Anda di halaman 1dari 7

Sukrosa adalah jenis gula terbanyak di alam, diperoleh dari ekstraksi batang

tebu, umbi beet, nira palem dan nira pohon kelapa. Jenis gula ini paling banyak
dikonsumsi dalam rumah tangga, rumah makan, catering dan sebagainya. Sukrosa lebih
dikenal sebagai gula pasir. Sebuah molekul sukrosa terdiri dari 2 molekul gula yaitu satu
molekul glukosa dan satu molekul fruktosa. Oleh pemberian zat kimia (asam) molekul
sukrosa pecah menjadi dua molekul tersebut. Sukrosa tidak mempunyai gugus OH
bebas yang reaktif karena keduanya sudah saling terikat, sedangkan laktosa mempunyai
OH bebas pada atom C no. 1 pada gugus glukosanya. Karena itu, laktosa bersifat
pereduksi sedangkan sukrosa bersifat non pereduksi. Sukrosa adalah oligosakarida yang
berperan penting dalam pengolahan makanan dan banyak terdapat pada tebu, bit,
siwalan, dan kelapa kopyor. Reaksi hidrolisis ini biasa disebut dengan inversi karena
terjadi perubahan arah putaran optik.

Sukrosa + air D(+)glukosa + D(-)fruktosa


[a]D = +66,50 [a]D = +52,50 [a]D = -920

[ a ] = - 200

Proses inversi glukosa menjadi gula invert dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu
suhu pemanasan, lama pemanasan dan konversi asam yang digunakan. Beberapa asam
yang dapat digunakan untuk menginversi sukrosa adalah HCl, H2SO, H3PO4, asam
tartarat, asam sitrat dan asam laktat. Masing-masing asam memiliki kekuatan inversi
yang berbeda tergantung dari kekuatan ionisasinya. Secara komersial, asam klorida
banyak digunakan untuk menghidrolisa sukrosa karena asam klorida mempunyai daya
inversi yang tinggi (Palungkun 1993).
Pada pembuatan sirup, gula pasir (sukrosa) dilarutkan dalam air dan dipanaskan,
sebagian sukrosa akan terurai menjadi glukosa dan fruktosa, yang disebut gula invert.
Gula invert tidak dapat berbentuk kristal karena kelarutan fruktosa dan glukosa sangat
besar. Ada dua cara pembuatan gula invert, yaitu dengan menghidrolisis sukrosa dengan
asam dan secara enzimatis menggunakan invertase (Junk dan Pancoast 1980). Kadar
gula pereduksi sirup gula invert ditentukan oleh kesempurnaan proses hidrolisis.
Apabila konsentrasi asam dan waktu hidrolisis berlebihan maka kadar gula
pereduksinya akan turun. Hal ini karena glukosa dan fruktosa yang telah terbentuk
selama hidrolisis pada suasana asam dan suhu tinggi dapat terurai menjadi senyawa lain
yang tidak diinginkan yaitu Hidroksimetil furfural, sehingga akan menurunkan kadar
gula pereduksi (Hall 1973).
Pada praktikum kali ini akan dilakukan praktikum untuk membuat gula invert.
Pembuatan gula invert ini dibuat dari gula pasir, gula kelapa, dan gula aren. Perlakuan
yang diberikan adalah pemberian asam yang berbeda yaitu asam kuat HCl dan asam
lemah asam tartarat. Asam digunakan untuk memecah ikatan antara glukosa dan
fruktosa yang membentuk sukrosa. Mula-mula gula yang berbentuk padatan dilarutkan
dengan aquades dan kemudian disaring untuk menghilangkan kotoran yang ada pada
gula. Kemudian, larutan gula itu dipanaskan pada suhu 100 0C untuk asam klorida dan
pada suhu 70 0C untuk gula yang ditambah asam tartarat. Suhu yang diberikan berbeda
karena asam kuat akan menghidrolisis sukrosa lebih cepat daripada asam lemah. Hal ini
dikarenakan sifat asam yang kuat akan jauh lebih cepat memecah ikatan yang ada pada
sukrosa. Larutan tadi dipanaskan selama 30 menit untuk gula yang dicampur asam

1
tartarat dan selama 1,5 jam untuk gula yang dicampur asam klorida. Setelah itu, larutan
diangkat dan ditunggu sampai hangat, lalu ditambah sodium bikarbonat. Penambahan
sodium bikarbonat yang bersifat basa adalah untuk menetralkan sifat asam pada larutan,
sehingga terbentuk garam.
Pada praktikum kali ini, pembuatan sirup gula invert dengan hidrolises asam lemah
dan asam kuat dilakukan dengan dua metode yakni metode asam tartarat dan metode
HCL. Setiap kelompok membuat sirup gula invert dari berbagai macam gula dan
metode yang digunakan, dengan kelompok 1 adalah gula pasir dan metode HCl,
kelompok 2 adalah gula kelapa dan metode HCl, kelompok 3 adalah gula aren dan
metode HCl, kelompok 4 adalah gula pasir dan metode asam tartarat, kelompok 5
adalah gula kelapa dengan metode asam tartarat, dan kelompok 6 dari gula aren dan
metode asam tartarat. Banyaknya gula pasir, gula kelapa, dan gula aren yang digunakan
masing-masing 100 gram, 100 gram, dan 500 gram. Dari hasil praktikum, sirup gula
invert yang dihasilkan masing-masing kelompok adalah 2,90%; -0.2%; 3.20%; 9,51%;
8%; 1.40%, dapat disimpulkan dengan metode asam tartarat lebih banyak volumenya
dibandingkan dengan metode HCL, tetapi hal ini berlawanan dengan literatur,
seharusnya daya inversi asam klorida (100%) yang lebih tinggi dari pada daya inversi
asam tartarat yang menyebabkan kadar gula HCl lebih tinggi dari asam tartarat (3.00%)
(Junk dan Pancoast 1980). Kadar gula pereduksi sirup gula invert ditentukan oleh
kesempurnaan proses hidrolisis. Apabila konsentrasi asam dan waktu hidrolisis
berlebihan maka kadar gulanya akan turun. Hal ini dikarenakan glukosa dan fruktosa
yang telah terbentuk selama hidrolisis pada suasana asam dan suhu tinggi dapat terurai
menjadi senyawa lain yang tidak diinginkan yaitu hidroksi metil sehingga akan
menurunkan kadar gula pereduksi (Hall 1973).
Hidrolisis merupakan reaksi pengikatan gugus hidroksil atau OH suatu senyawa.
Gugus OH dapat diperoleh dari senyawa air. Hidrolisis digolongkan menjadi hidrolisis
murni, hidrolisis asam, hirolisis katalis basa, gabunga alkali dengan air dan hidrolisis
dengan katalis enzim. Sedangkan berdasarkan fase reaksi yang terjadi diklasifikasikan
menjadi hidrolisis fase cair dan hidrolisis fase uap. Klasifikasi proses hidrolisa pada
umumnya dengan HCl dan H2SO4, dimana banyak digunakan pada industri bahan
pangan, contohnya adalah hidrolisa gluten menjadi monosodium glutamat, sedangkan
H2SO4 banyak digunakan pada hidrolisa senyawa organik dimana peranan H2SO4
tidak dapat diganti. Hidrolisa dengan senyawa enzim dapat digunakan untuk mengubah
bahan menjadi bahan hidrolisa lain seperti hidrolisa molase dengan enzim amilase.
Pembuatan produk hidrolisat pati sering dulakukan karena produk hidrolisat pati
memiliki banyak kegunaan terutama industri pangan seperti sirup glukosa. Proses
hidrolisis dasarnya adalah pemutusan rantai polimer pati menjadi unit-unit
monosakaroda (Nuri 2012).
Pada praktikum ini, kelompok 1 membuat maltodekstrin dari tapioka dengan
katalis asam, kelompok 2 membuat maltodekstri ndari tapioka dengan katalis asam
kelompok 3 membuat maltodekstrin dari maizena dengan asam, kelompok 4 membuat
maltodekstrin dari sagu dengan enzim, kelompok 5 membuat tapioka dengan katalis
enzim, dan kelompok 6 membuat sirup glukosa dari maizena dengan katalis enzim.
Pada praktikum ini dilakukan beberapa uji, antara lain total gula, total gula pereduksi,
nilai DE dan nilai DP.
Pada uji total gula diukur dengan menggunakan metode fenol. Dari hasil praktikum
uji fenol dilakukan pada sampel gula yang belum mengalami inversi untuk melihat
kandungan total gula yang terdapat di dalam larutan gula. Bahan yang digunakan untuk

2
pengujian ini adalah gula invert dan hasil produk hidrolisat pati. Deiketahui saat nilai
blanko (0), dari nilai tersebut, dapat digunakan untuk menentukan nilai konsentrasi total
gula yang dikandung oleh produk hidrolisat pati dengan menggunakan kurva standar
yang sebelumnya telah dibuat. Sehingga diperoleh nilai kandungan total gula.
Selanjutnya uji total gula pereduksi diukur dengan menggunakan metode DNS.
Berdasarkan nilai tersebut, dapat digunakan untuk menentukan nilai konsentrasi total
gula yang dikandung oleh produk hidrolisat pati dengan menggunakan kurva standar
yang sebelumnya telah dibuat.
Pada pengujian nilai DE dan DP, nilai DE diperoleh dari total gula dibagi dengan
total gula pereduksi dikali 100, sedangkan nilai DP diperoleh dari total gula dibagi total
gula pereduksi. Menurut Tjokroadikoesomo (1985) konversi asam umumnya terbatas
sampai DE 55, konversi yang melebihi 55 DE akan menghasilkan banyak zat warna dan
timbul rasa pahit. Hal ini disebabkan oleh perbedaan kosentrasi asam klorida dalam
perlakuan, asam klorida yang lebih kuat akan lebih kuat mendegradasi polisakarida
dalam bahan, sehingga nilai DP yang menunjukkan angka rata-rata unit monomer dalam
suatu molekul akan menurun dan mutu bahan yang digunakan sudah tidak layak.
Dalam analisis produk gula, terdapat beberapa uji yang dilakukan terhadap jenis-
jenis produk gula diantaranya adalah uji kekerasan gula, uji bagian yang tidak terlarut,
uji gula pereduksi (Luff Schroll), uji DNS, uji kadar sukrosa, dan tingkat hidrolisis gula.
Analisis tersebut dilakukan terhadap semua jenis gula yang sudah dibuat sebelumnya.
Mutu suatu jenis gula salah satunya ditentukan oleh adanya bagian yang tidak
larut dalam gula tersebut. Semakin banyak bahan-bahan yang tidak larut dalam gula
tersebut maka gula tersebut kurang berkualitas, begitu juga sebaliknya. Bagian yang
tidak larut dalam gula dapat diketahui dari proses separasi pada gula tersebut. Proses
separasi menggunakan bantuan kertas saring sebagai separator. Kertas saring ditimbang
terlebih dahulu dan dikeringkan dalam oven. Hal ini bertujuan untuk mengurangi kadar
air yang terkandung dalam kertas saring tersebut. Sebanyak 20 gram sampel gula
dilarutkan dalam 200 ml air panas kemudian aduk-aduk agar cepat larut. Kemudian
larutan gula disaring dengan kertas saring dalam erlenmeyer. Proses penyaringan
berlangsung cukup lama, karena konsentrasi gula yang pekat dan kerapatan kertas
saring yang digunakan. Gula yang lolos oleh kertas saring menjadi bagian yang larut,
sedangkan bahan-bahan yang tertinggal dalam kertas saring menjadi bagian yang tidak
larut. Kertas saring kemudian dioven kembali dalam oven pada suhu 105 0C selama 2
jam. Hal ini bertujuan agar air dalam kertas menguap sehingga hanya bahan padat yang
tertinggal. Kertas saring kemudian ditimbang kembali, selisih antara berat kertas saring
setelah penyaringan dengan kertas saring sebelum penyaringan menjadi berat bahan
yang tidak larut dalam air tersebut. Hasil perhitungan menunjukkan gula merah
mempunyai bagian yang tidak larut terbanyak diantara gula semut dan gula invert. Hal
ini dapat disebabkan pada proses pembuatan gula semut dan gula invert bahan baku
yang digunakan adalah gula cetak yang kemudian sudah disaring terlebih dahulu,
sehingga mengurangi bahan yang tidak larut dalam gula. Sedangkan dalam pembuatan
gula merah bahan baku yang digunakan adalah gula tebu dari ekstraksi tebu.
Kualitas warna gula dipengaruhi oleh tahap pemurnian dan suhu pemasakan.
Pada pH yang tinggi, gula reduksi (fruktosa dan galaktosa) akan pecah menjadi zat
warna yang menyebabkan warna menjadi gelap dan membentuk asam organik. Semakin
rendah suhu pemasakan dan netralnya Ph akan membuat warna gula menjadi lebih
terang (Latief et al. 2010). Pengukuran warna gula dilakukan dengan kromatometer
yang menunjukkan nilai L (kecerahan), a (warna merah-hijau) dan b (warna biru-

3
kuning). Tiga nilai tersebut lalu diplotkan dengan sebuah persamaan model linear untuk
mengetahui warna bahan yang di uji (Warsiki et al. 2013). Warna merah gula
ditunjukkan dengan nilai a yang positif (Erwinda dan Susanto 2014). Selain warna,
indikator mutu gula lainnya adalah bahan tidak terlarut. Menurut Pragita (2010) bahan
tidak larut merupakan kandungan padatan yang tidak bisa larut (kotoran) dalam gula.
Jika kadar bahan tidak larut tinggi, maka akan mempengaruhi bahan lain dalam gula.
Salah satu bahan tidak terlarut adalah bahan tambahan yang diberikan pada nira saat
hendak diolah.
Bagian yang tidak larut dalam air terdiri atas bahan-bahan an organik seperti
mineral, abu dan debu. Bahan-bahan tersebut dapat mengotori gula dari proses ekstraksi
hingga pemasakan berlangsung. Bahan-bahan tersebut dapat mengurangi kualitas gula
karena mengurangi rendemen gula yang dihasilkan. Mineral secara alami terdapat
dalam nira baik nira tebu maupun nira kelapa dan aren. Menurut SNI 01-6237-2000
bagian yang tidak larut dalam air yang diperbolehkan maksimal 1 % dari total berat gula
pada mutu I dan 5% pada mutu II.
Tabel Spesifikasi persyaratan mutu gula merah tebu
persyaratan
No. jenis uji satuan
mutu I mutu II
1 keadaan
bau - khas khas
rasa - khas khas
coklat muda sampai coklat muda
warna
- tua sampai tua
penampakan - tidak berjamur tidak berjamur
bagian yang tidak larut
2
dalam air % maks 1,0 maks 5,0
3 air % maks 8,0 maks 10,0
Gula (dihitung sebagai
4
sukrosa) % min 65 min 60
5 Gula pereduksi (glukosa) % maks 11 maks 14
bahan tambahan
6
(pengawet)
residu mg/kg maks 20 maks 20
benzoat mg/kg maks 200 maks 200
7 cemaran logam
timbal (Pb) mg/kg maks 2,0 maks 2,0
tembaga (Cu) mg/kg maks 2,0 maks 2,0
seng (Zn) mg/kg maks 40,0 maks 40,0
timah (Sn) mg/kg maks 40,0 maks 40,0
raksa (Hg) mg/kg maks 0,03 maks 0,03
8 cemaran arsen mg/kg maks 0,1 maks 0,1
Sumber : Badan Standardisasi Nasional (2000)

Berdasarkan penelitian Marsigit (2005), pemberian bahan tambahan seperti buah


safat, deterjen, biji jarak, dan campuran biji kemiri dengan minyak kelapa terbukti dapat
mempertahankan pH agar nira layak untuk diolah dibandingkan nira tanpa bahan

4
tambahan. Gula hasil pengolahan memiliki tingkat kekerasan yang berbeda. Gula merah
dapat menjadi semakin keras akibat sedikitnya kadar air, ada penambahan minyak,
penambahan pati dan gula pereduksi yang rendah. Tingginya jumlah gula pereduksi
menyebabkan nira sulit mengkristal, akibatnya gula menjadi lunak (Supardi 1993).
Kadar sukrosa akan menentukan mutu gula kelapa dan berhubungan juga dengan gula
pereduksi dalam gula. Semakin rendah sukrosa, maka jumlah gula reduksi semakin
meningkat. Hal ini akan mempengaruhi kandungan gula total. Keragaman kadar gula
reduksi bergantung pada kualitas nira. Kualitas nira dapat menurun akibat mikroba
maupun pH. Jumlah gula reduksi dapat bertambah karena pH yang rendah
menyebabkan nira terfermentasi dan rusak, akibatnya terjadi inversi sukrosa menjadi
gula reduksi (Pragita 2010).
Hasil pengamatan dalam analisa produk gula didapatkan secara urut untuk uji
warna, uji kekerasan, uji bagian yang tidak larut air, gula pereduksi (Luff Schroorl),
gula pereduksi (Metode DNS), kadar sukrosa dan kandungan total gula. Kelompok 1
didapatkan warna coklat tingkat 2, memiliki tingkat kekerasan sebesar 9, bagian yang
tidak larut dalam air sebesar 2,2831 gram, dengan gula pereduksi sebesar 2.90% (Luff
Shcrool) dan 0.502 (Metode DNS), kadar sukrosa sebesar 43%, dan kandungan total
gula sebesar 0.238. Kelompok 2 didapatkan warna coklat tingkat 2, bagian yang tidak
larut dalam air sebesar 2,059 gram, dengan gula pereduksi sebesar -0.2% (Luff Shcrool)
dan 0.438 (Metode DNS), kadar sukrosa sebesar 25.05%, dan kandungan total gula
sebesar 0.101. Kelompok 3 didapatkan warna coklat tingkat 3, bagian yang tidak larut
dalam air sebesar 2,2901 gram, dengan gula pereduksi sebesar 3.20% (Luff Shcrool)
dan 0.26 (Metode DNS), kadar sukrosa sebesar -1.4ml, dan kandungan total gula
sebesar 0.802. Kelompok 4 didapatkan warna coklat tingkat 5, bagian yang tidak larut
dalam air sebesar 2,46 gram, dengan gula pereduksi sebesar 9,51% (Luff Shcrool) dan
0.015 (Metode DNS), kadar sukrosa sebesar 27.05%, dan kandungan total gula sebesar
0.669. Kelompok 5 didapatkan warna coklat tingkat 4, bagian yang tidak larut dalam air
sebesar 2,5180 gram, dengan gula pereduksi sebesar 8% (Luff Shcrool) dan
0.028(Metode DNS), kadar sukrosa sebesar 27.05%, dan kandungan total gula sebesar
0.617 dan yang terakhir kelompok 6 didapatkan warna coklat tingkat 5, memiliki
tingkat kekerasan sebesar 5, bagian yang tidak larut dalam air sebesar 2,3632 gram,
dengan gula pereduksi sebesar 1.40% (Luff Shcrool) dan 0.037 (Metode DNS), kadar
sukrosa sebesar 3%, dan kandungan total gula sebesar 0.612.

Kesimpulan

Warna yang dihasilkan pada saat pengujian sampel relatif sama yaitu berwarna
coklat. Warna tersebut muncul karena ada kandungan proteinnya. Semakin tinggi
konsentrasi protein semakin gelap warnanya. Kadar gula pereduksi tertinggi untuk
sampel gula merah yaitu dari kelompok 4 dengan gula pereduksi sebesar 9.51%.
pemakaian tiosulfat akan menghasilkan I2 bebas. I2 bebas merupakan dasar penetapan
banyaknya gula monosakarida (pereduksi) dalam bahan. Kadar sukrosa tertinggi ada
pada bahan tebu bagian atas. Sukrosa yang ada belum terkonversi menjadi glukosa dan
fruktosa. Hasil dari tingkat hidrolisis yang tertinggi ada pada tebu bagian bawah.
Semakin banyak larutan asam yang digunakan maka akan semakin banyak kandungan
glukosa dan fruktosa yang dihasilkan dalam larutan.

5
Pembuatan sirup gula invert dengan hidrolisis asam dilakukan dengan dua
metode yakni metode asam tartarat dan asam HCl. Gula invert yang dihasilkan dengan
metode HCl lebih banyak volumenya dibandingkan dengan metode asam tartarat karena
daya inversi HCl yang lebih tinggi daripada inversi asam tartarat.

Saran
Pada praktikum kali membutuhkan suatu ketelitian dan ketekunan dalam
membuat, mengolah dan menguji bahan yang akan diuji. Selain itu, praktikan harus
menjaga kesterilan dari bahan yang akan diuji. Rentang waktu antara pembuatan produk
dan pengujiannya cukup lama. Oleh karena itu, produk yang telah dibuat dan akan diuji
harus dijaga kondisi penyimpanannya agar karakteristiknya tidak berubah. Karena
menggunakan bahan kimia, maka diperlukan kehati-hatian agar tidak terjadi hal-hal
yang tidak diinginkan. Praktikan diharapkan dapat melakukan praktikum dengan benar
dan sesuai dengan metode percobaan sehingga tingkat kesalahan pada data hasil
praktikum dapat diminimalisasi.

Daftar Pustaka
Anonim. 2013. Kadar gula pereduksi dan non pereduksi [internet]. Diunduh pada 17
April 2015. Tersedia pada:
http://organiksmakma3a12.blogspot.com/2013/03/kadar-gula-pereduksi-dan-
non-pereduksi.html
Erwinda MD dan Susanto WH. 2014. Pengaruh pH nira tebu (Saccharum officinarum)
dan konsentrasi penambhana kapur terhadap kualitas gula merah. J Pangan
dan Agroindustri 3(3) : 54-64.
Hall MNA. 1973. The Small Scale Manufacture of High and Low Boiled Sweet and
Toffees. London (UK): Tropical Product Institute
Latief SA, Syarief R, Pramudya B dan Muhadiono. 2010. Peningkatan mutu gula tumbu
melalui metode sulfitasi dalam laobratorium. Gema Teknologi 16 (1) : 42-43.
Marsigit W. 2005. Penggunaan bahan tambahan pada nira dan mutu gula yang
dihasilkan di beberapa sentra produksi di bengkulu. J. Penelitian UNIB 11(1) :
42-48.
Nuri. 2012. Pembuatan sirup glukosa [internet]. Diakses pada 17 April 2015. Tersedia
pada: http://pustakanuri.blogspot.com/2012/10.
Palungkun R. 1993. Aneka Produk Olahan Kelapa. Jakarta(ID): Penebar Swadaya.

6
Pragita TE. 2010. Evaluasi keragaman dan penyimpangan mutu gula kelapa kristal (gula
semut) di kawasan home industri gula kelapa kabupaten Banyumas [skripsi].
Purwokerto (ID) : Universitas Soedirman.
Supardi D. 1993. Mempelajari faktor-faktor yang mempengaruhi kelunakan gula merah
dari nira kelapa kasus di daerah cianjur [skripsi]. Bogor (ID) : Institut Pertanian
Bogor
Tjokroadikoesoemo S. 1985. HFS dan Industri Ubi Kayu Lainnya. Jakarta(ID): PT
Gramedia Pustaka Utama
Warsiki E, Yuliasih I dan Utami AS. 2013. Kinetika perubahan warna label indikator
berbahan zat warna buah bit (B. Vulgaris L. Var cicla L.). Prosiding Seminar
Hasil-Hasil PPM IPB 2013 (1) : 208-221.

Anda mungkin juga menyukai