Anda di halaman 1dari 25

Wajib menikah

Kenapa Harus Menikah? (wajib baca bagi yang takut


nikah)
Berikut beberapa alasan mengapa harus menikah?, semoga bisa memotivasi kaum muslimin
untuk memeriahkan dunia dengan menikah.
1. Melengkapi agamanya
"Barang siapa menikah, maka ia telah melengkapi separuh dari agamanya. Dan hendaklah ia
bertaqwa kepada Allah dalam memelihara yang separuhnya lagi. (HR. Thabrani dan Hakim).
2. Menjaga kehormatan diri
"Wahai para pemuda! Barangsiapa di antara kalian berkemampuan untuk nikah, maka
nikahlah, karena nikah itu lebih mudah menundukkan pandangan dan lebih membentengi
farji (kemaluan). Dan barang siapa yang tidak mampu, maka hendaklah ia puasa, karena
puasa itu dapat membentengi dirinya. (HSR. Ahmad, Bukhari, Muslim, Tirmidzi, Nasaiy,
Darimi, Ibnu Jarud dan Baihaqi).
3. Senda guraunya suami-istri bukanlah perbuatan sia-sia
"Segala sesuatu yang di dalamnya tidak mengandung dzikrullah merupakan perbuatan sia-sia,
senda gurau, dan permainan, kecuali empat (perkara), yaitu senda gurau suami dengan
istrinya, melatih kuda, berlatih memanah, dan mengajarkan renang." (Buku Adab Az Zifaf Al
Albani hal 245; Silsilah Al Ahadits Ash Shahihah no. 309).
... Hidup berkeluarga merupakan ladang meraih pahala...
4. Bersetubuh dengan istri termasuk sedekah
Pernah ada beberapa shahabat Nabi SAW berkata kepada beliau, "Wahai Rasulullah, orangorang kaya telah memborong pahala. Mereka bisa shalat sebagaimana kami shalat; mereka
bisa berpuasa sebagaimana kami berpuasa; bahkan mereka bisa bersedekah dengan kelebihan
harta mereka." Beliau bersabda, "Bukankah Allah telah memberikan kepada kalian sesuatu
yang bisa kalian sedekahkan? Pada tiap-tiap ucapan tasbih terdapat sedekah; (pada tiap-tiap
ucapan takbir terdapat sedekah; pada tiap-tiap ucapan tahlil terdapat sedekah; pada tiap-tiap
ucapan tahmid terdapat sedekah); memerintahkan perbuatan baik adalah sedekah; mencegah
perbuatan munkar adalah sedekah; dan kalian bersetubuh dengan istri pun sedekah."
Mereka bertanya, "Wahai Rasulullah, kok bisa salah seorang dari kami melampiaskan
syahwatnya akan mendapatkan pahala?" Beliau menjawab, "Bagaimana menurut kalian bila
nafsu syahwatnya itu dia salurkan pada tempat yang haram, apakah dia akan mendapatkan
dosa dengan sebab perbuatannya itu?" (Mereka menjawab, "Ya, tentu." Beliau bersabda,)
"Demikian pula bila dia salurkan syahwatnya itu pada tempat yang halal, dia pun akan
mendapatkan pahala." (Beliau
kemudian menyebutkan beberapa hal lagi yang beliau padankan masing-masingnya
dengan sebuah sedekah, lalu beliau bersabda, "Semua itu bisa digantikan cukup dengan shalat

dua raka'at Dhuha.") (Buku Adab Az Zifaf Al Albani hal 125).


5. Adanya saling nasehat-menasehati
6. Bisa mendakwahi orang yang dicintai
7. Pahala memberi contoh yang baik
"Siapa saja yang pertama memberi contoh perilaku yang baik dalam Islam, maka ia
mendapatkan pahala kebaikannya dan mendapatkan pahala orang-orang yang meniru
perbuatannya itu tanpa dikurangi sedikit pun. Dan barang siapa yang pertama memberi
contoh perilaku jelek dalam Islam, maka ia mendapatkan dosa kejahatan itu dan mendapatkan
dosa orang yang meniru perbuatannya tanpa dikurangi sedikit pun." (HR. Muslim, Buku
Riyadush Shalihin Bab Orang yang pertama kali melakukan kebaikan atau kejahatan.)
Bagaimana menurut Anda bila ada seorang kepala keluarga yang memberi contoh perbuatan
yang baik bagi keluarganya dan ditiru oleh istri dan anak-anaknya? Demikian juga sebaliknya
bila seorang kepala keluarga memberi contoh yang jelek bagi keluarganya?
8. Seorang suami memberikan nafkah, makan, minum, dan pakaian kepada istrinya
dan keluarganya akan terhitung sedekah yang paling utama. Dan akan diganti oleh
Allah, ini janji Allah.
Dari Abu Hurairah r.a., ia berkata: Rasulullah SAW, bersabda: "Satu dinar yang kamu
nafkahkan di jalan Allah, satu dinar yang kamu nafkahkan untuk memerdekakan budak, satu
dinar yang kamu berikan kepada orang miskin dan satu dinar yang kamu nafkahkan kepada
keluargamu, maka yang paling besar pahalanya yaitu satu dinar yang kamu nafkahkan kepada
keluargamu." (HR Muslim, Buku Riyadush Shalihin Bab Memberi nafkah terhadap
keluarga).
Dari Abu Abdullah (Abu Abdurrahman) Tsauban bin Bujdud., ia berkata: Rasulullah SAW.
bersabda: "Dinar yang paling utama adalah dinar yang dinafkahkan seseorang kepada
keluarganya, dinar yang dinafkahkan untuk kendaraan di jalan Allah, dan dinar yang
dinafkahkan untuk membantu teman seperjuangan di jalan Allah."(HR. Muslim, Buku
Riyadush Shalihin Bab Memberi nafkah terhadap keluarga).
Seorang suami lebih utama menafkahkan hartanya kepada keluarganya daripada kepada yang
lain karena beberapa alasan, diantaranya adalah nafkahnya kepada keluarganya adalah
kewajiban dia, dan nafkah itu akan menimbulkan kecintaan kepadanya.
Muawiyah bin Haidah RA., pernah bertanya kepada Rasulullah SAW: 'Wahai Rasulullah, apa
hak istri terhadap salah seorang di antara kami?" Beliau menjawab dengan bersabda, "Berilah
makan bila kamu makan dan berilah pakaian bila kamu berpakaian. Janganlah kamu
menjelekkan wajahnya, janganlah kamu memukulnya, dan janganlah kamu memisahkannya
kecuali di dalam rumah. Bagaimana kamu akan berbuat begitu terhadapnya, sementara
sebagian dari kamu telah bergaul dengan mereka, kecuali kalau hal itu telah dihalalkan
terhadap mereka." (Adab Az Zifaf Syaikh Albani hal 249).
Dari Sa'ad bin Abi Waqqash RA., dalam hadits yang panjang yang kami tulis pada bab niat, ia
berkata: Rasulullah SAW bersabda kepadanya: "Sesungguhnya apa saja yang kamu
nafkahkan dengan maksud kamu mencari keridhaan Allah, niscaya kamu akan diberi pahala

sampai apa saja yang kamu sediakan untuk istrimu." (HR. Bukhari dan Muslim, Buku
Riyadush Shalihin Bab Memberi nafkah terhadap keluarga).
Dari Abdullah bin Amr bin 'Ash ra., ia berkata: Rasulullah SAW bersabda:
"Seseorang cukup dianggap berdosa apabila ia menyianyiaka orang yang harus diberi
belanja." (HR. Bukhari dan Muslim, Buku Riyadush Shalihin Bab Memberi nafkah terhadap
keluarga).
Dan akan diganti oleh Allah, ini janji Allah.
"Dan barang apa saja yang kamu nafkahkan maka Allah akan menggantinya."
(Saba': 39).
Dari Abu Hurairah RA, ia berkata: Nabi SAW bersabda: "Setiap pagi ada dua malaikat yang
datang kepada seseorang, yang satu berdoa: "Ya Allah, berikanlah ganti kepada orang yang
menafkahkan hartanya." Dan yang lain berdoa: "Ya Allah, binasakanlah harta orang yang
kikir." (HR. Bukhari dan Muslim, Buku Riyadush Shalihin Bab Memberi nafkah terhadap
keluarga).
9. Seorang pria yang menikahi janda yang mempunyai anak, berarti ikut memelihara
anak yatim
Janji Allah berupa pertolongan-Nya bagi mereka yang menikah.
1. Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian diantara kamu dan orang-orang yang layak
(berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan perempuan. Jika mereka miskin
Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha Luas (PemberianNya) lagi Maha Mengetahui. (QS. An-Nur: 32)
2. Ada tiga golongan manusia yang berhak Allah tolong mereka, yaitu seorang mujahid fi
sabilillah, seorang hamba yang menebus dirinya supaya merdeka dan seorang yang menikah
karena ingin memelihara kehormatannya.(HR. Ahmad 2: 251, Nasaiy, Tirmidzi, Ibnu Majah
hadits no. 2518, dan Hakim 2: 160)

Hikmah nikah dan hukum nikah


Hikmah Syariat Nikah
1. Nikah adalah salah satu sunnah (ajaran) yang sangat dianjurkan oleh Rasul Shalallahu
Alaihi Wassalam dalam sabdanya:

Wahai para pemuda, siapa di antara kalian yang mampu menikah (jima dan biayanya)
maka nikahlah, karena ia lebih dapat membuatmu menahan pandangan dan memelihara

kemaluan. Barangsiapa tidak mampu menikah maka berpuasalah, karena hal itu baginya
adalah pelemah syahwat. (HR. Bukhari dan Muslim)
2. Nikah adalah satu upaya untuk menyempurnakan iman. Rasulullah Shalallahu Alaihi
Wassalam bersabda:

Barangsiapa memberi karena Allah, menahan kerena Allah, mencintai karena Allah,
membenci karena Allah, dan menikahkan karena Allah maka ia telah menyempurnakan
iman. (HR. Hakim,dia berkata: Shahih sesuai dg syarat Bukhari Muslim. Disepakati oleh
adz Dzahabi)

Barangsiapa menikah maka ia telah menyempurnakan separuh iman, hendaklah ia


menyempurnakan sisanya. (HR. ath Thabrani, dihasankan oleh Al Albani)
Kisah:
Al Ghazali bercerita tentang sebagian ulama, katanya:Di awal keinginan saya (meniti jalan
akhirat), saya dikalahkan oleh syahwat yang amat berat, maka saya banyak menjerit kepada
Allah. Sayapun bermimpi dilihat oleh seseorang, dia berkata kepada saya:Kamu ingin agar
syahwat yang kamu rasakan itu hilang dan (boleh) aku menebas lehermu? Saya jawab:Ya.
Maka dia berkata:Panjangkan (julurkan) lehermu. Sayapun memanjangkannya. Kemudian
ia menghunus pedang dari cahaya lalu memukulkan ke leherku. Di pagi hari aku sudah tidak
merasakan adanya syahwat, maka aku tinggal selama satu tahun terbebas dari penyakit
syahwat. Kemduian hal itu datang lagi dan sangat hebat, maka saya melihat seseorang
berbicara pasa saya antara dada saya dan samping saya, dia berkata:Celaka kamu! Berapa
banyak kamu meminta kepada Allah untuk menghilangkan darimu sesuatu yang Allah tidak
suka menghilangkannya! Nikahlah! Maka sayapun menikah dan hilanglah godaan itu
dariku. Akhirnya saya mendapatkan keturunan. (Faidhul Qadir VI/103 no.8591)
3. Nikah adalah satu benteng untuk menjaga masyarakat dari kerusakan, dekadensi moral dan
asusila. Maka mempermudah pernikahan syari adalah solusi dari semu itu. Rasulullah
Shalallahu Alaihi Wassalam bersabda:

Jika datang kepadamu orang yang kamu relakan akhlak dan agamanya maka
nikahkanlah, jika tidak kamu lakukan maka pasti ada fitnah di muka bumi dan kerusakan
yang besar. (HR. Hakim, hadits shahih)
4. Pernikahan adalah lingkungan baik yang mengantarkan kepada eratnya hubungan keluarga,
dan saling menukar kasih sayang di tengah masyarakat. Menikah dalam Islam bukan hanya
menikahnya dua insan, melainkan dua keluarga besar.
5. Pernikahan adalah sebaik-baik cara untuk mendapatkan anak, memperbanyak keturunan
dengan nasab yang terjaga, sebagaimana yang Allah pilihkan untuk para kekasih-Nya:

Dan sesungguhnya Kami telah mengutus beberapa Rasul sebelum kamu dan Kami
memberikan kepada mereka isteri-isteri dan keturunan. (QS. ar Rad:38
6. Pernikahan adalah cara terbaik untuk melampiaskan naluri seksual dan memuaskan
syahwat dengan penuh ketenangan.
Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassalam bersabda:

Sesungguhnya wanita itu menghadap dalam rupa setan (menggoda) dan membelakangi
dalam rupa setan, maka apabila salah seorang kamu melihat seorang wanita yang
menakjubkannya hendaklah mendatangi isterinya, sesungguhnya hal itu dapat
menghilangkan syahwat yang ada dalam dirinya. (HR. Muslim, Abu Dawud dan Tirmidzi)
7. Pernikahan memenuhi naluri kebapakan dan keibuan, yang akan berkembang dengan
adanya anak.
8. Dalam pernikahan ada ketenangan, kedamaian, kebersihan, kesehatan, kesucian dan
kebahagiaan, yang diidamkan oleh setiap insan.
Hukum Nikah

Para ulama menyebutkan bahwa nikah diperintahkan karena dapat mewujudkan maslahat;
memelihara diri, kehormatan, mendapatkan pahala dan lain-lain. Oleh karena itu, apabila
pernikahan justru membawa madharat maka nikahpun dilarang. Dari sini maka hukum nikah
dapat dapat dibagi menjadi lima:
1. Disunnahkan bagi orang yang memiliki syahwat (keinginan kepada wanita) tetapi tidak
khawatir berzina atau terjatuh dalam hal yang haram jika tidak menikah, sementara dia
mampu untuk menikah.
Karena Allah telah memerintahkan dan Rasulpun telah mengajarkannya. Bahkan di dalam
nkah itu ada banyak kebaikan, berkah dan manfaat yangb tidak mungkin diperoleh tanpa
nikah, sampai Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassalam bersabda:

Dalam kemaluanmu ada sedekah. Mereka bertanya:Ya Rasulullah , apakah salah


seorang kami melampiaskan syahwatnya lalu di dalamnya ada pahala? Beliau
bersabda:Bagaimana menurut kalian, jika ia meletakkannya pada yang haram apakah ia
menanggung dosa? Begitu pula jika ia meletakkannya pada yang halal maka ia
mendapatkan pahala. (HR. Muslim, Ibnu Hibban)
Juga sunnah bagi orang yang mampu yang tidak takut zina dan tidak begitu membutuhkan
kepada wanita tetapi menginginkan keturunan. Juga sunnah jika niatnya ingin menolong
wanita atau ingin beribadah dengan infaqnya.
Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassalam bersabda:
Kamu tidak menafkahkan satu nafkah karena ingin wajah Allah melainkan Allah pasti
memberinya pahala, hingga suapan yang kamu letakkan di mulut isterimu. (HR. Bukhari
dan Muslim)
Dinar yang kamu nafkahkan di jalan Allah, dinar yang kamu nafkahkan untuk budak,
dinar yang kamu sedekahkan pada orang miskin, dinar yang kamu nafkahkan pada
isterimu maka yang terbesar pahalanya adalah yang kamu nafkahkan pada isterumu.
(HR. Muslim)
2. Wajib bagi yang mampu nikah dan khawatir zina atau maksiat jika tidak menikah. Sebab
menghindari yang haram adalah wajib, jika yang haram tidak dapat dihindari kecuali dengan
nikah maka nikah adalah wajib (QS. al Hujurat:6). Ini bagi kaum laki-laki, adapun bagi
perempuan maka ia wajib nikah jika tidak dapat membiayai hidupnya (dan anak-anaknya)

dan menjadi incaran orang-orang yang rusak, sedangkan kehormatan dan perlindungannya
hanya ada pada nikah, maka nikah baginya adalah wajib.
3. Mubah bagi yang mampu dan aman dari fitnah, tetapi tidak membutuhkannya atau tidak
memiliki syahwat sama sekali seperti orang yang impotent atau lanjut usia, atau yang tidak
mampu menafkahi, sedangkan wanitanya rela dengan syarat wanita tersebut harus rasyidah
(berakal).
Juga mubah bagi yang mampu menikah dengan tujuan hanya sekedar untuk memenuhi
hajatnya atau bersenang-senang, tanpa ada niat ingin keturunan atau melindungi diri dari
yang haram.
4. Haram nikah bagi orang yang tidak mampu menikah (nafkah lahir batin) dan ia tidak takut
terjatuh dalam zina atau maksiat lainnya, atau jika yakin bahwa dengan menikah ia akan jatuh
dalam hal-hal yang diharamkan. Juga haram nikah di darul harb (wilayah tempur) tanpa
adanya faktor darurat, jika ia menjadi tawanan maka tidak diperbolehkan nikah sama sekali.
Haram berpoligami bagi yang menyangka dirinya tidak bisa adil sedangkan isteri pertama
telah mencukupinya.
5. Makruh menikah jika tidak mampu karena dapat menzhalimi isteri, atau tidak minat
terhadap wanita dan tidak mengharapkan keturunan.. Juga makruh jika nikah dapat
menghalangi dari ibadah-ibadah sunnah yang lebih baik. Makruh berpoligami jika
dikhawatirkan akan kehilangan maslahat yang lebih besar.

Khitbah
KHITBAH. Kata khitbah dalam terminology arab memiliki 2 akar kata. Yang pertama alkhithab yang berarti pembicaraan dan yang kedua al-khathb yang artinya persoalan,
kepentingan dan keadaan. Jadi, jika dilihat dari segi bahasa khitbah adalah pinangan atau
permintaan seseorang (laki-laki) kepada perempuan tertentu untuk menikahinya. Makna
khitbah menurut istilah syariat tidak keluar dari makna bahasa tadi.
Dalam islam, seorang laki-laki berhak meminang perempuan yang diinginkan menjadi
istrinya, demikian pula seorang perempuan boleh meminang laki-laki yang diinginkan
menjadi suaminya.
Khitbah dalam pandangan syariat bukanlah suatu akad atau transaksi antara laki-laki yang
meminang dengan perempuan yang dipinang atau pihak walinya. Khitbah bukanlah suatu
ikatan perjanjian antara kedua belah pihak untuk melaksanakan pernikahan. Khitbah tidak
lebih dari sekedar permintaan atau permohonan untuk menikah. Khitbah sudah sah dan
sempurna hanya dengan ungkapan permintaan itu saja, tanpa memerlukan syarat berupa
jawaban pihak yang dipinang. Sedangkan akad baru dianggap sah apabila ada ijab dan qabul
(ungkapan serah terima) kedua belah pihak.

Dengan diterimanya sebuah pinangan baik oleh perempuan maupun oleh walinya, tidak
bermakna telah terjadi ikatan perjanjian atau akad diantara mereka. Ibarat orang hendak naik
kereta api, khitbah hanya bermakna pesan tempat duduk yang nantinya pada saat
jadual kereta berangkat ia akan menduduki tempat tersebut sehingga tidak diduduki orang
lain.
Syarat yang dipinang
Perempuan boleh dipinang oleh laki-laki (begitu juga sebaliknya) apabila memenuhi 2 syarat
berikut ini :
1. Pada waktu dipinang perempuan itu tidak memiliki halangan syari yang melarang
dilangsungkannya pernikahan
contoh, wanita yang sedang dalam masa iddah.
2. Belum dipinang laki-laki lain secara sah.
Tata cara meminang
1. Laki-laki meminang melalui wali perempuan
2. Laki-laki meminang langsung kepada perempuan janda
3. Perempuan meminang laki-laki saleh
Perempuan boleh meminang laki-laki secara langsung oleh dirinya sendiri atau melalui
perantara pihak lain agar menyampaikan pinangan kepada seorang laki-laki untuk menjadi
suaminya.
4. Khitbah dengan sindiran dimasa iddah (karena suaminya meninggal)
Sindiran itu misalnya seorang laki-laki mengatakan kepada seorang janda , saya ingin
menikah dengan perempuan shalehah atau mudah-mudahan Allah memudahkan saya
untukmendapat istri shalehah.
Agar pinangan diterima
Sebenarnya tidak ada standard baku secara teknis untuk masalah ini. Tapi, beberapa langkah
dibawah ini diharapkan mampu membantu melancarkan proses penerimaan dalam
peminangan :
1.Melengkapi persiapan diri
- Persiapan pertama adalah keikhlasan niat bahwa mengkhitbahnya ini dalam rangka
beribadah kepada Allah.
- Persiapan kedua adalah persiapan diri pribadi yang telah dibahas sebelumnya, yaitu
menyiapkan minimal 4 persiapan, termasuk diantaranya yaitu persiapan finansial.
2. Memilih calon yang sekufu
3. Berbekal restu Orang Tua
Cara yang dapat dilakukan untuk memperoleh restu dari orang tua diantaranya adalah sebagai
berikut :
- Membangun komunikasi yang lancar dengan orang tua

- Melakukan pendekatan kepada orang tua sejak awal


- Mendialogkan perbedaan secara baik
4. Memperkenalkan diri
Ada suatu cerita yang kurang baik tentang hal ini. Ada pengalaman buruk ketika seorang
ikhwan melaksanakan khitbahnya. Ia belum mengetahui siapa calon istrinya dan belum
mengenal kedua orang tuanya. Ia mempercayakan urusan pernikahan kepada seorang teman
kepercayaannya, dan ia tidak punya keinginan untuk berkenalan terlebih dahulu secara
langsung. Ia hanya mengetahui data calon istri dari biodata tertulis dan pasfoto. Karena ia
sudah mantap, tanpa pertemuan dan perkenalan awal, dilaksanakan prosesi khitbah.
Rombongan lelaki datang dengan orang tua dan saudara, Diterima oleh pihak perempuan
lengkap pula komposisi keluarganya. Pertemuan menjadi formal karena kedua belah pihak
satupun belum pernah ada yang bertemu dan mengenal, termasuk kedua calon mempelai.
Suasana berubah menjadi kurang menyenangkan ketika ibu dari lelaki berbisik menanyakan
yang mana calon istri yang dipinang, kebetulan diruangan itu ada lebih dari seorang
perempuan. Tentu saja anak lelaki yang ditanya tidak bisa menjawab, karena memang belum
pernah bertemu denga calon yang akan dipinang.
Semula kedua orang tua dari kedua belah pihak menyangka bahwa kedua anak yang akan
menikah tersebut telah lama saling kenal, telah berkomunikasi langsung sebagaimana lazim
dikenal dalam masyarakat luas. Mereka menjadi terkejut ketika ternyata kedua belah pihak
belum saling mengenal. Hal ini menjadi catatan dan bahkan kemarahan pihak orang tua
terhadap anaknya, karena dianggap telah mempermainkan orang tua.
Untuk itulah, laki-laki bisa bertemu dan berdialog dengan calon bahkan bisa juga ia
memperkenalkan diri dengan bersilaturahmi ke orang tua perempuan sebelum peminangan
resmi. Hal ini dapat mencairkan suasana, dan membuat proses peminangan berjalan lancar
karena komunikasi telah dibuka sebelumnya.
Ditambah lagi, apabila tidak ada silaturahmi terlebih dahulu, terkadang menimbulkan
suudzon, jangan-jangan telah terjadi sesuatu pada anaknya sehingga meminta pernikahan
begitu cepat. Perkenalan dan silaturahmi dapat menghilangkan praduga yang tidak-tidak pada
orang tua dan juga keluarga besar.
5. Melibatkan orang yang dipercaya
Ketika khitbah sedang dalam proses, teman calon bisa kita jadikan referensi/tempat bertanya
tentang jati dirinya.
6. Berdoa dan tawakal
Seluruh manusia pasti membutuhkan Allah. Doa merupakan senjata bagi orang mukmin.
Hendaknya seluruh usaha manusiawi kita dilandasi dengan doa kepada Allah agar segala
keputusan untuk meminang dia atau tidak, untuk menerima pinangannya atau tidak,
senantiasa dalam bimbingan Allah Taala. Dengan begitu, sejak awal kehidupan

berumahtangga telah bergantung pada Allah dengan berharap dan berdoa pada-Nya saja.
Setelah usaha kita lakukan dengan maksimal, doa kita lantunkan tanpa rasa bosan, akhirnya
kita serahkan segalnya kepada Allah. Inilah makna tawakal.
AKAD NIKAH
Perjanjian berat itu terikat melalui beberapa kalimat sederhana. Pertama adalah kalimat ijab,
yaitu keinginan pihak wanita untuk menjalin ikatan rumah tangga dengan seorang laki-laki.
Kedua adalah kalimat qabul, yaitu pernyataan menerima keinginan dari pihak pertama untuk
maksud tersebut.
Ijab qabul dapat diucapkan dalam bahasa apapun. Bisa dalam bahasa arab maupun bahasa
setempat.
Nikah adalah perjanjian berat. Kita harus menghayati ucapan ijab qabul. Salah satu syarat
ijab qabul adalah kedua belah pihak memiliki sifat tamyiz (mampu membedakan baik dan
buruk), sehingga ia harus memahami perkataan dan maksud dari ijab qabul itu. Diatas
pemahaman terhadap maksud ijab qabul, ada penghayatan.
Setelah khitbah dilaksanakan, tidak ada batas minimal ataupun maksimal unutk
melaksanakan akad nikah. Seandainya acara khitbah langsung diteruskan dengan akad nikah
itu boleh saja dilakukan, walaupun untuk masyarakat Indonesia itu tidak lazim dilakukan.
Yang menjadi masalah adalah ketika akad nikah dilakukan dalam rentang waktu yang lama
setelah khitbah dilaksanakan, peluang timbulnya fitnah akan lebih besar. Resikonya besar
untuk keduanya melakukan hal-hal yang dilarang Allah. Selain itu di satu sisi ia tidak boleh
menerima pinangan dari orang lain, sedangkan di sisi lain ia belum menjadi seorang istri.
Pada saat pelaksanaan akad nikah, yang dituntut hadir adalah mempelai laki-laki, mempelai
perempuan, wali perempuan, 2 saksi, serta mahar.

Rukun dan syarat nikah


Akad nikah mempunyai beberapa rukun dan syarat yang harus dipenuhi. Rukun dan syarat
menentukan hukum suatu perbuatan, terutama yang menyangkut dengan sah atau tidaknya
perbuatan tersebut dari segi hukum. Kedua kata tersebut mengandung arti yang sama dalam
hal bahwa keduanya merupakan sesuatu yang harus diadakan. Dalam pernikahan misalnya,
rukun dan syaratnya tidak boleh tertinggal. Artinya, pernikahan tidak sah bila keduanya tidak
ada atau tidak lengkap.
Perbedaan rukun dan syarat adalah kalau rukun itu harus ada dalam satu amalan dan ia
merupakan bagian yang hakiki dari amalan tersebut. Sementara syarat adalah sesuatu yang
harus ada dalam satu amalan namun ia bukan bagian dari amalan tersebut. Sebagai misal
adalah ruku termasuk rukun shalat. Ia harus ada dalam ibadah shalat dan merupakan bagian

dari amalan/tata cara shalat. Adapun wudhu merupakan syarat shalat, ia harus dilakukan bila
seseorang hendak shalat namun ia bukan bagian dari amalan/tata cara shalat.
Dalam masalah rukun dan syarat pernikahan ini kita dapati para ulama berselisih pandang
ketika menempatkan mana yang rukun dan mana yang syarat. (Raddul Mukhtar, 4/68, AlHawil Kabir, 9/57-59, 152, Al-Mutamad fi Fiqhil Imam Ahmad, 2/154)
Akan tetapi karena perselisihan yang ada panjang dan lebar, sementara ruang yang ada
terbatas, kita langsung pada kesimpulan akhir dalam permasalahan rukun dan syarat ini.
Rukun Nikah
Rukun nikah adalah sebagai berikut:
1. Adanya calon suami dan istri yang tidak terhalang dan terlarang secara syari untuk
menikah. Di antara perkara syari yang menghalangi keabsahan suatu pernikahan misalnya si
wanita yang akan dinikahi termasuk orang yang haram dinikahi oleh si lelaki karena adanya
hubungan nasab atau hubungan penyusuan. Atau, si wanita sedang dalam masa iddahnya dan
selainnya. Penghalang lainnya misalnya si lelaki adalah orang kafir, sementara wanita yang
akan dinikahinya seorang muslimah.
2. Adanya ijab, yaitu lafadz yang diucapkan oleh wali atau yang menggantikan posisi
wali. Misalnya dengan si wali mengatakan, Zawwajtuka Fulanah (Aku nikahkan engkau
dengan si Fulanah) atau Ankahtuka Fulanah (Aku nikahkan engkau dengan Fulanah).
3. Adanya qabul, yaitu lafadz yang diucapkan oleh suami atau yang mewakilinya,
dengan menyatakan, Qabiltu Hadzan Nikah atau Qabiltu Hadzat Tazwij (Aku terima
pernikahan ini) atau Qabiltuha.
Dalam ijab dan qabul dipakai lafadz inkah dan tazwij karena dua lafadz ini yang datang
dalam Al-Qur`an. Seperti firman Allah Subhanahu wa Taala:


Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluannya terhadap istrinya (menceraikannya),
zawwajnakaha1 (Kami nikahkan engkau dengan Zainab yang telah diceraikan Zaid). (AlAhzab: 37)
Dan firman-Nya:


Janganlah kalian menikahi (tankihu2) wanita-wanita yang telah dinikahi oleh ayah-ayah
kalian (ibu tiri). (An-Nisa`: 22)

Namun penyebutan dua lafadz ini dalam Al-Qur`an bukanlah sebagai pembatasan, yakni
harus memakai lafadz ini dan tidak boleh lafadz yang lain. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
rahimahullahu, demikian pula murid beliau Ibnul Qayyim rahimahullahu, memilih pendapat
yang menyatakan akad nikah bisa terjalin dengan lafadz apa saja yang menunjukkan ke sana,
tanpa pembatasan harus dengan lafadz tertentu. Bahkan bisa dengan menggunakan bahasa
apa saja, selama yang diinginkan dengan lafadz tersebut adalah penetapan akad. Ini
merupakan pendapat jumhur ulama, seperti Malik, Abu Hanifah, dan salah satu perkataan
dari mazhab Ahmad. Akad nikah seorang yang bisu tuli bisa dilakukan dengan menuliskan
ijab qabul atau dengan isyarat yang dapat dipahami. (Al-Ikhtiyarat, hal. 203, Ilamul
Muwaqqiin, 2/4-5, Asy-Syarhul Mumti, 12/38-44, Al-Mulakhkhash Al-Fiqhi, 2/283284)
Adapun syarat nikah adalah sebagai berikut:
Syarat pertama: Kepastian siapa mempelai laki-laki dan siapa mempelai wanita dengan
isyarat (menunjuk) atau menyebutkan nama atau sifatnya yang khusus/khas. Sehingga tidak
cukup bila seorang wali hanya mengatakan, Aku nikahkan engkau dengan putriku,
sementara ia memiliki beberapa orang putri.
Syarat kedua: Keridhaan dari masing-masing pihak, dengan dalil hadits Abu Hurairah
radhiyallahu anhu secara marfu:


Tidak boleh seorang janda dinikahkan hingga ia diajak musyawarah/dimintai pendapat,
dan tidak boleh seorang gadis dinikahkan sampai dimintai izinnya. (HR. Al-Bukhari no.
5136 dan Muslim no. 3458)
Terkecuali bila si wanita masih kecil, belum baligh, maka boleh bagi walinya menikahkannya
tanpa seizinnya.
Syarat ketiga: Adanya wali bagi calon mempelai wanita, karena Nabi Shallallahu alaihi wa
sallam bersabda:


Tidak ada nikah kecuali dengan adanya wali. (HR. Al-Khamsah kecuali An-Nasa`i,
dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Al-Irwa` no. 1839)
Beliau Shallallahu alaihi wa sallam juga bersabda:

Wanita mana saja yang menikah tanpa izin wali-walinya maka nikahnya batil, nikahnya
batil, nikahnya batil. (HR. Abu Dawud no. 2083, dishahihkan Al-Imam Al-Albani
rahimahullahu dalam Shahih Abi Dawud)
Apabila seorang wanita menikahkan dirinya sendiri tanpa adanya wali maka nikahnya batil,
tidak sah. Demikian pula bila ia menikahkan wanita lain. Ini merupakan pendapat jumhur
ulama dan inilah pendapat yang rajih. Diriwayatkan hal ini dari Umar, Ali, Ibnu Masud,
Ibnu Abbas, Abu Hurairah dan Aisyah radhiyallahu anhum. Demikian pula pendapat yang
dipegangi oleh Said ibnul Musayyab, Al-Hasan Al-Bashri, Umar bin Abdil Aziz, Jabir bin
Zaid, Ats-Tsauri, Ibnu Abi Laila, Ibnu Syubrumah, Ibnul Mubarak, Ubaidullah Al-Anbari,
Asy-Syafii, Ahmad, Ishaq, dan Abu Ubaid rahimahumullah. Al-Imam Malik juga
berpendapat seperti ini dalam riwayat Asyhab. Adapun Abu Hanifah menyelisihi pendapat
yang ada, karena beliau berpandangan boleh bagi seorang wanita menikahkan dirinya sendiri
ataupun menikahkan wanita lain, sebagaimana ia boleh menyerahkan urusan nikahnya
kepada selain walinya. (Mausuah Masa`ilil Jumhur fil Fiqhil Islami, 2/673, AlMulakhkhash Al-Fiqhi, 2/284-285)
Siapakah Wali dalam Pernikahan?
Ulama berbeda pendapat dalam masalah wali bagi wanita dalam pernikahannya. Adapun
jumhur ulama, di antara mereka adalah Al-Imam Malik, Asy-Syafii, Ahmad, dan selainnya
berpandangan bahwa wali nasab seorang wanita dalam pernikahannya adalah dari kalangan
ashabah, yaitu kerabat dari kalangan laki-laki yang hubungan kekerabatannya dengan si
wanita terjalin dengan perantara laki-laki (bukan dari pihak keluarga perempuan atau
keluarga ibu tapi dari pihak keluarga ayah/laki-laki), seperti ayah, kakek dari pihak ayah3,
saudara laki-laki, paman dari pihak ayah, anak laki-laki paman dari pihak ayah, dan
seterusnya.
Dengan demikian ayahnya ibu (kakek), saudara perempuan ibu (paman/khal), saudara lakilaki seibu, dan semisalnya, bukanlah wali dalam pernikahan, karena mereka bukan ashabah
tapi dari kalangan dzawil arham. (Fathul Bari, 9/235, Al-Mughni, kitab An-Nikah, fashl La
Wilayata lighairil Ashabat minal Aqarib)
Di antara sekian wali, maka yang paling berhak untuk menjadi wali si wanita adalah ayahnya,
kemudian kakeknya (bapak dari ayahnya) dan seterusnya ke atas (bapaknya kakek, kakeknya
kakek, dst.) Setelah itu, anak laki-laki si wanita, cucu laki-laki dari anak laki-lakinya, dan
terus ke bawah. Kemudian saudara laki-lakinya yang sekandung atau saudara laki-laki seayah
saja. Setelahnya, anak-anak laki-laki mereka (keponakan dari saudara laki-laki) terus ke
bawah. Setelah itu barulah paman-paman dari pihak ayah, kemudian anak laki-laki paman
dan terus ke bawah. Kemudian paman-paman ayah dari pihak kakek (bapaknya ayah).
Setelahnya adalah maula (orang yang memerdekakannya dari perbudakan), kemudian yang
paling dekat ashabah-nya dengan si maula. Setelah itu barulah sulthan/penguasa. (AlMughni kitab An-Nikah, masalah Wa Ahaqqun Nas bin Binikahil Hurrah Abuha, dan
seterusnya). Wallahu taala alam bish-shawab.

Bila seorang wanita tidak memiliki wali nasab atau walinya enggan menikahkannya, maka
hakim/penguasa memiliki hak perwalian atasnya4 dengan dalil sabda Rasulullah Shallallahu
alaihi wa sallam:


Maka sulthan (penguasa) adalah wali bagi wanita yang tidak memiliki wali. (HR. Abu
Dawud no. 2083, dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Abi
Dawud)
Syarat-syarat Wali
Ulama menyebutkan beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh seorang wali:
1. Laki-laki
2. Berakal
3. Beragama Islam
4. Baligh
5. Tidak sedang berihram haji ataupun umrah, karena Rasulullah Shallallahu alaihi wa
sallam bersabda:


Seorang yang sedang berihram tidak boleh menikahkan, tidak boleh dinikahkan, dan tidak
boleh mengkhitbah. (HR. Muslim no. 3432)
Sebagian fuqaha menambahkan syarat wali yang berikutnya adalah memiliki adalah yaitu
dia bukan seorang pendosa, bahkan ia terhindar dari melakukan dosa-dosa besar seperti
mencuri, berzina, minum khamr, membunuh, makan harta anak yatim, dan semisalnya. Di
samping itu, dia tidak terus-menerus tenggelam dalam dosa-dosa kecil dan tidak melakukan
perbuatan-perbuatan yang tidak sepantasnya. Pensyaratan adalah ini merupakan salah satu
dari dua riwayat dalam mazhab Hanabilah dan merupakan pendapat yang kuat dalam mazhab
Syafiiyyah.
Adapun Hanafiyyah memandang seorang yang fasik tidaklah hilang haknya sebagai wali,
kecuali bila kefasikannya tersebut sampai pada batasan ia berani terang-terangan berbuat
dosa.
Demikian pula Malikiyyah berpandangan seorang yang fasik tidak hilang haknya sebagai
wali. Adapun adalah hanyalah syarat penyempurna bagi wali, sehingga bila ada dua wali
yang sama derajatnya, yang satu fasik sedangkan yang satu memiliki adalah, seperti seorang

wanita yang tidak lagi memiliki ayah dan ia memiliki dua saudara laki-laki, satunya fasik
sedangkan yang satunya adil, tentunya yang dikedepankan adalah yang memiliki adalah.
(Fiqhun Nisa` fil Khithbah waz Zawaj secara ringkas, hal. 68-70)
Kompilasi Hukum Islam di Indonesia
Dalam buku I Hukum Pernikahan, Pasal 19, 20, 21, 22 dan 23 berkenaan dengan wali
nikah, disebutkan:
Pasal 19
Wali nikah dalam pernikahan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi calon mempelai
wanita yang bertindak menikahkannya.
Pasal 20
(1) Yang bertindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki yang memenuhi syarat hukum
Islam yakni muslim, aqil, dan baligh.
(2) Wali nikah terdiri dari: a. wali nasab; b. wali hakim
Pasal 21
(1) Wali nasab terdiri dari empat kelompok dalam urutan kedudukan; kelompok yang satu
didahulukan dari kelompok yang lain sesuai erat tidaknya susunan kekerabatan dengan calon
mempelai.
Pertama: kelompok kerabat laki-laki garis lurus ke atas, yakni ayah, kakek dari pihak ayah
dan seterusnya.
Kedua: kelompok kerabat saudara laki-laki kandung atau saudara laki-laki seayah, dan
keturunan laki-laki mereka.
Ketiga: kelompok kerabat paman, yakni saudara laki-laki kandung ayah, saudara seayah, dan
keturunan laki-laki mereka.
Keempat: kelompok saudara laki-laki kandung kakek, saudara laki-laki seayah kakek, dan
keturunan laki-laki mereka.
(2) Apabila dalam satu kelompok wali nikah terdapat beberapa orang yang sama-sama berhak
menjadi wali, maka yang paling berhak menjadi wali ialah yang lebih dekat derajat
kekerabatannya dengan calon mempelai wanita.
(3) Apabila dalam satu kelompok sama derajat kekerabatannya, maka yang paling berhak
menjadi wali nikah ialah kerabat kandung dari kerabat yang hanya seayah.

(4) Apabila dalam satu kelompok derajat kekerabatannya sama yakni sama-sama derajat
kandung atau sama-sama derajat kerabat ayah, mereka sama-sama berhak menjadi wali nikah
dengan mengutamakan yang lebih tua dan memenuhi syarat-syarat wali.
Pasal 22
Apabila wali nikah yang paling berhak urutannya tidak memenuhi syarat sebagai wali nikah
atau oleh karena wali nikah itu menderita tunawicara, tunarungu, atau sudah uzur, maka hak
menjadi wali bergeser kepada wali nikah yang lain menurut derajat berikutnya.
Pasal 23
(1) Wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab tidak ada atau
tidak mungkin menghadirkannya atau tidak diketahui tempat tinggalnya atau gaib atau adhal
atau enggan.
(2) Dalam hal wali adhal atau enggan, maka wali hakim baru bertindak sebagai wali nikah
setelah ada putusan Pengadilan Agama tentang wali tersebut.
Syarat keempat: Persaksian atas akad nikah tersebut dengan dalil hadits Jabir bin Abdullah
radhiyallahu anhuma secara marfu:


Tidak ada nikah kecuali dengan adanya wali dan dua saksi yang adil. (HR. Al-Khamsah
kecuali An-Nasa`i, dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Al-Irwa no. 1839,
1858, 1860 dan Shahihul Jami no. 7556, 7557)
Oleh karena itu, tidak sah pernikahan kecuali dengan adanya dua orang saksi yang adil.
Al-Imam At-Tirmidzi rahimahullahu mengatakan, Pengamalan hal ini ada di kalangan ahlul
ilmi, baik dari kalangan sahabat Nabi Shallallahu alaihi wa sallam maupun orang-orang
setelah mereka dari kalangan tabiin dan yang lainnya. Mereka mengatakan bahwa tidak sah
pernikahan tanpa adanya saksi-saksi. Tidak seorang pun di antara mereka yang menyelisihi
hal ini, kecuali sekelompok ahlul ilmi dari kalangan mutaakhirin. (Sunan At-Tirmidzi,
2/284)
Dalam Kompilasi Hukum Islam di Indonesia disebutkan pula aturan mengenai saksi dalam
pernikahan. Keseluruhan materinya terambil dari kitab fiqih menurut jumhur ulama, terutama
fiqh Syafiiyah, sebagai berikut:
Pasal 24
1. Saksi dalam pernikahan merupakan rukun pelaksanaan akad nikah.

2. Setiap pernikahan harus dipersaksikan oleh dua orang saksi.


Pasal
25
Yang dapat ditunjuk menjadi saksi dalam akad nikah ialah seorang laki-laki muslim, adil, akil
baligh, tidak terganggu ingatan, dan tidak tuna rungu atau tuli.
Pasal 26
Saksi harus hadir dan menyaksikan secara langsung akad nikah serta menandatangani Akta
Nikah pada waktu dan di tempat akad nikah dilangsungkan.
Footnote:
1 Lafadz tazwij yaitu zawwajtuka.
2 Lafadz inkah yaitu ankahtuka.
3 Adapun bila hubungan kekerabatan itu dari jalur perempuan, maka tidak dinamakan
ashabah. Seperti saudara laki-laki ibu, ia merupakan kerabat kita yang diperantarai dengan
perempuan yaitu ibu. Demikian pula kakek dari pihak ibu.
4 Adapun pelaksanaannya di Indonesia, lihat pada salinan yang dinukilkan dari Kompilasi
Hukum Islam di Indonesia, buku pertama tentang pernikahan, pasal 23.

Ataupun singkatnya
A. Syarat-Syarat Sah Perkawinan/Pernikahan
1. Mempelai Laki-Laki / Pria
- Agama Islam
- Tidak dalam paksaan
- Pria / laki-laki normal
- Tidak punya empat atau lebih istri
- Tidak dalam ibadah ihram haji atau umroh
- Bukan mahram calon istri
- Yakin bahwa calon istri halal untuk dinikahi
- Cakap hukum dan layak berumah tangga
- Tidak ada halangan perkawinan
2. Mempelai Perempuan / Wanita
- Beragama Islam
- Wanita / perempuan normal (bukan bencong/lesbian)
- Bukan mahram calon suami
- Mengizinkan wali untuk menikahkannya
- Tidak dalam masa iddah

- Tidak sedang bersuami


- Belum pernah li'an
- Tidak dalam ibadah ihram haji atau umrah
3. Syarat Wali Mempelai Perempuan
- Pria beragama islam
- Tidak ada halangan atas perwaliannya
- Punya hak atas perwaliannya
4. Syarat Bebas Halangan Perkawinan Bagi Kedua Mempelai
- Tidak ada hubungan darah terdekat (nasab)
- Tidak ada hubungan persusuan (radla'ah)
- Tidak ada hubungan persemendaan (mushaharah)
- Tidak Li'an
- Si pria punya istri kurang dari 4 orang dan dapat izin istrinya
- Tidak dalam ihram haji atau umrah
- Tidak berbeda agama
- Tidak talak ba'in kubra
- Tidak permaduan
- Si wanita tidak dalam masa iddah
- Si wanita tidak punya suami
5. Syarat-Syarat Syah Bagi Saksi Pernikahan/Perkawinan
- Pria / Laki-Laki
- Berjumlah dua orang
- Sudah dewasa / baligh
- Mengerti maksud dari akad nikah
- Hadir langsung pada acara akad nikah
6. Syarat-Syarat/Persyaratan Akad Nikah Yang Syah :
- Ada ijab (penyerahan wali)
- Ada qabul (penerimaan calon suami)
- Ijab memakai kata nikah atau sinonim yang setara.
- Ijab dan kabul jelas, saling berkaitan, satu majelis, tidak dalam ihrom haji/umroh.
B. Rukun-Rukun Pernikahan/Perkawinan Sah
- Ada calon mempelai pengantin pria dan wanita
- Ada wali pengantin perempuan
- Ada dua orang saksi pria dewasa
- Ada ijab (penyerahan wali pengantin wanita) dan ada qabul (penerimaan dari pengantin
pria)
C. Pantangan / Larangan-Larangan Dalam Pernikahan/Perkawinan
- Ada hubungan mahram antara calon mempelai pria dan wanita

- Rukun nikah tidak terpenuhi


- Ada yang murtad keluar dari agama islam
D. Menurut Undang-Undang Perkawinan
- Perkawinan/pernikahan didasari persetujuan kedua calon mempelai
- Bagi calon yang berusia di bawah 21 tahun harus punya izin orang tua atau wali yang masih
ada hubungan darah dalam garis keturunan lurus atau melalui putusan pengadilan
- Umur atau usia minimal untuk menikah untuk pria/laki-laki berusia 19 tahun dan untuk
wanita/perempuan berumur paling tidak 16 tahun.

Hak dan kwajiban suami istri


HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI ISTRI MENURUT SYARIAT ISLAM YANG MULIA
Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas
Rasulullah shallallaahu alaihi wa sallam senantiasa menganjurkan kaum muda untuk
menyegerakan me-nikah sehingga mereka tidak berkubang dalam kemak-siatan, menuruti
hawa nafsu dan syahwatnya. Karena, banyak sekali keburukan akibat menunda pernikahan.
Nabi shallallaahu alaihi wa sallam bersabda:
Wahai para pemuda! Barangsiapa di antara kalian berkemampuan untuk menikah, maka
menikahlah! Karena menikah itu lebih menundukkan pandangan, dan lebih membentengi
farji (kemaluan). Dan barangsiapa yang tidak mampu, maka hendaklah ia shaum (puasa)
karena shaum itu dapat memben-tengi dirinya.[1]
Anjuran Rasulullah shallallaahu alaihi wa sallam untuk segera menikah mengandung
berbagai manfaat, sebagaimana yang dijelaskan oleh para ulama, di antaranya:
[1]. Melaksanakan Perintah Allah Taala.
[2]. Melaksanakan Dan Menghidupkan Sunnah Nabi Shallallaahu Alaihi Wa Sallam.
[3]. Dapat Menundukkan Pandangan.
[4]. Menjaga Kehormatan Laki-Laki Dan Perempuan.
[5]. Terpelihara Kemaluan Dari Beragam Maksiat.
Dengan menikah, seseorang akan terpelihara dari perbuatan jelek dan hina, seperti zina,
kumpul kebo, dan lainnya. Dengan terpelihara diri dari berbagai macam perbuatan keji, maka
hal ini adalah salah satu sebab dijaminnya ia untuk masuk ke dalam Surga.
Rasulullah Shallallaahu alaihi wa sallam bersabda:
Artinya : Barangsiapa yang menjaga apa yang ada di antara dua bibir (lisan)nya dan di
antara dua paha (ke-maluan)nya, aku akan jamin ia masuk ke dalam Surga. [2]

[6]. Ia Juga Akan Termasuk Di Antara Orang-Orang Yang Ditolong Oleh Allah.
Rasulullah shallallaahu alaihi wa sallam bersabda tentang tiga golongan yang ditolong oleh
Allah, yaitu orang yang menikah untuk memelihara dirinya dan pandangannya, orang yang
berjihad di jalan Allah, dan seorang budak yang ingin melunasi hutangnya (menebus dirinya)
agar merdeka (tidak menjadi budak lagi). Nabi shallallaahu alaihi wa sallam bersabda:
Artinya : Ada tiga golongan manusia yang berhak mendapat pertolongan Allah: (1) mujahid
fi sabilillah, (2) budak yang menebus dirinya agar merdeka, dan (3) orang yang menikah
karena ingin memelihara kehor-matannya. [3]
[7]. Dengan Menikah, Seseorang Akan Menuai Ganjaran Yang Banyak.
Bahkan, Rasulullah shallallaahu alaihi wa sallam menyebutkan bahwa seseorang yang
bersetubuh dengan isterinya akan mendapatkan ganjaran. Beliau bersabda,
Artinya : dan pada persetubuhan salah seorang dari kalian adalah shadaqah [4]
[8]. Mendatangkan Ketenangan Dalam Hidupnya
Yaitu dengan terwujudnya keluarga yang sakinah, mawaddah wa rahmah. Sebagaimana
firman Allah Azza wa Jalla:
Artinya : Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan pasanganpasangan untukmu dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram
kepadanya, dan Dia menjadikan di antaramu rasa kasih dan sayang. Sungguh, pada yang
demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berfikir.
[Ar-Ruum : 21]
Seseorang yang berlimpah harta belum tentu merasa tenang dan bahagia dalam
kehidupannya, terlebih jika ia belum menikah atau justru melakukan pergaulan di luar
pernikahan yang sah. Kehidupannya akan dihantui oleh kegelisahan. Dia juga tidak akan
mengalami mawaddah dan cinta yang sebenarnya, sebagaimana yang diisyaratkan oleh
Rasulullah shallallaahu alaihi wa sallam:
Artinya : Tidak pernah terlihat dua orang yang saling mencintai seperti (yang terlihat dalam)
pernikahan. [5]
Cinta yang dibungkus dengan pacaran, pada hakikatnya hanyalah nafsu syahwat belaka,
bukan kasih sayang yang sesungguhnya, bukan rasa cinta yang sebenarnya, dan dia tidak
akan mengalami ketenangan karena dia berada dalam perbuatan dosa dan laknat Allah.
Terlebih lagi jika mereka hidup berduaan tanpa ikatan pernikahan yang sah. Mereka akan
terjerumus dalam lembah perzinaan yang menghinakan mereka di dunia dan akhirat.
Berduaan antara dua insan yang berlainan jenis merupakan perbuatan yang terlarang dan
hukumnya haram dalam Islam, kecuali antara suami dengan isteri atau dengan mahramnya.
Sebagaimana sabda Nabi shallallaahu alaihi wa sallam:

Artinya : angan sekali-kali seorang laki-laki bersendirian dengan seorang wanita, kecuali si
wanita itu bersama mahramnya. [6]
Mahram bagi laki-laki di antaranya adalah bapaknya, pamannya, kakaknya, dan seterusnya.
Berduaan dengan didampingi mahramnya pun harus ditilik dari kepen-tingan yang ada. Jika
tujuannya adalah untuk ber-pacaran, maka hukumnya tetap terlarang dan haram karena
pacaran hanya akan mendatangkan kegelisahan dan menjerumuskan dirinya pada perbuatanperbuatan terlaknat. Dalam agama Islam yang sudah sempurna ini, tidak ada istilah pacaran
meski dengan dalih untuk dapat saling mengenal dan memahami di antara kedua calon suami
isteri.
Sedangkan berduaan dengan didampingi mahramnya dengan tujuan meminang (khitbah),
untuk kemudian dia menikah, maka hal ini diperbolehkan dalam syariat Islam, dengan
ketentuan-ketentuan yang telah dijelaskan pula oleh syariat.
[9]. Memiliki Keturunan Yang Shalih
Setiap orang yang menikah pasti ingin memiliki anak. Dengan menikah dengan izin Allah
ia akan mendapatkan keturunan yang shalih, sehingga menjadi aset yang sangat berharga
karena anak yang shalih akan senantiasa mendoakan kedua orang tuanya, serta dapat
menjadikan amal bani Adam terus mengalir meskipun jasadnya sudah berkalang tanah di
dalam kubur.
Rasulullah shallallaahu alaihi wa sallam bersabda.
Artinya : Apabila manusia meninggal dunia, terputuslah amalnya kecuali tiga hal: shadaqah
jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak shalih yang mendoakannya. [7]
[10]. Menikah Dapat Menjadi Sebab Semakin Banyaknya Jumlah Ummat Nabi Muhammad
Shallallaahu Alaihi Wa Sallam
Termasuk anjuran Rasulullah shallallaahu alaihi wa sallam adalah menikahi wanita-wanita
yang subur, supaya ia memiliki keturunan yang banyak.
Seorang yang beriman tidak akan merasa takut dengan sempitnya rizki dari Allah sehingga ia
tidak membatasi jumlah kelahiran. Di dalam Islam, pembatasan jumlah kelahiran atau dengan
istilah lain yang menarik (seperti Keluarga Berencana) hukumnya haram dalam Islam.
Rasulullah shallallaahu alaihi wa sallam justru pernah mendoakan seorang Shahabat beliau,
yaitu Anas bin Malik radhiyallaahu anhu, yang telah membantu Nabi shallallaahu alaihi wa
sallam selama sepuluh tahun dengan doa:
Ya Allah, perbanyaklah harta dan anaknya dan berkahilah baginya dari apa-apa yang Engkau
anugerahkan padanya. [8]
Dengan kehendak Allah, dia menjadi orang yang paling banyak anaknya dan paling banyak
hartanya pada waktu itu di Madinah. Kata Anas, Anakku, Umainah, menceritakan kepadaku
bahwa anak-anakku yang sudah meninggal dunia ada 120 orang pada waktu Hajjaj bin Yusuf
memasuki kota Bashrah. [9]

Semestinya seorang muslim tidak merasa khawatir dan takut dengan banyaknya anak, justru
dia merasa bersyukur karena telah mengikuti Sunnah Rasulullah shallallaahu alaihi wa
sallam yang mulia. Allah Azza wa Jalla akan memudahkan baginya dalam mendidik anakanaknya, sekiranya ia bersungguh-sungguh untuk taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Bagi
Allah Azza wa Jalla tidak ada yang mustahil.
Di antara manfaat dengan banyaknya anak dan keturunan adalah:
1. Mendapatkan karunia yang sangat besar yang lebih tinggi nilainya dari harta.
2. Menjadi buah hati yang menyejukkan pandangan.
3. Sarana untuk mendapatkan ganjaran dan pahala dari sisi Allah.
4. Di dunia mereka akan saling menolong dalam ke-bajikan.
5. Mereka akan membantu meringankan beban orang tuanya.
6. Doa mereka akan menjadi amal yang bermanfaat ketika orang tuanya sudah tidak bisa lagi
beramal (telah meninggal dunia).
7. Jika ditakdirkan anaknya meninggal ketika masih kecil/belum baligh -insya Allah- ia akan
menjadi syafaat (penghalang masuknya seseorang ke dalam Neraka) bagi orang tuanya di
akhirat kelak.
8. Anak akan menjadi hijab (pembatas) dirinya dengan api Neraka, manakala orang tuanya
mampu men-jadikan anak-anaknya sebagai anak yang shalih atau shalihah.
9. Dengan banyaknya anak, akan menjadi salah satu sebab kemenangan kaum muslimin
ketika jihad fi sabilillah dikumandangkan karena jumlahnya yang sangat banyak.
10. Rasulullah shallallaahu alaihi wa sallam bangga akan jumlah ummatnya yang banyak.
Anjuran Rasulullah shallallaahu alaihi wa sallam ini tentu tidak bertentangan dengan
manfaat dan hikmah yang dapat dipetik di dalamnya. Meskipun kaum kafir tiada hentihentinya menakut-nakuti kaum muslimin sepuaya mereka tidak memiliki banyak anak
dengan alasan rizki, waktu, dan tenaga yang terbatas untuk mengurus dan memperhatikan
mereka. Padahal, bisa jadi dengan adanya anak-anak yang menyambutnya ketika pulang dari
bekerja, justru akan membuat rasa letih dan lelahnya hilang seketika. Apalagi jika ia dapat
bermain dan bersenda gurau dengan anak-anaknya. Masih banyak lagi keutamaan memiliki
banyak anak, dan hal ini tidak bisa dinilai dengan harta.
Bagi seorang muslim yang beriman, ia harus yakin dan mengimani bahwa Allah-lah yang
memberikan rizki dan mengatur seluruh rizki bagi hamba-Nya. Tidak ada yang luput dari
pemberian rizki Allah Azza wa Jalla, meski ia hanya seekor ikan yang hidup di lautan yang
sangat dalam atau burung yang terbang menjulang ke langit. Allah Azza wa Jalla berfirman:
Artinya : Dan tidak satu pun makhluk bergerak (bernyawa) di bumi melainkan semuanya
dijamin Allah rizkinya. Dia mengetahui tempat kediamannya dan tempat penyimpanannya.
Semua (tertulis) dalam Kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh). [Huud : 6]
Pada hakikatnya, perusahaan tempat bekerja hanyalah sebagai sarana datangnya rizki, bukan
yang memberikan rizki. Sehingga, setiap hamba Allah Azza wa Jalla diperintahkan untuk

berusaha dan bekerja, sebagai sebab datangnya rizki itu dengan tetap tidak berbuat maksiat
kepada Allah Azza wa Jalla dalam usahanya mencari rizki. Firman Allah Azza wa Jalla:
Artinya : Dan barangsiapa yang bertaqwa kepada Allah, niscaya Dia menjadikan kemudahan
baginya dalam urusannya. [Ath-Thalaq : 4]
Jadi, pada dasarnya tidak ada alasan apa pun yang membenarkan seseorang membatasi dalam
memiliki jumlah anak, misalnya dengan menggunakan alat kontrasepsi, yang justru akan
membahayakan dirinya dan suaminya, secara medis maupun psikologis
APABILA BELUM DIKARUNIAI ANAK
Allah Yang Maha Berkuasa atas segala sesuatu, Mahaadil, Maha Mengetahui, dan
Mahabijaksana meng-anugerahkan anak kepada pasangan suami isteri, dan ada pula yang
tidak diberikan anak. Allah Azza wa Jalla berfirman:
Artinya : Milik Allah-lah kerajaan langit dan bumi; Dia menciptakan apa yang Dia
kehendaki, memberikan anak perempuan kepada siapa yang Dia kehendaki, dan memberikan
anak laki-laki kepada siapa yang Dia kehendaki, atau Dia menganugerahkan jenis laki-laki
dan perempuan, dan menjadikan mandul siapa yang Dia kehendaki. Dia Maha Mengetahui,
Mahakuasa. [Asy-Syuuraa : 49-50]
Apabila sepasang suami isteri sudah menikah sekian lama namun ditakdirkan oleh Allah
belum memiliki anak, maka janganlah ia berputus asa dari rahmat Allah Azza wa Jalla.
Hendaklah ia terus berdoa sebagaimana Nabi Ibrahim alaihis salaam dan Zakariya alaihis
salaam telah berdoa kepada Allah sehingga Allah Azza wa Jalla mengabulkan doa mereka.
Doa mohon dikaruniai keturunan yang baik dan shalih terdapat dalam Al-Quran, yaitu:
Ya Rabb-ku, anugerahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang yang
shalih. [Ash-Shaaffaat : 100]
Ya Rabb kami, anugerahkanlah kepada kami pasangan kami dan keturunan kami sebagai
penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang yang bertaqwa.
[Al-Furqaan : 74]
Ya Rabb-ku, janganlah Engkau biarkan aku hidup seorang diri (tanpa keturunan) dan
Engkau-lah ahli waris yang terbaik. [Al-Anbiyaa' : 89]
Ya Rabb-ku, berilah aku keturunan yang baik dari sisi-Mu, sesungguhnya Engkau Maha
Mendengar doa. [Ali Imran : 38]
Suami isteri yang belum dikaruniai anak, hendaknya ikhtiar dengan berobat secara medis
yang dibenarkan menurut syariat, juga menkonsumsi obat-obat, makanan dan minuman yang
menyuburkan. Juga dengan meruqyah diri sendiri dengan ruqyah yang diajarkan Nabi
shallallaahu alaihi wa sallam dan terus menerus istighfar (memohon ampun) kepada Allah

atas segala dosa. Serta senantiasa berdoa kepada Allah di tempat dan waktu yang
dikabulkan. Seperti ketika thawaf di Kabah, ketika berada di Shafa dan Marwah, pada waktu
sai, ketik awuquf di Arafah, berdoa di sepertiga malam yang akhir, ketika sedang berpuasa,
ketika safar, dan lainnya.[10]
Apabila sudah berdoa namun belum terkabul juga, maka ingatlah bahwa semua itu ada
hikmahnya. Doa seorang muslim tidaklah sia-sia dan Insya Allah akan menjadi simpanannya
di akhirat kelak.
Janganlah sekali-kali seorang muslim berburuk sangka kepada Allah! Hendaknya ia
senantiasa berbaik sangka kepada Allah. Apa yang Allah takdirkan baginya, maka itulah yang
terbaik. Allah Maha Mengetahui, Maha Penyayang kepada hamba-hambaNya,
Mahabijaksana dan Mahaadil.
Bagi yang belum dikaruniai anak, gunakanlah kesempatan dan waktu untuk berbuat banyak
kebaikan yang sesuai dengan syariat, setiap hari membaca Al-Qur-an dan menghafalnya,
gunakan waktu untuk membaca buku-buku tafsir dan buku-buku lain yang bermanfaat,
berusaha membantu keluarga, kerabat terdekat, tetangga-tetangga yang sedang susah dan
miskin, mengasuh anak yatim, dan sebagainya.
Mudah-mudahan dengan perbuatan-perbuatan baik yang dikerjakan dengan ikhlas mendapat
ganjaran dari Allah di dunia dan di akhirat, serta dikaruniai anak-anak yang shalih.
[Disalin dari buku Bingkisan Istimewa Menuju Keluarga Sakinah, Penulis Yazid bin Abdul
Qadir Jawas, Penerbit Putaka A-Taqwa Bogor - Jawa Barat, Cet Ke II Dzul Qa'dah
1427H/Desember 2006]
__________
Foote Note
[1]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Ahmad (I/378, 425, 432), al-Bukhari (no. 1905, 5065,
5066), Muslim (no. 1400), at-Tirmidzi (no. 1081), an-Nasa-i (VI/56, 57), ad-Darimi (II/132),
Ibnu Jarud (no. 672) dan al-Baihaqi (VII/77), dari Abdullah bin Masud radhiyallaahu anhu.
[2]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 6474, 6807), dari Sahl bin Saad
radhiyallaahu anhu.
[3]. Hadits hasan: Diriwayatkan oleh Ahmad (II/251), an-Nasa-i (VI/61), at-Tirmidzi (no.
1655), Ibnu Majah (no. 2518) dan al-Hakim (II/160, 161), dari Shahabat Abu Hurairah
radhiyallaahu anhu. Lihat al-Misykah (no. 3089).
[4]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Muslim (no. 1006), al-Bukhari dalam al-Adaabul
Mufrad (no. 227), Ahmad (V/167, 168), Ibnu Hibban (no. 4155at-Taliiqatul Hisaan) dan
al-Baihaqi (IV/188), dari Abu Dzarr radhiyallaahu anhu.
[5]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Ibnu Majah (no. 1847), al-Hakim (II/160), al-Baihaqi
(VII/78) dari Ibnu Abbas radhiyallaahu anhuma. Lihat Silsilah ash-Shahiihah (no. 624).
[6]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Ahmad (I/26, 222), al-Bukhari (no. 1862) dan Muslim
(no. 1341) dan lafazh ini menurut riwayat Muslim, dari Sahabat Ibnu Abbas radhiyallaahu
anhuma

[7]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Muslim (no. 1631), al-Bukhari dalam al-Adabul
Mufrad (no. 38), Abu Dawud (no. 2880), an-Nasai (VI/251), at-Tirmidzi (no. 1376, Ibnu
Khuzaimah (no. 2494), Ibnu Hibban (no. 3016) dan lainnya, dari Abu Hurairah radhiyallaahu
anhu. Lihat Irwaaul Ghaliil (no. 1580).
[8]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 6334, 6344, 6378, 6380) dan Muslim
(no. 2480, 2481).
[9]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 1982). Lihat Fat-hul Baari (IV/228229).
[10]. Untuk lebih jelasnya, bacalah buku penulis: Doa & Wirid.

Anda mungkin juga menyukai