Anda di halaman 1dari 22

LAPORAN PRAKTIKUM

TEKNOLOGI PATI DAN GULA


“Pembuatan Gula Cair dari Pati Sagu“

OLEH:

NAMA : SITTI HAJAR


STAMBUK : Q1A1 15 117
KELOMPOK : I (Satu)
KELAS : Q1A1-B

JURUSAN ILMU DAN TAKNOLOGI PANGAN


FAKULTAS TEKNOLOGI DAN INDUSTRI PERTANIAN
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2018
I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Permasalahan pangan merupakan hal yang sangat kompleks dalam

kehidupan manusia. Bahan pangan ini harus dipenuhi untuk kelangsungan hidup

manusia itu sendiri. Indonesia merupakan salah satu negara dengan penduduk

terbanyak di dunia, tentu memerlukan bahan pangan yang banyak pula. Sehingga

dalam pemenuhan bahan pangan, berbagai cara dilakukan seperti penggunaan

bibit unggul sampai perluasan lahan produksi. Bahkan jika produksi dalam negeri

tidak mencukupi kebutuhan pangan nasional, impor pun menjadi jalan terakhir.

Indonesia sendiri masih tergantung pada impor untuk lima bahan pokok, salah

satunya adalah gula.

Produksi gula dalam negeri masih belum mampu memenuhi kebutuhan

gula nasional, apalagi di Indonesia para produsen gula masih mengeluhkan biaya

produksi yang mahal dan hasilnya pun belum mampu  bersaing dengan gula impor

baik dalam kualitas maupun kuantitas. Pemanis alternatif yang berpotensi adalah

gula cair. Gula cair mudah dibuat dari hidrolisis pati. Sumber pati pun melimpah

seperti singkong dan sagu. Namun, sumber pati tidak hanya terdapat pada daging

singkongnya saja, tetapi juga ada dalam kulit singkong dan pada sagu. Pada

penelitian kali ini dilakukan pembuatan gula cair dengan menggunakan pati sagu.

Sagu (Metroxylon sp.) merupakan salah satu jenis tanaman yang telah

lama di kenal dan dibudidayakan oleh petani indonesia. Sagu (Metroxylon sp.)

diduga berasal dari Maluku dan Irian. Belum ada data yang pasti yang

mengungkapkan kapan awal mula sagu ini dikenal. Di Indonesia bagian timur,
sagu sejak lama digunakan sebagai makanan pokok oleh sebagian penduduknya,

misalnya di daerah Maluku sagu diolah menjadi papedapapeda, di Maluku Utara

sagu digunakan sebagai bahan baku pembuatan kue bagea sedangkan di Sulawesi

Tenggara (Kendari) sagu diolah menjadi tepung sagu, sinonggi, dan bahan pangan

olahan lainnya. Sulawesi Tenggara merupakan salah satu provinsi penghasil sagu

dengan luas area 5.607 hektar (BPPS, 2008). Pengolahan sagu umumnya

dilakukan secara tradisional yaitu batang sagu ditebang, selanjutnya pemerasan

dengan penambahan air, dan penyaringan untuk memisahkan pati dari ampasnya.

Ampas sagu selama ini belum dimanfaatkan, hanya dibuang dan menjadi limbah

(Awg-Adeni et all., 2010).

Pati sagu dapat dijadikan gula cair dengan cara menghidrolisis pati

menggunakan enzim (Akyuni 2004). Produksi gula dari pati sagu dengan

hidrolisis secara enzimatis mempunyai keunggulan yaitu kemudahan proses

produksi dan biaya proses lebih murah. Pati sagu yang digunakan pada penelitian

Akyuni (2004) masih belum spesifik tempat sehingga perlu dilakukan penelitian

pembuatan gula cair sagu asal Sorong Selatan.

1.2. Tujuan

Tujuan dari praktikum ini adalah untuk menentukan tingkat kesukaan

terhadap cair yang diproduksi dari pati sagu.


II. TINJAUAN PUSTAKA

Sagu (Metroxylon sp.) merupakan salah satu jenis tanaman yang telah

lama di kenal dan dibudidayakan oleh petani indonesia. Sagu (Metroxylon sp.)

diduga berasal dari Maluku dan Irian. Belum ada data yang pasti yang

mengungkapkan kapan awal mula sagu ini dikenal. Di Indonesia bagian timur,

sagu sejak lama digunakan sebagai makanan pokok oleh sebagian penduduknya,

misalnya di daerah Maluku sagu diolah menjadi papedapapeda, di Maluku Utara

sagu digunakan sebagai bahan baku pembuatan kue bagea sedangkan di Sulawesi

Tenggara (Kendari) sagu diolah menjadi tepung sagu, sinonggi, dan bahan pangan

olahan lainnya. Sulawesi Tenggara merupakan salah satu provinsi penghasil sagu

dengan luas area 5.607 hektar (BPPS, 2008). Pengolahan sagu umumnya

dilakukan secara tradisional yaitu batang sagu ditebang, selanjutnya pemerasan

dengan penambahan air, dan penyaringan untuk memisahkan pati dari ampasnya.

Ampas sagu selama ini belum dimanfaatkan, hanya dibuang dan menjadi limbah

(Awg-Adeni et all., 2010).

Pati sagu merupakan salah satu bentuk karbohidrat yang dapat

diaplikasikan secara luas dalam berbagai industri dan sangat tergantung pada

karakteristik fisikokimia dan fungsionalnya. Karakteristik fisikokimia pati secara

spesifik bergantung pada sumber asal dan cara pengolahannya, misalnya bentuk

dan ukuran granula pati, warna, serta komposisi amilosa dan amilopektinnya.

Komponen amilosa berkaitan dengan daya serap air dan kesempurnaan proses

gelatinisasi produk, sedangkan komponen amilopektin akan sangat menentukan

swelling power dan kelarutan pati. Kandungan amilosa yang tinggi juga
berpotensi digunakan sebagai bahan baku produk-produk instan. Salah satu

karakteristik penting produk-produk instan adalah kemampuan rehidrasi produk

(Tarigan dan Ariningsih, 2007).

Pembuatan glukosa dari bahan baku pati dapat dilakukan dengan proses

hidrolisis pati. Hidrolisis pati digunakan untuk proses pemecahan pati menjadi

senyawa-senyawa yang lebih sederhana dengan komponen utamanya adalah

glukosa. Proses hidrolisis tersebut dapat memantafkan peranan enzim

penghidrolisis. Hidrolisis pati dengan enzim mempunyai keuntungan apabila

dibandingkan dengan cara perebusan asam, yaitu menghasilkan produk yang lebih

murni (Salma,2016).

Proses produksi glukosa melalui hidrolisis enzimatis terdiri atas tahap

likuifikasi dan tahap sakarifikasi. Proses likuifikasi merupakan proses pencairan

gel pati dengan menggunakan enzim α-amilase yang menghidrolisis pati menjadi

molekul-molekul yang lebih sederhana dari oligosakarida atau dekstrin (Maksum

et al. 2001). Enzim α-amilase merupakan enzim yang menghidrolisis secara khas

melalui bagian dalam (endo-hydrolase) dengan memproduksi oligosakarida dari

konfigurasi alfa yang memutus ikatan α- (1,4) glikosidik pada amilosa,

amilopektin dan glikogen. Ikatan α-(1,6) glikosidik tidak dapat diputus oleh α-

amilase, tetapi dapat dibuat menjadi cabang-cabang yang lebih pendek (Fridayani

2006).

Proses kedua yaitu sakarifikasi. Proses tersebut merupakan proses

pemecahan pati menjadi gula reduksi menggunakan enzim glukoamilase.

Glukoamilase dikenal juga dengan amiloglukosidase (AMG) atau α-1,4-D-glukan


glukohidrolase yang bersifat eksoamilase, yaitu dapat memutus rantai pati

menjadi molekul-molekul glukosa pada bagian tak mereduksi baik pada ikatan α-

1,4 maupun α-1,6. Enzim glukoamilase dapat menginversi konfigurasi dari rantai

yang pecah dan dapat memecah ikatan α-(1,6), α-(1,3), α- (1,2) dan α-(1,1)

glikosidik, meskipun kecepatan pemecahannya lebih rendah dibandingkan pada

pemotongan ikatan α-(1,4) glikosidik (Budiyanto et al. 2006).


III. METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Tempat dan Waktu Pelaksanaan

Prakikum pembuatan gula cair dari pati sagu ini dilaksanakan di

Laboratorium Teknologi Pangan, Fakultas Pertanian, Universitas Halu Oleo pada

tanggal 09 Juni 2018 pada pukul 13.30 WITA – 15.00 WITA.

3.2. Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan pada praktikum ini adalah enzim α-Amilase, Enzim

Glukoamilase, pati sagu, dan air. Dan adapun alat yang digunakan adalah pipet

tetes, gelas ukur, baskom, wajan, sendok, pengaduk, kompor, timbangan analitik,

gelas kimia, dan botol plasik.


3.3. Prosedur Kerja

Prosedur kerja pada praktikum pembuatan gula cair dari pati sagu ini

adalah sebagai berikut :

Pati sagu

Ditambahkan sebanyak 100 gr

Ditambahkan air sebanyak 1000 ml

Ditambahkan enzim α-amilase


sebanyak 1ml

Diaduk hingga pati sagu, air dan


enzim α-amilase menjadi homogen

Dimasak

Didinginkan

Ditambahkan enzim
glukoamilase

Diinkubasi selama 48 jam

Gula cair
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil

Hasil dari praktikum Pembuatan gula cair dari pati sagu, sebagai berikut:

a. Kualitas warna gula cair

Tabel Kualitas warna gula cair

No

. Konsentrasi Enzim Gambar

1. 1 ml

2. 1,5 ml

3. 2 ml
4. 2,5 ml

b. Total Padatan Terlarut gula cair

Table total padatan terlarut gula cair

No Konsentrasi enzim
Total padatan terlarut (TPT)

1 1 ml >12 mg/L

2 1,5 ml >10 mg/L

3 2 ml >10 mg/L

4 2,5 ml 10,3 mg/L

c. Hasil Uji organoleptik sensorik

Tabel Penilaian sensorik (kualitas) Aroma

NO. Konsentrasi Sangat Berbau Netral Tidak Sangat


enzim berbau sagu (%) (%) berbau tidak
sagu sagu (%) berbau
(%) sagu (%)
1. 1 ml 0 0 20 80 0
2. 1,5 ml 0 20 50 30 0
3. 2 ml 0 0 30 70 0
4. 2,5 ml 0 90 10 0 0
Diagram 1. Penilaian sensorik (kualitas) Aroma
100
90
80
70
60
50 1 ml
40 1,5 ml
30
20 2 ml
10 2,5 ml
0
Sangat Berbau sagu Netral (%) Tidak berbau Sangat tidak
berbau sagu (%) sagu (%) berbau sagu
(%) (%)

Tabel Penilaian sensorik (kualitas) Rasa

NO. Konsentras Sangat manis (%) Agak Tidak Sangat


i enzim manis manis(%) manis tidak
(%) (%) manis (%)
1. 1 ml
0 40 60 0 0
2. 1,5 ml
0 80 20 0 0
3. 2 ml
0 30 70 0 0
4. 2,5 ml
0 10 90 0 0

Diagram 2. Penilaian sensorik (kualitas) rasa


100
90
80
70
60
50 1 ml
40 1,5 ml
30 2 ml
20 2,5 ml
10
0
Sangat manis manis (%) Agak Tidak manis Sangat tidak
(%) manis(%) (%) manis (%)
Tabel penilaian sensorik (kualitas) warna

NO. Konsentras Sangat menarik Netral Tidak Sangat


i enzim menarik (%) (%) menarik tidak
(%) (%) menarik
(%)
1. 1 ml
0 0 70 30 0
2. 1,5 ml
0 20 80 0 0
3. 2 ml
0 60 40 0 0
4. 2,5 ml
0 10 90 0 0

Diagram 3. Penilaian sensorik (kualitas) warna


100
90
80
70
60
50 1 ml
40 1,5 ml
30 2 ml
20 2,5 ml
10
0
Sangat menarik (%) Netral (%) Tidak Sangat tidak
menarik (%) menarik (%) menarik (%)

Tabel penilaian sensorik (kualitas) kekentalan

NO Konsentras Sangat kental (%) Agak Tidak Sangat


i enzim kental kental kental (%) tidak kental
. (%) (%) (%)
1. 1 ml 0 0 0 80 20
2. 1,5 ml 0 0 0 100 0
3. 2 ml 0 0 0 60 40
4. 2,5 ml 0 0 0 0 100

Diagram 4. Penilaian sensorik (kualitas) kekentalan


120
100
80
60 1 ml
1,5 ml
40 2 ml
20 2,5 ml

0
Sangat kental kental (%) Agak kental Tidak kental Sangat tidak
(%) (%) (%) kental (%)

d. Hasil uji organoleptik hedonik

Tabel penilaian hedonik (kualitas) aroma

NO Konsentras Sangat suka (%) Agak Tidak suka Sangat


i enzim suka suka (%) tidak suka
. (%) (%) (%)
1. 1 ml 0 80 20 0 0
2. 1,5 ml 0 30 50 20 0
3. 2 ml 0 70 30 0 0
4. 2,5 ml 0 0 10 90 0

Diagram 5. Penilaian hedonik (kualitas) Aroma


100
90
80
70
60
50 1 ml
40 1,5 ml
30 2 ml
20 2,5 ml
10
0
Sangat suka suka (%) Agak suka Tidak suka Sangat tidak
(%) (%) (%) suka (%)

Tabel penilaian hedonik (kualitas) rasa

NO. Konsentras Sangat suka (%) Agak Tidak suka Sangat


i enzim suka suka (%) tidak suka
(%) (%) (%)
1. 1 ml 0 0 80 20 0
2. 1,5 ml 20 80 0 0 0
3. 2 ml 0 0 60 40 0
4. 2,5 ml 0 0 10 90 0

Diagram 6. Penilaian hedonik (kualitas) rasa


100
90
80
70
60
50 1 ml
40 1,5 ml
30 2 ml
20 2,5 ml
10
0
Sangat suka suka (%) Agak suka Tidak suka Sangat tidak
(%) (%) (%) suka (%)

Tabel penilaian hedonik (kualitas) warna

NO. Konsentrasi Sangat suka (%) Agak Tidak suka Sangat


enzim suka suka (%) tidak suka
(%) (%) (%)
1. 1 ml 0 0 70 30 0
2. 1,5 ml 0 0 100 0 0
3. 2 ml 0 60 40 0 0
4. 2,5 ml 0 10 90 0 0

Diagram 7. Penilaian hedonik (kualitas) warna


120
100
80
60
40
1 ml
20
1,5 ml
0
2 ml
2,5 ml

Tabel penilaian hedonik (kualitas) kekentalan

NO. Konsentras Sangat suka (%) Agak Tidak suka Sangat


i enzim suka suka (%) tidak suka
(%) (%) (%)
1. 1 ml 0 0 0 80 20
2. 1,5 ml 0 0 0 100 0
3. 2 ml 0 0 0 60 40
4. 2,5 ml 0 0 0 0 100

Diagram 8. Penilaian sensorik (kualitas) kekentalan


120

100

80

60 1 ml
1,5 ml
40 2 ml
2,5 ml
20

0
Sangat suka suka (%) Agak suka Tidak suka Sangat tidak
(%) (%) (%) suka (%)

4.2. Pembahasan

Sagu merupakan pati yang diperoleh melalui hasil tahapan proses ekstraksi

empulur sagu dengan bantuan air sebagai perantara. Tahapan proses pengolahan
pati sagu meliputi: penebangan pohon, pemotongan dan pembelahan, penokokkan

atau pemarutan, pemerasan, penyaringan, pengendapan dan pengemasan. Pati

sagu yang masih basah kemudian dicuci dan dikeringkan. Pati sagu asal Sulawesi

Tenggara memiliki karakteristik fisik yaitu: berbentuk serbuk halus, bewarna

putih, rasa normal khas sagu, aroma normal khas sagu.

Rasa merupakan persepsi dari sel pengecap meliputi rasa asin, manis,

asam, dan pahit yang diakibatkan oleh bahan yang mudah terlarut dalam mulut

(Meilgaard, et al., 1999). Aroma merupakan faktor yang sangat penting untuk

menentukan tingkat penerimaan konsumen terhadap suatu produk, sebab sebelum

dimakan biasanya konsumen terlebih dahulu mencium aroma dari produk tersebut

untuk menilai layak tidaknya produk tersebut untuk dimakan. Menurut Soekarto

(2000) aroma pada makanan merupakan salah satu faktor yang menentukan

kelezatan makanan yang berkaitan dengan indera penciuman.

Warna merupakan komponen yang sangat penting dalam menentukan

kualitas atau derajat penerimaan dari suatu bahan pangan. Selain sebagai faktor

yang ikut menentukan mutu, warna juga dapat digunakan sebagai indikator

kesegaran atau kematangan (Winarno, 2004). Analisis nilai gizi dilakukan untuk

mengetahui kandungan gizi suatu bahan pangan atau produk makanan seperti

kadar air, kadar abu, kadar glukosa dan total padatan. Kadar air sangat

berpengaruh terhadap mutu bahan pangan, sebab air merupakan salah satu faktor

pembatas dalam penyimpanan bahan pangan. Semakin tinggi kadar air dalam

bahan pangan, maka daya simpan bahan pangan semakin rendah. Pembuatan

glukosa pada penelitian ini menggunakan metode enzimatis, semakin lama proses
hidrolisis maka gula reduksi akan semakin besar, namun jika terlalu lama dan

semakin banyak penambahan enzim maka terjadi penurunan kadar gula glukosa,

hal ini dapat disebabkan adanya reaksi browning atau dehidrasi glukosa (Triyono,

2009). Kadar glukosa memiliki standar baku pada hasil sirup glukosa yang

dihasilkan yaitu minimal sebesar 30% menurut SNI. Dapat diketahui bahwa kadar

glukosa pati sagu dan ampas sagu pada setiap perlakuan menunjukkan kadar

glukosa yang mencapai standar minimum yang sudah ditetapkan oleh SNI.

Pembuatan gula cair digunakan pati sagu sebanyak 100 gram didapat

dengan menggunakana konsentrasi enzim α-amilase sebanyak 1 ml, 1,5 ml, 2,0

ml, dan 2,5 ml. Suhu optimum yang digunakan untuk bereaksi adalah 95 oC dan

pH 6.

Proses likuifikasi merupakan proses pencairan gel pati dengan

menggunakan enzim α-amilase yang menghidrolisis pati menjadi molekul-

molekul yang lebih sederhana dari oligosakarida atau dekstrin. Enzim α-amilase

merupakan enzim yang menghidrolisis secara khas melalui bagian dalam (endo-

hydrolase) dengan memproduksi oligosakarida dari konfigurasi alfa yang

memutus ikatan α- (1,4) glikosidik pada amilosa, amilopektin dan glikogen.

Ikatan α-(1,6) glikosidik tidak dapat diputus oleh α-amilase, tetapi dapat dibuat

menjadi cabang-cabang yang lebih pendek. Pemutusan pati oleh α-amilase

dilakukan secara acak.

Proses skarifikasi adalah proses pemecahan pati menjadi gula reduksi

menggunakan enzim glukoamilase sebanyak 1 ml pada suhu 50 oC dengan

menggunakan pH optimum yaitu 4,5 kemudian di inkubasi selama 48 jam.


Glukoamilase dikenal juga dengan amiloglukosidase (AMG) atau α-1,4-D-glukan

glukohidrolase yang bersifat eksoamilase, yaitu dapat memutus rantai pati

menjadi molekul-molekul glukosa pada bagian tak mereduksi baik pada ikatan α-

1,4 maupun α-1,6. Hasil penelitian Budiyanto et al. (2006) proses sakarifikasi

optimum pada waktu 48 jam dengan konsentrasi enzim 1 mL kg-1 pati. Kisaran

pH optimum proses sakarifikasi sebesar 4.5 dengan suhu 50 °C.

Hasil penialain sensorik pada aroma gula cair tertinggi pada konsentrasi

2,5 ml dengan aroma berbau sagu dibandingkan dengan konsentrasi 1 ml, 1,5 ml,

2 ml. Kemudian penilaian sensorik terhadap rasa paling tertinggi dengan

konsentrasi 2,5 ml dengan penilaian agak manis. Sementara penilaian sensorik

terhadap warna paling tertinggi pada konsentrasi 2,5 ml dengan penilaian warna

netral. Sedangkan penilaian sensorik pada kekentalan paling tertinggi pada

konsentrasi 1,5 ml dan 2,5 ml dengan penilaian tidak kental dan sangat tidak

kental.

Hasil total padatan terlarut (TPT) dengan menggunakan konsentrasi enzim

yang berbeda dihasilkan pada kosentrasi enzim 1ml di hasilkan total padatan

terlarut sebesar >12 mg/L, dengan konsentrasi enzim 1,5 ml di dapatkan total

padatan terlarut sebesar >10 ml/L, konsentrasi enzim 2 ml didapatkan total

padatan terlarut sebesar >10 mg/L, dan pada konsentrasi 2,5 ml didaptkan total

padatan terlarut sebesar >10,3 mg/L. Dapat dilihat bahawa penambahan enzim

berpengaruh terhadap total padatan terlarut yang di hasilkan.

Hasil penialain hedonik pada aroma gula cair tertinggi pada konsentrasi

2,5 ml dengan aroma tidak suka. Kemudian penilaian hedonik terhadap rasa
paling tertinggi dengan konsentrasi 2,5 ml dengan penilaian tidak suka. Sementara

penilaian hedonik terhadap warna paling tertinggi pada konsentrasi 1,5 ml dengan

penilaian warna agak suka. Sedangkan penilaian hedonik pada kekentalan paling

tertinggi pada konsentrasi 1,5 ml dan 2,5 ml dengan penilaian tidak suka dan

sangat tidak suka.

V. PENUTUP

5.1. Kesimpulan

kesimpulan dari praktikum pembuatan gula cair dari pati sagu adalah hasil

penialain sensorik pada aroma gula cair tertinggi pada konsentrasi 2,5 ml dengan
aroma berbau sagu. Kemudian penilaian sensorik terhadap rasa paling tertinggi

dengan konsentrasi 2,5 ml dengan penilaian agak manis. Sementara penilaian

sensorik terhadap warna paling tertinggi pada konsentrasi 2,5 ml dengan penilaian

warna netral. Sedangkan penilaian sensorik pada kekentalan paling tertinggi pada

konsentrasi 1,5 ml dan 2,5 ml dengan penilaian tidak kental dan sangat tidak

kental. Hasil penialain hedonik pada aroma gula cair tertinggi pada konsentrasi

2,5 ml dengan aroma tidak suka. Kemudian penilaian hedonik terhadap rasa

paling tertinggi dengan konsentrasi 2,5 ml dengan penilaian tidak suka. Sementara

penilaian hedonik terhadap warna paling tertinggi pada konsentrasi 1,5 ml dengan

penilaian warna agak suka. Sedangkan penilaian hedonik pada kekentalan paling

tertinggi pada konsentrasi 1,5 ml dan 2,5 ml dengan penilaian tidak suka dan

sangat tidak suka. Hasil total padatan terlarut (TPT) bahawa penambahan enzim

berpengaruh terhadap total padatan terlarut yang di hasilkan.

5.2. Saran

Saran saya pada praktikum ini yaitu agar bahan- bahan praktikum lebih di

lengkapi lagi dan di sediakan oleh pihak LAB, agar praktikan tidak merasa

terbebani.

DAFTAR PUSTAKA

Awg-Adeni DS. Abd-Aziz S. Bujang K dan Hassan MA. (2010). Bioconversion


of sago residue into value added products. African Journal of
Biotechnology, 9(14), 2016-2021. BPPS. (2008). Keadaan Pertanian
Sulawesi Tenggara. Retrieved 1 April, 2012.
Budiyanto A, Pujoyuwono M, Richana N. 2006. Optimasi proses pembuatan sirup
glukosa skala pedesaan. Buletin Teknologi Pasca Panen. 2(1):28-35.

Fridayani. 2006. Produksi sirup glukosa dari pati sagu yang berasal dari beberapa
wilayah di Indonesia [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Soekarto TS. (2000). Metodologi Penelitian Organoleptik. Institut Pertanian


Bogor. Bogor

Salma U., Ansharullah., dan Muzuni. (2016). Pengaruh Penambhan Enzim Α-


Amilase Terhadap Karakteristik Sirup Glukosa dari Pati dan Ampas Sagu
(Metroxilon Sp) Dari Pengolahan Sagu Moramo Utara. Jurnal sains dan
teknologi pangan. Vol.1,No3.

Triyono, (2009). Komposisi gula glukosa dari hasil hidrolisis pati ubi jalar
(ipomea batatas L) dalam upaya pemanfaatan pati umbi-umbian B2TTG-
LIPI .Subang

Tarigan, H. dan Ariningsih, E., (2007), Peluang dan Kendala Pengembangan


Agroindustri Sagu di Kabupaten Jayapura, Prosiding Seminar Nasional,
Bogor, hal. 1-10.

Winarno, F. G., (2004), Kimia Pangan dan Gizi, PT. Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta.

LAMPIRAN

Anda mungkin juga menyukai