Anda di halaman 1dari 22

Acara IV

FIKOSIANIN : PEWARNA ALAMI


DARI BLUE GREEN MICROALGA
SPIRULINA
LAPORAN RESMI PRAKTIKUM
TEKNOLOGI HASIL LAUT
Disusun oleh:
Nama : Deanna Suntoro
NIM : 12.70.0005
Kelompok B6

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGAN


FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATA
SEMARANG

Acara IV

2014

1. HASIL PENGAMATAN
Hasil pengamatan fikosianin dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Fikosianin
Kel.
B1
B2
B3
B4
B5
B6

Berat
Biomassa
Kering (g)
8
8
8
8
8
8

Jumlah Aquades
yang
Ditambahkan (ml)
100
100
100
100
100
100

Total Filtrat
yang
Diperoleh (ml)
50
50
50
50
50
50

OD615

OD652

KF
(mg/ml)

Yield
(mg/g)

0,0720
0,0726
0,0726
0,0726
0,0726
0,0726

0,0258
0,0256
0,0255
0,0255
0,0255
0,0253

0,011
0,011
0,011
0,011
0,011
0,011

0,069
0,069
0,069
0,069
0,069
0,069

Warna
Sebelum
Sesudah
Dioven
Dioven
+
+
++
+
+++
+
+++
+
++
+
+
+

Keterangan :
Warna:
+
= biru muda
++
= biru tua
+++
= biru sangat tua

Berdasarkan Tabel 1. dapat dilihat bahwa nilai OD 615 terendah diperoleh kelompok B1 sebesar 0,0720, sedangkan pada kelompok B2, B3,
B4, B5, dan B6 diperoleh nilai OD615 yang sama. Nilai OD652 terendah diperoleh kelompok B6 sebesar 0,0253, sedangkan nilai OD652
tertinggi diperoleh kelompok B1 sebesar 0,0258. Konsentrasi fikosianin dan yield yang diperoleh semua kelompok sama, yaitu sebesar
0,011 mg/ml dan 0,069 mg/g. Fikosianin dengan warna biru sangat tua sebelum dioven diperoleh kelompok B3 dan B4, warna biru tua
diperoleh kelompok B2 dan B5, dan warna biru muda diperoleh kelompok B1 dan B6. Warna fikosianin pada semua kelompok setelah
dioven sama, yaitu biru muda.

2. PEMBAHASAN
Pada kali ini dilakukan praktikum Teknologi Hasil Laut mengenai Fikosianin. Pigmen
atau pewarna makanan digolongkan menjadi 2 jenis, yaitu pewarna alami dan pewarna
buatan atau sintetis (Mohammad, 2007). Masih banyak produk yang menggunakan
bahan pewarna yang dilarang dan berbahaya bagi kesehatan meskipun penggunaan
pewarna dalam bahan pangan telah diatur oleh pemerintah. Contoh bahan pewarna
berbahaya yang sering ditambahkan pada produk makanan adalah pewarna tekstil yang
mempunyai warna yang lebih cerah dan selama penyimpanan bersifat stabil serta
harganya lebih murah (Syah et al. 2005). Sedangkan pigmen alami tidak memiliki efek
negatif jika dikonsumsi serta dapat diuraikan. Akan tetapi, pigmen alami yang banyak
digunakan (dari daun, buah, batang, atau umbi-umbian) memiliki beberapa kelemahan,
seperti kurangnya stabilitas terhadap panas, pH, dan cahaya, ketersediaan terbatas, lebih
mahal sehingga kurang cocok untuk produksi massal. Pigmen alami dari mikroalga
ternyata mampu mengatasi masalah terhadap ketersediaan yang terbatas tersebut karena
waktu tumbuhnya yang cepat sehingga dapat dipanen dalam waktu yang tidak terlalu
lama serta dapat diproduksi terus menerus. Produksi pigmen pun dapat dikendalikan
sesuai kebutuhan dan keinginan (Arylza, 2005 dan Borowitzka & Borowitzka, 1988).
Salah satu spesies mikroalga tersebut yaitu spirulina dengan kandungan pigmen
fikosianin.
Fikosianin merupakan salah satu pigmen kelas fikobiliprotein yang terdapat dalam
spirulina dimana pigmen ini paling dominan dan biasanya terdiri dari 20% protein
seluler (Richmond, 1988). Warna dari fikosianin yaitu biru tua dan dapat memancarkan
warna merah tua. Fikosianin mempunyai absorbansi cahaya maksimum pada panjang
gelombang 546 nm. Berat bobot molekul fikosianin (c-fikosianin) sebesar 134 kDa.
Pada ekstrak beberapa spesies, ditemukan bobot molekul yang lebih besar yaitu 262
kDa, yang diduga disebabkan oleh keberadaan fragmen fikobilisom ( Carra &
hEocha, 1976). Struktur fikosianin mengandung rantai tetraphyrroles terbuka, sama
seperti bilirubin yang mempunyai kemampuan mengikat radikal peroksi dengan cara
mendonorkan atom hidrogen yang terikat pada atom C ke 10 dari molekul
2

tetraphyrroles, karena itu fikosianin diduga juga memiliki kemampuan menangkap


radikal oksigen (Romay et al., 1998). Pada spirulina, fikosianin berperan sebagai
komponen penyimpan nitrogen yang jumlahnya akan menurun ketika ketersediaan
nitrogen dalam media menurun atau hilang. Penurunan jumlah fikosianin berkaitan
dengan meningkatnya aktivitas protease yang bertindak dalam purifikasi c-fikosianin
(Richmond, 1988). Sebaliknya, jika nitrogen dalam media dalam kondisi yang optimal,
jumlah fikosianin akan tinggi. Dengan demikian, besar kecilnya keberadaan fikosianin
yang terkandung dalam biomasa sel tergantung dari banyak sedikitnya suplai nitrogen
yang dikonsumsi oleh spirulina (Boussiba & Richmond, 1980). Kondisi kultur dapat
mempengaruhi fase pertumbuhan spirulina dan perubahan komposisi serta dapat
meningkatkan atau menurunkan proporsi fikosianin (Walter et al., 2011).
Fikosianin mampu menangkap radiasi sinar matahari paling efisien (Hall & Rao, 1999).
Hal ini didukung oleh pernyataan Boussiba & Richmond (1980) yang mengatakan
bahwa fikosianin merupakan kompleks pigmen-protein yang saling berhubungan dan
terlibat dalam pemanenan cahaya dan energi transduksi. Cahaya yang diserap oleh
fikosianin akan ditransfer kepada allofikosianin kemudian diteruskan menuju pusat
reaksi yaitu klorofil a (pigmen fotosintesis mikroalga) di membran tilakoid (Diharmi,
2001). Pemanfaatan pigmen fikosianin sebagai bahan pewarna alami pada bahan
makanan telah lama dilakukan (Hirata et al., 2000). Sebagai contoh yaitu produk Lina
Blue produksi Perusahaan Dainippon Ink & Chemicals (Sakura) yang diaplikasikan
pada permen, permen karet, minuman ringan, ice sherberts, popsicles, dairy product
dan wasabi (Spolaore et al., 2006). Fikosianin diketahui mampu menghambat
pembentukan koloni kanker (Adams, 2005).
Spirulina termasuk organisme multiseluler yang termasuk kelompok alga hijau biru
(blue-green algae). Spirulina berwarna hijau tua di dalam koloni yang besar karena
kandungan klorofilnya yang tinggi (Tietze, 2004). Tubuhnya berupa filamen berbentuk
silinder dan tidak bercabang (Richmond, 1988). Ukurannya 100 kali lebih besar dari sel
darah merah manusia (3,5-10 mikron) (Tietze, 2004), sehingga bisa dipisahkan dari
medium melalui filtrasi dengan filter berukuran 20 m (untuk spirulina segar)
(Desmorieux & Decaen, 2006). Karena mempunyai membran sel yang tipis dan lembut,
spirulina mudah dicerna (Tietze, 2004) dan tidak memerlukan proses pengolahan

khusus (Richmond, 1988). Spirulina hidup dalam lingkungan yang sangat basa (pH 811) dengan kandungan senyawa karbonat-bikarbonat yang tinggi. Spirulina memerlukan
cahaya dan CO2 untuk berfotosintesis menghasilkan O2. Biomassa kering spirulina yang
didapat bisa mencapai 60-70 ton/hektar kolam bila kondisi pertumbuhan sesuai (TriPanji et al., 1996). Spirulina merupakan alga mesofilik, karena itu spirulina dapat
tumbuh optimal pada temperatur 35-40C. Suhu minimumnya berkisar antara 18-20C.
Dalam laboratorium, suhu optimum pertumbuhan kultur spirulina antara 35-37C
(Richmond, 1988).
Biomassa sel spirulina lebih mudah larut dalam pelarut polar seperti air dan buffer
(Boussiba & Richmond, 1980). Dalam jurnal yang berjudul Growth and Content of
Spirulina Platensis Biomass Chlorophyll Cultivated at Different Values of Light
Intensity and Temperature Using Different Nitrogen Sources (Danesi et al., 2011),
dikatakan bahwa biomassa Spirulina platensis atau yang sering disebut Arthospira
platensis (Colla et al., 2007) mempunyai nilai nutrisi, seperti tinggi protein, vitamin,
asam lemak rantai panjang tidak jenuh dan fikosianin, pigmen -karoten dan klorofil
yang digunakan sebagai makanan dan minuman, kosmetik dan pewarna farmasi. Untuk
mendapatkan komponen tersebut, dilakukan ekstraksi dan pemurnian untuk mengisolasi
dan memisahkan komponen (Danesi et al., 2011). Spirulina memiliki membran tilakoid
dimana terdapat struktur granula berupa fikobilisom yang terdiri fikobiliprotein.
Fikobiliprotein ini berfungsi menyerap cahaya dan diduga dapat melindungi pigmen
fotosintesis lainnya dari oksidasi cahaya dengan intensitas tinggi. Pigmen spirulina
terletak pada membran tilakoid yang tersebar di dalam kromoplasma (Diharmi, 2001).
Langkah kerja yang dilakukan pada praktikum fikosianin ini yaitu pertama-tama
biomassa spirulina sebanyak 8 gram dimasukkan ke dalam erlenmeyer. Kemudian
dilarutkan dengan aquades sebanyak 100 ml (spirulina : aquades = 2 : 25). Pelarutan
dengan aquades ini dikarenakan fikosianin dapat larut di dalam pelarut polar (Syah et
al., 2005). Untuk mengekstrak fikosianin dari spirulina digunakan pelarut polar yang
mempunyai pH netral, salah satunya adalah aquades (Walter et al., 2011). Boussiba &
Richmond (1988) menambahkan bahwa selain menggunakan aquades, buffer fosfat pH
7 juga dapat digunakan untuk melarutkan biomassa sel spirulina karena biomassa sel
spirulina lebih mudah larut di dalam pelarut polar seperti air dan buffer. Setelah itu

diaduk menggunakan stirrer selama 2 jam. Tujuan dari pengadukan dengan


menggunakan stirrer adalah untuk memaksimalkan ekstraksi dan menghomogenkan
larutan. Setelah di-stirrer, larutan disentrifugasi maksimal (5000 rpm selama 10 menit)
hingga diperoleh endapan dan supernatant (cairan berisi fikosianin). Tujuan
dilakukannya sentrifugasi ini yaitu untuk mengendapkan debris sel serta mengambil
pigmen fikosianin yang larut dalam pelarut polar. Sentrifugasi akan menyebabkan
padatan dan cairan dapat terpisah supaya tidak mengganggu proses pengukuran
absorbansi (Silveira et al., 2007).
Langkah selanjutnya, kadar fikosianin supernatant diukur dengan menggunakan
spektrofotometer panjang gelombang 615 nm dan 652 nm. Hal ini sesuai dengan teori
dari Antelo et al. (2010) bahwa panjang gelombang yang digunakan untuk mengukur
filtrat atau supernatan hasil ekstraksi fikosianin adalah 615 nm dan 652 nm. Kemudian
sebanyak 8 ml supernatant ditambahkan dekstrin sebanyak 10 gram (supernatant :
dekstrin = 1 : 1,25) dan dicampur rata lalu dituangkan ke dalam loyang sebagai alas
untuk proses pengeringan. Penambahan dekstrin tersebut bertujuan untuk mempercepat
pengeringan, memperbesar volume, meningkatkan total padatan, melapisi komponen
flavour, dan mencegah terjadinya kerusakan karena panas (Murtala, 1999). Dekstrin
adalah polisakarida yang dihasilkan dari hidrolisis pati oleh asam atau enzim-enzim
tertentu (Reynold, 1982). Dekstrin tersusun dari unit glukosa yang dapat mengikat air.
Akibatnya, oksigen yang larut dapat dikurangi dan proses oksidasi dapat dicegah.
Dekstrin lebih stabil terhadap panas sehingga dapat melindungi senyawa volatil maupun
senyawa yang peka terhadap panas atau oksidasi, misalnya fikosianin (Fenema, 1976)
sehingga kehilangan komponen volatil selama proses pengolahan dapat ditekan (Arief,
1987). Dekstrin dapat meningkatkan berat produk dalam bentuk bubuk. Oleh karena itu,
dekstrin juga digunakan sebagai bahan pengisi (Ribut & Kumalaningsih, 2004). Warna
fikosianin sebelum dikeringkan menggunakan oven dilihat terlebih dahulu. Setelah itu
dikeringkan dengan menggunakan oven pada suhu 45C selama 1 malam hingga kadar
airnya 7% (cukup dilihat sudah kering atau belum dengan menggunakan spatula).
Apabila suhu pengeringan yang digunakan lebih dari 60C, fikosianin akan mengalami
degradasi dan reaksi Maillard dapat terjadi. Pengeringan dengan menggunakan cahaya
matahari langsung juga dapat menimbulkan aroma yang tidak diinginkan serta jumlah

kontaminasi bakteri dapat meningkat (Angka & Suhartono, 2000). Warna fikosianin
setelah dikeringkan menggunakan oven diamati. Setelah dikeringkan, adonan kering
yang gempal dihancurkan dengan menggunakan alat penumbuk hingga berbentuk
powder. Menurut Angka & Suhartono (2000), spirulina tidak mudah mengalami
fermentasi apabila dalam bentuk yang kering. Selanjutnya, konsentrasi fikosianin
(mg/ml) dan yield (mg/g) dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

Konsentrasi fikosianin (mg/ml) =

Yield( mg/ g)=

OD615 0,474 ( OD 652 )


5,34

KF vol .(total filtrat)


g(berat biomassa)

Berdasarkan hasil pengamatan, berat biomassa kering, jumlah aquades yang


ditambahkan, dan total filtrat yang diperoleh semua kelompok sama. Nilai OD 615 yang
diperoleh kelompok B2, B3, B4, B5, dan B6 sama, yaitu sebesar 0,0726. Sedangkan
nilai OD615 yang diperoleh kelompok B1 sebesar 0,0720. Nilai OD 652 tertinggi diperoleh
kelompok B1 sebesar 0,0258 dan nilai OD652 terendah diperoleh kelompok B6 sebesar
0,0253. Nilai OD652 yang diperoleh kelompok B3, B4, dan B5 sama, yaitu sebesar
0,0255. Nilai OD652 yang diperoleh kelompok B2 sebesar 0,0256. Menurut Fox (1991),
kejernihan larutan mempengaruhi nilai Optical Density atau absorbansi dimana semakin
keruh suatu larutan, nilai absorbansinya akan semakin tinggi. Semakin tingginya
absorbansi menunjukkan bahwa konsentrasi fikosianin yang diperoleh juga semakin
tinggi. Besarnya yield berbanding lurus dengan konsentrasi fikosianin. Berdasarkan hal
tersebut, dapat disimpulkan bahwa semakin besar absorbansi, konsentrasi fikosianin dan
yield yang diperoleh juga semakin tinggi. Nilai KF (konsentrasi fikosianin) dan yield
yang diperoleh semua kelompok sama, yaitu sebesar 0,011 mg/ml dan 0,069 mg/g. Hal
tersebut dikarenakan perbedaan nilai OD615 dan OD652 yang kecil sehingga tidak
berpengaruh terhadap nilai KF dan yield. Fikosianin kelompok B1 dan B6 sebelum
dioven berwarna biru muda, kelompok B2 dan B5 berwarna biru tua serta kelompok B3
dan B4 berwarna biru sangat tua. Sedangkan fikosianin yang diperoleh semua kelompok
setelah dioven berwarna sama, yaitu biru muda. Hal ini sesuai dengan teori dari Wiyono

(2007) bahwa semakin tinggi konsentrasi dekstrin yang ditambahkan, warna bubuk
fikosianin menjadi pudar atau cenderung berwarna lebih cerah.

Jurnal yang berjudul Production of Biomass and Nutraceutical Compounds by Spirulina


platensis Under Different Temperature and Nitrogen Regimes oleh Colla et al. (2007)
menyatakan bahwa cyanobacterium Spirulina platensis telah digunakan oleh manusia
karena efek nutrisi dan obatnya. Penelitian ini mengevaluasi pengaruh dari suhu dan
konsentrasi nitrogen di media pada produksi biomassa dengan cyanobacterium ini dan
komposisi biomassa dalam protein, lemak, dan senyawa fenolik. Dihasilkan bahwa pada
35C terdapat efek negatif pada produksi biomassa tetapi efek positif pada produksi
protein, lemak, dan fenolik. Level tertinggi senyawa-senyawa ini diperoleh di media
Zarrouk yang mengandung 1,875 atau 2,500 g/l natrium nitrat. Produktivitas dan
densitas biomassa yang lebih tinggi dan diperoleh pada suhu 30C dibandingkan pada
suhu 35C, tetapi konsentrasi nitrogen tampaknya tidak berpengaruh pada jumlah
protein, lemak atau fenolik. Ditunjukkan bahwa konsentrasi natrium nitrat pada suhu
30C di media Zarrouk (2,50 g/l) dapat dikurangi tanpa kehilangan produktivitas, faktor
penghematan biaya yang penting dalam kultivasi skala besar.
Jurnal yang berjudul Beneficial Effects of Blue Green Algae Spirulina and Yeast
Saccharomyces cerevisiae on Cocoon Quantitative Parameters of Silkworm Bombyx
mori L oleh Masthan et al. (2011) berisi penelitian yang bertujuan untuk mengetahui
dampak dari penerapan probiotik pada daun murbei dan menggunakannya untuk
pemeliharaan ulat. Studi nutrisi pada ulat merupakan syarat yang penting untuk
eksploitasi komersial. Nutrisi dari ulat merupakan satu-satunya faktor yang hampir
meningkatkan kualitas dan kuantitas dari sutra. Suplemen makanan seperti protein,
lemak, vitamin, dan yang lainnya mengacu ke efeknya pada berbagai aktivitas
metabolik dari ulat dan defisiensinya akan menyebabkan penyakit ulat sutra. Maka dari
itu, penelitian ini dilakukan untuk mengetahui dampak fortifikasi daun murbei dengan
mikroorganisme probiotik makanan tertentu seperti Spirulinda dan Saccharomyces
cerevisiae pada parameter kuantitatif kepompong seperti berat kepompong, berat
cangkang (shell), berat pupa, persentase shell, dan panjang filamen ulat sutra Bombyx
mori. Hasilnya yaitu laju pertumbuhan dan produksi sutra lebih baik ketika digunakan
probiotik. Di antara 2 probiotik yang digunakan pada penelitian ini, blue green algae
Spirulina dianggap lebih baik dibandingkan Saccharomyces cerevisiae.

Jurnal yang berjudul Bioaccumulation of Cr (III) Ions by Blue-Green Alga Spirulina sp.
Part I. A Comparison with Biosorption oleh Chojnacka (2007) berisi penelitian tentang
kinetika dan kesetimbangan proses bioakumulasi dari ion Cr (III) oleh blue green algae
Spirulina sp. Bioakumulasi ini merupakan proses yang tersusun atas 2 tahap, yaitu pasif
(identik dengan biosorpsi) dan aktif (akumulasi di dalam sel). Tahap pasif termasuk
proses yang cepat, sedangkan tahap aktif jauh lebih lambat dan memerlukan aktivitas
metabolik dari sel. Kesetimbangan keseluruhan proses bioakumulasi dicapai setelah
30 jam. Efisiensi bioakumulasi dibandingkan dengan kinerja biosorpsi dari sel yang
tumbuh pada kondisi yang sama. Dua aplikasi bioakumulasi yang dibahas yaitu
penghilangan ion logam dari limbah dan pengikatan ion logam ke biomassanya untuk
menghasilkan suplemen pakan biologis dengan mikroelemen. Hasil yang diperoleh
menunjukkan bahwa kapasitas bioakumulasi lebih besar dibandingkan kapasitas
biosorpsi. Limbah diolah dengan proses bioakumulasi yang mengandung residu
konsentrasi ion logam yang lebih rendah akibat perubahan kesetimbangan kapasitas
pengikatan ion logam eksternal terhadap nilai yang lebih rendah sehingga residu
konsentrasi ion logam lebih rendah dan efisiensi pengolahan lebih tinggi. Apabila
bioakumulasi dianggap sebagai metode pengayaan biomassa untuk menghasilkan
suplemen pakan mineral untuk ternak, bioakumulasi memungkingkan untuk mengikat
mikroelemen lebih banyak, tidak hanya ke permukaan dinding sel, tetapi juga
terakumulasi di dalam sel.
Jurnal yang berjudul Effect of Different Conditions on The Production of Chlorophyll by
Spirulina platensis oleh Chauhan & Pathak (2010) menyatakan bahwa cyanobacterium
Spirulina platensis merupakan sumber alternatif pigmen klorofil yang menarik, yang
digunakan sebagai pewarna alami di produk-produk makanan, kosmetik, dan farmasi.
Pada penelitian ini, pengaruh dari intensitas cahaya dan temperatur menggunakan media
Zarrouk dan media RM-6 melalui batch cultivation untuk S.platensis pada pertumbuhan
dan kandungan klorofil diteliti. Kultivasi dilakukan di wadah 3 L dengan intensitas
cahaya 2 klux, 3 klux, 4 klux, 5 kluk pada temperatur konstan 281C, dan 26C, 28C,
30C, 32C. Pertumbuhan paling baik diamati dengan 5 klux dan 28C, sedangkan
klorofil tertinggi di biomassa diamati dengan 2 klux dan 28C. Secara keseluruhan,
produktivitas klorofil terbaik diamati dengan intensitas cahaya 31 klux dan suhu 28C.

Jurnal yang berjudul Optimization of Biomass Production of Spirulina maxima oleh


Pandey & Tiwari (2010) menyatakan bahwa Spirulina maxima dikenal bermanfaat
untuk manusia di hampir semua aspek kehidupan (kesehatan, makanan, dan kosmetik).
Penelitian ini dilakukan untuk menginvestigasi bagaimana gabungan dari satu set
parameter yaitu suhu, intensitas cahaya, pH dan agitasi dapat mempengaruhi produksi
maksimum biomassa, klorofil a, dan protein. Dengan memanipulasi kondisi lingkungan
dari pertumbuhan alga, seseorang dapat memodifikasi produksi biomassa. Pada
penelitian ini, produksi dari Spirulina maxima dioptimalkan dalam hal biomassa dan
metabolit. Berat kering Spirulina maxima sebesar 0,73 g/500 ml, sedangkan kandungan
protein dan klorofil a sebesar 63,8% dan 13,1 mg/gm masing-masing pada pH 9. Pada
intensitas cahaya 5 klux, berat kering Spirulina maxima sebesar 0,72 g/500 ml,
sedangkan kandungan protein dan klorofil a sebesar 64,2% dan 9,5 mg/gm. Aerasi juga
merupakan faktor yang sangat penting untuk memproduksi Spirulina. Pengadukan
media kultur yang berkelanjutan dibutuhkan untuk mencegah tenggelamnya sel dan
stratifikasi termal untuk mempertahankan distribusi nutrisi dan untuk menghilangkan
kelebihan oksigen. Nilai pada sistem aerasi sebesar 2,35 g/500 ml dan pada sistem nonaerasi sebesar 1,81 g/500 ml.

3. KESIMPULAN

Spirulina merupakan salah satu jenis mikroalga yang mampu menghasilkan bahan
pewarna (pigmen).

Pigmen yang dominan pada spirulina yaitu fikosianin yang memiliki warna biru tua.

Fikosianin pada spirulina berperan sebagai komponen penyimpan nitrogen.

Untuk mendapatkan pigmen fikosianin dari spirulina, dilakukan ekstraksi.

Fikosianin dari spirulina diekstraksi dengan pelarut polar yang memiliki pH netral
(aquades atau buffer pH 7).

Tujuan pengadukan dengan stirrer selama 1-2 jam yaitu untuk memaksimalkan
ekstraksi dan menghomogenkan larutan.

Sentrifugasi dilakukan untuk mengendapkan debris sel dan mengambil pigmen


fikosianin yang larut dalam aquades.

Tujuan dari penambahan dekstrin adalah untuk mempercepat pengeringan,


memperbesar volume, meningkatkan total padatan, melapisi komponen flavour, dan
mencegah terjadinya kerusakan karena panas.

Suhu pengeringan di atas 45C supaya tidak terjadi degradasi fikosianin dan
timbulnya reaksi Maillard.

Kadar fikosianin diukur menggunakan spektrofotometer dengan panjang gelombang


615 nm dan 652 nm.

Semakin besar absorbansi (OD), semakin tinggi konsentrasi (KF) dan semakin tinggi
pula yield.

Semakin tinggi konsentrasi dekstrin, warna yang dihasilkan pada bubuk fikosianin
menjadi pudar/cenderung cerah.

Asisten Dosen:
- Agita Mustikahandini

Semarang, 1 Oktober 2014

10

Deanna Suntoro (12.70.0005)

10

4. DAFTAR PUSTAKA
Adams. (2005). Uji Kepekaan Model Numerik Perairan Pantai (In-Shore) dan Lepas
Pantai (Off-Shore) pada Perikanan Rajungan (Portunus pelagicus) di Perairan Selat
Makassar (Tidak dipublikasikan). Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor.
74 hal.
Angka SI dan Suhartono MT. (2000). Bioteknologi Hasil-hasil Laut. Bogor : PKSPLIPB.
Antelo, F. S., Andreia A., Jorge A. V. C. and Susanna J. K. (2010). Extraction and
Purification of C-phycocyanin from Spirulina platensis in Conventional and Integrated
Two-Phase Systems. J. Braz. Chem. Soc., Vol. 21, No. 5, 921-926.
Arief, M. (1987). Ilmu Meracik Obat Berdasar Teori Dan Praktek. Universitas
Gajahmada Press. Yogyakarta.
Arylza, IS. (2005). Isolasi Pigmen Biru Fikosianin dari Mikroalga Spirulina plantesis.
Journal Oseanologi dan Limnologi di Indonesia, 38:79-92.
Borowitzka MA dan Borowitzka LJ. (1988). Dunaliella dalam Borowitzka MA dan
Borowitzka LJ. (Eds). Mikroalgal Biotechnology. Cambridge University Press.
Cambridge.
Boussiba S. and Richmond A. (1980). c-Phycocianin as A Storage Protein in The Bluegreen Alga Spirulina plantesis. Archives of Microbiology 125, 143-147.
Chauhan, U.K. & N. Pathak. (2010). Effect of Different Conditions on The Production
of Chlorophyll by Spirulina platensis. Journal of Algal Biomass Utilization Vol. 1, pp.
89-99.
Chojnacka, K. (2007). Bioaccumulation of Cr (III) Ions by Blue-Green Alga Spirulina
sp. Part I. A Comparison with Biosorption. American Journal of Agricultural and
Biological Sciences Vol. 2, pp. 218-223.
Colla, L.M., C.O. Reinehr, C. Reichert & J.A.V. Costa. (2007). Production of Biomass
and Nutraceutical Compounds by Spirulina platensis Under Different Temperature and
Nitrogen Regimes. Bioresource Technology Vol. 98, pp. 1489-1493.

11

12

Colla, L. M.; E. B. Furlong & J. A. V. Costa. (2007). Antioxidant Properties of Spirulina


(Arthospira) platensis Cultivated Under Different Temperatures and Nitrogen Regimes.
Braz. arch. biol. technol. vol.50 no.1 Curitiba Jan. 2007.
Danesi, E. D. G.; C. O. Rangel-Yagui; S. Sato & J. C. M. d. Carvalho. (2011). Growth
and Content of Spirulina Platensis Biomass Chlorophyll Cultivated at Different Values
of Light Intensity and Temperature Using Different Nitrogen Sources. Brazilian Journal
of Microbiology (2011) 42: 362-373 ISSN 1517-8382.
Desmorieux H. Decaen N. (2006). Convective drying of Spirulina in thin layer. Journal
Of Food Engineering, 77:64-70.
Diharmi A. (2001). Pengaruh Pencahayaan Terhadap Kandungan Pigmen Bioaktif
Mikrolaga Spirulina platensis Strain Lokal (INK). [Tesis]. Bogor. Program Pasca
Sarjana. Institut Pertanian Bogor.
Fox, P. F. (1991). Food Enzymologi Vol 1. Elsevier Applied Sciences. London.
Hall DO & Rao KK. (1999). Photosynthesis. 6th edn. 214 pp. Cambridge: Cambridge
University Press.
Hirata T, Tanaka M, Ooike M, Tsunomura T, Sakaguchi M. (2000). Antioxidant
activities of phycocyanobilin prepared from Spirulina platensis. J. Appl. Phycol. 12:
435-439.
Masthan, K., T.R. Kumar & C.V.N. Murthy. (2011). Beneficial Effects of Blue Green
Algae Spirulina and Yeast Saccharomyces cerevisiae on Cocoon Quantitative
Parameters of Silkworm Bombyx mori L. Asian Jr.of Microbiol.Biotech.Env.Sc. Vol. 13,
pp. 205-208.
Mohammad, Johan. (2007). Produksi dan Karakteristik Biopigmen Fikosianin dari
Spirulina fusiformis serta Aplikasinya Sebagai Pewarna Minuman. Program Studi
Teknologi Hasil Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, IPB. Bogor.
Murtala, S. S. (1999). Pengaruh Kombinasi Jenis Dan Konsentrasi Bahan Pengisi
Terhadap Kualitas Bubuk Sari Buah Markisa Siul (Passiflora edulis F. Edulis). Tesis.
Pasca Sarjana Universitas Bawijaya Malang. 70 hal.
Carra P, hEocha C. (1976). Algal Biliproteins and Phycobilins. Goodwin TW,
editor.1976. Chemistry and Biochemistry of Plant Pigments. London: Academic press
inc. Hal 328-371.

13

Pandey, J.K. & A. Tiwari. (2010). Optimization of Biomass Production of Spirulina


maxima. Journal of Algal Biomass Utilization Vol. 1, pp. 20-32.
Ribut, S. dan S. Kumalaningsih, (2004). Pembuatan bubuk sari buah sirsak dari bahan
baku pasta dengan metode foam-mat drying. Kajian Suhu Pengeringan, Konsentrasi
Dekstrin dan Lama Penyimpanan Bahan Baku Pasta. http://www.pustaka-deptan.go.id.
Richmond A. (1988). Spirulina. Di dalam Borowitzka MA dan Borowitzka LJ,
editor.Micro-algal biotechnology. Cambridge: Cambridge University Press.
Romay C, Armesto J, Remirez D, Gonzlez R, Ledn N, Garca I. (1998). Antioxidant
and anti-inflammatory properties of c-phycocyanin from blue-green algae.Inflammation
Research 47:36-41.
S.T. Silveira; J.F.M. Burkert; J.A.V. Costa; C.A.V. Burkert & S.J. Kalil. (2007).
Optimization of Phycocyanin Extraction from Spirulina platensis Using Factorial
Design. Bioresource Technology Volume 98, Issue 8, May 2007, Pages 16291634.
Syah et al. (2005). Manfaat dan Bahaya Bahan Tambahan Pangan. Bogor: Himpunan
Alumni Fakultas Teknologi Pertanian IPB.
Tietze H. W. (2004). Spirulina Micro Food Macro Blessing. Ed ke-4. Australia: Haralz
W Tietze Publishing.
Tri Panji S, Achmadi, Tjahjadarmawan E. (1996). Produksi asam gammalinolenat dari
ganggang mikro Spirulina platensis menggunakan limbah lateks pekat.Menara
Perkebunan 64 (1): 34-44.
Walter, Alfredo, Julio Cesar de C., Vanete T. S., Ana B. B., Vanessa G., and Carlos R. S.
(2011). Study of Phycocyanin Production from Spirulina platensis Under Different
Light Spectra.Vol. 54, pp 675-682.
Wiyono, R. (2007). Studi Pembuatan Serbuk Effervescent Temulawak (Curcuma
xanthorrhiza Roxb) Kajian Suhu Pengering, Konsentrasi Dekstrin, Konsentrasi Asam
Sitrat dan Na-Bikarbonat.

5. LAMPIRAN
5.1. Perhitungan
Konsentrasi fikosianin (mg/ml) =

Yield( mg/g)=

OD615 0,474 ( OD 652 )


5,34

KF x volume( total filtrat )


g(berat biomassa)

Kelompok B1
Konsentrasi Fikosianin(mg/ ml)=

0,07200,474 (0,0258)
5,34
= 0,011 mg/ml

Yield( mg/ g)=

0,011 x 50
8

= 0,069 mg/g
Kelompok B2
Konsentrasi Fikosianin(mg/ ml)=

0,07260,474 (0,0256)
5,34
= 0,011 mg/ml

Yield( mg/ g)=

0,011 x 50
8

= 0,069 mg/g
Kelompok B3
Konsentrasi Fikosianin(mg/ ml)=

0,07260,474 (0,0255)
5,34
= 0,011 mg/ml

Yield( mg/ g)=

0,011 x 50
8

14

= 0,069 mg/g

14

15

Kelompok B4
Konsentrasi Fikosianin(mg/ ml)=

0,07260,474 (0,0255)
5,34
= 0,011 mg/ml

Yield( mg/ g)=

0,011 x 50
8

= 0,069 mg/g
Kelompok B5
Konsentrasi Fikosianin(mg/ ml)=

0,07260,474 (0,0255)
5,34
= 0,011 mg/ml

Yield( mg/ g)=

0,011 x 50
8

= 0,069 mg/g
Kelompok B6
Konsentrasi Fikosianin(mg/ ml)=

0,07260,474 (0,0253)
5,34
= 0,011 mg/ml

Yield( mg/ g)=

0,011 x 50
8

= 0,069 mg/g

5.2. Foto

15

Gambar 1. Fikosianin kelompok B5, B3, B1

Gambar 2. Fikosianin kelompok B5,


B3, dan B1 (samping)

16

Gambar 3. Fikosianin kelompok B2, B4, B6

Gambar 4. Fikosianin kelompok B2,


B4, B6 (samping)

Gambar 5. Fikosianin bubuk

5.3. Diagram Alir


5.4. Laporan Sementara

Anda mungkin juga menyukai