Panduan Darah Dan Komponen Darah
Panduan Darah Dan Komponen Darah
PENDAHULUAN
Transfusi darah merupakan suatu rangkaian proses pemindahan darah dari
satu individu (donor) ke dalam sirkulasi darah individu lain (resipien) sebagai
upaya pengobatan, dimana penggunaannya dapat menyelamatkan jiwa pasien dan
meningkatkan derajat kesehatan. Jutaan transfusi darah dilakukan setiap tahun di
seluruh dunia. Sebuah Dilaporkan transfusi darah telah terbukti dapat
meningkatkan kelangsungan hidup dari 35% menjadi 45%. Sebuah penelitian
meta analisis (2012) menunjukkan transfusi restriktif dapat menurunkan angka
kematian dan infeksi post operasi.1,2,3
Sehubungan dengan asal-usul historisnya, praktek ini dimulai pada abad
ke-17 oleh seorang dokter Inggris bernama William Harvey. Pada 1665, Richard
Lower untuk pertama kalinya melaporkan keberhasilan transfusi pada binatang.
Sedangkan transfusi pertama pada manusia dari binatang dilakukan pada tahun
berikutnya oleh Jean Baptiste Denis, seorang dokter Perancis. Pada tahun yang
sama, Lower mentransfusikan darah dari anak domba ke dalam aliran darah
seorang pendeta bernama Arthur Coga. Namun, praktek ini kemudian
ditinggalkan selama ratusan tahun.2
Transfusi pertama antara manusia berhasil dilakukan pada tahun 1818 oleh
James Blundell, seorang dokter Inggris. Pada tahun 1901, Landsteiner
menemukan golongan darah sistem ABO dan kemudian pada tahun 1939 sistem
antigen Rh (rhesus) ditemukan oleh Levine dan Stetson. Kedua sistem ini menjadi
dasar penting bagi transfusi darah modern. Sekitar tahun 1937 dimulailah sistem
pengorganisasian bank darah yang terus berkembang hingga saat kini.2,4
Era transfusi darah modern dimulai bertepatan dengan Perang Dunia II
dimana kebutuhan akan penggantian darah secara masif meningkat. Namun
transfusi bukanlah tanpa risiko, efek samping transfusi (reaksi transfusi) tetap
mungkin terjadi. Setengah abad terakhir pencegahan akan reaksi transfusi seperti
hepatitis serta munculnya beberapa patogen baru, terutama HIV, mulai dilakukan.
Walaupun tes skrining spesifik dan intervensi lainnya telah diminimalkan, tapi
tidak menghilangkan penularan penyakit menular. Bahaya transfusi lainnya juga
1
bertahan, termasuk terjadinya transfusi darah yang tidak cocok, reaksi transfusi
hemolitik akut maupun yang tertunda, Transfusion-Related Acute Lung Injury
(TRALI), Transfusion Related-Graft versus Host Disease (TA-GVHD), dan
Transfusion-related Immunomodulator (TRIM).1,5,6
World Health Organization (WHO) Global Database on Blood Safety
melaporkan bahwa 20% populasi dunia berada di negara maju dan sebanyak 80%
telah memakai darah donor yang aman, sedangkan 80% populasi dunia yang
berada di negara berkembang hanya 20% memakai darah donor yang aman.5
Haslina (2012) melaporkan terjadi 213 kasus reaksi transfusi dalam jangka
waktu 3 tahun di Malaysia. Dengan insiden sebesar 1 pada 433 unit transfusi atau
0,23% dari total komponen darah yang ditransfusikan. Sedangkan di Amerika
Serikat, US Food and Drug Administration Center (FDA) melaporkan pada tahun
2011 terjadi 30 kematian terkait transfusi.7,8
Dalam
rangka
meminimalkan
risiko
transfusi,
WHO
telah
mengembangkan strategi untuk transfusi darah yang aman. Pada tahun 1998
WHO mengeluarkan rekomendasi Developing a National Policy and Guidelines
on the Clinical Use of Blood. Strategi tersebut terdiri dari pelayanan transfusi
darah yang terkoordinasi secara nasional, pengumpulan darah hanya dari donor
sukarela dari populasi risiko rendah, pelaksanaan skrining terhadap semua darah
donor dari penyebab infeksi (seperti HIV, virus hepatitis, sifilis dan lainnya), serta
pelayanan laboratorium yang baik di semua aspek. Dalam hal ini termasuk
golongan darah, uji kompatibilitas, persiapan komponen, penyimpanan dan
transportasi darah/komponen darah.5
Oleh karena itu, untuk menghindari risiko transfusi darah yang tidak perlu
dapat dikurangi dengan menentukan indikasi transfusi darah dan komponen darah
yang tepat, dan alternatif transfusi. Sehingga dalam meningkatkan keamanan dan
kualitas transfusi darah, dibutuhkan pemahaman tentang transfusi darah dan
komponennya.
BAB II
DARAH DAN KOMPONEN
Darah yang semula dikategorikan sebagai jaringan tubuh, saat ini telah
dimasukkan sebagai suatu organ tubuh terbesar yang beredar dalam sistem
kardiovaskular, tersusun dari komponen korpuskuler atau seluler, dan komponen
non korpuskuler atau non seluler. Darah berfungsi sebagai organ transportasi
(dilakukan oleh hemoglobin didalam sel darah merah), sebagai organ pertahanan
tubuh/imunologik (dilakukan oleh leukosit dan immunoglobulin) dan dalam
menghentikan perdarahan/ mekanisme homeostasis (dilakukan oleh mekanisme
fibrinolisis).
Apabila terjadi pengurangan darah yang cukup bermakna dari komponen
darah korpuskuler maupun non korpuskuler akibat kelainan bawaan ataupun
karena penyakit yang didapat, yang tidak dapat diatasi oleh mekanisme
homeostasis tubuh dalam waktu singkat maka diperlukan penggantian dengan
transfusi darah. Penggunaan darah untuk transfusi dilakukan secara rasional dan
efisien yaitu dengan memberikan hanya komponen darah yang dibutuhkan. Hal
ini didasarkan bahwa darah terdiri dari bermacam-macam elemen selular dan
protein plasma dengan fungsi yang berbeda-beda.9
2.1. Golongan Darah
Sejak ditemukan sistem ABO oleh Landsteiner pada tahun 1900 hingga
saat ini, menurut International Society of Blood Transfusion (ISBT) terdapat 33
sistem golongan dan lebih dari 300 antigen golongan darah yang telah
diidentifikasi. Dua yang paling penting dalam praktek klinis adalah ABO dan
sistem Rh.9,12
Dalam pelaksanaan transfusi darah, aspek yang paling penting adalah
produk darah yang cocok antara donor dan resipien untuk menghindari reaksi
transfusi yang merugikan. Ada 3 persyaratan utama yang harus dipenuhi yaitu
sistem ABO, sistem Rhesus dan screening untuk setiap antibodi dalam sampel
resipien yang mungkin terjadi reaksi silang dengan sampel antigen donor.1
A. Sistem ABO
Sistem ABO adalah sistem golongan darah sel darah merah pertama yang
diidentifikasi, yang memberikan hadiah Nobel untuk Landsteiner. Landsteiner
mengamati reaksi aglutinasi dengan mencampur berbagai kombinasi sel dan
serum.14
Terdapat empat golongan darah utama: A, B, AB dan O. Frekuensi
kelompok ABO bervariasi pada populasi etnis yang berbeda. Tergantung pada
kelompok ABO, individu menghasilkan anti-A atau anti-B antibodi pada awal
kehidupan, terutama imunoglobulin M (IgM) dan dapat dengan cepat menyerang
dan menghancurkan sel-sel yang tidak kompatibel dengan aktivasi komplemen
jalur penuh, sehingga terjadi hemolisis intravaskular (hemolitik akut reaksi).10,13,15
Tabel 2.1. Golongan darah berdasarkan sistem ABO13
Golongan
Antigen di RBC
Antibodi dalam plasma
A
Antigen A
Anti-B
B
Antigen B
Anti-A
AB
Antigen A & B
Tidak ada
Tidak ada
Anti- A & B
B. Sistem Rhesus
Ada lima antigen Rh utama di sel darah merah yang dapat positif atau
negatif: C / c, D dan E / e. RhD adalah yang paling penting dalam praktek klinis.
Kira-Kira 80-85% tentang populasi orang kulit putih mempunyai antigen D.
Individu yang kekurangan alel ini disebut Rh-Negative dan biasanya antibodi
akan melawan antigen D hanya setelah terpapar oleh ( Rh-Positif) transfusi
sebelumnya atau kehamilan (seorang Ibu Rh-Negatif melahirkan bayi RhPositif).10,14
Negatif
D+
Negatif
Negatif
D-(d)
Positif
Positif
mencampur serum pasien dengan sel darah dari antigen yang dikenal, jika ada
antibodi spesifik, membran sel darah merah dilapisi, dan terjadi penambahan
suatu antibodi antiglobulin menghasilkan aglutinasi sel darah. Screening ini
rutin dilakukan pada seluruh donor darah dan dilakukan untuk resipien sebagai
ganti dari crossmatch.
2.3. Komponen Darah
Komponen darah adalah bagian darah yang dipisahkan secara fisik atau
mekanik, misalnya dengan cara sentrifugasi. Adapun macam-macam komponen
darah adalah sebagai berikut9:
A.
Selular
Trombosit (platelets)
Non Selular
Kriopresipitat (cryoprecipitate)
tukar dan pada pasien yang membutuhkan transfusi sel darah merah di mana
sel darah merah konsentrat atau suspensi tidak tersedia.Sedangkan menurut
Djoerban Z, pemberian darah lengkap pada keadaan perdarahan akut dengan
hipovolemik tidak menjadi pilihan utama. Pemulihan segera volume darah
pasien jauh lebih penting dari pada penggantian sel darah merah, sedangkan
menyiapkan darah untuk transfusi memerlukan waktu. Darah lengkap
sebaiknya tidak diberikan pada pasien dengan anemia kronik yang
normovolemik atau yang bertujuan meningkatkan sel darah merah.6,15
Pada orang dewasa, 1 unit darah lengkap akan meningkatkan Hb sekitar
1 g/dl atau hematokrit 3-4%. Saat ini pemberian darah lengkap bukan
menjadi pilihan, karena risiko yang dapat terjadi lebih tinggi daripada
pemberian transfusi komponen darah, terutama penularan infeksi. Untuk
menghindari hal tersebut pemberian sebaiknya menggunakan filter darah
dengan kecepatan tetesan tergantung keadaan klinis pasien, namun
sebaiknya dalam 4 jam.15
B. Sel darah merah pekat (packed red blood cell/PRC)
Sel darah merah pekat (packed red blood cell/PRC) berisi eritrosit,
trombosit, leukosit dan sedikit plasma, dengan nilai hematokrit 55-75%.
Dalam satu unit sel darah merah diperkirakan volume 150-300 ml dengan
massa PRC 100-200 ml.6
Transfusi PRC hampir selalu diindikasikan pada kadar hemoglobin
(Hb) <7 g/dl, terutama pada anemia akut. Transfusi dapat ditunda jika pasien
asimptomatik dan/atau penyakitnya memiliki terapi spesifik lain, sehingga
batas kadar Hb yang lebih rendah dapat diterima. Transfusi dapat dilakukan
pada kadar Hb 7-10 g/dl apabila ditemukan hipoksia atau hipoksemia yang
bermakna secara klinis dan laboratorium. Transfusi tidak dilakukan bila
kadar Hb 10 g/dl, kecuali bila ada indikasi tertentu, misalnya penyakit
yang membutuhkan kapasitas transport oksigen lebih tinggi (contoh:
penyakit paru obstruktif kronik berat dan penyakit jantung iskemik berat).
Tabel 2.3. Pedoman transfusi sel darah merah menurut beberapa organisasi7
Packed red blood cell yang disentrifugasi, dan dicuci (antibodi, protein
serum seperti IgA, solusi aditif, peningkatan kadar elektrolit-khususnya
kalium, metabolit lain selular atau sitokin) selanjutnya dengan larutan
isotonik pada + 4 C. Pada akhir prosedur, setiap unit harus mengandung
minimal 40 g Hb dan tidak lebih dari 0,3 g protein. Produk harus disimpan
pada + 4C ( 2C) dalam waktu singkat, tidak lebih dari 24 jam.Komponen
darah ini dikenal dengan washed red cell (WRC).21,22
Washed red cell dapat diindikasikan untuk neonatus yang menjalani
transfusi tukar/transfusi masif, transfusi intrauterin, pasien dengan anti-IgA
atau pasien dengan defisiensi IgA dengan sejarah reaksi alergi yang parah
ketika sel darah merah dari donor kekurangan IgA tidak tersedia dan pasien
dengan riwayat reaksi parah pada komponen darah (tidak responsif terhadap
premedikasi).21
C. Trombosit
Trombosit dapat diperoleh dengan cara sentrifugasi darah lengkap
(Whole blood) atau dengan cara tromboferesis. Satu unit trombosit yang
berasal dari 450 ml darah lengkap berisi sekitar 5,5x10 10 trombosit dengan
volume 50 ml. Sedangkan secara tromboferesis satu donor berisi sekitar
3x1011 trombosit, setara dengan 6 unit trombosit dengan volume antara 150400 ml.15
Transfusi trombosit dapat diindikasikan baik sebagai profilaksis untuk
mengurangi risiko perdarahan atau sebagai terapi untuk mengontrol
perdarahan pada pasien dengan trombositopenia. Namun transfusi trombosit
tidak diindikasikan untuk pasien dengan autoimun trombositopenia purpura
(ITP), dan trombotik trombositopenia purpura (TTP).6,15,18
Pedoman awal pada perkembangan transfusi trombosit di tahun 1980an dan 1990-an merekomendasikan transfusi trombosit untuk pasien tanpa
perdarahan
dengan
kadar
trombosit
20.000/mm3,
karena
dapat
Anaesthetist:
Management
of
Massive
Haemorrhage
(2010)
13
BAB III
TRANSFUSI DARAH
3.1. Definisi
Transfusi darah merupakan pemberian darah atau komponen darah dari
donor ke resipien, dengan tujuan terapeutik, dimana dapat menjadi penyelamat
nyawa tapi dapat pula berbahaya dengan berbagai komplikasi.1,9
Menurut Shubha Allard (2013), istilah transfusi darah mengacu pada
penggunaan terapi darah utuh atau komponen-komponennya (sel darah merah,
trombosit, plasma beku segar dan kriopresipitat).10
3.2. Epidemiologi
World Health Organization melaporkan setiap tahunnya lebih dari 9 juta
transfusi darah yang dilakukan di lebih dari 47.000 rumah sakit di seluruh dunia.
Di Indonesia, PMI (2008) melaporkan 1.283.582 transfusi dilakukan. Pada tahun
2009 Healthcare Cost and Utilization Project (HCUP) melaporkan 3 juta
komponen darah ditransfusikan di Inggris, dimana transfusi dilakukan pada lebih
dari 10% pasien rawat inap. Sedangkan Morton (2010) di Amerika Serikat
melaporkan transfusi darah dilakukan pada 5,8% pasien rawat inap. Pada tahun
2013, US Red Cross melaporkan lebih dari 30 juta komponen darah
ditransfusikan.2,7
Stanford University Medical Center menunjukkan di Amerika Serikat
secara keseluruhan terjadi peningkatan transfusi darah dari tahun 2006 hingga
2009, namun setelah diterapkannya peningkatan kewaspadaan (Best Practice
Alert/ BPA) pada Juli 2010, terjadi penurunan hingga tahun 2012. Hal serupa
terjadi di Inggris (Bowden M, NHS Blood and Transplant) dimana terjadi
peningkatan pada tahun 2008-2009 dan menurun pada 2012-2013.7
14
3.3. Komplikasi
Transfusi darah dapat menyelamatkan nyawa dalam banyak situasi, tapi
bukan berarti tidak bebas risiko. Walaupun jarang terjadi, transfusi darah dapat
mengancam jiwa. Menurut Kleinman S (2014) di Amerika Serikat, tingkat
kematian jangka panjang setelah transfusi sekitar 31% di tahun pertama, 14%
pada tahun kedua, dan 10% per tahun dalam beberapa tahun setelah transfusi.
Sedangkan tingkat kematian jangka pendek setelah transfusi sekitar 1-1,2 per
100.000 pasien yang menerima transfusi. Jumlah ini sekitar 35 kematian terkait
transfusi per tahun di Amerika Serikat. Namun pada tahun 2011, di Amerika
Serikat dilaporkan 43% kematian dan 25% di Inggris yang secara pasti dikaitkan
dengan transfusi.7,16
Sejak berdirinya French haemovigilance network pada tahun 1949 dan
Serious Hazards of Transfusion (SHOT) di Inggris pada tahun 1996, TRALI telah
menjadi penyebab paling umum kematian dan morbiditas terkait dengan transfusi.
Hal ini sesuai FDA yang melaporkan bahwa antara 2007 dan 2011 di Amerika
Serikat, TRALI merupakan penyebab kematian tertinggi pada kematian terkait
transfusi (43%), diikuti oleh reaksi transfusi hemolitik (23%) disebabkan
inkompatibilitas non-ABO (13%) atau inkompatibilitas ABO (10%).7
Secara garis besar, komplikasi transfusi dapat dibagi 2, yaitu: infeksi dan
non infeksi.11
3.3.1. Infeksi
Saat ini komplikasi transfusi infeksi jarang terjadi karena kemajuan
dalam proses penyaringan darah, risiko tertular infeksi dari transfusi telah
menurun 10.000 kali lipat sejak tahun 1980-an. Namun, belum ada
kemajuan dalam mencegah bahaya serius dari komplikasi transfusi infeksi.28
Dari semua komplikasi infeksi, hepatitis B merupakan infeksi yang
paling sering terjadi. Di Inggris, dari semua darah donor yang dilakukan
skrining, pada tahun 2008-2010 ditemukan virus hepatitis B dengan insiden
1 dari 1 juta donor.8 Sesuai dengan penelitian Hendrickson (2009) dimana
hepatitis B merupakan komplikasi infeksi tersering (tabel 3.1).28
15
A. Hepatitis
Hepatitis pasca transfusi adalah penyakit yang paling umum ditularkan
melalui darah transfusi. Hepatitis pasca transfusi dapat disebabkan oleh
virus hepatitis A (HAV), virus hepatitis B (HBV), virus hepatitis C (HCV),
cytomegalovirus (CMV), atau Epstein-Barr virus (EBV) atau dapat
didefinisikan sebagai non-A, non-B, non-C, yang berarti hepatitis karena
tidak ada agen yang tercantum di atas.29
Di masa lalu, hepatitis B adalah komplikasi utama dari transfusi darah.
Penelitian tentang HBV di Australia memberikan langkah besar pertama
dalam mengurangi infeksi yang ditularkan lewat transfusi. Penerapan
skrining rutin donor darah untuk hepatitis B surface antigen mengurangi
kejadian hepatitis B pasca transfusi. Namun, masih merupakan hepatitis
pasca transfusi yang paling umum terjadi. Pada tahun 1987, skrining rutin
antibodi darah donor ke inti antigen hepatitis B (anti-HBc) diperkenalkan
dalam upaya untuk mengurangi penularan non-A, non-B hepatitis.
Keuntungan tambahan dari skrining ini adalah pengurangan lebih lanjut dari
hepatitis B pasca transfusi. 29,30
Sedangkan tes skrining donor untuk anti-HCV diperkenalkan pada
tahun 1992. Dampak dari skrining donor untuk anti-HCV sangat besar. Saat
ini diperkirakan bahwa tes generasi pertama dapat mencegah sekitar 40.000
16
kasus hepatitis pasca transfusi per tahun di Amerika Serikat. Risiko yang
ditularkan lewat transfusi HCV kini diperkirakan hanya sekitar 6 kasus per
tahun. 29
Perkiraan frekuensi hepatitis pasca transfusi rumit karena ini tergantung
pada populasi donor darah. Hepatitis pasca transfusi masih merupakan
masalah kesehatan utama. Menurut Shahshahani HJ (2013) tingkat
prevalensi hepatitis B, dan C pada darah donor di Iran mengalami
penurunan dari tahun 2004 sebesar 0,37% dan 0,14% menjadi 0,14%, dan
0,05% pada tahun 2010. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan
Flichman (2014), yang melaporkan penurunan kejadian hepatitis B di
Argentina dari 0.336% pada tahun 2004 menjadi 0.198% pada tahun
2011.29,31,32
B. Human Immunodeficiency Virus (HIV)
Penelitian epidemiologi pertama menetapkan bahwa AIDS disebabkan
oleh HIV-1 retrovirus dan dapat ditularkan melalui transfusi darah. Dengan
identifikasi HIV sebagai agen penyebab, menjadi jelas bahwa pada
pertengahan 1990-an, di seluruh dunia jutaan orang telah terinfeksi,
meskipun proporsi yang sangat kecil yang terinfeksi melalui transfusi
darah.29
Dengan diperkenalkannya skrining darah untuk HIV, penularan
penyakit transfusi telah hampir dieliminasi. Meskipun ada kekhawatiran
besar tentang transfusi-menular HIV, transfusi menyumbang kurang dari 2%
dari semua kasus AIDS di Amerika Serikat. Hanya sekitar 35 kasus HIV
ditularkan lewat transfusi telah diidentifikasi setelah pelaksanaan skrining
pada tahun 1985.29
Interval antara infeksi dan perkembangan antibodi terhadap virus yang
menginfeksi dikenal sebagai "window phase." Pada tes HIV dalam
mendeteksi anti-HIV, terdapat window phase di mana individu menular
tetapi tidak memiliki screening positif tes untuk anti-HIV. Dengan demikian,
meskipun pengujian untuk anti-HIV negatif, penularan virus masih bisa
terjadi dari darah yang didonor selama window phase, dimana antara infeksi
dan munculnya antibodi adalah sekitar 6 minggu atau 45 hari.29
17
Pada donor dengan window phase yang telah terdeteksi pada sebelum
menjadi antibodi HIV positif, skrining antigen HIV donor darah
dilaksanakan untuk mengurangi penularan HIV melalui darah sumbangan.
Namun, dua penelitian besar yang melibatkan sekitar 500.000 donor
masing-masing tidak mengidentifikasi adanya donor yang mengandung
serum antigen HIV tapi tidak ada antibodi HIV. Berdasarkan studi ini,
ternyata bahwa tes antigen HIV tidak akan membantu.29
Risiko tertular infeksi HIV setelah transfusi dengan darah yang antiHIV-1-positif setinggi 70-91%. Komponen yang berbeda dari donor yang
terinfeksi mungkin memiliki kemungkinan yang berbeda menularkan HIV.
Telah diperkirakan bahwa sebelum pengenalan tes antibodi HIV-1 pada Mei
1985, sekitar 12.000 pasien terinfeksi HIV-1 akibat transfusi. Masa inkubasi
antara infeksi HIV-1 pasca transfusi dan perkembangan AIDS klinis sulit
ditentukan, diperkirakan sekitar 4,5-14,2 tahun.29
C. Infeksi Bakteri
Kontaminasi bakteri dari komponen darah saat ini merupakan
komplikasi yang jarang terjadi pada transfusi. Telah diketahui selama
bertahun-tahun bahwa sebagian kecil dari unit whole blood mengandung
bakteri hidup. Penularan infeksi bakteri merupakan masalah utama di masamasa awal transfusi darah, namun perbaikan dalam wadah darah,
pengembangan sistem tertutup untuk memproduksi komponen darah, dan
penyimpanan pada suhu lemari es dianggap telah mengeliminasi masalah
ini. Namun, jika hal itu terjadi, potensi sepsis fulminan dikaitkan dengan
angka kematian yang tinggi. Gejala terjadi selama atau segera setelah
transfusi unit terkontaminasi dengan gejala demam tinggi, menggigil,
eritema dan kolaps kardiovaskuler.29,33
Sel darah yang disimpan pada suhu 4C, mengakibatkan kontaminasi
dengan
bakteri
Gram-negatif
seperti
Yersinia
enterocolitica
dan
cepat
pada
suhu
tersebut.
Bakteri
Gram-positif
seperti
berkembang biak lebih mudah pada suhu kamar dan jadi lebih sering dilihat
sebagai kontaminasi trombosit. Tidak ada tes skrining saat ini yang tersedia
untuk mendeteksi kontaminasi bakteri. Oleh karena itu, inspeksi visual dari
kantong darah sebelum transfusi penting. Kantong darah terkontaminasi
tampak berwarna gelap atau mengandung gelembung gas.33
Besarnya masalah klinis ini sulit untuk ditentukan karena hanya reaksi
yang berat yang dilaporkan dan faktor-faktor lain yang penting seperti
kondisi yang mendasari, jumlah dan jenis bakteri atau adanya endotoksin
dalam komponen darah. Infeksi bakteri yang ditularkan lewat transfusi
dilaporkan terjadi sekitar 1 per 25.000 unit trombosit dan 1 per 250.000 unit
PRC. Tingkat kematian sulit untuk ditentukan, tapi 5-8 kematian dilaporkan
pada FDA setiap tahunnya. Lebih dari setengah dari kematian disebabkan
oleh PRC dan trombosit yang terkontaminasi dibandingkan dengan
kontaminasi plasma. Namun sejak tahun 2009 infeksi bakteri akibat
transfusi tidak lagi ditemukan di Inggris.11,29
D. Infeksi Parasit
Infeksi parasit melalui transfusi relatif jarang. Infeksi parasit yang
paling sering ditularkan lewat transfusi adalah malaria, terutama di negaranegara tropis sedangkan Babesiosis dan penyakit Chagas merupakan
ancaman terbesar bagi donor di Amerika Serikat. Penularan malaria telah
dilaporkan terjadi terutama dari produk-donor tunggal: sel darah merah,
trombosit atau konsentrat sel darah putih (karena kontaminasi dengan sel
darah merah residual), kriopresipitat, dan WRC. Transmisi dari donor
tunggal FFP belum dilaporkan. Penularan dari kriopresipitat jarang dan
cenderung mencerminkan persiapan transfusi.34
Tidak ada tes serologi dapat diandalkan tersedia sehingga fokus untuk
pencegahan tetap pada kepatuhan terhadap pedoman skrining donor yang
membahas riwayat perjalanan dan infeksi sebelumnya dengan agen etiologi.
Salah satu tujuan adalah mengembangkan tes yang mampu menyaring dan
mengidentifikasi donor berpotensi menular untuk infeksi parasit tanpa
menyebabkan penangguhan sejumlah besar donor non-menular atau secara
19
mual,
muntah,
dyspnea,
hipotensi,
perdarahan
difus,
hemoglobinuria, oliguria, anuria, nyeri di tempat infus, dan nyeri dada, nyeri
punggung, dan nyeri perut. Dengan komplikasi yang dapat terjadi anemia
yang signifikan, gagal ginjal akut, koagulasi intravaskular diseminata,
hemodialisa, dan kematian sekunder komplikasi.28
Kejadian yang sebenarnya dari reaksi transfusi hemolitik akibat
inkompatibilitas ABO tidak diketahui. Insiden reaksi hemolitik akut adalah
sekitar 1-5 per 50.000 transfusi. Dari tahun 1996 sampai 2007, terdapat 213
transfusi sel darah merah yang inkompatibilitas ABO dengan 24 kematian.
Dalam laporan 2008 oleh Janatpour, inkompatibilitas ABO diperkirakan
mencapai 1:38,000 sampai 1:100.000 transfusi, dan risiko kematian akibat
hemolitik akut adalah 1:1,5 juta. 8,28
2. Reaksi Transfusi Hemolitik Tertunda(Delayed hemolytic transfusion
reactions)
Delayed hemolytic transfusion reactions (DHTR) terjadi 3-10 hari
setelah transfusi sel darah merah yang tampaknya kompatibel secara
serologis. Reaksi ini terjadi pada pasien yang telah alloimmunized terhadap
antigen sel darah merah kecil selama transfusi dan/atau kehamilan
sebelumnya,
alloantibodies ini karena titer yang rendah. Setelah paparan ulang antigen
sel darah merah yang positif, respon anamnestic terjadi, dengan peningkatan
pesat dalam titer antibodi. Penurunan kelangsungan hidup sel darah merah
21
pernapasan. Onset adalah selama, atau beberapa jam setelah, transfusi dan
tingkat keparahan reaksi tergantung pada beban leukosit dan tingkat
transfusi. 33
Biasanya, demam sembuh dalam 15-30 menit tanpa pengobatan khusus.
Jika demam menyebabkan ketidaknyamanan, acetaminophen oral (325-500
mg) dapat diberikan. Hindari aspirin karena efek samping yang
berkepanjangan pada fungsi trombosit. Kontroversi yang ada dalam literatur
saat ini pada apakah transfusi harus dihentikan; Namun, ada konsensus
bahwa tingkat transfusi hanya dikurangi.33
C. Sindrom acute lung injury (Transfusion-Related Acute Lung Injury/
TRALI)
Transfusion-Related Acute Lung Injury pertama kali dikemukakan oleh
Brittingham pada tahun 1957, yaitu hubungan antara gejala cedera paruparu akut atau Acute Lung Injury (ALI), transfusi dan leukoagglutinins
didalam komponen darah. Tiga dekade lalu, TRALI dianggap sebagai
komplikasi yang jarang pada transfusi. Namun saat ini, FDA mengakui
sebagai suatu sindrom dengan penyebab utama kematian terkait transfusi,
dengan kejadian 43% dari semua reaksi transfusi fatal antara 2007 dan 2011.
37
23
24
25
BAB IV
PENUTUP
4.1. Kesimpulan
1. Transfusi darah merupakan pemberian darah atau komponen darah dari
satu individu (donor) ke individu lainnya (resipien), dengan tujuan
terapeutik.
2. Macam-macam bentuk sediaan darah dan komponen darah yaitu darah
lengkap, sel darah merah, trombosit, granulosit feresis, plasma segar beku
dan kriopesipitat. .
3. Transfusi darah tidak hanya ditentukan oleh kadar darah yang rendah,
namun harus didukung dengan keadaan klinis, seperti perdarahan, keadaan
kardiovaskular, dan volume intravaskular
4. Transfusi darah dan komponen darah lain dapat memberikan reaksi
transfusi dari yang paling ringan sampai yang paling berat hingga
kematian.
5. Dalam meminimalkan risiko transfusi perlu dilakukan skrining terhadap
semua darah donor dan resipien, serta dilakukan uji kompatibilitas.
4.2. Saran
Dalam menghindari terjadi reaksi transfusi, perlu dilakukan transfusi
darah yang sesuai dengan indikasi transfusi darah dan komponen darah yang
tepat.
26
DAFTAR PUSTAKA
http://www.who.int/bloodsafety/clinical_use/en/Handbook_EN
29
35. Choat JD, Maitta RW, Tormey CA, et al. Transfusion reactions to blood
and cell therapy products. In: Hoffman R, Benz EJ Jr, Silberstein LE,
Heslop HE, Weitz JI, eds. Hematology: Basic Principles and Practice. 6th
ed. Philadelphia, PA: Saunders Elsevier 2012:120.
36. Josephson C. Delayed hemolytic transfusion reactions. In Transfusion
Medicine and Hemostasis (Second Edition). Elseviers Science &
Technology 2013; 12: 40912.
37. Vlaar A, Juffermans N. Transfusion-related acute lung injury: A clinical
review. The Lancet 2013; 382: 984-994.
38. Sparrow
R.
Red
blood
cell
storage
and
transfusion-related
30