Anda di halaman 1dari 99

VOLUME 2

NOMOR 1
APRIL 2014

DAFTAR ISI
ANALISIS FENETIK HUBUNGAN KEKERABATAN PADA TANAMAN Brassica oleracea
BESERTA 4 VARIETASNYA, B. juncea DAN B. chinensis MELALUI PENDEKATAN
MORFOLOGI.
Citra Hardiyanti Rukmana, Dr. Hamidah, Dwi Kusuma Wahyuni, S.Si.,M.Si. .........................
Pengaruh Elisitor Ekstrak Saccharomyces cerevisiae terhadap Biomassa dan Kadar Saponin
Akar Adventif Talinum paniculatum (Jacq) Gaertn., Secara In-vitro.
Syahrial B.R, Y. Sri Wulan Manuhara, Edy Setiti, W.U. .
Pengamatan Kontainer yang Potensial sebagai Tempat Perkembangbiakan Nyamuk Aedes
aegypti di Kecamatan Tambaksari, Kota Surabaya
Siti Nur Laila, Noer Moehammadi, dan Salamun.
INTERAKSI BLEKOK SAWAH (Ardeola speciosa) DENGAN BURUNG JENIS LAIN SAAT
MENCARI MAKAN DI WONOREJO.
Christian Agung S, Bambang Irawan, Sucipto Hariyanto. ..........................................................
Fluktuasi Populasi Larva Aedes aegypti pada berbagai Jenis Tempat
Perkembangbiakan di Rumah Penderita DBD.
Etik Ainun Rohmah, Noer Moehammadi, dan Salamun. ...................
Potential Hydrolysis with Cellulase Enzyme Fermentation Bacteria Isolates of
Bacillus sp. This thesis under the guidance.
Novia Tri Rahayu, Drs. Agus Supriyanto M. Kes, and Drs. Salamun.

110

1120

2129

3039

4049

50-57

Pengaruh Dosis dan Frekuensi Pemberian Pupuk Hayati terhadap Pertumbuhan dan
Produktivitas Tanaman Seledri (Apium graveolens L.)
Tini Surtiningsih, Nurul Qomariyah Sayuti dan Hery Purnobasuki. .

58-67

VARIASI MORFOLOGI CANGKANG KIJING Elongaria orientalis (Lea, 1840) DI SUNGAI


BRANTAS, JAWA TIMUR
Sulistiana Megawati, Bambang Irawan, dan Moch. Affandi. ..

68-78

UJI EFEK ANTIPROLIFERASI DAN SITOTOKSIS MEDAN LISTRIK 100KHz


TERHADAP SEL KANKER PAYUDARA MCF-7 SECARA IN VITRO
IzzatunAjrina, DwiWinarni, danTrianggonoPrijo.

79-86

EFEK EKSTRAK DAN FRAKSI TUMBUHAN SARANG SEMUT (Myrmecodia pendans)


TERHADAP KUALITAS SPERMATOZOA TIKUS (Rattus norvegicus) YANG TERPAPAR
PLUMBUM
Dr. Alfiah Hayati, Milatussakdiyah, dan Drs. I.B. Rai Pidada, M.Si. .....................................

87-95

LAMPIRAN 1
RINGKASAN
ANALISIS FENETIK HUBUNGAN KEKERABATAN PADA TANAMAN
Brassica oleracea BESERTA 4 VARIETASNYA, B. juncea DAN B. chinensis
MELALUI PENDEKATAN MORFOLOGI
Citra Hardiyanti Rukmana, Dr. Hamidah, Dwi Kusuma Wahyuni, S.Si.,M.Si.
Prodi S-1 Biologi, Departemen Biologi, Fakultas Sains dan Teknologi,
Universitas Airlangga, Surabaya

ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan kekerabatan antar
anggota genus Brassica berdasarkan karakter morfologi dan mengetahui karakter
yang dapat digunakan untuk dapat membedakan atau mengelompokkan antar
anggota genus Brassica penelitian ini telah dilakukan di Kebun Organik Brenjonk,
Trawas Mojokerto dan perkebunan di Cangar Batu Malang. Pada penelitian ini
terdapat 9 spesimen dari genus Brassica, yaitu Brassica juncea L., Brassica rapa
L. subsp. chinensis (L.) Hanelt. var. viridis, Brassica rapa L. subsp. chinensis (L.)
Hanelt. var. alba, Brassica rapa L. convar. parachinensis (L.H.Bailey), Brassica
rapa L. subsp. pekinensis (Vourt.) Hanelt., Brassica oleracea L. var. italica
Plenk., Brassica oleracea L. var. aboglabra (L.H.Bailey) Masil., Brassica
oleracea L. var. capitata, dan Brassica oleracea L. var. boytris L. Karakter
tanaman yang digunakan berjumlah 35 karakter, berupa karakter morfologi yang
meliputi karakter dari batang, daun, dan krop. Penelitian ini bersifat observasional,
berupa pengamatan karakter morfologi, terhadap 9 spesimen dari anggota genus
Brassica, dengan melakukan 3 kali pengulangan pada setiap spesimen. Hasil
penelitian menunjukkan adanya keanekaragaman diantara 27 kluster, berdasarkan
dendogram, yaitu B. rapa subsp. chinensis var. alba lebih dekat dengan B. rapa
subsp. chinensis var. viridis dibandingkan dengan B. rapa convar. parachinensis
yang lebih dekat dengan B. juncea, dan B. oleracea var. italica, lebih dekat
dengan B. oleracea var. alboglabra dibandingkan dengan B. oleracea var.
capitata yang lebih dekat B. oleracea var. boytris, serta B. rapa subsp. pekinensis
memiliki hubungan paling jauh dengan delapan spesimen.
Kata kunci: Hubungan kekerabatan, genus Brassica, karakter morfologi.

ABSTRACT
This research aims are to know fenetic relationship among members of
genus Brassica based on phenomenological morphology characters and to know
which character could be used to distinguish or classify the fenetic relationship
among specimens of genus Brassica. This research was run in Organic
Horticultural Brenjonk, Trawas Mojokerto dan holticultural in Cangar Batu
Malang. In this research, there were 9 specimens from genus Brassica, those were
1

Brassica, yaitu Brassica juncea L., Brassica rapa L. subsp. chinensis (L.) Hanelt.
var. viridis, Brassica rapa L. subsp. chinensis (L.) Hanelt. var. alba, Brassica
rapa L. convar. parachinensis (L.H.Bailey), Brassica rapa L. subsp. pekinensis
(Vourt.) Hanelt., Brassica oleracea L. var. italica Plenk., Brassica oleracea L. var.
aboglabra (L.H.Bailey) Masil., Brassica oleracea L. var. capitata, dan Brassica
oleracea L. var. boytris L. 35 characters of morphological plant (habitus, stalk,
leaves, and compact head) were used. This was an observational research with
morphological characters observation on 9 specimens from genus Brassica, with
three times replication of each specimen. Fenetic relationship between B. rapa
subsp. chinensis var. alba closer to B. rapa subsp. chinensis var. viridis than B.
rapa convar. parachinensis and B. juncea, and B. oleracea var. italica, closer to B.
oleracea var. alboglabra than B. oleracea var. capitata and B. oleracea var.
boytris, also B. rapa subsp. pekinensis having longest relationship with eight
specimen.
Keywords : Fenetic relationship, genus Brassica., phenomenological morphology.
PENDAHULUAN
Brassicaceae, umumnya dikenal sebagai famili sawi
(mustar),
Brassicaceae mencakup lebih dari 300 genus dan 3000 spesies, termasuk di
dalamnya adalah tanaman setahun dan dua-tahunan, baik sebagai sayuran penting
maupun tanaman penghasil minyak biji dan tanaman hias yang bernilai tinggi
yang tersebar di seluruh dunia. Berbagai varietas dari spesies Brassica oleracea
mempunyai karakter tidak membuahi sendiri, dan karena itu, penyerbukan silang
kemungkinan memperbesar peluang timbulnya keanekaragaman tanaman. Hal itu
disebabkan karena pada varietas tersebut memiliki karakter protogini (putik
terlebih dahulu matang daripada kepala sari) antar varietasnya, misalnya pada
kubis bunga dan kubis telur, fertilisasi sulit terjadi secara alami, matangnya organ
kelamin jantan dan betina yang berbeda waktunya, yang memberikan peluang
besar terjadinya perkawinan silang dan dengan rentang waktu yang lama dapat
dimungkinkan terjadi perubahan baik secara morfologi atau secara genetik dan
akan memperbesar peluang timbulnya keanekaragaman tanaman.
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka perlu dilakukan
penelitian untuk menjawab permasalahan mengenai hubungan kekerabatan
Brassica sp. karena informasi mengenai hubungan kekerabatan Brassica sp.
sangat diperlukan mengingat beberapa penelitian yang dilakukan terhadap
tanaman Brassica sp. sejauh ini memang lebih banyak terfokus pada pemanfaatan
kandungan senyawa biokimiawinya, seperti kandungan senyawa etil asetat pada
tanaman kubis dimanfaatkan sebagai antiseptik alami antara lain oleh Rusmiati et
al. (2007). Penelitian tentang budidaya caisim (Brassica juncea L.) menggunakan
ekstrak teh dan pupuk kascing yang telah dilakukan oleh Fahrudin (2009),
penelitian tetang budidaya pada tanaman caisin, yaitu untuk mengetahui pengaruh
pemberian sungkup plastik dan warna sungkup plastik terhadap pertumbuhan dan
hasil tanaman caisin (Brassica chinensis) oleh Sulistyaningsih (2005), penelitian
tentang jamur penyebab karatan pada Brassica junce dengan menggunakan
Brassica carinata oleh Gupta (2010), respon varietas kubis (brassica oleraceae)
dataran rendah terhadap pemberian berbagai jenis mulsa oleh Ramli (2010),
2

sedangkan penelitian mengenai hubungan kekerabatan Brassica sp., salah satunya


melalui pendekatan morfologi sejauh ini memang belum ditemukan. Hal ini
didasarkan pada pendapat dari Rubatzky (1998) yang menyatakan bahwa
taksonomi Brassica sp. memang rumit dan masih belum terpecahkan, dan nama
umumnya tidak mencerminkan keterkaitan spesiesnya.
Oleh karena itu penelitian yang akan dilakukan mengenai hubungan
fenetik antar organisme melalui pendekatan morfologi sangat perlu dilakukan. Hal
itu disebabkan karena karakter morfologi merupakan karakter pada tanaman yang
sifatnya melekat erat/menjadikan karakter yang ditunjukkan komponen struktural
dari tumbuhan dan berhubungan dengan organ tumbuhan yang dapat dilihat
dengan kasat mata jika dibandingkan dengan bukti taksonomi lainnya seperti
anatomi, fisiologi, biokima atau molekuler, sehingga lebih cepat mendapatkan
data dengan biaya yang tidak terlalu tinggi. Selain itu, jika menggunakan data
yang diperoleh dari pengamatan morfologi, hasil pengelompokan kekerabatan
suatu organisme yang diperoleh juga tidak jauh berbeda jika dibandingkan data
secara molekuler.
Berdasarkan hal ini, studi analisis keanekaragaman antar anggota Brassica
sp. melalui pendekatan morfologi perlu dilakukan. Selain untuk mengetahui
hubungan kekerabatan antar anggota Brassica sp., diharapkan penelitian ini juga
dapat menjadi sumber ilmiah untuk dasar penelitian yang lebih lanjut dalam
bidang taksonomi tumbuhan.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan di Kebun Organik Brenjonk, Kecamatan Trawas
Kabupaten Mojokerto dan Perkebunan Sayur Kota Batu Malang, selama 4 bulan,
mulai bulan Maret hingga bulan Juni 2013. Bahan tumbuhan yang digunakan
dalam penelitian ini adalah 9 spesimen dari genus Brassica yang meliputi,
Brassica juncea L., Brassica rapa L. subsp. chinensis (L.) Hanelt. var. viridis,
Brassica rapa L. subsp. chinensis (L.) Hanelt. var. alba, Brassica rapa L. convar.
parachinensis (L.H.Bailey), Brassica rapa L. subsp. pekinensis (Vourt.) Hanelt.,
Brassica oleracea L. var. italica Plenk., Brassica oleracea L. var. aboglabra
(L.H.Bailey) Masil., Brassica oleracea L. var. capitata, dan Brassica oleracea L.
var. boytris L.., dan alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah kamera
digital, meteran, penjepit, lup, jangka sorong, pH meter, thermometer, bolpoin.
Metode dilakukan adalah metode observasi sampel di wilayah perkebunan
Komunitas Organik Brenjonk, Kecamatan Trawas Kabupaten Mojokerto, dan di
perkebunan Cangar Batu Malang, sampel diperlakukan sebagai sampel hidup,
kemudian dilakukan karakterisasi morfologi sebanyak 35 karakter, dari organ
batang, daun, dan krop.
Analisis data metode deskriptif
Data pengamatan yang diperoleh dari pengamatan dan pengukuran fenotip
tanaman kemudian di data sesuai dengan parameter yang digunakan. Kemudian
data karakter morfologi dianalisis secara deskriptif untuk mendapatkan sifat khas
setiap OTU. Analisis deskriptif meliputi deskripsi analitik, diagnostik dan
diagnostik diferensial.
3

Analisis data untuk mengelompokkan


Data hasil identifikasi karakter morfologi (batang dan daun) yang telah
diperoleh selanjutnya disusun dalam matriks Operational Taxonomyc Unit (OTU)
karakter untuk dikuantifikasikan sebagai data multivariate. OTU dinyatakan
sebagai jenis dari sampel penelitian genus Brassica yang diteliti dan karakter
dinyatakan sebagai ada (1) dan tidak ada (0) serta multivariate dari data morfologi
yang diperoleh pada setiap sampel penelitian yang digunakan. Setelah melakukan
scoring, data dimasukkan dalam program SPSS dengan memilih analize, classify,
hierarchial cluster. Hal ini dilakukan untuk menentukan indeks kesamaan atau
indeks similaritas (IS) (OTU vs OTU) dengan menggunakan koefesien Simple
Matching. Koefisien Simple Matching digunakan untuk melihat peran kehadiran
dan ketidakhadiran karakter data morfologi dalam pengelompokan.
Menggabungkan karakter morfologi (fenotip) melalui average linkage, untuk
menentukan OTU yang akan mengelompok dengan sesamanya. Indeks similaritas
akan mempengaruhi pengelompokan OTU dalam averge linkage. Hasil
pengelompokkan melalui average linkage akan dikonfirmasi ulang melalui PCA
(Principal Component Analyses). Hasil PCA digunakan untuk mengetahui bobot
nilai karakter pembeda dalam pemisahan OTU. Akhirnya akan menghasilkan
bentuk fenogram hubungan kekerabatan takson. Pemisahan OTU dapat dilihat
melalui fenogram hasil pengelompokan average linkage dan PCA yang dapat
digunakan untuk mengetahui hubungan kekerabatan antar OTU berdasarkan
analisis karakter morfologi (fenotip) (Hamidah, 2009).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil pencandraan terhadap karakter morfologi pada genus Brassica dapat
diketahui adanya keanekaragaman antar spesimen, yang meliputi karakter batang
daun dan krop. Data hasil pencandraan dapat dibuat menjadi kunci determinasi
yang dapat menggambarkan jati diri suatu organisme (Hamidah, 2009).
Kunci determinasi
1. a. Memiliki krop...3
b. Tidak terbentuk krop........6
2. a. Filotaksis roset akar..7
b. Filotaksis tersebar.....5
3.a.Warna permukaan atas daun berwarna kuning pucat-hijau muda-hijau
tua.Brassica rapa subsp. chinensis var. pekinensis
b. Warna pemukaan atas daun berwarna hijau tua..4
4. a. Bentuk krop bulat agak pipih.......Brassica oleracea var. capitata
b. Bentuk krop setengah lingkaran...5
5. a. Krop berwarna putih..Brassica oleracea var. boytris
b. Krop berwarna hijau tua .................................... Brassica oleracea var. italica
6. a. Tidak memiliki trikoma pada daun ...........................................8
b. Memiliki trikoma pada daun7
7. a. Bangun daun oblongatus, tepi bisseratus, ujung rounded, pangkal acute dan
permukaan daun rugros...Brassica rapa convar. parachinensis
4

b. Bangun daun obvate, tepi revolute, ujung obtusus, pangkal cuneat dan
permukaan daun opacus.. ............................ Brassica juncea
8. a. Daging daun perkamenteus dan permukaan batang tidak
bernodus..Brassica oleracea var. alboglabra
b. Daging daun membranaceous dan permukaan batang bernodus.9
9. a. Tangkai daun berwarna hijau.....Brassica rapa subsp. chinensis var. viridis
b. Tangkai daun berwarna putih....Brassica rapa subsp. chinensis var. alba
Hasil analisis hubungan kekerabatan antar anggota genus Brassica sp.
melalui metode fenetik
Analisis pengelompokkan dengan metode fenetik adalah untuk mengetahui
hubungan kekerabatan antar anggota dari genus Brassica sp. berdasarkan 35
karakter morfologi yang digunakan untuk mengetahui jauh dekatnya hubungan
kekerabatan antar spesimen dengan menggunakan program SPSS 16.00. tiga
puluh lima karakter yang digunakan sebagai dasar pengelompokkan terdiri dari 2
karakter perawakan, 4 karakter batang, 22 karakter daun, dan 7 karakter krop.
Pengelompokkan spesimen dari genus Brassica dilakukan dengan menggunakan
analisis gugus (classify hierarchial cluster) dan sebagai pelengkap digunakan
analisis komponen utama (principal component analysis). Analisis gugus
dilakukan didasarkan atas pengukuran kesamaan antar satuan taksonomi
operasional (STO) dengan menggunakan classify hierarchial cluster untuk data
interval. Pengukuran tersebut didasarkan pada sebaran karakter morfologi dari 9
spesimen dari genus Brassica. Dari data yang telah diskoring dan diproses dengan
program SPSS 16.00 diperoleh hasil perhitungan indeks similaritas dengan
koefisien simple matching (tabel 4.1) dan nilai koefisien pengelompokkan
kesamaan karakteristik morfologi sampel dengan menggunakan metode
agglomerative (pendekatan penggabungan) berdasarkan average linkage (tabel
4.2).
Tabel 4.1 Indeks kesamaan antara 9 spesimen tanaman dari genus Brassica
sebagai sampel penelitian

Case
1:

Correlation between Vectors of Values


1:
2:
3:
4:
5:
6:
7:
8:
1.000 .422 -.130 -.077 -.318 -.178 -.060 .301

9:
.169

2:

.422 1.000 .482 -.017 -.098 .103

.162

.032

-.090

3:

-.130 .482 1.000 .544

.036

.091

.032

4:
5:

-.077 -.017 .544 1.000 .654

.041 -.106

.325

.278

-.318 -.098 .381

.654 1.000 .231

.042

.323

.241

6:

-.178 .103

.083

.041

.231 1.000 .906

.368

.378

7:

-.060 .162

.036 -.106 .042

.906 1.000

.256

.268

8:

.301

.091

.325

.323

.368

.256 1.000 .827

9:

.169 -.090 .032

.278

.241

.378

.268

.032

.381

.083

.827 1.000
5

Tabel 4.1 di atas adalah tabel yang menunjukkan indeks nilai kesamaan
diantara spesimen. Dari tabel didapatkan beberapa spesimen yang memiliki nilai
kesamaan yang paling kecil, yaitu pada angka di garis bawahi. Indeks kesamaan
terkecil yaitu 0,032 pada spesimen antara spesimen 2 & spesimen 8 dan spesimen
3 & spesimen 9, yang menunjukkan bahwa dintara keduanya (2 & 8) dan (3 & 9)
memiliki karakter morfologi yang cukup berbeda, sehingga nilai kesamaannya
kecil. Sedangkan nilai indeks kesamaan yang lebih dari 0,5 dianggap memiliki
nilai kesamaan yang banyak, yaitu pada angka di pertebal. Sedangkan OTU yang
memiliki nilai indeks di bawah 0,5 (angka yang di underline) dianggap memiliki
kesamaan yang semakin sedikit diantara OTU.
Nilai indeks kesamaan dapat menentukan hubungan kekerabatan antara
OTU yaitu dapat ditunjukkan dengan besar kecilnya nilai indeks kesamaan. Data
nilai indeks kesamaan yang dihasilkan pada Tabel 4.1, dilakukan rating, yaitu
dengan mengurutkan spesimen yang memiliki nilai indeks terbesar hingga yang
terkecil (Tabel 4.2). Spesimen yang menempati posisi teratas adalah spesimen
yang memiliki hubungan paling dekat, yaitu spesimen 6 dan 7, dengan nilai
indeks kesamaan 0.96, dan spesimen yang berada pada urutan paling akhir adalah
specimen 1 dan 2, yang berarti memiliki hubungan kekerabatan paling jauh,
dengan nilai indeks kesamaan yaitu 0,16.
Tabel 4.2 Penggabungan karakter morfologi berdasarkan average linkage

Keterangan:
1. angka yang tertera pada kolom cluster 1 dan cluster 2 menunjukkan kode
dari OTU yang dibandingkan,
2. angka yang tertera pada kolom coefficients menunjukkan besarnya nilai
kesamaan morfologi dari dua kelompok OTU yang dibandingkan serta
menyebabkan ke 2 OTU yang dibandingkan tersebut mengelompok.
Data hasil dari indeks similarity dan average linkage digambarkan dalam
dendogram, yang menggambarkan hubungan kekerabatan antar spesimen
(Gambar 5).

Gambar 5 Dendogram Hubungan kekerabatan antara tanaman dari genus


Brassica.
Keterangan:
1 = Brassica oleracea var. pekinensis
2 = Brassica oleracea var. capitata
3 = Brassica oleracea var. boytris
4 = Brassica oleracea var. italica
5 = Brassica oleracea var. alboglabra
6 = Brassica rapa subsp. chinensis var. viridis
7 = Brassica rapa subsp. chinensis var. alba
8 = Brassica rapa convar. parachinensis
9 = Brassica juncea
Berdasarkan dendogram Gambar 5 di atas, di dapatkan nilai similaritas
sebesar 25%, dapat diketahui bahwa Brassica rapa L. subsp. chinensis (L.)
Hanelt var. viridis lebih dekat dengan Brassica rapa L. subsp. chinensis (L.)
Hanelt var. alba, dibandingkan dengan Brassica rapa L. convar. parachinensis
(L.H.Bailey) yang lebih dekat dengan Brassica juncea L., dan Brassica oleracea
L. var. italica Plenck. lebih dekat dengan Brassica oleracea L. var. alboglabra
(L.H.Bailey) Masil, dibandingkan dengan Brassica oleracea L. var. capitata L.
yang lebih dekat dengan Brassica oleracea L. var. boytris L., serta Brassica
oleracea L. var. pekinensis (Vourt.) Hanelt, yang memiliki hubungan kekerabatan
paling jauh dengan delapan spesimen.
Setelah dilakukan analisis cluster yang menghasilkan dendogram,
kemudian dilanjutkan dengan analisis PCA (Principal Component Analyst) yang
digunakan untuk mengetahui karakter yang berpengaruh besar terhadap
pemisahan atau pengelompokan spesimen dari genus Brassica sp. Hasil analisis
PCA di tunjukkan dalam tabel berikut ini.

Tabel 4.3 Nilai komponen karakter utama tanaman dari genus Brassica sp.

Tinggi batang
Kerapatan
Panjang batang
Permukaan batang
Warna batang
Bangun daun
Tepi daun
Ujung daun
Pangkal daun
Ibu tulang daun
Warna daun atas
Warna daun bawah
Sifat permukaan
Ada/tidak
Trikoma pada daun tua
Trikoma pada daun muda
Daging daun
Filotaksis
Rumus daun
Sifat daun
Jarak internodus
Panjang daun ke 5
Panjang daun ke 6
Lebar daun ke 5
Lebar daun ke 6
Bagian yang terlebar
Ada/tidak
Warna tangkai
Panjang tangkai ke 5
Panjang tangkai ke 6
Ada/tidak
Bentuk krop
Warna krop
Permukaan krop
Teksture krop

1
-.591
.749
-.726
.726
-.734
.542
.288
.658
-.566
.499
.202
.423
-.296
.533
.663
.515
-.103
.726
-.375
-.375
-.751
.618
.677
.460
.518
.215
-.846
-.798
-.846
-.941
.351
.713
.461
.023
.649

Component
2
.770
-.489
.660
-.660
.142
.693
.202
.067
.594
-.364
.884
.530
.292
-.244
-.050
-.582
.670
-.660
.056
.056
.593
.651
.521
.544
.669
.764
-.371
.131
.222
.213
.891
.648
.721
.874
.660

3
-.171
-.061
.044
-.044
.306
-.156
.848
-.086
.418
-.401
-.040
-.040
-.760
.776
.689
.622
-.638
-.044
.217
.217
.097
.299
.490
.434
-.154
.552
.229
.386
.320
.158
-.116
-.048
.219
.097
-.342
8

Penyusun krop
Diameter krop

-.117
.543

.864
.579

.055
-.473

Dari analisis PCA pada tabel 4.3 di atas terdapat 3 komponen utama
karakter yang berperan utama dalam memisahkan kelompok pada genus Brassica
sp. komponen 1 merupakan karakter yang paling berperan utama dalam
memisahkan kelompok pada genus Brassica sp.. Sedangkan komponen ke 2
merupakan komponen karakter pendukung pertama dari komponen 1 dan
komponen ke 3 merupakan komponen karakter pendukung kedua komponen 1
dan 2. Nilai yang dicetak tebal pada tabel di atas merupakan karakter yang
mempunyai nilai 0,750 yang berarti karakter tersebut sangat berpengaruh kuat
terhadap pengelompokkan pada tanaman dari genus Brassica sp., sedangkan
karakter yang mempunyai nilai 0,500 X < 0,750, merupakan karakter yang
cukup berpengaruh terhadap pengelompokkan dan nilai karakter yang < 0,500
merupakan karakter yang kurang berperan dalam pengelompokkan pada tanaman
dari genus Brassica sp.
Karakter-karater yang termasuk ke dalam 3 komponen pada tabel di atas,
yang termasuk karakter yang berperan sangat besar atau karakter yang
mempunyai nilai 0,750 pada komponen 1 adalah jarak internodus, ada/tidaknya
tangkai daun, warna tangkai daun, panjang tangkai daun pada duduk daun ke 5
dan ke 6, pada komponen ke 2 adalah tinggi batang, warna daun pada permukaan
atas, bagian yang terlebar pada daun, ada/tidaknya krop, permukaan krop,
penyusun krop. Dan pada komponen 3 yaitu karakter, tepi daun, sifat permukaan
daun, ada/tidaknya trikoma.
KESIMPULAN
Hubungan kekerabatan berdasarkan morfologi, yaitu Brassica rapa L. subsp.
chinensis (L.) Hanelt. var. viridis lebih dekat dengan Brassica rapa L. subsp.
chinensis (L.) Hanelt. var. alba, dibandingkan dengan Brassica rapa L. convar.
parachinensis (L.H.Bailey) yang lebih dekat dengan Brassica juncea L., dan
Brassica oleracea L. var. italica Plenck. lebih dekat dengan Brassica oleracea L.
var. alboglabra (L.H.Bailey) Masil, dibandingkan dengan Brassica oleracea L.
var. capitata L. yang lebih dekat dengan Brassica oleracea L. var. boytris L.,
serta Brassica oleracea L. var. pekinensis (Vourt.) Hanelt., yang memiliki
hubungan kekerabatan paling jauh dengan delapan spesimen. Karakter yang dapat
mengelompokkan dan memisahkan antar tanaman pada genus Brassica sp, yaitu
sebanyak 35 karakter yang meliputi karakter dari perawakan batang daun dan krop.
SARAN
Penelitian biosistematika yang dilakukan terhadap tanaman dari genus
Brassica sp. dengan menggunakan karakter yang telah digunakan pada penelitian
ini, masih perlu diperluas, karena masih banyak karakter yang dapat digunakan
untuk mendukung penelitian ini, misalnya karakter anatomi, fisiologi, hingga ke
tingkat DNA. Penelitian perlu dilakukan pada fase yang berbeda, yaitu pada fase
generatif, sehingga akan diketahui lebih luas tentang variasi karakter yang
9

dimiliki tanaman dari genus Brassica sp, sehingga dapat tanaman tersebut dapat
dikenal masyarakat dengan baik. Pada saat penelitian sebaiknya tanaman di
kondisikan tetap tertutup tetapi masih mendapatkan cahaya yang cukup, agar
tanaman tidak rusak karena terkena hujan.
DAFTAR PUSTAKA
Fahrudin, F. 2009. Budidaya Caisim (Brassica juncea L.) Menggunakan Ekstrak
Teh Dan Pupuk Kascing. Skripsi. Universitas Sebelas Maret. Surakarta.
Gupta, K., Deepak P., Abha A. 2010. Pyramiding White Rust Resistance and
Altenaria Blight Tolerance In low Erucic Brassica juncea using Brassica
carinata. Jurnal of Oilseed Brassica. 1 (2): 55-56
Hamidah, 2009. Biosistematika Annona muricata L., Annona squamoa L., dan
Annona reticulata L. Dengan Pendekatan Numerik. Disertasi. Fakultas Biologi.
Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Ramli. 2010. Respon Varietas Kubis (Brassica Oleraceae) Dataran Rendah
Terhadap Pemberian Berbagai Jenis Mulsa. Jurnal Agroland. 17 (1): 30-37
Rubatzky, V. E., dan Yamaguchi, M. 1998. Sayuran Dunia 2 Prinsip Produksi
dan Gizi. ITB. Bandung
Rusmiati, D., Kusuma, S.A.F., Susilowati, Y., dan Sulistianingsih. 2007.
Pemanfaatan Kubis (Brassica oleracea var. Capitata alba) Sebagai Candidat
Antikeputihan. Skripsi. Universitas Padjadjaran. Bandung.
Sulistyaningsih, E., Kurniasih, B., dan Kurniasih, E. 2005. Pertumbuhan dan Hasil
Caisin Pada Berbagai warna Sungkup Plastik. Jurna Ilmu Pertanian. 12 (1): (6567)

10

Pengaruh Elisitor Ekstrak Saccharomyces cerevisiae terhadap Biomassa dan


Kadar Saponin Akar Adventif Talinum paniculatum (Jacq) Gaertn., Secara
In-vitro.
Syahrial B.R, Y. Sri Wulan Manuhara, Edy Setiti, W.U.
Departement of Biology, Faculty of Sains and Technology
Airlangga University
e-mail: syah.rial28@yahoo.com
ABSTRACT
This study aimed to determine the effect of various concentrations of S.
cerevisiae extract as biotic elicitor and time of harvesting to biomass and saponin
levels of adventitious roots T. paniculatum(Jacq) Gaertn in-vitro. Leaves of T.
paniculatum grown on Murashige and Skoog medium (MS) supplemented 2 mg /
L IBA and S. cerevisiae extract with concentrations of 0; 0.025; 0.05, and 0.1% g
/ L. Biomass and saponin levels of adventitious root T. paniculatum measured at
harvest age 2, 4, and 6 weeks. Biomass measured after fresh weight of
adventitious roots T. paniculatum dried in the oven 500C, for 5 days. Saponin
levels are determined by semi-quantitative method on TLC plate and eluted with
propanol : H2O with a ratio of 14 : 3. Elicitor concentration 0.025% by harvest
time at the 4th week produced highest average biomass of 16.1 mg. Lowest mean
value of biomass produced at giving elicitor concentration 0.1% harvesting the
2nd week in 1.4 mg. Brown-Forsythe test results show extracts of S. cerevisiae
give effect on adventitious root biomass T. paniculatum (Sig 0.003 < 0,05).
Significant difference treatments Only shown in giving elicitor concentration of
0.1% (sig 0.011 < 0,05). Harvesting time give effect on biomass adventitious
root T. paniculatum (Sig 0.043 < 0.05), From Games-Howel test showed no
significant difference between treatments. The best concentration of S. cerevisiae
extract is to increase of saponin contetns in adventitious root of T. paniculatum is
0.025% of 2 weeks culture.
Key words : adventitious root, elicitor, saponins, Talinum paniculatum
Pendahuluan
Pemanfaatan tumbuhan sebagai bahan baku obat terus meningkat. Sampai
saat ini, sebagian besar bahan baku tanaman obat masih dipanen dari alam (Lestari
dan Mariska, 1997). Salah satu tanaman obat adalah ginseng jawa atau Talinum
paniculatum (Hutapea, 1991). Manfaat yang dapat diambil dari tanaman gingseng
jawa adalah untuk meningkatkan nafsu makan kurang dan afrodisiaka
(Wijayakusuma et al., 1994). Berbagai kandungan kimia dapat ditemukan di
tanaman ini. Faridah dan Isfaryanti (1996) menyebutkan bahwa akar ginseng jawa
11

mengandung saponin. Zat tersebut merupakan hasil metabolit sekunder dari


tanaman. Saponin diketahui terdapat pada kingdom plantae dan dapat
digolongkan dalam tiga bentuk yaitu triterpenoid, steroid dan steroid glikoalkoloid
(Turk, 2006). Sampai saat ini, uji kandungan dan efektivitas saponin antara lain
sebagai anti radang (Sumastuti, 1999), potensi androgenik (Winarni, 2009), dan
potensi viabilitas sperma (Rahmi dkk., 2011).
Metode kultur jaringan bisa digunakan untuk mengambil hasil metabolit
sekunder dari suatu tanaman. Namun hasil yang diperoleh dari metode kultur
jaringan masih terlalu sedikit karena itu diperlukan teknik untuk meningkatkan
hasil metabolit sekunder dari tanaman yaitu dengan pemberian elisitor (Braz et
al., 1990 dalam Korsangruang, 2010).
Elisitor adalah materi biotik maupun abiotik yang dapat meningkatkan
biosintesis fitoaleksin dan metabolit sekunder (Endress, 1994). Penggunaan
elisitor biotik berupa Saccharomyces cerevisiae telah banyak dilaporkan berhasil
meningkatkan kandungan metabolit sekunder dari tanaman. Salah satunya
Santoso (2012) dalam penelitianya berhasil meningkatkan kadar saponin kalus T.
paniculatum dengan menggunakan elisitor ekstrak S. Cerevisiae yang dipanen
pada usia penanaman 6 minggu, Konsentrasi terbaik untuk meningkatkan kadar
saponin total kalus T. paniculatum dihasilkan pada pemberian elisitor ekstrak S.
Cerevisiae konsentrasi 0,1%.
Dari latar belakang tersebut, penelitian bertujuan untuk mengetahui pengaruh
berbagai konsentrasi elisitor ekstrak S. cerevisiae dan waktu pemanenan terhadap
biomassa dan kadar saponin akar adventif T. paniculatum .

MATERI DAN METODE


Bahan
Bahan tanaman yang digunakan adalah eksp;an daun gingseng jawa, bahan
kimia penyusun media MS zat pengatur tumbuh IBA 2ppm, bahan kimia
penyusun media PDA dan media PDB, elisitor ekstrak S.cerevisiae, aquadest,
clorox 10 %, alkohol 70 %, saponin (Calbiochem), etanol 96 % (p.a), anisaldehid
(Merck), asam asetat glacial (Merck), asam sulfat pekat, 2-propanol (Merck).
12

ALAT
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi autoclave, laminar
air flow (LAF), oven, timbangan analitik, magnetic stirrer, waterbath, botol
kultur, pinset, scalpel, erlenmeyer, cawan petri, gelas ukur, gelas beker, corong,
bunsen, ose, spatula, sprayer, kompor listrik, mortar, mikropipet, pH indikator
universal, kromatografi lapis tipis silica gel GF254 (Merck).
METODE
Sterilisasi alat
Peralatan yang tahan panas seperti scapel, pinset, erlenmeyer, cawan petri,
botol kultur, dan gelas ukur disterilkan menggunakan autoclave pada temperatur
1210C, tekanan 1,2 atm selama 15-20 menit.
Pembuatan elisitor S. cerevisiae
Isolat S. cerevisiae diinokulasikan pada media PDA

(Potato

dextrose

agar) yang ditaruh pada tabung reaksi dengan metode streak untuk dijadikan stok.
Tutup mulut tabung reaksi dengan kapas dan dibungkus dengan kertas aluminium
foil. Kemudian disimpan pada suhu ruang. Isolat S. cerevisiae yang sudah tumbuh
dikultur dalam media PDB (Potato dextrose broth) dan di shaker pada 100 rpm
pada suhu 25

selama 3 hari. Kultur dipanen dengan cara sentrifugasi 8000 rpm

selama 10 menit untuk mendapatkan pelet. Pelet S. cerevisiae di cuci dengan


aquadest steril sebanyak tiga kali. kemudian dikeringkan pada suhu 60

pada

oven selama 3 hari untuk mendapatkan biomassa. Biomassa S. cerevisiae digerus


dengan mortar sampai halus.
Pembuatan media kultur jaringan
Aquades 500 mL ditambahkan komponen bahan kimia penyusun
makronutrien, selanjutnya memasukkan 5 mL larutan stok zat besi, 1 mL stok
mikronutrien, 4 mL larutan stok vitamin, IBA 2 ppm, 100 mg myo-inositol,
elisitor ekstrak S. cerevisiae dan 30 g sukrosa dilarutkan sampai homogen, pH
larutan diatur 5,6-5,8. Kemudian menambahkan aquadest sampai volume 1000
mL dan agar-agar 12 g, dipanaskan di kompor listrik sampai larut. Dalam keadaan
13

masih cair, media dibagi ke dalam botol kultur

20 mL/botol. Selanjutnya

medium disterilkan dengan autoclave pada temperatur 1210C, tekanan 1,2 atm
selama 15 menit.
Sterilisasi ruang kerja
Membersihkan permukaan meja LAF dengan kain yang telah dibasahi
alkohol 70%. Memasukkan alat-alat dan media steril ke dalam LAF (laminar air
flow). Kemudian Lampu UV pada LAF dinyalakan selama 15 menit.
Kultur daun T. paniculatum dalam medium MS dengan penambahan IBA 2 mg/L
dan elisitor
Daun T. paniculatum dicuci dengan detergen selama 2 menit, lalu dibilas
dengan air mengalir. Kemudian direndam dengan calcium hypochlorite (Clorox)
10% selama 10 menit. Dibilas dengan aquadest sebanyak 3 kali, kemudian
ditiriskan pada kertas saring steril. Daun dipotong 1 cm2, ditanam di media MS
yang telah ditambah dengan IBA 2 mg/L dan elisitor pada botol kultur, tiap botol
kultur di isi 7 potong daun. Elisitor yang digunakan yaitu S. cerevisiae dengan 4
konsentrasi yaitu 0%; 0,025%; 0,05%; dan 0,1%. Kemudian diinkubasi dalam
keadaan gelap, dan pada suhu

. Pengukuran biomassa dan kadar

saponin dilakukan pada umur akar 2, 4, dan 6 minggu.


Pengukuran biomassa dan kadar saponin akar adventif
Pengamatan biomassa dilakukan dengan cara mengeringkan akar adventif
yang telah dipanen dengan oven pada temperatur 600C selama 5 hari kemudian
ditimbang. Untuk kadar saponin analisis kromatografi lapis tipis (KLT) diawali
dengan menggerus sampel biomassa akar adventif sampai halus dengan mortar,
dilanjutkan ekstraksi menggunakan pelarut etanol absolut 10 mL selama 45 menit
di waterbath pada suhu 800C . Hasil ekstrasi disaring menggunakan kertas saring,
dan untuk mencuci kertas saring digunakan etanol absolut 10 mL. Kemudian
dipekatkan dengan cara dipanaskan hingga diperoleh 1 mL ekstrak. Ekstrak
ditotolkan pada KLT dan dielusi degan propanol:H2O pada perbandingan 14:3.
Selanjutnya untuk mengetahui noda sampel dilakukan penyemprotan dengan
anisaldehide-H2SO4 dan dipanaskan di oven selama 8 menit.
14

HASIL DAN PEMBAHASAN


Biomasa akar adventif T. paniculatum

Gambar 1.3 Akar adventif pada eksplan daun T. Paniculatum a: akar


adventif; b: eksplan daun; c: kalus. (bar = 1cm).
Dalam penelitian ini yang akan di gunakan sebagai sampel yang akan diuji
biomassa dan kadar saponinnya yaitu akar adventif yang diinduksi dari eksplan
daun. Hasil induksi akar adventif eksplan daun T. Paniculatum dapat dilihat pada
gambar 1.3 Selain akar adventif, diketahui muncul sedikit kalus pada eksplan
daun.
Tabel 1 Rerata berat segar dan berat kering akar adventif T. paniculatum. (n=3)
berat segar akar adventif (mg)

berat kering akar adventif (mg)

minggu ke-

minggu ke-

Konsentrasi
elisitor
(%)
2
0 (k0)
0.025 (k1)
0.05 (k2)
0.1 (k3)

156,1
93,2
99,4
66,9
50,4
61,8
20,1
23,4

242,4 112,5

342,9 8,5

8,1 3,0

9,3 3,9

14,2 4,3

331,6 190,6

141,7 113,2

7,1 4,1

16,1 3,8

10,3 5,3

75,5 61,8

196.4 101,7

10,2 5,5

9,2 2,9

62,5 4,1

104,7 140,5

3,2 0,2
1,3
0,6*

3,5 0,2

5,3 7,2

* rerata berbeda nyata signifikan pada taraf 5%


Pengaruh elisitor ekstrak S. cerevisiae terhadap biomassa akar adventif T.
paniculatum

15

Gambar 1.1 Grafik rerata berat kering akar adventif T. paniculatum


Dari grafik 1.1 dapat diketahui bahwa rerata biomassa tertinggi dihasilkan
dari perlakuan k1 pemanenan minggu ke-4. Sedangkan rerata biomassa terendah
pada perlakuan k3 usia pemanenan 2 minggu.
Kadar saponin akar adventif T. paniculatum
Luas noda saponin pada kromatogram diukur menggunakan rumus
lingkaran. Hasil pengukuran luas noda senyawa saponin dapat dilihat pada
gambar 1.2.

rerataBK(mg)

12,0
10,0
8,0
6,0
4,0
2,0
0,0

k0

18,0

rerataBK(mg)

14,0

14,3 0,45
0,40

0,35

9,3
0,30
8,2
0,25

0,20
0,13 0,13 0,15

0,10

0,05

0,00
2
4
6
rerataBK
mingguke
luasnoda

0,38

luasnoda(cm)

16,0

16,0
14,0
12,0
10,0
8,0

16,1

0,25

0,20

0,20
10,3
0,15

7,1

6,0
4,0
2,0
0,0

0,10
0,07
0,05
0,00

k1

0,30

0,28

luasnoda(cm)

4
mingguke

rerataBK
luasnoda

16

rerataBK(mg)

10,0

0,20

8,0
6,0
4,0

3,3

2,0
0,0
2

0,25

9,2

6,0

0,20
0,15

0,13

5,0

0,13 0,10

0,05

0,00
6
rerataberat
mingguke
kering

k2

luasnoda

4,0

5,3

0,20

3,6
0.20

0,13

3,0

1,0
0,0

k3

0,05

1,4
2

0,15
0,10

0,13

2,0

0,25
luasnoda(cm)

12,0

10,2

rerataBK(mg)

luasnoda(cm)

0,00
4
mingguke

6
rerataBK
luasnoda

Gambar 1.2 Grafik rerata berat kering dan kadar saponin akar adventif T.
paniculatum k0: kontrol ; k1: elisitor 0,25% ; k2: elisitor 0,05% ; k3:
elisitor 0,1%.
Dari gambar 1.2 dapat diketahui bahwa luas noda saponin tertinggi yaitu
pada k0 usia panen 2 minggu. Sedangkan luas noda saponin terendah pada k1 usia
6 minggu. Pemberian elisitor ekstrak S. cerevisiae yang terbaik untuk
meningkatkan kadar saponin akar adventif T. paniculatum adalah perlakuan k1
(konsentrasi 0,025%) usia 2 minggu.
PEMBAHASAN
Biomassa akar adventif T. paniculatum
Uji Brown-forsythe pada program SPSS menunjukan bahwa ekstrak S.
cerevisiae berpengaruh terhadap biomassa (berat kering) akar adventif T.
paniculatum ( Sig 0,003 < 0,05). Kemudian untuk mengetahui beda nyata antar
perlakuan dilanjutkan dengan uji Games-howel. Kelompok kontrol (k0) hanya
berbeda nyata dengan kelompok k3 (sig 0,011 < 0,05). Waktu pemanenan juga
di uji dengan Brown-forsythe. Hasil uji menunjukan bahwa waktu pemanenan
berpengaruh terhadap biomassa akar adventif T. paniculatum ( Sig .043 < 0,05),
Namun dari uji Games-howel tidak menunjukan beda signifikan antar perlakuan.
Pengukuran biomassa tanaman menggunakan berat kering tanaman.
Pertambahan ukuran maupun berat kering tanaman mencerminkan bertambahnya

17

protoplasma yang terjadi karena bertambahnya ukuran dan jumlah sel (Khristyana et
al, 2005).
Kasmiyati et al,. (2007) dalam penelitianya menjelaskan penambahan
elisitor ekstrak Pythium aphanidermatum usia panen 6 minggu mempengaruhi
berat segar dari Artemisia vulgaris namun tidak menunjukan beda nyata dalam uji
statistik tersebut dikarenakan pada konsentrasi rendah elisitor lebih berperan
menginduksi metabolit sekunder dibanding pemacu pertumbuhan planlet sehingga
keberadaan ekstrak khamir tersebut tidak mempengaruhi pertumbuhan planlet.
Pada perlakuan k3 biomassa dari akar adventif lebih kecil bila
dibandingkan dengan kontrol sebab Pada elisitor konsentrasi yang tinggi terjadi
perebutan prekusor antara metabolisme primer dan sekunder sehingga produksi
biomassa menurun tetapi sebaliknya produksi metabolit sekunder menjadi tinggi
(Moreno et al., 1994). Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh
Ratnasari et al., (2007) peningkatan kandungan ajmalisisn dari agregat sel
Catharanthus roseus (L.) diikuti oleh penurunan berat kering.
Kadar saponin akar adventif T. paniculatum
Untuk meningkatkan kadar saponin berdasarkan hasil analisis data secara
deskriptif, Pemberian elisitor yang terbaik untuk meningkatkan kadar saponin
akar adventif T. paniculatum adalah perlakuan k1 (konsentrasi 0,025%) usia 2
minggu. Hal ini dikarenakan waktu yang dibutuhkan untuk meningkatkan kadar
saponin lebih sebentar sehingga lebih efisien.
Menurut Hahn (1996) derivat dinding sel S. cerevisiae yang berupa glukan
mempunyai binding site yang sesuai dengan reseptor pada agregat sel. Sehingga
elisitor akan menginduksi terbentuknya fitoaleksin. Menurut Aprianita et al.,
(2003) elisitor dapat menginduksi terbentuknya fitoaleksin, yang selanjutnya
fitoaleksin dapat meningkatkan kandungan metabolit sekunder dengan dua cara,
yaitu peningkatan aktivitas enzim dan peningkatan sintesis enzim yang terlibat
dalam jalur biosintesis metabolit tertentu.
Kemampuan ekstrak S. cerevisiae dalam meningkatkan kadar saponin
diduga berasal dari homogenatnya yang sebagian berupa -glukan. -glukan
18

merupakan homopolisakarida yang sangat berlimpah dan mudah ditemukan pada


kelompok yeast ( Kusmiati et al., 2007). Diduga homogenat berupa -glukan
merupakan senyawa spesifik yang dapat berikatan dengan gugus protein reseptor
pada bagian membran sel akar adventif. Hal ini didukung oleh Hu et al dalam
Santoso (2012) bahwa homogenat fungi yang berperan dalam mengaktifkan jalur
transduksi sinyal NADPH oxidase dalam sintesis saponin adalah jenis gula.
KESIMPULAN
1 Pemberian elisitor ekstrak S. cerevisiae 0,025%, dengan waktu pemanenan
minggu ke-4 memiliki rerata biomassa tertinggi sebesar 16,1 mg. Nilai rerata
biomassa terendah ditunjukan pada pemberian elisitor konsentrasi 0,1%
dengan waktu pemanenan minggu ke- 2 sebesar 1,4 mg.
2. Pemberian elisitor ekstrak S. cerevisiae yang terbaik untuk meningkatkan
kadar saponin akar adventif T. paniculatum adalah konsentrasi 0,025%
dengan waktu pemanenan minggu ke-2.
DAFTAR PUSTAKA
Aprianita. R.R. Esyanti., Siregar. A.H. 2003. Pengaruh Pemberian Homogenat
Jamur Pythium aphanidermatum (Edson) Fitzp. Terhadap Kandungan
Ajmalisin Dalam Kultur Kalus Berakar C. roseus (L) G. Don . Berita
biologi (6) 4
Endress R. 1994. Plant cell biotechnology. Springer-Verlag Berlin Heidelberg.
Germany.p.173-225
Faridah G. E, dan Isfaryanti A. F. 1996. Skrining Fitokimia Akar Som jawa.
Prosiding Seminar Nasional Pokjanas Tanaman Obat Indonesia XI.
Surabaya
Hahn GM. 1996. Microbial Elicitors and Their Receptors in Plant. Annual Review
Phytopathology 34, 387-412
Hutapea, J.R. 1991.Inventaris Tanaman Obat Indonesia II.Jakarta: Depkes RI
Kasmiyati. S, Herawati. M.M, Kristiana.E.B.E. 2008. Pertumbuhan Artemisia
vulgaris Secara Kultur Pucuk pada Medium dengan Kandungan
Mioinositol dan Ekstrak Khamir. Biota Vol. 13 (2). Fakultas Biologi,
Universitas Kristen Satya Wacana : Salatiga
Khristyana.L., Endang. A. , Marsusi Perumbuhan. 2005. Kadar Saponin dan
Nitrogen Jaringan Tanaman Daun Sendok (Plantago major L.) pada
Pemberian Asam Giberelat (GA3). Biofarmasi 3 (1): 11-15. Jurusan
Biologi FMIPA Universitas Sebelas Maret (UNS): Surakarta
Korsangruang S., Soonthornchareonnon, N., Chintapakorn, Y., Saralamp, P.,
Prathanturarug, S. 2010. Effects of abiotic and biotic elicitors on growth
19

and isoflavonoidaccumulation in Pueraria candollei var. candollei and P.


candolleivar. mirifica cell suspension cultures. Plant Cell Tiss Organ
Cult 103:333-342. Department of Pharmaceutical Botany, Faculty of
Pharmacy, Mahidol University Bangkok, Thailand
Kusmiati, Tamar, S.R., Nuswantara, S., dan Isnaini, S.,
2007. Produksi dan
penetapan -glukan dari tiga galur Saccharomyces cerevisiae dalam
media mengandung molase.Jurnal ilmu kefarmasian Indonesia. 5(1): 716
Lestari, E.G., dan I. Mariska. 1997. Kultur in vitro sebagai metode pelestarian
tumbuhan obat langka. Buletin Plasma Nuftah 2 (1):1-8
Moreno, P. R. H., R. Van der Heijden, and R. Verpoorte, effect of Elicitation on
different metabolic pathways in Catharanthus roseus (L)G.Don cell
suspension cultures, in verpoorte ,R., (ed), 1994, Influence of Stress
Factor of Secondary Metabolism in Suspension Cultured C. Roseus Cell,
53-78.
Wijayakusuma, H., H.M. Dalimarkha dan A.S. Wirian. 1994. Tanaman
Berkhasiat Obat di Indonesia. Jilid 3. Jakarta: Pustaka Kartini
Turk, F. M. 2006. Saponins Versus Plant Fungal Pathogens. Journal of cell and
molecular Biology (5): 13-17. Halic University: Turkey
Rahmi, Eriani,K., dan Widyasari., 2011. Potency of java gingseng (Talinum
paniculatum Gaertn) root extract on quality and viability of mice sperm.
Jurnal natural.11 (1); 7-10
Ratnasari, J., Siregar. A.H, Rizkita .R.E. 2001. Pengaruh Pemberian Elisitor
Ekstrak Khamir Saccharomyces cerevisiae Terhadap Kandungan
Ajmalisin Dalam Kultur Agregat Sel Catharanthus roseus (L.) G. Don.
Berita Biologi Volume 5. Institut Teknologi Bandung
Santoso, A.M., 2012. Pengaruh Elisitor Ekstrak Saccharomyces cerevisiae Dan
CuSO4 terhadap biomassa, profil protein, Dan kadar saponin kalus
Talinum paniculatum (jacq) Gaertn. Departemen Biologi Fakultas Sains
dan Teknologi Universitas Airlangga Surabaya. (TESIS)
Sumastuti, R., 1999. Efek anti radang infus daun akar som jawa
(Talinum
paniculatum) pada tikus putih in-vitro. Warta tumbuhan obat Indonesia
5(4): 15-17
Winarni, D., 2009. Potensi Androgenik Akar Gingseng Jawa (Talinum
paniculatum Gaertn) pada Kondisi Testosteron rendah. Disertasi. Jurusan
Biologi, Fakultas MIPA, Universitas Airlangga Surabaya

20

Pengamatan Kontainer yang Potensial sebagai Tempat Perkembangbiakan


Nyamuk Aedes aegypti di Kecamatan Tambaksari, Kota Surabaya
Siti Nur Laila, Noer Moehammadi, dan Salamun. Program S1 Biologi,
Departemen Biologi, Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Airlangga,
Surabaya.
ABSTRACT
The observation of potential container as a breeding places of Aedes aegypti was
done an area that had the highest incidence of dengue fever during the last 3
years in the urban districts Tambaksari, Pacar Kembang village. The comparison
area where used was the area with the lowest number of incidents of dengue
during the last 3 years, that area was Rangkah village. The observation was
conducted in February-June 2013. The results showed that Aedes aegypti larvae
were more common in the barrel and wells. Aedes aegypti prefered container was
made from cement and plastics. Most of the containers that was found an abate
indeed Aedes aegypti larvae. Pacar Kembang village had larval index (HI =
89.3%, CI = 49.8% and 166.4% BI) was bigger than the Rangkah village (HI =
51.2%, CI = 29.3%, and BI = 85.4%, but both of them had the possibility of
transmission of dengue disease was still huge.
Keywords : Aedes aegypti, container, Tambaksari
PENDAHULUAN
DBD terjadi di lebih dari 100 negara, dimana lebih dari 2,5 milyar
manusia beresiko terinfeksi, dan diperkirakan 50 juta orang terinfeksi setiap tahun
(Anonimus, 2002). Vektor utama penyakit DBD adalah nyamuk Aedes aegypti.
Dengan cara menusuk, maka nyamuk Aedes aegypti menularkan virus dengue.
Namun hanya nyamuk betina saja yang menghisap darah, karena nyamuk betina
membutuhkan nutrisi tertentu yang terdapat dalam darah untuk proses pematangan
telur, sedangkan nyamuk jantan tidak. Nyamuk Aedes aegypti umumnya
memiliki habitat di lingkungan perumahan, tempat terdapat banyak penampungan
air jernih dalam bak mandi ataupun tempayan yang menjadi sarang
berkembangbiaknya. Selain itu, menurut Harwood & James (1979) kebiasaan
pendewasaan Aedes aegypti adalah pada bejana buatan manusia yang berada di
dalam maupun di luar rumah. Selain itu ada beberapa faktor yang mempengaruhi
terhadap perletakan telur nyamuk tersebut antara lain jenis wadah, air, suhu,
kelembaban, dan kondisi lingkungan (Suwasono dan Nalim, 1988). Untuk
keperluan pemberantasan penyakit DBD, ternyata mengidentifikasi TPA (Tempat
Penampungan Air) atau kontainer lebih bermanfaat daripada data angka jentik
(larva index). Bahkan di Vietnam (Focks and Cladee, 1997) survei entomologi
sudah diorientasikan pada identifikasi TPA dan surveilan kepadatan nyamuk
21

dewasanya. Untuk mengetahui bagaimana karakteristik dan jenis kontainer atau


TPA yang terdapat jentik nyamuk pada Kecamatan Tambaksari maka dilakukan
penelitian. Tujuan dari penelitian ini adalah Untuk mengetahui perbedaan
macam-macam kontainer (TPA) dan karakteristik kontainer yang digunakan oleh
nyamuk Aedes aegypti sebagai tempat perkembangbiakan di daerah dengan
insiden DBD tertinggi dan insiden DBD terendah di Kecamatan Tambaksari, Kota
Surabaya.
METODOLOGI PENELITIAN
Pengamatan dilakukan di wilayah Kelurahan Pacar Kembang Kecamatan
Tambaksari, Surabaya yang meliputi 11 RW dengan total ukuran sampel 123
rumah. Pada wilayah tersebut jumlah insiden DBD selalu tinggi di kecamatan
Tambaksari selama 3 tahun terakhir. Sebagai pembanding, dilakukan pula
pengamatan di wilayah Kelurahan Rangkah pada kecamatan yang sama yang
meliputi 9 RW dengan total ukuran sampel 122 rumah. Di lokasi pembanding ini
sangat jarang terjadi insiden DBD selama 3 tahun terakhir. Total ukuran sampel
diperoleh dari hasil penghitungan menggunakan rumus Taro Yamane
(Notoatmodjo, 2005).
Data kontainer yang digunakan sebagai
tempat perkembangbiakan
diperoleh dengan cara survei jentik secara single larva dan secara visual.
Kontainer yang berisi air diperiksa terdapat jentik/pupa atau tidak dengan
menggunakan senter, sekaligus dicatat tentang jenis dan karakteristik kontainer
yang meliputi bahan dasar, keberadaan tutup, dan keberadaan abate. Pengambilan
jentik menggunakan pipet plastik dan dimasukkan ke dalam botol film yang telah
diisi air untuk kemudian dibawa ke laboratorium untuk diidentifikasi. Karena
banyaknya rumah yang diteliti, maka penelitian ini memakan waktu yang cukup
lama yaitu dari bulan Februari hingga Juni 2013.
Hasil dari penelitian ini dilaporkan dengan deskripsi, tabulasi, dan analisis.
Analisis data menggunakan penghitungan (Lok, 1985): House Index (HI),
Container Index (CI), dan Breteau Index (BI).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Jenis TPA
Berdasarkan Tabel 1 distribusi TPA sehari-hari berdasarkan jenisnya yang
paling banyak ditemukan di kelurahan Pacar Kembang adalah jenis bak mandi
(111), gentong (76), tandon air (14) dan yang paling sedikit adalah panci (3).
Sedangkan persentase jentik Aedes aegypti paling banyak ditemukan pada
tandon air (42,9%), kemudian bak mandi (30,6%), gentong sebesar 25%, dan
tidak ditemukan jentik sama sekali pada panci.

22

Tabel 1. Distribusi dan keberadaan jentik nyamuk pada TPA berdasarkan


jenisnya
No

Jenis TPA

Kelurahan
Pacar Kembang
Rangkah
Jml
+
(%)
Jml
+
(%)

TPA Sehari-hari
76
19
25
106 71
Gentong
111
34
30,6
106 34
Bak mandi
14
6
42,9
11
7
Tandon air
3
0
0
4
0
Panci
2
TPA Non Sehari-hari
21
0
0
41
12
a Ember
13
1
7,7
29
5
b Bak plastik
29
0
0
7
1
c T. minm hewan
7
0
0
0
0
d Vas bunga
2
2
100
1
0
e Pot bunga
2
0
0
3
0
f Kolam
12
0
0
7
1
g Aquarium
1
0
0
3
2
h Tempat air suci
1
0
0
0
0
i Penyiram bunga
19
4
21,1
18
2
j Tandon dispenser
0
0
0
4
0
k Tandon kulkas
18
14 77,8
30
10
l Barang bekas
1
0
0
0
0
m Jerigen
3
TPA Alami
29
22 75,9
40
32
a Sumur
0
0
0
1
0
b Tempurung kelapa
Keterangan :
Jml : Jumlah TPA yang diperiksa
+
: Jumlah TPA yang ditemukan jentik/pupa nyamuk Aedes aegypti
a
b
c
d

67
30,6
63,6
0
29,3
17,2
14,3
0
0
0
14,3
66,7
0
11,1
0
33,3
0
80
0

Di kelurahan Rangkah, TPA sehari-hari yang paling banyak digunakan


sama dengan pada kelurahan Pacar Kembang yaitu bak mandi (106) yang
jumlahnya sama dengan jumlah gentong yang diperiksa, tandon air (11), dan
panci (1). TPA sehari-hari pada daerah penelitian ini yang paling banyak
ditemukan jentik adalah nyamuk Aedes aegypti adalah gentong, dari 106
gentong yang diperiksa, 71 (67%) diantaranya positif jentik. Tingginya jumlah
kontainer sehari-hari yang positif jentik nyamuk ini dimungkinkan karena
pelaksanaan 3M yang kurang tepat. Karena pada hasil wawancara masih banyak
ditemukan responden yang tidak melakukan kegiatan menguras tempat

23

penampungan air sehari-hari minimal sekali dalam seminggu. Hal tersebut


berhubungan dengan ketersediaan makanan bagi larva Aedes aegypti yang
berupa lumut, rotifer, protozoa, dan spora jamur. Hasil penelitian ini didukung
oleh penelitian yang dilakukan oleh Yuwono dalam Yotopratono, et al., (1998)
yang menyatakan bahwa dari beberapa survei yang dilakukan dibeberapa kota di
Indonesia menunjukkan tempat perkembangbiakan yang paling disukai oleh
nyamuk Aedes aegypti dan paling potensial adalah pada tempat penampungan
air sehari-hari seperti bak mandi, gentong, tempayan, dan sejenisnya. Banyaknya
bak mandi yang positif jentik nyamuk bisa dimungkinkan juga karena bak mandi
berada pada kondisi tempat yang gelap dengan kelembaban yang tinggi.
TPA non sehari-hari merupakan TPA yang paling banyak jenisnya. Jenis
TPA non sehari-hari yang paling sering ditemui di kelurahan Pacar Kembang
adalah tempat minum hewan (29). Namun, pada tempat minum hewan tersebut
tidak satupun ditemukan adanya jentik nyamuk, hal ini bisa terjadi karena
tempat minum hewan sering diganti airnya. Pada kelurahan Rangkah, TPA non
sehari-hari yang sering dijumpai adalah ember (41) dan 12 buah diantaranya
dijumpai adanya jentik nyamuk Aedes aegypti.
Sumur merupakan TPA alami yang paling banyak digunakan pada
kelurahan Pacar Kembang maupun kelurahan Rangkah. Dari total 69 sumur
yang diperiksa, 54 sumur (77,1%) diantaranya ditemukan (positif) jentik nyamuk
Aedes aegypti. Sumur merupakan tempat penampungan air alami yang memiliki
jumlah paling banyak dan juga merupakan tempat yang paling sering digunakan
oleh nyamuk sebagai tempat perkembangbiakan. Sumur termasuk dalam tempat
penampungan air alami karena air bersumber dari tanah meskipun dindingnya
merupakan buatan manusia. Tingginya persentase jentik pada sumur
dimungkinkan karena sumur memiliki air yang jernih, tenang (tidak mengalir),
tempatnya yang berada sangat dalam menyebabkan intensitas cahaya rendah dan
kelembaban udara yang tinggi. Bentuk sumur yang dalam tersebut juga
menyebabkan sulitnya menguras dan membersihkan. Dari hasil observasi juga
ditemukan sebagian besar sumur sudah jarang dan hampir tidak pernah dipakai.
Responden lebih memilih menggunakan pompa air, hal ini menyebabkan air
disumur selalu tenang. Pada kelurahan Rangkah juga ditemukan TPA alami yang
lain berupa tempurung kelapa namun tidak ditemukan adanya jentik nyamuk
pada tempurung kelapa tersebut karena letaknya yang berada di luar rumah
sehingga terpapar matahari secara langsung.
Bahan dasar TPA
Berdasarkan hasil penelitian yang ditunjukkan pada tabel 2 jentik nyamuk
di kelurahan Rangkah ataupun di kelurahan Pacar Kembang sebagian besar
banyak ditemukan pada kontainer yang terbuat dari bahan dasar semen dan

24

plastik. Sesuai dengan hasil penelitian oleh Hidayah dan Badrah (2011)
menemukan bahwa jenis bahan kontainer atau TPA yang disukai nyamuk Aedes
aegypti sebagai tempat perindukan yaitu bahan semen (kasar) 45%, dan plastik
(halus) 36,8%. Apabila pada suatu tempat penampungan air ditemukan atau
tidak ditemukan jentik nyamuk, maka kemungkinan hal tersebut berhubungan
dengan adanya persediaan makanan.
Tabel 2. Distribusi dan keberadaan jentik nyamuk pada TPA berdasarkan bahan
dasar TPA
No

Bahan Dasar TPA

Kelurahan
Pacar Kembang
Rangkah
Jml
+
(%)
Jml
+
(%)
174
37
21,3
218
89
40,8
66
38
57,6
99
74
74,7
91
26
28,6
64
32
50
15
0
0
8
2
25
6
4
66,7
7
2
28,6
2
0
0
8
3
37,5
1
0
0
2
0
0
0
0
0
1
0
0
0
0
0
1
1
100

1
Plastik
2
Semen
3
Keramik
4
Kaca
5
Logam
6
Fiber
7
Tanah
8
Kayu
9
Karet
Keterangan :
Jml : Jumlah TPA yang diperiksa
+
: Jumlah TPA yang ditemukan jentik/pupa nyamuk Aedes aegypti

Permukaan semen yang kasar memiliki kesan sulit dibersihkan, mudah


ditumbuhi lumut, dan mempunyai refleksi cahaya yang rendah, sehingga jenis
bahan dasar yang demikian akan disukai oleh nyamuk Aedes aegyppti sebagai
tempat perindukannya. Sesuai dengan kebiasaan hidup nyamuk Aedes aegypti
yang senang pada kelembaban yang tinggi dan bersifat fototaksis negatif. Bahan
dasar kontainer atau TPA sangat berperan dalam kepadatan vektor nyamuk
Aedes aegypti, karena semakin banyak bahan dasar kontainer yang disukai akan
semakin banyak tempat perindukan dan akan semakin padat populasi nyamuk
Aedes aegypti. Semakin padat populasi nyamuk Aedes aegypti, maka semakin
tinggi pula resiko terinfeksi virus DBD dengan waktu penyebaran lebih cepat
sehingga jumlah kasus penyakit DBD cepat meningkat (Yudhastuti, 2011).
Ketersediaan tutup kontainer
Ketersediaan tutup pada kontainer berperan untuk mencegah nyamuk
masuk kedalam kontainer sehingga berkembangbiak. Hal ini terjadi karena
nyamuk menyukai kontainer yang terbuka tanpa tutup dan terlindung dari sinar
25

matahari (Anonimus, 2005). Pada kelurahan Pacar Kembang dan kelurahan


Rangkah sebagian besar gentong dan tandon air memiliki tutup. Pada kelurahan
Pacar Kembang, gentong dan tandon air yang memiliki tutup sebanyak 78 buah
dan 24 diantaranya ditemukan (positif) jentik nyamuk Aedes aegypti. Pada
kelurahan Rangkah, gentong dan tandon air yang memiliki tutup sebanyak 105
buah dan 69 diantaranya terdapat jentik.
Tabel 4.3 Distribusi ketersediaan tutup pada kontainer
No

Kelurahan

Ketersediaan tutup
Ada tutup
Tidak ada tutup
Jml
+ (%)
Jml
+ (%)
12
3 (25)
78
24 (30,8)
8
4 (50)
105
69 (65,7)

Total

90
1
Pacar Kembang
113
2
Rangkah
Keterangan :
Jml
: Jumlah kontainer yang diperiksa
+
: Jumlah kontainer yang ditemukan jentik/pupa nyamuk Aedes aegypti
%
: Persentase TPA yang ditemukan jentik/pupa nyamuk Aedes aegypti
Persentase gentong dan tandon air yang terdapat jentik lebih banyak di
kelurahan Rangkah dibandingkan dengan Kelurahan Pacar Kembang yang
memiliki kasus DBD lebih tinggi persentase keberadaan jentik terbesar ada pada
tempayan yang terdapat tutup di kelurahan Rangkah sebesar 65%.
Pada hasil penelitian menunjukkan bahwa pada kontainer yang terdapat
tutup pun masih ditemukan jentik nyamuk. Hal ini terjadi dimungkinkan karena:
pertama, responden dan keluarga tidak menutup kontainer dengan rapat
sehingga nyamuk dewasa masih bisa masuk ke dalam kontainer untuk
berkembangbiak. Kedua, ketika mengganti air, dinding permukaan kontainer
tidak disikat secara bersih, sehingga kemungkinan masih terdapat telur-telur
nyamuk. Kontainer harus ditutup dengan rapat, setelah air digunakan harus
dijaga agar kontainer tetap tertutup dengan benar. Menurut Anonimus (2000)
menutup kontainer cukup efektif untuk mencegah perkembangbiakan nyamuk
seperti yang telah dilakukan di Thailand.
Ketersediaan abate pada kontainer
Salah satu upaya pemberantasan sarang nyamuk demam berdarah dengue
adalah dengan program abatisasi. Penggunaan abate masih sangat kurang pada
kedua kelurahan. Terlihat dari tabel 4 bahwa dari total semua kontainer (358
buah) yang ada pada kelurahan Pacar Kembang, hanya 15 kontainer saja yang
ditemukan adanya abate dan 1 diantaranya terdapat jentik. Pada kelurahan
Rangkah, dari 408 kontainer yang ada hanya 5 kontainer yang ditemukan
terdapat abate dan 1 diantaranya terdapat jentik nyamuk.
26

Tabel 4 Distribusi penggunaan abate pada kontainer


No

Kelurahan

+ (%)
1 (6,7)
1 (20)

1
Pacar Kembang
2
Rangkah
Keterangan :
+
: Jumlah kontainer positif jentik
: Jumlah kontainer yang negatif jentik

Ada abate
(%)
14 (93,3)
4 (80)

Total
15
5

Indeks jentik
Dari hasil survei jentik juga didapatkan larva index berupa House Index
(HI), Container Index (CI), Breteau Index(BI), dan Angka Bebas Jentik (ABJ) di
masingmasing kelurahan. Nilai HI pada kelurahan Pacar Kembang (89,3%)
lebih tinggi daripada kelurahan Rangkah (51,2%), Nilai CI pada kelurahan Pacar
Kembang (49,8%) lebih tinggi dari kelurahan Rangkah (29,3%). Nilai BI pada
kelurahan Pacar Kembang juga lebih tinggi (166,4%) dibandingkan pada
kelurahan Rangkah (85,4%). Namun meskipun kelurahan Rangkah lebih rendah
nilai HI,CI, dan BI, kemungkinan transmisi penyakit DBD masih tergolong
besar sekali. Pada kelurahan Pacar Kembang mendapatkan hasil penghitungan
ABJ sebesar 48,8% sedangkan pada kelurahan Rangkah hanya 10,6%, padahal
Yotopranoto (2007) menyatakan menurut standar nasional untuk nilai ABJ
DGDODK VHKLQJJD UHVLNR penularan DBD di kelurahan Rangkah lebih tinggi
dibandingkan di kelurahan Pacar Kembang.
Tabel 4. Indeks Jentik Aedes aegypti di kecamatan Tambaksari
No

Kelurahan

Rumah
Ada TA
(+)
(-)

Jml

Kontainer

Ada
(+)

Pacar
63 60 123 105
Kembang
2
Rangkah 109 13 122 203
Keterangan tabel:
Jml
: jumlah rumah atau kontainer
TA
: Tidak Ada
CI
: Container Index
HI
: House Index
BI
: Breteau Index
ABJ : Angka Bebas Jentik
1

TA
(-)

Jml

CI
(%)

HI
(%)

BI
(%)

ABJ
(%)

253 358 49,8 89,3 166,4 48,8


205 408 29,3 51,2

85,4

10,6

27

SIMPULAN
Dari hasil pengamatan yang telah diuraikan diatas dapat disimpulkan bahwa
TPA yang paling sering digunakan oleh warga baik di kelurahan Pacar Kembang
maupun di kelurahan Rangkah adalah berupa TPA sehari-hari yaitu gentong dan
bak mandi yang sebagian besar berbahan dasar dari semen dan plastik. Sedangkan
larva Aedes aegypti lebih banyak ditemukan pada TPA yang berbahan dasar
semen. TPAyang paling sering ditemukan terdapat larva Aedes aegypti adalah
gentong dan sumur. Penggunaan abate juga sangat efektif untuk memberantas
larva Aedes aegypti, namun penggunaan di masyarakat masih sangat kurang.
DAFTAR PUSTAKA
Anonimus. 2002. Special Programme for Research and Training in Tropical
Diseases-TDR. WHO
Anonimus. 2005. Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit DBD di Indonesia.
Ditjen PP & PL Depkes RI: Jakarta
Harwood, R.F., James M.T. 1979. Entomology in Human and Animal Health. 7th
Ed. Mc Millan Pub. Co.p. 548
Suwasono, H dan S. Nalim. 1988. Korelasi antara Evaluasi Kepadatan Aedes
aegypti (L) dengan Ovitrap terhadap Kasus Demam Berdarah di Jakarta.
Seminar Parasitologi Nasional V. Bogor. 1988
Focks D.A. and D.D. Cladee. 1997. Pupal Survey an Epidemiologically Significant Surveillance Method for Ae. Aegypti : an Example Using Data from
Trinidad. Am. J. Trop. Med. Hyg. 56: 159-16
Notoatmodjo, Soekidjo. 2005. Metodologi Penelitian Kesehatan. Rineka Cipta:
Jakarta
Lok, Chan Kai. 1985. Singapores Dengue Haemorhagic Fever Control
Programme: A Case Study on The Succesful Control of Aedes aegypti and
Aedes albopictus Using Mainly Environmental Measure as A Part of
Integrated Vector Control. SEAMIC: Tokyo
Yotopranoto, S., Sri Subekti, Rosmanida. 1998. Dinamika Populasi Vektor pada
Lokasi Dengan Kasus Demam Berdarah Dengue yang Tinggi di
Kotamadya Surabaya. Majalah Kedokteran Tropis Indonesia. Vol 9 : No.
1-2

28

Mardihusodo, S. J. 1988. Pengaruh Perubahan Lingkungan Fisik Terhadap


Penetasan Telur Nyamuk Aedes aegypti. Berita Kedokteraan Masyarakat
Vol. 4 No. 6
Hidayah, N., dan Badrah, S. 2011. Hubungan Antara Tempat Perindukan Nyamuk
Aedes aegypti Dengan Kasus Demam Berdarah Dengue di Kelurahan
Penajan Kecamatan Penajan Kabupaten Penajan Paser Utara. Jurnal
Kesehatan Masyarakat Vol 1. No. 2: 155
Yudhastuti, R. 2011. Pengendalian Vektor Dan Rodent. Pustaka Melati: Surabaya
Anonimus. 2000. Petunjuk Lengkap Terjemahan dari WHO Regional Publication
6($52 1R 3UHYHQWLRQ &RQWURO 2I 'HQJXH DQG 'HQJXH +HPRUUDJLF
)HYHU. WHO dan Departemen Kesehatan Republik Indonesia: Jakarta
Yotopranoto, S. 2007. Mewaspadai Penyakit Avian Influenza, Demam Berdarah
Dengue, dan Malaria, dalam makalah yang disampaikan dalam seminar
sehari di Tropical Disease Center (TDC). Universitas Airlangga: Surabaya

29

INTERAKSI BLEKOK SAWAH (Ardeola speciosa) DENGAN BURUNG JENIS


LAIN SAAT MENCARI MAKAN DI WONOREJO
Christian Agung S, Bambang Irawan, Sucipto Hariyanto
Program Studi S-1, Biologi, Departemen Biologi
Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Airlangga
johnpaulchris69@gmail.com
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran umum mengenai alokasi
waktu makan blekok sawah, jenis-jenis burung air yang berinteraksi dengan blekok
sawah dan frekuensi masing-masing spesies burung air yang berinteraksi dengan
blekok sawah saat mencari makanan. Proses pengambilan data dilakukan selama 5
bulan mulai bulan Januari 2013 sampai dengan Mei 2013 dengan metode scan
sampling. Dipilih dua titik untuk pengambilan data yang masing-masing mewakili
kawasan yang dekat maupun jauh dari pantai. Berdasarkan hasil pengamatan, blekok
sawah aktif mencari makan di pagi hari (06.00-11.00) dan pada sore hari (14.0017.00). Di kawasan yang dekat pantai tercatat 12 jenis burung yang berinteraksi
dengan blekok sawah saat makan, dan di kawasan yang jauh dari pantai tercatat 9
jenis burung yang berinteraksi dengan blekok sawah saat mencari makan. Kelompok
burung air yang sering berinteraksi dengan blekok sawah pada kawasan yang dekat
maupun jauh dari pantai adalah Egretta garzetaa dan Egretta alba. Menurut hasil
analisis, Egretta garzetaa mempunyai nilai frekuensi interaksi sebesar 11,67
menit/individu pada kawasan dekat pantai dan 12,38 menit/individu pada kawasan
yang jauh dari pantai, sedangkan Egretta alba mempunyai nilai frekuensi interaksi
sebesar 5,53 menit/individu pada kawasan yang dekat pantai dan 7,15 menit/individu
pada kawasan yang jauh dari pantai. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
blekok sawah sering berinteraksi dengan burung Egretta garzetaa dan Egretta alba
ketika mencari makan pada kawasan yang dekat maupun jauh dari pantai.
Kata kunci : interaksi, blekok sawah, waktu makan
30

ABSTRACT

This study was done in order to know general description of the feeding time
allocation of javan pond heron, water bird species who interact with javan pond
heron and frequency of each species of water birds who interact with javan pond
heron while foraging. This study was conducted for 5 months starting at January
2013 until May 2013 with a scan sampling method. Two site points were selected for
obtaining data, each representing the areas near and away from the beach. Based on
observations, javan pond heron actively feed in the morning (6:00am to 11:00am)
and in the afternoon (02:00pm to 05:00pm). In areas near the beach was recorded 12
species of birds which interact with javan pond heron while foraging, and in areas
away from the beach recorded 9 species of birds that interact with javan pond heron
while foraging. Species of water birds that has frequent interaction with javan pond
heron in areas near and far from the beach is little egret and great egret. According
to the analysis, interaction frequency of little egret has a value of 11.67 min /
individuals in the area near the beach and 12.38 min / individuals in areas away from
the beach, and interaction frequency of great egret has a value of 5.53 minutes /
individual in areas near the beach and 7.15 min / individuals in areas away from the
beach. Thereby can be concluded that javan pond heron often interact with little
egret and great egret when foraging in areas near and away from the beach.

Key words : interaction, javan pond heron, feeding time

LATAR BELAKANG
Pantai Timur Surabaya meliputi kelurahan Tambak Wedi sampai sungai
Dadapan di wilayah Gunung Anyar, yaitu daerah perbatasan kotamadya Surabaya dan
kabupaten Sidoarjo (Affandi, 1994), dan Wonorejo adalah salah satu daerah yang
berada di wilayah Pantai Timur Surabaya. Kawasan Wonorejo banyak dimanfaatkan
oleh penduduk sekitar sebagai lahan pertambakan untuk memelihara ikan dan udang.
31

Daerah pertambakan ini sering dijadikan tempat beristirahat dan mencari makan oleh
kelompok burung air.
Burung air adalah kelompok burung yang kehidupannya sangat bergantung
pada habitat air dalam siklus hidup mereka, baik dalam hal mencari makan maupun
berbiak, berukuran kecil sampai sedang dengan bentuk dan ukuran paruh yang
disesuaikan dengan keperluannya untuk mencari dan memakan mangsanya (Howes et
al., 2003). Terdapat 10 famili dari 53 jenis burung air yang menghuni kawasan
pertambakan Wonorejo (Nurdini,2009), salah satunya adalah burung air dari jenis
blekok sawah (Ardeola speciosa). Blekok sawah yang terdapat di kawasan Wonorejo
merupakan predator karena memangsa berbagai jenis ikan kecil dan hewan kecil
lainnya termasuk kodok, cacing, udang, dan kepiting. Pada saat melakukan aktivitas
makan di daerah pertambakan, burung air tersebut melakukan interaksi dengan jenis
lain.
Interaksi adalah hubungan antara makhluk hidup yang satu dengan yang
lainnya. Ada dua macam interaksi berdasarkan jenis individu yang melakukannya
yaitu intraspesies dan interspesies. Interaksi intraspesies adalah hubungan antara
individu yang berasal dari satu spesies, sedangkan interaksi interspesies adalah
hubungan yang terjadi antara individu yang berasal dari spesies yang berbeda
(Dwidjoseputro, 1991).
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran umum mengenai alokasi
waktu makan blekok sawah, jenis-jenis burung air yang sering beinteraksi dengan
blekok sawah saat mencari makan, frekuensi tiap-tiap jenis burung air yang
berinteraksi dengan blekok sawah saat mencari makan, serta jenis-jenis burung air
apa saja yang sering berinteraksi dengan blekok sawah saat mencari makan.
METODE PENELITIAN
Tempat dan waktu penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di daerah pertambakan dan bozem di wilayah
Wonorejo Rungkut Surabaya. Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari sampai Mei
2013.
32

Alat dan bahan penelitian


Peralatan yang digunakan dalam inventarisasi jenis burung adalah teropong
binokular, teropong monokular, tripod, buku panduan lapangan jenis burung
MacKinnon et al. (2005), buku catatan lapangan, alat tulis, tabel inventarisasi jenis
burung, kamera, jam, dan kamuflase.
Prosedur kerja
Pengambilan data diawali dengan penelitian pendahuluan untuk memilih
tempat-tempat yang akan digunakan sebagai stasiun pengamatan dan penetapan
alokasi waktu penelitian. Pemilihan stasiun pengamatan didasarkan pada tempat yang
kerap dikunjungi oleh burung Ardeola speciosa sepanjang hari. Berdasarkan
penelitian pendahuluan tersebut, ditetapkan dua stasiun untuk tempat pengambilan
data. Stasiun I adalah kawasan bozem Wonorejo dengan titik koordinat 7o1836,96
LS ; 112o4923,58 BT, dan stasiun II adalah kawasan pertambakan yang dekat
dengan laut dengan titik koordinat 7o1859,84LS ; 112o4954,02 BT.
Pengambilan data selama penelitian dilakukan dengan metode Scan Sampling.
Metode Scan Sampling dapat digunakan untuk mendapatkan data dari beberapa
individu dalam satu kelompok, sehingga memungkinkan pengamat untuk melakukan
observasi terhadap lebih dari satu individu dalam waktu yang bersamaan (Altmann
1974). Total keseluruhan waktu pengamatan perilaku makan burung Ardeola
speciosa adalah 255 jam 28 menit yang terdiri atas 247 jam 24 menit pengamatan
Ardeola speciosa saat makan dengan burung jenis lain dan 8 jam 4 menit untuk
pengamatan saat makan dengan sesamanya. Untuk identifikasi jenis burung, buku
panduan pengamatan lapangan yang digunakan adalah Burung-burung di Sumatera,
Jawa, Bali, dan Kalimantan (MacKinnon et al., 2005). Selama proses pengambilan
data peneliti menggunakan kamuflase agar tidak megganggu burung air saat mencari
makan.
Pengamatan meliputi jenis-jenis burung apa saja yang berinteraksi dengan
Ardeola speciosa saat mencari makan beserta durasi dan jumlah individunya di 2
stasiun pengamatan dengan interval waktu tertentu. Data yang diperoleh kemudian
akan dianalisis secara deskriptif.
33

HASIL DAN PEMBAHASAN


Hasil penelitian
Penelitian interaksi Ardeola speciosa saat mencari makan dilakukan antara
bulan Januari-Mei 2013 di kawasan yang dekat maupun jauh dari pantai. Pengamatan
dilakukan selama 255 jam 28 menit, dimana 247 jam 24 menit dilakukan pengamatan
interaksi saat mencari makan dengan burung jenis lain dan 8 jam 4 menit dilakukan
pengamatan interaksi saat mencari makan dengan sesamanya. Hasil pengamatan
menunjukkan bahwa Ardeola speciosa aktif mencari makan di pagi hari yaitu pukul
06.00-11.00 WIB dan sore hari yaitu pukul 14.00-17.00WIB. Dari hasil pengamatan
tercatat 12 jenis burung air yang berinteraksi dengan Ardeola speciosa saat mencari
makan pada kawasan dekat dengan pantai, dan 9 jenis burung air yang berinteraksi
dengan Ardeola speciosa pada kawasan jauh dari pantai, dan keseluruhan burung air
tersebut terbagi dalam 5 famili.
Burung air dari jenis Egretta garzetaa dan Egretta alba adalah burung yang
sering dijumpai berinteraksi dengan Ardeola speciosa saat mencari makan pada
kawasan yang dekat maupun jauh dari pantai pada saat pagi, siang, maupun sore hari.
Namun, terdapat perbedaan jenis burung yang jarang dijumpai berinteraksi dengan
Ardeola speciosa pada pagi, siang, maupun sore hari di kawasan yang dekat ataupun
jauh dari pantai.
Di kawasan yang dekat pantai, jenis burung yang paling jarang dijumpai
berinteraksi dengan Ardeola speciosa pada pagi hari adalah Tringa nebularia dengan
catatan waktu perjumpaan selama 30 menit. Pada siang dan sore hari adalah Egretta
eulophotes, dengan catatan waktu perjumpaan selama 14 dan 28 menit. Sedangkan
untuk kawasan yang jauh dari pantai, jenis burung yang paling jarang dijumpai
berinteraksi pada pagi, siang dan sore hari adalah sama, yaitu Tringa glareola dengan
catatan waktu perjumpaan selama 57, 4, dan 10 menit.
Tercatat selama 2100 menit pada pengamatan pagi,

1006

menit

pada

pengamatan siang, dan 2012 menit pada pengamatan sore di kawasan yang dekat dari
pantai, Egretta garzetaa berinteraksi dengan Ardeola speciosa saat mencari makan.
Total waktu 505 menit pada pengamatan pagi, 156 menit pada pengamatan siang, dan
34

390 menit pada pengamatan sore di kawasan yang dekat dari pantai, Egretta alba
berinteraksi dengan Ardeola speciosa saat mencari makan. Sedangkan untuk kawasan
yang jauh dari pantai, tercatat selama 2009 menit pada pengamatan pagi, 989 pada
pengamatan siang, dan 1987 menit pada pengamatan sore total waktu interaksi
burung Egretta garzetaa saat mencari makan dengan Ardeola speciosa. Total waktu
387 menit pada pengamatan pagi, 75 menit pada pengamatan siang, dan 339 menit
pada pengamatan sore total waktu interaksi burung Egretta alba dengan Ardeola
speciosa saat makan.
Jenis burung air yang memiliki nilai frekuensi individu tertinggi yang
berinteraksi dengan Ardeola speciosa ketika mencari makan pada kawasan yang
dekat maupun jauh dari pantai adalah Egretta garzetaa (11,67%), dan Egretta alba
(5,53%). Untuk jenis burung air yang memiliki nilai frekuensi individu terendah yang
berinteraksi dengan Ardeola speciosa ketika mencari makan pada kawasan yang
dekat dari pantai adalah Egretta eulophotes (1,09%), sedangkan untuk kawasan jauh
dari pantai adalah Tringa glareola (2,26%).
Pembahasan
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa Ardeola speciosa aktif mencari makan
di pagi hari (06.00-11.00 WIB) dan juga sore hari (14.00-17.00WIB). Hal ini sesuai
dengan pendapat yang menyebutkan bahwa Ardeola speciosa adalah salah satu
burung diurnal yang aktif pada pagi dan sore hari (Anonim , 2011). Selain itu, selama
pengamatan berlangsung ketika siang hari di kawasan tambak Wonorejo banyak
dijumpai aktifitas manusia seperti memancing. Hal ini akan mengganggu
kenyamanan dari Ardeola speciosa sehingga Ardeola speciosa akan berpindah ke
tempat yang dianggapnya lebih aman. Hal ini sesuai dengan pendapat MacKinnon et
al (2005) yang mengatakan bahwa Ardeola speciosa termasuk jenis burung yang
sensitif. Di sisi lain, keadaan bozem pada siang hari saat penelitian lebih sering
digenangi oleh pasang air laut, hal ini menyebabkan Ardeola speciosa akan berpindah
ke tempat yang lebih tinggi seperti vegetasi mangrove untuk bertengger.
Burung Egretta garzetaa dan Egretta alba adalah jenis burung air yang sering
berinteraksi dengan Ardeola speciosa pada kawasan yang dekat maupun jauh dari
35

pantai. Egretta garzetaa dan Egretta alba adalah jenis burung penetap yang dapat
dijumpai pada kawasan Wonorejo dan merupakan jenis burung air yang satu famili
dengan Ardeola speciosa yaitu Ardeidae (MacKinnon, et al 2005). Selain itu, Egretta
garezetaa dan Egretta alba memiliki kebiasaan yang sama yaitu senang berkelompok
dan membaur dengan jenis yang lainnya ketika sedang mencari makanan (MacKinnon,
et al 2005). Secara umum, bentuk morfologi paruh, tubuh, dan kaki antara Egretta
garzetaa, Egretta alba, dan Ardeola speciosa memiliki banyak persamaan. Oleh karena
persamaan tersebut, ketiga burung ini cenderung memiliki habitat dan modus makan
yang sama.
Tringa nebularia adalah jenis burung yang jarang dijumpai berinteraksi dengan
Ardeola speciosa pada pagi hari di kawasan dekat pantai. Sedangkan, pada siang dan
sore hari Egretta eulophotes adalah jenis burung yang jarang dijumpai berinteraksi
dengan Ardeola speciosa saat mencari makan. Tringa glareola adalah jenis burung air
yang jarang berinteraksi dengan Ardeola speciosa saat mencari makan pada pagi, siang,
maupun sore hari di kawasan jauh dari pantai.
Tringa nebularia dan Tringa glareola adalah jenis burung yang termasuk dalam
famili Scolopacidae yang mempunyai beberapa perbedaan morfologi dengan Ardeola
speciosa, seperti perbedaan bentuk paruh, ukuran tubuh, dan kaki. Bentuk paruh Tringa
nebularia adalah panjang, tipis dan melengkung keatas, sedangkan Tringa glareola
adalah tipis dan memanjang (MacKinnon, et al 2005). Selain itu, ketiga burung tersebut
jarang berinteraksi dengan Ardeola speciosa disebabkan karena ketiga burung tersebut
merupakan burung migran yang suka menggunakan kawasan sekitar pantai untuk
beristirahat ataupun mencari makan. Burung migran pada lokasi penelitian dapat
dijumpai pada bulan Maret-Mei karena burung migran tersebut melakukan
perjalanannya kembali ke bumi bagian utara (Rusia dan sekitarnya) untuk berbiak,
dan pada bulan September-November dimana burung migran tersebut mulai
melakukan perjalan ke bumi bagian selatan (Australia dan negara-negara Pasifik)
untuk menghindari musim dingin (Howes, et al 2003).
Jenis burung air yang memiliki nilai frekuensi individu tertinggi yang
berinteraksi dengan Ardeola speciosa ketika mencari makan pada kawasan yang
36

dekat maupun jauh dari pantai adalah Egretta garzetaa dan Egretta alba. Hal ini juga
didukung dengan hasil pengamatan di lapangan bahwa burung ini sering dijumpai
pada lokasi yang sama dengan Ardeola speciosa saat mencari makan. Selain itu,
menurut penelitian yang dilakukan oleh Tri et al. (2012) di Wonorejo, menunjukkan
bahwa burung dari famili Ardeidae merupakan famili yang mempunyai jumlah
spesies dan jumlah individu terbesar. Burung air famili Ardeidae mempunyai jumlah
spesies dan individu terbesar di Wonorejo disebabkan karena sebagian besar jenis
dari famili ini merupakan burung penetap (residence) (MacKinnon, et al 2005).
Untuk jenis burung air yang memiliki nilai frekuensi individu terendah yang
berinteraksi dengan Ardeola speciosa ketika mencari makan pada kawasan yang
dekat dari pantai adalah Egretta eulophotes, sedangkan untuk kawasan jauh dari
pantai adalah Tringa glareola. Kedua jenis burung ini mempunyai nilai frekuensi
terendah disebabkan karena burung ini termasuk jenis burung-burung migran yang
singgah sementara di kawasan Wonorejo.
Hal lain yang menyebabkan rendahnya frekuensi interaksi Ardeola speciosa
dengan Tringa glareola adalah bentuk paruh dan jenis makanan. Untuk burung famili
Ardeidae seperti Ardeola speciosa umumnya mempunyai paruh yang panjang dan
lurus yang digunakan untuk mencotok ikan dan vertebrata kecil, sedangkan untuk
burung famili Scolopacidae seperti Tringa glareola mempunyai bentuk paruh yang
ramping memanjang yang digunakan untuk mengais ke lumpur, mencari cacing yang
tersembunyi (MacKinnon et all, 2005).
Kesimpulan
Dari hasil dan pembahasan, dapat diambil beberapa kesimpulan dari
penelitian ini :
1. Alokasi waktu makan Ardeola speciosa adalah pada pukul 06.00-11.00 WIB
dan 14.00-17.00 WIB.
2. Egretta garzetaa dan Egretta alba adalah jenis-jenis burung yang diketahui
sering berinteraksi dengan Ardeola speciosa saat mencari makanan.
37

3. Nilai frekuensi individu dari tiap-tiap spesies yang berinteraksi dengan


Ardeola speciosa saat mencari makan adalah :
Kawasan dekat pantai
Egretta garzetaa

= 11.67 menit / individu

Egretta alba

= 5.53 menit / individu

Egretta eulophotes

= 1.09 menit / individu

Egretta intermedia

= 2.57 menit / individu

Butorides striatus

= 3.31 menit / individu

Himantopus leucocephalus = 2.78 menit / individu


Tringa totanus

= 1.98 menit / individu

Tringa nebularia

= 2.80 menit / individu

Tringa glareola

= 3.79 menit / individu

Numenius phaeopus

= 2.99 menit / individu

Pluvialis fulva

= 4.98 menit / individu

Gallinula chloropus

= 3.13 menit / individu

Kawasan jauh dari pantai


Egretta garzetaa

= 12.38 menit / individu

Egretta alba

= 7.50 menit / individu

Egretta intermedia

= 3.68 menit / individu

Butorides striatus

= 2.99 menit / individu

Himantopus leucocephalus = 3.19 menit / individu


Tringa totanus

= 2.26 menit / individu

Numenius phaeopus

= 3.45 menit / individu

Pluvialis fulva

= 3.43 menit / individu

Gallinula chloropus

= 2.99 menit / individu

4. Egretta garzetaa dan Egretta alba adalah jenis burung yang memiliki
frekuensi individu tertinggi daripada burung jenis lainnya yang berinteraksi
dengan Ardeola speciosa saat mencari makanan.

38

Daftar Pustaka
Affandi, M., 1994, Studi Komposisi Jenis dan Penyebaran Crustacea Planktonik di
Perairan Pantai Timur Surabaya, Lembaga Penelitian Universitas
Airlangga, Surabaya.
Altmann, J., 1974, Observational Study of Behavior: Sampling Methods, Brill, Vol.
49, No. 3/4 (1974), pp. 227-267
Dwidjoseputro, D., 1991. Ekologi Manusia Dengan Lingkungannya. Jakarta :
Erlangga.
Howes, J., Bakewell, D. dan Noor, Y.R., 2003, Panduan Studi Burung Pantai,
Wetlands International - Indonesia Programme, Bogor.
MacKinnon, J., Phillipps, K. dan Balen, B.V., 2005, Burung-burung di Sumatera,
Jawa, Bali dan Kalimantan, LIPI - Seri Panduan Lapangan.
Nurdini, L., 2009, Studi Kelimpahan dan Keanekaragaman Burung Air dan Sumber
Pakannya di Tambak Wonorejo Surabaya, Skripsi, Jurusan Biologi,
Universitas Airlangga, Surabaya
Tri, A., Trisnawati, I. dan Aunurohim, 2012, Kajian Bioekologi Famili Ardeidae di
Wonorejo, Surabaya, Skripsi, Jurusan Biologi, Institut Teknologi Sepuluh
November, Surabaya.

39

Fluktuasi Populasi Larva Aedes aegypti pada berbagai Jenis


Tempat Perkembangbiakan di Rumah Penderita DBD
Etik Ainun Rohmah, Noer Moehammadi, dan Salamun. Program S1 Biologi,
Departemen Biologi, Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Airlangga, Surabaya.
ABSTRACT
Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) is still endemic disease in Surabaya.
Causative agent of DHF is dengue Virus and transmitted by Aedes aegypti mosquito.
The purpose of this research is to know the fluctuation of Aedes aegypti larvae and
its breeding places. The research design is descriptive-explorative, with systematic
random sampling and all larvae survey method. The research, was done in rainy
season from February until May 2013, in two weeks interval of larval collection,
totally six times of collection in 10 houses of RW III, Dukuh Setro Village,
Tambaksari, Surabaya. The center sample collection site was patient house. The
other houses for the subject of research were selected in 100 m distance from the
patient house. Research results were shown as House Index (HI), Container Index
(CI), Larval Density Index (LDI) and Number of Free Larvae (NFL) in the begining
of research were HI= 80%,CI= 42%, LDI= 295.5 L/house, NFL= 20%, and
continuously decreased till the end of research showed HI =30%, CI =8%, LDI=
36,3 larvae/house, NFL =70%. Based on Density Figure of WHO recomendation
showed that, in the begining of research were HI > 9, CI > 9, and in the end of
research were HI= 5, CI= 3. Its meant that the study village in highly threatened
and potentially infected by DHF, because the Density Figure > 5. The type of Aedes
aegypti breeding places indoor were traditional bathtub, barrel, dispenser, flower
vase, and used bowl, outdoor were flower pot base, used tires, flower pot, AC tray,
and chamfer. The most preferable of materials of breeding place respectively were
ceramic, plastic, cement, rubber, metal, and soil.
Key words: Aedes aegypti larvae, Aedes aegypti population density, type of breeding
places, rainy season.
PENDAHULUAN
Surabaya selalu terjadi kasus DBD, sehingga dikatakan sebagai daerah
endemis DBD (dinyatakan selalu dilaporkan adanya kasus DBD dalam waktu 3 tahun
terakhir) (Yotopranoto dkk, 2007). Kecamatan Tambaksari termasuk kecamatan yang
jumlah kasusnya tertinggi dalam hal kasus DBD di Surabaya pada tahun 2009
Berdasarkan data penderita DBD di puskesmas Gading kecamatan Tambaksari pada
tahun 2009 adalah 43 penderita, pada tahun 2010 adalah 74 penderita, dan 2011
adalah 32 penderita (Suhartono, 2012). Penyakit DBD disebabkan oleh virus Dengue
yang termasuk dalam familia Flaviviridae dan genus Flavivirus ditularkan oleh
tusukan nyamuk Aedes. Aedes aegypti sebagai vektor utamanya dan penyebarannya
40

lebih banyak dilakukan melalui orang yang sedang mengalami viremia yang ditusuk
oleh nyamuk Aedes aegypti (Wuryadi, 1994). Kepadatan vektor DBD sangat
berpengaruh terhadap kejadian demam berdarah dengue. Kepadatan vektor ini
dipengaruhi oleh pengetahuan, sikap, dan perilaku masyarakat dalam menjaga
kebersihan lingkungan, khususnya kebersihan penampungan air jernih, air minum,
dan sampah yang dapat menampung air. Selain itu, faktor musim hujan
mempengaruhi fluktuasi populasi nyamuk Aedes aegypti akan naik dan musim
kemarau akan menurun (Yotopranoto dkk, 2007). Tempat perkembangbiakan nyamuk
(container) Aedes aegypti ialah tempat-tempat penampungan air yang berada di
dalam dan di luar rumah, berupa genangan air yang tertampung dalam wadah. Aedes
aegypti cepat berkembang biak pada bak mandi, tempayan, bak air WC, wadah
tetesan air dispenser, penampung air di belakang kulkas model lama, alas pot hiasan
maupun tanaman hidup, alas teko, dan lainnya yang berada di dalam rumah, sumur
yang biasanya terletak di dalam atau di luar rumah, selain itu tempat berkembang
biak yang berada di luar rumah seperti kaleng bekas, ban bekas, pecahan gelas, botol,
mangkuk, tempat mandi hewan piaraan, bak meteran PDAM, talang di bawah
genteng yang tersumbat dedaunan, alas AC, dan container alami seperti lubang
pohon, tempurung kelapa, pelepah daun kelapa, kulit kerang, lubang batu, ruas-ruas
pelepah daun, dan potongan bambu. Perlu diketahui bahwa air yang disukai oleh
nyamuk Aedes aegypti merupakan air tawar yang jernih dan tenang (tidak mengalir)
(Yotopranoto dkk, 2007).
Masalah yang ingin dijawab pada penelitian ini adalah bagaimana fluktuasi
populasi larva Aedes aegypti dengan parameter House Index (HI), Container Index
(CI), Larval Density Index (LDI), dan Angka Bebas Jentik (ABJ) pada musim hujan
(Februari - Mei 2013) dan apa saja jenis tempat perkembangbiakan larva Aedes
aegypti di dalam dan di luar rumah dengan parameter Container Index (CI).
Tujuan pada penelitian ini adalah untuk mengetahui fluktuasi populasi larva
Aedes aegypti dengan parameter House Index (HI), Container Index (CI), Larval
Density Index (LDI), dan Angka Bebas Jentik (ABJ) pada musim hujan (Februari Mei 2013) dan jenis tempat perkembangbiakan larva Aedes aegypti di dalam dan di
luar rumah dengan parameter Container Index (CI).
Asumsi penelitian ini adalah Resiko terpapar dengan vektor dengue dikatakan
rendah, bila angka bebas jentik Aedes aegypti di daerah kelurahan Dukuh Setro,
kecamatan Tambaksari sebesar 95% (Anonimus, 1992). Nyamuk Aedes aegypti
mempunyai kecenderungan memilih tempat yang sesuai untuk tempat
perkembangbiakannya, sehingga pada tempat tertentu fluktuasi populasi larva
berbeda dengan tempat lain.
METODOLOGI PENELITIAN
Pengambilan sampel dilakukan di RW III pada kelurahan Dukuh Setro,
kecamatan Tambaksari, Surabaya. Penentuan tempat atau lokasi penelitian yang
dijadikan titik sampling berdasarkan Systematic Random Sampling dan metode survei
41

all larvae (mengkoleksi semua larva dari tiap tempat perkembangbiakan yang
positif larva) yaitu dengan menarik jarak 100 meter dari rumah penderita DBD.
Pengambilan sampel dilakukan setiap dua minggu sekali dimulai pada akhir bulan
Februari sampai dengan awal Mei 2013 keseluruhannya ada enam kali pengambilan
sampel. Tempat pengambilan sampel dipilih sebanyak 10 rumah. Pada rumah 4
berada disebelah utara dari rumah penderita DBD (rumah 2). Rumah 8 sebelah barat,
dan rumah 9 berada disebalah timur dari rumah penderita DBD sedangkan rumah 1
berada disebelah selatan dari rumah penderita DBD. Rumah 3, 5, 6, 7, dan 10 jarak
penentuan lokasi sampling mengikuti dari rumah 2 (penderita DBD).
Berdasarkan tujuannya, penelitian ini termasuk dalam penelitian deskriptifeksploratif karena dimana objek tidak diberikan perlakuan. Hasilnya, spesimen yang
telah dikoleksi dari lapangan kemudian dihitung jumlah larva Aedes aegypti dan
dikumpulkan jumlah larva berdasarkan berbagai jenis tempat perkembangbiakan baik
yang indoor maupun outdoor, serta mengelompokkan berdasarkan bahan dasar dari
container tersebut. Analisis data pengukuran keberadaan larva berdasarkan jumlah
atau populasi larva pada setiap tempat perkembangbiakan, nilai kepadatan populasi
larva nyamuk Aedes aegypti ditentukan dengan menggunakan nilai-nilai House Index
(HI), Container Index (CI), Larval Density Index (LDI), dan Angka Bebas Jentik
(ABJ).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil perhitungan jumlah larva Aedes aegypti yang terdapat di berbagai
tempat perkembangbiakan di 10 rumah yang diteliti selama enam kali sampling,
didapat data seperti yang tercantum pada tabel 1.
Tabel 1. Kepadatan populasi larva Aedes aegypti pada 10 rumah di RW III,
kelurahan Dukuh Setro, Surabaya, Februari-Mei 2013.
Tanggal
sampling
23-Feb-13
09-Mar-13
23-Mar-13
06-Apr-13
20-Apr-13
04-Mei-13

Jumlah rumah
Diperiksa
10
10
10
10
10
10

(+)
larva
8
8
5
7
4
3

Jumlah container
(+)
larva
21
18
12
12
7
4

Diperiksa
50
50
50
50
50
50

Jumlah
larva
2955
1688
750
564
122
363

Indeks
(%)
HI

CI

80
80
50
70
40
30

42
36
24
24
14
8

LDI

ABJ
(%)

295,5
168,8
75
56,4
12,2
36,3

20
20
50
30
60
70

Keterangan tabel:
HI : House Index
CI : Container Index
LDI : Larval Density Index
ABJ : Angka Bebas Jentik
42

HI ( % )

Tabel 1 diatas menunjukkan hasil pengamatan tempat perkembangbiakan


vektor DBD yang dilakukan di 10 rumah. Data House Index (HI) menunjukkan
bahwa selama penelitian yang dilakukan setiap 2 minggu sekali dalam enam kali
sampling, lihat pada gambar 1. WHO menetapkan batas aman terjadi resiko
penularan DBD untuk nilai HI adalah
(Lok, 1985).
100
80
0
23-02-13

80
09-03-13

70

50
23-03-13

06-04-13

40
20-04-13

30
04-05-13

(HI)

Tanggal

Gambar 1 Grafik House Index (HI) pada 10 rumah di RW III kelurahan Dukuh
Setro, Surabaya, Februari-Mei 2013

CI ( % )

Terlihat pada gambar 1, dari indeks HI menunjukkan data pengambilan


sampel yang ke tiga yaitu mengalami penurunan yang awalnya 80% menjadi 50%.
Hal ini diakibatkan karena rumah yang digunakan penelitian menguras bak mandi,
sedangkan pengambilan sampel ke empat mengalami kenaikan lagi menjadi 70%,
karena pemilik rumah tidak menguras dan container yang berada di luar rumah terisi
oleh air hujan yang positif larva. HI mengalami penurunan pada pengambilan sampel
ke lima menjadi 40%, karena rumah-rumah yang disampling teratur dalam menguras
bak mandi atau mengetahui adanya container yang lain mengandung larva, dan warga
tersebut merasa sadar dan malu karena didalam rumahnya memelihara larvadan pada
pengambilan sampel ke enam menjadi 30%. Hal ini dikarenakan satu rumah lagi yang
merasa sadar dengan memberikan ikan di bak mandinya. Data nilai HI tersebut
ditunjang pula oleh data survei tentang Container Index (CI) pada berbagai tempat
perkembangbiakan (lihat gambar 2).
50

42

36

24

24

14

06-04-13

20-04-13

0
23-02-13

09-03-13

23-03-13

04-05-13

(CI)

Tanggal

Gambar 2 Grafik Container Index (CI) pada 10 rumah di RW III kelurahan Dukuh
Setro, Surabaya, Februari-Mei 2013
Terlihat pada gambar 2, pengambilan sampel pertama awalnya 42%, ke dua
menurun menjadi 36% dan mengalami penurunan lagi pada pengambilan sampel ke
tiga dan ke empat sebesar 24%, 14% pada pengambilan sampel ke lima dan 8% pada
pengambilan sampel ke enam. Jika dilihat dari WHO Density Figure yang
menunjukkan hubungan kedua indeks di atas (HI dan CI), maka di RW III masuk
43

Larva

pada kisaran antara 5 sampai 8 yang berarti >1%. Ini menunjukkan bahwa kelurahan
Dukuh Setro merupakan daerah beresiko tinggi dan sangat potensial terjadi penularan
DBD (lihat tabel 2).
Jumlah larva Aedes aegypti terlihat sangat tinggi, dan dihitung berdasarkan
indeks kepadatan larvanya (LDI) pada setiap pengambilan sampel selama enam kali
pada 10 rumah, (lihat gambar 3 dan gambar 4).
4000
2955
2000
1688
750
0
23-02-13
09-03-13
23-03-13

564
06-04-13

122
20-04-13

363
04-05-13

larva

Tanggal

LDI ( % )

Gambar 3 Grafik Jumlah larva Aedes aegypti pada 10 rumah di RW III kelurahan
Dukuh Setro, Surabaya, Februari-Mei 2013
400
200
0

295,5

23-02-13

168,8
09-03-13

75
23-03-13

56,4

12,2

36,3

06-04-13

20-04-13

04-05-13

(LDI)

Tanggal

Gambar 4 Grafik Larval Density Index (LDI) pada 10 rumah di RW III kelurahan
Dukuh Setro, Surabaya, Februari-Mei 2013
Gambar 3 dan gambar 4, menunjukkan densitas larva dengan parameter LDI
pada pengambilan sampel pertama survei sebesar 295,5 larva per rumah dan survai ke
dua menjadi 168,8 larva per rumah, ke tiga menjadi 75 larva per rumah, ke empat
56,4 larva per rumah, ke lima 12,2 larva per rumah dan sampling ke enam 36,3 larva
per rumah. Dari data tersebut menunjukkan bahwa LDI yang tertinggi terjadi pada
pengambilan sampel pertama sebesar 295,5 larva per rumah dan terendah sebesar
12,2 larva per rumah pada pengambilan sampel ke lima. Data LDI ternyata sesuai
dengan data HI dan CI. Tingginya angka kepadatan larva ini karena kurangnya
pengetahuan warga tentang tempat perkembangbiakan yang disukai nyamuk Aedes
aegypti, serta kurangnya perhatian dari sebagian masyarakat terhadap pemeliharaan
kebersihan tempat penampungan air dan kebersihan lingkungan sekitar. Keadaan ini
akan memudahkan penyebaran penyakit DBD, karena nyamuk Aedes aegypti mencari
tempat yang sesuai untuk istirahat dan berkembang biak, karena jarak tempat-tempat
tersebut tidak melampui jarak terbangnya yaitu mencapai 40-100 meter dari tempat
perkembangbiakannya (Gandahusada dkk, 1998).
44

ABJ (%)

100
50
20
0
23-02-13

20
09-03-13

50

30

23-03-13
06-04-13
Tanggal

60

70
ABJ

20-04-13

04-05-13

Gambar 5 Grafik Angka Bebas Jentik (ABJ) pada 10 rumah di RW III kelurahan
Dukuh Setro, Surabaya, Februari-Mei 2013
Gambar 5 diatas, gambar ABJ yang merupakan kebalikan dari nilai HI.
Terlihat pada pengambilan sampel pertama sebesar 20% yang awalnya memiliki nilai
HI sebesar 80%, juga masih sama nilai ABJ pada pengambilan sampel ke dua sebesar
20%, untuk pengambilan sampel ke tiga mengalami kenaikan menjadi sebesar 50%.
Pengambilan sampel yang ke empat nilai ABJ mengalami penurunan menjadi sebesar
30%, itu sesuai dengan nilai HI pada pengambilan sampel ke empat yaitu sebesar
70%. Pada pengambilan sampel ke lima mengalami kenaikan menjadi sebesar 60%
dan pengambilan sampel ke enam nilai ABJ naik menjadi 70%. ABJ yang baik adalah
95% (Anonimus, 1992).
Indeks tersebut kemudian disesuaikan dengan tabel Density Figure (DF) yang
bisa dilihat pada tabel 2 (Lok, 1985)
Tabel 2. Density figure
Density Figure

House Index

Container Index

1
1-3
1-2
2
4-7
3-5
3
8-17
6-9
4
18-28
10-14
5
29-37
15-20
6
38-49
21-27
7
50-59
28-31
8
60-76
32-40
9
>77
>41
Pada awal penelitian nilai HI sebesar 80%, dan nilai CI sebesar 42%, dan
angka Density Figure menunjukkan HI > 9, CI > 9, sedangkan pada akhir penelitian
nilai HI sebesar 30%, dan nilai CI sebesar 8%, dan angka Density Figure
menunjukkan HI = 5, CI = 3, artinya pada RW III di kelurahan Dukuh Setro
merupakan daerah yang beresiko tinggi dan sangat potensial terjadi penularan
Demam Berdarah Dengue (DBD) (Ancaman penularan tinggi bila Density Figure
5).
45

Hasil pengukuran penelitian ini, menunjukkan bahwa rumah yang digunakan


sebagai titik pusat lokasi sampling (penderita DBD) memiliki kelembaban udara
tinggi yaitu 74%, dan temperatur yang hangat sebesar 28oC yang diukur pada kamar
mandi. Dibandingkan dengan rumah tetangganya yang memiliki temperatur di kamar
mandi sebesar 32oC dan kelembaban udara sebesar 59% (lihat tabel 3). Temperatur
yang hangat juga dapat memengaruhi virus dalam tubuh Aedes aegypti. Temperatur
hangat menyebabkan mudahnya perkembangan virus, dan masa inkubasi ekstrinsik
yang singkat. Masa inkubasi virus Dengue tipe 2 pada umumnya berkisar antara 12
hari pada suhu 30oC, tapi akan menjadi 7 hari pada suhu 32oC-35oC (Yotopranoto
dkk, 2007). Menurut Rao, (1967) pada musim hujan, kelembaban udara juga tinggi
(95%) mengakibatkan udara menjadi penuh uap air. Kondisi ini menunjang
kehidupan nyamuk Aedes aegypti karena dapat bertahan hidup lebih lama pada udara
yang lembab. Selain itu, nyamuk lebih menyukai temperatur hangat (25oC-30oC).
Jika nyamuk mempunyai umur hidup yang lebih lama maka kesempatan nyamuk
tersebut untuk berkembang biak juga menjadi lebih besar dan meningkatkan jumlah
populasi.
Tabel 3 Pengukuran fisik di kamar mandi pada 10 rumah selama enam kali sampling
pada tanggal 9 Maret 2013
Lokasi sampling
Rumah 1
Rumah 2
Rumah 3
Rumah 4
Rumah 5
Rumah 6
Rumah 7
Rumah 8
Rumah 9
Rumah 10

Temperatur (oC)
32
28
27
30
29
31
28
30
28
30

Kelembaban (%)
59
74
74
68
74
71
72
68
74
73

Hasil penelitian yang dilakukan pada 10 rumah di RW III, kelurahan Dukuh


Setro menunjukkan bahwa data pada tabel 4 dapat ditunjukkan bahwa tempat
perkembangbiakan Aedes aegypti dapat dijumpai yang berada di dalam dan di luar
rumah. Berdasarkan peringkat tempat perkembangbiakan (TP) larva Aedes aegypti di
wilayah tersebut secara berturut-turut di dalam rumah: bak mandi, gentong, wadah
tetesan air dispenser, vas bunga, lebih jelasnya lihat pada gambar 6. Container lain
yang paling produktif terletak di luar rumah adalah alas pot, alas AC, mangkuk bekas,
dan talang rumah yang tertimbun oleh dedaunan sehingga air tidak bisa mengalir
mengandung larva Aedes aegypti. Pada penilitian ini, sumur di dalam rumah tidak
mempunyai kontribusi yang signifikan dalam populasi Aedes aegypti karena terdapat
ikan sebagai predator dari larva Aedes aegypti.
46

Jika dilihat dari bahan dasar tempat perkembangbiakan di lokasi penelitian


(10 rumah), ternyata warga umumnya menggunakan bahan plastik sebagai tempat
penampungan air. Bahan dasar tempat perkembangbiakan terbanyak terbuat dari
plastik, dengan kandungan larva sebanyak 1736. Sedangkan jumlah larva yang
tertinggi sebanyak 4468 ditemukan pada tempat perkembangbiakan dengan bahan
dasar keramik. Hal ini menunjukkan bahwa tempat perkembangbiakan bahan dasar
keramik lebih disukai oleh nyamuk Aedes aegypti dan yang paling banyak ditemukan
larva pada saat penelitian. Vezani dkk, (2002) menyatakan bahwa dari 117 tempat
perkembangbiakan yang ditemukan wadah plastik menunjukkan persentase tertinggi
(82,1%), diikuti oleh kaca (8,5%), logam (6%) dan keramik (3,4%) container.
Tabel 4 Jenis dan jumlah tempat perkembangbiakan vektor DBD serta jumlah larva
pada 10 rumah di RW III, kelurahan Dukuh Setro, Surabaya, Februari-Mei
2013
Jumlah TP
Jumlah Larva & Letak TP
Jenis Tempat
Dalam
Perkembangbiakan Diperiksa (+) Larva
Luar rumah
rumah
Bak Mandi
12
10
4469
0
Gentong
10
5
1343
0
Dispenser
7
4
273
0
Alas pot bunga
3
2
0
71
Ban bekas
1
1
0
68
Pot bunga
2
1
0
63
Vas bunga
2
2
59
0
Alas AC
1
1
0
20
Mangkuk bekas
1
1
13
0
Talang rumah
1
1
0
17
Bak Meteran PDAM
1
0
0
0
Timba
6
0
0
0
Aquarium bekas
1
0
0
0
Tadahan kulkas
1
0
0
0
Sumur
1
0
0
0
Total
50
28
6157
239

47

JumlahLarva

5000
4500
4000
3500
3000
2500
2000
1500
10005
00

4469

1343
273

71

68

63

59

20

17

13

Gambar 6 Diagram batang peringkat tempat perkembangbiakan yang disukai oleh


nyamuk Aedes aegypti pada 10 rumah di RW III, kelurahan Dukuh Setro,
Surabaya, Februari-Mei 2013
Penelitian ini memberikan informasi bahwa kondisi yang sama sehubungan
dengan kebiasaan penggunaan air dan penyimpanan air di masing-masing daerah
memiliki ciri lokal tersendiri. Sesuai dengan pernyataan Medronho dkk, (2009)
dikatakan bahwa penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) saat ini dianggap sebagai
masalah kesehatan masyarakat yang penting di seluruh dunia. Dilaporkan telah
dijumpai lebih dari 100 negara. Lebih dari 2,5 miliar orang diperkirakan hidup di
daerah yang berisiko untuk transmisi penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD).
Selain itu karena belum ditemukan vaksin maupun obat anti virus Dengue, maka
salah satunya cara efektif dalam pengendalian penyakit ini adalah dengan memutus
rantai transmisi melalui upaya yang harus diarahkan pada pengendalian nyamuk
vektor dan tempat perkembangbiakannya.
SIMPULAN
Fluktuasi dan kepadatan populasi larva Aedes aegypti pada RW III di
kelurahan Dukuh Setro tergolong tinggi. Angka Density figure dari WHO pada awal
penelitian HI > 9, CI > 9, sedangkan pada akhir penelitian HI = 5, CI = 3, artinya
pada RW III di kelurahan Dukuh Setro merupakan daerah yang beresiko tinggi dan
terancam terjadi penularan Demam Berdarah Dengue (DBD) (Ancaman penularan
tinggi bila Density Figure
5). Jenis tempat perkembangbiakan larva Aedes aegypti
yang positif larva di dalam rumah dari yang paling tinggi jumlahnya, secara berurutan
adalah bak mandi, gentong, dispenser, dan vas bunga, sedangkan yang di luar rumah
adalah alas pot bunga, ban bekas, pot bunga, alas AC, mangkuk bekas, dan talang
rumah. Lebih banyak tempat perkembangbiakan Aedes aegypti yang terdapat di
dalam rumah dibandingkan dengan yang di luar rumah.

48

DAFTAR PUSTAKA
Anonimus, 1992, Petunjuk Teknis Pemberantasan Nyamuk Penular Demam
Berdarah Dengue, Dep. Kes. RI. Jakarta.
Gandahusada, S.R.H, Ilahude H.D, dan Pribadi, W., 1998, Parasitologi Kedokteran.
Edisi 3, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta : 235-250.
Lok, C.K, 1985, Singapores Dengue Haemorrhagic Fever Control Programme: A
Case Study on the Successful Control of Aedes aegypti and Aedes albopictus
Using Mainly Environmental Measures as a part of Integrated Vector
Control, SEAMIC, Tokyo.
Medronho, R. A., Macrini L., Novellino D.M., Lagrotta M.T.F., Camara V.M., dan
Pedreira C.E., 2009, Aedes aegypti Immature Forms Distribution According
to Type of Breeding Site. The American Society of Tropical Medicine and
Hygiene, 80(3), 1-4.
Rao T.R., 1967, Distribution, density and seasonal prevalence of Aedes aegypti in
theIndian subcontinent and Southeast Asia. WHO Bull, 36: 547-57.
Suhartono, 2012, Visualisasi Data Demam Berdarah
Kecamatan Tambaksari Surabaya.

2011, Puskesmas Gading

Vezzani, D., dan Schweigmann N., 2002, Susceptibility of Containers from Different
Sources as Breeding Sites of Aedes aegypti (L.) in a Cemetery of Buenos
Aires City, Argentina, Unidad de Ecologa de Reservorios y Vectores de
Parsitos, Facultad de Ciencias Exactas y Naturales, Universidad de Buenos
Aires, 97, 1-4.
Wuryadi, S., 1994, Masalah Penyakit Demam Berdarah Dengue Pada Pelita VI,
Cermin Dunia Kedokteran, (92) : 11-12.
Yotopranoto, S., Kusmartisnawati., Machfudz., Arwati, H., Sofaria, R., Suwandito.,
dan Rehatta. N. M., 2007, Vektor Demam Berdarah Dengue di Kecamatan
Tambaksari Surabaya, Majalah Kedokteran Tropis Indonesia. 18 (2) : 25-31.

49

10

Novia Tri Rahayu. 2013. Potential Hydrolysis with Cellulase Enzyme Fermentation
Bacteria Isolates of Bacillus sp. This thesis under the guidanced by Drs. Agus Supriyanto
M. Kes, and Drs. Salamun, Kes. Department of Biology, Faculty of Science and
Technology, University of Airlangga, Surabaya.
ABSTRACT
This study aims to determine time variation of fermentation to the products of cellulose
enzymes. This study is experimentally using a completely randomized design with 6 treatments
which consist of fermentation time (first day, second day, third day, fourth day, fifth day, and six
day). The dependent variable of this study is clear zone diameter. Data were analyzed by one
way ANOVA, the results showed fermentation time variation of cellulose enzyme did not
significantly affect the formation of clear zone diameter and the highest treatment is the
establishment of clear zone diameter on the fourth day in the amount of 20.05 mm.
Keywords: cellulose enzyme, Bacillus sp., clear zone
PENDAHULUAN
Pemanfaatan enzim sebagai katalisator reaksi-reaksi biologi dalam bidang industri pertanian
termasuk pangan, farmasi dan kedokteran terbukti memberikan manfaat dan keuntungan yang
luar biasa bagi manusia (Reed, 1975; Wyk et al., 2003). Teknologi pemanfaatan enzim
berkembang dengan sangat pesat dan mendapat prioritas untuk dikembangkan di Indonesia.
Enzim selulase sendiri sangat penting perannya dalam hidrolisis selulosa untuk menghasilkan
glukosa, yang laku dipasaran dan dibutuhkan untuk berbagai keperluan baik untuk keperluan
pembuatan zat-zat kimia yang lain yang bernilai ekonomis lebih tinggi seperti etanol, aseton, dan
asam-asam organik, maupun digunakan sebagai sumber karbon, peranan mikroba untuk produksi
enzim dan antibiotik (Gunam, 1997: Wyk et al., 2003; Gunam et al., 2004). Dengan banyaknya
kebutuhan terhadap enzim selulase maka diperlukan sumber penghasil selulase.
Selulase dapat diproduksi oleh fungi dan bakteri. Produksi enzim secara komersial biasanya
menggunakan fungi atau bakteri. Pemilihan mikroba sebagai sumber enzim mempunyai
beberapa keuntungan bila dibandingkan dengan enzim yang diisolasi dari tanaman ataupun
hewan. Diantara keuntungan tersebut adalah sel mikroba relatif lebih murah ditumbuhkan,
kecepatan pertumbuhan relatif lebih cepat, skala produksi sel lebih mudah ditingkatkan bila
dikehendaki, produksi yang lebih besar, biaya produksi relatif lebih murah, kondisi selama

50

produksi tidak tergantung dengan adanya pergantian musim, dan waktu yang dibutuhkan dalam
proses produksi lebih pendek.
Bakteri penghasil selulase termasuk genus antara lain Acetobacter, Bacillus, Cellumonas,
Clostridium, Cytophaga, Pseudomonas, Sarcina, dan Vibrio dan spesies dari genus Bacillus
berpotensi untuk menghasilkan enzim selulase seperti Bacillus polymyxa, Bacillus megaterium,
Bacillus alvei, dan Bacillus subtilis (Sutriati et al., 2006).
TINJAUAN PUSTAKA
enzim adalah substansi yang paling banyak terdapat dalam sel hidup, dan mempunyai
fungsi penting sebagai katalisator reaksi biokimia yang secara kolektif membentuk metabolisme
perantara dari sel. Berdasarkan letak enzim yang dihasilkan oleh mikroba dapat dibedakan dua
macam enzim, yaitu enzim ekstraseluler dan intraseluler. Enzim intraseluler adalah enzim yang
terletak di dalam sel, setelah biakan sel diperoleh maka dilakukan pemecahan sel untuk
mengeluarkan enzim. Untuk mengekstraksi enzim, kultur mikroba disentrifuge, dan
supernatannya merupakan ekstrak kasar enzim. Enzim ekstraseluler, yaitu enzim yang
dikeluarkan oleh sel, enzim ini selama proses biosintesis menembus membran dan keluar dari sel
mikroba. Untuk mendapatkan enzim ini tidak perlu diadakan pemecahan membran sel
(Lehninger, 1982).
Klasifikasi menurut Garrity (2004), klasifikasi Bacillus sp. adalah sebagai berikut :
Kingdom

: Bacteri

Filum

: Firmicutes

Kelas

: Schizomycetes

Ordo

: Bacillales

Famili

: Bacillaceae

Genus

: Bacillus

Spesies

: Bacillus sp.
51

Bakteri Bacillus merupakan kelompok bakteri gram positif, bentuk sel batang yaitu
golongan basil, pergandengan dua-dua disebut diplobasil, bergerak dengan flagel peritrikus,
membentuk endospora, dapat bersifat aerobik atau fakulttif anaerobik, dan bersifat katalase
positif (Pelezar & Chan, 1988).
Fermentasi adalah perubahan substrat dalam kondisi aerob maupun anerob oleh aktivitas
enzim yang dihasilkan mikroba tertentu. Teknologi fermentasi telah membuka lembaran baru
dalam upaya manusia untuk meningkatkan pemanfaatan bahan yang murah harganya bahkan
yang tidak berharga menjadi produk yang bernilai ekonomis tinggi dan berguna bagi
kesejahteraan manusia (Rahman, 1992).
Selulosa merupakan komponen dasar dari bahan-bahan asal tumbuh-tumbuhan, dan
produksi selulosa melampaui semua zat-zat alamiah. Selulosa juga merupakan polimer organik
dan merupakan dasar dinding sel tumbuhan. Selulase adalah enzim yang dapat memutuskan
ikatan glukosida - 1,4 di dalam selulosa.
METODE PENELITIAN
Tahap pembuatan media biakan mikroba pada agar miring:
Komposisi media dibuat untuk penumbuhan bakteri dengan menyiapkan media NA
sebanyak 2,8 g ke dalam beaker glass berisi akuades steril 100 mL, memanaskan sampai bahan
terlarut sempurna. Lalu masukkan media NA ke tabung reaksi, menutup dengan kapas, melapisi
dengan alumunium foil. Kemudian tahap sterilisasi di autoclave dengan suhu 121 , tekanan 1
atm selama 15 menit. Media yang telah disterilisasi diletakkan pada posisi miring dan menunggu
media padat.
Peremajaan isolat pada media agar miring NA:
Mengambil 1 ose lup full dari kultur murni Bacillus sp kemudian diinokulasikan pada
media NA steril dengan menggunakan metode streak secara aseptis. Inkubasi selama 24 jam
pada suhu ruangan.
Tahap pembuatan dan pertumbuhan biakan mikroba pada media NB:
Komposisi media dibuat untuk penumbuhan bakteri dengan menyiapkan media NB
sebanyak 0,8 g ke dalam beaker glass berisi akuades steril 100 mL, memanaskan sampai bahan
terlarut sempurna. Lalu masukkan media NB ke tabung reaksi, menutup dengan kapas, melapisi
dengan alumunium foil. Kemudian tahap sterilisasi di autoclave dengan suhu 121 , tekanan 1 52

atm selama 15 menit. Mengambil 1 ose lup full dari media NA kemudian di masukkan ke dalam
media NB. Inkubasi selama 24 jam pada suhu ruangan.
Menyiapkan media fermentasi
Menyiapkan 90 ml media Andreoti dalam botol kultur volume 500 ml yang terdiri dari
(NH4)2SO4, KH2PO4, CaO2, MgSO4, selulosa dan CMC 1%. Kemudian ditutup dengan kapas,
melapisi dengan alumunium foil dan tahap sterilisasi di autoclave dengan suhu 121 , tekanan 1
atm selama 15 menit. Setelah itu, penambahan biakan 10 ml Bacillus sp. ke dalam media
fermentasi tersebut dan dihomogenkan. Selanjutnya dilakukan fermentasi selama 6 hari.
Kemudian dilakukan sentrifuge selama 20 menit 4000 rpm untuk mendapatkan supernatant
(Darwis, 1989).
Isolasi enzim selulase:
Supernatan hasil dari fermentasi ditambah dengan amonium sulfat (NH4SO4) 60 %
dengan perbandingan 2 : 1. Disimpan dalam lemari es pada suhu 4 selama 30 menit.
Sentrifuge selama 20 menit 4000 rpm. Presipitan yang terbentuk dilarukan dalam 0,02 M buffer
PO4 pH 7,5. Campuran tersebut didialisis dengan 0,02 M buffer PO4 semalam dalam lemari es
pada suhu 4 . Setelah proses penyimpanan ditambah aseton dingin 100%. Sentrifuge selama 20
menit 4000 rpm. Presipitan yang terbentuk dilarutkan ke dalam 0,02 M buffer PO4 pH 7,5
(Darwis, 1989).
Tahap uji potensi
Setelah didapatkan enzim dari metode isolasi, selanjutnya dilakukan uji potensi dengan
menggunakan media CMC (Carboxy Methyl Cellulose). Ekstraksi enzim tersebut ditanam
dengan cara membuat lubang media dengan menggunakan pelubang gabus, kemudian 20 m
ekstrak enzim menggunakan pipet mikrometer dimasukkan pada cawan petri yang telah
dilubangi dan berisi media CMC (Carboxy Methyl Cellulose). Kemudian diberi pewarnaan
menggunakan larutan Congo red 10 ml didiamkan selama 1 jam kemudian dilakukan metode
bleaching menggunakan NaCl. Tujuan dilakukannya pewarnaan ini adalah untuk mengetahui
kemampuan isolat bakteri Bacillus sp mendekomposisi selulosa dengan ditandai adanya zona
bening (clear zone) (Darwis, 1989).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil penelitian ini berupa diameter zona bening dengan variasi waktu fermentasi.
Variasi waktu fermentasi terdiri atas perlakuan hari ke-1, ke-2, ke-3, ke-4, ke-5, dan ke-6. Dalam 53

penelitian ini, uji potensi bakteri Bacillus sp dilakukan pada media spesifik carboxyl methyl
cellulose (CMC). Hasil dari penghitungan turbidimetrik adalah 0,5 dan hasil dari penghitungan
cawan (TPC) pada pengenceran 10-13 adalah 48, 10-14 adalah 40 dan 10-15 adalah 32.
Tabel 4.1 Hasil diameter zona bening bakteri Bacillus sp dengan variasi waktu fermentasi
Perlakuan (Fermentasi Hari Ke-)

Ulangan

DiameterZonaBening

n1(mm)

Rata-rata

n2(mm) n3(mm) n4(mm)

18.01

15.03

16.06

17.01

16.531.28

17.06

20.03

17.06

17.09

17.811.48

21.07

15.07

17.02

20.02

18.292.75

20.05

18.08

21.01

21.07

20.051.40

20.03

17.07

25.03

22.05

19.793.35

19.04

15.05

22.07

22.05

19.553.32

25

20

15

10

RatarataDiameterZona
Bening

0
0

Perlakuan(HariKe)

Grafik rerata diameter zona bening bakteri Bacillus sp


Zona bening merupakan indikasi awal mengetahui kemampuan bakteri dalam
mendekomposisi selulosa. Semakin luas zona bening yang terbentuk, secara kualitatif dianggap
sebagai tanda kemampuan bakteri selulolitik dalam media tumbuh semakin besar. Kemampuan
bakteri untuk tumbuh pada media spesifik CMC menunjukkan bahwa bakteri tersebut mampu
memanfaatkan selulosa sebagai salah satu sumber nutrien terutama sumber karbon.

54

Diameter zona bening bakteri Bacillus sp dengan variasi waktu fermentasi menunjukkan
waktu tertinggi untuk produksi enzim selulase adalah hari ke-4 karena untuk produksi enzim
waktu

yang

paling

maksimal

adalah 3

sampai 4

hari (Nystrom

dan

Allen, 1976).

Perkembangbiakan berhenti disebabkan karena nutrisi di dalam CMC telah berkurang. Kematian
bakteri disebabkan karena zat makanan yang diperlukan berkurang (Dwijoseputro, 2003).
Peran penting mikroorganisme dalam degradasi selulosa adalah menguraikan unsur hara
yang terikat pada material organik yang sukar larut untuk diubah menjadi senyawa organik yang
terlarut. Sekitar 30-40% dari selulosa yang dipecah atau dipisahkan oleh organisme pemisah
diubah ke dalam bahan sel (Sutedjo dkk., 1991). Bakteri menyerang selulosa dan mengubahnya
menjadi CO2 dan bahan sel, kemudian energi dan CO2 yang terbentuk digunakan untuk
pertumbuhannya. Untuk keperluan tersebut dihasilkan enzim ekstraseluler karena sel
mikroorganisme impermeabel terhadap molekul selulosa. Enzim ini mempercepat pengubahan
substrat yang sukar larut menjadi senyawa terlarut yang dapat menembus membran sel
(Alexander, 1997).
Menurut Ingledew (1990) Bacillus sp mampu mendegradasi bahan berselulosa dan
menghasilkan enzim selulase. Enzim selulase yang dihasilkan oleh Bacillus sp digunakan untuk
mendegradasi selulosa menjadi gula sederhana (glukosa) yang berguna sebagai sumber energi.
Semakin banyak glukosa yang terpakai, semakin sedikit kandungan glukosa dalam substrat
sehingga pertumbuhan juga semakin lambat.
Menurut Judoamidjojo dkk., (1989) bahwa salah satu faktor dari pertumbuhan mikroba
adalah kebutuhan akan nutrisi. Mikroba sama dengan makhluk hidup lainnya, memerlukan suplai
nutrisi sebagai sumber energi dan pertumbuhan selnya. Karbon dan nitrogen merupakan unsurunsur yang dibutuhkan oleh mikroba dalam suplai nutrisi. Karbon dan nitrogen merupakan
komponen yang penting sebagai penyusun protein dan tidak kurang 50% biomassa bakteri
tersusun dari protein. Jadi bakteri sangat memerlukan nitrogen untuk mempercepat
pertumbuhannya.
KESIMPULAN
Dari hasil penelitian ini variasi waktu fermentasi terhadap produk enzim selulase dapat
dilihat pada tabel 4.1 yang didapat rataan diameter zona bening dari hari ke-1 yaitu 16.53 mm,

55

hari ke-2 yaitu 17.81 mm, hari ke-3 yaitu 18.29 mm, hari ke-4 yaitu 20.05 mm, hari ke-5 yaitu
19.79 mm, hari ke-6 yaitu 19.55 mm.
DAFTAR PUSTAKA
Alexander, M., 1977, Introduction of Soil Microbiology, 2nd Edition, John Willey and Sons Inc.,
New York.
Darwis, A. A. dan E. Sukara. 1989. Pemumtun Praktikum Isolasi, Purifikasi dan Karakterisasi
Enzim. Pusat Antar Universitas. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Dwidjoseputro, D., 2003, Dasar-dasar Mikrobiologi, Edisi 14, Djamban, Jakarta.
Garrity, G.M., Julia A.B., dan Timothy G.L. 2004. Taxonomic Outline of the Prokaryotes
Bergeys of Systematic Bacteriology, 2nd Edition. Release 5.0 May 2004.
Gunam, I.B.W. 1997. Perlakuan Kimiawi Ampas Tebu Tanpa Pencucian Sebagai Perlakuan
Pendahuluan Untuk Hidrolisis Enzimatis Selulosanya. Tesis S2. Program Pasca
Sarjana UGM, Yogyakarta.
Gunam, I.B.W., Hardiman, T. Utami, 2004. Chemical Pretreatments on Bagasse to Enhance
Hydrolysis of Its Cel-lulose Enzymatically. The 3th Hokkaido Indonesian Student
Association Scientific meeting (HISAS 3), Sapporo.
Ingledew, W.J. 1990. Acidophiles. In C. Edwards (ed.). Microbiology of Ex-treme
Environments. McGraw-Hill Publishing Company, New York. Pp 33-54
Judoamidjojo, M.,A.A. Darwis dan E. G. Said. 1990. Teknologi Fermentasi Pusat Antar
Universitas. Biotechnologi. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Judoamidjojo, R. M., Said, E.G., Hartoto, L., 1989, Biokonversi, Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan Dirjen Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universitas Bioteknologi, IPB,
Bogor.
Lehninger, AL., 1982, Dasar-dasar Biokimia, jilid
Thenawidjaja), Penerbit Erlangga, Jakarta.

1, (penerjemah : Dr. Ir. Maggy

Pelezar, M. J., dan Chan, E. C., 1988, Dasar-dasar Mikrobiologi. Universitas Indonesia Press,
Jakarta, hal 111-112.
Rahman, A. 1992. Teknologi fermentasi. ARCAN. Bogor.1-149.
Reed, G. 1975. Enzyme in Food Processing. Academic Press., New York.
Sutariati, Widodo, Sudarsono dan Ilyas, S., 2006, Karakter Fisiologis dan Keefektifat Isolat
Rizobakteri sebagai Agens Antagonis Colletotrichum capsici dan Rizobakteri Pemacu
Pertumbuhan Tanaman Cabai, Aspergilus 15: 272-281.
Sutedjo, M.M., Kartasapoetra, A. G.,sastroatmodjo, RD. S., 1991, Mikobiologi tanah, Penerbit
Rineka Cipta, Jakarta.
56

Wyk, J.P.H.V., M. Mohulatsi. 2003. Biodegradation of wastepaper by cellulase from


Trichoderma viride. Bioresource Technology, 86: 21-23.

57

Pengaruh Dosis dan Frekuensi Pemberian Pupuk Hayati terhadap


Pertumbuhan dan Produktivitas Tanaman Seledri (Apium graveolens L.)
Tini Surtiningsih, Nurul Qomariyah Sayuti dan Hery Purnobasuki
Departemen Biologi, Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Airlangga

ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh dosis dan frekuensi pemberian
pupuk hayati terhadap pertumbuhan dan produktivitas tanaman seledri (Apium graveolens
L.). Penelitian ini bersifat eksperimental menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL)
dengan 12 perlakuan setiap perlakuan diulang 5 kali dan setiap ulangan terdiri dari 3 unit
tanaman. Pada penelitian ini terdapat 4 macam dosis pupuk hayati (0, 10, 20, 30 ml/tanaman)
dan NPK 5 g/tanaman dengan 4 frekuensi pemupukan yaitu 1 minggu sebelum tanam, waktu
tanam, 1 dan 2 minggu sesudah tanam, Variabel terikat terdiri atas pertumbuhan dan
produktivitas tanaman. Data dianalisis dengan ANAVA dilanjutkan uji Duncan pada taraf
5%. Hasil penelitian menunjukkan dosis dan frekuensi pemberian pupuk hayati berpengaruh
nyata terhadap pertumbuhan dan produktivitas tanaman seledri (<0,05). Perlakuan terbaik
adalah dosis 10 mL/tanaman dengan frekuensi pemupukan 3 kali, memberikan hasil tertinggi
untuk tinggi tanaman 28,131,26 cm/tanaman, panjang akar 15,861,74 cm/tanaman, berat
segar tanaman 38,002,98 g/tanaman, dan berat segar akar 12,404,88 g/tanaman, dengan
nilai efektivitas tertinggi 987 %.
Kata Kunci: berat segar tanaman, akar, tinggi tanaman, panjang akar. nilai efektifitas,
Latar Belakang
Tanaman seledri (Apium graveolens L) berasal dari daerah Eropa dan Asia. Secara
luas seledri ditanam pada daerah beriklim sedang. Di daerah subtrofik, tanaman seledri
ditanam untuk diambil tangkai daunnya yang besar, berdaging dan berair untuk dimakan
mentah sebagai lalapan. Di daerah tropik tanaman ini ukuran batangnya mengecik (Jung et al,
2011). Setiap 100 g tanaman seledri mengandung 20 kalori, air 93 ml, protein 0,9 g, lemak
0,1 g, karbohidrat 4 g, serat 0,9 g, mineral, vitamin A, dan vitamin C (Smith, 2002). Manfaat
tanaman seledri adalah, daun digunakan sebagai penambah aroma pada masakan, akar seledri
berkhasiat memacu enzim pencernaan dan peluruh kencing (diuretik) sedangkan buah dan
bijinya sebagai pereda kejang (antispasmodik), menurunkan kadar asam urat darah, anti
rematik, penenang (sedatif), dan anti hipertensi (Abdou et al, 2012).
Pupuk hayati merupakan kumpulan berbagai mikroba yang mampu menyediakan unsur
hara tanaman (Yuwono, 2006). Umumnya terdiri atas bakteri pengikat N (Azotobacter

chroococcum), bakteri pelarut P (Bacillus megaterium dan Pseudomonas), dan bakteri


pendegradasai bahan organik (Cellulomonas) terbukti dapat meningkatkan pertumbuhan

58

tanaman jagung (Zea mays) (Wu et al., 2005). kentang (Leka et al, 2011), dan tomat
(Kusumawardhani dan Widodo, 2003).

Metode Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di lahan persawahan desa Karangploso Kabupaten
Malang, Jawa Timur dan Laboratorium Mikrobiologi, Departemen Biologi Fakultas Sains
dan Teknologi Universitas Airlangga, bulan Januari sampai April 2013.
Penelitian ini bersifat eksperimental menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL)
dengan 12 perlakuan setiap perlakuan diulang 5 kali dan setiap ulangan terdiri dari 3 unit
tanaman. Pada penelitian ini terdapat 4 macam dosis pupuk hayati (0, 10, 20, 30 ml/tanaman)
dan NPK 5 g/tanaman dengan 4 frekuensi pemberian pupuk hayati yaitu 1 minggu sebelum
tanam (1MBT), waktu tanam (WT), 1 dan 2 minggu sesudah tanam (1MST dan 2MST),
Variabel bebas terdiri atas dosis dan frekuensi pemberian pupuk hayati. Variabel terikat
:terdiri atas pertumbuhan seledri (tinggi tanaman dan panjang akar), produktivitas seledri
(berat segar tanaman dan akar), analisis bakteri pupuk hayati dan tanah sebelum tanam.
Variabel terkendali adalah umur bibit dan jenis tanaman.
Pupuk Hayati dibuat dengan cara lima kultur bakteri (Azotobacter chroococcum,
Azospirillum, Bacillus megaterium, Pseudomonas dan Cellulomonas) diinokulasikan dalam
setiap 100 mL media NB+glukosa 1%, setelah diinkubasi 24 jam dengan suhu kamar,
kemudian dicampur menjadi 500 mL campuran bakteri, selanjutnya campuran tersebut
dimasukkan ke dalam 4500 mL molase 2%. sehingga didapatkan 5 L pupuk hayati. Jumlah
total bakteri dalam pupuk hayati dan tanah percobaan, dihitung dan didentifikasi berdasarkan
Holt et al. (2000) dengan metoda TPC (Total Plate Count), untuk bakteri pemfiksasi N
ditumbuhkan pada media Nfb, bakteri pelarut P pada media Pikovskaya dan pendegradasi
bahan organik pada media CMC.
Tahap penanaman seledri, dilakukan dengan cara biji seledri direndam dalam air
selama 15 menit untuk merangsang perkecambahan. Biji kemudian disemai pada bedengan
didalam alur/larikan sedalam 1 cm dengan jarak antar alur 5 cm, kemudian benih ditutup
dengan tanah setipis mungkin dan disiram sampai lembab agar benih mudah berkecambah.
Pengolahan tanah, tanah diolah dengan cangkul dan diberikan pupuk kompos serta
pupuk kandang. Kemudian dibuat bedengan-bedengan. Lebar bedengan 100 cm dan tinggi 30
cm. Penanaman dimulai dengan memilih benih di persemaian. Benih yang sudah berusia 45
hari atau yang telah berdaun 4 helai dicabut dengan akarnya. Kemudian bibit dipindahkan ke
59

bedengan-bedengan yang telah dipersiapkan. Satu bibit per lobang tanam, dengan jarak
tanam 20 x 20 cm. Pemeliharaan tanaman seledri meliputi pengairan, penyiangan, dan
penyulaman. Pemanenan tanaman seledri dilakukan setelah tanaman berumur 35 hari setelah
masa tanam.
Tinggi tanaman diukur seminggu sekali dengan cara mengukur batang pada
permukaan tanah hingga kanopi teratas menggunakan penggaris. Pada saat panen dilakukan
pengukuran panjang akar, tinggi tanaman, berat segar tanaman, berat segar akar
menggunakan timbangan, dan nilai efektifitas pupuk hayati dihitung dari berat segar
tanaman.
Data yang diperoleh dari pengukuran pertumbuhan tinggi tanaman pada umur 1, 2, 3,
4, dan 5 minggu dianalisis secara deskriptif. Data saat panen yaitu tinggi tanaman, panjang
akar, berat segar tanaman, berat segar akar, diuji secara statistik. Apabila data normal dan
homogen maka data dianalisis menggunakan ANAVA, bila beda nyata dilanjutkan dengan uji
Duncan pada taraf 5%. Nilai RAE (Relatif Agronomic Effectivenes) dianalisis secara
deskriptif dan di hitung menggunakan rumus sebagai berikut (Permentan, 2011):

x 100%

RAE =

Hasil Penelitian dan Pembahasan


Bakteri yang digunakan sebagai pupuk hayati terdiri dari bakteri pemfiksasi nitrogen
yaitu Azospirillum dan Azotobacter, bakteri pelarut Phosphat yaitu Bacillus dan
Pseudomonas, serta bakteri pendegradasi bahan organik yaitu Cellulomonas yang diberikan
pada tanaman sesuai perlakuan yaitu 0, 10, 20, dan 30 ml/tanaman dengan waktu pemupukan
1 kali, 2 kali, dan 3 kal.. Jumlah bakteri dalam pupuk hayati dapat dilihat pada tabel 1.
Tabel 1 Jumlah bakteri dalam pupuk hayati dan tanah percobaan sebelum tanam
Jenis bakteri

Azotobacter
Azospirillum
Bacillus
Pseudomonas
Cellulomonas

Jumlah bakteri dalam


pupuk hayati
(Cfu/mL)
1,6 x 107
1,4 x 107
3,8 x 107
2,1 x 107
2,5 x 107

Jumlah bakteri tanah


sebelum tanam
(Cfu/mL)
6,1 x 105
7,2 x 105
7,5 x 105
6,2 x 105
6,8 x 105

60

Dari tabel 1 terlihat bahwa Jumlah bakteri dalam pupuk hayati yang digunakan
mengandung 5 genus bakteri dengan jumlah masing-masing bakteri lebih besar dari 106
sel/mL, hal ini sesuai dengan Baku Mutu Permentan Nomor 70/Permentan/SR.140/10/2011
bahwa jumlah minimum bakteri dalam pupuk hayati harus mengandung sedikitnya
106sel/mL.Sementara jumlah bakteri Azospirillum, Azotobacter, Bacillus, Pseudomonas, dan
Cellulomonas yang ada dalam tanah penelitian sebelum tanam berkisar antara 6 sampai
7,5.105 sel/g tanah, bakteri dalam tanah penelitian mengandung bakteri kurang dari 106sel,
sehingga pemberian pupuk hayati pada tanah tersebut sudah sesuai.
Penghitungan jumlah koloni bakteri dalam tanah sebelum tanam memiliki nilai yang
lebih kecil dibandingkan jumlah koloni bakteri dalam pupuk hayati. Penambahan jumlah
koloni bakteri sebagai pupuk hayati sebagai bakteri eksogenus di dalam tanah, dapat
meningkatkan aktivitas bakteri yang baik dalam tanah, seperti aktivitas bakteri penambat N
oleh Azospirillum dan Azotobacter, pelarut fosfat oleh Pseudomonas dan Bacillus, dan
pendegradasi bahan organik oleh bakteri Cellulomonas semakin meningkat, sehingga unsur
hara tanah meningkat dan secara langsung berpengaruh pula pada meningkatnya
pertumbuhan tanaman. Sesuai pendapat Rao (2005), dengan adanya bakteri yang baik dalam
tanah, akan meningkatkan ketersediaan unsur-unsur hara di dalam tanah yang secara tidak
langsung akan meningkatkan pula pertumbuhan tanaman.
Pertumbuhan tanaman seledri (Apium graveolens L.)

Gambar 1 Pertumbuhan tanaman seledri tiap minggu. (A) umur 2 minggu tinggi tanaman
12cm; (B) umur 3 minggu tinggi tanaman 14cm; (C) umur 4 minggu tinggi
tanaman 23cm (Dokumentasi pribadi).
61

Gambar 1 memperlihatkan tinggi tanaman seledri pada tiap minggu, tanaman tumbuh
baik, terlihat dari pertambahan tinggi tanaman. Pada umur 2 minggu tinggi tanaman seledri
mencapai 12 cm. Pada umur 3 minggu mencapai 14 cm, dan pada umur 4 minggu tinggi
tanaman seledri mencapai 23 cm. Hal ini memperlihatkan adanya pertumbuhan pada tanaman
seledri sebagai pengaruh dari pemberian pupuk hayati.

Gambar 2.

Tinggi tanaman pada berbagai dosis pupuk hayati dengan satu kali
frekuensi pemberian pupuk hayati (1 minggu sebelum Tanam)

(1x)

Gambar 2 menunjukkan pemberian pupuk hayati dengan berbagai dosis dan frekuensi
pemberian pupuk satu kali (1x). Tinggi tanaman terbaik dicapai pada pemberian pupuk hayati
20 ml dengan rata-rata tinggi tanaman pada minggu ke 5 mencapai 21,032,71 cm/tanaman.
Sedangkan pemberian pupuk hayati 30 ml memberikan tinggi tanaman terendah dengan nilai
rata-rata tinggi tanaman 19,335,83 cm/tanaman, namun demikian pemberian pupuk hayati
pada semua perlakuan umur 1, 2, 3, 4, dan 5 minggu memperlihatkan pertumbuhan yang
lebih baik dari pada kontrol negatif tanpa pupuk (P0) dengan tinggi 14,433,93 cm/tanaman
dan kontrol positif (NPK) dengan tinggi 17,904,49 cm/tanaman.

62

Gambar 3.

Tinggi tanaman pada berbagai dosis pupuk hayati dengan dua kali
frequensi pemberian (1MBT dan Waktu Tanam/WT)

(2x)

Gambar 4.

Tinggi tanaman pada berbagai dosis pupuk hayati dengan tiga kali
frekuensi pemberian (1MBT, WT, 1MST/satu minggu setelah tanam)

(3x)

Keterangan : P10, P20, P30 (10, 20 dan 30 ml/tanaman), P0: tanpa pupuk; NPK : 5 g/tanaman
Gambar 3 menunjukkan pemberian pupuk hayati dengan berbagai dosis dan frekuensi
pemberian pupuk dua kali (2x). Pada umur tanaman 5 minggu, pertumbuhan tanaman seledri
yang terbaik ditunjukkan pada pemberian pupuk hayati 20 ml/tanaman dengan nilai rata-rata
tinggi tanaman 21,032,71 cm/tanaman,. Sedangkan pemberian pupuk hayati 30 ml
memberikan tinggi tanaman terendah dengan nilai rata-rata tinggi tanaman 18,233,87
cm/tanaman, namun demikian sama halnya dengan frekuensi pemberian 1x, pemberian pupuk
hayati 2x umur 1, 2, 3, 4, dan 5 minggu memperlihatkan pertumbuhan yang lebih baik dari
pada kontrol negatif tanpa pupuk (P0) dan kontrol positif (NPK).
Gambar 4 menunjukkan pemberian pupuk hayati dengan berbagai dosis dan frekuensi
pemberian pupuk tiga kali (3x). Pada penelitian ini tinggi tanaman terbaik pada pemberian
pupuk hayati 10 ml/tanaman dengan rata-rata tinggi tanaman 28,134,01 cm/tanaman dengan
umur tanaman 5 minggu. Sedangkan tinggi tanaman terendah ditunjukkan pada pemberian
pupuk hayati 30 ml/tanaman dengan rata-rata tinggi tanaman 20,04,98 cm/tanaman.
Secara keseluruhan dari gambar 1, 2 dan 3 menunjukkan bahwa pemberian pupuk
hayati memberikan hasil yang lebih baik pada pertambahan tinggi tanaman seledri (A.

graveolens) dibandingkan dengan perlakuan kontrol positif (menggunakan pupuk kimia


NPK) dan kontrol negatif (tanpa pemberian pupuk apapun).
Menurut Guritno dan Sitompul (1995), pertumbuhan adalah proses dalam kehidupan
tanaman

yang mengakibatkan perubahan ukuran tanaman semakin besar dan juga

menentukan produktivitas tanaman. Pertambahan ukuran tubuh tanaman secara keseluruhan


63

merupakan hasil dari pertambahan ukuran bagian-bagian (organ-organ) tanaman akibat dari
pertambahan ukuran sel
Sementara pupuk hayati merupakan mikroorganisme hidup yang diberikan ke dalam
tanah sebagai inokulan untuk membantu tanaman dalam memfasilitasi atau menyediakan
unsur hara tertentu bagi tanaman (Simanungkalit, 2006). Sehingga tanaman seledri yang di
beri pupuk hayati memperlihatkan pertumbuhan yang baik mulai umur 2 hingga 5 minggu
setelah tanam.
Pertumbuhan dan Produktivitas tanaman seledri
Pertumbuhan dan produktivitas tanaman seledri (A. graveolens) pada saat panen terdiri
atas tinggi tanaman, panjang akar, berat segar tanaman dan berat segar akar diuji secara
statistik. Data terlebih dahulu diuji normalitas dan homogenitasnya, kemudian diuji ANOVA
(Analysis of Varians) yang dilanjutkan dengan uji Duncan pada taraf 5%, sementara nilai
RAE di analisis secara deskriptif.
Tabel 2 Rata-rata Pertumbuhan dan Produktivitas Tanaman Seledri Saat Panen
Perlakuan
P0
NPK
P10(1x)
P10(2x)
P10(3x)
P20(1x)
P20(2x)
P20(3x)
P30(1x)
P30(2x)
P30(3x)1
P30(3x)2

Tinggi
tanaman
17,902,36ab
14,432,53a
20,461,49b
19,961,70b
28,131,26c
20,562.14b
21,032,82b
20,503,23b
19,334,11b
18,234,73ab
19,903,05b
19,962,87b

Panjang akar
10,162,16ab
7,461,45a
13,592,66bc
12,064,22bc
15,861,74c
12,862,84bc
11,991,73bc
11,863,34b
11,202,41b
12,261,95bc
12,731,32bc
13,704,10bc

Berat segar
akar
6,063,61a
6,663,74ab
8,461,98abc
11,004,01bc
12,404,88c
6,862,73ab
6,461,57ab
8,332,43abc
6,533,42ab
7,063,03ab
9,732,06abc
8,332,01abc

Berat segar
tanaman
11,679,38a
14,337,87a
19,994,25a
29,336,41b
38,002,98c
20,008,08a
17,332,79a
20,334,62a
17,677,78a
16,009,02a
23,333,91ab
21,334,15ab

Nilai RAE
(%)
312,29
662,22
987,03
312,37
212,44
324,81
224,96
162,44
437,33
362,37

Keterangan : - Nilai rata-rata yang diikuti huruf yang berbeda menunjukkan perbedaan yang
nyata berdasarkan uji Duncan. pada taraf 5% ( < 0,05)
- P10, P20, P30 (10, 20 dan 30 ml/tanaman), P0: tanpa pupuk; NPK:5
g/tanaman
Berdasarkan hasil uji statistik (Tabel 2), data pertumbuahan (tinggi tanaman, panjang
akar), dan produktivitas (berat segar tanaman dan berat segar akar) berdistribusi normal
berdasarkan Leaven test ( > 0,05) dan homogen berdasarkan Kolmogorof Smirnof test.
Dengan demikian, data dilanjutkan dengan uji One-way Analysis of Varians (ANOVA)
dengan derajat signifikasi () 5%. Dari hasil uji tersebut diketahui bahwa dosis dan frekuensi 64

pemberian pupuk hayati berpengaruh nyata ( <0,05) terhadap tinggi tanaman, panjang akar,
berat segar tanaman dan berat segar akar tanaman seledri.
Berdasarkan Tabel 2, diketahui bahwa perlakuan P10(3x) atau pemberian pupuk hayati
10 ml/tanaman dengan frekuensi pemberian pupuk 3 kali memberikan hasil tertinggi untuk
tanaman seledri, dengan nilai rata-rata tinggi tanaman 28,131,26 cm/tanaman, panjang akar
15,861,74 cm/tanaman, berat segar tanaman 38,002,98 g/tanaman, berat segar akar
12,404,88 g/tanaman, dan nilai efektifitas pupuk hayati mencapai 987%.
Perlakuan P10(3x) ini memberikan nilai tertinggi baik untuk pertumbuhan maupun
produktivitas tanaman dan nilai ini berbeda nyata dengan perlakuan pupuk hayati lainnya dan
juga berbeda nyata dengan kontrol negatif P0/tanpa pupuk maupun dengan kontrol positif
/NPK 5g/tanaman.
Sementara itu nilai efektivitas pupuk hayati yang dinyatakan dengan nilai

%RAE

(Relative Agronomic Effectiveness), terhadap hasil produksi tanaman dalam hal ini berat
segar tanaman seledri menunjukan pemberian pupuk hayati untuk semua perlakuan
memperlihatkan nilai yang efektif (%RAE > 100%), namun perlakuan P10(3) memberikan
niali RAE tertinggi artinya pemberian 10 ml/tanaman pupuk hayati dengan frekuensi
pemberian 3 kali paling efektif jika dibandingkan dengan perlakuan pupuk hayati lainnya.
Berdasarkan hasil analisis data secara statistik, dosis dan frekuensi pemberian pupuk
hayati berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan tanaman seledri dicirikan dengan
meningkatnya tinggi tanaman seledri mulai umur 2 sampai 5 minggu. Hal ini menunjukkan
bahwa pemberian pupuk hayati pada dosis dan waktu yang berbeda, menunjukkan respon
tanaman yang berbeda pula. Menurut Suwahyono (2011), bakteri yang ada di dalam pupuk
hayati yang diaplikasikan pada tanaman mampu mengikat nitrogen dari udara, melarutkan

fosfat yang terikat di dalam tanah, dan memecah senyawa organik kompleks menjadi
senyawa yang lebih sederhana.
Berdasarkan hasil statistik pemberian pupuk hayati juga berpengaruh nyata terhadap
produktivitas tanaman. Produktivitas merupakan kemampuan suatu tanaman untuk
menghasilkan suatu produk atau hasil. Dalam produksi tanaman budidaya modern, produksi
suatu tanaman ditujukan untuk memaksimalkan laju pertumbuhan melalui manipulasi genetik
dan lingkungan sehingga mendapat hasil panen yang juga maksimal. Produksi suatu tanaman
bisa diartikan pula sebagai sebuah hasil akhir dari suatu tanaman yang diperoleh setelah
proses pertumbuhan selesai (Gardner, 1991).
65

Dari hasil statistik menunjukkan bahwa pemberian pupukhayati dengan dosis dan
frekuensi pemberian pupuk hayati yang berbeda, menunjukkan respon yang berebeda pula
terhadap berat segar tanaman seledri. Menurut Wahyuni dkk (2009), berbedanya kemampuan
diantara inokulan konsorsium bakteri karena adanya perbedaan kemampuan menambat N
bebas dari udara oleh bakteri penambat N.
Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa dosis dan frekuensi pemberian pupuk
hayati pada perlakuan P10(3x) yaitu 10 ml/tanaman dengan frekuensi pemberian pupuk 3 kali
memberikan hasil rata-rata berat segar tanaman terbaik jika dibandingkan dengan perlakuan
yang lainnya. Hal ini dimungkinkan karena pada perlakuan P10(3x) merupakan perlakuan
yang paling sesuai untuk produktivitas berat segar tanaman seledri dan perlakuan tersebut
sudah mencapai titik optimum, dimana jika dosis ditingkatkan justru produktivitas akan
menurun. Menurut Rubatzky dan Yamaguchi (1997) dan Rao (1986) bakteri pupuk hayati
dapat digunakan sebagai suplemen hara yang akan meningkatkan produksi dan kualitas
tanaman. Namun jika mikroba di tambahkan terlalu banyak, maka akan terjadi persaingan
terutama persaingan nutrient untuk pertumbuhan bakteri, sehingga dengan jumlah bakteri
yang meningkat justru akan menurunkan daya kerja dan pertumbuhan bakteri.
Kesimpulan dan saran, pemberian pupuk hayati dengan dosis 10 ml/tanaman dan frekuensi
pemberian pupuk hayati 3 kali pada tanaman seledri (Apium graveolens L.) memberikan
pertumbuhan dan produktivitas tertinggi, dengan nilai tinggi 28,131,26 cm/tanaman,
panjang akar 15,861,74 cm/tanaman, berat segar tanaman 38,002,98 g/tanaman, berat
segar akar 12,404,88 g/tanaman, dan nilai efektifitas tetinggi 987%. Sehingga disarankan,

dosis 10 ml dan waktu pemupukan 3 kali dapat diterapkan pada lahan pertanian untuk
meningkatkan pertumbuhan dan produktivitas tanaman sayuran khususnya tanaman seledri.
DAFTAR PUSTAKA
Anonimous, 2011, Peraturan menteri pertanian tentang pupuk organik, pupuk hayati dan
pembenah tanah, Peraturan Menteri Pertanian Nomor 70/Permentan/SR.140/10/2011,
Jakarta
Abdou, H. S, Salah, S. H, Hoda, B. F, and Abdel, R. E. A., 2012, Antioxidant effect of celery
against carbontetrachloride induced hepatic damage in rats, African journal, 26
Desember 2012
Gardner, F., 1991, Fisiologi tanaman budidaya, Universitas Indonesia Press, Jakarta
Guritno, B., dan Sitompul, S. M., 1995, Analisis pertumbuhan tanaman, Gadjah Mada
University Press, Yogyakarta

66

Holt, J. G, Krieg, N. R, Sneath, P. H. A, Staley, J. T.,and Williams, S. T., 2000, Bergeys


Manual of Determinative Bacteriology Second Edition, Lippincott Williams and
Wilkins, United States of America
Jung, W. S, Chung, I. M, Kim, S. H, Kim, M. Y, Ahmad, A., and Praveen, N., 2011, In vitro
antioxidant activity, total phenolics and flavonoids from celery (Apium graveolens)
leaves, Journal of Medicinal Plants Research, 5(32):7022-7030
Kusumawardhani, A., dan Widodo, W. D., 2003, Pemanfaatan pupuk majemuk sebagai
sumber hara budidaya tomat secara hidroponik, Buletin Agronomi, 31(1), 15-20
Rao, N. S. S., 1986, Mikroorganisme tanah dan pertumbuhan tanaman, Edisi kedua,
Universitas Indonesia Press, Jakarta
Rubatzky,V.E, dan Mas Yamaguchi., 1997, Sayuran Dunia 2, ITB Press, Bandung
Simanungkalit, R, D, M., Didi, A, S., Rasti, S., Diah, S., dan Wiwik, H., 2006, Pupuk organik
dan pupuk hayati, Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan
Pertanian, Jawa Barat
Smith,Y.M., 2002, Terapi Sayuran, Prestasi Pustaka, Jakarta, 242 hlm
Suwahyono, U., 2011, Petunjuk praktis penggunaan pupuk organik secara efektif dan efisien,
Penebar Swadaya, Jakarta

Wahyuni, S. T., Titiek , I., Husni, T. S., dan Budi, H., 2009, Pengaruh Pupuk Hayati
Petrobio dan Pupuk N,P,K pada Pertumbuhan Awal Tanaman Jarak Pagar (Jatropha
curcas L.), Fakultas Pertanian Jurusan Budidaya Pertanian, Universitas Brawijaya,
Malang
Wu, S.C., Z.h, Cao, Z.G, Li, K.C, Cheung, M.H, and Wong, 2005, Effect of biofertilizer
containing N-fixer, P and K solubilizer and AM fungi on maize growth: a greenhouse
trial, Geoderma, 125p: 155-166
Yuwono, T., 2006, Bioteknologi Pertanian, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta

67

VARIASI MORFOLOGI CANGKANG KIJING Elongaria orientalis (Lea, 1840) DI


SUNGAI BRANTAS, JAWA TIMUR

Sulistiana Megawati, Bambang Irawan, dan Moch. Affandi


Departemen Biologi Fakultas Sains dan Teknologi
Universitas Airlangga Surabaya

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui variasi morfologi cangkang kijing


Elongaria orientalis di Sungai Brantas. Penelitian ini bersifat observasional
deskriptif. Sampel yang digunakan merupakan koleksi spesimen yang diambil dari
Sungai Brantas pada periode April-Juni 2012 di 8 stasiun dari 15 stasiun yang
disampling, dimulai dari kota kabupaten Kertosono sampai Surabaya, dengan jumlah
61 individu yang diteliti. Sampel dianalisis untuk mengetahui morfologi cangkang
meliputi dimensi panjang, tebal dan tinggi, serta korosifitas cangkang. Berdasarkan
data tersebut kemudian ditentukan nilai rasio antara tinggi terhadap panjang yang
digunakan untuk menggambarkan keadaan memanjang atau memendek pada
cangkang dan nilai rasio tebal terhadap panjang cangkang yang digunakan untuk
menggambarkkan obesitas pada cangkang yakni cangkang dalam keadaan
menggembung atau memipih, dan abnormalitas bentuk bagian posterior outline . Ada
variasi morfologi cangkang yang dikelompokkan dalam 3 kategori obesitas, yaitu:
menggembung dengan kisaran antara 0,32-0,35 mm (11,47%), normal dengan kisaran
antara 0,28-0,31 mm (60,65%), dan memipih dengan kisaran antara 0,24-0,27 mm
(27,86%). Serta variasi abnormalitas pemanjangan cangkang dikelompokkan dalam 3
kategori, yaitu: pemanjangan dengan kisaran antara 0,48-0,51 mm (8,19%), normal
dengan kisaran antara 0,44-0,47 mm (49,18%), dan pemendekan cangkang dengan
kisaran antara 0,40-0,43 mm (42,46%). Korosifitas cangkang ditemukan pada 12
individu dari seluruh individu, dengan korosifitas yang relatif rendah, dan hanya satu
individu yang mempunyai bentuk outline cangkang menggelombang di Sungai
Brantas dari bagian hulu hingga hilir sungai.
Kata kunci: Sungai Brantas, Kijing Elongaria orientalis, Variasi Morfologi
Cangkang.
68

Pendahuluan
Sungai Brantas memiliki fungsi dan arti penting yang secara langsung dapat
dirasakan oleh masyarakat yang tinggal di DAS, diantaranya sebagai pemasok bahan
baku air minum dan industri, sumber irigasi, pembangkit listrik, serta dapat
digunakan sebagi akses lalu lintas (Handayani et al., 2001). Ada perubahan tata guna
lahan yang cukup signifikan seiring dengan berkembangnya jaman di sekitar sungai
Brantas yang dipengaruhi oleh adanya penambahan jumlah penduduk yang diduga
telah mempengaruhi penurunan kualitas air sungai Brantas (Anonim, 2006).
Penurunan kualitas air tersebut terjadi akibat pembuangan limbah dari aktivitas
manusia, seperti limbah industri dan limbah domestik (Ramu dan Sunaryo, 2004).
Mengingat tingginya ketergantungan masyarakat terhadap sungai Brantas,
maka perlu dilakukan monitoring untuk mengantisipasi agar tidak terjadi penurunan
kualitas air. Monitoring kualitas air sungai dapat dilakukan melalui penelitian
menggunakan kijing sebagai indikator pencemaran salah satunya kelas Bivalvia dari
ordo Unionoida (Grabarkiewicz dan Davis, 2008). Bioindikator menggunakan kerang
mempunyai beberapa kelebihan, di antaranya karena kijing mempunyai masa hidup
yang panjang, fase juvenil dan dewasa bersifat immobile, mengandung jaringan lunak
yang cukup besar untuk dilakukannya analisis kimia, dan kerang yang sudah mati
meninggalkan cangkang yang cukup lama untuk terjadinya pelapukan, sehingga dapat
digunakan untuk catatan sejarah (Grabarkiewicz dan Davis, 2008).
Fokus pengamatan pada penelitian ini adalah variasi morfologi cangkang
kijing air tawar Elongaria orientalis yang ada di Sungai Brantas. Pemilihan
E.orientalis sebagai objek penelitian didasarkan pada pertimbangan bahwa spesies
tersebut merupakan Endemic Jawa (Graf dan Cumming, 2013).
Metode Penelitian
Penelitian ini bersifat deskriptif observasional yaitu bahan yang digunakan
dalam penelitian adalah koleksi kijing air tawar Elongaria orientalis yang diambil
dari sungai Brantas pada periode April-Juni 2012, di 8 stasiun yang dimulai dari
69

stasiun 4 di kabupaten Kertosono, 5 dan 6 (Jombang), stasiun 8, 9 (Mojokerto), dan


10 (Gresik), 12 (Gresik), dan 13 (Surabaya) (Candra, 2013).
Jumlah sampel yang diamati di antara stasiun tidak sama, sesuai dengan
jumlah sampel yang diperoleh saat melakukan sampling di lapangan. Jika pada
stasiun didapati jumlah individu yang banyaknya melebihi 10, akan dipilih 10
individu dengan ukuran tubuh terbesar.
Data penelitian menjelaskan tentang hasil pengukuran dan pengamatan
karakter morfologis cangkang kijing sampel pada masing-masing stasiun.
Pengukuran karakter morfologis cangkang meliputi dimensi panjang, tebal, dan tinggi
(dalam satuan mm) dan dilakukan dengan menggunakan jangka sorong. Berdasarkan
data tersebut kemudian

ditentukan nilai rasio antara tinggi terhadap panjang

cangkang yang digunakan untuk menggambarkan keadaan memanjang atau


memendek pada cangkang dan nilai rasio tebal terhadap panjang cangkang yang
digunakan untuk menggambarkan keadaan obesitas pada cangkang yakni cangkang
dalam keadaan menggembung atau memipih. Selain itu juga dilakukan penelitian
terhadap bentuk lateral outline bagian posterior cangkang, dan gejala korosif
(korosifitas).
Hasil dan Pembahasan
Sampel kijing air tawar Elongaria orientalis yang digunakan dalam penelitian
merupakan koleksi spesimen yang terdapat di Laboratorium Biosistematika
Departemen Biologi FST Unair,, dengan data keberadaan dan jumlah spesimen yang
didapati pada setiap stasiun disajikan dalam Tabel 4.1.
Dari Tabel tersebut, diketahui bahwa keberadaan dan jumlah individu sampel
pada setiap stasiun berbeda, dengan kelimpahan individu kijing tertinggi didapatkan
pada stasiun 4, 8, dan 10, yaitu didapati 10 individu atau lebih, sehingga pada stasiun
tersebut dapat diambil sampel sebanyak 10 individu kijing untuk diteliti. Sedangkan
pada stasiun 5, 6, 9, 12, dan 13 mempunyai kelimpahan yang rendah, yakni kurang
dari 10 individu sehingga sampel kijing yang ada di beberapa stasiun tersebut diteliti

70

seluruhnya, dan beberapa stasiun tidak didapati individu, diantaranya pada stasiun 1, 2,
3, 7, 11, 14, dan 15.
Tabel 4.1. Keberadaan dan jumlah individu sampel kijing Elongaria orientalis dari
sungai Brantas yang diteliti
Stasiun
4
5
6
8
9
10
12
13

Lokasi
Kertosono
Jombang
Mojokerto
Gresik
Surabaya

Jumlah individu sampel yang diteliti


10
2
8
10
9
10
5
7

Tabel 4.2. Data obesitas kijing Elongaria orientalis di Sungai Brantas secara
keseluruhan dengan tanpa membedakan stasiun asal sampling.
Kode
Spesimen
10.6
4.6
12.1
8.1
13.7
4.5
4.7
4.10
6.6
8.5
8.6
9.9
10.3
10.7
13.1
13.4

Rasio
Tb/P
0,24
0,25
0,25
0,26
0,26
0,27
0,27
0,27
0,27
0,27
0,27
0,27
0,27
0,27
0,27
0,27

Kode
Spesimen
13.6
4.9
9.6
9.7
12.2
13.5
4.3
5.1
5.2
8.1
8.8
9.1
9.2
9.8
10.2

Rasio
Tb/P
0,27
0,28
0,28
0,28
0,28
0,28
0,29
0,29
0,29
0,29
0,29
0,29
0,29
0,29
0,29

Kode
Spesimen
10.8
10.10
13.2
13.3
4.2
4.8
8.3
9.4
10.1
10.5
12.4
12.5
4.1
4.4
6.4

Rasio
Tb/P
0,29
0,29
0,29
0,29
0,30
0,30
0,30
0,30
0,30
0,30
0,30
0,30
0,31
0,31
0,31

Kode
Spesimen
6.7
6.8
8.4
8.9
9.3
9.5
10.9
12.3
6.2
6.5
8.7
8.10
6.1
6.3
10.4

Rasio
Tb/P
0,31
0,31
0,31
0,31
0,31
0,31
0,31
0,31
0,32
0,32
0,32
0,32
0,33
0,33
0,33

71

Dalam penelitian ini gambaran tentang variasi morfologi cangkang karakter


tingkat kegemukan (obesitas) cangkang yang ditentukan berdasarkan nilai rasio di
antara tebal terhadap panjang, dapat dilihat pada Tabel 4.2.
Tabel 4.3. Jumlah individu masing-masing kelas obesitas kijing Elongaria orientalis
dari perairan sungai Brantas.
Tingkat kegemukan
Kelas Ukuran
Jumlah individu (%)
(obesitas) cangkang
17 (27,86)
0,240,27
Memipih
0,280,31

Normal

37 (60,65)

0,320,35

Menggembung

7 (11,47)

Total

61 (100)

Tabel 4.4. Data pemanjangan cangkang kijing Elongaria orientalis di Sungai Brantas
secara keseluruhan dengan tanpa membedakan stasiun asal sampling.
Kode
Rasio
Kode
Rasio
Kode
Rasio
Kode
Rasio
Spesimen Tg/P
Spesimen
Tg/P
Spesimen
Tg/P
Spesimen Tg/P
6.4
0,40
6.7
0,43
8.8
0,44
10.8
0,46
9.1
0,41
8.6
0,43
8.9
0,44
10.10
0,46
10.6
0,41
8.7
0,43
13.5
0,44
12.2
0,46
13.2
0,41
9.7
0,43
13.6
0,44
9.3
0,47
4.2
0,42
10.4
0,43
4.9
0,45
9.4
0,47
4.4
0,42
10.5
0,43
6.5
0,45
10.1
0,47
4.8
0,42
10.7
0,43
8.3
0,45
10.3
0,47
6.1
0,42
12.4
0,43
9.2
0,45
10.9
0,47
8.5
0,42
13.1
0,43
9.6
0,45
12.1
0,47
13.3
0,42
13.7
0,43
10.2
0,45
12.5
0,47
4.1
0,43
4.3
0,44
12.3
0,45
5.2
0,48
4.5
0,43
4.6
0,44
13.4
0,45
6.8
0,48
4.7
0,43
6.6
0,44
8.4
0,46
9.8
0,48
4.10
0,43
8.1
0,44
8.10
0,46
9.9
0,48
6.2
0,43
8.2
0,44
9.5
0,46
5.1
0,50
6.3
0,43
Nilai obesitas kijing Elongaria orientalis di Sungai Brantas berada pada
kisaran di antara 0,240,33. Yang kemudian dari kisaran tersebut didapati tiga kelas
atau kelompok ukuran, yakni kelas pertama (kelas bawah; memipih) berada pada
kisaran di antara 0,240,27 yang beranggotakan 7 individu kijing atau sekitar
72

11,47%; kelompok 2 (kelas tengah; normal) berada pada kisaran nilai di antara
0,280,31 dan tersusun atas 37 individu kijing (60,65%), dan kelompok 3 (kelas
atas; obesitas) berada pada kisaran nilai 0,310,35 tersusun atas 17 individu
(27,86%). Data jumlah individu kijing dari masing-masing kelas nilai obesitas ini
tersaji pada Tabel 4.3.
Selain data obesitas juga dijelaskan tentang data pemanjangan atau
pemendekan cangkang (Tabel 4.4). Nilai rasio tinggi terhadap panjang cangkang
pada kisaran nilai 0,400,50. Dari kisaran tersebut dapat dikelompokkan menjadi
tiga kelas ukuran, diketahui bahwa kelompok pertama (Kelas bawah; memendek)
berada pada kisaran 0,400,43 berjumlah 5 individu atau sekitar 8,19%; kelompok
kedua (kelas menengah; normal) berada pada kisaran 0,440,47 berjumlah 30
individu (49,18%), dan kelompok ketiga (kelas atas; memanjang) berada pada nilai di
antara 0,480,51 dan berjumlah sebanyak 26 individu (42,65%). Data jumlah
masing-masing kelas ukuran pemanjangan cangkang tersaji pada Tabel 4.4.
Setelah didapati pengelompokan abnormalitas yang telah dijelaskan di atas,
kemudian dilakukan penjumlahan individu yang selanjutnya dihitung presentasinya.
Hasil penghitungan jumlah dan presentasinya dapat dilihat pada (Tabel. 4.5).
Tabel 4.5. Jumlah individu dan (%) masing-masing kelas pemanjangan kijing
Elongaria orientalis dari perairan sungai Brantas.
Kelas ukuran
0,480,51
0,440,47
0,400,43

Tingkat (kepanjangan)
Pemanjangan Cangkang
Memanjang
Normal
Memendek
Total

Jumlah individu (%)


5 (8,19)
30 (49,18)
26 (42,65)
61 (100)

Berdasarkan Tabel 4.5. dapat diketahui bahwa 8,19% dari seluruh sampel
kijing Elongaria orientalis yang berjumlah sebanyak 61 individu di sungai Brantas
cangkangnya cenderung memanjang, 42,65% cangkangnya cenderung memendek,
dan 49,18% dengan pemanjangan cangkang tergolong normal.

73

Pengamatan bentuk lateral outline bagian posterior cangkang hanya


didapatkan satu individu saja dari 61 jumlah individu sampel, yakni menggambarkan
adanya penyimpangan bentuk cangkang dari bentuk normal, yaitu pada bagian dorsal
menuju posterior terdapat cekungan yang berbeda dari bentuk cangkang normal
(Gambar 10.)

Gambar 10. Abnormalitas latereal outline bagian posterior dan korosifitas cangkang
pada kijing Elongaria orientalis di sungai Brantas. A. Cangkang dengan
bentuk lateral outline bagian posterior abnormal tetapi tidak mengalami
korosifitas. B. Cangkang mengalami korosifitas tetapi dengan bentuk
lateral outline bagian posterior normal. (Sumber gambar: dokumen
pribadi).
Tabel 4.3. Kode spesimen kijing Elongaria orientalis dan letak bagian cangkang
yang mengalami korosif, serta besarnya korosifitas (%) yang terjadi
No.

Kode
Spesimen

1.
6
2.
8
3.
9
4.
9
5.
9
6.
10
7.
10
8.
12
9.
12
10.
12
11.
13
12.
13
Keterangan: d = dorsal;

Posisi Korosifitas pada cangkang


d

v = ventral;

p = posterior; a = anterior

Persentase %
3
4
6
4
5
2
10
4
7
6
8
2
74

Dari Tabel 4.3., dapat diketahui bahwa hanya terdapat 12 dari 61 individu
sampel kijing yang cangkangnya mengalami korosifitas, berasal dari enam stasiun,
yaitu: stasiun 6 dan 8 masing-masing sebanyak 1 individu, stasiun 9 dengan 3
individu, stasiun 10 dengan 2 individu, serta stasiun 12 dengan 3 individu, dan 13
dengan 2 individu. Mayoritas bagian cangkang yang mengalami korosifitas adalah
bagian dorsal, dan hanya ada 3 individu yang mengalami korosifitas pada bagian
anterior. Besarnya permukaan cangkang yang mengalami korosif bervariasi antara 2
hingga 10%.
4.1.3. Gradien variasi morfologi cangkang kijing Elongaria orientalis di Sungai
Brantas

Gambar 11. Komposisi relatif obesitas cangkang kijing Elongaria orientalis pada
setiap stasiun di sepanjang sungai Brantas Jawa Timur.
Gambar 11. menjelaskan jumlah individu kijing Elongaria orientalis (dalam
persen) dari masing-masing obesitas dengan proporsi jumlah cangkang kijing normal
paling tinggi adalah stasiun 5 dengan nilai 100%. Stasiun yang mengandung proporsi
cangkang abnormal (menggembung atau memipih) terbanyak adalah stasiun 6,
dengan 62,5% cangkang abnormal, stasiun 13 dengan 57% cangkang abnormal.
Selain

obesitas,

abnormalitas

cangkang

juga

ditunjukkan

pemanjangan (keadaan cangkang memanjang, normal atau memendek)

melalui
yang

ditunjukkan dalam Gambar 12. dengan nilai abnormalitas yang berupa pemanjangan
75

dan pemendekan cangkang terdapat pada stasiun 5 dengan nilai yaitu 100% dari
seluruh jumlah individu yang ada.

Gambar 12. Komposisi pemanjangan cangkang kijing Elongaria orientalis pada


setiap stasiun di sungai Brantas Jawa Timur.
Kesimpulan dan Saran
Berdasarkan hasil penelitian dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut.
1.

Ada variasi morfologi cangkang kijing Elongaria orientalis di Sungai Brantas


meliputi obesitas, pemanjangan cangkang.
a)

Obesitas cangkang menunjukkan 60,65% kijing Elongaria orientalis di


Sungai Brantas tergolong normal, 27,86% tergolong memipih, dan
11,47% tergolong menggembung.

b)

Pemanjangan cangkang menunjukkan 49,18% kijing Elongaria


orientalis di Sungai Brantas tergolong normal,

42,65%

tergolong

pemendekan, dan 8,19% tergolong pemanjangan.


2.

Korosifitas cangkang kijing Elongaria orientalis di Sungai Brantas teramati


pada 21,31% dari populasi yang ada, dengan korosifitas yang rendah (berkisar
2-10% luas permukaan cangkang); dan gejala abnormalitas cangkang kijing
teramati pada satu dari 61 individu sampel, berupa penyimpangan bentuk
cangkang dari bentuk normal, yaitu pada bagian dorsal menuju posterior
terdapat penurunan atau cekungan yang berbeda dari bentuk cangkang
normal.
76

3.

Perubahan variasi morfologi cangkang kijing E.orientalis di sepanjang Sungai


Brantas teramati baik pada obesitas maupun pemanjangan cangkang;
individu-individu kijing yang mengalami obesitas banyak terdapat di daerah
tengah, cangkang memipih banyak terdapat di bagian hilir, sedangkan
cangkang normal terdapat relatif tersebar di sepanjang aliran sungai;
pemanjangan cangkang normal banyak terdapat di bagian hilir, cangkang
memanjang banyak terdapat di daerah hulu, sedangkan cangkang memendek
cenderung tersebar di semua stasiun.
Berdasarkan hasil dan pembahasan, diajukan saran sebagai berikut:
perlu penelitian lanjut yang mengkomparasikan variasi morfologi cangkang
dengan parameter fisika-kimia yang lebih rinci, selain itu juga
mengkomparasikan hasil dengan keadaan topografi serta lingkungan yang ada
sekitarnya, sehingga dapat diketahui adanya pencemaran lingkungan di sekitar
aliran sungai dan dapat diketahui faktor-faktor yang mempengaruhi variasi
morfologi, obesitas, pemanjangan, abnormalitas lateral outline dan gejala
korosif secara spesifik Dengan demikian, adanya perubahan bentuk dan
abnormalitas cangkang spesies kijing dapat digunakana sebagai indikator
perubahan atau kerusakan lingkungan sungai.

Daftar Pustaka
Anonim. 2006. Kondisi wilayah daerah aliran sungai Brantas. Statistik BP DAS
Brantas. 43 hal.
Candra, L.A. 2013. Keanekaragaman dan Pola Distribusi Longitudinal Spesies
Kijing Air Tawar Famili Unionidae di Sungai Brantas Periode April-Juni 2012.
Skripsi, FSAINTEK Universitas Airlangga. Surabaya.
Grabarkiewicz, J.D. and W.S. Davis. 2008. An Introduction of Freshwater Mussel
as Biological Indicators : Including account of Interior Basin, Cumberlandian,

77

and Atlantic Slope Species, United States Environmental Agency, Washington


DC.
Graf, D. L. and K. S. Cumming. 2013. The Freshwater Mussels (Unionoida) of the
World (and other less consequential bivalves). Update 25 February 2013.
MUSSEL Project Web Site, http: //www.mussel-project.net/.
Handayani, S.T., S. Bambang., and Marsoedi. 2001. Penentuan Status Kualitas
Perairan Sungai Brantas Hulu dengan Biomonitoring Makrozoobentos: tinjauan
dari Pencemaran bahan organik, Biosain, 1(1), 30-38.
Ramu, K. and T.M. Sunaryo.

2004. Brantas River Basin Study Indonesia.

Agriculture & Rural Development - World Bank. [Online] Available from:


http://siteresources.worldbank.org/INTSAREGTOPWATRES/Resources/Indon
esia_BrantasBasinFINAL.pdf

78

UJI EFEK ANTIPROLIFERASI DAN SITOTOKSIS MEDAN LISTRIK


100KHz TERHADAP SEL KANKER PAYUDARA MCF-7
SECARA IN VITRO
IzzatunAjrina, DwiWinarni, danTrianggonoPrijo Prodi S-1Biologi,
DepartemenBiologi. FakultasSainsdanTeknologi, UniversitasAirlangga
Surabaya.

Abstract
This research was aimed to know the effect of electric field towards the
antiproliferative and cytotoxitic of breast cancer MCF-7 cell line using
electrotherapy capacitive with 100KHz frequency as the source of alternating
current. This research was an experimental with two major treatments which
are K (without treatment) and P (with 100KHz treatment). Each treatment
respectively has another four sub treatment which are 0, 24, 48, and 72 hours
of treatment with 4 replication each. The data were analyzed using one way
ANOVA followed by Duncan test. The results shows that the electric fields of
100KHz can inhibit the growth and kills breast cancer MCF-7 cell line, and by
giving different hours of treatment there was a significant effects and the
highest results for both antiproliferative and cytotoxitic was obtained by P2
(24 hours of treatment).
Keywords: antiproliferative, cytotoxitic, breast cancer, electrotheraphy.

Pendahuluan
Kanker payudara merupakan penyebab kematian tersering pada wanita
di dunia. Data histopatologik dari Badan Registrasi Kanker Ikatan Ahli Patologi
Indonesia

menunjukkan insidensi kanker payudara

Menempati urutan nomor

di

Indonesia

setelah kanker leher rahim. Di

Indonesia

Menurut profil kesehatan Departemen Kesehatan Republik Indonesia Tahun


2007
Kanker tertinggi

yang

di derita wanita

Indonesia

Adalah kanker payudara dengan angka kejadian 26 per 100.000 perempuan.


Pengobatankankerpayudaramembutuhkanpenanganan
yang

yang

terpadu,
79

terdiriataspenangananlokaldanpenanganansistemik.Penangananlokalyaitupem
bedahandanradioterapi, sedangkanpenanganansistemikdapatberupakemoterapi,
terapi

hormonal,

dantargeted

therapy.Pembedahandanradioterapimengobatikanker yang daerahnyaterbatas,


sedangkankemoterapibertujuanmembunuhsel-selkanker

yang

beradadiluarjangkauanpembedahanmaupunradioterapi.(BadanPenelitiandanPe
ngembanganKesehatanDepartemenKesehatan RI, 2010).
Terapi-terapitersebut,
terutamakemoterapimembawaefektoksisitassepertimual-mual,

lemas,

gangguanpencernaandanrambutrontok.Selainituterapiterapitersebutseringkalitidakterjangkauolehmasyarakat

(Davey,

2002).Seiringdengankebutuhanpasien

yang

semakinmeningkatdalammenggunakanalatterapikanker,
makadibutuhkanalattanpamenggunakanradiasi,
(berteknologicanggihdanakurat),

danefisien

efektif
(dayaproduksimurah)

sehinggaterjangkauuntuksemuakalangan.
Sampaisaatini,

karakterkanker

yang

paling

seringdigunakanolehparapenelitidalammemformulasikanupayakuratif
(pengobatan)

danpreventif

(pencegahan)

kankeradalah

apoptosis

danproliferasi.Peningkatanproliferasimenunjukkanterjadinyapeningkatankegan
asan

tumor.Penurunan

apoptosis

menunjukkanadanyakegagalanlokaldalammekanismemelawanperkembangank
anker (King, 2000).
Prinsipdasarterapimenggunakanmedanlistrikadalahadalahbahwamedan
listrikmemilikipengaruhterhadappembelahan

sel.

Karenapadasaatselsedangmembelah,
selmenjadisangatsensitifsehinggaapabilaadapengaruhataupunrangsangandarilu
ar,

makaakanmempengaruhi

proses

pembelahansel (Haltiwanger, 2010).

Selkankerdikenalsebagaiseldengantingkatpembelahan (proliferasi) yang tinggi

80

(King,

2000),

makadariitudenganmenggunakanprinsipdasarini,

medanlistrikdapatdiaplikasikanuntukpengobatankanker.
Terkaitdenganmasalahtersebut

di

makadilakukaneksplorasilebihlanjutmengenaipotensi

atas,
anti

kanker

Medan

Listrik 100KHz terhadapjeniskanker yang lain, utamanyakankerpayudara yang


merupakankankernomorsatu yang menyerangperempuan Indonesia. Serta
mengetahuiwaktu optimum pemberianmedanlistrikuntuk anti kanker.
Penelitianinibertujuanuntukmelihatapakahmedanlistrikberfrekuensi
100KHz
dapatberperansebagaiantikankermelaluipenghambatanproliferasiseldanmemac
usitotoksis. Pengamatandilakukanpadakulturselkankerpayudara (MCF-7).

MetodedanBahan
Bahanhayati yang digunakanadalahSelMCF-7 yang didapatkandari
bank jaringan.Bahan lain yang digunakanadalahLarutan FBS (Fetal Bovine
Serum) 20%, larutantrypan blue, 0(0 (Alpha Modified Eagle Medium),
Fungizone 1%, tripsin (0.2%), penisilinstreptomisin 1%, EDTA, alkohol 70%,
danakuabides.
Prosedurataulangkahkerjameliputipembuatan

media,

pengenceranstokdanperemajaanselkankerpayudara

MCF-7,

pengkulturanselkankerpayudara

MCF-7,

pemanenandanperhitunganselkankerpayudara

MCF-7,

penanamanselkankerpayudara

MCF-7

kemikroplat,

paparanpadakulturselkankerpayudara MCF-7 denganmedanlistrik 100KHz,


ujiantiproliferatifdansitotoksitasmenggunakanmetodepenghitunganlangsung
(haemocytometer), dananalisis data.
HasildanPembahasan
Ujiefekantiproliferasi

81

Dari hasil uji statistik diketahui terdapat pengaruh yang nyata antara
kelompok sel kontrol yang tidak diberi medan listrik (K) dibandingkan dengan
kelompok perlakuan medan listrik 100KHz (P) terhadap penurunan jumlah sel.
Dari grafik rerata jumlah sel, terlihat bahwa pada jam ke 24 menunjukkan
penurunan jumlah sel yang paling banyak.
Selkulturin vitromerupakansel yang ditumbuhkandengan media yang
samaselamaperlakuandantidakadapenggantianataupunpenambahanmedia
sertanutrisi,

atau

yang

disebutdenganpertumbuhanbiakanseltertutup.

Kecepatanpertumbuhanselmulaiberkurangsaatmemasukifasestatisuntukkemudi
antidakmembelahsamasekali.
Alasanseltidakmelakukanpembelahanselpadafasestatisbermacammacam.Salah satualasan yang dapatdikemukaanadalahhabisatuberkurangnya
nutrient, dimanapadapembiakantertutuptidakterdapatadanyapenggantian media
sertapenambahannutrisi (Yuwono, 2008).
Gambar 1. Pengaruhpemberianmedanlistrik
terhadapjumlahselkankerpayudara MCF-7

100KHz

100000
86000

90000

80000

80000

JumlahSel

70000

62200

60000

52700

40000

10000

Medanlistrik100KHz

27800

30000
20000

45000

50000

Medanlistrik0KHz

10010000

0
0

24

48

72

WaktuPemaparan(jam)

Asumsipenelitianiniadalahmedanlistrikmemilikipengaruhterhadappem
belahansel,

dimana

parameter
82

dalamkecepatanseladalahpembelahanselitusendiri.
Seiringberkurangnyakecepatanpembelahanselsetelah jam ke 48,

berkurang

pula jumlahpenurunanjumlahselolehmedanlistrik.

Ujiefeksitotoksitas
Pada uji sitotoksis, uji statistik menunjukkan bahwa medan listrik
100KHz dapat meningkatkan persentase kematian sel hingga sebesar 39,45%
pada jam ke 24.
Terdapatbeberapacarauntukmenghitungujihasilsitotoksisdenganmetode
langsung,

diantaranyamenghitungjumlahselhidupdanselmati,

menghitungdoubling

time,sertadengan

jumlahselpadakelompokkontrol.

parameter

Padapercobaaninicara

yang

digunakanadalahcara yang terakhir; efeksitotoksitasdihitungdengan parameter


utamayaitujumlahselpadakelompokperlakuandankontrol.

Makadariitu,

hasilpadaujiantiproliferasiberkaitaneratdenganhasilujisitotoksisdimanaefekke
matianseltertinggiadalahpada jam ke 24.
Gambar 2. Pengaruhpemberianmedanlistrik
terhadappersentasekematiansel
45
40

39.45a
34.6ab

35
KematianSel(%)

100KHz

28.05b

30
25
20
15
10
5
0
24

48

72

WaktuPemaparan(jam)

83

Selkankermerupakanseldengantingkatproliferasitinggidanrendahnyatin
gkatapoptopsisataukematian sel. Sel yang aktifmembelahmemilikisifat yang
sangatsensitifsehinggaketikamedanlistrikdidekatkanterhadapsel

yang

sedangmembelahterdapatinteraksiantaraseldenganmedanlistrik. Di dalamsel,
terdapatmikrotubulusdengan

dipole

sangattinggi.Mikrotubulustersusunatas

listrik

tubulin

primer

berperanuntukmenarikkromatidmenujukekutubpembelahan.Ketikasel

yang
yang
yang

sedangmembelahdiberimedanlistrik,

medanlistrikinimampumenembus

membrane

sel.

seldanmasukkedalam

menghambattubulin dimer
Akibatnya

Adanyamedanlistrikini,

menarikkromatidmenujukekutubpembelahan.

proses

pembelahanmenjaditerhambatdanjumlahsel

yangmembelahmenjadilebihsedikitsertamenyebabkankematiansel

(Cone,

1975).
Presentasekematiansel

yang

hanyamencapai

39,45%

menunjukkanbahwamedanlistrikdapatdigunakansebagaisalahsatualternatifpen
gobatannonkonvensional.

Pengobatannonkonvensionalbersifatkomplementer

yang
diaplikasikanbersamaandenganpengobatankonvensionalyaitupembedahan.
Tentudiperlukanadanyapenelitian
menyeluruhdanberkesinambungan

yang
agar

terpadu,
alatininantinyabenar-

benardapatdiaplikasikankepadapasienpenderitakanker.

Kesimpulan
Dari hasilpenelitian, terbuktibahwapemberianmedanlistrik
selama

24,

48,

dan

72

berpengaruhpadaefeksitotoksitasdanantiprliferasiselkankerpayudara

100KHz
jam
MCF-7.

Hasil paling optimum dicapaipada jam ke 24 setelahperlakuan.


DaftarPustaka
Bassett, C. (1989). the development and application of pulse electromagnetic
fields for ununited fractures and arthrodeses. New york: pubmed.
84

Bellenir, K. (2009). cancer source book for women. michigan: omnigraphics.


Cone, C. (1975). the role of surface electrical transmembrane potential in
normal and malignant mitogenesis. new york: acad sci.
Corwin, E. J. (2009). Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC.
Davey, P. (2002). At a Glance: Medicine. Jakarta: Erlangga.
Fallowfield, l. (2002). breast cancer, experience of illness. london: routledge.
Freshney, I. (1985). culture of animal cell: a manual of basic technique. new
york: Alan R. Liss.
Giese, A. (1979). cell physiology. philadelphia: W.B. Sanders Co.
Govan, D. (1995). Pathology illistrated. new york: churchil living stone.
Guyton, A. (1993). buku ajar fisiologi kedokteran. jakarta: EGC.
Haltiwanger, s. (2010). the electrical properties of cancer cells. Retrieved
agustus 12, 2012, from http://www.royalrife.com/haltiwanger1.pdf
Hannah, R. (2011). Hairless. Jakarta: Gagas Media.
Haryanto, S. H. (2005). Terapi pengobatan tumor dan kanker. Jakarta:
Kanisius.
Jong, W. D. (2002). Kanker, apakah itu? Jakarta: Penerbit Arcan.
Kadinoto, d. (2006). teori arus bolak balik. jakarta: technipress.
Kimball, J. (1990). biology. jakarta: erlangga.
King, R. J. (2000). Cancer Biology. California: Longman.
Kumar, A. V. (2005). pathologic basis of disease. Philadelphia: Elsevies
saunder.
Malole, M. (2000). kultur sel dan jaringan hewan . bogor: pusat antar
universitas institut pertanian bogor.
Odgen, j. (2004). health psychology: a textbook. california: open university
press.
Palti, y. (2004, mei 1). disruption of cancer cells replication by alternating
electric
fields.
Retrieved
agustus
15,
2012,
from
cancerres.aarcjournals.org/content/64/9/3288
Pecorino, L. (2005). molecular biologi of cancer, mechanism, targets, and
therapeutics. new york: oxford university press inc.
85

Potten, C. (2004). Apoptosis. New york: Cambridge University Press.


Purwoastuti, E. (2008). Kanker Payudara. Jakarta: Kanisius.
Spector, W. (1993). pengantar patologi umum. yogyakarta: gajah mada
university press.
Tapan, E. (2005). Kanker, antioksidan dan terapi komplementer. Jakarta:
Gramedia.
Valkenburg, M. V. (2005). analisis rangkaian listrik . jakarta: erlangga.
Walum, E. (1990). understanding cell toxicology. new york: ellis horward.
Yuwono, t. (2008). biologi molekular. jakarta: erlangga.

86

EFEK EKSTRAK DAN FRAKSI TUMBUHAN SARANG SEMUT (Myrmecodia pendans)


TERHADAP KUALITAS SPERMATOZOA TIKUS (Rattus norvegicus)
YANG TERPAPAR PLUMBUM
Dr. Alfiah Hayati, Milatussakdiyah, dan Drs. I.B. Rai Pidada, M.Si
Prodi S-1 Biologi, Departemen Biologi, Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas
Airlangga, Surabaya

Abstract
This research aims to know the effect of extract and fraction of sarang semut
plant (Myrmecodia pendans) on spermatozoa quality of rat that have oxidative stress
because of lead exposure. This research use 36 male Wistar rat (Rattus norvegicus)
age 12-13 weeks and weight 160-180 g. Rats were divided into six groups, which are
two control groups and four treatment groups to receive one of the following
treatments: negative control fed with aquades, positive control fed with 1 ml 500 ppm
lead acetate, two treatment groups fed with 1 ml 500 ppm lead and extract of sarang
semut with respectively doses 135 and 270 mg/kg weight, and another two treatment
groups fed with 1 ml 500 ppm lead acetate and ethyl acetate fraction of sarang semut
with respectively doses 20 and 40 mg/kg weight. All treatments are done once daily for
56 days. The statistic analysis show that lead acetate can decrease motility, viability,
and normal morfology of rat spermatozoa when compared with control group. Extract
and ethyl acetate fraction of sarang semut can increase motility, viability, and normal
morphology of rat that was exposured by lead especially extract (270 mg/kg) and ethyl
acetate fraction (40 mg/kg).
Keywords:
Sarang semut plant, motility, viability, morphology, spermatozoa, lead acetate.

Pendahuluan
Keberhasilan pembangunan nasional di sektor industri dan peningkatan
perekonomian di Indonesia telah melahirkan konsentrasi pabrik di beberapa daerah

tertentu serta peningkatan jumlah kendaraan bermotor di jalan raya. Hal ini akan
menimbulkan masalah dalam penanganan dan pembuangan limbah serta peningkatan
resiko pemaparan manusia terhadap bahan buangan beracun atau polusi, termasuk di
dalamnya logam berat yang banyak digunakan dalam proses produksi. Salah satu jenis
logam berat yang banyak digunakan dalam industri adalah plumbum. Plumbum juga
87

dihasilkan oleh gas buang kendaraan bermotor akibat penambahan tetraethyl lead yang
merupakan bahan logam plumbum, ke dalam bahan bakar berkualitas rendah untuk
menaikkan nilai oktan (Anonimus, 2009). Kaum pria adalah obyek yang paling rentan
terhadap paparan polusi logam berat plumbum di lingkungan industri dan jalan raya,

mengingat sebagian besar bidang pekerjaan di industri dan kegiatan di jalan raya
dilakukan oleh kaum pria.
Efek toksik plumbum pada fungsi reproduksi laki-laki yaitu mempengaruhi proses
spermatogenesis sehingga terjadi penurunan kualitas spermatozoa dalam jumlah,
motilitas, dan morfologi normal spermatozoa (Adnan, 2001). Salah satu mekanisme
toksisitas plumbum adalah meningkatkan stres oksidasi dalam tubuh termasuk organ
reproduksi pria (Ahameda dan Siddiqul, 2007). Plumbum reaktif yang apabila masuk
dalam tubuh khususnya melalui saluran pernafasan, dapat berperan sebagai oksidan atau

radikal bebas yang pada kadar tinggi dapat berpotensi menimbulkan efek toksik,
sehingga dapat berpengaruh pada kualitas dan fungsi spermatozoa yang tentunya dapat
menurunkan fertilitas individu (Hayati, 2011).
Tumbuhan Sarang semut (Myrmecodia pendans) merupakan tumbuhan yang
berasal dari Papua, Indonesia yang secara tradisional telah digunakan oleh penduduk
asli Papua untuk mengobati berbagai penyakit. Menurut perspektif medis, klaim khasiat
secara tradisional tersebut masih perlu dibuktikan. Sarang semut merupakan nama
dagang dari tumbuhan ini dikarenakan di dalam batang tumbuhan ini terdapat rongga
yang bersekat-sekat yang dihuni oleh koloni semut tertentu (Simanjuntak et al., 2010).
Khasiat tumbuhan sarang semut ini tidak

terlepas dari kandungan kimianya.

Kemungkinan senyawa yang dihasilkan oleh semut yang mengonversi senyawa yang
dihasilkan Myrmecodia pendans menjadi zat baru yang berkhasiat (Rachman, 2006).
Berdasarkan hasil penelitian, tumbuhan ini mengandung senyawa aktif penting seperti
flavonoid, tokoferol, fenolik, dan kaya berbagai mineral yang sangat berguna sebagai
antioksidan dan anti kanker (Utomo et al., 2011).
Publikasi mengenai kajian kimia, farmakologi, dan toksikologi tumbuhan sarang
semut masih sangat minim. Karena itu, uji efek kandungan senyawa antioksidan dalam
tumbuhan sarang semut perlu dilakukan. Kandungan senyawa antioksidan dapat
diperoleh dengan cara melakukan ekstraksi dengan pelarut etanol untuk mendapatkan
88

berbagai macam senyawa aktif dan dapat pula dilakukan fraksinasi dari ekstrak yang
didapat dengan pelarut etil asetat untuk mendapatkan bahan aktif yang potensial sebagai
antioksidan yaitu flavonoid. Kandungan senyawa antioksidan dalam tumbuhan sarang
semut seperti flavonoid, diharapkan dapat menjadi penangkal radikal bebas dari
plumbum yang menyebabkan oksidasi yang berlebihan dan menurunkan fertilitas
individu. Oleh karena itu perlu diadakan penelitian tentang efek ekstrak dan fraksi
tumbuhan sarang semut (Myrmecodia pendans) terhadap kualitas spermatozoa yang
mencakup motilitas, viabilitas, dan morfologi spermatozoa.

Metode Penelitian
Penelitian ini dilakukan bulan Februari hingga Mei

2013. Pemeliharaan dan

perlakuan terhadap hewan coba dilakukan di laboratorium Biokimia Fakultas


Kedokteran Universitas Airlangga. Pembuatan ekstrak dan fraksi tumbuhan sarang
semut dilakukan di laboratorium Fitokimia Fakultas Farmasi Universitas Airlangga.
Hewan coba yang digunakan adalah tikus putih (Rattus norvegicus) jantan strain Wistar,
sejumlah 36 ekor, umur 12 minggu, dengan rentang berat badan 160-180 g.
Bahan utama yang digunakan adalah batang tumbuhan sarang semut yang
diperoleh dari Desa Modayak Bolaangmongondow, Sulawesi Utara. Bahan lain yang
digunakan adalah plumbum asetat (Merck), bahan kimia untuk ekstraksi tumbuhan
sarang semut berupa etanol 96% dan bahan kimia untuk fraksinasi tumbuhan sarang
semut berupa etil asetat (EA), larutan garam fisiologis (NaCl 0,9%), pewarna Eosin 1%,
dan Nigrosin 10%.
Alat yang digunakan antara lain alat-alat pemeliharaan berupa bak plastik dengan
penutup dari kawat kasa dan botol minuman, alat-alat untuk perlakuan berupa
botolbotol kecil tempat larutan, dissposible syringe 1 ml, alat bedah, bak bedah, pipet
tetes, cawan

petri,

gelas

obyek,

gelas

penutup,

hand

counter,

stopwatch,

mikroskop, mikrometer okuler, mikrometer obyektif, mikropipet, evaporator.


Pembuatan ekstrak tumbuhan sarang semut dimulai dengan memotong tipis
batang tumbuhan sarang semut sebanyak 2 kg kemudian dikeringanginkan di udara
terbuka, selanjutnya diubah ke dalam bentuk serbuk dengan menggunakan grainer dan
kemudian diayak. Serbuk kemudian dimaserasi dengan larutan etanol 96% selama 3x24
89

jam. Hasil maserasi kemudian dievaporasi sehingga diperoleh ekstrak tumbuhan sarang
semut. Sedangkan untuk mendapatkan fraksi tumbuhan sarang semut, proses maserasi
dilakukan dengan menggunakan etil asetat (EA). Hasil fraksinasi yang diinginkan
adalah berupa senyawa flavonoid.
Tiga puluh enam ekor tikus jantan diadaptasikan dengan lingkungan selama satu
minggu, kemudian dibagi secara acak menjadi 6 kelompok yang terdiri atas 2 kelompok
kontrol yaitu kontrol negatif (Kn) dan kontrol positif (Kp) dan 4 kelompok perlakuan
(P1, P2, P3 dan P4). Tikus ditempatkan di kandang individual sesuai dengan
kelompoknya. Makanan yang diberikan selama percobaan berupa pelet dan air minum
secara ad libitum.
Semua perlakuan dilakukan setiap hari selama 56 hari disesuaikan dengan lama
proses spermatogenesis pada tikus. Pemberian larutan plumbum asetat, ekstrak, dan
fraksi disuntikkan melalui intraperitonial. Pemberian akuades dilakukan pada kelompok

Kn, kelompok Kp diberi larutan plumbum (Pb) asetat 500 ppm sebanyak 1 ml.
Kelompok P1 diberi 1 ml larutan Pb asetat 500 ppm dan 1 ml ekstrak tumbuhan sarang
semut dosis 135 mg/kg berat badan. Kelompok P2 diberi 1 ml larutan Pb asetat dosis

500 ppm dan 1 ml ekstrak tumbuhan sarang semut dosis 270 mg/kg berat badan.
Kelompok P3 diberi 1 ml larutan Pb asetat dosis 500 ppm dan 1 ml fraksi etil asetat
tumbuhan sarang semut dosis 20 mg/kg berat badan. Kelompok P4 diberi 1 ml larutan
Pb asetat dosis 500 ppm dan 1 ml fraksi etil asetat tumbuhan sarang semut dosis 40
mg/kg berat badan.
Tikus kemudian dikorbankan dengan dianestesi terlebih dahulu dengan
menggunakan kloroform, selanjutnya bagian kulit pada posterior ventral dari tikus
dibedah dan diambil testis beserta epididimis. Dalam larutan fisiologis 4 ml epididimis
bagian cauda dipisahkan dari testis dan dibersihkan dari lemak yang melekat sampai
bersih, kemudian cauda epididimis dicacah dalam 2 ml larutan fisiologis dengan
menggunakan gunting dan pinset sampai terbentuk suspensi spermatozoa. Parameter
kualitas spermatozoa yakni motilitas, viabilitas, dan morfologi kemudian diamati
sesegera mungkin setelah memperoleh suspensi spermatozoa. Pengamatan motilitas
dilakukan dengan mengambil satu tetes suspensi spermatozoa di atas gelas obyek
cekung dan ditutup dengan gelas penutup. Pengukuran dilakukan dengan menggunakan
90

mikroskop perbesaran 100x yang telah dipasang mikrometer okuler. Jarak gerakan
setiap spermatozoa diamati tiap 10 detik dengan menggunakan stopwatch. Kecepatan
motilitas (m/detik) diperoleh setelah melakukan perhitungan dengan mengkonversi

nilai skala mikrometer pada lensa okuler dengan nilai skala pada lensa obyektif.
Kemudian membagi semua hasilnya dengan 10 untuk mengetahui kecepatan motilitas
per detik dari spermatozoa.
Pengamatan viabilitas dan morfologi spermatozoa dilakukan dengan membuat
preparat hapusan (smear) dengan cara satu tetes suspensi spermatozoa diteteskan di satu
ujung gelas obyek kemudian ditambah dengan satu tetes larutan pewarna Eosin 1% dan
1 tetes larutan pewarna Nigrosin 10% lalu dihomogenkan dengan ujung gelas obyek
yang lain kemudian dibuat hapusan secara merata sepanjang gelas obyek lalu
dikeringanginkan selama 2-4 menit. Viabilitas dan morfologi spermatozoa diamati di
bawah mikroskop cahaya dengan perbesaran 400x. Spermatozoa yang berwarna merah
atau terwarnai oleh pewarna menunjukkan spermatozoa yang mati dan sebaliknya yang
tidak berwarna adalah spermatozoa yang masih hidup. Morfologi tidak normal
spermatozoa meliputi kelainan pada kepala, leher, dan ekor serta adanya sisa sitoplasma
yang berupa sitoplasmic droplet. Penghitungan persentase viabilitas dan morfologi
spermatozoa dilakukan pada 100

sel spermatozoa tikus putih jantan, dengan

pengulangan sebanyak sepuluh kali. Data hasil pengamatan ketiga parameter tersebut

dianalisis dengan menggunakan uji ANOVA satu arah untuk mengetahui adanya
perbedaan nilai rata-rata antar kelompok perlakuan. Apabila terdapat beda bermakna,
selanjutnya dilakukan uji Least Significantly Difference (LSD) atau uji beda nyata
terkecil untuk mengetahui perbedaan pengaruh antar dosis perlakuan.

Hasil Penelitian
Parameter kualitas spermatozoa yang meliputi motilitas, viabilitas, dan morfologi
spermatozoa tikus yang diberi perlakuan plumbum asetat, ekstrak, dan fraksi tumbuhan
sarang semut dengan variasi dosis disajikan pada Tabel 1. Hasil uji ANOVA satu arah
menunjukkan bahwa motilitas, viabilitas, dan morfologi spermatozoa tikus yang
terpapar plumbum dan diberi ekstrak dan fraksi etil asetat tumbuhan sarang semut

91

berbeda secara signifikan

(p < 0,05). Uji Least Significant Difference

(LSD)

menunjukkan perbedaan secara signifikan antar kelompok perlakuan (p < 0,05).

Tabel 1. Rerata dan hasil analisis statistik kualitas spermatozoa tikus yang diberi
plumbum dan berbagai dosis ekstrak dan fraksi etil asetat tumbuhan sarang
semut.
Macam Perlakuan
Kontrol (aquades)
Kontrol positif (500 ppm plumbum asetat)
500 ppm plumbum dan 135 mg/kg ekstrak
500 ppm plumbum dan 270 mg/kg ekstrak
500 ppm plumbum dan 20 mg/kg fraksi EA
500 ppm plumbum dan 40 mg/kg fraksi EA

Parameter Kualitas Spermatozoa


Motilitas
Morfologi
Viabilitas (%)
(m/detik)
Normal (%)
60,790,74a
84,600,85a
86,571,14a
b
b
48,030,35
77,580,82
78,580,60b
70,180,72c
81,830,59c
92,070,84c
d
d
86,501,12
94,381,17d
87,450,80
66,581,21e
80,520,56e
92,970,70c
f
f
75,020,91
82,970,41
95,280,85d

Keterangan:
Notasi huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata pada taraf 0,05 (berdasarkan
uji LSD).

Pembahasan
Paparan plumbum pada tikus secara kronis dapat menggangu sistem reproduksi
tikus jantan yaitu proses spermatogenesis yang akhirnya dapat mengakibatkan
penurunan kualitas spermatozoa. Penelitian Sharma dan Garu (2011) melaporkan bahwa
paparan plumbum terutama berpengaruh terhadap testis, kemudian berpengaruh
menekan aksi antara hipotalamus dengan hipofisis anterior dengan testis. Sehingga
mengakibatkan histologi testis, morfologi spermatozoa, dan hubungan berbagai sel di
dalam testis tidak normal. Perkawinan antara jantan yang dipapar plumbum dengan
betina yang tidak terpapar menunjukkan penurunan fertilitas pada jantan yang terpapar.
Hasil Penelitian Alhassan et al., (2010)

menunjukkan

bahwa

plumbum

menyebabkan terjadinya penurunan secara signifikan terhadap berat epididimis, jumlah


spermatozoa, motilitas spermatozoa dan tingkat testosteron tikus, serta terjadi
peningkatan secara signifikan terhadap struktur abnormal dari spermatozoa tikus jantan
dewasa galur Wistar.
Plumbum dapat menyebabkan kelainan pada testis karena mempengaruhi
mekanisme pretestikuler dan testikuler. Pada tingkat pretestikuler, plumbum yang
92

tertimbun dalam darah dapat melewati aliran darah otak dan mengganggu metabolisme
sel-sel saraf melalui penghambatan respirasi mitokondria sel saraf. Hambatan pada
tingkat biokimiawi ini dapat menimbulkan gangguan pada poros hipotalamus-hipofisistestis (Camin, 1993).
Menurut Murray et al. (2003) terganggunya poros tersebut akan menyebabkan
terganggunya sekresi hormon-hormon hipofisis anterior yang penting dalam proses
spermatogenesis yaitu FSH dan LH. Penurunan hormon-hormon tersebut dapat
mengganggu proses spermatogenesis pada testis. Penelitian terbaru menunjukkan tikus
Wistar hamil diberi plumbum asetat 0,05% dan 0,15% selama masa kehamilan, setelah
melahirkan dan selama masa menyusui. Anak tikus jantan yang dilahirkan oleh tikus
yang terpapar plumbum mengalami peningkatan kadar MDA (malondialdehyde) pada
testis jika dibandingkan dengan anak tikus jantan pada perlakuan kontrol, sedangkan
aktivitas superoksida dismutase (SOD) dan katalase mengalami penurunan pada anak
tikus jantan dari tikus yang terpapar plumbum bila dibandingkan dengan tikus kontrol.
(Anjum dan Reddy, 2013).
Pada hasil pengamatan motilitas spermatozoa dapat dilihat bahwa pemberian
ekstrak dan fraksi dari batang tumbuhan sarang semut dengan dosis 270 mg/kg bb dan
40 mg/kg bb memberikan hasil yang lebih baik dalam meningkatkan motilitas
spermatozoa tikus yang terpapar plumbum, bahkan melebihi kecepatan motilitas pada
kelompok kontrol (aquades). Hal ini menunjukkan bahwa pemberian ekstrak maupun
fraksi dari tumbuhan sarang semut dengan dosis tinggi tidak berbahaya bahkan
memberikan hasil yang lebih baik.
Hasil pengamatan viabilitas spermatozoa menunjukkan bahwa pemberian ekstrak
dari batang tumbuhan sarang semut dengan dosis 270 mg/kg bb memberikan hasil yang
lebih baik dalam meningkatkan motilitas spermatozoa tikus yang terpapar plumbum.
Kandungan ekstrak tumbuhan sarang semut lebih kaya daripada kandungan dari fraksi
etil asetat yang lebih spesifik terhadap satu jenis zat atau senyawa saja. Mekanisme
antioksidan dalam hal ini bisa bekerja maksimal karena kandungan kompleks yang
terdapat pada ekstrak tumbuhan sarang semut. Hasil pengamatan morfologi normal
spermatozoa menunjukkan bahwa pemberian fraksi etil asetat maupun ekstrak
tumbuhan sarang semut dengan dosis 40 mg/kg bb dan 270 mg/kg bb meningkatkan
93

persentase morfologi normal spermatozoa bila dibandingkan dengan

perlakuan

plumbum asetat saja.


Hasil dari fraksinasi oleh etil asetat tumbuhan sarang semut ini adalah senyawa
flavonoid yang memiliki sifat antioksidan yang baik bagi tubuh. Mekanisme flavonoid
saat berperan sebagai antioksidan dan melawan radikal bebas yaitu dengan cara
menyumbangkan banyak atom hidrogen kepada senyawa radikal bebas yang terbentuk
(Ami et al., 2003). Keberadaan flavonoid sangat penting saat terjadi stres oksidatif
karena serangan plumbum. Stres oksidatif sesungguhnya dapat dihilangkan melalui
produksi enzim antioksidan alami yang ada di dalam testis seperti superoksida
dismutase (SOD) dan katalase yang terhambat oleh adanya logam plumbum yang
bertindak sebagai inhibitor enzim. Pemberian ekstrak maupun fraksi etil asetat batang
tumbuhan sarang semut terhadap tikus yang terpapar plumbum terbukti dapat
meningkatkan motilitas, viabilitas, dan morfologi spermatozoa tikus.

Kesimpulan dan Saran


Kesimpulan dari penelitian ini adalah pemberian ekstrak 270 mg/kg berat badan
dan fraksi etil asetat 40 mg/kg berat badan dari tumbuhan sarang semut berpengaruh
meningkatkan kecepatan motilitas, viabilitas, dan morfologi normal spermatozoa tikus
putih yang terpapar plumbum, semakin tinggi dosis semakin baik kualitasnya.
Berdasarkan hasil penelitian, penulis menyarankan untuk lebih menggali
manfaat lain dari tumbuhan sarang semut. Potensi tumbuhan sarang semut dalam
menyembuhkan berbagai macam penyakit yang dipercaya oleh masyarakat umum
selama ini masih memerlukan penelitian dan pembuktian secara ilmiah.

Daftar Pustaka
Adnan, S., 2001, Pengaruh Pajanan Timbal terhadap Kesehatan dan Kualitas Semen
Pekerja Laki-Laki, Majalah Kedokteran Indonesia, 51(5):168-174.
Ahameda, M., dan M.K.J. Siddiqul, 2007, Low Level Lead Exposure and Oxidative
Stress: Current Opinions, Clinica Chimica Acta, 383:57-64.

94

Alhassan A, M. Mabrouk, R. Idris, E. Salawu, A. Oyerinde, Z. Bauchi, 2010, Aqueous


Extraxt of Juglans Nigra Prevents Lead Induced Testicular Toxicity in Rats,
Macedonian Journal of Medicinal Sciences, 3(3):289-294.
Ami, Dragan., Duanka Davidovi-Ami, Drago Belo, dan Nenad Trinajsti, 2003,
Structure-Radical Scavenging Activity Relationship of Flavonoids, Croatia
Chemica Acta, CCACAA, 76 (1):55-61.
Anjum, MR. dan Reddy PS., 2013, Effect of Perinatal Exposure to Lead Acetate on
Testicular Lipid Peroxidation in Adult Rats, Int J Pharm Bio Sci, 4(1):893-898.
Anonimus, 2009, Pencemaran Pb (timbal), Artikel Balai Pemantauan Lingkungan
Hidup (BPLHD) Sub.Bid. Pemantauan Pencemaran, Jawa Barat.
www.bplhjabar.go.id/indexphp/bidangpengendalian?Start=24. Diakses 21 Mei
2013.
Camin, R., 1993, Pengaruh Pemberian Timbal Asetat Intragaster terhadap
Spermatogenesis, Kualitas Spermatozoa dan Kadar Timbal Darah Tikus, Tesis,
Universitas Indonesia, Jakarta.
Hayati, A., 2011, Spermatologi, Airlangga University Press, Surabaya.
Murray RK, Granner DK, dan Mayes PA, 2003, Biokimia Harper. Ed. 15, EGC(3),
Jakarta, pp:741-748.
Rachman AA., 2006, Senyawa Aktif Bersarang di Sarang Semut, Majalah Natural,
15:18-20.
Sharma, R. dan U. Garu, 2011, Effect of Lead Toxicity on Developing Testes in Swiss
Mice, Universal Journal of Environmental Research and Technology, 1(4):390398.
Simanjuntak, P., Fanny, dan MA. Subroto,2010, Isolasi Senyawa Aktif dari Ekstrak
Hipokotil Sarang Semut (Myrmecodia pendans Merr. & Perry) sebagai
Penghambat Xantinoksidase, Jurnal Ilmu Kefarmasian Indonesia, 8(1):49-54.
Utomo, A.B., A. Suprijono, dan A. Risdianto, 2011, Uji Aktivitas Antioksidan
Kombinasi Ekstrak Sarang Semut (Myrmecodia pendans) dan Ekstrak Teh Hitam
(Camellia sinensis O.K. var.assamica (Mast.)) dengan Metode DPPH (1,1-difenil2-pikrilhidrazil), Jurnal Stifar (Sekolah Tinggi Ilmu Farmasi Yayasan Pharmasi
Semarang), 6(1):1-9.

95

Anda mungkin juga menyukai