TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi Thoraks
Thoraks merupakan kerangka dada yang terdiri dari tulang dan tulang rawan
dibatasi oleh:
Depan
Belakang
Samping
Bawah
: diafragma
Atas
: dasar leher
Isi
a.
b.
meliputi jantung dan pembuluh darah besar, esophagus, aorta desendens, duktus
toraksika, vena kava superior, saraf vagus dan frenikus serta jumlah besar kelenjar
limfe (Pearce dalam Padila, 2011).
Menurut Morton, dkk (2011) thoraks berisi sejumlah struktur utama saluran
pernapasan. Struktur tersebut meliputi rangka thoraks, otot-otot ventilasi, paruparu, ruang pleura, dan mediastinum.Rangka thoraks merupakan struktur yang
kaku tetapi fleksibel.Struktur tulang melindungi organ-organ penting yang
memisahkan oksigen dan darah oksigen menembus membran ini dan dipungut
oleh hemoglobin sel darah merah dan dibawa ke jantung. Dari sini dipompa
didalam arteri kesemua bagian tubuh. Darah meninggalkan paru-paru pada
tekanan oksigen 100 mm hg dan tingkat ini hemoglobinnya 95%. Di dalam paruparu, karbon dioksida, salah satu hasil buangan. Metabolisme menembus
membran alveoli, kapiler dari kapiler darah ke alveoli dan setelah melalui pipa
bronchial, trakea, dinafaskan keluar melalui hidung dan mulut (Price,2005).
2.2
Fisiologi Thorax
Dada merupakan organ besar yang membuka bagian dari tubuh yang sangat
mudah terkena tumbukan luka. Karena dada merupakan tempat jantung, paru dan
pembuluh darah besar. Trauma dada sering menyebabkan gangguan ancaman
kehidupan. Luka pada rongga thoraks dan isinya dapat membatasi kemampuan
jantung untuk memompa darah atau kemampuan paru untuk pertukaran udara dan
oksigen darah. Bahaya utama berhubungan dengan luka dada biasanya berupa
perdarahan dalam dan tusukan terhadap organ.
Luka dada dapat meluas dari benjolan yang relatif kecil dan goresan yang
dapat mengancurkan atau terjadi trauma penetrasi. Luka dada dapat berupa
penetrasi atau non penetrasi (tumpul). Luka dada penetrasi mungkin disebabkan
oleh luka dada yang terbuka, memberi kesempatan bagi udara atmosfer masuk ke
dalam permukaan pleura dan mengganggua mekanisme ventilasi normal. Luka
dada penetrasi dapat menjadi kerusakan serius bagi paru, kantung dan struktur
thoraks lain (Morton, dkk, 2011).
10
11
12
13
14
6)
7)
8)
9)
mengembang.
b) Latihan napas dalam.
c) Latihan batuk efektif.
d) Kontrol dengan pemeriksaan fisik dan radiologi.
Perhatikan cairan suction.keadaan dan banyaknya
Perdarahan dalam 24 jam setelah operasi umumnya 500-800 cc.
Suction harus berjalan efektif.
Perawatan slang dan botol WSD.
Dinyatakan berhasil apabila:
a) Paru sudah mengembang penuh dengan pemeriksaan fisik dan
radiologi.
b) Darah cairan tidak keluar dari WSD.
c) Tidak ada pus dalam selang WSD.
2.
Terapi
a. Terapi antibiotika.
b. Terapi analgetika.
c. Terapi expectorant (Padila, 2012).
15
16
17
Pernapasan pasien berlangsung lemah dan pergerakan toraks tampak asimetris dan
tidak terkoordinasi. Palpasi dari gangguan pergerakan respirasi dan krepitasi
tulang iga atau fraktur kartilago dapat menyokong diagnosis. Pada pemeriksaan
rontgen toraks akan ditemui fraktur costae multipel tetapi dapt juga tidak dijumpai
pemisahan costochondral. Analis gas darah arteri yang menunjukkan ada hipoksia
juga akan membantu menegakkkan diagnosis flail chest.
Penatalaksanaan definitif meliputi pemberian oksigenasi secukupnya,
pemberian cairan secara bijaksana dan analgesia untuk memperbaiki ventilasi.
Pemberian analgesia dapat dilakukan dengan pemberian narkotikaintravena atau
berbagai metode anestesi lokal yang tidak berpotensi memicu depresi pernapasan
seperti pada pemberian narkotika sistemik.
Pemilihan anestesi lokal yang meliputi blok saraf intermitten pada
intercostal, intrapleural, ekstrapleural, dan anetesi epidural. Bila digunakan
dengan tepat agen anestesi lokal dapat memberikan analgesia yang sempurna dan
menekan perlunya dilakukan intubasi. Pencegahan hipoksia juga merupakan
bagian penting dalam penanganan pasien trauma dimana intubasi dan ventilasi
pada periode waktu yang singkat diperlukan hingga diagnosis pola trauma secara
keseluruhan lengkap. Penilaian yang teliti akan kecepatan pernapasan, tekanan
oksigen arterial dan kemampuan pernapasan menjadi indikasi waktu pemasangan
intubasi dan ventilasi.
2.3.4 Hemothoraks Masif
Hemotoraks masif terjadi akibat akumulasi cepat lebih dari 1500 ml darah
atau satu pertiga atau lebih volume darah pasien dalam rongga toraks. Biasanya
terjadi akibat luka tembus yang merobek pembuluh darah sistemik atau hilar.
Hemotoraks masif juga dapat terjadi akibat trauma tumpul. Akumulasi darah dan
cairan dalam hemitoraks dapat mengganggu upaya pernapasan dengan menekan
paru dan mencegah ventilasi yang adekuat. Akumulasi akut darah secara dramatis
dapat bermanifestasi sebagai hipotensi dan syok.
2.4
18
2.5
2.5.1 Pengkajian
Berdasarkan letak fraktur maka dapat dibagi menjadi:
1. Fraktur 1-2 iga tanpa adanya penyulit/kelainan lain : konservatif (analgetika)
2. Fraktur > 2 iga : waspadai kelainan lain (edema paru,
hematotoraks,pneumotoraks)
3. Penatalaksanaan pada fraktur iga multipel tanpa penyulit pneumotoraks,
hematotoraks, atau kerusakan organ intratoraks lain, adalah:
a. Analgetik yang adekuat (oral/ iv / intercostal block)
b. Bronchial toilet
c. Cek Lab berkala : Hb, Ht, Leko, Tromb, dan analisa gas darah
d. Cek Foto Ro berkala
Dengan blok saraf interkostal, yaitu pemberian narkotik ataupun relaksan
otot merupakan pengobatan yang adekuat. Pada cedera yang lebih hebat,
perawatan rumah sakit diperlukan untuk menghilangkan nyeri,
penanganan batuk, dan pengisapan endotrakeal.
Berdasarkan tahapan penatalaksanaan
1. Primary survey
a. Airway dengan kontrol servikal
Penilaian:
1) Perhatikan patensi airway (inspeksi, auskultasi, palpasi)
2) Penilaian akan adanya obstruksi
3) Management: Lakukan chin lift dan atau jaw thrust dengan kontrol
servikal in-lineimmobilisasi, bersihkan airway dari benda asing
b. Breathing dan ventilasi
Penilaian :
1) Buka leher dan dada penderita, dengan tetap memperhatikan
kontrolservikal in-line immobilisasi
2) Tentukan laju dan dalamnya pernapasan
19
20
3) Beri cairan kristaloid 1-2 liter yang sudah dihangatkan dengan tetesan
cepat
4) Transfusi darah jika perdarahan masif dan tidak ada respon osterhadap
pemberian cairan awal.
5) Pemasangan kateter urin untuk monitoring indeks perfusi jaringan
d. Disability
1) Menilai tingkat kesadaran memakai GCS
2) Nilai pupil : besarnya, isokor atau tidak, refleks cahaya dan awasitandatanda lateralisasi.
e. Exposure/environment
1) Buka pakaian penderita
2) Cegah hipotermia : beri selimut hangat dan temapatkan padaruangan
yang cukup hangat.
Tambahan primary survey
3) Pasang monitor EKG
4) Kateter urin dan lambung
5) Monitor laju nafas, analisis gas darah
6) Pulse oksimetri
7) Pemeriksaan rontgen standar
8) Lab darahResusitasi fungsi vital dan re-evaluasi
9) Penilaian respon penderita terhadap pemberian cairan awal
10) Nilai perfusi organ (nadi, warna kulit, kesadaran, dan produksi urin) serta
awasi tanda-tanda syok
2. Secondary survey
a. Anamnesis AMPLE dan mekanisme trauma
b. Pemeriksaan fisik
1) Kepala dan maksilofasial
2) Vertebra servikal dan leher
3) Thorax
4) Abdomen
5) Perineum
6) Musculoskeletal
21
7) Neurologis
8) Reevaluasi penderita
Asuhan keperawatan pada umumnya yaitu:
Pengkajian
a. Identitas Diri
Meliputi nama, usia (sering terjadi pada usia 18-30 tahun), sebagian besar
berjenis kelamin laki-laki, pendidikan, pekerjaan, agama, suku bangsa,
tanggal dan jam MRS, nomor register, dan diagnosa medis (Padila, 2012).
b. Keluhan Utama
Yang sering menjadi alasan pasien untuk masuk ke dalam rumah sakit atau
meminta pertolongan kesehatan. Biasanya berhubungan nyeri pada dada
(Padila, 2012).
c. Riwayat Penyakit Sekarang
Mengkaji bagaimana terjadi trauma pada thoraks atau dada pasien tanyakan
alergi tertentu, obat-obatan yang diminum, makanan terakhir yang diminum,
pengalaman pembedahan serta alur pengobatan yang berhubungan dengan
diagnosa yang sudah ada (Padila, 2012).
d. Riwayat Penyakit Dahulu
Kaji adanya penyakit lain yang menyertai penyakit yang sekarang diderita
pasien (Padila, 2012).
e. Riwayat Penyakit Keluarga
Kaji apakah pasien memiliki penyakit hereditas (Padila, 2012).
f. Pengkajian Psiko-Sosio-Spiritual
Meliputi beberapa dimensi yang memungkinkan perawat untukmemperoleh
persepsi yang jelas mengenai status emosi, kognitif, dan perilaku pasien.
Mekanisme koping yang digunakan oleh pasien juga penting untuk dikaji
guna menilai respon emosi pasien, dan perubahan peran pasien didalam
keluarga, masyarakat, serta pengaruhnya dalam kehidupan sehari-hari baik
dalam keluarga ataupun masyarakat. Apakah terdapat dampak seperti
ketakutan akan kecacatan, rasa cemas, rasa ketidakmampaun beraktivitas, dan
pandangan terhadap dirinya yang salah. Adanya perubahan hubungan peran
karena pasien mengalami kesukaran untuk berkomunikasi akibat gangguan
22
bicara, mengkaji apakah dengan adanya pasien dirumah sakit, maka keadaan
ini memberikan dampak pada status ekonomi pasien karena biaya perawatan
dan pengobatan(Padila, 2012).
Pemeriksaan Fisik
a. B1 (Breathing)
1) Adanya sesak napas.
2) Nyeri, batuk-batuk.
3) Terdapat retraksi klavikula atau dada.
4) Pengembangan paru tidak simetris.
5) Fremitus menurun dibandingkan dengan sisi yang lain.
6) Pada perkusi ditemukan adanya suara sonor,hipersonor, timpani
hematothoraks (redup).
7) Pada auskultasi suara napas menurun, bising napas yang berkurang atau
menghilang.
8) Pekak dengan batas garis miring atau tidak jelas, dispnea dengan aktivitas
ataupun istirahat.
9) Gerakan dada tidak sama waktu bernapas.
b. B2 (Blood)
1) Nyeri dada meningkat karena pernapasan dan batuk.
2) Takikardia, lemah.
3) Pucat, Hb turun atau normal.
4) Hipotensi.
c. B3 (Brain)
Nyeri
d. B4 (Bladder)
Tidak ada kelainan
e. B5 (Bowel)
Tidak ada kelainan
f. B6 (Bone)
1) Kemampuan sendi terbatas.
2) Ada luka bekas tusukan atau benda tajam.
3) Terdapat kelemahan.
23
No
1.
Diagnosa
Keperawatan
Ketidakefektifan pola
napas berhubungan
dengan deformitas
efektif.
dinding dada.
Intervensi
Kriteria Hasil:
1. Frekuensi napas normal (16-
20x/menit)
2. Tidak menggunakan otot bantu
napas tambahan.
3. Tidak terdapat suara napas
tambahan.
mungkin
Ajarkan teknik relaksa
untuk membantu
menurunkan ansietas.
Pengajaran tersebut m
pemberian informasi t
imajinasi terbimbing,
meditasi.
Kolaborasi pemberian
oksigen.
2.
Ketidakefektifan perfusi
jaringan perifer
berhubungan dengan
kerusakan transport
oksigen melalui
Observasi tanda-tanda
tentang perlunya
tungkai, pentingnya la
mencegah cedera.
Kolaborasi pemberian
vasodilator.
3.
Konstipasi berhubungan
dengan tirah baring
lama.
menggunakan commo
samping tempat tidur,
penggunaan pispot.
Ajarkan kepada pasien
tentang penggunaan la
diet.
Identifikasi tingkat
berhubungan dengan
fungsional pasien.
nyeri.
kontraindikasi.
Kolaborasi untuk men
komplikasi, contoh he
Resiko infeksi
vena.
Observasi tanda-tanda
berhubungan dengan
tempat masuknya
organisme sekunder
akibat pembedahan
infeksi.
Kriteria Hasil:
1. Tidak ditemukan tanda-tanda
infeksi (rubor, tumor, dolor, kalor,
fungsiolesa)
2. Suhu tubuh dalam batas normal
(36-37,50 C)
3. Leukosit dalam batas normal (4.010.0 x 103 /uL)
hasil laboratorium.
Minimalkan risiko inf
Kolaborasi pemberian
6.
antibiotik.
Kaji jenis dan tingkat
berkurang/terkontrol.
Kriteria Hasil:
sekunder akibat operasi.
1. Pasien menjelaskan kadar dan
karakteristik nyeri.
2. Skala nyeri berkurang.
3. Pasien mengungkapakan perasaan
nyaman, berkurangnya nyeri.
karakteristik nyeri.
menyokong daerah ya
analgesik.
Observasi tingkat fung
terpenuhi.
hari.
Berikan privasi.
Berikan pendidikan
Kriteria Hasil:
higiene.
Sediakan alat bantu, se
perawatan higiene. Se
ajarkan penggunaanny