Anda di halaman 1dari 17

LAPORAN KUNJUNGAN LAPANG

TEKNOLOGI PENGOLAHAN KOMODITI PERKEBUNAN HULU

Disusun Oleh :

Nama : Ilma Sarifah


NIM : 171710101097
Kelompok/Kelas : 9/THP-B

Asisten : 1. M. Dwi Nurcahyo

2. Alifianita Purwandari

3. Dimas Wahyu Prihantoro

4. M. Yasiqy Haidar Banna

5. Nur Rahmawati Ramadhani

6. Meida Cahyaning Putri

JURUSAN TEKNOLOGI HASIL PERTANIAN


FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
UNIVERSITAS JEMBER
2018
BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Tanaman tebu (Saccharum officinarum L.) tergolong dalam famili
Graminae yaitu rumput-rumputan. Saccharum officinarum merupakan spesies
paling penting dalam genus Saccharum sebab kandungan sukrosanya paling tinggi
dan kandungan seratnya paling rendah (Wijayanti, 2008). Tebu merupakan bahan
baku yang digunakan untuk proses pembuatan gula. Pada umumnya gula
digunakan untuk mengawetkan makanan dan untuk pemanis. Gula di Indonesia
terdapat berbagai jenis berdasarkan bahan pembuatnya misalnya gula tebu, gula
aren, dan gula kelapa. Gula tebu sendiri dapat dibedakan menjadi tiga, yakni Gula
Kristal Mentah (GKM) atau raw sugar, Gula Kristal Putih (GKP) dan Gula Kristal
Rafinasi (GKR). Gula kristal mentah (GKM) merupakan gula yang digunakan
sebagai bahan baku untuk produksi gula rafinasi. Gula kristal putih merupakan
gula yang terbuat dari kristalisasi yang dapat langsung digunakan untuk konsumsi
rumah tangga, sedangkan GKR merupakan gula yang digunakan untuk memenuhi
kebutuhan industri seperti industri makanan, minuman dan farmasi (Arifin, 2012).
Indonesia memiliki sekitar 62 pabrik gula yang seluruhnya menghasilkan
gula kristal putih (GKP) yang berada di Pulau Jawa, Sumatera Utara, Sumatera
Selatan, Lampung, Sulawesi Selatan dan Gorontalo (Maman Haeruman Karmana
et. al., 2011). Salah satu pabrik gula yang berada di pulau jawa yaitu Pabrik Gula
Semboro, PT. Perkebunan Nusantara XI. Pabrik Gula Semboro berada di
Desa/Kecamatan Semboro, Kabupaten Jember. Pabrik gula ini beroperasi sejak
tahun 1928 sebagai unit usaha milik perusahaan swasta di era Kolonialisme.
PT Perkebunan Nusantara XI (Persero) atau PTPN XI adalah badan usaha
milik negara (BUMN) agribisnis perkebunan dengan core business gula.
Perusahaan ini bahkan satu-satunya BUMN yang mengusahakan
komoditas tunggal, yakni gula, dengan kontribusi sekitar 16-18% terhadap
produksi nasional. Sebagian besar bahan baku berasal dari tebu rakyat yang
diusahakan para petani sekitar melalui kemitraan dengan pabrik gula (PG). Pabrik
gula semboro merupakan salah satu pabrik yang mengelolah gula kristal putih
yang bernama “GUPALAS”. Nama gupalas ini kepanjangan dari “Gula Pasir
PTPN Dua Belas” (PTPN XI, 2013).
Pada mata kuliah Teknologi Pengolahan Komoditi Perkebunan Hulu salah
satunya membahas tentang materi pengolahan tebu menjadi gula. Oleh karena itu,
dilakukan kegiatan kunjungan lapang pada tanggal 22 September 2018 ke Pabrik
Gula Semboro agar mahasiswa lebih memahami proses pengolahan gula di pabrik
secara langsung.

1.2 Tujuan
Adapun tujuan dari kegiatan kunjungan lapang ini adalah sebagai berikut.
1. Mengetahui proses pembuatan gula kristal putih secara langsung di pabrik.
2. Mengetahui perbedaan proses pengolahan tebu yang ada di pabrik dengan
materi perkuliahan dan literatur yang ada.
BAB 2 PEMBAHASAN

2.1 Proses Pengolahan Tebu di Pabrik Pula PTPN XI SEMBORO


Bahan baku utama pabrik gula di Indonesia pada umumnya adalah tebu
karena sesuai dengan keadaan alam tropis. Selain dari tebu, gula dapat dihasilkan
dari bit, kelapa, aren dan jagung.
2.1.1 Stasiun Penggilingan
Stasiun penggilingan merupakan tahap dimana tebu digiling hingga
didapatkan perasan nira yang akan diolah menjadi gula. Fungsi stasiun gilingan
adalah memerah nira tebu semaksimal mungkin. Sebelum digiling, tebu diangkat
dari lori / truk dengan cane crane untuk ditempatkan di meja tebu dan dilakukan
pengerjaan pendahuluan dengan cane knife dan unigrator (membuka sel tebu dan
meringankan kerja gilingan). Hasil cacahan ini dimasukkan ke Gilingan I sd V
dengan ditambahi imbibisi (air dan nira sendiri) untuk mengurangi kehilangan
gula dalam ampas.
Pertama – tama tebu masuk ke meja tebu untuk dilakukan penimbangan.
Lalu setelah ditimbang, tebu masuk ke unigrator untuk dihancurkan dengan cara
ditumbuk. Tebu yang sudah hancur kemudian masuk ke Gilingan I. Pada Gilingan
I dihasilkan Nira Perahan Pertama dan sebagian hasil nira Gilingan I masuk ke
Gilingan II begitu seterusnya hingga terakhir pada Gilingan V. Pada proses
Gilingan III, IV, dan V dilakukan penambahan air imbibisi dengan suhu 70oC.
Hasil akhir dari Stasiun Penggilingan adalah nira mentah dan ampas. Ampas akhir
dikirim ke stasiun ketel sebagai bahan bakar ketel dan bahan penyaring di Rotary
Vacuum Filter (RVF).
2.1.2 Stasiun Pemurnian (Proses Defekasi)
Nira mentah yang keluar dari gilingan belum siap untuk dikenakan proses
kristalisasi, karena masih mengandung banyak kotoran, disinilah fungsi dari
stasiun pemurnian yaitu menghilangkan bukan gula sebanyak mungkin dengan
kerusakan sukrosa dan gula reduksi sekecil mungkin. Kotoran-kotoran didalam
nira mentah sebelumnya harus dipisahkan terlebih dahulu. Melalui kombinasi
proses-proses pemanasan, pembentukan endapan dan penyaringan kotoran-
kotoran dapat dipisahkan. Pemanasan juga berfungsi untuk menghilangkan zat
renik yang merugikan proses. Kotoran didalam nira yang berupa blotong
digunakan untuk pupuk. Untuk mendapatkan nira encer dengan cara kimia dan
fisika yaitu memberi tambahan susu kapur (untuk membentuk inti endapan), gas
SO2 (menetralkan pH), dan flokulan (memperbaiki endapan supaya lebih besar).
Faktor yang mempengaruhi pemurnian ini adalah pH, suhu, dan waktu.
Nira mentah hasil penggilingan ditimbang lalu dipanaskan hingga 70 –
75oC. Lalu dilakukan penambahan susu kapur dan dihembusi dengan gas SO2
hingga pH nira menjadi 7 dan dipanaskan kembali hingga suhu 100 – 105oC.
Setelah itu nira masuk ke door clarifier untuk diendapkan kotorannya dan terakhir
disaring. Hasil akhir dari Stasiun Pemurnian adalah nira jernih.
2.1.3 Stasiun Penguapan (Evaporasi)
Proses pemasakan pada Stasiun Penguapan ini adalah proses lanjutan
setelah dilakukannya proses pemurnian nira pada Stasiun Pemurnian. Proses
penguapan memiliki prinsip yaitu menguapkan air sehingga kadar air turun dan
gula yang hilang menjadi sedikit dengan biaya seminimal mungkin. Hasil akhir
dari proses penguapan adalah nira kental. Sistem penguapan adalah multiple effect
dan memakai 5 badan (Quintiple Effect). Stasiun penguapan terdiri dari evaporator
yang dilengkapi dengan pompa injeksi, Luch Pump dan kondensor (barometric
condenser). Nira dapat mengalir dari Badan Penguapan (BP) I ke Badan akhir
dikarenakan teradi perbedaan vacuum. Hasil pemanasan nira di Badan penguapan
I digunakan untuk air pengisi ketel; sedangkan dari evaporator II, III, IV
digunakan untuk air injeksi, air penawar manis, air sirkulasi dan cucian di pan
masakan, dan lain – lain. Uap yang digunakan untuk memanaskan nira berasal
dari uap bekas turbin sentral, turbin gilingan, dan suplesi uap baru. Kelebihan uap
pada nira pada penguapan digunakan untuk masakan / juice heater (vapour
bleeding).
Nira encer dari Stasiun Pemurnian masuk ke pemanas III hingga suhu nira
mencapai 100 – 105oC. Selanjutnya nira masuk ke evaporator I dengan tekanan
sebesar 136 cmHg, dan tekanan hampa/vakum sebesar 0,34 cmHg. Evaporator I
akan menghasilkan nira kental I dan uap I. Selanjutnya nira kental I masuk
kembali ke dalam evaporator II dengan tekanan 102 cmHg dan tekanan vakum
10,4 cmHg, menggunakan uap I untuk proses pemanasannya, dan menghasilkan
nira kental II dan uap II. Kemudian masuk ke evaporator III dengan kondisi
tekanan 70 cmHg dan tekanan vakum 37 cmHg, menggunakan uap II untuk proses
pemanasannya, menghasilkan uap III dan nira kental III. Pada evaporator IV
digunakan tekanan 40 cmHg dan tekanan vakum sebesar 65 cmHg dengan titik
didihnya sebesar 50oC-55oC.
2.1.4 Stasiun Kristalisasi (Pemasakan)
Pada stasiun masakan dilakukan proses kristalisasi dengan tujuan agar
kristal gula mudah dipisahkan dengan kotorannya dalam pemutaran sehingga
didapatkan hasil yang memiliki kemurnian tinggi, membentuk kristal gula yang
sesuai dengan standar kualitas yang ditentukan dan perlu untuk
mengubah saccarosa dalam larutan menjadi kristal agar pembentukan gula
setinggi-tingginya dan hasil akhir dari proses produksi berupa tetes yang masih
sedikit mengandung gula, bahkan diharapkan tidak mengandung gula lagi.
Nira kental dari stasiun penguapan yang sudah dipucatkan (dibleaching)
masih mengandung air ± 35% - 40% lagi. Apabila kadar air lebih besar dari yang
semestinya,maka pembentukan kristal akan lebih lama. Dimana kelebihan
kandungan ini akan diuapkan pada stasiun kristalisasi (dalam pan kristalisasi).
Untuk pemucatan warna (nira kental tersulfitir), nira kental ditambah dengan gas
belerang dalam sulfiator sampai pH 5,6. Proses kristalisasi berlangsung di pan
masakan pada tekanan rendah (hampa) supaya tidak terjadi kerusakan sucrose
yang disebut gula gosong (karamelisasi), skema masak yang digunakan adalah
skema ABCD.
Nira kental dari peti penampung nira kental dipompa ke pan masakan A,
disini nira kental dipanaskan sampai mencapai kekentalan tertentu. Jika telah
terjadi penegntalan, kemudian ditambahkan bibit kristal agar terbentuk butir-butir
kristal. Pembentukan kristal yang sudah sesuai dengan volume masakan yang
diinginkan akan diturunkan melalui palung-palung pendingin dan selanjutnya
dipompa ke puteran A. Hasil dari kristal gula dari vacum pan A kemudian
diturunkan untuk dilakukan remelt ke mesin remelter.
Pada pan masakan B ini dimasukkan molase A dan bibit Kristal dengan
proses pemasakan yang sama seperti proses pemasakan pada pan masakan A.
Setelah melalui pengontrolan dan kristal sudah banyak maka hasil masakan
tersebut diturunkan ke palung pendingin, kemudian dipompa ke sentrifuge.
Melalui proses ini dihasilkan gula C2 dan molase B. Sedangkan bahan masakan D
adalah stroop A, stroop C, dan klare D. Hasil masakan diturunkan ke palung
pendingin. Pan masakan D yang merupakan pan masakan terakhir dan
menghasilkan gula D2 dan tetes, sehingga pada palung pendingin ini dialirkan air
pendingin yang berfungsi untuk melakukan pengkristalan kembali dan
memperoleh tetes dengan kandungan gula rendah.
Proses kristalisasi dibagi dalam beberapa tingkat masakan, yaitu :

1. Sistem masak 4 tingkat : masakan A,B,C,D


2. Sistem masak 3 tingkat : masakan A,B,D atau ACD
3. Sistem masak 2 tingkat : masakan A,D

Dalam proses kristalisasi di PT. Perkebunan Nusantara XI, Pabrik Gula


Semboro, di ambil sistem masak 4 tingkat yaitu : A, B, C dan D
2.1.5 Remelt Karbonatasi
Proses remelt karbonatasi bertujuan untuk meningkatkan kualitas produk gula
dengan “memurnikan” kembali Gula dengan Proses Karbonatasi dan dikristalkan,
Sehingga diperoleh produk gula yang setara dengan Gula Industri dan memiliki
colour / warna ± 80 ICUMSA.
Proses karbonatasi dilakukan dengan menggunakan susu kapur dan gas
CO2 sebagai bahan pembantu. Susu kapur yang ditambahkan pada cara ini lebih
banyak dibandingkan cara sulfitasi, sehingga menghasilkan endapan yang lebih
banyak. Kelebihan susu kapur yang terdapat pada nira dinetralkan dengan
menggunakan gas CO2. Reaksi yang terjadi adalah:
Ca(OH)2 + CO2 ----> CaCO3 + H2O.
Nira yang telah di encerkan dan di murnikan kembali dengan metode
karbonatasi selanjutnya di kristalisasi kembali untuk membentuk kristal gula. PT.
Perkebunan Nusantara XI, Pabrik Gula Semboro adalah satu-satunya pabrik gula
yang masih menggunakan proses remelt karbonatasi. Walaupun biaya yang di
butuhkan lebih mahal daripada proses sulfitasi, tujuan dari pabrik gula Semboro
ini yaitu memproduksi gula kristal putih yang berkualitas baik atau premium
dengan rwarna lebih bersih dari produk gula yang lain.
2.1.6 Stasiun Kristalisasi
Nira jernih hasil dari remelt karbonatasi akan melalui proses pengkristalan
kembali. Stasiun kristalisasi ini dilakukan untuk membuat gula kristal putih.
Proses dari stasiun kristalisasi kedua ini sama dengan stasiun kristalisai awal, hal
yang membedakan hanya pada hasil dari stasiun kristalisasi ini langsung dialirkan
ke stasiun pemutaran untuk dilakukan pemisahan antara kristal dan larutannya.
2.1.7 Stasiun Puteran
Tujuan dari pemutaran dalah memisahkan kristal dari larutannya (stroop / klare)
dengan memanfaatkan gaya centrifugal, dimana massa akan terlempar menjauhi
titik pusat (sumbu) dan kristal akan tertahan saringan sedangkan larutan akan
menerobos saringan. Ada dua macam puteran yang digunakan antara lain sebagai
berikut.
1. Puteran High Grade Fugal
Yang bekerja secara terputus (diskontinu) untuk memisahkan kristal
produk SHS. Pada puteran A1 untuk memisahkan gula A1 dengan stroop
A dan puteran A2 untuk memisahkan gula SHS dari klare A.
2. Puteran Low Grade Fugal
Yang bekerja secara kontinu untuk memisahkan kristal C dari stroop C
dan babonan C dari klare C. Serta memisahkan gula D dari tetes
(mempunyai harkat kemurnian rendah dan tidak dapat dikristalkan lagi)
dan memisahkan babonan D dari klare D.
2.1.8 Stasiun Penyelesaian dan Pengemasan
Pada Stasiun Penyelesaian dan Pengemasan, hasil akhir dari Stasiun
Puteran diturunkan menuju gudang untuk dikemas melalui talang getar. Pada
tahap ini terjadi proses pengeringan gula. Talang getar dilengkapi dengan pipa
udara dingin, pipa udara panas, dan juga pipa penghisap debu yang dihubungkan
dengan induced fan. Pengemasan dilakukan dengan karung sak dengan berat 50
kg netto, dan ada pula yang menggunakan plastic 1 kg.Plastik yang digunakan
adalah plastik OPP. Plastik OPP mudah untuk diseal dengan menggunakan panas,
tahan terhadap air dan kelembaban (Chen et al., 2009) sehingga sesuai bila
digunakan sebagai bahan pengemas gula.

2.2 Proses Pengolahan Tebu Menurut Literatur


2.2.1 Ekstraksi
Setelah tebu dipanen, langkah selanjutnya dalam proses pembuatan gula
adalah pemerahan tebu di gilingan (ekstraksi). Tebu diekstraksi menghasilkan
“nira” dan “ampas”. Sebelum masuk ke dalam alat penggiling, tebu dikecilkan
ukurannya terlebih dahulu dengan alat : pemotong (Cane cutter,) pencacah (Cane
hammer),dan Crusher. Untuk menggiling tebu diperlukan 4-6 set gilingan yang
terdiri dari rol baja. Setiap set terdiri dari 3 buah rol, satu berada di atas dua
lainnya. Masing-masing set gilingan berada dalam ukuran alur (groove) dan jarak
antar rol, dan semakin kebelakang jarak antar rol semakin sempit hingga
pemerasan menjadi lebih baik.
Untuk melarutkan nira yang melekat dalam serabut dilakukan
penyemprotan dengan air (air imbibisi). Penambahan air imbibisi harus
diperhitungkan agar tidar mengganggu proses penguapan atau pemborosan energi.
Penambahan air imbibisi sekitar 15-16% berat tebu yang digiling. Ampas yang
dihasilkan pada proses pemerahan ini digunakan untuk berbagai macam
keperluan. Diantaranya digunakan sebagai bahan bakar ketel uap, atau sebagai
bahan baku untuk pulp dan apabila berlebih bisa digunakan sebagai bahan partikel
board, furfural, xylitol dan produk lain (Moerdokususmo, 2008).
Nira yang dihasilkan dari penggilingan dapat mencapai 80-90% berat tebu.
Nira inilah yang mengandung gula dan akan di proses lebih lanjut di pemurnian.
2.2.2 Pemurnian
Setelah tebu diperah dan diperoleh “nira mentah” (raw juice), lalu
dimurnikan. Dalam nira mentah mengandung sukrosa, gula invert
(glukosa+fruktosa) ; zat bukan gula, terdiri dari atom-atom (Ca,Fe,Mg,Al) yang
terikat pada asam-asam, asam organik dan anorganik, zat warna, lilin, dan
sebagainya. Pada proses pemurnian zat-zat bukan gula akan dipisahkan dengan zat
yang mengandung gula.

Pemurnian dimaksudkan untuk memisahkan kotoran-kotoran yang terbawa


nira, hingga diperoleh gula yang jernih. Kotoran-kotoran yang terkandung dalam
nira antara lain:

1. Suspensi kasar yang terdiri dari tanah, ampas, dan lain-lain


2. Suspensi koloid diantaranya protein, lemak, lilin, tepung, gum dan
phosphatida.
3. Zat-zat yang menimbulkan warna dan kekeruhan misalnya klorofil, besi
oksida dan sebagainya
Proses pemurnian ini dapat dilakukan baik secara fisis maupun kimiawi.
Secara fisis dengan cara penyaringan sedangkan secara kimia melalui pemanasan,
dan pemberian bahan pengendap. Berdasarkan cara penjernihan nira dikenal 3
macam cara penjernihan:

a. Defekasi
Dalam cara ini nira mentah ditambah Ca(OH)2 dalam keadaan dingin
sampai suasana larutan nira menjadi alkalis, kemudian dididihkan dan
dibiarkan agar kotoran mengendap.Kelebihan cara defekasi adalah prosesnya
pemurniannya dengan biaya lebih murah dan produk yang dihasilkan bebas
residu belerang. Kelemahan cara defekasi adalah pengendapan kurang baik
dibandingkan proses sulfitasi dan karbonatasi, sehingga produksi gula yang
dihasilkan kurang seragam (Moerdokususmo, 2008).
b. Sulfitasi
Bahan additive dalam proses ini adalah Ca(OH)2 dan gas SO2. Ke dalam
nira, mula-mula ditambahkan Ca(OH)2 berlebih yaitu sekitar 1% lebih banyak
dari berat kapur yang diperlukan (diperhitungkan).
Maksud penambahan Ca(OH)2 yang berlebih adalah untuk menetralkan
asam-asam yang terdapat dalam nira, dan membantu pengendapan. Sisa
Ca(OH)2 yang masih ada dinetralkan dengan jalan memasukkan gas SO2,
proses netralisai ini dilakukan pada suhu 70-800 C. Reaksi yang terjadi pada
proses ini:
Ca(OH)2(aq) + H2SO3(aq) CaSO3(s) + 2H2O(l)
Reaksi antara nira dan gas SO2 akan membentuk endapan CaSO3, yang
berfungsi untuk memperkuat endapan yang telah terjadi sehingga tidak
mudah terpecah. Gas SO2 selain berlaku sebagai zat penetral, juga bersifat
sebagai zat penghilang warna (bleaching agent). Dengan cara SO2
memperlambat reaksi antara asam amino dan gula reduksi yang dapat
mengakibatkan terbentuknya zat warna gelap. Cara sulfitasi ini menghasilkan
gula SHS (Superior Head Sugar) yang berwarna putih (Moerdokususmo,
2008).
c. Karbonatasi
Pada pemurnian secara karbonatasi, bahan aditif yang ditambahkan adalah
Ca(OH)2 dan gas CO2. Kapur yang diberikan banyaknya sekitar 10 x berat
yang digunakan dalam proses sulfitasi. Sisa kapur dalam nira dinetralkan
dengan gas CO2 dari pembakaran batu kapur(CaCO3).
Reaksi yang terjadi pada proses ini yaitu:
Ca(OH)2(aq) + CO2(g) CaCO3(S)
Endapan CaCO3 dapat menyerap zat-zat berwarna dan gum (pentosan).
Proses karbonatasi dapat dilakukan pada suhu rendah maupun suhu tinggi.
Jika suhu sangat tinggi, di atas 900 C, maka gula pereduksi akan mengalami
dekomposisi dan warna nira menjadi gelap. Bila suhu proses dipertahankan
550 C, akan dihasilkan gula yang sangat putih, lebih putih daripada gula hasil
proses sulfitasi.
Proses penjernihan secara karbonatasi menghasilkan gula SHS berwarna
putih. Kotoran-kotoran yang telah menggumpal dari proses-proses di atas
selanjutnya diendapkan di dalam pesawat pengendap, (clarifier). Kemudian
endapan dipisahkan dari nira jernih encer. Terhadap endapan yang masih
mengandung nira, dilakukan filtrasi untuk mendapatkan niranya dengan
menggunakan alat filter-frame press atau filter vakum yang berputar.
Tahap akhir dari proses pemurnian nira dialirkan ke bejana pengendap
(clarifier) sehingga diperoleh nira jernih dan bagian yang terendapkan adalah
nira kotor. Nira jernih dialirkan ke proses selanjutnya (Penguapan),
sedangkan nira kotor diolah dengan rotary vacuum filter menghasilkan nira
tapis dan blotong. Nira tapis selanjutnya dikembalikan pada awal proses
pemurnian nira sedangkan kotoran (blotong) akan terkumpul sebagai limbah
(Moerdokususmo, 2008).
2.2.3 Evaporasi
. Langkah selanjutnya dalam proses pengolahan gula adalah proses
penguapan. Penguapan dilakukan dalam vakum multiple effect evaporator. Tujuan
dari penguapan ini adalah untuk memisahkan air yang terkandung dalam nira
encer sehingga didapatkan larutan nira pekat.

Penggunaan multiple effect evaporator dengan pertimbangan untuk


menghemat penggunaan uap. Sistem multiple effect evaporator terdiri dari 3 buah
evaporator atau lebih yang dipasang secara seri. Di pabrik gula biasanya
menggunakan 4(quadrupple) atau 5 (quintuple) buah evaporator.

Pada proses penguapan air yang terkandung dalam nira akan diuapkan.
Uap baru digunakan pada evaporator badan I sedangkan untuk penguapan pada
evaporator badan selanjutnya menggunakan uap yang dihasilkan evaporator badan
I. Penguapan dilakukan pada kondisi vakum dengan pertimbangan untuk
menurunkan titik didih dari nira. Karena nira pada suhu tertentu ( > 1250 C) akan
mengalamai karamelisasi atau kerusakan. Dengan kondisi vakum maka titik didih
nira akan terjadi pada suhu 700 C. Produk yang dihasilkan dalam proses
penguapan adalah ”nira kental” .
Nira dari bejana nomor 1 diuapkan dengan menggunakan penambahan
uap. Uap bekas ini terdapat dalam sisi ruang uap dan nira yang diuapkan terdapat
dalam pipa-pipa nira dari tombol uap. Kemudian uap bekas dialirkan ke dalam
bejana nomor 2. Selanjutnya nira kental yang berasal dari bejana nomor 1 ke
bejana nomor 2. Dalam bejana nomor 2 nira kental diuapkan dengan
menggunakan uap nira dari bejana nomor 1. Kemudian nira kental dai bejana
nomor 2 dialirkan ke bejana nomor 3 dan diuapkan menggunakan uap nira dari
bejana nomor 2. Demikian dan seterusnya, sampai pada bejana terakhir
merupakan nira kental yang berwarna gelap dengan kepekatan sekitar 60 brik.
Nira kental ini diberi gas SO2 sebagai belancing dan siap dikristalkan. Sedangkan
uap yang dihasilkan dibuang ke kondensor sentral dengan perantara pompa vakum
(Moerdokususmo, 2008).
2.2.4 Kristalisasi
Proses kristalisasi adalah proses pembentukan kristal gula. Sebelum
dilakukan kristaliasi dalam pan masak ( crystallizer ) yaitu tempat dimana nira
pekat hasil penguapan dipanaskan terus-menerus sampai mencapai kondisi lewat
jenuh, sehingga timbul kristal gula. Sedangkan campuran nira kental dan kristal
gula disebut massecuite. Pada proses kristalisasi terdapat beberapa tahapan, yaitu:
a. Zona undersaturated
Pada zona ini kondisi nira belum jenuh, kristal terlarut, dan masih tidak
ada nukleasi atau pertumbuhan kristal.
b. Zona metastabil
Pada kondisi ini telah terjadi pertumbuhan kristal, tapi nukleasi tidak
spontan sehingga pada fase inilah dilakukan penambahan bibit kristal.
c. Zona labil
Pada zona ini telah terjadi nukleasi dan pertumbuhan kristal, pertumbuhan
akan lebih cepat bila supersaturasi (kondisi lewat jenuh) lebih tinggi,
namun apabila dilakukan penambahan bibit kristal pada kondisi ini maka
akan terjadi pertumbuhan kristal yang tidak terkendali atau tidak dapat
dikendalikan. Sehingga dilakukan penambahan bibit kristal pada kondisi
metastabil.
2.2.5 Pengeringan Gula

Air yang dikandung kristal gula hasil sentrifugasi masih cukup tinggi, kira-
kira 20% . Gula yang mengandung air akan mudah rusak dibandingkan gula
kering, untuk menjaga agar tidak rusak selama penyimpanan, gula tersebut harus
dikeringkan terlebih dahulu. pengeringan dapat dilakukan dengan cara alami atau
dengan memakai udara panas kira-kira 800C.

Pengeringan gula secara alami dilakukan dengan melewatkan SHS pada


talang goyang yang panjang. Dengan melalui talang ini gula diharapkan dapat
kering dan dingin. Proses pengeringan dengan cara ini membutuhkan ruang yang
lebih luas dibandingkan cara pemanasan. Karena itu, pabrik-pabrik gula
menggunakan cara pemanasan. Cara ini bekerja atas dasar prinsip aliran
berlawanan dengan aliran udara panas.
BAB 3 PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Berdasarkan kunjungan lapang ke Pabrik Gula Semboro dan pemahaman
materi perkuliahan yang telah dilakukan diperoleh kesimpulan sebagai berikut.
1. Pengolahan tebu menjadi gula kristal putih yang dilakukan di pabrik Semboro
melalui beberapa proses yang meliputi stasiun penggilingan, stasiun
pemurnian (proses defekasi), stasiun penguapan, stasiun kristalisasi, remelt
karbonatasi, stasiun kristalisasi, stasiun puteran, dan stasiun pengemasan.
2. Ada perbedaan pengolahan yang dilakukan di pabrik gula semboro dengan
literatur yang ada. Perbedaan ini ada pada adanya proses remelt karbonatasi
pada proses pengolahan di pabrik gula Semboro, sedangkan pada literatur
tidak menyebutkan tentang proses tersebut.

3.2 Saran
Saran yang dapat diberikan untuk studi kunjungan lapang ini yaitu perlu
adanya penjelasan yang lebih mendetail saat melakukan pengamatan pembuatan
gula secara langsung di dalam pabrik gula sehingga mahasiswa dapat memahami
proses pembuatan gula dengan baik.
DAFTAR PUSTAKA

Widjayanti, S. 2008. Peranan Komponen Batang Tebu dalam Pabrikasi Gula.


Yogyakarta : Penebar Swadaya

PTPN XI. 2013. Gula PG Semboro, Produk Unggulan Dari Jember. Jember.
PTPN XI Semboro.

Chen, J. C. P dan C. Chou. 2009. Cane Sugar Handbook. Twelfth Edition.


Elsevier Scientofic Publishing Company. Amsterdam-Oxford-New York.

Arifin, Soedjarji. 2012. Dasar-dasar Teknologi Gula. Lembaga Pendidikan


Perkebunan, Yogyakarta.

Moerdokusumo, A. 2008. Pengawasan Kualitas dan Teknologi Pembuatan Gula


di Indonesia. Penerbit ITB Bandung. Bandung.
DOKUMENTASI

Anda mungkin juga menyukai