Anda di halaman 1dari 34

BAB I

PENDAHULUAN

Pengelolaan anestesi diawali dengan persiapan preoperative psikologis, dan bila perlu
pengobatan preoperative. Beberapa macam obat dapat diberikan sebelum dimulainya operasi.
Obat-obat tersebut disesuaikan dengan pasien. Seorang ahli anestesi penting kiranya untuk
menyadari pentingnya mental dan kondisi fisik selama visit preoperatif. Sebab hal tersebut
dapat mempengaruhi obat-obat preanestesi. Persiapan yang buruk akan mengakibatkan hasil
yang buruk setelah operasi.
Tidak ada suatu kesepakatan muncul untuk obat-obat premedikasi, sebagian besar digunakan
sebagai tradisi seiring dengan kemajuan teknik dan obat-obat premedikasi. Salah satu alas an
obat-obat tersebut sebagai bagian dari tradisi adalah beberapa obat anestesi akan mencapai
tujuan yang sama. Namun satu hal yang jelas ialah, seorang penderita yang masuk kamar
operasi harus terhindar dari rasa cemas, dan beberapa tujuan khusus telah dicapai melalui
obat2 preoperatif.

BAB II
PEMBAHASAN
Obat premedikasi adalah pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi anesthesia dengan
tujuan untuk melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari anestesia.(2)
Adapun cara pemberian obat-obat premedikasi adalah (2):
1. Oral. Cara ini paling mudah, tidak nyeri dan dapat diandalkan. Sebagian besar obat
diabsorbsi di usus halus bagian atas. Beberapa obat dihancurkan oleh asam lambung.
Sebelum obat masuk sirkulasi sistemik, obat harus melewati sirkulasi portal dan
apabila obat dimetabolisme oleh hepar efeknya akan berkurang dan ini dikenal sebagai
efek sirkulasi portal. Dengan sendirinya dosis oral harus lebih besar dari dosis
intramuscular, contohnya petidin, dopamine dan propranolol.
2. Intramuskular. Metode ini sangat popular karena teknik mudah, relative aman karena
kadar plasma tidak mendadak tinggi. Keburukannya adalah absorbs kadang-kadang di
luar perkiraan menimbulkan nyeri dibenci anak-anak dan beberapa obat bersifat iritan.
3. Subkutan. Metoda ini jarang digunakan dalam praktek anestesia.
4. Intravena.
-

Bolus, kekurangan cara ini ialah lajak takar ( overdosis ) sering terjadi, terutama
pada obat-obat dengan indeks terapetik sempit. Setelah pemberian intravena dosis
tidak dapat dikurangi. Rekomendasi penghasil obat dalam hal ini sering
mengejutkan, bahwa obatnya harus diberikan secara intravena dalam waktu 1-2
menit

Infus. Dapat diberikan secara perlahan dengan laju tetap misalnya pelumpuh otot,
analgetika.

5. Supositoria.

Dengan kemajuan teknik anestesia sekarang, tujuan utama pemberian premedikasi


tidak hanya untuk mempermudah induksi dan mengurangi jumlah obat-obat yang digunakan,
akan tetapi terutama untuk menenangkan pasien sebagai persiapan anesthesia.
Kini obat premedikasi ringan banyak digunakan agar masa pulih setelah pembedahan
singkat. Selain itu ditekankan agar obat-obatan yang digunakan sesuai dengan kebutuhan
masing-masing pasien oleh karena kebutuhan tiap-tiap pasien berbeda.
Maksud dan tujuan premedikasi adalah(3) :
1. Menimbulkan rasa nyaman bagi pasien
- Menghilangkan rasa khawatir melalui
a. Kunjungan pre anestesi
b. Pengertian masalah yang dihadapi
c. Keyakinan akan keberhasilan operasi
- Memberikan ketenangan ( sedative ) berkurang
Sedative menyebabkan penurunan aktivitas mental sehingga imajinasi menjadi

2.
3.
4.
5.
6.

tumpul dan reaksi terhadap rangsang


- Membuat amnesia
- Mengurangi rasa sakit
- Mencegah mual dan muntah
Mempermudah atau memperlancar induksi
Mengurangi jumlah obat-obat anestetika
Menekan refleks-refleks yang tidak diinginkan
Mengurangi sekresi kelenjar saliva dan lambung
Mengurangi rasa sakit
Sekresi berlansung selama anastesia dan dapat diransang oleh tindakan seperti
penghisapan atau pemasangan pipa jalan nafas trakea. Anti kolinergik ini digunakan
untuk mengurangi sekresi bronkus sebelum anastesia.

Faktor-faktor yang mempengaruhi dosis obat (3) :


a. Usia: merupakan variable yang penting dalam kerja obat. Sesudah usia 40 tahun efek
narkotika dan sedatifa meninggi, karena rasa nyeri berkurang dengan peningkatan usia.
Fenomena ini disebabkan oleh karena penurunan kepekaan terhadap ransang sensorik

dengan pertambahan usia tidak hanya penurunan persepsi nyeri, tetapi juga penurunan
reflek jalan nafas.
b. Suhu: setiap kenaikan suhu 1 derajat F laju metabolism basal naik sebesar 7 %
c. Emosi: mungkin merupakan penyebab terbanyak kenaikan laju metabolisme basal pra
anesthesia. Takut dan ketegangan merupakan faktor utama dan keduanya meninggikan
kepekaan terhadap rasa nyeri.
d. Nyeri: laju metabolisme basal meningkat oleh karena rasa nyeri yang sebanding
dengan intensitas rasa nyeri.
e. Penyakit: pasien harus dinilai sehubungan dengan penyakit dan terapinya. Pada pasien
penyakit kronis seperti osteomielitis dengan gizi jelek morfin lebih mudah toksik,
karena hati tidak dapat mengolah morfin dosis besar. Pada pasien anemia pemakian
opiate atau obat depresan sebaiknya dosis dikurangi.
Adapun obat-obat yang sering diberikan sebagai premedikasi anestesi adalah sbb :
I.

Analgesik narkotik
I.1 Morfin
I.2 Petidin ( Meperidin, Demerol )
I.3 Fentanil

II.

Analgesik non narkotik


Keterolak

III.

Hipnotik sedatif
III.1 Ketamin ( Ketalar )
III.2 Tiopentone sodium ( Tiopental, Pentotal )
III.3 Diazepam ( Valium )
III.4 Midazolam
III.5 Propofol

III.6 Dehidrobenzperidon ( Droperidol )


IV.

Antiemetk
IV.1 Sulfas atropine
IV.2 Ondancentron

V.

Antipiretik
Phenergan

VI.

Antihipertensi
Klonidin HCL ( Catapres )

I.

Analgesik narkotik
Merupakan kelompok obat yang memiliki sifat-sifat seperti opium atau morfin.

Meskipun memperlihatkan berbagai efek farmakodinamik yang lain, golongan obat ini
terutama digunakan untuk meredakan atau menghilangkan rasa nyeri. Tetapi semua analgesic
opioid menimbulkan adiksi maka usaha untuk mendapatkan suatu analgesic yang ideal masih
tetap diteruskan. Yang temasuk golongan obat opioid adalah(1) :
1. Obat yang berasal dari opium morphin
2. Senyawa semi sintetik morphin
3. Senyawa yang berefek seperti morphin
Obat yang

mengantagonis efek opioid disebut antagonis opioid. Reseptor tempat

terikatnya opioid di sel otak disebut reseptor opioid. Opioid berinteraksi dengan inseptor
opioid untuk menimbulkan efeknya dan potensi analgesic tergantung pada afinitasnya
terhadap reseptor opioid spesifik. Terbukti terdapat berbagai jenis reseptor opioid di SSP dan
adanya berbagai jenis reseptor tersebut dapat menjelasan adanya berbagai efek opioid.
Reseptor (mu) memperantarai efek analgetik mirip morphin, euphoria, depresi nafas,
miosis, berkurangnya mutilitas saluran cerna. Reseptor k (kappa) diduga memperantarai
5

analgesia seperti yang ditimbulkan pentazosin, sedasi, serta miosis dan depresi nafas yang
tidak sekuat algonis (mu). Reseptor sigma berhubungan dengan efek psikotomimetik yang
ditimbulkan oleh pentazosin dan lain agonis antagonis. Reseptor delta yang selektif kepada
enkefalin dan reseptor epsilon yang sangat selektif terhadap beta endorphin tetapi tidak
mempunyai afinitas terhadap enkefalin. Atas dasar kerjanya pada reseptor opioid maka obatobat yang tergolong opioid dibagi menjadi :
1. Agonis opioid yaitu mengaktifkan reseptor, contohnya morfin, petidin, fentanyl.
2. Antagonis opioid, yaitu yang tidak memiliki aktifitas agonis pada semua reseptor
contohnya nalokson
3. Opioid dengan kerja campur
a. Agonis-antagonis opioid yaitu yang bekerja sebagai agonis pada beberapa reseptor
dan sebagai antagonis atau agonis lemah pada reseptor lain (nalorfin, pentazosin)
b. Agonis parsial (buprenorfin)
I.1 MORFIN
I.1.2 Farmakodinamik morfin(1) :
o Susunan syaraf pusat (SSP)
Narkosis. Efek morfin terhadap SSP berupa analgesia dan narkosis. Analgesia oleh
morfin dan opioid lain sudah timbul sebelum penderita tidur dan sering kali terjadi
tanpa disertai tidur. Morfin dosis kecil 5 sampai 10 mg menimbulkan euforia pada
penderita yang sedang menderita nyeri, sedih dan gelisah. Sebaliknya dosis yang sama
pada orang normal seringkali menimbulkan disforia berupa perasaan kawatir atau takut
disertai mual muntah. Morfin menimbulkan rasa kantuk, tidak dapat berkonsentrasi,
sukar berpikir, apatis, aktifitas motoric berkurang, ketajaman penglihatan berkurang
dan letargi, eksternitas rasa berat, badan terasa panas, muka gatal, mulut terasa kering,
depresi nafas dan miosis. Pemberian dosis terapi 15 20 mg morfin akan tertidur cepat
dan nyenyak disertai mimpi, nafas lambat dan miosis.
Analgesia. Efek analgetik timbul berdasarkan tiga mekanisme, yaitu (1) morfin
meninggikan ambang rasa nyeri (2) morfin dapat mempengaruhi emosi artinya dapat
mengubah reaksi yang timbul di korteks serebri pada waktu persepsi nyeri diterima
6

oleh korteks serebri dari thalamus. Setelah pemberian morfin penderita masih tetap
merasakan nyeri tetapi reaksi terhadap nyeri yaitu kawatir takut, reaksi menarik diri
tidak timbul. (3) morfin memudahkan tidur dan pada waktu tidur ambang rasa nyeri
meningkat.
Eksitasi. Morfin dan opioid lain sering menimbulkan mual dan muntah, sedangkan
delirium dan kinvulsi lebih jarang timbul. Factor yang dapat merubah efek eksitasi
morfin adalah idiosinkrasi dan tingkat eksitasi reflex SSP.
Miosis. Miosis ditimbulkan oleh perangsangan pada segmen otonom inti saraf
okulomotor. Miosis ini dapat dilawan oleh atropine. Morfin dalam dosis terapi
mempertinggi daya akomodasi dan menurunkan tekanan intraokuler, baik pada orang
normal maupun pada penderita glaucoma.
Depresi pernapasan. Morfin menimbulkan depresi napas secara primer dan
bersinambung berdasarkan efek langsung terhadap pusat napas di batang otak. Pada
dosis kecil morfin sudah menimbulkan depresi napas tanpa menyebabkan tidur atau
kehilangan kesadaran. Dosis toksis dapat menyebabkan frekuensi napas menjadi 3-4
kali/menit bahkan hamper sering menyebabkan kematian.
Mual dan muntah. Efek emetic morfin terjadi berdasarkan stimulasi langsung pada
emetic chemoreceptor trigger zone di area postrema medulla oblongata, bukan oleh
stimulasi pusat emetic sendiri. Derivate fenotiazin yang merupakan bloker dopamine
dapat mengatasi mual dan muntah akibat morfin.
o Saluran cerna
Lambung. Morfin menghambat sekresi HCl, tetapi efek ini lemah. Morfin
menyebabkan pergerakan lambung berkurang, tonus bagian antrum meninggi dan
motilitasnya berkurang sedangkan sfingter pylorus berkontraksi. Akibatnya pergerakan
isi duodenum diperlambat.
Usus halus. Morfin mengurangi sekresi empedu dan pancreas, dan memperlambat
pencernaan makanan di usus halus.
7

Usus besar. Morfin mengurangi atau menghilangkan gerakan propulsi usus besar,
meninggikan tonus dan spasme usus besar, akibatnya penerusan isi kolon diperlambat
dan tinja menjadi lebih keras.
o Sistem kardiovaskular
Pemberian morfin dosis terapi tidak mempengaruhi tekanan darah, frekuensi maupun
irama denyut jantung.perubahan yang terjadi adalah akibat efek depresi pada pusat
vagus dan pusat vasomotor yang baru terjadi pada dosis toksis. Tekanan darah turun
akibat hipoksia pada stadium akhir intoksikasi morfin. Penderita mungkin mengalami
hipotensi orthostatic, terutama akibat vasodilatasi perifer yang terjadi berdasarkan efek
langsung terhadap pembuluh darah kecil. Morfin dan opioid lain melepaskan histamine
yang merupakan factor penting dalam timbulnya hipotensi.

o Otot polos lain


Morfin menimbulkan peninggian tonus, amplitude serta kontraksi ureter dan kandung
kemih. Peninggian tonus otot detrusor menimbulkan rasa ingin miksi, tetapi karna
sfingter juga berkontraksi maka miksi sukar.
o Kulit
Dalam dosis terapi morfin menyebabkan pelebaran pembuluh darah kulit, sehingga
kulit tampak merah dan terasa panas gterutama di flush area. Keadaan tersebut
mungkin sebagian disebabkan oleh terjadinya pelepasan histamine oleh morfin dan
seringkali disertai oleh kulit yang berkeringat.
o Metabolisme
Morfin menyebabkan suhu badan turun akibat aktivitas otot yang menurun,
vasodilatasi perifer dan penghambat mekanisme neural di SSP. Kecepatan metabolism
8

dikurangi oleh morfin. Hiperglikemia timbul tidak tetap akibat penglepasan adrenalin
yang menyebabkan glikogenolisis. Setelah pemberian morfin volume urin berkurang,
disebabkan merendahnya laju filtrasi glomerulus, alir darah ginjal dan penglepasan
ADH.
I.1.3 Farmakokinetik(1)
Morfin tidak dapat menembus kulit utuh, tetapi dapat diabsorbsi melalui kulit luka.
Morfin juga dapat menembus mukosa. Morfin dapat diabsorbsi usus, tetapi efek analgetik
setelah pemberian oral jauh lebih rendah daripada efek analgetik yang timbul setelah
pemberian parenteral dengan dosis yang sama. Mula kerja suntikan IV semua alkaloid opioid
sama cepat. Setelah pemberian dosis tunggal, sebagian morfin mengalami konjugasi dnegan
asam glukuronat di hepar, sebagian dikeluarkan dalam bentuk bebas dan 10% tidak diketahui
nasibnya. Ekskresi morfin terutama melalui ginjal. Sebagian kecil morfin bebas ditemukan
dalam tinja dan keringat.
I.1.3 Efek samping utama(4)
Kardiovaskuler : hipotensi, hipertensi, bradikardi, aritmia, kekakuan dinding dada
Pulmoner : bronkospasme, laringospasme
SSP : penglihatan kabur, sinkope, euphoria, disforia
GU : retensi urin, efek antideuretik, spasme ureter
GI : spasme traktus biliaris, konstipasi, anoreksia, mual, muntah, penundaan pengosongan
lambung.
Mata : miosis
Muskuloskeletal : kekakuan dinding dada
Alergik : pruritus. urtikaria
I.1.4 Penggunaan(2)

Pada premedikasi sering dikombinasikan dengan atropine dan fenotiasin. Dosis anjuran
untuk menghilangkan atau mengurangi nyeri sedang ialah 0,1-0,2 mg/kgBB. Subkutan,
intramuscular dan dapat diulang tiap 4 jam. Untuk nyeri hebat dewasa 1-2mg intravena dan
dapat diulang sesuai yang diperlukan. Untuk mengurangi nyeri dewasa pasca bedah atau nyeri
persalinan digunakan dosis 2-4mg epidural atau 0,05-0,2 mg intratekal. Dan dapat diulang
antara 6-12jam.
I.2 PETIDIN (Meperidin, Demerol)
Adalah zat sintetik yang formulanya sangat berbeda dengan morfin , tetapi mempunyai
efek klinik dan efek samping yang mendekati sama.
I.2.1 Farmakodinamika(4)
Opioid sinbtetik ini mempunyai kekuatan kira-kira sepersepuluh morfin dengan awitan
yang sedikit lebih cepat dan lama aksi yang lebih pendek. Dibandingkan dengan morfin,
meperidin lebih efektif pada nyeri neuropatik. Meperidin mempunyai efek vagolitik dan
antispasmodic ringan. Dapat menimbulkan hipotensi orthostatic pada dosis terapeutik. Pada
pemberian yang lama dapat terjadi akumulasi (>3hari).meperidin menurunkan aliran darah ke
otak, kecepatan metabolic otak dan tekanan intracranial. Meperidin melawati sawar plasenta
dan dapat menimbulkan depresi pada neonatus. Bersifat atropine menyebabkan kekeringan
mulut, kekaburan pandangan dan takikardi. Petidin cukup efektif untuk menghilangkan
gemetaran pasca bedah yang tidak ada hubungannya dengan hipotermi. Tidak seperti opiate
lainnya, meperidin mempunyai aktifitas anestetik lokal yang poten dan analgesia
epidural/spinal disertai dengan blockade sensorik, motoric dan otonomik. Tidak digunakan
sebagai anestetik lokal karena adanya iritasi lokal.
I.2.2 Farmakokinetik(1)
Absorbsi meperidin setelah cara pemberian apapun berlangsung baik. Akan tetapi
kecepatan absorbs mungkin tidak teratur setelah suntikan i.m. kadar puncak dalam plasma
biasanya dicapai 45 menit dan kadar yang dicapai sangat bervariasi tiap individu. Metabolisme
meperidin berlanmgsung di hati. Pada manusia meperidin mengalami hidrolisis menjadi asam

10

meperidinat yang kemudian sebagian mengalami konjugasi. Meperidin dalam bentuk utuh
sangat sedikit ditemukan di dalam urin.
I.2.3 Efek samping utama
Kardiovaskular : hipotensi, henti jantung
Pulmoner : depresi pernapasan, henti napas, laringospasme,
SSP : euphoria,disforia, sedasi, kejang, ketergantungan psiskis
GI : konstipasi, spasme traktus biliaris
Muskuloskelet : kekakuan dinding dada
Alergik : pruritus, urtikaria
I.2. 4 Penggunaan(2)
Dosis petidin intramuscular 1-2 mg/kgBB (morfin 10x lebih kuat) dapat diulang tiap 34jam. Dosis intravena 0,2-0,5 mg/kgBB. Petidin subkutan tidak dianjurkan karena iritasi.
Rumus bangun menyerupai lidokain, sehingga dapat digunakan untuk analgesia spinal pada
pembedahan dengan dosis 1-2 mg/kgBB.
I.3 FENTANIL (1) (4)
I.3.1 Farmakodinamika
Turunan fenilpiperidin ini merupakan agonis opioid poten. Sebagai suatu analgesic,
fentanyl 75-125x lebih poten disbanding morfin. Awitan yang cepat dan lama aksi yang
singkat mencerminkan kelarutan lipid yang lebih besar dari fentanyl dibandingkan dengan
morfin. Dimetabolisir oleh hati dengan N-dealkilasi dan hidroksilasi dan sisa metabolismenya
dikeluarkan lewat urin. Depresi dari ventilasi tergantung pada dosis dan dapat berlasung lebih
lama disbanding analgesia. Stabilitas kardiovaskuler dipertahankan walaupiun dalam dosis
besar saat diguhnakan sebagai anestetik tunggal. Aliran darah otak, kecepatan metabolism
otak. Dan tekanan intracranial menurun. Fentanyl (dan opioid lain) meningkatakan aksi
anestetik lokal pada blok saraf tepi. Keadaan sebagaian disebabkan oleh sifat anestetik lokal
11

yang lemah (dosis yang tinggi menekan hantaran saraf) dan efeknya terhadap reseptor opiate
pada terminal saraf tepi. Fentanil dikombinasi dengan droperidol untuk menimbulkan
neuroleptanalgesia.
Efek depresi napasnya lebih lama dibanding dengan efek analgesiknya. Dosis 1-3
g/kgBB analgesinya kira-kira hanya berlangsung 30 menit, karena itu hanya dipergunakan
untuk anesthesia pembedahan dan tidak untuk pasca bedah.
Dosis besar 50-150 g/kgBB digunakan untuk induksi nestesia dan pemeliharan
anesthesia dengan kombinasi benzodiasepin dan anestetik inhalasi dosis rendah, pada
pembedahan jantung. Efek tidak disukai adalah kekakuan otot punggung yang sebenarnya
dapat dicegah dengan pelumpuh otot. Dosis besar dapat mencegah peningkatan kadar gula,
katekolamin plasma, ADH, renin, aldosterone dan kortisol.
I.3.2 Farmakokinetik
Efek kerja intravena dalam 30 detik dan lama kerja 30-60 menit. Efek mendrepesi
sirkulasi dan ventilasi dipotensiasi oleh narkotik, sedative, anestetik volatile, oksidanitrosa.
Efek mendepresi ventilasi dipotensiasi oleh amfetamin, inhibitor MAO, fenotiazin, dan
antidepresan trisiklik. Analgesia ditingkatkan dan diperpanjang oleh agonis alfa-2 (epinefrin
dan klonidin). Kekakuan otot pada dosis yang lebih tinggi cukup untuk mengganggu ventilasi.
Penambahan epinefrin pada fentanyl intratekal atau epidural menimbulkan peningkatan efek
samping contohnya mula dan memperpanjang blok motorik.
I.3.3 Efek samping utama
Kardiovaskuler : hipotensi, bradikardi
Pulmoner : depresi pernapasan, apnu
SSP : pusing, penglihatan kabur, kejang
GI : mual, emesis, pengosongan lambung tertunda, spasme traktus biliaris
Mata : miosis

12

Musculoskeletal : kekakuan otot


I.3.4 Penggunaan
Efek depresi napasnya lebih lama dibandingkan dengan efek analgesianya. Dosis 13g/kgBB analgesianya kira-kira berlangsung 30 menit, karena itu hanya dipergunakan untuk
anesthesia pembedahan dan tidak untuk pasca bedah. Dosis besar 50-150 g/kgBB digunakan
untuk induksi anesthesia dan pemeliharaan anesthesia dengan kombinasi benzodiazepine dan
anestetik inhalasi dosis rendah.
Analgesik non narkotik (1)

II.

Banyak obat memiliki sifat analgetik yang tidak berkaitan dengan reseptor opioid
misalnya acetaminophen dan NSAID. Golongan ini dianggap kurang meyakinkan untuk
mengurangi rasa nyeri. Golongan analgetik opioid ini digunakan sebagai tambahan
penggunaan opioid dosis rendah untuk menghindari efek samping opioid yang berupa depresi
pernapasan. Golongan ini bersifat antiinflamasi juga bersifat antipiretik dan anti pembekuan
darah.
Obat anti-inflamasi nonstreoid (OAINS) merupakan kelompok obat yang paling
banyak dikonsumsi di seluruh dunia untuk mendapatkan efek analgetika, antipiretika, dan antiinflamasi. OAINS merupakan pengobatan dasar untuk mengatasi peradangan-peradangan di
dalam dan sekitar sendi seperti lumbago, artralgia, osteoartritis, artritis reumatoid, dan gout
artritis. Disamping itu, OAINS juga banyak pada penyakit-penyakit non-rematik, seperti kolik
empedu dan saluran kemih, trombosis serebri, infark miokardium, dan dismenorea.
OAINS merupakan suatu kelompok obat yang heterogen, bahkan beberapa obat sangat
berbeda secara kimia. Walaupun demikian, obat-obat ini mempunyai banyak persamaan dalam
efek terapi maupun efek samping. Prototip obat golongan ini adalah aspirin, karena itu OAINS
sering juga disebut sebagai obat-obat mirip aspirin (aspirin-like drug). Aspirin-like drugs
dibagi dalam lima golongan, yaitu:

Salisilat dan salisilamid, derivatnya yaitu asetosal (aspirin), salisilamid, diflunisal

13

Para aminofenol, derivatnya yaitu asetaminofen dan fenasetin

Pirazolon, derivatnya yaitu antipirin (fenazon), aminopirin (amidopirin), fenilbutazon


dan turunannya

Antirematik nonsteroid dan analgetik lainnya, yaitu asam mefenamat dan


meklofenamat, ketoprofen, ibuprofen, naproksen, indometasin, piroksikam, dan
glafenin

Obat pirai, dibagi menjadi dua, yaitu (1) obat yang menghentikan proses inflamasi
akut,

misalnya

kolkisin,

fenilbutazon,

oksifenbutazon,

dan

(2)

obat

yang

mempengaruhi kadar asam urat, misalnya probenesid, alupurinol, dan sulfinpirazon.


Efek Analgesik
Sebagai analgesik, OAINS hanya efektif terhadap nyeri dengan intensitas rendah
sampai sedang, misalnya sakit kepala, mialgia, artralgia, dismenorea dan juga efektif terhadap
nyeri yang berkaitan dengan inflamasi atau kerusakan jaringan. Efek analgesiknya jauh lebih
lemah daripada efek analgesik opioat, tetapi OAINS tidak menimbulkan ketagihan dan tidak
menimbulkan efek samping sentral yang merugikan. Untuk menimbulkan efek analgesik,
OAINS bekerja pada hipotalamus, menghambat pembentukan prostaglandin ditempat
terjadinya radang, dan mencegah sensitisasi reseptor rasa sakit terhadap rangsang mekanik
atau kimiawi.
Efek Antipiretik
Temperatur tubuh secara normal diregulasi oleh hipotalamus. Demam terjadi bila
terdapat gangguan pada sistem thermostat hipotalamus. Sebagai antipiretik, OAINS akan
menurunkan suhu badan hanya dalam keadaan demam. Penurunan suhu badan berhubungan
dengan peningkatan pengeluaran panas karena pelebaran pembuluh darah superfisial.
Antipiresis mungkin disertai dengan pembentukan banyak keringat. Demam yang menyertai
infeksi dianggap timbul akibat dua mekanisme kerja, yaitu pembentukan prostaglandin di
dalam susunan syaraf pusat sebagai respon terhadap bakteri pirogen dan adanya efek
interleukin-1 pada hipotalamus. Aspirin dan OAINS lainnya menghambat baik pirogen yang
14

diinduksi oleh pembentukan prostaglandin maupun respon susunan syaraf pusat terhadap
interleukin-1 sehingga dapat mengatur kembali thermostat di hipotalamus dan memudahkan
pelepasan panas dengan jalan vasodilatasi.
Efek Anti-inflamasi
Inflamasi adalah suatu respon jaringan terhadap rangsangan fisik atau kimiawi yang
merusak. Rangsangan ini menyebabkan lepasnya mediator inflamasi seperti histamin,
serotonin, bradikinin, prostaglandin dan lainnya yang menimbulkan reaksi radang berupa
panas, nyeri, merah, bengkak, dan disertai gangguan fungsi. Kebanyakan OAINS lebih
dimanfaatkan pada pengobatan muskuloskeletal seperti artritis rheumatoid, osteoartritis, dan
spondilitis ankilosa. Namun, OAINS hanya meringankan gejala nyeri dan inflamasi yang
berkaitan dengan penyakitnya secara simtomatik, tidak menghentikan, memperbaiki, atau
mencegah kerusakan jaringan pada kelainan muskuloskeletal.
Meskipun semua OAINS memiliki sifat analgesik, antipiretik dan anti-inflamasi,
namun terdapat perbedaan aktivitas di antara obat-obat tersebut. Salisilat khususnya aspirin
adalah analgesik, antipiretik dan anti-inflamasi yang sangat luas digunakan. Selain sebagai
prototip OAINS, obat ini merupakan standar dalam menilai OAINS lain. OAINS golongan
para aminofenol efek analgesik dan antipiretiknya sama dengan golongan salisilat, namun efek
anti-inflamasinya sangat lemah sehingga tidak digunakan untuk anti rematik seperti salisilat.
Golongan pirazolon memiliki sifat analgesik dan antipiretik yang lemah, namun efek antiinflamasinya sama dengan salisilat.
KETOROLAC (4)
Farmakodinamika
Obat antiinflamasi non steroid (NSAID) memperlihatkan aktifitas analgesic,
antiinflamasi, dan antipiretik. Ketorolak menghambat siontesis prostaglandin dan dapat
dianggap suatu analgesic yang bekerja secara perifer. Ptensi analgesic ketorolak 30 mg im
setara dengan 9 mg morfin dengan sedikit rasa mengantuk, mual dan muntah, dan tanpa
perubahan fungsi ventilasi yang bhermakna. Ptensi analgesic ketorolac 10 atau 20 mg PO
setara dengan 600 mg aspirin atau 600mg asetaminofen dengan 60 mg kodein. Tidak seperti
15

opioid, ketorolac tidak menurunkan MAC anestetik volatile. Pada dosis klinis tidak terdapat
perubahan yang bermakna pada jantung atau parameter hemodinamik. Ketorolac menghambat
agregasi trombosit dan memperpanjang masa perdarahan. Penghambat fungsi trombosit
menghilang dlam 20-48 jam stekah obat dihentikan. Ketorolak tidak mempengaruhi hitung
trombosit, waktu protrombin (PT) atau waktu tromboplastin parsial (PTT).
Farmakokinetik
Efek kerja intravena < 1 menit dan lama kerjanya 3-7jam. Efek dipotensiasi dengan
pemberian bersama salisilat, peningkatan toksisitas lithium, metrotreksat, resiko perdarahan
ditingkatkan dengan pemberian bersama dengan NSAID, antikoagulan, atau terapi heparin
ndosis rendah. Dapat mencetuskan gagal ginjal pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal,
gagal jantung, disfungsi hati, p[asien dengan terapi deuretik dan manula.
Efek samping utama
Kardiovaskuler : vasodilatasi, pucat, angina
Pulmo : dipsnu, asma
SSP : rasa mengantuk, pusing sakit kepala, berkeringat, euphoria, depresi
GI : ulcerasi, perdarahan, dyspepsia, mual, muntah, diare, dan nyeri gastrointestinal.
Penggunaan Dosis intravena 30-60 mg (0,5-1 mg/kgBB)
III.

Hipnotik-Sedatif
Hipnotik sedatif merupakan golongan obat depresan susunan saraf pusat (SSP) yang

relatif tidak selektif ,mulai dari yang ringan yaitu menyebabkan tenang atau kantuk,
menidurkan hingga yang berat (kecuali benzodiazepine) yaitu hilangnya kesadaran . keadaan
anestesi, koma, dan mati bergantung pada dosis. Pada dosis terapi obat sedative menekan
aktifitas. Menurunkan respon terhadap rangsangan emosi dan menenangkan.
Efek sedasi merupakan efek samping beberapa golongan obat yang tidak termasuk
obat golongan depressan SSP. Walapun obat tersebut memperkuat efek penekanan SSP, secara
16

mandiri tidak dapat menginduksi anestesi umum. Beberapa obat hipnotik dan sedatik,
terutama golongan benzodiazepine digunakan juga untuk indikasi lain, yaitu sebagai pelemas
otot, anti epilepsy, anti ansietas dan sebagai penginduksi anesthesia.
III.1 KETAMINE (KETALAR) (3)
Ketamine adalah suatu rapid acting non barbiturate general anesthetic
III.1.1 Farmakodinamika :
Ketamine mempunyai efek analgesia yang kuat sekali akan tetapi efek hipnotiknya
kurang (tidurnya ringan)yang disertai penerimaan keadaan lingkungan yang salah (anestasia
disosiasi). Bereaksi cepat yang ditandai dengan adanya reflex laring yang normal atau agak
ditingkatkan, tonus otot rangka yang normal atau agak ditingkatkan, stimulasi pernafasan dan
kadang-kadang depresi pernafasan bersifat sementara atau minimal. Efek anesthetic dari
ketamine sebagian dapat disebabkan oleh suatu efek antagonis terhadap reseptor eksitasi Nmetil aspartate, suatu sub kelompok dari reseptor opioid. Ketamine juga dapat bekerja pada
reseptor polinergic muskarinik, serotonin, dan norepineferin dalam SSP. Stimulasi simpati
sentral, pelepasan neuronal katekolamin, dan inhibisi dari ambilan neuronal katekolamin
biasanya melebihi efek depresi miokard langsung dari ketamine. Efek hemodinamik termasuk
peningkatan tekanan arteri sistemik dan pulmonal, nadi, dan curah jantung. Efek ini
disebabkan adanya peningkatan aktifitas saraf simpatis dan depresi baro reseptor. Ketamine
menimbulkan peningkatan tonus uterus terkait dosis kurang dari 1mg/kg BB. Sekresi ludah
dan trakheo bronchial meningkat. Ketamine tidak melepaskan histamine. Baik untuk penderita
asma dan untuk mengurangi spasme bronchus pada anesthesia umum yang masih ringan.
III.1.2 Farmakokinetik
Efek kerja kurang dari 30 detik. Kira-kira pulih sadar tercapai antara 10-15 menit tetapi
sulit menentukan saatnya yang tepat. Seperti halnya sulit menentukan permulaan kerjanya.
Kontak penuh dengan lingkungan dapat bervariasi dari beberapa menit setelah permulaan
tanda-tanda sadar, sampai 1 jam. Sering mengakibatkan mimpi yang tidak enak, disorientasi
tempat dan waktu, halusinasi, dan menyebabkan gaduh, gelisah tidak terkendali.

17

III.1.3 Efek Samping Utama


Kardiovaskular : hipertensi, takikardi, hipotensi, aritmia, bradikardi
Pulmoner : depresi pernafasan, apnu, laringospasme
SSP : gerakan tonik, klonik, delirium
GI : hipersalivasi, mual, muntah
Mata : diplopia, peningkatan ringan tekanan intraokuler
III.1.4 Penggunaan
Dosis Sedasi dan analgesia intravena 0,5-1 mg/kg BB. Dosis induksi intravena 1-2
mg/kg BB dengan dosis rata-rata 2mg/kg BB dengan lama kerja kira-kira 15-20 menit.
III.2 TIOPENTONE SODIUM (Tiopental, Pentotal, Intravena) (1) (3)
Semua barbiturate untuk keperluan klinik berada dalam bentuk garam sodium.
Dilarutkan dalam air menjadi larutan 2,5% atau 5% dengan pH 10,8
III.2.1 Famakodinamika
Efek utama barbiturate ialah depresi SSP. Semua tingkat depresi dapat dicapai, mulai
dari sedasi, hypnosis, berbagai tingkat anesthesia, koma sampai dengan kematian. Efek
hipnotik dapat dicapai dalam waktu 20-30 menit dengan dosis hipnotik. Tidurnya menyerupai
tidur fisiologis, tidak disertai mimpi yang terganggu. Fase tidur REM dipersingkat. Efek
analgesia sedikit. Barbiturate menyebabkan depresi napas sebanding dengan besarnya dosis.
Pernapasan dapat terganggu karena pengaruh barbiturate terhadap pusat napas, udem paru
akibat barbiturate kerja singkat, pneumonia hipostatik terutama akibat barbiturate kerja
panjang, hiperefleksia N.Vagus yang bias nyebabin batuk, bersin, cegukan, dan laringospasme
pada anesthesia intravena. Thiopental mendepresi pusat vasomotor dan kontraktilitas miokard
yang mengakibatkan vasodilatasi, sehingga dapat menurunkan curah jantung dan tekanan
darah.
III.2.2 Farmakokinetik .
18

Metabolism thiopental terutama di hepar, hanya sebagian kecil thiopental keluar lewat
urin tanpa mengalami perubahan. Dilusi dalam darah dan redistribusi ke jaringan tubuh yang
lain. Pulih sadar yang cepat setelah thiopental disebabkan oleh pemecahan dalam hepar cepat.
Oleh karena itu thiopental termasuk obat dengan daya kerja snagat singkat (ultra short acting
barbiturate). Thiopental mudah larut dalam lemak, setelah pemberian intravena akan ditimbun
di jaringan lemak dan otot. Hal ini menyebabkan penurunan kadarnya dalam plasma dan otak
secara cepat.
III.2.3 Efek samping utama
Hangover, gejala ini merupakan residu depresi SSP setelah efek hipnotik berakhir.
Pasca operasi mungkin menimbulkan mual, vertigo dan disorientasi. Sesekali menimbulkan
myalgia, neuralgia. Bila diberikan dalam keadaan nyeri dapat menimbulkan gelisah, eksitasi
dan bahkan delirium. Segala bentuk hipersensitivitas dapat timbul terutama dermatosis.
III.2.4 Penggunaan
Thiopental hanya boleh digunakan untuk intravena dengan dosis 3-7 mg/kgBB dan
disuntikkan pelan-pelan dihabiskan dalam waktu 30-60 detik.
III.3 DIAZEPAM (VALIUM) (3)(4)
Termasuk golongan benzodiazepine yang berkasiat sebagai suatu tranquilizer (obat
penenang)
III.3.1 Farmakodinamika
Efek terhadap SSP bervariasi dari orang ke orang lain. Peningkatan dosis
menyebabkan depresi SSP yang meningkat dari sedasi ke hypnosis dan dari hypnosis ke
stupor. keadaan ini sering dinyatakan sebagai efek anesthesia. Efek relaksan otot diazepam 10
kali lebih selektif dibandingkan golongan barbiturate yang lainnya. Sementara aksi sedatif
mencerminkan kemampuan dari benzodiazepine untuk mempermudah aksi neurotransmitter
penginhibisi asam gamma amino butirat (GABA). Tempat aksi produksi amnesia anterograde
belum dikonfirmasi. Pada suatu induksi diazepam ritme alfa berubah menjadi ritme beta pada
EKG.aktifitas alfa kembali setelah 30 menit. Diazepam tidak punya aksi penyekat otonomik
19

tepi. Tanpa adanya adanya obat-obatan pendepresi SSP lainnya diazepam mempunyai efek
minimal terhadap ventilasi dan sirkulasi.diazepam intravena dianggap obat pilihan pada
terminal status epileptikus akut sebagai akibat kelebihan dosisobat dan racun. Karena efek
yang berlangsung singkat, maka untuk control kejang jangka panjang harus digunakan obatobat kejang lainnya.
III.3.2 Farmakokinetik
Efek kerja intravena < 2menit dan lama kerjanya 15 menit-1jam. Efek sedative dan
depresi sirkulasi dipotensiasi oleh opioid, alcohol dan pendepresi SSP lainnya. Eliminasi
dikurangi oleh simetidin, mengurangi kebutuhan akan anestetik volatile, timbul tromboflebitis
pada intravena, bersihan dan kebutuhan dosis pada usia tua menurun.
III.3.3 Efek samping utama
Kardiovaskuler : bradikardi,hipotensi
Pulmoner : depresi pernapasan
SSP : ngantuk, ataksia, kebingungan, depresi, eksitasi paradox
GU : Inkontinensia
Dermatologi : ruam kulit
Lain : thrombosis vena, phlebitis pada tempat suntikan, mulut kerit, hipotonia, hipertemia.
III.3.4 Penggunaan
Dosis diazepam untuk induksi adalah 0,1-0,5 mg/kgBB. Pada orang sehat dosis
diazepam 0,2 mg/kgBB untuk premedikasi anestetik yang diberikan bersama narkotik
analgesic sudah menyebabkan tidur. Umumnya dibutuhkan 5-30 mg untuk sedasi ini.
III.4 MIDAZOLAM (1)
III.4.1 Farmakodinamika

20

Midazolam merupakan benzodiazepine yang larut air dengan struktur cincin imidazole
yang stabil dalam larutan dan metabolisme yang cepat. Obat ini telahmenggantikan diazepam
selama operasi dan memiliki potensi 2-3 kali lebih kuat. Selain ituaffinitas terhadap reseptor
GABA 2 kali lebih kuat dibanding diazepam. Efek amnesia padaobat ini lebih kuat dibanding
efek sedasi sehingga pasien dapat terbangun namun tidak akan ingat kejadian dan pembicaraan
yang terjadi selama beberapa jam.Larutan midazolam dibuat asam dengan pH < 4 agar cincin
tidak terbuka dan tetaplarut dalam air. Ketika masuk ke dalam tubuh, akan terjadi perubahan
pH sehingga cincinakan menutup dan obat akan menjadi larut dalam lemak. Larutan
midazolam dapat dicampur dengan ringer laktat atau garam asam dari obat lain.
III.4.2 Farmakokinetik
Midazolam diserap cepat dari saluran cerna dan dengan cepat melalui saar darahotak.
Namun aktu equilibriumnya lebih lambat dibanding propofol dan thiopental. Hanya50% dari
obat yang diserap yang akan masuk ke sirkulasi sistemik karena metabolisme portahepatik
yang tinggi. Sebagian besar midazolam yang masuk plasma akan berikatan dengan protein.
aktu durasi yang pendek dikarenakan kelarutan lemak yang tinggi mempercepatdistribusi dari
otak ke jaringan yang tidak aktif begitu juga dengan klirens hepar yang cepat.aktu paruh
midazolam adalah antara 1-4 jam, lebih pendek daripada aktu paruhdiazepam. aktu paruh ini
dapat meningkat pada pasien tua dan gangguan fungsi hati. Pada pasien dengan obesitas,
klirens midazolam akan lebih lambat karena obat banyak berikatandengan sel lemak. Akibat
eliminasi yang cepat dari midazolam, maka efek pada CNS akan lebih pendek dibanding
diazepam.
Efek kerja 5- 1 menit dan lama kerja intravena 15-80 menit. Efek depresi SSP dan
sirkulasi dipotensiasi oleh alkohol, narkotik,sedatif,anestesik volatil, menurunkan MAC untuk
anestesik volatile, efeknya diantagonis oleh flumazenil.
III.4.3 Efek samping utama
Midazolam tidak harus digunakan tanpa individualisasi dosis terutama bila
digunakandengan obat lain yang mampu menghasilkan depresi sistem saraf pusat. Sebelum
midazolamintravena dalam dosis apapun, segera ketersediaan oksigen, obat pernafasan, usia
21

dan ukuran peralatan yang sesuai untuk tas / katup / mask ventilasi dan intubasi, dan personel
yangterampil untuk pemeliharaan jalan napas paten dan dukungan ventilasi harus dijamin.
Pasienharus

terus

dipantau

dengan beberapa alat

deteksi untuk tanda-tanda aal

hipoventilasi,obstruksi jalan napas, atau apnea, yaitu, oksimetri pulsa. Hipoventilasi, obstruksi
jalan napas,dan apnea dapat menyebabkan hipoksia dan / atau serangan jantung kecuali
tindakan pencegahan yang efektif segera diambil. Ketersediaan segera agen pembalikan
tertentu (flumazenil) sangat dianjurkan. Tanda-tanda vital harus terus dipantau selama periode
pemulihan. Karena midazolamintravena menekan respirasi dan karena agonis opioid dan obat
penenang lainnya dapatmenambah depresi ini, midazolam harus diberikan sebagai agen
induksi hanya oleh orangyang terlatih dalam anestesi umum dan harus digunakan untuk sedasi
/ anxiolysis / amnesiahanya di hadapan tenaga terampil dalam deteksi dini hipoventilasi,
mempertahankan jalannapas paten dan mendukung ventilasi. eaksi seperti agitasi, gerakan tak
terkendali (termasuk tonik / gerakan klonik dantremor otot), hiperaktif, dan combativeness
telah dilaporkan di kedua deasa dan pasienanak. Reaksi-reaksi ini mungkin karena dosis yang
tidak memadai atau berlebihan atauadministrasi yang tidak benar dari midazolam, namun,
pertimbangan harus diberikan untuk kemungkinan hipoksia otak atau reaksi paradoksal benar.
III.4.4 Penggunaan
a. Premedikasi
Sebagai premedikasi midazolam 0,25 mg/kg diberikan secara oral berupa sirup
(2mg/ml) kepada anak-anak untuk memberiksan efek sedasi dan anxiolisis dengan efek
pernapasan yang sangat minimal. Pemberian 0,5 mg/kg I 10 menit sebelum operasidipercaya
akan memberikan keadaan amnesia retrograd yang cukup.
b. Sedasi intravena
Midazolam dosis 1-2,5 mg I (onset 30-0 detik, aktu puncak 3-5 menit, durasi 15-80
menit)

efektif

sebagai

sedasi

selama

regional

anestesi.

Dibanding

dengan

diazepam,midazolam memiliki onset yang lebih cepat, amnesia yang lebih baik dan sedasi
post operasiyang lebih rendah namun aktu pulih sempurna tetap sama. Efek samping yang

22

ditakutkan dari midazolam adalah adanya depresi napas apalagi bila diberikan bersama obat
penekanCNS lainnya.
c. induksi anestesi
Induksi anestesi dapat diberikan midazolam 0,1-0,2 mg/kg I selama 30-0 detik.alaupun
thiopental memberikan aktu induksi lebih cepat 50-100% dibanding midazolam.Dosis yang
digunakan akan semakin kecil apabila sebelumnya diberikan obat penekan CNSlain seperti
golongan opioid
III.5 PROPOFOL (5)
Adalah zat subsitusi isopropylphenol (2,6 diisopropylphenol) yang digunakan secara
intravena sebagai1%larutan pada zatak tif yangter larut, ser ta mengandung10% minyak
kedele, 2,25% gliserol 2,25% gliserol. Obat ini secara struktur kimia berbeda dari obat
sedative-hipnotik yang digunakan secara intravena lainnya.Penggunaan propofol 1,5 2,5
mg/kgBB (atau setara dengan thiopental l4-5 mg/kgBB ataumethohexital1,5 mg/kgBB)
dengan penyuntikan cepat (< 15 detik) menimbulkan turunnya kesadaran dalam waktu 30
detik.
III.5.1 Framakodinamika
Efek propofol terhadap tubuh bergantung pada konsentrasi propofol dalam
darah.Konsentrasi propofol ini biasanya merupakan proporsi dari rata-rata infus, khususnya
dalam pasien secara individu. Efek Hemodynamic selama induksi dari anestesi beragam. Jika
terjadiventilasi spontan, efek kerdiologiknya adalah hypotensi ( turun 30%) dengan sedikit
atautidak adanya perubahan denyut jantung. Jika ventilasi terkontrol, besarnya kejadian dari
penurunan cardiac output meningkat. Oleh karena itu diberikan premedikasi potent opioid
(fentanyl).
Pada sistem saraf pusat dosis induksi menyebabkan pasien tidak sadar, dimana dalam
dosis yang kecil dapatmenimbulkan efek sedasi, tanpa disetai efek analgetik, pada pemberian
dosis induksi (2mg/kgBB) pemulihan kesadaran berlangsung cepat.

23

Pada sistem kardiovaskular dapat menyebakan depresi pada jantung dan pembuluh
darah dimana tekanan dapat turunsekali disertai dengan peningkatan denyut nadi, pengaruh
terhadap frekuensi jantung jugasangat minim.
Pada Sistem pernafasan dapat menurunkan frekuensi pernafasan dan volume tidal,
dalam beberapa kasus dapatmenyebabkan henti nafas kebanyakan muncul pada pemberian
diprivan
III.5.2 Farmakokinetik
Propofol didegradasi di hati melalui metabolisme oksidatif hepatik oleh cytochrome P450. Namun, metabolisme tidak hanya dipengaruhi hepatik tetapi juga ekstrahepatik.
Metabolisme hepatik lebih cepat dan lebih banyak menimbulkan inaktivasi obat dan terlarut
air sementara metabolisme asam glukoronat diekskresikan melalui ginjal. Propofolmembentuk
4-hydroxypropofol oleh sitokrom P450. Propofol yang berkonjugasi dengansulfat dan
glukoronide menjadi tidak aktif dan bentuk 4 hydroxypropofol yang memiliki 1/3efek
hipnotik. Kurang dari 0,3% dosis obat diekskresikan melalui urin. aktu paruh propofoladalah
0,5 1,5 jam tapi yang lebih penting sensitive half time dari propofol yang digunakanmelalui
infus selama 8 jam adalah kurang dari 40 menit.Maksud dari sensitive half time adalah
pengaruh minimal dari durasi infus karena metabolisme propofol yang cepat ketikainfus
dihentikan sehingga obat kembali dari tempat simpanan jaringan ke sirkulasi. Propofol mirip
seperti aldentanil dan thiofentanil, yang memiliki efek singkat di otak setelah pemberian
melalui intravena
Meskipun

metabolisme

propofol cepat

tidak

ada

bukti yang

menunjukan

adanyagangguan eliminasi pada pasien sirosis hepatis.Konsentrasi propofol di plasma sama


antara pasien yang meminum alkohol dan yang tidak. Eliminasi ekstrahepatik propofol terjadi
secaraekstrahepatik selama fase anhepatik dari orhtopik transplantasi hati. Disfungsi ginjal
tidak mempengaruhi clearance propofol dan selama pengamatan lebih dari 34 tahun
metabolisme propofol dimetabolisme di urin hanya 24 jam pertama. Pasien yang berusia lebih
dari 0tahun menunjukan penurunan bersihan plasma propofol dibandingkan pasien
deasa.Kecepatan bersihaan propofol mengkonfirmasi baha obat ini dapat digunakan secara

24

terusmenerus intravena tanpa efek kumulatif. Propofol mampu meleati sirkulasi plasenta
namunsecara cepat dibersihkan dari sikulasi fetus.
III.5.3 Efek samping
Efek samping hipotensi, nyeri ketika injeksi, sesak nafas, wheezing, pembengkakan
tenggorokkan. Nadi cepat dan palpitasi, rasa baal di tangan dan kaki, serta kejang.
III.5.4 Penggunaan
Propofol

menjadi

pilihan

obat

induksi

terutama

karena

cepat

dan

efek

mengembalikankesadaran yang komplit. Infus intravena propofol dengan atau tanpa obat
anestesia lainmenjadi metode yang sering digunakan sebagai sedasi atau sebagai bagian
penyeimbang atauanestesi total iv. Penggunaan propofol melalui infus secara terus menerus
sering digunakan diruang ICU.
a. Induksi anestesi
Dosis induksi propofol pada pasien deasa adalah 1,5 2,5 mg/kgBB intravenadengan
kadar obat 2- g/ml menimbulkan turunnya kesadaran yang bergantung pada usia pasien.
Mirip seperti barbiturat, anak-anak membutuhkan dosis induksi yang lebih besar tiapkilogram
berat badannya yang mungkin disebabkan volum distribusi yang besar dankecepatan bersihan
yang lebih. Pasien lansia membutuhkan dosis induksi yang lebih kecil(25% - 50%) sebagai
akibat penurunan volume distribusi dan penurunan bersihan plasma.Kesadaran kembali saat
kadar propofol di plasma sebesar 1,0 1,5 g/ml. Kesadaran yang komplit tanpa gejala sisa
SSP merupakan karakter dari propofol dan telah menjadi alas an menggantikan thiopental
sebagai induksi anestesi pada banyak situasi klinis.
b. Sedasi intravena
Dosis sedasinya adalah 25-100 g/kgBB/menit secaraintravena dapat menimbulkan
efek analgesik dan amnestik. Pada beberapa pasien, midazolamatau opioid dapat
dikombinasikan dengan propofol melalui infus. Sehingga intensitas nyeri dan rasa tidak
nyaman menurun.

25

c. Maintenance anesthesia
Dosis

tipikal

anestesia

100-300

g/kgBB/menit

iv

sering

dikombinasikan

denganopioid kerja singkat. alaupun propofol diterima sebagai anestesi prosedur bedah
yangsingkat, tetapi propofol lebih sering digunakan pada operasi yang lama ( < 2 jam)
dipertanyakan mengingat harga dan efek yang sedikit berbeda pada aktu kembalinyakesadaran
dibandingkan standar teknik anestesi inhalasi.
III.6 DEHIDROBENZPERIDON (Droperidol)
III.6.1 Farmakodinamika
Suatu turunan butiroferon, secara kimiawi berhubungan dengan haloperidol, droperidol
mengganggu transmisi pada tempat sinaptik dopamine, noreadrenalin, serotonin dan GABA.
Droperidol menimbulkan trankulisasi dan sedasi yang nyata, menimbulkan keadaan pelepasan
mental dan indeferensi semnatara mempertahankan keadaan kewaspadaan reflek. Efek
antiemetic disebabkan oleh blockade reseptor dalam zona pemicu kemoreseptor. Obat ini
mempunyai aksi antagonis adrenergic alfa-1 yang dapat menimbulkan penurunan tahanan
vascular sistemik dan tekanan darah. Tidak tergantung blockade adrenergic alfa, droperidol
memperpanjang periode refrakter dan mengurangi kecepatan potensial aksi. Ambang
ditingkatkan untuk aritmia ventrikel yang ditimbulkan epinefrin atau berkaitan denganu
halotan.

Droperidol

dapat

dikombinasikan

dengan

fentanyl

untuk

menimbulkan

neuroleptanalgesia., suatu keadaan transkuilisasi, amnesia, pelepasan dan analgesia.


Droperidol tidak menghasilkan suatu perubahan klinis yang bermakna dalam aliran darah otak
atau tekanan intracranial. Droperidol epidural dapat menghilangkan efek samping opioid. Dan
meningkatkan analgesia karena aktivitas agonis alfa dan antagonis dopamine pada tingkat
spinal dan supraspinal.
III.6.2 Farmakokinetik
Efek kerja intravaskuler 3-10 menit dan lama kerjanya 2-4 jam. Mempotensiasi
pendepresi SSP lainnya. Mengurangi efek presor dan aritmogenik dari epinefrin.
III.6.3 Efek samping utama
26

Kardiovaskuler : hipotensi, takikardi


Pulmoner : laringospasme, bronkospasme
SSP : Gejala ekstrapiramidal, mengantuk, hiperaktivitas.
III.6.4 Penggunaan
Kemasan 1 ampul berisi 2cc = 5mg. dosis yang digunakan 0,1 mg/kgBB.
IV.

Antiemetik

IV.1 SULFAS ATROPINE


Atropin merupakan golongan antimuskarinik. Atropine terutama ditemukan pada
Atropa belladonna dan Datura stramonium.
IV.1.1 Farmakodinamika(1)
Hambatan oleh atropine bersifat reversible dan dapat diatasi

dengan pemberian

asetilkolin dalam jumlah berlebihan atau pemberian antikolinesterase. Atropine memblok


asetilkolin endogen maupun eksogen, tetapi hambatannya jauh lebih kuat tergadap eksogen.
Atropine merangsang medulla oblongata dan pusat lain di otak. Depresi yang timbul khusus di
beberapa pusat motoric dalam otak, dapat menghilangkan tremor yang terlihat pada
parkinsonisme. Perangsangan respirasi terjadi sebagai akibat dilatasi bronkus, tetapi dalam
depresi respirasi oleh sebab tertentu, atropine tidak berguna merangsang respirasi.
Pada mata, alkaloid belladonna menghambat M.contrictor pupillae dan M.cilliaris
lensa mata, sehingga menyebabkan midriasis dan sikloplegia. Alkaloid belladonna mengurangi
secret hidung, mulut, faring, dan ronkus. Sebagai bronkodolator, atropine tidak berguna dan
jauh lebih lemah daripada epinefrin atau aminofilin.
Pengaruh atropine terhadap jantung bersifat biofasik. Frekuensi jantung berkurang,
mungjin disebabkan karena perangsangan nucleus N.vagus. pada dosis lebih dari 2mg, yang
biasanya digunakan pada keracunan organofosfat, terjadi hambatan N.Vagus dan timbul
takikardi. Obat ini dapat menghambat bradikardi yang ditimbulkan oleh obat kolinergik.
27

Atropin tidak mempengaruhi pembuluh darah atau tekanan darah secara langsung, tetapi dapat
menghambat vasodilatasi oleh asetilkolin atau ester kolin yang lain. Dilatasi kapiler pada
bagian muka dan leher terjadi dengan dosis yang besar dan toksik. Hipotensi ortostatik
kadang-kadang dapat terjadi setelah pemberian dosis 2mg.
Karena bersifat menghambat peristaltic lambung dan usus, atropine juga disebut obat
antispasmodic. Penghambatan terhadap asteilkolin eksogen terjadi lengkap, tetapi terhadap
asetilkolin endogen terjadi parsial.
IV.1.2 Farmakokinetik(4)
Alakaloid belladonna mudah diserap dari semua kecuali dari kulit. Efek kerja intravena
45-60 detik dan lama kerja 3-4jam. Efek antikolinergik aditif dengan antihistamin,
MAO,benzodiazepine, antipsikotik, peningkatan tekanan intraokuler. Dapat menimbulkan
sindrom antikolinergik sentral.
IV.1.3 Efek samping utama(1)
Efek samping antimuskarinik hmapir semuanya merupakan efek farmakodinamika
obat. Pada orang muda efek samping mulut kering, gangguan miksi. Muka merah setelah
pemberian bukan karena alergi melainkan efek samping sehubungan dengan vasodilatasi
pembuluh darah di wajah. Efek kardiovaskuler berupa takikardi dalam penggtunaan dosis
tinggi, bradikardi dalam dosis rendah, palpitasi. Efek SSP berupa kebingungan, halusinasi.
Efek pada mata yaitu midriasis, penglihayan kabur, peningkatan tekanan intraokuler.

IV.1.4 Penggunaan
Atropin tersedia dalam bentuk atropin sulfat dalam ampul 0,25 mg dan 0,50 mg.
Diberikan secara suntikan subkutis, intramuscular atau intravena dengan dosis 0,5-1 mg untuk
dewasa dan 0,015 mg/kgBB untuk anak-anak
IV.2 ONDANCENTRON
28

IV.2.1 Farmakodinamika
Ondancentron merupakan suatu antagonis 5-HT3 yang snagat selektif yang dapat
menekan mual dan muntah karena sitostatika misalnya cisplatin dan radiasi. Mekanisme
kerjanya diduga dilangsungkan dengan mengantagonisasi reseptor 5-HT yang terdapat pada
kemoreseptor trigerzone di area postrema otak dan mungkin juga pada aferen vagal saluran
cerna. Ondancentron juga mempercepat pengosongan lambung, bila keceptan pengosongan
basal rendah. Tetapi waktu transit saluran cerna memanjang, sehingga dapat terjadi konstipasi.
Ondacentron tidak efektif untuk pengobatan motion sickness.
IV.2.2 Farmakokinetik
Efek kerja intravena <30 menit dan lama kerjanya 12-24 jam. Kadar serum dapat
berubah pada pemberian bersama fenitoin, fenobarbital, dan rifampin.
IV.2.3 Efek samping utama
Ondancentron biasanya ditoleransi secara baik. Keluhan yang umum ditemukan ialah
konstipasi. Gejala lain dapat berupa sakit kepala, flushing, mengantuk, gangguan saluran
cerna, dsb. Belum diketahui adanya interaksi dengan obat SSP lainnya seperti diazepam ,
alcohol, morfin, atau antiemetic lainnya.
IV.2.4 Penggunaan
Ondancentron adalah suatu antagonis 5-HT3, diberikan dengan tujuan mencegah mual
dan muntah pasca operasi agar tidak terjadi aspirasi dan rasa tidak nyaman. Dosis
Ondancentron anjuran yaitu 0,05-0,1 mg/KgBB. Setiap ampul 2 ml mengandung 4 mg
Ondansetron . Setiap ampul 4 ml mengandung 8 mg Ondansetron
V.

Antipiretik

PHENERGAN (Promethazin) (4)


Farmakodinamika

29

Dalam dosis standar khas derivat fenotiazin ini tidak memiliki aktivitas neuroleptic
atau antipsikmotik. Merupakan antagonis reseptor H-1 histamin yang baik dengan sedative,
antiemetic, antikolinergik dan efek anti mabok perjalanan. Dalam tingkatan yang bervariasi,
tetapi tidak semua tingkatan prometazin secara berkompetisi mengantagonis efek farmakologi
yang diperantarai histamine pada reseptor H-1. Obat inintidak efektif dalam pengobatan asma
bronkiale, reaksi alergi, angioedema dimana perantara kimiawi selain histamine merupakan
penyebab dari gejala.
Farmakokinetik
Efek kerja intravena 2-5 menit dan lama kerja 2-8 jam. Memepotensiasi efek depresi
alcohol, anestetik volatile, hipnotik sedative termasuk barbiturate, penenang. Suntikan intra
arteri atau subkuitan dapat menimbulkan nekrosis dan gangrene. Dapat mereversi efek
vasopressor dari epineprin dan reaksi ekstrapiramidal dapat juga terjadi pada dosis tinggi dan
pada penggunaan bersama dengan inhibitor MAO.
Efek samping utama
Kardiovaskuler : hipotensi, bradikardi, takikardi, ekstrasistol
Pulmo : bronkospasme, hidung tersumbat
SSP : mengantuk, sedasi, pusing, kebingungan, tremor
GI : Mual , muntah
Hematologi : leukopenia, agranulositosis, trombositopenia.
Penggunaan
Dosis yang diberikan 12,5-50 mg. kemasan injeksi 50mg/ml.
VI.

Antihipertensi

KLONIDIN HCL (Catapres) (4)


Farmakodinamika
30

Klonidin merupakan agonis selektif pada adrenoreseptor alfa-2 dengan rasio 200 : 1
(alfa 2 : alfa 1). Klonidin menghambat aliran keluar simpatis sentral melalui aktivitas reseptor
adrenergic alfa-2 dalam pusat vasomotor medulla. Klonidin menurunkan tekanan darah, nadi,
curah jantung dan menimbulkan sedasi tergantung dosis. Tidak seperti halnya opioid,
menghasilkan depresi pernapasan minor dengan suatu efek puncak dan tidak seperti
benzodiazepine tidak meningkatkan depresi pernapasan yang ditimbulkan opioid. Stimulasi
langsung reseptor adrenergic alfa-1 perifer menimbulkan vasokonstriksi sementara. Hipertensi
rebound terjadi jika terapi dihentikan secara mendadak. Klonidin menekan tanda dan gejala
dari penarikkan opioid dengan menggantikkan inhibisi yang diperentarai opioid dengan
inhibisi dipereantarai alfa 2 aktivitas simpatis susunan saraf pusat. Bekerja pada adrenoeseptor
alfa-2 yang terletak pada neuron kornu dorsalis medulla spinalis. Efek lokal dapat meliputi
inhibisi dari pelepasan neurotransmitter nosioseptif seperti bahan P (neuron prasinaps ordo
kedua). Efek ini, yang terpisah dari analgesia yang diperantarai opiate contohnya nalokson,
tapi diblokir oleh obat-obat alfa-2 contohnya fentolamin. Sebagai suatu anestetik tambahan,
klonidin memperlemah respon hemodinamika terhadap intubasi, mengurangi kebutuhan akan
opioid dan anestesi volatile, memperpanjang blok regional, dan meningkatkan analgesia pasca
bedah.
Farmakokinetik
Efek kerja intravena <5menit (efek hipotensi) dan lama kerja >4jam. Mempotensiasi
efek opioid, alcohol, sedative, memperbesar respon presor terhadap efedrin intravena,
mengurangi kebutuhan akan anestesi volatile (MAC dikurangi dengan 50%). Efeknya
berkurang dengan penggunaan antagonis alfa-2, antidepresi trisiklik. Penambahan klonidin
pada anestetik epidural atau spinal atau narkotik memperpanjang lamanya blok sensorik dan
motoric dan dapat disertai dengan hipotensi dan bradikardi. Penambahan klonidin pada
anestetik lokal mengakibatkan perpanjangan analgesia dan anesthesia.
Efek samping utama
Kardiovaskuler : hipotensi, bradikardi, hipertensi, rebound pada penarikan obat, gagal jantung
kongestif, blok AV

31

Pulmoner : depresi ventilator ringan, obstruksi saluran pernapasan atas


SSP : sedasi, depresi, anxietas
GI ; mual, muntah, nyeri parotis
Penggunaan
Dosis yang diberikan adalah 0,4-0,5 mg/kgBB

BAB III
PENUTUP

32

Seiring Dengan perkembangan jaman dan teknologi, obat-obat anestesipun semakin


berkembang dalam penggunaannya. Maka dari itu sangat pentingnya dilakukan premedikasi
sebelum dilakukan induksi anestesi untuk mencegah efek yang tidak diinginkan dan
mempermudah jalannya operasi yang disesuaikan dengan ada tidaknya kelainan sistemik
pasien.
Pemilihan obat premedikasi anestesi yang digunakan juga harus diperhatikan efek serta
dosis penggunaannya. Pemilihan obat yang tepat dilihat dari pemeriksaan visit prabedah yang
sekiranya dapat dilakukan dengan teliti oleh ahli anestesiologi.

DAFTAR PUSTAKA

33

1. Ganiswarna, Sulistia G. Farmakologi dan Terapi. Fakultas Kedokteran Universitas


Indonesia. Edisi 4. Jakarta 1995.
2. Said, A.Latief. Anestesiologi. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Edisi kedua.
Jakarta 2001.
3. Muhiman, Muhardi.dkk Anestesiologi. Fakultas kedokteran Universitas Indonesia.
Jakarta 1989.
4. S. Melfiawati. Obat-Obatan Anestesia. Buku Kedokteran EGC. Jakarta 1994.
5. http://www.scribd.com/doc/55475303/MIDAZOLAM. Agustus 2011

34

Anda mungkin juga menyukai