OLEH:
kehidupan manusia. Bahan pangan ini harus dipenuhi untuk kelangsungan hidup
manusia itu sendiri. Indonesia merupakan salah satu negara dengan penduduk
terbanyak di dunia, tentu memerlukan bahan pangan yang banyak pula. Sehingga
bibit unggul sampai perluasan lahan produksi. Bahkan jika produksi dalam negeri
tidak mencukupi kebutuhan pangan nasional, impor pun menjadi jalan terakhir.
Indonesia sendiri masih tergantung pada impor untuk lima bahan pokok, salah
gula nasional, apalagi di Indonesia para produsen gula masih mengeluhkan biaya
produksi yang mahal dan hasilnya pun belum mampu bersaing dengan gula impor
baik dalam kualitas maupun kuantitas. Pemanis alternatif yang berpotensi adalah
gula cair. Gula cair mudah dibuat dari hidrolisis pati. Sumber pati pun melimpah
seperti singkong dan sagu. Namun, sumber pati tidak hanya terdapat pada daging
singkongnya saja, tetapi juga ada dalam kulit singkong dan pada sagu. Pada
penelitian kali ini dilakukan pembuatan gula cair dengan menggunakan pati sagu.
Sagu (Metroxylon sp.) merupakan salah satu jenis tanaman yang telah
lama di kenal dan dibudidayakan oleh petani indonesia. Sagu (Metroxylon sp.)
diduga berasal dari Maluku dan Irian. Belum ada data yang pasti yang
mengungkapkan kapan awal mula sagu ini dikenal. Di Indonesia bagian timur,
sagu sejak lama digunakan sebagai makanan pokok oleh sebagian penduduknya,
sagu digunakan sebagai bahan baku pembuatan kue bagea sedangkan di Sulawesi
Tenggara (Kendari) sagu diolah menjadi tepung sagu, sinonggi, dan bahan pangan
olahan lainnya. Sulawesi Tenggara merupakan salah satu provinsi penghasil sagu
dengan luas area 5.607 hektar (BPPS, 2008). Pengolahan sagu umumnya
dengan penambahan air, dan penyaringan untuk memisahkan pati dari ampasnya.
Ampas sagu selama ini belum dimanfaatkan, hanya dibuang dan menjadi limbah
Pati sagu dapat dijadikan gula cair dengan cara menghidrolisis pati
menggunakan enzim (Akyuni 2004). Produksi gula dari pati sagu dengan
produksi dan biaya proses lebih murah. Pati sagu yang digunakan pada penelitian
Akyuni (2004) masih belum spesifik tempat sehingga perlu dilakukan penelitian
1.2. Tujuan
Sagu (Metroxylon sp.) merupakan salah satu jenis tanaman yang telah
lama di kenal dan dibudidayakan oleh petani indonesia. Sagu (Metroxylon sp.)
diduga berasal dari Maluku dan Irian. Belum ada data yang pasti yang
mengungkapkan kapan awal mula sagu ini dikenal. Di Indonesia bagian timur,
sagu sejak lama digunakan sebagai makanan pokok oleh sebagian penduduknya,
sagu digunakan sebagai bahan baku pembuatan kue bagea sedangkan di Sulawesi
Tenggara (Kendari) sagu diolah menjadi tepung sagu, sinonggi, dan bahan pangan
olahan lainnya. Sulawesi Tenggara merupakan salah satu provinsi penghasil sagu
dengan luas area 5.607 hektar (BPPS, 2008). Pengolahan sagu umumnya
dengan penambahan air, dan penyaringan untuk memisahkan pati dari ampasnya.
Ampas sagu selama ini belum dimanfaatkan, hanya dibuang dan menjadi limbah
diaplikasikan secara luas dalam berbagai industri dan sangat tergantung pada
spesifik bergantung pada sumber asal dan cara pengolahannya, misalnya bentuk
dan ukuran granula pati, warna, serta komposisi amilosa dan amilopektinnya.
Komponen amilosa berkaitan dengan daya serap air dan kesempurnaan proses
swelling power dan kelarutan pati. Kandungan amilosa yang tinggi juga
berpotensi digunakan sebagai bahan baku produk-produk instan. Salah satu
Pembuatan glukosa dari bahan baku pati dapat dilakukan dengan proses
hidrolisis pati. Hidrolisis pati digunakan untuk proses pemecahan pati menjadi
dibandingkan dengan cara perebusan asam, yaitu menghasilkan produk yang lebih
murni (Salma,2016).
gel pati dengan menggunakan enzim α-amilase yang menghidrolisis pati menjadi
et al. 2001). Enzim α-amilase merupakan enzim yang menghidrolisis secara khas
amilopektin dan glikogen. Ikatan α-(1,6) glikosidik tidak dapat diputus oleh α-
amilase, tetapi dapat dibuat menjadi cabang-cabang yang lebih pendek (Fridayani
2006).
menjadi molekul-molekul glukosa pada bagian tak mereduksi baik pada ikatan α-
1,4 maupun α-1,6. Enzim glukoamilase dapat menginversi konfigurasi dari rantai
yang pecah dan dapat memecah ikatan α-(1,6), α-(1,3), α- (1,2) dan α-(1,1)
Bahan yang digunakan pada praktikum ini adalah enzim α-Amilase, Enzim
Glukoamilase, pati sagu, dan air. Dan adapun alat yang digunakan adalah pipet
tetes, gelas ukur, baskom, wajan, sendok, pengaduk, kompor, timbangan analitik,
Prosedur kerja pada praktikum pembuatan gula cair dari pati sagu ini
Pati sagu
Dimasak
Didinginkan
Ditambahkan enzim
glukoamilase
Gula cair
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Hasil
Hasil dari praktikum Pembuatan gula cair dari pati sagu, sebagai berikut:
No
1. 1 ml
2. 1,5 ml
3. 2 ml
4. 2,5 ml
No Konsentrasi enzim
Total padatan terlarut (TPT)
1 1 ml >12 mg/L
3 2 ml >10 mg/L
0
Sangat kental kental (%) Agak kental Tidak kental Sangat tidak
(%) (%) (%) kental (%)
100
80
60 1 ml
1,5 ml
40 2 ml
2,5 ml
20
0
Sangat suka suka (%) Agak suka Tidak suka Sangat tidak
(%) (%) (%) suka (%)
4.2. Pembahasan
Sagu merupakan pati yang diperoleh melalui hasil tahapan proses ekstraksi
empulur sagu dengan bantuan air sebagai perantara. Tahapan proses pengolahan
pati sagu meliputi: penebangan pohon, pemotongan dan pembelahan, penokokkan
sagu yang masih basah kemudian dicuci dan dikeringkan. Pati sagu asal Sulawesi
Rasa merupakan persepsi dari sel pengecap meliputi rasa asin, manis,
asam, dan pahit yang diakibatkan oleh bahan yang mudah terlarut dalam mulut
(Meilgaard, et al., 1999). Aroma merupakan faktor yang sangat penting untuk
dimakan biasanya konsumen terlebih dahulu mencium aroma dari produk tersebut
untuk menilai layak tidaknya produk tersebut untuk dimakan. Menurut Soekarto
(2000) aroma pada makanan merupakan salah satu faktor yang menentukan
kualitas atau derajat penerimaan dari suatu bahan pangan. Selain sebagai faktor
yang ikut menentukan mutu, warna juga dapat digunakan sebagai indikator
kesegaran atau kematangan (Winarno, 2004). Analisis nilai gizi dilakukan untuk
mengetahui kandungan gizi suatu bahan pangan atau produk makanan seperti
kadar air, kadar abu, kadar glukosa dan total padatan. Kadar air sangat
berpengaruh terhadap mutu bahan pangan, sebab air merupakan salah satu faktor
pembatas dalam penyimpanan bahan pangan. Semakin tinggi kadar air dalam
bahan pangan, maka daya simpan bahan pangan semakin rendah. Pembuatan
glukosa pada penelitian ini menggunakan metode enzimatis, semakin lama proses
hidrolisis maka gula reduksi akan semakin besar, namun jika terlalu lama dan
semakin banyak penambahan enzim maka terjadi penurunan kadar gula glukosa,
hal ini dapat disebabkan adanya reaksi browning atau dehidrasi glukosa (Triyono,
2009). Kadar glukosa memiliki standar baku pada hasil sirup glukosa yang
dihasilkan yaitu minimal sebesar 30% menurut SNI. Dapat diketahui bahwa kadar
glukosa pati sagu dan ampas sagu pada setiap perlakuan menunjukkan kadar
glukosa yang mencapai standar minimum yang sudah ditetapkan oleh SNI.
Pembuatan gula cair digunakan pati sagu sebanyak 100 gram didapat
dengan menggunakana konsentrasi enzim α-amilase sebanyak 1 ml, 1,5 ml, 2,0
ml, dan 2,5 ml. Suhu optimum yang digunakan untuk bereaksi adalah 95 oC dan
pH 6.
molekul yang lebih sederhana dari oligosakarida atau dekstrin. Enzim α-amilase
merupakan enzim yang menghidrolisis secara khas melalui bagian dalam (endo-
Ikatan α-(1,6) glikosidik tidak dapat diputus oleh α-amilase, tetapi dapat dibuat
menjadi molekul-molekul glukosa pada bagian tak mereduksi baik pada ikatan α-
1,4 maupun α-1,6. Hasil penelitian Budiyanto et al. (2006) proses sakarifikasi
optimum pada waktu 48 jam dengan konsentrasi enzim 1 mL kg-1 pati. Kisaran
Hasil penialain sensorik pada aroma gula cair tertinggi pada konsentrasi
2,5 ml dengan aroma berbau sagu dibandingkan dengan konsentrasi 1 ml, 1,5 ml,
terhadap warna paling tertinggi pada konsentrasi 2,5 ml dengan penilaian warna
konsentrasi 1,5 ml dan 2,5 ml dengan penilaian tidak kental dan sangat tidak
kental.
yang berbeda dihasilkan pada kosentrasi enzim 1ml di hasilkan total padatan
terlarut sebesar >12 mg/L, dengan konsentrasi enzim 1,5 ml di dapatkan total
padatan terlarut sebesar >10 mg/L, dan pada konsentrasi 2,5 ml didaptkan total
padatan terlarut sebesar >10,3 mg/L. Dapat dilihat bahawa penambahan enzim
Hasil penialain hedonik pada aroma gula cair tertinggi pada konsentrasi
2,5 ml dengan aroma tidak suka. Kemudian penilaian hedonik terhadap rasa
paling tertinggi dengan konsentrasi 2,5 ml dengan penilaian tidak suka. Sementara
penilaian hedonik terhadap warna paling tertinggi pada konsentrasi 1,5 ml dengan
penilaian warna agak suka. Sedangkan penilaian hedonik pada kekentalan paling
tertinggi pada konsentrasi 1,5 ml dan 2,5 ml dengan penilaian tidak suka dan
V. PENUTUP
5.1. Kesimpulan
kesimpulan dari praktikum pembuatan gula cair dari pati sagu adalah hasil
penialain sensorik pada aroma gula cair tertinggi pada konsentrasi 2,5 ml dengan
aroma berbau sagu. Kemudian penilaian sensorik terhadap rasa paling tertinggi
sensorik terhadap warna paling tertinggi pada konsentrasi 2,5 ml dengan penilaian
warna netral. Sedangkan penilaian sensorik pada kekentalan paling tertinggi pada
konsentrasi 1,5 ml dan 2,5 ml dengan penilaian tidak kental dan sangat tidak
kental. Hasil penialain hedonik pada aroma gula cair tertinggi pada konsentrasi
2,5 ml dengan aroma tidak suka. Kemudian penilaian hedonik terhadap rasa
paling tertinggi dengan konsentrasi 2,5 ml dengan penilaian tidak suka. Sementara
penilaian hedonik terhadap warna paling tertinggi pada konsentrasi 1,5 ml dengan
penilaian warna agak suka. Sedangkan penilaian hedonik pada kekentalan paling
tertinggi pada konsentrasi 1,5 ml dan 2,5 ml dengan penilaian tidak suka dan
sangat tidak suka. Hasil total padatan terlarut (TPT) bahawa penambahan enzim
5.2. Saran
Saran saya pada praktikum ini yaitu agar bahan- bahan praktikum lebih di
lengkapi lagi dan di sediakan oleh pihak LAB, agar praktikan tidak merasa
terbebani.
DAFTAR PUSTAKA
Fridayani. 2006. Produksi sirup glukosa dari pati sagu yang berasal dari beberapa
wilayah di Indonesia [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Triyono, (2009). Komposisi gula glukosa dari hasil hidrolisis pati ubi jalar
(ipomea batatas L) dalam upaya pemanfaatan pati umbi-umbian B2TTG-
LIPI .Subang
Winarno, F. G., (2004), Kimia Pangan dan Gizi, PT. Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta.
LAMPIRAN