PENDAHULUAN
Morbus Hansen merupakan penyakit infeksi yang kronik, dan penyebabnya
ialah Mycobacterium leprae yang bersifat intraselular obligat. Saraf perifer sebagai
afinitas pertama, lalu kulit dan mukosa traktus respiratorius bagian atas, kemudian
dapat ke organ lain kecuali susunan saraf pusat.
Mycobacterium leprae merupakan bakteri yang tidak dapat dikultur, Grampositif, bersifat intra selular dan tahan asam. Bakteri M. leprae tidak dapat dikultur
dan membutuhkan keadaan intraselular untuk berkembang karena mempunyai
beberapa enzim pernapasan untuk bertahan. Selain itu, M. leprae juga menyerang
lamina basal dari unit akson sel Schwann sehingga saraf yang terkena adalah sistem
saraf perifer.
Klasifikasi penyakit Morbus Hansen didasarkan pada gambaran klinis,
bakterioskopik, dan histopatologis. Ridley - Jopling mengklasifikasikan morbus
Hansen menjadi; Tuberkuloid polar (TT) yang merupakan bentuk stabil, Borderline
tuberculoid (Bt), Mid Borderline (BB), Borderline lepromatous (Bl), Lepromatosa
polar (LL) yang merupakan bentuk yang stabil.
WHO membagi klasifikasi Morbus Hansen berdasarkan jumlah lesi dan hasil
pemeriksaan bakterioskopik pada kulit, yaitu Pausi Basiler (PB) dengan jumlah satu
lima lesi dan hasil pemeriksaan bakteri negatif. Sedangkan Multi Basiler (MB)
dengan jumlah lebih dari lima lesi dan hasil pemeriksaan bakteri positif.
Morbus Hansen mempunyai tiga gejala klinis yang utama disebut Cardinal
sign, yaitu lesi hipopigmentasi atau eritematosa, mendatar (makula) atau meninggi
(plakat) yang bersifat kurang atau hilangnya sensasi rasa, penebalan saraf perifer
antara lain n.ulnaris, n.medianus, n.auricularis magnus, n.poplitea lateralis, n.tibialis
posterior, ditemukan basil tahan asam pada pemeriksaan bakterioskopik hapusan
kulit cuping telinga dan lesi kulit yang aktif. Untuk menegakkan penyakit kusta,
paling sedikit harus ditemukan satu tanda kardinal. Bila tidak atau belum dapat
ditemukan, maka penderita perlu diamati dan diperiksa ulang setelah 3-6 bulan
sampai diagnosis kusta dapat ditegakkan atau disingkirkan.
Tujuan dari WHO pada akhir tahun 2015 untuk mengurangi tingkat kasus baru
di seluruh dunia sekurangnya 35%. Dari 115 negara, prevalensi terdaftar global kusta
pada akhir kuartal pertama tahun 2013 mencapai 189.018 kasus, sementara jumlah
kasus baru terdeteksi selama 2012 adalah 232.857 kasus. Dari kasus baru, 95%
terdeteksi di seluruh dunia selama tahun 2010 di negara-negara berikut: Angola,
Bangladesh, Brazil, China, India, Ethiopia, Indonesia, Myanmar, Nepal, Nigeria,
Filipina, Sudan.
Dari 10 negara dengan jumlah kasus baru terbesar di dunia, Indonesia
menempati posisi ke-3 setelah India dan Brazil. Berdasarkan data epidemiologi,
jumlah kasus baru pada penyakit Morbus Hansen di Indonesia tahun 2012, sebanyak
17.980 kasus, angka ini turun dari 2011 sebanyak 20.023 kasus. Menurut data Dinas
Kesehatan Provinsi Papua, rata-rata pasien kusta mencapai 1.300 kasus baru tiap
tahun. Papua menempati urutan ketiga setelah Papua Barat dan Maluku. Terdapat 17
kabupaten di Papua yang mempunyai angka kasus Morbus Hansen tertinggi.
WHO merekomendasikan dengan rejimen kombinasi MDT (Multi Drug
Treatment) yang terdiri atas kombinasi dapson, rifampisin, dan klofazimin.
Penggunaan MDT dimaksudkan untuk mengurangi ketidaktaatan penderita,
menurunkan angka putus obat, dan mengatasi resistensi dapson sebagai monoterapi.
Namun dalam pelaksanaan program MDT mengalami beberapa masalah. Oleh karena
itu diperlukan obat-obat baru dengan mekanisme bakterisidal yang berbeda dengan
obat-obat dalam rejimen MDT-WHO saat ini. Obat baru ini harus memenuhi syarat
antara lain bersifat bakterisidal kuat terhadap M.leprae, Yang sudah terbukti efektif
antara lain ofloksasin, minosiklin, dan klaritromisin.
Prognosis pada Morbus Hansen tergantung pada tipe penyakit. Morbus Hansen
tipe LL mempunyai komplikasi jangka panjang. Pasien dapat mengalami kerusakan
saraf jangka panjang dan cacat. Prognosis juga tergantung pada akses pasien terhadap
terapi, kepatuhan pasien, dan inisiasi awal pengobatan. Jika tidak diobati Morbus
Hansen tipe LL dapat berakibat pada kematian.
BAB II
LAPORAN KASUS
I. Identitas Pasien
Nama
No. RM
Jenis Kelamin
Umur
Agama
Pendidikan
Pekerjaan
Suku
Status Marital
Alamat
Tanggal Pemeriksaan
: Ny. S
:: Perempuan
: 31 tahun
: Islam
: SMA
: IRT
: Jawa
: Menikah
: Junjang
: 29 Juni 2015
Pasien merupakan ibu rumah tangga, tinggal dirumah bersama anak dan
suami.
III.
Pemeriksaan Fisik
a. Status Generalis
Keadaan Umum : Tampak sakit ringan
Kesadaran
: Composmentis
TTV
: TD
: 120/80
Nadi
: 80 x
Respirasi : 24 x
Suhu
: 36,3
Kepala / Leher : Conjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), pembesaran
Thorax
Abdomen
kulit (+)
Ekstermitas
: Akral hangat, edema (-/-)
Genitalia
: tidak dilakukan pemeriksaan.
b. Status Dermatologis
Lokasi
: Generalisata
Efloresensi : Lesi multipel berupa makula eritematosa, skuama, sirkumskrip
dengan ukuran numular.
IV.
Pemeriksaan Penunjang
Fenomena tetesan lilin
: skuama berubah menjadi warna putih ketika
kemerahan tersebut mulai timbul pada tangan pasien disertai skuama yang
berlapis-lapis. Kulit terasa kering dan terasa gatal sedang. Nyeri dan rasa baal
tidak dikeluhkan pasien.
VI.
Diagnosis Kerja
Psoriasis Vulgaris
VII.
Diagnosis Banding
a.
Dermatitis seboroik
Dermatofitosis
c.
Sifilis psoriosiformis
VIII. Penatalaksanaan
a. Medikamentosa
Methotrexate 3 x 5 mg per minggu
Bethametasone cream
Loratadine 2 x 10 mg
b. Non Medikamentosa
b.
Prognosis
Quo ad vitam
Quo ad fungtionam
Quo ad sanationam
: Ad bonam
: Dubia ad bonam
: Dubia ad bonam
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
Definisi
Kusta atau Morbus Hansen (MH) merupakan penyakit infeksi yang kronik, dan
penyebabnya ialah Mycobacterium Leprae yang bersifat intraselular obligat. Saraf
perifer sebagai afinitas pertama, lalu kulit dan mukosa traktus respiratorius bagian
atas, kemudian dapat ke organ lain kecuali susunan saraf pusat.
Epidemiologi
Bedasarkan data yang diperoleh dari World Health Organization (WHO) pada
akhir tahun 2006 didapatkan jumlah pasien kusta yang teregistrasi sebanyak 224.727
penderita. Dari data tersebut didapatkan jumlah pasien terbanyak dari benua asia
dengan jumlah pasien yang terdaftar sebanyak 116.663. Dan dari data didapatkan
india merupakan negara dengan jumlah penduduk terkena kusta terbanyak dengan
jumlah 82.901 penderita. Sementara indonesia pada tahun 2006 tercatat memiliki
jumlah penderita sebanyak 22.175 (WHO).
Diagnosa
Dagnosa ditegakkan jika ditemukan satu atau beberapa tanda kardinal; pasien
dari daerah endemik, lesi kulit karakteristik morbus Hansen dengan berkurang atau
hilangnya sensasi, terdapat pembesaran saraf perifer, ditemukannya M. leprae pada
kulit.
Diagnosis penyakit morbus Hansen didasarkan gambaran klinis, bakterioskopis,
dan histopatologis. Di antara ketiganya, diagnosis secara klinislah yang terpenting
dan paling sederhana. Diagnosis klinik seseorang harus didasarkan hasil pemeriksaan
kelainan klinis seluruh tubuh orang tersebut. Sebaliknya jangan hanya didasarkan
pemeriksaan sebagian tubuh saja, sebab ada kemungkinan diagnosis klinis di wajah
berbeda dengan di tubuh, lengan, tungkai, dan sebagainya.bahkan pada satu lesi pun
dapat berbeda tipenya.
Dimulai dengan inspeksi, palpasi, lalu dilakukan pemeriksaan yang
menggunakan alat sederhana. Kelainan kulit pada penyakit kusta tanpa komplikasi
dapat hanya berbentuk makula saja, infiltrat saja, atau keduanya. Kalau secara
inspeksi mirip penyakit lain, ada tidaknya anastesia sangat banyak membantu
penentuan diagnosis, meskipun tidak selalu jelas. Hal ini dengan mudah dilakukan
dengan menggunakan jarum terhadap rasa nyeri, kapas terhadap rasa raba, dan kalu
masih belum jelas pula dengan kedua cara tersebut barulah pengujian terhadap rasa
suhu, yaitu panas dan dingin. Mengenai saraf perifer yang perlu diperhatikan ialah
pembesaran, konsistensi, dan nyeri atau tidak. Hanya beberapa saraf superfisial yang
dapat dan perlu diperiksa, yaitu N. fasialis, N. aurikularis magnus, N. radialis, N.
ulnaris, N. medianus, N. politea lateralis, dan N. tibialis posterior. Bagi tipe ke arah
lepromatosa kelainan saraf biasanya bilateral dan menyeluruh, sedang bagi tipe
tuberkuloid, kelainan sarafnya lebih terlokalisasi mengikuti tempat lesinya.
Hasil bakterioskopis memerlukan waktu paling sedikit 15-30 menit, sedangkan
histopatologik 10-14 hari. Kalau memungkinkan dapat dilakukan tes lepromin
(Mitsuda) untuk membantu penentuan tipe, yang hasilnya baru dapat diketahui
setelah tiga minggu.
Pada pasien ini ditemukan tanda kardinal dari Morbus Hansen yaitu, pasien
berasal dari daerah endemis, ditemukan lesi karakteristik Morbus Hansen pada kulit
dengan berkurang atau hilangnya sensasi, terdapat pembesaran saraf perifer yaitu n.
auricularis magnus.
Diagnosa pada pasien ini didasarkan pada gambaran klinis yaitu adanya lesi
berupa makula hipopigmentasi berbatas tegas dengan ukuran lentikular sampai
numular yang tersebar di daerah wajah dan seluruh tubuh. Selain itu didapatkan
gejala klinis lain madarosis; penipisan atau hilangnya alis dan bulu mata bagian
lateral, penebalan cuping telinga akibat infiltrat. Selain itu pada pemeriksaan
sederhana membandingkan rasa raba pada bagian lesi dan normal didapatkan
berkurangnya sensasi pada bagian lesi. Pada pasien ini juga ditemukan adanya
pembesaran n. auricularis magnus pada regio coli bilateral.
Pemeriksaan bakterioskopik yang dilakukan adalah pemeriksaan BTA dari hasil
kerokan infiltrat pada kedua cuping telinga bagian bawah pasien.
Berdasarkan teori, anamnesis dan pemeriksaan maka pasien didiagnosis dengan
Morbus Hansen.
Klasifikasi
Penentuan tipe morbus Hansen perlu dilakukan agar dapat menetapkan terapi
yang sesuai. Klasifikasi penyakit Morbus Hansen didasarkan pada gambaran klinis,
bakterioskopik, dan histopatologis. Ridley - Jopling mengklasifikasikan morbus
Hansen sebagai berikut; Tuberkuloid polar (TT) yang merupakan bentuk stabil,
Tuberkuloid indefinite (Ti), Borderline tuberculoid (Bt), Mid Borderline (BB),
Borderline lepromatous (Bl), Lepromatosa indefinite (Li), Lepromatosa polar (LL)
yang merupakan bentuk yang stabil.
Tipe I (indeterminate) tidak termasuk dalam spektrum. TT adalah tipe
tuberkuloid polar, yakni tuberkuloid 100%, merupakan tipe yang stanil, jadi berarti
tidak mungkin berubah tipe. Begitu juga LL adalah tipe lepromatosa polar, yakni
lepromatosa 100%, juga merupakan tipe yang stabil yang tidak mungkin berubah lagi.
Sedangkan tipe antara Ti dan Li disebut tipe borderline atau campuran, berarti
campuran antara tuberkuloid dan lepromatosa. BB adalah tipe campuran yang terdiri
atas 50% tuberkuloid dan 50% lepromatosa. BT dan Ti lebih banyak tuberkuloidnya,
sedangkan BL dan Li lebih banyak lepromatosanya. Tipe tipe campuran ini adalah
tipe yang labil, berarti dapat bebas beralih tipe, baik ke arah TT maupun ke arah LL.
Lesi pada tuberkuloid polar (TT) biasanya yang solid atau sedikit jumlahnya
(lima atau kurang) dan distribusi asimetris. Lesi dapat hipopigmentasi atau
eritematosa, dan biasanya kering, bersisik, dan berbulu. Lesi khas tuberkuloid besar,
plak eritematosa dengan batas yang jelas. Lesi pada Borderline tuberkuloid (Bt) mirip
dengan lesi pada TT, tetapi lebih kecil dan lebih banyak. Terdapat lesi satelit di
sekitar makula besar atau plak. Lesi pada BB (Mid Borderline) lesi pada kulit banyak
(tapi dapat dihitung) dan terdiri dari plak kemerahan yang tidak teratur. Lesi satelit
kecil dapat mengelilingi plak lebih besar. Pada umumnya distribusinya asimetris.
Lesi pada Bl (Borderline lepromatosa) distribusinya cenderung simetris, multipel dan
dapat berupa makula, papula, plak, dan nodul. Terdapat penebalan saraf yang bersifat
simetris. Tidak terjadi hilangnya sensasi, madarosis, keratitis. Sedangkan lesi kulit
pada lepromatosa polar (LL) terdiri dari makula hipopigmentasi, terdapat infiltrasi
difus kulit, bersifat simetris dengan batas kurang jelas, menunjukkan sedikit
perubahan dalam tekstur kulit, disertai sedikit atau tidak ada hilangnya sensasi pada
lesi, hilangnya progresif rambut pada sepertiga bagian luar alis, bulu mata, dan
akhirnya pada tubuh. Tempat terjadinya lesi pada awal biasanya tidak jelas dan paling
sering terjadi di bagian telinga, alis mata, hidung, dagu, siku, tangan, bokong, atau
lutut. Terjadi penebalan saraf perifer yang berkembang dengan lambat.
WHO membagi klasifikasi Morbus Hansen berdasarkan jumlah lesi dan hasil
pemeriksaan bakterioskopik pada kulit, yaitu Pausi Basiler (PB) dengan jumlah satu
lima lesi dan hasil pemeriksaan bakteri negatif. Sedangkan Multi Basiler (MB)
dengan jumlah lebih dari lima lesi dan hasil pemeriksaan bakteri positif.
yang
meninggi,
nodus)
-
Kerusakan
saraf
PB
1-5 lesi
Hipopigmentasi/eritema,
Distribusi tidak simetris
Hilangnya sensasi yang jelas
MB
> 5 lesi
Distribusi
simetris
Hilangnya
kurang jelas
Banyak cabang saraf
lebih
sensasi
(menyebabkan hilangnya
sensasi/kelemahan
otot
yang
oleh
dipersarafi
LEPROMATOSA (LL)
BORDERLINE
MID
LEPROMATOSA
BORDERLINE
(BL)
(BB)
Lesi
-
Bentuk
Jumlah
Plakat,
Dome-
Papul, Nodus
shaped
(kubah),
punched out
9
Distribusi
Permukaan
Batas
Anastesia
dihitung.
Simetris
Hampir simetris
Asimetris
Halus berkilat
Halus berkilat
Agak
kasar, agak
berkilat
Tidak jelas
Agak jelas
Agak jelas
Tak jelas
Lebih jelas
Banyak
Agak banyak
Biasanya negatif
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
BTA
-
Lesi kulit
Sekret hidung
Tes Lepromin
8.
9.
Tinea korporis
Biasanya gatal, tidak terjadi hilangnya sensasi rasa, hasil pemeriksaan kerokan
didapatkan penyebabnya adalah jamur.
Pitiriasis vesikolor
Pitiriasis vesikolor dapat berupa makula hipopigmentasi tetapi tidak terjadi
hilangnya sensasi raba, kadang bersisik, dan terasa gatal jika berkeringat.
Tuberkulosis kutis
10
TBC kulit dapat menyerupai Morbus Hansen tipe tuberkuloid, memiliki dasar
imunologi yang sama dan sering tidak bisa dibedakan pola histologis. Namun,
10.
Penatalaksanaan
Prinsip - prinsip umum penatalaksanaan Morbus Hansen:
11. Memberantas perkembangan penyakit Morbus Hansen.
12. Mencegah dan mengobati reaksi.
13. Mengurangi resiko kerusakan saraf.
14. Mengobati komplikasi kerusakan saraf.
15. Merehabilitasi pasien ke masyarakat.
Medikamentosa
16. Pengobatan Morbus Hansen tipe MB pada anak (10-14 tahun) dalam bentuk Multi
Drug Treatment (MDT)
Dosis supervisi (Diminum didepan petugas kesehatan Sekali sebulan Hari ke
1) :
1 kapsul Rifampisin 300mg + 1 kapsul Rifampisin 150mg + 3 kapsul
11
zat
warna
dan
dideposit
terutama
pada
sel
sistem
12
Pasien merupakan anak anak umur 14 tahun sehingga dosis obat MDT yang
diberikan adalah Rifampisin 450 mg/bulan (1 kapsul Rifampisin 300mg dan 1 kapsul
Rifampisin 150mg), Dapson 50 mg/bulan, Klofazimin 150 mg/bulan (3 kapsul
Klofazimin 50mg); dilanjutkan dengan 1 kapsul Klofazimin 50 mg, dan 1 tablet
Dapson 50mg.Terapi diberikan selama 12 bulan.
Prognosis
Prognosis pada Morbus Hansen tergantung pada tipe penyakit. Morbus Hansen
tipe LL mempunyai komplikasi jangka panjang. Pasien dapat mengalami kerusakan
saraf jangka panjang dan cacat. Prognosis juga tergantung pada akses pasien terhadap
terapi, kepatuhan pasien, dan inisiasi awal pengobatan. Jika tidak diobati Morbus
Hansen tipe LL dapat berakibat pada kematian.
Prognosis pada pasien ini,
Quo ad vitam : Ad bonam.
Pasien dalam pengobatan sehingga pasien dapat tetap hidup.
Quo ad fungtionam : Dubia ad malam.
Dikatakan dubia ad malam karena pasien ini mempunyai riwayat penyakit Morbus
Hansen yang cukup lama (8 bulan ) sebelum datang berobat ke Poliklinik Kulit dan
Kelamin. Kerusakan saraf jangka panjang dapat terjadi
Quo ad sanationam : Dubia ad bonam.
Jika pasien berobat dengan teratur dan tidak putus obat, kemungkinan sembuh dapat
terjadi.
13
DAFTAR PUSTAKA
therapy
in
leprosy:
Limitations
and
opportunities.
http://www.eijd.org/article.asp?
issn=00195154;year=2013;volume=58;issue=2;spage=93;epage=100;aulast
=Malathi
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/23780/2/Chapter%20II.pdf
http://www.lepra.org.uk/platforms/lepra/files/lr/Sept11/1619.pdf
James WD, Elston DM, Berger TG. Andrews Diseases of the Skin Clinical
Dermatology. Eleventh Edition. United States of America: Elsevier; 2011.
p. 343-344, 351-352.
Journal of Travel Medicine - The Difficulty in Diagnosis and Treatment of
Leprosy.http://onlinelibrary.wiley.com/doi/10.1111/j.17088305.2010.00419
.x/pdf
14
Pengendalian
Penyakit
Kusta
di
Indonesia.
http://pppl.depkes.go.id/berita?id=948
Twelve months fixed duration WHO multidrug therapy for multibacillary leprosy:
incidence
of
relapses
in
Agra
field
based
cohort
study.
http://icmr.nic.in/ijmr/2013/october/1011.pdf
WebMD
Leprosy.
http://www.webmd.com/skin-problems-and-
treatments/guide/leprosy-symptoms-treatments-history
WHO - Guide to Eliminate Leprosy as a Public Health Problem.
http://www.paho.org/hq/index.php?
option=com_docman&task=doc_view&gid=19771&Itemid=
WHO Leprosy Today. http://www.who.int/lep/en/
Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA. Fitzpatricks Dermatology In
General Medicine. Volume 1 & 2 Seventh Edition. United States of
America: McGraw-Hill Companies, Inc; 2008. p. 1787-1796.
15