Anda di halaman 1dari 12

GUIDED IMAGERY AND MUSIC (GIM) MENURUNKAN INTENSITAS NYERI

PASIEN POST SECTIO CAESAREA BERBASIS ADAPTASI ROY


Guided imagery and music (GIM) reduce pain intensity of sectio caesarea patient based
on Roys adaptation model
Ira Suarilah*, Erna Dwi Wahyuni*, Ryan Reza Falupi**
Program Studi Pendidikan Ners Fakultas Keperawatan Universitas Airlangga
Kampus C Mulyorejo Surabaya 60115, Telp. (031) 5913752, 5913754, Fax. (031)5913257
E-mail: ayluphi@gmail.com
ABSTRAK
Sectio caesarea (SC) adalah prosedur pembedahan dimana janin dikeluarkan dari
rahim melalui pembedahan di dinding abdomen. Masalah yang paling mendominasi pada
post SC adalah nyeri. Guided and music (GIM) merupakan tindakan mandiri keperawatan
yang mengombinasikan bimbingan imajinasi dan musik. GIM dapat meningkatkan
mekanisme koping dan pelepasan endorfin untuk mengurangi nyeri. Tujuan penelitian
untuk mengetahui pengaruh GIM terhadap intensitas nyeri pada pasien post SC berbasis
adaptasi Roy di RSUP NTB. Desain penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah
quasy experiment dengan non random control group pre test post. Pengambilan sampel
dengan menggunakan purposive sampling. Jumlah sampel sebesar 30 responden (15
responden kelompok kontrol dan 15 responden kelompok perlakuan). Variabel independen
adalah GIM dan variabel dependen adalah intensitas nyeri. Intensitas nyeri diukur dengan
Numeric Rating Scale (NRS). Hasil pengukuran intensitas nyeri dianalisis menggunakan
uji t dependen dan uji t independen. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ada pengaruh
GIM terhadap intensitas nyeri pada pasien post SC berbasis adaptasi Roy di RSUP NTB.
Hasil uji t dependen pada kelompok kontrol adalah p = 0,000 (p < 0,05), sedangkan pada
kelompok perlakuan p = 0,000 (p < 0,05). Hasil uji t independen p = 0,027 (p < 0,05).
GIM terbukti dapat menurunkan intensitas nyeri pasien post SC di RSUP NTB. GIM
direkomendasikan sebagai intervensi mandiri keperawatan untuk
mengurangi nyeri post SC.
Kata kunci: Sectio caesarea, guided imagery and music (GIM), intensitas nyeri
ABSTRACT
Sectio Caesarea (SC) is a surgical procedure in which a fetus is delivered from the
uterus through an abdominal wall incision. The most dominating issue in post-SC is a
pain. Guided imagery and music (GIM) is one of the nursing intervention which combine
guided imagery and music. GIM can improve coping mechanisms and the release of
endorphins to reduce pain. The purpose of this study was to determine the effect of GIM on
pain intensity of sectio caesarea patient based on Roys adaptation model in West Nusa
Tenggara Public Hospital. The design used in this study was quasy experiment with non
random control group pre test post. Recruting sample by purposive sampling. There were
30 samples (15 respondents as the control group and 15 respondents as the treatment
group). Independent variable was GIM. Dependent variable was pain intensity. The pain
was measured by Numeric Rating Scale (NRS). The datas was analyzed by dependent t test
and independent t test. The result of this study showed that there was a significant effect of
GIM on pain intensity of post-SC patient based on Roys adaptation model in West Nusa

Tenggara Public Hospital. In the control group dependent t test p = 0,000 (p < 0,05),
while in the treatment group p = 0,000 (p < 0,05). Independent t test p = 0,027 (p < 0,05).
GIM has been shown to reduce pain intensity of post-SC in RSUP NTB. GIM is
recommended for the independent nursing intervention to reduce post-SC pain.
Keywords: Sectio caesarea, guided imagery and music (GIM), pain intensity
*Dosen Fakultas Keperawatan Universitas Airlangga
**Mahasiswa Fakultas Keperawatan Universitas Airlangga
________________________________________________________________________
PENDAHULUAN
Sectio caesarea (SC) adalah
tindakan pembedahan untuk melahirkan
janin melalui insisi di dinding abdomen
dan dinding uterus (Leveno, et al. 2009).
Simkin, Walley, & Keppler (2007)
menjelaskan
bahwa
tindakan
SC
merupakan tindakan yang cepat dan
mudah, akan tetapi tindakan SC juga
memiliki beberapa bahaya komplikasi,
seperti infeksi luka, tromboflebitis,
perdarahan dan nyeri pasca pembedahan.
Nyeri merupakan masalah yang paling
mendominasi pada pasca pembedahan SC
(Bobak, et al. 2004). Nyeri dapat
mengakibatkan berbagai masalah pada
ibu maupun bayi. Dampak nyeri terhadap
ibu, yaitu Activity Daily Living (ADL)
dan mobilisasi ibu menjadi terbatas
karena adanya peningkatan intensitas
nyeri apabila ibu bergerak (Purwandari
2009 dalam Kristiani & Latifah 2013,
p.2). Dampak nyeri terhadap bayi yaitu
dalam pemberian ASI, dan kurangnya
perawatan bayi yang dilakukan oleh
ibunya sehingga ASI sebagai makanan
terbaik dan mempunyai banyak manfaat
bagi bayi tidak dapat diberikan secara
optimal (Indriati 2009).
Cara yang paling efektif untuk
mengurangi
nyeri
adalah
dengan
menggabungkan intervensi farmakologis
dengan nonfarmakologis. Intervensi
farmakologis
seperti
pemberian
analgesik. Intervensi nonfarmakologis
seperti masase, terapi es dan panas,
teknik relaksasi, distraksi, hipnosis,
guided imagery and music (GIM)
(Smeltzer, et al. 2010). Peneliti memlilih

GIM
sebagai
intervensi
untuk
menurunkan nyeri pasien post SC karena
menurut Bruscia & Grocke (2002);
Butterton
(2008);
Domenech
&
Montserrat (2008); Kwekkeboom et al.
(2010) selama ini GIM merupakan
intervensi
yang
digunakan
untuk
mengurangi nyeri. Berdasarkan studi
pendahuluan pada tanggal 26 September
2013 di ruang Melati RSUP NTB,
didapatkan data pelaksanaan manajemen
nyeri di lapangan masih didominasi oleh
pemberian
analgesik.
Selain
penatalaksanaan nyeri farmakologis
melalui
pemberian
analgesik,
penatalaksanaan nyeri nonfarmakologis
relaksasi nafas dalam juga diajarkan
kepada pasien, akan tetapi GIM belum
pernah diterapkan dalam penatalaksanaan
nyeri. Sampai saat ini belum ada
penelitian yang mengkaji pengaruh GIM
terhadap penurunan intensitas nyeri pada
pasien post SC.
Data World Health Organitation
(WHO) (2013) menunjukkan
angka
kelahiran dengan sectio caesarea pada
tahun 2005-2010 di Cina mencapai 27%
dan Colombia 47%. Di Indonesia angka
kelahiran dengan sectio caesarea hampir
selalu mengalami peningkatan setiap
tahunnya, begitu pula di provinsi Nusa
Tenggara Barat dan RSUP NTB.

Tabel 1 Prevalensi
kejadian
sectio
caesarea di Indonesia dan
provinsi NTB tahun 1997-2012
Tahun
Negara/
Provinsi

1997

Indonesia
NTB

4,3%
2,3%

20022003
4,1%
0,5%

2007

2012

6,8% 12,3%
6,7% 9,7%

Sumber: BPS
Indonesia,
BKKBN,
Kemenkes & ICF International
(2013); BPS Indonesia & Macro
International
(2008);
BPS
Indonesia & ORC Macro (2003);
BPS Indonesia, Kemenkes,
BKKBN & Macro International
Inc (1998)
Tabel 2 Prevalensi
kejadian
sectio
caesarea di RSUP NTB 20102013
Tahun
Instansi
RSUP
NTB

2010

2011

2012

27,99% 32,37% 36,86%

2013
(JanuariNovember)
40,02%

Sumber: Rekapitulasi laporan kelahiran


RSUP NTB (2010, 2011, 2012,
2013)
Marcus et al. (2011) menyebutkan
bahwa rata-rata nyeri pasien post SC di
105 rumah sakit di Jerman adalah nyeri
sedang. Berdasarkan hasil penelitian yang
dilakukan Pratiwi (2010) pada pasien
post SC di Rumah Sakit Al Islam
Bandung, nyeri pasien post SC adalah
43,33% dengan nyeri sedang dan 56,67%
dengan nyeri berat. Berdasarkan studi
pendahuluan pada tanggal 26 September
2013 di ruang Melati RSUP NTB,
mayoritas nyeri yang dirasakan pasien
post SC adalah nyeri berat. Data ini
didapatkan dari jenis analgesik yang
diberikan kepada pasien.
Nyeri pasien post SC disebabkan
oleh terjadinya kerusakan kontinuitas
jaringan karena pembedahan (Walley, et
al. 2008). Kerusakan kontinuitas jaringan
menyebabkan pelepasan mediator kimia
yang kemudian mengaktivasi nosiseptor

dan memulai transmisi nosiseptif sampai


terjadinya nyeri (Urden, et al. 2009).
Nyeri akan mengakibatkan mobilisasi
pasien menjadi terbatas (Purwandari 2009
dalam Kristiani & Latifah 2013, p.2).
Dampak tidak melakukan mobilisasi dini
yaitu terjadinya involusi uterus yang
tidak baik sehingga menghambat
pengeluaran lochea dan meningkatkan
resiko terjadinya perdarahan abnormal
(Kasdu 2003 dalam SLI, Ratnawati &
Berlian 2012, p.2).
Perawat bertanggung jawab
untuk mengurangi nyeri pasien (Asmadi
2008). Intervensi keperawatan yang bisa
dilakukan salah satunya adalah dengan
GIM. GIM mengombinasikan intervensi
bimbingan imajinasi dan terapi musik.
GIM dilakukan dengan memfokuskan
imajinasi pasien. Musik digunakan untuk
memperkuat relaksasi (Beebe & Wyatt
2009). Keadaan relaksasi membuat tubuh
lebih berespons terhadap bayangan dan
sugesti yang diberikan sehingga pasien
tidak berfokus pada nyeri (Butterton
2008).
Hasil
penelitian
Rahayu,
Nursiswati & Sriati (2010) menyebutkan
bahwa ada pengaruh yang signifikan
guided imagery terhadap penurunan
tingkat nyeri pada pasien cedera kepala
ringan. Hasil penelitian Purwanto (2009)
menyebutkan bahwa pemberian terapi
musik dapat menurunkan intensitas nyeri
pada pasien post operasi di ruang bedah
RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta.
Pada penelitian ini, peneliti akan
menerapkan teori keperawatan model
adaptasi Roy. Roy mendefinisikan tujuan
keperawatan
adalah
meningkatkan
respons adaptasi dengan memanipulasi
stimulus fokal, kontekstual dan atau
residual.
Perawat
juga
harus
mempersiapkan
individu
untuk
mengantisipasi
perubahan
melalui
penguatan mekanisme kognator dan
regulator
(Nursalam
2011).
GIM
merupakan salah satu bentuk dari
intervensi keperawatan yang dapat
diberikan
untuk
meningkatkan
mekanisme koping individu melalui

mekanisme kognator dan regulator untuk


mengurangi nyeri (Bruscia & Grocke
2002; Butterton 2008; Domenech &
Montserrat 2008).
BAHAN DAN METODE
Desain penelitian yang digunakan
dalam penelitian ini adalah quasy
experiment dengan rancangan non
random control group pre test post. Pada
penelitian ini responden terdiri dari 2
kelompok, yaitu kelompok perlakuan dan
kelompok kontrol. Kelompok perlakuan
dalam penelitian ini adalah kelompok
responden yang diberi analgesik non
opioid sesuai standar prosedur ruangan
ditambah perlakuan dari peneliti, yaitu
guided imgaery and music (GIM),
sedangkan kelompok kontrol adalah
kelompok responden yang diberi
analgesik non opioid sesuai standar
prosedur ruangan tanpa perlakuan dari
peneliti.
Populasi dalam penelitian ini
adalah semua pasien post SC yang
mengalami nyeri yang dirawat di RSUP
NTB pada bulan Agustus-Oktober 2013
dengan rata-rata 36 orang perbulan.
Sampel dalam penelitian ini
adalah pasien post SC yang mengalami
nyeri yang dirawat di RSUP NTB pada
tanggal 21 Desember 2013 s.d 4 Januari
2014 yang memenuhi kriteria inklusi dan
eksklusi, yaitu sebanyak 30 responden
yang terbagi menjadi 2 kelompok, 15
responden kelompok kontrol dan 15
responden kelompok perlakuan. Teknik
pengambilan sampel dengan purposive
sampling.
Kriteria inklusi dalam penelitian
ini adalah pasien dengan 7 jam post SC,
berusia 18-40 tahun, pasien yang baru
pertama kali menjalani operasi SC, pasien
post SC dengan anestesi spinal, dan
pasien post SC yang bisa berkomunikasi
dalam bahasa Indonesia. Kriteria eksklusi
dalam penelitian ini adalah pasien post
SC yang memiliki keterbatasan fisik
maupun mental yang tidak dapat
berkomunikasi dengan baik (tuna rungu,

tuna grahita), pasien post SC dengan


halusinasi atau dengan gangguan
kejiwaan, pasien post SC dengan
kegawatdaruratan, pasien post SC dengan
komplikasi, dan pasien post SC dengan
penurunan kesadaran.
Instrumen yang digunakan dalam
penelitian ini adalah standar operasional
prosedur (SOP) guided imagery and
music (GIM), lembar observasi data
demografi responden, dan lembar
pengukuran nyeri Numeric Rating Scale
(NRS). SOP GIM berisi pengertian,
indikasi, kontraindikasi, dan langkahlangkah pelaksanaan GIM. Lembar
observasi data demografi responden
meliputi usia dan tingkat pendidikan.
Alat yang digunakan dalam
penelitian ini adalah 1 buah alat pemutar
musik
berupa
handphone
yang
mendukung layanan mp3, dan 1 buah
earphone dengan bantalan yang bisa
diganti.
Prosedur pelaksanaan penelitian ini
yaitu Peneliti melakukan pengukuran
intensitas nyeri sebelum pelaksanaan
penelitian pada kedua kelompok 7 jam
setelah operasi. Peneliti memberikan
rekaman guided imagery and music
(GIM) sesi pertama dengan earphone
yang disambungkan ke alat pemutar
musik berupa handphone peneliti.
Earphone yang digunakan dilapisi
bantalan
disposable
yang
hanya
digunakan 1 kali pada 1 orang responden.
Sesi berikutnya adalah hari kedua, baik
pada kelompok perlakuan maupun
kelompok kontrol. Waktu pelaksanaan
penelitian berikutnya dilakukan pada jam
yang sama dengan waktu dilakukannya
penelitian pada sesi pertama.
Analisis dalam penelitian ini ada
dua yaitu univariat dan bivariat. Variabel
yang dianalisis dalam analisis univariat
adalah intensitas nyeri pasien post SC
sebelum dan sesudah mendapat intervensi
pada kelompok perlakuan dan kelompok
kontrol, dan karakteristik responden.
Analisis bivariat dalam penelitian ini
dilakukan untuk menganalisis perubahan

intensitas nyeri pada kelompok perlakuan


dan kelompok kontrol.
HASIL
Tabel 3 Distribusi
responden
berdasarkan usia di RSUP NTB,
21 Desember 2013 s.d. 4 Januari
2014
No
1
2

Usia
(Tahun)
18-35
36-45
Total

Kelompok
kontrol

%
14 93,3
1
6,7
15
100

Kelompok
perlakuan

%
13
86,7
2
13,3
15
100

Berdasarkan tabel 3 di atas dapat


diketahui bahwa mayoritas responden
pada kelompok kontrol berada pada
rentang umur 18-35 tahun, yaitu
sebanyak 14 responden (93,3%). Begitu
pula pada kelompok perlakuan sebagian
besar responden berada pada rentang
umur 18-35 tahun, yaitu sebanyak 13
responden (86,7%
Tabel 4 Distribusi
responden
berdasarkan tingkat pendidikan
di RSUP NTB, 21 Desember
2013 s.d. 4 Januari 2014
No
1
2
3
4

Tingkat
pendidikan
SD
SMP
SMA
Perguruan
Tinggi
Total

Kelompok
kontrol

%
2
13,3
5
33,3
6
40
2
13,3

Kelompok
perlakuan

%
2
13,3
4
26,7
5
33,3
4
26,7

15

15

100

100

Berdasarkan tabel 4 di atas dapat


diketahui bahwa tingkat pendidikan
responden pada kelompok kontrol
sebagian besar dengan tingkat pendidikan
SMA 6 responden (40%). Begitu pula
responden pada kelompok kontrol
sebagian besar dengan tingkat pendidikan
SMA, yaitu sebanyak 5 responden
(33,3%).

Tabel 5 Hasil pengukuran intensitas


nyeri sebelum dan setelah
diberikan
intervensi
pada
kelompok kontrol dan kelompok
perlakuan di RSUP NTB, 21
Desember 2013 s.d. 4 Januari
2014
No

Intensitas nyeri
Kelompok kontrol Kelompok perlakuan
Post
test
5

Pre
test
8

Pre
test
9

Pos
test
5

10

10

10

10

11

12

13

10

14

15
10
6
4
9
6
3
4,4
Mean 8,53 5,13
3,4 8,40
4
4
Median 9
5
3
9
4
5
Mode
9
5
3
9
3
Min-max 6-10 3-7
6-10
2-6
Uji t
p = 0,000
p = 0,000
dependen
Uji t
p = 0,027
independen

Berdasarkan tabel 5 di atas dapat


diketahui
bahwa responden pada
kelompok kontrol rata-rata mengalami
penurunan intensitas nyeri sebesar 3, dan
uji t dependen didapatkan hasil p = 0,000
(p < 0,05), yang artinya terdapat
perubahan
intensitas
nyeri
pada
kelompok kontrol antara sebelum dan
setelah pemberian analgesik opioid.
Sedangkan responden pada kelompok
perlakuan rata-rata mengalami penurunan
intensitas nyeri sebesar 4, dan uji t
dependen didapatkan hasil p = 0,000 (p <

0,05), yang artinya ada pengaruh guided


imagery and music (GIM) terhadap
intensitas nyeri pada pasien post SC
berbasis Roy di RSUP NTB. Hasil uji t
independen diperoleh nilai p = 0,027 (p <
0,05). Interpretasi dari hasil uji ini adalah
ada perbedaan yang signifikan rata-rata
intensitas nyeri responden setelah
diberikan
GIM
antara
kelompok
perlakuan dengan kelompok kontrol di
ruang rawat inap RSUP NTB.
PEMBAHASAN
1. Intensitas nyeri pasien post SC pada
kelompok kontrol dan kelompok
perlakuan sebelum diberikan GIM
Berdasarkan hasil
penelitian
didapatkan responden pada kelompok
kontrol maupun perlakuan saat pre test
mempunyai rentang skor intensitas nyeri
6-10. Setiap responden mengalami nyeri
dengan intensitas yang berbeda-beda.
Kozier et al. (2010) yang menjelaskan
bahwa nyeri merupakan sensasi yang
sangat tidak menyenangkan dan sangat
individual yang tidak dapat dibagi dengan
orang lain. Dikatakan bersifat individual
karena respons individu terhadap sensasi
nyeri beragam dan tidak bisa disamakan
dengan yang lainnya. Potter & Perry
(2005) juga menjelaskan bahwa tidak ada
individu yang mengalami nyeri yang
sama dan tidak ada dua kejadian nyeri
yang sama menghasilkan respons atau
perasaan yang identik pada seorang
individu.
Berdasarkan hasil penelitian juga
didapatkan kelompok perlakuan maupun
kelompok kontrol sebagian besar
mengalami nyeri dengan intensitas 9.
Hasil penelitian ini sesuai dengan
penelitian yang dilakukan Pratiwi (2012)
pada pasien post SC, sebagian besar nyeri
yang dirasakan pasien post SC adalah
dengan kategori berat. Pada penelitian ini
juga terdapat 1 responden pada kelompok
perlakuan dan kelompok kontrol yang
mengalami nyeri dengan intensitas 6.
Banyak faktor yang mempengaruhi
intensitas nyeri, salah satunya adalah

usia. Pada hasil penelitian responden


dengan intensitas nyeri 6 berada pada
rentang usia 36-45 tahun. Potter & Perry
(2005) menjelaskan bahwa terdapat
hubungan antara nyeri dengan seiring
bertambahnya usia, yaitu pada tingkat
perkembangan. Pada orang dewasa lebih
bisa mengungkapkan nyeri bila timbul
rasa nyeri, sedangkan pada orang yang
sudah lanjut usia cenderung memendam
rasa nyeri karena menganggap nyeri
adalah alamiah yang harus dijalani dan
takut kalau mengalami nyeri bila
diperiksakan akan diketahui terjadi
penyakit berat.
Semakin cukup umur seseorang
akan lebih matang dalam berfikir dan
bekerja. Dari kepercayaan masyarakat
seseorang yang lebih dewasa lebih
dipercaya daripada yang lebih muda, hal
ini
karena
berhubungan
dengan
pengalaman dan kematangan jiwa. Pada
usia dewasa madya lebih mempunyai
pengalaman daripada dewasa awal
sehingga dewasa madya lebih cepat
beradaptasi dengan lingkungan yang
baru, dengan mudahnya beradaptasi
dengan lingkungan akan mempengaruhi
respons
pasien
terhadap
tingkat
kecemasan, dimana kecemasan ini
berbanding lurus dengan intensitas nyeri.
Berdasarkan hasil penelitian ini
juga dapat dilihat tingkat pendidikan
pasien post SC pada kelompok kontrol
maupun perlakuan paling banyak adalah
dengan tingkat pendidikan SMA, yaitu 6
responden pada kelompok kontrol (40%)
dan 5 responden (33,3%) pada kelompok
perlakuan. Penelitian ini hanya melihat
karakteristik pendidikan responden tanpa
melihat
hubungan
antara
tingkat
pendidikan dengan intensitas nyeri
responden. Namun berdasarkan penelitian
yang dilakukan oleh Faucett, et. al.
(1994) dalam Kristiani & Latifah (2013,
p.66) pada 543 pasien pasca bedah
menunjukkan bahwa tidak ada hubungan
yang signifikan antara intensitas nyeri
dan tingkat pendidikan. Penelitian lain
yang dilakukan Harsono (2009) pada 85

pasien bedah sectio caesarea juga


menunjukkan hasil yang sama yaitu tidak
ada hubungan yang signifikan antara
intensitas nyeri dan tingkat pendidikan.
Menurut Harsono (2009), tingkat
pendidikan merupakan salah satu faktor
yang
mendukung
peningkatan
pengetahuan yang berkaitan dengan daya
serap informasi. Orang yang memiliki
pendidikan tinggi diasumsikan lebih
mudah menyerap informasi. Pengetahuan
tentang pengelolaan nyeri dapat diperoleh
dari pengalaman pasien sendiri atau dari
sumber lain. Sehingga tingkat pendidikan
bukan merupakan variabel yang dapat
mempengaruhi persepsi nyeri.
2.

Intensitas nyeri pasien post sectio


caesarea pada kelompok kontrol dan
kelompok perlakuan
setelah
diberikan GIM
Hasil pengukuran intensitas nyeri
post test menunjukkan bahwa terjadi
penurunan
intensitas
nyeri
pada
kelompok kontrol, yaitu dengan rata-rata
penurunan sebesar 3,4. Penurunan
intensitas nyeri pada kelompok kontrol
disebabkan karena pemberian analgesik
jenis non opioid sesuai dengan standar
prosedur yang sudah ditetapkan RSUP
NTB. Hasil penelitian ini sesuai dengan
hasil penelitian Novita (2012) di RSUD
Dr. H. Abdul Moeloek Provinsi Lampung
yang
menyatakan
ada
perbedaan
intensitas nyeri antara sebelum dan
sesudah pemberian analgesik jenis non
opioid (p = 0,000). Potter & Perry (2005)
menjelaskan analgesik non opioid bekerja
menghambat sintesis prostaglandin dan
menghambat respons selular selama fase
inflamasi.
Nyeri terbagi menjadi 4 fase,
yaitu fase transduksi, transmisi, persepsi
dan modulasi. Fase transduksi yaitu fase
dimana reseptor nyeri dilepaskan seperti
prostaglandin. Analgesik non opioid
bekerja pada fase ini dengan menghambat
prostaglandin sehingga neurotransmiter
yang menstimulasi nosiseptor akan
berkurang,
dengan
berkurangnya

stimulasi nosiseptor maka impuls nyeri


yang dihantarkan juga akan berkurang,
dan hal ini pada akhirnya mengurangi
persepsi nyeri.
Pada hasil penelitian juga dapat
dilihat bahwa penurunan skor intensitas
nyeri juga terjadi pada kelompok
perlakuan setelah diberikan guided
imagery and music (GIM) berbasis
adaptasi Roy, yaitu dengan rata-rata
penurunan sebesar 4. Roy menjelaskan
bahwa
tujuan
perawat
adalah
meningkatkan respons adaptasi dengan
memanipulasi
stimulus
fokal,
kontekstual, residual, dan meningkatkan
mekanisme koping melalui mekanisme
relulator dan kognator (Nursalam 2011).
Potter & Perry (2005) mengatakan bahwa
perawat dapat meningkatkan mekanisme
koping seseorang dengan cara distraksi
atau guided imagery. Branon, Feist &
Updegraff (2013) menyatakan bahwa
guided imagery merupakan intervensi
yang dapat mengurangi nyeri, baik nyeri
akut maupun nyeri kronis. Hal ini juga
didukung oleh penelitian yang dilakukan
Rahayu, Nursiswati & Sriati (2010) pada
pasien dengan cedera kepala ringan.
Penelitiannya menyebutkan bahwa ada
pengaruh yang signifikan guided imagery
terhadap penurunan tingkat nyeri kepala
pada pasien cedera kepala ringan.
Guided imagery and music (GIM)
pada subsistem regulator maupun
kognator merupakan komponen input
yang berasal dari luar individu. Pada
subsistem regulator GIM mempengaruhi
proses internal di dalam tubuh dengan
menstimulasi sistem kontrol desendens
untuk memproduksi endorfin. Endorfin
yang dihasilkan merupakan komponen
output dalam subsistem regulator. Fungsi
dari endorfin yaitu menghambat transmisi
substansi
P
yang
merupakan
neurotransmiter yang mempengaruhi
sensitifitas
terhadap
nyeri.
Pada
subsistem kognator GIM membuat emosi
pasien
menjadi
positif
dengan
membayangkan
hal-hal
yang
menyenangkan, hal ini akan membuat

pasien post SC menjadi tenang dan rileks


dan tidak berfokus terhadap nyeri.
Penurunan intensitas nyeri post
test pada kelompok perlakuan juga
dipengaruhi oleh tingkat pendidikan
responden. Penurunan nyeri terbanyak
pada
responden
dengan
tingkat
pendidikan Perguruan Tinggi dengan
penurunan sebesar 6 sebanyak 1
responden. Sedangkan, penurunan nyeri
terendah terjadi pada responden dengan
tingkat pendidikan SD dan SMP sebesar
3 masing-masing sebanyak 1 orang
responden. Menurut Kristiani & Latifah
(2013) tingkat pendidikan berpengaruh
dalam memberikan respons terhadap
segala sesuatu yang datang dari luar,
dimana pada seseorang dengan tingkat
pendidikan yang lebih tinggi akan
memberikan respons lebih rasional
daripada yang berpendidikan lebih
rendah. Hal ini selanjutnya menunjukkan
kesadaran dan usaha pencapaian atau
peningkatan derajat kesehatan yang lebih
baik. Tingkat pengetahuan yang cukup
membuat pasien dapat menerima dan
mampu memahami penjelasan yang
diberikan peneliti pada saat akan
diberikan
GIM
sehingga
mampu
melakukan GIM sesuai dengan yang
diinstruksikan.
Pada tabel 5 dapat dilihat bahwa
terdapat 2 orang responden pada
kelompok kontrol yang mengalami
penurunan intensitas nyeri sebesar 5 dan
2 orang responden mengalami penurnan
sebesar 4. Pada kelompok perlakuan juga
terdapat 1 orang responden yang
mengalami penurunan intensitas nyeri
sebesar 4. Banyak faktor yang
mempengaruhi
nyeri
diantaranaya
menurut Kozier et. al (2010) adalah gaya
koping, pengalaman masa lalu, usia,
lingkungan dan individu pendukung.
Di RSUP NTB ada kebijakan 1
orang pasien maksimal ditunggu oleh 1
orang anggota keluarga, akan tetapi pada
kenyataannya ada beberapa pasien yang
ditunggu oleh 2 atau 3 orang anggota
keluarganya. Fasilitas ruangan tempat

pasien post SC dirawat juga berbedabeda, ruang rawat inap kelas II memiliki
sampiran di setiap tempat tidur dan
maksimal di tempati oleh 4 orang pasien,
sedangkan di ruang kelas III tidak
memiliki sampiran dan maksimal di
tempati oleh 6 orang responden. Aktivitas
dan kebisingan antara ruang rawat inap
kelas II dan III tentu berbeda, hal ini
dapat mempengaruhi terhadap penurunan
persepsi nyeri. Pasien post SC di RSUP
NTB juga diajarkan relaksasi nafas
dalam.
Usia berkaitan dengan dengan
pengalaman dan kematangan jiwa. Pada
usia yang lebih dewasa akan lebih
mempunyai pengalaman daripada yang
lebih muda sehingga lebih cepat
beradaptasi dengan lingkungan yang
baru, dengan mudahnya beradaptasi
dengan lingkungan akan mempengaruhi
respons
pasien
terhadap
tingkat
kecemasan, dimana kecemasan ini
berbanding lurus dengan intensitas nyeri.
Tingkat pendidikan juga berpengaruh
dalam proses penyerapan informasi.
Tingkat pengetahuan yang cukup
membuat pasien dapat menerima dan
mampu memahami penjelasan yang
diberikan
oleh
perawat
dalam
penatalaksanaan nyeri, seperti penjelasan
mengenai teknik relaksasi yang diberikan
oleh perawat.
Berdasarkan pembahasan di atas
dapat diketahui bahwa GIM memiliki
pengaruh dalam menurunkan nyeri pasien
post SC. Penurunan nyeri terjadi karena
GIM memberikan efek relaksasi pada
pasien. Efek relaksasi menyebabkan
koping pasien menjadi positif. Kondisi
tersebut dapat menyebabkan pelepasan
endorfin yang berperan dalam penurunan
nyeri.
Salah
satu
faktor
yang
mempengaruhi penurunan intensitas nyeri
juga adalah tingkat pendidikan. Semakin
tinggi pendidikan seseorang maka
kemampuan untuk menerima informasi
akan semakin tinggi. Gaya koping,
lingkungan dan individu pendukung juga
dapat mempengaruhi persepsi nyeri.

3.

Perbedaan intensitas nyeri pasien


post SC pada kelompok kontrol
dengan kelompok perlakuan setelah
diberikan GIM berbasis adaptasi Roy
Berdasarkan hasil penelitian dapat
diketahui bahwa rata-rata intensitas pada
kelompok kontrol saat pre test sebesar
8,53, pada saat post test turun menjadi
5,13. Hasil uji t dependen pada kelompok
kontrol p = 0,000 (p < 0,05), yang artinya
ada penurunan intensitas nyeri yang
signifikan pada kelompok kontrol setelah
diberikan analgesik non opioid. Rata-rata
intensitas pada kelompok perlakuan pre
test sebesar 8,4, pada saat post test turun
menjadi 4. Hasil uji t dependen pada
kelompok perlakuan p = 0,000 (p < 0,05),
yang artinya ada penurunan intensitas
nyeri yang signifikan pada kelompok
perlakuan setelah diberikan GIM. Hasil
uji t independen didapat p = 0,027 (p <
0,05), yang artinya bahwa ada perbedaan
yang signifikan rata-rata intensitas nyeri
responden setelah intervensi GIM antara
kelompok perlakuan dengan kelompok
kontrol di RSUP NTB tahun 2013.
Penurunan intensitas nyeri tampak
lebih besar pada kelompok perlakuan
dibandingkan dengan kelompok kontrol.
Hal ini disebabkan karena pada kelompok
perlakuan selain diberikan analgesik non
opioid juga diberikan guided imagery
and music (GIM) oleh peneliti. Hal yang
sama dikemukakan oleh Smeltzer et al.
(2010),
menggabungkan
intervensi
farmakologis dengan nonfarmakologis
merupakan cara yang paling tepat untuk
menurunkan
nyeri.
Intervensi
nonfarmakologis dalam penelitian ini
adalah guided imagery and music (GIM).
Branon, Feist & Updegraff (2013)
menyatakan bahwa guided imagery
merupakan intervensi yang dapat
mengurangi nyeri akut dan kronis.
Guided imagery merangsang otak melalui
visualisasi yang telah diberikan dengan
memberikan efek langsung pada sistem
endokrin dan sistem saraf. Penelitian
dengan Magnetic Resonance Imaging

(MRI) menunjukkan bahwa ketika


seseorang memvisualisasikan sesuatu,
mereka mengaktifkan lobus oksipital
dengan cara yang sama ketika mereka
melihat hal atau peristiwa yang benarbenar terjadi. Demikian pula, lobus
temporal yang aktif ketika musik atau
imajinasi dibayangkan, dan area motorik
atau korteks promotor diaktifkan ketika
membayangkan gerakan. Dalam aktivasi
ini kortikal mengirim pesan saraf dan
neurokimia ke sistem kontrol desendens
mengaktifkan
atau
menonaktifkan
respons stres (Rakel 2012).
GIM merangsang sistem kontrol
desendens dan mempengaruhi produksi
endorfin (Butterton 2008). Seperti
diketahui bahwa endorfin memiliki efek
relaksasi pada tubuh. Menurut Guyton &
Hall (2008) endorfin juga sebagai ejektor
dari rasa rileks dan ketenangan yang
timbul. Zat tersebut dapat menimbulkan
efek
analgesia
yang
akhirnya
mengeliminasi neurotransmiter rasa nyeri
pada pusat persepsi sehingga efek yang
bisa muncul adalah nyeri berkurang.
Dalam penelitian ini GIM
diberikan selama 25 menit dan dilakukan
sebanyak 2 sesi, pada hari pertama
sebanyak 1 sesi dan hari kedua sebanyak
1 sesi. Hal ini sesuai dengan pendapat
Rakel (2012) mengenai waktu yang
optimal dalam terapi musik 25-90 menit.
Menurut Grocke (2010) GIM dapat
dilakukan sampai dengan 10 sesi.
Sutrimo
(2013)
melakukan
GIM
sebanyak 2 sesi dan hasil penelitiannya
menyatakan GIM secara signifikan
menurunkan kecemasan pasien post SC.
Penurunan nyeri dengan terapi
musik dikombinasikan dengan jaw
relaxation juga telah diteliti dengan
desain Randomized Control Trial (RCT)
oleh Good, Stanton-Hicks, Grass,
Anderson, Choi, Schoolmeesters dan
Salman (1999) dalam Novita (2012,
p.90). Penilaian dilakukan selama 2 hari
pada periode ambulasi dan istirahat.
Terapi musik diberikan selama 15 menit
dalam setiap sesinya. Hasil penelitian

menunjukkan perbedaan yang tidak


terlalu signifikan terhadap penurunan
nyeri pada hari pertama post operasi pada
semua kelompok intervensi maupun
kontrol. Perbedaan yang signifikan
tampak pada hari kedua pada kelompok
intervensi terapi musik dikombinasikan
dengan jaw relaxation pada saat ambulasi
(p = 0,000). Sebagai indikator pada
penelitian ini juga dilihat denyut nadi,
tekanan darah sistolik, dan penggunaan
analgesik. Hasilnya adalah kelompok
perlakuan menunjukkan penurunan nyeri
yang
lebih
rendah
dibandingkan
kelompok kontrol. Kelompok perlakuan
juga menunjukkan hasil denyut nadi dan
tekanan darah sistolik yang menurun,
serta konsumsi analgesik yang lebih
sedikit dibandingkan kelompok kontrol.
Berdasarkan hasil analisis di atas
dapat diketahui bahwa terdapat perbedaan
antara intensitas nyeri pasien post SC
yang diberikan GIM dengan yang tidak
diberikan GIM. Pemberian GIM selama
2 sesi dapat menurunkan intensitas nyeri
pada pasien post SC. GIM mempengaruhi
sistem kontrol desendens yang berfungsi
dalam pelepasan endorfin. Endorfin
merupakan sebuah substansi yang bekerja
untuk menghambat proses pengiriman
impuls nyeri ke sistem saraf pusat.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Kesimpulan dari penilitian ini
yaitu intensitas nyeri pasien post SC pada
kelompok kontrol maupun kelompok
perlakuan sebelum diberikan analgesik
non opioid dan GIM sebagian besar
dengan intensitas 9, intensitas nyeri
pasien post SC pada kelompok kontrol
setelah diberikan analgesik non opioid
sebagian besar dengan intensitas 5,
sedangkan pada kelompok perlakuan
setelah diberikan analgesik non opioid
dan GIM sebagian besar dengan
intensitas 3. Ada perbedaan intensitas
nyeri yang signifikan antara pasien post
SC pada kelompok kontrol setelah
diberikan analgesik non opioid dengan

kelompok perlakuan setelah diberikan


analgesik non opioid dan GIM. GIM
terbukti dapat menurunkan intensitas
nyeri pasien post SC di RSUP NTB.
Saran
Berdasarkan hasil penelitian dan
pembahasan,
maka
peneliti
merekomendasikan
GIM
sebagai
intervensi mandiri keperawatan untuk
mengurangi nyeri pasien post SC.
Penelitian selanjutnya disarankan untuk
menambah jumlah responden dan
memperhatikan variabel perancu seperti
gaya koping, ansietas, lingkungan dan
individu pendukung.
KEPUSTAKAAN
Beebe, LH & Wyatt, TH 2009, Guided
imagery & music using the
Bonny method to evoke emotion
& access the unconscious,
Journal of Psychosocial Nursing
Vol 47, hal. 29-33, diakses 17
September
2013,
http://eresources.pnri.go.id/index.php?
option=com_library&Itemid=53
&key=1>
Bobak, IM, Lowdermilk, DL, Jensen,
MD & Perry, SE, 2004, Buku
Ajar Keperawatan Maternitas,
Edisi 4, EGC, Jakarta
BPS Indonesia, BKKBN, Kemenkes, &
ICF
International
2013,
Indonesia Demographic and
Health Survey 2012, BPS,
BKKBN, Kemenkes, and ICF
International, Jakarta
BPS Indonesia, Kemenkes, BKKBN
Macro & Macro International Inc
1998, Indonesia Demographic
and Health Survey 1997, BPS &
Macro
International
Inc,
Calverton, Maryland

BPS Indonesia & Macro International.


2008. Indonesia Demographic
and Health Survey 2007, BPS

and
Macro
International,
Calverton, Maryland, USA.
BPS Indonesia & ORC Macro. 2003.
Indonesia Demographic and
Health Survey 2002-2003, BPS
and ORC Macro, Calverton,
Maryland, USA
Bruscia, KE & Grocke, DE 2002, Guided
Imagery and Music: The bonny
Methode and Beyond, Barcelona
Publishers, Lower Village
Butterton, M 2008, Listening to Music in
Psychotherapy,
1st
edition,
Radcliffe Medical Press Ltd,
Oxfordshire
Domenech, IG & Montserrat 2008, The
Effect of Music and Imagery to
Induce Relaxation and Reduce
Nausea and Emesis in Cancer
Patients
Undergoing
Chemotherapy Treatment, UMI
Dissertations Publishing, hal.
119, diakses 30 September
2013,
<http://books.google.co.id/book
s?
id=b5305jYNw6UC&printsec=f
rontcover&dq=The+Effect+of+
Music+and+Imagery+to+Induce
+Relaxation+and+Reduce+Nau
sea+and+Emesis+in+Cancer+Pa
tients+Undergoing+Chemothera
py+Treatment&hl=id&sa=X&ei
=wtV5UpPGFdOciQf3zYHgA
w&redir_esc=y#v=onepage&q=
The%20Effect%20of%20Music
%20and%20Imagery%20to
%20Induce%20Relaxation
%20and%20Reduce%20Nausea
%20and%20Emesis%20in
%20Cancer%20Patients
%20Undergoing
%20Chemotherapy
%20Treatment&f=false>

Imagery and Music, A World


Forum for Music Therapy, Vol.
10, No 3, diakses 17 November
2013,
<https://normt.uib.no/index.php/
voices/article/viewArticle/340/4
29>
Guyton, A. C. & Hall, J. E 2008.
Fisiologi Kedokteran, Edisi 11.
EGC, Jakarta
Harsono 2009. Faktor-faktor yang
Mempengaruhi Intensitas Nyeri
Pasca Bedah Abdomen dalam
Konteks Asuhan Keperawatan di
RSUD Ade Mohammad Djoen
Sintang. Thesis, Universitas
Indonesia
Indiarti, MT 2009, Panduan Lengkap
Kehamilan, Persalinan dan
Perawatan
Bayi,
Diglossia
Media, Yogyakarta
Kozier, B, Erb, G, Berman, A & Snyder,
SJ
2010,
Buku
Ajar
Fundamental
Keperawatan:
Konsep, Proses & Praktik, Edisi
7, Vol. 1, EGC, Jakarta
Kristiani, D & Latifah, L 2013, Pengaruh
Teknik Relaksasi Autogenik
Terhadap Skala Nyeri pada Ibu
Post Operasi Sectio Caesarea
(SC) di RSUD BANYUMAS,
skripsi, Universitas Jenderal
Soedirman
Kwekkeboom, KL, Cherwin, CH, Lee,
JW & Wanta, B 2010, MindBody Treatments for the PainFatigue-Sleep
Disturbance
Symptom Cluster in Persons
with Cancer, Journal of Pain
and Symptom management, Vol
39, diakses 17 September 2013,
<http://www.sciencedirect.com/s
cience/article/pii/S08853924090
07933>

Grocke, D 2010, An Overview Research


in the Bonny Methode of Guided

Leveno, KJ, Cunningham, FG, Gant, NF,


Alexander JM, Bloom, SL,
Casey BM, Dashe, JS, Shffield,

JS & Yost, NP 2009, Panduan


Ringkas Obstetri Williams, Edisi
21, EGC, Jakarta
Marcus, HE, Aduckathil S, Meibner W,
Kalkman C & Gerbershagen H
2011, Pain after Cesarean
section: A Significant Problem?,
F1000 Research Ltd, dilihat 3
Oktober
2013,
<http://f1000.com/posters/brows
e/summary/1089542>
Novita, D 2012, Pengaruh Terapi Musik
terhadap Nyeri Post Operasi
Open Reduction and Internal
Fixation (ORIF) di RSUD DR.
H. Abdul Moeloek Provinsi
Lampung, tesis, Universitas
Indonesia
Nursalam 2011, Konsep Dasar dan
Penerapan
Metodologi
Penelitian Ilmu Keperawatan:
Pedoman Skripsi, Tesis, dan
Instrumen
Penelitian
keperawatan, Salemba Medika,
Jakarta
Potter, PA & Perry, AG 2005, Buku Ajar
Fundamental
Keperawatan:
Konsep, Proses, Praktik. EGC,
Jakarta
Pratiwi 2012, Penurunan Intensitas
Nyeri Akibat Luka Post Sectio
Caesarea setelah dilakukan
Latihan
Teknik
Relaksasi
Pernapasan
Menggunakan
Aromaterapi Lavender di Rumah
Sakit
Al-Islam
Bandung,
Students e-Journal, Hal. 8,
diakses 3 Oktober 2013,
<http://journal.unpad.ac.id/ejour
nal/article/view/711/757>

Purwanto, E 2009, Efek Musik terhadap


Perubahan Intensitas Nyeri pada
Pasien Post Operasi di Ruang
Bedah RSUP Dr. Sardjito

Yogyakarta, Jurnal Saintika


Medika
Universitas
Muhamadiyah Malang, Vol. 5,
no. 11, hal. 123, diakses 20
September
2013
<http://ejournal.umm.ac.id/index
.php/sainmed/article/view/1039>
Rahayu, U, Nursiswati & Sriati, A 2010,
Pengaruh
Guide
Imagery
Relaxation Terhadap Nyeri
Kepala Pada Pasien Cedera
Kepala Ringan, Pustaka Ilmiah,
diakses 20 september 2013,
<http://pustaka.unpad.ac.id/archi
ves/76927/>
Rakel, D 2012, Integrative Medicine, 3rd
edition, Elsevier, Philadelphia
Urden, LD, Stacy, KM & Lough, ME
2009, Critical Care Nursing:
Diagnosis and Management, 6th
edition,
Mosby,
Maryland
Heights, Missouri
Walley, JS & Keppler, A 2008, Panduan
Praktis bagi Calon Ibu:
Kehamilan dan Persalinan, PT.
Bhuana Ilmu Populer, Jakarta
WHO 2013, World Health Statistic
2013,
WHO
Library
Cataloguing-in-Publication
Data, hal. 96-98, diakses 17
September
2013,
<http://www.who.int/gho/public
ations/world_health_statistics/en
/index.html>

Anda mungkin juga menyukai