HASAN BACHTIAR2
1. Pendahuluan
1 Makalah ini diajukan sebagai tugas mata kuliah “Seminar Linguistika” (SAI-5411) di Jurusan Sastra
Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, pada Semester Genap, Tahun Akademi
2002—2003, yang diampu oleh Prof. Dr. I Dewa Putu Wijana.
2 Penulis adalah mahasiswa Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
Page 1 of 13
oleh khalayak mahasiswa sendiri serta lantas publik yang lebih luas. Maka, jelas bahwa
pers mahasiswa merekam dan mencerminkan pelbagai pandangan mahasiswa tentang
dan sikap mereka terhadap dinamika politik Indonesia.
Di dalam pers mahasiswa, beragam pandangan dan sikap politik mahasiswa itu
tampak dalam reportase-reportase, kajian-kajian, serta pelbagai ragam wacana
jurnalistik dan ilmiah. Salah satu ragam wacana jurnalistik pers mahasiswa yang khas,
dan akan penulis pilih sebagai suatu kasus khusus, ialah wacana anekdot politik. Wacana
anekdot politik ini, dengan demikian, merupakan suatu strategi retorika yang khas. Jadi,
secara khusus, pertanyaan penelitian yang ingin dijawab oleh studi ini ialah:
bagaimanakah pelbagai pandangan dan sikap mahasiswa tentang dan terhadap dinamika
politik Indonesia yang diungkapkan melalui strategi retorika yang khas berupa wacana
anekdot politik dalam pers mahasiswa?
Page 2 of 13
Rekapitulasi Wacana Anekdot Balairung 1997—19993
No. Edisi Judul Sampul Anekdot Halaman
1 26/1997 Gerakan Buruh: Dijerat Korporatisme Negara 6 102
2 27/1998 Hitam-Putih Pasca-Soeharto 6 90
3 28/1998 Carut-Marut Gerakan Kerakyatan: Mengapai 6 76
Impian Perubahan
4 29/1998 Menuju Masyarakat Multi-Ideologi: Bebas 7 80
Hambatan Ideologi Kiri
5 30/1999 Membaca Ekspresi Jogja 5 102
6 32/1999 Jangan Gadaikan Kampusku 7 94
Jumlah 37 item
3 Sumber: data di atas diolah dari dokumentasi Pusat Informasi Pers Mahasiswa Indonesia (PIPMI), Divisi
Penelitian dan Pengembangan Majalah Balairung, 2002. Catatan: sebenarnya, antara tahun 1997—1999,
Balairung terbit sebanyak 7 edisi: 5 edisi reguler dan 2 edisi khusus. Namun, pada tahtun 1999, edisi khusus
pertama yang terbit berupa jurnal-ilmiah, yang memuat kumulan 9 artikel ilmiah karya para mahasiswa
UGM, dan tak diberi nomor edisi lanjutan, selain juga tak memuat Rubrik Anekdot. Kemudian, edisi khusus
yang kedua diterbitkan pada tahun 1999 pula, yang mengangkat isu otonomi kampus, yang di tabel ini
penulis beri nomor 31/1999.
Page 3 of 13
(1977), Mangiang (1979), Naipospos (1994), Wijoyo dkk. (1999), dan masih banyak lagi.
Namun, kajian-kajian tersebut hampir semuanya ditulis oleh para ilmuwan sosial yang,
terutama, menggunakan teropong politik, kesejarahan, dan pisau analisis ilmu politik
dalam menangani obyek studinya. Misalnya, kajian-kajian mereka dipusatkan pada
sejarah pertumbuhan dan dinamika, bagaimana metode organisasi gerakan, pola-pola
konflik dengan rezim penguasa, kritik dan otokritik paradigmatik, isu-isu yang diangkat
dan diperjuangkan, dll., yang kesemuanya masih berpijak pada pandangan sosial-politik.
Menyangkut kesamaan/kemiripan pendekatan dan metode kajian—namun dengan
obyek kajian yang berbeda—dengan studi ini, tiga buah studi yang perlu disebut di sini
ialah Hooker (1990), Teeuw (1994), dan Eriyanto (2000). Ketiganya menggunakan
metode analisis kebahasaan, khususnya analisis wacana, untuk menelaah pidato-pidato
politik Presiden Soeharto selarna Orde Baru, yang biasa disebut sebagai Amanat
Kenegaraan, yang diucapkan setiap tanggal 17 Agustus. Pada yang pertama, dengan
metode analisis wacana rumusan Halliday-Hassan, Hooker menelaah pidato-pidato
Soeharto sehubungan dengan program pembakuan (“pembinaan dan pengembangan”)
bahasa Indonesia, yang merupakan salah satu bagian penting dalam proyek
pembangunan(isme) Orde Baru. Pada yang kedua, Teeuw mengkaji “keformulaikan”
struktur wacana pidato-pidato Soeharto sehubungan dengan “kelisanan dan
keberaksaraan” masyarakat modern Indonesia. Dan pada yang ketiga, Eriyanto
membedah “retorika politik” Soeharto dalam pidato-pidatonya sehubungan dengan
bagaimana ”mode pencitraan dan pengukuhan rezim kekuasaan melalui hegemoni
wacana pembangunan”.
Sedangkan menyangkut kesamaan obyek kajian, yakni khususnya pers mahasiswa,
dan kemiripan metode dengan studi ini untuk sebagian, bisa dipaparkan sebentar di sini
studi-studi Dhakidae (1977), Siregar (1983), Raillon (1984), dan Supriyanto (1998).
Dhakidae menganalisis mode retorika koran-koran dan tema-tema liputan Gelora
Mahasiswa (UGM, Yogyakarta), Derap Mahasiswa (IK1P, Yogyakarta), dan Salemba
(UI, Jakarta), yang disebutnya mengandung advisory journalism (jurnalisme
menantang kekuasaan). Siregar mengulas sejarah pertumbuhan dan dinamika
perkembangan pers mahasiswa, juga tema-tema yang diangkat, sejak masa pramerdeka
hingga 1970-an. Raillon mengulas sejarah pertumbuhan dan dinamika serta isu-isu yang
diangkat koran Mahasiswa Indonesia (Bandung) yang terbit pada 1960—1970-an, yang
berkaitan erat dengan upaya awal konsolidasi rezim Orde Baru. Sedangkan Supriyanto
mengkaji dinamika pers mahasiswa sebagai bagian dari praktik politik mahasiswa era
1980-an, dan merupakan studi termutakhir tentang pers mahasiswa. Keempat studi ini
menjadikan pers mahasiswa sebagai obyeknya, dengan metode-metode analisis isi,
sejarah, dan politik.
Maka, di dalam studi ini, penulis ingin mengambil posisi mengkaji pers mahasiswa
dengan pendekatan linguistik dan metode analisis wacana. Topik ini, dengan perspektif
dan metode kajian seperti ini, sejauh pengetahuan penulis, masih sedikit dikerjakan—
untuk tak menyebutnya tak ada sama sekali.
Page 4 of 13
merupakan “jembatan bagi kontak sains yang transdisipliner”, atau suatu a new cross-
discipline (van Dijk, 1985).
Disepakati oleh banyak ahli, analisis wacana merupakan suatu analisis kebahasaan
yang mengambil unit analisis satuan lingual yang tertinggi/terlengkap (di atas fonem,
morfem, frasa, klausa, kalimat). Misalnya, menurut Kriidalaksana (2001: 1), wacana
(discourse) adalah “satuan bahasa terlengkap, dalam hierarki gramatikal merupakan
satuan gramatikal tertinggi atau terbesar”. Realisasi wacana antara lain berupa karangan
yang utuh (novel, buku teori, ensiklopedi, dsb.), paragraf, kalimat, atau kata yang
memuat amanat/informasi yang lengkap. Secara lebih detail, Tarigan (1987)
mendeskripsikan struktur wacana (lisan/tulisan) sebagai “fungsi” yang terdiri atas
“bentuk”: leksem, gramatika, intonasi, fonem, dan substansi. Yang juga senantiasa tak
dilupakan oleh para ahli dalam mendefinisikan wacana adalah unsur kohesi (kepaduan
bentuk) dan koherensi (keutuhan makna), yang saling menunjang (Djajasudarma, 1994).
Sebelum itu, para ahli sedikit berbeda pendapat dalam membedakan antara wacana
bahasa ragam lisan (oral/spoken/uttered discourse) dan tulisan (literal/written
discourse). Namun, secara umum, analisis wacana bahasa ragam lisan biasanya disebut
analisis-tuturan (utterance analysis) dan analisis wacana bahasa ragam tulisan dinamai
analisis-teks (text-analysis), dan dalam perkembangannya yang terakhir inilah yang
disebut analisis-wacana (discourse-analysis). Dalam studi ini, wacana yang dikaji adalah
wacana bahasa ragam tulisan, dan juga metodenya akan cukup disebut analisis-wacana.
Namun demikian, harus diakui, definisi tersebut cuma bersifat sttruktural atau
formal, dan muncul dari rumpun disiplin mikrolinguistik yang hingga kini masih
menjadi “arus utama” (mainstream). Seiring dengan perkembangan zaman dan
masyarakat, setelah dikaji lebih jauh, pelbagai wacana tampil dalam pelbagai ragam
bentuk, isi, dan bahkan muatan-muatannya yang tersembunyi (hidden). Bahkan, wacana
ternyata diproduksi, didistribusi, dan dikonsumsi dalam pelbagai mode. Kesemua segi
yang bersifat nonformal pada wacana itu, rupanya, juga menuntut perhatian yang lebih
mendalam sebab terbukti bahwa segi-segi nonformal banyak memengaruhi segi-segi
formal wacana. Karenanya, definisi wacana di atas dirasa tidak mencukupi, khususnya
oleh kalangan pascastrukturalis.
Maka, kalangan pascastrukturalis mengajukan definisi wacana yang agak lain,
namun tanpa menegasikannya atau malahan melengkapinya. Paradigma yang dianut
kalangan pascastrukturalis mencoba melihat bahasa senantiasa sebagai praktik-wacana
(discursive-practice) (Hikam, 1996), bukan sebagai persoalan bahasa an sich, yang
berupa suatu sistem abstrak. Kalangan pascastrukturalis terutama menitikberatkan
kajiannya pada segi konteks, selain mengelaborasi segi-segi substansial, serta mode-
mode produksi-distribusi-konsumsi wacana. Kalangan ini muncul dalam suatu gerakan
yang biasa dinamai kritisisme-literer atau kritik sastra (literary criticism).4 Maka,
analisis wacana ini biasa pula dinamai analisis wacana kritis (critical discourse
analysis) (Fairclough, 1995; Eriyanto, 2001).
Seorang yang menjadi banyak rujukan kalangan pascastrukturalis, Foucault (1972),
mengajukan tiga definisi wacana, yang menjadi kesatuan kumulatif, sebagai berikut: (1)
the general domain of all statements, (2) an individualizable group of statements,
dan (3) a regulated practice which account for a number of statements.
Selanjutnya, wacana ini dibentuk (constituted) oleh pengetahuan (knowledge),
kebenaran (truth), dan kuasa (power). Dengan demikian, pendek kata, wacana adalah
“medan pertarungan kekuasaan” (the field of power struggle)! Wacana senantiasa
bersifat institusional, dan secara sosial wacana selalu kontekstual. Wacana pasti muncul
dalam kerangka hubungan dengan wacana-wacana lainnya, entah berupa dialog ataupun
4 Gerakan ini, di antaranva, menderivasi dirinya dalam bentuk kajian budaya (cultural studies) dan
kajian pascakolonial (postcolonial studies), yang menerapkan pelbagai metode untuk topik-topik riset
baru yang sebelumnya tidak terjamah.
Page 5 of 13
oposisi/kontras/konflik. Pada akhirnya, wacana akan selalu memiliki makna (meaning),
daya-kekuatan (force), sekaligus dampak (effect) (Mills, 1997).
Melampaui itu semua, di dalam studi ini, penulis akan menerapkan sebuah teori
analisis wacana yang menengahi kedua kutub strukturalisme-linguistik dan kritisisme-
literer di atas, yaitu teori analisis wacana rumusan Halliday dan Hassan (1992).5 Secara
sederhana, Halliday dan Hassan merumuskan tiga komponen kunci wacana, dan
menjadikannya kerangka kerja analitis/metodis untuk mengkaji wacana yang—setelah
penulis ubah susunannya—meliputi:
1. SARANA WACANA (mode of discourse), yang mengidentifikasi bagian yang
diperankan oleh bahasa, hal yang diharapkan oleh para pelibat diperankan bahasa
dalam situasi itu: “organisasi simbolik teks”, kedudukan yang dimilikinya, dan
fungsinya dalam konteks, termasuk salurannya (apakah dituturkan atau dituliskan
atau semacam gabungan keduanya?) dan juga mode retorikanya, yaitu apa yang
akan dicapai teks berkenaan dengan pokok pengertian seperti bersifat membujuk,
menjelaskan, mendidik, dan semacamnya;
2. PELIBAT WACANA (tenor of discourse), yang mengidentifikasi “orang-orang
yang mengambil bagian”, pada sifat para pelibat, kedudukan dan peranan mereka:
jenis-jenis hubungan peranan apa yang terdapat di antara para pelibat, termasuk
hubungan-hubungan tetap dan sementara, baik jenis peranan tuturan maupun
rangkaian keseluruhan hubungan-hubungan yang secara kelompok mempunyai arti
penting yang melibatkan mereka; dan
3. MEDAN WACANA (field of discourse), yang mengidentifikasi hal-hal yang sedang
terjadi, pada sifat tindakan sosial yang sedang berlangsung: apa sesungguhnya yang
sedang disibukkan oleh para pelibat, yang didalamnya bahasa ikut serta sebagai
unsur pokok tertentu.
Rumusan kerangka kerja analitis Halliday dan Hassan ini memungkinkan penulis
untuk menemukan interaksi yang berlangsung di antara teks, koteks (informasi-
informasi dari teks-teks penyertanya), dan situasi yang melingkupinya atau konteks.
5 Sampai di sini, secara metodologis, studi ini memiliki kemiripan dengan studi Hooker (1990)
sebagaimana telah dipaparkan di atas.
Page 6 of 13
dikomposisikan dengan data-data tambahan baik koteks, yang berupa informasi di dalam
Majalah Balairung sendiri, maupun konteks, yang berupa informasi-informasi
berdasarkan data sejarah-politik untuk melihat, dan menghubungkannya dengan, peta dan
situasi sosial-politik makro yang melingkupinya.
Dalam tahap ketiga, penyajian hasil analisis data, hasil studi ini disajikan dalam tiga
bab: Bab I Pendahuluan, yang menjelaskan Latar Belakang, Rumusan Masalah, Tinjauan
Pustaka, Tujuan dan Manfaat, Materi Studi, Landasan Teori dan Metode, serta Prosedur
Studi; Bab II Pembahasan, yang menyajikan hasii analisis yang meliputi Sarana Wacana,
Pelibat Wacana, dan Medan Wacana; dan Bab III Penutup, yang merumuskan Simpulan
dan Saran. Di bagian terakhir akan disertakan Daftar Pustaka yang dirujuk studi ini.
2. Pembahasan
(Wacana 30.4)
Gedung Soeharto
Suatu sore pada bulan November 1998, Patrick Chesnet, koresponden koran Peoples du
Monde, Prancis, berkunjung ke UGM. Patrick dan seorang kawannya asli Yogya, sebut saja
Basuki, hendak meliput acara Dialog Parpol.
Malamnya, mereka memutuskan jalan kaki ke Hall Balairung (Gedung Pusat), tempat resepsi
pembukaan Dialog Parpol dilangsungkan. Saat melewati Graha Sabha Pramana, terjadilah
percakapan singkat.
Patrick: “Ada acara apa di sana?”
Basuki: “Ooo, itu pesta pernikahan. Aula itu dulu pembangunannya dibiayai Soeharto.”
Lantas, mereka melanjutkan perjalanan. Sesampai di Balairung UGM, Patrick memancing
obrolan lagi.
Patrick: “Gedung ini tampak klasik. Siapa perancangnya?”
Basuki: “Nah, kalau gedung ini Soekarno yang mendesain.”
Patrick: “Hebat! Gedung buatan Soeharto untuk pesta kawin, gedung buatan Soekarno untuk
dialog politik.”
Page 7 of 13
Anekdot ini tergolong bertipe dialogis karena berisi dialog antara dua tokoh, yaitu
Basuki dan Patrick Chesnet, dan diawali dengan narasi singkat untuk memberikan latar
waktu dan tempat secukupnya, yaitu di Gedung Pusat UGM dan momen Dialog Parpol
yang digelar UGM pada tahun 1999. Bentuk wacana anekdot semacam ini memang telah
umum.
Kedua, tipe wacana anekdot naratif. Ciri-ciri tipe anekdot ini sebagai berikut:
berupa narasi singkat tentang suatu peristiwa, kalaupun ada aktornya biasanya hanya
satu aktor, yang bisa dikutip langsung dan tidak komentar-anekdotisnya. Contoh
anekdot tipe ini sebagai berikut:
(Wacana 27.4)
Gajah
Suatu hari di Thailand ada seekor gajah yang mogok dan menghalangi jalan di mana delegasi
para pemimpin negara-negara ASEAN menuju tempat konferensi. Untuk mengatasinya, sudah
banyak pawang gajah yang mencaba menghalau gajah tersebut, termasuk beberapa delegasi
konferensi, tetapi si gajah tetap tidak beranjak dari tempatnya.
Tiba-tiba datang delegasi Indonesia dan ormas keagamaan. Mendekatlah ia dan berbisik di
telinga gajah tersebut. Tanpa diduga, gajah tersebut langsung lari tunggang-langgang. Delegasi
lainnya keheranan dan ingin tahu. Dengan tersenyum-senyum, ia membuka rahasia apa yang
dibisikkannya ke telinga gajah tadi: “Kalau kamu nggak mau pergi dari sini, kamu akan saya
bawa ke Indonesia untuk saya ikutkan penataran P-4!”
Anekdot ini tergolong bertipe anekdot naratif karena berisi narasi saja, tak ada
dialog yang melibatkan tokoh-tokoh dalam percakapan secara langsung, yang
mengungkapkan topik dalam latar ruang dan waktu pula. Tipe anekdot seperti ini juga
sudah umum, dan di Balairung lebih sedikit jumlahnya ketimbang yang dialogis.
(Wacana 26.5)
Interogasi
Seorang demonstran yang tertangkap diinterogasi oleh petugas intel berbadan kekar, yang
lebih mirip gali.
“Siapa namamu! Cepat jawab!”
“Apalah arti sebuah nama.”
“Di mana kuliahmu, setan!”
“Kuliah saya di seluruh alam semesta ini.”
“Siapa dosenmu, anjing!”
“Dosen saya Tuhan.”
Dengan penuh emosi, ditonjoklah muka demonstran itu, lalu dibentaknya, “Tahukah
sekarang kamu ada di mana, bajingan!”
“Bukankah saya sekarang ada di rumah sakit jiwa,” jawab mahasiswa tanpa ekspresi.
Page 8 of 13
Sebuah contoh lagi perlu ditampilkan di sini untuk mengungkap kekonyolan
perilaku kebahasaan kaum birokrat Orde Baru. Perilaku semacam ini khususnya dan
terutama kerap, dan lantas menjadi ejekan untuk, parole ‘idiolek’ Soeharto yang gemar
mengucapkan sufiks/akhiran -kan menjadi -ken. Demikian meluas peniruan dikerjakan
oleh banyak birokrat Orde Baru dari eselon pusat (Jakarta) hingga daerah terhadap
perilaku linguistis (linguistic act) Soeharto ini. Anehnya, perilaku linguistis ini pulalah
yang ditentang oleh kalangan linguis di Pusat Bahasa, sebuah lembaga rekayasa bahasa
nasional yang disokong Soeharto sepenuh-penuhnya. Inilah anekdot tersebut:
(Wacana 28.4)
Biar Ken-Tut
Sebagai anak pertama presiden, Mbak Tutut melakukan kunjungan ke daerah. Ketika
berkunjung ke Aceh, dalam upacara penyambutan Mbak Tutut dianugerahi gelar
kebangsawanan oleh pemuka masyarakat aceh dengan nama Cut Nyak Tut. Namun, Mbak Tutut
marah. Ia merasa nggak sreg dengan nama itu, lalu ia protes kepada Gubernur.
“Lha gimana lagi, lho, Bu Tut,” jawab Gubernur tak berdaya.
Tutut tambah marah. Ia makin merasa terhina oleh Gubernur yang menyebutnya Bu-Tut.
Mengadulah ia kepada bapaknya, Soeharto. Tapi, apa lacur, Soeharto kayaknya tak begitu peduli
dengan persoalan putri sulungnya, dan menjawab, “Mbok biar-ken, Tut.”
Tutut pun terdiam.
(Wacana 28.3)
Bicara Politik
Pada waktu Soeharto masih berkuasa, lima orang duduk termenung mengelilingi meja
sebuah kedai kopi. Salah seorang dari mereka menghela nafas panjang, seorang lagi tercenung.
Orang ketiga menggeleng-gelengkan kepala, putus asa, dan orang keempat menangis.
Orang kelima pun berbisik dengan ketakutan, “Hati-hati, kawan. Kalian semua tahu, tidak
aman membicarakan politik di depan umum."
Selain itu, sebuah contoh berikut, dialog di antara seorang kakek dengan cucunya,
menampilkan gerundelan politik rakyat bawah tentang absolutisme Orde Baru dengan
topangan Golkar, yang bersimbol terkenal pohon beringin dan warna kuning, dan
hegemoni wacana antikomunisme:
(Wacana 27.5)
Misteri Sebuah Pohon
Seorang kakek bercerita kepada cucunya tentang sebuah pohon besar yang tumbuh di tengah
kuburan desa. “Pohon ini dulu kakek tanam sebagai peringatan adanya penyakit aneh yang
hampir menghabiskan seluruh laki-laki di desa ini, Cu.”
“Penyakit macam apa itu, Kek?”
“Kebanyakan orang menyebutnya communist-phobia.”
“Memangnya sekarang ada yang aneh dengan pohon ini, Kek?
Jawab sang kakek dengan keheranan, “Kakek tak menyangka pohon ini sekarang bisa
menjadi single majority di negeri ini.”
Page 9 of 13
demokrasi dari Orde Baru menuju Orde Reformasi; yang ditandai dengan dua pemilu
penting: Pemilu 1997, pemilu rekayasa Orde Baru, yang mengangkat lagi Soeharto
sebagai Presiden RI untuk keenam kalinya, dan Pemilu 1999, pemilu demokratis dan
jurdil pertama pasca-Orde Baru, yang diselenggarakan pada saat Habibie berkuasa
menggantikan “lengser keprabon”-nya Soeharto, yang lantas menghasilkan rezim
Abdurrahman Wahid.
Pada tahun 1997, banyak fakta dan peristiwa politik yang terjadi, sebagaimana
tampak dari kritik-kritik dalam anekdot-anekdot Balairung. Akumulasi penderitaan
sosial akibat negara yang salah-urus menghasilkan serangkaian krisis, dimulai dari krisis
ekonomi (utang luar negeri yang tak terbayar, nilai mata uang rupiah yang jatuh) hingga
politik dan sosial. Maka, terjadilah pula massifikasi protes kaum buruh dan mahasiswa,
menentang korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) kekuasaan, dan menuntut
pembongkaran praktik-praktik najis tersebut. Para mahasiswa yang berdemonstrasi
menentang rezim despot banyak yang ditangkapi aparat keamanan, diculik, disiksa,
bahkan dibunuh. Tak pelak, tahun 1997 merupakan tahun pamungkas bagi
totalitarianisme Orde Baru, sebab isu suksesi kepresidenan mulai ditiupkan kencang-
kencang. Kemarahan rakyat dan mahasiswa, khususnya terhadap Soeharto, amat tampak
dalam anekdot berikut:
(Wacana 27.1)
Malaikat Maut
Alkisah, malaikat akan mencabut nyawa seorang raja yang sudah tua renta. Ketika sang raja
sedang tidur, malaikat akan mengambil nyawa raja itu, namun tak ditemukan di tubuhnya.
Akhirnya, raja pun terbangun sambil mengumpat, “Enak aja ambil nyawa orang tanpa izin,
ngomong dulu, dong! Tuh nyawa gua ada di Bank Dunia sebagai jaminan utang.”
Malaikat pun pergi ke Bank Dunia tetapi nyawa sang raja takkan diberikan sebelum utang--
utangnya dilunasi. Malaikat pun putus asa dan kembali menghadap Tuhan. Dengan termenung
sejenak, Tuhan pun berfirman, “Beri dia kesempatan untuk hidup lebih lama lagi, biar dapat
melunasi utang luar negerinya yang setinggi gunung itu.”
Pada tahun 1998, politik Indonesia mengalami ekskalasi yang luar biasa. Soeharto
mengundurkan diri sebagai presiden pada tanggal 21 Mei 1998—dengan meninggalkan
sekian luka dan belang yang tak karuan. Di sini, anekdot-anekdot Balairung tampil untuk
menyoroti pelbagai masalah yang merupakan warisan Orde Baru, yang meliputi isu-isu
ekonomi (krisi ekonomi, utang luar negeri), politik (totalitarianisme dan kekokohan
presiden, perilaku kekuasaan, Habibie sebagai murid setia Soeharto, kekejaman militer
dan politisi, absolutisme Golkar), sosial (maraknya seminar untuk menyambut reformasi,
citra orang Indonesia di luar negeri sebagai pemerkosa, proyek mercusuar TMII, dll.),
agama (politisasi isu agama dan gender untuk mengganjal Megawati), dan pendidikan
(hegemoni wacana Pancasila-isme Orde Baru).
Sebuah anekdot bisa dikutipkan di sini untuk menyoroti masalah dosa-dosa politik
para penguasa Orde Baru, yang menunjukkan “kegemasan” mahasiswa, yang terbit di
bawah subjudul rubrik khusus “Anekdot Edisi Soeharto KO” (Balairung, Edisi 28/Th.
XIII/1998):
(Wacana 28.5)
Di Bawah Kaki Soeharto
Di neraka, berkumpullah para mantan pejabat Indonesia yang saat berkuasa giat berkorupsi
dan menindas rakyat. Mereka direndam di dalam air yang mendidih. Tubuh mereka tenggelam
sesuai tingkat dosa mereka.
Harmoko tenggelam sebatas leher, I.B. Sujana sebatas perut, Tutut bahkan tenggelam habis.
Tapi, di situ terlihat Soeharto hanya tenggelam sebatas mata kaki.
Proteslah Harmoko melihat hal itu. “Tuhan, bukankah dulu Bapak Presiden yang
menyebabkan kami melakukan korupsi dan penindasan?”
Dengan tenang Tuhan menjawab, “Harmoko, tak tahukah engkau di bawah kaki Soeharto itu
ada Hartono?”
Page 10 of 13
Pada tahun 1999, ekskalasi politik Indonesia masih tinggi, namun pelan-pelan
mendingin seiring rezim baru mulai menjalankan roda kekuasaannya. Isu-isu yang
disoroti anekdot-anekdot politik Balairung masih banyak berhabungan dengan kritik-
kritik atas penyakit-penyakit warisan Orde Baru, selain itu juga perilaku politik penguasa
baru: Abdurrahman Wahid. Yang menarik, karena menjadi edisi khusus Balairung
menyambut 50 tahun UGM, ialah munculnya isu otonomi kampus, yang biasa disebut
mahasiswa sebagai “swastanisasi kampus”, “kapitalisme pendidikan”, dll.
Mengenai perilaku Abdurrahman Wahid, kiai-presiden yang memiliki sedikit
kekurangan fisik (sakit mata akut) yang hobinya tur keliling luar negeri, namun tetap
diakui sebagai manusia yang sangat cerdas, dua buaah anekdot berikut cukup jitu dalam
membidik sasaran kritiknya:
(Wacana 31.3)
Si Buta dan Si Bisu
Alkisah, di suatu negeri yang penuh rahmat, hiduplah seorang lelaki buta dan adiknya,
seorang wanita bisu. Semua permintaan mereka kepada Tuhan selalu dikabulkan.
Si wanita bisu memohon kepada Tuhan dalam batinnya, “Berikanlah saya suara yang merdu
sehingga semua orang mau mendengarkan suara saya, Tuhan.” Kemudian, Tuhan
menjadikannya seorang penyanyi tenar.
Si lelaki buta memohon kepada Tuhan, “Ya, Tuhan, izinkanlah saya melihat dunia. Saya ingin
bepergian keliling dunia.” Tuhan mengabulkan juga permohonan si buta. Ia jadi presiden.
(Wacana 31.4)
Tender Proyek
Di sebuah negeri antah-berantah, hiduplah seorang intelektual buta yang sekarang
menduduki posisi paling penting di sana. la satu-satunya intelektual yang masih tersisa di sana.
Seluruh intelektual telah mati. Otak-otaknya dimakan penguasa sebelumnya yang kanibal.
Semua pengusaha berbondong-bondong datang kepadanya untuk mengajukan usulan
proyek. Para pengusaha itu ingin menikmati berbagai fasilitas dari negara. Usulan-usulan
diajukan satu-satu, dan diterima langsung oleh sang penguasa buta. Akhirnya, terpilihlah
seorang pemenang tender tersebut.
Seorang ajudannya heran dan bertanya, “Bagaimana Bapak bisa menentukan pemenangnya,
padahal Bapak buta?”
“Tenang sajalah,” jawabnya, “aku pilih yang mapnya paling tipis. Itulah yang paling sedikit
bohongnya.”
Isu pendidikan adalah isu yang paling dekat dengan mahasiswa, yang menjadi
hidupnya sehari-hari. Karenanya, kepekaan mereka amat tinggi terhadapnya. Menjelang
bulan Desember 1999, Balairung menerbitkan sebuah nomor khusus untuk
menyambut 50 Tahun UGM, yang diberi judul sampul “Jangan Gadaikan Kampusku”.
Edisi ini menampilkan kritik-kritik “telak” mereka terhadap proyek otonomi kampus,
khususnya di UGM, dalam dua buah anekdot. Anekdot pertama mengangkat segi
kelucuan dalam protes-protes mahasiswa, yang sangat gencar digalang, khususnya
tentang sikap birokrat kampus dalam menanggapi kritik mahasiswa. Anekdot kedua
menyoroti “kapitalisme pendidikan”, dalam bentuk dialog imajiner dengan tokoh
pendidikan-kritis alm. Romo Mangunwijaya.
(Wacana 31.1)
Otonomi 1
Para demonstran penentang otonomi PT telah tiba di Fakuftas Farmasi. Sang koordinator
lapangan terus berorasi, dilanjutkan dengan hiburan ringan. Sebagian lain menyimak sungguh-
sungguh. Kemudian, seorang mahasiswa demonstran keluar dari barisan. Ia meminta Dekan
Farmasi untuk memberikan orasi kilat soal otonomi PT.
Mahasiswa : Bapak kami minta menyampaikan orasi singkat.
Dekan : Maaf, ya, sa...sa...saya sedang nunggu telepon dari Jakarta. Sa...sama PD III
saja, ya!
Mahasiswa : Oh, ya. Jadi, bagaimana, Pak, isu otonomi PT versi rektorat?
PD III : Sa...sa...saya, apa Saudara nggak lihat! Saya sedang banyak kerjaan. Mau
nguji skripsi, ndak bisa diganggu. Pokoknya, saya setuju otonomi dengan segala keadilannya.
Page 11 of 13
(Wacana 31.2)
Otonomi 2
Kentot, mahasiswa Filsafat, sedang melakukan dialog spiritual dengan roh Romo Mangun. Ia
pesimis dengan rencana otonomi di kampusnya. Asap kemenyan pun mulai memenuhi bilik, dan
tibalah saat yang ditunggu-tunggu.
Kentot : Tolong kami, Romo, SPP akan naik dan kampus kami suatu saat akan dibeli orang
asing.
Romo : Itulah konsekuensi hidup di bumi.
Kentot : Jadi, harus bagaimana, Romo?
Romo : Kamu tenang sajalah, nggak usah khawatir. Percayalah apa yang dikatakan rektormu.
Dia ‘kan sudah bilang, kalau kamu nggak mau bersahabat dengan para kapitalis itu, hidup saja
di planet lain! Kayak saya ini, lho!
Sampai di sini, melalui studi yang pendek ini, bisa dilihat betapa aktifnya
mahasiswa merespon isu-isu aktual yang terjadi di sekitarnya. Tampaknya, tak akan ada
momen yang boleh lepas dari kritik, terutama kritik nylekit (Jawa: tajam) ala anekdot
mahasiswa dan pers mahasiswa.
3. Penutup
Bahasa takkan pernah lepas dari politik, betapapun banyak orang begitu fobia
terhadap istilah “politik” itu sendiri. Memilih memakai bahasa atau kata-kata tertentu,
menekankan pengertian tertentu atas kata-kata, bahkan menggunakan idiolek dan dialek
tertentu tiada lain dari berpolitik dalam maknanya yang paling luas dan dalam
(Pabottingi, 1996). Dus, praktik-bahasa adalah sekaligus praktik-politik, berartikulasi-
linguistis samalah dengan berartikulasi-politis. Tampak dari studi ini, mahasiswa
Indonesia telah berpolitik dengan cara mereka yang khas: memilih wacana-wacana
tertentu sebagai media artikulasi pandangan dan sikap politik mereka terhadap dinamika
politik nasional. Wacana itu adalah anekdot, yang diterbitkan melalui pers mahasiswa—
pers yang terbit oleh, dari, dan untuk mahasiswa sendiri, yang tak terkooptasi kekuasaan
yang mereka kritik. Mahasiswa sedang “mengolok-olok kekuasaan”, dengan strategi
“mati ketawa ala mahasiswa”. Maka, anekdot-anekdot politik mahasiswa dalam pers
mahasiswa telah menjadi suatu “wacana-tanding” (counter-discourse) terhadap
“wacana-dominan-hegemonik” (dominant-hegemonic-discourse) resmi dari negara.
Namun, sebuah kritik perlu diajukan di sini: benarkah anekdot merupakan media
kritik yang efektif? Apakah bisa muncul suatu perubahan struktural karena anekdot?
Bukankah seluruh peristiwa praktik bahasa dan politik ini tak lebih merupakan suatu
bentuk “frustasi politik” kaum-terkuasa, akibat aspirasi-aspirasi politiknya tak
terakomodasi di dalam proses-proses politik formal sehingga desakan perubahan
struktural pun tak terjadi?
Latar kemunculan anekdot-anekdot dalam pers mahasiswa ini bisa dibandingkan
dengan situasi serupa pada tahun-tahun 1980-an di Jerman, tatkala masih ada Jerman
Timur yang menganut ideologi sosialisme. Pada masa totalitarianisme, rakyat Jerman
Timur sangat aktif memproduksi anekdot-anekdot gosip politik, yang mengolok-olok
para pengnasanya, kaum komunis. Lantas, setelah Tembok Berlin diruntuhkan pada
tahun 1989, dan Jerman Bersatu, masyarakat eks-Jerman Timur yang sosialis pun
menyatu dengan masyarakat eks-Jerman Barat yang kapitalis. Dalam penyatuan ini,
ternyata, masih terjadi kesenjangan kultural: masyarakat eks-Jerman Timur bukanlah
masyarakat yang produktif secara ekonomis dibanding masyarakat eks-Jerman Barat.
Masyarakat eks-Jerman Timur adalah masyarakat yang frustasi, yang—setelah sekian
lama berada di bawah rezim totaliter—sudah kehilangan daya kreativitas hidupnya.
Jadi, apakah situasi demikian juga melanda masyarakat Indonesia pasca-Orde
Baru?
Page 12 of 13
Daftar Pustaka
Dhakidae, Daniel. “Penerbitan Kampus: Cagar Alam Kebebasan Pers”, dalam Prisma, No.
10/Oktober 1977.
Djajasudarma, Fatimah. 1994. Wacana: Pemahaman dan Hubuungan Antarunsur.
Bandung: Eresco.
Eriyanto. 2001. Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta: LKIS.
----------. 2000. Kekuasaan Otoriter: Dari Gerakan Penindasan Menuju Politik
Hegemoni (Studi atas Pidato-Pidato Politik Soeharto). Yogyakarta: Insist Press &
Pustaka Pelajar.
Fairclough, Norman. 1995. Critical Discourse Analysis: The Critical Study of Language.
London & New York: Longman.
Halliday, Michael Alexander Kirkwood, & Ruqaiyya Hasan. Bahasa, Konteks, dan Teks:
Aspek-Aspek Bahasa dalam Pandangan Semiotik Sosial. Penerjemah: Asruddin
Barori Tou. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Mills, Sara. 1997. Discourse. London & New York: Routledge.
Oetomo, Dede. 1993. “Pelahiran dan Perkembangan Analisis Wacana”, dalam Bambang
Kaswanti Purwo, ed. PELLBA 6. Yogyakarta: Kanisius & Lembaga Bahasa Atma Jaya
Jakarta.
Raillon, Francois. 1985. Polilik dan Ideologi Mahasiswa Indonesia: Pembentukan dan
Konsolidasi Orde Baru 1966—1974. Jakarta: LP3ES.
Siregar, Amir Effendi. 1983. Pers Mahasiswa Indonesia: Patah Tumbuh Hilang
Berganti. Jakarta: Karya Unipress.
Supriyanto, Didik. 1998. Perlawanan Pers Mahasiswa: Protes Sepanjang NKK/BKK.
Jakarta: Yayasan Sinyal & Pustaka Sinar Harapan.
Tarigan, Henri Guntur. 1987. Pengajaran Wacana. Bandung: Angkasa.
Page 13 of 13