Wajib Islam
Wajib Islam
sampai apa saja yang kamu sediakan untuk istrimu." (HR. Bukhari dan Muslim, Buku
Riyadush Shalihin Bab Memberi nafkah terhadap keluarga).
Dari Abdullah bin Amr bin 'Ash ra., ia berkata: Rasulullah SAW bersabda:
"Seseorang cukup dianggap berdosa apabila ia menyianyiaka orang yang harus diberi
belanja." (HR. Bukhari dan Muslim, Buku Riyadush Shalihin Bab Memberi nafkah terhadap
keluarga).
Dan akan diganti oleh Allah, ini janji Allah.
"Dan barang apa saja yang kamu nafkahkan maka Allah akan menggantinya."
(Saba': 39).
Dari Abu Hurairah RA, ia berkata: Nabi SAW bersabda: "Setiap pagi ada dua malaikat yang
datang kepada seseorang, yang satu berdoa: "Ya Allah, berikanlah ganti kepada orang yang
menafkahkan hartanya." Dan yang lain berdoa: "Ya Allah, binasakanlah harta orang yang
kikir." (HR. Bukhari dan Muslim, Buku Riyadush Shalihin Bab Memberi nafkah terhadap
keluarga).
9. Seorang pria yang menikahi janda yang mempunyai anak, berarti ikut memelihara
anak yatim
Janji Allah berupa pertolongan-Nya bagi mereka yang menikah.
1. Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian diantara kamu dan orang-orang yang layak
(berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan perempuan. Jika mereka miskin
Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha Luas (PemberianNya) lagi Maha Mengetahui. (QS. An-Nur: 32)
2. Ada tiga golongan manusia yang berhak Allah tolong mereka, yaitu seorang mujahid fi
sabilillah, seorang hamba yang menebus dirinya supaya merdeka dan seorang yang menikah
karena ingin memelihara kehormatannya.(HR. Ahmad 2: 251, Nasaiy, Tirmidzi, Ibnu Majah
hadits no. 2518, dan Hakim 2: 160)
Wahai para pemuda, siapa di antara kalian yang mampu menikah (jima dan biayanya)
maka nikahlah, karena ia lebih dapat membuatmu menahan pandangan dan memelihara
kemaluan. Barangsiapa tidak mampu menikah maka berpuasalah, karena hal itu baginya
adalah pelemah syahwat. (HR. Bukhari dan Muslim)
2. Nikah adalah satu upaya untuk menyempurnakan iman. Rasulullah Shalallahu Alaihi
Wassalam bersabda:
Barangsiapa memberi karena Allah, menahan kerena Allah, mencintai karena Allah,
membenci karena Allah, dan menikahkan karena Allah maka ia telah menyempurnakan
iman. (HR. Hakim,dia berkata: Shahih sesuai dg syarat Bukhari Muslim. Disepakati oleh
adz Dzahabi)
Jika datang kepadamu orang yang kamu relakan akhlak dan agamanya maka
nikahkanlah, jika tidak kamu lakukan maka pasti ada fitnah di muka bumi dan kerusakan
yang besar. (HR. Hakim, hadits shahih)
4. Pernikahan adalah lingkungan baik yang mengantarkan kepada eratnya hubungan keluarga,
dan saling menukar kasih sayang di tengah masyarakat. Menikah dalam Islam bukan hanya
menikahnya dua insan, melainkan dua keluarga besar.
5. Pernikahan adalah sebaik-baik cara untuk mendapatkan anak, memperbanyak keturunan
dengan nasab yang terjaga, sebagaimana yang Allah pilihkan untuk para kekasih-Nya:
Dan sesungguhnya Kami telah mengutus beberapa Rasul sebelum kamu dan Kami
memberikan kepada mereka isteri-isteri dan keturunan. (QS. ar Rad:38
6. Pernikahan adalah cara terbaik untuk melampiaskan naluri seksual dan memuaskan
syahwat dengan penuh ketenangan.
Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassalam bersabda:
Sesungguhnya wanita itu menghadap dalam rupa setan (menggoda) dan membelakangi
dalam rupa setan, maka apabila salah seorang kamu melihat seorang wanita yang
menakjubkannya hendaklah mendatangi isterinya, sesungguhnya hal itu dapat
menghilangkan syahwat yang ada dalam dirinya. (HR. Muslim, Abu Dawud dan Tirmidzi)
7. Pernikahan memenuhi naluri kebapakan dan keibuan, yang akan berkembang dengan
adanya anak.
8. Dalam pernikahan ada ketenangan, kedamaian, kebersihan, kesehatan, kesucian dan
kebahagiaan, yang diidamkan oleh setiap insan.
Hukum Nikah
Para ulama menyebutkan bahwa nikah diperintahkan karena dapat mewujudkan maslahat;
memelihara diri, kehormatan, mendapatkan pahala dan lain-lain. Oleh karena itu, apabila
pernikahan justru membawa madharat maka nikahpun dilarang. Dari sini maka hukum nikah
dapat dapat dibagi menjadi lima:
1. Disunnahkan bagi orang yang memiliki syahwat (keinginan kepada wanita) tetapi tidak
khawatir berzina atau terjatuh dalam hal yang haram jika tidak menikah, sementara dia
mampu untuk menikah.
Karena Allah telah memerintahkan dan Rasulpun telah mengajarkannya. Bahkan di dalam
nkah itu ada banyak kebaikan, berkah dan manfaat yangb tidak mungkin diperoleh tanpa
nikah, sampai Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassalam bersabda:
dan menjadi incaran orang-orang yang rusak, sedangkan kehormatan dan perlindungannya
hanya ada pada nikah, maka nikah baginya adalah wajib.
3. Mubah bagi yang mampu dan aman dari fitnah, tetapi tidak membutuhkannya atau tidak
memiliki syahwat sama sekali seperti orang yang impotent atau lanjut usia, atau yang tidak
mampu menafkahi, sedangkan wanitanya rela dengan syarat wanita tersebut harus rasyidah
(berakal).
Juga mubah bagi yang mampu menikah dengan tujuan hanya sekedar untuk memenuhi
hajatnya atau bersenang-senang, tanpa ada niat ingin keturunan atau melindungi diri dari
yang haram.
4. Haram nikah bagi orang yang tidak mampu menikah (nafkah lahir batin) dan ia tidak takut
terjatuh dalam zina atau maksiat lainnya, atau jika yakin bahwa dengan menikah ia akan jatuh
dalam hal-hal yang diharamkan. Juga haram nikah di darul harb (wilayah tempur) tanpa
adanya faktor darurat, jika ia menjadi tawanan maka tidak diperbolehkan nikah sama sekali.
Haram berpoligami bagi yang menyangka dirinya tidak bisa adil sedangkan isteri pertama
telah mencukupinya.
5. Makruh menikah jika tidak mampu karena dapat menzhalimi isteri, atau tidak minat
terhadap wanita dan tidak mengharapkan keturunan.. Juga makruh jika nikah dapat
menghalangi dari ibadah-ibadah sunnah yang lebih baik. Makruh berpoligami jika
dikhawatirkan akan kehilangan maslahat yang lebih besar.
Khitbah
KHITBAH. Kata khitbah dalam terminology arab memiliki 2 akar kata. Yang pertama alkhithab yang berarti pembicaraan dan yang kedua al-khathb yang artinya persoalan,
kepentingan dan keadaan. Jadi, jika dilihat dari segi bahasa khitbah adalah pinangan atau
permintaan seseorang (laki-laki) kepada perempuan tertentu untuk menikahinya. Makna
khitbah menurut istilah syariat tidak keluar dari makna bahasa tadi.
Dalam islam, seorang laki-laki berhak meminang perempuan yang diinginkan menjadi
istrinya, demikian pula seorang perempuan boleh meminang laki-laki yang diinginkan
menjadi suaminya.
Khitbah dalam pandangan syariat bukanlah suatu akad atau transaksi antara laki-laki yang
meminang dengan perempuan yang dipinang atau pihak walinya. Khitbah bukanlah suatu
ikatan perjanjian antara kedua belah pihak untuk melaksanakan pernikahan. Khitbah tidak
lebih dari sekedar permintaan atau permohonan untuk menikah. Khitbah sudah sah dan
sempurna hanya dengan ungkapan permintaan itu saja, tanpa memerlukan syarat berupa
jawaban pihak yang dipinang. Sedangkan akad baru dianggap sah apabila ada ijab dan qabul
(ungkapan serah terima) kedua belah pihak.
Dengan diterimanya sebuah pinangan baik oleh perempuan maupun oleh walinya, tidak
bermakna telah terjadi ikatan perjanjian atau akad diantara mereka. Ibarat orang hendak naik
kereta api, khitbah hanya bermakna pesan tempat duduk yang nantinya pada saat
jadual kereta berangkat ia akan menduduki tempat tersebut sehingga tidak diduduki orang
lain.
Syarat yang dipinang
Perempuan boleh dipinang oleh laki-laki (begitu juga sebaliknya) apabila memenuhi 2 syarat
berikut ini :
1. Pada waktu dipinang perempuan itu tidak memiliki halangan syari yang melarang
dilangsungkannya pernikahan
contoh, wanita yang sedang dalam masa iddah.
2. Belum dipinang laki-laki lain secara sah.
Tata cara meminang
1. Laki-laki meminang melalui wali perempuan
2. Laki-laki meminang langsung kepada perempuan janda
3. Perempuan meminang laki-laki saleh
Perempuan boleh meminang laki-laki secara langsung oleh dirinya sendiri atau melalui
perantara pihak lain agar menyampaikan pinangan kepada seorang laki-laki untuk menjadi
suaminya.
4. Khitbah dengan sindiran dimasa iddah (karena suaminya meninggal)
Sindiran itu misalnya seorang laki-laki mengatakan kepada seorang janda , saya ingin
menikah dengan perempuan shalehah atau mudah-mudahan Allah memudahkan saya
untukmendapat istri shalehah.
Agar pinangan diterima
Sebenarnya tidak ada standard baku secara teknis untuk masalah ini. Tapi, beberapa langkah
dibawah ini diharapkan mampu membantu melancarkan proses penerimaan dalam
peminangan :
1.Melengkapi persiapan diri
- Persiapan pertama adalah keikhlasan niat bahwa mengkhitbahnya ini dalam rangka
beribadah kepada Allah.
- Persiapan kedua adalah persiapan diri pribadi yang telah dibahas sebelumnya, yaitu
menyiapkan minimal 4 persiapan, termasuk diantaranya yaitu persiapan finansial.
2. Memilih calon yang sekufu
3. Berbekal restu Orang Tua
Cara yang dapat dilakukan untuk memperoleh restu dari orang tua diantaranya adalah sebagai
berikut :
- Membangun komunikasi yang lancar dengan orang tua
berumahtangga telah bergantung pada Allah dengan berharap dan berdoa pada-Nya saja.
Setelah usaha kita lakukan dengan maksimal, doa kita lantunkan tanpa rasa bosan, akhirnya
kita serahkan segalnya kepada Allah. Inilah makna tawakal.
AKAD NIKAH
Perjanjian berat itu terikat melalui beberapa kalimat sederhana. Pertama adalah kalimat ijab,
yaitu keinginan pihak wanita untuk menjalin ikatan rumah tangga dengan seorang laki-laki.
Kedua adalah kalimat qabul, yaitu pernyataan menerima keinginan dari pihak pertama untuk
maksud tersebut.
Ijab qabul dapat diucapkan dalam bahasa apapun. Bisa dalam bahasa arab maupun bahasa
setempat.
Nikah adalah perjanjian berat. Kita harus menghayati ucapan ijab qabul. Salah satu syarat
ijab qabul adalah kedua belah pihak memiliki sifat tamyiz (mampu membedakan baik dan
buruk), sehingga ia harus memahami perkataan dan maksud dari ijab qabul itu. Diatas
pemahaman terhadap maksud ijab qabul, ada penghayatan.
Setelah khitbah dilaksanakan, tidak ada batas minimal ataupun maksimal unutk
melaksanakan akad nikah. Seandainya acara khitbah langsung diteruskan dengan akad nikah
itu boleh saja dilakukan, walaupun untuk masyarakat Indonesia itu tidak lazim dilakukan.
Yang menjadi masalah adalah ketika akad nikah dilakukan dalam rentang waktu yang lama
setelah khitbah dilaksanakan, peluang timbulnya fitnah akan lebih besar. Resikonya besar
untuk keduanya melakukan hal-hal yang dilarang Allah. Selain itu di satu sisi ia tidak boleh
menerima pinangan dari orang lain, sedangkan di sisi lain ia belum menjadi seorang istri.
Pada saat pelaksanaan akad nikah, yang dituntut hadir adalah mempelai laki-laki, mempelai
perempuan, wali perempuan, 2 saksi, serta mahar.
dari amalan/tata cara shalat. Adapun wudhu merupakan syarat shalat, ia harus dilakukan bila
seseorang hendak shalat namun ia bukan bagian dari amalan/tata cara shalat.
Dalam masalah rukun dan syarat pernikahan ini kita dapati para ulama berselisih pandang
ketika menempatkan mana yang rukun dan mana yang syarat. (Raddul Mukhtar, 4/68, AlHawil Kabir, 9/57-59, 152, Al-Mutamad fi Fiqhil Imam Ahmad, 2/154)
Akan tetapi karena perselisihan yang ada panjang dan lebar, sementara ruang yang ada
terbatas, kita langsung pada kesimpulan akhir dalam permasalahan rukun dan syarat ini.
Rukun Nikah
Rukun nikah adalah sebagai berikut:
1. Adanya calon suami dan istri yang tidak terhalang dan terlarang secara syari untuk
menikah. Di antara perkara syari yang menghalangi keabsahan suatu pernikahan misalnya si
wanita yang akan dinikahi termasuk orang yang haram dinikahi oleh si lelaki karena adanya
hubungan nasab atau hubungan penyusuan. Atau, si wanita sedang dalam masa iddahnya dan
selainnya. Penghalang lainnya misalnya si lelaki adalah orang kafir, sementara wanita yang
akan dinikahinya seorang muslimah.
2. Adanya ijab, yaitu lafadz yang diucapkan oleh wali atau yang menggantikan posisi
wali. Misalnya dengan si wali mengatakan, Zawwajtuka Fulanah (Aku nikahkan engkau
dengan si Fulanah) atau Ankahtuka Fulanah (Aku nikahkan engkau dengan Fulanah).
3. Adanya qabul, yaitu lafadz yang diucapkan oleh suami atau yang mewakilinya,
dengan menyatakan, Qabiltu Hadzan Nikah atau Qabiltu Hadzat Tazwij (Aku terima
pernikahan ini) atau Qabiltuha.
Dalam ijab dan qabul dipakai lafadz inkah dan tazwij karena dua lafadz ini yang datang
dalam Al-Qur`an. Seperti firman Allah Subhanahu wa Taala: