Anda di halaman 1dari 15

TUGAS 5

Diajukan sebagai tugas mata kuliah GAMBAR SISTEM PROSES

Disusun oleh:
Kelompok B
Anggota:

Aisyah Auliya Rahmawati 201411064

Anisa Dwi Febriani 201411068

Calvin Fattriot Tama 201411072

Dhea Rizka Triana 201411076

Hanifa Aulia Khosyatillah 201411080

Nabila Alivia Insanudin 201411084

Rina Komala Devi 201411088

Wening Gilang Nawangi 201411092

Kelas 1C-TKI

PROGRAM STUDI D-III TEKNIK KIMIA


JURUSAN TEKNIK KIMIA
POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
2021
INDUSTRI GULA
A. Karakteristik Gula

Gula memiliki karakteristik seperti berikut :


1. Nama senyawa : Sukrosa

2. Rumus molekul : C12H22O11


3. Berat molekul : 342,3 g/mol

4. Bentuk : Padatan
5. Warna : Putih

6. Bau : Khas karamel


7. Densitas : 1,587 g/cm3

8. Kelarutan, 25o C : 2000 g/L air


9. Titik leleh, 1 atm : 1860 C

B. Bahan Baku Dan Sumber

Sumber gula di Indonesia sejak masa lampau adalah cairan bunga (nira) kelapa atau enau, serta
cairan batang tebu. Tebu adalah tumbuhan asli dari Nusantara, terutama di bagian timur.Tebu
sebagai bahan baku utama industri gula di Indonesia merupakan tanaman yang efisien. Nama
tebu hanya terkenal di Indonesia, dilingkungan Internasional tanaman ini lebih dikenal dengan
nama ilmiahnya Saccharum officinarum L. Jenis ini termasuk dalam famili Gramineae atau
kelompok rumput-rumputan.
Varietas Tebu yang Baik untuk Bahan Baku Gula
Varietas tebu sangat banyak jumlahnya, tetapi tidak semua unggul. Yang dimaksud varietas
unggul adalah varietas yang memiliki ciri-ciri sebagai berikut :

a. Tingkat produktivitas gula yang tinggi. Produktivitas dapat diukur dari bobot atau rendaman
yang tinggi;

b. Tingkat produktivitas (daya produk) yang stabil;


c. Kemampuan yang tinggi untuk di kepras;

d. Teloransi yang tinggi terhadap hama dan penyakit.


Tanaman tebu yang termasuk genus Saccharim, mempunyai berbagai spesies antara lain
S.Officinarum, S.Spontaneum, S.Sinense, S. Barberi dan S. Robustum. Dalam perkembangannya
untuk keperluan industry ditemukan bermacam-macam varietas baru yang terkenal dengan inisial
POJ (Proefstation Oost Java), B (Barbados), H (Hawaii) dan sebagainya. Tanaman tebu dapat
tumbuh hingga 3 meter di kawasan yang mendukung. Syarat Tumbuh Tebu (Saccarum
officinarum)Tebu termasuk jenis tanaman rumput yang kokoh dan kuat. Tebu tumbuh di daerah
dataran rendah yang kering. Iklim panas yang lembab dengan suhu antara 25ºC-28ºC. Curah
hujan kurang dari 100 mm/tahun. Tanah tidak terlalu masam, pH diatas 6,4. Ketinggian kurang
dari 500 m dpl Umur tanaman sejak ditanam sampai bisa dipanen mencapai kurang lebih 1
tahun. Batang tebu mengkonversi sinar matahari dengan proses fotosintesa sehingga menjadi
gula (sukrosa) selama pertumbuhan.
Reaksi utama pada proses fotosintesa tebu :
Reaksi: 6 CO2 + 6 H2O C6H12O6 + 6 O2
Monosakarida hasil reaksi di atas berupa D-glukosa dan fruktosa. Bertentangan dengan sintesa
secara kimia, kedua monosakarida di atas, secara biokimia membentuk disakarida, yaitu sukrosa
(sakarosa). Bila tebu ditebang, kehidupan sel tebu makin lama makin lemah dan akhirnya
fotosintesa berhenti. Ada beberapa metode pemanenan tebu, diantaranya adalah dengan cara
dibakar terlebih dahulu. Metode pembakaran tebu sebelum dipanen lazim digunakan pada lahan
tebu yang luas dengan motode tebangan mekanisasi.
C. Proses Pembuatan Gula Dalam Industri

Proses pembuatan gula dari bahan baku tebu secara umum dilakukan dengan tahap yaitu
penggilingan tebu, pemurnian nira mentah, penguapan nira encer, kristalisasi nira kental,
pemisahan kristal dan pengeringan kristal.

1. Proses Penggilingan Tebu


Setelah tebu dipanen, langkah selanjutnya dalam proses pembuatan gula adalah pemerahan tebu
di gilingan. Tebu diperah menghasilkan “nira” dan “ampas”. Untuk menggiling tebu diperlukan
4-6 set gilingan yang terdiri dari rol baja. Setiap set terdiri dari 3 buah rol, satu berada di atas dua
lainnya. Masingmasing set gilingan berada dalam ukuran alur(groove) dan jarak antar rol, dan
semakin kebelakang jarak antar rol semakin sempit hingga pemerasan menjadi lebih baik. Untuk
melarutkan nira yang melekat dalam serabut dilakukan penyemprotan dengan air (air imbibisi).
Penambahan air imbibisi harus diperhitungkan agar tidar mengganggu proses penguapan atau
pemborosan energi. Penambahan air imbibisi sekitar 15-16% berat tebu yang digiling. Ampas
yang dihasilkan pada proses pemerahan ini digunakan untuk berbagai macam keperluan.
Diantaranya digunakan sebagai bahan bakar ketel uap, atau sebagai bahan baku untuk pulp dan
apabila berlebih bisa digunakan sebagai bahan partikel board, furfural, xylitol dan produk lain.
Nira yang dihasilkan dari penggilingan dapat mencapai 80-90% berat tebu. Nira inilah yang
mengandung gula dan akan di proses lebih lanjut di pemurnian.

2. Pemurnian Nira Mentah


Setelah tebu diperah dan diperoleh “nira mentah” (raw juice), lalu dimurnikan. Dalam nira
mentah mengandung sukrosa, gula invert (glukosa+fruktosa) ; zat bukan gula, terdiri dari atom-
atom (Ca,Fe,Mg,Al) yang terikat pada asam-asam, asam organik dan anorganik, zat warna, lilin,
dan sebagainya. Pada proses pemurnian zat-zat bukan gula akan dipisahkan dengan zat yang
mengandung gula.
Pemurnian dimaksudkan untuk memisahkan kotoran-kotoran yang terbawa nira, hingga
diperoleh gula yang jernih. Kotoran-kotoran yang terkandung dalam nira antara lain:
- Suspensi kasar yang terdiri dari tanah, ampas, dan lain-lain

- Suspensi koloid diantaranya protein, lemak, lilin, tepung, gum dan phosphatida.
- Zat-zat yang menimbulkan warna dan kekeruhan misalnya klorofil, besi oksida dan sebagainya
Proses pemurnian ini dapat dilakukan baik secara fisis maupun kimiawi. Secara fisis dengan cara
penyaringan sedangkan secara kimia melalui pemanasan, dan pemberian bahan pengendap.
Berdasarkan cara penjernihan nira dikenal 3 macam cara penjernihan:
a. Defekasi

Dalam cara ini nira mentah ditambah Ca(OH)2 dalam keadaan dingin sampai suasana larutan
nira menjadi alkalis, kemudian dididihkan dan dibiarkan agar kotoran mengendap. Kelebihan
cara defekasi adalah prosesnya pemurniannya dengan biaya lebih murah dan produk yang
dihasilkan bebas residu belerang. Kelemahan cara defekasi adalah pengendapan kurang baik
dibandingkan proses sulfitasi dan karbonatasi, sehingga produksi gula yang dihasilkan kurang
seragam.
b. Sulfitasi

Bahan additive dalam proses ini adalah Ca(OH)2 dan gas SO2. Ke dalam nira, mula-mula
ditambahkan Ca(OH)2 berlebih yaitu sekitar 1% lebih banyak dari berat kapur yang diperlukan
(diperhitungkan). Maksud penambahan Ca(OH)2 yang berlebih adalah untuk menetralkan asam-
asam yang terdapat dalam nira, dan membantu pengendapan. Sisa Ca(OH)2 yang masih ada
dinetralkan dengan jalan memasukkan gas SO2, proses netralisai ini dilakukan pada suhu 70-800
C. Reaksi yang terjadi pada proses ini: Ca(OH)2(aq) + H2SO3(aq) CaSO3(s) + 2H2O(l) Reaksi
antara nira dan gas SO2 akan membentuk endapan CaSO3, yang berfungsi untuk memperkuat
endapan yang telah terjadi sehingga tidak mudah terpecah. Gas SO2 selain berlaku sebagai zat
penetral, juga bersifat sebagai zat penghilang warna (bleaching agent). Dengan cara SO2
memperlambat reaksi antara asam amino dan gula reduksi yang dapat mengakibatkan
terbentuknya zat warna gelap. Cara sulfitasi ini menghasilkan gula SHS (Superior Head Sugar)
yang berwarna putih. Sulfitasi dapat dilakukan dengan cara dingin atau panas

c. Karbonatasi
Pada pemurnian secara karbonatasi, bahan aditif yang ditambahkan adalah Ca(OH)2 dan gas
CO2. Kapur yang diberikan banyaknya sekitar 10x berat yang digunakan dalam proses sulfitasi.
Sisa kapur dalam nira dinetralkan dengan gas CO2 dari pembakaran batu kapur(CaCO3). Reaksi
yang terjadi pada proses ini yaitu: Ca(OH)2(aq) + CO2(g) CaCO3(S) Endapan CaCO3 dapat
menyerap zat-zat berwarna dan gum (pentosan). Proses karbonatasi dapat dilakukan pada suhu
rendah maupun suhu tinggi. Jika suhu sangat tinggi, di atas 900 C, maka gula pereduksi akan
mengalami dekomposisi dan warna nira menjadi gelap. Bila suhu proses dipertahankan 550 C,
akan dihasilkan gula yang sangat putih, lebih putih daripada gula hasil proses sulfitasi. Proses
penjernihan secara karbonatasi menghasilkan gula SHS berwarna putih. Kotoran-kotoran yang
telah menggumpal dari proses-proses di atas selanjutnya diendapkan di dalam pesawat
pengendap, (clarifier). Kemudian endapan dipisahkan dari nira jernih encer. Terhadap endapan
yang masih mengandung nira, dilakukan filtrasi untuk mendapatkan niranya dengan
menggunakan alat filter-frame press atau filter vakum yang berputar Tahap akhir dari proses
pemurnian nira dialirkan ke bejana pengendap (clarifier) sehingga diperoleh nira jernih dan
bagian yang terendapkan adalah nira kotor. Nira jernih dialirkan ke proses selanjutnya
(Penguapan), sedangkan nira kotor diolah dengan rotary vacuum filter menghasilkan nira tapis
dan blotong.Nira tapis selanjutnya dikembalikan pada awal proses pemurnian nira sedangkan
kotoran (blotong) akan terkumpul sebagai limbah.

3. Penguapan Nira Encer


Langkah selanjutnya dalam proses pengolahan gula adalah proses penguapan. Penguapan
dilakukan dalam vakum multiple effect evaporator.Tujuan dari penguapan ini adalah untuk
memisahkan air yang terkandung dalam nira encer sehingga didapatkan larutan nira pekat. Pada
proses penguapan air yang terkandung dalam nira akan diuapkan. Uap baru digunakan pada
evaporator badan I sedangkan untuk penguapan pada evaporator badan selanjutnya
menggunakan uap yang dihasilkan evaporator badan I. Penguapan dilakukan pada kondisi vakum
dengan pertimbangan untuk menurunkan titik didih dari nira. Karena nira pada suhu tertentu ( >
1250 C) akan mengalamai karamelisasi atau kerusakan. Dengan kondisi vakum maka titik didih
nira akan terjadi pada suhu 700 C. Produk yang dihasilkan dalam proses penguapan adalah ”nira
kental” . Nira kental ini diberi gas SO2 sebagai belancing dan siap dikristalkan. Sedangkan uap
yang dihasilkan dibuang ke kondensor sentral dengan perantara pompa vakum.
4. Kristalisasi Nira Kental

Proses kristalisasi adalah proses pembentukan kristal gula. Sebelum dilakukan kristaliasi dalam
pan masak ( crystallizer ) yaitu tempat dimana nira pekat hasil penguapan dipanaskan terus-
menerus sampai mencapai kondisi lewat jenuh, sehingga timbul kristal gula. Sedangkan
campuran nira kental dan kristal gula disebut massecuite. Langkah pertama dari proses
kristalisasi adalah menarik masakan (nira pekat) untuk diuapkan sehingga mendekati kondisi
jenuhnya. Dengan pemekatan secara terus menerus, koefisien kejenuhannya akan meningkat.
Pada keadaan lewat jenuh maka akan terbentuk suatu pola kristal sukrosa. Titik kristalisasi gula
tebu terjadi pada 78-800 Brix. Karena itu hasil akhir penguapan di dalam evaporator tidak boleh
melebihi 780 Brix, agar tidak menimbulakn kesukaran-kesukaran karena adanya kristal-kristal.
Langkah selanjutnya yaitu memasukkan bibit gula yang berupa kristal-kristal gula halus kedalam
pan masak kemudian melakukan proses pembesaran kristal. Pemasukanbibit gula bertujuan agar
pembentukan kristal gula bisa berlangsung serempak dan homogen. Pada proses masak ini
kondisi kristal harus dijaga jangan sampai larut kembali ataupun terbentuk tidak beraturan.
Setelah diperkirakan proses masak cukup, selanjutnya larutan dialirkan ke palung
pendingin(receiver) untuk proses kristalisasi. Tujuan dari palung pendingin ialah melanjutkan
proses kristalisasi yang telah terbentuk dalam pan masak, dengan adanya pendinginan di palung
pendingin dapat menyebabkan penurunan suhu masakan dan nilai kejenuhan naik sehingga dapat
mendorong menempelnya sukrosa pada kristal yang telah terbentuk. Untuk lebih
menyempurnakan dalam proses kristalisasi maka palung pendingin dilengkapi pengaduk agar
dapat sirkulasi. Tingkat masakan (kristalisasi) tergantung pada kemurnian nira kental. Apabila
HK nira kental > 85 % maka dapat dilakukan empat tingkat masakan (ABCD). Dan apabila HK
nira kental < 85 % dilakukan tiga tingkat masakan (ACD).
5. Pemisahan Kristal

Setelah masakan didinginkan proses selanjutnya adalah pemisahan. Proses ini bertujuan Untuk
memisahkan kristal gula dari cairannya(molasse), dalam proses ini dapat dilakukan dengan cara
pemutaran menggunakan puteran(centrifuge). Dalam pemisahan ini, terlebih dahulu viskositas
molasse dikurangi dengan memberikan air. Kemudian dilakukan pemutaran dan kristal gula yang
diperoleh dikeringkan. Pada alat centrifuge ini terdapat saringan. Sistem kerja lat ini yaitu
dengan menggunakan gaya sentrifugal sehingga masakan diputar dan strop(Campuran larutan
dan kristal gula) akan tersaring dan kristal gula tertinggal dalam puteran. Pada proses ini
dihasilkan gula kristal dan tetes. Gula kristal didinginkan dan dikeringakan untuk menurunkan
kadar airnya. Tetes di transfer ke Tangki tetes untuk di jual

6. Pengeringan Kristal Gula


Air yang dikandung kristal gula hasil sentrifugasi masih cukup tinggi, kira-kira 20% . Gula yang
mengandung air akan mudah rusak dibandingkan gula kering, untuk menjaga agar tidak rusak
selama penyimpanan, gula tersebut harus dikeringkan terlebih dahulu. pengeringan dapat
dilakukan dengan cara alami atau dengan memakai udara panas kira-kira 800 C. Pengeringan
gula secara alami dilakukan dengan melewatkan SHS pada talang goyang yang panjang. Dengan
melalui talang ini gula diharapkan dapat kering dan dingin. Proses pengeringan dengan cara ini
membutuhkan ruang yang lebih luas dibandingkan cara pemanasan. Karena itu, pabrik-pabrik
gula menggunakan cara pemanasan. Cara ini bekerja atas dasar prinsip aliran berlawanan dengan
aliran udara panas.
BELT TEBU
CONVEYOR

ROLLER AMPAS
MILL

TANGKI PENAMPUNG
NIRA KOTOR

TANGKI ENDAPAN
ENDAPAN
NIRA

TANGKI PENAMPUNG
NIRA BERSIH

HEATHER
GULA
KRISTAL
SUSU
KAPUR ASAM
PRELIMING TANK
PHOSPAT

VAKUM KRISTALIZER
BLOTONG KLARIFIER

MOTHER LIQUOR KONDENSOR KONDENSAT


TANGKI NIRA JERNIH

TANGKI PENAMPUNG
SENTRIFUGE KRISTALIZER EVAPORATOR AIR BUANGAN
SIRUP

TANGKI PENAMPUNG
MOLLASES

GULA
PENGERING SABUK BERJALAN TRIPLE FAN BLADES
KRISTAL
A. Karakteristik Garam
Rumus molekul NaCl
Massa molar 58.44 g/mol
Penampilan Tidak berwarna/berbentuk
kristal putih
Densitas 2.16 g/cm3
Titik lebur 801 °C (1074 K)

Titik didih 1465 °C (1738 K)

Kelarutan dalam air 35.9 g/100 mL (25 °C)

B. Sumber Garam
Sumber garam yang didapat dialam berasal dari :
1. Air laut, air danau asin (3% NaCl)
Yang bersumber air laut terdapat di Mexico, Brazilia, RRC, Australia dan Indonesia yang
mencapai ± 40 %. Adapun yang bersumber dari danau asin terdapat di Yordania (Laut Mati),
Amerika Serikat (Great Salt Lake) dan Australia yang mencapai produksi ± 20 % dari total
produk dunia.
2. Deposit dalam tanah, tambang garam (95-99% NaCl)
Terdapat di Amerika Serikat, Belanda, RRC, Thailand, yang mencapai produksi ± 40 % total
produk dunia.
3. Sumber air dalam tanah
Sangat kecil, karena sampai saat ini dinilai kurang ekonomis maka jarang (sama sekali tidak)
dijadikan pilihan usaha. Di Indonesia terdapat sumber air garam di wilayah Purwodadi, Jawa
Tengah (Burhanuddin, 2001)
4. Larutan garam alamiah (20-25% NaCl)
Dari jumlah 41 ton produksi garam d USA bersumber pada batuan garam (30%), larutan
garam alamiah (56%) dan air laut (14%), sedangkan pemakaiannya adalah : 50% untuk
pembuatan NaOH, 6% untuk pembuatan Na2CO3, 21% untuk dipakai d jalan raya dan 3%
sebagai bahan pengawet dan makanan.

C. Produksi Garam
Ada beberapa cara yang umum dilakukan untuk memproduksi garam. Proses produksi
garam tergantung dari bahan baku yang digunakan, diantaranya dengan cara solar evaporation,
rekristalisasi, multiple effect evaporation dan pembuatan garam dari batuan garam.
1. Penguapan Air Laut (Solar Evaporation)
Langkah–langkah yang dibutuhkan dalam pembuatan garam melalui solar
evaporation yakni
a. Pengeringan Lahan
Tahap Pengeringan Lahan untuk pembuatan garam terdiri dari :
1) Pengeringan Lahan Pemenihan.
2) Pengeringan Lahan Kristalisasi.
Lahan pembuatan garam dibuat secara berpetak-petak secara bertingkat, sehingga dengan
gaya gravitasi air dapat mengalir ke hilir kapan saja
dikehendaki. Kalsium dan magnesium sebagai unsur yang cukup banyak dikandung dal
am air laut selain NaCl perlu diendapkan agar kadar NaCl yang diperoleh meningkat. Kalsium
dan magnesium dapat terendapkan dalam bentuk garam sulfat, karbonat dan oksalat. Dalam
proses pengendapan atau kristalisasi garam karbonat dan oksalat mengendap dahulu, menyusul
garam sulfat, terakhir bentuk garam kloridanya.
Tanah untuk penggaraman yang dipilih harus memenuhi kriteria yang berkaitan dengan
ketinggian dari permukaan laut, topografi tanah, sifat fisis tanah, kehidupan (hewan/ tumbuhan)
dan gangguan bencana alam.
1) Letak terhadap permukaan air laut :
• Untuk mempermudah suplai air laut
• Untuk mempermudah pembuangan
2) Topografi :
• Dikehendaki tanah yang landai atau kemiringan kecil.
• Untuk mengatur tata aliran air dan meminimilisasi biaya konstruksi
3) Sifat fisis tanah :
Dikehendaki sifat-sifat :
• Permeabilitas rendah
• Tanah tidak mudah retak
• Pasir : Permeabilitas tinggi
• Tanah liat : Permeabilitas rendah dan Retak pada kelembaban rendah
• Untuk peminihan : tanah liat untuk penekanan resapan air (kebocoran)
• Untuk meja-meja : campuran pasir dan tanah liat guna kualitas dan kuantitas hasil produksi
Pengujian laborat tanah, yang diperlukan :
• Grain size (ukuran)
• Kelakuan pada pengerasan (proctor test)
Bila diperlukan daya dukung untuk lokasi gudang dan pondasi pompa
4) Gangguan kehidupan :
• Tanaman pengganggu
• Binatang tanah
5) Gangguan bencana alam : Daerah banjir / gempa / gelombang pasang
b. Pengolahan Air Peminian/ Waduk
1) Pemasukan air laut ke Peminian
2) Pemasukan Air laut ke lahan kristalisasi..
3) Pengaturan air di Peminian
4) Pengeluaran Brine ke meja kristal dan setelah habis dikeringkan selama seminggu.
5) Pengeluaran Brine ke meja kristal dan setelah habis dikeringkan, untuk pengeluaran Brine
selanjutnya dari peminian tertua melalui Brine Tank.
6) Pengembalian air tua ke waduk. Apabila air peminihan cukup untuk memenuhi meja kristal,
selebihnya dipompa kembali ke waduk.
c. Pengolahan Air dan Tanah
1) Proses Kristalisasi
• Pemeliharaan meja beragam
• Aflak (perataan permukaan dasar garam)
2) Proses Pungutan
• Umur kristal garam 10 hari secara rutin (tergantung intensitas cahaya matahari).
• Pengaisan garam dilakukan hati-hati dengan ketebalan air meja cukup atau 3-5 cm.
• Angkut garam dari meja ke timbunan membentuk profil (ditiriskan), kemudian diangkat ke
gudang dan siap untuk proses pencucian.
d. Proses Pencucian
1) Pencucian bertujuan untuk meningkatkan kandungan NaCl dan mengurangi unsur Mg, Ca,
SO4 dan kotoran lainnya.
2) Air pencuci garam yang digunakan semakin bersih dari kotoran maka akan menghasilkan
garam cucian lebih baik dan lebih bersih.
3) Air garam (Brine) dengan kepekatan 20-24 oBe. (Secara kasar, 1 oBe nilainya 10 gram per
liter. Jadi kalau air laut itu 3,0 oBe berarti kandungan garamnya 30 gram per liter).
4) Kandungan Mg ≤ 10 gr/Liter.

Pada proses pengkristalan apabila seluruh zat yang terkandung diendapkan/dikristalkan


akan terdiri dari campuran bermacam-macam zat yang terkandung, tidak hanya Natrium
Klorida yang terbentuk tetapi juga beberapa zat yang tidak diinginkan ikut terbawa
(impurities). Proses kristalisasi yang demikian disebut “kristalisasi total”.
Untuk mengurangi impuritis dalam garam dapat dilakukan dengan kombinasi dari proses
pencucian dan pelarutan cepat pada saat pembuatan garam. Sedangkan penghilangan impuritis
dari produk garam dapat dilakukan dengan proses kimia, yaitu mereaksikannya dengan
Na2CO3 dan NaOH sehingga terbentuk endapan CaCO3 dan Mg(OH)2. Reaksi kimia yang
terjadi adalah sebagai berikut:
CaSO4 + Na2CO3 -> CaCO3 (putih) + Na2SO4
MgSO4 + 2NaOH -> Mg(OH)2 (putih) + Na2SO4
CaCl2 + Na2SO4 -> CaSO4 (putih) + 2NaCl
MgCl2 + 2NaOH -> Mg(OH)2 (putih) + 2NaCl
CaCl2 + Na2CO3 -> CaCO3 (putih) + 2NaCl

Faktor-faktor yang mempengaruhi produksi garam NaCl melalui penguapan air laut
diantaranya yaitu :
a) Air Laut
Mutu air laut (terutama dari segi kadar garamnya (termasuk kontaminasi dengan air sungai),
sangat mempengaruhi waktu yang diperlukan untuk pemekatan (penguapan).
b) Keadaan Cuaca
• Panjang kemarau berpengaruh langsung kepada “kesempatan” yang diberikan kepada kita
untuk membuat garam dengan pertolongan sinar matahari.
• Curah hujan (intensitas) dan pola hujan distribusinya dalam setahun rata-rata merupakan
indikator yang berkaitan erat dengan panjang kemarau yang kesemuanya mempengaruhi
daya penguapan air laut.
• Kecepatan angin, kelembaban udara dan suhu udara sangat mempengaruhi kecepatan
penguapan air, dimana makin besar penguapan maka makin besar jumlah kristal garam yang
mengendap.
c) Tanah
• Sifat porositas tanah mempengaruhi kecepatan perembesan (kebocoran) air laut kedalam
tanah yang di peminihan ataupun di meja.
• Bila kecepatan perembesan ini lebih besar daripada kecepatan penguapannya, apalagi bila
terjadi hujan selama pembuatan garam, maka tidak akan dihasilkan garam.
• Jenis tanah mempengaruhi pula warna dan ketidakmurnian (impurity) yang terbawa oleh
garam yang dihasilkan.
d) Pengaruh air
• Pengaturan aliran dan tebal air dari peminihan satu ke berikutnya dalam kaitannya dengan
faktor-faktor arah kecepatan angin dan kelembaban udara merupakan gabungan
penguapan air (koefisien pemindahan massa).
• Kadar/kepekatan air tua yang masuk ke meja kristalisasi akan mempengaruhi mutu hasil.
• Pada kristalisasi garam konsentrasi air garam harus antara 25–29°Be. Bila konsentrasi air
tua belum mencapai 25°Be maka gips (Kalsium Sulfat) akan banyak mengendap, bila
konsentrasi air tua lebih dari 29°Be Magnesium akan banyak mengendap.
e) Cara pungutan garam
Segi ini meliputi jadwal pungutan, umur kristalisasi garam dan jadwal pengerjaan tanah meja
(pengerasan dan pengeringan). Demikian pula kemungkinan dibuatkan alas meja dari kristal
garam yang dikeraskan, makin keras alas meja makin baik.
f) Air Bittern
Air Bittern adalah air sisa kristalisasi yang sudah banyak mengandung garam-garam
magnesium (pahit). Air ini sebaiknya dibuang untuk mengurangi kadar Mg dalam hasil garam,
meskipun masih dapat menghasilkan kristal NaCl. Sebaiknya kristalisasi garam dimeja terjadi
antara 25–29°Be, sisa bittern ≥ 29°Be dibuang.
Kondisi operasi proses produksi garam dapur dilakukan pada T = 30oC yang merupakan
suhu lingkungan dan tekanan 1 atm karena proses evaporasi air laut menggunakan tenaga surya
dan dilakukan di ruang terbuka. Air laut yang diuapkan sampai kering mengandung setiap
liternya sejumlah 7 mineral seperti CaSO4, MgSO4, MgCl2, KCl, NaBr, NaCl, dan air dengan
berat total 1.025,68 gram. Setelah dikristalkan pada proses selanjutnya akan diperoleh garam
dengan kepekatan 16,75 - 28,5 oBe yang setara dengan 23,3576 gram. Untuk menghasilkan
garam dapur hanya akan diperoleh 40,97 % dari jumlah semula.
2. Rekristalisasi
Rekristalisasi merupakan suatu pembentukan kristal kembali dari larutan atau leburan
dari material yang ada. Sebenarnya rekristalisasi hanyalah sebuah proses lanjut dari kristalisasi.
Apabila kristalisasi (dalam hal ini hasil kristalisasi) memuaskan rekristalisasi hanya bekerja
apabila digunakan pada pelarut pada suhu kamar, namun dapat lebih larut pada suhu yang lebih
tinggi. Hal ini bertujuan supaya zat tidak murni dapat menerobos kertas saring dan yang
tertinggal hanyalah kristal murni. (Fessenden, 1983)
Proses Kristalisasi terdiri dari beberapa tahapan umum seperti :
a) Pendinginan
Larutan yang akan dikristalkan didinginkan sampai terbentuk kristal pada larutan tersebut.
Metode ini digunakan untuk zat yang kelarutan mengecil bila suhu diturunkan. Pendinginan
dilakukan 2x yaitu pendinginan larutan panas sebelum penyaringan dan pendinginan sesudah
penguapan.
b) Penguapan Solvent
Larutan yang dikristalkan merupakan senyawa campuran antara solven dan solut. Setelah
dipanaskan maka solven menguap dan yang tertinggal hanya kristal. Metode ini digunakan bila
penurunan suhu tidak begitu mempengaruhi kelarutan zat pada pelarutnya. Penguapan
bertujuan untuk menghilangkan atau meminimalizir solvent atau zat pelarut sisa yang terdapat
pada filtrat.
c) Evaporasi Adiabatis
Metode ini digunakan dalam ruang vakum, larutan dipanaskan, dimasukkan dalam tempat
vakum yang mana tekanan total lebih rendah dari tekanan uap solvennya. Pada suhu saat
larutan dimasukkan ke ruang vakum solven akan menguap dengan cepat dan penguapan itu
akan menyebabkan pendinginan secara adiabatis.
d) Salting Out
Prinsipnya adalah menambah suatu zat untuk mengurangi zat yang akan dikristalkan.
Pengeluaran garam dari larutan dengan zat baru ke dalam larutan bertujuan menurunkan daya
larut solven terhadap suhu pada pengatur tersebut. Peningkatan harga k, jika kedalam suatu
larutan ditambah dengan zat elektrolit. (Cahyono, 1998)
Faktor-faktor yang mempengaruhi kristalisasi adalah diantaranya :
a) Laju pembentukan inti (nukleous)
Laju pembentukan inti dinyatakan dengan jumlah inti yang terbentuk dalam satuan waktu. Jika
laju pembentukan inti tinggi, maka banyak sekali kristal yang terbentuk, tetapi tak satupun akan
tumbuh menjadi besar, jadi yang terbentuk berupa partikel-partikel koloid.
b) Laju pertumbuhan kristal
Merupakan faktor lain yang mempengaruhi ukuran kristal yang terbentuk selama pengendapan
berlangsung. Jika laju tinggi kristal yang besar akan terbentuk, laju pertumbuhan kristal juga
dipengaruhi derajat lewat jenuh.
Faktor-faktor yang mempengaruhi kecepatan pembentukan kristal adalah :
• Derajat lewat jenuh.
• Jumlah inti yang ada, atau luas permukaan total dari kristal yang ada.
• Pergerakan antara larutan dan kristal.
• Viskositas larutan.
• Jenis serta banyaknya pengotor. (Handojo, 1995)
Proses rekristalisasi terdiri dari:
• Melarutkan zat tak murni dalam terlarut tertentu pada atau dekat tiik leleh.
• Menyaring larutan panas dari partikel bahan tak larut
• Mendinginkan larutan panas sehingga zat terlarut menjadi kristal
• Memisahkan kristal – kristal dari larutan.
Memperoleh suatu senyawa kimia dengan kemurnian yang sangat tinggi merupakan hal
yang sangat esensi bagi kepentingan kimiawi. Metode pemurnian suatu padatan yang
umumyaitu rekristalisasi (pembentukan kristal berulang ). Metode ini pada dasarnya
mempertimbangkan perbedaan daya larut padatan yang akan dimurnikan dengan pengotornya
dalam pelarut tertentu maupun jika mungkin dalam pelarut tambahan yang lain yang hanya
melarutkan zat – zat pengotor saja. Pemurnian demikian banyak dilakukan pada industri –
industri (kimia) maupun laboratorium untuk meningkatkan kualitas zat yang bersangkutan.
Persyaratan suatu pelarut yang baik untuk dipakai dalam proses rekristalisasi, antara lain
yaitu:
1) Memberikan perbedaan kelarutan yang cukup signifikan antara zat yang akan dimurnikan
dengan pengotornya.
2) Kelarutan suatu zat dalam pelarut merupakan suatu fungsi temperatur, umumnya menurun
dengan menurunnya temperatur
3) Mudah dipisahkan dari kristalnya
4) Tidak meninggalkan zat pengotor di dalam kristal zat yang dimurnikan
5) Bersifat inert terhadap zat yang dimurnikan.
Rekristalisasi dalam pembuatan garam dapur intinya merupakan metode pemurnian suatu
kristal garam dari pengotor-pengotornya. Campuran senyawa yang akan dimurnikan dilarutkan
dalam pelarut yang bersesuaian dalam temperatur yang dekat dengan titik didihnya.
Selanjutnya untuk memishkan pengotor atau zat lain dari zat yang diinginkan dilakukan
penyaringan sampai terbentuk kristal. (Cahyono,1991)
Rekristalisasi garam batu adalah sebuah proses yang dilakukan untuk menghasilkan
garam dengan kemurnian yang sangat tinggi dengan menggunakan sedikit energi panas,
sedangkan langkah-langkah prosesnya adalah sebagai berikut :
a. Bahan baku dialirkan ke dissolver untuk dipisahkan dengan pengotor. Dan pengotor yang
terendapkan dibuang.
b. Dari dissolver larutan garam dialirkan ke preheater untuk dipanaskan sampai suhu 108 oC
dan larutan yang masih mengandung kotoran dialirkan ke clarifier untuk dipisahkan dengan
kotoran yang masih tersisa.
c. Larutan garam yang sudah bersih dimasukkan ke evaporator tiga tahap. Larutan garam
diuapkan sehingga menghasilkan slurry garam dan larutan brine.
d. Slurry garam dialirkan ke slurry tank lalu dialirkan ke sentrifuge, sedangkan larutan brine
yang dingin ditampung di tangki lalu dialirkan ke sentrifuge.
e. Di sentrifuge kristal garam terpisahkan dari air.
f. Kristal garam yang masih basah lalu didinginkan.
Chllorine

Hydrogen Sulfide
Purified brine

AERATOR Multiple
Brine Setting effect Washer
tank evaporators 4
2 3
1
Air

Caustic soda
Mixer Dryer Filter
Screens
Soda asin
8 5
Brine 7 6

Sodium Chloride

Anda mungkin juga menyukai