Anda di halaman 1dari 27

KATA PENGANTAR

Dengan rahmat Allah SWT, saya dapat menyelesaikan penyusunan referat saya yang
berjudul Manajemen Hipertensi Pada Stroke. Referat ini disusun untuk memenuhi tugas
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Saraf di RSUD Arjawinangun, periode 18 Mei 2015 20
Juni 2015.
Saya mengucapkan banyak terima kasih kepada dokter pembimbing saya dr. Wahyu
Pamungkas, Sp.S, MKes dan seluruh pihak yang telah membantu saya dalam penyusunan
referat ini. Semoga referat ini dapat bermanfaat bagi para pembacanya.
Demikianlah kata pengantar dari saya, sebelumnya saya mohon maaf yang sebesarbesarnya jikalau masih banyak kekurangan dan kesalahan pada referat ini. Oleh karena itu
saya berharap para pembaca dapat memberikan saran dan kritik untuk perbaikan referat ini.

Cirebon, Juni 2015

Penulis

BAB I
PENDAHULUAN
Stroke adalah penyebab kematian urutan ke-empat di AS. Stroke adalah gangguan
fungsional otak yang terjadi secara mendadak dengan tanda dan gejala klinik baik fokal
maupun global yang berlangsung lebih dari 24 jam, atau langsung menimbulkan kematian
disebabkan oleh gangguan peredaran darah otak. Terdapat dua jenis umum stroke yaitu
hemoragik dan iskemik. Stroke hemoragik terjadi bila suatu arteri atau arteriol serebrum
mengalami ruptur, kadang-kadang di tempat aneurisma kecil berada. Stroke iskemik terjadi
bila aliran dalam suatu pembuluh terganggu oleh plak aterosklerotik tempat terbentuknya
trombus. Trombus juga dapat terbentuk di tempat lain seperti di atrium pada pasien fibrilasi
atrium dan masuk ke otak sebagai embolus.
Stroke sampai saat ini masih merupakan masalah besar, sekaligus tantangan di bidang
kesehatan, baik di negara maju maupun negara berkembang, termasuk di Indonesia . Survei
ASEAN Neurological Association (ASNA) tahun 1996-1997 di 26 rumah sakit seluruh
Indonesia didapatkan penderita stroke terbanyak antara usia 45-64 tahun sebesar 54,2% dan
diatas usia 65 tahun 33,5%. Menurut data Departemen Kesehatan RI tahun 2008, stroke
merupakan penyebab kematian yang pertama (15,4%) dibandingkan dengan penyakit lainnya.
Stroke pendarahan merupakan kasus kematian terbanyak dengan Case Fatality Rate (CFR)
sebesar 37,28% dan stroke iskemik sebesar 10,07%. Selain sering menyebabkan kematian,
stroke juga mengakibatkan kecacatan. Jika ditinjau dari segi psikologik dan sosio ekonomi
penyakit tersebut merupakan masalah besar.
Hipertensi merupakan faktor resiko utama untuk stroke iskemik dan stroke hemoragik.
Pencegahan untuk stroke tergantung pada keadaan tekanan darah. . Ada kontroversi mengenai
manajemen tekanan darah pada stroke akut. Pedoman dalam manajemen tekanan darah pada
stroke menjadi hal yang sangat penting, untuk menentukan berapa besar tekanan darah yang
optimal pada stroke.

BAB II
STROKE
2.1 Definisi
Stroke didefinisikan sebagai suatu gangguan fungsional otak yang terjadi secara
mendadak dengan tanda dan gejala klinik baik fokal maupun global yang berlangsung lebih
dari 24 jam, atau langsung menimbulkan kematian disebabkan oleh gangguan peredaran darah
otak (WHO, 2010). Stroke dapat diklasifikasikan menjadi dua kategori utama yaitu, stroke
iskemik dan stroke hemoragik.
A. Stroke iskemik
Stroke iskemik pada dasarnya terjadi akibat kurangnya aliran darah ke otak. Penurunan
aliran darah yang semakin parah dapat menyebabkan kematian jaringan otak yang disebut
infark. Perjalanan klinis pasien dengan stroke infark akan sebanding dengan tingkat penurunan
aliran darah ke jaringan otak, perjalanan klinis ini dibagi menjadi empat tahapan, yaitu :
1. Transient Ischemic Attack (TIA)
Adalah suatu gangguan akut dari fungsi fokal serebral yang gejalanya
berlangsung kurang dari 24 jam dan disebabkan oleh trombus atau emboli. Pada
tahapan ini terdapat golden period yang merupakan masa terbaik dalam penanganan
stroke. Satu sampai dua jam biasanya TIA dapat ditangani, namun apabila sampai tiga
jam juga masih belum teratasi sekitar 50% pasien sudah terdapat infark. Setelah TIA,
10% sampai 15% pasien dalam 7 hari, 30 hari, 90 hari akan terkena stroke, namun
lebih banyak pasien terkena stroke 2 hari setelah TIA.
2. Reversible Ischemic Neurological Defisit (RIND)
Seperti TIA, gejala neurologi dari RIND akan menghilang lebih dari 24 jam,
biasanya akan membaik dalam waktu 24-48 jam.

3. Stroke In Evolution (Progressing Stroke)


Pada keadaan ini gejala atau tanda neurologis fokal terus memburuk setelah 48
jam. Defisit neurologis yang timbul berlangsung secara bertahap dari yang ringan
menjadi lebih berat.
4. Complete Stroke Ischaemic
Kelainan neurologis yang sudah menetap tidak berkembang lagi bergantung
daerah bagian otak mana yang mengalami infark.
Patofisiologi dari stroke iskemik adalah dikarenakan adanya perubahan aliran
darah di otak, dimana terjadi penurunan aliran darah secara signifikan. Ada beberapa
faktor yang mempengaruhi aliran darah di otak, antara lain :

Keadaan pembuluh darah; dapat menyempit akibat aterosklerosis atau tersumbat


oleh trombus atau embolus.

Keadaan darah; viskositas darah dan hematokrit yang meningkat menyebabkan


aliran darah ke otak lebih lambat, anemia yang berat menyebabkan oksigenasi
otak menurun.

Tekanan darah sistemik memegang peranan terhadap tekanan perfusi otak.

Kelainan jantung; menyebabkan menurunnya curah jantung serta lepasnya


embolus yang menimbulkan iskemia otak.

Gambar 1. Gambaran CT-scan otak normal dan otak yang mengalami stroke iskemik
B. Stroke hemoragik
Stroke hemoragik pada dasarnya terjadi akibat pembuluh darah intra serebrum yang
mengalami ruptur sehingga terjadi perdarahan ke dalam ruang subarachnoid atau langsung ke
dalam jaringan otak. Sebagian dari lesi vascular yang dapat menyebabkan perdarahan
subarachnoid (PSA) adalah aneurisma sakular (Berry) dan malformasi arterivenosus (MAV).
Gambaran patofisiologi pada otak menunjukkan ekstravasasi darah karena robeknya
pembuluh darah otak di ikuti pembentukan edema dalam jaringan otak di sekitar hematom.
Akibatnya terjadi diskontuinitas jaringan dan kompresi oleh hematom dan edema pada
struktur sekitar dan menyempitkannya.

Gambar 2. Gambaran CT-scan (A) stroke perdarahan subarakhnoid/PSA dan (B) stroke
perdarahan intraserebral/PIS (Sumber: Anwar, 2008)
5

2.2 Patofisiologi
Clostridium tetani masuk ke dalam tubuh manusia biasanya melalui luka dalam bentuk
spora. Penyakit akan muncul bila spora tumbuh menjadi bentuk vegetatif yang menghasilkan
tetanospasmin pada keadaan tekanan oksigen rendah, nekrosis jaringan atau berkurangnya
potensi oksigen.
Masa inkubasi dan beratnya penyakit terutama ditentukan oleh kondisi luka. Beratnya
penyakit terutama berhubungan dengan jumlah dan kecepatan produksi toksin serta jumlah
toksin yang mencapai susunan saraf pusat. Faktor-faktor tersebut selain ditentukan oleh
kondisi luka, mungkin juga ditentukan oleh strain Clostridium tetani. Pengetahuan tentang
patofisiologi penyakit tetanus telah menarik perhatian para ahli dalam 20 tahun terakhir ini,
namun kebanyakan penelitian berdasarkan atas percobaan pada hewan.
Toksin yang dikeluarkan oleh Clostridium tetani menyebar dengan berbagai cara, sebagai
berikut:
a. Masuk ke dalam otot: Toksin masuk ke dalam otot yang terletak dibawah atau sekitar
luka, kemudian ke otot-otot sekitarnya dan seterusnya secara ascenden melalui sinap
ke dalam susunan saraf pusat.
b. Penyebaran melalui sistem limfatik: Toksin yang berada dalam jaringan akan secara
cepat masuk ke dalam nodus limfatikus, selanjutnya melalui sistem limfatik masuk ke
peredaran darah sistemik.
c. Penyebaran ke dalam pembuluh darah: Toksin masuk ke dalam pembuluh darah
terutama melalui sistem limfatik, namun dapat pula melalui sistem kapiler di sekitar
luka. Penyebaran melalui pembuluh darah merupakan cara yang penting sekalipun
tidak menentukan beratnya penyakit. Pada manusia sebagian besar toksin diabsorbsi ke
dalam pembuluh darah, sehingga memungkinkan untuk dinetralisasi atau ditahan
dengan pemberian antitoksin dengan dosis optimal yang diberikan secara intravena.
Toksin tidak masuk ke dalam susunan saraf pusat melalui peredaran darah karena sulit
untuk menembus sawar otak. Sesuatu hal yang sangat penting adalah toksin bisa
menyebar ke otot-otot lain bahkan ke organ lain melalui peredaran darah, sehingga
secara tidak langsung meningkatkan transport toksin ke dalam susunan saraf pusat.
6

d. Toksin masuk ke susunan saraf pusat (SSP): Toksin masuk kedalam SSP dengan
penyebaran melalui serabut saraf, secara retrograd toksin mencapai SSP melalui sistem
saraf motorik, sensorik dan autonom. Toksin yang mencapai kornu anterior medula
spinalis atau nukleus motorik batang otak kemudian bergabung dengan reseptor
presinaptik dan saraf inhibitor.
Hubungan antar bentuk manifestasi klinis dengan penyebaran toksin:
a. Tetanus local: Pada bentuk ini, penderita biasanya mempunyai antibosi terhadap toksin
tetanus yang masuk ke dalam darah, namun tidak cukup untuk menetralisir toksin yang
berada di sekitar luka.
b. Tetanus cephal: Merupakan bentuk tetanus lokal yang mengikuti trauma pada kepala.
Otot-otot yang terkena adalah otot-otot yang dipersarafi oleh nukleus motorik dari
batang otak dan medula spinalis servikalis.
c. Ascending Tetanus: Suatu bentuk penyakit tetanus yng pada awalnya berbentuk lokal
biasanya mengenai tungkai dan kemudian menyebar mengenai seluruh tubuh. Setelah
terjadi tetanus lokal, toksin disekitar luka masuk cukup banyak dengan cara asenderen
masuk ke dalam SSP.
d. Tetanus umum: Pada keadaan ini toksin melalui peredaran darah masuk ke dalam
berbagai otot dan kemudian masuk ke dalam SSP. Penyakit ini biasanya didahului
trismus kemudian mengenai otot muka, leher, badan dan terakhir ekstremitas. Hal ini
disebabkan panjang sistem persarafan setiap tempat berbeda-beda, yang paling pendek
adalah yang mengurus otot-otot rahang, kemudian secara berurutan mengenai daerah
lain sesuai urutan panjang saraf.
Mekanisme kerja toksin tetanus:
Jenis toksin
Clostridium tetani menghasilkan tetanolisin dan tetanospsmin. Tetanolisin mempunyai efek
hemolisin dan protease, pada dosis tinggi berefek kardiotoksik dan neurotoksik. Sampai saat
ini peran tetanolisin pada tetanus manusia belum diketahui pasti. Tetanospasmin mempunyai
efek neurotoksik, penelitian mengenai patogenesis penyakit tetanus terutama dihubungkan
dengan toksin tersebut.

Toksin tetanus berkaitan dengan gangliosid ujung membran presinaptik, baik pada
neuromuskular junction, mupun pada susunan saraf pusat. Ikatan ini penting untuk transport
toksin melalui serabut saraf, namun hubungan antara pengikat dan toksisitas belum diketahui
secara jelas.
Lazarovisi dkk (1984) berhasil mengidentifikasikan 2 bentuk toksin tetanus yaitu toksin A
yang kurang mempunyai kemampuan untuk berikatan dengan sel saraf namun tetap
mempunyai efek antigenitas dan biotoksisitas, dan toksin B yang kuat berikatan dengan sel
saraf.
Normal:
Inhibitory interneuron Glycine blocks excitation & acetylcholine release muscle
relaxation
Tetanus toxin:
Blocks glycine release no inhibition at acetylcholine release irreversible contraction
Spastic paralysis
Kerja toksin tetanus pada neurotransmitter
Tempat kerja utama toksin adalah pada sinaps inhibisi dari susunan saraf pusat, yaitu dengan
jalan mencegah pelepasan neurotransmitter inhibisi seperti glisin, Gamma Amino Butyric Acid
(GABA), dopamin dan noradrenalin. GABA adalah neuroinhibitor yang paling utama pada
susunan saraf pusat, yang berfungsi mencegah pelepasan impuls saraf yang eksesif. Toksin
tetanus tidak mencegah sintesis atau penyimpanan glisin maupun GABA, namun secara
spesifik menghambat pelepasan kedua neurotransmitter tersebut di daerah sinaps dangan cara
mempengaruhi sensitifitas terhadap kalsium dan proses eksositosis.

Perubahan akibat toksin tetanus:


1. Susunan saraf pusat
Efek terhadap inhibisi presinap menimbulkan keadaan terjadinya letupan listrik yang terusmenerus yang disebut sebagai Generator of pathological enhance excitation. Keadaan ini
menimbulkan aliran impuls dengan frekuensi tinggi dari SSP ke perifer, sehingga terjadi
kekakuan otot dan kejang. Semakin banyak saraf inhibisi yang terkena makin berat kejang
yang terjadi. Stimulus seperti suara, emosi, raba dan cahaya dapat menjadi pencetus kejang
8

karena motorneuron di daerah medula spinalis berhubungan dengan jaringan saraf lain
seperti retikulospinalis. Kadang kala ditemukan saat bebas kejang (interval), hal ini
mungkin karena tidak semua saraf inhibisi dipengaruhi toksin, ada beberapa yang resisten
terhadap toksin.
Rasa sakit: Rasa sakit timbul dari adanya kekakuan otot dan kejang. Kadang kala
ditemukan neurotic pain yang berat pada tetanus lokal sekalipun pada saat tidak ada
kejang. Rasa sakit ini diduga karena pengaruh toksin terhadap sel saraf ganglion posterior,
sel-sel pada kornu posterior dan interneuron.
Fungsi Luhur: Kesadaran penderita pada umumnya baik. Pada mereka yang tidak sadar
biasanya brhubungan dengan seberapa besar efek toksin terhadap otak, seberapa jauh efek
hipoksia, gangguan metabolisme dan sedatif atau antikonvulsan yang diberikan.
2. Aktifitas neuromuskular perifer
Toksin tetanus menyebabkan penurunan pelepasan asetilkolin sehingga mempunyai efek
neuroparalitik, namun efek ini tertutup oleh efek inhibisi di susunan saraf pusat.
Neuroparalitik bisa terjadi bila efek toksin terhadap SSP tidak terjadi, namun hal ini sulit
karena toksin secara cepat menyebar ke SSP. Kadang-kadang efek neuroparalitik terlihat
pada tetanus sefal yaitu paralisis nervus fasialis, hal ini mungkin terjadi karena N. fasialis
lebih sensitif terhadap efek paralitik dari toksin atau karena axonopathi.
Efek lain toksin tetanus terhadap aktivitas neuromuskular perifer berupa:

Neuropati perifer
Kontraktur miostatik yang dapat berupa kekakuan otot, pergerakan otot yang
terbatas dan nyeri, yang dapat terjadi beberapa minggu sampai beberapa bulan

setelah sembuh
Denervasi parsial dari otot tertentu.

3. Perubahan pada sistem saraf autonom


Pada tetanus terjadi fluktuasi dari aktifitas sistem simpatis dan parasimpatis, hal ini
mungkin terjadi karena adanya ketidakseimbangan dari kedua sistem tersebut. Mekanisme
terjadinya disfungsi sistem autonom karena efek toksin yang berasal dari otot (retrograd)
maupun hasil penyebaran intraspinalis (dari kornu anterior ke kornu lateralis medula
spinalis torakal). Gangguan sistem autonom bisa terjadi secara umum mengenai berbagai
organ seperti kardiovaskular, saluran cerna, kandung kemih, fungsi kendali suhu dan
kendali otot bronkus, namun dapat pula hanya mengenai salah satu organ tertentu.
4. Gangguan Sistem pernafasan
Gangguan sistem pernafasan dapat terjadi akibat:
a. Kekakuan dan hipertonus dari otot-otot interkostal, badan dan abdomen; otot
diafragma terkena paling akhir. Kekakuan dinding thorax apalagi bila kejang yang
terjadi sangat sering mengakibatkan keterbatasan pergerakan rongga dada sehingga
menganggu ventilasi. Tetanus berat sering mengakibatkan gagal nafas yang ditandai
dengan hipoksia dan hiperkapnia. Namun dapat terjadi takipnea akibat aktifitas
berlebihan dari saraf di pusat persarafan yang tidak terkena efek toksin.
b. Ketidakmampuan untuk mengeluarkan sekret trakea dan bronkus karena adanya
spasme dan kekakuan otot faring dan ketidakmampuan untuk dapat batuk dan menelan
dengan baik. Sehingga terdapat resiko tinggi untuk terjadinya aspirasi yang dapat
menimbulkan pneumonia, bronkopneumonia dan atelektasis.
c. Kelainan paru akibat iatrogenik.
d. Gangguan mikrosirkulasi pulmonal: Kelainan pada paru bahkan dapat ditentukan pada
masa inkubasi. Kelainan yang terjadi bisa berupa kongesti pembuluh darah pulmonal,
oedema hemorrhagic pulmonal dan ARDS. ARDS dapat terjadi pula karena proses
iatrogenik atau infeksi sistemik seperti sepsis yang mengikuti penyakit tetanus.

10

e. Gangguan pusat pernafasan: Observaasi klinis dan percobaan binatang menunjukkan


bahwa pusat pernafasan dapat terkena oleh toksin tetanus. Paralisis pernafasan tanpa
kekakuan otot dan henti jantung dapat terjadi pada pemberian toksin dosis tinggi pada
hewan percobaan. Selain itu ditemukan bahwa penderita mengalami penurunan
resistensi terhadap asfiksia.
Observasi klinis yang menunjukkan kecurigaan keterlibatan pusat pernafasan pada
penderita tetanus adalah :

Adanya episode distres pernafasan akibat kesulitan bernafas yang berat


tanpa ditemukan adanya komplikasi pulmonal, bronkospasme dan
peningkatan sekret pada jalan nafas. Episode ini bervariasi dalam beberapa

menit sampai - 1 jam.


Adanya apnoeic spells, tanda ini biasanya berlanjut menjadi prolonged

respiratory arrest (henti nafas berkepanjangan) dan akhirnya meninggal.


Henti nafas akut dan mati mendadak.

Sekalipun demikian gangguan pusat pernafasan disebabkan oleh penyebab sekunder


seperti hipoksia rekuren/berkepanjangan, asfiksia karena kejang lama atau spasme laring,
hipokapnia setelah serangan distres pernafasan, dan akibat gangguan keseimbangan asam
basa.
5. Gangguan hemodinamika
Ketidakstabilan sistem kardiovaskular ditemukan penderita tetanus dengan gangguan
sistem saraf autonom yang berat. Penelitian mengenai hemodinamika pada tetanus berat
masih sangat jarang dilakukan karena :

Kendala etik
Perjalanan penyakit tetanus sering diperberat oleh komplikasi seperti
sepsis,

infeksi

paru,

atelektasis,

edema

paru

dan

gangguan

keseimbangan asam-basa, yang kesemua ini mempengaruhi sistem


kardio-respirasi

11

Pemakaian obat sedatif dosis tinggi dan pemakaian obat inotropik


mempersulit penilaian dari hasil penelitian.

6. Gangguan metabolik
Metabolic rate pada tetanus secara bermakna meningkat dikarenakan adanya kejang,
peningkatan tonus otot, aktifitas berlebihan dari sistem saraf simpatik dan perubahan
hormonal. Konsumsi oksigen meningkat, hal ini pada kasus tertentu dapat dikurangi
dengan pemberian muscle relaxans. Berbagai percobaan memperlihatkan adanya
peningkatan ekskresi urea nitogen, katekolamin plasma dan urin, serta penurunan serum
protein terutama fraksi albumin.
Peninggian katekolamin meningkatkan metabolik rate, bila asupan oksigen tidak dapat
memenuhi kebutuhan tersebut, misalnya karena disertai masalah dalam sistem pernafasan
maka akan terjadi hipoksia dengan segala akibatnya. Katabolisme protein yang berat,
ketidakcukupan protein dan hipoksia akan menimbulkan metabolisme anaerob dan
mengurangi pembentukan ATP, keadaan ini akan mengurangi kemampuan sistem imunitas
dalam mengenali toksin sebagai antigen sehingga mengakibatkan tidak cukupnya antibodi
yang dibentuk. Fenomena ini mungkin dapat menerangkan mengapa pada penderita
tetanus yang sudah sembuh tidak/kurang ditemukan kekebalan terhadap toksin.
7. Gangguan Hormonal
Gangguan terhadap hipotalamus atau jaras batang otak-hipotalamus dicurigai terjadi pada
penderita tetanus berat atas dasar ditemukannya episode hipertermia akut dan adanya
demam tanpa ditemukan adanya infeksi sekunder. Peningkatan alertness dan awareness
menimbulkan dugaan adanya aktifitas retikular dari batang otak yang berlebihan. Aksis
hipotalamus-hipofise mengandung serabut saraf khusus yang merangsang sekresi hormon.
Aktifitas sekresi oleh serabut saraf tersebut dimodulasi monoamin neuron lokal. Adanya
penurunan kadar prolaktin, TSH, LH dan FSH yang diduga karena adanya hambatan
terhadap mekanisme umpan balik hipofise-kelenjar endokrin.

12

8. Gangguan pada sistem lain


Berbagai percobaan pada hewan percobaan ditemukan bahwa toksin secara langsung dapat
mengganggu hati, traktus gastro-intestinalis dan ginjal. Pengaruh tersebut dapat berupa
nefrotoksik terhadap nefron, inhibisi mitosis hepatosit dan kongesti-pendarahan-ulserasi
mukosa gaster. Namun secara klinis hal tersebut sulit ditentukan apakah kelainan klinis
seperti gangguan fungsi ginjal, fungsi hati dan abnormalitas traktus gastrointestinal
disebakan semata-mata karena efek toksin atau oleh karena efek sekunder dari
hipovolemia, shock, gangguan elektrolit dan metabolik yang terganggu.
Secara teoritis ileus, distonia kolon, gangguan evakuasi usus besar dan retensi urin dapat
terjadi karena gangguan keseimbangan simpatis-parasimpatis karena efek toksin baik di
tingkat batang otak, hipotalamus maupun ditingkat saraf perifer simpatis, parasimpatis.
Disfungsi organ dapat pula terjadi sebagai akibat gangguan mikrosirkulasi dan perubahan
permeabilitas kapiler pada organ tertentu.

2.3. Manifestasi Klinis


Manifestsi klinis tetanus bervariasi dari kekakuan otot setempat, trismus sampai kejang yang
hebat. Masa timbulnya gejala awal tetanus sampai kejang disebut awitan penyakit, yang
berpengaruh terhadap prognostik.
Manifestasi klinis tetanus terdiri atas 4 macam yaitu:
a. Tetanus local: Tetanus lokal merupakan bentuk penyakit tetanus yang ringan dengan
angka kematian sekitar 1%. Gejalanya meliputi kekakuan dan spasme yang menetap
disertai rasa sakit pada otot disekitar atau proksimal luka. Tetanus lokal dapat
berkembang menjadi tetanus umum.
b. Tetanus sefal: Bentuk tetanus lokal yang mengenai wajah dengan masa inkubasi 1-2
hari, yang disebabkan oleh luka pada daerah kepala atau otitis media kronis. Gejalanya

13

berupa trismus, disfagia, rhisus sardonikus dan disfungsi nervus kranial. Tetanus sefal
jarang terjadi, dapat berkembang menjadi tetanus umum dan prognosisnya biasanya
jelek.
c. Tetanus umum: Bentuk tetanus yang paling sering ditemukan. Gejala klinis dapat
berupa berupa trismus, iritable, kekakuan leher, susah menelan, kekakuan dada dan
perut (opisthotonus), fleksi-abduksi lengan serta ekstensi tungkai, rasa sakit dan
kecemasan yang hebat serta kejang umum yang dapat terjadi dengan rangsangan
ringan seperti sinar, suara dan sentuhan dengan kesadaran yang tetap baik.
d. Tetanus neonatorum: Tetanus yang terjadi pada bayi baru lahir, disebabkan adanya
infeksi tali pusat, umumnya karena tehnik pemotongan tali pusat yang aseptik dan ibu
yang tidak mendapat imunisasi yang adekuat. Gejala yang sering timbul adalah
ketidakmampuan untuk menetek, kelemahan, irritable diikuti oleh kekakuan dan
spasme. Posisi tubuh klasik : trismus, kekakuan pada otot punggung menyebabkan
opisthotonus yang berat dengan lordosis lumbal. Bayi mempertahankan ekstremitas
atas fleksi pada siku dengan tangan mendekap dada, pergelangan tangan fleksi, jari
mengepal, ekstremitas bawah hiperekstensi dengan dorsofleksi pada pergelangan dan
fleksi jari-jari kaki. Kematian biasanya disebabkan henti nafas, hipoksia, pneumonia,
kolaps sirkulasi dan kegagalan jantung paru.
Derajat penyakit tetanus menurut modifikasi dari klasifikasi Abletts :
a. Derajat I (ringan): Trismus ringan sampai sedang, kekakuan umum, spasme tidak
ada, disfagia tidak ada atau ringan, tidak ada gangguan respirasi.
b. Derajat II (sedang): Trismus sedang dan kekakuan jelas, spasme hanya sebentar,
takipneu dan disfagia ringan
c. Derajat III (berat): Trismus berat, otot spastis, spasme spontan, takipneu, apnoeic
spell, disfagia berat, takikardia dan peningkatan aktivitas sistem otonomi

14

d. Derajat IV (sangat berat): Derajat III disertai gangguan otonomik yang berat
meliputi sistem kardiovaskuler, yaitu hipertensi berat dan takikardi atau hipotensi
dan bradikardi, hipertensi berat atau hipotensi berat. Hipotensi tidak berhubungan
dengan sepsis, hipovolemia atau penyebab iatrogenik.
Bila pembagian derajat tetanus terdiri dari ringan, sedang dan berat, maka derajat tetanus
berat meliputi derajat III dan IV.

2. 4. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan temuan klinis dan riwayat imunisasi:

Adanya riwayat luka yang terkontaminasi, namun 20% dapat tanpa riwayat luka.
Riwayat tidak diimunisasi atau imunisasi tidak lengkap
Trismus, disfagia, rhisus sardonikus, kekakuan pada leher, punggung, dan otot

perut (opisthotonus), rasa sakit serta kecemasan.


Pada tetanus neonatorum keluhan awal berupa tidak bisa menetek
Kejang umum episodik dicetusklan dengan rangsang minimal maupun spontan
dimana kesadaran tetap baik.

Temuan laboratorium :

Lekositosis ringan
Trombosit sedikit meningkat
Glukosa dan kalsium darah normal
Cairan serebrospinal normal tetapi tekanan dapat meningkat
Enzim otot serum mungkin meningkat
EKG dan EEG biasanya normal
Kultur anaerob dan pemeriksaan mikroskopis nanah yang diambil dari luka dapat
membantu, tetapi Clostridium tetani sulit tumbuh dan batang gram positif

berbentuk tongkat penabuh drum seringnya tidak ditemukan


Kreatinin fosfokinase dapat meningkat karena aktivitas kejang (> 3U/ml)

2.5. Diagnosis Banding


15

Meningoencephalitis
Polio
Rabies
Lesi oropharyngeal
Peritonitis
Status epileptikus
Hysteria

2.6. Penatalaksanaan
Antibiotika
Diberikan parenteral Peniciline 1,2juta unit / hari selama 10 hari, IM. Sedangkan
tetanus pada anak dapat diberikan Peniciline dosis 50.000 Unit / KgBB/ 12 jam secafa IM
diberikan selama 7-10 hari. Bila sensitif terhadap peniciline, obat dapat diganti dengan
preparat lain seperti tetrasiklin dosis 30-40 mg/kgBB/ 24 jam, tetapi dosis tidak melebihi 2
gram dan diberikan dalam dosis terbagi ( 4 dosis ). Bila tersedia Peniciline intravena, dapat
digunakan dengan dosis 200.000 unit /kgBB/ 24 jam, dibagi 6 dosis selama 10 hari.
Antibiotika ini hanya bertujuan membunuh bentuk vegetatif dari C.tetani, bukan untuk
toksin yang dihasilkannya. Bila dijumpai adanya komplikasi pemberian antibiotika broad
spektrum dapat dilakukan(1,8.10).
Antitoksin
Antitoksin dapat digunakan Human Tetanus Immunoglobulin (HTIG) dengan dosis
3000-6000 U, satu kali pemberian saja, secara IM tidak boleh diberikan secara intravena
karena HTIG mengandung "anti complementary aggregates of globulin ", yang mana ini dapat
mencetuskan reaksi allergi yang serius.
Bila TIG tidak ada, dianjurkan untuk menggunakan tetanus antitoksin, yang berawal
dari hewan, dengan dosis 40.000 U, dengan cara pemberiannya adalah : 20.000 U dari
antitoksin dimasukkan kedalam 200 cc cairan NaC1 fisiologis dan diberikan secara intravena,
pemberian harus sudah diselesaikan dalam waktu 30-45 menit. Setengah dosis yang tersisa
(20.000 U) diberikan secara IM pada daerah pada sebelah luar.(1.8.9)
16

Tetanus Toksoid
Pemberian Tetanus Toksoid (TT) yang pertama,dilakukan bersamaan dengan
pemberian antitoksin tetapi pada sisi yang berbeda dengan alat suntik yang berbeda.
Pemberian dilakukan secara I.M. Pemberian TT harus dilanjutkan sampai imunisasi dasar
terhadap tetanus selesai.
Perawatan luka
Luka dibersihkan atau dilakukan debridemen terhadap benda asing dan luka dibiarkan
terbuka. Sebaiknya dilakukan setelah penderita mendapat anti toksin dan sedasi. Pada tetanus
neonatorum tali pusat dibersihkan dengan betadine dan hidrogen peroksida, bila perlu dapat
dilakukan omphalektomi.
Netralisasi toksin
1. Anti tetanus serum
Dosis anti tetanus serum yang digunakan adalah 50.000-100.000 unit, setengah dosis
diberikan secara IM dan setengahnya lagi diberikan secara IV, sebelumnya dilakukan
tes hipersensitifitas terlebih dahulu. Pada tetanus neonatorum diberikan 10.000 unit IV.
Udwadia (1994) mengemukakan sebaiknya anti tetanus serum tidak diberikan secara
intrathekal karena dapat menyebabkan meningitis yang berat karena terjadi iritasi
meningen. Namun ada beberapa pendapat juga untuk mengurangi reaksi pada
meningen dengan pemberian ATS intratekal dapat diberikan kortikosteroid IV, adapun
dosis ATS yang disarankan 250-500 IU.
2. Human Tetanus Immunuglobulin (HTIG)
Human tetanus imunoglobulin merupakan pengobatan utama pada tetanus dengan
dosis 3000-6000 unit secara IM, HTIG harus diberikan sesegera mungkin. Kerr dan
Spalding (1984) memberikan HTIG pada neonatus sebanyak 500 IU IV dan 800-2000
IU intrathekal. Pemberian intrathekal sangat efektif bila diberikan dalam 24 jam
pertama setelah timbul gejala.
Namun penelitian yang dilakukan oleh Abrutyn dan Berlin (1991) menyatakan
pemberian immunoglobulin tetanus intratekal tidak memberikan keuntungan karena

17

kandungan fenol pada HTIG dapat menyebabkan kejang bila diberikan secara
intrathekal. Pemberian HTIG 500IU IV atau IM mempunyai efektivitas yang sama.
Dosis HTIG masih belum dibakukan, Miles (1993) mengemukakan dosis yang dapat
diberikan adalah 30-300IU/kgBB IM, sedangkan Kerr (1991) mengemukakan HTIG
sebaiknya diberikan 1000 IU IV dan 2000 IU IM untuk meningkatkan kadar antitoksin
darah sebelum debridemen luka.
Menekan efek toksin pada SSP
1. Benzodiazepin: Diazepam merupakan golongan benzodiazepin yang sering
digunakan. Obat ini mempunyai aktivitas sebagai penenang, anti kejang, dan
pelemas otot yang kuat. Pada tingkat supraspinal mempunyai efek sedasi, tidur,
mengurangi ketakutan dan ketegangan fisik serta penenang dan pada tingkat
spinal menginhibisi refleks polisinaps. Efek samping dapat berupa depresi
pernafasan, terutama terjadi bila diberikan dalam dosis besar. Dosis diazepam
yang diberikan pada neonatus adalah 0,3-0,5 mg/kgBB/kali pemberian.
Udwadia (1994), pemberian diazepam pada anak dan dewasa 5-20 mg 3 kali
sehari, dan pada neonatus diberikan 0,1-0,3 mg/kgBB/kali pemberian IV setiap
2-4 jam. Pada tetanus ringan obat dapat diberikan per oral, sedangkan tetanus
lain sebaiknya diberikan drip IV lambat selama 24 jam.
2. Barbiturat: Fenobarbital (kerja lama) diberikan secara IM dengan dosis 30 mg
untuk neonatus dan 100 mg untuk anak-anak tiap 8-12 jam, bila dosis
berlebihan dapat menyebabkan hipoksisa dan keracunan. Fenobarbital
intravena dapat diberikan segera dengan dosis 5 mg/kgBB, kemudian 1
mg/kgBB yang diberikan tiap 10 menit sampai otot perut relaksasi dan spasme
berkurang. Fenobarbital dapat diberikan bersama-sama diazepam dengan dosis
10 mg/kgBB/hari dibagi 2-3 dosis melalui selang nasogastrik.
3. Fenotiazin: Klorpromazin diberikan dengan dosis 50 mg IM 4 kali sehari
(dewasa), 25 mg IM 4 kali sehari (anak), 12,5 mg IM 4 kali sehari untuk
neonatus. Fenotiazin tidak dibenarkan diberikan secara IV karena dapat
menyebabkan syok terlebih pada penderita dengan tekanan darah yang labil
atau hipotensi.

18

Berdasarkan tingkat penyakit tetanus


a. Tetanus ringan: Penderita diberikan penaganan dasar dan umum, meliputi pemberian
antibiotik, HTIG/anti toksin, diazepam, membersihkan luka dan perawatan suportif
seperti diatas.
b. Tetanus sedang: Penanganan umum seperti diatas. Bila diperlukan dilakukan intubasi
atau trakeostomi dan pemasangan selang nasogastrik delam anestesia umum.
Pemberian cairan parenteral, bila perlu diberikan nutrisi secara parenteral.
c. Tetanus berat: Penanganan umum tetanus seperti diatas. Perawatan pada ruang
perawatan intensif, trakeostomi atau intubasi dan pemakaian ventilator sangat
dibutuhkan serta pemberikan cairan yang adekuat. Bila spasme sangat hebat dapat
diberikan pankuronium bromid 0,02 mg/kgBB IV diikuti 0,05 mg/kg/dosis diberikan
setiap 2-3 jam. Bila terjadi aktivitas simpatis yang berlebihan dapat diberikan beta
bloker seperti propanolo atau alfa dan beta bloker labetolol.
Tatalaksana disfagia
Untuk mengurangi disfagia dan syarat melepas naso-gastric tube, diberikan
Botulinum neurotoxin type A (BoNT/A) pada muskulus cricopharyngeal. M cricopharyngeal
kedua pasien disuntik dengan Bont/A secara intrakutan 30 unit per otot dan diperhatikan
melalui tromyographic. 48 jam kemudian, kemampuan menelan akan meningkat dan nasogastric tube dapat dilepas. Secara klinis, videofluoroscopic, dan pemeriksaan elektromiografi
dilakukan 1, 2, dan 4 minggu setelah suntikan.
Pada minggu ke-2 pasien mampu menelan dan fluoroscopic video dan studi
elektromiografi menunjukkan menelan kembali normal dan peningkatan penting dari
cricopharyngeal tonik hiperaktif yang berlangsung di minggu ke-2, dan 4. Pada minggu 4,
dapat terjadi peningkatan kembali berat badan 3-6 kg. jika berat badan mulai meningkat atau
kembali normal, BoNT/A tidak perlu diberikan lagi.
Gejala lain dari tetanus secara bertahap mereda dalam waktu 2 bulan. Suntikan
Bont/A, telah terbukti efektif dalam mengurangi hiperaktivitas cricopharyngeal terkait dengan
penyakit Parkinson dan distrofi otot oculopharyngeal, diikuti dengan peningkatan relaksasi
19

cricopharyngeal selama menelan secara fisiologis. Temuan menunjukkan Bont/A dapat


berhasil dan aman digunakan untuk mengobati disfungsi cricopharyngeal yang disebabkan
oleh tetanus neurotoxin, beberapa terjadi pada pasien yang tidak responsif terhadap obat
antispastic sistemik.
Pengobatan

trismus

dan

disfagia

dengan

toksin

botulinum

sebaiknya

dipertimbangkan pada tahap awal tetanus. Keuntungan dari pengobatan ini adalah untuk cepat
mengembalikan menelan secara fisiologis untuk menghindari aspirasi pneumoniae dan
komplikasi naso-gastric tube.
Tatalaksana kejang
Penyebab utama kematian pada tetanus neonatorum adalah kejang klonik yang hebat,
muscular dan laryngeal spasm beserta komplikaisnya. Dengan penggunaan obat obatan
sedasi/muscle relaxans, diharapkan kejang dapat diatasi
Jenis obat
Diazepam

Dosis (IM)
0,5 1,0 mg /kgBB / 4 jam

Efek samping
Stupor, koma

Mephrobamat

400-400 mg / 4 jam

Tidak ada

Klorpromasin

25 75 mg / 4 jam

Hipotensi

Fenobarbital

50 100 mg / 4 jam

Depresi pernafasan

Di Bagian llmu Kesehatan Anak RS Dr. Pirngadi/ FK USU, obat anti konvulsan yang
dipergunakan untuk tetanus noenatal berupa diazepam, obat ini diberikan melalui bolus injeksi
yang dapat diberikan setiap 2 4 jam. Pemberian berikutnya tergantung pada basil evaluasi
setelah pemberian anti kejang.Bila dosis optimum telah tercapai dan kejang telah terkontrol,
maka jadwal pemberian diazepam yang tetap dan tepat baru dapat disusun.Dosis diazepam
pada saat dimulai pengobatan ( setelah kejang terkontrol ) adalah 20 mg/kgBB/hari, dibagi
dalam 8 kali pemberian (pemberian dilakukan tiap 3 jam ). Kemudian dilakukan evaluasi
terhadap kejang, bila kejang masih terus berlangsung dosis diazepam dapat dinaikkan secara
bertahap sampai kejang dapat teratasi. Dosis maksimum adalah 40 mg/kgBB/hari( dosis
maintenance ).
Bila dosis optimum telah didapat, maka skedul pasti telah dapat dibuat, dan ini
dipertahan selama 2-3 hari , dan bila dalam evaluasi berikutnya tidak dijumpai adanya kejang,
20

maka dosis diazepam dapat diturunkan secara bertahap, yaitu 10 - 15 % dari dosis optimum
tersebut. Penurunan dosis diazepam tidak boleh secara drastis, oleh karena bila terjadi kejang,
sangat sukar untuk diatasi dan penaikkan dosis ke dosis semula yang efektif belum tentu dapat
mengontrol kejang yang terjadi.Bila dengan penurunan bertahap dijumpai kejang, dosis harus
segera dinaikkan kembali ke dosis semula. Sedangkan bila tidak terjadi kejang dipertahankan
selama 2- 3 hari dan dirurunkan lagi secara bertahap, hal ini dilakukan untuk selanjutnya . Bila
dalam penggunaan diazepam, kejang masih terjadi, sedang dosis maksimal telah tercapai,
maka penggabungan dengan anti kejang lainnya harus dilakukan

3000 - 6000 unit, tetanus immune globulin satu kali saja


1,2 juta unit Procaine penicilin sehari selama 10 hari, Intramuscular. Jika alergi beri

tetracycline 2 gram sehari


Perawatan luka, dibersihkan, sekitar luka beri ATS (infiltrasi)
Semua penderita kejang tonik berulang, lakukan trachcostomi, ini harus dilakukan
untuk mencegah cyanosis dan apnoe
21

Paraldehyde baik diberikan melalui mulut


Jika cara diatas gagal, dapat diberi d-Lubocurarine IM dengan dosis 15 mg setiap jam
sepanjang diperlukan, begitu juga pernafasan dipertahankan dengan respirator.

Sedangkan pengobatan menurut Gilroy:

Kasus ringan : Penderita tanpa cyanose : 90 - 180 begitu juga promazine 6 jam dan
barbiturate secukupnyanya untuk mengurangi spasme.
Kasus berat :
o Semua penderita dirawat di ICU
o Dilakukan tracheostomi segera. Endotracheal tube minimal harus dibersihkan
setiap satu jam dan setiap 3 hari ETT harus diganti dengan yang baru.
o Curare diberi secukupnya mencegah spasme sampai 2 jam. Pernafasan dijaga
dengan respirator oleh tenaga yang berpengalaman
o Penderita rubah posisi/ miringkan setiap 2 jam. Mata dibersihkan tiap 2 jam
o
o
o
o
o

mencegah conjunctivitis
Pasang NGT, diet tinggi, cairan cukup tinggi, jika perlu
Kateter urin, beri antibiotika.
Kontrol serum elektrolit, ureum dan AGDA
Rontgen foto thorax
Pemakaian curare yang terlalu lama, pada saatnya obat dapat dihentikan
pemakaiannya.

Jika

KU

membaik,

NGT

dihentikan.

Tracheostomy

dipertahankan beberapa hari, kemudian dicabut/dibuka dan bekas luka dirawat


dengan baik

2.7. Prognosis
Sistem Skoring

Skor 1

Skor 0

22

Masa inkubasi

<>

> 7 hari

Awitan penyakit

<>

> 48 jam

Tempat masuk

Tali pusat, uterus, fraktur

Selain tempat tersebut

terbuka, postoperatif, bekas


suntikan IM

Spasme

(+)

(-)

Panas badan (per rektal)

> 38,4 0C (> 40 0C)

< 38,4 0C ( < 40 0C)

Takikardia dewasa

> 120 x/menit

<>

neonatus

> 150 x/menit

<>

Dikutip dari Habermann, 1978, Bleck, 1991


Tabel klasifikasi untuk prognosis Tetanus

Tingkat

Skor

Prognosis

Ringan

0-1

<>

Sedang

2-3

10 20

Berat

20 40

23

Sangat berat

5-6

> 50

Dikutip dari Bleck, 1991


Catatan:

Tetanus sefalik selalu dinilai berat atau sangat berat


Tetanus neonatorum selalu dinilai sangat berat

2.8. Komplikasi
Komplikasi tetanus yang sering terjadi adalah pneumonia, bronkopneumonia dan sepsis.
Komplikasi terjadi karena adanya gangguan pada metabo respirasi antara lain spasme
laring atau faring yang berbahaya karena dapat menyebabkan hipoksia dan kerusakan otak.
Spasme saluran nafas atas dapat menyebabkan aspirasi pneumonia atau metabolicNs.
Komplikasi pada metabo kardiovaskuler berupa takikardi, bradikardia, aritmia, gagal
jantung, hipertensi, hipotensi, dan syok. Kejang dapat menyebabkan fraktur vertebra atau
kifosis. Komplikasi lain yang dapat terjadi berupa tromboemboli, pendarahan saluran
cerna, infeksi saluran kemih, gagal ginjal akut, dehidrasi dan asidosis metabolic.

24

BAB III
KESIMPULAN

25

DAFTAR PUSTAKA

1. Adams. R.D,et al : Tetanus in :Principles of New'ology,McGraw-Hill,ed 1997, 12051207.


2. Azhali MS, Herry Garna, Aleh Ch, Djatnika S. Penyakit Infeksi dan Tropis. Dalam :
Herry Garna, Heda Melinda, Sri Endah Rahayuningsih. Pedoman Diagnosis dan Terapi
Ilmu Kesehatan Anak, edisi 3. FKUP/RSHS, Bandung, 2005 ; 209-213.
3. Hamid,E.D, Daulay, AP, Lubis, CP, Rusdidjas, Siregar H : Tetanus Neonatorum in
babies Delivered by Traditional Birth Attendance in Medan, Vol. 25, Paeditrica
Indonesiana, Departement of Child Health, Medical School University of lndonesia,
Sept-Okt 1985, 167 -174.
4. Krugman Saaul, Katz L.. Samuel, Gerhson AA, Wilfert C ; Infectious diiseases of
children, ed. 9 th, St Louis, Mosby, 1992, 487-490
5. Lubis, CP: Management of Tetanus in Children, Paeditricaa Indonesiana, vol.33,
Depart. Of Child Health, Medical School, University of Indonesia, Sept-Okt 1993,
201-208.
6. Rauscher LA. Tetanus. Dalam :Swash M, Oxbury J, penyunting. Clinical Neurology.
Edinburg : Churchill Livingstone, 1991 ; 865-871

26

7. Behrman, Richard E., MD; Kliegman, Robert M.,MD ; Jenson Hal. B.,MD, Nelson
Textbook of Pediatrics Vol 1 17th edition W.B. Saunders Company. 2004
8. Udwadia FE, Tetanus. Bombay: Oxford University Press, 1993 : 305
9. Soedarmo, Sumarrno S.Poowo; Garna, Herry; Hadinegoro Sri Rejeki S, Buku Ajar
Ilmu Kesehatan Anak, Infeksi & Penyakit Tropis, Edisi pertama, Ikatan Dokter Anak
Indonesia.
10. WHO News and activities. The Global Eliination of neonatal tetanus : progress to date,
Bull WHO 1994; 72 : 155-157

27

Anda mungkin juga menyukai