Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH KELOMPOK PROSES INDUSTRI KIMIA TENTANG PROSES PEMBUATAN

GULA TEBU

Disusun oleh:
1. Wahyu Khoerul Anam (2019710450052)
2. Eko Prabowo (2019710450062)

Falkultas Teknologi Indsutri


Universitas Jayabaya
2021
DAFTAR ISI
DAFTAR GAMBAR
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dalam kehidupan sehari-hari orang telah mengenal gula sebagai bahan makanan
pokok, baik untuk minuman maupun makananan. Sebagai sumber utama dari gula adalah dari
berbagai macam tanaman, yang dapat digolongkan sebagai penghasil gula antara lain : tebu,
beet, kelapa aren (enau). Untuk daerah tropis tebu merupakan tanaman utama sebagai
penghasil gula, disamping kelapa dan enau. Tebu mengandung hidrokarbon yang terjadi
dalam tanaman karena proses fotosintesa. Karbohidrat-karbohidrat ini terdiri dari
monosakarida ( glukosa, fruktosa ), disakarida (sakharosa), dan polisakharida ( selulosa ).
Dari waktu ke waktu permintaan masyarakat akan gula terus meningkat.
Hal ini disebabkan perkembangan penduduk dan semakin maraknya industri yang
menggunakan bahan baku gula. Meningkatnya konsumsi masyarakat akan gula hendaknya
disetai dengan meningkatnya produksi gula. Barbagai upaya telah dilakukan untuk
meningkatkan produksi gula. Salah satu caranya adalah dengan menggunakan mesin-mesin
dalam proses pembuatan gula. Dengan adanya mesin-mesin ini pembuatan gula tidak lagi
dilakukan secara tradisional. Seiring dengan semakin berkembangnya mesin-mesin pembuat
gula, maka produksi gula pun semakin meningkat. Produksi gula dewasa ini jauh lebih baik
dilihat dari segi kualitas maupun kuantitas bila dibandingkan dengan produksi gula pada
waktu sebelum adanya mekanisasi.
Proses pembuatan gula yang dilakukan secara tradisional tidak efektif dan efisien.
Pabrik – pabrik gula tradisional hanya mampu memproduksi gula dalam skala kecil. Selain itu
gula yang dihasilkan berkualitas rendah,  karena gula yang dibuat secara tradisional berwarna
merah kecoklatan atau kuning. Hal ini menyebabkan masyarakat enggan mengkonsumsi gula
tersebut, sehingga distribusi gula jenis ini terbatas pada masyarakat pedesaan sekitar pabrik
gula tradisional. Apa yang dialami pabrik gula tradisional tentunya tidak dialami oleh pabrik-
pabrik gula modern yang telah menggunakan mesin-mesin dalam proses pembuatan gula
mampu memperoleh gula dalam skala besar, selain itu mutu gula yang dihasilkan lebih baik.
Gula yang dihasilkan merupakan gula SHS ( Superieure Hoofd Suiker) yang berwarna putih.
1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, maka dapat dirumuskan beberapa masalah penting
sebagai berikut:
1. Apa itu gula tebu?
2. Bagaimana proses pembuatan gula tebu?
3. Bagaimana cara pengolahan limbah dari proses pembuatan gula tebu?

1.3 Tujuan

Adapun tujuan dari makalah ini sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui apa itu gula tebu


2. Untuk mengetahui proses pembuatan gula tebu
3. Untuk mengetahui cara pengolahan limbah dari proses pembuatan gula tebu
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Gula Tebu

Gula adalah atau sukrosa adalah hasil dari penguapan nira tebu (Succharum officinarum).
Gula pasir berbentuk Kristal berwarna putih dan mempunyai rasa manis. Gula pasir mengandung
sukrosa 97,1%, gula reduksi 1,24%, kadar airnya 0,61%, dan senyawa organic bukan gula 0,7%
(Suparmo dan Sudarmanto,1991). Sukrosa ini kristalnya berbentuk prisma monoklin dan berwarna
putih jernih. Warna tersebut sengat tergantung pada kemurniannya. Bentuk Kristal murni dapat
tahan lama bila disimpan dalam gudang yang baik. Gula dalam bentuk larutan yang baik ketika
masih berada dalam batang tebu maupun ketika masih berada dalam larutan. Bentuk gula selama
proses dalam pabrik tidak tahan lama dan akan cepat rusak karena terjadinya
hidrolisis/inversi/penguraian. Inversi adalah peristiwa pecahnya sukrosa menjadi gula-gula reduksi
seperti glukosa, fruktosa dan sebagianya.

C12H22O11 + H2O → C6H12 + C6H12

Gula komersial di dapat dari gula tebu dengan memumikan air tebu, menguapkan airnya
dan selanjutnya mengkristalkan gula. Hasil gula komersial ini mengandung sukrosa 99,99 %.
Densitas dari kristal gula kira-kira 1,6 g/ml. Densitas dari gula pasir dapat berubah-ubah
tergantung pada bentuk dan sifat beraturan dari kristal yaitu antara 0,8- 1,0 g/ml.
Menurut Fenemma (1996), gula berfungsi sebagai sumber nutrisi dalam bahan makanan, sebagai
pembentuk tekstur dan pembentuk flavor melalui reaksi pencoklatan. Menurut Buckle, dkk (2007)
daya larut yang tinggi dari gula dan daya mengikatnya terhadap air merupakan sifat-sifat yang
menyebabkan gula sering digunakan dalam pengawetan bahan pangan. Konsentrasi yang cukup
tinggi pada olahan pangan dapat mencegah pertumbuhan bakteri, sehingga dapat berperan sebagai
pengawet.

2.2 Morfologi Tanaman Tebu


Nama tebu hanya terkenal di Indonesia. dilingkungan internasional tanaman ini lebih
dikenal dengan nama ilmiahnya Saccharum officinarum L. Jenis ini termasuk dalam
famili Gramineae atau kelompok rumput-rumputan. Secara morfologi tanaman tebu dapat dibagi
menjadi beberapa bagian yaitu batang, daun, akar, dan bunga.
Masing-masing bagian memiliki ciri-ciri tertentu.
1. Tumbuh tegak, sosoknnya tinggi kurus dan tidak bercabang
2. Tinggi mencapai 3,5 meter
3. Memiliki ruas dengan panjang ruas 10,30 cm
4. Kulit batang keras berwarna hijau, kuning, ungu, merah tua atau kombinasinya
5. Merupakan daun tidak lengkap
6. Daun berpangkal pada buku batang dengan kedudukan yang berseling
7. Pelepah memeluk batang, semakin keatas semakin menyempit, terdapat bulu-bulu daun
dan telinga daun
8. Pertulangan daun sejajar
9. Helaian daun berbentuk garis dengan ujung meruncing, bagian  tepi bergerigi dan
permukaan daun kasar
10. Akar serabut
11. Panjang mencapai 1 Meter
12. Merupakan bunga majemuk
13. Panjang bunga majemuk 70-90 cm
14. Setiap bunga mempunyai 3 daun kelopak, 1 daun mahkota, 3 banang sari dan 2 kepala
putik.
2.2.1 Varietas tebu yang baik untuk bahan baku gula
Varietas tebu sangat banyak jumlahnya, tetapi tidak semuanya unggul. Yang dimaksud
varietas unggul adalah varietas yang memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1. Tingkat produktivitas gula yang tinggi. Produktivitas dapat diukur dari bobot atau
rendaman yang tinggi
2. Tingkat produktivitas (daya produk) yang stabil
3. Kemampuan yang tinggi untuk di kepras
4. Teloransi yang tinggi terhadap hama dan penyakit.
Varietas tebu yang baik untuk bahan baku gula adalah Varietas tebu yang termasuk kedalam
kriteria Varietas yang sudah mencapai masa tebu layak giling. Yang dimaskud tebu layak
giling adalah :
1. Tebu yang ditebang pada tingkat pemasakan optimal
2. Kadar kotoran (tebu mati, pucuk, pelepah tanah, dll) maksimal 2%
3. angka waktu sejak tebang sampai giling tidak lebih dari 36 jam. Berdasarkan ciri-ciri
tebu diatas maka pada umumnya pabrik gula di Indonesia memakai tebu Varietas Ps dari
pasuruan  dan Bz dari Brazil.
2.3 Proses Pembuatan Gula
Pembuatan gula dari tebu adalah proses pemisahan sakharosa yang terdapat dalam batang
tebu dari zat-zat lain seperti air, zat organic, dan ampas. Pemisahan nira dari ampasnya dilakukan
secara bertahap yaitu dengan jalan digiling dalam beberapa mesin penggiling sehingga diperoleh
cairan yang disebut nira. Nira yang diperoleh dari mesin penggiling dibersihkan dari zat-zat bukan
gula dengan pemanasan dan penambahan zat kimia. Sedangkan ampas dapat digunakan sebagai
bahan bakar boiler. Nira yang dihasilkan atau disebut dengan juice kotor lalu dimurnikan,
diuapkan, dikristalkan dan dikeringkan.

2.3.1 Pemerahan Nira (Ekstraksi)

Tebu setelah ditebang, dikirim ke stasiun gilingan untuk dipisahkan antara bagian padat
(ampas) dengan cairannya yang mengandung gula (nira mentah). Alat penggiling tebu yang
digunakan di pabrik gula berupa suatu rangkaian alat yang terdiri dari alat pengerja pendahuluan
(Voorbewer keras) yang dirangkaikan dengan alat giling dari logam. Alat pengerja pendahuluan
terdiri dari Unigator Mark IV dan Cane knife yang berfungsi sebagai pemotong dan pencacah
tebu. Setelah tebu mengalami pencacahan dilakukan pemerahan nira untuk memerah nira
digunakan 5 buah gilingan, masing-masing terdiri dari 3 rol dengan ukuran 36”X64”.

Gambar 1 : Proses Pemerahan Nira

2.3.2 Pemurnian

Tahap pemurnian merupakan tahap yang menentukan kualitas gula yang akan dihasilkan
dalam suatu proses pembuatan gula. Pemurnian bertujuan untuk menghilangkan kotoran-kotoran
(bukan gula) yang terbawa dalam nira. Hal yang perlu diperhatikan dalam tahap pemurnian adalah
menjaga agar gula tidak rusak yang dapat diakibatkan oleh suasana asam dan temperatur yang
tinggi, semakin banyak gula yang dihilangkan akan semakin tinggi kemurnian, dan semakin putih
kristal gula yang didapatkan.
Tahap pertama dari proses pemurnian yaitu penggilingan Raw Sugar dan penambahan
sirup, kemudian sirup dan kristal gula yang telah halus dicampur. Campuran tersebut kemudian
disentrifugasi dengan adanya penambahan air. Proses tersebut disebut afinasi dan akan dihasilkan
kristal gula dan sirup afinasi. Kristal gula hasil sentrifugasi kemudian masuk ke premelter sebagai
awal dari proses pelelehan sebelum masuk ke melter. Sirup afinasi hasil sentrifugasi dipanaskan
dan akan dihasilkan kristal gula dan sirup hitam (molase). Kristal gula masuk
ke melter mengalami pelelehan dan bergabung dengan kristal gula hasil afinasi, kemudian
mengalami tahap pemurnian (refined)
Sukrosa tahan terhadap suasana basa, tetapi tidak terhadap asam. Sebaliknya, gula reduksi
dalam suasana basa akan terurai menjadi asam organik dan senyawa yang berwarna gelap
sehingga kualitas dan kuantitas gula akan menurun. Ada tiga cara pemurnian, yaitu defekasi,
sulfitasi, dan karbonatasi.

Gambar 2 : Proses Pemurnian

1. Pemurnian cara Defikasi


Pemurnian dengan cara defekasi merupakan cara yang paling sederhana, karena hanya
menggunakan kapur sebagai bahan pembantu. Gula yang dihasilkan dengan cara ini adalah gula
kristal yang masih berwarna merah. Ada tiga cara pemurian secara defekasi:
a. Defikasi dingin
Proses dengan cara ini dilakukan dengan menggunakan susu kapur pada nira
mentah, pada temperatur rendah atau suhu kamar. Penambahan kapur tersebut bertujuan
untuk menetralkan asam-asam yang terdapat di dalam nira, dan membentuk garam-garam
(gumpalan) yang mengendap. Penambahan kapur dilakukan hingga pH larutan menjadi
7.2-8.3, nira dipanaskan sampai pada titik didihnya (+105 °C), dengan tujuan:
 Garam-garam kapur dalam nira dapat terbentuk dengan cepat dan menghasilkan
gumpalan yang besar sehingga mudah diendapkan
 Mengendapkan kotoran yang hanya mengendap pada temperatur yang tinggi,
seperti protein
 Mematikan mikroorganisme.
Nira yang telah mengalami pemanasan sampai pada titik didihnya, lalu dimasukkan
ke dalam bejana pengambangan (expander) untuk mengeluarkan udara-udara yang terdapat
dalam nira. Gas-gas dan udara yang terdapat dalam nira harus dikeluarkan karena dapat
mengganggu dalam proses pengendapan. Selanjutnya nira dimasukkan ke dalam alat
pengendap untuk memisahkan endapan yang terjadi dengan nira yang jernih.
b. Defikasi panas
Proses pemurnian dengan cara ini dilakukan dengan menambahkan air kapur pada
nira yang telah dipanaskan terlebih dahulu pada suhu 70-90 °C. Pemanasan ini bertujuan
untuk mendapatkan proses pemurnian yang berlangsung dengan baik dan cepat. Setelah
penambahan air kapur, nira dimasukkan ke dalam alat pengendap.
c. Defikasi sacharat
Proses pemurnian dengan cara ini dilakukan dengan membagi nira mentah menjadi
dua bagian. Bagian pertama ditambah air kapur hingga pH nya menjadi 10-11, dalam
kondisi ini kapur bereaksi dengan sukrosa membentuk kalsium sakharat. Nira kedua
dipanaskan sampai suhu 70 °C. Kedua nira tersebut dicampurkan hingga menghasilkan
endapan yang lebih besar, sehingga mudah untuk diendapkan dan dihasilkan larutan nira
yang lebih jernih.

2. Pemurnian cara Sulfitasi


Pemurnian cara sulfitasi hasilnya lebih baik dibandingkan dengan cara defekasi, karena
telah dapat dihasilkan gula yang berwarna putih. Cara pemurnian ini menggunakan kapur dan
SO2 sebagai bahan pembantu pemurnian. Pemberian kapur pada cara ini dilakukan secara berlebih,
kemudian kelebihan kapur ini akan dinetralkan oleh gas SO2, sehingga terbentuk ikatan garam
kapur yang dapat mengendap. Reaksi yang terjadi dalam proses ini adalah:
SO2 + H2O → H2SO3
Ca(OH)2 + H2SO4 → CaSO3 + 2H2O
Ca(OH)2 + SO2 → CaSO3 + H2O
Endapan CaSO3 yang terbentuk dapat mengabsorbsi partikel-partikel koloid yang berada di
sekitarnya, sehingga kotoran yang terbawa oleh endapan semakin banyak. Gas SO2 juga
mempunyai sifat dapat memucatkan warna, sehingga diharapkan dapat dihasilkan kristal dengan
warna yang lebih terang, khususnya pada nira kental penguapan. Ada tiga cara sulfitasi, yaitu:
a. Sulfitasi dingin
Proses pemurnian dengan cara ini dilakukan dengan menambahkan kapur dan gas
SO2 ke dalam nira mentah pada temperatur ruangan sampai titik didihnya (+105 °C).
Selanjutnya nira dimasukkan ke dalam alat pengendap untuk memisahkan endapan yang
terbentuk.
b. Sulfitasi panas
Proses dengan cara ini dilakukan dengan memanaskan nira hingga temperatur 70
°C. kemudian nira diberi susu kapur dan gas SO 2 hingga pH-nya menjadi 7-7.4 dan
terbentuk endapan. Proses ini dilanjutkan dengan pemanasan sampai titik didihnya 100 °C
dan dilakukan pengendapan untuk memisahkan endapan dengan nira yang jernih.
c. Sulfitasi Sacharat
Proses ini dilakukan dengan membagi nira mentah menjadi dua bagian. Bagian
pertama dipanaskan sampai suhu + 80 °C. Bagian kedua ditambahkan susu kapur hingga
pH 10.5. Kedua bagian nira tersebut kemudian dicampur sambil dialirkan gas SO2 sampai
pH + 7. Proses ini dilanjutkan dengan pemanasan hingga titik didihnya dan dilakukan
pengendapan. Pemurnian dengan cara ini mempunyai keuntungan dibandingkan dengan
cara defekasi, yaitu kotoran mengendap lebih mudah dan lebih cepat serta lebih banyak.
Proses kristalisasi lebih baik dan warna gula yang dihasilkan lebih putih. Sedangkan
kekurangannya adalah defisit nira dalam pemanas lebih banyak, serta biaya investasi dan
perawatan lebih besar.

3. Pemurnian cara Karbonatasi


Proses ini dilakukan dengan menggunakan susu kapur dan gas CO 2 sebagai bahan
pembantu. Susu kapur yang ditambahkan pada cara ini lebih banyak dibandingkan cara sulfitasi,
sehingga menghasilkan endapan yang lebih banyak. Kelebihan susu kapur yang terdapat pada nira
dinetralkan dengan menggunakan gas CO2. Reaksi yang terjadi adalah:
Ca(OH)2 + CO2                         CaCO3 + H2O
Kotoran dalam nira akan terabsorbsi dalam endapan CaCO 3 dan kemudian akan
diendapkan. Pemurnian cara karbonatasi akan menghasilkan gula relatif lebih putih dibandingkan
dengan cara sulfitasi.
Cara karbonatasi yang dilakukan di Indonesia adalah karbonatasi rangkap, yaitu pemberian
gas CO2 dilanjutkan dalam dua tingkat. Nira yang telah ditimbang dipanaskan terlebih dahulu
sampai suhu 55 °C. Pemanasan tidak boleh melebihi dari suhu tersebut, karena akan menguraikan
gula reduksi menjadi bahan yang berwarna gelap (terbentuk karamel) sehingga kualitas gula
menjadi turun. Kemudian nira dimasukkan ke dalam peti karbonatasi I, ditambahkan susu kapur
dan gas CO2 sampai pH + 10.5, kemudian nira ditapis di pressan I untuk memisahkan kotoran
dengan filtratnya atau nira tapis I. Selanjutnya nira tapis I dimasukkan ke dalam peti
karbonatasi kedua untuk diberi gas CO2 dan dipanaskan sampai suhu 70 °C, kemudian ditapis di
pressan II untuk memisahkan blotong, dan nira jernih dikeluarkan dari alat penapis. Selanjutnya
diberi gas SO2 di peti sulfitasi sampai pH 7.0-7.2. Blotong di pressan I dibuang, blotong dalam
pressan II dicampurkan dengan nira karbonatasi I.

2.3.3 Penguapan (Evaporasi)


Proses penguapan bertujuan untuk memekatkan nira dengan cara menguapkan kandungan
airnya sebanyak mungkin. Penguapan air diusahakan mendekati keadaan jenuh sehingga
mengurangi beban penguapan pada tahap kristalisasi. Proses penguapan ini terdiri dari 2 tahap
(Neulicht R & Shular J 1997), yaitu:
1. Pemekatan nira dalam evaporator
2. Pengupan dalam vacuum pans untuk kristalisasi.
Proses penguapan nira tidak dilakukan pada suhu tinggi untuk mencegah kerusakan
gula.Gula yang dipanaskan pada suhu tinggi akan membentuk karamel yang berwarna cokelat tua,
sehingga mempengaruhi warna kristal gula yang dihasilkan.Upaya yang dilakukan dalam
mengurangi terjadinya karamel selama proses penguapan adalah dengan menjalankan proses
penguapan pada tekanan yang rendah (vacuum). Nira kental yang dihasilkan dari proses
penguapan kemudian diberi gas SO2 untuk memucatkan warna, sehingga diharapkan dapat
menghasilkan kristal gula yang lebih putih.Nira kental dengan kandungan berupa 65% padatan
dan 35% air dihasilkan dari proses penguapan tahap pertama.

Gambar 3 : Proses Penguapan


Gambar 4 : Proses Kristalisasi

2.3.5 Pengeringan
Air yang dikandung kristal gula hasil sentrifugasi masih cukup tinggi, kira-kira
20% . Gula yang mengandung air akan mudah rusak dibandingkan gula kering,
untuk menjaga agar tidak rusak selama penyimpanan, gula tersebut harus dikeringkan terlebih
dahulu. pengeringan dapat dilakukan dengan cara alami atau dengan memakai udara panas kira-
kira800c. Pengeringan gula secara alami  dilakukan dengan melewatkan SHS pada talang
goyang yang panjang. Talang goyang ini selain berfungsi sebagai alat pengengkut, juga sebagai
alat pengering gula. Dengan melalui talang ini gula diharapkan dapat kering dan dingin.
Pengeringan ini menggunakan udara yang dihembuskan dari bawah, hal ini dimaksudkan untuk
mengurangi kadar air dalam gula. Setelah pengeringan gula dimasukkan dalam karung dan
disimpan digudang.
2.4 Diagram Alir Proses Pembuatan Gula

Gambar 5 : Diagram proses pembuatan gula

2.5  Pengolahan dan Pemanfaatan Limbah Pabrik Gula

Pada pemrosesan gula dari tebu menghasilkan limbah atau hasil samping, antara lain
ampas, blotong dan tetes. Ampas berasal dari tebu yang digiling dan digunakan sebagai bahan
bakar ketel uap. Blotong atau filter cake adalah endapan dari nira kotor yang di tapis di rotary
vacuum filter, sedangkan tetes merupakan sisa sirup terakhir dari masakan yang telah dipisahkan
gulanya melalui kristalisasi berulangkali sehingga tak mungkin lagi menghasilkan kristal.

2.5.1  Limbah Bagasse (Ampas)

Satu diantara energi alternatif yang relatif murah ditinjau aspek produksinya dan relatif
ramah lingkungan adalah pengembangan bioetanol dari limbah-limbah pertanian (biomassa) yang
mengandung banyak lignocellulose seperti bagas (limbah padat industri gula). Indonesia memiliki
potensi limbah biomassa yang sangat melimpah seperti bagas. Industri gula khususnya di luar jawa
menghasilkan bagas yang cukup melimpah. Potensi bagasse di Indonesia menurut Pusat Penelitian
Perkebunan Gula Indonesia (P3GI) tahun 2008, cukup besar dengan komposisi rata-rata hasil
samping industri gula di Indonesia terdiri dari limbah cair 52,9 persen, blotong 3,5 persen, ampas
(bagasse) 32,0 persen, tetes 4,5 persen dan gula 7,05 persen serta abu 0,1 persen. Bagasse tebu
(Saccharum officinarum L.) semula banyak dimanfaatkan oleh pabrik kertas, namun karena
tuntutan dari kualitas kertas dan sudah banyak tersedia bahan baku kertas lain yang lebih
berkualitas, sehingga pabrik kertas mulai jarang menggunakannya. Material bahan organik yang
dimiliki pabrik gula cukup banyak, sebagai contoh adalah limbah hasil proses pasca panen di
lapangan, yaitu klaras dan daun tebu, serta limbah proses pabrik gula, antara lain blotong dan
ampas tebu yang kadar bahan organiknya dapat mencapai di atas 50% (Unus, 2002). Limbah padat
pabrik gula (PG) berpotensi besar sebagai sumber bahan organik yang berguna untuk kesuburan
tanah. Menurut Budiono (2008), ampas (bagasse) tebu mengandung 52,67% kadar air; 55,89% C-
organik; N-total 0,25%; 0,16% P2O5; dan 0,38% K2O. Kompos adalah hasil dekomposisi biologi
dari bahan organik yang dapat dipercepat secara artifisial oleh populasi berbagai macam mikroba
(bakteria, actinomycetes dan fungi) dalam kondisi lingkungan aerobik atau anaerobic. Hasil
pengomposan campuran blotong, ampas (bagasse) dan abu ketel diinkubasi dengan bioaktivator
mikroba selulolitik selama 1 dan 2 minggu, kemudian diaplikasikan ke lahan tebu. Pemberian
kompos 10 ton/ha mampu meningkatkan bobot tebu sebanyak 16,8 ton/ha. Bioaktivator adalah
inokulum campuran berbagai jenis mikroorganisme (mikroba lignolitik, selulolitik, proteolitik,
lipolitik, amilolitik, dan mikroba fiksasi nitrogen non simbiotik) untuk mempercepat laju
pengomposan bahan organik . Bibit perombak Katalek® merupakan bioaktivator pembuatan
kompos yang diteliti selama beberapa tahun akan keefektifan mikrobanya dalam mempercepat
perombakan bahan-bahan organik menjadi unsur hara yang berguna bagi tanah. Bibit perombak
Katalek® mengandung 13 macam mikroba (diantaranya Bacillus, Lactobacillus, Pseudomonas,
Streptomyces, Clostridium, Aspergillus) yang berperan dalam penguraian atau dekomposisi limbah
oirganik sampai berubah menjadi kompos. Sedangkan penggunaan bibit pengaya Katalek yang
terdiri dari beberapa mikroba diantaranya Azotobacter, Trichoderma, Aspergillus, Pseudomonas)
akan menghasilkan kompos yang lebih kaya akan unsur hara (N, P dan K) sehingga dapat
mempengaruhi produktivitas tanaman. Pengembangan teknologi bioproses etanol dengan
menggunakan enzim pada proses hidrolisisnya diyakini sebagai suatu proses yang lebih ramah
lingkungan. Pemanfaatan enzim sebagai zat penghidrolisis tergantung pada substrat yang menjadi
prioritas, penelitian telah dilakukan untuk mengantikan asam yaitu menggunakan jamur pelapuk
putih untuk perlakuan awal kemudian dengan menggunakan enzim selulase untuk menghidrolisis
selulosa menjadi glukosa, kemudian melakukan fermentasi dengan menggunakan S. cerivisiae
untuk mengkonversi menjadi etanol. Namun, pemanfaatan enzim selulase dan yeast S. cerivisiae
tidak mampu mengkonversi kandungan hemiselulosa pada bagas. Padahal sekitar 20-25%
komposisi karbohidrat bagas adalah hemiselulosa.
Jika kita mampu mengkonversi hemiselulosa berarti akan meningkatkan konversi bagas menjadi
etanol. Material berbasis lignoselulosa (lignocellulosic material) memiliki substrat yang cukup
kompleks karena didalamnya terkadung lignin, polisakarida, zat ekstraktif, dan senyawa organik
lainnya. Bagian terpenting dan yang terbanyak dalam lignocellulosic material adalah polisakarida
khususnya selulosa yang terbungkus oleh lignin dengan ikatan yang cukup kuat. Dalam kaitan
konversi biomassa seperti bagas menjadi etanol, bagian yang terpenting adalah polisakarida.
Karena polisakarida tersebut yang akan dihidrolisis menjadi monosakarida seperti glukosa,
sukrosa, xilosa, arabinosa dan lain-lain sebelum dikonversi menjadi etanol. Proses hidrolisis
umumnya digunakan pada industry etanol adalah menggunakan hidrolisis dengan asam (acid
hydrolysis) dengan menggunakan asam sulfat (H2SO4) atau dengan menggunakan asam klorida
(HCl). Proses hidrolisis dapat dilakukan dengan menggunakan enzim yang sering disebut dengan
enzymatic hydrolysis yaitu hidrolisis dengan menggunakan enzim jenis selulase atau jenis yang
lain. Keuntungan dari hidrolisis dengan enzim dapat mengurangi penggunaan asam sehingga dapat
mengurangi efek negatif terhadap lingkungan. Kemudian setelah proses hidrolisis dilakukan
fermentasi menggunakan yeast seperti S. cerevisiae untuk mengkonversi menjadi etanol. Proses
hidrolisis dan fermentasi ini akan sangat efisien dan efektif jika dilaksanakan secara berkelanjutan
tanpa melalui tenggang waktu yang lama, hal ini yang sering dikenal dengan istilah Simultaneous
Sacharificatian dan Fermentation (SSF). Keuntungan dari proses ini adalah polisakarida yang
terkonversi menjadi monosakarida tidak kembali menjadi poliskarida karena monosakarida
langsung difermentasi menjadi etanol. Selain itu dengan menggunakan satu reaktor dalam
prosesnya akan mengurangi biaya peralatan yang digunakan.

Seperti halnya pakan ternak dari limbah yang mengandung serat pada umumnya, bagas
tebu mempunyai faktor pembatas, yaitu kandungan nutrisi dan kecernaannya yang sangat rendah.
Bagas tebu mempunyai kadar serat kasar dan kadar lignin sangat tinggi, yaitu masing-masing
sebesar 46,5% dan 14%. Pendekatan bioproses dalam rumen melalui suplementasi amonium sulfat
dan defaunasi yang dilakukan pada kambing yang mendapat ransum berbahan dasar limbah tebu
belum berhasil meningkatkan produktivitas kambing. Pendekatan melalui teknik pengolahan
pakan sebelum pakan dikonsumsi akan dapat meningkatkan daya guna bagas tebu. Rekayasa
teknologi pengolahan pakan yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kualitas nutrisi bagas tebu
adalah teknik amoniasi dan fermentasi. Proses amoniasi akan melemahkan ikatan lignoselulosa
bagas tebu serta fermentasi telah terbukti dapat menurunkan kadar serat kasar dan meningkatkan
kadar protein kasar. Mikroba yang sering digunakan sebagai agen fermentasi limbah yang
mengandung serat kasar tinggi adalah kapang Trichoderma viride. Kapang tersebut akan
menghasilkan enzim untuk mencerna serat kasar sehingga dapat dimanfaatkan sebagai pakan.
Penggunaan, untuk keperluan memasak di kompor tanah mereka, blothong kering tersebut masih
harus dipotong menjadi ukuran yang lebih kecil menyesuaikan lubang pemasukan kompor. Dari
satu rit blothong tersebut, setelah diolah dan kering, kemudian dipindahkan ke dapur sebagai
cadangan kayu bakar. Cadangan blothong / kayu bakar ini cukup untuk memenuhi kebutuhan
memasak sampai dengan musim giling tahun depan. Blotong dapat dimanfaatkan sebagai sumber
protein. Kandungan protein dari nira sekitar 0.5 % berat zat padat terlarut. Dari kandungan
tersebut telah dicoba untuk melakukan ekstraksi protein dari blotong dan ditemukan bahwa
kandungan protein dari blotong yang dipress sebesar 7.4 %. Protein hanya dapat diekstrak
menggunakan zat alkali yang kuat seperti sodium dodecyl sulfate. Kandungan dari protein yang
dapat diekstrak antara lain albumin 91.5 %; globulin 1 %; etanol terlarut 3 % dan protein terlarut 4
%. Dengan demikian blotong dapat juga digunakan sebagai pakan ternak dengan cara dikeringkan
dan dipisahkan partikel tanah yang terdapat didalamnya. Untuk menghindari kerusakan oleh jamur
dan bakteri blotong yang dikeringkan harus langsung digunakan dalam bentuk pellet Pada saat ini
pemanfaatan blotong antara lain sebagai bahan bakar alternative dalam bentuk briket. Untuk
pembuatan briket blotong dipadatkan lalu dikeringkan. Keuntungan menggunakan briket blotong
adalah harganya yang lebih murah daripada kayu bakar dan bahan bakar lain. Akan tetapi untuk
membuat briket ini diperlukan waktu cukup lama antara 4 sampai 7 hari pengeringan, selain itu
juga tergantung dari kondisi cuaca. Pada saat ini semakin banyak masyarakat yang memanfaatkan
blotong sebagai bahan bakar rumah tangga pengganti MITAN dan kayu bakar. Kedepannya perlu
ada kajian apakah briket blotong ini juga bisa digunakan sebagai bahan bakar ketel sehingga dapat
mengurangi konsumsi bahan bakar minyak PG. Blotong dapat digunakan langsung sebagai pupuk,
karena mengandung unsur hara yang dibutuhkan tanah. Untuk memperkaya unsur N blotong
dikompos dengan ampas tebu dan abu ketel (kabak). Pemberian ke tanaman tebu sebanyak 100 ton
blotong atau komposnya per hektar dapat meningkatkan bobot dan rendemen tebu secara
signifikan. Kandungan hara kompos ampas tebu (KAT), blotong dan komposdari ampas tebu,
blotong dan abu ketel (KABAK).
2.5.3 Limbah Tetes (Cair)

Tetes atau molasses merupakan produk sisa (by product) pada proses pembuatan gula.
Tetes diperoleh dari hasil pemisahan sirop low grade dimana gula dalam sirop tersebut tidak dapat
dikristalkan lagi. Pada pemrosesan gula tetes yang dihasilkan sekitar 5 – 6 % tebu, sehingga untuk
pabrik dengan kapasitas 6000 ton tebu per hari menghasilkan tetes sekitar 300 ton sampai 360 ton
tetes per hari. Walaupun masih mengandung gula, tetes sangat tidak layak untuk dikonsumsi
karena mengandung kotoran-kotoran bukan gula yang membahayakan kesehatan. Penggunaan
tetes sebagian besar untuk industri fermentasi seperti alcohol, pabrik MSG, pabrik pakan ternak
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Gula adalah suatu karbohidrat sederhana yang menjadi sumber energi dan komoditi
perdagangan utama.
Limbah adalah buangan yang dihasilkan dari suatu proses produksi baik industri maupun
domestik (rumah tangga). Dimana masyarakat bermukim, disanalah berbagai jenis limbah akan
dihasilkan. Ada sampah, ada air kakus (black water), dan ada air buangan dari berbagai aktivitas
domestik lainnya (grey water).
Tahapan-tahapan dalam proses pembuatan gula dimulai dari penanaman tebu, proses
ektrasi, pemurnian, penguapan, kritalisasi, dan pengeringan.
Pada pemrosesan gula dari tebu menghasilkan limbah atau hasil samping, antara lain:
Ampas berasal dari tebu yang digiling dan digunakan sebagai bahan bakar ketel uap. Blotong atau
filter cake adalah endapan dari nira kotor yang di tapis di rotary vacuum filter. Tetes merupakan
sisa sirup terakhir dari masakan yang telah dipisahkan gulanya melalui kristalisasi berulangkali
sehingga tak mungkin lagi menghasilkan kristal.

3.2 Saran
Dari setiap premosesan pasti akan menghasilkan hasil samping, limbah, atau ampas yang
masih bisa dimanfaatkan sehingga limbah tidak menyebabkan lingkungan tercemar, jadi
berpandai-pandailah memanfaatkan hasil samping, limbah, atau ampas agar dapat memperhemat
bahan mentah.
DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai