Anda di halaman 1dari 12

21

Dalam tingkatan pengkristalan, pemisahan gula dari tetesnya terjadi pada tingkat C. Pada
tingkat ini terjadi poses separasi (pemisahan). Mekanismenya menggunakan gaya sentrifugal.
Dengan adanya sistem ini, tetes dan gula terpisah selanjutnya pada tingkat D dihasilkan gula
melasse (kristal gula) dan melasse (tetes gula).

2.5.6 Pengeringan Kristal Gula


Air yang dikandung kristal gula hasil sentrifugasi masih cukup tinggi, kira-kira 20% . Gula
yang mengandung air akan mudah rusak dibandingkan gula kering, untuk menjaga agar tidak
rusak selama penyimpanan, gula tersebut harus dikeringkan terlebih dahulu. pengeringan dapat
dilakukan dengan cara alami atau dengan memakai udara panas kira-kira 800c. Pengeringan
gula secara alami dilakukan dengan melewatkan SHS pada talang goyang yang panjang.
Dengan melalui talang ini gula diharapkan dapat kering dan dingin. Proses pengeringan dengan
cara ini membutuhkan ruang yang lebih luas dibandingkan cara pemanasan. Karena itu, pabrik-
pabrik gula menggunakan cara pemanasan. Cara ini bekerja atas dasar prinsip aliran
berlawanan dengan aliran udara panas. (8)

2.6 Jenis-Jenis Produk Gula


2.6.1 Gula Pasir
Ini adalah jenis gula yang paling mudah dijumpai, digunakan sehari-hari untuk
pemanis makanan dan minuman. Gula pasir juga merupakan jenis gula yang
digunakan dalam penelitian ini.Gula pasir berasal dari cairan sari tebu. Setelah
dikristalkan, sari tebu akan mengalami kristalisasi dan berubah menjadi butiran gula
berwarna putih bersih atau putih agak kecoklatan (raw sugar).

2.6.2 Gula Pasir Kasar (Crystallized Sugar)


Gula jenis ini memiliki tekstur yang lebih besar dan kasar dari gula pasir pada
umumnya. Biasanya gula jenis ini dijual dengan aneka warna di pasaran. Gula jenis ini
sering digunakan sebagai bahan taburan karena tidak meleleh saat dioven.

2.6.3 Gula Balok atau Gula Dadu


Gula balok terbuat dari sari tebu. Bentuknya menyerupai balok dadu dengan warna
putih bersih. Biasanya gula jenis ini digunakan sebagai campuran minuman kopi atau teh.
22

2.6.4 Gula Icing atau Icing Sugar atau Confection Sugar


Tipe gula ini memiliki tektur terhalus dalam jenis gula putih. Icing sugar merupakan
campuran dari gula pasir yang digiling hingga halus sehingga terbentuk tepung gula dan
ditambahkan tepung maizena agar tidak mudah menggumpal.

2.6.5 Gula Batu


Gula batu diperoleh dari pengolahan gula pasir biasa agar mudah larut. Bentuknya
merupakan bongkahan gula menyerupai batu berwarna putih, dimana tingkat kemanisan
gula batu lebih rendah dibanding gula pasir, hampir 1/3 dari gula pasir. Bagi pankreas dan
organ tubuh, gula batu lebih sehat dan bersahabat dibanding dengan gula pasir.

2.6.6 Brown Sugar


Brown sugar terbuat dari tetes tebu, namun dalam proses pembuatannya dicampur
dengan molase sehingga menghasilkan gula bewarna kecoklatan. Terbagi menjadi 2 jenis
yaitu light atau dark brown sugar. Light brown sugar biasanya digunakan dalam pembuatan
kue, seperti membuat butterscotch, kondimen dan glazes. Dark brown sugar biasanya
digunakan untuk membuat gingerbread dan bahan tambahan untuk makanan seperti
mincemeat, baked bean, dan lain-lain. (3)

Disamping menghasilkan produk utama berupa gula pasir, menurut Asriah (2007) pabrik
gula juga menghasilkan produk sampingan, yaitu :
2.6.7 Tetes tebu
Tetes tebu adalah hasil sampingan yang diperoleh dari tahap pemisahan kristal gula.
Hasil sampingan ini masih mengandung gula sekitar 50–60% asam amino dan mineral. Di
Indonesia tetes tebu banyak digunakan sebagai bahan baku industri MSG, alkohol, gula
cair, asam sitrat dan asam asetat.

2.6.8 Ampas tebu

Ampas tebu adalah hasil sampingan dari proses penggilingan tebu. Dari satu pabrik
dapat dihasilkan ampas tebu sebanyak 35–50% dari berat tebu yang digiling. Ampas tebu
dapat digunakan sebagi bahan bakar tungku pabrik, bahan baku industri kertas dan fibre
board.
23

2.6.9 Blotong
Blotong adalah hasil sampingan dari proses penjernihan, merupakan endapan dari
kotoran nira. Karena blotong adalah bahan organik yang dapat mengalami perubahan secara
alami, maka blotong dapat menimbulkan bau yang kurang enak. Blotong dapat digunakan
sebagai pupuk tanaman tebu, karena dapat berpengaruh baik pada pertumbuhan batang tebu.
(1)

2.7 Kondisi Industri Gula di Indonesia dengan Luar Negeri


Produksi gula di dalam negeri makin tidak mampu memenuhi kebutuhan konsumsi,
sehingga impor gula sejak awal 1990 terus meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 2001,
impor gula meningkat menjadi 1,5 juta ton atau sekitar 50 persen dari kebutuhan dalam negeri.
Angka ketergantungan impor telah mencapai 47 persen/tahun selama periode 19982002
(Sawit et al., 2003), suatu kenaikan yang pesat dibandingkan dengan tahun-tahun sebelum
liberalisasi radikal industri gula pada tahun 1998.
Kemelut pengelolaan impor gula di dalam negeri terus berlangsung sejak 1998. Berbagai
cara telah dipakai untuk mengatasi penyelundupan gula, baik melalui instrumen NPIK (Nomor
Pengenal Importir Khusus), pengawasan ketat (jalur merah) sampai penerapan kuota impor.
Kuota impor gula putih hanya diberikan kepada importir terdaftar atau IT Gula yang
memenuhi syarat, terutama penyerapan tebu rakyat lebih dari 75 persen.
Departemen Pertanian sejak pertengahan 2003 telah mengambil inisiatif untuk
merancang pembangunan Industri Gula Nasional (IGN) secara komprehensif, yang mampu
mendorong peningkatan produksi gula nasional secara efisien, mengurangi impor gula dan
meningkatkan pendapatan petani tebu. Kebijakan itu mencakup pemecahan berbagai masalah
budidaya tebu, kemitraan antara pabrik gula (PG) dengan petani tebu, efisiensi PG,
perdagangan dan impor, serta dukungan pemerintah terutama infrastruktur di lahan kering,
penguatan Research and Development, dan dukungan harga yang menguntungkan petani
(P3GI, 2003; LP IPB, 2002; Booker Tate Ltd, 1999).
Berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa pendapatan petani tebu rakyat di Pulau
Jawa masih rendah. Selain disebabkan oleh tingkat produktivitas dan kualitas hasil yang
rendah, sebagian besar PG di Pulau Jawa masih menggunakan mesin-mesin tua yang tidak
efisien, sehingga menghasilkan gula dengan tingkat rendemen yang rendah. Data dari PG
Krebet Baru (Kabupaten Malang, Jawa Timur) menunjukkan bahwa rendemen rata-rata yang
diperoleh adalah 5,15 persen pada tahun 1998, 6,91 persen pada tahun 1999, 6,01 persen pada
tahun 2000, 6,14 persen pada tahun 2001 (Hadi et al., 2002), 6,77 persen pada tahun 2002,
24

dan 6,91 persen pada musim giling 2003 (Malian et al., 2004). Dengan demikian, efisiensi
usahatani tebu tidak terlepas dari efisiensi PG di suatu daerah, khususnya dalam penentuan
rendemen tebu.
Tim Persiapan Revitalisasi Pergulaan Indonesia (1999) memberikan rekomendasi
kebijakan dalam masa transisi untuk meningkatkan produktivitas dan daya saing industri gula
nasional, antara lain: (1) Pengembangan lahan kering yang sesuai untuk usahatani tebu,
sebagai landasan pengembangan industri gula yang berbasis sumberdaya lahan kering; (2)
Peningkatan efisiensi teknis PG, melalui peningkatan produktivitas gula hablur pada lahan
kering sebesar 6 ton/ha; (3) Peningkatan efisiensi ekonomis PG melalui rasionalisasi
pembiayaan, dengan sasaran biaya produksi sebesar Rp. 1.600/kg gula; (4) Re-engineering
PG melalui penerapan prinsip zero waste dan total value creation, dengan menerapkan prinsip
bagi hasil yang adil antara petani dengan PG; dan (5) Persiapan pengembangan industri gula
di luar Jawa dan pengembangan sweeteners. Tulisan ini akan melakukan analisis dan sintesis
terhadap industri pergulaan nasional, sehingga dapat ditentukan kebijakan yang diperlukan
dalam revitalisasi industri pergulaan di Indonesia. (10)
Tingkat konsumsi gula Indonesia masih relatif rendah dibandingkan dengan rata-rata
konsumsi Asia. Pada tahun 1996 misalnya, konsumsi langsung mencapai 8,8 Kg/kapita/ tahun,
kemudian sedikit menurun menjadi 8,2 Kg/kapita/tahun pada tahun 1999, dan konsumsi tidak
langsung sebesar sekitar 1,1 Kg/kapita/tahun (Susenas BPS). Tingkat konsumsi gula masih
rendah, bila dibandingkan dengan konsumsi rata-rata di Asia sebesar 12,7Kg/kapita/tahun,
atau konsumsi rata-rata dunia yang mencapai 20Kg/kapita/tahun. Namun demikian beberapa
data yang dipublikasikan dari berbagai lembaga penelitian di luar negeri menaksir konsumsi
gula Indonesia mencapai 14,2 Kg/kapita/tahun (Tabel 1).

Tabel 1 Konsumsi Gula perkapita di negara terpilih (Kg/Kap/Tahun)


Negara Kg/Kapita
Indonesia 14,2
Brunei 26,8
Malaysia 40,7
Philipina 25,8
Singapura 76,9
Thailand 27,3
China 6,7
25

Australia 50,9
Nigeria 4,5
Brazil 52,8
Yugoslavia 33,2
Dunia 20,00
Asia 12,7
(11)

Secara umum, luas panen tebu di Indonesia mengalami peningkatan sejak tahun 1980.
Pada tahun 1980, luas panen tebu di Indonesia hanya seluas 316.063 ha. Luas ini kemudian
meningkat sebesar 50,96% menjadi 477.123 ha pada tahun 2013 dan diperkirakan akan
kembali meningkat menjadi sebesar 472.693 ha di tahun 2016. Peningkatan luas panen ini lebih
disebabkan oleh adanya peningkatan pada luas panen tebu di Perkebunan Rakyat. Hal ini
dikarenakan sebagian besar perkebunan tebu di Indonesia diusahakan oleh petani tebu rakyat.
Sejak tahun 1980, rata-rata kontribusi perkebunan tebu rakyat mencapai 59,96%, tertinggi
dibandingkan kontribusi dari perkebunan tebu milik perusahaan (PBN atau PBS).

Produksi tebu di Indonesia dalam wujud gula hablur mengalami penurunan signifikan
pada saat Indonesia terkena krisis ekonomi di tahun 1998. Pada tahun 1980 hingga 1997,
produksi tebu cenderung meningkat dengan pertumbuhan ratarata 3,86% per tahun. Namun
pada tahun 1998, produksi tebu berkurang 32,10% jika dibandingkan tahun 1997. Di tahun
1998, produksi tebu Indonesia hanya 1,48 juta ton sementara ditahun 1997 mencapai 2,19 juta
ton. Hingga tahun 2003, produksi tebu Indonesia belum mampu menembus angka 2 juta ton.
Produksi tebu kemudian mengalami kecenderungan peningkatan kembali pada periode 2004
hingga sekarang. Pada tahun 2016, berdasarkan angka estimasi ditjen perkebunan, produksi
gula di Indonesia telah mencapai 2,71 juta ton atau meningkat 116% dibandingkan tahun 1998.
Rata-rata pertumbuhan produksi gula Indonesia pada periode 1998-2016 mencapai 1,94%
pertahun.

Sejak tahun 1980 hingga kini, Indonesia dikenal sebagai negara importir gula di dunia.
Namun demikian, dengan produksi gula yang cukup besar dan belum tumbuhnya industri
pengolahan molase maka Indonesia dikenal sebagai salah satu eksportir molase di dunia. Sejak
tahun 1980, Indonesia lebih banyak melakukan ekspor molase dengan rata-rata ekspor molase
mencapai 408.626 ton pada setiap tahunnya.
26

Terlihat bahwa impor gula Indonesia cenderung meningkat pertahunnya. Pada periode
19802015, impor gula Indonesia meningkat rata-rata 163,09% pertahun atau setara dengan
63.889 ton per tahun. Impor gula Indonesia pada tahun 1981 sebesar 720,95 ribu ton dan
meningkat hingga sebesar 2.637.020 ton pada tahun 2015. Volume impor pada tahun 2013
tercatat sebagai volume impor tertinggi Indonesia sejak tahun 1980. Tahun 2008, pemerintah
memberlakukan kebijakan pembatasan impor gula. Hal ini mampu menekan volume impor
gula namun karena keterbatasan stok dalam negeri, pemerintah tidak dapat menghentikan
secara total impor gula meskipun impor gula seringkali menekan harga gula dalam negeri.
Kebijakan pengendalian impor gula kemudian beralih menjadi penguatan industri gula dalam
negeri.

(12)
27

2.8 Dampak Industri Gula dan Gula


2.8.1 Dampak Industri Gula
Dampak Positif
1. Menambah devisa negara

Industri gula di Indonesia memeliki potensi tinggi dalam peningkatan devisa


negara, dikarenakan konsumsi gula di dunia terus meningkat seiring bertambahnya
penduduk suatu negara.;

2. Membuka lapangan pekerjaan bagi masyarakat


Industri merupakan salah satu kegiatan perekonomian yang cukup strategis
dalam meningkatkan pendapatan dan perekonomian suatu penduduk;
3. Perkembangan teknologi
Seiring berkembangnya zaman, penggunaan tenologi akan terus mengalami
pembaharuan.

Dampak Negatif
1. Limbah yang merugikan masyarakat sekitar
Pabrik gula merupakan industry yang menghasilkan limbah padat, gas, dan cair.
Dibandingkan limbah lainnya, limbah cair sangat berpotensi buruk karena dapat
mengalir ke sungai yang airnya sering dimanfaatkan oleh masyarakat. Terdapat dua
jenis limbah cair yang dihasilkan oleh pabrik gula, yaitu limbah cair pabrik dan limbah
kondensor atau air pendingin. Air pendingin atau limbah kondensor ini dihasilkan oleh
kondensasi uap dalam kondensor baromatik. Air pendingin ini memiliki kandungan
senyawa organik yang berkisar antara 0 – 1.000 mg/L. Air limbah pabrik memliki
kandungan senyawa organik yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan air limbah
kondensor karena air limbah pabrik ini gabungan dari beberapa limbah, yaitu air
limbah proses, air dari bak penampungan abu boiler, dan air dari proses pencucian
peralatan pabrik serta proses pembuatan susu kapur. Masyarakat yang menyentuh air
sungai yang terkontaminasi oleh limbah pun terserang iritasi kulit dan merasakan
gatal-gatal;
2. Lahan pertanian untuk jenis tanaman lain semakin berkurang;
3. Mengakibatkan terganggunya penafasan terutama pada bayi dan anak-anak terserang
flek, masyarakat merasakan radang pada mata dan tenggorokan. (13)
28

2.8.2 Dampak Gula

Dampak Positif

1. Sebagai Sumber Energi


Gula merupakan karbohidrat sederhana yang dapat langsung diserap tubuh dan
diubah menjadi energi.
2. Menjaga bunga dalam vas tetap segar
3. Membersihkan alat penggiling kopi
4. Mengusir kecoa
5. Meredakan sensasi terbakar pada lidah
6. Menghaluskan kulit wajah dan bibir

Dampak Negatif

1. Menimbulkan diabetes mellitus dan obesitas jika berlebih dalam mengkonsumsi gula
Penyakit diabetes merupakan penyakit yang ditandai dengan kadar gula darah
melebihi nilai normal. Kondisi ini timbul terutama disebabkan adanya gangguan pada
metabolisme karbohidrat di dalam tubuh yaitu adanya gangguan fungsi hormon
insulin di dalam tubuh dan pola makan yang tidak memperhatikan kadar gula sesuai
kebutuhan tubuh. Obesitas merupakan keadaan patologis karena terjadi penimbunan
lemak yang berlebihan daripada yang diperlukan untuk fungsi tubuh. Salah satu
penyebab terjadinya obesitas adalah pola makan dan jenis makanan tinggi kalori
seperti minuman ringan karena minuman ringan memiliki kandungan gula yang tinggi
sehingga berat badan cepat bertambah.
Data WHO (World Health Organization) tahun 2010 menyatakan bahwa
persentase orang obesitas di Indonesia mencapai 32,9% atau sekitar 78,2 juta
penduduk dan salah satu penyebab penyakit diabetes adalah kesalahan pola makan
menempati persentase 65,2%. Semakin banyaknya penderita obesitas dan diabetes
melitus di Indonesia ini yang menjadi latar belakang keberadaan produk minuman low
calorie;

1. Karies gigi;
2. Kerusakan hati;
3. Penyakit jantung. (14)
29

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Berdasarkan urian yang terdapat pada BAB Pendahuluan dan isi, dapat disimpulkan
sebagai berikut :
1. Gula adalah suatu karbohidrat sederhana karena dapat larut dalam air dan langsung diserap
tubuh untuk diubah menjadi energy.
2. Tebu sudah dibudidayakan di Nusantara untuk menghasilkan gula sebelum masa kolonial.
Seorang perantau Cina, I Tsing mencatat bahwa tahun 895 M gula dari tebu dan nira kelapa
telah diperdagangkan di Nusantara. Sebagai contoh, sebelum Belanda masuk Indonesia,
gula telah diproduksi dengan peralatan sederhana dan diperdagangkan di sekitar Batavia.
Pabrik gula sederhana ini semakin berkembang agak besar pada abad 17.
3. Perkembangan industri gula di Indonesia mengalami pasang surut seiring berjalannya
waktu. Industri gula di Indonesia pernah mengalami masa keemasan pada tahun 1930-an.
Namun sekarang produksi gula semakin menurun karena beberapa faktor dan kegiatan
impor gula dari tahun 1990 hingga sekarang semakin meningkat seiring bertambahnya
penduduk.
4. Bahan baku pembuatan gula tebu adalah tanaman tebu dan bahan pendukung prosesnya
adalah susu kapur, belerang, dan flokulan.
5. Proses pembuatan gula melewati beberapa tahap diantaranya : proses pemerasan atau
penggilingan tebu, proses pemurnian nira, penguapan atau evaporasi nira, kristalisasi,
pemisahan kristal gula, dan pengeringan kristal gula.
6. Jenis-jenis produk gula diantaranya : gula pasir, gula pasir kasar, gula balok atau dadu,
gula batu, dan brown sugar. Produk lainnya diantaranya : tetes tebu, ampas, dan blotong.
7. Kondisi industri gula di Indonesia, produksi gula di dalam negeri makin tidak mampu
memenuhi kebutuhan konsumsi, sehingga impor gula sejak awal 1990 terus meningkat
dari tahun ke tahun. Pada tahun 2001, impor gula meningkat menjadi 1,5 juta ton atau
sekitar 50 persen dari kebutuhan dalam negeri. Sejak tahun 1980, Indonesia lebih banyak
melakukan ekspor molase dengan rata-rata ekspor molase mencapai 408.626 ton pada
setiap tahunnya.
8. Dampak pada industri gula terdiri dari dampak positif industry gula, dampak negatif
industry gula, dampak positif gula, dan dampak negatif gula.
30

3.2 Saran

Penggunaan mesin-mesin pembuat gula (mekanisasi) memang telah mampu meningkatkan


produksi gula, tetapi hasilnya belum cukup memuaskan. Tingkat produksi gula belum mampu
mengimbangi tingkat konsumsi masyarakat karena itu, usaha untuk meningkatkan produksi
gula dalam negeri masih harus diupayakan. Kalau selama ini mesin-mesin yang digunakan di
pabrik gula masih bersifat manual (tidak berteknologi canggih), mungkin untuk masa yang
akan datang mesin-mesin yang digunakan harus lebih canggih. Dengan mesin-mesin
berteknologi tinggi (canggih ) produksi gula akan lebih meningkat, baik dari segi kualitas
maupun kuantitas dibanding dengan produksi gula saat ini.
31

Daftar Pustaka

1. Wahyudi, PR. 2010. ANALISIS BREAK EVEN POINT (BEP) PADA INDUSTRI
PENGOLAHAN TEBU DI PABRIK GULA (PG) MOJO KABUPATEN
SRAGEN. Skripsi. Tidak Diterbitkan. Fakultas Pertanian Universitas Sebelas
Maret: Surakarta. (Halaman 3 Bagian 2.1 Definisi Gula dan Halaman 14 Bagian
2.4.1 Bahan Baku Utama Pembuatan Gula)
2. NA, Gumilar. 2015. BAB II LANDASAN TEORI PENGERTIAN GULA. Skripsi. Tidak
Diterbitkan. (Halaman 3 Bagian 2.1 Definisi Gula)
3. Anonim. 2012. BAB II LANDASAN TEORI PENGERTIAN GULA. Makalah. (Halaman 3
Bagian 2.1 Definisi Gula)
4. Evizal, Rusdi. 2018. PENGELOLAAN PERKEBUNAN TEBU. Yogyakarta : Graha Ilmu.
(Halaman 3,4 Bagian 2.2 Sejarah Industri Gula Di Indonesia)
5. Anonim. BAB I LATAR BELAKANG GULA. Jurnal Servuens in Lumine Veritatis.
(Halaman 3 Bagian 2.2 Sejarah Industri Gula Di Indonesia)
6. Anonim. BAB I PENDAHULUAN LATAR BELAKANG GULA. Skripsi. Tidak Diterbitkan.
Universitas Negeri Yogyakarta. (Halaman 4,5 Bagian 2.2 Sejarah Industri Gula Di
Indonesia)
7. Mufiddatut D. 2011. SEJARAH PERKEMBANGAN PABRIK GULA CEPIRING DAN
PENGARUHNYA TERHADAP KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT
KENDAL TAHUN 1975-1997. Skripsi. Tidak Diterbitkan. Fakultas Ilmu Sosial
Universitas Negeri Semarang : Semarang. (Halaman 4,5 Bagian 2.2 Sejarah
Industri Gula Di Indonesia)
8. Mandong, Mardiana dkk. 2014. PROSES PEMBUATAN GULA PASIR DARI TEBU.
Makalah. (Halaman 1 Bagian 1.1 Latar Belakang, Halaman 15 Bagian 2.4.1 Bahan
Baku Utama Pembuatan Gula, dan Halaman 16 Bagian 2.5 Proses Pembuatan
Gula)
9. Maria Clara Indrayani. 2018. PENGENDALIAN DAN PENGAWASAN PROSES
KRISTALISASI PADA STASIUN MASAKAN PG TASIKMADU KARANGANYAR.
Laporan Kerja Praktek. Semarang : Universitas Katolik Soegijapranata. (Halaman
15 Bagian 2.4.2 Bahan Baku Pembantu dan Halaman 16 Bagian 2.5 Proses
Pembuatan Gula)
32

10. Indraningsih, KS, dan Malian, AH. PERSPEKTIF PENGEMBANGAN INDUSTRI


GULA DI INDONESIA. Journal of Perspective, Development, Sugar Industry.
(Halaman 23 Bagian 2.7 Kondisi Industri Gula Di Indonesia)
11. Sawit, MH. 2001. INDUSTRI GULA NASIONAL DI PERSIMPANGAN JALAN:
MAMPU BERTAHAN ATAU TERSINGKIR. Jurnal Ekonomi dan Bisnis
Indonesia,
Vol 16, No. 2, 111-121. (Halaman 24 Bagian 2.7 Kondisi Industri Gula Di
Indonesia)
12. Surwadi. 2016. OUTLOOK TEBU. Jakarta: Kementerian Pertanian. (Halaman 25 Bagian
2.7 Kondisi Industri Gula Di Indonesia)
13. Anonim. BAB PENDAHULUAN LATAR BELAKANG INDUSTRI GULA. Skripsi. Tidak
Diterbitkan. Universitas Pendidikan Indonesia. (Halaman 27 Bagian 2.8.1 Dampak
Industri Gula)
14. Sutjipto. 2012. BAB I PENDAHULUAN LATAR BELAKANG GULA. Skripsi. Tidak
Diterbitkan. Universitas Widya Mandala. (Halaman 28 Bagian 2.8.2 Dampak
Gula)

Anda mungkin juga menyukai