Anda di halaman 1dari 23

I.

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Indonesia sebagai negara agraris memiliki kekayaan alam dari sektor
perkebunan. Berbagai jenis perkebunan yang dapat menjadi komoditi ekspor dapat
ditemukan di Indonesia seperti perkebunan tebu, tembakau, karet, kelapa sawit,
perkebunan buah-buahan dan sebagainya. Diantara semua jenis perkebunan di
Indonesia tersebut, perkebunan tebu merupakan sumber bahan baku untuk
pembuatan gula. Selain tebu, Indonesia masih memiliki banyak komoditas yang bisa
menghasilkan bahan gula diantaranya kelapa, aren, lontar dan nipah yang
mengandung cairan kental manis yang biasa disebut nira. Untuk mendapatkan nira
pada umumnya masyarakat melakukan penyadapan. Nira merupakan bahan gula
merah. Cairan manis ini setelah direbus secara tradisional sampai kental, dicetak dan
dipasarkan sebagai gula merah atau gula jawa. Beberapa tanaman seperti aren (enau)
sebagai salah satu penghasil nira di pulau Jawa, populasinya sangat menyusut.
Penyebabnya adalah penebangan pada usia remaja untuk diambil patinya. Kemudian
penyadapan tanaman kelapa juga terbatas hanya dilakukan oleh masyarakat di Jawa
Tengah bagian selatan.
Gula merah atau palm sugar , sebenarnya memiliki potensi ekspor yang cukup
kuat dan merupakan salah satu industri yang berpotensi besar meraup keuntungan.
Hal ini disebabkan karena proses pembuatannya yang relatif mudah, alat-alat yang
dibutuhkan sederhana, dan biaya investasinya relatif kecil. Namun permintaan
konsumen luar negeri adalah palm sugar dalam bentuk kristal yang disebut gula
semut. Selain pasar luar negeri, gula merah juga dibutuhkan pasar dalam negeri
terutama pabrik pembuatan kecap. Namun karena kurangnya pasokan gula aren,
kelapa dan lontar, maka industri kecap mengalihkannya ke gula merah dari tebu.
Industri gula merah dari tebu ini antara lain bisa dijumpai di Kab Kendal, Demak,
Purwodadi serta beberapa tempat lain di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Gula merah
tebu inilah yang akan memasok pabrik-pabrik kecap di seluruh Indonesia.
Maka dari itu, pada praktikum kali ini akan dipelajari cara pembuatan olahan
gula berupa gula merah, gula semut, gula invert, produk hidrolisat pati serta
karakterisasi komoditas pati dan gula. Selain itu, akan dilakukan juga analisis
kandungan gula dan komposisinya.
1.2 Tujuan
Pada praktikum kali ini, diharapkan praktikan dapat mengerti proses pembuatan
gula merah cetak, gula semut, gula invert dan produk hidrolisat pati. Selain itu,
praktikan juga diharapkan mengetahui karakteristik gula dan analisis produk gula.

II. METODOLOGI
2.1 Alat dan Bahan
Bahan-bahan yang digunakan adalah tebu, kapur (CaO), minyak nabati, nira aren, gula aren,
gula palem, gula pasir, gula kelapa, asam tartarat, HCl, Sodium bikarbonat, air, pati, CaCO 3, Termamil
60 L(-amylase), Amiloglukosidase, Ion, HCl 3%, arang aktif, kertas/kain saring, kertas pH, larutan
Luff, KI 20%, H2SO4 24%, Na2S2O5 0.1 N, indikator kanji 0.5%, DNS, NaOH, potasium sodium
tartarat, phenol, sodium metabisulfit, dan glukosa.
Alat-alat yang digunakan adalah wajan, saringan, kompor/pemanas listrik, pengaduk dari
kayu, penggiling tebu, cetakan dari bambu, timbangan, sendok, gelas piala, thermometer, erlenmeyer,
Hotstirer, autoclave, pipet tetes, inkubator goyang, corong buchner, penyaring vakum, labu penyaring
vakum, pipet ukur, tabung reaksi, spectrofotometer, kuvet, colorimeter, penetrometer, refraktometer,
pendingin balik, labu ukur, gelas ukur, dan buret.

2.2. Metode
2.2.1 Pembuatan Gula Merah Cetak
Tebu dikupas
Dipres
Nira

Disaring
CaCO3
Dipanaskan
Nira masak

Benang dapat dipatahkan


Dicetak hingga keras
Dikeluarkan dari cetakan

2.2.2 Pembuatan Gula Semut


Gula cetak

Dipotong kecil-kecil
Air 1:1
Disaring (jika kotor)
Larutan gula
Minyak nabati 1 sdm jika telah mendidih
Dimasak

Ditambah gula pasir jika telah kental

Diangkat dari kompor


Diaduk dengan kuat
Gula semut

Ditimbang

Pembuatan Gula Invert


A Metode Asam Tartarat

1 kg gula, 1 g asam tartarat, dan 420 ml air.

Dicampur dan dipanaskan hingga mendidih


1 kg gula dan 420 ml larutan HCl 0,1%
Suhu dipertahankan pada 100C dan diaduk selama 30 menit
Dipanaskan pada suhu 70C selama 90 menit
1,134 g sodium bikarbonat (dalam satu sendok makan air)
didinginkan
B

Metode HCl

Diaduk cepat
1,11 g sodium bikarbonat (dalam satu sendok makan air)

Gula invert metode asam tartarat


Diaduk dengan kecepatan konstan

Gula invert metode HCl.

Pembuatan Produk Hidrolisat Pati


A Maltodekstrin dengan Katalis Asam

500 ml larutan pati 30%


HCl 1N
Diatur keasaman larutan dengan HCl 1N hingga pH 2.
Dipanaskan sambil diaduk rata pada suhu 100C, 10 menit
NaOH 1N
Dinetralkan dengan NaOH 1N hingg pH 4,2

Dituang dalam Loyang dan dikeringkan dalam oven 50C, kemudiian diayak
500 ml larutan pati 30% dan 0,1 g CaCl2
Maltodekstrin
katalis asam
B Maltodekstrin
dengandengan
Katalis Enzim
Diatur keasaman larutan dengan HCl 1N hingga pH 5,2.

HCl 1N

0,7 l/g larutan -amilase


Dipanaskan sambil diaduk rata pada suhu 100oC, 30 menit

Dituang dalam loyang dan dibekukan dalam dalam lemari pendingin suhu -4oC, 11 jam untuk inaktivasi enzim.

Dikeringkan dalam oven suhu 50oC kemudian digiling dan diayak

Maltodekstrin dengan katalis enzim

Sirup Glukosa dengan Katalis Asam


200 ml larutan pati 10%
HCl 1N

Diatur keasaman larutan dengan HCl 1N hingga pH 2.


Dipanaskan sambil diaduk rata pada suhu 100C, 60 menit
Larutan Iod dan NaOH 1N

uji dengan Iod.Jika pati positif, pemanasan dilanjutkan. Jika pati negative dinetralkan dengan NaOH 1N hingga pH 4,2

Dituang dalam wadah

200 ml larutan pati 30%


Sirup glukosa dengan katalis asam
HCl 1N
Diatur keasaman larutan dengan HCl 1N hingga pH 6,0-6,5.
0,1 ml larutan -amilase
D Sirup Glukosa dengan Katalis Enzim
Dipanaskan sambil diaduk rata pada suhu 100C, 30 menit
Didinginkan hingga suhu 60C
HCl 1N
Diatur pH larutan hingga menjadi 5,0-5,5

0,5 ml enzim amiloglukosidase


Diinkubasi pada suhu 60C selama 48 jam

Sirup glukosa dengan katalis asam

5
1

Analisis Produk Gula


Uji warna

Gula merah cetak, gula semut, gula invert, dan produk hidrolisat pati

Diamati secara visual

Hasil pengamatan dicatat


2

Uji kekerasan

Uji kekerasan diuji dengan penetrometer


Sebanyak 2 gram contoh dilarutkan di dalam air dan dimasukkan ke dalam labu ukur 250 ml.

3 Gula pereduksi
(metode
Luff schoorl)
k oleh penetrometer, lalu dihitung
waktu yang
diperlukan
untuk menembus sampel. kekerasaan dinyatakan dalam mm
Labu ukur dikocok dan ditera dengan aquades kemudian dikocok 12 kali. Larutan didiamkan dan disaring

aringan dipipet dan dimasukkan ke dalam erlenmeyer, lalu ditambahkan 15 ml akuades dan 25 ml larutan Luff Schroll d

Erlenmeyer dihubungkan dengan pendingin balik dan dipanaskan selama 10 menit, kemudian diangkat dan diding

ngin ditambahkan 10 ml larutan KI 20% dan 25 ml H2SO4 25% ditambahkan dengan hati-hati karena akan dihasilkan C

Larutan dititrasi dengan larutan tio 0,1 N, larutan kanji digunakan sebagai indikator.

osedur blanko ditentukan seperti prosedur di atas. Namun larutan yang digunakan adalah aquades 25 ml dan 25 ml laru

Gula pereduksi (metode DNS)

Sebanyak 10, 6 gram DNS dan 19,8 gram NaOH dilarutkan ke dalam 1416 ml aquades.

tambahkan 306 gram potasium sodium tartarat, 7.6 gram phenol (sebelumnya dicairkan terlebih dahulu pada suhu 50

Sebanyak 3 ml larutan ini dititrasi dengan HCl 0.1 dengan indicator phenolptalein.

Cara Analisa:
Larutan ditambahkan dengan
NaOH bila dibutuhkan sebanyak 2 gram untuk setiap mL penggunaan HCl 0.1 N pada

n ke dalam tabung reaksi dan ditambahkan 3 ml pereaksi DNS, kemudiandiletakkan di dalam air mendidih selama 5 me

Sampel dibaca dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 550 nm.

Ditetapkan juga untuk blanko seperti cara diatas, tetapi contoh diganti dengan aquades

Diukur dan dicatat nilai absorbansi atau % transmittance.

Kurva standar dibuat dengan membuat larutan glukosa konsentrasi 100 ppm, 150 ppm, 200 ppm dan 250 pp

Nilai yang dapat digunakan pada selang 10%-80%.

Kadar sukrosa (metode Luff schoorl)

Sebanyak 50 ml hasil saringan pada penetapan gula pereduksi dimasukkan ke dalam labu ukur 100 ml.

udian dihidrolisis pada suhu 68-70C selama 10 menit, kemudian larutan segera didinginkan dan dinetralkan dengan N

tan tersebut dimasukkan ke dalam erlenmeyer, lalu ditambahkan 15 ml aquades dan 25 ml larutan luff school serta beb

Setelah dingin ditambahkan 10 ml larutan KI 20% dan 25 ml H2SO4 25% dengan hati-hati karena akan dihasilkan CO2

Larutan dititrasi dengan larutan tio 0,1 N dan larutan kanji 0,5 % digunakan sebagai indikator.
% gula sesudah inversi = x 100%
Tingkat hidrolisis = x 100%

Kandungan total gula (metode fenol-asam sulfat)

Sebanyak 2 ml larutan sampel (mengandung 20-50 ppm glukosa) dipersiapkan terlebih dahulu.

Ditambahkan 1 ml larutan fenol 5% dan dikocok, lalu ditambahkan 5 ml asam sulfat pekat, kemudian idiamkan hing

Nilai absorbansi diukur pada panjang gelombang 490 nm.

Kurva standar diukur pada konsentrasi 10-60 ppm glukosa.

II.

PEMBAHASAN

3.1 Hasil Pengamatan


(Terlampir)
3.2 Pembahasan
Nira merupakan cairan manis yang terdapat di dalam bunga tanaman aren,
kelapa dan lontar yang pucuknya belum membuka dan diperoleh dengan cara
penyadapan. Pada umumnya masyarakat memanfaatkan nira aren dan nira kelapa
untuk pembuatan gula merah/gula jawa dan gula semut, selain itu dapat digunakan
sebagai minuman segar baik dari niranya langsung maupun nira yang dibuat sirup.
Nira aren dan nira kelapa mempunyai beberapa perbedaan dari segi warna, aroma,
rasa maupun kadar kotorannya. Nira aren terasa lebih manis, lebih jernih dan lebih
segar daripada nira kelapa, namun jumlah padatan terlarut nira kelapa lebih tinggi
daripada nira aren (Dyanti, 2002).
Kandungan Gula Jawa yakni diantaranya serat pada warna ccoklatnya, kalori,
kalsium, protein kasar, mineral, vitamin dan senyawa-senyawa yang berfungsi

menghambat penyerapan kolesterol di saluran pencernaan. Nira aren mudah


mengalami kerusakan karena dipengaruhi oleh kondisi lingkungan selama
penyadapan dan pengangkutan ke tempat pengolahan dan kerusakan akibat proses
fermentasi. Fermentasi ini disebabkan oleh aktifitas enzim invertase yang dihasilkan
oleh mikroba yang mengkontaminasi nira (Hamzah dan Hasbullah, 1997). Mikroba
tersebut antara lain Saccaromyces cereviceae yang membantu proses hidrolisis
sukrosa menjadi gula pereduksi di dalam nira (Goutara dan Wijandi, 1980). Pada
proses fermentasi nira, kandungan brix akan menurun dengan cepat, sementara
kandungan asam seperti asam asetat, laktat, dan tartarat cenderung meningkat.
Perubahan ini ditandai dengan penurunan pH dan penurunan kadar brix. Menurut
Safari (1995), persyaratan brix dan pH pada cairan nira harus berada pada kisaran
yang ditentukan agar nira dapat diolah menjadi gula aren, yaitu dengan pH berkisar
6-7,5 dan kadar brix di atas 17%.
Petani/pengumpul nira tradisional menggunakan bahan tambahan berupa buah
safat, biji jarak, biji kemiri, dan minyak kelapa untuk mengurangi terjadinya
fermentasi nira aren. Bahan tambahan tersebut mengandung tannin dan lemak yang
dapat menghentikan proses fermentasi. Menurut Maynard (1990), sifat tannin dan
lemak penting sebagai bahan pengawet karena menghambat adsorbsi permukaan
yang dilakukan oleh khamir, yaitu Saccaromyces cereviceae terhadap substrat.
Penambahan bahan tambahan ini juga digunakan untuk mengurangi rekasi hidrolisis
sukrosa menjadi gula reduksi. Ada tidaknya sifat pereduksi dari suatu molekul gula
ditentukan oleh ada tidaknya gugus hidroksil (OH) bebas yang reaktif.
Tahap awal pembuatan gula merah cetak adalah menggiling batang tebu yang
telah dikupas kulitnya. Hasil gilinganya berupa nira tebu, nira tebu ditampung dalam
baskom.Kondisi terbaik dalam pembuatan gula merah cetak adalah nira dengan kadar
gula di atas 12% dan dengan pH 6-7.Tahap selanjutnya adalah pemasakan nira tebu.
nira tebu dipanaskan dengan wajan dan suhu 110-1200oC. Nira tebu yang
dipanaskan harus terus menerus diaduk agar nira tidak menguap. Pada proses
pemasakan, lama-kelamaan akan timbul buih, untuk menghilangkan buih trersebut,
dapat ditambahkan sedikit minyak nabati. Untuk mengetahui apakah nira sudah
masak atau belum, dapat dicoba dengan cara meneteskan nira ke dalam air. Apabila
nira langsung mengeras, menandakan nira telah masak dan siap untuk dicetak. Ketika
nira telah masak, nira harus terus-menerus diadukagar agar dingin lebih cepat.
Setelah nira dingin, nira dimasukan kecetakan bambu yang telah dibasahi air agar
mudah dilepaskan dari cetakan. (BP2TP, 2010)
Pada saat pembuatan gula merah cetak, dilakukan dua macam perlakuan, yaitu
dengan penambahan kapur dan tanpa penambahan kapur. Penambahan kapur dalam
pembuatan gula merah ini berfungsi untuk memurnikan nira tebu. Proses pemurnian
nira tebu ini bertujuan untuk meningkatkan kadar sukrosa dalam nira. Kadar sukrosa
meningkat ketika bahan lain selain sukrosa dapat dibuang dari nira tebu ini. Namun
ketika penambahan kapur yang berlebihan akan membuat rasa gula merah menjadi
kurang enak sehingga akan menurunkan kualitas darfi gula merah tersebut. Gula
merah yang dihasilkan dari perlakuan penambahan kapur akan terlihat lebih bersih
dan memiliki kadar sukrosa yang tinggi. Sedangkan gula merah tanpa penambahan
kapur akan terlihat kurang bersih dan kadar sukrosanya rendah.
Gula Merah tebu adalah gula yang dihasilkan dari pengolahan air/sari tebu
(Saccharum offrcinarum) melalui pemasakan dengan atau tanpa penambahan bahan
tambahan makanan yang diperbolehkan, dan berwarna kecoklatan. Adapun

spesifikasi persyaratan mutu menurut SNI 01-6237-2000, seperti yang dicantumkan


dalam tabel berikut ini:

No

1.

2.
3.
4.
5.
6.

7.

8.

Persyaratan
Mutu I

Mutu II

Khas
Khas
Coklat
Muda
sampai Tua
Tidak Bejamur
Maks 1,0

Khas
Khas
Coklat
muda
sampai Tua
Tidak Berjamur
Maks 5,0

%
%

Maks 8,0
Min 65

Maks 10,0
Min 60

Maks 11

Maks 14

mg/kg
mg/kg

Maks. 20
Maks. 200

Maks 2,0
Maks 200

mg/kg
mg/kg
mg/kg
mg/kg
mg/kg
mg/kg

Maks 2,0
Maks 2,0
Maks 40,0
Maks 40,0
Maks 0,03
Maks 1,0

Maks 2,0
Maks 2,0
Maks 40,0
Maks 40,0
Maks 0,03
Maks 0,1

Jenis Uji

Satuan

Keadaan
- Bau
- Rasa
-Warna

- Penampakan
Bagian yang tak larut dalam air,
b/b
Air, b/b
Gula (dihitung sebagai sakarosa),
b/b
Gula pereduksi (dihitung sebagai
glukosa. b/b
Bahan tambahan pengawet
- residu
- benzoat
Cemaran Logam
- timbal (Pb)
- tembaga (Cu)
- seng (Zn)
- timah (Sn)
- raksa (Hg)
Cemaran arsen

Pada prinsipnya, proses pembuatan gula merah tebu sama dengan gula merah
dari kelapa, aren, atau lontar (Ashari et al, 2003). Tebu digiling pada mesin
penggiling, kemudian nira disaring dan dimasak dalam wajan besar untuk diuapkan
airnya. Dalam skala industri penguapan dilakukan secara bertahap dengan
memindahkan nira secara berurutan ke wajan lain yang tersusun secara berderet dari
depan ke belakang. Semakin ke depan posisi wajan, nira semakin kental. Nira pada
wajan yang di depan (biasanya wajan pertama atau kedua dari depan) telah siap
diangkat untuk dicetak. Sebelum dicetak, nira kental (gulali) dimasukin ke dalam
jambangan besar kemudian diaduk selama 15 menit agar cepat kering dan tidak
lengket serta warnanya lebih kuning. Selanjutnya gulali dicetak menggunakan
cetakan dari tempurung kelapa yang menyerupai mangkok, sehingga gula merah ini
disebut mangkok. Dalam pembuatan gula merah, juga ditambahkan kapur untuk
menghilangkan kotoran dan yang utama agar gula tidak lembek. Kotoran akan
terangkat ke atas bersama busa dan kemudian dibuang dengan menggunakan serok.
Agar gula tampak kuning kemerahan dan bersih, biasanya juga ditambahkan obat
gula.

Pembuatan gula merah pada praktikum kali ini dilakukan dengan pembedaan
sampel tebu bagian atas dan bagian bawah serta penambahan tidaknya larutan kapur.
Penimbangan tebu yang digunakan dilakukan sebagai bahan baku dengan kategori
berat utuh, berat kulit, dan berat tanpa kulit. Secara umum bobot tebu bagian atas
tidak lebih besar dari bobot tebu bagian bawah. Berat kulit yang diperoleh secara
umum dimayoritasi oleh kulit tebu bagian atas, hal ini menunjukkan adanya
kemungkinan ketebalan kulit tebu bagian atas lebih tebal dari bagian bawah. Hal
tersebut bisa juga disebabkan karena perbedaan jenis dan tingkat pengupasan kulit
oleh praktikan sehingga mempengaruhi bobot kulit. Ini tentunya akan berpengaruh
pada bobot tanpa kulit tebu yang secara umum didominasi oleh tebu bagian bawah.
Terdapat pula kehilangan masa yang terjadi, yakni selisih dari berat utuh dengan
berat kulit dan berat tanpa kulit yang tidak sama dengan nol. Hal ini disebabkan
adanya masa yang hilang saat pengupasan dalam bentuk remahan-remahan kecil dan
terbuang.
Nira yang diperoleh dari hasil penggilingan rata-rata menunjukkan dominasi
volume yang lebih tinggi pada nira tebu bagian bawah meskipun dengan selisih yang
tidak signifikan. Kadar gula (brix) yang tertinggi dimiliki oleh nira pada tebu bagian
bawah. Hal ini didasari oleh morfologi tanaman tebu yang memang akan lebih manis
pada batang bagian bawahnya. Nira tebu pada bagian bawah memiliki sukrosa dan
glukosa yang akan digunakan sebagai cadangan makanan, sedangkan pada bagian
atas lebih diutamakan untuk proses fotosintesis, ini yang pada akhirnya
mempengaruhi rasa pada tebu bagian bawah seharusnya lebih manis dari tebu bagian
atas. Warna yang dimiliki pun secara garis besar menunjukkan warna cokelat yang
menandakan kandungan sukrosa dan glukosa yang dimilikinya beserta dengan
kotoran saat penyariangan. Aroma yang dimilikinya secara umum sama, hal ini
mengindikasikan bahwa tidak ada pengarus secara langsung terhadap aroma antara
tebu bagian atas dan tebu bagian bawah.
Setelah melalui proses pemasakan dan pengadukkan, diperoleh gula merah
dengan bobot rata-rata yang didominasi oleh gula tebu bagian bawah. Hal ini
mengindikasikan rendemen yang dimiliki oleh tebu bagian bawah lebih tinggi dari
pada tebu bagian atas. Adapun warna yang diperoleh secara umum adalah cokelat,
dan seuai dengan standar nasional indonesia tentang warna, yakni diantara cokelat
muda hingga cokelat tua. Warna cokelat yang terbentuk dipengaruhi oleh protein
yang terbakar pada saat proses pemasakan, jadi semakin gelap warna gula maka
kandungan proteinnya semakin besar. Aroma yang terbentuk secara umum sama,
yakni aroma khas gula merah.
Gula semut merupakan bentuk diversifikasi produk gula merah yang berbentuk
serbuk (Herman, 1984). Gula semut yang dikenal di Indonesia terbuat dari nira aren.
Beberapa daerah yang menghasilkan gula semut di Indonesia antara lain Garut, aceh,
Cianjur, Batanghari, Sukabumi dan Subang. Pembuatan gula semut pada prinsipnya
sama dengan pembuatan gula merah cetak, hanya karena sudah berbentuk kristal
kecil, penggunaannya menjadi lebih praktis dibandingkan dengan gula cetak. Gula
semut digunakan sebagai pemanis pada roti, kue dan dapat juga digunakan pada
minuman seperti teh dan kopi.
Menurut Herman (1984), ada dua cara pembuatan gula semut. Cara pertama
dilakukan dengan pengirisan gula nerah tipis-tipis, pengeringan di bawah sinar
matahari selama dua sampai tiga hari, lalu penghancuran dan pengayakan. Cara
lainnya adalah dengan penyaringan nira, pemanasan selama 4 jam (tergantung

volume nira), penambahan minyak kelapa untuk mengurangi buih, pendinginan dan
pengadukan secara intensif sampai terbentuk kristal-kristal dan pengadukan.
Pembuatan gula semut membutuhkan nira dengan mutu yang lebih baik daripada
pembuatan gula merah. Nira yang dapat diolah menjadi gula merah, belum tentu
dapat diolah menjadi gula semut. Hal ini dikarenakan pada pembuatan gula semut
harus melewati tahap kristalisasi. Nira yang mutunya rendah akan sulit mengkristal.
Di Indonesia gula semut dibuat dengan tiga cara, yaitu (1) penepungan gula merah
cetak, (2) pemanasan dan pengadukan nira secara intensif untuk mendapatkan kristal
gula, dan (3) pemanasan dan pengadukan intensif dari campuran gula merah cetak
dengan air atau nira (Herman, 1984).
Syarat mutu gula semut berdasarkan SII, yaitu:
N Kriteria Uji
Satuan
Persyaratan
1 Keadaan:
- Bentuk
Normal
- warna
kuning kecoklatan
- rasa
normal dan khas
2 Bagian yang tidak larut dalam air
%b/b
maks. 0.2
maks.3.0
3 Air
%b/b
maks.2.0
4 Abu
%b/b
maks.6.0
5 gula pereduksi
%b/b
min.90
6 jumlah gula sebagai Sakarosa
%b/b
7 cemaran logam:
Timbal (Pb)
mg/kg
maks.2.0
Tembaga (Cu)
mg/kg
maks.10.0
Seng (Zn)
mg/kg
maks.40.0
Timah (Sn)
mg/kg
maks.40.0
Raksa (Hg)
mg/kg
maks.0.03
8
Arsen
mg/kg
maks. 1.0
Dalam praktikum ini pembuatan gula semut dilakukan dengan cara pertama
yaitu dengan menggunakan gula merah. Pembuatan gula dimulai dengan pengirisan
gula merah kemudian dilanjutkan dengan pelarutan gula dengan air untuk kemudian
dimasak. Larutan gula dimasak sampai kental. Dalam pemasakan larutan gula
ditambahkan santan yang bertujuan untuk mengurangi pembentukan buih yang
berlebihan selama penguapan (Sagala et al, 1978).Larutan kemudian diuji
kemasakannya dengan memasukkannya ke air. Jika telah membentuk seperti gulali
yang keras, larutan kental ini diangkat dari kompor dan di aduk sampai membentuk
kristal gula.
Perlakuan yang diberikan dalam praktikum adalah penambahan seed gula pasir
sebanyak 10 % dan 5 %. Gula merah yang digunakan dalam praktikum ada dua yaitu
gula aren dan gula kelapa. Penambahan gula pasir bertujuan untuk memancing
terbentuknya kristal gula secara cepat. Penambahan gula pasir dilakukan ketika
larutan pekat akan diangkat dari kompor.
Hasil praktikum menunjukkan bahwa seluruh kelompok berhasil membentuk
serbuk. Gula semut yang membentuk serbuk memiliki rasa yang manis. Aroma yang
dihasilkan gula semut dari kelapa memiliki aroma khas gula kelapa sedangkan aroma
gula semut dari aren memiliki aroma khas gula aren. Warna gula semut yang
dihasilkan dari gula kelapa dan warna gula semut aren berwarna coklat muda. Data

praktikum menunjukkan bahwa gula aren lebih berhasil untuk dibuat gula semut
dibandingkan dengan gula kelapa dengan gula kristal 5%. Hal ini tidak sesuai dengan
penelitian Putra (1990) yang menyebutkan bahwa gula semut dari kelapa memiliki
warna yang lebih muda dibandingkan gula semut dari aren. Perbedaan warna antara
gula semut dari nira kelapa dengan gula semut dari nira aren dipengaruhi oleh
komposisi nira. Kadar gula pereduksi nira aren relatif lebih tinggi dibandingkan nira
kelapa. Gula pereduksi jika bereaksi dengan senyawa amino mampu menghasilkan
pigmen coklat yang dikenal sebagai reaksi maillard. Selain reaksi pencoklatan, warna
pada gula semut diduga dipengaruhi oleh zat warna yang terdapat pada nira. Kakde
(1985) mengemukakan bahwa antosianin merupakan zat warna paling penting
selama proses, karena zat ini larut dalam air dan larut dalam larutan gula sehingga
sulit dieliminasi.
Sukrosa adalah jenis gula terbanyak di alam, diperoleh dari ekstraksi batang
tebu, umbi beet, nira palem dan nira pohon kelapa. Jenis gula ini paling banyak
dikonsumsi dalam rumah tangga, rumah makan, catering dan sebagainya. Sukrosa
lebih dikenal sebagai gula pasir. Sebuah molekul sukrosa terdiri dari 2 molekul gula
yaitu satu molekul glukosa dan satu molekul fruktosa. Oleh pemberian zat kimia
(asam) molekul sukrosa pecah menjadi dua molekul tersebut. Sukrosa tidak
mempunyai gugus OH bebas yang reaktif karena keduanya sudah saling terikat,
sedangkan laktosa mempunyai OH bebas pada atom C no. 1 pada gugus glukosanya.
Karena itu, laktosa bersifat pereduksi sedangkan sukrosa bersifat non pereduksi.
Sukrosa adalah oligosakarida yang berperan penting dalam pengolahan makanan dan
banyak terdapat pada tebu, bit, siwalan, dan kelapa kopyor. Menurut Agustina
(1982), reaksi hidrolisis ini biasa disebut dengan inversi karena terjadi perubahan
arah putaran optik.
Sukrosa + air
D(+)glukosa +
D(-)fruktosa
[a]D = +66,50
[a]D = +52,50
[a]D = -920
[ a ] = - 200

Proses inversi glukosa menjadi gula invert dipengaruhi oleh beberapa faktor,
yaitu suhu pemanasan, lama pemanasan dan konversi asam yang digunakan.
Beberapa asam yang dapat digunakan untuk menginversi sukrosa adalah HCl, H2SO4,
H3PO4, asam tartarat, asam sitrat dan asam laktat. Masing-masing asam memiliki
kekuatan inversi yang berbeda tergantung dari kekuatan ionisasinya. Secara
komersial, asam klorida banyak digunakan untuk menghidrolisa sukrosa karena asam
klorida mempunyai daya inversi yang tinggi (Palungkun, 1993).
Pada pembuatan sirup, gula pasir (sukrosa) dilarutkan dalam air dan
dipanaskan, sebagian sukrosa akan terurai menjadi glukosa dan fruktosa, yang
disebut gula invert. Gula invert tidak dapat berbentuk kristal karena kelarutan
fruktosa dan glukosa sangat besar. Ada dua cara pembuatan gula invert, yaitu dengan
menghidrolisis sukrosa dengan asam dan secara enzimatis menggunakan invertase
(Junk dan Pancoast, 1980). Kadar gula pereduksi sirup gula invert ditentukan oleh
kesempurnaan proses hidrolisis. Apabila konsentrasi asam dan waktu hidrolisis
berlebihan maka kadar gula pereduksinya akan turun. Hal ini karena glukosa dan
fruktosa yang telah terbentuk selama hidrolisis pada suasana asam dan suhu tinggi
dapat terurai menjadi senyawa lain yang tidak diinginkan yaitu Hidroksimetil
furfural, sehingga akan menurunkan kadar gula pereduksi (Hall, 1973).

Pada praktikum kali ini akan dilakukan praktikum untuk membuat gula invert.
Pembuatan gula invert ini dibuat dari gula pasir, gula kelapa, dan gula aren.
Perlakuan yang diberikan adalah pemberian asam yang berbeda yaitu asam kuat HCl
dan asam lemah asam tartarat. Asam digunakan untuk memecah ikatan antara
glukosa dan fruktosa yang membentuk sukrosa. Mula-mula gula yang berbentuk
padatan dilarutkan dengan aquades dan kemudian disaring untuk menghilangkan
kotoran yang ada pada gula. Kemudian, larutan gula itu dipanaskan pada suhu 100 0C
untuk asam klorida dan pada suhu 70 0C untuk gula yang ditambah asam tartarat.
Suhu yang diberikan berbeda karena asam kuat akan menghidrolisis sukrosa lebih
cepat daripada asam lemah. Hal ini dikarenakan sifat asam yang kuat akan jauh lebih
cepat memecah ikatan yang ada pada sukrosa. Larutan tadi dipanaskan selama 30
menit untuk gula yang dicampur asam tartarat dan selama 1,5 jam untuk gula yang
dicampur asam klorida. Setelah itu, larutan diangkat dan ditunggu sampai hangat,
lalu ditambah sodium bikarbonat. Penambahan sodium bikarbonat yang bersifat basa
adalah untuk menetralkan sifat asam pada larutan, sehingga terbentuk garam.
Hasil dari praktikum ini adalah, bobo gula invert paling tinggi pada gula aren
dengan penambahan HCl diikuti dengan gula kelapa dengan penambahan HCl dan
gula pasir dengan penambahan asam tartarat. Kadar sukrosa yang terhidrolisis tidak
dapat diuji secara langsung dan secara sederhana. Uji yang dapat dilakukan untuk
menguji kadar sukrosa yang terhidrolisis adalah dengan uji Luff Schrool. Uji ini akan
dilakukan dan diidentifikasi karakteristiknya saat uji analisis produk gula.
Hidrolisis merupakan reaksi pengikatan gugus hidrolisis/OH oleh suatu
senyawa. Gugus senyawa dapat diperoleh dari senyawa air. Hidrolisis dapat
digolongkan menjadi hidrolisis murni, hidrolisis katalis asam, hidrolisis katalis basa,
gabungan alkali dengan air, dan hidrolisis dengan katalis enzim. Hidrolisis pati
terjadi antara suatu reaktan pati dengan reaktan air. Reaksi ini adalah orde satu
karena reaktan air yang dibuat berlebih, sehingga perubahan reaktan dapat diabaikan.
Reaksi hidrolisis pati dapat menggunakan katalisator ion H+ yang dapat diambil dari
asam. Reaksi yang terjadi pada hidrolisis pati adalah sebagai berikut (C6H10O5)x +
H2O C6H12O6. Produk hasil hidrolisat pati sangat banyak digunakan dan
diterapkan dalam penggunaan pati pada produk-produk pengolahan hasil pangan.
Proses hidrolisat pati menggunakan asam maupun enzim adalah proses yang umum
digunakan untuk mengubah pati menjadi molekul yang lebih kecil lagi bahkan
hingga mengubah pati menjadi gula sederhana.
Aplikasi hidrolisa pati banyak digunakan dalam Industri makanan dan minuman
menggunakan sirup glukosa hasil hidrolisis pati sebagai pemanis. Produk akhir
hidrolisa pati adalah glukosa yang dapat dijadikan bahan baku untuk produksi
fruktosa dan sorbitol. Hasil hidrolisis pati juga banyak digunakan dalam industri
obat-obatan. Dan juga glukosa yang dihasilkan dapat digunakan sebagai bahan baku
pembuatan bioethanol. Penggunaan asam sebagai penghidrolisa menghasilkan biaya
produksi yang sedikit, namun produk yang dihasilkan tidak seragam dan banyak
senyawa pati yang rusak oleh asam tersebut, sedangkan penggunaan enzim sebagai
penghidrolisa menghasilkan produk yang seragam, lebih terkontrol, namun biaya
produksi lebih tinggi karena harga dari enzim sendiri lebih mahal jika dibandingkan
dengan asam.
Sirup glukosa yang mempunyai nama lain dectrose adalah salah satu produk
bahan pemanis makanan dan minuman yang berbentuk cairan, tidak berbau dan tidak
berwarna tetapi memiliki rasa manis yang tinggi. Sirup glukosa atau sering juga

disebut gula cair dibuat melalui proses hidrolisis pati. Perbedaannya dengan gula
pasir yaitu, gula pasir (sukrosa) merupakan gula disakarida, sedangkan sirup glukosa
adalah monosakarida, terdiri atas satu monomer yaitu glukosa. Sirup glukosa dapat
dibuat dengan cara hidrolisis asam atau dengan cara enzimatis. Dari kedua cara
tersebut, pembuatan sirup glukosa secara enzimatis dapat dikembangkan di pedesaan
karena tidak banyak menggunakan bahan kimia sehingga aman dan tidak
mencemarilingkungan. Bahan lain yang diperlukan adalah enzim amilase .
Secara umum proses pembuatan sirup glukosa dapat dilakukan dengan dua cara
yaitu hidrolisis secara enzimatis dan hidrolisis secara asam. Hidrolisis secara
enzimatis memutus rantai pati secara spesifik pada percabangan tertentu. Hidrolisis
enzimatis memiliki beberapa keuntungan, yaitu prosesnya lebih spesifik, kondisi
prosesnya dapat dikontrol, biaya pemurnian lebih murah, dihasilkan lebih sedikit abu
dan produk samping, dan kerusakan warna dapat diminimalkan. Pada hidrolisis pati
secara enzimatis untuk menghasilkan sirup glukosa, enzim yang dapat digunakan
adalah -amilase, -amilase, amiloglukosidase, glukosa isomerase, pullulanase, dan
isoamilase.
Tahapan pembuatan sirup glukosa dengan cara hidrolisis menggunakan enzim
terdiri dari likuifikasi, sakarifikasi, purifikasi, dan evaporasi. Tingkat mutu sirup
glukosa yang dihasilkan ditentukan oleh kadar air, warna sirup, dan tingkat konversi
pati menjadi komponen-komponen glukosa, maltosa, dan dekstrin, yang dihitung
sebagai ekuivalen dekstrosa (DE). Nilai ekuivalen dekstrosa (DE) sirup glukosa yang
tinggi dapat diperoleh dengan optimalisasi proses likuifikasi dan sakarifikasi,
sedangkan kadar padatan dan warna sirup glukosa yang sesuai standar (SNI)
diperoleh dengan proses evaporasi. Hidrolisis pati dengan menggunakan katalis
asam, molekul pati akan dipecah secara acak oleh asam dan gula yang dihasilkan
sebagian besar merupakan gula pereduksi. Pada hidrolisis pati menggunakan katalis
enzim, molekul pati akan dipecah atau diputus oleh enzim secara spesifik pada
percabangan tertentu. Hidrolisis pati secara asam hanya akan mendapatkan sirup
glukosa dengan dektrosa equivalen (DE) sebesar 55%. Sedangkan hidrolisis pati
secara enzimatis akan mendapatkan sirup glukosa dengan DE lebih dari 95%.
Maltodekstrin adalah salah satu jenis pati temodifikasi yang digunakan dalam
berbagai industri, antara lain industri makanan, minuman, kimia dan farmasi (SNI
7599:2010).Maltodekstrin didefinisikan sebagai produk hidrolisis pati yang
mengandung unit -D-glukosa yang sebagian besar terikat melalui ikatan 1,4
glikosidik dengan DE kurang dari 20. Rumus umum maltodekstrin adalah
[(C6H10O5)nH2O)]. Maltodekstrin merupakan campuran dari glukosa, maltosa,
oligosakarida, dan dekstrin (Deman, 1993).Maltodekstrin pada dasarnya merupakan
senyawa hidrolisis pati yang tidak sempurna, terdiri dari campuran gula-gula dalam
bentuk sederhana (mono- dan disakarida) dalam jumlah kecil. Maltodektrin sangat
banyak aplikasinya, seperti halnya pati maltodekstrin merupakan bahan pengental
sekaligus dapat sebagai emulsifier. Kelebihan maltodekstrin adalah bahan tersebut
dapat dengan mudah melarut pada air dingin. Aplikasinya penggunaan maltodekstrin
contohnya pada minuman susu bubuk, minunan berenergi (energen) dan minuman
prebiotic.
Proses pembuatannya ada dua yaitu, maltodekstrin dengan hidrolisat asam dan
maltodekstrin dengan hidrolisat enzim. Maltodekstrin dengan hidrolisat asam
prosesnya cukup sederhana yang pertama larutkan tapioca kedalam air hingga
konsentrasi 30%. Kemudian tambahkan asam (HCl) kedalamnya dan dipanaskan

pada suhu antara 80-90 C dalam pemanasan harus selalu diaduk untuk
menghindari proses gelatinisasi dari pati. Proses berikutnya adalah mengeringkan
suspense tersebut dengan oven. Jika telah dikeringkan, produk yang masih dalam
bentuk kerak digiling menggunakan blender hingga halus. Produk dikemas dan
disimpan dalam tempat yang kering. Untuk maltodekstrin dengan hidrolisat enzim
caranya hamper sama hanya mengganti asam yang telah ditambahkan dengan enzim.
Jika dibandingkan proses pembuatan maltodekstrin dengan hidrolisat enzim akan
lebih mudah dengan biaya yang murah daripada pembuatan matodekstrin dengan
hidrolisat asam.
Uji warna dilakukan pada semua gula yang dibuat selama praktikum, meliputi
gula merah cetak, gula semut, dan gula invert. Pada gula merah cetak yang dibuat
dari tebu secara umum masuk pada rentang cokelat muda hingga cokelat pudar.
Cokelat muda ditunjukkan oleh gula pada tebu yang dihasilkan oleh kelompok 2
(gula tebu bagian bawah) dan kelompok 3 (gula tebu bagian campur). Warna tebu
yang cokelat tua secara umum lebih mengkilat, hal ini disebabkan oleh kandungan
air yang lebih tinggi masih terkandung di dalamnya karena proses produksi dan
penyimpanan yang mungkin berbeda.
Pada gula semut, warna gula yang diperoleh dari pengolahan nira aren dan
kelapa masuk pula pada rentang cokelat muda dan cokelat muda. Hanya saja, gula
semut akan lebih baik jika warnanya cenderung lebih muda. Dalam hal ini kadar air
juga mempengaruhi penampakan gula. Gula semut yang diperoleh dari kelapa pada
kelompok 4, 5 dan 6 cenderung berwarna cokelat muda. Sedangkan pada gula aren
warna yang diberikan yaitu cokelat pudar hingga cokelat muda. Pemasakkan yang
dilakukan akan membakar protein yang berdampak kepada kegelapan warna. Jadi,
semakin gelap gula, semakin banyak protein yang terbakar. Sedangkan, pada gula
invert, dilakukan 3 pembedaan sampel bahan baku, yakni gula aren, gula kelapa, dan
gula pasir. Gula invert aren dan kelapa berwarna cokelat tua, sedangkan gula pasir
cenderung berwarna kuning bening sesuai dengan karakteristik gulanya yang telah
mengalami pemucatan. Metode yang diberikan pada gula invert dengan penambahan
asam tartarat dan HCl.
Uji kekerasan menggunakan alat penetrometer dengan waktu uji selama 10
detik. Prinsip kerja alat ini adalah mengukur gaya yang diperlukan untuk menembus
suatu bahan dalam waktu yang ditentukan, atau hingga jarum penetrometer tidak
dapat lagi menembus bahan yang diuji. Uji kekerasan ini tidak dilakukan karena alat
yang digunakan masih dalam keadaan yang tidak bisa dipakai.
Menurut Supardi (1993) faktor kekerasan gula merah meliputi kadar air
produk, perlakuan selama penyimpanan, penambahan minyak nabati, penundaan
pengolahan nira, dan penambahan pati. Semakin rendah kadar air suatu produk,
maka kekerasan yang dihasilkan akan semakin tinggi. Kadar air tersebut dipengaruhi
oleh lama pemasakkan saat memproduksi gula merah. Perlakuan selama
penyimpanan berpengaruh pula terhadap kekerasan gula metah. Kelunakan gula
merah selama penyimpanan pada umumnya disebabkan oleh peningkatan kadar air
produk, akibat pengikatan air yang berasal dari lingkungan oleh produk. Cara
pengemasan yang salah seperti mengemas gula dalam kantung plastik dalam keadaan
masih panas, dapat menyebabkan gula menjadi lunakatau basah pada bagian
permukaan. Pelunakan terjadi akibat akumulasi atau pengembunan uap air yang
berasal dari dalam gula itu sendiri karena tertahan oleh plastik, dan terserap ke
permukaan gula.

Minyak nabati yang ditambahkan kedalam adonan gula merah juga


mempengaruhi kekerasan gula merah. Penambahan minyak yang terlalu banyak
dapat menyebabkan gula yang dihasilkan menjadi lunak. Selain itu, penambahan pati
dapat menurunkan kadar padatan terlarut di dalam gula dan secara organoleptik
mengurangi kemanisannya. Penundaan pengolahan nira segar menyebabkan
menurunnya kekerasan gula merah yang dihasilkan jika dibandingkan dengan
kekerasan gula merah yang dibuat dari nira segar.
Gula sebagian besar terbentuk dari oligosakarida berupa sukrosa. Kadar sukrosa
yang terkandung dalam suatu bahan berbeda-beda untuk masing-masing bahan.
Sukrosa merupakan salah satu jenis glukosa yang tersususn dari glukosa dan
fruktosa. Sukrosa meiliki sifat yang sukar larut dalam air, jika berhasil dilarutkan
maka lama-kelamaan sukrosa ini akan mengendap. Sukrosa dapat terlarut dalam air
jika dihidrolisis menggunakan pans ataupun dengan asam membentuk glukosa dan
fruktosa. Glukosa dan fruktosa merupakan jenis monosakarida yang lebih mudah
larut dalam air dibanding sukrosa.
Pada praktikum kali ini akan dilakukan praktikum untuk mengetahui bagian
yang tidak terlarut. Pada mulanya 5 gram sampel gula, yaitu gula merah, gula semut,
dan gula invert dilarutkan dalam 42 mL air panas. Dalam keadaan panas, larutan tadi
disaring dengan kertas saring dan tidak dengan menggunakan pompa vakum. Pompa
vakum ini seharusnya digunakan karena dapat mempercepat proses penyaringan,
karena partikel gula tidak semuanya dapat melewati kertas saring dengan mudah.
Kertas saring kemudian dioven pada suhu berikisar 105C selama 2 jam. Setelah
ditimbang, ternyata bagian yang tidak terlarut pada gula merah lebih banyak daripada
gula semut, dan gula semut lebih besar daripada gula invert. Selain itu, kandungan
gula tidak terlarut pada gula merah tebu bagian bawah lebih banyak daripada bagian
atas. Pada gula semut, kandungan gula tidak terlarut pada gula aren jauh lebih besar
daripada gula kelapa. Pada gula invert, yang meninggalkan partikel tak larut yang
terbanyak ada pada gula gula pasir dengan perlakuan asam tartarat.
Banyaknya kandungan bahan yang tidak terlarut ini dipengaruhi oleh banyak
sedikitnya kandungan sukrosa. Seperti yang dijelaskan diatas, sukrosa merupakan
oligosakarida yang sukar larut dalam air. Maka dari itu, partikel yang tertinggal
dalam kertas saring adalah partikel sukrosa. Pada gula merah tebu, memang tebu
bagian bawah lebih banyak kandungan sukrosanya. Walaupun mengalami
pemasakan, namun hanya sebagian kecil yang terhidrolisis dan yang lainnya masih
berbentuk partikel oligosakarida. Pada gula semut yang berasal dari gula aren,
kandungan pengotornya lebih banyak daripada gula kelapa, begitu juga kandungan
sukrosanya. Namun pada praktikum, kandungan sukrosa pada gula kelapa lebih besar
daripada gula aren, yaitu 1,4386. Ini, mungkin dikarenakan kadar sukrosa yang
terkandung pada gula telah ada yang terkonversi menjadi glukosa dan fruktosa. Pada
gula invert, gula yang diolah menggunakan asam klorida kadar sukrosanya lebih
banyak daripada yang diolah dengan asam tartarat. Sebenarnya gula yang diolah
dengan asam klorida mepunyai kadar sukrosa yang lebih sedikit. Hal ini mungkin
dikarenakan adanya kesalahan dalam praktikum. Sedangkan gula yang memiliki
kadar sukrosa paling tinggi adalah gula pasir.
Gula pereduksi adalah gula yang memiliki gugus aldehid bebas pada struktur
kimianya. Kadar gula pereduksi dapat
diukur dengan metode DNS (3,5Dinitrosalisilate) modifikasi (Aprijantono dkk, 1989). Selain menggunakan metode
DNS, kadar gula pereduksi dapat diukur dengan menggunakan uji Luff Schroll.

Pengujian sukrosa kali ini menggunakan metode Luff Schrool untuk mengukur
kadar gula pereduksi, metode Luff Schoorl ini didasarkan pada reaksi sebagai
berikut :
R-CHO + 2 Cu2+ R-COOH + Cu2O
2 Cu2+ + 4 I- Cu2I2 + I2
2 S2O32- + I2 S4O62- + 2 IMonosakarida akan mereduksikan CuO dalam larutan Luff menjadi Cu 2O.
Kelebihan CuO akan direduksikan dengan KI berlebih, sehingga dilepaskan I 2. I2
yang dibebaskan tersebut dititrasi dengan larutan Na 2S2O3. Pada dasarnya prinsip
metode analisa yang digunakan adalah Iodometri karena kita akan menganalisa I 2
yang bebas untuk dijadikan dasar penetapan kadar. Dimana proses iodometri adalah
proses titrasi terhadap iodium (I2) bebas dalam larutan. Apabila terdapat zat oksidator
kuat (misal H2SO4) dalam larutannya yang bersifat netral atau sedikit asam
penambahan ion iodida berlebih akan membuat zat oksidator tersebut tereduksi dan
membebaskan I2 yang setara jumlahnya dengan dengan banyaknya oksidator. I2
bebas ini selanjutnya akan dititrasi dengan larutan standar Na2S2O3 sehinga I2 akan
membentuk kompleks iod-amilum yang tidak larut dalam air. Oleh karena itu, jika
dalam suatu titrasi membutuhkan indikator amilum, maka penambahan amilum
sebelum titik ekivalen (Browne et al., 1941).
Dalam praktikum ini digunakan dua bahan gula yaitu gula merah dan gula
semut. Hasil pengamatan menunjukan bahwa sebagian besar kelompok praktikum
menemukan kandungan gula pereduksi pada gula semut lebih besar dibandingkan
gula pereduksi pada gula merah. Hal ini ditunjukkan dari banyaknya tiosulfat yang
diperlukan untuk titrasi gula semut lebih besar dibandingkan gula merah. Semakin
banyak tiosulfat yang diperlukan untuk titrasi maka semakin banyak I2 bebas. I2
bebas ini merupakan dasar penetapan banyaknya gula monosakarida (pereduksi)
dalam bahan. Gula semut memiliki gula pereduksi yang lebih banyak dapat
disebabkan oleh adanya proses invertasi yang lebih banyak. Proses invertasi dapat
terjadi ketika pengirisan gula merah pada proses pembuatan gula semut. Pada proses
pengirisan ini gula merah terkena kontak langsung dengan tangan yang kemungkinan
besar mengandung asam, asam inilah yang menyebabkan proses invertasi sukrosa
menjadi gula pereduksi.
Semakin besar gula pereduksi maka tingkat kemanisannya akan semakin tinggi.
Gula invert (mengandung gula pereduksi) memiliki tingkat kemanisan lebih tinggi
dibandingkan sukrosa. Sukrosa mempunyai nilai standar kemanisan 100 sedangkan
gula invert mempunyai nilai kemanisan 130 (Meyer, 1970). Dari literature ini dapat
disimpulkan bahwa gula semut yang memiliki gula pereduksi lebih banyak memiliki
kemanisan yang lebih tinggi dibandingkan gula merah cetak.
DNS merupakan larutan yang mengandung 3,5 3,5-dinitrosalicylic acid,
potassium sodium tartarate, dan NaOH. DNS berfungsi untuk menghentikan rekasi
pada metode deteksi amilase dengan menggunakan metode turunya kandungan gula
yang dilepaskan selama reaksi dan mengukur pati sebagai sumber karbon. Metode
DNS ini menggunakan spektrofotometer untuk mengukur absorban dari suatu cairan.
Prinsip kerja yang digunakan oleh alat spektrofotometer adalah dengan
menggunakan gelombang dengan panjanng tertentu yang diatur guna menembus
suatu lautan. Semakin kecil kerapatan yang dimiliki suatu larutan, maka semakin
mudah suatu gelombang menembusnya, akhirnya berkorelasi dengan nilai
absorban yang semakin kecil pula.

Uji DNS dilakukan pada setiap sampel gula invert, diketahui dari data bahwa
nilai absorbansi tertinggi dimiliki oleh gula invert yang dibuat dari gula kelapa
dengan penambahan asam tartarat (1,303) dan yang terendah adalah gula invert yang
dibuat dari gula pasir dengan penambahan asam tartarat (0,001). Rentang transmitat
yang baik adalah diantara 0,2-0,8, ini mengindikasikan bahwa nilai absorban yang
memenuhi kriteria adalah gula yang diproduksi dari gula pasir dengan penambahan
HCl (0,7). Nilai absorban sebanding dengan kandungan gula pereduksi di dalam
suatu larutan dengan asumsi tidak ada senyawa pengotor lain yang tidak diinginkan.
Kurva standar dibuat dengan 5 sampel ditambah dengan 1 blanko. Nilai
absorbansi ditentukan dengan konsentrasi yang berbeda-beda, yakni 0, 100, 150, 200,
250, dan 300 ppm. Diperoleh data berupa grafik seperti yang tercantunm di dalam
lampiran. Secara umum, grafiknya semakin menanjak dengan persamaan fungsi dan
r2= 0,91369 . Ini berarti nilai absorbansi dipengaruhi oleh penambahan ppm.
Pada pengujian sukrosa dengan metode Luff Schrool, didahului dengan
penambahan HCl. Penambahan ini dimaksudkan untuk menghidrolisis kandungan
sukrosa yang ada supaya berubah menjadi monosakarida. Monosakarida yang
dimaksud adalah glukosa dan fruktosa. Jika larutan Na2S2O3 yang digunakan banyak,
maka mengindikasikan banyak kandungan glukosa dan fruktosa dalam larutan. Hal
ini juga mengindikasikan gula tersebut mengandung banyak sukrosa yang telah
terkonversi secara sempurna. Penggunaan asam pada awal praktikum memang
dimaksudkan untuk menghidrolisis sukrosa yang ada pada bahan supaya berubah
menjadi glukosa dan fruktosa. Pada praktikum kali ini digunakan dua sampel yaitu
gula merah dan gula semut. Pada gula merah dari tebu yang diuji, kadar sukrosa pada
tebu bagian atas dan bagian bawah cenderung tidak berbeda jauh. Namun, tebu
bafian bawah lebih tinggi sedikait dari bagian bawah. Hal ini berarti sukrosa yang
terkandung di dalamnya memang banyak ataupun sukroasa yang ada belum
terkonversi menjadi glukosa dan fruktosa. Pada gula semut, kadar sukrosa tertinggi
ada pada gula semut yang berasal dari gula aren, yaitu 25 % dan 84 %, sedangkan
pada gula kelapa 6 %, 44 %, dan 70 %. Ini membuktikan memang gula aren
memiliki lebih banyak kandungan sukrosa jika dibandingkan dengan gula dari nira
kelapa. Di samping itu, gula dari nira aren juga mengandung protein yang lebih
banyak, ini yang mempengaruhi warna dari gula aren yang lebih pekat. Kadar
sukrosa sendiri merupakan faktor mutu yang menentukan, karena berpengaruh pada
kadar air dan kandungan gula pereduksi yang selanjutnya mempengaruhi kekerasan
gula merah (Nurhayati, 1992).

III.

PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Gula Merah tebu adalah gula yang dihasilkan dari pengolahan air/sari tebu
(Saccharum offrcinarum) melalui pemasakan dengan atau tanpa penambahan bahan
tambahan makanan yang diperbolehkan, dan berwarna kecoklatan. Warna cokelat
yang terbentuk pada gula secara umumnya dipengaruhi oleh protein yang terbakar
pada saat proses pemasakan, jadi semakin gelap warna gula maka kandungan
proteinnya semakin besar. Gula semut merupakan bentuk diversifikasi produk gula
merah yang berbentuk serbuk. Pembuatan gula semut pada prinsipnya sama dengan
pembuatan gula merah cetak, hanya karena sudah berbentuk kristal kecil,
penggunaannya menjadi lebih praktis dibandingkan dengan gula cetak. Pembuatan
gula semut membutuhkan nira dengan mutu yang lebih baik daripada pembuatan
gula merah. Pada prinsipnya, proses pembuatan gula merah tebu sama dengan gula
merah dari kelapa, aren, atau lontar. Pembuatan gula invert ini dibuat dari gula pasir,
gula kelapa, dan gula aren. Proses inversi glukosa menjadi gula invert dipengaruhi
oleh beberapa faktor, yaitu suhu pemanasan, lama pemanasan dan konversi asam
yang digunakan. Beberapa asam yang dapat digunakan untuk menginversi sukrosa
adalah HCl, H2SO, H3PO4, asam tartarat, asam sitrat dan asam laktat. Penambahan
sodium bikarbonat yang bersifat basa adalah untuk menetralkan sifat asam pada
larutan, sehingga terbentuk garam. Warna cokelat yang terbentuk pada gula secara
umumnya dipengaruhi oleh protein yang terbakar pada saat proses pemasakan, jadi
semakin gelap warna gula maka kandungan proteinnya semakin besar. Faktor
kekerasan gula merah meliputi kadar air produk, perlakuan selama penyimpanan,
penambahan minyak nabati, penundaan pengolahan nira, dan penambahan pati.
Bagian yang tidak terlarut pada gula merah lebih banyak daripada gula semut, dan
gula semut lebih besar daripada gula invert. Gula pereduksi adalah gula yang
memiliki gugus aldehid bebas pada struktur kimianya. Semakin besar gula pereduksi
maka tingkat kemanisannya akan semakin tinggi. Gula invert (mengandung gula
pereduksi) memiliki tingkat kemanisan lebih tinggi dibandingkan sukrosa. DNS
merupakan larutan yang mengandung 3,5 3,5-dinitrosalicylic acid, potassium sodium
tartarate, dan NaOH. DNS berfungsi untuk menghentikan rekasi pada metode deteksi
amilase dengan menggunakan metode turunya kandungan gula yang dilepaskan
selama reaksi dan mengukur pati sebagai sumber karbon. Rentang transmitat yang
baik pada DNS adalah diantara 0,2-0,8, ini mengindikasikan bahwa nilai absorban
yang memenuhi kriteria adalah gula yang diproduksi dari gula pasir dengan
penambahan HCl (0,7). Pada pengujian sukrosa dengan metode Luff Schrool,
didahului dengan penambahan HCl. Penambahan ini dimaksudkan untuk
menghidrolisis kandungan sukrosa yang ada supaya berubah menjadi monosakarida.
4.2 Saran

DAFTAR PUSTAKA

Agustina, Sri Endah. 1982. Modifikasi desain Brander Minyak Tanah


dan DesainTungku Serta Penerapannya Untuk Pemasakan Gula
Merah. Skripsi.FATETA IPB, Bogor.
Aprijantono, A., D. Fardiaz, Ni Luh Puspitasari, Soedarnawati,
S.Budiyanto. 1989. Analisis Pangan; Petunjuk Laboratorium. PT
penerbit IPB, Bogor.
Ashari, Sinuraya Yulia F., Khoiriyah Nur A., H Yuni. 2003. Industri
Gula Merah, Alternatif Usaha Petani Tebu di Kediri. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor.
Dyanti.
2002.
Tentang
Gula
Merah/Palm Sugar.
http://www.asiamaya.com/nutrients /gulajawa.htm [2 Maret
2011].
Goutara dan S. Wijandi. 1980. Dasar-Dasar Pengolahan Gula.
Departemen Teknologi Hasil Pertanian, Bogor.
Hall, M.N.A. 1973. The Small Scale Manufacture of High and Low
Boiled Sweet and Toffees. Tropical Product Institute, London.
Hamzah, N dan Hasbullah. 1997. Evaluasi Mutu Gula Semut yang Dibuat Dengan
Menggunakan Beberapa Bahan Pengawet Alami. Prosiding Seminar Nasional
Teknologi Pangan tanggal 15-17 Juli 1997 di Denpasar. Perhimpunan Ahli
Teknologi Pangan.
Junk, W.R. dan H. Pancoast. 1980. Handbook of Sugar. The AVI
Publishing Co., Inc. Westport, Connecticut.
Maynard, A. J. 1990. Methods in Food Analysis. Academic Press, New York.
Meyer, L.H. 1970. Food Chemistry. New York, Reinhold Publisher
Corp.
Nurhayati, Daniah. 1992. Mempelajari Pengaruh Penambahan
Pengawet Terhadap Daya Simpan Nira Kelapa Serta Mutu Gula
Semut, Gula Merah, Sirup, dan Gula Pasir Yang Dihasilkan.
Skripsi. FATETA IPB, Bogor.

Palungkun, R. 1993. Aneka Produk Olahan Kelapa. Penebar Swadaya, Jakarta.


Safari, Ahmad. 1995. Teknik Membuat Gula Aren. Karya Anda, Surabaya.
Supardi Dudi. 1993. Mempelajari Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kelunakan
Gula Merah dari Nira Kelapa Kasus di Daerah Cianjur. Skripsi. Fakultas
Teknologi Pertanian IPB, Bogor.
SNI 01-6237-2000. 2000. Gula merah tebu. Badan Standarisasi Nasional, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai