan kecakapan dan kecerdasan Sayidah Aisyah RA sehingga beliau menjadi gudang dan
sumber ilmu pengetahuan sepanjang zaman;
Keempat; Masyarakat Islam (Hijaz) saat itu sudah terbiasa dengan masalah nikah muda dan sudah biasa
menerima hal tersebut. Walaupun terdapat nikah muda namun secara pisik maupun psikis telah siap sehingga
tidak timbul adanya asumsi buruk dan negatif dalam masyarakat. Kita tidak memperpanjang masalah pernikahan
ideal dan indah antara Rasul SAW dengan Sayidah Aisyah, jadikanlah itu sebagai suatu pengecualian
(kekhususan) yang mempunyai hikmah penting dalam sejarah agama.
Agama Islam dalam prinsipnya tidak melarang secara terang-terangan tentang pernikahan muda usia, namun
Islam juga tak pernah mendorong atau mendukung pernikahan usia muda (di bawah umur) tersebut, apa lagi
dilaksanakan dengan tidak sama sekali mengindahkan dimensi-dimensi mental, hak-hak anak, psikis dan pisik
terutama pihak wanitanya, dan juga kebiasaan dalam masyarakat, dengan dalih bahwa toh agama Islam sendiri
tidak melarang. Agama sebaiknya tidak dipandang dengan kasatmata, namun lebih jauh lagi agama
menekankan maksud dan inti dari setiap ajarannya dan tuntunannya. Dalam masalah pernikahan ini, Islam
mendorong hal-hal agar lebih menjamin kepada suksesnya sebuah pernikahan. Yang diminta adalah
kematangan kedua belah dalam menempuh kehidupan berkeluarga sehingga adanya saling take and give,
berbagi rasa, saling curhat dan menasehati antara kedua belah pihak suami istri dalam mangarungi bahtera
rumah tangga dan meningkatkan ketakwaan.
Usia Pernikahan
Bab II pasal 7 ayat satu menyebutkan bahwa pernikahan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur
19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun. Juga tentang Usia
Pernikahan Dalam Bab IV Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 15 menyebutkan bahwa demi untuk kemaslahatan
keluarga dan rumah tangga pernikahan hanya beleh dilakukan calon mempelai yang telah mencapai umur yang
ditetapkan dalam pasal 7 Undang-undang No. 1 tahun 1974 yakni calon suami sekurang-kurangnya berumur 19
tahun dan calon isteri sekurang-kurangnya berumur 16 tahun.
Dalam undang-undang pernikahan di sejumlah negara Arab hampir sama dengan undang-undang Indonesia.
Suriah, umpamanya menjelaskan batas usia pernikahan untuk pria adalah jika telah mencapai 18 tahun dan
untuk wanitanya jika sudah berusia 16 tahun (Undang-undang Pernikahan Suriah, pasal 16).

Menurut hemat penulis apa yang telah dibuat oleh undang-udang hendaknya mendapat dukungan dari semua
pihak khususnya para dai serta hendaknya dapat menjadi contoh baik dengan mengedepankan hal-hal yang
telah menjadi standar dalam syariat dan bukan mencari hal-hal kontroversi yang menjadikan orang-orang
menjadi bertanya-tanya bahkan yang lebih parah lagi meragukan kebenaran syariat, papatah (kata mutiara) Arab
mengatakan Semoga kerahmatan senantiasa tercurahkan bagi orang berusaha menghidarkan dirinya dari halhal yang menjadi cemoohan (omongan negatif) dalam masyarakat.

Anda mungkin juga menyukai