Anda di halaman 1dari 29

REFERAT

OBAT ANESTESI INTRAVENA

Disusun Oleh :

Billy Alexander Setiawan

112023039

Pembimbing :

dr. Raden Hari Trimulayanto, Sp.An

KEPANITERAAN KLINIK ILMU ANESTESI


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA
RSUD KOJA JAKARTA
PERIODE 19 FEBRUARI – 23 MARET 2024
BAB I

PENDAHULUAN

Anestesia berarti pembiusan, istilah anestesi digunakan pertama kali oleh Oliver
Wendel Holmes Sr pada tahun 1846. Anestesi umum adalah tindakan meniadakan nyeri
secara sentral disertai dengan hilangnya kesadaran dan bersifat pulih kembali (reversible).

Komponen anestesi yang ideal (trias anestesi) terdiri dari : hipnotik, analgesia dan
relaksasi otot. Praktek anestesi umum juga termasuk mengendalikan pernapasan dengan
pemantauan fungsi-fungsi vital tubuh selama prosedur anestesi. Tahapannya mencakup
premedikasi, induksi, maintenance, dan pemulihan. Metode anestesi umum dapat dilakukan
dengan 3 cara: antara lain secaara parenteral melalui intravena dan intramuskular, perrektal
(biasanya untuk anak-anak) dan inhalasi. Yang akan saya bahas adalah mengenai anestesi
umum intravena.

Anestesi umum intravena adalah obat anestesi yang diberikan melalui jalur intravena,
baik untuk tujuan hipnotik, analgetik ataupun pelumpuh otot. Anestesi yang ideal akan
bekerja secara cepat dan baik serta mengembalikan kesadaran dengan cepat segera sesudah
pemberian dihentikan. Selain itu batas keamanan pemakaian harus cukup lebar dengan efek
samping yang sangat minimal. Tidak satupun obat anestesi dapat memberikan efek yang
diharapkan tanpa efek samping, bila diberikan secara tunggal. Kombinasi beberapa obat
mungkin akan saling berpotensi atau efek salah satu obat dapat menutupi pengaruh obat yang
lain.

Anestesi umum intravena ini penting untuk kita ketahui karena selain dapat digunakan
dalam pembedahan dikamar operasi, juga dapat menenangkan pasien dalam keadaan gawat
darurat. Oleh karena itu sebagai dokter umum, sebaiknya kita mengetahu tentang anestessi
umum intravena.

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 ANESTESI UMUM INTRAVENA


Anestesi umum intravena adalah anestesi yang diberikan melalui jalur intravena, baik
untuk tujuan hipnotik, analgetik ataupun pelumpuh otot. Tahapan tindakan yang dilakukan
untuk anestesi umum intravena antara lain 1) penilaian dan persiapan pra anestesi meliputi
anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium, klasifikasi status fisik, masukan
oral, dan premedikasi. 2) induksi obat anestesi intravena beserta maintainace. Obat anestesi
intravena setelah berada di dalam vena, obat-obat ini akan diedarkan ke seluruh jaringan
tubuh melalui sirkulasi sistemik. Obat anestesi yang ideal memiliki sifat: 1) hipnotik dengan
onset cepat serta mengembalikan kesadaran dengan cepat segera sesudah pemberian
dihentikan; 2) analgetik; 3) amnesia; 4) memiliki antagonis; 5) cepat dieliminasi; 6) depresi
kardiovaskular dan pernafasan tidak ada atau minimal; 7) farmakokinetik tidak dipengaruhi
atau minimal terhadap disfungsi organ.1
Indikasi anestesi intravena antara lain untuk: 1) induksi pada anestesi umum; 2)
anestesi tunggal pada pembedahan singkat; 3) sebagai tambahan untuk anestesi inhalasi yang
kurang kuat; 4) obat tambahan pada anestesi regional; 5) menghilangkan keadaan patologis
akibat rangsangan susunan saraf pusat. 1
Cara pemberian dapat berupa : 1) suntikan intravena tunggal untuk induksi anestesi
atau pada operasi-operasi singkat hanya obat ini saja yang dipakai; 2) suntikan berulang
untuk prosedur yang tidak memerlukan anestesi inhalasi dengan dosis ulangan lebih kecil dari
dosis permulaan, 3) Melalui infus, untuk menambah daya anestesi inhalasi. 2
Tingkat pemberian obat tiap ndividu sangat bervariasi dalam respon mereka terhadap
dosis obat yang diberikan atau konsentrasi, dan oleh karena itu penting untuk titrasi untuk
tingkat obat yang memadai untuk setiap pasien. Obat konsentrasi yang diperlukan untuk
memberikan anestesi yang memadai juga bervariasi sesuai dengan jenis operasi (misalnya,
permukaan bedah dibandingkan pembedahan perut bagian atas). Akhir pembedahan
membutuhkan kadar obat yang lebih rendah, dan karenanya titrasi sering melibatkan
penurunan bijaksana laju infus menjelang akhir operasi untuk memfasilitasi pemulihan yang
cepat. 1,2
Setelah dosis muatan, tingkat infus awalnya tinggi untuk menjelaskan redistribusi
harus digunakan dan kemudian dititrasi dengan tingkat infus terendah yang akan
3
mempertahankan anestesi yang memadai atau sedasi. Bila menggunakan opiat sebagai bagian
dari teknik nitrous-narkotika atau anestesi jantung, skema dosis yang tercantum di bawah
anestesi yang digunakan. Ketika candu tersebut digabungkan sebagai bagian dari anestesi
seimbang, dosis yang tercantum untuk analgesia diperlukan. 1,2
Jika laju infus terbukti tidak mencukupi untuk mempertahankan anestesi yang
memadai, baik suntikan tambahan (bolus) dosis dan peningkatan infus diperlukan untuk
secara cepat untuk meningkatkan konsentrasi obat. Berbagai intervensi juga membutuhkan
konsentrasi obat yang lebih besar, biasanya untuk periode singkat (misalnya, laringoskopi,
intubasi endotrakeal, sayatan kulit) Oleh karena itu, skema infus harus disesuaikan untuk
memberikan konsentrasi puncaknya selama periode singkat stimulasi intens. Tingkat obat
yang memadai untuk intubasi endotrakeal sering dicapai dengan dosis pemberian awal, tapi
untuk prosedur seperti sayatan kulit, dosis bolus lanjut mungkin diperlukan. 1,2

2.2.1 Premedikasi
Sebelum pasien diberi obat anestesi dilakukan premedikasi yaitu pemberian
obat sebelum induksi anestesi diberi dengan tujuan untuk melancarkan induksi,
rumatan dan bangun dari anestesi diantaranya:
1. Menimbulkan rasa nyaman bagi pasien
a. Menghilangkan rasa khawatir melalui:
i. Kunjungan pre anestesi
ii. Pengertian masalah yang dihadapi
iii. Keyakinan akan keberhasilan operasi
b. Memberikan ketenangan (sedative)
c. Membuat amnesia
d. Mengurangi rasa sakit (analgesic non/narkotik)
e. Mencegah mual dan muntah
2. Memudahkan atau memperlancar induksi
a. Pemberian hipnotik sedative atau narkotik
3. Mengurangi jumlah obat-obat anestesi
a. Pemberian hipnotik sedative atau narkotik
4. Menekan refleks-refleks yang tidak diinginkan (muntah/liur)
4
5. Mengurangi sekresi kelenjar saliva dan lambung
a. Pemberian antikolinergik atropine, primperan, rantin, H2 antagonis
6. Mengurangi rasa sakit.

Waktu dan cara pemberian premedikasi:


Pemberian obat secara subkutan tidak akan efektif dalam 1 jam, secara
intramuscular minimum harus ditunggu 40 menit. Pada kasus yang sangat darurat
dengan waktu tindakan pembedahan yang tidak pasti obat-obat dapat diberikan
secara intravena, obat akan efektif dalam 3 - 5 menit. Obat akan sangat efektif
sebelum induksi. Bila pembedahan belum dimulai dalam waktu 1 jam dianjurkan
pemberian premedikasi intramuscular, subkutan tidak dianjurkan. Semua obat
premedikasi bila diberikan secara intravena dapat menyebabkan sedikit hipotensi
kecuali atropine dan hiosin. Hal ini dapat dikurangi dengan pemberian secara
perlahan-lahan dan diencerkan.3

Obat-obat yang sering digunakan:


1. Analgesik narkotik
a. Morfin ( amp 1cc = 10 mg), dosis 0,1 mg/kgBB
Morfin adalah alkaloid
golongan fenantren. Morfin
memiliki gugus OH fenolik
dan gugus OH alkoholik.
Atom hidrogen pada kedua
gugus itu dapat diganti oleh
berbagai gugus membentuk
berbagai alkaloid opium. 4
Farmakokinetik: morfin diabsorbsi diusus. Setelah pemberian dosis tunggal,
sebagian morfin mengalami konjugasi dengan asam glukoronat dihepar,
sebagian keluar dalam bentuk bebas dan 10 % tidak diketahui nasibnya.
Morfin melintasi sawar uri dan mempengaruhi janin. Eksresi morfin terutama
melalui ginjal, sebagian kecil ditinja dan keringat. 4

5
Farmakodinamik: morfin memiliki efek analgetik dan narkose
terhadap susunan saraf pusat. Efek analgetik terutama ditimbulkan akibat kerja
opioid pada reseptor μ, selain itu juga memiliki afinitas yang lemah terhadap
terhadap reseptor δ dan reseptor κ. Reseptor μ, κ, dan δ banyak didapatkan
pada kornu dorsalis medula spinalis. Reseptor didapatkan baik pada saraf yang
mentransmisi nyeri dimedula spinalis maupun pada aferen primer yang
melerai nyeri. Agonis opioid melalu reseptor μ, δ, dan κ pada ujung prasinaps
aferen primer nosiseptif mengurangi pelepasan transmiter, dan selanjutnya
menghambat saraf yang mentransmisi nyeri di kornu dorsalis medula spinalis,
selain itu μ agonis menimbulkan efek inhibisi pascasinaps melalui reseptor μ
di otak. Terjadi perubahan reaksi terhadap stimulus nyeri itu. Pasien
mengatakan bahwa nyeri masih ada tetapi ia tidak menderita lagi. Efek
narkose, morfin dosis kecil (5-10mg) menimbulkan euforia pada pasien yang
menderita nyeri, sedih, gelisah sebaliknya pada orang normal akan
menimbulkan disforia berupa perasaan kuatir atau takut. Morfin menimbulkan
rasa kantuk, tidak dapat berkonsentrasi sukar berfikir, apatis dan aktivitas
motorik berkurang. Miosis yang ditimbulkan morfin akibat kerjanya pada
reseptor μ dan κ oleh perangsangan pada segmen otonom inti saraf
okulomotorius. Miosis dapat dilawan dengan atropin. Pada intoksikasi morfin
didapatkan pin point pupils. Depresi nafas terjadi berdasarkan efek langsung
terhadap pusat nafas dibatang otak, terjadi peburunan frekuensi nafas, volume
semenit dan tidal exchange, akibat P CO2 dalam darah dan udara alveolar
meningkat dan kadar O2 dalam darah menurun. Kepekaaan pusat nafas
terhadap CO2 berkurang. Kadar CO2 5% tidak lagi menimbulkan peninggiian
ventilasi pulmonal. Morfin dan derivatnya menghambat refleks batuk, tetapi
tidak sekuat kodein. Mual dan muntah, efek emetik terjadi berdasarkan
stimulasi langsung pada Emetic chemoreseptor trigger zone (CTZ) di area
postrema medula oblongata bukan oleh stimulasi pusat emetik sendiri. 1
Morfin berefek langsung ke saluran cerna bukan memalui SSP. Morfin
menghambar sekresi HCl secara lemah, menyebabkan pergerakan lambung
berkurang, sehingga pergerakan isi lambung ke duodenum diperlambat.
Morfin juga mengurangi sekresi empedu dan pankreas, dan memperlambat
pencernaan makanan diusus halus. Diusus besar morfin mengurangi atau
6
menghilangkan gerakan propulsi usus besar, meninggikan tonus usus besar
dan menyebabkan spasme usus besar akibatanya penerusan isi kolon menjadi
lambat dan tinja menjadi keras. Morfin menyebabkan peningkatan tekanan
dalam duktus koledokus daan efek ini dapat menetap dalam 2 jam keadaan ini
disertai dengan perasaan tidak enak di epigastrium sampai nyeri kolik berat.
Dosis terapi morfin tidak berpengaruh ke kardiovaskular, perubahan
kardiovaskular terjadi akibat efek deprsi pada pusat vagus dan pusat
vasomotor yang baru terjadi pada dosis toksik. Yang mungkin dialami pasien
adalah hipotensi orthostatik dan dapat jatuh pingsan akibat vasodilatasi perifer
yang terjadi karena efek langsung terhadap pembuluh darah kecil. Morfin
merendahkan tonus uterus pada masa haid dan menyebabkan uterus lebih
tahan terhadap renggangan oleh karena itulah morfin digunakan untuk obat
dismenore. Karena pelepasan histamin, menyebabkan pelebaran pembuluh
darah kulit sehingga kulit tampak merah dan terasa panas, berkeringat, dan
kadang gatal-gatal. Setelah pemberian morfin volume urin berkurang,
disebabkan merendahnya laju filtrasi glomerulus, alir aliran ginjal dan
penglepasan ADH. 1
Dosis dan sediaan. yang biasa digunakan ialah garam HCl, garam
sulfat, atau fosfat alkaloid morfin, dengan sediaan 1 amp 10mg/ml. dosis yang
digunakan 0,1 mg/KgBB. Efektivitas morfin peroral hanya 1/6-1/5 kali morfin
subkutan. Pemberian 60 mg morfin per oral memberi efek analgetik sedikit
lebih lemah dan masa kerja lebih panjang dari pada pemberian 8 mg morfin
IM. 3,4
Efek samping. Morfin menyebabkan idiosinkrasi dan alergi yaitu
menyebabkan mual dan munta terutama pada wanita, urtikaria, eksantem,
dermatitis kontak, pruritus dan bersin. Pada intoksikasi akut, pasien akan
tertidur sopor atau koma jika intoksikasi cukup berat. Frekuensi nafas
terlambat, 2-4x/menit, pernafasan Cheyne Stokes, sianotik, muka merah agak
kebiruan, sampai terjadi syok, dan pin point pupils. 4,5

b. Petidin ( amp 2cc = 100 mg), dosis 1-2 mg/kgBB

7
Petidin atau meperidin
merupakan derivat fenilpiperidin.
Secara kimia adalah etil-1metil-
4-fenilpiperidin-4-karboksilat.
Farmakokinetik: kadar
puncak dalam plasma biasanya
dicapai dalam 45 menit dan kadar yang dicapai sangat bervariasi antar
individu. Setelah pemberian lintas oral, sekitar 50% obat mengalami
metabolisme lintas pertama dan kadar maksimal dalam plasma tercapai dalam
1-2 jam, setelah pemberian secara IV, kadar dalam plasma menurun secara
cepat dalam 1-2 jam pertama, kemudian penurunan berlangsung dengan
lambat. Kurang lebih 6% petidin terikat dengan protein dalam plasma. Petidin
dimetabolisme didalam hati, dihidrolisis menjadi asam meperidinat yang
selanjutnya mengalami konjugasi. Masa paruhnya ± 3 jam. Pada pasien sirosis
hati bioavaibilitasnya meningkat menjadi 80%. Dan masa paruhnya
memanjang. 1,4
Farmakodinamik: petidin atau meperidin bekerja pada reseptor μ.
Pada susunan saraf pusat petidin menimbulkan analgesia, sedasi, euforia,
depresi nafas, dan efek sentral lain. Efek analgesia petidin mulai timbul 15
menit setelah pemberian oral dan mencapai puncak dalam 2 jam. Efek
analgetik lebih cepat timbul dengan pemberian secara subkutan dan IM sekitar
10 menit, mencapai puncak dalam 1 jam dan masa kerjanya 3-5 jam.
Efektifitaspetidin 75-100mg parenteral kurang lebih sama dengan 10mg
morfin. Bioavaibilitas peroral 40-60%, maka bila diberikan per parenteral
diberikan setengahnya. Sedasi, euforia dan eksitasi, pemberian petidin kepada
pasien yang nyeri atau cemas akan menimbulkan euforia. Dosis toksik petidin
menimbulkan perangsangan SSP, berupa tremor, kedutan otot, dan konvulsi.
Petidin depresi nafas dengan menurunkan kepekaan pusat nafas terhadap CO 2
dan mempengaruhi pusat yang mengatur irama nafas dalam pons. Petidin
menurunkan tidal volume, sedangkan frekuensi nafas kurang dipengaruhi.
Sebaliknya morfin terutama menimbulkan penurunan frekuensi nafas.
Kardiovaskular, pemberian petidin pada pasien berbaring tidak mempengaruhi
kardiovaskular. Bila berobat jalan dapat menyebabkan sinkop akibat
8
penurunan tekanan darah akibat depresi nafas yang menyebabkan peningkatan
kadar CO2, mengakibatkan dilatasi pembuluh darah otak sehingga timbul
kenaikan tekanan cairan cerebrospinal. Petidin tidak menimbulkan konstipasi
sekuat morfin. Uterus, dosis terapi petidin yang diberikan sewaktu partus tidak
memperlambat kelangsungan partus dan tidak mengubah kontraksi uterus, dan
juga tidak mengganggu kontraksi atau involusi uterus pascapersalinan dan
tidak menambah frekuensi perdarahan pasca persalinan. 1,4
Dosis. Meperidin HCl tersedia dalam bentuk tablet 50mg dan 100mg
dan ampul 2ml/100mg. pemberian petidin biasanya peroral atau IM.
Pemberian IV menimbulkan reaksi lebih sering dan lebih berat. Pemberian 50-
100mgpetidin secara parenteral menghilangkan nyeri sedang atau hebat pada
sebagian besar pasien. 1,3,4
Efek samping. Berupa pusing, berkeringat, euforia, mulut kering,
mual, muntah, perasaan lemah, gangguan penglihatan, palpitasi, disforia,
sinkop dan sedasi. Pada pasien dengan penyakit hati dan orangtua, dosis obat
harus dikurangi karena terjadinya perubahan disposisi obat. Bila obat
diberikan bersama antipsikosis, hipnotik sedatif, dan obat-obat lain penekan
SSP, dosis obat juga harus dikurangi. 1,4,5

c. Fentanyl ( fl 10cc = 500 mg), dosis 1-3µgr/kgBB


Fentanil merupakan
obat dari golongan opioid
yang banyak digunakan
dalam anestesi,
kekuatannya 100 X morfin.
Dalam dosis kecil (1µg/kgBB, IV) fentanil memiliki onset dan durasi kerja
yang singkat (20-30 menit) dan menimbulkan efek sedasi sedang. Dalam dosis
besar (50-150µg/kgBB, IV) didapatkan sedasi yang dalam serta penurunan
kesadaran, dan kadang didapatkan kekakuan otot dada. 1,4
Farmakokinetik. Farmakokinetik fentanil bervariasi pada tiap individu.
Setelah pemberian melalui bolus intravena, konsentrasi plasma turun dengan
cepat (waktu paruh distribusi sekitar 13 menit). Waktu paruh berkisar antara 3-
4 jam dan dapat memanjang hingga 7-8 jam pada beberapa pasien. (5) Setelah
9
suntikan intravena ambilan dan distribusinya hampir sama dengan morfin
tetapi fraksi terbesar dirusak oleh paru ketika pertama kali melewatinya.
Fentanil dimetabolisir oleh hati dengan N-dealkilasi dan hidroksilasi,
metabolit dapat didapatkan di darah dalam 1-2 menit setelah pemberian. Sisa
metabolisme dieksresikan di urin dalam beberapa hari. 1,4,6
Farmakodinamik. Fentanil bekerja pada reseptor spesifik di otak dan
medulla spinalis untuk menurunkan rasa nyeri dan respons emosional terhadap
nyeri. Sistem kardiovaskuler. Kardiovaskular cenderung tidak mengalami
perubahan signifikan setelah pemberian fentanil, namun kadang dalam dosis
besar dapat menyebabkan bradikardi yang memerlukan terapi atropin. Sistem
pernafasan. Seperti analgesik opioid yang lain, fentanil mendepresi pernafasan
bergantung dosis pemberiannya. Efek depresi pernafasan berlangsung lebih
lama dari efek analgesiknya. 1,4,6
Dosis. Fentanil dosis 1-3µg/kgBB memiliki efek analgetik yang hanya
berlangsung 30 menit, karena itu hanya digunakan dalam pembedahan dan
tidak untuk pasca bedah. Dosis besar 50-150µg/kgBB digunakan untuk induksi
dan pemeliharaan anestesi dengan kombinasi dengan benzodiazepine dan
anestetik inhalasi dosis rendah pada bedah jantung selain itu juga dapat
mencegah peningkatan kadar gula, katekolamin plasma, ADH, rennin,
aldosteron dan kortisol. 1,4
Efek samping. Efek yang kurang disukai akibat pemberian fentanil adalah
kekakuan otot punggung yang sebenarnya dapat dicegah dengan pemberian
pelumpuh otot. 1,4,6

2. Analgesik non narkotik


Obat abakgesik antipiretik serta obat antiinflamasi nonsteroid (AINS), untuk
memudahkan mari kita kelompokan jenisnya berdasarkan selektifitasnys.
Antaralain.

a. Ketorolak
Ketorolac
merupakan
antigonis poten
dengan efek
10
antiinflamasi sedang. Absorbsi oral dan intramuskular berlangsung cepat
mencapai puncak dalam 30-50 menit. Biaavailabilitas oral 80% dan hampir
seluruhnya terikat protein. Ketorolak IM sebagai analgesik pasca bedah
memeperlihatkan efektivitas sebanding morfin/petidin dosis umum; masa
kerja lebih panjang dan efek samping lebih ringan. Dosis IM 30-60mg, IV 15-
30 mg. efek sampingnya berupa nyeri ditempat suntikan, gangguan saluran
cerna, kantuk, pusing , dan sakit kepala terjadi kira-kira 2 kali placebo. Karena
ketorolac sangat selektif menghambat COX-1, maka obat ini tidak dilanjur
dipakai lebih dari 5 hari karena kemungkinan tukak lambung. 1,4

b. Asam mefenamat
Asam mefenamat digunakan sebagai analgesik terikat sangat kuat pada protein
plasma. Efeksamping pada saluran cerna sering timbul misal dispepsia, diare
sampai diare berdarah dan gejala iritasi lain terhadap mukosa lambung.
Dosisnya 2-3 kali 250-500mg sehari. Di Amerika obat ini tidak diberikan pada
anak-anak dan ibu hamil dan pemberian tidak lebuh dari 7 hari. (1) (4)

c. Natrium diklofenak
Natrium diklofenak termasuk dalam klasifikasi selektivitas penghambat COX,
termasuk kelompok preferential COX 2 inhibitor. Absorbsi obat melalui
saluran cerna berlangsung cepat dan lengkap. Obat ini terikat protein plasma
99% dan mengalami efek metabolisme lintas pertama (first pass) sebesar 40-
50%. Walaupu waktu paruhnya singkat yakni 1-3 jam, natrium diklofenak
diakumulasi di cariran sinovial yang menjelaskan efek terapi di sendi jauh
lebih panjang dari waktu paruh obat tersebut. Efek sampingnya mual, gastritis,
eritema kulit dan sakit kepala. Pemakaian selama kehamilan tidak dianjurkan.
Dosis orang deasa 100-150 mg sehari terbagi 2-3-4. 1,4

3. Hipnotik
a. Ketamin ( fl 10cc = 100 mg), dosis 1-2 mg/kgBB
b. Pentotal (amp 1cc = 1000 mg), dosis 4-6 mg/kgBB

4. Sedatif
a. Diazepam/valium/stesolid ( amp 2cc = 10mg), dosis 0,1 mg/kgBB

11
b. Midazolam/dormicum (amp 5cc/3cc = 15 mg),dosis 0,1mg/kgBB
Golongan benzodiazepin yang sering digunakan adalah adalah
Diazepam (valium), Lorazepam (Ativan) dan Midazolam (Miloz). Diazepam
dan lorazepam tidak larut dalam air. Diazepam tersedia dalam sediaan emulsi
lemak (Diazemuls), sedangkan midazolam merupakan benzodiazepin yang
larut air yang tersedia dalam larutan dengan PH 3,5.
Golongan benzodiazepine bekerja sebagai hipnotik, sedative, amnestik,
antikonvulsan, pelumpuh otot yang bekerja sentral. Benzodiazepine bekerja
pada reseptor GABAA. Afinitas pada reseptor GABAA berurutan seperti
berikut lorazepam > midazolam > diazepam. Reseptor spesifik
benzodiazepine akan berikatan pada komponen gamma yang terdapat pada
reseptor GABA. 1,4
Farmakokinetik. Ketiga macam obat golongan benzodiazepines yang
banyak digunakan dalam anestesi diklasifikasikan sebagai berikut: 1.)
Midazolam (short-lasting); 2.) lorazepam (intermediate-lasting); 3.) diazepam
(long-acting), berdasarkan metabolism dan bersihan dari plasma. Rasio
bersihan midazolam berkisar antara 6-11 ml/kg/menit, sedangkan lorazepam
0.8-1.8 ml/kg/menit dan diazepam 0.2-0.5 ml/kg/menit. Walaupun terminasi
kerja dari obat ini terutama dipengaruhi oleh redistribusi obat dari SSP ke
jaringan lain setelah penggunaan untuk anestesi, pemberian berulang, atau
infuse berkelanjutan, kadar midazolam dalam darah turun lebih cepat
dibandingkan yang lain karena bersihan hati yang lebih besar. (7) Hasil
metabolisme dari benzodiazepines menjadi penting. Diazepam membentuk 2
macam metabolit aktif yaitu, oxazepam dan desmethyldiazepam yang
memperkuat dan memperpanjang efek obat. Midazolam mengalami
biotransformasi menjadi hydroxymidazolam yang memiliki potensi 20-30%
dari midazolam. Metabolit-metabolit ini diekskresikan melalui urin dan dapat
menyebabkan sedasi yang dalam pada pasien dengan gangguan ginjal. Pada
pasien yang sehat, hydroxymidazolam lebih cepat diekskresikan dibanding
midazolam. 1,4,5
Faktor yang mempengaruhi farmakokinetik dari benzodiazepine antara
lain usia, jenis kelamin, ras, induksi enzim, gangguan hepar & ginjal.
Diazepam sensitive terhadap hal-hal tersebut di atas terutama usia, usia yang
12
bertambah mengurangi kecepatan bersihan diazepam dari tubuh secara
signifikan, hal ini juga didapatkan pada midazolam namun dalam derajat yang
lebih rendah. Kebiasaan merokok sebaliknya mempercepat klirens diazepam.
Klirens midazolam tidak dipengaruhi kebiasaan merokok tetapi konsumsi
alcohol, pada pasien dengan kebiasaan mengkonsumsi alkohol klirens
midazolam akan mengalami percepatan Farmakokinetik lorazepam tidak
dipengaruhi usia, jenis kelamin ataupun gangguan ginjal. Ketiga obat ini
dipengaruhi oleh obesitas. Volume distribusi meningkat akibat perpindahan
dari plasma ke jaringan adipose. Walaupun tidak mempengaruhi klirens,
namun waktu paruh menjadi lebih panjang, sehingga pemulihan akan
didapatkan lebih lambat pada pasien dengan obesitas. 1,4
Midazolam dan diazepam memiliki onset yang lebih cepat yaitu 30-60
detik dibanding lorazepam (60-120 detik). Waktu paruh midazolam berkisar
antara 2-3 menit, 2 kali lebih panjang dibanding diazepam, namun kekuatan
lorazepam 6 kali lipat dari diazepam. (6) Sama seperti onset, durasi kerja juga
bergantung kelarutan dalam lemak dan kadar dalam darah. Redistribusi
midazolam dan diazepam lebih cepat dibanding lorazepam yang kemungkinan
diakibatkan dari kelarutan dalam lemak lorazepam yang lebih rendah.
Sehingga durasi kerja lorazepam lebih panjang dibanding diazepam dan
midazolam. 1,4
Farmakodinamik. Benzodiazepine menimbulkan efek amnesia, anti
kejang, hipnotik, relaksasi otot dan sedasi tanpa efek analgetik. Bergantung
dari dosisnya, juga menurunkan kebutuhan oksigen otak dan aliran darah ke
otak serta laju metabolism otak. Midazolam dan diazepam bergantung dari
dosisnya juga memiliki efek proteksi dari hipoksia serebral. Efek perlindungan
midazolam didapatkan lebih nyata dari diazepam. Sistem kardiovaskuler.
Perubahan yang mungkin paling jelas adalah penurunan tekanan darah yang
ringan akaibat penurunan resistensi vaskular sistemik. Efek ini didapatkan
sedikit lebih nyata pada pemberian midazolam namun perubahan tekanan
darah ini kurang lebih sama seperti pemberian thiopental. Bahkan dosis
0.2mg/kgBB dilaporkan aman untuk induksi pada pasien dengan stenosis
aorta. Benzodiazepine tidak mempengaruhi mekanisme refleks homeostatik,
oleh karena itu hemodinamik relatif stabil. Sistem pernafasan. Seperti
13
kebanyakan obat anestesi intravena lainnya, obat golongan benzodiazepine
juga mendepresi pusat pernafasan, menurunkan frekuensi nafas serta volume
tidal. Puncak depresi pernafasan setelah pemberian midazolam (0.13-0.2
mg/kg) terjadi dalam 3 menit dan berlangsung kurang lebih selama 60-120
menit. Waktu pemberian juga mempengaruhi onset depresi pernafasan,
semakin cepat obat diberikan, semakin cepat terjadi depresi pernafasan.
Depresi pernafasan setelah pemberian midazolam akan tampak lebih nyata dan
berlangsung lebih lama pada pasien PPOK. Opioid dan benzodiazepine secara
sinergis memperkuat depresi pernafasan walaupun bekerja melalui mekanisme
yang berbeda.(6) Sistem otot rangka. Bekerja di tingkat supraspinal dan spinal,
menimbulkan penurunan tonus otot rangka, sehingga sering digunakan pada
pasien yang menderita kekakuan otot rangka. 1,4
Dosis. Benzodiazepin digunakan untuk tujuan sedasi sebagai
premedikasi, selama pemberian regional atau anestesi local, ataupun setelah
operasi. Selain itu juga untuk mengurangi kecemasan, efek amnesia dan
peningkatan ambang batas kejang, untuk keperluan ini benzodiazepine
diberikan secara titrasi. Dosis untuk induksi yang dianjurkan adalah 0.05-0.15
mg/kgBB untuk midazolam dengan dosis ulangan 0.05mg/kgBB bila
diperlukan, 0.3-0.5mg/kgBB untuk diazepam dengan dosis ulangan
0.1mg/kgBB bila diperlukan, dan 0.1 mg/kgBB untuk lorazepam dengan dosis
ulangan 0.02mg/kgBB bila diperlukan. Untuk mendapatkan efek sedasi dosis
berulang yang dianjurkan untuk midazolam adalah 0.5-1mg, 2mg untuk
diazepam, dan 0.25mg untuk lorazepam. 1,4
Efek samping. Midazolam dapat menyebabkan depresi pernafasan jika
digunakan sebagai sedasi. Lorazepam dan diazepam dapat menyebabkan
iritasi pada vena dan trombophlebitis. Benzodiazepine turut memperpanjang
waktu sedasi dan amnesia pada pasien. Efek Benzodiazepines dapat di reverse
dengan flumazenil (Anexate, Romazicon) 0.1-0.2 mg IV prn to 1 mg, dan 0.5 -
1 mcg/kg/menit. 1,4
c. Dehydrobenzperidon/DBP (amp 2cc = 5 mg), dosis 0,1 mg/kgBB

5. Anti emetic
a. Sulfas atropine
14
Atropin sebagai prototipe antimuskarinik. Bertujuan menurunkan sekresi
kelenjar saliva, keringat, dan lendir di mulut serta menurunkan efek
parasimpatolitik / paravasopagolitik sehingga menurunkan risiko timbulnya
refleks vagal.1,4
Farmakodinamik. Atropin dalam dosis kecil memperlihatkan efek
merangsang disusunan saraf pusat dan pada dosis toksik memperlihatkan efek
depresi setelah melampaui fase kesitasi yang berlebihan, atropin merangsang
N. Vagus sehingga denyut jantung berkurang. Perangsangan respirasi terjadi
akibat dilatasi bronkus, tetapi dalam hal depresi respirasi oleh sebab tertentu,
atropin tidak berguna merangsang respirasi. Kardiovaskular. Pengaruh atropin
terhadap jantung bersifat bifasik dengan dosis 0.25-0.5mg, frekuensi jantung
berkurang. Pada dosis toksis terjadi dilatasi kapiler pada bagian muka dan
leher akibat vasodilatasi, yang merupakan kompensasi kulit untuk melepas
panas. 1
Dosis. diberikan jika anestesi dilakukan dengan anestetika dengan efek
hipersekresi, misal: dietileter atau ketamin. Sediaannya amp 1cc = 0,25
mg),dosis 0,001 mg/kgBB
Efek samping: proses pembuangan panas akan terganggu, terutama pada
anak-anak sehingga terjadi febris dan dehidrasi. 1

b. Ondancentron
Antagonis 5HT3 yang sangat selektif yang dapat menekan mual dan muntah
karena sitostatika. Mekanisme kerjanya diduga dilangsungkan dengan
mengantagoniskan reseptor 5-HT yang terdapat pada chemoreceptor zone di
area posttrema otak dan mungkin juga pada aferen vagal saluran cerna. Pada
pemberian oral obat ini diabsorpsi secara cepat. Kadar maksimum tercapai
setelah 1-1.5 jam terikat protein plasma sebanyak 70-76% dan wktu paruhnya
3 jam. Dosisnya 0.1-0,2 mg/KgBB. 1

c. Simetidin dan Ranitidin


Farmakokinetik: bioavaibilitas simetidin sekitar 70% sama dengan
setelah pemberian IV atau IM. Ikatan protein plasmanya hanya 20%.
Absorpsi simetidin diperlambat dengan makanan, sehingga diberikan
bersama atau segera setelah makan dengan maksud untuk

15
memperpanjang efek pada periode pascamakan. Absorpsi simetdidin
terutama terjadi pada menit ke 60-90. Simetidin masuk ke SSP. Sekitar
50-80% dari dosisIV, dan 40% oral, simetidin diekskresikan dalam
bentuk asal dalam urin. Masa paruh eliminasinya sekitar 2jam. 1
Bioavaibilitas ranitidin yang diberikan secara oral sekitar 50%
dan meningkat pada pasien penyakit hati. Masa paruhnya kira-kira 1,7-
3 jam pada orang dewasa, dan memanjang pada orangtua dan pada
pasien penyakit gagal ginjal. Kadar puncak dalam plasma dicapai
dalam 1-3jam setelah penggunaan 150mg ranitidin oral dan yang
terikat protein pasma 15%. Metabolisme lintas pertamanya di hepar.
Diekskresikan terutama diginjal sisanya pada tinja. 1,4
Farmakodinamik. Simetidin dan ranitidin menghambat
reseptor H2 secara selektif dan reversible. Perangsangan reseptor H 2
akan merangsang sekresi asam lambung sehingga pemberian simetidin
atau ranitidin sekresinya dihambat. Simetidin dan ranitidin juga
mengganggu volurme dan kadar pepsin cairan lambung.1,4
Dosis. Anatagonis reseptor H2 satu kali sehari pada malam hari
diberikan untuk mengatasi gejala akut tukak lambung. Untuk
premedikasi biasanya digunakan ranitidin 50-150mg.
Efek samping. Nyeri kepala, pusing, malaise, mialgia, mual,
diare, konstipasi, ruam kulit, pruritus. Kehilangan libido dan
impoten.2,4

2.2 OBAT-OBAT ANESTESI INTRAVENA


Obat anestesi intravena dapat digolongkan dalam 2 golongan: 1.) Obat yang terutama
digunakan untuk induksi anestesi, contohnya golongan barbiturat, eugenol, dan steroid; 2.)
obat yang digunakan baik sendiri maupun kombinasi untuk mendapat keadaan seperti pada
neuroleptanalgesia (contohnya: droperidol), anestesi dissosiasi (contohnya: ketamin),
sedative (contohnya: diazepam). Dari bermacam-macam obat anesthesia intravena, hanya
beberapa saja yang sering digunakan, yakni golongan: barbiturat, ketamin, dan diazepam.2

2.2.1 PROPOFOL
16
Propofol adalah salah
satu dari kelompok derivat
fenol yang banyak digunakan
sebagai anastesia intravena.
Pertama kali digunakan
dalam praktek anestesi pada
tahun 1977 sebagai obat
induksi. Propofol dikemas
dalam cairan emulsi berwarna putih susu bersifat isotonik dengan kepekatan 1%
(1ml=10 mg).7

Propofol dengan cepat dimetabolisme di hati melalui konjugasi ke glukuronat


dan sulfat untuk menghasilkan senyawa larut dalam air, yang diekskresikan oleh
ginjal. Kurang dari 1% propofol diekskresikan tidak berubah dalam urin, dan hanya
2% diekskresikan dalam tinja.7
Farmakokinetik. Waktu paruh 24-72 jam. Dosis induksi cepat menimbulkan
sedasi (30-45 detik) dengan durasi berkisar antara 20-75 menit tergantung dosis dan
redistribusi dari sistem saraf pusat.(4) Sebagian besar propofol terikat dengan albumin
(96-97%). Setelah pemberian bolus intravena, konsentrasi dalam plasma berkurang
dengan cepat dalam 10 menit pertama (waktu paruh 1-3 menit) kemudian diikuti
bersihan lebih lambat dalam 3-4 jam (waktu paruh 20-30 menit). Kedua fase ini
menunjukkan distribusi dari plasma dan ambilan oleh jaringan yang cepat.7
Metabolisme terjadi di hepar melalui konjugasi oleh konjugasi oleh
glukoronida dan sulfat untuk membentuk metabolit inaktif yang larut air yang
kemudian diekskresi melalui urin(6). Eliminasi propofol sensitif terhadap perubahan
aliran darah hepar namun tidak dipengaruhi oleh ikatan protein ataupun aktivitas
enzim. Propofol diketahui menghambat metabolisme obat oleh sitokrom p450 oleh
karena itu dapat menyebabkan perlambatan klirens dan durasi yang memanjang pada
pemberian bersama dengan fentanyl, alfentanil dan propanolol.4
Farmakodinamik. Sistem saraf pusat. Dosis induksi menyebabkan pasien
kehilangan kesadaran dengan cepat akibat ambilan obat lipofilik yang cepat oleh SSP,
dimana dalam dosis yang kecil dapat menimbulkan efek sedasi, tanpa disetai efek
analgetik. Pada pemberian dosis induksi (2mg/kgBB) pemulihan kesadaran
17
berlangsung cepat. Dapat menyebabkan perubahan mood tapi tidak sehebat
thiopental. Propofol dapat menyebabkan penurunan aliran darah ke otak dan
konsumsi oksigen otak sehingga dapat menurunkan tekanan intrakranial dan tekanan
intraokular sebanyak 35%.2,3,5
Sistem kardiovaskuler. Induksi bolus 2-2,5 mg/kg dapat menyebabkan depresi
pada jantung dan pembuluh darah dimana tekanan dapat turun. Hal ini disebabkan
oleh efek dari propofol yang menurunkan resistensi vaskular sistemik sebanyak 30%.
Namun penurunan tekanan darah biasanya tidak disertai peningkatan denyut nadi.
Pernafasan spontan (dibanding nafas kendali) serta pemberian drip melalui infus
(dibandingkan dengan pemberian melalui bolus) mengurangi depresi jantung.
Sedangkan usia berbanding lurus dengan efek depresi jantung.4,5,7
Sistem pernafasan. Apnoe paling banyak didapatkan pada pemberian propofol
dibanding obat intravena lainnya. Umumnya berlangsung selama 30 detik, namun
dapat memanjang dengan pemberian opioid sebagai premedikasi atau sebelum induksi
dengan propofol. Dapat menurunkan frekuensi pernafasan dan volume tidal. Efek ini
biasanya bersifat sementara namun dapat memanjang pada penggunaan dosis yang
melebihi dari rekomendasi atau saat digunakan bersamaan dengan respiratory
depressants.4,5,7
Dosis. Propofol digunakan untuk induksi dan pemeliharaan dalam anastesia
(4)
umum, pada pasien dewasa dan pasien anak – anak usia lebih dari 3 tahun. Dosis
yang dianjurkan untuk induksi pada pasien lebih dari 3 tahun dan kurang dari 55
tahun adalah 2-2.5 mg/kgBB dan untuk pasien lebih dari 55 tahun, pasien lemah atau
dengan ASA III/IV: 1-1.5 mg/kgBB. Untuk pemeliharaan dosis yang dianjurkan pada
pasien lebih dari 3 tahun dan kurang dari 55 tahun adalah 0.1-0.2 mg/menit/kgBB dan
untuk pasien lebih dari 55 tahun, pasien lemah atau dengan ASA III/IV: 0.05-0.1
mg/menit/kgBB. (4) Dosis yang dianjurkan yang dapat menimbulkan sedasi adalah 0.1-
0.15 mg/kgBB sebagai dosis inisial dengan dosis pemeliharaan yang dianjurkan pada
pasien lebih dari 3 tahun dan kurang dari 55 tahun adalah 0.025-0.075
mg/menit/kgBB dan untuk pasien lebih dari 55 tahun, pasien lemah atau dengan ASA
III/IV: 0.02-0.06 mg/menit/kgBB. 4

Propofol, bila digunakan untuk induksi anestesi dalam prosedur singkat, hasil
dalam pemulihan secara signifikan lebih cepat dan pengembalian sebelumnya fungsi
18
psikomotor dibandingkan dengan thiopental atau methohexital, terlepas dari anestesi
yang digunakan untuk pemeliharaan anestesi. Kejadian mual dan muntah saat
propofol digunakan untuk induksi juga nyata kurang dari setelah penggunaan anestesi
IV lainnya, mungkin karena sifat antiemetik propofol.(3) Propofol mendukung
perkembangan bakteri, sehingga harus berada dalam lingkungan yang steril dan
hindari profofol dalam kondisi sudah terbuka lebih dari 6 jam untuk mencegah
kontaminasi dari bakteri. 4,5
Efek samping. Suntikan intravena sering menyebabkan nyeri, sehingga
beberapa detik sebelumnya dapat diberikan lidokain 1-2mg/kgBB intravena (3).
Biasanya terjadi saat penyuntikan dilakukan di dorsum Palmaris. Insidens nyeri lebih
sedikit didapatkan pada penyuntikan di vena yang lebih besar di fossa antecubiti. (5).
Bradikardi serta hipotensi kadang didapatkan setelah penyuntikan propofol, namun
dapat diatasi dengan penyuntikkan obat antimuskarinik, misalnya: atropin. Efek
samping eksitatorik seperti myoclonus, opisthotonus serta konvulsi kadang
dihubungkan dengan pemberian propofol dan dapat terjadi pada masa pemulihan.
Resiko konvulsi dan onset yang melambat ditemujan pada pemberian propofol pada
pasien epilepsi. 4,5,7

2.2.2 TIOPENTAL
Tiopental
(pentotal, tiopenton)
dikemas dalam bentuk
tepung atau bubuk
berwarna kuning,
berbau belerang,
biasanya dalam ampul
500 mg atau 1000 mg. Sebelum digunakan dilarutkan dalam akuades steril sampai
kepekatan 2.5% (1 ml= 25 mg). Thiopental hanya boleh digunakan untuk intravena.
Penyuntikan dilakukan perlahan-lahan dihabiskan dalam 30-60 detik. (3) Keuntungan
thiopental antara lain: 1.) Induksi mudah dan cepat; 2.) tidak ada delirium; 3.)
kesadaran cepat pulih; 4.) tidak ada iritasi mukosa jalan nafas. Sedangkan kekurangan
dari penggunaan thiopental antara lain: 1.) depresi pernafasan; 2.) depresi

19
kardiovaskular; 3.) kecendurangan tejradinya spasme laring; 4.) relaksasi otot perut
kurang; 5.) tidak memiliki efek analgesik.1,4
Farmakokinetik. Waktu paruh thiopental berkisar antara 3-6 jam dengan
onset berkisar antara 30-60 detik dan durasi kerja obat 20-30 menit. (7) Thiopental di
dalam darah 70% diikat oleh albumin, sisanya 30% dalam bentuk bebas, sehingga
pada pasien dengan albumin rendah, dosis rendah harus dikurangi. Bergantung dosis
dan kecepatan suntikan, thiopental akan menyebabkan pasien berada dalam keadaan
sedasi, hipnotik, anesthesia, atau depresi nafas. 1,4
Metabolisme thiopental terutama terjadi di hepar dengan sebagian kecil
thiopental keluar lewat urin tanpa mengalami perubahan. 10-15% thiopental dalam
tubuh akan dimetabolisme tiap jam. Pulih sadar yang cepat setelah thiopental
disebabkan oleh pemecahan dalam hepar yang cepat. Dilusi dalam darah dan
redistribusi ke jaringan tubuh yang lain. Oleh karena itu thiopental termasuk dalam
obat dengan daya kerja sangat singkat (ultra short acting barbiturate) Thiopental
dalam jumlah kecil masih dapat ditemukan dalam darah 24 jam setelah pemberian.
Oleh karena itu dapat membahayakan bagi pasien one day care yang masih harus
mengendarai mobil setelah sadar dari efek thiopental. 2,4
Farmakodinamik. Sistem saraf pusat. Seperti barbiturat yang lain, thiopental
menimbulkan sedasi, hipnosis, atau tertidur dan depresi pernafasan tergantung dosis
dan kecepatan pemberian. Efek analgetik sedikit dan terhadap SSP terlihat adanya
depresi dan kesadarannya menurun secara progresif. Kontak dengan lingkungan,
gerakan-gerakan, dan kemampuan menjawab pertanyaan pelan-pelan menghilang.3,4
Kecepatan kerja dari thiopental bergantung pada penetrasi obat ke SSP yang
dipengaruhi oleh kadar obat dalam plasma dan ikatannya dengan protein plasma.
Akibat perbedaan konsentrasi, konsentrasi obat yang lebih tinggi di plasma akan
menyebabkan difusi ke SSP dalam jumlah besar. 70% thiopental terikat albumin,
sedangkan hanya thiopental bebas yang dapat menembus blood brain barrier karena
itu ikatan dengan protein plasma dan kecepatan onset obat berbanding terbalik. (6)
Tiopental menurukan kebutuhan oksigen otak sehingga perfusi ke otak juga berkurang
yang ditandai dengan peningkatan resistensi vaskular otak, penurunan aliran darah ke
otak dan penurunan tekanan intrakranial. 5
Sistem kardiovaskuler. Thiopental mendepresi pusat vasomotor dan
kontraktilitas miokard yang mengakibatkan vasodilatasi, sehingga dapat menurunkan
20
curah jantung dan tekanan darah. Efek ini tergantung dosis dan lebih nyata pada
pasien dengan penyakit kardiovaskular atau yang menerima pengobatan yang
mempengaruhi simpatis. .1,4,5
Sistem pernafasan. Efek utama ialah depresi pernafasan karena efek langsung
ke pusat pernafasan dan penurunan sensitivitas terhadap kadar CO 2 sehingga PCO2
akan meningkat dan pH darah akan naik. Efek ini akan bertambah jelas apabila
sebelumnya diberikan opioid atau obat depresan yang lain.3
Dosis. Dosis yang dianjurkan untuk induksi yang lambat 2-6mg/kgBB,
sedangkan untuk induksi yang cepat 3-4 mg/kgBB dibagi dalam 2-4 dosis. Untuk
pasien bedah saraf dengan peningkatan tekanan intracranial 1.5-3.5 mg/kgBB dengan
ventilator mekanik yang mendukung dan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal
dengan GFR kurang dari 10ml/menit dapat diberikan 75% dari dosis normal dengan
interval yang sama dengan dosis normal.4,5
Tiopental dapat digunakan untuk: 1.) induksi pada anestesi umum; 2.) operasi
atau tindakan yang singkat, contohnya: reposisi fraktur, insisi, jahit luka, tindakan
ginekologi keci seperti curettage; 3.) sedasi pada analgesi regional; 4.) mengatasi
kejang-kejang pada eklampsia, tetanus, epilepsi, dan lain-lain.3
Efek samping. Larutan ini sangat alkalis dengan PH 10-11, sehingga suntikan
keluar vena akan menimbulkan rasa sakit, bengkak, kemerah-merahan, dapat terjadi
nekrosis. Untuk menghindari efek ini sebaiknya memakai larutan 2.5%. sedangkan
injeksi intraarteri akan menyebabkan rasa terbakar, terjadi spasme arteri dan
kemungkinan thrombosis. 1,4

2.2.3 KETAMIN
Ketamin adalah suatu “rapid acting non-barbiturate general anesthetic”.
Pertama kali
diperkenalkan oleh
Domino and Carsen
pada tahun 1965.2
Ketamin
kurang digemari untuk
induksi anesthesia karena sering menimbulkan takikardi, hipertensi, hipersalivasi,
nyeri kepala, pasca anesthesia dapat menimbulkan mual muntah, pandangan kabur
21
dan mimpi buruk.(3) Blok terhadap reseptor opiat dalam otak dan medulla spinalis
yang memberikan efek analgesik, sedangkan interaksi terhadap reseptor metilaspartat
dapat menyebakan anastesi umum dan juga efek analgesik. 1,4
Farmakokinetik. Onset kerja ketamin pada pemberian intravena lebih cepat
dibandingkan pemberian intramuskular. Onset pada pemberian intravena adalah 30
detik sedangkan dengan pemberian intramuskular membutuhkan waktu 3-4 menit,
tetapi durasi kerja juga didapatkan lebih singkat pada pemberian intravena (5-10
menit) dibandingkan pemberian intramuskular (12-25 menit). 1,4
Metabolisme terjadi di hepar dengan bantuan sitokrom P450 di reticulum
endoplasma halus menjadi norketamine yang masih memiliki efek hipnotis namun
30% lebih lemah dibanding ketamine, yang kemudian mengalami konjugasi oleh
glukoronida menjadi senyawa larut air untuk selanjutnya diekskresikan melalui urin.5
Farmakodinamik Sistem saraf pusat. Ketamine memiliki efek analgetik yang
kuat akan tetapi efek hipnotiknya kurang (tidur ringan) disertai anestesia disosiasi.
Apabila diberikan intravena maka dalam waktu 30 detik pasien akan mengalami
perubahan tingkat kesadaran yang disertai tanda khas pada mata berupa kelopak mata
terbuka spontan, dilatasi pupil dan nistagmus. Selain itu kadang-kadang dijumpai
gerakan yang tidak disadari (cataleptic appearance), seperti gerakan mengunyah,
menelan, tremor dan kejang. Pada pasien yang diberikan ketamin juga mengalami
amnesia anterograde. Itu merupakan efek anestesi dissosiatif yang merupakan tanda
khas setelah pemberian Ketamin. Sering mengakibatkan mimpi buruk dan halusinasi
pada periode pemulihan sehingga pasien mengalami agitasi. Selain itu, ketamin
menyebabkan peningkatan aliran darah ke otak, konsumsi oksigen otak, dan tekanan
intrakranial. 1,4
Pulih sadar kira-kira tercapai dalam 10-15 menit tetapi sulit menentukan
saatnya yang tepat seperti halnya sulit menentukan permulaan kerjanya. Kontak
penuh dengan lingkungan dapat bervariasi dari beberapa menit setelah permulaan
tanda-tanda sadar sampai 1 jam. Sering mengakibatkan mimpi buruk, disorientasi
tempat dan waktu, halusinasi dan menyebabkan gaduh, gelisah, tidak terkendali. 1,4
Sistem kardiovaskuler. Tekanan darah akan naik baik sistolik maupun
diastolik. Kenaikan rata-rata antara 20-25% dari tekanan darah semula mencapai
maksimum beberapa menit setelah suntikan dan akan turun kembali dalam 15 menit
kemudian. Denyut jantung juga meningkat. Efek ini disebabkan adanya aktivitas saraf
22
simpatis yang meningkat dan depresi baroreseptor. Efek ini dapat dicegah dengan
pemberian premedikasi opioid, hiosine. Namun aritmia jarang terjadi. 1,4
Sistem pernafasan. Depresi pernafasan kecil sekali dan hanya sementara,
kecuali dosis terlalu besar dan adanya obat-obat depressan sebagai premedikasi.
Ketamin menyebabkan dilatasi bronkus dan bersifat antagonis terhadap efek
konstriksi bronkus oleh histamin, sehingga baik untuk penderita asma dan untuk
mengurangi spasme bronkus pada anesthesia umum yang masih ringan. 1,4
Dosis. Dosis yang dianjurkan untuk induksi pada pasien dewasa adalah 1-
4mg/kgBB atau 1-2mg/kgBB dengan lama kerja 15-20 menit, sedangkan melalui
infus dengan kecepatan 0.5mg/kgBB/menit, sedangkan untuk anak-anak terdapat
banyak rekomendasi. Menurut Mace, et al (2004) dosis induksi adalah 1-2 mg/kgBB
sedangkan menurut Harriet Lane, 0.25-0.5 mg/kgBB. Dengan dosis tambahan
setengah dari dosis awal sesuai kebutuhan.(5) Untuk sedasi dan analgesik dosis yang
dianjurkan adalah 0.2-0.8 mg/kgBB intravena dan untuk mencegah nyeri dosis yang
dianjurkan adalah 0.15-0.25 mg/kgBB intravena.(5) Ketamin dapat diberikan bersama
dengan diazepam atau midazolam dengan dosis 0.1mg/kgBB intravena dan untuk
mengurangi salvias dapat diberikan sulfas atropine 0.01mg/kgBB.3
Indikasi. Ketamin dipakai baik sebagai obat tunggal maupun sebagai induksi
pada anestesi umum : 1.) untuk prosedur dimana pengendalian jalan nafas sulit,
misalnya pada koreksi jaringan sikatriks daerah leher; 2.) untuk prosedur diagnostic
pada bedah saraf atau radiologi (radiografi); 3.) tindakan ortopedi, misalnya reposisi;
4.) pada pasien dengan resiko tinggi karena ketamin yang tidak mendepresi fungsi
vital; 5.) untuk tindakan operasi kecil; 6.) di tempat dimana alat-alat anestesi tidak
ada; 7.) pasien asma. 1,4
Kontra Indikasi. Ketamin tidak dianjurkan untuk digunakan pada: 1.) Pasien
hipertensi dengan tekanan darah sistolik 160mmHg dan diastolic 100mmHg; 2.)
Pasien dengan riwayat CVD; 3.) pasien dengan decompensatio cordis. Penggunaan
ketamin juga harus hati-hati pada pasien dengan riwayat kelainan jiwa & operasi-
operasi pada daerah faring karena reflex masih baik.
Efek samping. Di masa pemulihan pada 30% pasien didapatkan mimpi buruk
sampai halusinasi visual yang kadang berlanjut hingga 24 jam pasca pemberian.
Namun efek samping ini dapat dihindari dengan pemberian opioid atau
benzodiazepine sebagai premedikasi. 1,4
23
2.4 RUMATAN ANESTESI (MAINTAINANCE)
Dapat dikerjakan secara intravena (anestesi intravena total) atau dengan
inhalasi atau dengan campuran intravena inhalasi. Rumatan anestesi mengacu pada
trias anestesi yaitu tidur rinan (hypnosis) sekedar tidak sadar, analgesia cukup,
diusahakan agar pasien selama dibedah tidak menimbulkan nyeri dan relaksasi otot
lurik yang cukup. Rumatan intravena biasanya menggunakan opioid dosis tinggi,
fentanil 10-50 µg/kgBB. Dosis tinggi opioid menyebabkan pasien tidur dengan

24
analgesia cukup, sehingga tinggal memberikan relaksasi pelumpuh otot. Rumatan
intravena dapat juga menggunakan opioid dosis biasa, tetapi pasien ditidurkan dengan
infuse propofol 4-12 mg/kgBB/jam. Bedah lama dengan anestesi total intravena,
pelumpuh otot dan ventilator. Untuk mengembangkan paru digunakan inhalasi dengan
udara + O2 atau N2O + O2. Rumatan inhalasi biasanya menggunakan campuran N2O
dan O2 dengan perbandingan 3:1 ditambah halotan 0,5-2 vol% atau enfluran 2-4%
atau isofluran 2-4 vol% atau sevofluran 2-4% bergantung apakah pasien bernapas
spontan, dibantu atau dikendalikan.

2.5 TOTAL INTRAVENA ANESTESIA


Total intravena anestesi (Tiva) menggunakan infus Target terkontrol (TCI)
Cannula Total intravena anestesi (Tiva) dapat didefinisikan sebagai suatu teknik anestesi
umum menggunakan kombinasi dari agen yang diberikan semata-mata oleh rute intravena
dan tidak adanya semua agen inhalasi termasuk nitrous oxide. Rute intravena telah digunakan
untuk mengelola obat selama ratusan tahun dan pemberian anestesi hanya oleh rute intravena
menggunakan kloral hidrat didokumentasikan pada awal tahun 1870. Thiopentone
diperkenalkan ke dalam praktek klinis pada tahun 1934 dan membuat induksi intravena
anestesi populer. Propofol diperkenalkan ke dalam praktek klinis pada tahun 1986 dan
sekarang tampaknya akan mengambil alih peran itu. Hal ini juga menjadi banyak digunakan
sebagai komponen Tiva. 8
Obat intravena untuk memberikan anestesi telah berkembang menjadi alternatif yang
populer untuk anestesi inhalasi. Proses evolusi merupakan hasil dari peningkatan pemahaman
farmakokinetik, farmakodinamik dan interaksi yang berlangsung selama pemberian obat terus
menerus. Memahami proses-proses telah memfasilitasi pengembangan driver jarum suntik
komputerisasi yang memungkinkan pemilihan obat yang optimal dan kombinasi. Sistem
pengiriman obat baru intravena memungkinkan dokter anestesi untuk bervariasi kedalaman
anestesi dalam menanggapi tanda-tanda klinis dengan cara yang intuitif mirip dengan sistem
konvensional yang mudah menguap, sehingga mempermudah administrasi anestesi intravena.
Hasilnya adalah mudah untuk menggunakan sistem modern memberikan anestesi, yang
memungkinkan kontrol yang cepat, tepat dan independen dari amnesia, hipnosis dan
analgesia. 8

25
Farmakokinetik adalah subjek yang berpotensi kompleks tetapi pemahaman tentang
konsep dasar dalam kaitannya dengan obat bius dapat membantu untuk memperjelas
implikasi klinis menggunakan obat tertentu untuk Tiva dan dengan demikian membantu
pemilihan obat yang optimal dan kombinasi. 8
Data dapat dikumpulkan dengan melakukan tes plasma obat tertentu setelah
pemberian (dengan baik dosis tunggal atau infus) untuk memeriksa bagaimana perubahan
konsentrasi plasma dari waktu ke waktu. Ada hubungan matematis antara dosis diberikan
obat dan perubahan yang diamati sehingga konsentrasi plasma. Hubungan ini memungkinkan
model farmakokinetik matematika yang akan dibangun yang kemudian dapat digunakan
untuk memfasilitasi perhitungan dosis rejimen dan memandu manajemen
pharmacotherapeutic. 8
Sistem pemberian obat intravena digunakan selama Tiva harus membantu untuk
mencapai tujuan berikut: induksi halus, dapat diandalkan dan pemeliharaan dititrasi dan
munculnya cepat. Selain itu, sebuah sistem yang menggunakan keterampilan dokter anestesi
telah belajar mengelola anestesi inhalasi akan tampak logis. Target dikendalikan infus (TCI)
perangkat telah dikembangkan untuk memenuhi persyaratan ini. 8,9
Keuntungan dari Infusion Sasaran Controlled (TCI). Sejumlah produsen perangkat
infus telah memperkenalkan "terbuka" sistem TCI untuk propofol, remifentanil dan
sufentanil. Perangkat baru CE ditandai. Jika sebuah perusahaan percaya bahwa perangkat
mereka memenuhi apa yang disebut "persyaratan penting" dari kinerja dan keselamatan, dan
jika mereka memiliki sistem mutu yang disetujui di rumah, mereka tidak perlu menyerahkan
perangkat mereka untuk evaluasi eksternal oleh badan hukum. Peraturan perangkat medis
tidak memerlukan kolaborasi antara perangkat dan produsen obat, dan orang dapat
berargumentasi bahwa ini harus diperlukan, untuk memastikan bahwa perangkat berisi model
farmakokinetik yang tepat. Sejak November 2004 di Inggris, satu-satunya obat yang
berlisensi untuk administrasi oleh TCI adalah propofol, dari sistem Diprifusor TCI.
Penggunaan "terbuka" sistem TCI dapat dianggap sebagai administrasi "off label" obat,
meskipun jika pemberian obat tingkat dicapai pada musim gugur modus TCI dalam yang
dianjurkan dalam label yang ada untuk (manual) bolus dan infus dosis dapat dikatakan bahwa
pengiriman dalam Sesuai dengan informasi resep. 8,9
Pemeliharaan intravena anestesi setelah induksi dapat dicapai dengan dosis berulang
sederhana. Ini memiliki kelemahan dari puncak dan palung dalam konsentrasi obat, yang
dapat mengakibatkan di satu sisi, di efek toksik yang tidak diinginkan dan di sisi lain, dalam
26
underdosing. Langkah logis berikutnya kemudian adalah memberikan obat dengan infus
kontinu tetapi merugikan dengan metode itu adalah penundaan untuk efek puncak, yang
setara dengan empat atau lima eliminasi obat setengah-hidup. Jika dosis muatan diberikan
pada awal tingkat infus tetap, maka efek puncak awal tercapai lebih cepat tapi ada penurunan
konsentrasi pada transisi dari dosis muatan untuk pemeliharaan, karena redistribusi obat. Ini
lagi memperkenalkan risiko underdosing. Untuk menghindari masalah ini, rejimen perawatan
harus memperhitungkan penurunan konsentrasi obat. Dalam perjalanan prosedur, perubahan
kedalaman anestesi sering harus cepat untuk merespon variasi dalam tingkat stimulasi bedah.
Meskipun perubahan dalam tingkat infus manual akan menyebabkan perubahan diprediksi
dalam konsentrasi darah, penundaan dalam mencapai konsentrasi yang lebih tinggi baru
biasanya akan diterima. Untuk meningkatkan konsentrasi darah lebih cepat dengan selisih
bolus diikuti dengan perubahan tingkat infus akan memiliki waktu onset lebih cepat tetapi
perhitungan yang diperlukan untuk memilih bolus benar dan laju infus baru cukup kompleks.
Mereka tentu saja tidak akan praktis untuk anestesi individu untuk melaksanakan dalam
perjalanan dari obat bius. 8,9
Pengurangan dosis memiliki bahaya yang terlalu, penghentian infus pengguna bisa
mengakibatkan hal itu sengaja tidak diaktifkan kembali. Satu jawaban untuk semua masalah
ini adalah infus perangkat komputer berbasis diprogram dengan spesifik parameter
farmakokinetik propofol dan digunakan untuk mencapai target yang telah ditetapkan
konsentrasi plasma obat. Perhitungan kompleks Beberapa jelas domain dari mikroprosesor,
yang dapat membuat proses pemberian anestesi oleh TCI analog dengan mengendalikan
anestesi volatil. Tingkat target dipilih oleh dokter anestesi pada perangkat infus untuk induksi
dan akan disesuaikan dalam menanggapi tanda-tanda klinis untuk mempertahankan
kedalaman anestesi yang memadai. Tidak perlu untuk dosis induksi bolus seperti yang
dimasukkan dalam perhitungan mesin ketika anestesi pertama menetapkan konsentrasi
plasma awal. Kedalaman anestesi dapat diubah dengan cepat dalam proses operasi dengan
hanya memilih darah konsentrasi target baru, mirip konseptual untuk menyesuaikan
vapouriser selama anestesi volatile. Mikroprosesor membuat semua perhitungan yang relevan
selisih bolus atau perubahan dalam tingkat infus yang diperlukan untuk mencapai,
mempertahankan dan mengubah konsentrasi darah ke tingkat target diprogram oleh dokter
anestesi.8
Jadi terdapat perbedaan antara anestesi umum intravena dengan total anestesi
intravena (TIVA). Pada kita mengggunakan alat berupa kontrol infus untuk memasukan obat
27
secara otomatis ke intravena. Anestesi umum intravena lebih mudah dilakukan dan dapat
dilakukan langsung tanpa menggunakan alat.8

DAFTAR PUSTAKA

1. Dewoto HR, et al. Farmakologi dan Terapi Edisi 5, cetak ulang dengan tambahan,
tahun 2012. Analgesik opioid dan antagonisnya. Balai Penerbit FKUI Jakarta 2012;
210-218.
2. Muhiman, Muhardi, dr. et al. Anestesiologi. Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Jakarta; 65-71

28
3. Latief, Said A, Sp.An; Suryadi, Kartini A, Sp.An; Dachlan, M. Ruswan, Sp.An.
Petunjuk Praktis Anestesiologi. Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia Jakarta 2010; 46-47, 81
4. Calvey, Norman; Williams, Norton. Principles and Practice of Pharmacology for
Anaesthetists. Fifth edition. Blackwell Publishing 2008; 110-126, 207-208
5. Miller, Ronald D. MD, et. al. Miller’s anesthesia. Elseveir 2010. CDROOM.
Accessed on 26 maret 2024.
6. Fentanyl. Available at: http://www.webmd.com/pain-management/fentanyl. Accessed
on 26 maret 2024.
7. Sandham J. Total Intravena Anesthesia. May 2009. Available at
http://www.ebme.co.uk/arts/tiva/index.php. accessed on 27 maret 2024.
8. Hong LY, et al. Predictive performance of ‘Diprifusor’ TCI system in patients
during upper abdominal surgery under propofol/fentanyl anesthesia. Available at
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1390758/pdf/JZUSB06-0043.pdf.
accessed on 27 Maret 2024.

29

Anda mungkin juga menyukai