Anda di halaman 1dari 25

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/336209977

STUDI PERBANDINGAN KARAKTER SECARA MAKROSKOPIS DAN MIKROSKOPIS


ANTARA TANAMAN OBAT Oldenlandia corymbosa L. DENGAN Mollugo
pentaphylla L.

Conference Paper · December 2018

CITATIONS READS
0 805

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

RISTOJA 2017 View project

All content following this page was uploaded by Anshary Maruzy on 02 October 2019.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


Seminar Nasional Biologi Tropika 2018

STUDI PERBANDINGAN KARAKTER SECARA MAKROSKOPIS DAN


MIKROSKOPIS ANTARA TANAMAN OBAT Oldenlandia corymbosa L.
DENGAN Mollugo pentaphylla L.

Anshary Maruzy1*, Regina Yescika Wensiliana2, Dyah Subositi1


1
Balai Besar Penelitian Dan Pengembangan Tanaman Obat Dan Obat Tradisional,
Badan Penelitian Dan Pengembangan Kesehatan, Kementerian Kesehatan RI, Indonesia.
Jl. Raya Lawu No. 11, Tawangmangu, Karanganyar, Jawa Tengah, 57792
2
Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Fakultas Teknobiologi, Program Studi Biologi,
Yogyakarta. Kampus II Gedung Thomas Aquinas Jalan Babarsari 44 Yogyakarta, 55281
Email address: un_sorry03@yahoo.com

Abstrak
Rumput mutiara atau daun mutiara (Oldenlandia corymbosa L.), merupakan salah satu tanaman
obat yang banyak dimanfaatkan secara empiris sebagai ramuan obat penyakit kanker. Balai Besar
Penelitian dan Pengembangan Tanaman Obat dan Obat Tradisional (B2P2TOOT) telah melakukan
penelitian Saintifikasi Jamu untuk mengetahui keamanan dan khasiat ramuan yang mengandung
O. corymbosa L. dalam mengobati penyakit kanker. Standardisasi tanaman obat O. corymbosa L.
diperlukan untuk menyediakan bahan baku berkualitas melalui salah satunya mengetahui
autentikasi O. corymbosa L. dengan Mollugo pentaphylla L. berdasarkan karakter makroskopis dan
mikroskopis. Dengan demikian, tujuan penelitian ini adalah membandingkan karakter makroskopis
dan mikroskopis antara O. corymbosa L. dengan M. pentaphylla L. Sampel 2 jenis tersebut diamati
dengan terlebih dahulu mencari individu yang sudah berbunga (purposive sampling), kemudian
melakukan pengamatan dan pendeskripsian secara morfologi (vegetatif dan generatif). Selain itu,
dilakukan pengirisan cross section bagian tangkai daun dan ibu tulang daun serta pengirisan secara
longitudinal bagian epidermis bawah dan atas helaian daun serta pengamatan serbuk sari/polen.
Penelitian dilakukan di Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Tanaman Obat dan Obat
Tradisional. Pelaksanaan penelitian dilaksanakan pada bulan Januari-Februari 2018. Laboratorium
utama yang digunakan untuk penelitian adalah sistematika tumbuhan, sedangkan laboratorium
pendukung penelitian adalah fitokimia, galenika dan biologi molekuler. Perbedaan secara
makroskopis antara tanaman O. corymbosa L. dengan M. pentaphylla L. dapat ditemukan pada
bentuk helaian dan kelompok daun, panjang dan lebar helaian daun, permukaan, bentuk dan warna
biji serta bentuk buah tanaman segar. Perbedaan warna dan kerapuhan daun, serta warna batang
pada simplisia. Perbedaan rasa dan penampakan pada serbuk. Perbedaan secara mikroskopis antara
tanaman Mollugo pentaphylla dan Oldenlandia corymbosa meliputi tipe stomata dan kalsium
oksalat pada epidermis daun serta tipe berkas pembuluh pada anatomi batang. Trakea, permukaan
biji, tipe stomata, trikoma, papila, jaringan palisade dan fragmen mesofil pada pengamatan fragmen
pengenal serbuk. Bentuk, jumlah dan tipe apertur serta ornamen pada polen.

Kata Kunci: Oldenlandia corymbosa; Mollugo pentaphylla; Makroskopis; Mikroskopis

PENDAHULUAN
Indonesia merupakan negara dengan yang memiliki beraneka ragam suku serta
budaya, jumlah pulau yang banyak, ekosistem hutan tropis yang sangat luas. Hal tersebut
menjadikan Indonesia merupakan negara yang penduduknya secara tradisional sangat
tergantung dari sumber daya alam yang ada terutama dalam pemanfaatan tumbuhan
Seminar Nasional Biologi Tropika 2018

sebagai sumber pangan, sandang, papan, dan terutama untuk pencegahan serta pengobatan
penyakit (Goltenboth dkk, 2006). Indonesia merupakan negara dengan jumlah sekitar 80%
tumbuhan obat dari jumlah total tumbuhan obat di dunia (Elfahmi dkk, 2014).
Indonesia adalah negara yang memiliki keanekaragaman hayati yang sangat tinggi
dan termasuk ke dalam wilayah Malesia. Wilayah Malesia (Indonesia, Malaysia, Filipina,
dan New Guinea) memiliki 10 % dari keseluruhan jumlah jenis tumbuhan berbunga di
dunia (Goltenboth dkk, 2006). Indonesia memiliki lebih dari 45.000 jenis tumbuhan tingkat
tinggi termasuk paku-pakuan, atau sekitar 25.000 hingga 30.000 jenis tumbuhan berbunga
di Indonesia (Suhendang, 2002; Elfahmi dkk, 2014). Selain itu, Pulau Jawa memiliki
sekitar 4.600 jenis tumbuhan berbunga (Goltenboth dkk, 2006). Pulau Jawa memiliki
jumlah suku tumbuhan sebanyak 238 suku tumbuhan. Salah satu suku tersebut adalah
Rubiaceae (Backer and Brink, 1963).
Oldenlandia corymbosa L. atau rumput mutiara merupakan tanaman yang termasuk
ke dalam suku Rubiaceae. O. corymbosa terdistribusi di Asia Tenggara dan sebagian
kawasan subtropis (Soerjani dkk, 1987). Secara empiris telah banyak digunakan sebagai
salah satu tanaman untuk bahan obat tradisional dalam kehidupan masyarakat di Indonesia.
Selain itu, telah banyak produk-produk obat yang mengandung bahan dari O. corymbosa
di Indonesia.
Khasiat secara ilmiah dari O. corymbosa telah banyak diteliti pada kultur sel kanker
dan menyimpulkan bahwa O. corymbosa dapat digunakan sebagai anti kanker (Yang dkk,
1997; Lin, Ng and Yang, 2004; Ahmad dkk, 2005; Lajis and Ahmad, 2006; Sadasivan dkk,
2006; Gupta dkk, 2012; Li dkk, 2015; Moniruzzaman dkk, 2015). Selain itu, dalam
Saintifikasi Jamu sedang berproses ke arah klinis bahwa O. corymbosa merupakan salah
satu komponen ramuan anti kanker. Dalam usaha Saintifikasi Jamu dan menjaga kualitas
bahan baku tumbuhan obat yang mengandung O. corymbosa, ada beberapa tahapan yang
harus dilakukan, salah satu yang terpenting adalah autentikasi dari bahan baku tumbuhan
obat, secara makroskopis dan mikroskopis.
Bahan baku dari O. corymbosa berpotensi terjadi pemalsuan atau salah dalam
penggunaan jenis tumbuhan. Potensi pemalsuan dan salah penggunaan tumbuhan obat
dapat terjadi akibat dari persamaan nama daerah dan kemiripan morfologi vegetatif (Upton
dkk, 2011). Mollugo pentaphylla L. merupakan tumbuhan yang sering diidentifikasi
sebagai rumput mutiara atau O. corymbosa di Indonesia. Selain itu, berdasarkan Soerjani,
Seminar Nasional Biologi Tropika 2018

dkk. (1987), nama daerah dari M. pentaphylla adalah daun mutiara dan memiliki morfologi
yang mirip dengan O. corymbosa.
Adulterasi merupakan istilah lain dari pemalsuan yang berarti suatu kegiatan yang
dilakukan untuk melakukan penggantian atau pencampuran bahan baku obat asli baik
sebagian ataupun keseluruhan dengan bahan baku lain yang memiliki kemiripan secara
morfologi namun tidak secara khasiat. Timbulnya kasus adulterasi dilatarbelakangi oleh
keegoisan untuk memperoleh keuntungan yang besar (Prakash dkk, 2013). Salah satu cara
untuk mengetahui ada tidaknya kegiatan adulterasi adalah dengan melakukan autentikasi.
Autentikasi merupakan kegiatan yang dilakukan guna memastikan bahan baku yang
digunakan merupakan asli tanpa adanya kontaminasi dari bahan baku lain yang dapat
menyebabkan inkonsistensi khasiat yang ditimbulkan (Mok and Chau, 2006).
Dampak dari salah penggunaan tanaman obat atau pemalsuan adalah pengaruh
yang berbeda terhadap penyakit yang dituju atau bahkan tidak ada pengaruh, atau dapat
saling melengkapi (Upton dkk, 2011). Dengan demikian, untuk mendapatkan bahan baku
O. corymbosa yang standar, maka perlu salah satu yang terpenting perlu ada data
autentikasi makroskopis dan mikroskopis dari jenis tumbuhan yang berpotensi sebagai
adulteran dari O. corymbosa, yaitu M. pentaphylla. Tujuan dari penelitian ini adalah
melakukan autentikasi dan membandingkan karakter makroskopis dan mikroskopis dari O.
corymbosa dan M. pentaphylla.

METODE
Pengamatan spesimen O. corymbosa L. dengan M. pentaphylla L. dilakukan secara
purposive sampling dari Kebun Produksi Tanaman Obat B2P2TOOT, Tawangmangu,
Karanganyar, Jawa Tengah. Pelaksanaan penelitian dilaksanakan pada bulan Januari-
Februari 2018. Data morfologi yang diamati meliputi data kualitatif dan kuantitatif dari
karakter O. corymbosa L. dan M. pentaphylla L. Griff, terdiri dari: (1) bentuk helaian daun,
panjang dan lebar helaian daun, permukaan daun, morfologi bunga, bentuk dan warna biji
serta bentuk buah tanaman segar. Pengambilan data morfologi dilakukan dengan cara
mengamati dan mencatat karakter tersebut ke dalam formulir isian, membuat herbarium,
dan mendokumentasikan hasil pengamatan dengan kamera 8 MP; (2) simplisia untuk
mengetahui perbedaan morfologi dari kedua jenis ketika telah mengalami proses
pengeringan. Proses pengeringan dilakukan menggunakan oven untuk mendapatkan hasil
Seminar Nasional Biologi Tropika 2018

yang maksimal. (3) penampang melintang karakter anatomi daun, yaitu anatomi tangkai
daun, ibu tulang, epidermis atas, dan epidermis bawah. Pengambilan data anatomi
dilakukan dengan cara pembuatan preparat/irisan penampang melintang dan melakukan
pengamatan serta dokumentasi foto dengan menggunakan Nikon Eclipse E200 yang
terkoneksi dengan kamera Nikon Digital Sight DS-Fi2 serta seperangkat PC DELL dengan
prosesor core i3; (4) pengamatan serbuk simplisia secara makroskopis dan mikroskopis.
Pengamatan fragmen serbuk dilakukan secara mikroskopis dengan Nikon Eclipse E200
yang terkoneksi dengan kamera Nikon Digital Sight DS-Fi2 serta seperangkat PC DELL
dengan prosesor core i3. (5) serbuk sari diambil dari bunga segar dan dipreservasi dengan
metode modifikasi dari (Punt, 1962). Serbuk sari diwarnai dengan Safranin 1 % dan
diamati serta difoto dengan Nikon Eclipse E200 yang terkoneksi dengan kamera Nikon
Digital Sight DS-Fi2 serta seperangkat PC DELL dengan prosesor core i3.

Analisis Data
Data dianalisis secara deskriptif kualitatif.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Pengamatan makroskopis sampel segar, simplisia dan serbuk
Identifikasi makroskopis dilakukan pada seluruh bagian tanaman ketika akan
digunakan sebagai sampel. Pengamatan makroskopis dilakukan dengan melakukan
pengamatan morfologi maupun organoleptik (Bisset and Wichtl, 1994)
Pada pengamatan kali ini, dilakukan identifikasi makroskopis pada sampel segar,
simplisia dan serbuk simplisia dari tanaman O. corymbosa L. dengan M. pentaphylla L.
Hal ini dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan antara kedua sampel ketika
masih segar, ketika dikeringkan dan ketika diserbukan. Hasil ini dapat digunakan sebagai
informasi untuk dapat membedakan kedua tanaman tersebut ketika beredar di pasaran,
sehingga meminimalisir terjadinya salah tafsir dan mengurangi terjadinya adulterasi
(Prakash dkk, 2013).
Berdasarkan hasil pengamatan makroskopis tanaman segar maka didapatkan hasil
sebagai berikut:
Seminar Nasional Biologi Tropika 2018

Tabel 1. Hasil deskripsi morfologi tanaman O. corymbosa L. dengan M. pentaphylla L.


Bagian yang diamati
Nama Tanaman
Daun Batang Bunga
Bentuk: Lanceolate, Warna: Hijau Tipe: Aktinomorf,
opposite, mucronate, entire, Bentuk: 4- Umbel
sessile, attenuate angulate Kelopak: berjumlah 4
Warna: Hijau dengan warna hijau
O. corymbosa
Tekstur: Halus (tidak Mahkota: berjumlah 4
berambut) dengan warna putih
Panjang: 1,95 cm (mekar) atau keunguan
Lebar: 0,45 cm
Bentuk: Oblanceolate- Warna: Hijau
rosette (dalam 1 nodus Bentuk: 4-
terdapat 3-6 helai daun), angulate
mucronate, entire,
subsessile, attenuate
M. pentaphylla
Warna: Hijau
Tekstur: Halus (tidak
berambut)
Panjang: 3,35 cm
Lebar: 0,55 cm

a b

Gambar 1. Penampakan Tanaman Segar (a) Oldenlandia corymbosa (b) Mollugo pentaphylla
dilihat dengan mata telanjang
Seminar Nasional Biologi Tropika 2018

a b

Gambar 2. Mahkota bunga Oldenlandia corymbosa (a) kuncup (b) mekar yang teramati
menggunakan mikroskop stereo Nikon SMZ645

Berdasarkan tabel dan penampakan segar dari bunga kedua tanaman, maka dapat
diketahui bahwa kedua tanaman tersebut memiliki perbedaan secara morfologi. Hasil yang
didapatkan ketika melakukan identifikasi didukung dengan pernyataan dari Depkes (1995)
yang menyatakan bahwa tanaman Oldenlandia corymbosa memiliki daun tunggal yang
berhadapan (opposite), berbentuk lanset (lanceolate) dengan ujung dan pangkal daun
runcing serta tepi daun yang rata. Ukuran panjang daun tanaman ini berkisar antara 1
sampai 3 cm dengan lebar berkisar antara 0,15 sampai 0,5 cm. Memiliki batang berbentuk
persegi empat dengan warna hijau kecoklatan samai hijau keabu-abuan dan memiliki
mahkota bunga berwarna putih atau ungu pucat (Soerjani dkk, 1987).
Hasil identifikasi tanaman M. pentaphylla didukung dengan pernyataan dari
(Soerjani dkk, 1987), yang menyatakan bahwa tanaman ini memiliki batang bersudut
dengan daun yang rata dan kedudukannya sebagian berhadapan. Bagian bawah daun
berbentuk rosette, daun berbentuk lanceolate sampai linear-lanceolate dengan kedua
ujungnya menyempit dan posisi daun pada batang memiliki tangkai daun yang sangat
pendek sampai subsessile. Pada identifkasi kali ini, bagaian bunga dari M. pentaphylla
tidak diidentifikasi, hal ini disebabkan karena tidak ditemukannya bunga pada sampel
segar. Tidak ditemukannya bunga pada sampel segar yang digunakan dapat disebabkan
karena pengambilan sampel tidak tepat berbunga.
Seminar Nasional Biologi Tropika 2018

a b

Gambar 3. Bentuk buah (a) Oldenlandia corymbosa (b) Mollugo pentaphylla yang terihat
menggunakan mikroskop stereo Nikon SMZ645

Berdasarkan Gambar 3, dapat diketahui bahwa buah kedua tanaman tersebut


memiliki perbedaan. Namun, perbedaan ini dapat dilihat hanya menggunakan mikroskop
stereo, dikarenakan ukuran buah terlalu kecil untuk dapat diamati dengan mata telanjang.
Perbedaan hasil identifkasi dari kedua buah tanaman tersebut diperkuat dengan pernyataan
dari Depkes (1995), yang menyatakan bahwa morfologi buah dari tanaman O. corymbosa
memiliki sisa kelopak berupa tonjolan kecil runcing pada permukaan luar bagian ujung,
sedangkan M. pentaphylla memiliki bentuk bulat tak beraturan karena memiliki biji
didalamnya.

a b

Gambar 4. Permukaan luar dari biji (a) Oldenlandia corymbosa (b) Mollugo pentaphylla
Berdasarkan gambar 4, dapat terlihat dengan jelas perbedaan morfologi biji dari
kedua tanaman tersebut. Sama seperti buah, morfologi biji dapat teramati dengan jelas
ketika dilihat menggunakan mikroskop stereo dikarenakan ukuran biji yang terlalu kecil
untuk dilihat dengan mata telanjang Hasil identifikasi didapatkan bahwa morfologi biji
tanaman O. corymbosa berbentuk lonjong dengan permukaan berurat jala dan berwarna
coklat, sedangkan morfologi tanaman M. pentaphylla berbentuk seperti ginjal dengan
Seminar Nasional Biologi Tropika 2018

permukaan berbenjol dan berwarna lebih gelap. Hasil identifikasi ini didukung dengan
pernyataan dari Soerjani, dkk. (1987), yang menyatakan bahwa tanaman O. corymbosa
memiliki biji berbentuk lonjong dengan permukaan berurat jala dan berwarna coklat. Hasil
identifikasi morfologi biji tanaman M. pentaphylla didukung dengan pernyataan dari
Sukhorukov & Kushunina (2017) dan Soerjani, dkk. (1987) yang menyatakan bahwa biji
tanaman M. pentaphylla berbentuk reniform (berbentuk seperti ginjal) dengan permukaan
berbenjol dan berwarna coklat gelap.
Pengamatan selanjutnya dilakukan pada simplisia kedua tanaman tersebut.
Simplisia tanaman didapatkan melalui proses pengeringan terlebih dahulu untuk
mengurangi kadar air yang terkandung pada bahan agar tidak ditumbuhi mikroorganisme
dan dapat menghambat kerja enzim pembusukan. Kedua hal tersebut memungkinkan untuk
bahan dapat disimpan dalam jangka waktu yang lama dan mempermudah penyimpanan
karena volume yang lebih kecil (Riansyah dkk, 2013).
Proses pengeringan bahan diawali dengan memisahkan antara akar dengan bagian
tumbuhan lain karena yang dipakai hanya herba. Setelah itu, dilakukan penyortiran bagian
bahan yang masih segar untuk dipisahkan dari bagian yang sudah tidak segar, selanjutnya
dipotong-potong dengan panjang kira-kira 10 cm untuk memperkecil ukuran sehingga
penguapan air dapat terjadi secara sempurna. Selanjutnya dilakukan pencucian untuk
menghilangkan kontaminan seperti tanah, kemudian dikeringkan menggunakan oven
untuk mencapai pengeringan maksimal tanpa adanya gangguan lingkungan.
Berdasarkan proses pengeringan yang telah dilakukan, maka simplisia yang
dihasilkan adalah sebagai berikut:

a b

Gambar 5. Simplisia tanaman (a) Mollugo pentaphylla (b) Oldenlandia corymbosa yang
didapatkan dengan cara tanaman segar dikeringkan menggunakan oven.
Seminar Nasional Biologi Tropika 2018

Pada pengamatan simplisia ini, hal-hal yang diamati adalah kondisi daun, batang dan buah.
Berdasarkan gambar 5, dapat diketahui bahwa tanaman M. pentaphylla memiliki daun
berwarna hijau kekuningan atau 7,5 GY 6/6 berdasarkan Colour chart, tidak rapuh,
berkerut dan menggulung dengan batang berwarna hijau kekuningan atau 7,5 GY5/6 - 10
R4/6 berdasarkan Colour chart, bersudut dan rata, memiliki buah berbentuk bulat dan tidak
berkerut. Tanaman O. corymbosa memiliki daun berwarna hijau atau 5 G4/6– 5 G3/4
berdasarkan Colour chart, berkerut dan rapuh dengan batang berwarna hjau kekuningan
atau 7,5 GY5/4 berdasarkan Colour chart, bersudut dan rata serta memiliki buah berbentuk
seperti mangkuk dan tidak berkerut.
Pembuatan serbuk dari simplisia (tanaman yang sudah dikeringkan) dapat
dilakukan dari simplisia utuh maupun yang sudah dikecilkan ukurannya. Penyerbukan ini
dilakukan menggunakan alat yang tidak menyebabkan kerusakan atau kehilangan
kandungan kimia dari bahan, yang kemudian dilakukan pengayakkan. Derajat kehalusan
dari simplisia dapat diatur berdasarkan keinginan dan kebutuhan penggunaan serbuk
simplisia selanjutnya (Depkes RI, 2008). Simplisia yang sudah didapatkan, kemudian
dihaluskan hingga berbentuk serbuk, kemudian dilakukan pengamatan secara morfologi
dan uji organoleptik. Pengamatan morfologi dan uji organoleptik serbuk dari tanaman
diperlukan untuk mengetahui perbedaan kedua tanaman tersebut ketika dijajakan dalam
bentuk serbuk dipasaran. Proses pembuatan serbuk diawali dengan simplisia diblender
sampai halus, kemudian diayak menggunakan mesh 90 yang bertujuan untuk mendapatkan
derajat kehalusan yang sama untuk setiap sampel.

a b

Gambar 6. Hasil serbukan menggunakan grinder dan ayakan 90 mesh tanaman (a) Oldenlandia
corymbosa (b) Mollugo pentaphylla.
Seminar Nasional Biologi Tropika 2018

Berdasarkan hasil serbuk yang didapatkan, maka dilakukan pengamatan morfologi


dan uji organoleptik untuk mengetahui perbedaan dari hasil serbuk kedua tanaman tersebut.
Dari hasi pengamatan morfologi diketahui bahwa, hasil serbuk dari tanaman O. corymbosa
berwarna lebih tua dan lebih kasar dibandingkan dengan tanaman M. pentaphylla yang
berwarna lebih muda dan terlihat lebih halus. Hasil uji organoleptik diketahui bahwa
serbuk tanaman O. corymbosa tidak memiliki rasa, sedangkan serbuk tanaman M.
pentaphylla berasa pahit, dengan kedua serbuk mengeluarkan aroma khas.
Pengamatan mikroskopis anatomi batang, daun dan epidermis daun
Identifikasi simplisia merupakan langkah awal untuk mengetahui dan menentukan
komponen seluler spesifik yang dapat dijadikan acuan atau dasar standarisasi suatu bahan
atau simplisisa (Dwiatmaka and Jumpowati, 1999). Salah satu cara identifikasi adalah
secara mikroskopis dengan tujuan untuk melakukan pengamatan terhadap fragmen
pengenal yang merupakan komponen spesifik atau penciri tanaman tersebut (Partiwisari
dkk, 2014).
Kandungan sel pada tanaman langsung dapat dilihat menggunakan mikroskop
dengan ataupun tanpa pewarnaan. Pemeriksaan anatomi jaringan juga dapat dilakukan
menggunakan mikroskop dengan bantuan penetesan larutan tertentu. Larutan yang biasa
digunakan adalah kloralhidrat. Pembuatan preparat ini tergolong tanpa embedding, karena
tidak diselubungi dengan paraffin dan dilakukan dengan pewarnaan (Sutikno, 2014).
Pembuatan preparat melintang dari daun dan batang segar untuk mengamati
anatomi diawali dengan batang dan daun dipotong tipis-tipis melewati tulang daun
menggunakan silet agar dapat terwarnai guna memperjelas pengamatan. Setelah itu,
dilakukan perendaman menggunakan alkohol 70 % untuk fiksasi agar jaringan tetap awet,
kondisinya sama dengan ketika segar serta membuat jaringan bersifat fiksatif sehingga
mudah menyerap warna. Setelah etanol, jaringan direndam dengan safranin 1 % agar
kontras jaringan dapat ditingkatkan, sehingga mudah untuk pengamatan (Sutikno, 2014).
Seminar Nasional Biologi Tropika 2018

Berdasarkan pengamatan yang dilakukan, maka diperoleh hasil sebagai berikut:

b
e

c
d

Gambar 7. Penampang melintang daun Oldenlandia corymbosa dengan perbesaran 4 kali (a)
Epidermis atas (b) Jaringan palisade (c) Parenkim (d) Berkas pengangkut (e) Epidermis bawah (f)
Jaringan bunga karang.

b
e c

Gambar 8. Penampang melintang daun Mollugo pentaphylla dengan perbesaran 4 kali (a)
Epidermis bawah (b) Parenkim (c) Berkas pengangkut (d) Jaringan palisade (e) Epidermis atas

Berdasarkan gambar 7 dan 8, pengamatan dilakukan menggunakan preparat


melintang dari kedua tanaman yang melalui tulang daun. Pada pengamatan dengan
tanaman O. corymbosa, komponen yang teridentifikasi adalah epidermis atas selapis
dengan sel-sel yang besar yang diikuti dengan jaringan palisade berbentuk silindris selapis,
parenkim yang terletak di bawah berkas pengangkut, jaringan bunga karang dan epidermis
bawah selapis dengan sel yang lebih kecil. Hal ini didukung dengan pernyataan dari
Seminar Nasional Biologi Tropika 2018

(Depkes, 1995), yang menyatakan bahwa penampang melintang melalui tulang daun yang
dapat teramati adalah satu lapis sel epidermis pada permukaan atas, besar dengan beberapa
sel memiliki papil, sedangkan epidermis bawah terdiri dari satu lapis sel dengan ukuran
lebih kecil dan beberapa sel terdapat papil ataupun stomata. Jaringan palisade terdiri dari
selapis sel silindris yang penuh berisi butir klorofil, sedangkan jaringan bunga karang yang
terdiri dari sel kecil dan memiliki banyak ruang antarsel.
Hasil pengamatan pada tanaman M. pentaphylla, komponen yang teramati adalah
epidermis bawah, parenkim berbentuk persegi yang mengelilingi berkas pengangkut,
jaringan palisade dan epidermis atas. Hal ini didukung dengan pernyataan dari Sahu dkk.
(2012), yang menyatakan bahwa komponen yang teramati pada penampang melintang dari
daun M. pentaphylla dengan melewati tulang daun adalah lapisan tunggal epidermis, sel
parenkim berbentuk persegi dan diikuti dengan lapisan sel-sel sklerenkim. Pada bagian
tulang daun terdapat jaringan vaskular yang dikelilingi oleh sel parenkim (Sahu dkk, 2012).

Gambar 9. Penampang melintang batang Oldenlandia corymbosa dengan perbesaran 4 kali

c e
d

Gambar 10. Penampang melintang batang Oldenlandia corymbosa dengan perbesaran 40 kali (a)
Epidermis (b) Korteks (c) Endoderm (d) berkas pengangkut (e) Parenkim
Seminar Nasional Biologi Tropika 2018

Gambar 11. Penampang melintang batang Mollugo pentaphylla dengan perbesaran 4 kali

a
d

Gambar 12. Penampang melintang batang Mollugo pentaphylla dengan perbesaran 40 kali (a)
Parenkim empulur (b) Berkas pengangkut (c) Parenkim korteks (d) Epidermis

Selain preparat daun, untuk mengamati anatomi jaringan pada tanaman juga dapat diamati
dari irisan melintang pada batang. Bagian-bagian yang teramati dari preparat melintang
dari kedua batang tanaman adalah sama, yaitu epidermis, korteks, parenkim dan berkas
pengangkut. Namun, hal yang membedakan dari kedua preparat melintang batang tersebut
adalah tipe berkas pengangkut. Tipe berkas pengangkut yang berbeda ini dapat diketahui
dari perbedaan letak antara xilem dan floem. Tipe berkas pengangkut yang teramati pada
preparat batang tanaman O. corymbosa adalah kolateral tertutup karena memiliki susnan
xilem dan floem yang berdampingan, hal ini didukung dengan pernyataan dari (Depkes,
1995), yang menyatakan bahwa tanaman O. corymbosa memiliki tipe berkas pengangkut
kolateral. Tipe berkas pengangkut yang teramati pada tanaman M. pentaphylla adalah
Seminar Nasional Biologi Tropika 2018

konsentris, yang mana letak salah satu jaringan pengangkut berada ditengah dan jaringan
pengangkut lainnya berada disekelilingnya.
Pengamatan selanjutnya adalah preparat membujur dari epidermis daun atas dan
bawah. Pengamatan ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan jaringan epidermis kedua
daun dari tanaman, seperti tipe stomata. Pengerjaan tahap ini diawali dengan daun segar
kedua tanaman dipotong secara membujur pada epidermis atas dan bawah, selanjutnya
direndam dengan kloralhidrat selama ± 2 hari. Kloralhidrat berfungsi untuk menghilangkan
kandungan sel seperti amilum dan protein, sehingga akan dapat terlihat jelas di bawah
mikroskop. Setelah itu, jaringan tumbuhan diamati dibawah mikroskop dengan
penambahan gliserin sebagai medium penutup. Berdasarkan pengamatan yang dilakukan,
maka hasil yang didapatkan adalah sebagai berikut:

Gambar 13. Penampang membujur daun Oldenlandia corymbosa (a) Epidermis bawah dengan
stomata tipe parasitik (b) Kalsium oksalat berbentuk jarum

b
a
a
b

Gambar 14. Penampang membujur daun Molllugo pentaphylla (a) Epidermis bawah dengan
stomata tipe anomositik (b) Epidermis atas dengan stomata tipe anomositik
Seminar Nasional Biologi Tropika 2018

Berdasarkan Gambar 13 dan 14 dapat dilihat perbedaan dari kedua jaringan


epidermis daun. Pada Gambar 13 dapat diketahui stomata tanaman O. corymbosa dapat
ditemukan pada jaringan epidermis bawah dengan tipe parasitik, sedangkan pada Gambar
14 dapat diketahui bahwa stomata dengan tipe anomositik pada tanaman M. pentaphylla
dapat ditemukan pada epidermis atas dan bawah, walaupun kuantitas pada epidermis atas
lebih banyak dibandingkan epidermis bawah. Hal lain yang teramati adalah adanya kalsium
oksalat berbentuk jarum pada epidermis daun O. corymbosa, sedangkan pada epidermis
daun M. pentaphylla tidak ditemukan (Depkes, 1995).
Stomata pada epidermis daun O. corymbosa diketahui bertipe parasitik. Hal ini
dimungkinkan karena setiap sel penjaga berhubungan langsung dengan sel tetangga,
sumbu membujur sejajar dengan sumbu sel tetangga dan dapat ditemukan pada tanaman
dengan suku Rubiaceae dan Magnoliaceae (Haryanti, 2010). Hal ini juga didukung karena
tanaman O. corymbosa merupakan spesies tanaman yang tergolong dalam suku Rubiaceae
(Backer and Brink, 1963). Stomata pada epidermis daun M. pentaphylla diketahui bertipe
anomositik, karena sel penutup dikelilingi oleh sejumlah sel tertentu yang bentuk dan
ukurannya tidak berbeda dengan epidermis lain (Haryanti, 2010).

Identifikasi mikroskopis fragmen serbuk


Pengamatan secara mikroskopis dapat dilakukan menggunakan serbuk dari
simplisia. Perlunya pengamatan serbuk agar dapat diketahui fragmen-fragmen yang dapat
teramati, sehingga menjadi fragmen pengenal dari suatu tanaman. Pengetahuan mengenai
fragmen pengenal dari serbuk suatu tumbuhan ini penting sebagai panduan untuk
melakukan identifikasi ataupun autentikasi bahan baku dalam bentuk serbuk (Rizqa, 2010).
Menurut (Depkes, 1995), fragmen pengenal yang biasanya dapat teramati adalah fragmen
rambut penutup, trikoma, kalsium oksalat, epidermis, stomata dan berkas pembuluh.
Pengamatan tahap ini diawali dengan serbuk diletakkan di atas gelas benda,
kemudian ditetesi kloralhidrat secukupnya yang berfungsi untuk untuk menghilangkan
kandungan sel seperti amilum dan protein, sehingga akan dapat terlihat jelas di bawah
mikroskop. Selanjutnya, sampel di-flamming menggunakan lampu spirtus untuk
mempercepat terjadinya reaksi. Setelah itu dapat diamati di bawah mikroskop binokuler
Nikon Eclips E200.
Seminar Nasional Biologi Tropika 2018

Berdasarkan hasil pengamatan yang telah dilakukan, maka diperoleh hasil sebagai
berikut:

a b

c d

e f

Gambar 15. Hasil pengamatan fragmen tanaman Mollugo pentaphylla dengan perbesaran 40 kali
(a) Berkas pembuluh dengan penebalan spiral (b) Trakea (c) Epidermis atas dengan stomata tipe
anomositik (d) Permukaaan biji tuberculate (e) Jaringan parenkim (f) Sel penutup.
Seminar Nasional Biologi Tropika 2018

a b

c d

e f

g h

Gambar 16. Hasil pengamatan fragmen tanaman Oldenlandia corymbosa dengan perbesaran 40x
(a) Permukaan biji tipe reticulate (b) Jaringan palisade (c) Epidermis bawah dengan stomata tipe
parasitic (d) Papila (e) Kalisum oksalat bentuk jarum (f-g) Berkas pembuluh dengan penebalan
spiral (h) Fragmen mesofil

Berdasarkan Gambar 15, dapat diketahui bahwa fragmen pengenal dari hasil
pengamatan pada serbuk tanaman Mollugo pentaphylla adalah berkas pembuluh dengan
penebalan spiral, trakea, epidermis atas dengan stomata tipe anomositik, permukaan biji
tuberculate, jaringan parenkim dan sel penutup. Beberapa terdapat kesamaan dengan hasil
penelitian yang dilakukan oleh (Sahu dkk, 2012), dinyatakan bahwa fragmen-fragmen
Seminar Nasional Biologi Tropika 2018

pengenal yang dapat ditemukan adalah epidermis dengan dinding bergelombang dan
berwarna coklat, pembuluh xilem, serat sklerenkim dan stomata. Gambar 16, dapat
diketahui bahwa fragmen pengenal dari hasil pengamatan pada serbuk tanaman
Oldenlandia corymbosa adalah permukaan biji tipe reticulate, jaringan palisade, epidermis
bawah dengan stomata tipe parasitik, papilla, kalisum oksalat bentuk jarum, berkas
pembuluh dengan penebalan spiral dan fragmen mesofil. Beberapa hasil pengamatan ini
sesuai dengan pernyataan dari Depkes (1995) yang menyatakan bahwa fragmen pengenal
yang dapat diamati pada Oldenlandia corymbosa anatara lain epidermis bawah dengan
stomata tipe parasitik, berkas pembuluh dengan penebalan tangga dan spiral, fragmen
trakea, fragmen serabut sklerenkim, kristal kalsium oksalat bentuk jarum dan fragmen
parenkim.
Identifikasi mikrskopis sampel polen
Polen merupakan sel mikrospora yang berisi sel vegetatif dan sel generatif
(Erdtman, 1952), yang mana dapat ditemukan dalam antera tepatnya dalam kantong yang
dikenal dengan naman teka (Gifford and Foster, 1974). Polen dapat diamati secara
mikroskopis yang mana akan didapatkan butir polen yang mana bentuknya dapat
dideskripsikan berdasarkan kenampakan dari sisi polar dan ekuator (Nugroho, 2014). Polen
memiliki struktur dinding yang kompleks dan memiliki dua lapisan dasar, yaitu intin dan
eksin. Intin merupakan bagian dalam polen yang berhubungan langsung dengan sitoplasma
dan akan hilang ketika polen mati, sedangkan eksin merupakan bagian luar polen berupa
struktur beraneka ragam dengan sifat tahan terhadap gaya destruktif, tekanan, suhu, kondisi
asam, oksidasi alami dalam lapisan batuan, keadaan anaerob dan oksidasi selama fosilisasi
(Faegri dkk, 2000).
Polen memiliki karakter morfologi yang biasa digunakan untuk melengkapi data
pengelompokan tumbuhan dan menjadi salah satu bukti taksonomi (Singh, 2010). Karakter
yang penting untuk diamati pada morfologi polen adalah jumlah dan tipe apertur, variasi
ukuran dan bentuk serta bentuk ornamen yang ditemukan pada eksin dari polen (Davis and
Heywood, 1973). Salah satu karakter yang harus diamati adalah bentuk polen, yang dapat
diketahui berdasarkan indeks perbandingan antara panjang aksis polar (P) dan diameter
ekuatorial (E) atau biasa disebut indeks P/E. Menurut Nugroho (2014), bentuk polen
berdasarkan indeks P/E adalah sebagai berikut:
Seminar Nasional Biologi Tropika 2018

Tabel 2. Bentuk Polen berdasarkan Nilai Indeks P/E


Indeks P/E Bentuk
> 2,00 Perprolate
1,33 – 2,00 Prolate
0,75 – 1,33 Subspheroidal
0,50 – 0,75 Oblate
< 0,5 Peroblate
(Sumber: Nugroho, 2014)
Karakter lain yang penting untuk diamati pada polen adalah jumlah dan bentuk
apertur serta ornamen pada permukaan polen. Apertur merupakan bagian tipis pada eksin
yang berhubungan dengan perkecambahan polen. Apertur yang dapat ditemukan pada
polen dibedakan menjadi dua tipe, yaitu celah memanjang yang biasa disebut colpus atau
colpi dan celah berbentuk bulat yang biasa disebut porus. Ornamen merupakan bentuk
eksternal eksin tanpa menunjukkan susunan eksin bagian dalam (Nugroho, 2014).
Ornamen termasuk dalam komponen eksin yang timbul akibat keanekaragaman bentuk
morfologi dari tektum (Faegri dkk, 2000).
Pengerjaan untuk melakukan pengamatan polen dilakukan dengan metode
asetolisis yaitu dengan cara melisiskan dinding sel serbuk sari menggunakan asam sulfat,
sehingga morfologi polen dapat teramati. Proses ini diawali dengan bunga O. corymbosa
dan buah M. pentaphylla diambil secukupnya. Penggunaan buah sebagai sampel pada M.
pentaphylla dilakukan karena tanaman tersebut belum dalam masa pembungaan, sehingga
diasumsikan bahwa polen menempel di buah, sehingga dengan menggunakan buah sampel
polen dapat diperoleh.
Sampel kemudian dimasukkan ke dalam falkon berisi asam asetat glasial yang
berfungsi sebagai larutan fiksasi yang bertujuan agar pengawetan yang dilakukan tidak
menyebabkan kerusakan pada sel dari sampel. Selanjutnya, sampel divortex untuk
memisahkan polen dari anter, sedangkan disentrifuge bertujuan untuk memisahkan polen
dari asam asetat glasial. Setelah itu, asam asetat glasial diganti dengan larutan asam asetat
glasial ditambah asam sulfat pekat dengan perbandingan 9 : 1 yang bertujuan untuk
menjernihkan polen dari komponen-komponen ketidakjernihan dengan tidak merusak
polen tersebut (Sutikno, 2014).
Seminar Nasional Biologi Tropika 2018

Sampel dipindahkan ke dalam microtube dan dipanaskan menggunakan


microincubator berfungsi untuk mempercepat terjadinya reaksi penjernihan. Selanjutnya,
larutan diganti dengan akuades yang berfungsi sebagai larutan pencuci, agar polen bersih
dari zat kimia. Setelah akuades, ditambahkan safranin 1 % sebagai agen pewarna agar
polen dapat teramati dengan jelas. Setelah itu, diganti dengan gliserin murni yang berfungsi
sebagai medium penutup dan langsung dapat diamati menggunakan mikroskop binokuler
Nikon Eclipse E200.
Berdasarkan hasil pengamatan yang telah dilakukan, maka diperoleh hasil sebagai
berikut:
Tabel 3. Hasil Pengukuran Serbuk Sari (Polen) pada Oldenlandia corymbosa dan Mollugo
pentaphylla
Panjang Aksi
Polar (P) dan
Nilai Apertur
No Sampel Polen Diameter Bidang Bentuk Ornamen
P/E
Ekuator (E)
P (µm) E (µm) ∑ Tipe
Sub-
13,88 – 14,00– 0,7– spheroidal Stephano-
1. O. corymbosa 4 Reticulate
19,50 21,12 1,39 sampai colporate
Prolate
15,00 – 15,80– 0,8– Sub-
2. M. pentaphylla 3 Tricolpate Spinulose
43,34 49,13 1,01 spheroidal

Gambar yang dihasilkan selama pengamatan dapat dilihat di bawah ini:

a b c

Gambar 17. Penampakkan polen tanaman Oldenlandia corymbosa dengan perbesaran 100 kali (a)
Tampak polar (b) Tampak ekuatorial (c) Permukaan polen reticulate
Seminar Nasional Biologi Tropika 2018

a b c

Gambar 18. Penampakkan polen tanaman Mollugo pentaphylla dengan perbesaran 100 kali (a)
Permukaan polen spinulose (b) Tampak polar (c) Tampak ekuatorial

Berdasarkan hasil pada Tabel 3 dapat diketahui bahwa, nilai indeks P/E yang
didapatkan dari hasil pengamatan polen tanaman O. corymbosa sebesar 0,88 – 1,01µm,
sehingga memiliki bentuk Sub-spheroidal sampai Prolate. Jumlah apertur yang teramati
sebanyak 4 dengan tipe Stephano-colporate dan ornamen yang teramati berbentuk
Reticulate (Gambar 19). Hal ini didukung dengan pernyataan dari (Perveen and Qaiser,
2007), yang menyatakan bahwa kisaran indeks P/E sebesar 0,88-1,35 dengan bentuk sub-
prolate sampai prolate-spheroidal dan memiliki jumlah aperture sebanyak 3-5. Ornamen
atau permukaan dari polen O. corymbosa adalah reticulate atau berurat jala (Zahrina dkk,
2017). Nilai indeks P/E yang didapatkan dari hasil pengamatan polen tanaman M.
pentaphylla sebesar 0,75 – 1,39 µm, sehingga memiliki bentuk Sub-spheroidal, dengan
jumlah apertur yang teramati sebanyak memiliki tipe Tricolpate dan ornamen yang
teramati berbentuk Spinulose (Gambar 18). Hal ini didukung dengan pernyataan dari
(Perveen and Qaiser, 2007), yang menyatakan bahwa bentuk polen tanaman ini adalah
oblate-spheroidal sampai prolate-spheroidal dan juga memiliki tiga colpate yang panjang,
sempit dan memiliki granula, serta ornamen berbentuk Spinulose. Morfologi polen ini
didapatkan dari hasil pengamatan tanaman M. cerviana yang disebutkan memiliki
kemiripan dengan polen tanaman M. pentaphylla (Perveen and Qaiser, 2007), yang mana
diperkuat dengan penelitian yang menyebutkan bahwa mayoritas polen dari famili
Molluginacea memiliki polen yang spinulose (Nowicke and Skvarla, 1977).
Seminar Nasional Biologi Tropika 2018

KESIMPULAN
1. Perbedaan secara makroskopis antara tanaman Mollugo pentaphylla dan Oldenlandia
corymbosa dapat ditemukan pada bentuk helaian dan kelompok daun, panjang dan lebar
helaian daun, permukaan, bentuk dan warna biji serta bentuk buah tanaman segar.
Perbedaan warna dan kerapuhan daun, serta warna batang pada simplisia. Perbedaan rasa
dan penampakan pada serbuk.
2. Perbedaan secara mikroskopis antara tanaman Mollugo pentaphylla dan Oldenlandia
corymbosa meliputi tipe stomata dan kalsium oksalat pada epidermis daun serta tipe berkas
pembuluh pada anatomi batang. Trakea, permukaan biji, tipe stomata, trikoma, papila,
jaringan palisade dan fragmen mesofil pada pengamatan fragmen pengenal serbuk. Bentuk,
jumlah dan tipe apertur serta ornamen pada polen.

UCAPAN TERIMA KASIH


Penulis mengucapkan terima kasih kepada Kepala Laboratorium Sistematika
Tumbuhan B2P2TOOT, Balitbangkes, Kemkes RI untuk sarana penelitian, Bapak Drs.
Slamet Wahyono, M.Sc.,Apt selaku Kepala Bidang Yanlit B2P2TOOT, Ibu Dr. Yuli
Widyastuti, MP selaku Ketua PPI B2P2TOOT yang bersedia memeriksa draft naskah dan
segenap peneliti serta litkayasa yang telah mendukung kegiatan penelitian ini sehingga
berjalan dengan baik.
Daftar Pustaka
Ahmad, R. dkk. (2005) ‘Antioxidant, radical-scavenging, anti-inflammatory, cytotoxic and
antibacterial activities of methanolic extracts of some Hedyotis species’, Life Sciences,
76(17), pp. 1953–1964. doi: 10.1016/j.lfs.2004.08.039.
Backer, C. A. and Brink, V. B. (1963) Flora of Java (Spermatophyte Only): vol.II. angiopermae,
families 160-238. Groningen: N.V.P. Noordhoff.
Bisset, N. G. and Wichtl, M. (1994) Herbal drugs and phytopharmaceuticals : a handbook for
practice on a scientific basis. Third Edit. CRC Press.
Davis, P. H. and Heywood, V. H. (1973) Principles of Angiosperm taxonomy. New York: D. Van
Nostrand Company.
Depkes RI (2008) FARMAKOPE HERBAL INDONESIA. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik
Indonesia.
Dwiatmaka, Y. and Jumpowati, M. D. B. (1999) ‘Identifikasi makroskopik batang dan serbuk kulit
batang serta pemeriksaan KLT minyak atsiri kulit batang masoyi (Massola aromatic
Becc.)’, Warta Tumbuhan Obat Indonesia, 5(2), pp. 1–3.
Elfahmi, Woerdenbag, H. J. and Kayser, O. (2014) ‘Jamu: Indonesian traditional herbal medicine
towards rational phytopharmacological use’, Journal of Herbal Medicine. Elsevier
GmBH, pp. 51–73. doi: 10.1016/j.hermed.2014.01.002.
Erdtman, G. (1952) Pollen morphology and plant taxonomy angiosperms, Alquimist et Wiksell. doi:
10.1080/11035895209453507.
Seminar Nasional Biologi Tropika 2018

Faegri, K. dkk. (2000) Textbook of pollen analysis. Blackburn Press.


Gifford, E. M. and Foster, A. S. (1974) Comparative morphology of vascular plants, Comparative
morphology of vascular plants. San Fransisco: W H Freeman & Co.
Goltenboth, F. dkk. (2006) Ecology of Insular Southeast Asia: The Indonesian Archipelago.
Amsterdam: Elsevier.
Gupta, R. K. dkk. (2012) ‘Anti-hepatotoxic potential of Hedyotis corymbosa against D-
galactosamine-induced hepatopathy in experimental rodents’, Asian Pacific Journal of
Tropical Biomedicine. Asian Pacific Tropical Biomedical Magazine, 2(3 SUPPL.), pp.
S1542–S1547. doi: 10.1016/S2221-1691(12)60450-X.
Haryanti, S. (2010) ‘Jumlah dan distribusi stomata pada daun beberapa spesies tanaman dikotil dan
monokotil’, Buletin Anatomi dan Fisiologi, 18(2), pp. 21–28. doi:
10.1017/CBO9781107415324.004.
Indonesia, D. K. R. (1995) Materia Medika Indonesia Jilid 6. Jakarta: Direktorat Jendral POM.
Lajis, N. and Ahmad, R. (2006) ‘Phytochemical Studies and Pharmacological Activities of Plants
in Genus Hedyotis /’, 33, pp. 1057–1090.
Li, H. dkk. (2015) ‘A chemotaxonomic study of phytochemicals in Hedyotis corymbosa’,
Biochemical Systematics and Ecology. Elsevier Ltd, 62, pp. 173–177. doi:
10.1016/j.bse.2015.06.028.
Lin, C.-C., Ng, L.-T. and Yang, J.-J. (2004) ‘Antioxidant activity of extracts of peh-hue-juwa-chi-
cao in a cell free system.’, The American journal of Chinese medicine, 32(3), pp. 339–
349. doi: 10.1142/S0192415X04001990.
Mok, D. K. W. and Chau, F. T. (2006) ‘Chemical information of Chinese medicines: A challenge
to chemist’, Chemometrics and Intelligent Laboratory Systems, 82(1–2 SPEC. ISS), pp.
210–217. doi: 10.1016/j.chemolab.2005.05.006.
Moniruzzaman, M., Ferdous, A. and Irin, S. (2015) ‘Evaluation of antinociceptive effect of ethanol
extract of Hedyotis corymbosa Linn. whole plant in mice’, Journal of
Ethnopharmacology, 161(August 2012), pp. 82–85. doi: 10.1016/j.jep.2014.12.011.
Nowicke, J. W. and Skvarla, J. J. (1977) ‘Pollen morphology and the relationship of the
Plumbaginaceae, Polygonaceae, and Primulaceae to the order Centrospermae’,
Smithsonian Contributions to Botany.
Nugroho, S. H. (2014) ‘Karakteristik umum polen dan spora serta aplikasinya’, Oseana,
XXXIX(3), pp. 7–19.
Partiwisari, N. P. E., Astuti, K. W. and Ariantari, N. P. (2014) ‘Identifikasi simplisia kulit batang
cempaka kuning (Michelia champaca L.) secara makroskopis dan mikroskopis’, Jurnal
Farmasi Udayana, 3(2), pp. 36–39.
Perveen, A. and Qaiser, M. (2007) ‘Pollen flora of Pakistan-LIV. Rubiaceae’, Pakistan Journal of
Botany.
Prakash, O. dkk. (2013) ‘Adulteration and Substitution in Indian Medicinal Plants: An Overview’,
Journal of Medicinal Plants Studies Year Journal of Medicinal Plants Studies, 1(4), pp.
127–132. Available at: www.plantsjournal.com.
Punt, W. (1962) ‘Pollen Morphology of The Euphorbiaceae with Special Reference to Taxonomy’,
Wentia, 7, pp. 1–116.
Riansyah, a., Supriadi, A. and Nopianti, R. (2013) ‘PENGARUH PERBEDAAN SUHU DAN
WAKTU PENGERINGAN TERHADAP KARAKTERISTIK IKAN ASIN SEPAT
SIAM (Trichogaster pectoralis) DENGAN MENGGUNAKAN OVEN’, Jurnal
Teknologi Hasil Pertanian, 2(1), pp. 53–68.
Rizqa, O. D. (2010) STANDARDISASI SIMPLISIA DAUN Justicia gendarusssa Burm f . DARI
BERBAGAI TEMPAT TUMBUH. Universitas Airlangga.
Sadasivan, S. dkk. (2006) ‘Hepatoprotective studies on Hedyotis corymbosa (L.) Lam.’, Journal of
Ethnopharmacology, 106(2), pp. 245–249. doi: 10.1016/j.jep.2006.01.002.
Sahu, S. K. dkk. (2012) ‘Pharmacognostical and physic-chemical studies on the leaf of Mollugo
pentaphylla L’, Der Pharmacia Lettre, 4(6), pp. 1821–1825.
Seminar Nasional Biologi Tropika 2018

Singh, G. (2010) Plant Systematics. An Integrated Approach. doi:


10.1017/CBO9781107415324.004.
Soerjani, M., Kostermans, A. J. G. H. and Tjitroscepomo, G. (1987) Weeds of rice in Indonesia.
Edited by M. Soerjani, A. J. G. H. Kostermans, and G. Tjitroscepomo. Jakarta: Balai
Pustaka.
Suhendang, E. (2002) Pengantar Ilmu Kehutanan. Bogor: IPB Press.
Sukhorukov, A. P. and Kushunina, M. (2017) ‘Taxonomic significance of seed morphology in the
genus Mollugo s.l. (Molluginaceae)’, Israel Journal of Plant Sciences. Taylor & Francis,
9978(February), pp. 1–17. doi: 10.1080/07929978.2016.1249137.
Sutikno (2014) Buku Praktikum Mikroteknik Tumbuhan. Yogyakarta: Fakultas Biologi, Universitas
Gadjah Mada.
Upton, R. dkk. (2011) American Herbal Pharmacopoeia.
Yang, J. J., Lin, C. C. and Hsu, H. Y. (1997) ‘The possible use of Peh-Hue-Juwa-Chi-Cao as an
antitumour agent and radioprotector after therapeutic irradiation’, Phytotherapy
Research, 11(1), pp. 6–10. doi: 10.1002/(SICI)1099-1573(199702)11:1<6::AID-
PTR938>3.0.CO;2-L.
Zahrina, Hasanuddin and Wardiah (2017) ‘Studi morfologi serbuk sari enam anggota famili
rubiaceae’, Jurnal Ilmiah Mahasiswa Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Unsyiah,
2(1), pp. 114–123.

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai