PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dalam rangka kegiatan belajar mandiri terarah, dilaksanakan sebuah program
Problem Based Learning. Pada kegiatan ini, mahasiswa diarahkan untuk
memperdalam bahan yang dipelajarinya dalam bentuk pembahasan sebuah kasus.
Oleh sebab itulah makalah ini dibuat untuk menunjang proses belajar mahasiswa.
1.2 Tujuan
Makalah ini dibuat untuk membahas sejumlah bahan maupun bagian yang
perlu diperhatikan lebih dalam dari kasus yang diberikan, yaitu kasus mengenai
dermatitis atopik.
1.3 Manfaat
Penulis berharap, makalah ini bisa bermanfaat untuk menjadi referensi dalam
persiapan pleno program Problem Based Learning yang akan datang.
BAB II
ISI
1
Dermatitis atopic (DA) ialah keadaan peradangan kulit kronis dan residif, disertai
gatal, yang umumnya sering terjadi selama masa bayi dan anak-anak, sering
berhubungan dengan peningkatan kadar IgE dalam serum dan riwayat atopi pada
keluarga atau penderita (DA, rhinitis alergik, dan atau asma bronchial). Kelainan kulit
berupa papul gatal, yang kemudian mengalami ekskoriasi dan likenifikasi,
distribusinya di lipatan (fleksural).1-4
Kata atopi pertama kali diperkenalkan oleh COCA (1923), yaitu istilahyang dipakai
untuk sekelompok penyakit pada individu yang mempunyai riwayat kepekaan dalam
keluarganya. Misalnya: asma bronchial, rhinitis alergik, dermatitis atopic, dan
konjungtivitis alergik. 1-4
Anamnesis
-
Riwayat keluarga
Pernah diobati/tidak
Gatal/tidak
Merah/tidak
Bersisik/tidak
Sakit/panas
Bau/tidak
Sinonim
Banyak istilah lain dipakai sebagai sinonim DA ialah ekzema atopic, ekzema
konstitusional, ekzema fleksural, neurodermitis diseminata, prurigo Besnier. Tetapi,
yang paling sering digunakan ialah dermatitis atopik. 1-4
Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik dilihat kondisi kulit pasien. Lesi yang ada di kulit pasien.
Pemeriksaan Penunjang
IgE serum
IgE serum dapat diperiksa dengan metode ELISA. Ditemukan 80 % pada penderita
dermatitis atopik menunjukkan peningkatan kadar IgE dalam serum terutama bila
disertai gejala atopi ( alergi ). 3-4
Eosinofil
Kadar serum dapat ditemukan dalam serum penderita dermatitis atopik. Berbagai
mediatore berperan sebagai kemoatraktan terhadap eosinofil untuk menuju nke tempat
peradangan dan kemudian mengeluarkan berbagai zat antara lain Major Basic Protein
(MBP). Peninggian kadar eosinofil dalam darah terutama pada MBP. 3-4
TNF-a
Konsentrasi plasma TNF-a meningkat pada penderita dermatitis atopik dibandingkan
penderita asma bronkhial.3-4
Sel T
Limfosit T di daerah tepi pada penderita dermatitis atopik mempunyai jumlah absolut
yang normal atau berkurang. Dapat diperiksa dengan pemeriksaan imunofluouresensi
terlihat aktifitas sel T-helper menyebabkan pelepasan sitokin yang berperan pada
patogenesis dermatitis atopik. 3-4
Uji tusuk
Pajanan alergen udara (100kali konsentrasi) yang dipergunakan untuk tes intradermal
yang dapat memacu terjadinya hasil positif. 3-4
3
antigen, akan terjadi dermatitis alergik, IgE dalam serum meningkat, eosinofilia
saluran napas, dan respons berlebihan terhadap metakolin, hal tersebut menguatkan
dugaan bahwa pajanan allergen pada DA akan mempermudah timbulnya asma
bronkial. 1-5
Faktor Genetik
DA adalah penyakit dalam keluarga dimana pengaruh maternal sangat besar.
Walaupun banyak gen yang nampaknya terkait dengan penyakit alergi, tetapi yang
paling menarik adalah peran Kromosom 5 q31 33 karena mengandung gen penyandi
IL3, IL4, IL13 dan GM CSF (granulocyte macrophage colony stimulating factor)
yang diproduksi oleh sel Th2. Pada ekspresi DA, ekspresi gen IL-4 juga memainkan
peranan penting. Predisposisi DA dipengaruhi perbedaan genetik aktifitas transkripsi
gen IL-4. Dilaporkan adanya keterkaitan antara polimorfisme spesifik gen kimase sel
mas dengan DA tetapi tidak dengan asma bronchial ataupun rinitif alergik. Serine
protease yang diproduksi sel mast kulit mempunyai efek terhadap organ spesifik dan
berkontribusi pada resiko genetik DA. 1-5
TH2 memori di kulit atopi, jug abermigrasi ke kelenjar getah bening setempat untuk
menstimulasi sel T naive sehingga jumlah sel TH2 bertambah banyak. 1-5
SL pada kulit normal mempunyai tiga macam reseptor untuk IgE, yaitu FcRI, FcRII
(CD23) dan IgE-binding protein. Reseptor FcRI mempunyai akfinitas kuat untuk
mengiakt IgE. IgE terikat pada SL melalui reseptor spesifik FcRI pada permukaan
SL. Pada orang normal dan penderita alergi saluran napas kadar ekspresi FcRI di
permukaan Slnya rendah, sedangkan di lesi ekzematosa DA tinggi. Ada korelasi
antara ekspresi permukaan FcRI dan kadar IgE dalam serum. Selain pada SL,
reseptor IgE dengan afinitas tinggi (FcRI) juga ditemukan pada permukaan sel mast
dan monosit. 1-5
Kadar seramid pada kulit penderita DA berkurang sehingga kehilangan air
(transepidermal water loss=TEWL) melalui epidermis dipermudah. Hal ini
mempercepat absorbsi antigen ke dalam kulit. Sebagaimana diketahui bahwa
sensitisasi epikutan terhadap alergen menimbulkan respons TH2 yang lebih tinggi
daripada melalui sistemik atau jalan udara, maka kulit yang terganggu fungsi
sawarnya merupakan tempat yang sensitif. 1-5
Respons Sistemik
Jumlah IFN- yang dihasilkan oleh sel mononuclear darah tepi penderita DA
menurun, sedangkan konsentrasi IgE dalam serum meningkat. IFN- menghambat
sintesis IgE, proliferasi sel TH2 dan ekspresi reseptor IL-r pada sel T. sel T spesifik
untuk allergen di darah tepi meningkat dan memproduksi IL-4, IL-5, IL-13 dan sedikit
IFN-. IL-4 dan IL-13 merupakan sitokin yang meninguksi transkripsi pada ekson C
sehingga terjadi pembentukkan IgE. IL-4 dan IL-13 juga menginduksi ekspresi
molekul adesi permukaan pembuluh darah, misalnya VCAM-1, infiltrasi eosinofil dan
menurunkan fungsi sel TH1. 1-5
Sel monosit di darah tepi penderita DA diaktivasi, mempunyai insidens apoptosis
spontan rendah, tidak responsif terhadap induksi apoptosis IL-4. Hambatan apoptosis
ini disebabkan oleh meningkatnya produksi GM_CSF oleh monosit yang beredar pada
DA. 1-5
7
Eosinofilia
TDR, sedangkan pada penderita asma bronkial hanya 42%. Derajat sensitisasi
terhadap aeroalergen berhubungan langsung dengan tingkat keparahan DA. 1-5
Penderita DA cenderung mudah terinfeksi oleh bakteri, virus, dan jamur karena
imunitas selular menurun (aktivitas TH1 berkurang). Pada lebih dari 90% lesi kulit
penderita DA ditemukan S. Aureus, sedangkan pada orang normal hanya 5%. Jumlah
kolono S.aureus pada lesi inflamasi kulit penderita DA dapat mencapai 107 per cm2,
namun tidak ada tamda klinis superinfeksi. Akan tetapi bila diobati dengan kombinasi
antibiotika dan kortikosteroid topikal, hasilnya lebih baik dibandingkan kalau hanya
dengan kortikosteroid topikal saja. S.aureus melepaskan toksin yang bertindak
sebagai superantigen (misalnya : enterotoksin A, B, dan toxic shock syndrome toxine
-1) yang menstimulasi aktivasi sel T dan makrofag. Sebagian besar penderita DA
membuat antibodi IgE spesifik terhadap superantigen stafilokokis yang ada di kulit.
Apabila ada superantigen menembus sawar kulit yang terganggu, akan menginduksi
IgE spesifik, dan degranulasi sel mast, kejadian ini akan memicu siklus gatal-garuk
yang akan menimbulkan lesi dikulit penderita DA. Superantigen jug ameningkatkan
sintesis IgE spesifik dan menginduksi resistensi kortikosteroid, sehingga
memperparah DA. 1-5
Gambaran Klinis
Klinik penderita DA umumnya kering, pucat/redup, kadar lipid di epidermis
berkurang, dan kehilangan air lewat epidermis meningkat. Jari tangan teraba dingin.
Penderita DA cenderung tipe astenik, dengan inteligensia di atas rata-rata, sering
merasa cemas, egois, frustasi, agresif, atau merasa tertekan. 1,3,4,6,7
Gejala utama DA ialah (pruritus), dapat hilang timbul sepanjang hari, tetapi umumnya
lebih hebat pada malam hari. Akibatnya penderita akan menggaruk sehingga timbul
bermacam-macam kelainan di kulit berupa papul, likenifikasi, eritema, erosi,
ekskoriasi, eksudasi dan krista. 1,3,4,6,7
Imunohistologi
Gambaran histopatologi DA tidak spesifik. Lesi akut atau awal ditandai dengan
spongiosis eksositosis limfosit T, jumlah SL meningkat. Dermis : edema, bersebukan
sel radang terutama limfosit T, makrofag, sel mas jumlahnya masih dalam batas
normal, tetapi dalam keadaan degranulasi. Sebagian besar limfosit adalah T-CD4+,
dan hanya sedikit sel T-CD8+. Kebanyakan sel T di kulit mengekspresi CLA, penting
untuk homing sel T di kulit. Sebagian besar sel T pada kulit DA juga mengekspresi
CD45RO pada permukaanya, menandakan bahwa sel tersebut adalah sel memori yang
sebelumnya pernah bertemu antigen. Pembuluh darah kulit pada DA menunjukkan
peningkatan ekspresi molekul adesi E-selektin, VCAM-1, dan ICAM-1 pada sel
endotel. Molekul ini penting untuk memfasilitasi masuknya sel radang yang berasal
dari sumsum tulang di dalam sirkulasi masuk ke kulit. 1-4,6,7
Lesi kronis DA menunjukkan hiper keratosis dan akantosis. Dermis bersebukan sel
radang, terutama makrofag dan eosinofil. Eosinofil melepaskan major basic protein
dan eosinofil cationic protein ke dalam kulit dan sirkulasi. 1-4,6,7
Diagnosis
Berbagai kriteria diagnosis DA disusun oleh berbagai ahli ; Hanifin dan Rajka
telah menyusun kriteria dan kemudian diperbaharui oleh kelompok kerja Inggris di
koordinasi oleh William (1994). 1-4,6,7
Diagnosis DA ditegakkan bila mempunyai minimal 3 kriteria mayor dan 3 kriteria
Minor.1-4,6,7
Kriteria Mayor
-
Pruritus
Kriteria Minor
-
Xerosis
Pitiriasis alba
Keilitis
Konjungtivitis berulang
Keratokonus
Intolerans perifolikular
Kriteria mayor dan minor yang diusulkan oleh Hanifin dan Rajka didasarkan
pengalaman klinis. Kriteria ini cocok untuk diagnosis penelitian berbasis rumah sakit
(hospital based) dan eksperimental, tetapi tidak dapat dipakai pada penelitian berbasis
populasi, karena kriteria minor umumnya ditemukan pula pada kelompok kontrol,
disamping juga belum divalidasi terhadap diagnosis dokter atau diuji untuk
pengulangan (repeatability). Oleh karena itu kelompok kerja Inggris (UK working
party) yang dikoordinasi oleh William memperbaiki dan menyederhanakan kriteria
Hanifin dan Rajka menjadi satu set kriteria untuk pedoman diagnosis DA yang dapat
diulang dan divalidasi. Pedoman ini sahih untuk orang dewasa, anak, berbagai ras,
dan sudah dibalidasi dalam populasi, sehingga dapat membantu dokter Puskesmas
membuat diagnosis. 1-4,6,7
Pedoman diagnosis DA yang diusulkan kelompok tersebut yaitu :
-
Harus mempunyai kondisi kulit gatal (itchy skin) atau laporan dari
Diagnosis Banding
DA didiagnosis banding dengan dermatitis seboroik (terutama pada bayi), dermatitis
kontak, dermatitis numularis, skabies, iktiosis, psoriasis (terutama di daerah
palmoplantar), dematitis herpetiformis, sindrom Sezary dan penyakit Letterer-Siwe.
13
Pada bayi, DA dapat pula didiagnosis banding dengan sindrom Wiskott-Aldrich dan
sindrom hiper IgE. 1-4,6,7
Prognosis
Sulit meramalkannya karena adanya peran multifaktorial. Faktor yang berhubungan
dengan prognosis kurang baik, adalah :
- DA yang luas pada anak.
- Menderita rinitis alergika dan asma bronkiale.
-
Anak tunggal.
14
Kulit yang sehat boleh disabun dengan sabun khusus untuk kulit kering, tetapi jangan
terlalu sering agar lipid di kulit tidak banyak berkurang sehingga kulit tidak semakin
kering. Kulit diolesi dengan krim emolien, maksudnya membuat kulit tidak kaku dan
tidak terlalu kering. Pakaian jangan yang terbuat dari wol atau nilon karena dapat
merangsang, pakailah katun karena selain tidak merangsang juga dapat menyerap
keringat. Keringat akan menambah rasa gatal oleh karena itu pakaian jangan ketat;
ventilasi yang baik akan mengurangi keringat. 1-4,6,7
Hindarkan dari perubahan suhu dan kelembaban mendadak. Sebaiknya mandi dengan
air yang suhunya sama dengan suhu tubuh, akrena air panas maupun air dingin
menambah rasa gatal. 1-4,6,7
Upayakan tidak terjadi kontak dengan aeroalergen misalnya debu rumah
( mengandung Dermatophagoides ptreonyssimus), bulu binatang dan serbuk sari
karena dapat menyebabkan rasa gatal bertambah dan menyebabkan penyakit kambuh14,6,7
pemutih, dll)
Menghindarkan suhu yang terlalu panas dan dingin, kelembaban tinggi.
Menghindarkan aktifitas yang akan mengeluarkan banyak keringat.
Menghindarkan makanan-makanan yang dicurigai dapat mencetuskan DA.
Melakukan hal-hal yang dapat mengurangi jumlah TDR/agen infeksi, seperti
Stress emosional akan emmudahkan penyakit menjadi kambuh, oleh karena itu
hendaknya dihindari atau dikurangi. 1-4,6,7
15
Pengobatan Topikal
Hidrasi kulit.
Kulit penderita DA kering dan fungsi sawarnya berkurang, mudah retak sehingga
mempermudah masuknya mikororganisme pathogen, bahan iritan dan allergen. Pada
kulit yang demikian perlu diberikan pelembab, misalnya krim hidrofilik urea 10%;
dapat pula ditambahkan hidrokortison 1% didalamnya. Bila memakai pelembab yang
mengandung asam laktat, konsentrasinya jangan lebih dari 5% karena dapat
mengiritasi bila dermatitisnya masih aktif. Setelah mandi kulit di lap, kemudian
memakai emolien agar kulit tetap lembab. Emolien dipakai beberapa kali sehari,
karena lama kerja maksimum 6 jam. 1,2
Kortikosteroid topikal.
Pengobatan DA dengan kortikosteroid topikal adalah yang paling sering digunakan
sebagai anti-inflamasi lesi kulit. Namun demikian harus waspada karena dapat terjadi
efek samping yang tidak diinginkan. 1,2
Pada bayi digunakan salep steroid berpotensi rendah, misalnya hidrokortison 1-2,5%.
Pada anak dan dewasa dipakai steroid berpotensi menengah, misalnya triamsinolon,
kecuali pada muka digunakan steroid berpotensi lebih rendah. Kortikosteroid
berpotensi rendah juga dipakai daerah genitalia dan intertriginosa, jangan di gunakan
yang berpotensi kuat, misalnya fluorinated glucocorticoid. Bila aktivitas penyakit
telah terkontrol, dipakai secara intermiten, umumnya 2 kali seminggu, untuk menjaga
agar tidak cepat kambuh; sebaiknya dengan kortikosteroid yang potensinya paling
rendah. 1,2
Pada lesi akut yang basah dikompres dahulu sebelum digunakan teroid, misalnya
dengan larutan Burowi atau dengan larutan permanganas kalikus 1:5000. 1,2
Imunomodulator Topikal
Takrolimus.
16
17
Preparat ter.
Preparat ter mempunyai efek antipruritus dan anti-inflamasi pada kulit. Dipakai pada
lesi kronis, jangan pada lesi akut. Sediaan dalam bentuk salep hidrofilik, misalnya
yang mengandung likuor karbonis detergen 5% sampai 10%, atau crude coal tar 1%
sampai 5%.1,2
Antihistamin.
Pengobatan DA dengan antihistamin topikal tidak dianjurkan karena berpotensi kuat
menimbulkan sensitisasi pada kulit. Dilaporkan bahwa aplikasi topikal krim doksepin
5% dalam jangka pendek (satu minggu), dapat mengurangi gatal tanpa terjadi
sensitisasi. Tetapi perlu diperhatikan, bila dipakai pada area yang luas akan
menimbulkan efek samping sedatif. 1,2
Pengobatan Sistemik
Kortikosteroid.
Kortikosteroid sistemik hanya digunakan untuk mengendalikan eksaserbasi akut,
dalam jangka pendek, dan dosis rendah, diberikan berselang-seling (alternate), atau
diturunkan bertahap (tapering), kemudian segera diganti dengan kortikosteroid
topikal. Pemakaian jangka panjang menimbulkan berbagai efek samping dan bila di
hentikan lesi yang lebih berat akan muncul kembali. 1,2
Antihistamin.
Antihistamin digunakan untuk mengurangi rasa gatal yang hebat, terutama malam
hari, sehingga mengganggu tidur. Oleh karena itu antihistamin yang dipakai ialah
yang mempunyai efek sedatif, misalnya hidroksisin atau difenhidramin. Pada kasus
yang lebih sulit dapat diberikan doksepin hidroklorid yang mempunyai efek
antidepresan dan memblokade reseptor histamin H1 dan H2, dengan dosis 10 sampai
75mg secara oral malam hari pada orang dewasa. 1,2
Anti-infeksi.
Pada DA ditemukan peningkatan koloni S,aureus. Untuk yang belum resisten dapat
diberikan eritromisin, asitromisin atau, klaritomisin, sedang untuk yang sudah resisten
diberikan dikloksasilim, oksasilin, atau generasi pertama sefalosporin.
18
Terapi Sinar
Untuk DA yang berat dan luas dapat digunakan PUVA (photochemotheraphy) seperti
yang dipakai pada psoriasis. Terapi UVB, atau Goeckerman dengan UVB dan ter juga
efektif. Kombinasi UVB dan UVA lebih baik daripada hanya UVB. UVA bekerja pada
sel langerhans dan eosinofil, sedangkan UVB mempunyai efek imunosupresif dengan
cara memblokade fungsi sel langerhans dan mengubah produksi sitokin keratinosit. 1-2
Pencegahan
Cara yang paling baik dan juga paling mudah adalah dengan cara menghilangkan atau
menghindari alergen.
19
BAB III
Penutup
Kesimpulan
Hipotesis benar. Dermatitis atopik dapat ditimbulkan karena adanya faktor genetik.
20
DAFTAR PUSTAKA
1. Sularsito SA, Djuanda S. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Ed 6.
DERMATITIS. Jakarta: FKUI. 2010.
2. Widodo Grace C. Skin & Integumen. DERMATITIS ATOPIK. Jakarta:
UKRIDA. 2011.
3. Brown Graham Robin, Burns Tony. Dermatologi. Ed 8. Jakarta: Erlangga.
4.
5.
6.
7.
2005.
Siregar RS. Saripati Penyakit Kulit. Ed 2. Jakarta: EGC. 2004.
Corwin EJ. Buku Saku Patofisiologi. Ed 3. Jakarta : EGC. 2007.
Isselbacher, dkk. Harrison. Ed 13. Jakarta: EGC. 1999.
Behman, Kliegman, Nelson Arvin. Ilmu Kesehatan Anak Nelson. Ed 15.
Jakarta: EGC. 2000.
21