Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN
Morbus Hansen merupakan penyakit infeksi yang kronik, dan penyebabnya
ialah Mycobacterium leprae yang bersifat intraselular obligat. Saraf perifer sebagai
afinitas pertama, lalu kulit dan mukosa traktus respiratorius bagian atas, kemudian
dapat ke organ lain kecuali susunan saraf pusat.
Mycobacterium leprae merupakan bakteri yang tidak dapat dikultur, Grampositif, bersifat intra selular dan tahan asam. Bakteri M. leprae tidak dapat dikultur
dan membutuhkan keadaan intraselular untuk berkembang karena mempunyai
beberapa enzim pernapasan untuk bertahan. Selain itu, M. leprae juga menyerang
lamina basal dari unit akson sel Schwann sehingga saraf yang terkena adalah sistem
saraf perifer.
Klasifikasi penyakit Morbus Hansen didasarkan pada gambaran klinis,
bakterioskopik, dan histopatologis. Ridley - Jopling mengklasifikasikan morbus
Hansen menjadi; Tuberkuloid polar (TT) yang merupakan bentuk stabil, Borderline
tuberculoid (Bt), Mid Borderline (BB), Borderline lepromatous (Bl), Lepromatosa
polar (LL) yang merupakan bentuk yang stabil.
WHO membagi klasifikasi Morbus Hansen berdasarkan jumlah lesi dan hasil
pemeriksaan bakterioskopik pada kulit, yaitu Pausi Basiler (PB) dengan jumlah satu
lima lesi dan hasil pemeriksaan bakteri negatif. Sedangkan Multi Basiler (MB)
dengan jumlah lebih dari lima lesi dan hasil pemeriksaan bakteri positif.
Morbus Hansen mempunyai tiga gejala klinis yang utama disebut Cardinal
sign, yaitu lesi hipopigmentasi atau eritematosa, mendatar (makula) atau meninggi
(plakat) yang bersifat kurang atau hilangnya sensasi rasa, penebalan saraf perifer
antara lain n.ulnaris, n.medianus, n.auricularis magnus, n.poplitea lateralis, n.tibialis
posterior, ditemukan basil tahan asam pada pemeriksaan bakterioskopik hapusan
kulit cuping telinga dan lesi kulit yang aktif. Untuk menegakkan penyakit kusta,
paling sedikit harus ditemukan satu tanda kardinal. Bila tidak atau belum dapat

ditemukan, maka penderita perlu diamati dan diperiksa ulang setelah 3-6 bulan
sampai diagnosis kusta dapat ditegakkan atau disingkirkan.
Tujuan dari WHO pada akhir tahun 2015 untuk mengurangi tingkat kasus baru
di seluruh dunia sekurangnya 35%. Dari 115 negara, prevalensi terdaftar global kusta
pada akhir kuartal pertama tahun 2013 mencapai 189.018 kasus, sementara jumlah
kasus baru terdeteksi selama 2012 adalah 232.857 kasus. Dari kasus baru, 95%
terdeteksi di seluruh dunia selama tahun 2010 di negara-negara berikut: Angola,
Bangladesh, Brazil, China, India, Ethiopia, Indonesia, Myanmar, Nepal, Nigeria,
Filipina, Sudan.
Dari 10 negara dengan jumlah kasus baru terbesar di dunia, Indonesia
menempati posisi ke-3 setelah India dan Brazil. Berdasarkan data epidemiologi,
jumlah kasus baru pada penyakit Morbus Hansen di Indonesia tahun 2012, sebanyak
17.980 kasus, angka ini turun dari 2011 sebanyak 20.023 kasus. Menurut data Dinas
Kesehatan Provinsi Papua, rata-rata pasien kusta mencapai 1.300 kasus baru tiap
tahun. Papua menempati urutan ketiga setelah Papua Barat dan Maluku. Terdapat 17
kabupaten di Papua yang mempunyai angka kasus Morbus Hansen tertinggi.
WHO merekomendasikan dengan rejimen kombinasi MDT (Multi Drug
Treatment) yang terdiri atas kombinasi dapson, rifampisin, dan klofazimin.
Penggunaan MDT dimaksudkan untuk mengurangi ketidaktaatan penderita,
menurunkan angka putus obat, dan mengatasi resistensi dapson sebagai monoterapi.
Namun dalam pelaksanaan program MDT mengalami beberapa masalah. Oleh karena
itu diperlukan obat-obat baru dengan mekanisme bakterisidal yang berbeda dengan
obat-obat dalam rejimen MDT-WHO saat ini. Obat baru ini harus memenuhi syarat
antara lain bersifat bakterisidal kuat terhadap M.leprae, Yang sudah terbukti efektif
antara lain ofloksasin, minosiklin, dan klaritromisin.
Prognosis pada Morbus Hansen tergantung pada tipe penyakit. Morbus Hansen
tipe LL mempunyai komplikasi jangka panjang. Pasien dapat mengalami kerusakan
saraf jangka panjang dan cacat. Prognosis juga tergantung pada akses pasien terhadap
terapi, kepatuhan pasien, dan inisiasi awal pengobatan. Jika tidak diobati Morbus
Hansen tipe LL dapat berakibat pada kematian.

BAB II
LAPORAN KASUS
I. Identitas Pasien
Nama
No. RM
Jenis Kelamin
Umur
Agama
Pendidikan
Pekerjaan
Suku
Status Marital
Alamat
Tanggal Pemeriksaan

: Ny. S
:: Perempuan
: 31 tahun
: Islam
: SMA
: IRT
: Jawa
: Menikah
: Junjang
: 29 Juni 2015

II. Anamnesis (Autoanamnesis dan Heteroanamesis)


1. Keluhan Utama
Bercak eritema disertai dengan skuama yang berlapis-lapis dan berwarna
putih mengkilat pada daerah tangan sejak 3 minggu yang lalu.
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke Poliklinik Penyakit Kulit dan Kelamin RSUD Arjawinangun
dengan keluhan, timbul bercak-bercak kemerahan pada tangan sejak 3
minggu yang lalu. Bercak kemerahan tersebut mulai timbul pada tangan
pasien disertai skuama yang berlapis-lapis. Kulit terasa kering dan terasa gatal
sedang. Nyeri dan rasa baal tidak dikeluhkan pasien. Pasien tidak demam
sebelumnya.
3. Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien tidak pernah mengalami keluhan seperti ini sebelumnya.
4. Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada keluarga pasien yang mengalami keluhan yang sama seperti yang
dirasakan pasien.
5. Riwayat Alergi
Riwayat alergi makanan dan obat obatan disangkal pasien.
6. Riwayat Sosial
3

Pasien merupakan ibu rumah tangga, tinggal dirumah bersama anak dan
suami. Pasien tidak merokok dan tidak mengkonsumsi minuman beralkohol.
Akhir-akhir ini pasien mengeluh banyak pikiran.
III.

Pemeriksaan Fisik
a. Status Generalis
Keadaan Umum : Tampak sakit ringan
Kesadaran
: Composmentis
TTV
: TD
: 120/80
Nadi
: 80 x
Respirasi : 24 x
Suhu
: 36,3
Kepala / Leher : Conjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), pembesaran
Thorax

KGB regional (-/-)


: simetris, ikut gerak napas, suara napas vesikuler, ronkhi

Abdomen

(-/-), wheezing (-/-), bunyi jantung I-II reguler,


: cembung, supel, nyeri tekan (-), bising usus (+), kelainan

kulit (+)
Ekstermitas
: Akral hangat, edema (-/-)
Genitalia
: tidak dilakukan pemeriksaan.
b. Status Dermatologis

Skuama

Plak Eritematosa

Lokasi
: Tangan kanan
Efloresensi : Plak eritematosa, ukuran 2-6 cm, multiple, teratur, sirkumskrip
disertai dengan skuama berlapis-lapis.
IV.

Pemeriksaan Penunjang
4

Fenomena tetesan lilin

: Skuama berubah menjadi warna putih ketika


digores dengan kaca objek.

V. Resume
Seorang perempuan usia 31 tahun datang ke poliklinik penyakit kulit dan
kelamin RSUD Arjawinangun pada tanggal 29 Juni 2015 dengan keluhan, timbul
bercak-bercak kemerahan pada tangan sejak 3 minggu yang lalu. Bercak
kemerahan tersebut mulai timbul pada tangan pasien disertai skuama yang
berlapis-lapis. Kulit terasa kering dan terasa gatal sedang. Nyeri dan rasa baal
tidak dikeluhkan pasien. Pasien tidak demam sebelumnya. Pasien tidak memiliki
alergi makanan maupun obat-obatan. Pasien merupakan ibu rumah tangga,
tinggal dirumah bersama anak dan suami. Pasien tidak merokok dan tidak
mengkonsumsi minuman beralkohol. Akhir-akhir ini pasien mengeluh banyak
pikiran.
Pemeriksaan fisik yang dilakukan pada pasien ini meliputi pemeriksaan
secara umum dan pemeriksaan dermatologis. Pada status dermatologis,
efloresensi terdapat pada tangan kanan, tampak plak eritematosa, ukuran 2-6 cm,
multiple, teratur, sirkumskrip disertai dengan skuama berlapis-lapis.
VI.

Diagnosis Kerja
Psoriasis Vulgaris

VII.

Diagnosis Banding
Dermatitis seboroik.
b.
Dermatofitosis.
c.
Sifilis psoriosiformis.
VIII. Penatalaksanaan
a. Medikamentosa
- Methotrexate 3 x 5 mg per minggu.
- Bethametasone cream di oles tipis pada lesi.
- Loratadine 2 x 10 mg jika gatal.
b. Non Medikamentosa
- Menjelaskan kepada pasien tentang penyakit dan penatalaksanaannya.
- Penggunaan sabun bayi untuk menjaga kelembaban kulit.
- Mencegah garukan atau gesekan.
- Cukup istirahat.
- Menghidari faktor pencetus.
a.

IX.

Prognosis

Quo ad vitam
Quo ad fungtionam
Quo ad sanationam

: Ad bonam.
: Dubia ad bonam.
: Dubia ad bonam.
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

Definisi
Kusta atau Morbus Hansen (MH) merupakan penyakit infeksi yang kronik, dan
penyebabnya ialah Mycobacterium Leprae yang bersifat intraselular obligat. Saraf
perifer sebagai afinitas pertama, lalu kulit dan mukosa traktus respiratorius bagian
atas, kemudian dapat ke organ lain kecuali susunan saraf pusat.
Epidemiologi
Bedasarkan data yang diperoleh dari World Health Organization (WHO) pada
akhir tahun 2006 didapatkan jumlah pasien kusta yang teregistrasi sebanyak 224.727
penderita. Dari data tersebut didapatkan jumlah pasien terbanyak dari benua asia
dengan jumlah pasien yang terdaftar sebanyak 116.663. Dan dari data didapatkan
india merupakan negara dengan jumlah penduduk terkena kusta terbanyak dengan
jumlah 82.901 penderita. Sementara indonesia pada tahun 2006 tercatat memiliki
jumlah penderita sebanyak 22.175 (WHO).
Diagnosa
Dagnosa ditegakkan jika ditemukan satu atau beberapa tanda kardinal; pasien
dari daerah endemik, lesi kulit karakteristik morbus Hansen dengan berkurang atau
hilangnya sensasi, terdapat pembesaran saraf perifer, ditemukannya M. leprae pada
kulit.
Diagnosis penyakit morbus Hansen didasarkan gambaran klinis, bakterioskopis,
dan histopatologis. Di antara ketiganya, diagnosis secara klinislah yang terpenting
dan paling sederhana. Diagnosis klinik seseorang harus didasarkan hasil pemeriksaan
kelainan klinis seluruh tubuh orang tersebut. Sebaliknya jangan hanya didasarkan
pemeriksaan sebagian tubuh saja, sebab ada kemungkinan diagnosis klinis di wajah
berbeda dengan di tubuh, lengan, tungkai, dan sebagainya.bahkan pada satu lesi pun
dapat berbeda tipenya.
6

Dimulai dengan inspeksi, palpasi, lalu dilakukan pemeriksaan yang


menggunakan alat sederhana. Kelainan kulit pada penyakit kusta tanpa komplikasi
dapat hanya berbentuk makula saja, infiltrat saja, atau keduanya. Kalau secara
inspeksi mirip penyakit lain, ada tidaknya anastesia sangat banyak membantu
penentuan diagnosis, meskipun tidak selalu jelas. Hal ini dengan mudah dilakukan
dengan menggunakan jarum terhadap rasa nyeri, kapas terhadap rasa raba, dan kalu
masih belum jelas pula dengan kedua cara tersebut barulah pengujian terhadap rasa
suhu, yaitu panas dan dingin. Mengenai saraf perifer yang perlu diperhatikan ialah
pembesaran, konsistensi, dan nyeri atau tidak. Hanya beberapa saraf superfisial yang
dapat dan perlu diperiksa, yaitu N. fasialis, N. aurikularis magnus, N. radialis, N.
ulnaris, N. medianus, N. politea lateralis, dan N. tibialis posterior. Bagi tipe ke arah
lepromatosa kelainan saraf biasanya bilateral dan menyeluruh, sedang bagi tipe
tuberkuloid, kelainan sarafnya lebih terlokalisasi mengikuti tempat lesinya.
Hasil bakterioskopis memerlukan waktu paling sedikit 15-30 menit, sedangkan
histopatologik 10-14 hari. Kalau memungkinkan dapat dilakukan tes lepromin
(Mitsuda) untuk membantu penentuan tipe, yang hasilnya baru dapat diketahui
setelah tiga minggu.
Pada pasien ini ditemukan tanda kardinal dari Morbus Hansen yaitu, pasien
berasal dari daerah endemis, ditemukan lesi karakteristik Morbus Hansen pada kulit
dengan berkurang atau hilangnya sensasi, terdapat pembesaran saraf perifer yaitu n.
auricularis magnus.
Diagnosa pada pasien ini didasarkan pada gambaran klinis yaitu adanya lesi
berupa makula hipopigmentasi berbatas tegas dengan ukuran lentikular sampai
numular yang tersebar di daerah wajah dan seluruh tubuh. Selain itu didapatkan
gejala klinis lain madarosis; penipisan atau hilangnya alis dan bulu mata bagian
lateral, penebalan cuping telinga akibat infiltrat. Selain itu pada pemeriksaan
sederhana membandingkan rasa raba pada bagian lesi dan normal didapatkan
berkurangnya sensasi pada bagian lesi. Pada pasien ini juga ditemukan adanya
pembesaran n. auricularis magnus pada regio coli bilateral.

Pemeriksaan bakterioskopik yang dilakukan adalah pemeriksaan BTA dari hasil


kerokan infiltrat pada kedua cuping telinga bagian bawah pasien.
Berdasarkan teori, anamnesis dan pemeriksaan maka pasien didiagnosis dengan
Morbus Hansen.
Klasifikasi
Penentuan tipe morbus Hansen perlu dilakukan agar dapat menetapkan terapi
yang sesuai. Klasifikasi penyakit Morbus Hansen didasarkan pada gambaran klinis,
bakterioskopik, dan histopatologis. Ridley - Jopling mengklasifikasikan morbus
Hansen sebagai berikut; Tuberkuloid polar (TT) yang merupakan bentuk stabil,
Tuberkuloid indefinite (Ti), Borderline tuberculoid (Bt), Mid Borderline (BB),
Borderline lepromatous (Bl), Lepromatosa indefinite (Li), Lepromatosa polar (LL)
yang merupakan bentuk yang stabil.
Tipe I (indeterminate) tidak termasuk dalam spektrum. TT adalah tipe
tuberkuloid polar, yakni tuberkuloid 100%, merupakan tipe yang stanil, jadi berarti
tidak mungkin berubah tipe. Begitu juga LL adalah tipe lepromatosa polar, yakni
lepromatosa 100%, juga merupakan tipe yang stabil yang tidak mungkin berubah lagi.
Sedangkan tipe antara Ti dan Li disebut tipe borderline atau campuran, berarti
campuran antara tuberkuloid dan lepromatosa. BB adalah tipe campuran yang terdiri
atas 50% tuberkuloid dan 50% lepromatosa. BT dan Ti lebih banyak tuberkuloidnya,
sedangkan BL dan Li lebih banyak lepromatosanya. Tipe tipe campuran ini adalah
tipe yang labil, berarti dapat bebas beralih tipe, baik ke arah TT maupun ke arah LL.
Lesi pada tuberkuloid polar (TT) biasanya yang solid atau sedikit jumlahnya
(lima atau kurang) dan distribusi asimetris. Lesi dapat hipopigmentasi atau
eritematosa, dan biasanya kering, bersisik, dan berbulu. Lesi khas tuberkuloid besar,
plak eritematosa dengan batas yang jelas. Lesi pada Borderline tuberkuloid (Bt) mirip
dengan lesi pada TT, tetapi lebih kecil dan lebih banyak. Terdapat lesi satelit di
sekitar makula besar atau plak. Lesi pada BB (Mid Borderline) lesi pada kulit banyak
(tapi dapat dihitung) dan terdiri dari plak kemerahan yang tidak teratur. Lesi satelit
kecil dapat mengelilingi plak lebih besar. Pada umumnya distribusinya asimetris.

Lesi pada Bl (Borderline lepromatosa) distribusinya cenderung simetris, multipel dan


dapat berupa makula, papula, plak, dan nodul. Terdapat penebalan saraf yang bersifat
simetris. Tidak terjadi hilangnya sensasi, madarosis, keratitis. Sedangkan lesi kulit
pada lepromatosa polar (LL) terdiri dari makula hipopigmentasi, terdapat infiltrasi
difus kulit, bersifat simetris dengan batas kurang jelas, menunjukkan sedikit
perubahan dalam tekstur kulit, disertai sedikit atau tidak ada hilangnya sensasi pada
lesi, hilangnya progresif rambut pada sepertiga bagian luar alis, bulu mata, dan
akhirnya pada tubuh. Tempat terjadinya lesi pada awal biasanya tidak jelas dan paling
sering terjadi di bagian telinga, alis mata, hidung, dagu, siku, tangan, bokong, atau
lutut. Terjadi penebalan saraf perifer yang berkembang dengan lambat.
WHO membagi klasifikasi Morbus Hansen berdasarkan jumlah lesi dan hasil
pemeriksaan bakterioskopik pada kulit, yaitu Pausi Basiler (PB) dengan jumlah satu
lima lesi dan hasil pemeriksaan bakteri negatif. Sedangkan Multi Basiler (MB)
dengan jumlah lebih dari lima lesi dan hasil pemeriksaan bakteri positif.

Tabel 1. Bagan Diagnosis Klinis Menurut WHO (1995)


-

Lesi kulit (Makula datar,


papul

yang

meninggi,

nodus)
-

Kerusakan

saraf

PB
1-5 lesi
Hipopigmentasi/eritema,
Distribusi tidak simetris
Hilangnya sensasi yang jelas

Hanya satu cabang saraf

MB
> 5 lesi
Distribusi

simetris
Hilangnya

kurang jelas
Banyak cabang saraf

lebih
sensasi

(menyebabkan hilangnya
sensasi/kelemahan

otot

yang

oleh

dipersarafi

saraf yang terkena

Tabel 2. Gambaran Klinis, Bakteriologik, dan Imunologik Morbus Hansen Tipe MB

SIFAT

LEPROMATOSA (LL)

BORDERLINE

MID

LEPROMATOSA

BORDERLINE

(BL)

(BB)

Lesi
-

Bentuk

Makula, Infiltrat difus, Makula, Plakat, Papul

Plakat,

Dome-

Papul, Nodus

shaped

(kubah),

punched out

Jumlah

Tidak terhitung, praktis Sukar dihitung, masih Dapat


-

Distribusi
Permukaan
Batas
Anastesia

dihitung.

tidak ada kulit sehat

ada kulit sehat

Kulit sehat jelas ada

Simetris

Hampir simetris

Asimetris

Halus berkilat

Halus berkilat

Agak

kasar, agak

berkilat
Tidak jelas

Agak jelas

Agak jelas

Biasanya tidak jelas

Tak jelas

Lebih jelas

Banyak (ada globus)

Banyak

Agak banyak

Banyak (ada globus)

Biasanya negatif

Negatif

Negatif

Negatif

Negatif

BTA
-

Lesi kulit
Sekret hidung

Tes Lepromin

Berdasarkan klasifikasi Ridley-Jopling pasien ini termasuk dalam tipe Morbus


Hansen tipe LL (Lepromatosa Polar) karena lama riwayat penyakit pasien yaitu enam
tahun. Dimana pasien tidak terlalu menunjukkan perubahan yang cepat atau labil.
Lesi kulit pasien berupa makula hipopigmentasi, terdapat infiltrasi difus kulit pada
cuping telinga, bersifat simetris dengan batas kurang jelas, disertai sedikit hilangnya
sensasi pada lesi, hilangnya progresif rambut pada sepertiga bagian luar alis mata
(madarosis) dan bulu mata. Terjadi penebalan saraf perifer, pada n. auricularis
magnus yang berkembang dengan lambat.
Berdasarkan klasifikasi WHO maka pasien ini dimasukkan kedalam morbus
Hansen tipe Multi Basiler karena jumlah lesi yang multipel dan terletak diseluruh
tubuh pasien (simetris), hilangnya sensasi kurang jelas.

10

Diagnosis Banding
7.

Tinea korporis
Biasanya gatal, tidak terjadi hilangnya sensasi rasa, hasil pemeriksaan kerokan

8.

didapatkan penyebabnya adalah jamur.


Pitiriasis vesikolor
Pitiriasis vesikolor dapat berupa makula hipopigmentasi tetapi tidak terjadi

9.

hilangnya sensasi raba, kadang bersisik, dan terasa gatal jika berkeringat.
Tuberkulosis kutis
TBC kulit dapat menyerupai Morbus Hansen tipe tuberkuloid, memiliki dasar
imunologi yang sama dan sering tidak bisa dibedakan pola histologis. Namun,

10.

lesinya tidak anestesi.


Birth mark
Tanda lahir (Birth mark) merupakan makula berpigmen yang tidak normal, tetapi
secara fisiologis dapat dikatakan normal, tidak terjadi hilangnya sensasi rasa.

Penatalaksanaan
Prinsip - prinsip umum penatalaksanaan Morbus Hansen:
11. Memberantas perkembangan penyakit Morbus Hansen.
12. Mencegah dan mengobati reaksi.
13. Mengurangi resiko kerusakan saraf.
14. Mengobati komplikasi kerusakan saraf.
15. Merehabilitasi pasien ke masyarakat.
Medikamentosa
16. Pengobatan Morbus Hansen tipe MB pada anak (10-14 tahun) dalam bentuk Multi
Drug Treatment (MDT)
Dosis supervisi (Diminum didepan petugas kesehatan Sekali sebulan Hari ke
1) :
1 kapsul Rifampisin 300mg + 1 kapsul Rifampisin 150mg + 3 kapsul

Klofazimin 50mg + 1 tablet Dapson 50mg.


Dosis Harian (Diminum sekali setiap hari - Hari ke 2-28):
1 kapsul Klofazimin 50mg + 1 tablet Dapson 50mg.

11

17. Rifampisin
Digunakan dalam terapi kombinasi dengan obat lainnya; bekerja
menghambat bakteri DNA-dependent RNA polymerase, bersifat bakterisida
terhadap M leprae. Efek samping yang harus diperhatikan adalah
hepatotoksik, nefrotoksik, gejala gastrointestinal, flu-like syndrome, dan
erupsi kulit.
18. Dapson
Digunakan dalam terapi kombinasi. Bersifat bakterisida dan bakteriostatik
terhadap mikobakteri; mekanisme kerja menghambat pertumbuhan bakteri.
Resistensi terhadap dapson dapat terjadi primer maupun sekunder. Resistensi
sekunder terjadi oleh karena penggunaan Dapson sebagai monoterapi, dosis
yang terlalu rendah, minum obat tidak teratur, pengobatan yang terlalu lama,
setelah 4-24 tahun. Resistensi hanya terjadi pada Morbus Hansen tipe MB.
Efek samping yang mungkin timbul antara lain nyeri kepala, erupsi obat,
anemia hemolitik, leukopenia, insomnia, neuropati perifer, sindrom Dapson,
hepatitis, hipoalbuminemia. Sindrom Dapson kadang muncul 6 minggu
setelah dimulainya terapi dengan dapson dan bermanifestasi sebagai
dermatitis, terkait dengan limfadenopati, hepatosplenomegali, demam dan
hepatitis, dan dapat berakibat fatal.
19. Klofazimin (Lamprene)
Digunakan dalam terapi kombinasi. Bersifat menghambat pertumbuhan
mikobakteri, mengikat rantai DNA mikobakteri. Memiliki sifat antimikroba
tetapi mekanisme aksi belum diketahui secara pasti. Klofazimin juga
mempunyai efek anti inflamasi yang berperan dalam penurunan frekuensi
dan keparahan ENL pada penderita Morbus Hansen tipe MB.
Efek sampingnya ialah warna kecoklatan pada kulit, dan warna kekuningan
pada sklera, sehingga mirip ikterus. Hal tersebut disebabkan klofazimin yang
merupakan

zat

warna

dan

dideposit

terutama

pada

sel

sistem

retikuloendotelial, mukosa, dan kulit. Obat ini menyebabkan pigmentasi


kulit yang sering merupakan masalah dalam ketaatan berobat penderita. Efek
samping hanya terjadi dalam dosis tinggi, berupa gangguan gastrointestinal
yakni nyeri abdomen, nausea, diare, anoreksia. Selain itu dapat terjadi
12

penurunan berat badan. Perubahan kulit akan menghilang setelah tiga bulan
obat dihentikan. Perubahan warna mulai berkurang terasa dalam enam bulan
dan kulit kembali ke warna normal pada akhir satu tahun setelah berhenti
penggunaan obat. Pasien yang resisten atau menolak mengkonsumsi
klofazimin dapat digantikan dengan Ofloksasin dan Miosiklin.
Pasien merupakan anak anak umur 14 tahun sehingga dosis obat MDT yang
diberikan adalah Rifampisin 450 mg/bulan (1 kapsul Rifampisin 300mg dan 1 kapsul
Rifampisin 150mg), Dapson 50 mg/bulan, Klofazimin 150 mg/bulan (3 kapsul
Klofazimin 50mg); dilanjutkan dengan 1 kapsul Klofazimin 50 mg, dan 1 tablet
Dapson 50mg.Terapi diberikan selama 12 bulan.
Prognosis
Prognosis pada Morbus Hansen tergantung pada tipe penyakit. Morbus Hansen
tipe LL mempunyai komplikasi jangka panjang. Pasien dapat mengalami kerusakan
saraf jangka panjang dan cacat. Prognosis juga tergantung pada akses pasien terhadap
terapi, kepatuhan pasien, dan inisiasi awal pengobatan. Jika tidak diobati Morbus
Hansen tipe LL dapat berakibat pada kematian.
Prognosis pada pasien ini,
Quo ad vitam : Ad bonam.
Pasien dalam pengobatan sehingga pasien dapat tetap hidup.
Quo ad fungtionam : Dubia ad malam.
Dikatakan dubia ad malam karena pasien ini mempunyai riwayat penyakit Morbus
Hansen yang cukup lama (8 bulan ) sebelum datang berobat ke Poliklinik Kulit dan
Kelamin. Kerusakan saraf jangka panjang dapat terjadi
Quo ad sanationam : Dubia ad bonam.
Jika pasien berobat dengan teratur dan tidak putus obat, kemungkinan sembuh dapat
terjadi.

13

DAFTAR PUSTAKA

Burns T, Breatnach S, Cox N, Griffiths C. Rooks Textbook of Dermatology.


Eighth Edition. United Kingdom: Wiley-Blackwell; 2010. p. 1469-1486
Childhood leprosy in a tertiary-care hospital in Delhi, India: A reappraisal in
thepost-elimination era.
Djuanda A, Hamzah M, Aisah S, Editor. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi
Kelima. Jakarta: Badan Penerbit FKUI; 2010. h. 73-83.
Fitzpatrick TB, Johnson RA, Wolff K. Color Atlas and Synopsis of Clinical
Dermatology. Sixth Edition. United States of America: McGraw-Hill
Companies, Inc; 2009. p. 665-671.
Fixed-duration

therapy

in

leprosy:

Limitations

and

opportunities.

http://www.eijd.org/article.asp?
issn=00195154;year=2013;volume=58;issue=2;spage=93;epage=100;aulast
=Malathi
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/23780/2/Chapter%20II.pdf
http://www.lepra.org.uk/platforms/lepra/files/lr/Sept11/1619.pdf

14

James WD, Elston DM, Berger TG. Andrews Diseases of the Skin Clinical
Dermatology. Eleventh Edition. United States of America: Elsevier; 2011.
p. 343-344, 351-352.
Journal of Travel Medicine - The Difficulty in Diagnosis and Treatment of
Leprosy.http://onlinelibrary.wiley.com/doi/10.1111/j.17088305.2010.00419
.x/pdf
Leprosy now: epidemiology, progress, challenges, and research gaps.
http://download.thelancet.com/pdfs/journals/laninf/PIIS1473309911700068
.pdf?id=baapX-P3wb6qX6sZ58bwu
Medscape Leprosy. http://emedicine.medscape.com/article/220455
Program

Pengendalian

Penyakit

Kusta

di

Indonesia.

http://pppl.depkes.go.id/berita?id=948
Twelve months fixed duration WHO multidrug therapy for multibacillary leprosy:
incidence

of

relapses

in

Agra

field

based

cohort

study.

http://icmr.nic.in/ijmr/2013/october/1011.pdf
WebMD

Leprosy.

http://www.webmd.com/skin-problems-and-

treatments/guide/leprosy-symptoms-treatments-history
WHO - Guide to Eliminate Leprosy as a Public Health Problem.
http://www.paho.org/hq/index.php?
option=com_docman&task=doc_view&gid=19771&Itemid=
WHO Leprosy Today. http://www.who.int/lep/en/
Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA. Fitzpatricks Dermatology In
General Medicine. Volume 1 & 2 Seventh Edition. United States of
America: McGraw-Hill Companies, Inc; 2008. p. 1787-1796.

15

Anda mungkin juga menyukai