Neonatus Resiko Tinggi Dan Penatalaksanaan D Fat
Neonatus Resiko Tinggi Dan Penatalaksanaan D Fat
Bayi baru lahir atau neonatus meliputi umur 0 28 hari. Kehidupan pada masa neonatus ini
sangat rawan oleh karena memerlukan penyesuaian fisiologik agar bayi di luar kandungan dapat
hidup sebaik-baiknya. Hal ini dapat dilihat dari tingginya angka kesakitan dan angka kematian
neonatus. Diperkirakan 2/3 kematian bayi di bawah umur satu tahun terjadi pada masa neonatus.
Peralihan dari kehidupan intrauterin ke ekstrauterin memerlukan berbagai perubahan biokimia
dan faali. Dengan terpisahnya bayi dari ibu, maka terjadilah awal proses fisiologik.
Banyak masalah pada bayi baru lahir yang berhubungan dengan gangguan atau kegagalan
penyesuaian biokimia dan faali yang disebabkan oleh prematuritas, kelainan anatomik, dan
lingkungan yang kurang baik dalam kandungan, pada persalinan maupun sesudah lahir.
Masalah pada neonatus biasanya timbul sebagai akibat yang spesifik terjadi pada masa
perinatal. Tidak hanya merupakan penyebab kematian tetapi juga kecacatan. Masalah ini timbul
sebagai akibat buruknya kesehatan ibu, perawatan kehamilan yang kurang memadai, manajemen
persalinan yang tidak tepat dan tidak bersih, kurangnya perawatan bayi baru lahir. Kalau ibu
meninggal pada waktu melahirkan, si bayi akan mempunyai kesempatan hidup yang kecil.
Yang termasuk neonatus resiko tinggi yaitu diantaranya sebagai berikut:
1. BBLR
2. asfiksia neonatorum
3. sindrom, gangguan pernafasan
4. ikterus
5. perdarahan tali pusat
6. kejang
7. hypotermi
8. hypertermi
9. hypoglikemi
10 tetanus neonatorum
BBLR
Definisi
Bayi berat lahir rendah (BBLR) adalah bayi dengan berat lahir kurang dari 2500 gram tanpa
memandang masa gestasi. Berat lahir adalah berat bayi yang ditimbang dalam 1 (satu) jam
setelah lahir (3).
Epidemiologi
Prevalensi bayi berat lahir rendah (BBLR) diperkirakan 15% dari seluruh kelahiran di dunia
dengan batasan 3,3%-38% dan lebih sering terjadi di negara-negara berkembang atau sosioekonomi rendah. Secara statistik menunjukkan 90% kejadian BBLR didapatkan di negara
berkembang dan angka kematiannya 35 kali lebih tinggi dibanding pada bayi dengan berat lahir
lebih dari 2500 gram (4). BBLR termasuk faktor utama dalam peningkatan mortalitas, morbiditas
dan disabilitas neonatus, bayi dan anak serta memberikan dampak jangka panjang terhadap
kehidupannya dimasa depan (1,2). Angka kejadian di Indonesia sangat bervariasi antara satu
daerah dengan daerah lain, yaitu berkisar antara 9%-30%, hasil studi di 7 daerah multicenter
diperoleh angka BBLR dengan rentang 2.1%-17,2 %. Secara nasional berdasarkan analisa lanjut
SDKI, angka BBLR sekitar 7,5 %. Angka ini lebih besar dari target BBLR yang ditetapkan pada
sasaran program perbaikan gizi menuju Indonesia Sehat 2010 yakni maksimal 7% (2,3).
Etiologi
Penyebab terbanyak terjadinya BBLR adalah kelahiran prematur. Faktor ibu yang lain
adalah umur, paritas, dan lain-lain. Faktor plasenta seperti penyakit vaskuler, kehamilan
kembar/ganda, serta faktor janin juga merupakan penyebab terjadinya BBLR (3).
(1) Faktor ibu
a. Penyakit
Seperti malaria, anaemia, sipilis, infeksi TORCH, dan lain-lain
b. Komplikasi pada kehamilan.
Komplikasi yang tejadi pada kehamilan ibu seperti perdarahan antepartum, pre-eklamsia berat,
eklamsia, dan kelahiran preterm.
c. Usia Ibu dan paritas
Angka kejadian BBLR tertinggi ditemukan pada bayi yang dilahirkan oleh ibu-ibu dengan usia
d. Faktor kebiasaan ibu
Faktor kebiasaan ibu juga berpengaruh seperti ibu perokok, ibu pecandu alkohol dan ibu
pengguna narkotika.
(2) Faktor Janin
Prematur, hidramion, kehamilan kembar/ganda (gemeli), kelainan kromosom.
(3) Faktor Lingkungan
Yang dapat berpengaruh antara lain; tempat tinggal di daratan tinggi, radiasi, sosio-ekonomi dan
paparan zat-zat racun (4,7).
Komplikasi
Komplikasi langsung yang dapat terjadi pada bayi berat lahir rendah antara lain (8):
Hipotermia
Hipoglikemia
Gangguan cairan dan elektrolit
Hiperbilirubinemia
Sindroma gawat nafas
Paten duktus arteriosus
Infeksi
Perdarahan intraventrikuler
Apnea of Prematurity
Anemia
Masalah jangka panjang yang mungkin timbul pada bayi-bayi dengan berat lahir rendah
(BBLR) antara lain (3,8):
Gangguan perkembangan
Gangguan pertumbuhan
Gangguan penglihatan (Retinopati)
Gangguan pendengaran
Penyakit paru kronis
Kenaikan angka kesakitan dan sering masuk rumah sakit
Kenaikan frekuensi kelainan bawaan
Diagnosis
Menegakkan diagnosis BBLR adalah dengan mengukur berat lahir bayi dalam jangka waktu
Anamnesis
Riwayat yang perlu ditanyakan pada ibu dalam anamesis untuk menegakkan mencari etiologi
dan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap terjadinya BBLR (3):
Umur ibu
Riwayat hari pertama haid terakir
Riwayat persalinan sebelumnya
Paritas, jarak kelahiran sebelumnya
Kenaikan berat badan selama hamil
Aktivitas
Penyakit yang diderita selama hamil
Obat-obatan yang diminum selama hamil
Pemeriksaan Fisik
Yang dapat dijumpai saat pemeriksaan fisik pada bayi BBLR antara lain (3):
Berat badan
Tanda-tanda prematuritas (pada bayi kurang bulan)
Tanda bayi cukup bulan atau lebih bulan (bila bayi kecil untuk masa kehamilan).
Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan antara lain (3):
Pemeriksaan skor ballard
Tes kocok (shake test), dianjur untuk bayi kurang bulan
Darah rutin, glukosa darah, kalau perlu dan tersedia fasilitas diperiksa kadar elektrolit dan analisa
gas darah.
Foto dada ataupun babygram diperlukan pada bayi baru lahir dengan umur kehamilan kurang
bulan dimulai pada umur 8 jam atau didapat/diperkirakan akan terjadi sindrom gawat nafas.
USG kepala terutama pada bayi dengan umur kehamilan <>
Penatalaksanaan/ terapi
Medikamentosa
1. Pemberian vitamin K1 (3):
Injeksi 1 mg IM sekali pemberian, atau
Per oral 2 mg sekali pemberian atau 1 mg 3 kali pemberian (saat lahir, umur 3-10 hari, dan
umur 4-6 minggu)
Diatetik
Bayi prematur atau BBLR mempunyai masalah menyusui karena refleks menghisapnya
masih lemah. Untuk bayi demikian sebaiknya ASI dikeluarkan dengan pompa atau diperas dan
diberikan pada bayi dengan pipa lambung atau pipet. Dengan memegang kepala dan menahan
bawah dagu, bayi dapat dilatih untuk menghisap sementara ASI yang telah dikeluarkan yang
diberikan dengan pipet atau selang kecil yang menempel pada puting. ASI merupakan pilihan
utama (6):
Apabila bayi mendapat ASI, pastikan bayi menerima jumlah yang cukup dengan cara apapun,
perhatikan cara pemberian ASI dan nilai kemampuan bayi menghisap paling kurang sehari
sekali.
Apabila bayi sudah tidak mendapatkan cairan IV dan beratnya naik 20 g/hari selama 3 hari
berturut-turut, timbang bayi 2 kali seminggu.
Pemberian minum bayi berat lahir rendah (BBLR) menurut berat badan lahir dan keadaan
bayi adalah sebagai berikut (3):
a. Berat lahir 1750 2500 gram
- Bayi Sehat
Biarkan bayi menyusu pada ibu semau bayi. Ingat bahwa bayi kecil lebih mudah merasa letih
dan malas minum, anjurkan bayi menyusu lebih sering (contoh; setiap 2 jam) bila perlu.
Pantau pemberian minum dan kenaikan berat badan untuk menilai efektifitas menyusui.
Apabila bayi kurang dapat menghisap, tambahkan ASI peras dengan menggunakan salah satu
alternatif cara pemberian minum.
- Bayi Sakit
Apabila bayi dapat minum per oral dan tidak memerlukan cairan IV, berikan minum seperti
pada bayi sehat.
Apabila bayi memerlukan cairan intravena:
Berikan cairan intravena hanya selama 24 jam pertama
Mulai berikan minum per oral pada hari ke-2 atau segera setelah bayi stabil. Anjurkan pemberian
ASI apabila ibu ada dan bayi menunjukkan tanda-tanda siap untuk menyusu.
Apabila masalah sakitnya menghalangi proses menyusui (contoh; gangguan nafas, kejang), berikan
ASI peras melalui pipa lambung :
o Berikan cairan IV dan ASI menurut umur
o Berikan minum 8 kali dalam 24 jam (contoh; 3 jam sekali). Apabila bayi telah mendapat minum
160 ml/kgBB per hari tetapi masih tampak lapar berikan tambahan ASI setiap kali minum.
Biarkan bayi menyusu apabila keadaan bayi sudah stabil dan bayi menunjukkan keinginan untuk
menyusu dan dapat menyusu tanpa terbatuk atau tersedak.
b. Berat lahir 1500-1749 gram
- Bayi Sehat
Berikan ASI peras dengan cangkir/sendok. Bila jumlah yang dibutuhkan tidak dapat diberikan
menggunakan cangkir/sendok atau ada resiko terjadi aspirasi ke dalam paru (batuk atau
tersedak), berikan minum dengan pipa lambung. Lanjutkan dengan pemberian menggunakan
cangkir/ sendok apabila bayi dapat menelan tanpa batuk atau tersedak (ini dapat berlangsung
setela 1-2 hari namun ada kalanya memakan waktu lebih dari 1 minggu)
Berikan minum 8 kali dalam 24 jam (misal setiap 3 jam). Apabila bayi telah mendapatkan
minum 160/kgBB per hari tetapi masih tampak lapar, beri tambahan ASI setiap kali minum.
Apabila bayi telah mendapatkan minum baik menggunakan cangkir/ sendok, coba untuk
menyusui langsung.
- Bayi Sakit
Berikan cairan intravena hanya selama 24 jam pertama
Beri ASI peras dengan pipa lambung mulai hari ke-2 dan kurangi jumlah cairan IV secara
perlahan.
Berikan minum 8 kali dalam 24 jam (contoh; tiap 3 jam). Apabila bayi telah mendapatkan
minum 160/kgBB per hari tetapi masih tampak lapar, beri tambahan ASI setiap kali minum.
Lanjutkan pemberian minum menggunakan cangkir/ sendok apabila kondisi bayi sudah stabil
dan bayi dapat menelan tanpa batuk atau tersedak
Apabila bayi telah mendapatkan minum baik menggunakan cangkir/ sendok, coba untuk
menyusui langsung.
c. Berat lahir 1250-1499 gram
- Bayi Sehat
Beri ASI peras melalui pipa lambung
Beri minum 8 kali dalam 24 jam (contoh; setiap 3 jam). Apabila bayi telah mendapatkan
minum 160 ml/kgBB per hari tetapi masih tampak lapar, beri tambahan ASI setiap kali minum
2. asfiksia neonatorum
BATASAN
Asfiksia neonatorum adalah kegagalan bernapas secara spontan dan teratur pada saat lahir atau
beberapa saat setelah lahir yang ditandai dengan keadaan PaO2 di dalam darah rendah
(hipoksemia), hiperkarbia (Pa CO2 meningkat) dan asidosis.
PATOFISIOLOGI
Penyebab asfiksia dapat berasal dari faktor ibu, janin dan plasenta. Adanya hipoksia dan iskemia
jaringan menyebabkan perubahan fungsional dan biokimia pada janin. Faktor ini yang berperan
pada kejadian asfiksia.
GEJALA KLINIK
Bayi tidak bernapas atau napas megap-megap, denyut jantung kurang dari 100 x/menit, kulit
sianosis, pucat, tonus otot menurun, tidak ada respon terhadap refleks rangsangan.
DIAGNOSIS
Anamnesis : Gangguan/kesulitan waktu lahir, lahir tidak bernafas/menangis.
Pemeriksaan fisik :
Nilai Apgar
Klinis
Detak jantung
Tidak ada
>100x/menit
Pernafasan
Tidak ada
Tak teratur
Tangis kuat
Tidak ada
Menyeringai
Batuk/bersin
Tonus otot
Lunglai
Fleksi kuat
gerak aktif
Warna kulit
Biru pucat
Fleksi
ekstrimitas
(lemah)
Tubuh merah
ekstrimitas biru
Merah seluruh
tubuh
Dilakukan pemantauan nilai apgar pada menit ke-1 dan menit ke-5, bila nilai apgar 5 menit masih
kurang dari 7 penilaian dilanjutkan tiap 5 menit sampai skor mencapai 7. Nilai Apgar berguna
untuk menilai keberhasilan resusitasi bayi baru lahir dan menentukan prognosis, bukan untuk
memulai resusitasi karena resusitasi dimulai 30 detik setelah lahir bila bayi tidak menangis.
(bukan 1 menit seperti penilaian skor Apgar)
Pemeriksaan penunjang :
USG kepala
Penyulit
Meliputi berbagai organ yaitu :
-
Jantung dan paru : hipertensi pulmonal persisten pada neonatus, perdarahan paru, edema paru
Hematologi : DIC
PENATALAKSANAAN
Resusitasi
Tahapan resusitasi tidak melihat nilai apgar (lihat bagan)
Terapi medikamentosa :
Epinefrin :
Indikasi :
Denyut jantung bayi < 60 x/m setelah paling tidak 30 detik dilakukan ventilasi adekuat dan
pemijatan dada.
Asistolik.
Dosis :
0,1-0,3 ml/kg BB dalam larutan 1 : 10.000 (0,01 mg-0,03 mg/kg BB) Cara : i.v atau
endotrakeal. Dapat diulang setiap 3-5 menit bila perlu.
Volume ekspander :
Indikasi :
Bayi baru lahir yang dilakukan resusitasi mengalami hipovolemia dan tidak ada respon dengan
resusitasi.
Hipovolemia kemungkinan akibat adanya perdarahan atau syok. Klinis ditandai adanya pucat,
perfusi buruk, nadi kecil/lemah, dan pada resusitasi tidak memberikan respon yang adekuat.
Jenis cairan :
Larutan kristaloid yang isotonis (NaCl 0,9%, Ringer Laktat)
Transfusi darah golongan O negatif jika diduga kehilangan darah banyak.
Dosis :
Dosis awal 10 ml/kg BB i.v pelan selama 5-10 menit. Dapat diulang sampai menunjukkan
respon klinis.
Bikarbonat :
Indikasi :
Asidosis metabolik, bayi-bayi baru lahir yang mendapatkan resusitasi. Diberikan bila ventilasi
dan sirkulasi sudah baik.
Penggunaan bikarbonat pada keadaan asidosis metabolik dan hiperkalemia harus disertai dengan
pemeriksaan analisa gas darah dan kimiawi.
Dosis : 1-2 mEq/kg BB atau 2 ml/Kg BB (4,2%) atau 1 ml/kg bb (8,4%)
Cara :
Diencerkan dengan aquabides atau dekstrose 5% sama banyak diberikan secara intravena
dengan kecepatan minimal 2 menit.
Efek samping :
Pada keadaan hiperosmolaritas dan kandungan CO2 dari bikarbonat merusak fungsi miokardium
dan otak.
Nalokson :
Nalokson hidrochlorida adalah antagonis narkotik yang tidak menyebabkan depresi pernafasan.
Sebelum diberikan nalakson ventilasi harus adekuat dan stabil.
Indikasi :
Depresi pernafasan pada bayi baru lahir yang ibunya menggunakan narkotik 4 jam sebelum
persalinan.
Jangan diberikan pada bayi baru lahir yang ibunya baru dicurigai sebagai pemakai obat
narkotika sebab akan menyebabkan tanda with drawltiba-tiba pada sebagian bayi.
Dosis : 0,1 mg/kg BB (0,4 mg/ml atau 1 mg/ml)
Cara : Intravena, endotrakeal atau bila perpusi baik diberikan i.m atau s.c
Suportif
Jaga kehangatan.
Jaga saluran napas agar tetap bersih dan terbuka.
Koreksi gangguan metabolik (cairan, glukosa darah dan elektrolit)
Bagan Resusistasi neonatus
6. PENATALAKSANAAN
Tindakan yang perlu dilakukan :
1. Memberikan lingkungan yang optimal, suhu tubuh bayi harus dalam batas normal (36.5-37oc)
dan meletakkan bayi dalam inkubator.
2. Pemberian oksigen dilakukan dengan hati-hati karena terpengaruh kompleks terhadap bayi
prematur, pemberian oksigen terlalu banyak menimbulkan komplikasi fibrosis paru, kerusakan
retina dan lain-lain.
3. Pemberian cairan dan elektrolit sangat perlu untuk mempertahankan hemeostasis dan
menghindarkan dehidrasi. Permulaan diberikan glukosa 5-10 % dengan jumlah 60-125 ML/ Kg
BB/ hari.
4. Pemberian antibiotik untuk mencegah infeksi sekunder. Penisilin dengan dosis 50.000-10.000
untuk / kg BB / hari / ampisilin 100 mg / kg BB/ hari dengan atau tanpa gentasimin 3-5 mg / kg
BB / hari.
5. Kemajuan terakhir dalam pengobatan pasien PMH adalah pemberian surfaktan ekstrogen
( surfaktan dari luar).
Keperawatan
Pada umumnya dengan BB lahir 1000-2000 gr dan masa kehamilan kurang dari 36 minggu.
1. Bahaya kedinginan
Bayi PMH adalah bayi prematur sehingga kulitnya sangat tipis, jaringan lemak belum berbentuk
dan pusat pengatur suhu belum sempurna. Akibatnya bayi dapat jatuh dalam keadaan cold injury,
sianosis, dispnea, kemudian apnea. Untuk mencegah harus dirawat dalam inkubator yang dapat
mempertahankan suhu bayi 36.5-37oc.
2. Resiko terjadi gangguan pernafasan
Gejala pertama biasanya timbul dalam 4 jam setelah lahir. Tata laksana perawatan bayi prematur
adalah
a. Dirawat dalam inkubator dengan suhu optimum
b. Bila bayi mulai terlihat sianosis, dispnea / hiperapsnea segera berikan oksigen.
3. Kesukaran dalam pemberian makanan
Untuk memenuhi kebutuhan kalori maka dipasang infus dengan cairan glukosa 5-10 %.
Makanan bayi yang terbaik adalah asi. Karena itu selama bayi belum diberi asi harus tetap
pertahankan dengan memompa payudara ibu setiap 3 jam.
4. ikterus
A. Definisi
Ikterus adalah gambaran klinis berupa pewarnaan kuning pada kulit dan mukosa karena adanya
deposisi produk akhir katabolisme hem yaitu bilirubin. Secara klinis, ikterus pada neonatus akan
tampak bila konsentrasi bilirubin serum lebih 5 mg/dL.
Hiperbilirubinemia adalah keadaan kadar bilirubin dalam darah >13 mg/dL.
Pada bayi baru lahir, ikterus yang terjadi pada umumnya adalah fisiologis, kecuali:
Bilirubin total/indirek untuk bayi cukup bulan > 13 mg/dL atau bayi kurang bulan
>10 mg/dL.
Efek toksik bilirubin ialah neurotoksik dan kerusakan sel secara umum. Bilirubin dapat masuk ke
jaringan otak. Ensefalopati bilirubin adalah terdapatnya tanda-tanda klinis akibat deposit
bilirubin dalam sel otak. Kelainan ini dapat terjadi dalam bentuk akut atau kronik. Bentuk akut
terdiri atas 3 tahap; tahap 1 (1-2 hari pertama): refleks isap lemah, hipotonia, kejang; tahap 2
(pertengahan minggu pertama): tangis melengking, hipertonia, epistotonus; tahap 3 (setelah
minggu pertama): hipertoni. Bentuk kronik: pada tahun pertama: hipotoni, motorik terlambat.
Sedang setelah tahun pertama didapati gangguan gerakan, kehilangan pendengaran sensorial.
B. Epidemiologi
Di Amerika Serikat, dari 4 juta bayi yang lahir setiap tahunnya, sekitar 65% mengalami ikterus.
Sensus yang dilakukan pemerintah Malaysia pada tahun 1998 menemukan sekitar 75% bayi baru
lahir mengalami ikterus pada minggu pertama.
Di Indonesia, didapatkan data ikterus neonatorum dari beberapa rumah sakit pendidikan. Sebuah
studi cross-sectional yang dilakukan di Rumah Sakit Umum Pusat Rujukan Nasional Cipto
Mangunkusumo selama tahun 2003, menemukan prevalensi ikterus pada bayi baru lahir sebesar
58% untuk kadar bilirubin di atas 5 mg/dL dan 29,3% dengan kadar bilirubin di atas 12 mg/dL
pada minggu pertama kehidupan. RS Dr. Sardjito melaporkan sebanyak 85% bayi cukup bulan
sehat mempunyai kadar bilirubin di atas 5 mg/dL dan 23,8% memiliki kadar bilirubin di atas 13
mg/dL. Pemeriksaan dilakukan pada hari 0, 3 dan 5. Dengan pemeriksaan kadar bilirubin setiap
hari, didapatkan ikterus dan hiperbilirubinemia terjadi pada 82% dan 18,6% bayi cukup bulan.
Sedangkan pada bayi kurang bulan, dilaporkan ikterus dan hiperbilirubinemia ditemukan pada
95% dan 56% bayi. Tahun 2003 terdapat sebanyak 128 kematian neonatal (8,5%) dari 1509
neonatus yang dirawat dengan 24% kematian terkait hiperbilirubinemia.
Data yang agak berbeda didapatkan dari RS Dr. Kariadi Semarang, di mana insidens ikterus pada
tahun 2003 hanya sebesar 13,7%, 78% di antaranya merupakan ikterus fisiologis dan sisanya
ikterus patologis. Angka kematian terkait hiperbilirubinemia sebesar 13,1%. Didapatkan juga
data insidens ikterus pada bayi cukup bulan sebesar 12,0% dan bayi kurang bulan 22,8%.
Insidens ikterus neonatorum di RS Dr. Soetomo Surabaya sebesar 30% pada tahun 2000 dan
13% pada tahun 2002. Perbedaan angka yang cukup besar ini mungkin disebabkan oleh cara
pengukuran yang berbeda. Di RS Dr. Cipto Mangunkusumo ikterus dinilai berdasarkan kadar
bilirubin serum total > 5 mg/dL; RS Dr. Sardjito menggunakan metode spektrofotometrik pada
hari ke-0, 3 dan 5 ;dan RS Dr. Kariadi menilai ikterus berdasarkan metode visual.
C. Etiologi dan Faktor Risiko
1. Etiologi
Peningkatan kadar bilirubin umum terjadi pada setiap bayi baru lahir, karena:
Hemolisis yang disebabkan oleh jumlah sel darah merah lebih banyak dan berumur
lebih pendek.
Fungsi hepar yang belum sempurna (jumlah dan fungsi enzim glukuronil transferase,
UDPG/T dan ligand dalam protein belum adekuat) -> penurunan ambilan bilirubin
oleh hepatosit dan konjugasi.
Infeksi, septikemia, sepsis, meningitis, infeksi saluran kemih, infeksi intra uterin.
Polisitemia.
Ibu diabetes.
Asidosis.
Hipoksia/asfiksia.
2. Faktor Risiko
Faktor risiko untuk timbulnya ikterus neonatorum:
a.
Faktor Maternal
ASI
b.
c.
Faktor Perinatal
Faktor Neonatus
Prematuritas
Faktor genetik
Polisitemia
Hipoglikemia
Hipoalbuminemia
D. Patofisiologi
Bilirubin pada neonatus meningkat akibat terjadinya pemecahan eritrosit. Bilirubin mulai
meningkat secara normal setelah 24 jam, dan puncaknya pada hari ke 3-5. Setelah itu perlahanlahan akan menurun mendekati nilai normal dalam beberapa minggu.
1. Ikterus fisiologis
Secara umum, setiap neonatus mengalami peningkatan konsentrasi bilirubin serum, namun
kurang 12 mg/dL pada hari ketiga hidupnya dipertimbangkan sebagai ikterus fisiologis. Pola
ikterus fisiologis pada bayi baru lahir sebagai berikut: kadar bilirubin serum total biasanya
mencapai puncak pada hari ke 3-5 kehidupan dengan kadar 5-6 mg/dL, kemudian menurun
kembali dalam minggu pertama setelah lahir. Kadang dapat muncul peningkatan kadar bilirubin
sampai 12 mg/dL dengan bilirubin terkonyugasi < 2 mg/dL.
Pola ikterus fisiologis ini bervariasi sesuai prematuritas, ras, dan faktor-faktor lain. Sebagai
contoh, bayi prematur akan memiliki puncak bilirubin maksimum yang lebih tinggi pada hari ke6 kehidupan dan berlangsung lebih lama, kadang sampai beberapa minggu. Bayi ras Cina
cenderung untuk memiliki kadar puncak bilirubin maksimum pada hari ke-4 dan 5 setelah lahir.
Faktor yang berperan pada munculnya ikterus fisiologis pada bayi baru lahir meliputi
peningkatan bilirubin karena polisitemia relatif, pemendekan masa hidup eritrosit (pada bayi 80
hari dibandingkan dewasa 120 hari), proses ambilan dan konyugasi di hepar yang belum matur
dan peningkatan sirkulasi enterohepatik.
Gambar berikut menunjukan metabolisme pemecahan hemoglobin dan pembentukan bilirubin.
berkepanjangan. Hal ini dapat terjadi karena adanya faktor tertentu dalam ASI yang diduga
meningkatkan absorbsi bilirubin di usus halus. Bila tidak ditemukan faktor risiko lain, ibu tidak
perlu khawatir, ASI tidak perlu dihentikan dan frekuensi ditambah.
Apabila keadaan umum bayi baik, aktif, minum kuat, tidak ada tata laksana khusus meskipun ada
peningkatan kadar bilirubin.
E. Penegakan Diagnosis
1. Visual
Metode visual memiliki angka kesalahan yang tinggi, namun masih dapat digunakan apabila
tidak ada alat. Pemeriksaan ini sulit diterapkan pada neonatus kulit berwarna, karena besarnya
bias penilaian. Secara evidence pemeriksaan metode visual tidak direkomendasikan, namun
apabila terdapat keterbatasan alat masih boleh digunakan untuk tujuan skrining dan bayi dengan
skrining positif segera dirujuk untuk diagnostik dan tata laksana lebih lanjut.
WHO dalam panduannya menerangkan cara menentukan ikterus secara visual, sebagai berikut:
Pemeriksaan dilakukan dengan pencahayaan yang cukup (di siang hari dengan cahaya
matahari) karena ikterus bisa terlihat lebih parah bila dilihat dengan pencahayaan
buatan dan bisa tidak terlihat pada pencahayaan yang kurang.
Tekan kulit bayi dengan lembut dengan jari untuk mengetahui warna di bawah kulit
dan jaringan subkutan.
Tentukan keparahan ikterus berdasarkan umur bayi dan bagian tubuh yang tampak
kuning. (tabel 1)
2. Bilirubin Serum
Pemeriksaan bilirubin serum merupakan baku emas penegakan diagnosis ikterus neonatorum
serta untuk menentukan perlunya intervensi lebih lanjut. Beberapa hal yang perlu
dipertimbangkan dalam pelaksanaan pemeriksaan serum bilirubin adalah tindakan ini merupakan
tindakan invasif yang dianggap dapat meningkatkan morbiditas neonatus. Umumnya yang
diperiksa adalah bilirubin total. Sampel serum harus dilindungi dari cahaya (dengan aluminium
foil)
Beberapa senter menyarankan pemeriksaan bilirubin direk, bila kadar bilirubin total > 20 mg/dL
atau usia bayi > 2 minggu.
3. Bilirubinometer Transkutan
Bilirubinometer adalah instrumen spektrofotometrik yang bekerja dengan prinsip memanfaatkan
bilirubin yang menyerap cahaya dengan panjang gelombang 450 nm. Cahaya yang dipantulkan
merupakan representasi warna kulit neonatus yang sedang diperiksa.
Pemeriksaan bilirubin transkutan (TcB) dahulu menggunakan alat yang amat dipengaruhi pigmen
kulit. Saat ini, alat yang dipakai menggunakan multiwavelength spectral reflectance yang tidak
terpengaruh pigmen. Pemeriksaan bilirubin transkutan dilakukan untuk tujuan skrining, bukan
untuk diagnosis.
Briscoe dkk. (2002) melakukan sebuah studi observasional prospektif untuk mengetahui akurasi
pemeriksaan bilirubin transkutan (JM 102) dibandingkan dengan pemeriksaan bilirubin serum
(metode standar diazo). Penelitian ini dilakukan di Inggris, melibatkan 303 bayi baru lahir
dengan usia gestasi >34 minggu. Pada penelitian ini hiperbilirubinemia dibatasi pada konsentrasi
bilirubin serum >14.4 mg/dL (249 umol/l). Dari penelitian ini didapatkan bahwa pemeriksaan
TcB dan Total Serum Bilirubin (TSB) memiliki korelasi yang bermakna (n=303, r=0.76,
p<0.0001), namun interval prediksi cukup besar, sehingga TcB tidak dapat digunakan untuk
mengukur TSB. Namun disebutkan pula bahwa hasil pemeriksaan TcB dapat digunakan untuk
menentukan perlu tidaknya dilakukan pemeriksaan TSB.
Umumnya pemeriksaan TcB dilakukan sebelum bayi pulang untuk tujuan skrining. Hasil analisis
biaya yang dilakukan oleh Suresh dkk. (2004) menyatakan bahwa pemeriksaan bilirubin serum
ataupun transkutan secara rutin sebagai tindakan skrining sebelum bayi dipulangkan tidak efektif
dari segi biaya dalam mencegah terjadinya ensefalopati hiperbilirubin.
4. Pemeriksaan bilirubin bebas dan CO
Bilirubin bebas secara difusi dapat melewati sawar darah otak. Hal ini menerangkan mengapa
ensefalopati bilirubin dapat terjadi pada konsentrasi bilirubin serum yang rendah.
Beberapa metode digunakan untuk mencoba mengukur kadar bilirubin bebas. Salah satunya
dengan metode oksidase-peroksidase. Prinsip cara ini berdasarkan kecepatan reaksi oksidasi
peroksidasi terhadap bilirubin. Bilirubin menjadi substansi tidak berwarna. Dengan pendekatan
bilirubin bebas, tata laksana ikterus neonatorum akan lebih terarah.
Seperti telah diketahui bahwa pada pemecahan heme dihasilkan bilirubin dan gas CO dalam
jumlah yang ekuivalen. Berdasarkan hal ini, maka pengukuran konsentrasi CO yang dikeluarkan
melalui pernapasan dapat digunakan sebagai indeks produksi bilirubin.
Tabel 1. Perkiraan Klinis Tingkat Keparahan Ikterus
Usia
Kuning terlihat pada
Tingkat keparahan ikterus
Hari 1
Bagian tubuh manapun
Berat
Hari 2 Tengan dan tungkai *
Hari 3 Tangan dan kaki
* Bila kuning terlihat pada bagian tubuh manapun pada hari pertama dan terlihat pada lengan,
tungkai, tangan dan kaki pada hari kedua, maka digolongkan sebagai ikterus sangat berat dan
memerlukan terapi sinar secepatnya. Tidak perlu menunggu hasil pemeriksaan kadar bilirubin
serum untuk memulai terapi sinar.
F. Tata laksana
1. Ikterus Fisiologis
Bayi sehat, tanpa faktor risiko, tidak diterapi. Perlu diingat bahwa pada bayi sehat, aktif, minum
kuat, cukup bulan, pada kadar bilirubin tinggi, kemungkinan terjadinya kernikterus sangat kecil.
Untuk mengatasi ikterus pada bayi yang sehat, dapat dilakukan beberapa cara berikut:
Pada bayi yang pulang sebelum 48 jam, diperlukan pemeriksaan ulang dan kontrol
lebih cepat (terutama bila tampak kuning).
Bilirubin serum total 24 jam pertama > 4,5 mg/dL dapat digunakan sebagai faktor prediksi
hiperbilirubinemia pada bayi cukup bulan sehat pada minggu pertama kehidupannya. Hal ini
kurang dapat diterapkan di Indonesia karena tidak praktis dan membutuhkan biaya yang cukup
besar.
Tata laksana Awal Ikterus Neonatorum (WHO)
Tentukan apakah bayi memiliki faktor risiko berikut: berat lahir < 2,5 kg, lahir
sebelum usia kehamilan 37 minggu, hemolisis atau sepsis
Ambil contoh darah dan periksa kadar bilirubin serum dan hemoglobin, tentukan
golongan darah bayi dan lakukan tes Coombs:
Bila kadar bilirubin serum di bawah nilai dibutuhkannya terapi sinar, hentikan
terapi sinar.
Bila kadar bilirubin serum berada pada atau di atas nilai dibutuhkannya terapi
sinar, lakukan terapi sinar
Bila faktor Rhesus dan golongan darah ABO bukan merupakan penyebab
hemolisis atau bila ada riwayat defisiensi G6PD di keluarga, lakukan uji
saring G6PD bila memungkinkan.
Bila nilai bilirubin serum memenuhi kriteria untuk dilakukannya terapi sinar, lakukan
terapi sinar.
Bila bilirubin serum tidak bisa diperiksa dan tidak memungkinkan untuk
dilakukan tes Coombs, segera rujuk bayi bila ikterus telah terlihat sejak hari 1
dan hemoglobin < 13 g/dL (hematokrit < 40%).
Persiapkan transfer.
Segera kirim bayi ke rumah sakit tersier atau senter dengan fasilitas
transfusi tukar.
Nasihati ibu:
Bila hemoglobin < 10 g/dL (hematokrit < 30%), berikan transfusi darah.
Bila ikterus menetap selama 2 minggu atau lebih pada bayi cukup bulan atau 3
minggu lebih lama pada bayi kecil (berat lahir < 2,5 kg atau lahir sebelum
kehamilan 37 minggu), terapi sebagai ikterus berkepanjangan (prolonged
jaundice).
Diagnosis ditegakkan apabila ikterus menetap hingga 2 minggu pada neonatus cukup
bulan, dan 3 minggu pada neonatus kurang bulan.
Bila buang air besar bayi pucat atau urin berwarna gelap, persiapkan kepindahan bayi
dan rujuk ke rumah sakit tersier atau senter khusus untuk evaluasi lebih lanjut, bila
memungkinkan.
Bila tes sifilis pada ibu positif, terapi sebagai sifilis kongenital.
Mengenai penatalaksanaan dengan terapi sinar dan transfusi tukar selengkapnya dimuat
terpisah.
G. Efek Hiperbilirubinemia
Perhatian utama pada hiperbilirubinemia adalah potensinya dalam menimbulkan kerusakan selsel saraf, meskipun kerusakan sel-sel tubuh lainnya juga dapat terjadi. Bilirubin dapat
menghambat enzim-enzim mitokondria serta mengganggu sintesis DNA. Bilirubin juga dapat
menghambat sinyal neuroeksitatori dan konduksi saraf (terutama pada nervus auditorius)
sehingga menimbulkan gejala sisa berupa tuli saraf.
Kerusakan jaringan otak yang terjadi seringkali tidak sebanding dengan konsentrasi bilirubin
serum. Hal ini disebabkan kerusakan jaringan otak yang terjadi ditentukan oleh konsentrasi dan
lama paparan bilirubin terhadap jaringan.
Ensefalopati bilirubin
Ikterus neonatorum yang berat dan tidak ditata laksana dengan benar dapat menimbulkan
komplikasi ensefalopati bilirubin. Hal ini terjadi akibat terikatnya asam bilirubin bebas dengan
lipid dinding sel neuron di ganglia basal, batang otak dan serebelum yang menyebabkan
kematian sel. Pada bayi dengan sepsis, hipoksia dan asfiksia bisa menyebabkan kerusakan pada
sawar darah otak. Dengan adanya ikterus, bilirubin yang terikat ke albumin plasma bisa masuk
ke dalam cairan ekstraselular. Sejauh ini hubungan antara peningkatan kadar bilirubin serum
dengan ensefalopati bilirubin telah diketahui. Tetapi belum ada studi yang mendapatkan nilai
spesifik bilirubin total serum pada bayi cukup bulan dengan hiperbilirubinemia non hemolitik
yang dapat mengakibatkan terjadinya gangguan pada kecerdasan atau kerusakan neurologik yang
disebabkannya.
Faktor yang mempengaruhi toksisitas bilirubin pada sel otak bayi baru lahir sangat kompleks dan
belum sepenuhnya dimengerti. Faktor tersebut antara lain: konsentrasi albumin serum, ikatan
albumin dengan bilirubin, penetrasi albumin ke dalam otak, dan kerawanan sel otak menghadapi
efek toksik bilirubin. Bagaimanapun juga, keadaan ini adalah peristiwa yang tidak biasa
ditemukan sekalipun pada bayi prematur dan kadar albumin serum yang sebelumnya
diperkirakan dapat menempatkan bayi prematur berisiko untuk terkena ensefalopati bilirubin.
Bayi yang selamat setelah mengalami ensefalopati bilirubin akan mengalami kerusakan otak
permanen dengan manifestasi berupa serebral palsy, epilepsi dan keterbelakangan mental atau
hanya cacat minor seperti gangguan belajar dan perceptual motor disorder.
H. Pencegahan
Perlu dilakukan terutama bila terdapat faktor risiko seperti riwayat inkompatibilitas ABO
sebelumnya. AAP dalam rekomendasinya mengemukakan beberapa langkah pencegahan
hiperbilirubinemia sebagai berikut:
1. Primer
AAP merekomendasikan pemberian ASI pada semua bayi cukup bulan dan hampir cukup bulan
yang sehat. Dokter dan paramedis harus memotivasi ibu untuk menyusukan bayinya sedikitnya
8-12 kali sehari selama beberapa hari pertama.
Rendahnya asupan kalori dan atau keadaan dehidrasi berhubungan dengan proses menyusui dan
dapat menimbulkan ikterus neonatorum. Meningkatkan frekuensi menyusui dapat menurunkan
kecenderungan keadaan hiperbilirubinemia yang berat pada neonatus. Lingkungan yang kondusif
bagi ibu akan menjamin terjadinya proses menyusui yang baik.
AAP juga melarang pemberian cairan tambahan (air, susu botol maupun dekstrosa) pada
neonatus nondehidrasi. Pemberian cairan tambahan tidak dapat mencegah terjadinya ikterus
neonatorum maupun menurunkan kadar bilirubin serum.
2. Sekunder
Dokter harus melakukan pemeriksaan sistematik pada neonatus yang memiliki risiko tinggi
ikterus neonatorum.
Pemeriksaan Golongan Darah
Semua wanita hamil harus menjalani pemeriksaan golongan darah ABO dan Rhesus serta
menjalani skrining antibodi isoimun. Bila ibu belum pernah menjalani pemeriksaan golongan
darah selama kehamilannya, sangat dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan golongan darah
dan Rhesus. Apabila golongan darah ibu adalah O dengan Rh-positif, perlu dilakukan
pemeriksaan darah tali pusat. Jika darah bayi bukan O, dapat dilakukan tes Coombs.
Penilaian Klinis
Dokter harus memastikan bahwa semua neonatus dimonitor secara berkala untuk mengawasi
terjadinya ikterus. Ruang perawatan sebaiknya memiliki prosedur standar tata laksana ikterus.
Ikterus harus dinilai sekurang-kurangnya setiap 8 jam bersamaan dengan pemeriksaan tandatanda vital lain.
Pada bayi baru lahir, ikterus dapat dinilai dengan menekan kulit bayi sehingga memperlihatkan
warna kulit dan subkutan. Penilaian ini harus dilakukan dalam ruangan yang cukup terang,
paling baik menggunakan sinar matahari. Penilaian ini sangat kasar, umumnya hanya berlaku
pada bayi kulit putih dan memiliki angka kesalahan yang tinggi. Ikterus pada awalnya muncul di
bagian wajah, kemudian akan menjalar ke kaudal dan ekstrimitas.
proteksi. Umbilikus dengan kelainan insersi ini sering terdapat pada kehamilan ganda
c Placenta multilobularis, perdarahan terjadi pembuluh darah yang menghubungkan masingmasing lobus dengan jaringan placenta karena bagian tersebut sangat rapuh dan mudah
pecah
4 Perdarahan akibat placenta previa dan abrotio placenta
Perdarahan akibat placenta previa dan abrutio placenta dapat membahayakan bayi. Pada
kasus placenta previa cenderung menyebabkan anemia, sedangkan pada kasus abrutio
placenta lebih sering mengakibatkan kematian intra uterin karena dapat terjadi anoreksia.
Pengamatan pada placenta dengan teliti untuk menentukan adanya perdarahan pada bayi
baru lahir, pada bayi baru lahir dengan kelainan placenta atau dengan sectio secarea apabila
diperlukan dapat dilakukan pemeriksaan hemoglobin secara berkala.
PENATALAKSANAAN
1. Penanganan disesuaikan dengan penyebab dari perdarahan tali pusat yang terjadi
2. Untuk penanganan awal, harus dilakukan tindakan pencegahan infeksi paa tali pusat.
3. Segera lakukan inform consent dan inform choise pada keluarga pasien untuk dilakukan
rujukan.
6. kejang
Kejang adalah penyakit pada anak yang disebabkan oleh demam. Sekitar 2-5% anak berumur
enam bulan sampai lima tahun umumnya mengalami demam. Namun, tidak sampai menginfeksi
otak anak.
7. hypotermi
Bayi hipotermi adalah bayi dengan suhu badan dibawah normal. Adapun suhu normal bayi adalah
36,5-37,5 C. Suhu normal pada neonatus 36,5-37,5C (suhu ketiak). Gejala awal hipotermi
apabila suhu <36C atau kedua kaki & tangan teraba dingin. Bila seluruh tubuh bayi terasa
dingin maka bayi sudah mengalami hipotermi sedang (suhu 32-36C). Disebut hipotermi berat
bila suhu <32C, diperlukan termometer ukuran rendah (low reading thermometer) yang dapat
mengukur sampai 25C. (Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirahardjo, 2001). Disamping
sebagai suatu gejala, hipotermi merupakan awal penyakit yang berakhir dengan kematian.
(Indarso, F, 2001). Sedangkan menurut Sandra M.T. (1997) bahwa hipotermi yaitu kondisi
dimana suhu inti tubuh turun sampai dibawah 35C. Etiologi Penyebab terjadinya hipotermi pada
bayi yaitu : 1)Jaringan lemak subkutan tipis. 2)Perbandingan luas permukaan tubuh dengan berat
badan besar. 3)Cadangan glikogen dan brown fat sedikit. 4)BBL (Bayi Baru Lahir) tidak
mempunyai respon shivering (menggigil) pada reaksi kedinginan. (Indarso, F, 2001).
5)Kurangnya pengetahuan perawat dalam pengelolaan bayi yang beresiko tinggi mengalami
hipotermi. ( Klaus, M.H et al, 1998). Mekanisme hilangnya panas pada BBL Mekanisme
hilangnya panas pada bayi yaitu dengan : 1Radiasi yaitu panas yang hilang dari obyek yang
hangat (bayi) ke obyek yang dingin. 2)Konduksi yaitu hilangnya panas langsung dari obyek yang
panas ke obyek yang dingin. 3)Konveksi yaitu hilangnya panas dari bayi ke udara sekelilingnya.
4)Evaporasi yaitu hilangnya panas akibat evaporasi air dari kulit tubuh bayi (misal cairan amnion
pada BBL). (Indarso, F, 2001). Akibat-akibat yang ditimbulkan oleh hipotermi Akibat yang bisa
ditimbulkan oleh hipotermi yaitu : 1)HipoglikemiAsidosis metabolik, karena vasokonstrtiksi
perifer dengan metabolisme anaerob. 3)Kebutuhan oksigen yang meningkat. 4)Metabolisme
meningkat sehingga pertumbuhan terganggu. 5)Gangguan pembekuan sehingga mengakibatkan
perdarahan pulmonal yang menyertai hipotermi berat. 6)Shock. 7)Apnea. 8)Perdarahan Intra
Ventricular. (Indarso, F, 2001). Pencegahan dan Penanganan Hipotermi Pemberian panas yang
mendadak, berbahaya karena dapat terjadi apnea sehingga direkomendasikan penghangatan 0,51C tiap jam (pada bayi < 1000 gram penghangatan maksimal 0,6 C). (Indarso, F, 2001). Alatalat Inkubator Untuk bayi < 1000 gram, sebaiknya diletakkan dalam inkubator. Bayi-bayi
tersebut dapat dikeluarkan dari inkubator apabila tubuhnya dapat tahan terhadap suhu lingkungan
30C. Radiant Warner Adalah alat yang digunakan untuk bayi yang belum stabil atau untuk
tindakan-tindakan. Dapat menggunakan servo controle (dengan menggunakan probe untuk kulit)
atau non servo controle (dengan mengatur suhu yang dibutuhkan secara manual). Pengelolaan
Menurut Indarso, F (2001) menyatakan bahwa pengelolaan bayi hipotermi : (1)Bayi cukup bulan
-Letakkan BBL pada Radiant Warner. -Keringkan untuk menghilangkan panas melalui evaporasi.
-Tutup kepala. -Bungkus tubuh segera. -Bila stabil, dapat segera rawat gabung sedini mungkin
setelah lahir bayi dapat disusukan. (2)Bayi sakit -Seperti prosedur di atas. -Tetap letakkan pada
radiant warmer sampai stabil. Bayi kurang bulan (prematur) -Seperti prosedur di atas. -Masukkan
ke inkubator dengan servo controle atau radiant warner dengan servo controle. (3)Bayi yang
sangat kecil -Dengan radiant warner yang diatur dimana suhu kulit 36,5 C. Tutup kepala. Kelembaban 40-50%. Dapat diberi plastik pada radiant warner. Dengan servo controle suhu kulit
abdomen 36, 5C. Dengan dinding double. - Kelembaban 40-50% atau lebih (bila kelembaban
sangat tinggi, dapat dipakai sebagai sumber infeksi dan kehilangan panas berlebihan). Bila
temperatur sulit dipertahankan, kelembaban dinaikkan. Temperatur lingkungan yang dibutuhkan
sesuai umur dan berat bayi. Tabel 2.1 Temperatur yang dibutuhkan menurut umur dan berat
badan neonatus Umur Berat Badan Neonatus <1200 gr 1201-1500 gr 1501-2500 gr > 2500 gr 024 jam 34-35,4 33,3-34,4 31,8-33,8 31-33,8 24-48 jam 34-35 33-34,2 31,4-33,6 30,5-33 48-72
jam 34-35 33-34 31,2-33,4 30,1-33,2 72-96 jam 34-35 33-34 31,1-33,2 29,8-32,8 4-14 hari 32,634 31-33,2 29 2-3 minggu 32,2-34 30,5-33 3-4 minggu 31,6-33,6 30-32,2 4-5 minggu 31,2-33
29,5-32,2 5-6 minggu 30,6-32,3 29,31,8 Sumber : Klaus, M,H et al. (1998). Penatalaksanaan
Neonatus Resiko Tinggi : Mempertahankan Suhu Tubuh Untuk Mencegah Hipotermi Menurut
Indarso, F (2001) menyatakan bahwa untuk mempertahankan suhu tubuh bayi dalam mencegah
hipotermi adalah : (1)Mengeringkan bayi segera setelah lahir Cara ini merupakan salah satu dari
7 rantai hangat ; a.Menyiapkan tempat melahirkan yang hangat, kering dan bersih.
b.Mengeringkan tubuh bayi yang baru lahir/ air ketuban segera setelah lahir dengan handuk yang
kering dan bersih. c.Menjaga bayi hangat dengan cara mendekap bayi di dada ibu dengan
keduanya diselimuti (Metode Kangguru). d.Memberi ASI sedini mungkin segera setelah
melahirkan agar dapat merangsang pooting reflex dan bayi memperoleh kalori dengan :
-Menyusui bayi. -Pada bayi kurang bulan yang belum bisa menetek ASI diberikan dengan
sendok atau pipet. -Selama memberikan ASI bayi dalam dekapan ibu agar tetap hangat.
e.Mempertahankan bayi tetap hangat selama dalam perjalanan pada waktu rujukan.
f.Memberikan penghangatan pada bayi baru lahir secara mandiri. g.Melatih semua orang yang
terlibat dalam pertolongan persalinan. Menunda memandikan bayi lahir sampai suhu tubuh
normal Untuk mencegah terjadinya serangan dingin, ibu/keluarga dan penolong persalinan harus
menunda memandikan bayi. a.Pada bayi lahir sehat yaitu cukup bulan, berat < 2500 gram,
langsung menangis kuat, memandikan bayi ditunda 24 jam setelah kelahiran. Pada saat
memandikan bayi, gunakan air hangat. b.Pada bayi lahir dengan resiko, keadaan umum bayi
lemah atau bayi dengan berat lahir 2000 gram sebaiknya jangan dimandikan. Tunda beberapa
hari sampai keadaan umum membaik yaitu bila suhu tubuh stabil, bayi sudah lebih kuat dan
dapat menghisap ASI dengan baik. Menangani Hipotermi (1)Bayi yang mengalami hipotermi
biasanya mudah sekali meninggal. Tindakan yang harus dilakukan adalah segera menghangatkan
bayi di dalam inkubator atau melalui penyinaran lampu. (2)Cara lain yang sangat sederhana dan
mudah dikerjakan setiap orang ialah metode dekap, yaitu bayi diletakkan telungkup dalam
dekapan ibunya dan keduanya diselimuti agar bayi senantiasa hangat. (3)Bila tubuh bayi masih
dingin, gunakan selimut atau kain hangat yang diseterika terlebih dahulu yang digunakan untuk
menutupi tubuh bayi dan ibu. Lakukan berulangkali sampai tubuh bayi hangat. Tidak boleh
memakai buli-buli panas, bahaya luka bakar. (4)Biasanya bayi hipotermi menderita hipoglikemia
sehingga bayi harus diberi ASI sedikit-sedikit dan sesering mungkin. Bila bayi tidak dapat
menghisap beri infus glukosa 10% sebanyak 60-80 ml/kg per hari.
8. hypertermi
kenaikan suhu tubuh diatas 410 C (rectal). Merupakan keadaan gawat darurat medik dengan
angka kematian yang tinggi terutama pada bayi sangat muda, usia lanjut dan penderita-penderita
penyakit jantung.
Hiperpirexia terjadi karena produksi panas berlebihan, terhambatnya pengeluaran panas atau
kerusakan thermoregulator. Setiap kenaikan 10 C suhu tubuh akan menaikkan metabolisme +
13%, sehingga pada suhu 40,50 C metabolisme meningkat 50%, konsumsi oksigen meningkat,
terjadi metabolisme anaerob dan asidosis metabolik. Suhu > 410 C anak bisa mengalami kejang,
sedangkan suhu > 420 C dapat menyebabkan denaturasi dan kerusakan sel secara langsung.
Akibat yang bisa terjadi pada hiperpirexia :
1.
Renjatan / Hipovolemia
2.
3.
4.
5.
Nekrosis hepatosellular
6.
PENGOBATAN
Antipiretik tidak diberikan secara otomatis pada setiap penderita panas karena panas merupakan
usaha pertahanan tubuh, pemberian antipiretik juga dapat menutupi kemungkinan komplikasi.
Pengobatan terutama ditujukan terhadap penyakit penyebab panas.
Antipiretika.
Parasetamol : 10 -15 mg/kg BB/ kali (dapat diberikan secara oral atau rektal).
Metamizole ( novalgin )
Ibuprofen
9. hypoglikemi
BATASAN
Hipoglikemi adalah keadaan hasil pengukuran kadar glukose darah kurang dari 45 mg/dL (2.6
mmol/L).
PATOFISIOLOGI
Pada ibu DM terjadi transfer glukosa yang berlebihan pada janin sehingga respon insulin juga
meningkat pada janin. Saat lahir di mana jalur plasenta terputus maka transfer glukosa berhenti
sedangkan respon insulin masih tinggi (transient hiperinsulinism) sehingga terjadi hipoglikemi.
Hipoglikemi adalah masalah serius pada bayi baru lahir, karena dapat menimbulkan kejang yang
berakibat terjadinya hipoksi otak. Bila tidak dikelola dengan baik akan menimbulkan kerusakan
pada susunan saraf pusat bahkan sampai kematian.
Kejadian hipoglikemi lebih sering didapat pada bayi dari ibu dengan diabetes melitus.
Glukosa merupakan sumber kalori yang penting untuk ketahanan hidup selama proses persalinan
dan hari-hari pertama pasca lahir.
Setiap stress yang terjadi mengurangi cadangan glukosa yang ada karena meningkatkan
penggunaan cadangan glukosa, misalnya pada asfiksia, hipotermi, hipertermi, gangguan
pernapasan.
DIAGNOSIS
Anamnesis
Bayi puasa
Obat-obat yang dikonsumsi ibu, misalnya sterorid, beta-simpatomimetik dan beta blocker
Jitteriness
Sianosis
Apnea
Hipotermia
RDS
DIAGNOSIS BANDING
insufisiensi adrenal, kelainan jantung, gagal ginjal, penyakit SSP, sepsis, asfiksia, abnormalitas
metabolik (hipokalsemia, hiponatremia, hipernatremia, hipomagnesemia, defisiensi piridoksin).
Penyulit
- Hipoksia otak
- Kerusakan sistem saraf pusat
TATALAKSANA
a. Monitor
Pada bayi yang beresiko (BBLR, BMK, bayi dengan ibu DM) perlu dimonitor dalam 3 hari
pertama :
o Periksa kadar glukosa saat bayi datang/umur 3 jam
o Ulangi tiap 6 jam selama 24 jam atau sampai pemeriksaan glukosa normal dalam 2 kali
pemeriksaan
Kadar glukosa 45 mg/dl atau gejala positif tangani hipoglikemia
o
o Pemeriksaan kadar glukosa baik, pulangkan setelah 3 hari penanganan hipoglikemia selesai
18
Periksa glukosa darah pada : 1 jam setelah bolus dan tiap 3 jam
Bila kadar glukosa masih < 25 mg/dl, dengan atau tanpa gejala, ulangi seperti diatas
Bila kadar 25-45 mg/dl, tanpa gejala klinis :
-
2. Apabila masa inkubasi < 7 hari biasanya penyakit lebih parah dan angka
kematisnnya tinggi
Epidemiologi:
Faktor risiko:
Pemberian imunisasi TT pada ibu hamil tidak dilakukan atau tidak lengkap
Menjaga jalan nafas tetap bebas dan pasang spatel lidah agar tidak tergigit
Mencari tempat masuknya kuman tetanus, biasanya di tali pusat atau di telinga