A. Pendahuluan
1
Hadis tersebut adalah “ seseorang diberi hidayah oleh Allah karenanmu (pahalanya)
lebih baik dari unta merah (unta terbaik dan termahal)”H.R. Bukhari. Lihat Muhamad
Fu’ad Abd Al-Baqy, al-Lu’lu’ Wa al-Marjan, Beirut : Dar el-Fikr, 2001, Juz 1, hlm.757.
Dalam riwayat lain disebutkan bahwa pahalanya adalah lebih baik dari dunia dan
seisinya, Lihat dalam ‘Ala al-din Faury, Kanz al-Umal Fi Sunan Al-al-Aqwal wa al-‘Af’al,
Mu’asasah al-Risalah: Damascus, 1401/1981,juz 15, hlm. 344
2
Terkait fiqh al-Waqi (fiqih realitas) dapat dibaca dalam Dr.Nashir bin Sulaiman al-Umar
dengan judul Fiqh al-Waqi’ ; muqawwimatuh, atsaruh, mashadiruh.
3
Demikian Ust Anis Mata Lc mengemukakan dalam beberapa tausiyahnya
1
B. Pengertian Kaidah Dakwah
Kaidah dakwah terdiri dari dua kata yaitu kaidah dan dakwah.
Menurut bahasa kaidah adalah serapan dari bahasa Arab yang
artinya “al-asas” (dasar dan asal, baik bersifat materil ataupun
immateril)4. Ia adalah ism mufrad (kata benda tunggal) dan bentuk
jamaknya adalah qawa’id. Pengertian ini dapat kita lihat dalam
firman Allah Swt :
“ Dan (ingatlah), ketika Ibrahim meninggikan (membina) dasar-
dasar Baitullah bersama Ismail (seraya berdoa): "Ya Tuhan Kami
terimalah daripada Kami (amalan kami), Sesungguhnya Engkaulah
yang Maha mendengar lagi Maha Mengetahui"5.
Sedangkan menurut istilah al-Jurjani menjelaskan bahwa
kaidah adalah hukum-hukum umum yang berlaku pada bagian-
bagiannya6. Hukum umum tersebut diletakan untuk membatasi
hukum-hukum pada bagian-bagian khususnya agar tidak terlepas
dan keluar darinya. Batasan ini hampir sama seperti yang
disebutkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yang
mendefinisikan kaidah sebagai rumusan asas yg menjadi hukum
atau aturan, patokan dan dalil yg sudah pasti7.
Sementara dakwah, menurut bahasa adalah masdar marroh
dari kata da’a yad’u da’watan yang artinya berkutat seputar
permohonan, ajakan, seruan serta anjuran terhadap suatu perkara8.
Dalam al-Qur’an kata “dakwah” disebutkan untuk ajakan kepada
kebaikan (haq) dan keburukan (batil). Dakwah yang digunakan
untuk ajakan kepada kebaikan kita dapatkan dalam ayat al-Qur’ann
berikut ini :
“ Hanya bagi Allah-lah (hak mengabulkan) doa yang benar. dan
berhala-berhala yang mereka sembah selain Allah tidak dapat
memperkenankan sesuatupun bagi mereka, melainkan seperti
orang yang membukakan kedua telapak tangannya ke dalam air
4
Al-Raghib al-Asfahani, al-Mufrodat fi Gharib al-Qur’an, hlm 406 dalam Maktabah
Syamilah, versi 3.2
5
Q.S. al-Baqarah : 127. Kata “qawa’id” dalam bentuk jamak juga dapat dilihat dalam
Q.S.al-Nahl : 26
6
Lihat Ali al-Jurjani, “al-Ta’rifat”, Beirut : Dar al-Kitab al-Araby, cet. Ke-1, hlm 171
7
Lihat KAMUS BESAR BAHASA INDONESIA dalam
http://pusatbahasa.diknas.go.id/kbbi/index.php
8
Lihat Muhamad Al-Razi, “Mukhtar al-Shihah”, Maktabah Libnan : Beirut, 1415/1995,
hlm.218
2
supaya sampai air ke mulutnya, Padahal air itu tidak dapat sampai
ke mulutnya dan doa (ibadat) orang-orang kafir itu, hanyalah sia-sia
belaka” 9.
Sedangkan kata dakwah yang digunakan untuk ajakan kepada
keburukan adalah :
“ Yusuf berkata: "Wahai Tuhanku, penjara lebih aku sukai daripada
memenuhi ajakan mereka kepadaku. dan jika tidak Engkau
hindarkan dari padaku tipu daya mereka, tentu aku akan cenderung
untuk (memenuhi keinginan mereka) dan tentulah aku Termasuk
orang-orang yang bodoh10."
Penggunaan kata dakwah dalam dua pengertian ini juga kita
dapatkan dalam sabda Rasulullah Saw berikut ini:
م
ْ جججوِره
ُ نأْ مجِ كَ ص ذل ِج ُ قج ُ ْ ل َ ي َن، ن ت َب ِعَججه
ْ مَ ِجور ُ ْ مث
ُ لأ ِ ِجرْ َ ن ال
َ م ُ َن ل
ِ ه َ ، ًعا إ َِلى هُد َى
َ كا َ َن دْ م َ
نْ مج َ
ِ ص ذل ِجكُ قج َ
ُ ْ ل ي َن، ه
ُ ن ت َب َِعج ْ مج َ
َ ِ مثل آثججامُ ْ ْ
ِ ِ ن الثم َ م َ
ِ ِن ع َليه َ
َ كا،ة َ َ
ٍ ضلل َ
َ عا إ ِلىَ َن د ْ م ً
َ َ و،شيئا َ
ً شيئاَ م ِ آَثا
ْ ِمه
14
Lihat dalam Muhamad al-Jizani, Ma’alim Ushul al-Fiqh ‘Inda Ahl al-Sunnah Wa al-
Jama’ah, Madinah:Dar Ibn al-Jauzi, 1427 H, cet.5.hlm.297
15
Muhamad Amin Jum’ah,” Al-Dakwah Qawa’id Wa Ushul”, Cairo : Maktabah misriyah,
1997, hlm 18
16
H.R. Bukhari, no. 7084. Lihat dalam Al-Bukhari, Al-Jami’ al-musnad al-Shahih al-
mukhtashar Min Umur Rasulillah Wa Ayyamihi (Shahih Bukhari), Dar Thauq an-Najah :
Mauqi al-Islam, 1422 H, juz 9 hlm 51.
17
Dalam batasan Islam selama dakwah dilakukan dengan baik dan benar, yakni
berpedoman pada wasa’il dan maqashid yang benar, maka meski dakwah kurang
4
D. Kaidah-Kaidah Dakwah
direspon madl’u tidak berarti gagal. Berbeda jika dakwah yang dilakukan kurang
maksimal dalam mempertimbangkan wasa’il dan maqashidnya maka kegagalan dakwah
dapat terjadi karenanya.
18
Al-Syatibi,” al-Muwafaqat” , tahqiq Abu Ubaidah Ali Salman, Dar Ibn Affan: Riyad,
1427/1997 M, Juz 2, hlm.17
19
Miswan Thahadi, ibid, hlm 21
20
Lihat dalam: Taj al-Din Al-Subki, Al-Asybah wa al-Nadza’ir, Syria : Dar al-Kutub al-
ilmiyah, 1411/1991, Juz 1 , hlm.57
5
8. Al-Masyaqqatu Tajlib al-Taisir ( Kesulitan membawa
kemudahan).
9. Al-Haraju Syar’an Marfu’ ( menurut syara’ kesulitan itu
harus dihilangkan).
10. Al-Hajatu Tanzilu Manzilat al-Dharurati Fi Ibahat
Mahdhurat ( Kebutuhan-kebutuhan dapat menempati posisi
keterpaksaan dalam kebolehan melakukan yang haram). Dan
kaidah-kaidah lain yang dapat kita baca dalam buku-buku ushul
fiqih dimana semuanya dapat kita kembangkan untuk kemudian
menjadi pedoman atau standar dalam berdakwah.
Syaikh Jum’ah Amin mencoba mengembangkan kaidah-kaidah
ushul fiqih tersebut dalam kerangka dakwah setelah sebelumnya
mengaplikasikan kaidah-kaidah tersebut dalam lapangan dakwah,
beliau merumuskan sepuluh (10) kaidah yang dapat kita pedomani
saat berdakwah sebagai berikut :
27
Q.S.Al-Taubah : 128
28
Q.S. Ali imran: 159
8
Katakanlah: "Inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang
yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan
hujjah yang nyata, Maha suci Allah, dan aku tiada Termasuk
orang-orang yang musyrik"29.
Ketika seorang da’i membebankan suatu amalan
sebelum dipahamkan, maka akan muncul konsekuensi
penolakan terhadap dakwahnya dan atau menjadikan madh’u
selalu taqlid, menerima apa adanya meski mereka belum
mengetahui dasar amalan tersebut hingga akhirnya mereka
menjadi orang yang taqlid buta (muqallid a’ma).
Di samping itu, mengenalkan Islam secara utuh akan
menangkal setiap kesalahan ajaran yang dikembangkan oleh
orang-orang yang fobi terhadap Islam dan akan menjadikan
madh’lu selalu beramal atas dasar ilmu, sbegaimana disebut
imam Al-Bukhari al-ilmu qabla al-qauli wa al-amal30.
ّ َ ول َ ت ُن
فُروا ّ َ وب
َ شُروا َ ، سُروا َ ُ ول َ ت
ّ ع َ سُروا
ّ َي
“Permudahlah dan jangan kamu persulit,
gembirakanlah dan jangan membuat mereka berlari ” 35.
Setiap da’i harus mengetahui bahwa setiap hukum
dalam syari’at Islam – baik perintah ataupun larangan-
bertingkat-tingkat. Ada perintah ibadah yang hukumnya
wajib ‘ain yaitu kewajiban yang harus dilakukan oleh setiap
individu dan ada juga perintah yang hukumnya wajib kifayah
dimana cukuplah sebagian orang untuk melakukan kewajiban
tersebut36. Di samping itu ada perintah lain tapi tidak sampai
kepada batasan wajib yaitu sunnat saja. Sunnat pun ada
yang mu’akadah yang ditekankan untuk dapat dilakukan,
menyerupai hukum wajib, dan ada pula yang ghoir
mu’akkadah yang tidak terlalu ditekankan. Demikian juga
terkait dengan larangan, ada yang hukumnya haram sebagai
larangan keras, ada pula larangan yang tidak terlalu keras
yang disebut dengan makruh37.
Perintah dan larangan ibadah dalam Islam dapat
dipastikan mudah untuk dilakukan, dan jika berada dalam
kondisi yang sulit maka perintah tersebut menetapkan
pilihan-pilihan yang dapat dilakukan sebagai penggantinya.
Namun, bukan berarti perintah ibadah tersebut dapat se-
enaknya diganti dan dirubah atas dasar kaidah ini, karena
yang dimaksud adalah bahwa agama ini meski ia sebagai
33
Muhamad Amin Jum’ah, ibid, hlm. 34
34
Q.S. Al-Baqarah : 185
35
Muttafaq ‘Alaih. Lihat Al-Nawawi, Riyad al-Shalihin, Cairo : Dar al-Taqwa, Juz 1, hlm
367.
36
Lihat dalam Zakaria al-Bakistany, “Min Ushul al-Fiqh ‘Ala manhaj ‘Ahl al-Hadits”,
Madinah : Dar al-Kharraz, 1423/2002, Juz 1, hlm. 153
37
Lihat dalam Hasan al-Atthor, “ Hasyiah al-‘Athhor ‘ala Jam’i al-Jawa’mi’”, Beirut : Dar al-
Kutub al-Ilmiyah, 1420/1999, Juz.1 hlm.116
10
perintah ibadah namun tetap didasarkan kepada kemampuan
manusia sebagai mukallafnya. Allah berfirman :
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan
kesanggupannya”38.
Da’i yang tidak mengetahui tingkatan hukum syari’ah
dapat dipastikan dakwahnya akan membuat mad’u lari dan
merasa sulit untuk dapat melakukan suatu amalan, karena
semuanya dianggap sama dalam tingkatan hukum.
44
Q.S. Yusuf : 108
45
Q.S. Al-isra: 36
46
H.R. Ibnu Majah, no. 2544, lihat dalam Abu Abdullah al-Qazwiny, “Sunan Ibn Majah”,
Beirut:Dar el-Fikr, 1424
13
seandainya harus berdebat, maka ia dilakukan dengan cara
yang baik (mujadalah bi al-husna), Allah Swt berfirman:
“ Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah
dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara
yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih
mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan
Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat
petunjuk “ 47.
E. Penutup.
14
dengan pengalaman dakwahnya di lapangan. Sebagai ijtihad
seorang da’i tentu akan dihadapkan dengan ijtihad lain yang kontra
terhadapnya.
Terlepas dari kaidah-kaidah yang antitesif dengannya,
sesungguhnya dakwah yang dilakukan setiap da’i harus selalu
mengacu kepada kaidah-kaidah dasar dakwah yang nilai-nilai
dasarnya telah ditetapkan Al-Qur’an dan Al-Sunnah. Hal itu
dilakukan agar dakwah yang dilakukan tidak kabur dan malah
menghantarkan dakwahnya menjadi tathorruf dan tasahul.
Kenyataan di lapangan dakwah, ada beberapa da’i yang
melakukan dakwah dengan tidak memperhatikan kaidah-kaidah
dakwah ini, dilakukan seadanya, saklek tanpa memadukan antara
materi dakwahnya sebagai fiqih wahyu dengan materi lain yang
secara substantif tidak kontradiksi dengan nilai-nilai yang
ditetapkan dalam nash-nash aL-Qur’an dan al-Sunnah, yaitu fiqih
al-waqi’. Karena dakwah yang dilakukan Nabi juga tidak terlepas
dari perpaduan antara kebenaran wahyu dengan ketepatan strategi
dalam melakukan transformasi individual dan sosial menuju
keadaan yang lebih baik. Wallahu A’lam
DAFTAR PUSTAKA
12. Muhamad bin Abd al-Wahab, “al-Qaul al-Sadid Syarh Kitab al-
Tauhid”, Saudi Arabia: Kementerian: Departemen Agama dan
Dakwah Saudi, 1421H
16
17