Anda di halaman 1dari 18

Laporan Praktikum

Hari/Tanggal

: Jumat/20 April 2012 : Dr. Ir. Sapta R. DEA : P4 : F34080020 F34080083

Teknologi Gula, Pati, dan Sukrokimia Dosen Golongan Asisten

1. Fitriyana Ayu A. 2. Shiella Fanny E.

PEMBUATAN GULA MERAH, GULA SEMUT, GULA INVERT DAN ANALISIS PRODUK GULA

Oleh: Panji Maulana Sampah Mas Saleh Khaldi Hamdy R. F34080002 F34080099 F34090164

2012 DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Indonesia merupakan negara agraris yang kaya akan sumber gula, seperti tebu, tanaman palma, dan buah-buahan. Gula adalah senyawa kimia yang termasuk karbohidrat, mempunyai rasa manis dan larut dalam air. Penggunaan gula yang utama adalah sebagai bahan makanan maupu minuman. Selain itu, gula juga dapat dipergunakan sebagai bahan pengawet makanan, bahan baku alkohol, dan pencampur obat-obatan. Sejalan dengan peningkatan kebutuhan manusia akan gula, kini dikembangkan teknologi proses untuk pengolahan jenis-jenis gula. Jenis-jenis gula olahan diantaranya gula merah, gula pasir, gula semut, dan gula invert. Nira adalah suatu jenis cairan atau ekstrak yang berasal dari tanaman, yang mengandung gula relatif tinggi atau cairan getah yang keluar dari tandan bunga penghasil nira yang disadap. Nira yang diperoleh dapat berasal dari tebu, nipah, siwalan, kelapa, dan aren. Nira dapat dijadikan sebagai gula olahan, yaitu gula merah yang umumnya digunakan sebagai pemanis dan penyedap makanan. Selain itu, dapat juga digunakan sebagai pemberi warna coklat pada produk yang diolah sesuai dengan warna yang dimiliki oleh gula merah. Gula palma kristal atau yang lebih dikenal dengan gula semut yang merupakan diversifikasi produk gula merah yang berbentuk serbuk adalah jenis produk gula lainnya. Gula ini dapat dibuat dengan nira atau dari gula merah cetak. Gula semut memilki tingkat kekeringan yang lebih tinggi, mudah larut, bentuknya menarik, dan aromanya yang khas sehingga memiliki umur simpan yang lebih lama jika dibandingkan dengan gula merah biasa. Kadar sukrosa yang tinggi dapat menyebabkan penggumpalan pada gula palma. Oleh karena itu, diperlukan reaksi inverse yaitu reaksi yang memecah sukrosa menjadi glukosa dan fruktosa. Gula yang dihasilkan lebih dikenal dengan nama gula invert. Gula invert ini berbentuk cair dan mempunyai tingkat kemanisan lebih tinggi. Mutu gula dapat ditentukan dengan menganalis gula tersebut baik secara fisik maupun kimia. Penampakan secara fisik yang paling menentukan adalah warna, kekerasan. Sementara, secara kimia yang menentukan mutu gula adalah kadar gula pereduksi dan kadar sukrosa yang ada dalam gula, dan bagian yang larut dalam air tersebut. B. Tujuan

Praktikum kali ini bertujuan untuk mengetahui cara ekstraksi nira tebu dan pembuatan gula merah dari nira tersebut, mengetahui pembuatan gula semut dan gula invert, serta mengetahui karakteristik dari masing-masing jenis gula yang telah dibuat, seperti warna, kekerasan, bagian yang tidak larut air, gula pereduksi (Metode Luff Schoorl), gula pereduksi (Metode DNS), dan kadar sukrosa (Metode Luff Schoorl).

II. METODOLOGI
A. Alat dan Bahan Bahan yang digunakan dalam praktikum kali ini adalah tebu (bagian atas, bawah, dan tengah), kapur (CaO), minyak nabati, gula aren, gula kelapa, gula pasir, asam tartarat, HCl, Sodium bikarbonat, air, larutan Luff, KI 20%, H 2SO4 24%, Na2S2O5 0,1 N, indikator kanji 0,5%, DNS, NaOH, potasium sodium tartarat, phenol, sodium metabisulfit, glukosa. Sementara, alat yang digunakan dalam praktikum kali ini adalah wajan, saringan, kompor, pengaduk dari kayu, penggiling tebu, cetakan dari bambu, kain saring, timbangam sendok, gelas piala, thermometer, pemanas atau kompor listrik, pipet ukur, tabung reaksi, spektrofotometer, kuvet, colori-meter, penetrometer, refraktometer, erlenmeyer, pendingin balik, labu ukur, gelas ukur, dan buret. B. Metode 1. Pembuatan Gula Merah Batang tebu Bagian tebu dipotong Ditimbang sebelum dan setelah dikupas Diperas nira tebu Ditentukan nilai TSS

Dimasukan nira ke dalam wajan dan air diuapkan Minyak nabati Nira dimasak sampai mengental

Diuji kemasakan nira Dilakukan pencetakan Dihitung neraca massa

2.

Pembuatan Gula Semut Ditambahan air dengan perbandingan 1 : 1

Minyak nabati

Nira dimasak sampai mendidih

Nira dipekatkan Diuji kemasakan nira Diaduk dan digerus Dihitung neraca massa

3.

Pembuatan Gula Invert a. Metode asam tartarat 100 g gula

1 g asam tartarat

Dicampurkan dan dipanaskan hingga mendidih

42 ml air

Dimasak pada suhu 100OC

1.134 g sodium bikarbonat b. Metode HCl

Diaduk cepat

100 g gula

Dicampurkan dan dipanaskan Dimasak pada suhu 70OC selama 1.5 jam 1.11 g sodium bikarbonat

42 ml HCl 0.1%

Didinginkan

4.

Analisis Produk Gula a. b. Uji warna (oH = tan-1(b/a)) Uji kekerasan bahan Diukur dengan penetrometer
Kekerasan (mm/10 detik/bobot beban)

c.

Bagian yang tidak larut air 20 g contoh Diaduk hingga larut


200 ml air

Dikeringkan dan ditimbang

Kertas saring

Disaring dengan kertas saring

Dikeringan kertas saring di oven 1050C, 2 jam

Ditimbang kertas saring d. Gula pereduksi (Metode Luff Schoorl) Dilarutkan dalam labu ukur 250 ml

2 g contoh

250 ml air

Larutan disaring

10 ml hasil saring

Dimasukkan kea dalam erlenmeyer

15 ml akuades, 25ml luff schoorl

Destilasi dengan pendingin balik

10 ml lar KI 20% Indikator kanji 0.5%

Didinginkan

25 ml H2SO4

Didestilasi dengan tio 0.1 N

Pembuatan blangko dilakukan dengan cara yang sama seperti bagan di atas namun bahan diganti dengan 25ml akuades dan 25 ml larutan luff schoorl.

e.

Gula pereduksi (Metode DNS) 1 ml contoh Dilarutkan dalam tabung reaksi


3 ml DNS

Dididihkan 5 menit

Didinginkan pada suhu kamar

Dibaca pada spectrophotometer 550nm Kurva standar dibuat dengan membuat larutan glukosa konsentrasi 100ppm, 150ppm, 200ppm, dan 250ppm.

f. Kadar Sukrosa (Metode Luff Schoorl)


g. Kadar Sukrosa (Metode Luff Schoorl) 50 ml hasil saring Dimasukkan ke dalam labu ukur 100ml 25ml HCl 25%

Dihidrolisis pada suhu 68700C, 10menit

NaOH

Didinginan dan Dinetralkan

Indikator pp

10 ml larutan

Dimasukan ke dalam erlenmeyer

15 ml akuades, 25ml luff schoorl

10 ml lar KI 20% Indikator kanji 0.5% Perhitungan:

Didinginkan

25 ml H2SO4

Ditritasi dengan tio 0.1 N

Selisih kebutuhan titrasi blangkodan sampel (ml tio) dijadikan ml 0,1 N kemudian dalam Tabel dicari berapa mg glukosa tertera untuk ml tio yang dipergunakan (misalnya Z mg).

% Gula sesudah inversi

Z x fp bobot contoh (mg)

x 100 %

Keterangan: Z fp % gula total % sukrosa = mg glukosa yang setara dengan ml tio = faktor pengenceran = 0,95 x % gula sesudah inversi (sebagai sukrosa) = 0,95 x % gula (sesudah-sebelum inversi)

Tingkat hidrolisis

Gula perduksi x 100 % Total gula

III. HASIL DAN PEMBAHASAN


A. Hasil Pengamatan

(Terlampir)

B.

Pembahasan

Gula merupakan senyawa kimia yang termasuk karbohidrat. Sumber gula dapat berasal dari tebu, tanaman palma, dan buah-buahan serta tanaman yang menghasilkan karbohidrat lainnya. Jenisjenis gula yang ada di pasaran dapat berupa gula pasir, gula merah, gula semut, dan gula invert. 1. Gula Merah Tanaman tebu (Saccharum officinarum L.) merupakan salah satu tanaman penghasil gula yang termasuk dalam kelas Monokotiledon, ordo Glumaceae, famili Gramineae, kelompok Andropogoneae, dan genus Saccharum (Sudiatso, 1982). Bagian dari tanaman tebu yang diambil untuk pembuatan gula adalah batangnya. Praktikum kali ini, batang tebu dibagi menjadi dua bagian yaitu bagian atas dan bawah. Batang tebu tersebut sebaiknya dikupas kulitnya terlebih dahulu (seperti pada Gambar 1) agar proses penggilingan lebih mudah dan nira yang dihasilkan lebih banyak. Gambar 1. Proses pengupasan batang tebu Gambar 2. Batang tebu yang sudah dikupas (kiri) dan kulit tebu (kanan) Berdasarkan data pengamatan pengupasan tebu , batang tebu dapat menghasilkan sekitar 78% tebu yang telah dikupas dan dapat diambil niranya. Sementara kulit tebu atau limbah yang dihasilkan dari proses pengupasan sekitar 12%. Batang tebu yang telah dikupas akan diambil niranya dengan menggunakan mesin penggiling dengan dua silinder yang saling berhimpit. Penggilingan dilakukan selama tiga tahap, yaitu satu bahan yang sama digiling sebanyak tiga kali. Tahap pertama, batang tebu dilewatkan pada bagian berigi dari silinder yang berhimpit. Tahap kedua dan ketiga sama yaitu melewatkan batang tebu yang telah melewati tahap pertama di bagian halus silinder. Hal ini dimaksudkan agar nira yang dihasilkan maksimal dengan ampas tebu yang dihasilkan semakin sedikit. Gambar 3. Proses penggilingan tebu Jumlah nira yang dihasilkan selama proses penggilingan yaitu sekitar 31% dari bobot batang tebu yang telah dikupas. Seharusnya nira yang dihasilkan bisa mencapai 50-70%. Hal ini berarti nira yang dihasilkan belum optimal sehingga ampas tebu yang dihasilkan masih banyak mengadung nira. Hal ini bisa dikarenakan perlakuan penggilingan oleh orang yang berbeda, irisan tebu terlalu tipis sehingga tidak terperas sempurna saat berada pada penggilingan. Batang tebu yang digiling akan menghasilkan nira yang bewarna coklat kehijauan. Berdasarkan hasil pengamatan, nira yang dihasilkan ada yang berwarna kuning kecoklatan, coklat tua, coklat kehitaman, dan coklat kehijauan. Hal ini bisa dikarenakan nira tercampur oli mesin sehingga berwarna kehitaman, batang tebu masih terdapat sisa kulit yang menempel sehingga berwarna hijau. Selain itu, aroma yang dihasilkan juga khas yaitu langu (tebu), segar, dan wangi bambu basah. Aroma yang seperti bambu basah kemungkinan disebabkan karena kulit tebu ikut tergiling sehingga menimbulkan bau tersebut. Gambar 4. Nira tebu

Nira tebu merupakan campuran dari beberapa komponen. Komposisi nira tebu tidak selalu sama tergantung pada jenis tebu, kondisi geografis, tingkat kematangan, serta cara penanganan sebelum pemanenan dan pengangkutan (Dachlan, 1984). Tabel 1. Komposisi Padatan dalam Nira Tebu Komponen Bahan gula - Sukrosa - Glukosa - Fruktosa - Oligosakarida Garam - Dari asam organik - Dari asam anorganik Asam organik - Asam karboksilat - Asam amino Bahan-bahan organik bukan gula lainnya - Protein - Pati - Polisakarida terlarut - Lilin, lemak, dan fosfolipid (Sumber : Dachlan, 1984). Kadar gula nira tebu yang diperoleh, ditentukan oleh posisi dari tebu yang diekstrak. Bagian tebu yang semakin ke atas mempunyai kadar gula yang semakin berkurang dan kadar airnya lebih banyak, sedangkan tebu bagian bawah kadar gulanya semakin besa. Hal ini dipengaruhi oleh tingkat kemasakan tebu semakin ke bawah semakin masak dan kadar gulanya semakin tinggi (Goutara dan Wijandi, 1985), dapat terlihat dari hasil pengamatan bahwa tebu bagian bawah memiliki kadar gula nira paling besar. Sementara tebu bagian atas memiliki kadar gula nira paling kecil. Berdasarkan hasil pengamatan, volume nira yang dihasilkan oleh masing-masing kelompok berbeda berurut (1300, 1685, 1330, 1345, 1510, dan 1300) ml. Hal ini dikarenakan berat tebu setelah dikupas berbeda berurut (1843.2, 3292, 3921, 3186.6, 1389.6, dan 3456) gr. Perdedaan ini disebabkan oleh beberapa faktor yaitu waktu pengupasan banyak tebu yang busuk. Kadar gula nira hasil pengamatan masing-masing kelompok juga berbeda yaitu (14, 5, 12, 14, 13 dan 11 ) Brix bergantung pada bagian tebu atas atau bawah yang diekstrak. Hal-hal yang mempengaruhi pH pada nira tebu adalah perlakuan bahan baku pada saat penggilingan. Berdasarkan hasil pengamatan nilai pH pada nira tebu adalah sama di semua bagian batang tebu yaitu 5,0. Hal ini berarti nira tebu dalam keadaan asam dikarenakan kandungan asam organik mencapai 1,5-5,5 gram per 100 gram tebu (Tabel 1). Warna tebu ada yang hijau kecoklatan dan cokelat, rasa nira tebu bagian atas dan bawah sama yaitu manis, namun tingkat kemanisannya berbeda sesuai dengan kadar gula yang dikandung masingmasing bagian tebu dan aroma tebu adalah segar khas tebu. 0,5-0,6 0,001-0,18 0,03-0,50 0,04-0,15 g/100 g (basis kering) 75,0-94,0 70,0-90,0 2,0-4,0 2,0-4,0 0,001-0,05 3,0-4,5 1,5-4,5 1,0-3,0 1,5-5,5 1,1-3,0 0,5-2,5

Setelah nira diperoleh sesegera mungkin harus diolah karena menurut Goutara dan Wijandi (1985) komposisi nira cepat sekali berubah bila nira dibiarkan. Menurut Sardjono (1984), sebelum nira diolah menjadi gula dilakukan beberapa tahap penyaringan yaitu: 1) kotoran kasar, seperti ranting/daun, lebah dan lainnya dibersihkan dengan cara disaring dengan menggunakan kain blacu, 2) kotoran halus, dibersihkan pada saat kotoran-kotoran terkumpul di permukaan nira yang sedang dimasak, 3) kotoran lainnya seperti asam asetat/pektin dipisahkan dengan cara diendapkan. Pemberian CaO pada nira tebu berfungsi untuk memurnikan nira sehingga kotoran yang ada pada nira mengendap. CaO (kapur) akan berekasi dengan fosfat yang ada dalam nira, membentuk endapan kalsium fosfat yang dapat membawa bahan koloid bukan gula lainnya. Nira yang telah diberi CaO akan menghasilkan gula yang bersih sehingga daya simpannya relatif lebih lama. Gula merah merupakan hasil olahan nira yang berbentuk padat dan berwarna coklat kemerahan sampai coklat tua. Nira yang digunakan biasanya berasal dari nira tebu, aren, kelapa, nipah, maupun siwalan. Menurut Dachlan (1984), pada dasarnya proses pembuatan gula merah adalah proses penguapan nira dengan cara pemanasan sampai nira mencapai kekentalan tertentu dan kemudian mencetaknya dengan bentuk yang diinginkan. Gambar 5. Proses pemanasan nira Pemanasan nira pertama dengan menggunakan api yang cukup besar agar proses penguapan lebih cepat. Jika sudah mulai mengental, api dikecilakan agar tidak terjadi pencoklatan (karamelisasi). Pada saat pemanasan akan timbul buih-buih pada permukaan atas (Gambar 5, wajan sebelah kiri). Buih-buih tersebut dapat dikurangi dengan pengadukan terus menerus dan ditambahkan minyak nabati untuk menurunkankan tegangan permukaan antara buih dengan cairan nira (Palungkun, 1993). Pemasakan nira dihentikan jika nira telah mengental dan meletup-letup serta jika diteteskan ke air dalam bentuk benang, nira kental tersebut akan memadat (mengeras) dan mudah dipatahkan. Setelah diangkat, dilakukan pengadukan gula dengan intensitas tinggi untuk menghasilkan kekentalan yang optimum sebelum dilakukan pencetakan. Pengadukan ini juga dilakukan untuk mencegah pembentukan kristal gula yang berukuran besar. Proses pengadukan tersebut pada dasarnya bertujuan untuk mempercepat penurunan suhu sehingga reaksi maillard dan karamelisasi yang masih berlangsung dapat segera berhenti. Intensitas dan lama pengadukan sangat mempengaruhi warna produk akhir yang terbentuk. Semakin tinggi intensitas dan lama pengadukan maka gula yang dihasilkan akan memiliki warna yang semakin cerah (kuning). Cetakan yang digunakan untuk mencetak gula merah terdiri dari berbagai bentuk, namun umumnya banyak menggunakan potongan bambu dan tempurung kelapa, pada praktikum ini menggunakan cetakan dari potongan bambu. Cetakan yang akan digunakan harus dibasahi air terlebih dahulu sebelum adonan nira yang sudah masak dituang. Hal ini dimaksudkan untuk memudahkan keluarnya gula dari cetakan. Pencetakan ini memerlukan waktu sekitar 15 menit atau sampai gula merah mudah dilepaskan dari cetakan. Gambar 6. Pencetakan gula merah Berdasarkan hasil pengamatan berat gula merah yang dihasilkan masing-masing kelompok berurut (138.8, 170.9, 136, 134.7, 162.9 dan 135.5) gr. berdasarkan perhitungan neraca masanya masing-masing kelompok menghasilkan rendemen berbeda yaitu berurut (33.9%, 30.2%, 35.16%, 34.5%, 37.62%, dan 37.80%) terlihat rendemen yang paling tinggi adalah kelompok 6. Warna yang dihasilkan yaitu cokelat mudah dan cokelat, perbedaan warna dipengaruhi oleh jumlah Cac03 yang

ditambahkan pada nira. dengan aroma gula /karamel dan rasa manis. Perhitungan neraca masa gula merah masing-masing kelompok dapat dilihat pada lampiran 1. 2. Gula Semut

Gula semut adalah gula merah berbentuk kristal kecil-kecil atau tepung sehingga penggunaannya menjadi lebih praktis. Adapun Jatmika et al. (1990) mengemukakan bahwa pengolahan menjadi gula semut lebih menguntungkan yaitu memiliki harga jual lebih tinggi karena berbentuk serbuk sehingga lebih luwes dan lebih mudah pemakaiannya, disamping juga lebih tinggi daya simpannya karena tingkat kekeringannya lebih tinggi. Bahan baku pembuatan gula semut dapat berupa nira ataupun gula merah cetak. Apabila menggunakan nira, maka perlu diperhatikan mutunya. Menurut Santoso (1988), mutu nira yang akan diolah menjadi gula semut umumnya harus lebih baik dari yang biasa diolah menjadi gula merah. Nira yang telah terfermentasi dengan pH kurang dari 6 tidak dapat diolah menjadi gula semut karena proses kristalisasinya menjadi sulit, tetapi masih dapat diolah menjadi gula cetak. Praktikum kali ini, bahan baku pembuatan gula semut adalah gula kelapa dan gula aren. Gula kelapa adalah gula merah yang berasal dari nira pohon kelapa. Sementara gula aren adalah gula merah yang berasal dari nira pohon aren. Kedua pohon ini termasuk dalam famili Palm. Kedua nira tersebut diperoleh dari penyadapan bunga (mayang) dari masing-masing pohon. Selain kedua bahan tersebut, terdapat bahan tambahan yaitu gula pasir, sehingga terdapat empat perlakuan yaitu gula kelapa, gula kelapa + 10% gula pasir, gula aren, gula aren+10% gula pasir. Gula semut dapat dibuat dengan dua cara, yaitu dengan mengeringkan dan menepung gula merah balok, dan dengan cara pemanasan nira dan pengadukan secara intensif. Prinsip pembuatannya sama seperti prinsip pada pembuatan gula merah, hanya ditambah dengan proses pembentukan serbuk yaitu dengan cara pengadukan yang cepat setelah pemanasan untuk memperoleh kepekatan gula yang tinggi, dimana nantinya akan dihasilkan tingkat kekeringan yang cukup untuk pembentukan serbuk. Pengadukan secara intensif dilakukan setelah pemanasan selesai, sampai terbentuk kristal-kristal yang diharapkan berukuran kecil yang selanjutnya disebut gula semut (Pangkulun, 1933). Sebelum proses pemasakan terlebih dahulu dilakukan perlakuan pendahuluan, yaitu perajangan gula merah cetak menjadi bagian-bagian yang lebih kecil. Perajangan ini dimaksudkan agar luas permukaan bahan baku yang terkena panas lebih luas sehingga gula merah cetak cepat mencair dan mengaramel. Setelah itu dilakukan penambahan air dengan maksud untuk meminimalisir terjadinya reaksi browning yang dapat menurunkan mutu gula semut karena perubahan rasa dan kerusakan akibat gosong, selain itu air sebagai media penghantar panas sehingga membantu melarutkan gula merah cetak dengan lebih cepat. Setelah seluruh gula merah mencair sempurna dan larut dalam air, maka dilakukan proses penyaringan. Maksud dari proses penyaringan ini adalah untuk memisahkan komponen-komponen yang tidak diinginkan (misalnya saja kotoran-kotoran yang bersumber dari gula cetak akibat proses pembuatan gula cetak yang tidak higienis) di dalam campuran tersebut yang akan menurunkan mutu gula semut. Setelah itu dilakukan proses pemasakan dengan suhu yang tidak terlalu tinggi. Menurut Goutara dan Wijandi (1985) bahwa selama pemanasan terjadi evaporasi air dan pengentalan nira sehingga nira mengalami perubahan fisik dan kimia. Selain itu terjadi pula perubahan komposisi dan sifat bahan padat terlarut. Pemanasan ini tidak boleh menggunakan suhu yang terlalu tinggi, karena dapat menyebabkan kerusakan-kerusakan bahan yang dikandung nira, terutama sukrosa yang dapat terinversi oleh panas. Disamping itu panas yang terlalu tinggi dapat mempengaruhi warna gula yang

dihasilkan. Pemanasan juga mempengaruhi bahan-bahan non gula sehingga bahan tersebut dapat terpisah dan dibuang dari dalam nira dengan cara penyaringan. Pada praktikum, setelah campuran membentuk karamel, ditambahkan minyak nabati. Maksud penambahan minyak goreng tersebut selain untuk bahan pengental juga berfungsi sebagai antifoaming, menghindari letupan-letupan. Selain minyak goreng, digunakan juga santan kara, sama hal nya dengan minyak goreng kara berfungsi sebagai antifoaming. Menurut Jatmika et.al (1990), minyak berfungsi sebagai penurun tegangan permukaan antara buih dan cairan nira sehingga peluapan buih dapat dicegah. Selain itu, penambahan minyak dan santan kara juga bertujuan untuk menghasilkan flavour atau rasa yang lebih baik. Setelah itu dilakukan pemasakan hingga larutan tersebut mengental. Ketika larutan mulai kental ditambahkan gula pasir ke dalam larutan tersebut. Menurut Goutara dan Wijandi (1985) menyatakan bahwa pembentukan kristal gula dapat dibantu dengan pemberian bibit inti kristal berupa gula pasir. Proses pemasakan dianggap selesai bila pemasakan nira telah kental dan meletup-letup dan jika diteteskan ke dalam air, nira tersebut akan memadat dan mengeras. Jika keadaan telah seperti itu, wajan diturunkan dari atas tungku untuk pendinginan dan sambil terus diaduk cepat. Setelah nira dievaporasi, biasanya nira kental yang diperoleh didinginkan. Bila larutan sukrosa didinginkan atau diuapkan airnya maka nira tidak akan langsung menjadi kristal, tetapi larutan tersebut menjadi jenuh (saturated) dan kemudian menjadi sangat jenuh (supersaturated). Pada keadaan sangat jenuh ini baru mulai terbentuk butir-butir gula. Dengan dilakukannya pendinginan akan diperoleh derajat supersaturated yang cukup untuk mempertahankan kecepatan kristalisasi tanpa terjadi pembentukan kristal yang baru (Goutara dan Wijandi, 1985). Menurut Dachlan (1984) pendinginan harus tepat untuk mencegah terbentuknya kristal yang terisolasi sehingga terjadi kristalisasi yang simultan. Seperti yang diketahui pengadukan dilakukan dengan tujuan untuk pemisahan kristal yang terbentuk dari pekatan nira. Selain memisahkan pekatan nira menjadi kristal, pengadukan pada dasarnya bertujuan untuk mendinginkan/menurunkan suhu dari nira sehingga akan dihasilkan kristal. Oleh karena itu, untuk menghasilkan kristal yang halus diperlukan kecepatan pengadukan yang tinggi dan konstant sehingga proses perubahan nira kental menjadi butir kristal terjadi pada waktu yang tepat, dengan hal tersebut, akan dihasilkan butir kristal yang halus. Pada dasarnya pembuatan gula semut adalah untuk menghasilkan gula dengan sifat yang tidak terlalu higroskopis (mudah menyerap air) seperti halnya gula merah. Dengan bentuk gula semut, diharapkan gula akan tahan lama dalam penyimpanan dan lebih mudah digunakan. Adapun untuk mengurangi sifat higroskopis dari gula semut yang dihasilkan, pada akhir proses gula semut yang telah dihasilkan di oven terlebih dahulu sehingga kandungan air dalam bahan akan makin rendah, sehingga sifat higroskopisnya makin berkurang. Berdasarkan hasil pengamatan, gula semut yang dihasilkan masing-masing kelompok berbeda ada yang bentuk kristalnya halus dan kasar (besar) yaitu tidak berupa bubuk, melainkan berbentuk gumpalan kecil-kecil. Penyebab kegagalan tersebut adalah proses pengadukan terlalu lamban dan kurang konstan sehingga, cairan cepat mengental dan membentuk gumpalan. Selain itu, hasil pembuatan gula semut dengan penambahan bibit terlalu banyak akan menyebabkan terbentuknya kristal yang lebih keras dan besar. Berat akhir gula semut yang dihasilkan oleh masing-masing kelompok adalah (473.2, 567, 468, 520, 512, dan 489) gr. Bobot yang dihasilkan dipengaruhi oleh berat awal gula dan penambahan bibit kristal serta proses pengadukan, karena proses pengadukkan yang lambat akan mengakibatkan gula akan menempel pada wajan dan menggumpal tidak membentuk

Kristal, sehingga mempengaruhi rendemen yang dihasilkan. Neraca masa gula semut dapat dilihat pada lampiran 1. Warna gula semut yang dibuat dari gula kelapa dan gula aren untuk semua kelompok berwarna sama yaitu coklat muda dan cokelat, perbedaan ini mungkin diakibatkan oleh suhu pemasakan dan penambahan bibit. Rasa gula semut yang dihasilkan oleh semua kelompok hampir sama yaitu manis. Rasa manis pada gula merah dikarenakan gula merah mengandung beberapa jenis gula seperti sukrosa, glukosa, fruktosa, dan maltosa (Santoso, 1988). Sedangkan Aroma gula semut juga dihasilkan sesuai dengan gula merah yang digunakan. Jika menggunakan gula kelapa, menghasilkan bau seperti gula kelapa. Begitu juga dengan gula aren, akan menghasilkan bau gula aren. 3. Gula Invert

Gula invert merupakan sukrosa yang dilarutkan dalam air dan dipanaskan, sehingga sebagian sukrosa akan terurai menjadi glukosa dan fruktosa dengan perbandingan yang sama baik. Gula invert ini tidak dapat berbentuk kristal karena kelarutan fruktosa dan glukosa sangat besar(Goutara dan Wijandi, 1985). Gula invert merupakan campuran ekuimolar antara - D - glukosa dan - D fruktosa yang dihasilkan dari hidrolisa sukrosa dengan asam maupun enzim. Tahapan-tahapan yang penting pada proses pembuatan sirup invert yaitu tahap hidrolisa dan tahap pemurnian (Krick, R.E dan Othmer, D.F (eds)., 1954.). Reaksi hidrolisa sukrosa menjadi gula invert adalah sebagai berikut : C12H22O11 + H2O C6H12O6 + C6H12O6 Sukrosa Air Glukosa Fruktosa Pembuatan sirup invert pada prinsipnya dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu proses hidrolisa dengan katalis enzim dan proses hidrolisa dengan katalis asam (BBIHP, 1981). Pada praktikum, sukrosa dihidrolisis dengan menggunakan asam, yaitu asam klorida (HCl) dan asam tartarat. Asam klorida (HCl) termasuk golongan asam halida. Larutan asam ini tidak berwarna dan mempunyai bau asam yang khas. Larutan asam klorida dalam konsentrasi yang pekat mudah menguap dan menimbulkan bau asam di sekitarnya. Rumus molekul asam klorida yaitu HCl dengan berat molekul 37.5. Asam ini di dalam air akan terionisasi dengan sempurna dan termasuk golongan asam kuat. Titik cair asam klorida yaitu -112C dengan titik didih sebesar 110C. Proses hidrolisa dengan katalis asam merupakan cara yang umum dan sering dipergunakan. Katalis yang digunakan dapat menggunakan hampir semua jenis asam inorganik maupun organik. Pemilihan asam yang akan dipergunakan tergantung pada penggunaan akhir sirup invert tersebut. Misalnya, untuk membuat sirup invert yang akan dipergunakan dalam minuman lebih baik dipergunakan asam sitrat/asam phosphat sebagai katalis. Namun pada umumnya asam klorida seperti yang dipergunakan pada praktikum merupakan katalis asam yang umumnya sering dipergunakan. Pada praktikum kali ini pembuatan gula invert dilakukan menggunakan dua metode yaitu metode HCl dan metode asam tartarat yang berbahan baku gula pasir, gula aren dan gula kelapa dengan jumlah yang sama yaitu 100 gram. Berdasarkan pengamatan yang dilakukan didapat hasil bahwa berat akhir adalah pada gula invert berbahan baku gula pasir dengan berat 102.2 gr untuk pembuatan gula invert metode HCl sedangkan untuk gula invert dengan metode asam tartarat didapat berat terbesar dari bahan baku gula aren dengan berat 108.2 gr. Pada proses pembuatan gula invert dilakukan penambahan tartaric acid dan sodium carbonat. Total padatan terlarut yang terbesar adalah pada gula pasir yaitu sebelum inversi 66 % dan sesudah inversi 78% untuk pembuatan gula invert metode HCl, sedangkan untuk gula invert dengan metode asam tartarat total padatan terlarut yang terbesar sebelum inversi adalah 67 % pada gula pasir dan sesudah inversi 82% pada gula aren. Data dapat dilihat pada lampiran 2. Penambahan tartaric acid dimaksudkan agar terjadi proses inversi,

selain itu juga dapat berperan untuk menjernihkan nira. Penambahan sodium metacilikat dapat menekan terjadinya proses inversi. Sedangkan dengan menggunakan metode HCl menurut Nengah, I. K. P. (1990)., larutan asam ini tidak berwarna dan mempunyai bau asam yang khas. Larutan asam khlorida dalam konsentrasi yang pekat mudah menguap dan menimbulkan bau asam disekitarnya. Rumus molekul asam khlorida yaitu HCl dengan berat molekul 37.5. Asam ini di dalam air akan terionisasi dengan sempurna dan termasuk golongan asam kuat. Kekuatan asam ini dalam ionisasi dinyatakan dalam nilai Ka (konstanta pengionan asam) sebesar 2.5 x 107. Reaksi ionisasi asam khlorida dalam air adalah sebagai berikut : HCl + H2O H3O+ + ClSecara komersial asam klorida banyak digunakan untuk menghidrolisis sukrosa karena asam klorida mempunyai daya inversi yang tinggi. Salah satu penentuan mutu produk gula yaitu dengan mengetahui kandungan gula tersebut. Salah satu cara yang dapat diterapkan yaitu analisis untuk melihat mutu gula, meliputi analisis sifat fisik dan kimia. Analisis sifat fisik meliputi uji kekerasan, warna, sedangkan sifat kimia yang diuji Antara lain adalah dengan pengujian kadar gula pereduksi, kadar sukrosa, nilai adsorbansi dan bagian yang tidak larut dalam air. 5. Analisis Produk Gula

Pengujian pada karakterisasi ini meliputi uji warna, uji kekerasan, padatan tidak terlarut, gula pereduksi (metode Luff Schoorl), dan uji kadar sukrosa (metode Luff Schoorl), serta gula pereduksi dengan metode DNS. Dimana uji gula pereduksi DNS hanya dilakukan pada gula invert. a. Karakerisasi gula merah tebu

Warna merupakan salah satu faktor yang menentukan kualitas penampakan bahan makanan disamping faktor lainnya seperti bentuk dan ukuran. Seperti pada gula merah, warna dijadikan salah satu faktor yang digunakan untuk menentukan tingkat kualitas produk. Dari hasil praktikum menunjukkan bahwa warna yang dihasilkan oleh gula tebu setelah pemasakan adalah coklat tua dan coklat muda. Gula yang berwarna coklat tua ada yang mutunya bagus tapi ada juga mutunya yang kurang bagus. Hal tersebut dipengaruhi oleh proses pemasakannya. Kecukupan pemasakan dapat mempengaruhi mutu gula yang dihasilkan. Pemasakan gula yang terlalu lama biasanya akan menghasilkan gula yang keras dengan warna coklat tua, sedangkan bila pemasakan kurang hasilnya akan lembek dan mudah meleleh (Nengah, 1990). Pengolahan dengan pemanasan menyebabkan gula merah memiliki warna yang bervariasi dari kuning hingga coklat tua, tapi pada umumnya berwarna coklat kemerahan. Menurut Nengah (1990) warna merah terbentuk karena adanya reaksi pencoklatan atau browning selama pengolahan, baik melalui reaksi maillard maupun reaksi karamelisasi. Agar diperoleh warna gula yang baik, kering, berwarna kekuningan, keras dan padat sebaiknya pH nira sebelum diolah berkisar diantara 5,5-5,6. Di luar kisaran tersebut gula sukar mengkristal (BALITKA, 1989). Hasil uji warna gula merah tiap kelompok hamper sama data dapat dilihat pada lampiran 2. Pengukuran kekerasan suatu bahan dapat dilakukan dengan alat Penetrometer, dimana prinsip dari alat ini adalah dengan menekan bahan menggunakan sebuah jarum, dan tingkat kekerasan tersebut akan terbaca pada skala tingakat kekerasannya (Dachian, 2006). Pada praktikum, didapatkan hasil bahwa ada gula yang keras dan gula yang lembek (empuk). Artinya gula yang keras adalah gula yang dicampur dengan CaO, karena kandungan CaO dapat menjadikan strukturnya lebih kuat. Hasil pengamatan terhadap gula cetak yang dilakukan oleh tiap kelompok dihasilkan uji kekerasan yaitu berurut (14.9, 8.3, 12, 14.6, 8.3, dan 4.8) gr, gula merah yang paling keras adalah gula merah yang dihasilkan oleh kelompok 1. Padatan yang tidak terlarut tiap kelompok sebanyak (6.35,

4.5, 2.65, 2.26, 1.62 dan 0.43) %, padatan yang tidak larut air paling rendah pada kelompok 6 dan tertinggi pada kelompok 1. Kadar gula pereduksi adalah (76, 78, 81, 67, 56, dan 57) %. nilai terbesar pada kelompok 3 dan terendah pada kelompok 5. Kadar sukrosa terbesar pada kelompok 6 yaitu 78% dan terendah pada kelompok 2 yaitu 21.185%. Tingkat hidrolisis terbesar terdapat pada kelompok 3 yaitu 109.31% dan terkecil pada kelompok 6 yaitu 73.17%. Data selengkapnya dapat dilihat pada lampiran 2. Gula yang digunakan praktikum tidak dapat dibedakan antara yang dicampur dengan CaO dan yang tanpa CaO. Karena gula cetak berasal dari kelompok masing-masing yang dahulu berbeda golongan dengan yang sekarang, sehingga perlakuannya tidak diketahui. Jika gula pereduksinya tinggi, berarti gula cetak tersebut tanpa penambahan CaO. Hal ini dikarenakan penambahan CaO menyebabkan gula lebih mudah tereduksi. b. Karakerisasi gula semut

Menurut Santoso (1993) gula semut merupakan diversifikasi produk gula merah yang berbentuk serbuk. Gula semut dapat dibuat dari nira atau gula merah cetak. Gula semut merupakan gula merah versi bubuk dan sering pula disebut orang sebagai gula kristal. Dinamakan gula semut karena bentuk gula ini mirip rumah semut yg bersarang di tanah. Bahan dasar untuk membuat gula semut adalah nira dari pohon kelapa atau pohon aren. Karena kedua pohon ini masuk jenis tumbuhan palmae maka dalam bahasa asing, secara umum gula semut hanya disebut sebagai Palm Sugar. Pada analisis karakterisasi gula semut ini yang dilakukan adalah pengujian tingkat kekerasan dengan penetrometer, pengujian gula pereduksi dengan metode Luff Schoorl, serta melakukan pengukuran terhadap kadar sukrosa dengan menggunakan metode Luff Schoorl. Hasil pengamatan terhadap gula semut yang dilakukan oleh tiap kelompok dihasilkan padatan yang tidak terlarut tiap kelompok sebanyak (10.73, 0.9, 0.95, 1.86, 1.19 dan 0.31) %, padatan yang tidak larut air paling rendah pada kelompok 6 dan tertinggi pada kelompok 1. Kadar gula pereduksi adalah (78, 88, 78, 89, 84, dan 91) %, nilai terbesar pada kelompok 6 dan terendah pada kelompok 3. Kadar sukrosa terbesar pada kelompok 6 yaitu 39.9% dan terendah pada kelompok 2 yaitu 18.24%. Tingkat hidrolisis terbesar terdapat pada kelompok 1 yaitu 133.97% dan terkecil pada kelompok 3 yaitu 105.26%. Hasil yang diperoleh melebihi 100% hal ini mungkin dikarenakan terjadi kesalahan pada saat perhitungan gula invert. Data selengkapnya dapat dilihat pada lampiran 2. Dari data ini dapat disimpulkan bahwa gula aren dan gula kelapa memiliki total padatan tidak terlarut yang tidak jauh berbeda. Hal ini menandakan bahwa derajat kemanisan dari gula kelapa dan gula aren tidak terlalu jauh berbeda tetapi gula aren memiliki tingkat kemanisan yang sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan gula kelapa. c. Karakterisasi Gula Invert

Melakukan analisis nilai adsorbansi dari masing-masing gula invert yang telah dibuat sebelumnya. DNS menunjukkan hubungan antara konsentrasi glukosa dan nilai adsorbansi yang digunakan sebagai acuan antara adsorbansi dan konsentrasi media. Untuk membandingkan nilai adsorbansi pada tiap-tiap gula invert dengan nilai bakunya , maka perlu dibuat kurva standart yang akan menunjukan tingkat kandungan glukosa. Pembuaatan kurva standart ini dimulai dari konsentrasi kelarutan 0 ppm 300 ppm dan didapat nilai adsorbansi yang meningkat dari konsentrasi terkecil sampai konsentrasi terbesar. Kurva ini menunjukan linear yang baik dengan didapatkannya nilai R mendekati 1 yaitu 0,9932. Dimana apabila nilai R yang mendekati 1 atau -1 merupakan nilai regresi yang baik. Grafik dapat dilihat pada lampiran 3.

Dari uji DNS yang dilakukan dari keenam sampel gula invert yang berbeda didapat hasil bahwa nilai adsorbansi yang terbesar adalah kelompok 1 yaitu 1.091 dan terendah pada kelompok 5 yaitu 0.093. Gula invert dari gula pasir memiliki nilai adsorbansi terkecil dikarenakan ketika dilakukan pengenceran sebanyak 1 banding 200ppm, jika larutan yang dihasilkan masih terlalu pekat sehingga tidak terbaca oleh spektofotometer dan kemudian dilakukan pengenceran lagi dan jika belum terbaca juga, lalu dilakukan pengeceran kembali hingga didapatkanlah nilai adsorbansi dari nilai gula invert. Grafik dapat dilihat pada lampiran 3. Berdasarkan data diatas gula aren memiliki nilai adsorbansi tertinggi dan gula pasir memiliki nilai adsorbansi terendah. Hal ini menunjukan bahwa gula aren memiliki kadar glukosa yang paling tinggi dibanding dengan kadar glukosa gula lainnya, dimana semakin tingginya konsentrasi glukosa pada sampel, maka semakin tinggi pula nilai adsorbansi sampel. Selanjutnya dilakukan analisis nilai adsorbansi dari masing-masing gula invert yang telah dibuat sebelumnya. Fenol menunjukkan hubungan antara konsentrasi glukosa dan nilai adsorbansi yang digunakan sebagai acuan antara adsorbansi dan konsentrasi media. Untuk membandingkan nilai adsorbansi pada tiap-tiap gula invert dengan nilai bakunya , maka perlu dibuat kurva standart yang akan menunjukan total tingkat kandungan glukosa. Pembuaatan kurva standart ini dimulai dari konsentrasi kelarutan 0 ppm 100 ppm dan didapat nilai adsorbansi yang meningkat dari konsentrasi terkecil sampai konsentrasi terbesar. Kurva ini menunjukan linear yang baik dengan didapatkannya nilai R 0,835. Dimana apabila nilai R yang mendekati 1 atau -1 merupakan nilai regresi yang baik. Dari uji Fenol yang dilakukan dari keenam sampel gula invert yang berbeda didapat hasil bahwa nilai adsorbansi yang terbesar adalah kelompok 4 yaitu 0.498 dan terendah pada kelompok 3 dan 6 yaitu -0.258. Gula invert dari gula pasir memiliki nilai adsorbansi terkecil dikarenakan ketika dilakukan pengenceran sebanyak 1 banding 200ppm, jika larutan yang dihasilkan masih terlalu pekat sehingga tidak terbaca oleh spektofotometer dan kemudian dilakukan pengenceran lagi dan jika belum terbaca juga, lalu dilakukan pengeceran kembali hingga didapatkanlah nilai adsorbansi dari nilai gula invert. Grafik dapat dilihat pada lampiran 3.

IV. KESIMPULAN
Gula merupakan senyawa kimia yang termasuk karbohidrat. Sumber gula dapat berasal dari tebu, tanaman palma, dan buah-buahan serta tanaman yang menghasilkan karbohidrat lainnya. Jenisjenis gula yang ada di pasaran dapat berupa gula pasir, gula merah, gula semut, dan gula invert. Gula merah adalah gula yang dihasilkan dari pengolahan nira yaitu terdiri atas proses penguapan dan pemekatan nira, dimana produk yang dihasilkan berbentuk cetakan dan berwarna kuning kemerahan, merah sampai penyaringan, pemanasan, pembuangan buih, pemekatan, pencetakan, pendinginan, dan pelepasan dari cetakan serta pengemasan. Tebu yang digunakan sebagai bahan baku yang paling masak adalah yang memiliki kandungan sukrosa yang paling banyak yaitu tebu bagian bawah (bagian pangkal). Gula semut merupakan hasil olahan nira palma yang berbentuk serbuk. Pada prinsipnya proses pembuatan gula semut meliputi penguapan air dari nira sehingga diperoleh gula, kristalisasi gula dan pengayakan. Penambahan gula pasir digunakan untuk membantu proses kristalisasi. Praktikum kali ini gula semut yang berhasil dibuat adalah gula semut yang dihasilkan dari gula aren. Sedangkan gula semut yang dibuat dari gula kelapa tidak membentuk butiran-butiran kecil. Hal ini dikarenakan kadar sukrosa pada gula kelapa rendah, dan proses pengadukan yang terlalu lamban. Gula invert merupakan campuran glukosa dan fruktosa yang dihasilkan dari hidrolisa sukrosa dengan asam maupun enzim. Tahapan-tahapan yang penting pada proses pembuatan sirup invert yaitu tahap hidrolisa dan tahap pemurnian. Gula invert dapat dihasilkan dengan dua metode asam yaitu asam tartarat dan HCl. Berdasarkan dua metode tersebut gula invert yang paling banyak dihasilkan adalah gula aren dengan metode HCl. Analisis warna gula dihasilkan warna gula yang gelap dan warna gula yang terang. Warna gula yang berwarna terang adalah gula yang ditambahkan dengan CaO. Uji kadar pereduksi pada gula adalah jika kadar gula pereduksinya tinggi, berarti gula cetak tersebut tanpa penambahan CaO. Hal ini dikarenakan penambahan CaO menyebabkan gula lebih mudah tereduksi. Kadar sukrosa pada gula yang dihasilkan berbeda-beda berdasarkan jenisnya. Gula aren memiliki tingkat kemanisan yang lebih tinggi dari gula kelapa berdasarkan kadar sukrosanya. Semakin tinggi kadar sukrosa dalam gula, berarti semakin tinggi tingkat kemanisan gula yang dihasilkan. Gula yang memiliki jumlah padatan yang tidak terlarut lebih banyak berarti pada proses pembuatannya menggunakan CaO karena CaO tidak larut dalam air.

V.

DAFTAR PUSTAKA

BBIHP. 1981. Prinsip Pembuatan Gula Invert. Balai Informasi Pertanian Gedong Johor Medan. BALITKA. 1989. Potensi Nira Tanaman Palma sebagai Pemasok Gula Non Tebu. Laporan Bulanan Balai Penelitian dan Pengembangan Pertania. Dachlan, M. A. 1984. Proses Pembuatan Gula Merah. Balai Penelitian dan Pengembangan Industri, BBIHP, Bogor. Dachian, Tatang, 2006. Pengujian Daya Dukung Kekerasan. [ 3 Maret 2010 ] Goutara dan Wijandi. 1985. Dasar-Dasar Pengolahan Gula I dan II. Agroindustri Press, Fakultas Teknologi pertanian-Institut Pertanian Bogor, Bogor. Jatmika, A, M.A. Hamzah dan Siahaan. 1990. Alternatif Produk Olahan dari Nira Kelapa Manggar, 3(3) : 47. Krick, R.E dan Othmer, D.F (eds). 1954. Encyclopediaof Chemical Technology. Vol 13. The Intersciene Enciclopedia, Inc., New York. Nengah, I. K. P. 1990. Kajian Reaksi Pencoklatan Termal pada Proses Pembuatan Gula Merah dari Nira Aren. Tesis, program studi Ilmu Pangan, Fakultas Pasca Sarjana, Ipb, Bogor. Palungkun, R. 1993. Aneka Produk Olahan Kelapa. Penebar Swadaya, Jakarta. Santoso, H. 1988. Kajian Sifat-Sifat Gula merah Dari Nira Palma. Skripsi S1. Fakultas Teknologi Pertanian-Institut Pertanian Bogor, Bogor. Santoso, H. B. 1993. Pembuatan Gula Kelapa. Kanisius. Jakarta. Sardjono, T.W. 1984. Pengembangan Peralatan Untuk Pengembangan Serbuk gula Merah. Laporan Up Grading Tenaga Pembina Gula Merah. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Industri Hasil Pertanian, Departemen Perindustrian Republik Indonesia, Jakarta. Sudiatso, Sugeng. 1982. Bertanam Tebu. Depatemen Agronomi, Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor.

Anda mungkin juga menyukai