Anda di halaman 1dari 194

104 ___ Pengaruh Distraksi Guided Imagery terhadap....

Sitti Maryam Bachtiar

PENGARUH DISTRAKSI GUIDED IMAGERY TERHADAP PENURUNAN INTENSITAS


NYERI DAN TEKANAN DARAH PADA PASIEN KANKER PAYUDARA DI RUMAH
SAKIT IBNU SINA MAKASSAR

EFFECT OF GUIDED IMAGERY DISTRACTION TO DECREASE PAIN INTENSITY AND


BLOOD PRESSURE IN BREAST CANCER PATIENTS AT IBNU SINA’S HOSPITAL
MAKASSAR

Oleh:
Sitti Maryam Bachtiar
Akper Muhammadiyah Makassar

ABSTRAK:
Kanker payudara merupakan masalah kesehatan di dunia dan termasuk salah
satu penyebab kematian utama pada wanita. Umumnya, keluhan utama penderita kanker
payudara stadium lanjut adalah nyeri dan salah satu teknik management nyeri yang
digunakan yaitu tekhnik distraksi imajinasi terbimbing (Guided Imagery). Penelitian ini
bertujuan mengetahui efektivitas tekhnik distraksi guided imagery terhadap penurunan
intensitas nyeri pada pasien kanker payudara di rumah sakit Ibnu Sina
Makassar.Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan desain quasi
eksperimental yangmenggunakan rancangan two group pre test dan post test with control
group. Data dianalisis menggunakan independen t-test dan uji Mann-Whitney.
Pengambilan sampel dilakukan secara total sampling,yaitu semua pasien kanker payudara
yang mengalami nyeri yang di rawat di ruang perawatan bedah dan ruang kemoterapi.
Subyek adalah (N=24). Instrumen yang digunakan adalah pengukuran nyeri Methode
Numeric Rating Scale (NRS) dan lembar observasi pelaksanaan guided imagery. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa metode guided imagery efektif terhadap penurunan
intensitas nyeri (p=0,000) dan tekanan darah (p=0,000). Uji korelasi Spearman
menunjukkan bahwa perubahan intensitas nyeri terhadap tekanan darah (p=0,006,
r=0,544) dan sebagai kesimpulan bahwa tekhnik guided imagery efektif terhadap pasien
kanker payudara yang mengalami nyeri sehingga diharapkan kepada pasien dapat
melaksanakan secara berkesinambungan dan mandiri.

Kata Kunci : guided imagery, kanker payudara, nyeri, tekanan darah.

Abstract :
Breast cancer is a health problem in the world and includes the leading cause of
death in women, which in the case of breast cancer. The main complaint is pain which can
be reduced by a pain management technique such as guided imagery techniques
distracton. Aim of the study was to determine the effectiveness of guided imagery
techniques to decrease pain intensity in patients with breast cancer at Ibnu Sina hospital in
Makassar. This research was a quantitative research with a quasi-experimental design of
two group pre-test and post-test with control group, analyzed with independent t-test and
Mann-Whitney test. Sample technique was total sampling of all breast cancer patients who
experience pain in ambulatory surgery in the treatment room and the chemo room. The
research subjects were (N=24). The research instrument for pain measurement methode
was Numeric Rating Scale (NRS) and the implementation of the observation sheet guided
105

imagery. The results indicated that the effectiveness of guided imagery for pain intensity
reduction was (p=0.000) and blood pressure (p=0.000). Spearman correlation test
indicated a change in pain intensity with changes of blood pressure (p=0.006, r=0.544) and
conclusion that guided imagery technique was effective for breast cancer patients with
pain, for which patients were expected to be able to implement a sustainable self-reliant.

Keywords : guided imagery, breast cancer, pain, blood pressure.

PENDAHULUAN Guided imagery merupakan terapi


modalitas non farmakologis, teknik kognitif
Kanker payudara merupakan yang mengajarkan individu untuk
penyakit tidak menular dan menjadi menggunakan imajinasi mereka sendiri
masalah kesehatan di dunia dilihat dari untuk mempengaruhi keadaan fisiologis
insiden, prevalensi dan tingkat dan psikologis. Yang dimulai dengan
morbiditasnya yang meningkat dan relaksasi, berkonsentrasi untuk membantu
termasuk penyebab kematian utama pada individu mengontrol proses berpikir mereka
wanita (Ban & Godellas, 2014). dan menghasilkan gambar hidup. Setelah
Estimasi persentase kasus baru santai, individu dibimbing untuk
dan kematian akibat kanker pada penduduk membayangkan gambar atau hal yang
di dunia berdasarkan data GLOBOKAN menyenangkan. Mereka diminta untuk
International Agency for Research on fokus pada rincian gambar menggunakan
Cancer (IARC) tahun 2012, bahwa kanker semua indera mereka tanpa adanya
payudara menempati presentasi kasus baru eksternal rangsangan (Elsegood &
tertinggi sebesar 43,3% dan presentase Wongpakaran, 2012).
kematian kanker payudara sebesar 12,9% Penelitian telah dilakukan oleh
(Pusdatin Kemenkes RI, 2015). Kwekkeboomet al (2008), untuk
mengetahui efektivitas guided imagery
Umumnya kasus kanker payudara terhadap nyeri pasien kanker dengan
didapatkan keluhan utama adalah nyeri memadukan penerapan progresif relaksasi
(Suyatno & Pasaribu, 2014). Klien yang otot (PMR). Hasilnya menunjukkan terjadi
mengalami nyeri kurang mampu perubahan data nyeri > 30% yaitu terjadi
berpartisipasi dalam aktivitas sehari-hari penurunan nyeri yang signifikan. Hal ini
dan nyeri yang berat dapat menghambat didukung juga penelitian yang dilakukan
gaya hidup seseorang apabila tidak segera oleh Bumpenchit et al (2007), yang meneliti
diatasi maka nyeri dapat menyebabkan pengaruh guided imagery terhadap nyeri
ketidakmampuan dan imobilisasi pada akut dan kronis pada pasien dengan kanker
individu untuk melaksanakan aktivitas payudara dengan hasil terjadi penurunan
perawatan diri. Nyeri juga dapat skala nyeri.
menyebabkan perubahan pada konsep diri Penerapan guided imagery
(Perry & Potter, 2005). terhadap nyeri pada pasien post operasi
Oleh karena itu peran perawat fraktur dengan hasil tingkat nyeri pada
sangat diperlukan untuk membantu klien pasien post operasi fraktur sebelum
dalam upaya mengatasi nyeri (Burhenn et diberikan guided imagery pada kelompok
al., 2014). Salah satu teknik management eksperimen seluruhnya 100% dalam
nyeri yang digunakan yaitu distraksi kategori nyeri sedang. Tingkat nyeri pada
imajinasi terbimbing (Guided Imagery) kelompok kontrol seluruhnya 100% dalam
(Williams & Hopper, 2007). kategori nyeri sedang. Tingkat nyeri pada
pasien post operasi fraktur setelah

Jurnal Mitrasehat, Volume VII Nomor 1, Mei 2017 ISSN 2089-2551


106 ___ Pengaruh Distraksi Guided Imagery terhadap.... Sitti Maryam Bachtiar

diberikan guided imagery pada kelompok Analisa data dan penyajian data
eksperimen sebagian besar 56,7% dalam Analisia data dilakukan dengan
kategori nyeri ringan. Tingkat nyeri pada program SPSS dan uji statistik dengan
kelompok kontrol seluruhnya 100% dalam menggunakan uji statistik Mann-Whitney
kategori nyeri sedang. Hasil uji t sebelum dengan nilai signifikan nilai P < 0,05.
dan sesudah pemberian guided imagery
pada kelompok eksperimen didapat nilai t HASIL
hitung sebesar 7,828 dengan nilai p value Tabel 1. tentang karakteristik
sebesar 0,000 (p<0,05). Serta hasil uji t responden menunjukkan responden
tingkat nyeri antara pasien yang diberikan terbanyak berdasarkan pendidikannya
perlakuan guided imagery dan yang tidak tamat SMA sebanyak 11 pasien (45.8%),
diberikan perlakuan guided imagery berdasarkan pengalaman nyeri, pada
diperoleh nilai t hitung sebesar 8,920 pasien yang diberikan perlakuan ditemukan
dengan nilai p value sebesar 0,000 lebih banyak pasien pada tahap tidak
(p<0,05) (Ratnasari, 2011). pernah merasakan nyeri sebanyak 58.3%,
Adapun tujuan Umum penelitian ini sedangkan berdasarkan umur, usia > 35
adalahdiketahui efektivitas tekhnik guided tahun terbanyak 23 pasien (95.8%).
imagery terhadap penurunan intensitas Tabel 2 tentang rata-rata (SD)
nyeri pada pasien kanker payudara di intensitas nyeri, durasi nyeri, dan tekanan
Rumah Sakit Ibnu Sina Makassar. darah didapatkan bahwa rata-rata
intensitas nyeri pada saat pre test pada
BAHAN DAN METODE kelompok perlakuan 6.00 (0.95) dan
Lokasi dan jenis penelitian kelompok kontrol 5.58 (1.08), sedangkan
Penelitian ini dilaksanakan di rata-rata intensitas nyeri pada saat post
Rumah Sakit Ibnu Sina Makassar. test pada kelompok perlakuan 4.83 (0.95)
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian dan kelompok kontrol 5.83 (1.12). Selain
Quasi Eksperimen two grouppre test dan itu, rata-rata (SD) durasi nyeri pada saat
post test design with control group. pre test pada kelompok perlakuan 1.50
Populasi dan sampel (0.67) dan kelompok kontrol 1.25 (0.45),
Populasi dalam penelitian ini sedangkan rata-rata durasi nyeri pada saat
adalah pasien kanker payudara yang post test pada kelompok perlakuan 1.25
mengalami nyeri yang mendapatkan (0.62) dan kelompok kontrol 1.25 (0.45).
perawatan di ruang perawatan bedah Tabel 2. juga menunjukkan rata-
Onkologi dan ruang Kemoterapi. Sampel rata (SD) TD sistol pada saat pre test pada
yang digunakan pada penelitian ini adalah kelompok perlakuan 133.33 (7.78) dan
semua pasien kanker payudara yang kelompok kontrol 138.33 (8.35), sedangkan
merasakan nyeri dengan jumlah sampel 24 rata-rata TD sistol saat post test pada
orang (12 perlakuan dan 12 kontrol). kelompok perlakuan 124.17 (6.68) dan
Tekhnik pengambilan sampel dalam kelompok kontrol 137.50 (8.6). Adapun
penelitian ini dilakukan dengan tekhnik total rata-rata (SD) TD diastole pada saat pre
sampling. test pada kelompok perlakuan 80.83 (2.88)
Teknik pengumpulan data dan kelompok kontrol 84.17 (9.00),
Data diperoleh dengan sedangkan rata-rata TD diastol pada saat
menggunakan alat ukur penilaian nyeri post test pada kelompok perlakuan 76.67
yaitu Numeric Rating Scale (NRS) dengan (7.78) dan kelompok kontrol 82.50 (9.65).
rentang pengukuran skala nyeri 0 – 10. Tabel 3 didapatkan perubahan
Prosedur pengumpulan datameliputi intensitas nyeri pada kelompok perlakuan
prosedur administratif dan tekhnis. rata-rata 1.17 (0.72) dan kelompok kontrol -
107

0.25 (0.45) dengan perbedaan rata-rata menurun dengan kekuatan korelasi sedang
1.41 (0.24). Berdasarkan hasil uji statistik (r=0.544).
Mann-Whitney didapatkan ada perbedaan
perubahan intensitas nyeri antara kelompok PEMBAHASAN
perlakukan dan kelompok control (p=0,000) Penelitian ini menunjukkan bahwa
sehinga dapat disimpulkan bahwa Guided ada pengaruh tekhnik guided imagery
Imagery berpengaruh terhadap penurunan terhadap penurunan skala nyeri (p=0,000)
intensitas nyeri pada pasien kanker pada kelompok perlakuan dengan nilai
payudara. Perubahan durasi nyeri pada rata-rata (mean) yang ditunjukkan sebelum
kelompok perlakuan rata-rata 0.25 (0.45) perlakuan (nyeri pre) yaitu 6,00 dan setelah
dan kelompok kontrol 0.0 (0.0) dengan perlakuan (nyeri post) 4,83, dibandingkan
perbedaan rata-rata 0.25 (0.13). dengan kelompok kontrol yang cenderung
Berdasarkan hasil uji statistik Mann- meningkat.Demikian juga hasil penelitian
Whitney didapatkan tidak ada perbedaan yang didapatkan pada pasien terhadap
perubahan durasi nyeri antara kelompok durasi nyeri, menunjukkan hasil rata-rata
perlakukan dan kelompok kontrol (p= 0,07) (mean) 1,50 menit durasi nyeri pre
sehinga dapat disimpulkan bahwa Guided (sebelum perlakuan) dan durasi nyeri post
Imagery tidak berpengaruh terhadap (setelah perlakuan) menurun menjadi 1,25
penurunan durasi nyeri pada pasien kanker menit. Sedangkan pada kelompok kontrol
payudara. Perubahan TD sistol pada tidak ada perubahan secara statistik.Hal ini
kelompok perlakuan rata-rata 9.17 (2.88) didukung oleh salah satu penelitian
dan kelompok kontrol 0.83 (2.88) dengan sebelumnya yang menggunakan tekhnik
perbedaan rata-rata 8.33 (1.71). distraksi guided imagery dalam upaya
Berdasarkan hasil uji statistik Mann- penurunan tingkat nyeri, yaitu penelitian
Whitney didapatkan ada perbedaan terhadap pasien sectio caesaria di RSUD
perubahan TD sistol antara kelompok Kanjuruhan Kepanjen yang menunjukkan
perlakukan dan kelompok kontrol (p=0,000) nilai signifikan p=0,000 yang berarti ada
sehinga dapat disimpulkan bahwa Guided pengaruh guided imagery terhadap
Imagery berpengaruh terhadap penurunan penurunan skala nyeri pada pasien SC
TD sistol pada pasien kanker payudara. (Abubakar, 2012). Secara teori bahwa
Perubahan TD diastol pada kelompok Imajinasi terbimbing atau guided imagery
perlakuan rata-rata 4.17 (7.93) dan adalah teknik menciptakan kesan dalam
kelompok control 0.83 (2.88) dengan pikiran responden, kemudian
perbedaan rata-rata 3.33 (2.43). berkonsentrasi pada kesan tersebut
Berdasarkan hasil uji statistik Mann- sehingga secara bertahap dapat
Whitney didapatkan tidak ada perbedaan menurunkan persepsi responden terhadap
perubahan TD diastole antara kelompok nyeri (Prasetyo, 2010).
perlakukan dan kelompok kontrol (p= Pada penerapan tekhnik Distraksi
0,247) sehingga dapat disimpulkan bahwa Guided Imagery maka imajinasi yang
Guided Imagery tidak berpengaruh terbentuk akan diterima sebagai
terhadap penurunan TD diastol pada rangsangan oleh berbagai indra, kemudian
pasien kanker payudara. rangsangan tersebut akan diteruskan ke
Berdasarkan tabel 4 menunjukkan batang otak menuju sensor talamus.
bahwa ada korelasi positif antara Sebagian besar rangsangan akan
perubahan intensitas nyeri dengan TD ditransmisikan ke korteks serebri, dikorteks
sistol (p=0.006) dimana semakin menurun serebri terjadi proses penghubung
intensitas nyeri maka TD sistol juga akan pengindraan dimana rangsangan dianalisis,
dipahami dan disusun menjadi sesuatu

Jurnal Mitrasehat, Volume VII Nomor 1, Mei 2017 ISSN 2089-2551


108 ___ Pengaruh Distraksi Guided Imagery terhadap.... Sitti Maryam Bachtiar

yang nyata sehingga otak mengenali objek penurunan TD meskipun secara statistik
dan arti kehadiran rangsangan tersebut. sangat sedikit tingkat penurunannya.
Hal-hal yang disukai dianggap sebagai Secara teori bahwa pengaruh tekhnik
sinyal penting dan disimpan dimemori, guided imagery mengaktifkan sistem saraf
ketika terdapat rangsangan berupa otonom parasimpatis yang fungsinya
bayangan tentang hal- hal yang berbanding terbalik dengan sistem saraf
menyenangkan/disukai memori yang simpatik dimana serabut saraf parasimpatis
tersimpan akan muncul kembali dan mempersarafi jantung, yang memperlambat
menimbulkan suatu persepsi dari frekuensi jantung sehingga menyebabkan
pengalaman sensori yang sebenarnya. penurunan tekanan Darah (Corwin,
Pengalaman sensasi tersebut dapat 2009).Efek dari relaksasi guided imagery
merilekskan fikiran dan meregangkan otot- terhadap jantung dan pembuluh darah
otot sehingga nyeri yang dirasakan menjadi mengakibatkan alfa bloker yaitu diameter
berkurang (Prasetyo, 2010). Pada pembuluh darah melebar atau terjadi
prinsipnya teknik guided imagerydapat vasodilatasi pembuluh darah sehingga
menurunkan intensitas nyeri melalui menurunkan kontraktilitas jantung dan
mekanisme yaitu dengan merelaksasikan menurunkan tekanan darah. Intinya ada
otot-otot skeletal yang mengalami spasme dua fungsi tekhnik guided imagery yaitu
yang disebabkan oleh peningkatan merangsang peningkatan hormon
prostaglandin sehingga terjadi vasodilatasi endorphin dan mengaktifkan saraf otonom
pembuluh darah dan akan meningkatkan parasimpatis (Corwin, 2009).
aliran darah ke daerah yang mengalami
spasme dan iskemic sehingga teknik KESIMPULAN DAN SARAN
guided imagerymampu merangsang tubuh Berdasarkan hasil penelitian dapat
untuk melepaskan opiod endogen yaitu ditarik kesimpulan bahwa nyeri yang
endorphin, yang dihasilkan di otak dirasakan responden menunjukkan rata-
sehingga rasa nyaman lebih dominan rata penurunan setelah dilakukan tekhnik
dibanding rangsang nyeri (Smeltzer & Bare, distraksi guided imagery dibandingkan
2008). dengan responden yang tidak dilakukan
Pada tekanan darah (TD Sistol) tekhnik distraksi guided imagery.
dengan nilai p= 0,000 yang berarti ada Perubahan tingkat nyeri setelah dilakukan
pengaruh guided imagery terhadap TD tekhnik distraksi guided imagery
Sistol. korelasi perubahan nyeri terhadap memberikan pengaruh pada tekanan
perubahan tekanan darah menunjukkan darah, dimana menunjukkan hasil yang
nilai p=0,006 dan nilai r=0,544 yang berbeda sebelum dan sesudah penerapan
menunjukkan pengaruh yang bermakna distraksi guided imagery.Memberikan
dengan korelasi sedang. Sedangkan korelasi yang kuat terhadap tekanan darah
perubahan nilai rata-rata (mean) yang pada penerapan distraksi guided
ditunjukkan yaitu TD sistol pre 133,33 dan imagery.Sebagai saran bagi reponden yaitu
TD Sistol post 124,17 dengan nilai diharapkan pasien dapat menerapkan atau
perubahan rata-rata (mean) 9,17. Hal ini mempraktekkan tekhnik distraksiguided
menunjukkan bahwa ada perubahan TD imageryuntuk mengurangi intensitas nyeri
Sistol pada kelompok perlakuan. Hal yang yang dirasakan. Bagi Rumah Sakit
berbeda yang ditunjukkan pada kelompok Diharapkan Rumah sakit dapat
kontrol dengan perubahan rata-rata (mean) menerapkan kebijakan-kebijakan pada
menurun dari 138,33 pada TD Sistol pre pasien kanker payudara dalam
dan 137,50 pada TD Sistol post, dengan penanganan nyeri diharapkan tidak hanya
nilai perubahannya 0,83 yang berarti ada menggunakan analgetik tetapi
109

menggunakan teknik relaksasi guided Adults in Residential Care A


imagery untuk mengurangi nyeri yang Randomized Controlled Study from
dirasakan. Bagi Peneliti selanjutnya Thailand. Research in
diharapkan dapat meneliti tentang guided Gerontological Nursing •, 5, 114-
imagery dengan menggunakan variabel 115. doi:10.3928/19404921-
yang berbeda. 20110706-02
Kwekkeboom K. L., Hau H., wanta B., &
DAFTAR PUSTAKA Bumpus M. (2008). Patients
Perceptions of the effectiveness of
Abubakar F. (2012) Efektivitas teknik guided imagery and progressive
imajinasi terbimbing (guided muscle relaxation interventions
imagery) dalam upaya penurunan used for cancer pain. Complement
nyeri pada pasien post operasi Ther Clin Pract.
sectio cesaria di ruang brawijaya doi:10.1016/j.ctcp.2008.04.002
RSUD Kanjuruhan Kepanjen. Perry & Potter. (2005). Buku Ajar
Diakses 11 Mei 2016. Available Fundamental Keperawatan Edisi
from:eprints.umm.ac.id/29827/ 4.Jakarta: EGC.
Adeola, M. T., Baird, C. L., Sands, L. P., Prasetyo S. N. (2010). Konsep dan Proses
Longoria, N., Henry, U., Nielsen, J., Keperawatan Nyeri. Yogyakarta :
& Shields, C. G. (2015). Active Graha Ilmu.
Despite Pain: Patient Experiences Pusat Data dan Informasi Kementerian
With Guided Imagery with Kesehatan RI.(2015). Buletin
relaxation Compared to Planned Jendela Data dan Informasi
Rest. Clinical Journal of Oncology Kesehatan. Diakses dari Website:
Nursing. http://
doi:10.1188/15.CJON.649-652 www.depkes.go.id/pusdatin//buletin
Bumpenchit S., Ariya S., Tipawan P., -kanker.
&Prasopsuk S. (2007). Alternative Smeltzer & Bare. (2008). Textbook of
therapy for pain patients : And Medical Surgical Nursing Vol.2.
application of guided imagery. J Sci Philadelphia: Linppincott William &
Technol MSU. Diakses dari Wilkins.
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubme Suyatno & Pasaribu E. T.(2014). Bedah
d. onkologi; Diagnosis dan terapi,
Burhenn P., Olausson J., Villegas G., & Edisi ke 2. Jakarta: Sagung Seto.
Kravits K. (2014). Guided Imagery Williams L. S. & Hopper P. D.
for Pain Control. (C. G. Brown, Ed.) (2007). Understanding medical
Clinical Journal of Oncology surgical nursing (3 ed.). United
Nursing, 18, 501-503. States of America: F.A Davis
doi:10.1188/14.CJON.501-50 Company Philadelphia.
Ban K. A. & Godellas C. V. (2014). Word Health Organization. (2015). Fact
Epidemiology of Breast Cancer, sheet cancer. Diakses dari website:
Surgical Oncology Clinics of North http://www.who.inl/mediacentre/fact
America. America: Elsevier. sheets/fs297/en/who.org
Corwin E. J. (2007). Patofisiologi. Jakarta: Yijing, Z., Xiaoping, D., Fang, l., Xiaolu, J.,
Penerbit Buku Kedokteran EGC. & Bin, W. (2015). The effects of
Elsegood K. & Wongpakaran N. (2012). guided imagery on heart rate
The Effects of Guided Imagery on variability in simulated spaceflight
Affect, Cognition, and Pain in Older emergency tasks performers.

Jurnal Mitrasehat, Volume VII Nomor 1, Mei 2017 ISSN 2089-2551


110 ___ Pengaruh Distraksi Guided Imagery terhadap.... Sitti Maryam Bachtiar

BioMed Research International. Kedokteran Universitas Gadjah


doi:10.1155/2015/687020 Mada,http://www.Kalbemed.com/te
Yudiyanta, Khoirunnisa, N., & Yudiyanta, R. khnik assessment nyeri. Diakses
W. (2015). Assessment Nyeri. April 2016.
Departemen Neurologi, Fakultas
Lampiran :
Tabel 1. Karakteristik Responden
Kelompok
Total
Karakteristik perlakuan Kontrol
N % n % n %
Pendidikan
Tidak tamat SD 1 8.3 0 0 1 4.2
Tamat SD 2 16.7 0 0 2 8.3
Tamat SMP 1 8.3 1 8.3 2 8.3
Tamat SMA 4 33.3 7 58.3 11 45.8
Sarjana 4 33.3 4 33,3 8 33.4
Umur
Dewasa 9 75 8 66.7 17 70.8
Lansia 3 25 4 33.3 7 29.2
Pengalaman nyeri
Pernah 5 41.7 8 66.7 13 54.2
tidak pernah 7 58.3 4 33.3 11 45.8
Total 12 100 12 100 24 100
Sumber : Data primer, 2016
Tabel 2. Rata-rata (SD) Variabel Penelitian
Kelompok
Variabel Rata-rata (SD) Rata-rata (SD)
Kelompok Perlakuan Kelompok Kontrol
Intensitas Nyeri
Nyeri Pre 6.00 (0,95) 5.58 (1.08)
Nyeri Post 4.83 (1.40) 5.83 (1.12)
Perubahan Nyeri 1.17 (0.71) -0.25 (0.45)
Durasi Nyeri
Durasi Nyeri Pre 1.50 (0.67) 1.25 (0.45)
Durasi nyeri Post 1.25 (0.62 1.25 (0.45)
Perubahan Durasi Nyeri 0.25 (0.45) 0.00 (0.00)
Tekanan Darah Sistole 133.33 (7.78) 138.33 (8.35)
TD Sistol Pre 124.17 (6.68) 137.50 (8.6)
TD Sistol Post 9.17 (2.88) 0.83 (2.88)
Perubahan TD Sistole
Tekanan Darah Diastole
TD Diastol Pre 80.83 (2.88) 84.17 (9.00)
TD Diastol Post 76.67 (7.78) 82.50 (9.65)
Perubahan TD Diastol 4.17 (7.93) 0.83 (2.88)
Sumber : Data primer, 2016
111

Tabel 3. Pengaruh Guided Imagery terhadap perubahan Nyeri dan Tekanan Darah
Perbedaan
Kelompok N Mean (SD) p*
Mean (SD)
Perubahan Nyeri
Perlakuan 12 1.17 (0.72) 1.41 (0.24) 0.000
Kontrol 12 -0.25 (0.45)
Perubahan Durasi Nyeri
Perlakuan 12 0.25 (0.45) 0.25 (0.131) 0.069
Kontrol 12 0.0 (0.0)
Perubahan TD Sistol
Perlakuan 12 9.17 (2.88) 8.33 (1.71) 0.000
Kontrol 12 0.83 (2.88)
Perubahan TD Diastol
Perlakuan 12 4.17 (7.93) 3.33 (2.43) 0.185
Kontrol 12 0.83 (2.88)
*Mann-Whitney Test.
Sumber : Data primer, 2016

Tabel 4. Korelasi perubahan nyeri terhadap Tekanan Darah


Korelasi p* r

Perubahan nyeri - TD Sistol 0.006 0.544

*Spearman Correlation
Sumber : Data primer, 2016
Jurnal Mitrasehat, Volume VII Nomor 1, Mei 2017 ISSN 2089-2551

Immanuel
Jurnal Ilmu Kesehatan
Volume 8, Nomor 2, Desember 2014 ISSN 1410-234X

Pengaruh Tehnik Distraksi Dan Relaksasi TerhadapTingkat Nyeri


Pada Pasien Post Operasi Di Rumah Sakit Immanuel Bandung

1
Nur Intan Hayati HK.
2
Monika Ginting
3
Srihesty Manan
1,2,3
Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Immanuel Bandung

Abstrak

Nyeri merupakan respon langsung terhadap kejadian atau peristiwa yang tidak menyenangkan yang
berhubungan,, masalah nyeri sering dialami terutama oleh pasien post operasi dan hal ini dapat
mempengaruhi proses penyembuhan pasien sehingga perlu untuk dilakukan penanganan nyeri,
Penanganan nyeri dapat dilakukan dengan menggunakan teknik distraksi dan relaksasi. Metode
penelitian menggunakan pre-eksperimen dengan desain One-Group Pretest-Post test dilakukan pada
140 responden yang merupakan pasien post operasi yang dirawat di Rumah Sakit Immanuel Bandung
yang didapatkan melalui accidental sampling, Instrumen untuk mengkaji tingkat nyeri diadaptasi dari
Numeric Rating scale (NRS) sedangkan instrumen untuk tehnik distraksi dan relaksasi menggunakan
standar operasional prosedur penanganan nyeri Rumah Sakit Immanuel Bandung. Hasil penelitian
didapatkan (1) tingkat nyeri pasien post operasi sebelum dilakukan intervensi tehnik distraksi dan
relaksasi sebagian besar dengan berada pada tingkat nyeri sedang (NRS; 4-6) 62,9 % dari 140
responden, (2) Setelah di beri perlakuan yaitu intervensi tehnik distraksi dan relaksasi, tingkat nyeri
pasien post operasi di Rumah sakit Immanuel Bandung sebagian besar berada pada tingkat nyeri ringan
(NRS; 1-3), yaitu 71,4% dari 140 responden (3) Ada perbedaan yang signifikan rerata penurunan
tingkat nyeri responden sebelum dan sesudah diberikan tehnik relaksasi dan distraksi pada post operasi
di Rumah Sakit Immanuel Bandung, dengan nilai signifikasi .000, sehingga Ho ditolak Ha diterima
dengan demikian terdapat pengaruh tehnik distraksi dan relaksasi terhadap tingkat nyeri. Berdasarkan
hasil penelitian Tehnik distraksi dan relaksasi dapat membantu menurunkan tingkat nyeri akan tetapi
metode ini tidak dapat menggantikan terapi farmakologi, pada saat penelitian responden seluruhnya
masih mendapatkan terapi analgetik. Pemberian tehnik distraksi dan relaksasi sebelum pemberian
analgetik selanjutnya dapat membantu pasien untuk mengurangi tingkat nyeri yang dirasakannya,
selain itu pelaksanaan relaksasi dengan ritmik singing belum terdapat alat pendukungnya. Sehingga
peneliti merekomendasikan hasil penelitian ini dapat dijadikan landasan bagi Rumah Sakit untuk
menentukan standar operasional prosedur dalam manajemen penanganan nyeri yang baru dan
menyediakan alat yang dapat membantu pelaksanaan manajemen nyeri.

Kata kunci: Distraksi, Relaksasi, Tingkat Nyeri, Post Operasi

325
Immanuel
Jurnal Ilmu Kesehatan
Volume 8, Nomor 2, Desember 2014 ISSN 1410-234X

Pendahuluan sehingga dapat mempengaruhi kerja


system cardiovaskuler dengan
Nyeri merupakan suatu meningkatkan tekanan darah dan
pengalaman sensorik dan emosional
nadi.Akibat tekanan darah dan nadi
yangtidak menyenangkan akibat yang meningkat terjadi hemodinamik
kerusakan jaringan, baik aktual yang tidak stabil dan menyebabkan
maupun potensial, yang dapat terjadi perfusi oksigen ke jaringan berkurang,
akibat proses penyakit atau tindakan kadar β-endorfin yang disekresikan
(treatment) seperti pengobatan dan oleh kelenjar pituitari akan meningkat
pembedahan (International dan menekan aktivitas makrofag,
Association for the Study of Pain
penurunan aktivitas makrofag
(IASP) (1979) dalam (Potter & Perry,
berdampak pada menurunnya aktivitas
2009; Smeltzer & Bare, 2002).
sitokin yang dilepaskan makrofag
Nyeri post operasi termasuk ke seperti TNF α, IL-1, IL-6, IL-8, TGF β
dalam kategori nyeri akut dengan yang berfungsi meningkatkan matrik
karakteristik memiliki awitan yang
ekstraseluler (ECM) dan meningkatkan
cepat, mendadak dan berlangsung
kolagenasi. TGF β yang menurun
dalam waktu yang singkat. menyebabkan terhambatnya proses
Karakteristik tersebut terjadi karena
penyembuhan luka (Howard &
diskontinuitas jaringan oleh A.Steinmann, 2010; Sole, Klein, &
penggunaan alat dalam tindakan Moseley, 2009; Urden, M.Stacy, &
pembedahan. Diskontinuitas jaringan E.Lough, 2010).
merangsang tubuh menghasilkan
Proses penyembuhan yang
mediator kimia yang akan terhambat akan berakibat pada proses
menimbulkan proses transduction,
rehabilitasi pasien yang tertunda dan
transmission, perception dan
waktu tinggal di rumah sakit yang
modulation sehingga tubuh meningkat (LOS), untuk itu diperlukan
mempersepsikan rasa nyeri (Potter & suatu penanganan untuk mengurangi
Perry, 2009; Rosenquist & Rosenberg, nyeri yang dirasakan oleh pasien.
2003; Smeltzer & Bare, 2002). Perawat sebagai pemberi pelayanan
Zalon (1997) dalam (Potter & keperawatan (care provider) memiliki
Perry, 2009) mengatakan bahwa nyeri peran dalam melaksanakan intervensi
post operasi dapat menimbulkan keperawatan yaitu pelaksanaan
pasien mengalami kesulitan untuk manajemen penanganan nyeri. Perawat
tidur, dan menimbulkan komplikasi,
sebagai pemberi pelayanan
salah satunya adalah terhambatnya
keperawatan (care provider) memiliki
proses penyembuhan luka post operasi. peran dalam melaksanakan intervensi
Rangsang nyeri dapat mengaktivasi
keperawatan yaitu pelaksanaan
catecholamine dalam jumlah banyak

326
Immanuel
Jurnal Ilmu Kesehatan
Volume 8, Nomor 2, Desember 2014 ISSN 1410-234X

manajemen penanganan nyeri(Potter & menyakitkan (Urden et al.,


Perry, 2009; Urden et al., 2010). 2010).Teknik relaksasi dan distraksi
Penanganan nyeri dengan merupakan strategi kognitif yang
tehnik famakologi dibagi kedalam 3 memberikan kesembuhan secara fisik
kategori aksi obat yaitu; (1) opioid dan mental, kelebihan dari teknik ini
agonists (morphine, fetanyl, yaitu ketika pasien mencapai relaksasi
hidromorphone, meperidine, codeine, penuh maka persepsi nyeri berkurang,
methadone), (2) non opioids sehingga sangat efektif apabila tehnik
(acetaminopen, nonsteroidal, distraksi dan relaksasi digunakan
antiinflamatory drugs (NSAIDS), dan untuk menangani masalah nyeri pada
(3) adjuvants (anticonvulsants, pasien post operasi (Potter & Perry,
antidepresan, local anesthetics). 2009).
(Urden et al., 2010). Perkembangan ilmu
Penanganan nyeri dengan keperawatan telah memberikan
tehnik non farmakologi diantaranya kontribusi terhadap munculnya
dengan (1) Cutaneus stimulation and berbagai metode untuk mengurangi
massage ; Transcutaneus Electrical rasa nyeri, metode yang digunakan
Nerve Stimulator (TENS), (2)Ice and seperti distraksi dan relaksasi dapat
Heat Therapie,(3) Tehnik Cognitive digunakan dalam teknik penanganan
(guide imagery, music therapy, nyeri pasien post operasi. Berdasarkan
hypnosis, pendidikan, relaksasi, fakta dan teori tersebut peneliti tertarik
distraksi) (Smeltzer & Bare, 2002; untuk melakukan suatu penelitian
Urden et al., 2010). mengenai “Pengaruh Teknik Distraksi
Tehnik relaksasi merupakan dan Relaksasi Terhadap Tingkat Nyeri
tehnik penanganan nyeri non pada Pasien Post Operasi di Rumah
farmakologiyang dapat membantu Sakit Immanuel Bandung”.
memperlancar sirkulasi darah sehingga
suplaioksigen meningkat dan dapat Tujuan Penelitian
membantu mengurangi tingkat nyeri
serta mempercepat proses Penelitian ini bertujuan untuk
penyembuhan luka pada pasien post menganalisa perngaruh tehnik distraksi
operasi. dan relaksasi terhadap tingkat nyeri
pada pasien post operasi di RS
Distraksi merupakan
Immanuel Bandung.
manajemen nyeri dengan tehnik
memfocuskan perhatian klien pada
sesuatu selain dari rasa Metode Penelitian
nyerinya.Teknik distraksi dapat Penelitian ini menggunakan
mengaktivasi sistem reticular yang desain penelitian quasi eksperimen
dapat menghambat stimulus yang dengan pendekatan one group pretest

327
Immanuel
Jurnal Ilmu Kesehatan
Volume 8, Nomor 2, Desember 2014 ISSN 1410-234X

– posttest design. Dalam Penelitian ini jam,(5) Bersedia menjadi responden


peneliti mengukur tingkat nyeri pada secara tertulis.
pasien post operasi sebelum diberi Teknik pengambilan sampel
intervensi tehnik distraksi dan pada penelitian ini adalah
relaksasi, kemudian tingkat nyeri Nonprobability sampling jenis
diobservasi kembali setelah diberi accidental sampling
intervensi tehnik distraksi dan denganConsecutive admission yaitu
relaksasi. pemilihan sampel dengan menetapkan
Kriteria inklusi sampel dalam subjek yang memenuhi kriteria
penelitian ini adalah: (1) Pasien laki- penelitian sampai kurunwaktu tertentu
laki atau perempuan berusia lebih dari sehingga jumlah pasien yang
10 tahun yang mengalami post operasi diperlukan terpenuhi (Sugiyono,
di Rumah Sakit Immanuel Bandung, 2010). Penelitian dilakukan dari bulan
(2) Kesadaran compost mentis, september sampai oktober 2014 dan
kooperatif (3) Kondisi stabil, (4) sampel yang terkumpul adalah 140
Pasien yang telah mendapatkan orang.
perawatan setelah operasi > 1x24

Tabel 1
Kerangka Pemikiran Pengaruh Tehnik Distraksi dan relaksasi terhadap Tingkat Nyeri pada
pasien Post operasi Di Rumah Sakit Immanuel Bandung

Input Proses Output Outcome

Perawatan Manajemen Penanganan Nyeri: Tingkat Nyeri


perioperatif : a. Farmakologis
a. Pre Operatif 1) Opioid
setelah diberikan
b. Intra 2) Non Opioid manajemen
Operatif 3) Adjustvans penanganan nyeri Kualitas hidup pasien
b. Non Farmakologis
tehnik distraksi post operasi
c. Post
1) Bimbingan dan relaksasi; 0-
Operatif antisipasi 10 (NRS)
2) Stimulasi

Kutaneus
Tingkat Nyeri 3) Distraksi Ada Pengaruh
Sebelum diberikan
4) Relaksasi
penanganan nyeri
tehnik distraksi
dan relaksasi ; 0- Tidak Ada
Pengaruh
10 (NRS)

Keterangan:
= Yang diteliti.
= Tidak diteliti
Sumber: Modifikasi Potter & Perry (2009), Smeltzer & Bare (2002) dan Urden (2010)

328
Immanuel
Jurnal Ilmu Kesehatan
Volume 8, Nomor 2, Desember 2014 ISSN 1410-234X

Hasil

116. Karakteristik Pasien Post Operasi di RS Immanuel Bandung

Tabel 1
Distribusi frekuensi Karakteristik Pasien Post Operasi di RS Immanuel Bandung Berdasarkan
Jenis Kelamin, Pendidikan, Pekerjaan, Usia, Suku Bangsa
Karakteristik Frekuensi Valid Persentase
Jenis Kelamin
Laki-laki 60 42.9
Perempuan 80 57.1
Total 140 100
Pendidikan
SD 10 9.7
SMP 15 14.6
SMA 50 48.5
D3 1 1
S1 26 25.2
S2 1 1
Missing system 37
Total 140 100
Pekerjaan
Pelajar 1 0.9
IRT 2 1.9
Wiraswasta 25 23.6
Pegawai Swasta 32 30.2
Pegawai Negeri 1 0.9
Pensiunan 1 0.9
Lain-lain 44 41.5
Missing System 34
Total 140 100
Suku Bangsa
Jawa 11 11.7
Sunda 69 73.4
Batak 3 3.2
Timor 2 2.1
China 9 9.6
Missing System 46
Total 140 100
Usia
10-19 tahun 10 7.1
20-29 Tahun 43 30.7
30-39 Tahun 35 25.0
40-49 Tahun 16 11.4
50-59 Tahun 21 15.0
60-69 Tahun 9 6.4
70-79 Tahun 6 4.3
Total 140 100

329
Immanuel
Jurnal Ilmu Kesehatan
Volume 8, Nomor 2, Desember 2014 ISSN 1410-234X

Berdasarkan tabel 1 48,5 %, pegawai swasta 30,2%, suku


karakteristik pasien post operasi di RS sunda 73,4%, , usia 20-29 tahun 30,7%
Immanuel Bandung sebagian besar dari 140 responden.
perempuan 57,1 %, pendidikan SMA

& Tingkat Nyeri Pasien Post Operasi Sebelum Intervensi tehnik Distraksi dan
Relaksasi di RS Immanuel Bandung

Tabel 2
Distribusi frekuensi Tingkat Nyeri Pasien Post Operasi Sebelum Intervensi tehnik Distraksi dan
Relaksasi di RS.Immanuel Bandung
Tingkat Nyeri Frekuensi Persentase

Tidak Nyeri (NRS; 0) 0 0


Nyeri Ringan (NRS; 1-3) 28 20
Nyeri Sedang (NRS; 4-6) 88 62.9
Nyeri Berat (NRS; 7-9) 24 17.1
Total 140 100

Berdasarkan tabel 2 distribusi relaksasi di Rumah Sakit Immanuel


menunjukan rata-rata tingkat nyeri Bandung sebagian besar berada pada
pada pasien post operasi tingkat nyeri Sedang (NRS; 4-6) yaitu
sebelumintervensi tehnik distraksi dan 62, 9 % dari 140 responden.

3. Tingkat Nyeri Pasien Post Operasi Setelah Intervensi Tehnik distraksi dan
relaksasi di RS Immanuel Bandung

Tabel 3
DistribusiFrekuensi Tingkat Nyeri Pasien Post Operasi Setelah Intervensi Tehnik distraksi dan
relaksasi di Rumah Sakit Immanuel Bandung
Tingkat Nyeri Frekuensi Persentase
Tidak Nyeri (NRS; 0) 5 3.6
Nyeri Ringan (NRS; 1-3) 100 71.4
Nyeri Sedang (NRS; 4-6) 32 22.9
Nyeri Berat (NRS; 7-9) 3 2.1
Total 140 100

Berdasarkan tabel 3 distribusi Rumah Sakit Immanuel Bandung yaitu


frekuensi menunjukkan tingkat nyeri sebagian besar berada tingkat nyeri
pasien post operasi setelah intervensi ringan (NRS; 1-3) yaitu 71, 4% dari
tehnik distraksi dan relaksasi di 140 responden.

330
Immanuel
Jurnal Ilmu Kesehatan
Volume 8, Nomor 2, Desember 2014 ISSN 1410-234X

4. Pengaruh TehnikDistraksi danRelaksasiTerhadap Tingkat Nyeri Pasien Post


Operasi Di Rumah Sakit Immanuel Bandung.

Dataintensitas nyeri pasien post Bandungberdistribusinormal (p value


operasi sebelum dan sesudah > 0,05), Selanjutnya dilakukan uji
intervensi tehnik distraksi dan statistik dengan menggunakan uji T
relaksasi di Rumah Sakit Immanuel Paired Test.

Tabel 4
Uji Beda Tingkat Nyeri Pasien Post Operasi Sebelum Dan Sesudah IntervensiTehnik distraksi
dan relaksasi Di Rumah Sakit Immanuel Bandung.
Ʃ Sig.(2-
Tingkat Nyeri Mean SD SE T
(N) tailed)
Sebelum Intervensi
Tehnik Relaksasi dan 4.74 1.694 .143
Distraksi
Setelah Intervensi 140 20.304 .000
Tehnik Relaksasi dan 2.99 1.573 .133
Distraksi
Mean Different 1.757 1.024 .087

Berdasarkan tabel 4 diatas Karakteristik pasien post


menunjukkan bahwa hasil uji t untuk operasi di RS Immanuel Bandung
perbedaantingkat nyeri sebelum dan berdasarkan jenis kelamin sebagian
sesudah intervensi tehnik distraksi dan besar adalah perempuan yaitu 57, 1 %
relaksasi pada pasien post operasi di dari 140 responden, perbandingan
Rumah sakit immanuel Bandung. persentase jumlah laki-laki dan
Didapatkan nilai t hitung 20.304 dan perempuan menunjukkan tidak terlalu
nilai signifikan .000 apabila jauh, dengan perbedaan sekitar 7,1%.
dibandingkan dengan nilai alpha5% Potter & Perry (2009), dan
(0,05), sehingga Ho ditolak Ha Urden et al (2010) menyatakan bahwa
diterima dengan demikian terdapat Laki-laki dan perempuan tidak berbeda
pengaruh tehnik distraksi dan relaksasi dalam berespons terhadap nyeri. Akan
terhadap tingkat nyeri. tetapi terdapat budaya yang
menganggap jika seorang anak laki-
Pembahasan laki harus berani dan tidak boleh
menangis, sedangkan anak perempuan
1. Karakteristik Pasien Post Operasi boleh menangis dalam situasi yang
di RS Immanuel Bandung sama dalam hal ini nyeri.

331
Immanuel
Jurnal Ilmu Kesehatan
Volume 8, Nomor 2, Desember 2014 ISSN 1410-234X

Berdasarkan karakteristik Distraksi dan Relaksasi di RS


pendidikan sebagian besar memiliki Immanuel Bandung
tingkat pendidikan SMA yaitu 48, 5 % Hasil penelitian menunjukkan
dari 140 responden, karakteristik bahwa sebagian besar responden
pekerjaan sebagian besar bekerja memiliki tingkat nyeri sedang pada
sebagai pegawai swasta yaitu 30, 2% nilai NRS; 4-6 yaitu sebanyak 62,9 %
dari 140 responden, dan karakteristik dari 140 responden, sedangkan rata-
Suku Bangsa sebagian besar memiliki rata tingkat nyeri sebelum tindakan
Suku Bangsa Sunda yaitu 73, 4% dari tehnik distraksi dan relaksasi yaitu
140 responden. 4.74 dari 140 responden.
Nyeri memiliki makna Nyeri post operasi disebabkan
tersendiri pada seseorang dan oleh adanya rangsangan mekanik
dipengaruhi oleh latar belakang akibat terjadinya kerusakan jaringan
budayanya (Davidhizar et all, 1997, akibat prosedur pembedahan yaitu
Marrie, 2002) dalam (Smeltzer & adanya luka (insisi), kerusakan
Bare, 2002), Ekspresi nyeri dapat jaringan (insisi) ini akan merangsang
dibagi kedalam dua kategori yaitu mediator-mediator kimia dari nyeri
tenang dan emosi, pasien tenang seperti histamin, bradikinin,
umumnya akan diam pada saat asetilkolin, dan subtansi prostaglandin
merasakan nyeri, mereka memiliki dimana zat-zat ini dapat meningkatkan
sikap dapat menahan nyeri. Sedangkan sensitifitas nyeri : (Potter & Perry,
pasien yang emosional akan 2009; Smeltzer & Bare, 2002)
berekspresi secara verbal dan akan Rangsang nyeri dapat
menunjukkan tingkah laku nyeri mengaktivasi catecholamine dalam
dengan merintih dan menangis jumlah banyak sehingga dapat
(Davidhizar et all, 1997, Marrie, 2002) mempengaruhi kerja system
dalam (Smeltzer & Bare, 2002). cardiovaskuler dengan meningkatkan
Berdasarkan Usia sebagian tekanan darah dan nadi.Akibat tekanan
besar berusia 20-29 Tahun yaitu 30,7 darah dan nadi yang meningkat terjadi
% dari 140 responden, menurut hemodinamik yang tidak stabil dan
Smeltzer & Bare, (2002)Orang tua dan menyebabkan perfusi oksigen ke
anak-anak lebih merasakan nyeri jaringan berkurang, kadar β-endorfin
dibandingkan dengan orang dewasa yang disekresikan oleh kelenjar
muda hal ini disebabkan orang tua dan pituitari akan meningkat dan menekan
anak-anakseringtidakdapat aktivitas makrofag, penurunan
mengkomunikasikan nyeri yang aktivitas makrofag berdampak pada
dirasakannya. menurunnya aktivitas sitokin yang
2. Tingkat Nyeri Pasien Post Operasi dilepaskan makrofag seperti TNF α,
SebelumIntervensitehnik

332
Immanuel
Jurnal Ilmu Kesehatan
Volume 8, Nomor 2, Desember 2014 ISSN 1410-234X

IL-1, IL-6, IL-8, TGF β yang berfungsi dapat menghambat stimulus yang
meningkatkan matrik ekstraseluler menyakitkan (Urden et al., 2010).
(ECM) dan meningkatkan kolagenasi. Teknik relaksasi dan distraksi
TGF β yang menurun menyebabkan dapat mengatasi nyeri berdasarkan
terhambatnya proses penyembuhan Gate Control theory menurut Melzack
luka (Howard & A.Steinmann, 2010; and Walls Gate Control Theory (1965)
Sole, Klein, & Moseley, 2009; Urden, dalam (Potter & Perry, 2009), karena
M.Stacy, & E.Lough, 2010). mampu merangsang peningkatan
3. Tingkat Nyeri Pasien Post Operasi hormon endorfin kemudian
SetelahIntervensiTehnik merangsang substansi sejenis morfin
Distraksi dan Relaksasi di RS yang disuplai oleh tubuh, pada saat
Immanuel Bandung neuron perifer mengirimkan sinyal ke
Sebagian besar responden sinaps, terjadi sinapsis antara neuron
memiliki tingkat nyeri ringan(NRS; 1- perifer dan neuron yang menuju otak
3) yaitu 71,4%dari 140 responden. tempat substansi Pmenghantarkan
Bila dibandingkan dengan tingkat impuls. Sehingga endorfin memblokir
nyeri sebelum pemberian tehnik transmisi impuls nyeri di medulla
distraksi dan relaksasi terdapat spinalis, sehingga sensasi nyeri
penurunan tingkat nyeri setelah menjadi berkurang (Potter & Perry,
pemberian tehnik distraksi dan 2009).
relaksasi, dengan nilai rata-rata Hasil observasi dan wawancara
penurunan berada pada tingkat nyeri 1- selama penelitian rata-rata tehnik
3. relaksasi dan distraksi mulai dirasakan
Tehnik relaksasi merupakan manfaatnya saat pengulangan yang ke
tehnik penanganan nyeri non 3 dan 4, hal ini didukung oleh teori
farmakologi yang dapat membantu Smelzer & Bare 2002 yang
memperlancar sirkulasi darah sehingga mengatakan bahwa tehnik relaksasi
suplaioksigen meningkat dan dapat dan distraksi perlu diulang terus
membantu mengurangi tingkat nyeri dengan teratur.
serta mempercepat proses Tingkat nyeri tertinggi
penyembuhan luka pada pasien post didapatkan pada pasien post operasi
operasi. hari ke-1 dengan nilai 9 yaitu pada
Distraksi merupakan pasien post operasi cholelithiasis.
manajemen nyeri dengan tehnik manajemen nyeri yang dilakukan oleh
memfocuskan perhatian klien pada perawat ruangan menggunakan tehnik
sesuatuselaindarirasa farmakologis dengan pemberian terapi
nyerinya.Teknik distraksi dapat Ketorolak sesuai program/ advis
mengaktivasi sistem reticular yang dokter (1 x 3 kali 30 mg), selain itu
140 responden lain tetap memperoleh

333
Immanuel
Jurnal Ilmu Kesehatan
Volume 8, Nomor 2, Desember 2014 ISSN 1410-234X

terapi farmakologi yaitu Analgesik tolak sedangkan Ha diterima dengan


yang merupakan bagian dari kata lain terdapat pengaruh tehnik
penatalaksanaan nyeri. distraksi dan relaksai terhadap tingkat
Ketorolac adalah analgetik nyeri post operasi.
yang umum di pakai di RS Immanuel, Hasil beda mean sebelum dan
termasuk analgetik nonnarkotik yang sesudah pemberian tehnik distraksi dan
kuat serta bekerja di area perifer dan relaksasi didapatkan penurunan 1.757,
tidak memiliki efek opioid reseptor, jadi dapat disimpulkan bahwa hasil
Ketorolac juga dapat sebagai penelitian menunjukkan adanya
antiinflamasi dan antipiretik dimana pengaruh tehnik distraksi dan relaksasi
efek yang ditimbulkan adalah terhadap tingkat nyeri pada pasien post
memperlambat sintesa prostaglandin. operasi di Rumah Sakit Immanuel
Teknik distraksi dapat Bandung.
dilakukan pada hari ke 1 operasi Teknik relaksasi dan distraksi
dengan kategori operasi ringan dan dapat mengatasi nyeri berdasarkan
sedang, akan tetapi pada operasi berat Gate Control theory menurut Melzack
atau besar teknik distraksi dan and Walls Gate Control Theory (1965)
relaksasi dapat diberikan pada hari ke dalam (Potter & Perry, 2009), karena
2. Pemberian dilakukan 1 jam sebelum mampu merangsang peningkatan
pemberian analgetik, atau 7-8 jam hormon endorfin kemudian
setelah pemberian terapi ketorolak dan merangsang substansi sejenis morfin
dilakukan selama 15 menit kemudian yang disuplai oleh tubuh, pada saat
diulang 3-4 kali.Setelah intervensi neuron perifer mengirimkan sinyal ke
selesai dilakukan dan di kaji ulang sinaps, terjadi sinapsis antara neuron
terdapat perbedaan yang signifikan perifer dan neuron yang menuju otak
tingkat nyeri sebelum dan sesudah tempat substansi P menghantarkan
intervensi tehnik distraksi dan impuls. Sehingga endorfin memblokir
relaksasi. transmisi impuls nyeri di medulla
4. Pengaruh Tehnik Distraksi dan spinalis, sehingga sensasi nyeri
Relaksasi Terhadap Tingkat Nyeri menjadi berkurang (Potter & Perry,
Pasien Post Operasi Di Rumah 2009).
Sakit Immanuel Bandung. Berdasarkan penelitian
Menurut hasil uji t untuk rata- (Kwekkeboom et al., 2006) dengan
rata tingkat nyeri sebelum dan sesudah menggunakan metode systematic
intervensi tehnik Distraksi dan reviewmelalui kajian literature dengan
Relaksasi didapatkan nilai T hitung kata kunci relaksasi dan nyeri terhadap
20.304. Nilai T tersebut apabila hasil riset yang dipublikasikan melalui
dibandingkan dengan nilai alpha 5% CINAHL, medline diperoleh 8 dari 15
(0,05) atau T tabel .000. maka Ho di artikel yang didapat, menyatakan

334
Immanuel
Jurnal Ilmu Kesehatan
Volume 8, Nomor 2, Desember 2014 ISSN 1410-234X

bahwa relaksasi mempengaruhi 1. Dasar untuk Rumah Sakit supaya


terjadinya relaksasi pada otot dan memperbaharui standar
dapat mengurangi nyeri post operasi. operasional prosedur manajemen
penanganan nyeri yang lebih
Simpulan komprehensif. Sehingga perawat
dapat mempergunakan sebagai
Berdasarkan hasil penelitian pedoman dalam pemberian
pemberian tehnik distraksi dan manajemen nyeri.
relaksasi terhadap tingkat nyeri pada
2. Dasar pemahaman perawat akan
pasien post operasi di Rumah Sakit
pentingnya pemberian tehnik
Imanuel Bandung terhadap distraksi dan relaksasi yang
140responden, dapat disimpulkan komprehensif perlu ditingkatkan
sebagai berikut:
dan karenabermanfaat bagi pasien
1. Sebagian besar responden berada post operasi. Untuk itu perlu
pada tingkat nyeri sedang (NRS; dilakukan pelatihan dan sosialisasi
4-6). Tingkat nyeri yang dirasakan
mengenai manajemen nyeri
sangat berat adalah pada khususnya distraksi dan relaksasi.
responden yang mengalami post 3. Dasar dalam pengembangan ilmu
operasi Cholelithiasis dengan pengetahuan keperawatan terkait
tingkat nyeri 9. dengan asuhan keperawatan yang
2. Setelah di beri perlakuan dengan holistic, komprehensif, dan
tehnik distraksi dan relaksasi, berkelanjutan melalui manajemen
tingkat nyeri pasien post operasi nyeri pada pasien pos operasi.
di Rumah sakit Immanuel 4. Dataawalbagipeneliti
Bandung sebagian besar berada selanjutnya,yaituhubungan
pada tingkat nyeri ringan (NRS;1-
karakteristik individudengan
3). tingkat nyeri.
3. Terdapatperbedaanyang
signifikan rerata penurunan DAFTAR PUSTAKA
tingkat nyeri responden sebelum
dan sesudah diberikan intervensi Howard, P. K., &A.Steinmann, R.
tehnik relaksasi dan distraksi pada (2010).Sheehy's Emergency
pasien post operasi. Nursing Principles And Practice
(Sixth Edition ed.). St. Louis,
Saran Missouri: MOSBY Elsevier

Berdasarkan simpulan diatas IASP Task Force on Taxonomy, (1994),


tentang penelitian ini dapat dijadikan: "Part III: Pain Terms, A Current
List with Definitions and

335
Immanuel
Jurnal Ilmu Kesehatan
Volume 8, Nomor 2, Desember 2014 ISSN 1410-234X

Notes on Usage;Classification of _____. 2012. Pendidikan dan


Chronic Pain, Second Edition”, Penelitian. Bandung: RS
(pp 209-214), edited by H. Immanuel.
Merskey and N. Bogduk, IASP
Press, Seattle. diakses di; Smeltzer, S. C. O. C., & Bare, B. G.
http://www.iasp- (2002).Buku Ajar
pain.org/Content/NavigationMen KeperawatanMedikalBedah
u/GeneralResourceLinks/PainDe Brunner &Suddarth (Edisi 8
finitions/default.htm ed.). Jakarta:
PenerbitBukuKedokteran EGC.
Kwekkeboom, Kristine, L.,
Smeltzer & Bare, (2010), Brunner &
&Gretarsdottir, E.
(2006).Systematic Review of Suddarth's Textbook of Medical-
surgical Nursing, Volume 1,
Relaxation Interventionsfor Pain,
Philadelpia; Lippincott Williams
Journal of Nursing Scholarship;
& Wilkins.
ProQuest 38 (3), pg. 269-275.

Sole, M. L., Klein, D. G., & Moseley,


Potter, P. A., & Perry, A. G.
(2009).Fundamentals Of Nursing M. J. (2009). Introduction To
(Seventh ed.). Singapore: Critical Care Nursing (Fifth
Edition ed ed.). St. Louis,
MOSBY Elsevier.
Missouri: Sauders Elsevier.
Potter & Perry, (2010), Fundamental
Keperawatan, Buku 2, Edisi 7, Sugiyono. (2010). Metode Penelitian
Philadelpia; Lippincott Williams Pendidikan Pendekatan
& Wilkins. Kuantitatif, Kualitatif Bandung:
Penerbit Alfabeta.
Rosenquist, R. W., & Rosenberg, J.
(2003).Postoperative Pain Urden, L. D., M.Stacy, K., &E.Lough,
Guidelines.Regional Anesthesia M. (2010).Critical Care Nursing
and Pain Medicine, Vol.28(4), (6ed.).St Louis; Mosby Elvisier
p279-288. Inc.pada tanggal 10 Desember
2013
RS Immanuel. 2009. Standar
Keperawatan Penanganan
Nyeri. Bandung: RS Immanuel.
336
ACTION RESEARCH HYPNOTHERAPI PADA PENANGANAN NYERI DAN
KECEMASAN PASIEN KANKER KOLON

Sakiyan, Program Studi Diploma Keperawatan Akademi Keperawatan Cilacap; e-


mail : kian_175@yahoo.co.id

ABSTRACT

Based Permenkes RI. No. 1109 of 2007 legalized complementary therapies carried out in
health facilities, Permenkes RI No. HK.02.02 / Menkes / 148/1/2010 on the Implementation
of License and Nurse Practice, hypnotherapy has become a complementary therapy used
by nurses.
Qualitative research design was used with action research approach to implement the
method hypnotherapy. The study population was patients who had undergone colon cancer
surgery and is undergoing chemotherapy who experience pain and anxiety. The study was
conducted for 6 weeks in the Banyumas General Hospital, with purposive sampling
technique gained 6 participants. The research instrument used in-depth interviews and
participant observation after getting the hypnotherapy intervention. Data processing and
data interpretation using NVivo software 9.0.204.0. research shows the level of pain and
anxiety hypnotherapy respondents declined after 1-3 cycles, the average decrease in pain
every cycle between 4 to 6.3, while the average decrease anxiety decrease between 7 to
15.8. Conclusions in hypnotherapy research helpful in reducing pain and anxiety of
patients who suffer from colon cancer and is undergoing chemotherapy in Banyumas
General Hospital.

Keywords: hypnotherapy, colon cancer, pain, anxiety.

PENDAHULUAN memberikan hypnoterapi untuk


Pasien yang mengalami kanker menangani masalah pasien.
memperlihatkan adanya stres dan depresi Hasil wawancara pada studi
yang ditunjukkan dengan perasaan sedih, pendahuluan di dapatkan informasi
putus asa, pesimis, merasa diri gagal, tidak tentang masalah keperawatan yang sering
puas dalam hidup, merasa lebih buruk ditemukan pada pasien kanker kolon yang
dibandingkan dengan orang lain, penilaian menjalani kemoterapi adalah nyeri dan
rendah terhadap tubuhnya, dan merasa kecemasan, perawat di RSU Banyumas
tidak berdaya. Kemungkinan terjadinya menggunakan intervensi kolaboratif
gangguan psikologi seperti depresi, farmakologis dengan pemberian analgetik
kecemasan, kemarahan, perasaan tidak dan motivasi spiritual untuk
berdaya dan tidak berharga dialami antara mengatasinya, penggunaan hypnosis
23%-66% pasien kanker 5. sangat jarang dilakukan karena merasa
Berdasarkan Permenkes RI Nomor belum menguasai, serta tidak ada standar
1109 Tahun 2007, terapi komplementer operasional prosedur penerapannya.
bisa dilakukan di sarana kesehatan, Penelitian penggunaan hipnosis
Permenkes RI Nomor sebagai terapi untuk nyeri dan kecemasan
HK.02.02/Menkes/148/1/2010 terapi sudah cukup banyak, tetapi sering
komplementer yang bisa digunakan adalah dianggap belum mampu menjawab
terapi hipnosis atau hypnotherapi, keraguan masyarakat tentang aspek ilmiah
berdasarkan ketentuan di atas maka dan kecenderungan anggapan bahwa
perawat mempunyai kewenangan hypnosis sebagai terapi bertentangan
dengan keyakinan kepercayaan/ agama
Jurnal Ilmu Kesehatan. Vol.1 No.1 November 2014 | 1
tertentu, sehingga diperlukan penelitian interpretasi tersebut meliputi
lebih lanjut untuk menjawab kebutuhan mendeskripsikan fenomena yang
dan keraguan masyarakat tersebut. diteliti, mengumpulkan deskripsi
METODE PENELITIAN fenomena melalui pendapat
& Desain Penelitian partisipan, membaca seluruh deskripsi
Penelitian ini menggunakan desain fenomena yang telah disampaikan
penelitian kualitatif dengan oleh partisipan, membaca kembali
pendekatan penelitian tindakan/ transkrip hasil wawancara dan
action research dengan mengutip pernyataan-pernyataan yang
mengimplementasikan metode bermakna, meneliti membaca kembali
hypnotherapi sebagai upaya penangan transkrip hasil wawancara, memilih
nyeri dan kecemasan pada pasien pernyataan-pernyataan dalam
kanker colon yang mendapatkan transkrip yang signifikan dan sesuai
terapi kemoterapi di RSU Banyumas. dengan tujuan khusus penelitian dan
2. Variabel Penelitian memilih kata kunci pada pernyataan
Variabel dalam penelitian ini adalah : yang telah dipilih dengan cara
a. Variabel bebas pada penelitian ini memberikan penanda dan kode tujuan
adalah hypnotherapi pada pasien khusus, menguraikan arti yang ada
kanker kolon. dalam pernyataan-pernyataan
Variabel terikat pada penelitian ini signifikan, peneliti membaca kembali
ada dua yaitu nyeri dan kata kunci yang telah diidentifikasi
kecemasan. dan berusaha menemukan esensi atau
& Populasi dan Sampel Penelitian makna dari kata kunci untuk
Populasi dalam penelitian ini membentuk kategori, mengorganisir
adalah pasien kanker kolon yang kumpulan-kumpulan makna yang
sudah menjalani operasi terumuskan ke dalam kelompok tema.
pengangkatan kanker dan Peneliti membaca seluruh kategori
mendapatkan kemoterapi yang yang ada, membandingkan dan
mengalami nyeri dan kecemasan di mencari persamaan diantara kategori
RSU Banyumas. Pengambilan tersebut, dan pada akhirnya
partisipan menggunakan teknik mengelompokkan kategori-kategori
purposif sampling berdasarkan yang serupa ke dalam sub-sub tema,
karakteristik bersedia menjadi sub tema dan tema.
partisipan yang dinyatakan dalam
lembar persetujuan dan tidak terdapat HASIL
gangguan komunikasi verbal maupun Penelitian ini menghasikan 5 kategori
nonverbal, setelah dilakukan tema yang menjelaskan proses
penelitian di dapatkan partisipan hypnotherapi dan respon partisipan
sebanyak 6 orang. terhadap hypnotherapi yang dilakukan
4. Prosedur Pengumpulan dan Analisa dalam tiga siklus. Kategori tema di
Data uraikan berdasarkan tujuan khusus
Data dikumpulkan dengan sebagai berikut :
wawancara mendalam dan observasi 1. Pra Induksi
partisipan sebelum dan sesudah Proses pre-induksi dilakukan 3 kali
dilakukan hipnotherapi. Pengolahan yaitu sebelum induksi hypnoyherapi 1,2
data menggunakan software NVivo dan 3, hasil pre induksi di dapatkan data
9.0.204.0. Peneliti melakukan analisa partisipan mengeluh adanya nyeri yang
datamenggunakanmetode dirasakan yaitu sangat nyeri, nyeri berat
interpretasi data Speziale, & dan juga kecemasan. Partisipan
29 menginginkan nyeri dan kecemasannya
Carpenter (2007) , langkah-langkah

Jurnal Ilmu Kesehatan. Vol.1 No.1 November 2014 | 2


hilang atau berkurang, pernyataan “...dangu-dangu matane kulo abot
partisipan seperti diungkapkan sebagai terus turu...dadi kelalen kabeh larane,
berikut : karo penyakite /....... lama-kelaman
“Nggih niki sakite, ora mari-mari mata saya berat mengantuk terus tidur
larane,...mbuh kapan marine, ora bisa dan saya lupa rasa sakite”. (P2)
turu, nek turu ngimpi ketemu karo sing “....rasane mripate tambah
wis mati /Ya ini sakitnya, tidak abot...tambah ngantuk terus kulo
sembuh-sembuh, entah kapan turu...../... saya rasakan mata saya
sembuhnya, tidak bisa tidur, kalau semakin berat, semakin mengantuk
tidur mimpi ketemu sama orang-orang terus saya tertidur” (P5)
yang sudah meninggal.... (Partisipan “Nggih situasi pas teng gunung /ya
terlihat emosional, mata berkaca- situasi di gunung,.... Nggih niku wau
kaca...)” (P2) sedoyo rasane mpun sekeca,
“Nggih sakit sekali niki, kulo manut ndamelaken pikirane tenang/ semua
sing penting sakitnya saged rasanya nyaman, membuat pikiran
ical...mantun/ iya sakit sekali, saya tenang”. (P2)
nurut yang penting nyeri ini bisa “Niku pas jalan-jalan teng
hilang....sembuh”(P2) alas...hawane seger...akeh wit-wit sing
2. Induksi dan Deepening ijo, suara manuk pada moni....rasane
Proses induksi dan deepening kepenak/ itu pas jalan-jalan di
dilakukan bersama-sama, pada proses hutan...hawanya segar...banyak pohon-
hypnoterapi I proses ini menggunakan pohon hijau...suara burung
metode nafas dalam, pada hypnotherapi berkicau...rasanya enak di badan”.
tahap II menggunakan metode nafas (P5)
dalam dan metode mata berkedip “Yang tadi itu pas ke sawah, jalan-
sedangkan pada hypnotherapi tahap III jalan di sawah sedang panen padi,
menggunakan metode nafas dalam, jalan ke gubuk, masuk ke gubuk dan
metode mata berkedip dan metode tertidur...”.(P6)
imagery oleh terapis. Dari hasil induksi dan deepening ini
Dari hasil penelitian di dapatkan tingkat sugestifitas partisipan di ukur
data pada induksi dan deepening siklus menggunakan Davis-Husband Scale
1 partisipan merasakan otot terasa dan di dapatkan tingkat sugestifitas
kendor, rileks, nyaman, dan tidak terasa sebagai berikut :
sakitnya, pada induksi dan deepening 30
siklus 2 di dapatkan data respon Skala
25
partisipan berupa mata semakin lama Sugestifitas
20 Induksi 1
semakin berat, mengantuk, tidur, lupa 15 Skala
semua sakitnya, muncul rasa nyaman, 10 Sugestifitas
pada induksi dan deepening siklus 3 di Induksi 2
5 Skala
dapatkan data partisipan merasakan
0 Sugestifitas
berada di pantai, di gunung dan di
P1 P2 P3 P4 P5 P6 Induksi 3
hutan, semuanya merasakan bisa tidur,
badan terasa nyaman, terasa ringan dan
hati gembira, hal tersebut diungkapkan Grafik 1. Tingkat sugestifitas partisipan
partisipan sebagai berikut : 5. Sugesti terapi
“Niku sing tarik nafas...teras otote Proses pemberian sugesti terapi
sami kendo...teras rileks...ngantos dilakukan setelah proses induksi dan
turu...sekeca/ yang tarik nafas, semua deepening, pada proses hypnoterapi I
otot terasa rileks dan sugesti terapi yang diberikan berupa
tertidur...nyaman”. (P4) metode relaksasi, pada hypnotherapi

Jurnal Ilmu Kesehatan. Vol.1 No.1 November 2014 | 3


tahap II menggunakan sugesti terapi tidur tadi rasanya enak, tidak terasa
yang diberikan menggunakan metode sakitnya”.(P2)
relaksasi dan metode perintah paradoks Pada hypnotherapi tahap III sugesti
sedangkan pada hypnotherapi tahap III yang diberikan menggunakan metode
sugesti yang diberikan menggunakan relaksasi, metode perintah paradoks
metode relaksasi, metode perintah dan metode pemisahan/ disosiasi
paradoks dan metode pemisahan/ partisipan yang merasakan melihat
disosiasi. semua rasa sakit dan kecemasan,
Pada proses pemberian sugesti memasukannya ke dalam botol, badan
terapi yang menggunakan metode menjadi nyaman dan kecemasan
relaksasi di dapatkan hasil semua hilang, seperti data wawncara berikut :
partisipan merasakan otot menjadi “Nggih pas weruh sakite terus kulo
rileks, badan terasa nyaman, nyeri lebetaken teng botol terus kulo bucal
berkurang, tidak terasa nyeri lagi, nyeri teng jurang....teras rasane awak
terasa lagi dan sakit belum hilang. Data kepenak...tambah kepenak niku/ Ya tadi
tersebut di atas dinyatakan partisipan pada saat melihat rasa sakit saya terus
sebagai berikut : saya masukan ke botol terus saya
“...otote sedoyo kendo, terus rasane buang ke jurang....setelah itu rasanya
awak kepenak....mandan badan saya nyaman...tambah nyaman”
mengurangi...ning siki malah krasa (P2)
maning larane nang weteng/ ... otot “banjur kulo saged weruh werna-werni
terasa kendor semua, rasanya badan sakite kulo, saged nyekel sakite
nyaman....agak mengurangi,....tetapi kulo...lajeng kulo pundhuti...teras kulo
nyerinya sekarang terasa di perut lebokaken teng botol niku....kulo buang
saya” (P2) teng laut....kendang adoh pisan...ora
keton malih.........bar niku kolo raose
“.... rileks, otote kendo, ...Sing pas lega....kepenak awake kulo / saya juga
turu....niku rasane kepenak../ ya itu ... bisa melihat semua rasa sakit dan
rileks, ototnya kendor, lemas, yang ketidaknyamanan saya, saya bisa
dalam kondisi tidur”. (P3) memegangnya...lalu saya pegang,...
Pada hypnotherapi tahap II dengan saya masukan ke dalam botol
menggunakan sugesti terapi yang tadi....saya buang ke laut....jauh sekali
diberikan menggunakan metode terbawa ombak laut...setelah itu sata
relaksasi dan metode perintah paradoks merasa lega...nyaman badan saya”.
di dapatkan data pasrtisipan merasakan (P3)
badan terasa nyaman, semua rasa
hilang, tenang, tidak terasa sakit. 2. Alerting
Pernyataan partisipan sebagai berikut : Proses alerting bertujuan untuk
“Wau niku sing pas ngitung siji sampai membawa partisipan kembali ke alam
seket, ...., terus kula mboten kraos sadar, pada semua tahap hypnotherapi
napa-napa,..../ Tadi itu yang berhitung menggunakan metode menghitung 1-
satu sampai lima puluh, ..., terus tidak 10, berdasarkan hasil penelitian di
terasa apa-apa,”.(P1) dapatkan data bahwa partisipan
menghitung dan tiap hitungan
Nggih niku sing kula ngitung...genah merasakan badan nyaman, segar dan
dadi turu terus kelalen hitungan ke sepuluh terbangun. Data
kabeh....kepenak/ Iya itu tadi pas wawancara partisipan pada saat proses
menghitung jadi tertidur terus lupa alerting sebagai sebagai berikut :
semuanya.....Ya pas turu krasane “....... pas ngitung sampe sepuluh
kepenak niku, ora krasa sakite/ Ya pas rasane awak kulo tambah

Jurnal Ilmu Kesehatan. Vol.1 No.1 November 2014 | 4


kepenak....terus kulo tangi /Pada saat 6
mengantuk dan tidur ya tidak
merasakan apa-apa, pada saat 4 Hypno 1
mengitung sampai sepuluh badan
terasa semakin enak.....terus saya 2 Hypno 2
bangun”. (P1) Hypno 3
0
“Pas ngitung satu sampai P1 P2 P3 P4 P5 P6
sepuluh....teras setiap hitungan rasane Grafik 2. Penurunan Nyeri
awak tambah seger, kepenak...lajeng
itungan sing kaping sepuluh kulo 40
tangi....ketika menghitung satu sampai
sepuluh,...setiap hitungan badan 30
Hypno 1
rasanya segar dan nyaman...terus saya 20
Hypno 2
terbangun ketika hitungan ke sepuluh”. 10
(P3) Hypno 3
0
% Penurunan nyeri dan kecemasan P1 P2 P3 P4 P5 P6
Penurunan tingkat nyeri dirasakan
oleh semua partisipan setelah proses Grafik 3. Penurunan Kecemasan
hypnoterapi di lakukan terlihat dari
penurunan scala nyeri yang di keluhkan PEMBAHASAN
partisipan, walaupun rasa nyeri muncul Pada pelaksanaan hypnotherapi
lagi sebelum hypnotherapi tahap peneliti menggunakan komunikasi
berikutnya, penurunan yang paling terapeutik dengan pendekatan
banyak terjadi pada hypnotherapi tahap interpersonal agar supaya segala sesuatu
3, rata-rata penurunan scala nyeri pasca yang berkaitan dengan nyeri dan
hypnotherapi tahap 1 adalah 4, pada kecemasan partisipan dapat terungkap dan
hypnotherapi 2 adalah 4,3 dan pada kemudian pesan-pesan hynotherapi dapat
hypnotherapi 3 sebesar 6,3 ini diterima sehingga akan membawa
menunjukan bahwa angka rata-rata manfaat/ efektif pada nyeri dan
penurunan nyeri terbanyak pada kecemasan yang dialami partisipanhal ini
hypnotherapi tahap 3. Penurunan nyeri sesuai dengan Nurindra (2008) 17,
juga di kemukakan oleh responden hypnosis adalah suatu seni komunikasi
sebagai berikut : yang persuasif untuk membuka pintu
“Nggih kirang sakite ....Nggih wau pas gerbang alam sadar seseorang sehingga
turu sekeca, ..../ Iya berkurang sugesti bisa di berikan, Sendjaja (2004)24
sakitnya....Tadi pas tidur rasanya juga menyampaikan bahwa dalam
nyaman, ...”(P4)
komunikasi interpersonal memliki
karakter humanistik yaitu keterbukaan,
“Rasanya enak, sakitnya berkurang, empati, perilaku suportif, perilaku positif.
otot tubuh rileks ya.., di badan terasa Komunikasi interpersonal akan
semua...”(P6) efektif bila memiliki perilaku positif, 24
Sikap positif dalam komunikasi
“Nggih alhamdulillah berkurang
interpersonal yang peneliti lakukan adalah
sanget... /iya berkurang,berkurang dengan memandang positif terhadap diri
sekali” (P1) sendiri sehingga yakin akan keberhasilan
Penurunan nyeri dan kecemasan hypnotherapi dan akan menularkan
tergambar dalam grafik berikut : keyakinan tersebut kepada partisipan, di
samping itu peneliti juga senantiasa

Jurnal Ilmu Kesehatan. Vol.1 No.1 November 2014 | 5


menjaga perasaan positif terhadap Kecemasan/ ansietas adalah
partisipan terkait dengan respon partisipan perasaan atau tidak nyaman atau
pada saat hypnotherapi dan interaksi kekhawatiran yang samar disertai
lainnya sepanjang waktu penelitian. respon autonom (sumber seringkali
1. Pra Induksi tidak spesifik atau tidak diketahui oleh
Tahap pra induksi bertujuan untuk individu); perasaan takut yang
mendapatkan data terkait dengan hal- disebabkan oleh antisipasi terhadap
hal yang dirasakan oleh partisipan, bahaya. Hal ini merupakan isyarat
termasuk harapan dan keinginan kewaspadaan yang memperingatkan
terhadap penyelesaian masalah yang individu akan adanya bahaya yang
dihadapi. Informasi mengenai hal memampukan individu untuk bertindak
tersebut akan dapat diperoleh jika menghadapi ancaman (NANDA,
terjadi hubungan saling percaya antara 2012). Sejalan dengan hal tersebut
terapis dengan partisipan, dalam hal ini menyatakan bahwa ansietas/ cemas
adalah peneliti dengan partisipan. meningkatkan persepsi terhadap nyeri
Interaksi antara peneliti dan partisipan dan nyeri bisa menyebabkan seseorang
dilakukan menggunakan pendekatan cemas.
komunikasi terapeutik yaitu dengan Seseorang yang mengalami
berhadapan dengan partisipan, kecemasan akan menunjukan perilaku
menampilkan sikap tubuh yang rileks, penurunan produktifitas, gelisah,
mempertahankan kontak mata, insomnia, kesedihan yang mendalam,
mempertahanan sikap terbuka. ketakutan, perasaan ketidakberdayaan,
Berdasarkan hasil wawancara dan bingung, khawatir, rasa tidak percaya
observasi pra induksi diketahui bahwa diri. Secara fisiologis juga akan
partisipan mengalami nyeri dan nampak ketegangan di wajah, suara
kecemasan. Patisipan yang mengalami bergetar, peningkatan ketegangan, hal
nyeri dalam kategori sangat nyeri ini tentu saja akan berdampak kepada
sejumlah 3 orang dan 3 orang penurunan kualitas hidup
mengalami nyeri berat. Sedangkan 31
penderitanya . Kondisi
yang mangalami kecemasan terdiri dari ketidaknyamanan ini tentu saja
5 orang mengalami kecemasan berat membuat partisipan memerlukan
dan 1 orang mengalami kecemasan bantuan untuk penanganan
sedang hal ini tidak sesuai dengan yang keperawatan yang sesuai, dan mau
menyatakan bahwa lansia cenderung bekerja sama dalam upaya mengatasi
memendam nyeri yang dialami, karena masalah nyeri dan kecemasan yang
mereka menganggap nyeri adalah hal dihadapi, dengan dasar inilah maka
alamiah yang harus dijalani dan mereka peneliti membuat suatu perencanaan
takut kalau mengalami penyakit berat untuk melakukan hipnotherapi sebagai
atau meninggal jika nyeri diperiksakan. upaya penanganan nyeri dan
Perry & Potter, (2010)21, kecemasan yang dialami oleh
Partisipan mengalami kecemasan partisipan.
karena sakit yang tidak kunjung 2. Induksi dan Deepening
sembuh, nyeri yang dirasakan yang Induksi adalah merupakan suatu
menyebabkan terjadinya gangguan metode yang digunakan oleh terapis
tidur baik kualitas maupun (peneliti) untuk membimbing pasien
kuantitasnya, cerita orang-orang (partisipan) untuk mengalami suatu
tentang penderita penyakit kanker yang trance hypnotheray. Kondisi ini
tidak berumur panjang, kekhawatiran merupakan proses ini terjadi
tidak bisa beribadah dengan sempurna, perpindahan pikiran pasien dari pikiran
serta sering mengalami mimpi buruk. sadar (conscious mind) ke alam pikiran

Jurnal Ilmu Kesehatan. Vol.1 No.1 November 2014 | 6


bawah sadar (sub-conscious mind). mudah karena tidak banyak perintah
Trance hypnosis adalah suatu kondisi yang rumit sehingga tidak memerlukan
kesadaran dimana bagian kritis pikiran banyak waktu bagi partisipan untuk
sadar tidak aktif, sehingga partisipan mencerna, serta karena tidak adanya
sangat reseptif terhadap sugesti yang masukan dan saran dari partisipan pada
diberikan oleh hypnotist27. masing-masing metode karena
Deepening merupakan kelanjutan dirasakan sesuai dengan kondisi
dari induksi yang bertujuan untuk partisipan.
membawa partisipan pada tingkatan
trance hypnosis sehingga akan 3. Sugesti therapi
meningkatkan kemampuan partisipan Sugesti terapi yang di berikan
untuk menerima sugesti. Trance kepada partisipan pada penelitian ini
hypnosis dibagi menjadi beberapa tahap menggunakan metode relaksasi,
berdasarkan Davis-Husband Scale perintah paradoks dan pemisahan/
menjadi Hypnoidal, light trance, disosiasi, pemberian dilakukan ketika
medium trance, deep trance atau partisipan sudah memasuki kondisi
somnambulism 7. trance, akan lebih efektif apabila
Berdasarkan pengukuran tingkat sampai pada deep trance atau
sugestifitas setelah dilakukan induksi somnabulism karena pada tahap ini
dan deepening diketahui ada perbedan kondisi mental atau pikiran pasien
yang cukup tajam terkait dengan menjadi sangat sugestif 27.
tingkat sugestifitas pada masing- Setelah menjalani semua siklus
masing tahap siklus hypnotherapi, pada hypnotherapi di dapatkan data terjadi
siklus 1 diketahui rata-rata partisipan penurunan nyeri dan kecemasan pada
masih berada pada tahap midle trance, masing-masing siklus, penurunan nyeri
sedangkan pada siklus 2 dan siklus 3 dalam kisaran 4 sampai 6,3 dan
partisipan sudah bisa mencapai tahap penurunan kecemasan pada kisaran 7
deep trance, sehingga lebih sugestif sampai 15,8.
terhadap sugesti therapi, hal ini juga di Rata-rata penurunan nyeri tertinggi
dukung dengan hasil penurunan nyeri pada siklus hypnotherapi 3 yaitu pada
dan kecemasan yang lebih dirasakan angka 6,3, hal ini kemungkinan
pada hypnotherapi siklus 2 dan disebabkan karena pada tahap induksi
semakin meningkat pada sikul 3, hal ini dan deepening siklus 3 ini semua
sesuai dengan Sovodka (2010) 27 partsipan bisa memasuki level deep
bahwa pada kondisi deep trance pasien trance yang lebih dalam sehingga
akan lebih sugestif terhadap sugesti partisipan lebih sugestif terhadap
therapi. Ada banyak metode yang dapat sugesti terapi yang peneliti berikan, hal
digunakan dalam rangka untuk induksi ini sesuai dengan Sovodka (2010)27.
dan deepening dalam hypnotherapi. Berbeda dengan penurunan kecemasan
Ada banyak ragam metode induksi yang berdasarkan pengukuran dengan
dan deepening tetapi peneliti hanya menggunakan HARS ternyata di
menggunakan metode nafas dalam/ dapatkan penurunan kecemasan angka
deepth breathing, metode membuka rata-rata tertinggi pada siklus 1 disusul
dan menutup mata/ mata berkedip dan siklus 3 dan paling sedikit penurunan
metode imagery oleh terapis, hal ini kecemasan pada siklus 2, hal ini
dilakukan dengan beberapa dimungkinkan karena sebelum siklus 1
pertimbangan yaitu untuk keseragaman parisipan banyak mengalami gangguan
perlakuan, kondisi latar belakang tidur/ insomnia dan setelah
pendidikan partisipan yang sebagian hypnotherapi siklus 1 partisipan
besar berpendidikan sekolah dasar, menyatakan bisa tidur walaupun masih

Jurnal Ilmu Kesehatan. Vol.1 No.1 November 2014 | 7


belum puas tidurnya, hal tersebut yang terjadi di sekitarnya berikut
dijelaskan oleh Stuart31, Sundeen dengan berbagai stimulus yang
(2007)27 bahwa kecemasan akan diberikan oleh terapis.
menimbulkan respon fisiologis Kolcaba (2003)1 menyatakan
terhadap tubuh, di mana akan seseorang yang mengalami nyeri
menimbulkan respon neuromuscular berarti tidak terpenuhi kebutuhan rasa
berupa insomnia, gelisah, wajah nyaman dari partisipan, seseorang yang
tegang, kelemahan umum dll, selain itu nyeri akan mencari pertolongan untuk
hasil penelitian ini juga didukung oleh memenuhi kebutuhan rasa nyamannya,
penelitian Wahyu dan Arif (2008)35 dengan hipnosis peneliti dapat
yang menyatakan bahwa ada hubungan memenuhi kebutuhan rasa nyaman
antara kecemasan lansia dengan partisipan sejak tahap pra induksi, yaitu
kecenderungan insomnia di Panti dengan menggali permasalahan yang
Wredha Dharma Bakti Surakarta. melatar belakangi nyeri kemudian
Partisipan mengungkapkan bahwa membantu menyelesaikannya sehingga
mereka bisa memenuhi kebutuhan tidur partisipan merasa terbebas dari
mereka dengan hypnosis, lebih rileks permasalahan dan tentram (ease),
dan nyaman serta tidak lagi mengalami partisipan juga merasa mampu
mimpi buruk yang mengganggu mengatasi permasalahannya
kualitas tidur mereka. Hal ini didukung (transendece) karena ada orang yang
oleh penelitian Iriana (2014) Analisa akan membantunya, hal tersebut
menunjukkan ada hubungan antara terbukti saat penelitian, partisipan
kecemasan dengan kualitas tidur ibu menyatakan nyerinya berkurang
hamil di Poliklinik KIA Puskesmas langsung setelah selesai sesi hipnosis,
Helvetia Medan Tahun 2013. partisipan juga merasa lebih lega dan
Pada Penelitian Schnur, dkk. lebih segar saat terbangun dari
(2009)30. menggunakan pendekatan hipnosis, partisipan tampak lebih
RCT dengan menggabungkan terapi bersemangat dan lebih bugar.
perilaku (Cognitive-Behavioral Kondisi ketidaknyamanan berupa
Therapy and Hypnosis Intervention/ nyeri dan kecemasan yang dialami
CBTH) pada pasien kanker payudara akan membawa partisipan untuk
yang menjalani radiotherapi di mendapatkan tipe-tipe kenyamanan
dapatkan hasil bahwa CBTH memiliki didefiniskan sebagai dorongan (relief)
potensi untuk meningkatkan motivasi berupa kondisi partisipan yang
dari perempuan yang menjalani kanker membutuhkan kebutuhan yang spesifik
payudara radioterapi. dan segera, ketenteraman (ease) yaitu
Gunawan (2007)17 menjelaskan saat kondisi yang tenteram atau kepuasan
seseorang terhipnosis, fungsi analitis hati dan transcedence yaitu suatu
logis pikiran direduksi sehingga kondisi dimana individu mampu
memungkinkan individu masuk ke mengatasi nyeri dan kecemasanya.
dalam kondisi bawah sadar, dimana Berdasarkan teori Orem1,19, maka
tersimpan beragam potensi internal praktek dari aktivitas yang dimulai
yang dapat dimanfaatkan untuk lebih individu untuk menjaga kehidupan dan
meningkatkan kualitas hidup. Individu kesehatannya dalam hal ini adalah
yang berada pada kondisi hypnotic kegiatan partisipan untuk penanganan
trance lebih terbuka terhadap sugesti masalah nyeri dan kecemasannya
dan dapat dinetralkan dari berbagai rasa disebut self care. Hal yang dibutuhkan
takut berlebih, trauma ataupun rasa untuk menjaga kegiatan Self care
sakit. Individu yang mengalami adalah self care requisites, yang terdiri
hipnosis masih dapat menyadari apa tiga bagian, yaitu universal self care

Jurnal Ilmu Kesehatan. Vol.1 No.1 November 2014 | 8


requisites, developmental self care, nyeri sedang, kecemasan sedang maka
health deviation self care requisites. partisipan pada posisi partly
Kebutuhan universal self care compensatory system, partisipan hanya
requisites yaitu kebutuhan yang membutuhkan sebagian pelayanan
dibutuhkan oleh manusia berupa udara, keperawatan, partisipan masih
air, makanan, eliminasi, aktivitas dan bekerjasama dengan peneliti untuk
istirahat, menyendiri dan bersosialisasi memenuhi kebutuhannya, dan pada
serta pencegahan bahaya, sedangkan kondisi ini perawat bisa memulai
developmental self care requisites mempertimbangkan untuk memberikan
adalah kebutuhan tumbuh kembang pembelajaran tentang self hypnotherapi
dari manusia sepanjang perjalanan kepada pasien untuk mengatasi
kehidupan, sedangkan health deviation masalahnya, ketika sudah berada pada
self care requisites adalah ketika level nyeri ringan, kecemasan ringan,
seseorang sakit dan menggangu fungsi partisipan berada pada situasi
seseorang maka dia akan membutuhkan Supportive educative system dimana
bantuan seseorang1. Berdasarkan data partisipan bisa memenuhi sebagian
penelitian kebutuhan universal self care kebutuhannya namun masih
requisites yang belum terpenuhi oleh membutuhkan bimbingan, ketika
partisipan adalah kebutuhan akan pasien sudah berada pada kondisi nyeri
istirahat, aktifitas dan pencegahan dari ringan dan kecemasan ringan maka
bahaya nyeri sehingga mendorong pasien sudah bisa melakukan self
health deviation self care requisite hypnosis.
untuk meminta dukungan dan bantuan
orang lain sehingga kebutuhan self 4. Alerting
care/ menjaga kehidupan dan Alerting sering disebut juga dengan
kesehatannya terpenuhi. awakening merupakan tahap akhir dari
Nursing system dibagi menjadi tiga seluruh proses terapi. Nurindra
bagian yaitu wholly compensatory (2008)17 menyebutkan pengakhiran
nursing system yaitu orang yang adalah tahap untuk mengakhiri hipnotis
membutuhkan pelayanan keperawatan dan membawa partisipan kembali ke
secara total, Partly compensatory kondisi normal.
system yaitu orang yang membutuhkan Pada tahap ini pasien perlahan-lahan
pelayan keperawatan sebagian, perawat dibangunkan dari tidur hypnosis dan
dan pasien bekerja sama untuk mengembalikan sepenuhnya kepada
memenuhi kebutuhannya, Supportive kesadaran, tahap yang paling
educative system, adalah situasi dimana menyenangkan dari serangkaian tahap
pasien dapat memenuhi kebutuhannya hypnotherapi adalah ketika partisipan
namun masih membutuhkan terbangun, membuka mata dan
1 tersenyum kepada therapis, hal ini
bimbingan . Dalam konteks
permasalahan nyeri dan kecemasan menandakan proses hypnosis telah
yang di hadapi oleh partisipan, ketika memberikan manfaat kepada pasien.
partisipan berada pada kondisi sangat Pada pelaksanaan alerting pada 3 siklus
nyeri, nyeri berat, kecemasan berat hypnotherapi peneliti menggunakan
maka patisipan berada pada wholly metode menghitung 1-10 secara
compensatory sehingga membutuhkan perlahan-lahan dengan memberikan
secara total pelayanan keperawatan ucapan yang menguatkan terhadap
untuk mengatasinya, dan hypnotherapi proses sugesti, hal ini sesuai dengan
layak menjadi salah satu pilihan untuk Sovodca (2010)28 bahwa untuk
mengatasi masalah nyeri dan mengakhiri proses hypnotherapi,
kecemasan, ketika sudah sampai pada seorang therapis boleh mengucapkan

Jurnal Ilmu Kesehatan. Vol.1 No.1 November 2014 | 9


kata-kata yang semakin membuat menguasai teknik ketrampilan
pasien bersemangat dan yakin bahwa hypnotherapi mulai dari proses
masalahnya sudah terselesaikan. Hal pendidikan.
yang paling banyak ditemukan adalah
ekspresi senyum partisipan, yang
menunjukan bahwa nyeri dan KEPUSTAKAAN
kecemasannya berkurang atau hilang. 3. Alligood , MR; Tomey, AM;. (2006).
Nursing theory utilization &
application, third edition. ST Louis:
SIMPULAN DAN Mosby, Inc.
SARAN Simpulan 4. Boyle, P., & Leon, M. E. (2002).
Penelitian ini mendapatkan gambaran Epidemiology of colorectal cancer.
tentang manfaat hypnotherapi untuk British Medical Bulletin, 1–25.
mengatasi nyeri dan kecemasan pada 5. Brunicardi, F Charles; Andersen,
pasien dengan kanker kolon yang sedang Dana K; Billiar, Timothy R; Hunter,
menjalani kemotherapi, gambaran tersebut John G; Dunn, David L; Matthews,
sebagai berikut : Penurunan tingkat nyeri Jeffrey B; Pollock, Raphael E;.
dirasakan oleh semua partisipan setelah (2009). Schwartz's Principles Of
hypnoterapi di lakukan pada masing- Surgery. USA: The McGraw-Hill
masing siklus. Companies, Inc.
Penurunan tingkat nyeri yang paling 6. Brunner, Sudarth. (2002). Brunner,
besar dirasakan pada hypnotherapi tahap 2002, Buku ajar keperawatan
3, rata-rata penurunan scala nyeri pasca medikal-bedah, EGC, Jakarta.
hypnotherapi siklus 1 adalah 4, pada Jakarta: EGC.
hypnotherapi siklus 2 adalah 4,3 dan pada 7. Hadjam,M.(2000).Tinjauan
hypnotherapi siklus 3 sebesar PsikologisTentangKanker.
6,3.Penurunan tingkat kecemasan Yogyakarta: Fakultas Psikologi
dirasakan oleh semua partisipan setelah UGM.
dilakukan pada masing-masing siklus. 8. Hakim, A. (2010). Hipnoterapi :
Pada penurunan kecemasan paling besar Cara Tepat Mengatasi Stress, Fobis,
terjadi pada siklus 3, dengan rata-rata rata- Trauma dan Gangguan Mental
rata penurunan kecemasan pada Lainnya. Cet. I. Jakarta.:
hypnotherapi tahap 1 adalah sebanyak PT.Transmedia Pustaka.
15,8 pada tahap 2 sebanyak 7, pada tahap 9. Heap, Michael; Aravind, Kottiyattil
hypnotherai 3 sebanyak 9,83. K;. (2007). Hartland's Medical and
Dental Hypnosis. London: Churchill
Saran Livingstone.
Berdasarkan simpulan hasil penelitian 10. Kemmis, S; McTaggart, R;. (2000).
di atas, peneliti memberikan saran sebagai Participatory Action Research. New
berikut : York: Denzin & Y. Lincoln.
a. Diharapkan pemberian hypnotherapi 11. Koshy, V. (2005). Action Research
menjadi salah satu intervensi for Improving Practice, A Practical
keperawatan yang diatur dengan Guide. London : A SAGE
standar operasional yang berlaku pada Publications Company.
tataran pelayanan kesehatan. 12. Kroger, W. S. (2008). Clinical &
b. Penguasaan terapi hypnosis untuk Experimental Hypnosis In Medicine,
mengurangi nyeri dan kecemasan DensistryandPsychology.
hendaknya dimasukan dalam Philadelphia USA: Lippincott
kurikulum pendidikan keperawatan William & Wilkins.
sehingga perawat akan belajar

Jurnal Ilmu Kesehatan. Vol.1 No.1 November 2014 | 10


4. March, Angela ; Cormack, Dianne 5. Sadock, Benjamin James; Sadock,
Mc;. (2009). Modifying Kolcaba’s Virginia Alcot;. (2010). Kaplan &
Comfort Theory as an institution. Sadock Buku Ajar Psikiatri Klinis.
Holistic Nursing Practice, 78. Jakarta: EGC.
5. Marijata. (2006). Pengantar Dasar 6. Sendjaja, D.S. (2004). Pengantar Ilmu
Bedah Klinis. Yogyakarta: UPK- FK Komunikasi. Jakarta : Universitas
UGM. Terbuka
6. M., Kojima, et al. (2005). Perceived 7. Siregar, G. A. (2007). Deteksi Dini
Psychologic Stress and Colorectal Dan Penatalaksanaan Kanker Usus
Cancer Mortality:. Psychosomatic Besar. Medan: USU.
Medicine, the American 8. Sjamsuhidajat , R, Wim de Jong.
Psychosomatic Society, pp.67:72–77. (2005). Buku Ajar Ilmu Bedah.
7. McCloskey, J., & Bulechek, G. (. Jakarta: EGC.
(2000). Nursing Interventions 9. Smeltzer, S. C; Bare, B;. (2006).
Classification (NIC) (3rd ed.). St. Buku Ajar Keperawatan Medikal
Louis: Mosby-Year Book. Bedah Brunner & Suddarth (8 ed.,
8. Naibaho, D. (2002). Karakteristik Vol. III). (M. Ester, Penyunt., A.
Penderita Kanker Kolorectal yang Hartono, H. Y. Kuncara, E. S.
dirawat inap di RSUP H. Adam Malik Siahaan, & A. Waluyo, Penerj.).
Medan. Medan: USU Repositori. Jakarta: EGC.
9. Niff, Jean Mc; Whitehead, Jack. 10. Sovodka, P. (2010). Secret of
(2002). Action Research: Principles Hypnotherapy. Jogjakarta:
and Practice. New York: FlashBooks.
RoutledgeFalmer. 11. Speziale, H., Streubert, H., &
10. Nurindra, Y. (2008). Panduan Self Carpenter, D. (2007). Qualitative
Hypnosis. Jakarta: www.hipnotis.net. Research in Nursing. Advancing the
11. Olwin Nainggolan, Anna Maria, S., Humanistic Imperative. London:
Marice, S. (2009). Faktor-Faktor yang Lippincoot Williams & Wilkins.
berhubungan dengan Tumor/ Kanker 12. Stoebl, BL; Molton, IR; Patterson ,
Saluran Cerna Berdasarkan Survei DR;. (2009). The efficacy of hypnotic
Kesehatan Nasional. Jakarta: analgesia in adult, a review literature.
Puslibang Depkes RI. Journal of Contemporary Hypnosis,
4) Orem, D. (2001). Nursing Concept of Vol. 26,no. 1, pp. 24-39.
Practical. St. Louis: The CV. Mosby 13. Stuart, G. W. (2005). Principles and
Company. Practice of Psychiatric Nursing. (9th
5) Oemiati, Ratih; Rahajeng, Ekowati; ed.). Canada: Mosby Elsevier.
Kristanto, Antonius Yudi;. (2011). 14. Strong, Jenni ; Unruh, Anita, M.
Prevalensi Tumor dan Beberapa (2002). Pain : Textbook for Therapist.
Faktor yang Mempengaruhi di Edinburg: Churchill Livingstone
Indonesia. Buletin Penelitian 15. Stuart, G; Sudeen, S;. (2007). Buku
Kesehatan, Vol. 39, No. 4, pp.190- Saku Keperawatan Jiwa (3 ed., Vol.
204. III). (Y. Asih, Penyunt., & A. Yani,
3. Perry, A. G; Potter , P. A;. (2007). Penerj.). Jakarta: EGC.
Fundamental of Nursing (6th ed.). 16. Taylor, S. E.; Dakof, G. A;. (1988).
Italy: Elsevier Health Science Social support and the cancer patient.
Division. In S. Oskamp & S. Spacapan (Eds.),
4. Rasjidi, I. (2010). Perawatan Paliatif The social psychology of health: The
Suportif & Bebas Nyeri Pada Kanker. Claremont symposium on applied
Jakarta: CV Sagung Seto. social psychology. Newbury Park,
California: Sage Publications.

Jurnal Ilmu Kesehatan. Vol.1 No.1 November 2014 | 11


35. Wahyu, W. Arif, W. (2008). Rumah Sakit Immanuel Bandung
Hubungan antara tingkat kecemasan Periode Januari 2005 ─ Desember
dengan kecenderungan Insomnia Pada JKM. Vol.8 No.2 Februari ,
Lansia di Panti Whreda Dharma Bakti pp.138-143.
Mulia. Surakarta; tidak dipublikasikan N. Zahari, A. (2002). Deteksi Dini,
Diagnosa dan Penatalaksanaan
4. Winarto, Emilia P; Ivone, July; Kanker Kolon dan Rektum. Suplemen
Saanin, Sri Nadya J;. (2009). Majalah Kedokteran Andalas, pp.63-
Prevalensi Kanker Kolorektal di

Jurnal Ilmu Kesehatan. Vol.1 No.1 November 2014 | 12


TERAPI DZIKIR PADA PASIEN KANKER STADIUM LANJUT

Indrarini Puspasari & Artiawati

Fakultas Psikologi
Universitas Surabaya

& LATAR BELAKANG MASALAH


Kanker adalah sekelompok penyakit yang ditandai oleh tidak terkontrolnya
perkembangan dan penyebaran sel-sel tubuh yang abnormal, dan dapat berakibat kematian.
(American Cancer Society, 2007, p.1). Rasa nyeri akibat kanker yang dirasakan pasien begitu
hebatnya sehingga sangat mengganggu aktivitas sehari-hari dan menimbulkan penderitaan
yang luar biasa bagi pasien. Kanker juga dapat menyebabkan penampilan fisik tidak lagi
menarik, misalnya: tubuh yang kian kurus hingga kerontokan rambut. Hal ini membuat
pasien merasa rendah diri, cemas, stress hingga muncul depresi. (American Cancer Society,
2007, p.22). Meskipun tidak ada kriteria universal untuk mendiagnosa depresi pada pasien
yang sakit terminal, pasien kanker stadium lanjut mempunyai 6 – 8 gejala depresi pada
umumnya. Gejala-gejala paling umum muncul adalah perasaan tidak berharga, perasaan tidak
tertolong, kehilangan harapan, perasaan bersalah yang berlebihan serta pemikiran menyakiti
diri sendiri. Pemikiran menyakiti diri sendiri ini telah mengarah pada keinginan bunuh diri
diantaranya tercermin pada pernyataan pada HAD (The Hospital Anxiety and Depression)
Scale seperti: “aku ingin tidur dan berharap tidak akan bangun lagi”, “aku ingin mengakhiri
hidupku bila ada kesempatan”, “aku berharap dokter melakukan sesuatu yang dapat
mengakhiri hidupku”. Gejala-gejala somatis yang dialami antara lain: nafsu makan rendah
serta takut atau minder akan bentuk tubuh dan wajah (Lloyd-Williams, 2003, p.579).
Untuk mengatasi serangan nyeri yang begitu hebat, banyak hal yang dapat dilakukan.
Angket yang disebar The American Pain Society kepada sejumlah pasien yang dirawat di
rumah sakit menyebut cara-cara mengatasi nyeri, diantaranya: pengobatan nyeri intravena
(66%), injeksi nyeri (62%), relaksasi (33%), sentuhan (19%) dan pijat atau massage (9%).
Cara yang paling banyak dilakukan sebesar 75% adalah berdoa individual atau melakukan
pendekatan kepada Tuhan Yang Maha Esa (Puchalski, 2000, p.353). Beberapa studi telah
banyak menunjukkan bahwa orang-orang yang mempunyai keyakinan spiritual cenderung
mampu melihat masa depan dengan lebih positif dan mempunyai kualitas hidup lebih baik.
Demikian pula pasien kanker stadium lanjut yang mempunyai keimanan terhadap agamanya
merasa lebih puas dan bahagia dengan hidupnya serta merasakan nyeri lebih ringan.
(Puchalski, 2001, p.353).
Di dalam ajaran agama Islam, pendekatan kepada Allah dapat dilakukan dengan
mengingat nama-nama Allah beserta sifat-sifat dan kekuasaan-Nya yang dilakukan secara
lisan, dalam hati maupun tercermin dalam perbuatan manusia. Pendekatan ini disebut dzikir.
Menurut Hawari (2005, p.40), doa dan dzikir mengandung unsur psikoterapeutik yang
mendalam. Seiring dikeluarkannya segala kegalauan hati, dipasrahkannya segala penderitaan
kepada Allah, penderita merasakan Kekuatan Yang Maha Lembut yang memberikan
kesejukan, kedamaian dalam jiwa. Meskipun kemungkinan sembuh kecil pada kanker
stadium lanjut, dzikir sangat membantu pasien menjadikan kehidupannya lebih bermakna
bagi dirinya dan orang lain.

117.IDENTIFIKASI MASALAH
Penelitian ini mempelajari dzikir sebagai alternatif pilihan penanganan depresi kepada
para pasien kanker stadium lanjut terutama bagi mereka yang menganut agama Islam. Dzikir
dipertimbangkan sebagai bentuk penanganan depresi yang tepat bagi pasien kanker tidak
hanya mendasarkan alasan dzikir relatif mudah dilakukan dimana saja, kapan saja dan dalam
kondisi apapun. Dzikir juga sebagai amalan utama, memperoleh keridhlaan atau derajat yang
tinggi di mata Allah, memantapkan keimanan kepada Allah, menjauhkan individu dari
perbuatan-perbuatan yang tidak disukai Allah sekaligus menjadi media pemberi ketenteraman
dan penerangan bagi jiwa individu yang sedang merasa hampa dan putus asa.

Melalui penghayatan akan makna kalimat-kalimat dzikir yang diucapkan secara tulus
dan sungguh-sungguh, dzikir dapat menjadi kegiatan transendental menuju kedekatan dengan
Allah. Dengan kekuatan dzikir ini, diharapkan tidak hanya tercipta sensasi akan ketenangan
dan ketenteraman hati, tapi juga kepasrahan dan keikhlasan dalam diri pasien kanker. Dalam
hal ini dibutuhkan kesediaan para pasien kanker untuk melepaskan segala pikiran dan
perasaan yang negatif, memasrahkan segala proses kehidupan yang akan terjadi, memohon
ampun atas kesalahan dan kekhilafan yang pernah dilakukan dan berdoa kepada Allah untuk
memperoleh kehidupan yang terbaik untuk dirinya. Dengan perasaan dan pikiran yang
positif, maka terbentuk mind set yang bijaksana pula terhadap kanker. Kanker tidak lagi
dipandang sebagai sebuah penderitaan, kesengsaraan atau death sentence (hukuman mati),
melainkan sebagai anugerah, karunia dan kemuliaan dari Allah. Dengan demikian, para
pasien mampu bangkit dari kondisi keterpurukan, keputusasaan dan kehampaan untuk
menjalani kehidupannya dengan bersemangat dan bahagia.

& KAJIAN PUSTAKA


Nyeri pada pasien kanker selalu menjadi keprihatinan utama. Tidak sedikit pasien
kanker merasakan nyeri kronis yang begitu parah, sangat menyiksa dan berkepanjangan
hingga mempengaruhi kualitas hidup mereka. Akibat nyeri, segala aktivitas sehari-hari
menjadi terganggu, tidak didapatkan lagi perasaan nyaman, tidur maupun kondisi rileks
menjadi terhambat hingga meningkatnya rasa cemas, depresi, stress maupun kelelahan.
(American Cancer Society, 2007, p.22).
Kanker, sebagaimana penyakit yang mengancam kehidupan, tidak saja merubah cara
pandang pasien terhadap diri dan lingkungannya, tapi juga bisa berubah menjadi ancaman
atau gangguan ketidakmampuan menyelesaikan tugas-tugas perkembangan individual. Bila
seseorang terkena kanker di usia dewasa pertengahan, maka lima area utama dalam
kehidupan yang terancam (Holland & Rowland, 1990, p.35 – 37) adalah:
5. Perubahan hubungan interpersonal
6. Ketergantungan – kemandirian
7. Hambatan tercapainya cita-cita/angan-angan
8. Integritas dan citra diri/seksual
9. Masalah eksistensi diri
Beberapa teknik dapat dilakukan para pasien kanker untuk membantu mereka menjadi
lebih tenang dan santai dalam menghadapi stresor-stresor fisiologis maupun psikologis.
Teknik-teknik ini relatif mudah, dapat diterapkan kapan saja dan dimana saja serta dapat
dimodifikasi sesuai dengan kondisi sakit. Teknik-teknik relaksasi tersebut (American Cancer
Society, 2008) adalah:
6. Peregangan dan pelemasan otot (Muscle tension and release)
7. Pernafasan ritmik (Rhythmic breathing)
8. Membuat bayangan dalam hati/secara mental (Mental Imagery)
9. Hipnosis (Hypnosis)
10. Pengalihan perhatian (Distraction)
Bilamana seseorang sedang mengalami masalah dalam kehidupannya, Islam
mengajarkan umatnya untuk berdzikir. Al-Qur’an memberi petunjuk bahwa dzikir tidak
hanya berupa ekspresi daya ingat yang ditampilkan melalui pengucapan lisan sambil duduk
termenung. Dzikir lebih bersifat implementatif dalam berbagai variasi aktif dan kreatif
(Syukur, 2007, p.90). Ketika seseorang berdzikir, Allah membuka kemudian memperkuat
jiwa tersebut dengan cahaya-Nya, mempertebal iman dan keyakinan serta menentramkan
pikiran dan hatinya (Kabbani, 2007, p.29). QS Al-Ra’ad [13]:28 menyatakan, “Orang-orang
yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya
dengan mengingat Allah, hati menjadi tenteram”. Ketentraman hati ini kemudian mengalir ke
anggota-anggota tubuh lain yang membuat kulit menjadi halus dan jantung menjadi tenang
(Kabbani, 2007, p.40).

3. METODE ASESMEN
Penelitian ini bertujuan melihat efektivitas dzikir yang dikombinasikan dengan teknik
relaksasi otot sederhana, pernafasan ritmik dan visualisasi untuk menurunkan tingkat depresi
pada pasien kanker stadium lanjut. Variabel-variabel yang terlibat dalam penelitian ini
adalah: Depresi sebagai variabel tergantung dan Terapi dzikir sebagai variabel bebas. Selain
data statistik, penelitian ini juga melihat hasil intervensi yang dimaknakan secara individual
sesuai dengan karakteristik personal dari setiap partisipan penelitian, sehingga dilakukan
penggalian data secara mendalam yang dapat menggambarkan kekhasan tiap partisipan.

Bagan 2. Hubungan Antar Variabel Penelitian


KARAKTERISTIK PERSONAL:

TERAPI Tipe Kepribadian

DZIKIR Dukungan Sosial DEPRESI

Persepsi terhadap penyakit

Reaksi Depresi (Analisis Mimpi)

Penelitian ini dengan menggunakan desain eksperimental dengan subjek penelitian


berjumlah sedikit (small number of subject research) mengingat terbatasnya jumlah pasien
kanker stadium lanjut yang memenuhi kriteria sebagai partisipan penelitian. Desain ini
menggunakan metode pengukuran baseline pertama sebelum diberikannya perlakuan (terapi
dzikir) dan baseline kedua sesudah perlakuan. Hal ini untuk melihat efek perlakuan terhadap
intensitas nyeri, kondisi perasaan, kondisi kejiwaan dan kemampuan penerimaan akan
penyakit kanker. Kedua data baseline ini didapat berdasarkan catatan harian yang harus diisi
partisipan selama seminggu sebelum dan sesudah masa terapi dzikir.
Populasi dalam penelitian ini adalah pasien kanker baru dan lama yang sedang
berobat di RSU Dr. Soetomo Surabaya bagian Pusat Pengembangan Paliatif dan Bebas Nyeri.
Namun yang menjadi terpilih sebagai partisipan di dalam penelitian ini adalah pasien kanker
yang sedang berobat RSU Dr. Soetomo Surabaya bagian Pusat Pengembangan Paliatif dan
Bebas Nyeri dengan karakteristik sebagai berikut:
% Laki-laki dan perempuan
% Dewasa atau di atas usia 20 tahun.
% Berdomisili di Surabaya.
% Menikah dan tinggal bersama keluarga.
% Mempunyai anak.
% Beragama Islam.
% Kanker yang diderita berada pada stadium III – IV atau lanjut.
% Terbukti mempunyai depresi dengan mengacu pada hasil Beck Depression Inventory
dengan minimal total nilai 21 atau dikategorikan tingkat depresi sedang.
% Menerima terapi medis yang utamanya berasal dari Pusat Pengembangan Paliatif dan
Bebas Nyeri RSU Dr. Soetomo.
10. Bersedia menjadi partisipan penelitian dengan menandatangani surat perjanjian.
Instrumen yang digunakan dalam penelitian asesmen ini adalah
13. Beck Depression Inventory, sebuah alat ukur depresi yang telah dikenal luas, banyak
digunakan di dalam penelitian-penelitian medis dan memiliki tingkat validitas dan
reliabilitas paling tinggi dibandingkan alat ukur depresi lainnya (McDowell & Newell,
1996, p.243)..
14. Skala kepribadian The Big Five (Prihanto, 2006) digunakan untuk mengetahui
karakteristik kepribadian partisipan penelitian secara kuantitatif.
15. Tes Baum dan DAP digunakan untuk mengetahui citra partisipan terhadap dirinya sendiri
dan posisinya di dalam lingkungannya. Hasil tes Baum, DAP dan skala kepribadian The
Big Five akan saling menguatkan untuk mendapatkan profil kepribadian partisipan
penelitian secara menyeluruh.
16. Pengujian laboratorium pada kadar sekresi hormon kortisol di dalam sampel darah vena
partisipan. Kortisol adalah salah satu hormon yang diproduksi tubuh dalam jumlah
banyak dan stabil dalam kurun waktu tertentu saat berada dalam keadaan stress.
17. Catatan harian yang akan diisi masing-masing partisipan di setiap harinya selama
program intervensi berlangsung untuk mengetahui perkembangan kondisi depresi dalam
hal tingkat kenyerian, kondisi perasaan, kondisi kejiwaan dan kemampuan penerimaan.
18. Observasi serta Analisa mimpi yang dialami pasien selama menjalani terapi dzikir
Penelitian ini menggunakan perhitungan uji statistik non parametrik Kendall untuk
melihat perbedaan tingkat depresi pada partisipan kanker antara kondisi sebelum dengan
sesudah pemberian intervensi. Peneliti juga melakukan analisis statistik deskriptif atau
analisis grafik yang menyajikan hasil-hasil penelitian. Teknik analisis secara kualitatif
dilakukan pula untuk memberikan gambaran hasil penelitian secara mendalam dan
menyeluruh terhadap data-data observasi dan wawancara pada tahap asesmen dan intervensi.

12. RANCANGAN INTERVENSI


Sebelum melangkah pada penerapan intervensi, peneliti mempersiapkan hal-hal
berikut ini:
6) Menyiapkan instrumen-instrumen yang digunakan untuk pelaksanaan intervensi,
diantaranya: audio pra-dzikir, alat pemutar CD, speaker dan earphone.
7) Mengajukan Informed Consent kepada masing-masing partisipan dan meminta mereka
untuk mengisi lembar tersebut.
8) Menyusun jadwal pelaksanaan intervensi, buku manual terapis, buku panduan partisipan,
catatan harian, lembar baseline data pra terapi dan lembar evaluasi pasca terapi.
9) Melakukan pengukuran-pengukuran, yaitu:
Pengukuran depresi pra maupun pasca pelaksanaan intervensi dengan menggunakan
Beck Depression Inventory.
Pengukuran tipe kepribadian dengan menggunakan skala kepribadian The Big Five.
Tes DAP dan Baum
Pengambilan data tingkat kenyerian, kondisi perasaan, kondisi kejiwaan dan
kemampuan penerimaan pra maupun pasca pelaksanaan intervensi.
Pengambilan sampel darah vena partisipan untuk pengujian kadar kortisol pra
maupun pasca pelaksanaan intervensi.
10) Menyerahkan buku panduan partisipan, catatan harian dan jadwal pelaksanaan intervensi
kepada masing-masing partisipan pada hari pertama pelaksanaan intervensi.
Untuk membuat audio pra-dzikir, peneliti melakukan persiapan-persiapan khusus
sebagai berikut:
5. Peneliti mencari sampel-sampel suara dari berbagai macam binatang
6. Peneliti mencari sampel bunyi dengungan menggunakan binaural beat yang dapat
menurunkan gelombang otak beta ke gelombang otak alfa untuk memberikan efek
meditatif kepada partisipan selama mendengarkan audio pra-dzikir.
17. Peneliti menggabungkan sendiri sampel-sampel audio tersebut dengan menggunakan
software komputer
18. Peneliti melakukan pengujian volume dan frekuensi dari masing-masing sampel suara.
Untuk pengujian volume suara, dapat langsung diketahui hasilnya dengan menggunakan
alat Sound Level Meter.
19. Peneliti melakukan uji coba audio pra-dzikir ke beberapa orang yang dianggap
memahami bidang psikologis, audiologi dan perawatan paliatif.
Setelah audio pra-dzikir siap, peneliti masuk kepada tahap perkenalan yang berjalan
selama 15 menit. Di sini peneliti memperkenalkan diri, memberikan informasi penting
mengenai maksud dan tujuan diadakan terapi dzikir, manfaat dzikir, dasar-dasar hukum dari
Al-Qur’an dan Hadits Rasulullah SAW mengenai dzikir, tata cara pelaksanaan dzikir
Selanjutnya, peneliti masuk kepada tahap pemberian bimbingan selama 7 hari.
Peneliti memberikan bimbingan mengenai tata cara pelaksanaan dzikir secara tepat.
Diharapkan partisipan meneruskan kegiatan berdzikir secara mandiri menurut metode yang
telah diajarkan peneliti selama 21 hari berturut-turut. Intervensi berupa terapi dzikir ini
memiliki lima fase, yaitu: fase relaksasi bersama visualisasi, fase pemutaran audio pra-dzikir,
fase penyampaian do’a pembuka, fase dzikir (membaca 5 kalimat dzikir, yaitu: Istighfar,
Tahlil, Tasbih, Tahmid dan Takbir sebanyak masing-masing 7 kali), fase penyampaian do’a
penutup dan fase berdiam diri. Dalam kurun waktu 21 hari, partisipan akan melakukan
kegiatan dzikir ini sebanyak 2 kali sehari, yaitu pagi dan malam hari dengan masing-masing
kesempatan dilakukan selama 20 menit. Dzikir di pagi hari dilaksanakan antara pukul 05:30
WIB – 10:00 WIB. Dzikir di malam dilaksanakan antara pukul 17:30 WIB – 22:00 WIB.
Selama pelaksanaan dzikir, partisipan dibekali CD audio pra-dzikir, Pemutar CD, Alat dengar
pribadi dan Buku panduan partisipan.
Hal-hal yang perlu dipersiapkan untuk kegiatan berdzikir ini adalah:
5. Ruangan untuk berdzikir yang memungkinkan partisipan dapat berbaring dengan leluasa,
mempunyai penerangan dan ventilasi yang cukup
6. Pakaian yang dikenakan partisipan hendaknya memberikan keleluasan bergerak secara
nyaman
7. Partisipan dibebaskan memilih posisi yang paling nyaman untuk dirinya. Partisipan boleh
duduk di atas kursi, duduk di atas lantai bersandar pada dinding dengan kedua kaki
disilangkan, dengan kedua kaki diluruskan atau berbaring. Apapun posisinya, diharapkan
partisipan duduk atau berbaring menghadap kiblat. Bila tubuh partisipan sangat sulit
digerakkan, posisi menghadap kiblat dapat diganti dengan niat atau pembayangan secara
mental bahwa dirinya sedang menghadap kiblat.
8. Bila memungkinkan, partisipan sebaiknya mengambil air wudlu terlebih dulu.
Sejalan dengan 21 hari masa pelaksanaan dzikir individual, akan dilaksanakan pula
tahap transfer pengalaman melalui pendampingan yang dilakukan peneliti sebanyak minimal
2 kali dalam seminggu. Peneliti melakukan pemantauan, pemberian koreksi bila terjadi
kesalahan pelaksanaan dzikir dan pemberian moril kepada partisipan agar tetap bersemangat
dalam melakukan dzikir. Pada tahap ini, peneliti bersama partisipan mendiskusikan
pengalaman-pengalaman yang diperoleh melalui kegiatan relaksasi, visualisasi, pemutaran
audio pra-dzikir dan berdzikir tersebut serta merefleksikan pengalaman-pengalaman tersebut
pada persoalan-persoalan nyata sehari-hari. Dalam konteks hubungan terapis dengan klien,
peneliti juga memberikan konseling untuk membantu partisipan mengatasi persoalan-
persoalan sehari-harinya baik yang ditimbulkan oleh kondisi sakitnya maupun hal lain yang
masih menjadi stressor bagi partisipan. Apabila ternyata ada masalah-masalah medis yang
dialami partisipan di luar pengetahuan dan keahlian peneliti, peneliti akan mendiskusikan
masalah tersebut dengan dokter-dokter dari poliklinik paliatif.
Tahap evaluasi pelaksanaan dzikir ini menggali hasil pembelajaran setiap partisipan
atas pengalaman berdzikirnya selama 28 hari. Yang difokuskan adalah perubahan aspek fisik,
perasaan, kejiwaan dan penerimaan terhadap kondisi sakitnya pada partisipan sebagai
pengaruh dari kegiatan dzikirnya. Pada tahap ini, peneliti bersama partisipan membahas
usaha-usaha apa yang akan dilakukan partisipan dalam mempertahankan perubahan-
perubahan positif pada aspek-aspek tersebut dan meningkatkan kualitas hidupnya menjadi
lebih baik.

5. SIMPULAN
Dari hasil perhitungan uji beda Kendall didapatkan hasil nilai 2 = 0.667 (p = 0.717 > p
= 0.05), artinya tidak ada perbedaan signifikan pada kondisi depresi dalam hal tingkat
kenyerian, kondisi perasaan, kondisi kejiwaan dan kemampuan penerimaan terhadap kondisi
sakit pada para partisipan kanker antara kondisi sebelum, selama dan sesudah pelaksanaan
terapi dzikir. Dapat dikatakan bahwa terapi dzikir masih belum efektif dalam menurunkan
depresi para partisipan kanker di penelitian ini. Peneliti juga melakukan uji beda Kendall
terhadap performasi diantara ketiga partisipan untuk melihat perubahan antar aspek pada saat
sebelum, selama dan sesudah terapi diberikan. Aspek fisik diukur berdasarkan tingkat
kenyerian, aspek emosional diukur dari kondisi perasaan, aspek psikologis diukur dari
kondisi kejiwaan dan aspek spiritual diukur dari kemampuan penerimaan yang dilakukan
secara mandiri oleh setiap partisipan. Dari hasil perhitungan, diperoleh 2 = 4.655, p = 0.199
untuk kondisi sebelum terapi, 2 = 8.379, p = 0.039 untuk kondisi selama terapi dan 2 = 5.036,
p = 0.169 untuk kondisi sesudah terapi. Perhitungan ini mengindikasikan tidak adanya
perbedaan di antara aspek fisik, emosional, psikologis dan spiritual baik pada kondisi
sebelum, selama maupun sesudah intervensi diberikan. Hal ini disebabkan salah satunya
terdapat perbedaan berupa kemunduran kondisi fisik disertai kemunduran kondisi perasaan,
kejiwaan maupun penerimaan pada Sukirno.
Berdasarkan analisis secara kualitatif pada data-data wawancara, observasi, catatan
harian pelaksanaan dzikir individual, evaluasi pelaksanaan intervensi, Beck Depression
Inventory dan uji kortisol, tampak ada perubahan lebih positif dari hasil intervensi pada
Supardi dan Chomarul. Skor total BDI menunjukkan adanya penurunan tingkat depresi pasca
intervensi pada kedua partisipan ini. Tingkat depresi Supardi mengalami penurunan dari
kategori sedang ke kategori sedang cenderung ringan, sedangkan Chomarul yang sebelumnya
mengalami tingkat depresi sedang menjadi tingkat depresi ringan setelah intervensi
berlangsung. Beberapa parameter depresi pada Supardi dan Chomarul juga memperlihatkan
adanya perbaikan kondisi pasca pelaksanaan intervensi. Parameter depresi yang mengalami
kemiripan perbaikan pada kedua partisipan ini adalah parameter kepekaan perasaan
berlebihan (Irritability), perasaan sedih (Sadness), perasaan bersalah (Guilt) dan persepsi
terhadap perubahan fisik diri sendiri (Body image change). Penurunan parameter ini
mengindikasikan dzikir mempunyai pengaruh positif dalam proses pengolahan emosi para
partisipan sehingga perasaan sedih, bersalah, tersinggung dan khawatir terhadap citra tubuh
secara keseluruhan yang muncul akibat kondisi sakitnya menjadi lebih terkontrol. Pengolahan
emosi secara sehat ini akan mempengaruhi mekanisme fisiologis yang sehat pula dan pada
akhirnya membantu menstabilkan hingga meningkatkan kondisi kesehatan partisipan. Hasil
pengujian kortisol pasca intervensi memberikan penguatan terhadap kesimpulan ini. Pada
Supardi, terjadi perbaikan kondisi sekresi kortisol, sedangkan Chomarul mengalami kondisi
fisiologis yang relatif stabil.
Saat diminta mengevaluasi mengenai manfaat yang diperoleh dari hasil intervensi,
para partisipan menyatakan intervensi ini memberikan perubahan-perubahan positif dalam
banyak aspek terutama aspek perasaan dan kejiwaan. Supardi mengaku dapat lebih mudah
mengatasi kegelisahan atas keadaan sakitnya sebagai efek positif dari berdzikir. Chomarul
mengaku tidak lagi mudah menangis setelah berdzikir selama 4 minggu ini.
Pada Sukirno, keseluruhan data kuantitatif menunjukkan tidak ada perbedaan kondisi
depresi sebelum dengan sesudah pelaksanaan intervensi, sekalipun Sukirno mengaku
merasakan ada manfaat dari hasil berdzikir, yaitu: perasaannya menjadi lebih tenang, damai
dan lebih dapat mengontrol emosi dan pikiran negatif termasuk kesedihan dan kekecewaan
dalam dirinya yang sebelumnya sangat mudah terpicu oleh pengaruh tingkah laku orang lain.
Skor total BDI menunjukkan tingkat depresi Sukirno justru meningkat dari kategori sedang
menjadi kategori sedang cenderung berat. Parameter depresi dalam BDI dan evaluasi
terhadap catatan harian juga tidak menunjukkan adanya perbaikan kondisi depresi maupun
aspek-aspek dalam diri partisipan. Penyebaran sel-sel kanker di bagian otak beserta gejala
fisik yang menyertainya ditambah dengan persoalan dari pihak keluarga dan tetangga yang
terus-menerus dipikirkan partisipan nampaknya mempunyai pengaruh sangat besar dalam
memperberat kondisi depresi partisipan. Meskipun peneliti bekerjasama dengan istri
(Annisya) telah berusaha memberikan banyak pendampingan dengan mengajak partisipan
untuk berdzikir, nampaknya tidak membawa banyak perubahan dalam menguatkan kondisi
emosi dan kejiwaannya.
Pada Supardi dan Sukirno, aspek penerimaan belum banyak mengalami perubahan
pada pasca intervensi. Meskipun pada dasarnya partisipan memperoleh dukungan sosial yang
positif dari lingkungannya, terutama keluarga, dalam melaksanakan kegiatan dzikirnya, ada
satu hal bersumber dari dalam diri partisipan yang berkontribusi pada kurang maksimalnya
pencapaian tahap penerimaan akan kondisi sakitnya. Hal tersebut adalah masih adanya
keterikatan partisipan dengan permasalahan-permasalahan duniawinya. Para partisipan ini
masih belum bisa sepenuhnya melepaskan persoalan-persoalan yang selama ini selalu
dipikirkan dan dirasakannya hingga menimbulkan tumpukan emosi negatif di alam bawah
sadarnya. Misalnya, Sukirno masih memikirkan kekurangharmonisan hubungan antara
dirinya dengan saudara-saudara kandung, istri II, istri III dan para tetangga dan Supardi sibuk
memikirkan begitu banyak cita-cita yang belum tercapai dan mempertanyakan mengapa ia
tidak dapat mereguk hasil jerih payahnya selama ini.
Dzikir tatkala dilaksanakan dengan penuh penghayatan, dzikir tersebut pasti akan
mampu membawa seseorang ke dalam apa yang disebut Hidayat (2006, p.98 – 99) sebagai
ruang keabadian yang penuh dengan kebahagiaan batin dimana benar-benar dirasakan
kedekatan hingga penyatuan antara dirinya dengan Yang Absolut. Hal ini dapat diibaratkan
ketika seseorang bertemu dengan kekasihnya, ia seakan terlepas dari kungkungan ruang dan
waktu dan yang ada hanyalah perasaan bahagia. Sebaliknya bila seseorang selalu berpikir
tentang masa lalu atau tenggelam dalam pembayangan mengenai kemungkinan yang akan
terjadi di masa depan, maka orang tersebut akan kehilangan ruang keabadian tersebut.
Apa yang dikatakan Sukirno mengenai kesadaran bahwa dunia ini milik Allah
sepenuhnya, Supardi mendapati adanya kekosongan tatkala ia tidak berdzikir atau Chomarul
merasakan sebuah kebahagiaan sejati seperti kebahagiaan di masa lalunya saat ia berdzikir,
sebenarnya merupakan sebuah pertanda yang baik bahwa para partisipan ini mulai
menangkap adanya ruang keabadian tersebut. Agar kebahagiaan dan kenyamanan selalu
berada di dalam hati manakala menghadapi suatu masalah, tidak hanya sekedar kebahagiaan
sesaat selama berdzikir, sangatlah dibutuhkan sikap kepasrahan kepada Allah atas segala
peristiwa dalam kehidupan baik yang telah, sedang dan akan terjadi.
Pada Sukirno maupun Supardi yang berkarakteristik Conscientiousness tinggi,
nampaknya belum seutuhnya melakukan kerelaan menerima kenyataan yang tengah terjadi
dan lebih sibuk mempertanyakan bagaimana kenyataan tersebut bisa menimpa diri mereka
dan bagaimana cara memperoleh kenyataan seperti yang mereka harapkan. Kondisi ini
berbeda dengan Chomarul. Chomarul nampaknya mengalami perbaikan kondisi depresi yang
lebih menonjol dibandingkan partisipan-partisipan lainnya. Kepribadian Chomarul yang
berkarakteristik Conscientiousness rendah ke arah Flexible nampaknya sangat mempengaruhi
Chomarul dalam menerima keadaan sakitnya dengan lebih santai dan seakan-akan tidak
terlihat banyak beban dalam pikirannya. Pola pikir yang cenderung melihat dunia secara
positif, polos dan sederhana, begitu pula dengan pengetahuan medis yang terbatas, turut
membantu Chomarul dalam menjalani keadaan sakitnya dengan lebih ringan. Chomarul
hanya memikirkan bagaimana ia harus berjuang mengobati penyakit kankernya dan dapat
bertahan hidup dengan kondisi sekarang ini.
Berkaitan dengan area-area masalah pada tahapan perkembangan dewasa madya, area
integritas diri yang dipengaruhi oleh area finansial nampaknya merupakan area yang terkena
dampak paling besar dan rentan membawa seorang pasien kanker ke kondisi depresi. Sejalan
dengan dideritanya penyakit kanker, seorang pasien kanker secara otomatis mengalami
pergeseran peran sebagai orang yang membutuhkan perawatan. Hal ini lebih fatal dan
berpotensi lebih besar mengarah ke depresi bagi kaum laki-laki dengan mengacu pada
pengaruh budaya terhadap pembentukan integritas kaum laki-laki sebagai pencari nafkah
keluarga. Budaya Indonesia masih sangat menjunjung tinggi keutamaan pada kaum laki-laki
sebagai tulang punggung keluarga dibandingkan kaum perempuan. Tidak ada tuntutan bagi
kaum perempuan untuk menafkahi keluarganya. Tatkala orang laki-laki tidak lagi dapat
menjalankan fungsinya sebagai pencari nafkah keluarga sebagai dampak dari kondisi
sakitnya, hal ini secara otomatis akan mempengaruhi integritas dirinya. Ia akan sangat mudah
mempersepsikan dirinya sebagai beban keluarga dan pada gilirannya akan menimbulkan
perasaan tidak berharga, tidak berguna, tidak berdaya dan sebagainya.
Peluang ke arah depresi sama besarnya pada seseorang baik laki-laki maupun
perempuan yang sedang berada di dalam puncak kejayaan kariernya ketika terserang penyakit
kanker. Ketika karier dipersepsikan sebagai sesuatu yang sangat penting dan berharga dalam
kehidupannya, kanker bisa menjadi suatu pukulan atau sumber stres yang sangat besar bagi
orang tersebut. Akibat kanker, kesempatan berkarier dan mencetak prestasi tidak hanya
lenyap tapi sekaligus dapat meruntuhkan kepercayaan maupun harga diri pada orang tersebut.
Kondisi-kondisi di atas menjelaskan bagaimana gambaran depresi pada Sukirno dan
Supardi cenderung lebih berat dibandingkan Chomarul. Baik Sukirno maupun Supardi lebih
sulit menerima kondisi sakit kankernya karena mereka mempersepsikan kanker sebagai
sumber penghalang pemenuhan kebutuhan mereka untuk mengaktualisasikan diri melalui
pekerjaan. Tidak demikian dengan Chomarul yang sebelumnya bukanlah seorang wanita
karier. Ia tidak merasa kehilangan apa-apa ataupun dirugikan oleh penyakit kankernya,
sehingga ia mampu menghadapi kondisi sakitnya dengan lebih santai dan tenang.
Berdasarkan keseluruhan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa dzikir belum
efektif dalam menurunkan tingkat depresi pasien kanker stadium lanjut selama mereka masih
berada dalam kondisi-kondisi sebagai berikut:
O. Dzikir tidak dilakukan dengan penuh kesediaan, keikhlasan dan penghayatan
P. Individu tidak melepaskan segala beban pikiran (keinginan, harapan, cita-cita dan
sebagainya) dan perasaan (ketakutan, kekhawatiran, kemarahan, kekecewaan dan
sebagainya) kepada Allah, tidak memasrahkan segala proses kehidupan terjadi atas
kekuasaan-Nya serta tidak mempercayai bahwa Allah selalu memberikan keputusan yang
terbaik untuk setiap umat-Nya.
Q. Individu tidak sungguh-sungguh menghayati manfaat dzikir kepada kehidupannya.
R. Individu masih melibatkan diri dengan penyakit maupun persoalan-persoalan
kehidupannya baik secara emosional maupun kognitif.
S. Individu memaksakan pencapaian target-target dalam kehidupannya, misalnya berkaitan
dengan kesembuhan maupun tujuan-tujuan hidup lainnya.
7. SARAN
7.1. SARAN BAGI PASIEN KANKER DAN KELUARGA
Berdasarkan hasil penelitian, agar dzikir dapat memberikan manfaat secara optimal ke
dalam kehidupannya, maka dapat disarankan:
1. Individu hendaknya bersedia untuk lebih ikhlas, pasrah dan berserah diri kepada Allah.
2. Individu hendaknya membuang jauh semua pikiran negatif tentang penyakit, kehidupan
dan orang-orang sekitarnya.
3. Dalam melakukan dzikir, individu hendaknya menikmati dan melakukan kegiatan
dzikirnya dan semata-mata untuk memperoleh keridhlaan Allah. Tidak perlu dibuat
target-target untuk kegiatan dzikir tersebut. Let the magic of dhikr work!
4. Setiap pasien berhak mengetahui secara persis gambaran perjalanan kondisi sakit
kankernya saat ini dan selanjutnya.

7.2. SARAN BAGI PENELITIAN SELANJUTNYA


Berdasarkan hasil penelitian dan evaluasi terhadap rancangan dan pelaksanaan
program intervensi, peneliti mempunyai saran-saran yang dapat diterapkan untuk
meningkatkan kualitas penelitian-penelitian selanjutnya yang sejenis, yaitu:
1. Apabila peneliti berikutnya ingin menggunakan materi audio yang serupa dengan
penelitian ini, disarankan menggunakan sumber suara aslinya, serta memodifikasinya
dengan menggunakan alat penggabungan suara layaknya pengambilan suara di studio
rekaman.
2. Peneliti selanjutnya sebaiknya mempertimbangkan preferensi partisipan dan
memperhatikan adanya fobia partisipan terhadap komponen-komponen suara alam.
3. Untuk memperoleh hasil penelitian yang lebih terpercaya dan akurat, peneliti berikutnya
disarankan untuk menggunakan EEG (Electroenchephalography).
4. Peneliti berikutnya disarankan bekerjasama dengan ahli keagamaan maupun ahli medis
untuk menangani masalah spiritual maupun masalah medis yang lebih kompleks dan
berpotensi mengarah pada kematian
5. Peneliti yang sekaligus bertindak sebagai terapis untuk lebih peka terhadap persoalan-
persoalan kehidupan yang belum terselesaikan (the unfinished business) pada masing-
masing partisipan kanker yang sekiranya menghalangi terciptanya penghayatan dalam
hati terhadap kegiatan dzikir maupun bentuk-bentuk intervensi spiritual lainnya.
6. Peneliti disarankan membekali diri dengan keterampilan-keterampilan terapeutik yang
memadai yang berkenaan dengan pemberian relaksasi dan penanganan nyeri pada pasien
kanker,

7.3. SARAN BAGI KEPROFESIAN PSIKOLOGI DAN PROFESI LAINNYA YANG


TERKAIT
1. Dzikir dikembangkan dan diterapkan sebagai terapi komplementer.
2. Penerapan dzikir ini dapat menggunakan kalimat-kalimat dzikir yang berbeda dari yang
digunakan dalam penelitian ini.
3. Dzikir digabungkan dengan teknik-teknik terapeutik lainnya yang dapat meningkatkan
kesejahteraan partisipan penelitiannya selama metode-metode tersebut tidak menyalahi
kaidah-kaidah agama Islam.
4. Para professional non muslim dapat mempertimbangkan pengembangan kegiatan religius
yang serupa dengan dzikir sesuai dengan agama dan keyakinan mereka masing-masing.

8. DAFTAR PUSTAKA
American Cancer Society. (2007). Cancer Facts and Figures 2007. Diambil tanggal 10
November 2007 dari:
http://www.cancer.org/downloads/STT/CAFF2007PWSecured.pdf
American Cancer Society. (2008). What is chemoteraphy and how does it work? Diambil
tanggal 3 Juli 2008 dari:
http://www.cancer.org/docroot/MBC/content/MBC_2_3X_What_Is_Chemotherapy_A
nd_How_Does_It_Work.asp?sitearea=MBC
Hawari, H. D. (2005). Dimensi Religi dalam Praktik Psikiatri dan Psikologi. Jakarta: Balai
Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Hidayat, K. (2006, November). Psikologi Kematian: Mengubah ketakutan menjadi
optimisme. Penerbit hikmah.
Holland, J. C. & Rowland, J. H. (1990). Handbook of Psychooncology: Psychological care of
the patient with cancer. New York: Oxford University Press.
Kabbanni, S. M. H. (2007, Februari). Ensiklopedia Akidah Ahlusunah: Energi zikir
dan shalawat. PT. Serambi Ilmu Semesta.
Lloyd-Williams, M. (2003, Januari 22). Depression – the hidden symptom in advanced
cancer. Palliative Care Forum. J R Soc Med, 96, 577 – 581.
McDowell, I. & Newell, C. (1996). Measuring health: A guide to rating scales
and questionnaire. (2nd ed). Oxford University Press.
Prihanto, S. (2006, November). The Big Five. Handout kuliah Magister Profesi
Psikologi tidak dipublikasikan. Universitas Surabaya, Surabaya.
Puchalski, C. M. (2001, Oktober). The Role of Spirituality in Health Care. BUMC
Proceedings, 14, 352 – 357.
Syukur, A. (2007, Juni). Zikir Menyembuhkan Kankerku. Jakarta: Mizan media utama.
Jurnal Ilmu Keperawatan. Volume III, No. 1, April 2015

PENGARUH TERAPI RELAKSASI


AUTOGENIK TERHADAP
TINGKAT NYERI AKUT PADA PASIEN
ABDOMINAL PAIN
DI IGD RSUD KARAWANG 2014
Nita Syamsiah1, Endang Muslihat2
1,2
STIKes Kharisma Karawangan, Email: nitasyamsiah@gmail.com
ABSTRACT - Management of pain in abdominal pain implemented in two ways,
namely by pharmacological and non pharmacological. Pharmacological pain
management implemented in collaboration with other health professionals in
providing analgesic. While the non-pharmacological therapy is one of them is to
provide relaxation therapy. The objective of this study was to determine the
effect of relaxation techniques (autogenic) on the level of acute pain in patients
with abdominal pain. The study design using analytic quasi experiment,
respondents were patients who come to the Emergency Room in RSUD
Karawang hospitals with a diagnosis of abdominal pain, a number of 30
respondents. Data processing techniques were analyzed by independent t-test.
The results showed there is a significant effect of relaxation techniques for acute
pain in patients with abdominal pain in emergency hospitals Karawang. Results
of the analysis (Pv = 0.000) <α (0.005). Under these conditions, the
recommendations of the results of this study are to the health care unit to be
able to implement procedures autogenic relaxation techniques as an alternative
to reduce the level of pain in patients with abdominal pain in particular.
Keywords: relaxation technique autogenic, acut pain, abdominal pain

ABSTRAK - Penatalaksanaan nyeri pada abdominal pain dilaksanakan dengan dua


cara yaitu secara farmakologis dan non farmakologis. Penatalaksanaan nyeri secara
farmakologis dilakukan secara berkolaborasi dengan tenaga kesehatan lain dalam
pemberian analgetik. Sedangkan tindakan non farmakologis yaitu salah satunya
adalah dengan memberikan terapi relaksasi. Tujuan penelitian ini adalah untuk
mengetahui pengaruh tehnik relaksasi (autogenik) terhadap tingkat nyeri akut pada
pasien dengan abdominal pain. Desain penelitian menggunakan metode analitik
dengan pendekatan quasi eksperiment, responden penelitian adalah pasien yang
datang ke IGD RSUD Karawang dengan diagnosa abdominal pain sebanyak 30
responden. Tehnik pengolahan data dianalisis dengan uji independent t-test. Hasil
penelitian menunjukkan terdapat pengaruh tehnik relaksasi yang signifikan terhadap
nyeri akut pada pasien dengan abdominal pain di IGD RSUD Karawang. Hasil
analisa diperoleh (Pv=0,000) < α (0,005). Berdasarkan hal tersebut maka
rekomendasi dari hasil penelitian ini adalah kepada unit pelayanan kesehatan untuk
dapat menerapkan prosedur tehnik relaksasi autogenik sebagai salah satu alternatif
untuk menurunkan tingkat nyeri pada pasien khususnya abdominal pain. Kata
kunci: tehnik relaksasi autogenik, nyeri akut, nyeri abdomen

ISSN: 2338-7246 11
Jurnal Ilmu Keperawatan. Volume III, No. 1, April 2015

A. PENDAHULUAN berusia 18 tahun atau lebih, menderita


Abdominal Pain merupakan gejala nyeri minimal sekali sebulan, dan 42%
utama dari acute abdoment yang terjadi merasakannya setiap hari.
secara tiba-tiba dan tidak spesifik. Akut
abdomen merupakan istilah yang Insiden nyeri abdomen akut dilaporkan
digunakan untuk gejala-gejala dan berkisar 5–10% pada kunjungan pasien
tanda-tanda dari nyeri abdomen dan ke unit gawat darurat. Kegawatan
nyeri tekan yang tidak spesifik tetapi abdomen yang datang ke rumah sakit
sering terdapat pada penderita dengan dapat berupa kegawatan bedah atau
keadaan intraabdominal akut yang kegawatan non bedah. Penyebab
berbahaya (catastrophe) (Cooper, tersering dari akut abdomen antara lain
1999). Abdominal Pain akan direspon appendisitis, kolik bilier, kolisistitis,
oleh tubuh dengan meningkatkan divertikulitis, obstruksi usus, perforasi
pelepasan substansi kimia yang dapat viskus, pankreatitis, peritonitis,
menstimulus reseptor-reseptor nyeri salpingitis, adenitis mesenterika dan
seperti histamin, prostaglandin, kolik renal. Di Unit Gawat Darurat
bradikinin dan substansi P yang akan RSUD Karawang pasien yang
menimbulkan persepsi nyeri. berkunjung dengan keluhan nyeri
abdomen akut dengan berbagai
Nyeri merupakan suatu perasaan atau penyebab mencapai 405 kasus (3,9%)
pengalaman yang tidak nyaman baik dari total 10.453 kunjungan selama
secara sensori maupun emosional yang tahun 2012 (Data Medikal Rekord
dapat ditandai dengan kerusakan RSUD Karawang, Tahun 2012)
jaringan ataupun tidak (Association for
the study of pain). Tipe dari nyeri Perawat sebagai komponen tim
adalah: Cutaneous pain, Viseral pain, kesehatan berperan penting untuk
Neuropathic pain, Acute pain dan mengatasi nyeri pasien. Perawat
chronic pain. Asosiasi Nyeri berkolaborasi dengan dokter ketika
Internasional (1997) menggambarkan melakukan intervensi untuk mengatasi
nyeri sebagai perasaan yang tidak nyeri, mengevaluasi keefektifan obat
menyenangkan dan pengalaman dan berperan sebagai advocate pasien
emosional yang dihubungkan dengan ketika intervensi untuk mengatasi nyeri
aktual atau potensial kerusakan menjadi tidak efektif atau ketika pasien
jaringan tubuh. Selanjutnya Perry & tidak dapat berfungsi secara adekuat
Potter (2005) menyatakan bahwa nyeri (Black & Hawk, 2005). Mereka juga
seringkali merupakan tanda yang mengemukakan bahwa mendengarkan
menyatakan ada sesuatu yang secara dengan penuh perhatian, mengkaji
fisiologis terganggu yang intensitas nyeri dan distress,
menyebabkan seseorang meminta merencanakan perawatan, memberikan
pertolongan. Nyeri juga merupakan edukasi tentang nyeri, meningkatkan
masalah yang serius yang harus penggunaan teknik nyeri non-
direspons dan di intervensi dengan farmakologi dan mengevaluasi hasil
memberikan rasa nyaman, aman dan yang dicapai adalah tanggung jawab
bahkan membebaskan nyeri tersebut. Perawat.
Nyeri adalah salah satu alasan paling
Manajemen nyeri meliputi pemberian
umum bagi pasien untuk mencari
terapi analgesik dan terapi
bantuan medis dan merupakan salah
nonfarmakologi berupa intervensi
satu keluhan yang paling umum.
perilaku kognitif seperti teknik
Sembilan dari 10 orang Amerika
relaksasi, terapi musik, imaginary dan

ISSN: 2338-7246 12
Jurnal Ilmu Keperawatan. Volume III, No. 1, April 2015

biofeedback (Potter & Perry, 2005; nyeri kronis dan penulis belum
AHCPR, 1992; Lemone & Burke, menemukan penelitian yang dilakukan
2008; dalam Smeltzer et al, 2008). terhadap nyeri akut pada abdominal
Intervensi perilaku kognitif dalam pain. Studi pendahuluan terhadap 12
mengontrol nyeri dimaksudkan untuk responden dengan diagnosa Abdominal
melengkapi atau mendukung Pain di IGD RSUD Karawang
pemberian terapi analgesic (AHCPR, menunjukkan perbedaan penurunan
1992) agar pengendalian nyeri menjadi skala nyeri yang signifikan, dimana
efektif (Smeltzer et al., 2008; Black & hasil pretest terhadap 12 responden,
Hawk, 2005). Managemen nyeri atau skala nyeri beragam antara 7 sampai
pain management adalah salah satu dengan 10, kemudian 6 responden yang
bagian dari disiplin ilmu medis yang pertama diberikan terapi standar dan 6
berkaitan dengan upaya-upaya responden yang kedua diberikan
menghilangkan nyeri atau pain relief. kombinasi terapi standar dan tehnik
Management nyeri ini menggunakan relaksasi. Kelompok pertama ada
pendekatan multidisiplin yang penurunan nyeri setelah setengah jam
didalamnya termasuk pendekatan pemberian obat analgetik dengan skala
farmakologikal (termasuk pain nyeri 6 – 3, sedangkan kelompok yang
modifiers), non farmakologikal dan kedua penurunan skala nyeri rata-rata
psikologikal. managemen nyeri non dibawah 4, tehnik relaksasi yang
farmakologikal merupakan upaya- dilakukan adalah membimbing
upaya mengatasi atau menghilangkan mengatur posisi yang nyaman,
nyeri dengan menggunakan pendekatan relaksasi otot-otot dan mengatur
non farmakologi. Upaya-upaya tersebut bernafas dalam.
antara lain relaksasi, distraksi,
massage, guided imaginary dan lain Manajemen nyeri pada Abdominal Pain
sebagainya. di IGD RSUD Karawang meliputi
terapi farmakologi dan non-
Teknik relaksasi merupakan intervensi farmakologi, terapi farmakologi
keperawatan secara mandiri untuk meliputi pemberian analgetik non-opiat
menurunkan intensitas nyeri, Teknik dan opiat, terapi non-farmakologi yang
relaksasi memberikan individu kontrol dilakukan meliputi relaksasi dan
diri ketika terjadi rasa nyeri serta dapat distraksi, teknik relaksasi secara
digunakan pada saat seseorang sehat spontan dan tidak prosedural sering
ataupun sakit. (Perry & Potter, 2005). diterapkan pada pasien-pasien yang
Relaksasi otot skeletal dipercaya dapat mengeluh nyeri dengan berbagai
menurunkan nyeri dengan merilekskan penyebab dan respon yang dihasilkan
tegangan otot yang menunjang nyeri. pada pasien-pasien dengan Abdominal
Ada banyak bukti yang menunjukkan Pain relatif bervariasi, sebagian
bahwa relaksasi efektif dalam keluhan nyeri pasien dapat teratasi dan
meredakan nyeri (Smeltzer, 2008). dipulangkan serta sebagian lagi klien
Relaksasi secara umum sebagai metode berlanjut kepada tindakan diagnostik
yang paling efektif terutama pada dan medik lebih lanjut.
pasien yang mengalami nyeri (National
Safety Council, 2003), hasil penelitian Berbagai jenis teknik relaksasi untuk
diberbagai tempat membuktikan bahwa mengurangi nyeri telah banyak
terapi tekhnik relaksasi efektif diterapkan dalam tatanan pelayanan
menurunkan respon nyeri, penelitian- keperawatan. Namun, penggunaan
penelitian tersebut dilakukan terhadap teknik relaksasi di Indonesia masih
belum optimal. Tehnik relaksasi yang

ISSN: 2338-7246 13
Jurnal Ilmu Keperawatan. Volume III, No. 1, April 2015

paling sering digunakan yaitu bernafas Hasil analisis univariat


dalam dan teknik distraksi. Akan tetapi menggambarkan karakteristik
belum ada prosedur tertulis mengenai responden berdasarkan rata-rata, nilai
teknik relaksasi untuk mengurangi rasa tengah, simpang baku, nilai terendah
nyeri pada Abdominal Pain yang dan nilai tertinggi rasa nyeri dari
diterapkan menjadi standar pelayanan kedua kelompok.
keperawatan. Sementara itu belum ada
penggunaan alat audio-visual yang Hasil analisis statistik univariat
secara khusus disiapkan untuk karakteristik responden
mempermudah pasien memahami dan menggambarkan distribusi responden
melakukan prosedur teknih relaksasi berdasarkan skala nyeri pada kelompok
dengan benar dan tepat, maka kontrol dan kelompok intervensi. Semua
berdasarkan latar belakang tersebut karakteristik skala nyeri pasien dapat
penulis tertarik untuk melakukan dilihat ditabel bawah ini.
penelitian “Pengaruh Terapi Relaksasi
Nilai Rerata Skala Nyeri pada Pasien
(Autogenic) Terhadap Tingkat Nyeri
dengan Abdominal Pain pada
Akut pada Pasien dengan Abdominal
Kelompok Kontrol dapat dilihat dari
Pain di IGD RSUD Kab. Karawang”.
tabel 1 dibawah ini:
B. METODOLOGI PENELITIAN Tabel 1
Desain penelitian ini menggunakan Distribusi Frequensi Nyeri pada Pasien
rancangan desain eksperimen semu dengan Abdominal Pain pada
(quasi experiment design) dengan Kelompok Kontrol di IGD RSUD
equivalent time sample design. Desain Karawang
ini bertujuan untuk membandingkan
Maret 2014
dua kelompok yang diberikan Kel. Mean Standar Standar Min-
perlakuan dengan yang tidak diberikan Intervensi Deviasi Eror Max
perlakuan (Hidayat, 2007). Pretest 8,33 1,113 0,287 5-10
Posttest 3,20 1,082 0,279 1-5
Pada penelitian ini kelompok A
(eksperimen) diberikan intervensi Dari 15 responden kelompok kontrol
terapi relaksasi autogenik sedangkan bahwa nilai rata-rata pretest dari
kelompok B (kontrol) tidak diberikan responden sebelum diberikan terapi
terapi relaksasi autogenik. analgetik adalah 8,33, dan nilai rata-
rata posttest setelah diberikan terapi
analgetik adalah 3,20. Artinya terdapat
C. HASIL PENELITIAN penurunan skala nyeri dengan selisih
Besar sampel yang diperoleh dalam 5,13.
penelitian ini adalah 30 pasien
selanjutnya dibagi menjadi dua
kelompok yaitu 15 pasien sebagai
kelompok kontrol dan 15 pasien lainnya
sebagai kelompok intervensi.
Pengambilan data diperoleh selama
rentang waktu dua minggu (17 Februari
– 02 Maret 2014). Adapun analisis
statistik data hasil penelitian akan
ditampilkan sebagai berikut:

ISSN: 2338-7246 14
Jurnal Ilmu Keperawatan. Volume III, No. 1, April 2015

Nilai rerata skala nyeri pada pasien responden sebelum dilakukan


dengan abdominal pain pada kelompok intervensi terapi relaksasi dan analgetik
intervensi dapat dilihat dari tabel 2 adalah 8,53, dan nilai rata-rata posttest
dibawah ini: setelah intervensi adalah 1,00. Artinya
terdapat penurunan dengan selisih 7,53.
Tabel 2
Distribusi Frequensi Skala Nyeri Analisis bivariat dilakukan untuk
pada Pasien dengan Abdominal Pain menguji hipotesis penelitian yaitu
pada Kelompok Intervensi di IGD pengaruh tehnik relaksasi terhadap
RSUD Karawang Maret 2014 tingkat penurunan skala nyeri akut
Kel. Mean Standar Standar Min pada pasien dengan Abdominal Pain.
Intervensi Deviasi Eror -
Max
Uji statistik yang digunakan yaitu: uji t
Pretest 8,53 1,407 0,363 5-10 independen, digunakan untuk mencari
Posttest 1,00 1,195 0,309 0-3 perbedaan skor kuesioner antara post-
test pada kedua kelompok yang tidak
Dari 15 responden kelompok intervensi berpasangan.
bahwa nilai rata-rata pretest dari
Tabel 3
Analisi Beda Pengaruh Kombinasi Tekhnik Relaksasi dengan Analgetik dan
Terapi Analgetik Terhadap Tingkat Penurunan Nyeri Akut Pada Pasien Dengan
Abdominal Pain di RSUD Karawang Maret 2014 (n=30)
Min- 95% CI Mean Sig. (2-
Variabel n t df
Maks Lower – Upper Diff tailed)
Nyeri Post
Perlakuan
Kelompok Kontrol 15 1–5
-3,05 – 1,34 -2,2 -5,284 280,000
Kelompok Intervensi 15 0–3

Berdasarkan hasil uji analisis Berdasarkan hasil penelitian diketahui


Parametric Independent t-test pada bahwa terdapat perbedaan pengaruh
tabel 3 diatas dengan jumlah terhadap skala nyeri pada pasien dengan
responden n=30, diperoleh nilai sig (2- abdominal pain antara sesudah
tailed) = (0,000) < α (0,05) dengan diberikan terapi relaksasi dan analgetik
perhitungan nilai “t” adalah sebesar - dibandingkan sesudah diberikan terapi
5,284. Hal ini berarti Ho ditolak analgetik saja. Hasil uji analisis
karena nilai p-value lebih kecil dari α parametric independent t-test pada
(alpha) dan dapat disimpulkan secara kedua kelompok diperoleh nilai p
statistik bahwa terdapat perbedaan (0,000) < α (0,05) dengan t hitung (-
pengaruh antara skala nyeri sesudah 5,284), hal ini menunjukkan bahwa Ho
diberikan terapi relaksasi dan analgetik ditolak, artinya bahwa terdapat
dibandingkan terapi analgetik saja. perbedaan pengaruh antara kelompok
intervensi dan kelompok kontrol
D. PEMBAHASAN terhadap skala nyeri. Dapat
Analisi beda pengaruh kombinasi disimpulkan bahwa kombinasi terapi
terapi relaksasi dengan analgetik pada relaksasi dengan analgetik lebih
kelompok Intervensi dan terapi efektif menurunkan sekala nyeri pada
analgetik pada kelompok kontrol pasien dengan abdominal pain.
terhadap tingkat penurunan nyeri akut
pada pasien dengan abdominal pain. Hasil penelitian ini didukung oleh
hasil penelitian Dewi dkk, 2009. Yang

ISSN: 2338-7246 15
Jurnal Ilmu Keperawatan. Volume III, No. 1, April 2015

menyimpulkan bahwa terdapat diterapi hanya mendengarkan


pengaruh yang signifikan pada perkataan perawat hingga akhirnya
pemberian tehnik relaksasi terhadap pasien fokus pada kata-kata perawat
penurunan persepsi nyeri. Hal ini dan mau melakukan apa yang
sesuai dengan teori yang diungkapkan dicontohkan oleh perawat, dalam hal
oleh Bruner & Suddart (2013), bahwa ini perawat terlibat langsung untuk
tehnik relaksasi napas dalam efektif member contoh kepada pasien dan
untuk mengatasi nyeri, termasuk pada selanjutnya melatih pasien untuk
pasien dengan abdominal pain. melakukannya secara mandiri untuk
mengantisipasi nyeri yang sewaktu-
Manajemen nyeri untuk mengendalikan waktu dapat terjadi.
nyeri pada pasien dengan abdominal
pain yang dilakukan secara multidisiplin E. SARAN
sangat perlu dilakukan mengingat Berkaitan dengan kesimpulan di atas,
manajemen nyeri termasuk indikator saran yang dapat peneliti sampaikan
mutu pelayanan institusi rumah sakit. berdasarkan hasil penelitian yang
Pengendalian rasa nyeri pada pasien ditemukan sebagai berikut:
dengan abdominal pain sangat penting
dalam tatanan pelayanan keperawatan. a. Bagi Sarana Kesehatan:
Perawat berperan penting dalam Terapi relaksasi autogenik dapat
menurunkan skala nyeri pasien dengan dijadikan sebagai salah satu terapi
abdominal pain, Teori self-care dari alternatif untuk mengatasi nyeri
Orem’s self-care deficit theory of khususnya abdominal pain.
nursing menjelaskan bagaimana b. Bagi Institusi Pendidikan:
tindakan self-care membantu individu
Hasil penelitian ini dapat dijadikan
untuk menghilangkan nyeri; 1) totally
sebagai salah satu rujukan untuk
compensatory, perawat menggantikan
mendukung teori asuhan keperawatan
klien dalam perawatan diri (membantu
tentang manajemen nyeri dan terapi
sepenuhnya), 2) partly compensatory,
relaksasi serta perawatan pasien
adalah perawat dan klien bekerja sama
dengan abdominal pain.
untuk memenuhi kebutuhan klien, dan
115. supportive-educative; klien c. Bagi Penelitian
sebagai agens self-care tetapi Penelitian ini dapat dijadikan data awal
memerlukan bantuan dalam dan merupakan suatu hal yang perlu
mengambil keputusan, modifikasi diteliti lebih lanjut terutama mengenai
perilaku dan meningkatkan factor-faktor baik yang berhubungan
pengetahuan dan keahlian, Perawat maupun yang mempengaruhi persepsi
bertindak sebagai pendukung dan nyeri pada pasien dengan abdominal
pemberipendidikanketika pain dan management nyeri dengan
menggunakan relaksasi untuk teknik relaksasi dengan pendekatan
menghilangkan nyeri pada Abdominal metoda yang berbeda.
Pain. Tehnik relaksasi untuk mengatasi
nyeri ini dapat dilakukan dengan cara DAFTAR PUSTAKA
yang sederhana, biaya yang relative
murah dan dapat dilakukan secara Perry, Anne Griffin & Potter, Patricia
mandiri oleh pasien. Peneliti mencoba A. 2005. Buku Ajar Fundamental
melakukannya dengan cara Keperawatan; Konsep, Proses, dan
membimbing pasien secara lisan Praktik, Vol.2 Alih Bahasa. Editor
berdasarkan prosedur tehnik relaksasi Monica Ester Dkk, Jakarta : EGC
yang sudah disusun. Pasien yang

ISSN: 2338-7246 16
Jurnal Ilmu Keperawatan. Volume III, No. 1, April 2015

Bruner & Sudart. 2013. Buku Ajar


Keperawatan Medikal Bedah,
Jakarta : EGC
Black Hawk (2005) Medical Surgical
Nursing : Clinical Management for
Positive Outcome, 8 ed, St.
Missouri: elsevier Sounders
Kozier dkk. 2010. Buku Ajar
Fundamental Keperawatan;
Konsep, Proses, dan Praktik, Ed. 7.
Vol 2. Alih bahasa Pamilih Eko
Karyuni. Jakarta : EGC
Guyton & Hall. 1997. Buku Ajar
FIsiologi Kedokteran. Editor :
Irawati Setiawan. Ed. 9. Jakarta :
EGC
Nurdin dkk, 2013. Pengaruh tehnik
relaksasi terhadap intensisitas nyeri
pada pasien post operasi fraktur di
ruang IRNINA A BLU RSUP prof.
Dr. R.d Kandou Manado. Skripsi.
Universitas Sam Ratulangi. Manado
Dewi dkk.2009, Pengaruh Teknik
Relaksasi Nafas Dalam Terhadap
Penurunan Persepsi Nyeri pada
Lansia dengan Artritis Reumatoid.
Skripsi. Universitas Brawijaya.
Malang.

ISSN: 2338-7246 17
PENGARUH KOMPRES ES DAN KOMPRES HANGAT TERHADAP
PENYEMBUHAN CEDERA ANKLE PASCA MANIPULASI
TOPURAK PADA PEMAIN GPS FUTSAL BANTUL

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Keolahragaan


Universitas Negeri Yogyakarta
untuk Memenuhi sebagian Persyaratan
guna Memperoleh Gelar Sarjana Olahraga

Oleh:
Queen Syafaati Hakiki
14603141015

PROGRAM STUDI ILMU KEOLAHRAGAAN


FAKULTAS ILMU KEOLAHRAGAAN
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2018

i
PENGARUH KOMPRES ES DAN KOMPRES HANGAT TERHADAP
PENYEMBUHAN CEDERA ANKLE PASCA MANIPULASI TOPURAK
PADA PEMAIN GPS FUTSAL BANTUL

Oleh:

Queen Syafaati Hakiki


NIM 14603141015

ABSTRAK

Cedera ankle merupakan cedera terbanyak dalam olahraga futsal (Junge &
Drovak, 2010: 1091). Terapi manipulasi merupakan salah satu cara non-
farmakologi yang sering digunakan, meskipun terkadang memberi efek nyeri
setelah terapi. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji pengaruh kompres (es dan
hangat) dalam mengurangi nyeri dan menambah ROM serta fungsi gerak sendi
ankle setelah terapi manipulasi (teknik Topurak).
Penelitian ini merupakan penelitian Quasi Experimental Design dengan
pretest-posttest control group design digunakan sebagai pendekatan dalam
penelitian dengan 15 pemain yang mengalami cedera ankle kronis dan masuk
dalam kriteria inklusi dari 30 pemain GPS Futsal Bantul. Subjek penelitian dibagi
menjadi tiga kelompok dengan dua kelompok eksperimen dan satu kelompok
kontrol. Sebelum dan sesudah pemberian kompres (es dan hangat) dilakukan
pengukuran skala nyeri, range of motion (ROM), dan skala fungsi pada seluruh
subjek. Data yang terkumpul dianalisis secara deskriptif, dan uji t berpasangan
untuk data ROM, serta uji Wilcoxon untuk data skala nyeri dan skala fungsi. Uji
Anova juga digunakan untuk mengetahui perbedaan yang signifikan dari ketiga
variabel independent.
Hasil penelitian menunjukan bahwa kompres es dan kompres hangat pasca
manipulasi Topurak dapat mengurangi nyeri tekan dan menambah ROM.
Disamping itu kompres es dapat meningkatkan fungsi gerak (jinjit dan lompat)
secara signifikan (p jinjit= 0,03 dan p lompat= 0,04). Perlakuan istirahat juga
dapat menurunkan skala nyeri tekan dan menambah ROM kecuali pada inversi
ankle (p= 0,06). Selain itu, istirahat juga dapat meningkatkan skala fungsi lari dan
lompat. Tidak ada perbedaan signifikan pada ketiga perlakuan, sehingga dapat
disimpulkan bahwa kompres dan istirahat sama-sama dapat menurunkan nyeri dan
meningkatkan ROM serta fungsi gerak sendi ankle pasca manipulasi Topurak.

Kata Kunci: kompres es, kompres hangat, cedera ankle

i
THE EFFECT OF ICE AND WARM COMPRESSES IN
HEALING ANKLE INJURY POST TOPURAK
MANIPULATION ON FUTSAL GPS PLAYERS BANTUL

Queen Syafaati Hakiki


NIM 14603141015

ABSTRACT

Ankle injuries are the most injured found in futsal sports (Junge & Drovak,
2010: 1091). Manipulation therapy is one of the most commonly method used as
non-pharmacological methods. Although sometimes it gives pain effect after
giving therapy. This research aims to examine the effect of compress (ice and
warm) in reducing pain and increase ROM and ankle joint motion function after
giving manipulation therapy (Topurak technique).
This was a Quasi Experimental Design research with pretest-posttest
control group design. This design was used as a research approach with 15 players
who suffered chronic ankle injury and included in inclusion criteria of 30 players
GPS Futsal Bantul. The subjects were divided into three groups, where two were
experimental groups and the other was the control one. Before and after giving
compress (ice and warm), all subjects were measured on the pain scale, range of
motion (ROM), and function scale. The collected data in this research were
analyzed descriptively and used paired t test for ROM data and Wilcoxon test for
pain and function scale data. Anova test was also used to know the significant
differences of the three independent variables.
The results of this research shows that ice and warm compresses post Topurak
manipulation can reduce tenderness and increase ROM. Besides, ice compress can
significantly improve the movement function (tiptoe and jump) (p of tiptoe = 0,03 and
p of jump = 0.04). Activity such rest treatment can also decrease tenderness scale and
increase ROM except in ankle inversion (p = 0.06). In addition, having break time
can also increase running and jump functions scale. In this research, there was no
significant difference in the three treatments. Because of that, can be concluded that
both of compress and break time can decrease the pain and increase ROM and joint
motion of ankle post Topurak manipulation.

Keywords: ice compress, warm compress, ankle injury

ii
MOTTO

& Barang siapa yang bersungguh-sungguh pasti akan berhasil.

& I’ve failed over and over and over again in my life and that is why I succeed

(Michael Jordan)

& Jadilah mata air. Kalau kamu baik, disekitarmu akan baik. Tapi kalau

kamu tak baik, disekitarmu pasti mati.

vii
PERSEMBAHAN

Alhamdulillah, atas rahmat dan hidayah-Nya, karya yang sangat berharga

ini dapat diselesaikan dengan lancar dan baik. Skripsi ini dipersembahkan kepada

orang-orang yang memiliki makna sangat istimewa bagi kehidupan peneliti, di

antaranya Bapak Tokri, bapak yang telah mendukung dan memberikan motivasi

penuh; dan Ibu Murtianti, ibu yang selalu mendoakan, penyabar dan penuh kasih

sayang. Mutia Mardiana, Ismi Nursyamsiah, dan Cakra Sangaji, adik-adik

kandung tersayang, yang selalu memberikan motivasi dan semangat bagi peneliti.

Keluarga besar peneliti, yang terus memberikan doa yang terbaik bagi peneliti.

Gangsalone yang terdiri dari Ela Yuliana, Rahayu Sustiwi, Milsa

Nurhasanah, dan Eva Yunita yang mana sahabat sekaligus keluarga baru yang

selalu ada baik suka maupun duka selama menempuh pendidikan S1. Keluarga

besar Ilmu Keolahragaan FIK UNY terkhusus angkatan 2014 yang sedang

berjuang bersama-sama menyelesaikan gelar S1 dan peneliti ucapkan banyak

terimakasih atas bantuan dan kerjasamanya.

viii
KATA PENGANTAR

Puji syukur dipanjatkan ke hadirat Allah S.W.T, karena atas kasih dan

rahmat-Nya, Tugas Akhir Skripsi dalam rangka untuk memenuhi sebagian

persyaratan untuk mendapatkan gelar Sarjana Olahraga dengan judul “Pengaruh

Kompres Es dan Kompres Hangat terhadap Penyembuhan Cedera Ankle Pasca

Manipulasi Topurak pada Pemain GPS Futsal Bantul” dapat diselesaikan dengan

lancar.

Selesainya penyusunan Tugas Akhir Skripsi ini tidak terlepas dari bantuan

dan kerjasama berbagai pihak. Berkenaan dengan hal tersebut peneliti

menyampaikan ucapan terima kasih kepada yang terhormat:

118. Dr. dr. B.M. Wara Kushartanti, M.S., selaku Dosen Pembimbing Tugas

Akhir Skripsi yang telah banyak memberikan motivasi, semangat dan

bimbingan selama penyusunan Tugas Akhir Skripsi ini.

119. Dr. dr. B.M. Wara Kushartanti, M.S., dr. Prijo Sudibjo, M.Kes., Sp.S., dan

Dr. dr. Rachmah Laksmi Ambardini, M.Kes., selaku Ketua Penguji, Sekertaris,

dan Penguji yang sudah memberikan koreksi perbaikan secara komprehensif

pada TAS ini.

120. dr. Prijo Sudibjo, M.Kes., Sp.S., selaku Ketua Jurusan Pendidikan

Kesehatan dan Rekreasi sekaligus Ketua Program Studi Ilmu Keolahragaan

beserta dosen dan staf yang telah membantu dan memfasilitasi selama proses

penyusunan pra proposal sampai dengan selesainya TAS ini.

ix
& Prof. Dr. Wawan S. Suherman, M.Ed., selaku Dekan Fakultas Ilmu

Keolahragaan Universitas Negeri Yogyakarta, yang memberikan persetujuan

pelaksanaan TAS ini.

& Sumarjo, M.Kes., Penaehat Akademik, yang telah memberikan dukungan dan

arahan selama proses perkuliahan.

Semua pihak yang telah membantu secara langsung maupun tidak langsung

dalam penelitian ini, yang tidak dapat disebutkan satu per satu.

Akhirnya, semoga segala bantuan yang telah diberikan semua pihak di atas

menjadi amalan yang bermanfaat dan mendapatkan balasan dari Allah SWT dan

Tugas Akhir Skripsi ini menjadi informasi bermanfaat bagi pembaca atau pihak

lain yang membutuhkan.

Yogyakarta, 20 April 2018


Peneliti,

Queen Syafaati Hakiki


NIM 14603141015

x
DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN SAMPUL .............................................................................................................. i


ABSTRAK ................................................................................................................................... ii
ABSTRACT ................................................................................................................................iii
SURAT PERNYATAAN........................................................................................................ iv
HALAMAN PERSETUJUAN ............................................................................................... v
HALAMAN PENGESAHAN ............................................................................................... vi
HALAMAN MOTTO ............................................................................................................. vii
HALAMAN PERSEMBAHAN ......................................................................................... viii
KATA PENGANTAR ............................................................................................................. ix
DAFTAR ISI............................................................................................................................... xi
DAFTAR TABEL .................................................................................................................. xiii
DAFTAR GAMBAR............................................................................................................... xv
DAFTAR LAMPIRAN........................................................................................................ xvii

BAB I. PENDAHULUAN ....................................................................................................... 1


A. Latar Belakang Masalah ..................................................................................................... 1
B. Identifikasi Masalah ............................................................................................................. 4
C. Pembatasan Masalah ............................................................................................................ 4
D. Rumusan Masalah................................................................................................................. 5
E. Tujuan Penelitian ................................................................................................................... 5
F. Manfaat Penelitian................................................................................................................. 6

BAB II. KAJIAN PUSTAKA ................................................................................................. 7


A. Deskripsi Teori ...................................................................................................................... 7
1. Cedera Ankle pada Olahraga Futsal ........................................................................... 7
2. Penyembuhan Cedera Sendi Ankle ........................................................................... 13
3. Hakikat Terapi Dingin .................................................................................................. 14
4. Hakikat Terapi Panas .................................................................................................... 22
5. Reseptor Suhu dan Perangsangannya ....................................................................... 30
6. Hakikat Topurak ............................................................................................................. 31
7. GPS Futsal Bantul .......................................................................................................... 35
B. Penelitian yang Relevan .................................................................................................... 36
C. Kerangka Berpikir............................................................................................................... 37
D. Hipotesis Penelitian............................................................................................................ 38

BAB III. METODE PENELITIAN ..................................................................................... 39


A. Desain Penelitian ................................................................................................................ 39
B. Tempat dan Waktu Penelitian ......................................................................................... 39
C. Populasi dan Sampel Penelitian ...................................................................................... 40
D. Definisi Operasional Variabel Penelitian .................................................................... 41
E. Instrumen dan Teknik Pengumpulan Data ................................................................... 42
F. Teknik Analisis Data .......................................................................................................... 44
xi
BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ............................................. 45
A. Deskripsi Lokasi dan Subjek Penelitian ....................................................................... 45
B. Deskripsi Data Penelitian ................................................................................................. 45
C. Hasil Analisis Data Penelitian ......................................................................................... 58
D. Pembahasan Hasil Penelitian........................................................................................... 67

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ........................................................................... 70


A. Kesimpulan ........................................................................................................................... 70
B. Implikasi ................................................................................................................................ 70
C. Keterbatasan ......................................................................................................................... 70
B. Saran ....................................................................................................................................... 71

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................. 72

xii
DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Normal Range of Motion Ankle........................................................................ 12

Tabel 2. Respon Kulit pada Aplikasi Dingin ................................................................. 16

Tabel 3. Efek Fisiologis Tubuh pada Terapi Dingin ................................................... 17

Tabel 4. Efek Fisiologis Tubuh pada Terapi Hangat ................................................... 24

Tabel 5. Data Penelitian ....................................................................................................... 43

Tabel 6. Hasil Analisis Deskriptif Data Skala Nyeri Pretest-Posttest Kelompok

Kompres Es 49

Tabel 7. Hasil Analisis Deskriptif Data Skala Nyeri Pretest-Posttest Kelompok

Kompres Hangat 49

Tabel 8. Hasil Analisis Deskriptif Data Skala Nyeri Pretest-Posttest Kelompok

Kontrol 49

Tabel 9. Hasil Analisis Deskriptif ROM Pretest-Posttest Kelompok Kompres

Es 52

Tabel 10. Hasil Analisis Deskriptif ROM Pretest-Posttest Kelompok Kompres

Hangat 52

Tabel 11. Hasil Analisis Deskriptif ROM Pretest-Posttest Kelompok Kontrol 52

Tabel 12. Hasil Analisis Deskriptif Skala Fungsi Pretest-Posttest Kelompok

Kompres Es 55

Tabel 13. Hasil Analisis Deskriptif Skala Fungsi Pretest-Posttest Kelompok

Kompres Hangat 55

xiii
Tabel 14. Hasil Analisis Deskriptif Skala Fungsi Pretest-Posttest Kelompok

Kontrol 56

Tabel 15. Hasil Uji Normalitas Data Kelompok Kompres Es ..................................... 60

Tabel 16. Hasil Uji Normalitas Data Kelompok Kompres Hangat ............................ 60

Tabel 17. Hasil Uji Normalitas Data Kelompok Kontrol ............................................. 61

Tabel 18. Hasil Uji Homogenitas Kelompok Kompres Es ........................................... 61

Tabel 19. Hasil Uji Homogenitas Kelompok Kompres Hangat .................................. 62

Tabel 20. Hasil Uji Homogenitas Kelompok Kontrol ................................................... 62

Tabel 21. Hasil Uji t test Data ROM Kelompok Kompres Es ..................................... 63

Tabel 22. Hasil Uji t test Data ROM Kelompok Kompres Hangat ............................ 63

Tabel 23. Hasil Uji t test Data ROM Kelompok Kontrol ............................................. 63

Tabel 24. Hasil Uji Wilcoxon Data Skala Nyeri Kelompok Kompres Es ............... 64

Tabel 25. Hasil Uji Wilcoxon Data Skala Nyeri Kelompok Kompres Hangat 64

Tabel 26. Hasil Uji Wilcoxon Data Skala Nyeri Kelompok Kontrol ........................ 64

Tabel 27. Hasil Uji Wilcoxon Data Skala Fungsi Kelompok Kompres Es ............. 65

Tabel 28. Hasil Uji Wilcoxon Data Skala Fungsi Kelompok Kompres Hangat 65

Tabel 29. Hasil Uji Wilcoxon Data Skala Fungsi Kelompok Kontrol ...................... 65

Tabel 30. Hasil Uji Anova Data Skala Nyeri Tekan ...................................................... 66

xiv
DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Anatomi Penyususn Sendi Ankle Bagian Lateral .................................... 8

Gambar 2. Anatomi Penyususn Sendi Ankle Bagian Medial .................................... 9

Gambar 3. Goniometer ........................................................................................................ 13

Gambar 4. Cold/Ice Pack.................................................................................................... 20

Gambar 5. Vapocoolant spray........................................................................................... 21

Gambar 6. Krim Panas ........................................................................................................ 26

Gambar 7. Tanki Whirpool ................................................................................................ 28

Gambar 8. Contrast bath .................................................................................................... 29

Gambar 9. Trigger Point pada Ankle .............................................................................. 33

Gambar 10. Trigger Point Area Telapak Kaki ................................................................ 33

Gambar 11. Trigger Point Area Telapak Kaki ................................................................ 33

Gambar 12. Trigger Point Area Telapak Kaki ................................................................ 34

Gambar 13. Histogram Durasi Cedera Ankle ................................................................. 46

Gambar 14. Histogram Penyebab Cedera Ankle ........................................................... 47

Gambar 15. Diagram Pie Riwayat Cedera ....................................................................... 47

Gambar 16. Diagram Pie Sisi Cedera ................................................................................ 48

Gambar 17. Histogram Rata-rata Skala Nyeri Pretest-Posttest Kelompok

Kompres Es 50

Gambar 18. Histogram Rata-rata Skala Nyeri Pretest-Posttest Kelompok

Kompres Hangat 51

Gambar 19. Histogram Rata-rata Skala Nyeri Pretest-Posttest Kelompok

xv
Kontrol 51

Gambar 20. Histogram Rata-rata ROM Pretest-Posttest Kelompok Kompres

Es 53

Gambar 21. Histogram Rata-rata ROM Pretest-Posttest Kelompok Kompres

Hangat 54

Gambar 22. Histogram Rata-rata ROM Pretest-Posttest Kelompok Kontrol 54

Gambar 23. Histogram Rata-rata Skala Fungsi Pretest-Posttest Kelompok

Kompres Es 57

Gambar 24. Histogram Rata-rata Skala Fungsi Pretest-Posttest Kelompok

Kompres Hangat 57

Gambar 25. Histogram Rata-rata Skala Fungsi Pretest-Posttest Kelompok

Kontrol 58

xvi
DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Surat Pembimbing Penulisan Skripsi ................................................... 76

Lampiran 2. Surat Permohonan Izin Penelitian ......................................................... 77

Lampiran 3. Catatan Medis.............................................................................................. 78

Lampiran 4. Surat Kesediaan Menjadi Subjek Penelitian ...................................... 79

Lampiran 5. Protokol Penelitian..................................................................................... 80

Lampiran 6. Data Hasil Penelitian ................................................................................. 83

Lampiran 7. Data Deskriptif ............................................................................................ 85

Lampiran 8. Uji Normalitas ............................................................................................. 94

Lampiran 9. Uji Homogenitas ........................................................................................ 97

Lampiran 10. Paired Samples t Test ............................................................................ 100

Lampiran 11. Uji Wilcoxon ............................................................................................ 104

Lampiran 12. Dokumentasi ............................................................................................. 113

xvii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Futsal merupakan cabang olahraga yang banyak digemari hampir di

seluruh dunia termasuk masyarakat Indonesia. Mulai dari anak-anak, remaja,

sampai orang dewasa. Sebagai olahraga yang menyehatkan dan menjadi sarana

rekreasi penghilang kejenuhan, olahraga futsal memiliki perbedaan dengan

olahraga-olahraga lain, yaitu membutuhkan kematangan skill kecepatan,

kekuatan, dan daya tahan yang menjadi kunci selama pertandingan

berlangsung. Mempunyai kondisi fisik yang prima diharuskan bagi para

pemainnya, karena kondisi fisik yang buruk akan berdampak buruk juga pada

kemampuan teknik dasar seorang pemain. Sehebat apapun seorang pemain

futsal dalam hal teknik tetapi tanpa didasari oleh kondisi fisik yang baik, maka

kemampuan yang dimiliki tidak akan maksimal (Setiawan dkk, 2014: 13).

Dengan memiliki fisik yang kuat, resiko terkena cedera pada saat latihan

maupun bertanding dapat terminimalisir.

Dalam turnamen FIFA Futsal World Cups pada tahun 2006, diidentifikasi

bahwa mayoritas cedera terjadi karena kontak dengan pemain lain dan lebih

banyak mengenai ekstremitas bawah, serta diagnosis yang paling sering adalah

ankle sprain (Junge & Drovak, 2010: 1091). Menurut Arovah (2016: 11), cedera

neuro-musculoskeletal akut sering ditandai dengan tanda-tanda kardinal radang

seperti kemerahan (rubor), panas (kalor), benjolan (tumor), nyeri (dolor), dan

penurunan fungsi (functio leissa). Dua kondisi terakhir berupa nyeri dan

1
penurunan fungsi sendi sering menjadi penyebab utama seseorang mencari

pertolongan medis atau modalitas terapi.

Terdapat banyak cara untuk mengatasi nyeri. Baik secara farmakologis

maupun secara non-farmakologis, semua dengan kelebihan dan kekurangan

masing-masing. Kelebihan cara non-farmakologis menurut Nurkhasanah (2014:

27-28) adalah murah, simpel, efektif, dengan efek samping minimal, dan dapat

meningkatkan kepuasan karena dapat mengontrol perasaan. Manipulasi Topurak

yang telah dikembangkan di FIK UNY merupakan salah satu metode non-

farmakologis yang dapat mengatasi nyeri dan gangguan fungsi gerak sendi ankle.

Menurut Ambardini dan Kushartanti (2016: 73) Topurak merupakan manipulasi

totok, pukul, dan gerak untuk melemaskan otot, tendo, dan jaringan ikat sekitar

sendi yang mengalami nyeri dan mengembalikan sendi ke posisi anatomis tubuh.

Dengan dilakukannya manipulasi Topurak, diharapkan dapat mengembalikan

posisi sendi ankle pada tempatnya, meskipun terkadang memberi efek nyeri

setelah manipulasi. Untuk mengatasi hal tersebut dapat dilakukan pengompresan

setelah dilakukan manipulasi Topurak.

Pada keadaan cedera kronis, kompres hangat sering digunakan untuk

mengurangi nyeri yang berhubungan dengan ketegangan otot walaupun dapat juga

dipergunakan untuk mengatasi berbagai jenis nyeri yang lain (Arovah, 2016: 44).

Terapi panas dapat dilakukan sendiri di rumah akan tetapi beberapa jenis terapi

panas memerlukan pengawasan dan harus dilakukan di dalam klinik atau rumah

sakit. Selain itu menurut Fondy (2012: 53) kompres hangat juga dapat

meningkatkan elastisitas otot dengan jalan vasodilatasi dan meningkatnya

2
aliran darah sehingga mengurangi kekakuan otot yang menjadikan proses

penyembuhan cepat. Akan tetapi waktu reaksi kompres hangat membutuhkan

waktu yang lama karena kecepatan rasa dingin lebih cepat dibandingkan

kecepatan hantaran rasa panas. Rasa dingin juga lebih mudah menembus

jaringan dibandingkan dengan panas. (Arovah, 2016: 34).

Meskipun sensasi dari kompres es akan menimbulkan rasa tidak nyaman

di awal, tetapi cara ini bisa meredam rasa nyeri dengan jalan menurunkan

jaringan aliran darah dengan menyebabkan vasokontriksi dan mengurangi

metabolisme jaringan (Nadler et al., 2004: 395). Menurut Fondy (2012: 52)

terapi dingin sangat efektif, mudah dilakukan, cepat, dan ekonomis diantara

terapi lain. Selain itu Peterson dan Renstrom (2001: 94) juga mengungkapkan

bahwa manfaat terapi dingin yaitu pasien dengan cepat merasakan adanya

perbaikan pada gejala, perawatan mudah dilakukan, dan ditoleransi dengan

baik, sedikit resiko serta tidak mahal.

Penelitian yang dilakukan Yuliastri (2012) mengenai “Pengaruh Kompres

Panas dan Kompres Dingin terhadap Pengurangan Nyeri pada Osteoarthritis

Sendi Lutut” menunjukan kesimpulan (1) Terdapat pengaruh pemberian kompres

panas terhadap pengurangan nyeri pada osteoarthritis sendi lutut, (2) Terdapat

pengaruh pemberian kompres dingin terhadap pengurangan nyeri pada

osteoarthritis sendi lutut, dan (3) Terdapat beda pengaruh pengurangan nyeri pada

osteoarthritis sendi lutut antara terapi panas dan terapi dingin pada subjek

penelitian, serta terapi panas lebih efektif dalam pengurangan nyeri pada

osteoarthritis ditinjau dari nilai selisih yang dapat menurun. Dalam pengamatan

3
peneliti, belum ada yang melakukan penelitian lebih lanjut pengaruh kompres

es dan kompres hangat pada pasca manipulasi Topurak. Oleh karena itu, perlu

penelitian lebih lanjut tentang pengaruh kompres es dan kompres hangat pasca

manipulasi Topurak khususnya untuk penyembuhan cedera ankle, mana yang

lebih berpengaruh dalam mengurangi nyeri dan meningkatkan ROM serta

fungsi gerak ankle sehingga konsumen bisa memilih kompres yang lebih baik.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas dapat

diidentifikasi beberapa masalah sebagai berikut:

Pemain futsal banyak mengalami cedera ankle.

Manipulasi Topurak dapat digunakan untuk mengembalikan posisi sendi

ankle pada tempatnya, meskipun terkadang efek nyeri masih dirasakan

pasien setelah terapi.

Belum diketahuinya pengaruh kompres es dan kompres hangat pasca

manipulasi Topurak dalam mengurangi nyeri dan menambah ROM serta

fungsi gerak ankle.

11. Pembatasan Masalah

Permasalahan yang terkait dengan pengaruh kompres es dan kompres

hangat terhadap penyembuhan cedera ankle sangat kompleks. Oleh sebab itu,

agar pembahasan menjadi lebih fokus dan dengan mempertimbangkan segala

keterbatasan penulis, masalah dalam skripsi ini dibatasi pada pengaruh

kompres es dan kompres hangat pasca manipulasi Topurak dalam mengurangi

nyeri dan menambah ROM serta fungsi gerak sendi ankle.

4
D. Rumusan Masalah

Atas dasar pembatasan masalah di atas, masalah dalam skripsi ini dapat

dirumuskan sebagai berikut:

Apakah kompres es pasca manipulasi Topurak cedera ankle dapat

mengurangi nyeri dan meningkatkan ROM serta fungsi gerak sendi ankle?

Apakah kompres hangat pasca manipulasi Topurak cedera ankle dapat

mengurangi nyeri dan meningkatkan ROM serta fungsi gerak sendi ankle?

Apakah ada perbedaan pengaruh kompres es dan kompres hangat dalam

mengurangi nyeri dan meningkatkan ROM serta fungsi gerak sendi ankle?

% Tujuan Penelitian

Sesuai dengan rumusan masalah di atas, tujuan penelitian ini adalah:

19. Mengetahui pengaruh kompres es terhadap penyembuhan cedera ankle

pasca manipulasi Topurak untuk mengurangi nyeri dan menambah ROM

serta fungsi gerak sendi ankle.

20. Mengetahui pengaruh kompres hangat terhadap penyembuhan cedera ankle

pasca manipulasi Topurak untuk mengurangi nyeri dan menambah ROM

serta fungsi gerak sendi ankle.

21. Mengetahui perbedaan pengaruh kompres es dan kompres hangat dalam

mengurangi nyeri dan menambah ROM serta fungsi gerak sendi ankle.

5
F. Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Manfaat teoritis

Dari segi teoritis hasil penelitian diharapkan dapat memberikan

sumbangan ilmiah terhadap pengembangan ilmu keolahragaan tentang

masalah penerapan kompres es dan hangat.

13. Manfaat praktis

Bagi Terapis

Mengetahui pengaruh kompres es dan kompres hangat pasca manipulasi

Topurak untuk mendapatkan hasil yang maksimal.

Bagi Penulis

Mempunyai wawasan yang lebih banyak di dunia terapi dan juga bisa

memilih kompres yang baik untuk digunakan.

Bagi Jurusan Ilmu Keolahragaan

Bermanfaat untuk memberikan masukan dalam rangka pengembangan

keilmuan dan peningkatan program belajar mengajar.

6
BAB II
KAJIAN PUSTAKA

A. Deskripsi Teori

1. Cedera Ankle pada Olahraga Futsal

Menurut Mulyono (2017: 5), Futsal adalah salah satu cabang

olahraga yang termasuk dalam permainan bola besar. Bermain futsal

bertujuan untuk membentuk sebuah permainan tim dengan strategi bermain

yang apik, dipadu dengan beragam teknik setiap individu yang bermain

demi meraih kemenangan. Selain tentu saja teknik bermain, hal yang harus

dimiliki oleh seseorang adalah kecepatan. Rata-rata jalannya permainan

futsal begitu cepat sehingga menjadikan permainan futsal sebagai salah satu

olahraga yang memacu kecepatan dalam menyisir area lapangan

pertandingan. Futsal menurut Junge & Dvorak (2010: 1089) adalah olahraga

multi sprint dengan fase intensitas lebih tinggi daripada sepak bola.

Junge & Drovak (2010: 1089) mengatakan, ‘‘Futsal was among the top

10 sport injuries and had the highest injury incidence per 10000 h of sport

participation (55,2; 95% CI 42,7 to 71,3). The injury rate was about 2,7 times

higher than in football (20,3; 95% CI 18,4 to 22,4).’’ Dalam turnamen FIFA

Futsal World Cups pada tahun 2006, mayoritas cedera terjadi karena kontak

dengan pemain lain dan mempengaruhi ekstremitas bawah serta diagnosis yang

paling sering adalah ankle sprain (Junge & Drovak, 2010: 1091).

7
a. Anatomi dan Fisiologi Ankle

Menurut Anderson & Parr dalam bukunya Fundation of Athletic

Training (2011: 290-292), kaki memiliki tiga wilayah utama yaitu kaki

depan, kaki tengah, dan kaki belakang. Kaki depan terdiri dari lima

metatarsal dan 14 falang (jari-jari) bersama dengan berbagai sendi

lainnya. Kaki tengah meliputi tulang navicular, cuboid, dan tiga

cuneiform, dan artikulasi lainnya. Kaki belakang meliputi tulang

calcaneus dan talus. Tulang talus berbentuk pelana yang berfungsi

sebagai penghubung antara kaki dan pergelangan kaki.

Otot penggerak gerakan dorsofleksi sendi ankle adalah tibialis

anterior, ekstensor digitorium longus, dan peroneus tertius. Otot

penggerak utama plantarfleksi adalah soleus, gastrocnemius, plantaris,

dan flexor hallucis longus, dengan bantuan yang diberikan oleh peroneal

longus dan brevis, dan tibialis posterior. Sedangkan inversi dan eversi,

otot penggerak utamanya adalah peroneus longus dan peroneus brevis

(Anderson & Parr, 2011: 296-298).

Gambar 1. Anatomi Penyusun Sendi Ankle Bagian Lateral


(Sumber: Anderson & Parr, 2011: 291)
8
Gambar 2. Anatomi Penyusun Sendi Ankle Bagian Medial
(Sumber: Anderson & Parr, 2011: 291)

b. Patofisiologi Cedera Ankle

Cedera mungkin terjadi saat melakukan aktivitas sehari-hari, namun

kemungkinan yang paling besar terjadinya cedera yaitu saat berolahraga.

Cedera dalam olahraga yang mungkin terjadi menurut Helmi (2012: 3)

meliputi: (1) memar, (2) cedera ligamentum (sprain), (3) cedera pada otot

dan tendon (strain), (4) dislokasi, (5) patah tulang (fraktur), (6) kram otot,

11) pendarahan, dan (8) luka. Karena peran penting yang dimainkan oleh

tubuh bagian bawah, ankle dan kaki saat berolahraga maupun aktivitas

fisik, luka-luka di atas bisa saja terjadi. Insiden cedera ankle yang paling

tinggi dialami oleh pemain bola basket, sepak bola, dan futsal. Sprain

lateral ankle adalah cedera yang paling umum terjadi pada olahraga,

terhitung sekitar 25% cedera pada sistem muskuloskeletal yang

diungkapkan oleh Anderson & Parr (2011: 290).

Arovah (2016: 4) mengatakan bahwa tanda akut cedera olahraga

yang umumnya terjadi adalah tanda respon peradangan tubuh yang

meliputi tumor (pembengkakan), kalor (peningkatan suhu), rubor (warna

9
merah), dolor (nyeri), dan functio leissa (penurunan fungsi). Tanda-tanda

di atas akan dijabarkan sebagai berikut menurut Tambayong (2000: 52):

1) Tumor (bengkak)

Tumor sebagian disebabkan hiperemi dan sebagian besar

ditimbulkan oleh pengiriman cairan dan sel-sel dari sirkulasi darah ke

jaringan-jaringan interstisial. Helmi (2012: 169) menambahkan bahwa

campuran dari cairan dan sel yang tertimbun di daerah inflamasi

disebut eksudat. Pada keadaan ini reaksi peradangan sebagian besar

eksudat adalah cair, kemudian sel-sel darah putih meninggalkan aliran

darah, dan tertimbun sebagai bagian dari eksudat.

2) Kalor (panas)

Kalor terjadi bersamaan dengan kemerahan dari reaksi

peradangan akut. Kalor disebabkan pula oleh sirkulasi darah yang

meningkat, sebab darah yang memiliki suhu 37o C disalurkan ke

permukaan tubuh yang mengalami inflamasi lebih banyak daripada ke

daerah normal.

3) Rubor (merah)

Merupakan hal pertama yang terlihat di daerah yang mengalami

peradangan. Saat reaksi inflamasi timbul, terjadi pelebaran arteriola

yang mensuplai darah ke daerah yang mengalami inflamasi sehingga

lebih banyak darah mengalir ke sirkulasi lokal dan kapiler meregang

dengan cepat terisi penuh dengan darah. Timbulnya hiperemia pada

permulaan reaksi peradangan diatur oleh tubuh baik secara neurogenik

10
maupun secara kimia, melalui pengeluaran zat seperti histamin

(Helmi, 2012: 169).

4) Dolor (nyeri)

Merupakan akibat dari perubahan pH lokal atau konsentrasi lokal

ion-ion tertentu yang dapat merangsang ujung-ujung saraf. Pengeluaran

zat seperti histamin atau zat bioaktif lainnya dapat merangsang saraf.

Rasa sakit disebabkan pula oleh tekanan yang meninggi akibat

pembengkakan jaringan yang meradang. Nyeri menurut Arovah (2016:

11) merupakan pengalaman sensoris yang tidak menyenangkan yang

berkaitan dengan kerusakan fisiologis jaringan.

7. Functio leissa (gangguan fungsi)

Merupakan reaksi inflamasi yang telah lama dikenal. Menurut

Helmi (2012: 169) kita mudah memahami mengapa bagian yang

bengkak, nyeri disertai sirkulasi abnormal, dan lingkungan kimiawi

lokal yang abnormal.

Arovah (2016: 11) menyatakan bahwa dua kondisi terakhir berupa

nyeri dan penurunan fungsi ini sering menjadi penyebab utama seseorang

mencari pertolongan medis atau menggunakan modalitas terapi. Aspek

fisiologis yang sering menyertai nyeri adalah kerusakan jaringan,

pengurangan jangkauan gerak (range of motion), radang (inflamasi),

anoxia/iskemia (gangguan aliran darah) serta pembengkakan (edema).

11
c. Jangkauan gerak sendi ankle (Range of motion/ROM)

Helmi (2012: 56) mengatakan ROM merupakan istilah baku untuk

menyatakan batas/besarnya gerakan sendi baik dan normal. ROM juga

digunakan sebagai dasar untuk menetapkan adanya kelainan atau untuk

menyatakan batas gerakan sendi yang abnormal. Menurut pendapat

Arovah (2016: 12) jangkauan gerak merupakan istilah yang

dipergunakan untuk menggambarkan jarak dan arah gerak suatu area

persendian dalam tubuh. Penurunan ROM dapat diakibatkan oleh cedera

maupun proses penuaan. Lain halnya yang diungkapkan oleh Wilson et

al., (2011: 15) bahwa keterbatasan ROM disebabkan oleh banyak faktor

termasuk kurangnya atau ketidak seimbangan otot dan terganggunya

fungsi normal keseluruhan rantai kinetik. Keterbatasan jangkauan gerak

sendi disebabkan oleh rasa nyeri, pembengkakan, spasme otot, kekakuan

otot, kontraktur sendi, dan kerusakan saraf, serta bertambahnya usia

(Anderson et al., 2009: 101).

Dalam jurnal Ankle Injury Management Trial (2015: 1-9), jangkauan

gerak sendi ankle yang normal disajikan dalam Tabel 1 berikut:

Tabel 1. Normal Range of Motion Ankle


Gerakan Normal ROM
Dorsofleksi 0-20o
Plantarfleksi 0-50 o
Inversi 0-35 o
Eversi 0-15 o

Pengukuran jangkauan gerak sendi dapat dilakukan dengan

Goniometer. Menurut Helmi (2012: 54), goniometer adalah suatu busur


12
derajat yang dirancang khusus untuk mengevaluasi gerakan sendi.

Berikut adalah gambar alat ukur goniometer:

Moving Arm

Axis
Stationary Arm

Gambar 3. Goniometer
Sumber: https://www.fab-ent.com/evaluation/range-of-motion/baseline-
plastic-goniometers/ diambil pada 25/03/2018 pukul 19:53

2. Penyembuhan Cedera Sendi Ankle

Penyembuhan cedera ditinjau dari jenis dan beratnya cedera.

Pengetahuan tentang berbagai tanda dan gejala yang dipamerkan di lokasi

cedera sangat penting untuk menentukan pilihan pengelolaan, perawatan,

dan memantau kemajuan penyembuhan (Anderson & Parr, 2011: 49).

Ketika tubuh mengalami cedera, umumnya ditandai dengan nyeri dan

disertai gejala berkurangnya ROM serta fungsi gerak sendi. Menurut

Ikawati (2011), nyeri merupakan persepsi yang kompleks, yang rasanya

dapat sangat bervariasi antara satu orang dengan yang lain meskipun mereka

mendapatkan cedera atau penyakit yang relatif sama. Oleh karena itu, nyeri

sebaiknya dinilai, baik dalam keadaan istirahat maupun aktivitas.

Menurut Rohani dalam Nurkhasanah (2014: 27-28) nyeri dapat diatasi

dengan melakukan berbagai alternatif, baik secara farmakologis maupun non-

farmakologis. Secara farmakologis dapat diatasi dengan menggunakan obat-

obatan analgesik. Sedangkan penatalaksanaan non-farmakologis terhadap

13
nyeri dapat dilakukan dengan berbagai modalitas terapi, meliputi: (1)

hydrotherapy, (2) manual Therapy (Topurak), (3) teknik napas dalam, (4)

terapi musik, (5) terapi latihan (exercise therapy), (6) kompres (kompres

hangat dan kompres dingin), dan (7) electrotherapy.

Mengingat banyaknya macam modalitas terapi, penulis tidak

mengupas keseluruhan modalitas terapi, tetapi hanya menguraikan

modalitas kompres (kompres es dan kompres hangat) dan Topurak.

3. Hakikat Terapi Dingin

a. Pengertian Terapi Dingin

Menurut Arovah (2016: 32), terapi dingin atau cold therapy adalah

pemberian dingin untuk mengobati nyeri dan gangguan kesehatan lainnya.

Nadler et al., (2004: 397) mengatakan terapi dingin adalah bentuk aplikasi

terapi untuk tubuh dengan menurunkan atau mengurangi panas di tubuh,

akibat berkurangnya temperatur jaringan. Terapi dingin juga dapat

menurunkan aliran darah dengan jalan vasokontriksi dan mengurangi

metabolisme jaringan, penggunaan oksigen, inflamasi, dan spasme otot.

Penerapan terapi dingin dipakai pada saat respon peradangan masih

berlangsung (keadaan akut) dengan tujuan untuk mengurangi kepekaan

saraf yang akan membuat berkurangnya rasa nyeri. Terapi dingin sering

digunakan bersama-sama dengan teknik pertolongan pertama pada

cedera dan pada keadaan akut yang disebut RICE (Rest, Ice,

Compression, dan Elevation).

14
Adapun tujuan terapi dingin atau dengan menggunakan kompres

dingin yaitu menurunkan suhu tubuh, mencegah meluasnya peradangan,

mengurangi kongesti, mengurangi perdarahan setempat, mengurangi rasa

sakit, demikianlah pendapat Asmadi (2008: 159). Menurut Ernst dalam

Nurjanah (2016: 24) bahwa inti dari terapi dingin adalah menyerap kalori

area lokal cedera sehingga terjadi penurunan suhu. Semakin lama waktu

terapi, penetrasi dingin semakin dalam. Umumnya terapi dingin pada

suhu 3,5o C selama 10 menit dapat mempengaruhi suhu sampai dengan 4

cm dibawah kulit. Jaringan otot dengan kandungan air yang tinggi

merupakan konduktor yang baik sedangkan jaringan lemak merupakan

isolator suhu sehingga menghambat penetrasi dingin.

b. Efek Fisiologis Terapi Dingin

Arovah (2016: 34) mengungkapkan bahwa dingin lebih mudah

menembus jaringan dibandingkan dengan panas. Pada terapi dingin, efek

pendinginan yang terjadi tergantung jenis aplikasi terapi dingin, lama

terapi dan konduktivitasnya. Pada dasarnya agar terapi dapat efektif,

lokal cedera harus dapat diturunkan suhunya dalam jangka waktu yang

mencukupi. Menurut Peterson & Renstrom (2001: 93), terapi dingin

memberikan efek penghilang rasa sakit lokal yang membuat atlet yang

cedera merasa lebih baik dan dapat mendorong kembalinya aktivitas

olahraga.

Secara fisiologis, pada 15 menit pertama setelah pemberian aplikasi

dingin (suhu 10o C) terjadi vasokontriksi arteriola dan venula secara lokal.

15
Vasokontriksi ini disebabkan oleh aksi reflek dari otot polos yang timbul

akibat stimulasi sistem saraf otonom dan pelepasan epinerphin dan

norepinephrin. Walaupun demikian apabila dingin tersebut terus

diberikan selama 15 sampai dengan 30 menit akan timbul fase

vasodilatasi yang terjadi intermiten selama 4 sampai 6 menit. Periode ini

dikenal sebagai respon hunting. Respon hunting terjadi untuk mencegah

terjadinya kerusakan jaringan akibat dari jaringan mengalami anoxia

jaringan. (Arovah, 2016: 33-34).

Tabel 2. Respon Kulit Pada Aplikasi Dingin


Tahap Waktu Pemberian Aplikasi Dingin Respon

1 0-3 menit Sensasi dingin


2 2-7 menit Rasa terbakar, Nyeri
3 5-12 menit Anestesi relatif kulit

Dengan pengukuran waktu reaksi dapat dinyatakan bahwa kecepatan

rasa dingin lebih cepat dibandingkan kecepatan hantaran rasa panas. Rasa

dingin juga lebih mudah menembus jaringan dibandingkan dengan panas.

Saat otot mengalami penurunan suhu akibat aplikasi dingin, efek dingin

dapat bertahan lebih lama dibandingkan dengan panas disebabkan adanya

lemak subkutan yang bertindak sebagai isolator (Arovah, 2016: 34).

16
Tabel 3. Efek Fisiologis Tubuh pada Terapi Dingin
Variabel Efek
Spasme otot Menurun
Persepsi nyeri Menurun
Aliran darah Menurun sampai 10 menit pertama
Kecepatan metabolisme Menurun
Elastisitas kolagen Menurun
Kekakuan sendi Meningkat
Permeabilitas kapiler Meningkat
Dapat mengurangi pembengkakan
lanjut tapi relatif tidak
Pembengkakan menghentikan pembengkakan yang
sudah terjadi.

Dalam perawatan nyeri yang disebabkan karena cedera, terapi dingin

dilakukan sampai pembengkakan berkurang. Terapi dingin biasanya

digunakan pada 24 sampai 48 jam setelah terjadinya cedera dan dipakai

untuk mengurangi sakit dan pembengkakan. Panas selanjutnya digunakan

dalam fase rehabilitasi fase kronis, demikian pendapat Hubbard et al., dalam

Arovah (2016: 36). Penerapan terapi dingin menurut Peterson & Renstrom

(2001: 94) diterapkan selama 15-20 menit per pengobatan dan dapat

diterapkan per jam untuk 24-72 jam pertama setelah cedera.

c. Indikasi Terapi Dingin

Menurut Fondy, (2012: 52) paling mudah dan sederhana memberikan

pertolongan pertama pada kaum awam bila mengalami cedera pada otot kaki

adalah dengan metode pendinginan. Selain itu terapi dingin sangat efektif,

mudah dilakukan, cepat, dan ekonomis diantara terapi yang lain. Terapi

dingin dapat ditangani dengan berbagai kondisi antara lain: (1) cedera

(sprain, strain, dan kontusi), (2) sakit kepala

17
(migrain, tension headache dan clustes headache), (3) gangguan

temporomandibular (TMJ disorder), (4) testicular dan scrotal pain, (5)

nyeri post operasi, (6) fase akut arthritis (peradangan pada sendi), (7)

tendinitis dan bursitis, (8) nyeri lutut, (9) nyeri sendi, dan (10) nyeri perut

(Arovah, 2016: 36). Pendapat yang sama juga diungkapkan oleh Peterson

& Renstrom (2001: 94) bahwa manfaat terapi dingin yaitu pasien dengan

cepat merasakan adanya perbaikan pada gejala, perawatan mudah

dilakukan, dan ditoleransi dengan baik, sedikit resiko, dan tidak mahal.

20. Kontraindikasi Terapi Dingin

Arovah (2016: 36-37) mengatakan terdapat beberapa kondisi yang

dapat dipicu oleh terapi dingin sehingga diperlukan pengawasan yang

ketat terhadap individu dengan riwayat gangguan tertentu. Beberapa

kondisi tersebut diantaranya adalah:

9. Raynaud’s syndrom merupakan kondisi dimana terdapat hambatan

pada arteri kecil yang menyalurkan darah ke jari tangan dan kaki

ketika terjadinya dingin atau emosi. Pada keadaan ini timbul sianosis

yang apabila berlanjut dapat mengakibatkan kerusakan anggota tubuh

perifer.

10. Vasculitis (peradangan pembuluh darah)

11. Gangguan sensasi saraf misal neuropathy akibat diabetes melitus

maupun leprosy.

18
Cryoglobulinemia yang merupakan kondisi berkurangnya protein di

dalam darah yang menyebabkan darah akan berubah menjadi gel bila

kena dingin.

Paroxysmal cold hemoglobinuria yang merupakan suatu kejadian

pembentukan antibodi yang merusak sel darah merah bila tubuh

dikenai dingin.

T. Jenis Aplikasi Terapi Dingin

Menurut Arovah (2016: 37-39) terapi dingin dapat digunakan

dalam berbagai cara yaitu:

1) Es dan masase es

Berbagai cara dilakukan dalam mengemas es, salah satunya

dengan kantong pengompres es. Es dalam pemakaiannya sebaiknya

tidak kontak langsung dengan kulit sehingga es diperlukan pelindung

seperti handuk. Handuk juga diperlukan untuk menyerap es yang

mencair.

Indikasi terapi es adalah pada bagian otot lokal seperti tendon,

bursa maupun bagian-bagian myofacial trigger point. Es dapat digunakan

langsung untuk memijat atau untuk memati-rasakan jaringan sebelum

terapi pijat. Pendapat lain menurut Peterson & Renstrom (2001: 94)

mengatakan bahwa masase es paling sering digunakan sebelum latihan

ROM, untuk Friction massase, dan untuk efek analgesik yang

terlokalisir. Masase es dapat memberikan dingin yang

19
lebih efisien daripada cold pack atau metode lain yang menggunakan

terapi dingin. Terapi biasanya diberikan selama 10 sampai 20 menit.

2) Ice pack

Ice pack merupakan kemasan yang dapat menyimpan es dan

membuat es tersebut dapat terjaga dalam waktu relatif lama di luar

freezer daripada kemasan plastik. Alat ini tersedia di apotek dan toko

obat. Secara umum ice pack dapat dipergunakan selama 15 sampai 20

menit. Indikasi terapi sama dengan ice masase. Penggunaan ice pack

lebih praktis akan tetapi bila terjadi kebocoran pada kemasan dapat

menimbulkan bahaya iritasi kulit akibat bahan kimia yang

dikandungnya.

Gambar 4. Cold/Ice Pack


Sumber: https://www.nortechlabsonline.com/COOL-
Instant-Ice-Pack-First-Aid-Kit-Size-5-x-6-p/inst56.htm
diambil pada 25/03/2018 pukul 20.12

3) Vapocoolant spray

Vapocoolant spray merupakan semprotan yang biasanya berisi

flouromethane atau ethyl chloride yang sering digunakan untuk

mengurangi nyeri akibat spasme otot serta meningkatkan range of

motion. Prosedur pemakaiannya yakni vapocoolant membentuk sudut


20
30o dengan jarak 30 sampai 50 cm dari kulit, penyemprotan dilakukan

dari arah proksimal ke distal otot dan kecepatan penyemprotan sekitar

10 cm per detik dan dapat diulang sampai dengan 2-3 kali. Menurut

Peterson & Renstrom (2001: 95-96) bahwa efek dingin dari semprotan

semacam itu menembus hanya 3-4 mm ke dalam kulit dan oleh karena

itu tidak mempengaruhi jaringan yang mengalami cedera.

Gambar 5. Vapocoolant spray


(Sumber:
http://www.chiropodyexpress.co.uk/pharmaceuticals/153
-ethyl-chloride-cryogesic-spray.html diambil pada
25/03/2018 pukul 20.02)

4) Cold bath/water immersion

Cold bath merupakan terapi mandi di dalam air dingin dalam

durasi waktu maksimal 20 menit. Peralatan yang digunakan

tergantung bagian tubuh yang akan direndam. Pada perendaman

seluruh tubuh diperlukan tanki whirpool. Pada terapi ini air dan es

dicampur untuk mendapatkan suhu 10o C sampai dengan 15o C.

Penderita berendam di dalam air yang sudah didinginkan. Proses

ini berlangsung sekitar 10 sampai dengan 15 menit. Ketika nyeri

berkurang, terapi dihentikan dan dilanjutkan terapi lain seperti masase

atau stretching. Pada saat nyeri kembali dirasakan, dapat dilakukan

21
perendaman kembali. Dalam tiap sesi terapi, perendaman kembali dapat

dilakukan sampai tiga kali ulangan. Hal yang perlu diperhatikan adalah

aktivitas fisik harus dilakukan secara bertahap paska terapi dingin.

Berdasarkan penjelasan di atas dapat penulis simpulkan bahwa terapi

dingin merupakan penggunaan dingin yang digunakan untuk mengurangi

rasa nyeri akibat cedera yang ditimbulkan setelah melakukan aktivitas

olahraga. Aplikasi dingin diberikan pada fase akut atau segera setelah

cedera terjadi. Beberapa bentuk aplikasi terapi dingin yang dapat dilakukan

dengan menggunakan es, kompres es, massase es, cold pack, cold

bath/water immersion, dan vapocoolant spray. Durasi yang diberikan terapi

dingin dilakukan 15-20 menit dengan suhu (3,5o C sampai 10o C) untuk

menghindari hal-hal yang tidak diinginkan.

4. Hakikat Terapi Panas

a. Pengertian Terapi Panas

Menurut pendapat Malanga et al., (2014: 61) bahwa terapi panas

adalah aplikasi panas ke tubuh sehingga suhu jaringan meningkat.

Sedangkan Arovah (2016: 44) mengatakan terapi panas merupakan

pemberian aplikasi panas pada tubuh untuk mengurangi nyeri yang

berhubungan dengan ketegangan otot walaupun dapat juga dipergunakan

untuk mengatasi berbagai jenis nyeri yang lain. Panas pada fisioterapi

dipergunakan untuk meningkatkan aliran darah kulit dengan jalan

melebarkan pembuluh darah yang dapat meningkatkan suplai oksigen dan

nutrisi pada jaringan. Panas juga meningkatkan elastisitas otot sehingga

22
mengurangi kekakuan otot. Sependapat dengan Fondy (2012: 53) bahwa

penggunaan panas akan menyebabkan vasodilatasi atau pelebaran

pembuluh-pembuluh darah dengan membiarkan darah mengalir lebih

banyak pada bagian tubuh yang terluka sehingga akan membantu

percepatan penyembuhan.

b. Efek Fisiologis Terapi Panas

Menurut Malanga et al., (2014: 61), efek fisiologis terapi panas

meliputi penghilang rasa sakit, peningkatan aliran darah dan metabolisme,

dan peningkatan elastisitas jaringan ikat. Meningkatnya suhu jaringan

menstimulasi vasodilatasi dan meningkatkan aliran darah jaringan, yang

diperkirakan dapat meningkatkan penyembuhan dengan meningkatkan

suplai nutrisi dan oksigen ke lokasi cedera. Terapi panas menurut Peterson

8. Renstrom (2001: 99) digunakan setelah tahap peradangan akut untuk

meningkatkan aliran darah, meningkatkan penyembuhan ke area yang

cedera, meningkatkan sirkulasi dan metabolisme sel, mengurangi kejang

otot, dan memiliki efek analgesik pada jaringan sekitarnya.

Menurut Arovah (2016: 34) menambahkan bahwa kompres hangat

dapat mengurangi nyeri lewat mekanisme gate control dari teori yang

dikembangkan oleh Melzack dan Wall. Menurut teori ini, impuls rasa sakit

harus melewati sebuah “gerbang” pada tulang belakang. Gerbang ini

bukanlah struktur yang nyata, namun sebuah pola aktivitas saraf yang dapat

menghalangi atau membiarkan pesan rasa sakit ini datang dari kulit, otot,

dan organ internal. Biasanya, gerbang ini tertutup, baik oleh impuls

23
yang menuju ke tulang belakang dari serabut besar yang menanggapi

tekanan dan rangsangan lainnya atau oleh sinyal yang turun dari otak itu

sendiri. Tetapi ketika jaringan tubuh terluka, serabut besar rusak dan

serabut kecilpun membuka pintu gerbang ini sehingga memungkinkan

pesan rasa sakit mencapai otak kita (Wade & Tavris: 2008: 222-223).

Pemancaran respon tubuh tergantung pada jenis panas, intensitas

panas, lama pemberian panas, dan respon jaringan terhadap panas. Pada

dasarnya setelah panas terabsorbsi pada jaringan tubuh, panas akan

disebarkan ke daerah sekitar. Supaya tujuan terapi dapat tercapai jumlah

energi panas yang diberikan harus disesuaikan untuk menghindari resiko

kerusakan jaringan, demikian pendapat Arovah (2016: 45).

Tabel 4. Efek Fisiologis Tubuh pada Terapi Hangat


Variabel Efek
Spasme otot Menurun
Persepsi nyeri Menurun
Aliran darah Meningkat
Kecepatan metabolisme Meningkat
Elastisitas kolagen Meningkat
Kekakuan sendi Menurun
Permeabilitas kapiler Meningkat
Pembengkakan Meningkat

c. Indikasi Terapi Panas

Menurut Malanga et al., (2004: 398) terapi panas (8 jam/hari

selama 5 hari) ditambah terapi olahraga secara signifikan memperbaiki

fungsi tulang belakang dan kecacatan 2 hari setelah pengobatan terakhir

24
dibandingkan tanpa perawatan. Panas biasanya digunakan sebelum

aktivitas untuk meningkatkan perpanjangan jaringan ikat, yang

menyebabkan peningkatan pergerakan (Peterson & Renstrom, 2001: 99).

Arovah (2016: 46) mengungkapkan bahwa terapi panas dapat

dipergunakan untuk mengatasi berbagai keadaan seperti: (1) Kekakuan

otot, (2) Arthritis (Radang Persendian), (3) Hernia discus interveterbra,

(4) Nyeri bahu, (5) Tendinitis (radang tendo), (6) Bursitis (radang bursa),

(7) Sprain (robekan ligamen sendi), (8) Strain (robek otot), (9) Nyeri

pada mata yang mengakibatkan oleh peradangan kelopak mata, (10)

Gangguan sendi temporo mandibular, (11) Nyeri dada yang disebabkan

oleh nyeri pada tulang rusuk, (12) Nyeri perut dan pelvis, (13) Gangguan

nyeri kronis seperti pada lupus dan nyeri myofascial, (14) Asthma.

d. Kontraindikasi Terapi Panas

Beberapa hal yang tidak boleh dilakukan terapi panas menurut

Arovah, (2016: 53) yaitu: (1) panas dapat meningkatkan aliran darah dan

dapat memperparah pembengkakan pada fase akut, (2) memperlama

proses penyembuhan bila fase akut, (3) sedang dilakukan terapi radiasi

atau yang mengalami kanker, (4) orang yang memiliki gangguan sensasi

saraf seperti orang diabetes untuk menghindari terjadinya luka bakar, dan

5. wanita hamil karena menimbulkan kecacatan pada bayi. Tindakan

pencegahan harus dilakukan selama penggunaan terapi panas pada pasien

dengan multiple sklerosis, sirkulasi yang buruk, cedera tulang belakang,

diabetes melitus, dan rheumatoid arthritis, dimana panas dapat

25
menyebabkan perkembangan penyakit, luka bakar, pembengkakan pada

kulit, dan peningkatan peradangan. Kulit harus terlindungi bila

menggunakan terapi panas pada pasien yang sensitif terhadap panas atau

berisiko tinggi (Malanga, 2014: 62).

e. Jenis Aplikasi Terapi Panas

Jenis terapi panas yang diungkapkan Malanga et al., (2014: 61)

meliputi botol air panas, bantalan panas, listrik bantalan panas, bungkus

panas, batu panas, kemasan lembut hangat yang diisi dengan butiran,

tapal obat, handuk panas, bak panas, sauna, parafin, uap, dan lampu

panas inframerah.

Sedangkan menurut Arovah (2016: 47-50), beberapa jenis terapi

panas diantaranya:

1) Krim panas

Krim panas dapat meredakan nyeri otot ringan. Walaupun

demikian krim tidak dapat menembus otot sehingga kurang efektif

dalam mengatasi nyeri otot.

Gambar 6. Krim Panas


Sumber: https://www.ultrasakti.com/hot-in-cream/ diambil pada
25/03/2018 pukul 20.10

26
2) Bantal pemanas (heat pad)

Bantal yang digunakan berupa kain yang beisi silika gel yang

dapat dipanaskan. Biasanya, bantal panas dipergunakan untuk

mengurangi nyeri otot pada leher, tulang belakang, dan kaki. Bantal

pemanas juga dipergunakan untuk menangani kekakuan/spasme otot,

inflamasi pada tendo dan bursa. Menurut Nadler et al., (2004: 398),

terapi panas di kulit menggunakan hot pad pada area pinggang dengan

suhu 40o C meningkatkan suhu di bawah jaringan kulit sebanyak 5o

C, 3,5o C, dan 2o C pada jaringan otot diketebalan 19 mm, 22 mm,

dan 38 mm.

3) Kantung panas (heat pack)

Kantung panas yang dipergunakan berisi silika gel yang dapat

direndam dengan air panas. Kantung panas tersebut kemudian dilapisi

dengan kantung pengaman kemudian diaplikasikan selama 15 menit

sampai 20 menit. Kantong ini diindikasikan untuk mendapatkan

relaksasi tubuh secara umum dan mengurangi siklus nyeri, spasme,

iskemi, dan hipoksia.

4) Tanki whirlpool

Terapi dengan tanki whirpool merupakan jenis kombinasi

hydrotherapy, thermotherapy dan massage dengan menggunakan tanki

yang dilengkapi dengan motor turbin yang dapat mengatur gerakan

air. Efek fisiologis yang ditimbulkan terapi whirpool antara lain

meningkatkan suhu tubuh, meningkatkan (pelebaran pembuluh darah),

27
dan membantu untuk melemaskan jaringan kolagen. Terapi ini

diindikasikan untuk mengurangi pembengkakan pada radang kronis,

spasme otot, dan mengurangi nyeri.

Gambar 7. Tanki Whirlpool


Sumber: https://minnesotamedical.com/product/whitehall-lo-boy-
whirlpool-xlarge-mobile-l-105-m/ diambil pada 25/03/2018 pukul

20:30 5) Parafin Bath

Teknik parafin bath merupakan teknik yang sering dipergunakan

untuk terapi bagian ujung-ujung tubuh. Parafin merupakan semacam

lilin cair yang tidak berwarna yang terbuat dari hidrokarbon yang

dipergunakan sebagai pelumas. Parafin biasanya dicampur dengan

minyak mineral pada bak khusus dimana bagian tubuh yang

mengalami keluhan dicelupkan di dalamnya. Bak parafin dapat

dikontrol untuk menjaga suhu parafin pada 52o sampai 54o C. Terapi

ini efektif untuk mengatasi gejala arthritis terutama pada area tubuh

seperti tangan, pergelangan tangan, siku, lutut, dan kaki tetapi area

tersebut sebelumnya harus dalam keadaan bersih dan kering dan terapi

ini tidak boleh dilakukan pada area dengan luka terbuka.

28
6) Contrast bath

Contrast bath merupakan hydrotherapy yang mengkombinasikan

suhu panas dan dingin. Biasanya digunakan untuk palikasi pada

ekstremitas. Pelaksanaannya terapi ini memerlukan dua kontainer untuk

penampungan air hangat (41-43 oC) dan penampungan air dingin (10-

18oC). Terapi ini diindikasikan pada fase peralihan antara tahap akut dan

kronis dimana diperlukan peningkatan suhu secara minimal untuk

meningkatkan aliran darah tapi mencegah terjadinya pembengkakan. Hal

yang perlu diperhatikan pada pelaksanaan dengan teknik ini adalah

bahwa suhu air diupayakan konstan.

Gambar 8. Contrast bath


Sumber: https://www.youtube.com/watch?v=RwM2LrN1L5w diambil
pada 25/03/2018 pukul 20.39

Berdasarkan uraian yang dijelaskan di atas, dapat penulis simpulkan

bahwa terapi panas merupakan pemanfaatan media hangat yang digunakan

untuk menanggulangi rasa nyeri akibat cedera yang ditimbulkan setelah

melakukan aktivitas olahraga yang berkaitan dengan ketegangan otot. Biasanya

aplikasi hangat diberikan pada fase kronis dengan durasi selama 15-

20 menit dengan suhu 41o C sampai 42o C untuk menghindari hal-hal yang
29
tidak diinginkan. Terdapat beberapa metode untuk melakukan terapi panas

antara lain: kompres hangat atau panas, bantal pemanas, kream panas, parafin,

contrast bath, dan tanki whirpool. Secara umum terapi panas dapat dilakukan

sendiri di rumah akan tetapi beberapa jenis terapi panas memerlukan

pengawasan dan harus dilakukan di dalam klinik atau rumah sakit.

5. Reseptor Suhu dan Perangsangannya

Menurut Guyton & Hall (2007: 774) mengungkapkan bahwa pada

dasarnya manusia dapat merasakan bermacam-macam gradasi panas dan

dingin, yakni mulai dari suhu yang paling dingin, suhu dingin, suhu yang

sejuk, suhu hangat sampai akhirnya panas yang menyengat. Gradasi termal

dapat dibedakan oleh paling sedikit tiga macam reseptor sensorik: reseptor

dingin, reseptor hangat, dan reseptor rasa nyeri. Reseptor rasa nyeri hanya

dirangsang oleh gradasi panas atau dingin yang ekstrem, karena itu bersama

dengan reseptor dingin dan reseptor hangat bertanggung jawab terhadap

sensasi “sangat dingin” dan sensasi “panas yang menyengat”.

Reseptor dingin dan reseptor hangat terletak tepat di bawah kulit, yakni

pada titik-titik yang berbeda dan terpisah-pisah, dengan diameter perangsangan

kira-kira 1 mm. Pada sebagian besar daerah tubuh, jumlah reseptor dingin kira-

kira tiga sampai sepuluh kali reseptor hangat, dan pada berbagai daerah tubuh

jumlah reseptor bervariasi, sedangkan jumlah titik hangatnya lebih sedikit.

Ujung serabut saraf bebas dijalarkan pada serabut saraf tipe C pada kecepatan

penjalaran hanya 0,4 sampai 2 m/detik. Reseptor dingin telah dapat

diidentifikasi dengan pasti. Ujung saraf tipe Aδ yang

30
bermielin, khusus, dan kecil, yang bercabang beberapa kali, ujungnya

menembus ke permukaan dasar sel-sel epidermis basal. Sinyal dari reseptor-

reseptor ini akan dijalarkan melalui serabut saraf delta tipe A yang

berkecepatan lebih dari 20 meter per detik. Sebagian sensasi dingin juga

dijalarkan melalui serabut saraf tipe C, yang juga merupakan ujung serabut

saraf bebas yang berfungsi sebagai reseptor dingin (Guyton & Hall, 2007:

745).

Karena jumlah ujung serabut saraf dingin atau hangat yang terdapat di

setiap permukaan tubuh seseorang sangat sedikit, maka sukar untuk

menentukan gradasi suhu bila daerah yang terangsang itu kecil. Namun, bila

semua daerah permukaan tubuh yang luas dirangsang bersamaan, maka

sinyal termal dari seluruh daerah akan disumasikan.

7. Hakikat Topurak

a. Pengertian Topurak

Topurak adalah manipulasi totok, pukul dan gerak yang digunakan

untuk mengurangi gangguan nyeri, merelaksasikan spasme jaringan, dan

untuk mengembalikan sendi ke posisi anatomis tubuh. Menurut Ambardini

dan Kushartanti (2016: 73) metode Topurak ini dimulai dengan penekanan

pada trigger point (totok) yang akan mempercepat pelemasan otot.

Tapotement (pukul) akan menyempurnakan pelemasan sehingga mengurangi

nyeri pada saat digerakan. Mereposisi sendi dilakukan dengan gerakan

pasien sendiri dari instruksi dan bantuan terapis disesuaikan

31
dengan kekakuan dan nyeri yang pasien rasakan sehingga reposisi dapat

dilakukan dengan baik dan aman.

b. Manipulasi Topurak

Ambardini & Kushartanti (2016: 82) manipulasi Topurak (totok,

pukul dan gerak) dibagi menjadi tiga tahap, yaitu:

5. Trigger Point

Trigger point adalah area spesifik dari hyperirritability di otot

tetapi juga dapat dideteksi di ligamentum, tendon, periosteum,

jaringan parut, atau kulit (Roenn et al., 2006: 232). Ambardini &

Kushartanti (2016:73) mengatakan bahwa trigger point ditandai

dengan adanya titik nyeri di daerah yang dirasakan pasien sebagai rasa

nyeri. Hal ini diperkuat oleh Roenn et al., (2006: 233), bahwa ketika

titik trigger point ditekan atau diraba, otot yang distimulasi akan

berkontraksi dan menghasilkan nyeri lokal. Menurut Dryden et al.

(2012: 185) trigger point memiliki karakteristik yaitu jaringan otot

yang kencang dan terdapat respon kedutan lokal ketika dirangsang.

Trigger point yang dimaksud dalam manipulasi Topurak adalah

totok atau menekan dengan tekanan yang cukup pada area trigger point

ankle, telapak kaki, dan otot soleus. Menurut Ambardini & Kushartanti

(2016: 73), penekanan pada titik-titik trigger point dimulai dari ujung-

ujung origo sampai ke insersio. Fungsi dari totok dalam Topurak yaitu

untuk mengurangi nyeri, meningkatkan jangkauan gerak serta fungsi

gerak. Hal ini diperkuat oleh Roem et al. (2006: 196) bahwa indikasi

32
dari injeksi titik trigger point dapat meningkatkan jangkauan gerak dan

fungsi area yang terpengaruh.

Gambar 9. Trigger Point pada Ankle Sumber:


http://www.triggerpoints.net/es/muscle/peroneo-tercero diambil pada
25/03/2018 pukul 21.09

Gambar 10. Trigger Point Area Telapak Kaki Sumber:


http://www.triggerpoints.net/muscle/abductor-hallucis diambil pada
25/03/2018 pukul 21.16

Gambar 11. Trigger Point Area Telapak Kaki


Sumber: http://www.triggerpoints.net/muscle/quadratus-plantae
diambil pada 25/03/2018 pukul 21.13
33
Gambar 12. Trigger Point area Telapak Kaki Sumber:
http://www.triggerpoints.net/es/muscle/flexor-corto-de-
los-dedos-pie diambil pada 25/03/2018 pukul 21.15

9. Tapotement

Tapotement atau memukul merupakan teknik manipulasi yang

dilakukan dengan ketokan, tepukan atau pukulan yang lunak pada tubuh

yang menimbulkan efek stimulasi. Gerakannya antara lain adalah

hacking, clapping, beating, dan pounding (Wijanarko & Riyadi, 2010:

122). Tapotement menurut Setiawan (2015: 25) bertujuan untuk

memperlancar peredaran darah, mempertinggi tonus otot, mempercepat

pasokan gizi pada jaringan, dan memperlancar matabolisme. Tapotement

dapat dilakukan dengan berbagai cara seperti dengan kepalan tangan, jari

lurus, setengah lurus atau dengan telapak tangan yang mencekung dengan

tujuan untuk merangsang serabut saraf tepi dan merangsang organ-organ

tubuh bagian dalam Setiawan (2015: 98).

3. Gerak

Gerak dalam Topurak dilakukan dengan cara meminta pasien

untuk menggerakan ankle sesuai dengan kemampuan pasien secara

34
terinstruksi dengan benar dan terbantu. Tahap ini dilakukan dengan

maksud mengembalikan posisi sendi yang tidak benar ke posisi

semula (anatomis).

7. GPS Futsal Bantul

Garuda Projotamansari Sport Futsal Bantul salah satu klub yang

berada di Yogyakarta yang terletak di Griya Pelem Sewu E6,

Panggungharjo, Sewon, Bantul. Dahulu GPS Futsal Bantul namanya

diambil dari tempat rumah pendiri GPS Futsal Bantul yang bernama Griya

Pelem Sewu. GPS Futsal Bantul terbentuk pada tahun 2002 yang berisikan

bapak-bapak warga griya pelem sewu yang hobi bermain futsal. Selang

beberapa bulan, pemuda dari sekitar daerah griya pelem sewu tertarik juga

mengikuti futsal. Sebagian besar pemain bertempat tinggal di daerah Bantul.

Setiap minggunya, GPS Futsal Bantul melakukan latihan sebanyak 2-3 kali

seminggu. GPS Futsal Bantul dijalankan oleh seorang manager untuk

merencanakan dan menjalankan tim GPS Futsal Bantul dalam mengikuti

kejuaraan di tingkat daerah maupun provinsi. Selain itu pelatih di GPS

Futsal Bantul juga memiliki peranan penting dalam melatih para pemainnya

baik itu fisik, skill, maupun teknik agar siap menghadapi berbagai rintangan

dalam pertandingan. Berbagai prestasi yang pernah dimenangkan yaitu

Juara 3 Turnamen Futsal Batam Sportainment Vogue Futsal Februari 2018,

Juara 1 GPS Cup 2016, juara 2 Liga Futsal Istimewa Yogyakarta 2014,

Runner up Indonesia Champions 2014, dan masih banyak lagi.

35
B. Penelitian yang Relevan

Beberapa penelitian yang relevan dengan penelitian ini adalah sebagai

berikut:

1. Dalam penelitian Siti Nurjanah (2016) yang berjudul “Keefektifan

Kombinasi Terapi Panas dan Dingin dengan Terapi Panas, Terapi Dingin

Terhadap Cedera Otot Hamstring”. Penelitian ini menggunakan penelitian

Pre Eksperimental dengan model experimen group pretest-posttest. Subjek

sebanyak 15 orang dengan 5 orang diberi perlakuan terapi panas, 5 orang

diberikan terapi dingin, dan 5 orang diberi perlakuan terapi panas dan

dingin. Hasil penelitian menunjukan bahwa nilai p value sebesar 0,000<0,05

yang berarti kombinasi terapi panas dingin efektif menangani cedera otot

hamstring. Simpulan dalam penelitian ini adalah terapi kombinasi panas

dingin memiliki tingkat efektifitas yang lebih baik dalam menangani cedera

otot hamstring dibandingkan dengan dengan terapi panas dan terapi dingin.

36
C. Kerangka Berpikir

Kompres Kompres Tidak diberi


Es Hangat Kompres (kontrol)

Temperatur Temperatur Mengurangi Eliminasi


Kulit dan Otot ↓ Kulit dan Otot ↑ Metabolisme Asam laktat ↑

Persepsi Peredaran Peredaran Pembentukan


Nyeri darah tepi ↓ darah tepi ↑
terkabur Asam Laktat ↓
(Gate Es dilepas
Control)
Peredaran Eliminasi Otot
Asam laktat ↑ Relaksas
darah tepi ↑ i

Eliminasi Otot Kekakuan


Asam laktat ↑ Relaksasi Sendi ↓

Otot Kekakuan Elastisitas


Relaksasi Sendi ↓ Otot ↑

Persepsi
Kekakuan Elastisitas Nyeri
Sendi ↓ Otot ↑ terkabur
(Gate

Control) Nyeri ↓
Nyeri ↓

Skala Nyeri ↓ ROM ↑ Skala Fungsi ↑

37
Dari gambar di atas menunjukan bahwa, kompres es dapat mengurangi

nyeri dengan jalan memblok ujung-ujung saraf yang menjadikan skala nyeri

menurun. Kompres es juga dapat meningkatkan ROM serta skala fungsi

dengan cara menurunkan temperatur kulit dan otot yang hasil akhirnya dapat

menurunkan kekakuan sendi dan meningkatkan elastisitas otot. Kompres

hangat juga dapat mengurangi nyeri dengan jalan gate contol yang menjadikan

skala nyeri menurun. Peningkatan ROM dan skala fungsi juga dapat dilakukan

dengan kompres hangat dengan jalan meningkatkan temperatur kulit dan otot

yang hasil akhirnya dapat menurunkan kekakuan sendi dan meningkatkan

elastisitas otot. Selain itu, perlakuan yang tidak diberi kompres (kontrol) dapat

mengurangi nyeri melalui penurunan pembentukan asam laktat yang

menjadikan skala nyeri menurun. Perlakuan kontrol juga dapat meningkatkan

ROM serta fungsi dengan cara mengurangi metabolisme dan meningkatkan

eliminasi asam laktat yang berakhir dengan menurunnya kekakuan sendi.

D. Hipotesis Penelitian

Berdasarkan kerangka berpikir di atas, dapat ditarik hipotesis:

1. Kompres es pasca manipulasi Topurak cedera ankle dapat mengurangi

nyeri dan menambah ROM serta fungsi gerak ankle.

2. Kompres hangat pasca manipulasi Topurak cedera ankle dapat mengurangi

nyeri dan menambah ROM serta fungsi gerak ankle.

3. Ada perbedaan pengaruh kompres es dan kompres hangat pasca

manipulasi topurak dalam mengurangi nyeri dan menambah ROM serta

fungsi gerak sendi ankle.

38
BAB III
METODE PENELITIAN

A. Desain Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah quasi

experimental design dengan pola pretest-posttest control group design

dimaksudkan untuk menilai pengaruh suatu tindakan terhadap tingkah laku

atau menguji ada tidaknya pengaruh tindakan yang diberikan.

Adapun gambaran mengenai rancangan pretest-posttest control group

design (Sugiyono, 2016: 114) sebagai berikut:

Oa X1 Ob
Oc X2 Od
Oe -- Of

Keterangan:

Oa = Kelompok kompres es sebelum diberikan perlakuan (pretest).

Ob = Kelompok kompres es sesudah diberikan perlakuan (posttest).

Oc = Kelompok kompres hangat sebelum diberikan perlakuan (pretest).

Od = Kelompok kompres hangat sesudah diberikan perlakuan (posttest).

Oe-Of = Pretest dan posttest kelompok yang tidak diberi perlakuan (kontrol).

X1 = Perlakuan (treatment) kompres es.

X2 = Perlakuan (treatment) kompres hangat.

B. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan pada bulan Maret 2018 di Garuda

Projotamansari Sport (GPS) Futsal Bantul, Yogyakarta.

39
C. Populasi dan Sampel Penelitian

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pemain GPS Futsal Bantul

sebanyak 30 orang. Teknik pengambilan sampel pada penelitian ini yaitu

dengan menggunakan kriteria inklusi antara lain:

1. Pemain aktif GPS Futsal Bantul (aktif latihan dalam tiga bulan terakhir).

2. Sedang menderita cedera ankle kronis (trauma terjadi lebih dari 2 minggu

lalu).

3. Telah melakukan manipulasi Topurak.

4. Bersedia menjadi subjek penelitian yang dibuktikan dengan penandatanganan

inform consent.

Sedangkan kriteria eksklusi:

1. Terdapat fraktur pada tulang penyusun sendi ankle.

2. Post operatif cedera ankle.

3. Terdapat luka terbuka pada ankle.

Jumlah subjek yang termasuk dalam kriteria inklusi penelitian adalah

sebanyak 15 orang dan ditemukan secara insidental di GPS Futsal Bantul

sehingga jumlah subjek tersebut dibagi menjadi tiga kelompok dengan lima

orang dilakukan kompres es, lima orang dilakukan kompres hangat, dan lima

orang tidak diberikan kompres (kontrol).

40
D. Definisi Operasional Variabel Penelitian

Penelitian ini menggunakan variabel kompres es, kompres hangat,

penyembuhan cedera ankle, dan pasca manipulasi Topurak. Definisi

operasional masing-masing variabel dalam penelitian ini adalah:

1. Kompres es yang dimaksud dalam penelitian ini adalah penggunaan media

es yang didapat dari es dengan ukuran kecil dimasukkan ke dalam kantong

pengompres. Sebelumnya sediakan kantong pengompres sejumlah 5

kantong. Kemudian langsung dilakukan pengompresan selama 15-20 menit

pada seluruh permukaan ankle yang mengalami cedera dengan posisi pasien

duduk di lantai. Beberapa keuntungan penggunaan kompres es adalah cepat,

mudah digunakan, dan sangat hemat.

2. Kompres hangat yang dimaksud dalam penelitian ini adalah salah satu

bentuk terapi yang menggunakan media kantong pengompres yang diisi air

hangat dengan suhu 41-42o C. Siapkan kantong pengompres sebanyak 5

kantong. Kemudian lakukan pengompresan selama 15-20 menit pada

seluruh permukaan ankle yang mengalami cedera dengan posisi pasien

duduk di lantai.

3. Penyembuhan cedera ankle dalam penelitian ini dengan ditandai dengan

berkurangnya nyeri, bertambahnya range of motion, dan fungsi gerak ankle.

4. Pasca manipulasi Topurak yang dimaksud yaitu penelitian ini dilakukan

setelah pasien diberikan manipulasi Topurak (totok, pukul, dan gerak).

Topurak dimulai dengan penekanan pada trigger point, pukul (tapotement)

41
akan menyempurnakan pelemasan, dan gerak yang dilakukan oleh pasien

sendiri dengan mengikuti instruksi dan dibantu oleh terapis.

E. Instrumen dan Teknik Pengumpulan Data

1. Instrumen Penelitian

Dalam penelitian ini penulis menggunakan instrumen berupa catatan

medis hasil anamnesa dan pemeriksaan. Dalam anamnesa meliputi data

riwayat cedera ankle (mulai dan penyebab cedera), riwayat cedera yang

terdahulu, dan riwayat penyakit keluarga. Sedangkan pemeriksaan meliputi

skala nyeri, ROM, dan skala fungsi.

Pemeriksaan dilakukan dengan pengkajian fisik melalui, palpasi (feel)

dan penilaian gerak baik pergerakan aktif maupun pasif (move) (Helmi, 2011:

49). Pemeriksaan palpasi/diraba (feel) dilakukan pada ankle untuk merasakan

skala nyeri tekan. Selain itu, skala nyeri dinilai baik dalam keadaan istirahat

maupun beraktivitas. Penilaian nyeri dilakukan menggunakan skala nyeri dari

St. Pierre and colleagues yang dikutip dalam jurnal Scoring Systems for

Evaluating Ankle Function (2006: 511), dimana intensitas nyeri diukur dalam

skala 0-4, dengan nilai 0 menyatakan tidak nyeri dan nilai 4 menyatakan nyeri

yang amat sangat. Semakin nyeri yang dirasakan semakin tinggi angka skala

nyeri dan begitu pula sebaliknya. Pemeriksaan gerak (move) dilakukan untuk

mengukur besar sudut ROM pada ankle dalam satuan derajat dengan

menggunakan Goniometer. Pengukuran ROM pada ankle dilakukan dengan

posisi dorsofleksi, plantarfleksi, inversi, dan eversi. Gerak (move) juga

digunakan untuk menilai skala fungsi yang dinilai dengan skala 4-0. Semakin

42
terganggu fungsi gerak akibat cedera, semakin rendah angka skala fungsi

dan sebaliknya. Skala fungsi dinilai dengan gerakan berjalan, lari, naik

tangga, jinjit, loncat, lompat, dan berbelok.

2. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara

sebagai berikut:

1. Memastikan inform consent telah ditandatangani oleh pasien dan peneliti.

2. Menginstruksikan pasien untuk mengisi dengan lengkap catatan medis

yang berupa identitas, anamnesa, dan pemeriksaan.

3. Melakukan pretest dengan cara mengukur ROM pasien cedera ankle

(teknik pengukuran ROM lihat di lampiran) dan hasilnya dicatat dalam

catatan medis.

4. Memberikan perlakuan kompres es untuk kelompok kompres es dan

perlakuan kompres hangat untuk kelompok kompres hangat.

5. Tidak melakukan kompres apapun untuk kelompok kontrol.

6. Melakukan posttest dengan cara mengukur ROM, pasien menilai skala

nyeri dan skala fungsi pada pagi hari berikutnya.

7. Mencatat semua data pada catatan medis.

Tabel 5. Data Penelitian


No. Jenis Data Skala Data
1. Jenis kelamin Nominal
2. Usia Interval
3. Pekerjaan Nominal
4. Skala Nyeri Ordinal
5. ROM (derajat) Rasio
6. Skala Fungsi Ordinal

43
F. Teknik Analisis Data

Dari data penelitian yang diperoleh, dilanjutkan dengan menganalisis

data sebagai berikut:

1. Data yang berskala nominal dan interval akan dianalisis dengan cara

deskriptif kuantitatif.

2. Data yang berskala rasio (ROM) akan dianalisis menggunakan uji beda dua

kelompok berpasangan yang parametrik sedangkan data yang berskala

ordinal (skala nyeri dan skala fungsi) dianalisis menggunakan uji beda dua

kelompok berpasangan yang non-parametrik.

3. Data hasil-hasil analisis, kemudian dilakukan uji beda dengan uji Anova.

44
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Deskripsi Lokasi dan Subjek Penelitian

1. Deskripsi Lokasi Penelitian

Lokasi pelaksanaan penelitian dilakukan di Garuda Projotamansari

Sport (GPS) Futsal yang ada di Bantul, Yogyakarta.

2. Deskripsi Subjek Penelitian

Subjek penelitian ini adalah pemain aktif GPS Futsal yang ada di

Bantul, Yogyakarta pada bulan Maret dengan jenis kelamin laki-laki yang

mengalami cedera ankle kronis dan sudah melakukan perlakuan manipulasi

Topurak sebanyak 15 orang. Kisaran usia dari subjek penelitian adalah 16-

21 tahun dengan rata-rata berusia 19,73 tahun dan standar deviasi 1,58.

Jenis pekerjaan subjek penelitian paling banyak adalah mahasiswa yaitu 12

orang dengan persentase 80% dan sebanyak 20% bekerja sebagai karyawan

swasta. Rata-rata berat badan subjek penelitian adalah 53-95 kg, dengan

rata-rata berbobot 64,46 kg dan standar deviasi 11,92. Tinggi badan dari

subjek penelitian ini berkisar antara 159-174 cm dengan rata-rata 167,8 cm

dan standar deviasi 4,26.

B. Deskripsi Data Penelitian

1. Durasi Cedera

Durasi cedera ankle pada pasien penelitian rata-rata dirasakan pada

4,53 bulan dengan standar deviasi 3,29 dengan kisaran terendah satu bulan,

dan tertinggi 12 bulan. Data durasi cedera apabila ditampilkan dalam bentuk

grafik dapat dilihat pada Gambar 13.

45
8
7
7
6
5
5
4
3
2
2
1
1
0
1-3 bulan 4-6 bulan 7-9 bulan 10-12 bulan
Gambar 13. Histogram Durasi Cedera Ankle

Berdasarkan histogram, durasi cedera terbanyak yaitu pada kisaran 1-

3 bulan yang termasuk pada fase kronis sehingga hanya merasakan nyeri

minimal. Selain itu ada yang mengalami cedera hingga 10-12 bulan yang

termasuk pada fase eksaserbasi akut (cedera kronis yang muncul kembali

gejala akut).

2. Penyebab Cedera

Penyebab cedera yang paling banyak dialami oleh pasien penelitian

yaitu trauma sebanyak 11 pasien dan 4 pasien terjadi karena overuse. Pasien

yang mengalami trauma dengan persentase 73,3% disebabkan oleh benturan

(body contact) dengan pemain lawan maupun tim seperti sleding, tackling,

dan lain-lain. Sedangkan overuse sebanyak 26,7% yang pasien penelitian

alami disebabkan oleh gerakan yang berulang seperti menendang bola

secara terus menerus. Data penyebab cedera dapat dilihat dalam bentuk

grafik pada Gambar 14.

46
12 11

10

6
4
4

0
Trauma Overuse
Gambar 14. Histogram Penyebab Cedera

Ankle 3. Riwayat Cedera Lain

Pasien memiliki cedera lain selain ankle seperti lulut sebanyak 6

pasien dengan persentase 40%, pinggang sebanyak 4 pasien dengan

persentase 26,7%, dan cedera pada regio lain dengan jumlah 5 pasien dan

persentase 33,3%.

Cedera
Regio
lain; 5
Lutut; 6

Pinggan
g; 4
Gambar 15. Diagram Pie Riwayat Cedera

Cedera ankle jika tidak segera ditangani dengan berbagai modalitas

terapi dan menjalani proses rehabilitasi dengan baik, bisa mengakibatkan

masalah cedera lain yang lebih luas seperti berkemungkinan besar dapat

mengalami cedera lutut bahkan sampai ke bagian tubuh ekstremitas atas.

47
Sehingga keluhan lutut yang dirasakan oleh pasien, kemungkinan

disebabkan oleh cedera ankle terdahulu.

4. Sisi Cedera

Dalam bermain futsal, kedua kaki sama-sama berfungsi untuk

menendang, menggiring maupun memblok bola dan setiap orang berbeda-

beda dalam melakukannya sesuai dengan kebiasaan mereka. Dalam

penelitian ini, cedera banyak dialami pada kaki kanan sejumlah 11 pasien

dengan persentase 73,3%, sedangkan kaki kiri sebanyak 4 orang dengan

persentase 26,7%. Hal ini dapat disebabkan karena pasien yang tidak kidal,

lebih banyak menggunakan kaki bagian kanan untuk menendang sehingga

cedera lebih banyak dialami pada kaki sisi kanan. Deskripsi data sisi cedera

dapat dilihat dalam bentuk grafik pada Gambar 16.

Kiri; 4

Kanan;
11

Gambar 16. Diagram Pie Sisi Cedera

5. Skala Nyeri

Pengukuran skala nyeri dinilai dengan menggunakan skala nyeri dari

St. Pierre and colleagues dengan angka 0-3. Semakin terasa nyeri yang

dirasakan, semakin tinggi nilainya. Hasil pemeriksaan skala nyeri sebelum

(pretest) dan sesudah (posttest) pemberian kompres es pada kelompok 48


kompres es maupun pemberian kompres hangat pada kelompok kompres

hangat serta kontrol pada kelompok kontrol dapat dilihat dalam Tabel 6, 7,

dan 8.

Tabel 6. Hasil Analisis Deskriptif Data Skala Nyeri Pretest-Posttest Kelompok


Kompres Es
Pretest Posttest
Variabel Perubahan Efektivitas
Mean Std. Dev Mean Std. Dev
Nyeri saat
0 0 0 0 0 0%
Istirahat
Nyeri saat
0,6 0,89 0,2 0,45 0,4 66,67%
Gerak
Nyeri saat
1,6 0,89 0,6 0,89 1 62,5%
Tekan

Tabel 7. Hasil Analisis Deskriptif Data Skala Nyeri Pretest-Posttest Kelompok


Kompres Hangat
Pretest Posttest
Variabel Perubahan Efektivitas
Mean Std. Dev Mean Std. Dev
Nyeri saat
0,2 0,45 0 0 0,2 100%
Istirahat
Nyeri saat
0,6 0,54 0 0 0,6 100%
Gerak
Nyeri saat
1,6 0,55 0,6 0,55 1 62,5%
Tekan

Tabel 8. Hasil Analisis Deskriptif Data Skala Nyeri Pretest-Posttest Kelompok


Kontrol
Pretest Posttest
Variabel Perubahan Efektivitas
Mean Std. Dev Mean Std. Dev
Nyeri saat
0 0 0 0 0 0%
Istirahat
Nyeri saat
0,4 0,55 0 0 0,4 100%
Gerak
Nyeri saat
1,2 0,84 0,4 0,55 0,8 66,67%
Tekan
49
Berdasarkan Tabel 6, 7, dan 8, skala nyeri terjadi penurunan setelah

pemberian kompres serta tidak diberi kompres (kontrol). Hal ini dibuktikan

oleh Peterson & Renstrom (2001: 93), bahwa terapi dingin memberikan

efek penghilang rasa sakit lokal yang membuat atlet yang cedera merasa

lebih baik dan dapat mendorong kembalinya aktivitas olahraga.

Persentase efektivitas penurunan skala nyeri dihitung berdasarkan

nilai rata-rata dari pretest dan posttest pemberian kompres dan tidak diberi

kompres (kontrol) dengan menggunakan rumus sebagai berikut:


Efektivitas = Posttest−Pretest x 100%
Pretest

Perbedaan nilai rata-rata pretest dan posttest skala nyeri pada

kelompok kompres es dan kelompok kompres hangat serta kelompok

kontrol tersaji pada gambar 17, 18, dan 19.

Pretest Posttest

1,8 1,6
1,6
1,4
1,2
1
0,8 0,6 0,6
0,6
0,4 0,2
0,2 0 0
0
Nyeri saat Nyeri saat Nyeri Tekan
Istirahat Gerak

Gambar 17. Histogram Rata-rata Skala Nyeri Pretest-Posttest Kelompok


Kompres Es

50
Pretest Posttest

1,8 1,6
1,6
1,4
1,2
1
0,8 0,6 0,6
0,6
0,4 0,2
0,2 0 0
0
Nyeri saat Nyeri saat Gerak Nyeri Tekan
Istirahat

Gambar 18. Histogram Rata-rata Skala Nyeri Pretest-Posttest Kelompok


Kompres Hangat

Pretest Posttest

1,4
1,2
1,2
1
0,8
0,6
0,4 0,4
0,4
0,2
0 0 0
0
Nyeri saat Istirahat Nyeri saat Gerak Nyeri Tekan

Gambar 19. Histogram Rata-rata Skala Nyeri Pretest-Posttest Kelompok Kontrol

6. ROM

Pengukuran ROM cedera ankle diukur dengan menggunakan

Goniometer melalui gerakan dorsofleksi, plantarfleksi, inversi dan eversi.

Hasil pengukuran posttest dan pretest pada kelompok kompres es,

kelompok kompres hangat dan kelompok kontrol dideskripsikan dalam

Tabel 9, 10, dan 11.

51
Tabel 9. Hasil Analisis Deskriptif ROM Pretest-Posttest Kelompok Kompres Es
Pretest Posttest
Variabel Perubahan Efektivitas
Mean Std. Dev Mean Std. Dev
Dorsofleksi 9,4 1,67 17 2,45 7,6 80,85%
Plantarfleksi 25,6 4,34 36,2 2,68 10,6 41,4%
Inversi 24,2 2,86 30,6 4,34 6,4 26,45%
Eversi 9,4 2,07 16 2,35 6,6 70,21%

Tabel 10. Hasil Analisis Deskriptif ROM Pretest-Posttest Kelompok Kompres


Hangat
Pretest Posttest
Variabel Perubahan Efektivitas
Mean Std. Dev Mean Std. Dev
Dorsofleksi 12,4 4,04 17,2 2,28 4,8 38,71%
Plantarfleksi 30,4 3,58 40 6,67 9,6 31,58%
Inversi 24 2,92 30,8 3,11 6,8 28,33%
Eversi 12 6,78 16 6,28 4 33,33%

Tabel 11. Hasil Analisis Deskriptif ROM Pretest-Posttest Kelompok Kontrol


Pretest Posttest
Variabel Perubahan Efektivitas
Mean Std. Dev Mean Std. Dev
Dorsofleksi 12 5,61 15,2 5,76 3,2 26,67%
Plantarfleksi 27,6 6,5 35,4 5,94 7,8 28,26%
Inversi 31,6 4,39 34,8 4,15 3,2 10,13%
Eversi 13,8 3,56 16,4 3,36 2,6 18,84%

Berdasarkan data pada Tabel 9, 10, dan 11, rata-rata data ROM seperti

dorsofleksi, plantarfleksi, inversi dan eversi terjadi peningkatan setelah dilakukan

kompres es dan kompres hangat maupun kontrol. Peningkatan paling signifikan

pengukuran ROM terjadi setelah dilakukannya kompres es disusul dengan kompres

hangat dan kelompok kontrol. Karena menurut Peterson & Renstrom (2001: 94)

52
mengatakan bahwa kompres es paling sering digunakan sebelum latihan ROM,

untuk Friction massase, dan untuk efek analgesik yang terlokalisir.

Persentase efektivitas peningkatan ROM setelah dilakukan kompres es dan

kompres hangat serta istrirahat (kontrol) dihitung berdasarkan nilai rata-rata dari

pretest dan posttest dengan menggunakan rumus sebagai berikut:


Efektivitas = Posttest−Pretest x 100%
Pretest

Perbedaan nilai rata-rata pretest dan posttest ROM pada kelompok

kompres es dan kelompok kompres hangat serta kelompok kontrol tersaji pada

gambar 20, 21, dan 22.

Pretest Posttest

40
36,2
35
30,6
30
25,6 24,2
25
20 16,8 16
15
9 9,4
10
5
0
Dorsofleksi Plantarfleksi Inversi Eversi

Gambar 20. Histogram Rata-rata ROM Pretest-Posttest Kelompok Kompres Es

53
Pretest Posttest

45
40
40
35
30,4 30,8
30
24
25
20 17,2 16
15 12,4 12
10
5
0
Dorsofleksi Plantarfleksi Inversi Eversi

Gambar 21. Histogram Rata-rata ROM Pretest-Posttest Kelompok


Kompres Hangat

Pretest Posttest

40
35,4 34,8
35 31,6
30 27,6
25
20 16,4
15,2
13,8
15 12
10
5
0
Dorsofleksi Plantarfleksi Inversi Eversi

Gambar 22. Histogram Rata-rata ROM Pretest-Posttest Kelompok Kontol

7. Skala Fungsi

Skala fungsi diukur dengan skala 3-0. Semakin baik fungsi geraknya

semakin tinggi skala. Hasil pemeriksaan skala fungsi pretest dan posttest

pada kelompok kompres es dan kelompok kompres hangat serta kelompok

kontrol tersaji dalam Tabel 12, 13, dan 14.

54
Tabel 12. Hasil Analisis Deskriptif Data Skala Fungsi Pretest-Posttest Kelompok
Kompres Es
Pretest Posttest
Variabel Perubahan Efektivitas
Mean Std. Dev Mean Std. Dev
Jalan 2,4 0,89 2,8 0,45 0,4 16,67%
Lari 2 1 2,6 0,55 0,6 30%
Naik Tangga 2,8 0,44 3 0 0,2 7,14%
Jinjit 1,4 0,55 2,6 0,55 1,2 85,71%
Loncat 2,2 1,10 2,6 0,55 0,4 18,18%
Lompat 1,6 0,55 2,4 0,55 0,8 50%
Berbelok 2,8 0,45 3 0 0,2 7,14%

Tabel 13. Hasil Analisis Deskriptif Data Skala Fungsi Pretest-Posttest Kelompok
Kompres Hangat
Pretest Posttest
Variabel Perubahan Efektivitas
Mean Std. Dev Mean Std. Dev
Jalan 3 0 3 0 0 0%
Lari 2,6 0,55 3 0 0,4 15,38%
Naik Tangga 2,8 0,45 3 0 0,2 7,14%
Jinjit 2,4 0,55 3 0 0,6 25%
Loncat 2,4 0,55 3 0 0,6 25%
Lompat 2,2 0,45 2,8 0,45 0,6 27,27%
Berbelok 3 0 3 0 0 0%

55
Tabel 14. Hasil Analisis Deskriptif Data Skala Fungsi Pretest-Posttest Kelompok
Kontrol
Pretest Posttest
Variabel Perubahan Efektivitas
Mean Std. Dev Mean Std. Dev
Jalan 2,8 0,45 3 0 0,2 7,14%
Lari 2,2 0,45 3 0 0,8 36,36%
Naik Tangga 2,8 0,45 3 0 0,2 7,14%
Jinjit 2,8 0,45 3 0 0,2 7,14%
Loncat 2,2 0,84 3 0 0,8 36,36%
Lompat 1,8 0,45 2,8 0,45 1 55,56%
Berbelok 3 0 3 0 0 0%

Berdasarkan Tabel 12, 13, dan 14, terjadi peningkatan skala fungsi

setelah dilakukan kompres es dan kompres hangat serta tidak diberi

kompres (kontrol). Peningkatan skala fungsi yang paling menonjol terjadi

pada pemberian kompres es, disusul dengan kelompok kontrol dan kompres

hangat. Hasil ini tidak sama dengan yang diungkapkan oleh Peterson &

Renstrom, (2001: 99), bahwa panas biasanya digunakan sebelum aktivitas

untuk meningkatkan perpanjangan jaringan ikat, yang menyebabkan

peningkatan pergerakan.

56
Pretest Posttest

3,5
3 3
3 2,8 2,8 2,8
2,6 2,6 2,6
2,4 2,4
2,5
2,2
2
2
1,6
1,4
1,5

0,5

0
Jalan Lari Naik Tangga Jinjit Loncat Lompat Berbelok

Gambar 23. Histogram Rata-rata Skala Fungsi Pretest-Posttest Kelompok


Kompres Es

Pretest Posttest

3,5
3 3 3 3 3 3 3 3
3 2,8 2,8
2,6
2,4 2,4 2,4
2,5

1,5

0,5

0
Jalan Lari Naik Tangga Jinjit Loncat Lompat Berbelok

Gambar 24. Histogram Rata-rata Skala Fungsi Pretest-Posttest Kelompok


Kompres Hangat

57
Pretest Posttest

3,5
3 3 3 3 3 3 3
3 2,8 2,8 2,8 2,8

2,5
2,2 2,2
2 1,8

1,5

0,5
0
Jalan Lari Naik Tangga Jinjit Loncat Lompat Berbelok

Gambar 25. Histogram Rata-rata Skala Fungsi Pretest-Posttest Kelompok Kontrol

C. Hasil Analisis Data Penelitian

1. Analisis Data Deskriptif

Semua pasien penelitian rata-rata berusia 19,73 tahun serta jenis

pekerjaan terbanyak dalam penelitian ini sebagai mahasiswa dengan jumlah

12 orang. Hal ini menandakan bahwa pasien termasuk dalam kelompok

dewasa.

Durasi cedera penelitian ini terbanyak pada satu hingga tiga bulan

dengan persentase 73,3% karena trauma sedangkan 26,7% karena overuse.

Cedera pada pasien yang terjadi karena trauma disebabkan oleh benturan (body

contact) dengan pemain lawan maupun tim saat latihan atau bertanding, dan

posisi yang salah saat berolahraga sehingga terjatuh. Trauma yang terjadi

menyebabkan adanya serat-serta otot atau tendon yang jumlahnya terbatas

mengalami robekan. Robekan tersebut akan merespon tubuh untuk

mengeluarkan zat kimia inflamasi yang menimbulkan terjadinya nyeri. Murphy

(2003: 21) mengatakan bahwa studi telah menunjukan kekuatan otot

58
atau ketidak seimbangan menjadi faktor resiko untuk cedera pergelangan

kaki (ankle), cedera lutut, dan cedera overuse.

Pasien lebih dominan mengalami sisi cedera pada ankle bagian kanan

dengan jumlah 11 pasien dengan persentase 73,3%, sedangkan ankle bagian

kiri sebanyak 4 orang dengan persentase 26,7%. Hal ini dapat disebabkan

karena pasien yang tidak kidal, lebih banyak menggunakan kaki bagian kanan

untuk menendang sehingga cedera lebih banyak dialami pada kaki sisi kanan.

Riwayat cedera terbanyak adalah cedera lutut dengan jumlah 6 pasien

dengan persentase 40%. Penyembuhan merupakan proses dimana respon

alami tubuh terhadap perbaikan cedera atau penggantian jaringan dengan

tujuan pemulihan tubuh ke keadaan pra cedera. Menurut Walker (2005:

185), keadaan ankle yang cedera hanya mencapai tingkat 80% jikalau

proses penyembuhan dilakukan dengan baik dan teratur. Penanganan dan

proses penyembuhan yang tidak teratur menyebabkan masalah kesehatan

yang lebih luas yaitu memungkinkan cedera kembali baik dibagian tubuh

yang sama maupun dibagian tubuh yang lain. Jadi rehabilitasi yang hanya

20% ini sangat krusial untuk melengkapi proses penyembuhan.

2. Uji Persyaratan Analisis Data

Persyaratan analisis yang harus dipenuhi dalam pengujian hipotesis

menggunakan uji-t meliputi uji normalitas dan uji homogenitas. Uji

normalitas digunakan untuk mengetahui normal atau tidaknya distribusi data

yang diperoleh, sedangkan uji homogenitas digunakan untuk mengetahui

apakah sampel penelitian berasal dari populasi yang bersifat homogen. Uji t

59
akan digunakan untuk data dengan skala rasio/interval yaitu data ROM.

Hasil uji persyaratan analisis data penelitian adalah sebagai berikut:

a. Uji Normalitas

Dalam penelitian ini, pengujian normalitas menggunakan uji

Kolmogorov Smirnov. Data yang akan diuji yaitu data ROM (skala

rasio/interval) kelompok kompres es, Kelompok kompres hangat, dan

kelompok kontrol. Hasil pengolahan data menggunakan software SPSS

16, tersaji pada Tabel.

Tabel 15. Hasil Uji Normalitas Data Kelompok Kompres Es


No Variabel p Keterangan
1 Dorsofleksi (Pretest) 0,987 Normal
2 Dorsofleksi (Posttest) 0,722 Normal
3 Plantarfleksi (Pretest) 0,722 Normal
4 Plantarfleksi (Posttest) 0,858 Normal
5 Inversi (Pretest) 0,997 Normal
6 Inversi (Posttest) 0,925 Normal
7 Eversi (Pretest) 0,997 Normal
8 Eversi (Posttest) 0,874 Normal

Tabel 16. Hasil Uji Normalitas Data Kelompok Kompres Hangat


No Variabel p Keterangan
1 Dorsofleksi (Pretest) 0,904 Normal
2 Dorsofleksi (Posttest) 0,941 Normal
3 Plantarfleksi (Pretest) 0,900 Normal
4 Plantarfleksi (Posttest) 0,972 Normal
5 Inversi (Pretest) 0,990 Normal
6 Inversi (Posttest) 0,974 Normal
7 Eversi (Pretest) 0,974 Normal
8 Eversi (Posttest) 0,817 Normal

60
Tabel 17. Hasil Uji Normalitas Data Kelompok Kontrol
No Variabel p Keterangan
1 Dorsofleksi (Pretest) 1,00 Normal
2 Dorsofleksi (Posttest) 0,990 Normal
3 Plantarfleksi (Pretest) 0,907 Normal
4 Plantarfleksi (Posttest) 0,889 Normal
5 Inversi (Pretest) 0,997 Normal
6 Inversi (Posttest) 0,964 Normal
7 Eversi (Pretest) 0,436 Normal
8 Eversi (Posttest) 1,00 Normal

Berdasarkan Tabel 15, 16, dan 17, diketahui bahwa seluruh hasil

pengujian normalitas di atas berdistribusi normal dengan Asymp. Sig

lebih besar dari 0,05 (p>0,05). Hasil pengujian yang berdistribusi

normal akan dianalisis dengan statistik parametrik, uji-t berpasangan

dengan batas signifikansi 5%, sedangkan hasil pengujian yang tidak

berdistribusi normal, akan dianalisis dengan statistik non parametrik.

b. Uji Homogenitas

Berdasarkan pengolahan data menggunakan software SPSS 16.00,

yang tersaji pada Tabel 18, 19, dan 20.

Tabel 18. Hasil Uji Homogenitas Kelompok Kompres Es


No Variabel Nilai Signifikan Keterangan
1 Dorsofleksi 0,25 Homogen
2 Plantarfleksi 0,98 Homogen
3 Inversi 0,66 Homogen
4 Eversi 0,54 Homogen

61
Tabel 19. Hasil Uji Homogenitas Kelompok Kompres Hangat
No Variabel Nilai Signifikan Keterangan
1 Dorsofleksi 0,22 Homogen
2 Plantarfleksi 0,61 Homogen
3 Inversi 0,59 Homogen
4 Eversi 0,80 Homogen

Tabel 20. Hasil Uji Homogenitas Kelompok Kontrol


No Variabel Nilai Signifikan Keterangan
1 Dorsofleksi 0,74 Homogen
2 Plantarfleksi 0,73 Homogen
3 Inversi 0,87 Homogen
4 Eversi 1,00 Homogen

Dari hasil uji homogenitas di atas, diketahui hasil uji homogenitas

kelompok kompres es dan kelompok kompres hangat serta kelompok

kontrol memiliki nilai signifikan lebih besar dari 0,05 (p>0,05) yang

artinya semua varians tersebut homogen, maka uji prasyarat

homogenitas pada ketiga kelompok akan dianalisis menggunakan

pendekatan statistik parametrik.

3. Pengujian Hipotesis

Pengujian hipotesis menggunakan analisis statistik Paired Sampel t

Test untuk data berskala rasio/interval (parametrik) dan Wilcoxon untuk

data berskala ordinal (non parametrik). Data yang termasuk dalam skala

rasio yaitu data ROM yang memenuhi uji prasyarat analisis sehingga dapat

dianalisis dengan analisis statistik parametrik. Data yang akan dianalisis

pada uji Wilcoxon yaitu data skala nyeri dan skala fungsi.

62
a. Paired Sample t Test

1) Perlakuan Kelompok Kompres Es

Tabel 21. Hasil Uji t Test Data ROM Kelompok Kompres Es


ROM Pretest Posttest p Keterangan
Dorsofleksi 9,4 17 0,000 Signifikan
Plantarfleksi 25,6 36,2 0,001 Signifikan
Inversi 24,2 30,6 0,016 Signifikan
Eversi 9,4 16 0,000 Signifikan

2) Perlakuan Kelompok Kompres Hangat

Tabel 22. Hasil Uji t Test Data ROM Kelompok Kompres Hangat
ROM Pretest Posttest p Keterangan
Dorsofleksi 12,4 17,2 0,026 Signifikan
Plantarfleksi 30,4 40 0,032 Signifikan
Inversi 24 30,8 0,007 Signifikan
Eversi 12 16 0,005 Signifikan

3) Perlakuan Kelompok Kontrol

Tabel 23. Hasil Uji t Test Data ROM Kelompok Kontrol


ROM Pretest Posttest p Keterangan
Dorsofleksi 12 15,2 0,005 Signifikan
Plantarfleksi 27,6 35,4 0,019 Signifikan
Inversi 31,6 34,8 0,061 Tidak Signifikan
Eversi 13,8 16,4 0,033 Signifikan

Berdasarkan Tabel 22, 23, dan 24, hasil analisis statistik paired

sample t test dari kelompok kompres maupun kelompok kontrol

memiliki nilai p<0,05 untuk semua dorsofleksi, plantarfleksi, inversi,

dan eversi kecuali pada inversi peningkatakn ROM tidak terjadi pada

kelompok kontrol.

63
b. Uji Wilcoxon

Uji Wilcoxon dilakukan untuk data yang berskala ordinal yaitu

data skala nyeri dan skala fungsi. Data hasil uji Wilcoxon pada data

skala nyeri dan skala fungsi adalah sebagai berikut:

1) Skala Nyeri

Tabel 24. Hasil Uji Wilcoxon Data Skala Nyeri Kelompok Kompres Es
Nyeri Pretest Posttest p Keterangan
Istirahat 0 0 1 Tidak Signifikan
Gerak 0,6 0,2 0,157 Tidak Signifikan
Tekan 1,6 0,6 0,025 Signifikan

Tabel 25. Hasil Uji Wilcoxon Data Skala Nyeri Kelompok Kompres
Hangat
Nyeri Pretest Posttest p Keterangan
Istirahat 0,2 0 0,317 Tidak Signifikan
Gerak 0,6 0 0,083 Tidak Signifikan
Tekan 1,6 0,6 0,025 Signifikan

Tabel 26. Hasil Uji Wilcoxon Data Skala Nyeri Kelompok Kontrol
Nyeri Pretest Posttest p Keterangan
Istirahat 0 0 1 Tidak Signifikan
Gerak 0,4 0 0,157 Tidak Signifikan
Tekan 1,2 0,4 0,046 Signifikan

Hasil uji Wilcoxon pada tabel 24, 25, dan 26, baik kelompok

kompres maupun kelompok kontrol, ketiganya sama-sama berperan

pada skala nyeri tekan yang ditunjukkan dengan (p<0,05) yang

memiliki nilai signifikansi lebih kecil dari 0,05. Karena ketiga

variabel memberikan pengaruh pada nyeri tekan, selanjutnya

64
dilakukan uji Anova untuk membandingkan dari ketiga variabel

apakah ada perbedaan yang signifikan atau tidak.

2) Skala Fungsi

Tabel 27. Hasil Uji Wilcoxon Data Skala Fungsi Kelompok Kompre Es
Fungsi Pretest Posttest p Keterangan
Jalan 2,4 2,8 0,157 Tidak Signifikan
Lari 2 2,6 0,180 Tidak Signifikan
Naik Tangga 2,8 3 0,317 Tidak Signifikan
Jinjit 1,4 2,6 0,034 Signifikan
Loncat 2,2 2,6 0,157 Tidak Signifikan
Lompat 1,6 2,4 0,046 Signifikan
Berbelok 2,8 3 0,317 Tidak Signifikan
Tabel 28. Hasil Uji Wilcoxon Data Skala Fungsi Kelompok Kompres
Hangat
Fungsi Pretest Posttest p Keterangan
Jalan 3 3 1 Tidak Signifikan
Lari 2,6 3 0,157 Tidak Signifikan
Naik Tangga 2,8 3 0,317 Tidak Signifikan
Jinjit 2,4 3 0,083 Tidak Signifikan
Loncat 2,4 3 0,083 Tidak Signifikan
Lompat 2,2 2,8 0,083 Tidak Signifikan
Berbelok 3 3 1 Tidak Signifikan
Tabel 29. Hasil Uji Wilcoxon Data Skala Fungsi Kelompok Kontrol
Fungsi Pretest Posttest p Keterangan
Jalan 2,8 3 0,317 Tidak Signifikan
Lari 2,2 3 0,046 Signifikan
Naik Tangga 2,8 3 0,317 Tidak Signifikan
Jinjit 2,8 3 0,317 Tidak Signifikan
Loncat 2,2 3 0,102 Tidak Signifikan
Lompat 1,8 2,8 0,025 Signifikan
Berbelok 3 3 1 Tidak Signifikan
65
Dari data hasil pengujian di atas, menunjukan bahwa kompres

es lebih berperan dalam skala fungsi jinjit serta lompat, kompres

hangat tidak berperan terhadap seluruh skala fungsi, sedangkan

istirahat lebih berperan terhadap skala fungsi lari dan lompat. Hal ini

ditunjukkan dengan (p<0,05) yang memiliki nilai signifikansi lebih

kecil dari 0,05.

c. Uji ANOVA

Uji Anova dilakukan pada skala nyeri tekan yang memiliki nilai

signifikan lebih kecil dari 0,05 dari semua variabel independent. Uji

Anova digunakan untuk membandingkan antara ketiga perlakuan

apakah berbeda signifikan atau tidak. Hasil uji Anova data skala nyeri

tekan tersaji pada tabel 30.

Tabel 30. Hasil Uji Anova Data Skala Nyeri Tekan


Nyeri p p
Perlakuan Pretest Posttest Keterangan
Pretest Posttest
Kelompok 1,6 0,6
Kompres Es
Kelompok 1,6 0,6 Tidak
Tekan Kompres 0,651 0,868 Signifikan
Hangat
Kelompok 1,2 0,4
Kontrol

Dari hasil uji Anova pada Tabel 30, diperoleh hasil p pretest

dengan nilai signifikansi sebesar 0,651 dan p posttest sebesar 0,868

sehingga nilai signifikansi lebih besar dari 0,05 (p>0,05), maka dapat

diartikan bahwa tidak terdapat perbedaan signifikan dari hasil

perlakuan kompres es, kompres hangat maupun istirahat.

66
D. Pembahasan Hasil Penelitian

Keseluruhan hasil analisis data penelitian di atas, menunjukan bahwa

perlakuan kompres serta istirahat tidak terdapat perbedaan yang signifikan

terhadap penyembuhan cedera ankle pasca manipulasi Topurak pada pemain

GPS Futsal Bantul. Hal ini dikarenakan berbagai faktor yang menjadi

kemungkinkan tidak terdapat perbedaan dari ketiga variabel yang salah satunya

yaitu jumlah sampel (n) sedikit (masing-masing kelompok hanya 5 orang).

Apabila dilihat lebih dalam, ternyata kompres hangat memberi perubahan

penurunan nyeri yang terbesar yaitu 1,8, sedang kompres es yaitu 1,4, dan

istirahat memberi perubahan penurunan 1,2. Hal ini diperkuat oleh pendapat

Arovah (2016: 44) mengatakan bahwa kompres hangat sering digunakan pada

fase kronis untuk mengurangi nyeri yang berhubungan dengan ketegangan otot

walaupun dapat juga dipergunakan untuk mengatasi berbagai jenis nyeri yang

lain. Selain itu Arovah (2016: 34) menambahkan bahwa kompres hangat dapat

mengurangi nyeri lewat mekanisme gate control. Istirahat juga dapat

mengurangi nyeri dengan jalan menurunkan pembentukan asam laktat dan

melancarkan pembuangan asam laktat.

Nyeri istirahat dan nyeri gerak tidak terlihat dipengaruhi oleh perlakuan

kompres maupun istirahat dikarenakan sejak awal pemeriksaan nilainya kecil.

Nyeri dapat dirasakan pada saat pasien diberi stimulasi dengan cara penekanan

pada ankle. Meskipun ketiga-tiganya dapat mengurangi nyeri tekan, tetapi tidak

ada perbedaan pengurangan nyeri tekan pada ketiganya, hal ini juga mungkin

disebabkan oleh jumlah sampel yang kurang. Kemungkinan lain bisa disebabkan

67
oleh durasi pengompresan yang terlalu pendek (15-20 menit). Mungkin jika

durasi pengompresan ditambah, bisa jadi terdapat perbedaan yang signifikan

diantara ketiganya.

Hasil analisis data pada pemeriksaan ROM, ternyata baik perlakuan

kompres maupun istirahat, akan meningkatkan ROM untuk semua dorsofleksi,

plantarfleksi, inversi dan eversi kecuali pada inversi peningkatan ROM tidak

terjadi pada kelompok kontrol. Hal itu dikarenakan otot yang menggerakkan

gerakan inversi ankle (peroneus longus dan peroneus brevis) tidak menurun

kekakuannya hanya dengan istirahat sehingga diperlukan manipulasi pada otot

tersebut seperti kompres, pijatan, stetching, PNF, dll.

Penyembuhan cedera ankle dilihat dari hasil analisis data pemeriksaan

skala fungsi membuktikan bahwa pemberian kompres es dapat meningkatkan

skala fungsi jinjit dan lompat, sedangkan pemberian kompres hangat tidak

dapat meningkatkan semua skala fungsi. Selain itu, peningkatan juga terlihat

dengan istirahat pada skala fungsi lari dan lompat. Hasil ini kemungkinan

disebabkan karena pemberian durasi waktu yang sama seperti kelompok

kompres es yaitu 15-20 menit. Dengan durasi tersebut, mungkin kurangnya

efek yang ditimbulkan oleh kompres hangat sehingga menyebabkan kompres

hangat tidak meningkatkan semua skala fungsi. Menurut Arovah (2016: 34)

kecepatan hantaran dingin lebih cepat dibandingkan kecepatan hantaran rasa

panas. Rasa dingin juga lebih mudah menembus jaringan dibandingkan dengan

panas disebabkan adanya lemak subkutan yang bertindak sebagai isolator.

Kemungkinan lain meningkatnya skala fungsi jinjit, lari, dan lompat, bisa

68
disebabkan karena kondisi ankle dalam keadaan statis yang lama seperti jinjit,

gerakan cepat seperti lari, dan gerakan yang membebankan seluruh tubuh pada

ankle seperti lompat, dapat menstimulasikan rasa nyeri pada skala fungsi

tersebut.

69
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Secara keseluruhan, penelitian ini dapat disimpulkan:

1. Kompres es pasca manipulasi Topurak cedera ankle dapat mengurangi nyeri

dan menambah ROM serta fungsi gerak ankle.

2. Kompres hangat pasca manipulasi Topurak cedera ankle dapat mengurangi

nyeri dan menambah ROM, tetapi tidak menambah fungsi gerak ankle.

3. Tidak ada perbedaan pengaruh kompres es dan kompres hangat pasca

manipulasi topurak dalam mengurangi nyeri dan menambah ROM serta

fungsi gerak sendi ankle.

B. Implikasi Penelitian

Berdasarkan kesimpulan dari penelitian ini, implikasi dari hasil penelitian

ini yaitu kompres es maupun kompres hangat dapat diterapkan pasca manipulasi

Topurak sebagai upaya penyembuhan cedera ankle dalam mengurangi nyeri dan

menambah ROM serta fungsi gerak sendi ankle meskipun dengan tidak diberikan

kompres pengaruhnya sama dengan yang diberikan kompres.

C. Keterbatasan Penelitian

Kendati peneliti sudah berusaha keras memenuhi segala ketentuan yang

dipersyaratkan, bukan berarti penelitian ini tanpa keterbatasan. Beberapa

keterbatasan yang dapat dikemukakan di sini antara lain:

1. Tingkat dan jenis cedera ankle yang dialami pasien belum diketahui secara

pasti serta berbeda-beda karena hanya sampel dengan kriteria sedang

70
mengalami cedera ankle kronis dan telah melakukan manipulasi Topurak

yang digunakan dalam penelitian ini.

2. Tidak dilakukan kontrol lebih lanjut terhadap faktor-faktor yang

memungkinkan mempengaruhi hasil tes yang dilakukan oleh pasien setelah

penerapan kompres es dan kompres hangat.

D. Saran

Ada beberapa saran yang perlu disampaikan sehubungan dengan hasil

penelitian ini, antara lain:

1. Bagi peneliti selanjutnya agar melakukan penelitian lanjutan dengan melihat

sampel yang digunakan lebih diperbanyak, durasi perlakuan dibedakan dan

desain yang digunakan lebih ditingkatan.

2. Pemilihan metode pengobatan yang digunakan untuk penyembuhan cedera

ankle lebih diperhatikan dan dipertimbangkan lebih dalam tentang indikasi,

kontraindikasi, jenis, dan durasinya.

71
DAFTAR PUSTAKA

Ambardini, R.L. & Kushartanti, B.M.W. (2016). Efektivitas Masase Topurak


untuk Reposisi Subluksasi Bahu. Proceedings FIK UNY. Hlm 73-82.

Anderson, M.K., Parr, G.P., & Hall, S.J. (2009). Foundations of Athletic Training
Prevention, Assessment, and Management. USA: Lippincott Williams &
Wilkins, Wolters Kluwer.

Anderson, M.K. & Parr, G.P. (2011). Fundamentals of Sport Injury Management.
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, Wolter Kluwer.

Arovah, N. I (2016). Fisioterapi Olahraga. Jakarta: EGC.

________________. Terapi Dingin (Cold Therapy) dalam Penanganan Cedera


Olahraga. Yogyakarta: UNY.

Asmadi. (2008). Teknik Prosedural Konsep dan Aplikasi Kebutuhan Pasien.


Jakarta: Salemba Medika https://books.google.co.id diunduh pada hari ,
Feb 2018

Fondy, T. (2012). Merawat dan Mereposisi Cedera Tubuh. Banten: Pustaka Tumbur

Guyton, A.C & Hall, J.E. (2007). Buku Ajara Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC.
Edisi 9

Helmi, Z.N. (2012). Buku Ajar Gangguan Muskuloskeletal. Jakarta Selatan:


Salemba Medika.

Ikawati, Z. (2011). Farmakoterapi Penyakit Sistem Saraf Pusat. Yogyakarta:


Bursa Ilmu.

Junge, A. & Dvorak, J. (2014). Injury Risk of Playing Football in Futsal World
Cups. Journal. Switzerland: Br J Sport Med, 1089-1092.

Malanga, G.A., Yan, Ning., and Stark, Jill. (2015). Mekanisms and Efficacy of
Heat and Cold Therapies for Musculoskeletal Injury. USA: Postgraduate
Medicine.

Mann, G., Nyska, M., Hetsroni, I., Karlsson, Jon. (2006). Scoring Systems for
Evaluating Ankle Function. Journal Foot and Ankle Clinics. Israel:
Elsevier Saunders Inc.

Mulyono, M.A. (2017). Buku Pintar Futsal. Jakarta Timur: Anugrah, 5.

72
Murphy, D.F. (2003). “Risk Factors for Lower Extremity Injury: a Review of the
Literature”. Journal Sports Med. Vol. 37. No. 1. Hlm 13-29.

Nurkhasanah, S. & Fetrisia, W. (2014). Pengaruh Masase Effleurage Terhadap


Penurunan Intensitas Skala Nyeri Disminore pada Siswi Kelas IX MTsN 1
Bukittinggi tahun 2014. Jurnal Kesehatan. Bukittinggi: STIKes Prima
Nusantara Bukittinggi 5 (2), 27-28.

Nurjanah, Siti. (2016). Keefektifan Kombinasi Terapi Panas dan Dingin dengan
Terapi Panas, Terapi Dingin terhadap Cedera Otot Hamstring. Skripsi.
Yogyakarta: FIK UNY.

Nadler, Scott F. DO, FACSM., Weingand, K., & Kruse, R.J. (2004). The
Physiologic Basic and Clinical Application of Cryotherapy and
Thermotherapy for the Pain Practitioner. Pain Physician, 7, (3). 395-399.

Peterson, L. & Renstrom, P. (2001). Sport Injuries Theie prevention and Treatment.
UK: Martin Dunitz Ltd.

Roenn, P.V., Paice A.J., & Preodor E.M. (2006). Current Diagnosis & Treatment
of Pain. USA: The McGraw-Hill Companies, Inc.

Setiawan, A. (2015). Sport Massage: Pijat Kebugaran. Yogyakarta: Magnum


Pustaka Utama

Sugiyono. (2016). Metode Penelitian Pendidikan (Pendekatan Kuantitatif,


Kualitatif dan R&D). Bandung: Alfabeta.

Tambayong, J. (2000). Patofisiologi untuk Keperawatan. Jakarta:


Buku Kedokteran EGC.

Tim Anatomi. (2011). Diklat Anatomi Manusia. FIK UNY: Diba Adversiting.

Wade, C. & Tavris, C. (2008). Psikologi. Jakarta: Erlangga. Jilid 1, Edisi 9.

Walker, Brad. (2005). The Sport Injury Handbook. Queensland: Walkerbout


Health Pty Ltd.

Wijanarko, B. & Slamet, R. (2010). Sport Massage: Teori dan Praktek. Surakarta:
Yuma Pustaka

Wilson, F., Gormley, J., & Hussey, J. (2011). Exercise Therapy in the
Management of Musculoskeletal Disorders. UK: Wiley Blackwell Ltd.

73
Yuliastri, A. (2012). Pengaruh Kompres Panas dengan Kompres Dingin Terhadap
Pengurangan Nyeri pada Osteoarthritis Sendi Lutut. Skripsi. Surakarta:
UMS

74
LAMPIRAN

75
Lampiran 1. Surat Pembimbing Penulisan Skripsi

76
Lampiran 2. Surat Permohonan Izin Penelitian

77
Lampiran 3. Catatan Medis
CATATAN MEDIS PASIEN PENELITIAN CEDERA ANKLE
OLEH: QUEEN SYAFAATI HAKIKI
IDENTITAS
Nama Jenis kelamin L/P
Usia th Berat badan kg
Pekerjaan Tinggi badan cm
Alamat
A. ANAMNESA
I. Riwayat Cedera
a. Mulai Cedera ........................................................................
b. Penyebab Cedera ........................................................................
II. Riwayat cedera yang terdahulu
......................................................................................................................
III. Riwayat Penyakit Keluarga
......................................................................................................................
B. PEMERIKSAAN
Pretest (tanggal.....................................) Posttest (tanggal .................................)
I. Skala nyeri I. Skala Nyeri
a. Saat istirahat a. Saat istirahat
0 1 2 3 0 1 2 3
b. Saat gerak b. Saat gerak
0 1 2 3 0 1 2 3
c. Saat ditekan c. Saat ditekan
0 1 2 3 0 1 2 3
II. ROM II. ROM
Kanan Kiri Kanan Kiri
Dorsofleksi o o Dorsofleksi o o

Plantarfleksi o o Plantarfleksi o o

Inversi o o Inversi o o

Eversi o o Eversi o o

III. Skala Fungsi III. Skala Fungsi


a. Jalan a. Jalan
3 2 1 0 3 2 1 0
b. Lari b. Lari
3 2 1 0 3 2 1 0
c. Naik tangga c. Naik tangga
3 2 1 0 3 2 1 0
d. Jinjit d. Jinjit
3 2 1 0 3 2 1 0
e. Loncat e. Loncat
3 2 1 0 3 2 1 0
f. Lompat f. Lompat
3 2 1 0 3 2 1 0
g. Berbelok g. Berbelok
3 2 1 0 3 2 1 0
78
Lampiran 4. Surat Kesediaan Menjadi Subjek Penelitian

SURAT KESEDIAAN MENJADI SUBJEK PENELITIAN


(INFORMED CONSENT)

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya:

Nama : ..........................................................................................
Umur : ..........................................................................................
Alamat : ..........................................................................................

Setelah mendapat keterangan selengkapnya tentang terapi yang akan


dilakukan dalam penelitian dan keuntungan serta akibat-akibat yang mungkin
terjadi, saya bersedia ikut serta dalam penelitian ini dan menyatakan tidak
keberatan untuk mendapatkan kompres es maupun kompres hangat untuk
penyembuhan cedera ankle pasca terapi latihan.
Disamping itu saya tidak menuntut kepada peneliti apabila terjadi hal-hal
yang tidak diinginkan baik pada saat maupun setelah penelitian ini selesai.

Yogyakarta, ....... Februari 2018


Peneliti Yang memberi keterangan,

(Queen Syafaati Hakiki) (...........................................)

79
Lampiran 5. Protokol Penelitian

PROTOKOL PENELITIAN
PENGARUH KOMPRES ES DAN KOMPRES HANGAT
TERHADAP PENYEMBUHAN CEDERA ANKLE
PASCA TERAPI LATIHAN
A. Tujuan
1. Mengetahui pengaruh kompres es terhadap penyembuhan cedera ankle
pasca manipulasi Topurak untuk mengurangi nyeri dan menambah
ROM serta fungsi gerak sendi ankle.
2. Mengetahui pengaruh kompres hangat terhadap penyembuhan cedera
ankle pasca manipulasi Topurak untuk mengurangi nyeri dan
menambah ROM serta fungsi gerak sendi ankle.
3. Mengetahui perbedaan pengaruh kompres es dan kompres hangat dalam
mengurangi nyeri dan menambah ROM serta fungsi gerak sendi ankle.
B. Jumlah subjek penelitian
Subjek yang terpilih berdasarkan kriteria inklusi, akhirnya
mendapatkan 15 orang yang terbagi menjadi tiga kelompok yaitu
kelompok kompres es, kelompok kompres hangat, dan kelompok kontrol.
C. Cara merekrut subjek penelitian
1. Kriteria Inklusi
a. Pemain aktif GPS Futsal Bantul.
b. Sedang menderita cedera ankle.
c. Telah melakukan manipulasi Topurak.
d. Bersedia menjadi subjek penelitian yang dibuktikan dengan
penandatanganan inform consent.
2. Kriteria Eksklusi
a. Cedera Akut
b. Terdapat fraktur pada tulang penyusun sendi ankle.
c. Post operatif cedera ankle.
d. Terdapat luka terbuka pada area cedera.

80
D. Langkah pengumpulan data
1. Memastikan inform consent telah ditandatangani oleh pasien dan
peneliti.
2. Menginstruksikan pasien untuk mengisi dengan lengkap catatan medis
yang berupa identitas, anamnesa, dan pemeriksaan.
3. Melakukan pretest dengan cara mengukur ROM pasien cedera ankle
(teknik pengukuran ROM lihat di lampiran).
4. Melakukan kompres es untuk kelompok kompres es dengan cara:
a. Siapkan es: masukkan es batu kristal kedalam kantong pengompres.
b. Siapkan handuk kecil untuk membantu menyerap air es yang
menetes agar tidak membasahi lantai.
c. Lakukan kompres es pada seluruh permukaan ankle dengan posisi
pasien duduk dilantai. Sesekali angkat es jika sekiranya pasien
merasa kedinginan.
d. Lakukan selama 15 sampai 20 menit.
e. Setelah dikompres, angkat es. Usap bekas air es pada ankle dengan
handuk.
5. Melakukan kompres hangat untuk kelompok kompres hangat dengan
cara:
a. Siapkan air hangat: masukkan air hangat kedalam
kantong pengompres dengan suhu air 41-42o C.
b. Setelah mendapatkan panas yang cukup, kantong kompres
hangat dibungkus dengan handuk agar kulit tidak melepuh saat
kompres hangat langsung diaplikasikan.
c. Lakukan kompres pada ankle selama 15 sampai 20 menit
dengan posisi pasien duduk dilantai.
6. Tidak melakukan kompres apapun untuk kelompok kontrol.
7. Melakukan posttest dengan cara mengukur ROM, pasien menilai skala
nyeri dan skala fungsi gerak ankle pada pagi hari berikutnya.
8. Mencatat semua data pada catatan medis.
9. Melakukan analisis data untuk:
81
a. Mengetahui pengaruh kompres es terhadap penyembuhan cedera
ankle pasca terapi latihan untuk mengurangi nyeri dan menambah
ROM serta fungsi gerak ankle dengan uji beda dua kelompok
berpasangan antara nilai pretest dan posttest.
b. Mengetahui pengaruh kompres hangat terhadap penyembuhan
cedera ankle pasca terapi latihan untuk mengurangi nyeri dan
menambah ROM serta fungsi gerak ankle dengan uji beda dua
kelompok berpasangan antara nilai pretest dan posttest.

82
Lampiran 6. Data Hasil Penelitian

Usia BB TB Durasi cedera


No Pekerjaan Penyebab Cedera Cedera lain
(tahun) (kg) (cm) (bulan)
1 20 1 80 171 3 2 1
2 19 1 95 170 1 1 1
3 20 1 53 168 6 1 1
4 20 1 76 171 12 1 2
5 21 2 66 168 1 1 3
6 19 2 55 167 3 1 3
7 21 1 57 166 6 1 1
8 18 1 62 169 9 1 1
9 18 1 68 165 4 2 2
10 20 1 60 174 2 2 3
11 20 1 57 167 9 1 1
12 21 1 57 168 1 1 2
13 19 1 55 160 4 1 2
14 19 2 54 159 3 1 3
15 21 1 72 174 6 2 2

Catatan :
Pekerjaan: (1) Mahasiswa, (2) karyawan
Penyebab Cedera: (1) Trauma, (2) Overuse
Cedera Lain: (1) Lutut, (2) Pinggang, (3) Regio lain

Skala Nyeri ROM


No Istirahat Gerak Tekan Dorsofleksi Plantarfleksi Inversi Eversi
Pre Post Pre Post Pre Post Pre Post Pre Post Pre Post Pre Post
1 0 0 0 0 1 0 10 18 30 38 24 30 9 17
2 0 0 1 0 2 1 9 18 28 39 21 31 8 14
3 0 0 0 0 1 0 12 20 20 32 22 24 11 18
4 0 0 0 0 1 0 8 15 22 36 28 32 7 13
5 0 0 2 1 3 2 8 14 28 36 26 36 12 18
6 0 0 0 0 2 1 6 16 35 38 24 28 5 10
7 0 0 1 0 1 0 15 20 31 35 23 28 21 25
8 0 0 0 0 1 0 11 14 30 48 25 35 17 20
9 1 0 1 0 2 1 16 18 25 33 28 33 7 13
10 0 0 1 0 2 1 14 18 31 46 20 30 10 12
11 0 0 0 0 2 1 15 20 32 45 32 34 12 16
12 0 0 1 0 0 0 10 12 35 36 25 28 11 12
13 0 0 0 0 2 1 4 8 18 35 36 38 13 18
14 0 0 1 0 1 0 19 22 27 31 35 36 20 21
15 0 0 0 0 1 0 12 14 26 30 30 38 13 15

83
Skala Fungsi
No Jalan Lari Naik Tangga Jinjit Loncat Lompat Berbelok
Pre Post Pre Post Pre Post Pre Post Pre Post Pre Post Pre Post
1 3 3 3 3 3 3 1 3 3 3 2 3 3 3
2 2 3 1 3 3 3 1 2 1 2 1 2 3 3
3 3 3 2 2 3 3 2 3 3 3 1 2 3 3
4 3 3 3 3 3 3 2 3 3 3 2 3 3 3
5 1 2 1 2 2 3 1 2 1 2 2 2 2 3
6 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3
7 3 3 2 3 3 3 2 3 2 3 2 3 3 3
8 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 2 3 3 3
9 3 3 3 3 3 3 2 3 2 3 2 3 3 3
10 3 3 2 3 2 3 2 3 2 3 2 2 3 3
11 3 3 2 3 3 3 3 3 3 3 2 3 3 3
12 2 3 2 3 2 3 3 3 3 3 2 3 3 3
13 3 3 2 3 3 3 3 3 2 3 2 3 3 3
14 3 3 2 3 3 3 2 3 1 3 1 2 3 3
15 3 3 3 3 3 3 3 3 2 3 2 3 3 3

Catatan:
Skala Nyeri: 0 – 1 – 2 – 3
Skala Fungsi: 3 – 2 – 1 – 0

84
Lampiran 7. Data Deskriptif
1. Statistik Deskriptif ROM
a. Kelompok Kompres Es
Statistics

Dorsofleksi Dorsofleksi Plantarfleksi Plantarfleksi


Pretest Posttest Pretest Posttest Inversi Pretest Inversi Posttest Eversi Pretest Eversi Posttest

N Valid 5 5 5 5 5 5 5 5

Missing 0 0 0 0 0 0 0 0

Mean 9.0000 16.8000 25.6000 36.2000 24.2000 30.6000 9.4000 16.0000

Median 9.0000 18.0000 28.0000 36.0000 24.0000 31.0000 9.0000 17.0000

Std. Deviation 1.00000 2.16795 4.33590 2.68328 2.86356 4.33590 2.07364 2.34521

Variance 1.000 4.700 18.800 7.200 8.200 18.800 4.300 5.500

Minimum 8.00 14.00 20.00 32.00 21.00 24.00 7.00 13.00

Maximum 10.00 19.00 30.00 39.00 28.00 36.00 12.00 18.00

Sum 45.00 84.00 128.00 181.00 121.00 153.00 47.00 80.00

85
b. Kelompok Kompres Hangat
Statistics

Dorsofleksi Dorsofleksi Plantarfleksi Plantarfleksi


Pretest Posttest Pretest Posttest Inversi Pretest Inversi Posttest Eversi Pretest Eversi Posttest

N Valid 5 5 5 5 5 5 5 5

Missing 0 0 0 0 0 0 0 0

Mean 12.4000 17.2000 30.4000 40.0000 24.0000 30.8000 12.0000 16.0000

Median 14.0000 18.0000 31.0000 38.0000 24.0000 30.0000 10.0000 13.0000

Std. Deviation 4.03733 2.28035 3.57771 6.67083 2.91548 3.11448 6.78233 6.28490

Variance 16.300 5.200 12.800 44.500 8.500 9.700 46.000 39.500

Minimum 6.00 14.00 25.00 33.00 20.00 28.00 5.00 10.00

Maximum 16.00 20.00 35.00 48.00 28.00 35.00 21.00 25.00

Sum 62.00 86.00 152.00 200.00 120.00 154.00 60.00 80.00

86
c. Kelompok Kontrol
Statistics

Dorsofleksi Dorsofleksi Plantarfleksi Plantarfleksi


Pretest Posttest Pretest Posttest Inversi Pretest Inversi Posttest Eversi Pretest Eversi Posttest

N Valid 5 5 5 5 5 5 5 5

Missing 0 0 0 0 0 0 0 0

Mean 12.0000 15.2000 25.6000 35.4000 31.6000 34.8000 13.8000 16.4000

Median 12.0000 14.0000 26.0000 35.0000 32.0000 36.0000 13.0000 16.0000

Std. Deviation 5.61249 5.76194 5.02991 5.94138 4.39318 4.14729 3.56371 3.36155

Variance 31.500 33.200 25.300 35.300 19.300 17.200 12.700 11.300

Minimum 4.00 8.00 18.00 30.00 25.00 28.00 11.00 12.00

Maximum 19.00 22.00 32.00 45.00 36.00 38.00 20.00 21.00

Sum 60.00 76.00 128.00 177.00 158.00 174.00 69.00 82.00

87
2. Statistik Deskriptif Skala Nyeri
a. Kelompok Kompres Es
Statistics

Nyeri Istirahat Nyeri Istirahat Nyeri Gerak Nyeri Gerak Nyeri Tekan Nyeri Tekan
Pretest Posttest Pretest Posttest Pretest Posttest

N Valid 5 5 5 5 5 5

Missing 0 0 0 0 0 0

Mean .0000 .0000 .6000 .2000 1.6000 .6000

Median .0000 .0000 .0000 .0000 1.0000 .0000

Std. Deviation .00000 .00000 .89443 .44721 .89443 .89443

Variance .000 .000 .800 .200 .800 .800

Minimum .00 .00 .00 .00 1.00 .00

Maximum .00 .00 2.00 1.00 3.00 2.00

Sum .00 .00 3.00 1.00 8.00 3.00

88
b. Kelompok Kompres Hangat

Statistics

Nyeri Istirahat Nyeri Istirahat Nyeri Gerak Nyeri Gerak Nyeri Tekan Nyeri Tekan
Pretest Posttest Pretest Posttest Pretest Posttest

N Valid 5 5 5 5 5 5

Missing 0 0 0 0 0 0

Mean .2000 .0000 .6000 .0000 1.6000 .6000

Median .0000 .0000 1.0000 .0000 2.0000 1.0000

Std. Deviation .44721 .00000 .54772 .00000 .54772 .54772

Variance .200 .000 .300 .000 .300 .300

Minimum .00 .00 .00 .00 1.00 .00

Maximum 1.00 .00 1.00 .00 2.00 1.00

Sum 1.00 .00 3.00 .00 8.00 3.00

89
c. Kelompok Kontrol

Statistics

Nyeri Istirahat Nyeri Istirahat Nyeri Gerak Nyeri Gerak Nyeri Tekan Nyeri Tekan
Pretest Posttest Pretest Posttest Pretest Posttest

N Valid 5 5 5 5 5 5

Missing 0 0 0 0 0 0

Mean .0000 .0000 .4000 .0000 1.2000 .4000

Median .0000 .0000 .0000 .0000 1.0000 .0000

Std. Deviation .00000 .00000 .54772 .00000 .83666 .54772

Variance .000 .000 .300 .000 .700 .300

Minimum .00 .00 .00 .00 .00 .00

Maximum .00 .00 1.00 .00 2.00 1.00

Sum .00 .00 2.00 .00 6.00 2.00

90
3. Statistik Deskriptif Skala Fungsi
a. Kelompok Kompres Es

Statistics

Skala Skala
Skala Skala Skala Skala Fungsi Fungsi Skala Skala Skala Skala Skala Skala Skala Skala
Fungsi Fungsi Fungsi Fungsi Naik Naik Fungsi Fungsi Fungsi Fungsi Fungsi Fungsi Fungsi Fungsi
Jalan Jalan Lari Lari Tangga Tangga Jinjit Jinjit Loncat Loncat Lompat Lompat Berbelok Berbelok
Pretest Posttest Pretest Posttest Pretest Posttest Pretest Posttest Pretest Posttest Pretest Posttest Pretest Posttest

NValid 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5

Missing 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

Mean 2.4000 2.8000 2.0000 2.6000 2.8000 3.0000 1.4000 2.6000 2.2000 2.6000 1.6000 2.4000 2.8000 3.0000

Median 3.0000 3.0000 2.0000 3.0000 3.0000 3.0000 1.0000 3.0000 3.0000 3.0000 2.0000 2.0000 3.0000 3.0000

Std. Deviation .89443 .44721 1.00000 .54772 .44721 .00000 .54772 .54772 1.09545 .54772 .54772 .54772 .44721 .00000
Variance .800 .200 1.000 .300 .200 .000 .300 .300 1.200 .300 .300 .300 .200 .000

Minimum 1.00 2.00 1.00 2.00 2.00 3.00 1.00 2.00 1.00 2.00 1.00 2.00 2.00 3.00

Maximum 3.00 3.00 3.00 3.00 3.00 3.00 2.00 3.00 3.00 3.00 2.00 3.00 3.00 3.00
Sum 12.00 14.00 10.00 13.00 14.00 15.00 7.00 13.00 11.00 13.00 8.00 12.00 14.00 15.00

91
b. Kelompok Kompres Hangat

Statistics

Skala Skala
Skala Skala Skala Skala Fungsi Fungsi Skala Skala Skala Skala Skala Skala Skala Skala
Fungsi Fungsi Fungsi Fungsi Naik Naik Fungsi Fungsi Fungsi Fungsi Fungsi Fungsi Fungsi Fungsi
Jalan Jalan Lari Lari Tangga Tangga Jinjit Jinjit Loncat Loncat Lompat Lompat Berbelok Berbelok
Pretest Posttest Pretest Posttest Pretest Posttest Pretest Posttest Pretest Posttest Pretest Posttest Pretest Posttest

NValid 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5

Missing 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

Mean 3.0000 3.0000 2.6000 3.0000 2.8000 3.0000 2.4000 3.0000 2.4000 3.0000 2.2000 2.8000 3.0000 3.0000

Median 3.0000 3.0000 3.0000 3.0000 3.0000 3.0000 2.0000 3.0000 2.0000 3.0000 2.0000 3.0000 3.0000 3.0000

Std. Deviation .00000 .00000 .54772 .00000 .44721 .00000 .54772 .00000 .54772 .00000 .44721 .44721 .00000 .00000
Variance .000 .000 .300 .000 .200 .000 .300 .000 .300 .000 .200 .200 .000 .000

Minimum 3.00 3.00 2.00 3.00 2.00 3.00 2.00 3.00 2.00 3.00 2.00 2.00 3.00 3.00

Maximum 3.00 3.00 3.00 3.00 3.00 3.00 3.00 3.00 3.00 3.00 3.00 3.00 3.00 3.00

Sum 15.00 15.00 13.00 15.00 14.00 15.00 12.00 15.00 12.00 15.00 11.00 14.00 15.00 15.00

92
c. Kelompok Kontrol

Statistics

Skala Skala
Skala Skala Skala Skala Fungsi Fungsi Skala Skala Skala Skala Skala Skala Skala Skala
Fungsi Fungsi Fungsi Fungsi Naik Naik Fungsi Fungsi Fungsi Fungsi Fungsi Fungsi Fungsi Fungsi
Jalan Jalan Lari Lari Tangga Tangga Jinjit Jinjit Loncat Loncat Lompat Lompat Berbelok Berbelok
Pretest Posttest Pretest Posttest Pretest Posttest Pretest Posttest Pretest Posttest Pretest Posttest Pretest Posttest

NValid 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5

Missing 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

Mean 2.8000 3.0000 2.2000 3.0000 2.8000 3.0000 2.8000 3.0000 2.2000 3.0000 1.8000 2.8000 3.0000 3.0000

Median 3.0000 3.0000 2.0000 3.0000 3.0000 3.0000 3.0000 3.0000 2.0000 3.0000 2.0000 3.0000 3.0000 3.0000

Std. Deviation .44721 .00000 .44721 .00000 .44721 .00000 .44721 .00000 .83666 .00000 .44721 .44721 .00000 .00000

Variance .200 .000 .200 .000 .200 .000 .200 .000 .700 .000 .200 .200 .000 .000

Minimum 2.00 3.00 2.00 3.00 2.00 3.00 2.00 3.00 1.00 3.00 1.00 2.00 3.00 3.00

Maximum 3.00 3.00 3.00 3.00 3.00 3.00 3.00 3.00 3.00 3.00 2.00 3.00 3.00 3.00

Sum 14.00 15.00 11.00 15.00 14.00 15.00 14.00 15.00 11.00 15.00 9.00 14.00 15.00 15.00

93
Lampiran 8. Uji Normalitas
1. Uji Normalitas Kelompok Kompres Es
One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test

Dorsofleksi Dorsofleksi Plantarfleksi Plantarfleksi Inversi Inversi Eversi Eversi


Pretest Posttest Pretest Posttest Pretest Posttest Pretest Posttest

N 5 5 5 5 5 5 5 5

Normal Parametersa Mean 9.4000 16.8000 25.6000 36.2000 24.2000 30.6000 9.4000 16.0000

Std. Deviation 1.67332 2.16795 4.33590 2.68328 2.86356 4.33590 2.07364 2.34521

Most Extreme Absolute .201 .310 .310 .270 .179 .245 .180 .265
Differences Positive .199 .197 .197 .148 .179 .173 .176 .203

Negative -.201 -.310 -.310 -.270 -.135 -.245 -.180 -.265

Kolmogorov-Smirnov Z .450 .693 .693 .604 .400 .548 .402 .593

Asymp. Sig. (2-tailed) .987 .722 .722 .858 .997 .925 .997 .874

a. Test distribution is Normal.

94
2. Uji Normalitas Kelompok Kompres Hangat
One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test

Dorsofleksi Dorsofleksi Plantarfleksi Plantarfleksi Inversi Inversi Eversi Eversi


Pretest Posttest Pretest Posttest Pretest Posttest Pretest Posttest

N 5 5 5 5 5 5 5 5

Normal Parametersa Mean 12.4000 17.2000 30.4000 40.0000 24.0000 30.8000 12.0000 16.0000

Std. Deviation 4.03733 2.28035 3.57771 6.67083 2.91548 3.11448 6.78233 6.28490

Most Extreme Absolute .254 .237 .255 .218 .166 .216 .216 .283
Differences Positive .186 .163 .233 .218 .166 .216 .216 .283

Negative -.254 -.237 -.255 -.216 -.166 -.184 -.170 -.170

Kolmogorov-Smirnov Z .568 .530 .571 .487 .371 .482 .483 .634

Asymp. Sig. (2-tailed) .904 .941 .900 .972 .999 .974 .974 .817

a. Test distribution is Normal.

95
3. Uji Normalitas Kelompok Kontrol
One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test

Dorsofleksi Dorsofleksi Plantarfleksi Plantarfleksi Inversi Inversi Eversi Eversi


Pretest Posttest Pretest Posttest Pretest Posttest Pretest Posttest

N 5 5 5 5 5 5 5 5

Normal Parametersa Mean 12.0000 15.2000 25.6000 35.4000 31.6000 34.8000 13.8000 16.4000

Std. Deviation 5.61249 5.76194 5.02991 5.94138 4.39318 4.14729 3.56371 3.36155

Most Extreme Absolute .161 .198 .253 .260 .181 .224 .389 .147
Differences Positive .123 .182 .190 .260 .158 .220 .389 .147

Negative -.161 -.198 -.253 -.182 -.181 -.224 -.216 -.139

Kolmogorov-Smirnov Z .360 .442 .565 .581 .404 .500 .869 .330

Asymp. Sig. (2-tailed) 1.000 .990 .907 .889 .997 .964 .436 1.000

a. Test distribution is Normal.

96
Lampiran 9. Uji Homogenitas
1. Kelompok Kompres
Es a. Dorsofleksi

Test of Homogeneity of Variances

Dorsofleksi_Es

Levene Statistic df1 df2 Sig.

1.479 1 8 .259

b. Plantarfleksi

Test of Homogeneity of Variances

Plantarfleksi_Es

Levene Statistic df1 df2 Sig.

3.498 1 8 .098

c. Inversi

Test of Homogeneity of Variances

Inversi_Es

Levene Statistic df1 df2 Sig.

.198 1 8 .668

d. Eversi

Test of Homogeneity of Variances

Eversi_Es

Levene Statistic df1 df2 Sig.

.403 1 8 .544

97
2. Kelompok Kompres
Hangat a. Dorsofleksi

Test of Homogeneity of Variances

Dorsofleksi_Hangat

Levene Statistic df1 df2 Sig.

1.694 1 8 .229

b. Plantarfleksi

Test of Homogeneity of Variances

Plantarfleksi_Hangat

Levene Statistic df1 df2 Sig.

4.730 1 8 .061

c. Inversi

Test of Homogeneity of Variances

Inversi_Hangat

Levene Statistic df1 df2 Sig.

.313 1 8 .591

d. Eversi

Test of Homogeneity of Variances

Eversi_Hangat

Levene Statistic df1 df2 Sig.

.064 1 8 .807

3. Kelompok Kontrol
a. Dorsofleksi

Test of Homogeneity of Variances

Dorsofleksi_Kontrol

Levene Statistic df1 df2 Sig.

.115 1 8 .743

98
b. Plantarfleksi

Test of Homogeneity of Variances

Plantarfleksi_Kontrol

Levene Statistic df1 df2 Sig.

.121 1 8 .736

c. Inversi

Test of Homogeneity of Variances

Inversi_Kontrol

Levene Statistic df1 df2 Sig.

.025 1 8 .878

d. Eversi

Test of Homogeneity of Variances

Eversi_Kontrol

Levene Statistic df1 df2 Sig.

.000 1 8 1.000

99
Lampiran 10. Paired Samples t Test
1. Uji t Test Kelompok Kompres Es
Paired Samples Statistics

Mean N Std. Deviation Std. Error Mean


Pair 1 Dorsofleksi Pretest 9.4000 5 1.67332 .74833
Dorsofleksi Posttest 17.0000 5 2.44949 1.09545
Pair 2 Plantarfleksi Pretest 25.6000 5 4.33590 1.93907
Plantarfleksi Posttest 36.2000 5 2.68328 1.20000
Pair 3 Inversi Pretest 24.2000 5 2.86356 1.28062
Inversi Posttest 30.6000 5 4.33590 1.93907
Pair 4 Eversi Pretest 9.4000 5 2.07364 .92736
Eversi Posttest 16.0000 5 2.34521 1.04881

Paired Samples Correlations

N Correlation Sig.
Pair 1 Dorsofleksi Pretest &
5 .915 .029
Dorsofleksi Posttest
Pair 2 Plantarfleksi Pretest &
5 .825 .085
Plantarfleksi Posttest
Pair 3 Inversi Pretest & Inversi
5 .572 .314
Posttest
Pair 4 Eversi Pretest & Eversi
5 .925 .024
Posttest

100
Paired Samples Test

Paired Differences
95% Confidence
Interval of the
Difference
Std. Std. Error Sig. (2-
Mean Deviation Mean Lower Upper t df tailed)
Pair Dorsofleksi Pretest -
-
1 - Dorsofleksi 7.6000 1.14018 .50990 -9.01571 -6.18429 14.905 4 .000
Posttest 0
Pair Plantarfleksi
-
2 Pretest -
1.0600 2.60768 1.16619 -13.83786 -7.36214 -9.089 4 .001
Plantarfleksi
0E1
Posttest
Pair Inversi Pretest - -
3 Inversi Posttest 6.4000 3.57771 1.60000 -10.84231 -1.95769 -4.000 4 .016
0
Pair Eversi Pretest - -
-
4 Eversi Posttest 6.6000 .89443 .40000 -7.71058 -5.48942 4 .000
16.500
0

2. Uji t Test Kelompok Kompres Hangat


Paired Samples Statistics

Mean N Std. Deviation Std. Error Mean


Pair 1 Dorsofleksi Pretest 12.4000 5 4.03733 1.80555
Dorsofleksi Posttest 17.2000 5 2.28035 1.01980
Pair 2 Plantarfleksi Pretest 30.4000 5 3.57771 1.60000
Plantarfleksi Posttest 40.0000 5 6.67083 2.98329
Pair 3 Inversi Pretest 24.0000 5 2.91548 1.30384
Inversi Posttest 30.8000 5 3.11448 1.39284
Pair 4 Eversi Pretest 12.0000 5 6.78233 3.03315
Eversi Posttest 16.0000 5 6.28490 2.81069

Paired Samples Correlations

N Correlation Sig.
Pair 1 Dorsofleksi Pretest &
5 .641 .244
Dorsofleksi Posttest
Pair 2 Plantarfleksi Pretest &
5 .272 .658
Plantarfleksi Posttest
Pair 3 Inversi Pretest & Inversi
5 .523 .366
Posttest
Pair 4 Eversi Pretest & Eversi
5 .974 .005
Posttest

101
Paired Samples Test

Paired Differences
95% Confidence
Interval of the
Difference
Std. Std. Error Sig. (2-
Mean Deviation Mean Lower Upper t df tailed)
Pair Dorsofleksi Pretest -
1 - Dorsofleksi 4.8000 3.11448 1.39284 -8.66714 -.93286 -3.446 4 .026
Posttest 0
Pair Plantarfleksi
-
2 Pretest -
9.6000 6.65582 2.97658 -17.86430 -1.33570 -3.225 4 .032
Plantarfleksi
0
Posttest
Pair Inversi Pretest - -
3 Inversi Posttest 6.8000 2.94958 1.31909 -10.46238 -3.13762 -5.155 4 .007
0
Pair Eversi Pretest - -
4 Eversi Posttest 4.0000 1.58114 .70711 -5.96324 -2.03676 -5.657 4 .005
0

3. Uji t Test Kelompok Kontrol


Paired Samples Statistics

Mean N Std. Deviation Std. Error Mean


Pair 1 Dorsofleksi Pretest 12.0000 5 5.61249 2.50998
Dorsofleksi Posttest 15.2000 5 5.76194 2.57682
Pair 2 Plantarfleksi Pretest 25.6000 5 5.02991 2.24944
Plantarfleksi Posttest 35.4000 5 5.94138 2.65707
Pair 3 Inversi Pretest 31.6000 5 4.39318 1.96469
Inversi Posttest 34.8000 5 4.14729 1.85472
Pair 4 Eversi Pretest 13.8000 5 3.56371 1.59374
Eversi Posttest 16.4000 5 3.36155 1.50333

102
Paired Samples Correlations

N Correlation Sig.
Pair 1 Dorsofleksi Pretest & Dorsofleksi
5 .974 .005
Posttest
Pair 2 Plantarfleksi Pretest & Plantarfleksi
5 .467 .428
Posttest
Pair 3 Inversi Pretest & Inversi Posttest 5 .790 .112
Pair 4 Eversi Pretest & Eversi Posttest 5 .864 .059

Paired Samples Test

Paired Differences
95% Confidence
Interval of the
Difference
Std. Std. Error Sig. (2-
Mean Deviation Mean Lower Upper t df tailed)
Pair Dorsofleksi
-
1 Pretest -
3.2000 1.30384 .58310 -4.81893 -1.58107 -5.488 4 .005
Dorsofleksi
0
Posttest
Pair Plantarfleksi
-
2 Pretest -
9.8000 5.71839 2.55734 -16.90032 -2.69968 -3.832 4 .019
Plantarfleksi
0
Posttest
Pair Inversi Pretest - -
3 Inversi Posttest 3.2000 2.77489 1.24097 -6.64548 .24548 -2.579 4 .061
0
Pair Eversi Pretest - -
4 Eversi Posttest 2.6000 1.81659 .81240 -4.85559 -.34441 -3.200 4 .033
0

103
Lampiran 11. Uji Wilcoxon
1. Skala Nyeri
a. Uji Wilcoxon Kelompok Kompres Es
Ranks

N Mean Rank Sum of Ranks


Nyeri Istirahat Posttest - Negative Ranks 0a .00 .00
Nyeri Istirahat Pretest
Positive Ranks 0b .00 .00
Ties 5c
Total 5
Nyeri Gerak Posttest - Nyeri Negative Ranks 2d 1.50 3.00

Gerak Pretest Positive Ranks 0e .00 .00


Ties 3f
Total 5
Nyeri Tekan Posttest - Nyeri Negative Ranks 5g 3.00 15.00

Tekan Pretest Positive Ranks 0h .00 .00


Ties 0i
Total 5
a. Nyeri Istirahat Posttest < Nyeri Istirahat Pretest
b. Nyeri Istirahat Posttest > Nyeri Istirahat Pretest
c. Nyeri Istirahat Posttest = Nyeri Istirahat Pretest
d. Nyeri Gerak Posttest < Nyeri Gerak Pretest
e. Nyeri Gerak Posttest > Nyeri Gerak Pretest
f. Nyeri Gerak Posttest = Nyeri Gerak Pretest
g. Nyeri Tekan Posttest < Nyeri Tekan Pretest
h. Nyeri Tekan Posttest > Nyeri Tekan Pretest
i. Nyeri Tekan Posttest = Nyeri Tekan Pretest

Test Statisticsc

Nyeri Istirahat Nyeri Gerak Nyeri Tekan


Posttest - Nyeri Posttest - Nyeri Posttest - Nyeri
Istirahat Pretest Gerak Pretest Tekan Pretest

Z .000a -1.414b -2.236b


Asymp. Sig. (2-tailed) 1.000 .157 .025

a. The sum of negative ranks equals the sum of positive ranks.


b. Based on positive ranks.
c. Wilcoxon Signed Ranks Test

104
b. Uji Wilcoxon Kelompok Kompres Hangat
Ranks

N Mean Rank Sum of Ranks


Nyeri Istirahat Posttest - Negative Ranks 1a 1.00 1.00
Nyeri Istirahat Pretest
Positive Ranks 0b .00 .00
Ties 4c
Total 5
Nyeri Gerak Posttest - Nyeri Negative Ranks 3d 2.00 6.00

Gerak Pretest Positive Ranks 0e .00 .00


Ties 2f
Total 5
Nyeri Tekan Posttest - Nyeri Negative Ranks 5g 3.00 15.00

Tekan Pretest Positive Ranks 0h .00 .00


Ties 0i
Total 5
a. Nyeri Istirahat Posttest < Nyeri Istirahat Pretest
b. Nyeri Istirahat Posttest > Nyeri Istirahat Pretest
c. Nyeri Istirahat Posttest = Nyeri Istirahat Pretest
d. Nyeri Gerak Posttest < Nyeri Gerak Pretest
e. Nyeri Gerak Posttest > Nyeri Gerak Pretest
f. Nyeri Gerak Posttest = Nyeri Gerak Pretest
g. Nyeri Tekan Posttest < Nyeri Tekan Pretest
h. Nyeri Tekan Posttest > Nyeri Tekan Pretest
i. Nyeri Tekan Posttest = Nyeri Tekan Pretest

Test Statisticsb
Nyeri Istirahat Nyeri Gerak Nyeri Tekan
Posttest - Nyeri Posttest - Nyeri Posttest - Nyeri
Istirahat Pretest Gerak Pretest Tekan Pretest

Z -1.000a -1.732a -2.236a

Asymp. Sig. (2-tailed) .317 .083 .025

a. Based on positive ranks.

b. Wilcoxon Signed Ranks Test

105
c. Uji Wilcoxon Kelompok Kontrol
Ranks

N Mean Rank Sum of Ranks


Nyeri Istirahat Posttest - Negative Ranks 0a .00 .00
Nyeri Istirahat Pretest
Positive Ranks 0b .00 .00
Ties 5c
Total 5
Nyeri Gerak Posttest - Nyeri Negative Ranks 2d 1.50 3.00

Gerak Pretest Positive Ranks 0e .00 .00


Ties 3f
Total 5
Nyeri Tekan Posttest - Nyeri Negative Ranks 4g 2.50 10.00

Tekan Pretest Positive Ranks 0h .00 .00


Ties 1i
Total 5
a. Nyeri Istirahat Posttest < Nyeri Istirahat Pretest
b. Nyeri Istirahat Posttest > Nyeri Istirahat Pretest
c. Nyeri Istirahat Posttest = Nyeri Istirahat Pretest
d. Nyeri Gerak Posttest < Nyeri Gerak Pretest
e. Nyeri Gerak Posttest > Nyeri Gerak Pretest
f. Nyeri Gerak Posttest = Nyeri Gerak Pretest
g. Nyeri Tekan Posttest < Nyeri Tekan Pretest
h. Nyeri Tekan Posttest > Nyeri Tekan Pretest
i. Nyeri Tekan Posttest = Nyeri Tekan Pretest

Test Statisticsc
Nyeri Istirahat Nyeri Gerak Nyeri Tekan
Posttest - Nyeri Posttest - Nyeri Posttest - Nyeri
Istirahat Pretest Gerak Pretest Tekan Pretest

Z .000a -1.414b -2.000b

Asymp. Sig. (2-tailed) 1.000 .157 .046

a. The sum of negative ranks equals the sum of positive ranks.

b. Based on positive ranks.

c. Wilcoxon Signed Ranks Test

106
2. Skala Fungsi
a. Uji Wilcoxon Kelompok Kompres Es
Ranks

N Mean Rank Sum of Ranks


Skala Fungsi Jalan Posttest - Negative Ranks 0a .00 .00
Skala Fungsi Jalan Pretest
Positive Ranks 2b 1.50 3.00
Ties 3c
Total 5
Skala Fungsi Lari Posttest - Negative Ranks 0d .00 .00

Skala Fungsi Lari Pretest Positive Ranks 2e 1.50 3.00


Ties 3f
Total 5
Skala Fungsi Naik Tangga Negative Ranks 0g .00 .00
Posttest - Skala Fungsi Naik Positive Ranks 1h 1.00 1.00
Tangga Pretest
Ties 4i
Total 5
Skala Fungsi Jinjit Posttest - Negative Ranks 0j .00 .00

Skala Fungsi Jinjit Pretest Positive Ranks 5k 3.00 15.00


Ties 0l
Total 5
Skala Fungsi Loncat Posttest Negative Ranks 0m .00 .00
- Skala Fungsi Loncat Positive Ranks 2n 1.50 3.00
Pretest
Ties 3o
Total 5
Skala Fungsi Lompat Negative Ranks 0p .00 .00
Posttest - Skala Fungsi Positive Ranks 4q 2.50 10.00
Lompat Pretest
Ties 1r
Total 5
Skala Fungsi Berbelok Negative Ranks 0s .00 .00
Posttest - Skala Fungsi Positive Ranks 1t 1.00 1.00
Berbelok Pretest
Ties 4u
Total 5
a. Skala Fungsi Jalan Posttest < Skala Fungsi Jalan Pretest
b. Skala Fungsi Jalan Posttest > Skala Fungsi Jalan Pretest
c. Skala Fungsi Jalan Posttest = Skala Fungsi Jalan Pretest
d. Skala Fungsi Lari Posttest < Skala Fungsi Lari Pretest e.
Skala Fungsi Lari Posttest > Skala Fungsi Lari Pretest f.
Skala Fungsi Lari Posttest = Skala Fungsi Lari Pretest

107
g. Skala Fungsi Naik Tangga Posttest < Skala Fungsi Naik Tangga
Pretest h. Skala Fungsi Naik Tangga Posttest > Skala Fungsi Naik
Tangga Pretest i. Skala Fungsi Naik Tangga Posttest = Skala Fungsi Naik
Tangga Pretest j. Skala Fungsi Jinjit Posttest < Skala Fungsi Jinjit Pretest
k. Skala Fungsi Jinjit Posttest > Skala Fungsi Jinjit Pretest
l. Skala Fungsi Jinjit Posttest = Skala Fungsi Jinjit Pretest
m. Skala Fungsi Loncat Posttest < Skala Fungsi Loncat Pretest
n. Skala Fungsi Loncat Posttest > Skala Fungsi Loncat Pretest
o. Skala Fungsi Loncat Posttest = Skala Fungsi Loncat Pretest
p. Skala Fungsi Lompat Posttest < Skala Fungsi Lompat Pretest
q. Skala Fungsi Lompat Posttest > Skala Fungsi Lompat Pretest
r. Skala Fungsi Lompat Posttest = Skala Fungsi Lompat Pretest
s. Skala Fungsi Berbelok Posttest < Skala Fungsi Berbelok Pretest
t. Skala Fungsi Berbelok Posttest > Skala Fungsi Berbelok Pretest
u. Skala Fungsi Berbelok Posttest = Skala Fungsi Berbelok Pretest

Test Statisticsb

Skala Skala Skala Skala


Fungsi Fungsi Naik Fungsi Fungsi
Jalan Skala Tangga Skala Loncat Lompat Skala Fungsi
Posttest - Fungsi Lari Posttest - Fungsi Jinjit Posttest - Posttest - Berbelok
Skala Posttest - Skala Posttest - Skala Skala Posttest -
Fungsi Skala Fungsi Naik Skala Fungsi Fungsi Skala Fungsi
Jalan Fungsi Lari Tangga Fungsi Jinjit Loncat Lompat Berbelok
Pretest Pretest Pretest Pretest Pretest Pretest Pretest

Z -1.414a -1.342a -1.000a -2.121a -1.414a -2.000a -1.000a

Asymp. Sig. (2-


.157 .180 .317 .034 .157 .046 .317
tailed)

a. The sum of negative ranks equals the sum of positive ranks.

b. Based on negative ranks.

n Signed Ranks Test

108
b. Uji Wilcoxon Kelompok Kompres Hangat
Ranks

N Mean Rank Sum of Ranks


Skala Fungsi Jalan Posttest - Negative Ranks 0a .00 .00
Skala Fungsi Jalan Pretest
Positive Ranks 0b .00 .00
Ties 5c
Total 5
Skala Fungsi Lari Posttest - Negative Ranks 0d .00 .00

Skala Fungsi Lari Pretest Positive Ranks 2e 1.50 3.00


Ties 3f
Total 5
Skala Fungsi Naik Tangga Negative Ranks 0g .00 .00
Posttest - Skala Fungsi Naik Positive Ranks 1h 1.00 1.00
Tangga Pretest
Ties 4i
Total 5
Skala Fungsi Jinjit Posttest - Negative Ranks 0j .00 .00

Skala Fungsi Jinjit Pretest Positive Ranks 3k 2.00 6.00


Ties 2l
Total 5
Skala Fungsi Loncat Posttest Negative Ranks 0m .00 .00
- Skala Fungsi Loncat Positive Ranks 3n 2.00 6.00
Pretest
Ties 2o
Total 5
Skala Fungsi Lompat Negative Ranks 0p .00 .00
Posttest - Skala Fungsi Positive Ranks 3q 2.00 6.00
Lompat Pretest
Ties 2r
Total 5
Skala Fungsi Berbelok Negative Ranks 0s .00 .00
Posttest - Skala Fungsi Positive Ranks 0t .00 .00
Berbelok Pretest
Ties 5u
Total 5

a. Skala Fungsi Jalan Posttest < Skala Fungsi Jalan Pretest

b. Skala Fungsi Jalan Posttest > Skala Fungsi Jalan Pretest

c. Skala Fungsi Jalan Posttest = Skala Fungsi Jalan Pretest

d. Skala Fungsi Lari Posttest < Skala Fungsi Lari Pretest e.

Skala Fungsi Lari Posttest > Skala Fungsi Lari Pretest f.

Skala Fungsi Lari Posttest = Skala Fungsi Lari Pretest

109
g. Skala Fungsi Naik Tangga Posttest < Skala Fungsi Naik Tangga

Pretest h. Skala Fungsi Naik Tangga Posttest > Skala Fungsi Naik

Tangga Pretest i. Skala Fungsi Naik Tangga Posttest = Skala Fungsi Naik

Tangga Pretest j. Skala Fungsi Jinjit Posttest < Skala Fungsi Jinjit Pretest

k. Skala Fungsi Jinjit Posttest > Skala Fungsi Jinjit Pretest

l. Skala Fungsi Jinjit Posttest = Skala Fungsi Jinjit Pretest

m. Skala Fungsi Loncat Posttest < Skala Fungsi Loncat Pretest

n. Skala Fungsi Loncat Posttest > Skala Fungsi Loncat Pretest

o. Skala Fungsi Loncat Posttest = Skala Fungsi Loncat Pretest

p. Skala Fungsi Lompat Posttest < Skala Fungsi Lompat Pretest

q. Skala Fungsi Lompat Posttest > Skala Fungsi Lompat Pretest

r. Skala Fungsi Lompat Posttest = Skala Fungsi Lompat Pretest

s. Skala Fungsi Berbelok Posttest < Skala Fungsi Berbelok Pretest

t. Skala Fungsi Berbelok Posttest > Skala Fungsi Berbelok Pretest

u. Skala Fungsi Berbelok Posttest = Skala Fungsi Berbelok Pretest

Test Statisticsc
Skala Skala Skala Skala
Fungsi Fungsi Naik Fungsi Fungsi
Jalan Skala Tangga Skala Loncat Lompat Skala Fungsi
Posttest - Fungsi Lari Posttest - Fungsi Jinjit Posttest - Posttest - Berbelok
Skala Posttest - Skala Posttest - Skala Skala Posttest -
Fungsi Skala Fungsi Naik Skala Fungsi Fungsi Skala Fungsi
Jalan Fungsi Lari Tangga Fungsi Jinjit Loncat Lompat Berbelok
Pretest Pretest Pretest Pretest Pretest Pretest Pretest

Z .000a -1.414b -1.000b -1.732b -1.732b -1.732b .000a


Asymp. Sig. (2-
1.000 .157 .317 .083 .083 .083 1.000
tailed)

a. The sum of negative ranks equals the sum of positive ranks.

b. Based on negative ranks.

n Signed Ranks Test

110
c. Uji Wilcoxon Kelompok Kontrol
Ranks

N Mean Rank Sum of Ranks


Skala Fungsi Jalan Posttest - Negative Ranks 0a .00 .00
Skala Fungsi Jalan Pretest
Positive Ranks 1b 1.00 1.00
Ties 4c
Total 5
Skala Fungsi Lari Posttest - Negative Ranks 0d .00 .00

Skala Fungsi Lari Pretest Positive Ranks 4e 2.50 10.00


Ties 1f
Total 5
Skala Fungsi Naik Tangga Negative Ranks 0g .00 .00
Posttest - Skala Fungsi Naik Positive Ranks 1h 1.00 1.00
Tangga Pretest
Ties 4i
Total 5
Skala Fungsi Jinjit Posttest - Negative Ranks 0j .00 .00

Skala Fungsi Jinjit Pretest Positive Ranks 1k 1.00 1.00


Ties 4l
Total 5
Skala Fungsi Loncat Posttest Negative Ranks 0m .00 .00
- Skala Fungsi Loncat Positive Ranks 3n 2.00 6.00
Pretest
Ties 2o
Total 5
Skala Fungsi Lompat Negative Ranks 0p .00 .00
Posttest - Skala Fungsi Positive Ranks 5q 3.00 15.00
Lompat Pretest
Ties 0r
Total 5
Skala Fungsi Berbelok Negative Ranks 0s .00 .00
Posttest - Skala Fungsi Positive Ranks 0t .00 .00
Berbelok Pretest
Ties 5u
Total 5
a. Skala Fungsi Jalan Posttest < Skala Fungsi Jalan Pretest
b. Skala Fungsi Jalan Posttest > Skala Fungsi Jalan Pretest c.
Skala Fungsi Jalan Posttest = Skala Fungsi Jalan Pretest d.
Skala Fungsi Lari Posttest < Skala Fungsi Lari Pretest e. Skala
Fungsi Lari Posttest > Skala Fungsi Lari Pretest f. Skala
Fungsi Lari Posttest = Skala Fungsi Lari Pretest

111
g. Skala Fungsi Naik Tangga Posttest < Skala Fungsi Naik Tangga
Pretest h. Skala Fungsi Naik Tangga Posttest > Skala Fungsi Naik
Tangga Pretest i. Skala Fungsi Naik Tangga Posttest = Skala Fungsi Naik
Tangga Pretest j. Skala Fungsi Jinjit Posttest < Skala Fungsi Jinjit Pretest
k. Skala Fungsi Jinjit Posttest > Skala Fungsi Jinjit Pretest
l. Skala Fungsi Jinjit Posttest = Skala Fungsi Jinjit Pretest
m. Skala Fungsi Loncat Posttest < Skala Fungsi Loncat Pretest
n. Skala Fungsi Loncat Posttest > Skala Fungsi Loncat Pretest
o. Skala Fungsi Loncat Posttest = Skala Fungsi Loncat Pretest
p. Skala Fungsi Lompat Posttest < Skala Fungsi Lompat Pretest
q. Skala Fungsi Lompat Posttest > Skala Fungsi Lompat Pretest
r. Skala Fungsi Lompat Posttest = Skala Fungsi Lompat Pretest
s. Skala Fungsi Berbelok Posttest < Skala Fungsi Berbelok Pretest
t. Skala Fungsi Berbelok Posttest > Skala Fungsi Berbelok Pretest
u. Skala Fungsi Berbelok Posttest = Skala Fungsi Berbelok Pretest

Test Statisticsc
Skala Skala Skala Skala
Fungsi Fungsi Naik Fungsi Fungsi
Jalan Skala Tangga Skala Loncat Lompat Skala Fungsi
Posttest - Fungsi Lari Posttest - Fungsi Jinjit Posttest - Posttest - Berbelok
Skala Posttest - Skala Posttest - Skala Skala Posttest -
Fungsi Skala Fungsi Naik Skala Fungsi Fungsi Skala Fungsi
Jalan Fungsi Lari Tangga Fungsi Jinjit Loncat Lompat Berbelok
Pretest Pretest Pretest Pretest Pretest Pretest Pretest

Z -1.000a -2.000a -1.000a -1.000a -1.633a -2.236a .000b


Asymp. Sig. (2-
.317 .046 .317 .317 .102 .025 1.000
tailed)

a. Based on negative ranks.

b. The sum of negative ranks equals the sum of positive


ranks.

c. Wilcoxon Signed Ranks


Test

112
Lampiran 12. Dokumentasi

Pengisian Data Catatan Medis Pengukuran ROM dengan Goniometer

Manipulasi Topurak

Proses Pengompresan

113
Melakukan gerakan pada skala fungsi

114
PEMBERIAN TRANSCUTANEOUS ELECTRICAL NERVE STIMULATION (TENS)
MENURUNKAN INTENSITAS NYERI PADA PASIEN BEDAH UROLOGI DI
RUANG RAWAT INAP MARWAH RSU HAJI SURABAYA

Balmar Morangelita Nuach*, Ika Yuni Widyawati**, Laily Hidayati** *Mahasiswa Program
Studi Pendidikan Ners, Fakultas Keperawatan Universitas Airlangga **Staf Pengajar Fakultas
Keperawatan Universitas Airlangga Email: angelbalmar@yahoo.com

ABSTRAK

Bedah urologi adalah penanganan prosedur bedah pada penyakit traktus urogenitalis pria dan
wanita, sistem urinarius terdiri dari ginjal, ureter, vesika urinaria dan urethra. Masalah utama pada
paska bedah urologi adalah nyeri. Transcutaneous electrical nerve stimulation (TENS) adalah salah
satu intervensi yang bisa dilakukan oleh perawat dimana terapi menggunakan voltase listrik yang
rendah untuk mengurangi nyeri. TENS mengubah mekanisme nyeri dan melepaskan hormon
endorphin untuk mengurangi nyeri. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian
TENS terhadap perubahan intensitas nyeri pada pasien paska bedah urologi di ruang Rawat Inap
Marwah RS Haji Surabaya. Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah quasi eksperimen.
Populasi adalah 37 orang pasien yang mewakili pasien bedah urologi di RSU Haji Surabaya.
Responden dipilih melalui purposive sampling. Ada 12 sampel (6 responden sebagai kelompok
kontrol) dan 6 responden sebagai kelompok perlakuan). Variabel independen adalah TENS.
Variabel dependen adalah intensitas nyeri pasien paska bedah urologi. Nyeri diukur dengan Visual
Analog Scale (VAS). Data dianalisis menggunakan Wilcoxon Signed Ranked Test dan Mann
Whitney. Hasil penelitian menunjukkan ada pengaruh pemberian Transcutaneous Electrical Nerve
Stimulation (TENS) terhadap perubahan intensitas nyeri pada pasien paska bedah urologi di ruang
Rawat Inap Marwah RSU Haji Surabaya. Pada kelompok kontrol hasil uji statistik Wilcoxon Signed
Ranked Test p=0,084 (p<0,05), kemudian pada kelompok perlakuan p=0,020 (p<0,05). Mann
Whitney = 0,003 (p<0,05). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwaTENS dianjurkan untuk
intervensi keperawatan independen untuk mengurangi nyeri paska bedah urologi. Berdasarkan hasil
penelitian, disarankan untuk penelitian lebih lanjut diperlukan dengan mempertimbangkan
beberapa faktor yang mempengaruhi nyeri. Variabel yang mempengaruhi nyeri terdiri dari etnis
dan nilai budaya, tahap perkembangan, lingkungan dan individu pendukung, pengalaman nyeri
pembedahan sebelumnya, makna nyeri, kecemasan dan stress, mengontrol komplikasi paska
bedah yang terjadi, riwayat pengobatan alternatif sebelumnya, riwayat penggunaan obat-obatan,
riwayat operasi dan riwayat penyakit yang diderita oleh pasien.

Kata kunci: paska bedah urologi, Transcutaneous Electrical Nerve Stimulation (TENS), nyeri

ABSTRACT

Introduction: Urology surgical is a current surgical procedure for tractus urogenitalis disease.
Issue in post urology surgical is a pain. Transcutaneous electrical nerve stimulation (TENS) is one
of the nursing intervention that uses low-voltage electrical current for pain relief. TENS can
improve pain mechanisms and release of endorphins to reduce pain. The aims of this study was to
determine the effect of TENS on pain intensity of postoperative urology surgical patient in Haji
Surabaya Public Hospital. Methods: A quasy experiment with non randomized control group pre
post design was used in this study. Recruting sample by purposive sampling. There were 12
samples (6 respondents as the control group and 6 respondents as the
treatment group) which recruit using purposive sampling. Independent variable was TENS.
Dependent variable was pain intensity. The pain was measured by Visual Analog Scale (VAS).
Data were analyzed using Wilcoxon Signed Rank Test and Mann Whitney. Result: Results of this
study showed that there was a significant effect of TENS on pain intensity of postoperative urology
surgical patient in Haji Surabaya Public Hospital. In the treatment group Wilcoxon Signed Rank
Test p=0.084 (p<0.05), while in the control group p=0.020 (p<0.05). Mann Whitney=0.003
(p<0.05). Discussion: It can be concluded that there was a significant effect of TENS on pain
intensity of postoperative urology surgical patient in Haji Surabaya Public Hospital. TENS is
recommended for the independent nursing intervention to reduce postoperative urology surgical
pain. Based on this result can be done to further research should analyze several factors that
affects pain patients after surgical urology. Variable confounding are ethnic and cultural values,
stage of development, environment and individual support, the experience of surgery pain, anxiety
and stress, controls complication post surgical happened, alternative medication history, drugs
history, surgical history and disease history.

Keywords: postoperative urology surgical, Transcutaneous Electrical Nerve Stimulation (TENS),


pain

PENDAHULUAN Nyeri merupakan suatu kondisi yang


lebih dari sekedar sensasi tunggal yang
Pembedahan urologi merupakan disebabkan oleh stimulus tertentu (Potter &
spesialisasi bedah dengan tindakan invasif Perry 2005). Nyeri akut yang dirasakan oleh
pada saluran kemih dan sistem reproduksi klien paska bedah merupakan penyebab
pria maupun wanita (Gruendemann & stress, frustasi, dan gelisah yang
Fernsebner 2005). Paska pembedahan pada menyebabkan klien mengalami gangguan
saluran kemih kelamin dapat menimbulkan tidur, cemas, tidak nafsu makan, dan ekspresi
berbagai keluhan dan gejala, keluhan dan tegang (Potter & Perry 2005). Nyeri juga
gejala yang sering adalah nyeri dapat meningkatkan metabolisme dan curah
(Sjamsuhidajat 2013). Beberapa pasien yang jantung, kerusakan respons insulin,
diberikan analgesik setelah 2 jam mengeluh peningkatan produksi kortisol dan retensi
nyeri kembali, kemudian perawat ruangan cairan (Smeltzer & Bare 2008). Diperlukan
memberikan relaksasi nafas dalam dan tehnik penanganan yang tepat pada pasien nyeri
distraksi tetapi hasilnya ada beberapa pasien paska bedah. Tujuan dari manajemen nyeri
yang tetap merasa nyeri. paska bedah adalah untuk mengurangi atau
Sekitar 80% pasien yang menjalani menghilangkan rasa sakit dan
pembedahan mengalami nyeri akut paska ketidaknyamanan pasien dengan dua
bedah (Apfelbaum et al. 2003). Hal ini pendekatan farmakologi dan non farmakologi
didukung oleh penelitian Megawati (2010), (Smeltzer & Bare 2008). Menurut penelitian
bahwa pasien pasca laparatomi mengeluhkan Honorio (2008) pendekatan farmakologi
nyeri sedang sebanyak 57,70%, yang merupakan tindakan kolaborasi antara
mengeluhkan nyeri berat 15,38%, dan nyeri perawat dengan dokter, yang menekankan
ringan sebanyak 26,92%. Hasil penelitian pada pemberian obat yang mampu
Nurhafizah (2012) menunjukkan sebagian menghilangkan sensasi nyeri yaitu obat non
besar pasien pasca bedah abdomen opioid analgesik, metamizol, propiphenazon,
merasakan intensitas nyeri sedang (57,4%), parasetamol, kodein dan tramadol sedangkan
diikuti dengan intensitas nyeri ringan pendekatan non farmakologi merupakan
(22,2%), dan sisanya pasien dengan intensitas tindakan mandiri perawat untuk
nyeri berat (20,4%). Studi pendahuluan pada menghilangkan nyeri dengan menggunakan
tahun 2014 di RSU Haji terdapat 44 klien teknik manajemen nyeri, misalnya dengan
nyeri paska bedah urologi pada bulan Januari, teknik biofeedback, TENS, relaksasi, terapi
31 klien pada bulan Februari dan 10 klien musik, tehnik distraksi, terapi bermain,
pada awal bulan Maret, sedangkan klien acupressure, kompres panas/dingin, massage
nyeri paska bedah bedah urologi pada awal dan hipnosis (Mc Closkey & Bulecheck
bulan Maret terdapat 10 orang. 2000).
Nyeri merupakan suatu kondisi yang sensasi nyeri yang dialami oleh pasien simple
lebih dari sekedar sensasi tunggal yang fraktur. Keuntungan dari menggunakan
disebabkan oleh stimulus tertentu, nyeri akut TENS adalah bahwa tidak seperti
yang dirasakan oleh klien paska bedah menghilangkan rasa sakit oleh obat, karena
merupakan penyebab stres, frustasi, dan tidak menimbulkan ketagihan, tidak
gelisah yang menyebabkan klien mengalami menyebabkan kantuk atau mual, dan dapat
gangguan tidur, cemas, tidak nafsu makan, dilakukan kapan saja sesuai kebutuhan
dan ekspresi tegang (Potter & Perry 2005). (Josimari et al. 2008).
Nyeri juga dapat meningkatkan metabolisme Proses stimulus melalui kulit
dan curah jantung, kerusakan respons insulin, mendukung untuk bekerja menurunkan nyeri
peningkatan produksi kortisol dan retensi dengan cara penutupan gerbang transmisi
cairan (Smeltzer & Bare 2008). nyeri. Diharapkan dengan TENS diperoleh
Penanganan yang tepat pada pasien hasil manajemen nyeri yang lebih efektif
nyeri paska bedah diperlukan. Tujuan dari pada pasien paska bedah urologi di ruang
manajemen nyeri paska bedah adalah untuk Rawat Inap Marwah RSU Haji Surabaya.
mengurangi atau menghilangkan rasa sakit
dan ketidaknyamanan pasien dengan dua
pendekatan farmakologi dan non farmakologi BAHAN DAN METODE
(Smeltzer & Bare 2008). Menurut penelitian
Honorio (2008) pendekatan farmakologi Desain penelitian ini menggunakan
merupakan tindakan kolaborasi antara rancangan “Quasi Experimental” dengan
perawat dengan dokter, yang menekankan populasi target adalah 12 responden di RSU
pada pemberian obat yang mampu Haji Surabaya, 6 responden kelompok
menghilangkan sensasi nyeri yaitu obat non kontrol dan 6 responden kelompok
opioid analgesi, metamizol, propiphenazon, perlakuan. Besar sampel sejumlah 12 orang
parasetamol, kodein dan tramadol sedangkan yang sesuai dengan kriteria inklusi dan
pendekatan non farmakologi merupakan eksklusi. Pengambilan sampel menggunakan
tindakan mandiri perawat untuk Nonprobability Sampling tipe Purposive
menghilangkan nyeri dengan menggunakan Sampling. Peneliti menggunakan sampel
teknik manajemen nyeri, misalnya dengan sesuai dengan kriteria tertentu yang
teknik biofeedback, TENS, relaksasi, terapi dikehendaki oleh peneliti. Penelitian
musik, tehnik distraksi, terapi bermain, dilaksanakan pada tanggal 12 Juni 2014
acupressure, kompres panas/dingin, massage sampai 12 Juli 2014.
dan hipnosis (Mc Closkey & Bulecheck Variabel independen penelitian
2000). adalah terapi Transcutaneous Electrical
TENS bekerja dengan menstimulasi Nerve Stimulation (TENS). Variabel
serabut saraf tipe α β yang dapat mengurangi dependen penelitian adalah intensitas nyeri
nyeri (Corwin 2009). Mekanisme kerjanya pada pasien paska bedah urologi. Instrumen
diperkirakan melalui ‘penutupan gerbang’ yang digunakan adalah Visual Analog Scale
transmisi nyeri dari serabut saraf kecil (VAS). Data yang diperoleh diuji normalitas
dengan menstimulasi serabut saraf besar, terlebih dahulu dengan uji Kolmogorov
kemudian serabut saraf besar akan menutup Smirnov kemudian dianalisis menggunakan
jalur pesan nyeri ke otak dan meningkatkan uji statistik Wilcoxon Signed Rank Test dan
aliran darah ke area yang nyeri dan TENS Mann Whitney derajat kemaknaan p≤0,05.
juga menstimulasi produksi anti nyeri
alamiah tubuh yaitu endorfin (James et al.
2008). TENS dapat digunakan pada berbagai HASIL
keadaan salah satunya pasien paska bedah Karakteristik demografi dan data
dan kondisi akut (Tucker et al 2008). Hal ini khusus analisis faktor pemberian asi eksklusif
didukung oleh penelitian Rosyid (2010), pada bayi berdasarkan teori perilaku WHO di
bahwa TENS lebih efektif dalam wilayah Puskesmas Mulyorejo Surabaya.
menurunkan intensitas nyeri dibandingkan
dengan terapi es pada pasien simple fraktur
karena TENS memiliki mekanisme frekuensi
dan amplitude yang dapat diatur berdasarkan
Tabel 1 Distribusi Berdasarkan Jenis Tabel 2 Hubungan Analisis Statistik
Kelamin, Usia, Jenis Operasi dan Intensitas Tingkat Nyeri pada
Jenis Anestesi Responden di Ruang Kelompok Perlakuan Sebelum
Marwah I RSU Haji Surabaya dan Sesudah Terapi TENS dan
tanggal 12 Juni 2014 s/d 12 Juli Kelompok Kontrol di Ruang
2014 Marwah I RSU Haji Surabaya
pada tanggal 12 Juni 2014 s/d 12
Karakteristik Responden
Lansia f %
Juli 2014
Jenis kelamin Kelompok Kelompok
1. Laki-laki 8 67 Tingkat
No Nyeri Perlakuan Kontrol
2. Perempuan 4 33 Pre Post Pre Post
Total 12 100 f % f % f % f %
Umur 1 Tidak 0 3 50 0 0 0 0
Nyeri 0
1. 18 – 30 tahun 0 0 2 Nyeri 0 0 3 50 0 0 6 100
2. 30 – 50 tahun 8 67 Ringan
3. >50 tahun 4 33 3 Nyeri 6 100 0 0 6 100 0 0
Total 12 100 Sedang
4 Nyeri 0 0 0 0 0 0 0 0
Jenis Operasi Berat
& Bedah invasif Jumlah 6 100 6 10 6 100 6 100
minimal 10 83 0
2. Bedah terbuka 2 17 Wilcoxon Signed
p = 0,020 p = 0,026
Rank Test
Total 12 100 Mann Whitney U
Jenis Anestesi Test
p = 0,003
1. General Keterangan:
Anesthesia (GA) 2 17 p : signifikansi
2. SubArachnoid & : frekuensi
Block (SAB) 10 83 %: prosentase
Total 12 100
Keterangan: Tabel 2 menunjukkan bahwa terdapat
121. : frekuensi responden penurunan tingkat nyeri diketahui sebelum
%: prosentase dan sesudah diberikan terapi TENS. Hasil pre
test dengan menggunakan skala nyeri VAS
Berdasarkan tabel 1 dapat diketahui
terhadap 6 responden paska bedah urologi
bahwa responden laki-laki yang menjalani
didapatkan hasil yaitu 100% mengalami skala
paska bedah urologi yaitu sebanyak 8 orang
nyeri sedang. Hasil post test yang didapatkan
responden 67%) sedangkan responden
yaitu 50% (3 orang) mengalami penurunan
perempuan sebanyak 4 orang responden
hingga skala nyeri ringan, bahkan 50% (3
(33%). Berdasarkan tabel 1 dapat dilihat
orang) mengalami penurunan sampai skala
bahwa jumlah responden pada umur 31-50
tidak nyeri. Hasil perhitungan dengan uji
tahun yaitu sebanyak 6 orang responden
Wilcoxon didapat signifikansi (p=0,05) yaitu
(50%). 6 responden (50%) berumur lebih dari
0,020 maka H1 diterima, berarti terdapat
50 tahun serta tidak ada responden yang
perbedaan yang bermakna atau signifikan
berumur 10-30 tahun (0%). Responden yang
pada kelompok responden yang mendapatkan
mendapat jenis anestesi GA sebanyak 2
terapi TENS. Hasil pre test terhadap
orang (17%) sedangkan yang mendapat jenis
responden kelompok kontrol pada penelitian
anestesi SAB sebanyak 10 orang (83%).
ini yaitu 100% (6 orang) memiliki tingkat
Responden yang menjalani operasi bedah
nyeri sedang. Post test dilaksanakan pada
invasif minimal sebanyak 10 orang (83%)
hari ketiga paska bedah untuk menilai skala
dan menjalani bedah terbuka sebanyak 2
nyeri responden kelompok kontrol. Hasil post
orang (17%).
test menunjukkan 100% (6 orang) pada skala
nyeri ringan. Hasil perhitungan dengan uji
Wilcoxon didapat signifikansi (p=0,05) yaitu
0,026 maka H1 diterima, berarti terdapat
perbedaan yang bermakna atau signifikan
pada responden kelompok kontrol akibat obat
analgesik yang diberikan.
Pada tabel 2 terlihat pada kolom uji diyakini dapat mempengaruhi hipotalamus
Mann Whitney untuk uji dua sisi adalah 0,003 untuk menstimulasi pituitary gland
atau probabilitas kurang dari 0,05 melepaskan β endorphin, yaitu senyawa
(0,003<0,05), maka H1 diterima bahwa ada kimia endogenus yang dapat memberikan
perbedaaan yang signifikan intensitas nyeri efek menenangkan bagi tubuh (Knight &
responden setelah intervensi TENS antara Droper 2008). Hal ini didukung oleh
kelompok perlakuan dengan kelompok penelitian Bjordal (2003) menyatakan bahwa
kontrol di RSU Haji Surabaya. Hal ini TENS dapat menghasilkan hormon
ditunjukkan oleh perbandingan antara endorphin pada dosis yang tepat sehingga
kelompok kontrol dan kelompok perlakuan, menimbulkan efek relaksasi.
pada kelompok perlakuan lebih banyak Banyak faktor yang mempengaruhi
penurunan skala nyeri (50% nyeri ringan dan intensitas nyeri, salah satunya adalah usia.
50% tidak nyeri), sedangkan pada kelompok Usia responden yang mendapat terapi TENS
kontrol sedikit mengalami penurunan skala adalah dewasa lanjut (30 – 50 tahun) dan
nyeri yaitu 100% nyeri ringan. lanjut usia. Pada responden 1A dan 3A
dengan karakteristik usia lanjut dan jenis
operasi bedah invasif minimal hasilnya
PEMBAHASAN terdapat penurunan nyeri yang signifikan dari
intensitas nyeri sedang menurun menjadi
Hasil penelitian ini menunjukkan tidak nyeri sedangkan responden 2A dengan
bahwa terdapat pengaruh pemberian TENS karakteristik usia lanjut dan jenis operasi
terhadap perubahan intensitas nyeri pasien bedah terbuka hasilnya menurun dari
paska bedah urologi. Data penelitian intensitas nyeri sedang menjadi nyeri ringan.
menyebutkan bahwa responden pada Potter & Perry (2005) menjelaskan bahwa
kelompok perlakuan dan kelompok kontrol terdapat hubungan antara nyeri dengan
sama berada dalam skala nyeri ringan pada seiring bertambahnya usia, yaitu pada tingkat
post test, tetapi terdapat 3 (1A, 3A, 4A) perkembangan. Pada orang dewasa
responden pada kelompok perlakuan dalam pengalaman nyerinya lebih sedikit daripada
skala tidak nyeri. Teori mengatakan TENS lanjut usia. Responden lanjut usia lebih siap
dapat digunakan pada berbagai keadaan salah menerima nyeri dibandingkan dengan
satunya pasien paska bedah dan kondisi akut responden dewasa lanjut (30–50 tahun),
(Tucker et al 2008). TENS bekerja dengan karena pada lanjut usia mempunyai
menstimulasi serabut saraf tipe α β yang pengalaman nyeri yang lebih banyak
dapat mengurangi nyeri (Corwin 2009). dibanding dengan yang dewasa lanjut (30–50
Mekanisme kerjanya diperkirakan melalui tahun), sehingga menganggap nyeri sebagai
‘penutupan gerbang’ transmisi nyeri dari ketidaknyamanan sementara bukan
serabut saraf kecil dengan menstimulasi kemungkinan ancaman atau gangguan
serabut saraf besar, kemudian serabut saraf terhadap kehidupan sehari-hari. Hal ini sesuai
besar akan menutup jalur pesan nyeri ke otak teori yang diungkapkan oleh Potter & Perry
dan meningkatkan aliran darah ke area yang (2006) bahwa jika individu pernah
nyeri dan TENS juga menstimulasi produksi mengalami nyeri maka di masa akan datang
anti nyeri alamiah tubuh yaitu endorphin individu akan mampu mentoleransi nyeri
(James et al. 2008). Hasil penelitian ini dengan lebih baik. Hal ini menurunkan
didukung oleh penelitian Lima et. al (2011) adanya stresor yang memicu nyeri sehingga
yang menyatakan bahwa terapi TENS efektif responden lebih cepat beradaptasi dalam
terhadap penurunan nyeri pasien setelah mengatasi nyeri paska bedah, ditambah
coronary artery bypass graft surgery. dengan efek relaksasi pada gerakan simultan
Menurut peneliti, jika TENS TENS maka tubuh secara alami melepaskan
diberikan dengan tehnik dan dosis yang benar endorphin sehingga terjadi penurunan
maka perubahan nyeri akan terjadi melalui intensitas nyeri yang signifikan, namun
proses blok transmisi nyeri. TENS juga peneliti tidak mengukur hubungan antara usia
menimbulkan gerakan simultan pada kulit dan pengalaman nyeri dengan perubahan
yang dirasakan sebagai pijatan sehingga intensitas nyeri.
menimbulkan efek relaksasi pada pasien. Pada responden 4A, 5A, 6A dengan
Gerakan simultan yang terdapat dalam TENS terjadi penurunan intensitas dari nyeri sedang
menjadi nyeri ringan. Karakteristiknya adalah orang). Arus getaran frekuensi dan intensitas
usia dewasa lanjut (30 – 50 tahun) dan salah dari TENS mengaktifkan serat-serat
satunya wanita. Hal ini diduga bahwa berdiameter besar secara selektif,
pengalaman nyeri yang dialami oleh menghasilkan analgesik segmental dengan
responden dewasa akhir minimal sehingga cepat dan terlokalisir pada dermatome,
penurunan nyeri pada intensitas ringan saja. sehingga akan menutup gate atau gerbang
Hasil ini sesuai dengan penelitian yang untuk persepsi nyeri ke otak (William &
sebelumnya, Nurhafizah (2012) menyatakan Wilkins 2008). Johnson (2008) menyatakan
adanya hubungan yang signifikan antara bahwa TENS dapat digunakan pada nyeri
pengalaman nyeri yang dirasakan pasien akut dengan frekuensi yang tinggi, pulse
paska bedah abdomen, dari 21 pasien paska width yang tinggi serta amplitudo yang sesuai
bedah abdomen yang mempunyai dengan subjektik kenyamanan pasien dan
pengalaman nyeri di masa lalu hanya 1 yang sensasi yang dimiliki pasien. Hal ini sesuai
menunjukkan intensitas nyeri berat, jurnal yang diteliti oleh Bjordal (2003) dosis
sedangkan dari 33 pasien paska bedah TENS yang paling efektif adalah frekuensi
abdomen yang tidak mempunyai pengalaman 80 Hz sampai dengan 100 Hz, pulse widht
nyeri di masa lalu, 10 responden 150 µsec, amplitudo sesuai sensitifitas pasien
menunjukkan intensitas nyeri berat. 0-80 mA.
Berdasarkan jenis kelamin, tidak terdapat Menurut peneliti, penurunan
perbedaan yang berarti antara intensitas nyeri intensitas nyeri responden dapat menurun
responden perempuan dan responden laki- ketika dosis yang diberikan sesuai dosis yang
laki. efektif dan sesuai dengan ambang sensitivitas
Hasil penelitian pada kelompok responden sehingga responden nyaman
kontrol pada post test menunjukkan bahwa dengan stimulasi denyutan. Stimulasi listrik
sebagian besar responden mengalami saraf yang tepat selain dapat memblok
intensitas nyeri ringan. Terdapat perbedaan transmisi nyeri, dapat juga membantu tubuh
skor antara kelompok perlakuan dan untuk memproduksi obat penghilang rasa
kelompok kontrol dengan selisih 2 poin. Pada sakit alami yang disebut endorfin, yang dapat
kelompok kontrol tidak diberikan monitor menghalangi persepsi nyeri sehingga
dan observasi skala nyeri dan pemberian responden dapat cepat beradaptasi terhadap
TENS seperti kelompok perlakuan sehingga nyerinya melalui peran endorphin. Kozier et.
respons psikologis yang diterima oleh al (2009) menyatakan pada impuls rendah
responden kelompok kontrol berbeda dengan (kurang dari 90 Hz) produksi endorphin
kelompok perlakuan. Potter & Perry (2005) sebagai penghilang rasa sakit alami dipacu
menjelaskan bahwa perawat dapat untuk dikeluarkan sehingga nyeri berkurang.
meningkatkan respon adaptasi dengan Mekanisme kerja TENS juga
meningkatkan mekanisme koping seseorang dipengaruhi oleh jenis operasi yang dijalani
melalui stimulus. Pada responden kelompok oleh responden, ketika responden menjalani
kontrol dan perlakuan diberikan analgesik bedah invasif minimal maka cedera insisi
sehingga nyeri yang dirasakan menurun, maupun respon inflamasi minimal tetapi
tetapi pada aspek psikologisnya responden cedera terdapat pada bagian dalam organ dan
tidak merasakan relaks sehingga adaptasi biasanya nyeri bersifat nyeri tumpul. Corwin
terhadap nyeri lebih lambat dibanding (1997) menjelaskan bahwa nyeri visceral
kelompok perlakuan. Nurhafizah (2012) adalah stimulus nyeri yang dihubungkan
menyatakan adanya hubungan yang dengan proses patologis dan nyeri yang
signifikan antara nyeri dengan kondisi dicetuskan untuk mempertahankan fungsi
psikologis pasien tetapi peneliti tidak sehingga nyeri visceral bersifat tumpul.
meneliti secara lanjut kondisi psikologis TENS dengan frekuensi sedang mampu
dengan intensitas nyeri. memblok nyeri dan melepaskan endorphin
Seluruh responden diberikan TENS sehingga nyeri tumpul dapat berkurang.
dengan frekuensi 80 Hz dan pulse widht 150 William & Wilkins (2008) mengatakan
µsec dari awal sedangkan amplitudo sesuai penempatan elektroda ditempatkan proksimal
tingkat ambang sensitivitas responden, dari cedera (antara otak dan area cedera)
mayoritas responden menerima 40 mA (4 untuk menghindari peningkatan nyeri. Hal ini
orang), 50 mA (1 orang) dan 60 mA (1 sejalan dengan penelitian ini bahwa
penempatan elektroda berada di bagian 50% tidak nyeri), sedangkan pada kelompok
proksimal cedera sehingga dapat memblok kontrol mengalami penurunan skala nyeri
nyeri. yaitu 100% nyeri ringan. Hal ini
Karakteristik nyeri pada bedah disebabkan karena pada kelompok perlakuan
terbuka adalah adanya cedera pada saraf selain diberikan analgesik non opioid juga
perifer sehingga nyeri bersifat tajam. Corwin diberikan TENS oleh peneliti. Analgesik non
(1997) menyatakan nyeri kulit adalah nyeri opioid yang digunakan di RSU Haji
yang dirasakan di kulit atau jaringan Surabaya adalah jenis metamizole Na
subkutis, akibat adanya saraf perifer yang (novalgin, antrain).
cedera menyebabkan rangsang nosiseptif dan Hal yang sama dikemukakan oleh
terjadinya respon inflamasi. Peneliti Smeltzer & Bare (2008), menggabungkan
meletakkan elektroda diatas atau di sekitar intervensi farmakologis dengan
area yang sangat nyeri dengan jarak 5 cm dan nonfarmakologis merupakan cara yang paling
pada area dermatom yang mempersarafi, tepat untuk menurunkan nyeri. Metamizole
terapi TENS 2 kali dalam sehari selama 3 Na dapat meringankan rasa sakit, terutama
hari dalam waktu 15 menit. Dalam sehari nyeri kolik dan sakit setelah operasi (Kee &
diberikan di pagi hari dan sore hari. Hal ini Hayes 1996). Mekanisme kerjanya adalah
didukung oleh penelitian Bjordal (2003) menghambat transmisi rasa sakit ke susunan
menyatakan bahwa pemberian TENS dapat saraf pusat dan perifer (Kee & Hayes 1996).
dilakukan 2-3 kali dalam sehari selama 3 hari Metamizole Na bekerja sebagai analgesik,
dalam waktu 15-30 menit, elektroda diabsorpsi dari saluran pencernaan
diletakkan di sekitar area nyeri atau titik mempunyai waktu paruh 1-4 jam (Kee &
nyeri. Hayes 1996). TENS bekerja dengan
Pemasangan elektroda TENS pada menstimulasi serabut saraf tipe α β yang
area nyeri dan proksimal dari cedera atau dapat mengurangi nyeri (Corwin 2009).
insisi paska bedah dapat menciptakan Mekanisme kerjanya diperkirakan melalui
kenyamanan. Proses nosiseptif dihambat ‘penutupan gerbang’ transmisi nyeri dari
dengan memblok nyeri oleh penutupan serabut saraf kecil dengan menstimulasi
gerbang nyeri oleh TENS serta pelepasan serabut saraf besar, kemudian serabut saraf
hormon endorphin pada tubuh proses besar akan menutup jalur pesan nyeri ke otak
inflamasi akan menimbulkan efek relaksasi dan meningkatkan aliran darah ke area yang
sehingga nyeri dapat berkurang. Lokasi titik nyeri dan TENS juga menstimulasi produksi
nyeri oleh elektroda akan distimulasi listrik anti nyeri alamiah tubuh yaitu endorphin
melalui transkutan, sehingga selain adanya (James et al. 2008). TENS dapat digunakan
efek relaksasi seperti masase, pasien juga pada berbagai keadaan salah satunya pasien
dapat terdistraksi akan adanya denyutan paska bedah dan kondisi akut (Tucker et al
burst. Denyutan burst TENS akan menjadi 2008).
fokus pasien saat berjalannya terapi selama Menurut peneliti, penanganan nyeri
15 menit, sehingga mengalihkan perhatian paska bedah urologi menggunakan metode
klien pada hal lain selain nyeri, sehingga menggabungkan intervensi farmakologis
klien lupa akan nyeri yang dialami. TENS metamizol Na dengan nonfarmakologis
juga berefek pada aspek psikologis TENS adalah hal yang efektif karena TENS
responden, responden menjadi relaks dan mendukung mekanisme kerja metamizol Na
tenang akibat pengalihan perhatian dari nyeri. yang mana bekerja untuk menghambat
Hal ini didukung oleh penelitian Ernawati transmisi rasa sakit ke susunan saraf pusat
(2010) menyatakan bahwa upaya distraksi dan perifer, TENS juga bekerja memblok
berhubungan dengan respon nyeri yang transmisi nyeri dari serabut saraf kecil
menurun, tetapi pada penelitian ini peneliti dengan menstimulasi serabut saraf besar,
tidak mengukurnya lebih lanjut. kemudian serabut saraf besar akan menutup
Berdasarkan tabel 5.2 menunjukkan jalur pesan nyeri ke otak. Keduanya saling
bahwa penurunan intensitas nyeri tampak mendukung yaitu memblok transmisi nyeri
lebih besar pada kelompok perlakuan sehingga intensitas nyeri menjadi menurun.
dibandingkan dengan kelompok kontrol, pada Peneliti tidak mengukur secara lebih lanjut
kelompok perlakuan lebih banyak penurunan mengenai pengaruh medikasi terhadap
skala nyeri (50% nyeri ringan dan variabel dependen namun penelitian
sebelumnya menyatakan bahwa pemberian sebelahnya cemas akan proses pembedahan.
kombinasi analgesik non opioid dan TENS Faktor-faktor yang mempengaruhi nyeri
dapat menurunkan nyeri secara maksimal reponden tidak diukur oleh peneliti tetapi
pada pasien paska donor ginjal Galli (2013). penelitian sebelumnya menyatakan bahwa
Berdasarkan tabel 5.2 mayoritas terdapat hubungan psikologis dan strategi
responden kelompok kontrol pada pre test koping pasien terhadap intensitas nyeri
merasakan intensitas nyeri sedang. Hasil post Nurhafizah (2012).
test didapatkan penurunan pada intensitas
nyeri ringan (100%). Hasil paling baik
terdapat pada responden 1B, 4B, 5B yaitu SIMPULAN DAN SARAN
skor 2 (nyeri ringan), sedangkan 3 responden
lainnya pada no 2B, 3B, 6B yaitu skor 3. Simpulan
Menurut observasi dan wawancara yang Berdasarkan hasil penelitian yang
dilakukan peneliti, responden sebagian besar telah dilaksanakan pada tanggal 12 Juni 2014
laki-laki yang menjadi penopang keluarga s.d 12 Juli 2014 di RSU Haji Surabaya, maka
karakteristik responden 6B terlihat cemas dapat diambil simpulan bahwa ada pengaruh
karena meninggalkan pekerjaannya sehari- pemberian TENS terhadap perubahan
hari, responden 3B selain kondisi post intensitas nyeri pasien paska bedah urologi di
operasi juga dengan penyakit Chronic Kidney RSU Haji Surabaya
Disease responden diberikan analgesik secara
teratur tetapi. Responden dirawat di ruangan Saran
kelas 3 menggunakan bangsal, tidak ada TENS diharapkan dapat dijadikan
privasi dengan pasien lainnya. sebagai terapi alternatif komplementer
Menurut peneliti, nyeri yang sebagai tindakan mandiri keperawatan untuk
dirasakan oleh responden diduga karena mengurangi nyeri pasien bedah urologi bagi
proses penyakit serta komplikasi namun RSU Haji Surabaya dan perawat RSU Haji
peneliti tidak melihat secara kontinyu setiap Surabaya dapat mengimplementasikan TENS
harinya medikasi yang diberikan serta sebagai terapi komplementer untuk
komplikasi yang terjadi. Menurut Smeltzer & mengurangi nyeri pasien paska bedah
Bare (2008) respons nyeri individu tahap urologi. Bagi pasien paska bedah urologi
awalnya adalah aktivasi dimana saat pertama diharapkan mengetahui kegunaan TENS
individu menerima rangsangan nyeri, sampai dan dapat melakukan TENS sebagai
tubuh bereaksi terhadap nyeri yang meliputi salah satu intervensi alternative dengan
respons emosional yaitu cemas, tegang dan
risiko yang rendah menyenangkan dan
takut. Kekhawatiran individu tentang nyeri
dapat meliputi berbagai masalah yang luas,
mudah untuk mengurangi nyeri.
seperti beban ekonomi, prognosis, pengaruh Bagi masyarakat diharapkan dapat
terhadap peran dan perubahan citra diri. menerima informasi ini secara ilmiah dan
(Kozier et. al 2010). dapat mengaplikasikan TENS sebagai
intervensi nonfarmakologi untuk mengurangi
Menurut peneliti, ketika nyeri mulai
nyeri kemudian bagi peneliti selanjutnya
dirasakan banyak faktor yang dapat
penelitian ini dapat dilanjutkan dengan
mempengaruhi salah satunya responden laki-
menggunakan tehnik sampling probability
laki yang menjadi kepala keluarga, maka ia
sampling dan memperhatikan variabel
mempunyai beban ekonomi. Selama proses
perancu seperti etnis dan nilai budaya, tahap
perawatan responden menjadi tidak relaks
perkembangan, lingkungan dan individu
karena adanya stresor beban ekonomi yang
pendukung, pengalaman nyeri pembedahan
harus ditanggungnya, sehingga nyeri yang
sebelumnya, makna nyeri, kecemasan dan
dirasakan dapat sedikit saja penurunannya.
stres. Peneliti disarankan mengontrol
Faktor lainnya yang juga berpengaruh adalah
komplikasi paska bedah, riwayat pengobatan
kondisi lingkungan perawatan pasien,
alternatif sebelumnya, riwayat penggunaan
sehingga responden tidak nyaman selama
obat-obatan, riwayat operasi dan riwayat
berada di satu ruangan dimana satu ruangan
penyakit yang diderita oleh pasien.
berisi 8-9 pasien dan tidak ada sekat antar
tempat tidur. Pasien yang semula tidak cemas
menjadi cemas karena melihat pasien di
KEPUSTAKAAN
Apfelbaum, JL, Chen, C, Mehta, SS & Gan,
TJ, 2003. Postoperative pain experience:results from a national survey suggest postoperative
pain continues to be undermanaged. Anesthesia Analgesia, US national library of medicine,
vol. 97, no. 2, hal. 534-540
Bjordal, JM, Johnson, MI & Ljunggreen, AN, 2003. ‘Transcutaneous electrical nerve stimulation
(TENS) can reduce postoperative analgesic consumption.
10. meta-analysis with assessment of optimal treatment parameters for postoperative pain’,
European Journal Pain , vol 7, no. 8, hal. 182-187
Corwin, EJ, 2009. Buku Saku Patofisiologi, Edisi Revisi 3, EGC, Jakarta
Gruendemann, BJ & Fernsebner, B, 2005. Buku Ajar Keperawatan Perioperatif, volume 2, EGC,
Jakarta
Johnson, M, 2008. Transcutaneous electrical nerve stimulation, electrotherapy: evidence based
practiv=ce, Churchill Livingstone, Edinburg
Honorio, TB, 2008. Practical Management of
Pain, Edisi 5, Elsevier Mosby,
Philadelphia
Islami, 2012. Pengaruh penggunaan ketamin terhadap kejadian menggigil pasca
anestesi umum,
http://eprints.undip.ac.id/, diakses tanggal 24 Juli 2014
James, J, Baker, C & Swain, H, 2008.
Prinsip-Prinsip Sains untuk Keperawatan, EMS, Jakarta
Kee, JL & Hayes ER, 1996. Farmakologi:
Pendekatan Proses Keperawatan, EGC,
Jakarta
Knight, KL & Draper, DO, 2008.
Theraupetic modalities, Wolters
Kluwer, United States
Kozier, B, 2010. Buku Ajar Fundamental
Keperawatan: Konsep, Proses, dan
Praktik, Edisi 7, Volume 1, EGC,
Jakarta
Lima, PM, Farias, RT, Carvalho, AC, da Silva, PN, Ferraz, FNA & de Brito, RF,
Transcutaneous electrical nerve stimulation after coronary artery bypass graft surgery, US
national library of medicine, Vol. 26, no. 4, hal. 591-6, http://www.ncbi.nlm.nih.gov
McCloskey, JC & Bulechek, GM, 2000. Nursing Interventions Classification (NIC) Edisi 3, Mosby
Year Book, St. Louis

Megawati, 2010. Gambaran Faktor - Faktor yang Mempengaruhi respon nyeri pada pasien post
laparatomi di ruang B2 RSUP H. Adam Malik Medan, www.unmam.com, diakses tanggal 2
April 2014
Nurhafizah, 2012. Strategi Koping dan Intensitas Nyeri Pasien Post Operasi di Ruang Rindu B2A
RSUP H. Adam
Malik Medan,
http://jurnal.fk.unand.ac.id, diakses tanggal 14 Juli 2014
Potter, PA & Perry, AG, 2005. Fundamental Keperawatan Konsep, Proses, dan Praktik, Volume 2,
Edisi 4, EGC, Jakarta
Sjamsuhidajat, 2013. Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi 3, EGC, Jakarta
Smeltzer, SC & Bare, BG, 2008. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, Volume 2, Edisi 8, EGC,
Jakarta
Tucker, SM, Canobbio, MM, Paquette, EV & Wells, MF, 2008. Standar Perawatan
Pasien:Proses Keperawatan, Diagnosis dan Evaluasi, Edisi 5, EGC, Jakarta
William, L & Wilkins, 2008. Nursing.
Perfecting clinical procedures, Wolters
Kluwer, United States of America

Anda mungkin juga menyukai