Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PRESENTASI KASUS

I.

II.

IDENTITAS PASIEN
Nama
Umur
Alamat
Pekerjaan
No. RM
Tanggal Masuk

: Tn. K
: 69 tahun
: Sibubud
:: 201500
: 19 Mei 2015

ANAMNESIS (Autoanamnesis)
Keluhan Utama
: Penurunan kesadaran mendadak sejak 1 jam SMRS
Keluhan Tambahan
: Demam dan muntah sejak 1 minggu SMRS, nyeri
kepala sejak 2 bulan SMRS, lemah dibagian
tubuh kiri, tidak dapat diajak berkomunikasi
Riwayat penyakit sekarang:
Pasien datang oleh keluarganya ke IGD RSUD Arjawinangun dengan
penurunan kesadaran mendadak sejak 1 jam SMRS. Penurunan kesadaran
timbul mendadak saat sedang tidur dan disertai muntah, demam, dan tidak
dapat diajak berkomunikasi. Anggota gerak sebelah kiri tidak bisa digerakkan
mendadak ketika pasien sadar, tangan kiri pasien terasa seperti keram, lemah
badan dirasakan pasien sampai ke kaki kiri, sehingga pasien tidak kuat
berjalan. Sebelumnya, pasien mengeluh nyeri kepala sejak 2 bulan SMRS.
Pasien tidak ada riwayat trauma. Pasien menyangkal bahwa pasien mengalami
kejang.
Pasien menyangkal sulit buang air besar dan buang air kecil. Keluhan
tidak

bisa

mencium

bau-bauan,

gangguan

penglihatan,

gangguan

pendengaran, gangguan keseimbangan disangkal oleh pasien, rasa tebal di


daerah wajah juga disangkal oleh pasien, pasien juga menyangkal adanya
kesulitan dalam menelan.
Sebelumnya, pasien mengeluh nyeri kepala sejak 2 bulan SMRS. Pasien
mengakui mempunyai riwayat hipertensi dan riwayat penyakit stroke sejak 1
bulan SMRS. Pasien mempunyai riwayat demam sejak 1 minggu SMRS
namun tidak diperiksa ke dokter. Pasien menyangkal kalau mempunyai
riwayat penyakit jantung. Pasien juga menyangkal adanya keluhan sering haus
1

terus menerus dan sering kencing pada malam hari. Pasien juga mengaku pada
saat awal gejala terjadi tidak meminum obat apapun.
Riwayat penyakit dahulu :
Riwayat nyeri kepala diakui pasien
Riwayat hipertensi diakui pasien
Riwayat demam diakui pasien
Riwayat stroke diakui pasien
Riwayat penyakit jantung disangkal
Riwayat kencing manis disangkal
Riwayat penyakit keluarga:
Tidak ada anggota keluarga yang mengalami keluhan yang sama dengan
pasien
III.

PEMERIKSAAN FISIK
A. Status Present
Keadaan Umum
: Tampak sakit sedang
Kesadaran
: Somnolen
GCS
: E4M3V1
Vital Sign
: TD
170/100 mmHg
Nadi
88 x/menit
Respirasi
22 x/menit
Suhu
39,60 C
Kepala
: Normocephal
Mata
: CA (-/-), SI (-/-), Pupil isokor, reflex cahaya
langsung (+), reflex cahaya tidak langsung (+)
THT
: Tidak terdapat masa, sekret, tidak hiperemis
Leher
: Pembesaran KGB (-), Pembesaran thyroid (-)
Thoraks
: Cor BJ I-II regular, murmur (-), gallop (-)
Pulmo vesicular bronkial sound (+/+), wheezing
Abdomen

(-/-), rhonki (-/-)


: datar, lembut, simetris, bising usus (+) normal,

Nyeri tekan (-) Nyeri lepas (-)


Ekstremitas atas
: Akral hangat, Edema (-/-), sianosis (-/-)
Ekstremitas bawah : Akral hangat, Edema (-/-), sianosis (-/-)
B. Status Neurologi
Kesadaran/GCS

: E4M3V1

Pupil
Kanan

Kiri

Bentuk

Bulat

Bulat

Diameter

3 mm

3 mm
2

refleks cahaya langsung

refleks cahaya tak lansung

Kanan

Kiri

Tanda rangsang meningeal

Kaku kuduk
Brudzinski I

Laseque

>70

>70

Kernig

>135

>135

Kanan

Kiri

Brudzinski II

Saraf Kranial

N. I (olfactorius)

Tidak dilakukan

Tidak dilakukan

Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan

Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan

N. II(opticus)

Visus
Lapang pandang
Warna
Funduskopi
Konfrontasi
Reflek cahaya langsung

N. III (oculomotorius)
Ptosis
Pergerakan bola mata
N. IV (troklearis)
N. V (trigeminus)
Mengunyah
Sensibilitas wajah
Reflek limbus kornea

N. VI(abdusen)

Baik

Baik
Baik

Baik

Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan

Baik

Baik
3

N. VII (facialis)
Siul
Kerut dahi
Tersenyum
Perasa lidah
Angkat alis
N. VIII(vestibulococlearis)
Tes rhinne
Tes weber
Tes swabach
N. IX (glossofaringeus)
Posisi uvula
Reflek muntah
N. X (vagus)
N. XI (asesorius)
Menengok
Mengangkat bahu

Simetris kanan kiri


Simetris kanan kiri
Tidak dilakukan
Kanan = kiri
Tidak dilakukan

Tidak dilakukan

Tidak dilakukan

Tidak dilakukan

Tidak dilakukan

Tidak dilakukan

Baik
+

Baik
+

N. XII (hipoglosus)
Menjulurkan lidah
Tremor
Kanan kiri

Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan

Motorik
Kanan

Kiri

Kekuatan
ekstremitas atas
ekstremitas bawah

4
4

1
1

Refleks fisiologis
biceps

triceps

patella

achilles

Refleks patologis
Hoffman
Tromner
Babinski group

Keseimbangan dan Koordinasi


kanan

Kiri

Romberg

Disdiadokokinesis

Tes finger to nose

Tes tumit- lutut

Rebound phenomen

Fungsi Vegetatif : BAB (+), BAK (+), keringat (+)


IV.

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Lab (19 Mei 2015)

LAB

RESULT

WBC

UNIT

NORMAL

18,50

10^3/

5.2-12.4

LYM %

6,3

19-48

MON%

0,9

3,4-9

RBC

4,5

10^6/

4.7-6.1

HGB

13,4

g/dl

14.0-18.0

HCT

38,3

42.0-52.0

MCV

85,2

MCH

29,8

Pg

27.0-31.0

MCHC

35.0

g/dl

33.0-37.0

RDW

13,4

11.5-14.5

PLT

347

10^3/

150.0-450.0

V.

FLAGS

80.0-94.0

RESUME
5

A. Subjektif
Pasien datang ke IGD RSUD Arjawinangun dengan penurunan kesadaran
sejak 1 jam SMRS. Keluhan disertai muntah, demam, dan kelemahan
pada ekstremitas kiri. Pasien tidak dapat diajak berkomunikasi. Pasien
mempunyai riwayat hipertensi dan stroke. Sebelumnya, pasien mengeluh
sakit kepala sejak 2 bulan yang lalu.
B. Objektif
Status Generalis
Kesadaran
: Somnolen
GCS
: E4M3V1
Tekanan Darah
: 170/100 mmHg
Nadi
: 88 kali/menit
Respirasi
: 22 kali/menit
Suhu
: 39,6 0 C
Status Neurologis
Tanda rangsang meningeal : Kekuatan otot
: 44/11
Reflek patologis
: Babinski +
Reflek fisiologis
: +
Fungsi vegetative
: Baik
Pemeriksaan penunjang
Lab darah
VI.

DIAGNOSIS
Diagnosis klinis
Diagnosis topis
Diagnosis etiologi

VII.

: Hemiparese sinistra, penurunan kesadaran.


: Hemisfer Cerebri Dextra
: Abses Otak

DIAGNOSIS BANDING
Stroke Hemorraghik, Tumor ganas, Ensefalitis

VIII. PEMERIKSAAN ANJURAN


Cek kadar kolesterol HDL/LDL, trigliserida, fungsi hati, ginjal, serta
elektrolit, CT-Scan Kepala.

IX.
PENATALAKSANAAN
NON FARMAKOLOGIS:
Pasien diberikan edukasi seputar penyakitnya, diantaranya:
a. Motivasi penderita untuk tetap rajin kontrol hipertensi dan latihan rutin
agar dapat beraktivitas sehari-hari seperti biasanya.
b. Motivasi menjaga asupan makanan rendah garam dan menghindari asupan
6

kolesterol agar hipertensi terkontrol.


c. Motivasi keluarga pasien agar selalu memberi dukungan dan semangat
psikologis pada pasien untuk membantu proses penyembuhan.
FARMAKOLOGIS:
Terapi Umum ;
Bedrest
Infus Asering 20 gtt/menit + Neurobath
Terapi Khusus :
o Citicolin 2 x 500 mg
o Ranitidin 2 x 1amp
o Inj. Cefriaxone 2 x 1 inj
X.

PROGNOSIS
Quo ad vitam
Quo ad functionam

: dubia ad malam
: dubia ad malam

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI
Abses otak (AO) adalah suatu proses infeksi dengan pernanahan yang
terlokalisir diantara jaringan otak yang disebabkan oleh berbagai macam variasi
bakteri, fungus dan protozoa (Hakim, 2005).
Abses otak (AO) adalah suatu reaksi piogenik yang terlokalisir pada jaringan
otak. AO pada anak jarang ditemukan dan di Indonesia juga belum banyak dilaporkan.
Morgagni (1682-1771) pertama kali melaporkan AO yang disebabkan oleh peradangan
telinga. Pada beberapa penderita dihubungkan dengan kelainan jantung bawaan
sianotik.Mikroorganisme penyebab abses otak meliputi bakteri, jamur dan parasit
tertentu. Mikroorganisme tersebut mencapai substansia otak melalui aliran darah,
perluasan infeksi sekitar otak, luka tembus trauma kepala dan kelainan
kardiopulmoner. Pada beberapa kasus tidak diketahui sumber infeksinya (Hakim,
2005).
B. EPIDEMIOLOGI
Abses otak dapat terjadi pada berbagai kelompok usia, namun paling sering
terjadi pada anak berusia 4 sampai 8 tahun. Penyebab abses otak yaitu, embolisasi oleh
penyakit jantung kongenital dengan pintas atrioventrikuler (terutama tetralogi fallot),
meningitis, otitis media kronis dan mastoiditis, sinusitis, infeksi jaringan lunak pada
wajah ataupun scalp, status imunodefisiensi dan infeksi pada pintas ventrikuloperitonial
(VP-Shunt). Patogenesis abses otak tidak begitu dimengerti pada 10-15% kasus.
Walaupun teknologi kedokteran diagnostik dan perkembangan antibiotika saat ini
telah mengalami kemajuan, namun rate kematian penyakit abses otak masih tetap tinggi,
8

yaitu sekitar 10-60% atau rata-rata 40%. Penyakit ini sudah jarang dijumpai terutama di
negara-negara maju, namun karena resiko kematiannya sangat tinggi, abses otak
termasuk golongan penyakit infeksi yang mengancam kehidupan masyarakat (life
threatening infection).

C. ETIOLOGI
Berdasaran bakteri penyebab, maka etiologi dari abses otak dapat dibagi menjadi:
1. Organisme aerobik:
Gram positif : Streptokokus, Stafilokokus, Pneumokokus
Gram negatif : E. coli, Hemophilus influenza, Proteus, Pseudomonas
2. Organisme anaerobik: B. fragilis, Bacteroides sp, Fusobacterium sp, Prevotella sp,
Actinomyces sp, dan Clostridium sp.
3. Fungi : Kandida, Aspergilus, Nokardia
4. Parasit : E. histolytica, Schistosomiasis, Amoeba
Sebagian besar abses otak berasal langsung dari penyebaran infeksi telinga
tengah, sinusitis (paranasal, ethmoidalis, sphenoidalis dan maxillaries). Abses otak dapat
timbul akibat penyebaran secara hematogen dari infeksi paru sistemik (empyema, abses
paru, bronkiektase, pneumonia), endokarditis bakterial akut dan subakut dan pada
penyakit jantung bawaan Tetralogi Fallot (abses multiple, lokasi pada substansi putih dan
abu dari jaringan otak).
Abses otak yang penyebarannya secara hematogen, letak absesnya sesuai dengan
peredaran darah yang didistribusi oleh arteri cerebri media terutama lobus parietalis, atau
cerebellum dan batang otak. Dapat juga timbul akibat trauma tembus pada kepala atau
trauma pasca operasi.
Abses dapat juga dijumpai pada penderita penyakit immunologik seperti AIDS,
penderita penyakit kronis yang mendapat kemoterapi/steroid yang dapat menurunkan
sistem kekebalan tubuh. 20-37% penyebab abses otak tidak diketahui. Penyebab abses
yang jarang dijumpai, osteomyelitis tengkorak, sellulitis, erysipelas wajah, abses tonsil,
9

pustule kulit, luka tembus pada tengkorak kepala, infeksi gigi luka tembak di kepala,
septikemia. Berdasarkan sumber infeksi dapat ditentukan lokasi timbulnya abses di lobus
otak.
Infeksi sinus paranasal dapat menyebar secara retrograde thrombophlebitis
melalui klep vena diploika menuju lobus frontalis atau temporal. Bentuk absesnya
biasanya tunggal, terletak superficial di otak, dekat dengan sumber infeksinya. Sinusitis
frontal dapat juga menyebabkan abses di bagian anterior atau inferior lobus frontalis.
Sinusitis sphenoidalis dapat menyebakan abses pada lobus frontalis atau temporalis.
Sinusitis maxillaris dapat menyebabkan abses pada lobus temporalis. Sinusitis
ethmoidalis dapat menyebabkan abses pada lobus frontalis. Infeksi pada telinga tengah
dapat pula menyebar ke lobus temporalis. Infeksi pada mastoid dan kerusakan tengkorak
kepala karena kelainan bawaan seperti kerusakan tegmentum timpani atau kerusakan
tulang temporal oleh kolesteatoma dapat menyebar ke dalam serebelum.
Faktor predisposisi dapat menyangkut host, kuman infeksi atau faktor lingkungan:
1. Faktor tuan rumah (host)
Daya pertahanan susunan saraf pusat untuk menangkis infeksi mencakup
kesehatan umum yang sempurna, struktur sawar darah otak yang utuh dan efektif,
aliran darah ke otak yang adekuat, sistem imunologik humoral dan selular yang
berfungsi sempurna.
2. Faktor kuman
Kuman tertentu cenderung neurotropik seperti yang membangkitkan
meningitis bacterial akut, memiliki beberapa faktor virulensi yang tidak
bersangkut paut dengan faktor pertahanan host. Kuman yang memiliki virulensi
yang rendah dapat menyebabkan infeksi di susunan saraf pusat jika terdapat
ganggguan pada sistem limfoid atau retikuloendotelial.
3. Faktor lingkungan
Faktor tersebut bersangkutan dengan transisi kuman. Yang dapat masuk ke
dalam tubuh melalui kontak antar individu, vektor, melaui air, atau udara.

10

D. ANATOMI OTAK
Anatomi otak adalah struktur yang kompleks dan rumit. Organ ini berfungsi sebagai
pusat kendali dengan menerima, menafsirkan, serta mengarahkan informasi sensorik di
seluruh tubuh. Ada tiga divisi utama otak, yaitu otak depan, otak tengah, dan otak
belakang.

Pembagian otak:
1. Prosencephalon - Otak depan
2. Mesencephalon - Otak tengah
o Diencephalon = thalamus, hypothalamus
o Telencephalon= korteks serebri, ganglia basalis, corpus striatum
3. Rhombencephalon - Otak belakang
o Metencephalon= pons, cerebellum
11

o Myelencephalon= medulla oblongata


Sawar darah otak memisahkan dua kompartemen utama dari susunan saraf, yaitu
otak dan likuor serebrospinalis, dari kompartemen ketiga, yaitu darah. Tempattempat
rintangan itu adalah tapal batas antara darah dan kedua kompartemen susunan saraf
tersebut di atas, yaitu pleksus korioideus, pembuluh darah serebral dan ruang
subarachnoid serta membrane araknoid yang menutupi ruang subaraknoid.
Semua tempat sawar dibentuk oleh sel-sel yang bersambung satu dengan yang lain
dengan tight junction, yang membatasi difus interseluler. Sel-sel tersebut adalah
endothelium pembuluh darah, epithelium pleksus korioideus dan sel-sel membran
araknoid serta perineurium. Sawar darah otak dapat mengalami perubahan jika terjadi
beberapa proses patologis, seperti anoksia dan iskemia, lesi destruktif dan proliferatif,
reaksi peradangan dan imunologik, dan juga jika terdapat autoregulasi akibat sirkulasi
serebral yang terganggu.

E. KLASIFIKASI
Perjalanan bentuk abses otak oleh infreksi Streptococcus alfa hemolitikus secara
12

histologis dibagi dalam 4 fase, dan ini memerlukan waktu sampai 2 minggu untuk
terbentuknya kapsul dari abses.
Keempat fase tersebut adalah :
1. Early cerebritis ( hari ke 1 - 3 )
2. Late cerebritis ( hari ke 4 9 )
3. Early capsule formation ( hari ke 10 13 )
4. Late capsule formation ( hari ke 14 atau lebih )

A. Early cerebritis
Terjadi reaksi radang lokal dengan infiltrasi polimorfonuklear leukosit, limfosit dan
plasma sel dengan pergeseran aliran darah tepi. Dimulai pada hari pertama dan
meningkat pada hari ke-tiga. Sel-sel radang terdapat pada tunika adventisia dari
pembuluh darah dan mengelilingi daerah nekrosis infeksi. Peradangan perivaskuler
ini disebut cerebritis. Pada waktu ini terjadi edema sekitar otak dan peningkatan efek
dari massa oleh karena pengembangan abses.
Gambaran CT Scan :
-

Pada hari pertama terlihat daerah yang hipodens dengan sebagian gambaran
seperti cincin.

Pada hari ketiga gambaran cincin lebih jelas, sesuai derngan diameter
cerebritisnya, didapati mengelilingi pusat nekrosis.

B. Late Cerebritis
Pada wakti ini terjadi perubahan histologis yang sangat berarti. Daerah pusat
nekrosis membesar oleh karena meningkatnya acellular debris dan pembentukan
nanah oleh karena perlepasan enzim-enzim dari sel radang.Pada tepi-tepi pusat
13

nekrosis didapati daerah sel-sel radang, makrofag- mafrofag besar dan gambaran
fibroblas yang terpencar-pencar. Fibroblas mulai menjadi anyaman retikulum, yang
akan membentuk kapsul kollagen, lesi menjadi sangat besar.
Gambaran CT Scan :
-

Gambaran cincin sempurna, 10 menit setelah pemberian kontras perinfus.


Kontras masuk ke daerah sentral dengan gambaran lesi yang homogen.
Gambaran ini menunjukkan adanya cerebritis.

C. Early Capsule Formation


Pusat nekrosis mulai mengecil, makrofag-makrofag menelan acelluler debris dan
fibroblas meningkat dalam pembentukan kapsul. Lapisan fibroblas membentuk
anyaman retikulum, mengelilingi pusat nekrosis. Di dalam ventrikel, pembentukan
dinding sangat lambat oleh karena kurangnya vaskularisasi di daerah substansi alba
dibandingkan dengan substansi

grisea.

Pembentukan

kapsul

yang terlambat

dipermukaan tengah memungkinkan abses membesar ke dalam substansia alba. Bila


abses cukup besar, dapat robek ke dalam ventrikel lateralis. Pada pembentukan
kapsul, terlihat daerah anyaman retikulum yang tersebar membentuk

kapsul

kollagen. Mulai meningkatnya reaksi astrosit di sekitar otak.


Gambaran CT Scan :
-

Hampir sama dengan fase cerebritis, tetapi pusat nekrosis terlihat lebih kecil.

Kapsul terlihat lebih tebal.

D. Late Capsule Formation


Terjadi perkembangan lengkap dari abses otak dengan gambaran histologisnya
14

berupa:
-Bentuk pusat nekrosis diisi oleh acelluler debris dan sel-sel radang.
-Daerah tepi dari sel radang, mafrofag, dan fibroblas.
-Kapsul kolagen yang tebal.
-Lapisan neovaskuler sehubungan dengan cerebritis yang berlanjut.
-Reaksi astrosit, gliosis, dan edema otak di luar kapsul.
Gambaran CT Scan :
-

Gambaran kapsul dari abses jelas terlihat, sedangkan daerah nekrosis diisi
oleh kontras.

F. Gambaran Klinis
Penderita datang dengan keluhan berupa sakit kepala, mintah-muntah, kejang
dan bisa disertai gangguan penglihatan. Pada pemeriksaan fisik didapatkan demam,
kaku kuduk, papil bendung, bisa pula dijumpai pupil anisokor, afasia, hemiparese,
parastesia, nistagmus ataupun ataksis. Gejala- gejala tersebut tergantung pada
berbagai faktor seperti lokasi abses, virulensi dari bakteri penyebab, apakah edema
otak hebat dan kondisi tubuh atau daya tahan si penderita sendiri. Tidak dijumpai
tanda-tanda spesifik dan gejala yang khas untuk suatu abses otak.
Paling sering dijumpai tanda-tanda umum peningkatan tekanan intrakranial.
Bisa dijumpai tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial tanpa tanda-tanda
infeksi pada waktu penderita datang ke rumah sakit. Pada umumnya peningkatan
tekanan intrakranial oleh tumor jinak lebih pelan daripada oleh abses otak.
Pada abses yang letaknya pada silent area dari otak seperti pada lobus
frontalis atau lobus temporal non dominan, mungkin didapati pembesaran abses
sebelum adanya gejala-gejala dan tanda-tanda.
Gejala sakit kepala yang hebat pada penderita abses otak ini sering tidak
15

dapat diatasi hanya dngan pengobatan simptomatis saja. Hampir seluruh penderita
didapati keluhan sakit kepala. Beberapa gejala-gejala dengan persentase sebagai
berikut : muntah (25-50%), kejang-kejang (30-50%). Pada penderita dengan abses
serebelli, didapatkan gejala-gejala pusing, vertigo, ataksis, dan gejala- gejala
serebelar lainnya.

Gejala fokal yang sering ditemukan (61%) pada kasus dengan

abses supratentorial. Pada abses temporal dapat dijumpai gangguan bicara pada
19,6% kasus, hemianopsia pada 31% kasus, 20,5% kasus dijumpai unilateral
midriasis yang merupakan indikasi terjadinya herniasi tentorial. 30% dari kasus tidak
didapati tanda-tanda fokal.

G. DIAGNOSIS
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gambaran klinik, pemeriksaan laboratorium
disertai pemeriksaan penunjang lainnya. Foto polos kepala memperlihatkan tanda
peninggian tekanan intrakranial, dapat pula menunjukkan adanya fokus infeksi
ekstraserebral; tetapi dengan pemeriksaan ini tidak dapat diidentifikasi adanya abses.
Pemeriksaan EEG terutama penting untuk mengetahui lokalisasi abses dalam
hemisfer. EEG memperlihatkan perlambatan fokal yaitu gelombang lambat delta
dengan frekuensi 13 siklus/detik pada lokasi abses.
Pnemoensefalografi penting terutama untuk diagnostik abses serebelum.
Dengan arteriografi dapat diketahui lokasi abses di hemisfer. Saat ini, pemeriksaan
angiografi mulai ditinggalkan setelah digunakan pemeriksaan yang relatif noninvasif
seperti CT scan. Dan scanning otak menggunakan radioisotop tehnetium dapat
diketahui lokasi abses; daerah abses memperlihatkan bayangan yang hipodens
daripada daerah otak yang normal dan biasanya dikelilingi oleh lapisan hiperderns.

16

CT scan selain mengetahui lokasi abses juga dapat membedakan suatu serebritis
dengan abses.
H. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1.

CT scan
1. Early cerebritis : fokal, daerah inflamasi dan edema
2. Late cerebritis : daerah inflamasi meluas dan terdapat nekrosis dari
zonacentral inflamasi
3. Early capsule stage : gliosis post infeksi, fibrosis, hipervaskularisasi pada
batas pinggir daerah yang terinfeksi. Pada stadium ini dapat terlihat
gambaran ring enhancement.
4. Late capsule stage : terdapat daerah sentral yang hipodens (sentral abses)
yang dikelilingi dengan kontras ring enhacement (kapsul abses)

Early cerebritis pada CT Scan

2.

Pemeriksaan MRI
Pemeriksaan Magnetic Resonance Imaging saat

ini banyak digunakan, selain

memberikan diagnosis yang lebih cepat juga lebih akurat.

17

3. Pemeriksaan Laboratorium.
Pemeriksaan jumlah leukosit dan laju endap darah hasilnya selalu abnormal. Pada
3
60-70% kasus dijumpai jumlah leukosit antara 10.000-20.000/cm . Sampai 40%
kasus dijumpai normal atau sedikit meningkat. Laju endap darah meningkat pada 7590% kasus, rata-rata 45 mm/jam. Cairan serebrospinal tidak dianjurkan untuk
diperiksa. Abnormalnya hasil LP tidak spesifik untuk abses otak. Penderita abses
otak dengan peninggian tekanan intrakranial, terlalu beresiko untuk dilakukan LP (
lumbal pungsi ).

I. DIAGNOSA BANDING
Dari gejala-gejala dan keluhan yang umum pada penderita dengan peningkatan
tekanan intrakranial serta kemungkinan didapatkan tanda-tanda infeksi, maka abses
otak ini didiagnosis banding antra lain dengan tumor, terutama tumor ganas yang
tumbuh dengan cepat, tromboflebitis intra serebral, empiema subdural, abses
ektra dural dan ensefalitis.

J. KOMPLIKASI
Sebagai komplikasi didapati robeknya kapsul abses kedalam ventrikel atau
keruangan subarakhnoidal, penyumbatan cairan serebrospinalis mengakibatakan
hidrosefalus, edema otak dan terjadinya herniasi tentorial oleh massa abses otak
tersebut.
K. PENATALAKSANAAN
Pengobatan abses otak ditujukan kepada menghilangkan proses infeksi dan
mengurangkan atau menghilangkan efek massa pada otak dan oleh edema otak,
sebagian besar infeksi ini diobati dengan antibiotika yang tepat dan dihilangkan
18

dengan tindakan pembedahan, baik dengan aspirasi maupun dengan eksisi.


Williams-Maurice RS melaporkan bahwa tindakan bedah yang memuaskan
hasilnya adalah evakuasi, eksisi total beserta kapsul abses, mereka melakukan
pembedahan semua kasus dengan pembiusan umum. Pendekatan dengan osteoplastik
supratentorial dan intratentorial, ataupun suboksipital osteoklastik luas dengan
membuang arkus dari atlas untuk dekompresi. Pengobatan medikamentosa
disesuaikan dengan hasil kultur dari abses otak, kultur darah ataupun sekret
nasofaring.
Beberapa peneliti melaporkan hasil pengobatan hanya dengan medikamentosa
saja pada beberapa kasus berhasil, tetapi ini banyak yang menentang. Heineman et al
(1971) memperkenalkan cara pengobatan hanya dengan antibiotika tanpa tindakan
pembedahan. Dilaporkan, pada abses otak dengan fase cerebritis pengobatan hanya
dengan antibiotika. Diperiksa kultur darah, cairan serebrospinal, sesuai dengan kultur
luka apabila ditemukan. Tidak

diperiksa

bakteriologis

dari

nanah

abses

intrakranial. Untuk mengurangi edema otak, digunakan kortikosteroid.


Rosenblum dkk menemukan pengobatan medikamentosa pada abses yang kecil
dengan diameter rata-rata 1,7 cm ( 0,8 2,5 cm ). Kalau diameter lebih besar antara
2 6 cm ( rata-rata 4,2 cm ) dianjurkan untuk dilakukan tindakan bedah. Sebagai
tambahan bahwa ada beberapa abses otak yang kecil yang tidak berhasil dengan
pengobatan antibiotika, bahkan absesnya bertambah besar, pada pengobatan dengan
hanya antibiotika ini diperlukan pemeriksaan CT Scan secara serial. Kalau dari hasil
CT Scan memperlihatkan keadaan bertambah buruk, maka ini merupakan indikasi
untuk dilakukan pembedahan.

19

Penderita dengan abses otak yang multipel, kemungkinan hanya abses yang
besar saja yang dapat dilakukan aspirasi atau eksisi dan ini sangat riskan.
Maka selain tindakan pembedahan, untuk abses yang dalam dan riskan diperlukan
pemberian antibiotika.
Adapun antibiotika yang dianjurkan diantara nya :
-

Kombinasi

penisilin

dan

metronidazol/kloramfenikol

adalah pilihan pertama.

Kombinasi alternatif adalah sefalosporin generasi III seperti seftriakson/sefotaksim


dan metronidazol.
-

Penisilin G atau sefalosporin generasi III ( sefotaksim, seftriakson ) dapat digunakan


untuk Streptococci sp. Dosis penisilin G 20-24 juta unit, dan juga 4-6 juta unit.
Kloramfenikol atau metronidazol dapat dierikan secara intravena dengan loading
dose 15 mg/kg diikuti 7,5 mg/kg setiap 6 jam.

Golongan penisilin resisten beta laktam ( oksasilin, metisilin, nafilin ) dengan


dosis 1,5 g setiap 4 jam IV atau vankomisin dosis
1 g setiap 12 jam IV, diberikan untuk Staphylococcus aureus, paska operasi
saraf, trauma, atau endokarditis bakterialis.

Metronidazol dosis 500 mg setiap 6 jam dapat menembus sawar darah otak dan
tidak dipengaruhi oleh kortikosteroid, tetapi hanya aktif untuk bakteri Streptococcus
anaerob, aerob, dan mikroaerofilik,

Sefalosporin generasi III ( sefotaksim, seftriakson ) umumnya adekuat untuk


organisme gram negatif aerob. Jika terdapat Pseudomonas, sefalosporin parenteral
pilihan adalah seftazidim atau sefepim.

Trimetoprim-sulfametoksazol

dosis

tinggi

15

mg/kg/hari

dari komponen

trimetoprim dibagi 3 - 5 dosis untuk abses otak dengan penyebab Nikardia sp. Dosis
dapat diturunkan 1/2

selama 3-6 bulan pada pasien tanpa penekanan imun dan

selama 1 tahun pada pasien dengan penekanan imun.


Apabila didapatkan sinusitis, mastoiditis, dilakukan drainase. Pada kasus-kasus
abses otak yang dilakukan tindakan pembedahan digunakan dua cara yaitu aspirasi
melalui pengeboran tulang tengkorak dan eksisi melalui kraniotomi.
Tindakan Pembedahan
Aspirasi
Lebih dahulu dilakukan desinfeksi dan penentuan lokasi yang akan diaspirasi.
Dengan hasil CT Scan yang ada, dapat ditentukan secara pasti. Dilakukan pembuisan
lokal dengan memakai prokain 1 %, diinfiltrasikan ke kulit di daerah yang akan
dilakukan pengbeboran. Kemudian dibuat insisi kulit kulit kepala sebesar 3-5 cm
lapis demi lapis sampai pada periosteum. Setelah tulang tampak jelas, daerah operasi
tersebut dengan alat dibuka selebar-lebarnya. Dengan alat dilakukan pengeboran
tulang sampai terlihat duramater. Duramater dibersihkan, kalau ada perdarahan
dirawat sampai benar-benar bersih. Dengan pisau runcing perlahan-lahan duramater
diiiris sampai lapisan arakniod. Setelah korteks serebri terlihat jelas, daerah yang
akan dilakukan pungsi atau aspirasi dibakar dengan alat elektris. Dengan jarum
pungsi khusus, dilakukan aspirasi nanah pada abses. Jarum pungsi tetap di dalam
kapsul abses, dengan semprit 10 cc dilakukan aspirasi berulang- ulang kemudian
diirigasi dengan larutan garam fisiologis sampai bersih. Akhirnya ke dalam rongga
abses dimasukkan larutan 3 cc Garamicin 10 mg. Dipasang drain, dan setiap hari
drain diawasi dan dilakuan irigasi dengan larutan Garamicin 20 mg. Kalau sampai
3-5 hari hail dari irigasi terlihat jernih, tidak terbentuk pernanahan baru maka
drain dapat dilepaskan. Drain dapat dipertahankan sampai gari ke-7 -10 dengan
dijaga kesterilannya.
Disamping itu sejak sebelum pembedahan penderita telah mulai diberi
antibiotika dengan dosis tinggi seperti ampicillin 6x1 g, kloramfenikol 4 x 500

mg, metronidazol 2 x 500 mg. Sampai menunggu hasil kultur, obat-obat tersebut
terus diteruskan. Pemberian antibiotika yang sesuai diberikan sampai dengan 6
minggu setelah tindakan pembedahan. Pemberian deksametason 4 x 5 mg diturunkan
perlahan-lahan setelah pembedahan.

Kraniotomi Osteoplastik
Penderita dipersiapkan dengan persiapan bedah selengkap-lengkapnya.
pembedahan dilakukan dengan pembiusan umum. Tergantung dari lokasi absesnya,
kita melakukan kraniotomi osteoplastik dan flap kulit dipersiapkan. untuk abses fosa
posterior/serebellum dilakukan suboksipital kraniotomi yang luas, sampai membuang
arkus dari tulang atlas bila diperlukan. Setelah insisi kulit sesuai dengan lokasi
absesnya, dilakukan pengeboran dibeberapa tempat untuk
Tulang

dilepaskan,

duramater

dibuka

kraniotomi

tersebut.

lebar. Dengan jarum fungsi khusus

dilakukan penusukan pada absesnya. Dilakukan aspirasi, disediakan untuk dikultur.


Kemudian melalui bekas pungsi, diikuti dengan spatel sampai dinding abses
tersebut terlihat. Korteks serebri diinsisi sepanjang 2-4 cm sampai dinding abses
yang paling permukaan ditemukan. Secara perlahan-lahan dinding abses dibebaskan
dari jaringan otak yang normal sampai terlepas keseluruhannya. Daerah bekas abses
dicuci dengan larutan antibiotika seperti Garamycin. Setalah perdarahan dihentikan
dan luka pembedahan bersih, duramater ditutup rapat kembali, dijahit dengan cara
interupted suture dengan benang sutura 03. Tulang dikembalikan, periosteum
dijahit. Kulit dijahit lapis demi lapis. Dipasang drain subkutan.
Pemberian antibiotika diteruskan sambil menunggu hasil kultur dan sensitivitas
test. Sebagai pencegahan, diberi anti konvulsan Dilantin 5 mg/kgBB. Setelah satu
minggu kemudian, dibuat CT Scan sebagai kontrol.

DAFTAR PUSTAKA

Dewantoro, G dkk., Panduan Praktis Diagnosis dan tata Laksana Penyakit


Saraf., Jakarta : EGC., 2009.
Hakim, AR., Pengamatan Pengelolaan Abses Otak di RSUD dr. Soetomo FK
Universitas Airlangga Surabaya pada tahun 1984-1986, Lab/UPF
Ilmu Bedah FK UNAIR/dr. Soetomo Surabaya., 1986.
Panitia Lulusan Dokter 2002-2003 FKUI., Updates in Neuroemergencies., Jakarta
: Balai Penerbit FKUI., 2002.
Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia., Buku ajar Neurologi Klinis.,
Yogyakarta : Gadjah Mada University Press., 1996.
Lu CH, Chong WN, Lui CC. Strategies for the management of Bacterial Brain
Abscess. J Clin Neurosc. Dec 2006: 13 (10): 979
Carpenter J, Stapleton S, Hollman R, Retrospective analysis of 49 cases of Brain
Abscess and Review of the Literature. Eur J Clin Microbial Dis. Jan 2007:
26 (1) : 1-11.
Mardjono, M. Sidharta, P. 2006. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta: Penerbit Dian Rakyat.
Bailey
R,
2011.
Anatomy
of
thr
Brain.
Available
http://biology.about.com/od/humananatomybiology/a/anatomybrain.htmaccesed
may 2011.

at
16

Anda mungkin juga menyukai