Anda di halaman 1dari 16

DIVERSIFIKASI OLAHAN JAGUNG

(Makalah Teknologi Serelia dan Palawija)

Oleh

Kelompok 2

Dinda Permata Sari 1514051006

Aziz Mahendra 1514051028

Yunanda PrIstiani 1514051072

Intan Ramadhani 1514051045

Yahdinata 1514051075

Desy Anggy Pratiwi 1514051090

Jurusan Teknologi Hasil Pertanian


Fakultas Pertanian
Universitas Lampung
2017
I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Salah satu komoditas strategis dan bernilai ekonomis, serta mempunyai peluang
untuk dikembangkan karena kedudukannya sebagai sumber utama karbohidrat
dan protein setelah beras adalah Tanaman jagung (Zea Mays L). Disamping itu
jagung berperan sebagai pakan ternak,bahan baku industri dan rumah tangga.
Beberapa tahun terakhir kebutuhan jagung terus meningkat, hal ini sejalan dengan
semakin meningkatnya laju pertumbuhan jumlah penduduk dan peningkatan
kebutuhan untuk pakan ( Alam dan Nurhaeni, 2008). Jagung berperan penting
dalam perekonomian nasional dengan berkembangnya industri pangan yang
ditunjang oleh teknologi budi daya dan varietas unggul. Dalam memenuhi
kebutuhan dalam negeri yang terus meningkat, Indonesia mengimpor jagung
hampir setiap tahun. Pada tahun 2000, impor jagung mencapai 1,26 juta ton (BPS
2005).Selain untuk pengadaan pangan dan pakan, jagung juga banyak digunakan
industri makanan, minuman, kimia, dan farmasi. Berdasarkan komposisi kimia
dan kandungan nutrisi, jagung mempunyai prospek sebagai pangan dan bahan
baku industri. Pemanfaatan jagung sebagai bahan baku industri akan memberi
nilai tambah bagi usahatani komoditas tersebut (Suarni 2003, Suarni dan
Sarasutha 2002, Suarni et al. 2005).

Upaya pengembangan produk pertanian diperlukan informasi tentang karakteristik


bahan baku, meliputi sifat fisik, kimia, fisiko-kimia, dan gizi. Berdasarkan
karakteristik bahan baku dapat disusun kriteria mutu dari produk yang akan
dihasilkan maupun teknik dan proses pembuatannya. Pemanfaan teknologi
pengolahan jagung berpeluang meningkatkan nilai komoditas jagug tidak hanya
sebagai sumber pakan tetapi dapat diolah menjadi berbagai prosuk pangan ang
bernilai ekonomo seperti corn flake, pop corn, tepung jagung, pati jagung, sirup
jagung, minyak jagung dan jagung nikstamalisasi (Suarni et al. 2005).
Selain produk tersebut jagung juga dapat diolah menjadi produk yang lebih unik
dan memiliki daya jual yang tinggi dengan teknlogi pengolahan yang tepat.

2.1 Tujuan
Mahasiswa dapat mengetahui proses pengolahan mie jagung, sirup jagung, dan
jagung nikstamalisasi.
II. PEMBAHASAN

2.1 Jagung Nikstamalisasi

Niktamalisasi merupakan salah satu metode dalam proses pembuatan tepung


jagung. Niktamalisasi adalah proses pemasakan jagung secara tradisional yang
dikembangkan oleh peradaban Mesoamerika dan dimakan dalam produksi tortila
serta beberapa produk pangan lain yang menggunakan jagung sebagai bahan
utamanya (Rooney dan Serna-Saldivar, 2003). Menurut Widiani (2010)
nikstamalisasi merupakan salah satu metode modifikai pati secara basa karena
proses ini menggunakan larutan alkali tujuannya adalah untuk melonggarkan
jaringan sel dan menggelatinisasi sebagian granula pati sehingga jagung nikstamal
akan membentuk pasta yang homogen dan elastis pada saat digiling atau
dihancurkan dengan grinder. Nikstamalisasi diharapkan dapat meningkatkan
kestabilan tepung jagung terhadap pemanasan dan pengadukan sehingga dapat
memperbaiki karakteristik produk yang dihasilkan. Pengaruh lama pemasakan
nikstamalisasi telah dikaji oleh Widianti (2010) terhadap produk tortilla chips.
Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa lama pemasakan nikstamalisasi
optimal yaitu selama 30 menit. Sedangkan lama perendaman dilakukan selama 24
jam berdasarkan penelitian Putri (2011).

Penggunaan tepung jagung nikstamal umumnya ditujukan untuk produk tortilla


chips, sedangkan penggunaan tepung jagung nikstamal pada produk produk
biskuit belum pernah dilakukan. Pembuatan biskuit yang bertujuan untuk
meningkatkan kadar serat telah dilakukan oleh Ajila et al. (2007) menggunakan
bahan baku tepung kulit mangga. Kandungan serat pada biskuit berbahan tepung
jagung juga telah dilakukan oleh Gracia et al. (2009), tetapi kandungan serat pada
biskuit berbahan tepung jagung nikstamal belum diketahui, padahal jagung
mengandung serat sebesar 86.7%..
Menurut Suarni (2009) Tepung jagung dapat mensubsitusi tepung terigu dalam
pembuatan cookies antara 80% -100%. Akan tetapi, pada penggunaan tepung
jagung 100% dalam pembuatan cookies menghasilkan produk yang kurang
disukai, baik dari segi warna, rasa,kerenyahan dan penerimaan keseluruhan. Hal
ini karena cookies yang dihasilkan berwarna coklat dan dengan kandungan serat
kasar sebesar 3.67%.

Pembuatan tepung jagung nikstamalisasi dilakukan menurut metode Putri (2011).


Bahan baku jagung pipil disortasi dari kotoran kemudian ditimbang sebanyak 2 kg
dan dicuci dengan air bersih sampai bersih. Setelah ditiriskan, jagung dimasukan
ke dalam panci berisi 6L air yang mengandung 20 g kalsium hidroksida Ca(OH)
(1% dari jagung pipil) selama 30 menit pada suhu 90C. Selanjutnya jagung
direndam selama 24 jam menggunakan larutan alkali sisa pemasakan hingga
keseluruhan biji terendam. Kemudian jagung dibilas sampai pH netral dengan air
bersih yang bertujuan untuk menghilangkan sisa alkali Ca(OH). Tahap
selanjutnya, jagung ditiriskan dan digiling sampai hancur menggunakan hammer
mill.Jagung yang telah dinikstamalisasi dan digiling kemudian dikeringkan
menggunakan oven pada suhu 60 C selama 24 jam. Tepung jagung yang telah
dioven kemudian dihancurkan menggunakan blender sehingga dihasilkan tepung
jagung nikstamalisasi kering.

2.2 Sirup Jagung

Sirup jagung dapat dibuat menjadi 2 jenis sirup yaitu:

2.2.1 Sirup Glukosa


Sirup glukosa atau gula cair mengandung D-glukosa, maltosa, dan polimer D-
glukosa dibuat melalui proses hidrolisis pati. Bahan baku yang dapat digunakan
adalah bahan berpati seperti tapioka, pati umbi-umbian, sagu, dan jagung. Proses
produksi sirup glukosa meliputi likuifikasi, sakarifikasi, penjernihan, penetralan,
dan evaporasi. Tahap likuifikasi adalah proses hidrolisa pati menjadi dekstrin oleh
a-amilase pada suhu di atas suhu gelatinisasi dan pH optimum aktivitas a-amilase,
selama waktu yang telah ditentukan untuk setiap jenis enzim. Proses liquifikasi
berlangsung pada suhu 95 C (aktivitas enzim termofilik), karena itu suhu
gelatinisasi pati yang akan dihidrolisis sebaiknya kurang dari 95 C. Di bawah
suhu gelatinisasinya, pati tidak akan terurai atau terhidrolisis secara enzimatis
maupun asam. Sesudah itu tangki diusahakan pada suhu 105 C dan pH 4,0-7,0
untuk pemasakan sirup sampai semua amilosa dapat terdegradasi menjadi
dekstrin. Setiap dua jam, sirup pada tangki dianalisis kadar amilosanya dengan uji
iod untuk mengetahui nilai DE (Dextrose Equivalen). Bila iod sudah
menunjukkan warna coklat berarti amilosa sudah terdegradasi (nilai DE sekitar
8,0-14,0) maka proses likuifikasi sudah selesai.

Pada proses sakarifikasi, dekstrin didinginkan sampai 60 C, pH diatur pada angka


4,0-4,6. Proses ini biasanya berlangsung selama 72 jam dengan pengadukan
secara terus menerus. Selanjutnya dilakukan proses pemucatan, penyaringan dan
penguapan. Pemucatan bertujuan untuk menghilangkan bau, warna, kotoran, dan
menghentikan aktivitas enzim. Absorben yang digunakan adalah karbon aktif
sebanyak 2% dari bobot pati. Penyaringan bertujuan untuk memisahkan karbon
aktif yang tertinggal dan kotoran yang belum terserap oleh karbon aktif. Proses
penukar ion dilakukan untuk memisahkan ion-ion logam yang tak diinginkan, dan
tahap penguapan dilakukan untuk mendapatkan sirup glukosa dengan kekentalan
seperti yang dikehendaki (Mercier and Colonna 1988)
Gambar 1. Proses pembuatan sirup glukosa

2.2.2 Sirup Fruktosa


Sirup fruktosa dibuat dari glukosa melalui proses isomerisasi menggunakan enzim
glukosa isomerase (Mercier and Colonna 1988). Fruktosa dan glukosa sama-sama
mempunyai rumus molekul C6H12O6 yang hanya dibedakan jumlah ring dan
posisi gugus hidroksil (-OH)nya. Dengan perubahan konfigurasi glukosa menjadi
fruktosa menyebabkan sifat sirup stabil dan memiliki tingkat kemanisan yang
lebih tinggi. Sirup fruktosa memiliki tingkat kemanisan (relative sweetness) 2,5
kali lebih tinggi dibanding sirup glukosa dan 1,4-1,8 kali lebih tinggi dibanding
gula sukrosa. Berdasarkan keunggulannya maka fruktosa tidak hanya dapat
digunakan untuk penderita diabetes tetapi juga untuk produk soft drink, sirup,
jelly, jam, coctail, dan sebagainya. Bahan baku utama fruktosa adalah sirup
glukosa, dan bahan pembantu sama dengan produk sirup glukosa, kecuali
enzimnya berupa enzim glukoisomerase. Tahapan pembuatan fruktosa meliputi
isomerisasi, proses penukar ion, penguapan, dan pemisahan fruktosa dengan
glukosa menggunakan F/G separator. Isomerisasi bertujuan untuk mengkonversi
glukosa menjadi fruktosa dengan bantuan enzim glukoisomerase. Proses ini
berlangsung pada kolom isomerasi, suhu 60oC, dan pH 7,2-8,0. Untuk mencapai
hasil optimal, sirup glukosa yang akan diproses harus sesuai dengan kondisi kerja
enzim.

Gambar 2. Proses pembuatan sirup fruktosa

2.3 Mie Jagung

Mie merupakan makanan yang dikembangkan di daratan Cina. Bahan baku utama
dalam pembuatan mie adalah tepung terigu. Kini, mie mulai dikembangkan mie
berbahan baku non terigu seperti mie yang terbuat dari tepung beras, sorgum,
jagung, dan cassava. Mie jagung merupakan mie yang terbuat dari bahan baku
tepung jagung atau pati jagung yang dapat dibuat menjadi mie instan. Menurut
Juniawati (2003), pembuaan mie jagung dilakukan dengan beberapa tahapan
yaitu, pencampuran bahan, pengukusan pertama, pencetakan, pengukusan kedua,
dan pengeringan. Proses pengukusan pada pembuatan mie jagung bertujuan untuk
menggelatinisasi sebagian pati yang berperan sebagai pengikat adonan.

Pada pembuatan mie jagung dicampurkan tepung jagung, garam, air, dan bahan
pengembang. Penambahan air yang tepat pada pembuatan mie jagung berfungsi
untuk membentuk adonan yang dapat dibuat menjadi lembaran. Pada pembuatan
mie jagung ini ditambahkan garam sebanyak 1% dan bahan pengembang
sebanyak 0.3%. Mie jagung dibuat dengan dua kali pengukusan. Proses
pengukusan pertama dilakukan pada suhu 100O C selama 5 menit. Pada saat
pengukusan suspensi tepung dan air mengalami gelatinisasi pati. Saat proses
gelatinisasi, granula pati tepung akan mengembang karena molekul-molekul air
berpenetrasi masuk ke dalam granula pati dan terperangkap pada susunan
molekul-molekul amilosa dan amilopektin. Pengukusan pertama dilakukan untuk
menghasilkan massa adonan mudah untuk dicetak (Putra, 2008).

Setelah proses pengukusan, dihasilkan massa adonan yang kohesif dan cukup
elastis ketika diuleni. Massa adonan yang kohesif dan elastis ini, mudah dibuat
lembaran, mudah dicetak dan menghasilkan mie dengan tekstur yang halus dan
tidak mudah patah. Pencetakan atau pengepresan dilakukan untuk membentuk
adonan menjadi lembaran tipis yang halusdan kenyal dengan ketebalan 0.5 mm
yang kemudian dipotong menjadi untaian mie. Pengukusan kedua dilakukan pada
suhu 100O C selama 30 menit atau sampai mie terlihat tergelatinisasi sempurna.
Pengukusan kedua ini bertujuan untuk mematangkan adonan karena pada
pengukusan pertama proses gelatinisasi pati belum sempurna. Prosss pengeringan
mie dilakukan dengan menggunakan oven pada suhu 60-70o C selama 2-3 jam.
Prinsip proses pengeringan ini adalah menurunkan kadar air sehingga mie yang
dihasilkan memiliki kadar air yang rendah (kering) dan dapat disimpan lama.
Kadar air yang dapat dicapai dengan pengeringan ini adalah sekitar 10 %. Kadar
air yang dapat dicapai dengan pengeringan oven untuk mie jagung sekitar 11 %.
Tingkat kadar air ini telah memenuhi kriteria mutu mie instan dalam SNI yang
menyebutkan bahwa kadar air untuk mie instan dengan proses pengeringan oven
maksimal 14 % sedangkan dengan proses penggorengan maksimal 10 % (SNI,
1996).

Pada pengukusan pertama apabila mie langsung dikeringkan maka ketika dimasak
akan hancur karena apabila proses gelatinisasi belum cukup maka pati
tergelatinisasi yang mampu bertindak sebagai zat pengikat tidak dapat mengikat
secara sempurna partikel-partikel yang ada dalam bahan sehingga ketika dimasak
dalam air akan larut. Penyerapan air dan gelatinisasi terjadi pada saat pengukusan
kedua. Baking powder digunakan sebagai bahan pengembang yang dapat
membuat struktur bahan menjadi lebih berpori dan lebih mudah menyerap air.
Mie jagung mmiliki kadar serat yang lebih tinggi dibandingkan denga mie yang
terbuat dari tepung terigu.

Gambar 2. Proses pembuatan mie jagung

Tabel 2. Perbandingan kandungan mie jagng dan mie terigu

Nilai energi yang terdapat pada mie jagung lebih tinggi dibandingkan dengan
dengan nilai energi pada nasi, singkong, dan ubi jalar. Tingginya nilai energi yang
terdapat pada mie jagung instan menunjukkan bahwa produk tersebut dapat
dijadikan sebagai bahan pangan pokok alternatif pengganti nasi. Akan tetapi,
untuk keseimbangan konsumsi gizi, tetap dibutuhkan bahan pangan lain yang
dapat mencukupi kebutuhan gizi seperti protein hewani, sayuran dan buah-
buahan. Mie jagung instan juga mengandung serat makanan yang lebih tinggi
(6.80 %) dibandingkan dengan mie terigu (2.85 %).

Tabel 3. Perbandingan komposisi terhadap berbagai jenis mie

Pada Tabel 3 juga dapat dilihat bahwa protein yang terdapat pada produk mie
jagung instan juga lebih tinggi dibandingkan dengan bahan pangan lain kecuali
beras giling. Kandungan lemak mie jagung instan jauh lebih rendah dibandingkan
dengan kandungan lemak pada mie terigu instan. Rendahnya lemak (low fat) pada
mie jagung instan dapat menjadi nilai plus bagi produk tersebut. Tingginya kadar
lemak pada bahan pangan merupakan hal yang dihindari oleh kelompok
konsumen tertentu diantaranya karena dapat menimbulkan kegemukan.

Warna kuning pada mie jagung instan merupakan warna alami yang disebabkan
oleh pigmen kuning pada jagung yaitu beta karoten, lutein dan xanthin. Ketiga
pigmen tersebut termasuk dalam karotenoid. Di antara ratusan karotenoid yang
terdapat di alam, hanya bentuk alfa, beta, dan gamma yang tergolong
kriptosanthin yang berperan sebagai provitamin A. Beta karoten adalah bentuk
provitamin A yang paling aktif. Adanya beta karoten pada jagung menyebabkan
mie jagung instan tidak memerlukan pewarna. Warna mie jagung instan umumnya
lebih kuning dibandingkan dengan mie terigu instan.
2.3.1 Teknik pengolahan mie jagung dan karakteristiknya

Pengolahan mi jagung dapat dilakukan dengan beberapa teknik . Teknik- teknik


yang telah dikembangkan oleh peneliti adalah teknik kalendreing , ekstruksi , dan
gabungan antara teknik ekstruksi dengan teknik kalendering .

A. Teknik Kalendering
Teknik kalendering merupakan proses pembuatan mi jagung yang
dimodifikasi dari pembuatan mi terigu . Bahan bahan dicampur dan
adonan dibentuk menjadi lembaran tipis kemudian dipotong menjadi mi .
Pada teknik kalendering ini bahan baku yang digunakan dapat
dikelompokan menjadi dua yaitu :
1) Seluruh bahan adalah tepung jagung dan
2) Campuran tepung jagung dengan tepung terigu ( substitusi )

Mi dari tepung jagung yang dihasilkan dengan teknik kalendering


memiliki karakteristik yang belum sesuai dengan karakteristik mi yang
baik .Yaitu cooking loss yang rendah dan elongasi yang tinggi . Pada
pembuatan mi substitusi terigu , jaringan matriks struktur mi yang kokoh
dibentuk oeh kinerja protein gluten terigu ( gluten dan gliadin )yang
menerima tekanan dan pelumatan ketika pembentukan lembaran . Protein
ini meskipun secara alami merupakan individu yang terpisah dari pati
terigu , namun dengan adanya tekanan dan pelumatan akan membentuk
ikatan yang kuat .

B. Teknik Ekstruksi
Pembuatan mi kering jagung dengan bahan baku jagung ukuran tepung (
lolos ayakan 80 mesh ) dan maize meal ( lolos ayakan 40 mesh ) telah
dilakukan oleh Waniska et al.Jenis ekstruder yang digunakan adalah
ekstruder pencetak , memiliki 24 lubang die dengan diameter die 1,5 mm ,
chamber berukuran diameter 45 mm dan panjang 85 mm . Namun mi
jagung yang dihasilakan memiliki cooking loss yang terlalu tinggi yaitu
diatas 47 %.
Kelemahan pada teknik pembuatan mi dari tepung non terigu dengan
teknik pencetakan menggunakan ekstruder pasta adalah kesulitan untuk
memasukan adonan ke dalam zona pengumpanan di dalam ekstruder .
Kondisi ini terjadi karena adonan sudah digelatinisasi terlebih dahulu
sehingga memiliki sifat panas dan lengket . Kecepatan ulir bersifat konstan
( tidak dapat diatur ) dan disain ulir pada ekstruder pasta yang memiliki
permukaan halus menyebabkan adonan mengalami selip dan tidak
terdorong secara maksimal menuju die . Ulir tipe constant root ( besarnya
diameter sumbu ulir sama ) dengan jarak antar sayap ulir yang sama ,
sehingga tidak memiliki daerah kompresi ( pemampatan) .

C. Teknik Gabungan Ekstruksi dan Kalendring


Proses eksruksi dilakukan untuk memberikan efek tekanan ( kompresi )
dan sheer stress pada adonan mengalami pelumatan dan homogenisasi ,
tepung jagung mengalami pecah ( rupture ) , amilosa yang sebelumnya
telah keluar dari granula pati ( tetapi masih terjebak dalam granula tepung
) dapat menyebar keseluruh bagian adonan dan membentuk struktur
matriks yang kokoh melalui ikatan hydrogen ketika retrogradasi .
Mekanisme tersebut diperkuat oleh hasil penelitian yang menyebutkan
bahwa mi terbaik diperoleh dari adonan yang mengalami proses ekstruksi
sebanyak 3 kali ulangan melewati ekstruder . Jumlah ulangan yang kurang
menyebabkan rupture granula tepung belum terjadi secara sempurna .jika
ulangan dilanjutkan mutu mi akan menurun karena adonan menjadi dingin
dan kering Karena air keluar dari adonan . Adonan menjadi sangat keras
dan sulit untuk diproses menggunakan teknik kalendering ( Putra , 2008).
III. KESIMPULAN

Jagung merupakan salah satu produk pertanian yang dapat didiversifikasi dengan
pemanfaatan teknologi menjadi produk yang lebih unik dan memiliki daya jual
tinggi seperti pengolahan mie jagung, sirup jagung, dan jagung nikstamalisasi
DAFTAR PUSTAKA

Alam nur., dan Nurhaeni. 2008. Komposisi Kimia Dan Sifat Fungsional Pati

Jagung Berbagai Varietas Yang Diekstrak Dengan Pelarut Natrium

Bikarbonat. J. Agroland 15 (2) : 89 94.

Ajila, C.M., K. Leevathi, U.J.S. Prasada Rao. 2007. Improvement of dietary


fiber content and antioxidant properties in soft dough biscuits with the
incorporation of mango peel powder. Journal of Cereal Science 20: 1-8

BPS. 2005. Statistik Indonesia. Statistics Indonesia and Directorat General of


foodcrops. Jakarta

Gracia, C., Sugiyono, dan B. Haryanto. 2009. Kajian formulasi tepung jagung
dalam rangka substitusi tepung terigu. Jurnal Teknologi dan Industri Pangan
20(1):32-40.

Juniawati. 2003. Optimasi Proses Pengolahan Mie Jagung Instan Berdasarkan


Kajian Preferensi Konsumen. Skripsi. Departemen Teknologi Pangan dan
Gizi. Fakultas Teknologi Pertanian. Institute Pertanian Bogor. Bogor.

Mercier, C. and P. Colonna. 1988. Starch and enzymes : Innovations in the


products, process and uses. Biofutur. Chimic. p. 55-60.

Putra SN. 2008. Optimalisasi Formula dan Proses Pembuatan Mie Jagung
Metode Kalendering. Skripsi. Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan.
IPB. Bogor

Putri, S. 2011. Kajian Sifat Fisikokimia Tepung Jagung Nikstamal dan


Aplikasinya sebagai Bahan Baku Tortilla Chips. (Tesis). Universitas
Lampung. Bandar Lampung..
Standarisasi Nasional Indonesia. 1996. SNI 01-2974-1996 tentang Mi Kering.
Dewan Standardisasi Nasional.

Suarni. 2003. Jagung pulut: Pemanfaatan dan pengolahan sebagai pangan lokal
potensial di Sulawesi Selatan. Prosiding Seminar Nasional Teknologi
Tepat Guna Perteta dan LIPI. Bandung. p. 112-118.

Suarni. 2005a. Pengembangan produk kue kering berbasis tepung jagung dalam
rangka menunjang agroindustri. Prosiding Seminar Nasional Perteta, Fak.
Tek. Pertanian Unpad, TTG LIPI. p. 88-93.

Suarni. 2005b. Teknologi pembuatan kue kering (cookies) berserat tinggi dengan
penambahan bekatul jagung. Prosiding Seminar Nasional Teknologi
Inovatif Pascapanen untuk Pengembangan Industri Berbasis Pertanian. p.
521-526.

Rooney. L.W., S.O. Serna-Saldivar. 2003. Food Use of Whole Corn and Dry
Milled Fractions. American Association Of Cereal Chemist, Inc. St. Paul,
Minnesota, USA

Widianti, G.G. 2010. Pengaruh lama nikstamalisasi terhadap tualitas tortilla


chip. (Skripsi). Universitas Lampung. Bandar Lampung

Anda mungkin juga menyukai