Anda di halaman 1dari 53

IDENTIFIKASI STRUKTUR SEKRETORI DAN ANALISIS HISTOKIMIA

SERTA FITOKIMIA TUMBUHAN OBAT ANTI-INFEKSI DI KAWASAN


TAMAN NASIONAL BUKIT DUABELAS JAMBI

DARIUS RUPA

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Identifikasi Struktur


Sekretori dan Analisis Histokimia serta Fitokimia Tumbuhan Obat Anti-Infeksi di
Kawasan Taman Nasional Bukit Duabelas Jambi adalah benar karya saya dengan
arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada
perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, November 2015

Darius Rupa
NRP G353120041
RINGKASAN

DARIUS RUPA. Identifikasi Struktur Sekretori dan Analisis Histokimia serta


Fitokimia Tumbuhan Obat Anti-Infeksi di Kawasan Taman Nasional Bukit
Duabelas Jambi. Dibimbing oleh DIAH RATNADEWI, DORLY dan YOHANA
C SULISTYANINGSIH.

Ekosistem hutan alam tropika di Indonesia berperan sebagai sumber


berbagai spesies tumbuhan obat yang dimanfaatkan sebagai pemelihara kesehatan
dan pengobatan berbagai macam penyakit yang diderita oleh masyarakat. Taman
Nasional Bukit Duabelas (TNBD) merupakan salah satu hutan hujan tropis
dataran rendah di Provinsi Jambi yang menyediakan keanekaragaman tumbuhan
obat. Suku Anak Dalam, masyarakat asli yang telah mendiami hutan TNBD,
menggunakan tumbuhan sebagai obat untuk memelihara kesehatan dan mengobati
penyakit. Tumbuhan obat umumnya memiliki struktur sekretori yang berfungsi
dalam produksi atau akumulasi berbagai metabolit. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui jenis dan letak struktur sekretori, menentukan kandungan senyawa
metabolit dalam struktur sekretori tersebut dan untuk mengidentifikasi kandungan
senyawa metabolit secara kualitatif pada organ yang digunakan sebagai bahan
obat.
Delapan tumbuhan anti-infeksi dipilih sebagai bahan obat ini yaitu Hyptis capitata
Jacq., Sonerila obliqua Korth., Piper porphyrophyllum., Peronema canescens Jack,
Spatholobus ferrugineus (Zoll. & Moritzi.) Benth., Leuconotis eugenifolius A. DC.,
Centotheca lappacea (L.) Desv., and Cayratia cf. geniculata (Blume) Gagnep.
Identifikasi struktur sekretori menggunakan mikroskop cahaya dan Scanning
Electron Microscope (SEM). Reagen Wagner, kupri asetat and pewarna sudan IV
digunakan untuk analisis histokimia. Analisis fitokimia menggunakan GC-MS
pirolisis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa trikoma kelenjar adalah struktur
sekretori yang paling umum dijumpai pada organ tumbuhan yang diamati. Sel
idioblas dijumpai di P. porphyrophyllum, C. cf. geniculata dan umbi C. lappaceae.
Saluran sekretori dijumpai di batang L. eugenefolius dan S. ferrugineus. Trikoma
kelenjar umumnya mengandung senyawa lipofilik alkaloid, dan terpenoid. Sel
idioblas umumnya mengandung senyawa terpenoid. Rongga sekretori
mengandung senyawa lipofilik dan terpenoid. Pada saluran sekretori batang L.
eugenifolius mengandung senyawa lipofilik.
Hasil analisis GC-MS menunjukkan adanya senyawa alkaloid, terpenoid,
asam lemak dan fenolat. Senyawa fitokimia seperti limonena dijumpai pada daun
H. capitata, S. obliqua, P. porphyrophyllum, and C. cf. geniculata. Senyawa
nerolidol, eugenol dan asam oleat dijumpai pada daun H. capitata. Senyawa
neopitadiena ditemukan di daun H. capitata. dan C. cf. geniculata. Asam palmitat
dijumpai pada daun S. obliqua, P. porphyrophyllum, C. cf. geniculata, tubers C.
lappacea, and kulit batang S. ferrugineus. Isoeugenol dijumpai pada umbi C.
lappacea dan batang L. eugenifolius. Tektokrisin dijumpai pada daun P.
Porphyrophyllum; senyawa berupa hidrokuinon dan vanilin dijumpai pada P.
canescens. Senyawa-senyawa tersebut diduga kuat memiliki peran penting dalam
penyembuhan luka atau infeksi dan berfungsi pula sebagai agen ant-mikroba.

Kata kunci: tumbuhan obat, fitokimia, struktur sekretori


SUMMARY

DARIUS RUPA. Identification of Secretory Structure, Histochemical and


Phytochemical Analysis of Anti-Infection Medicinal Plants in the Bukit Duabelas
National Park of Jambi. Supervised by DIAH RATNADEWI, DORLY dan
YOHANA C SULISTYANINGSIH.

Tropical natural forest ecosystems in Indonesia serves as the source of


species of medicinal plants that are used as health mantenance and treatmens for
various deseases by the community. The Bukit Duabelas National Park of Jambi
(TNBD) is one of the tropical lowland rain forest in Jambi province that provides
diversity of medicinal plants. Anak Dalam tribe is indigenous inhabitants of the
forest of TNBD. They used plants to protect against and cure from diseases
treatment. Most medicinal plants have secretory structures in their organs that
function in the production or accumulation of secondary metabolites. The aims of
this study was to determine the type and location of secretory structures and, the
metabolite content in those secretory structures and to identify qualitatively the
metabolites existed in the organs that are used as medicine.
Eight anti-infection medicinal plants species have been selected i.e Hyptis
capitata Jacq., Sonerila obliqua Korth., Piper porphyrophyllum, Peronema canescens
Jack, Spatholobus ferrugineus (Zoll. & Moritzi.) Benth., Leuconotis eugenifolius A.
DC., Centotheca lappacea (L.) Desv., and Cayratia cf. geniculata (Blume) Gagnep.
To identify the secretory structures, we used light microscope and scanning
electron microscope (SEM). Wagner reagent, cupric acetate and sudan IV staining
were used for histochemical analysis. Analysis of phytochemical compounds was
conducted using GC-MS Pyrolisis. The results showed that glandular trichomes,
the most common structure was found in all plant organs observed. Idioblast cells
were found in the leaves of P. porphyrophyllum, C. cf. geniculata. and the tuber of
C. lappaceae. Secretory ducts were found in the stem of L. eugenefolius and S.
ferrugineus. Most of glandular trichomes contained alkaloid, terpenoid and
lipophilic compounds. Generally, idioblast cells contained terpenoid, secretory
cavities had terpenoid and lipophilic compounds. Lipophilic compound was also
found in the secretory ducts (laticifer) of the stem pith of L. eugenifolius A. DC.
GC-MS analysis revealed the presence of alkaloid, terpenoid, fatty acid
and phenolic compounds. Phytochemical compound limonene was found in the
leaves of H. capitata, S. obliqua, P. porphyrophyllum, and C. cf. geniculata.
Compounds such as nerolidol, eugenol and oleic acid were detected in the leaves
of H. capitata Jacq.; neophytadiene in the leaves of H. capitata and C. cf.
geniculata; palmitic acid in the leaves of S. obliqua, P. porphyrophyllum, C. cf.
geniculata, in the tuber of C. lappacea, and in the bark of S. ferrugineus.
Isoeugenol was identified in the tuber of C. lappacea and the stem of L.
eugenifolius; tectochrysin in the leaves of P. porphyrophyllum and hydroquinone
as well as vanillin were found in P. canescens. Those compounds allegedly
important roles in the process of wound or infection healing and also act as anti-
microbial agents.

Key words: medicinal plants, phytocompounds, secretory


structure
Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
IDENTIFIKASI STRUKTUR SEKRETORI DAN ANALISIS HISTOKIMIA
SERTA FITOKIMIA TUMBUHAN OBAT ANTI-INFEKSI DI KAWASAN
TAMAN NASIONAL BUKIT DUABELAS JAMBI

DARIUS RUPA

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Biologi Tumbuhan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Mohamad Rafi, MSi
Judul Tesis : Identifikasi Struktur Sekretori dan Analisis Histokimia serta
Fitokimia Tumbuhan Obat Anti-Infeksi di Kawasan Taman
Nasional Bukit Duabelas Jambi
Nama : Darius Rupa
NIM : G353120041

Disetujui oleh

Komisi Pembimbing

Prof Dr Ir Yuliana Maria Diah Ratnadewi, DEA


Ketua

Dr Ir Dorly, MSi Dr Dra Yohana C Sulistyaningsih, MSi


Anggota Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana


Biologi Tumbuhan

Dr Ir Miftahudin, MSi Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian: 26 Agustus 2015 Tanggal Lulus:


PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah atas segala karunia-Nya
sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam
penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Februari 2013 ini ialah tumbuhan obat,
dengan judul Identifikasi Struktur Sekretori dan Analisis Histokimia serta
Fitokimia Tumbuhan Obat Anti-Infeksi di Kawasan Taman Nasional Bukit
Duabelas Jambi.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Prof Dr Ir Diah Ratnadewi, DEA,
Dr Ir Dorly, MSi dan Dr Dra Yohana C Sulistyaningsih, MSi selaku pembimbing,
serta Bapak Dr Mohamad Rafi, SSi, MSi selaku penguji luar komisi. Di samping
itu, penulis ucapkan terima kasih kepada Dr Dra Nunik Sri Ariyanti, MSi yang
telah membantu identifikasi tumbuhan. Terima kasih kepada Institut Pertanian
Bogor (IPB) dengan Goettingen University-Jerman melalui pendanaan kerjasama
Institut Pertanian Bogor (IPB) dengan Goettingen University-Jerman melalui
Collaborative Research Centre (CRC) 990 Start Up Project tahun 2012 dan
terima kasih kepada Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia yang
telah mendanai penelitian ini melalui Bantuan Operasional Perguruan Tinggi
Negeri (BOPTN) tahun 2013. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada
ayah, ibu, istri, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, November 2015

Darius Rupa
DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi
DAFTAR GAMBAR vi
DAFTAR LAMPIRAN vi
1 PENDAHULUAN 1
2 TINJAUAN PUSTAKA 2
Tumbuhan Obat 2
Struktur Sekretori 3
Histokimia 4
Fitokimia 4
3 METODE 5
Waktu dan Tempat Penelitian 5
Penyiapan Bahan Tumbuhan dari Lapang 5
Pembuatan Sediaan Mikroskopis 6
Analisis Histokimia 6
Pengamatan dengan Scanning Electron Microscope (SEM) 6
Pengamatan Struktur Sekretori 6
Analisis Senyawa Fitokimia 7
4 HASIL DAN PEMBAHASAN 7
Hasil 7
Pembahasan 22
5 SIMPULAN DAN SARAN 28
Simpulan 28
Saran 28
DAFTAR PUSTAKA 29
LAMPIRAN 37
RIWAYAT HIDUP 41
DAFTAR TABEL
1 Tumbuhan obat terpilih dan pemanfaatannya oleh Suku Anak Dalam 7
2 Struktur skretori yang dijumpai pada bagian organ tumbuhan yang
diamati 8
3 Ukuran dan kerapatan trikoma kelenjar pada sisi adaksial dan abaksial
daun 11
4 Ukuran panjang tangkai, panjang kepala, lebar kepala dan kerapatan
trikoma kelenjar pada kulit batang P. canescens dan S. ferrugineus 12
5 Bentuk, ukuran dan kerapatan sel idioblas pada daun H. capitata, C. cf.
geniculata, P. porphyrophyllum dan umbi C. lappacea 13
6 Keberadaan senyawa fitokimia pada struktur sekretori 14

DAFTAR GAMBAR
1 Morfologi tumbuhan obat yang diteliti 8
2 Trikoma kelenjar pada daun H. capitata 9
3 Sel idioblas pada irisan melintang daun H. capitata 9
4 Trikoma kelenjar S. obliqua 10
5 Trikoma kelenjar dan sel idioblas pada daun P. porphyrophyllum 10
6 Trikoma kelenjar pada kulit batang P. canescens 11
7 Struktur sekretori S. ferrugineus menggunakan mikroskop cahaya 12
8 Saluran sekrtori pada batang L. eugenifolius 12
9 Sel idioblas pada irisan melintang umbi C. lappacea 13
10 Rongga sekretori dan sel idioblas pada daun C. cf. geniculata 13
11 Hasil uji histokimia trikoma kelenjar pada daun H. capitata 15
12 Hasil uji histokimia trikoma kelenjar pada daun S. oblique 16
13 Hasil uji histokimia trikoma kelenjar pada daun P. porphyrophyllum 16
14 Hasil uji histokimia trikoma kelenjar pada kulit batang P. canescens 17
15 Hasil uji histokimia trikoma kelenjar pada kulit batang S. ferrugineus. 17
16 Hasil uji histokimia rongga sekretori pada irisan melintang daun C. cf.
geniculata 18
17 Hasil uji histokimia sel idioblas pada daun H. capitata 19
18 Hasil uji histokimia sel idioblas pada umbi C. lappacea 19
19 Hasil uji histokimia sel idioblas pada daun P. porphyrophyllum 20
20 Hasil uji histokimia saluran sekretori pada irisan melintang batang S.
ferrugineus 20
21 Hasil uji histokimia saluran sekretori pada irisan melintang batang L.
eugenifolius 21

DAFTAR LAMPIRAN

1. Komposisi Larutan Seri Johansen 37


2. Senyawa Fitokimia Hasil Analisis GC-MS pada Kedelapan Tumbuhan 38
1 PENDAHULUAN

Indonesia merupakan negara tropis yang diakui sebagai kawasan mega


biodiversitas kedua dunia yang memiliki sumberdaya alam yang melimpah dan
menyediakan berbagai tumbuhan penghasil bahan obat. Lebih dari 30.000 spesies
tumbuhan berbunga tumbuh di Indonesia dan sekitar 1.000 tumbuhan yang
digunakan dalam pengobatan tradisional dan lebih dari 180 spesies digunakan
oleh industri lokal untuk produk jamu (Moeloek 2006). Ekosistem hutan alam
tropika di Indonesia berperan sebagai sumber berbagai spesies tumbuhan obat
yang dimanfaatkan sebagai pemelihara kesehatan dan pengobatan berbagai
macam penyakit yang diderita oleh masyarakat. Di hutan hujan tropis dataran
rendah Indonesia terdapat 772 jenis tumbuhan obat (Zuhud 2009). Ketersediaan
tumbuhan obat tersebut merupakan kekayaan alam yang harus dimanfaatkan
sebaik-baiknya dan dilestarikan sebagai penunjang pemeliharaan kesehatan.
Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD) merupakan salah satu hutan hujan tropis
dataran rendah di Provinsi Jambi yang menyediakan keanekaragaman tumbuhan
obat. Hasil penelitian dari Departemen Kehutanan dan LIPI menunjukkan
sekitar 137 jenis biota medika yang terdiri dari 101 jenis tumbuhan, 27 jenis
cendawan dan 9 jenis hewan yang dimanfaatkan oleh Suku Anak Dalam (SAD)
sebagai bahan obat. Dari 101 jenis tumbuhan yang digunakan sebagai obat,
sebanyak 22 jenis telah diteliti kandungan kimianya, yaitu senyawa alkaloid,
saponin, flavonoid, tanin dan polifenol (Sasmita et al. 2011).
Suku Anak Dalam adalah masyarakat asli yang telah mendiami hutan
TNBD. Mereka hidup berpindah-pindah dan memenuhi kebutuhan hidup dengan
cara berburu, mencari ikan, mencari madu, dan menyadap karet. Untuk
memelihara kesehatan, mereka memanfaatkan tumbuhan obat yang diambil dari
sekitar tempat tinggalnya. Penyakit yang sering dialami oleh SAD berupa diare
dan luka yang mengakibatkan terjadinya infeksi akut (Pers. Komunikasi.
Tumenggung Tarip, Suku Anak Dalam 2012). Jones & Farthing (2004)
melaporkan bahwa diare adalah penyebab paling umum kematian di seluruh dunia
terutama pada masa kanak-kanak. Sen et al. (2009) melaporkan bahwa di Amerika
Serikat, luka merupakan penyakit yang mendapatkan perhatian khusus karena
menyebabkan sekitar 6,5 juta pasien yang mengalami luka kronis. Di Indonesia,
berbagai macam luka dan infeksi yang dialami oleh masyarakat, misalnya tukak
peptik 6-15% (Suyono 2001) dan infeksi luka operasi (ILO) (Haryanti et al. 2013).
Suku Anak Dalam memanfaatkan tumbuhan sebagai bahan obat
berdasarkan pengetahuan, keterampilan, keyakinan, pengalaman dan praktik
langsung yang dilakukan secara turun temurun dari nenek moyang mereka.
Pengetahuan tentang tumbuhan yang digunakan sebagai obat tradisional
memungkinkan penemuan obat baru pada sistem pengobatan modern. Ekstrak
tumbuhan obat digunakan sebagai obat tradisional oleh masyarakat di berbagai
negara seperti di India, Tiongkok, dan Filipina (WHO 2008). Senyawa metabolit
penting dari tumbuhan yang berhasil dikembangkan ke skala industri obat modern
misalnya aspirin, atropina, artimesinin, digoxin, efedrina, morfina, fisostigmin,
reserpina, pilokarpina, kuinidina, taxol, vinkristina dan vinblastina, sebagian besar
ditemukan melalui studi pemanfaatan obat tradisional dari masyarakat (Sekar et al.
2010). Tumbuhan obat herbal sebagian besar mengandung senyawa aktif
2

golongan amina, alkaloid, kumarin, flavonoid, iridoid, saponin, tanin dan minyak
atsiri yang bersifat obat terhadap pencahar, kardioaktif, diuretik, hipotensi,
hipertensi, antikoagulan, hiperlipidemia, hipolipidemia, obat penenang,
hiperglikemik, hipoglikemik, imunostimulan, alergi dan iritasi (WHO 2009a).
Kajian ilmiah berupa identifikasi struktur sekretori penghasil senyawa metabolit
pada tumbuhan yang digunakan oleh SAD perlu dilakukan. Kajian ilmiah tersebut
memungkinkan untuk pengembangan produksi senyawa fitokimia melalui kultur
jaringan maupun kultur sel. Untuk mengetahui dengan jelas potensi yang
dikandung oleh tumbuhan obat, perlu dilakukan kajian tentang kandungan
senyawa aktif dalam mendukung pengembangan tumbuhan obat sebagai bahan
obat modern. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jenis dan letak struktur
sekretori, menentukan kandungan senyawa metabolit dalam struktur sekretori
tersebut dan untuk mengidentifikasi kandungan senyawa metabolit secara
kualitatif pada organ yang digunakan sebagai bahan obat.

2 TINJAUAN PUSTAKA

Tumbuhan Obat

Tumbuhan obat adalah tumbuhan yang mengandung bahan kimia aktif


tertentu yang digunakan dalam mengobati dan mencegah penyakit (Chapman dan
Chomchalow 2005). Ketersediaan tumbuhan obat dibutuhkan dalam skala
farmasi, industri kesehatan serta pengobatan tradisional. Sebanyak 70-80%
masyarakat dunia menggunakan ekstrak tumbuhan obat dan tumbuhan aromatik
sebagai pengobatan dan pemeliharaan kesehatan (WHO 2009b). Di India dan
Ethiopia sebanyak 70-80% masyarakat yang masih tergantung pada obat
tradisional untuk perawatan kesehatan primer (WHO 2008).
Tumbuhan obat berperan penting dalam berbagai sistem pengobatan
tradisional kuno seperti sistem Ayurvedik dari India, obat tradisional Cina, dan di
banyak negara Asia. Saat ini, tumbuhan obat masih berperan penting di negara
berkembang di Asia, baik untuk pencegahan maupun pengobatan, meskipun ada
kemajuan yang pesat dalam kedokteran modern (Chapman dan Chomchalow
2005).
Masyarakat tradisional di Indonesia juga sudah lama memanfaatkan
tumbuhan sebagai bahan obat. Masyarakat di sekitar hutan tabo-tabo (Sulawesi
Selatan) sebanyak 37 jenis yang terdiri dari 17 jenis pohon, 13 jenis herba, 5 jenis
perdu, dan 2 jenis liana yang dimanfaatkan masyarakat sebagai obat (Hamzari
2008). Rahayu et al. 2006) melaporkan bahwa di pulau Wawonii (Sulawesi
Tenggara), terdapat 73 jenis tumbuhan yang digunakan oleh masyarakat sebagai
bahan obat tradisional dan perawatan paska persalinan. Selain itu, Indrawati et al.
(2014) melaporkan bahwa masyarakat suku Moronene di Desa Rau-Rau (Sulawesi
Tenggara) sekitar 51 jenis dari 27 famili tumbuhan yang dimanfaatkan sebagai
obat tradisional. Organ tumbuhan yang digunakan sangat beragam, meliputi daun,
batang, kulit, rimpang, umbi, buah dan getah. Proses penyediaan ramuan sebagai
bahan obat bermacam cara seperti direbus, ditumbuk, diperas, direndam, dibakar,
digoreng, digosok, dan diremas. Berbagai tumbuhan obat digunakan untuk
3

mengobati penyakit panas, sakit mata, sakit telinga, sakit gigi, sakit uluhati, luka
baru, sakit kulit, keseleo, patah tulang, sakit kepala, diare, dan muntah darah
(Indrawati et al. 2014).

Struktur Sekretori

Tumbuhan obat sebagian besar memiliki struktur khusus penghasil zat


tertentu yang disebut struktur sekretori. Jenis struktur sekretori merupakan
karakteristik penting dari sebagian tumbuhan yang biasanya memproduksi
berbagai jenis senyawa kimia yang kompleks (Katerina dan Tomas 2000).
Struktur sekretori dibedakan menjadi dua berdasarkan lokasinya yaitu struktur
sekretori eksternal meliputi trikoma, nektarium atau kelenjar madu, hidatoda serta
stigma dan struktur sekretori internal berupa idioblas, rongga sekretori, saluran
sekretori dan latisifer (Dickison 2000).
Hasil sekresi melalui struktur sekretori berupa minyak esensial, resin,
lateks, garam mineral, dan berbagai macam senyawa kimia seperti alkaloid dan
glikosida (Dickison 2000). Demikian pula yang dilaporkan oleh Cheniclet dan
Carde (1985) bahwa tumbuhan yang mengandung struktur sekresi khusus
misalnya trikoma kelenjar, saluran resin, rongga sekretori dan idioblas umumnya
memproduksi minyak atsiri, resin dan sejumlah besar senyawa volatil, terutama
monoterpena dan seskuiterpena. Boix et al. (2013) melaporkan bahwa senyawa
metabolit yang bersifat volatil yang dimanfaatkan sebagai obat seperti senyawa
lipofilik dan terpenoid terakumulasi di dalam organ sekretori khusus berupa
trikoma kapitat pada Rosmarinus officinalis. Senyawa metabolit sekunder yang
dihasilkan struktur sekretori seperti flavonoid, alkaloid, dan terpenoid menjadi
sumber yang berharga dan efektif digunakan dalam bidang kemosistematik (Noori
2002).
Struktur sekretori berupa trikoma kelenjar peltat dan kapitat banyak
dijumpai pada tumbuhan. Trikoma peltat lebih pendek dibandingkan dengan
trikoma kapitat. Menurut Jia et al. (2013) Trikoma kelenjar peltat dengan posisi
tenggelam memiliki sel basal, sel tangkai dan sel kepala multiseluler terdiri dari
12 sel, sedangkan trikoma kelenjar kapitat memiliki sel basal, sel tangkai yang
panjang terdiri dari 1-3 sel dan sel kepala terdiri dari 1 sel, misalnya pada Thymus
quinquecostatus. Trikoma peltat dengan posisi tenggelam dijumpai pada berbagai
genus Chelonopsis, misalnya C. rosea, C. bracteata dan C. lichiangensis
(Xiang et al. 2010). Selain posisi tenggelam, juga dijumpai trikoma peltat dengan
posisi tidak tenggelam misalnya pada Hypericum punctatum (Duke et al. 2000).
Menurut Rusydi et al (2013) trikoma peltate terdiri dari satu atau dua sel basal,
dengan tangkai sangat pendek, kepala multiseluler dan bentuk kepala bulat besar,
misalnya pada Pogostemon cablin.
4

Histokimia

Histokimia terkait dengan lokalisasi dan identifikasi komponen molekul,


aktivitas metabolisme dan aspek biologi sel dari sel dan jaringan. Histokimia
adalah teknik yang digunakan untuk memvisualisasikan kandungan senyawa pada
jaringan. Teknik ini termasuk dalam bidang kimia organik, biokimia, dan biologi
(Lavis 2011). Tujuan histokimia adalah mendeteksi kandungan senyawa pada
jaringan atau sel dengan menggunakan reagen spesifik sehingga menghasilkan
warna yang kontras pada gambar (jaringan dan sel) mikroskopis (Kiernan 2008).
Berbagai kandungan senyawa yang terdeteksi pada struktur sekretori tumbuhan
berdasarkan uji histokimia seperti monoterpena berupa timol pada trikoma
kelenjar Thymus vulgaris (Gersbach et al. 2001), trikoma kelenjar pada Ocimum
obovatum mengandung minyak esensial, polisakarida dan senyawa lipofil (Naidoo
et al. 2013), sel idioblas pada Cochlospermum rhegium mengandung minyak
esensial dan senyawa tanin (Filho et al. 2014), rongga kelenjar dan saluran kanal
pada Hypevicum pevfovatum mengandung alkaloid dan lipid (Ciccarelli et al.
2001) dan trikoma kelenjar pada Satureja horvatii mengandung senyawa terpena,
tanin, fenol, polisakarida, protein, pektin dan lipid. (Marin et al. 2012).

Fitokimia

Kandungan senyawa kimia yang terdapat dalam suatu jaringan atau sel dari
uji histokimia, dapat diuji lanjut melalui uji fitokimia untuk memastikan
kandungan senyawa metabolit. Fitokimia didefinisikan sebagai studi tentang
komposisi kimia tumbuhan obat atau phyto-medicine. Ekstrak herbal kasar dan
fitokimia sangat dibutuhkan dalam penelitian terapan serta penggunaan secara
komersial. Senyawa fitokimia dapat melalui proses isolasi dan pemurnian dari
ekstrak herbal. Dengan ditemukannya jenis alkaloid berupa opium dan morfina,
para ahli kimia mulai menargetkan obat herbal sebagai senyawa bioaktif yang
disebut fitokimia. Berbagai tumbuhan bahan obat terbukti mengandung senyawa
fitokimia yang mampu menghambat mikroba, misalnya Nervilia aragoana
mengandung asam lemak dan senyawa heterosiklik yang mampu menghambat
pertumbuhan cendawan sehingga bersifat anti-biotik dan antiinflamasi (Thomas et
al. 2013). Cinnamomum zeylanicum mengandung glikosida, fenol, tanin, terpena
and protein yang mampu menghambat pertumbuhan bakteri Escherichia coli,
Salmonella typhi, Salmonella typhimurium, Shigella dysenterae, Shigella flexneri,
Pseudomonas aeruginosa, K. pneumonia dan jenis cendawan seperti Candida
albicans, Candida tropicalis dan Candida krusei (Uma et al. 2009). Fitokimia
teridentifikasi sebanyak 54 jenis dijumpai pada Ocimum forskolei. Berbagai jenis
senyawa tersebut berperan sebagai antioksidan dan antimikroba (Al-Hajj et al.
2014).
5

3 METODE PENELITIAN

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian berlangsung dari Februari 2013 hingga Februari 2014. Sampel


tumbuhan diambil dari hutan karet kawasan Taman Nasional Bukit Duabelas,
Jambi. Identifikasi tumbuhan dilakukan di Herbarium Bogoriense, LIPI Cibinong.
Pengamatan struktur anatomi dan histokimia dilakukan di Laboratorium Anatomi
Tumbuhan, Departemen Biologi Fakultas MIPA. Pengamatan menggunakan
Scanning Microscope Electron (SEM) dengan preparasi dilakukan di
Laboratorium Zoologi, LIPI Cibinong dan tanpa preparasi dilakukan di
Laboratorium Teknologi Keramik (Universitas Kristen Indonesia), Jakarta.
Analisis kandungan fitokimia dilakukan di Laboratorium Terpadu Badan
Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Bogor.

Penyiapan Bahan Tumbuhan dari Lapang

Bahan tumbuhan yang digunakan didapatkan melalui eksplorasi dan


wawancara langsung kepada Tumenggung Tarip (Kepala Suku Anak Dalam).
Untuk pengamatan dengan mikroskop cahaya, material difiksasi dalam alkohol
70%, sedangkan untuk pengamatan dengan SEM, bahan difiksasi dalam larutan
FAA (formaldehida, asam asetat glasial dan alkohol 70%; 1:1:18). Untuk uji
histokimia, material dibawa ke laboratorium dalam keadaan segar, sedangkan
untuk analisis kandungan senyawa fitokimia menggunakan GC-MS pirolisis,
material dikeringkan di bawah cahaya matahari dan selanjutnya dikeringkan di
dalam oven pada suhu 60oC selama 3 hari.

Pembuatan Sediaan Mikroskopis

Sayatan paradermal daun dibuat dalam bentuk preparat semi permanen


dengan metode sediaan utuh (Sass 1951). Sampel yang telah difiksasi dalam
alkohol 70%, dicuci dengan aquades lalu direndam dalam larutan HNO3 50%
hingga daun cukup lunak, lalu dibilas dengan aquades, kemudian sisi adaksial dan
abaksial daun disayat dengan silet. Hasil sayatan direndam dalam larutan sodium
hipoklorit 5.25% (Bayclin) selama 3-5 menit, dibilas dengan aquades, kemudian
diwarnai dengan safranin 1%. Sediaan yang telah diwarnai diletakkan pada kaca
objek yang telah diberi media gliserin 30% dan ditutup dengan kaca penutup.
Sayatan melintang daun, kulit batang, batang dan umbi dibuat dalam
bentuk preparat permanen dengan metode parafin (Johansen 1940). Sampel
yang telah difiksasi dalam larutan FAA, didehidrasi dan dijernihkan dalam seri
larutan Johansen I-VII (Lampiran 1), lalu diinfiltrasi dengan parafin selanjutnya
sampel ditanam dalam blok parafin. Blok parafin yang berisi sampel dilunakkan
dalam larutan Gifford selama 2 minggu. Blok dipotong dengan mikrotom putar
(Yamato RV-240). Pita parafin yang dihasilkan direkatkan pada gelas objek
dengan albumin-gliserin. Tahap selanjutnya hasil sayatan diwarnai dengan
safranin 2% dan fast-green 0,5%, kemudian diamati menggunakan mikroskop
cahaya (Olympus C21).
6

Analisis Histokimia

Sampel berupa daun, batang, kulit batang dan umbi disayat melintang
setebal 20-25 m menggunakan mikrotom beku (Yamato RV-240). Hasil sayatan
selanjutnya diuji dengan beberapa macam reagensia. Pengujian terpenoid pada sel
atau jaringan dilakukan dengan pemberian reagen kupri asetat 5% mengikuti
metode Harbone (1987). Adanya senyawa terpenoid ditunjukkan dengan warna
kuning atau kuning kecoklatan. Pengujian alkaloid dilakukan menggunakan
reagen Wagner; hasil positif alkaloid ditunjukkan dengan adanya deposit
berwarna coklat kemerahan atau kuning. Sebagai kontrol negatif, kandungan
alkaloid pada sayatan segar terlebih dahulu dilarutkan dengan 5% larutan asam
tartarat dalam alkohol 95% selama 48 jam pada suhu ruang, sebelum dilakukan
pengujian dengan pereaksi Wagner (Furr dan MahIberg 1981). Kandungan
senyawa lipofil diuji dengan pewarna sudan IV mengikuti metode Boix et al.
(2011). Irisan sampel dibilas menggunakan alkohol 70% selama 1 menit,
kemudian direndam dalam 0,03% larutan pewarna sudan IV, lalu dipanaskan
dalam water bath pada suhu 40oC selama 30 menit, sayatan sampel dibilas dengan
alkohol 70%, kemudian diletakkan di atas gelas objek yang diberi media gliserin
30% dan ditutup dengan gelas penutup. Adanya kandungan senyawa lipofil
ditandai dengan warna merah atau kuning hingga jingga.

Pengamatan dengan Scanning Electron Microscope (SEM)

Sampel daun dicuci dalam bufer kakodilat selama 2 jam menggunakan


ultrasonic cleaner (Sibata SU-6THE, Japan), kemudian dilakukan prefiksasi
dalam larutan glutaraldehida 2,5% selama 2 hari pada suhu 40C, setelah itu
difiksasi dalam asam tanat 2% selama 6 jam. Sampel dicuci dengan bufer
kakodilat, lalu dibilas dengan aquades selama 15 menit dan didehidrasi dalam seri
alkohol bertingkat. Sampel selanjutnya direndam dalam tert-butanol selama 2x10
menit, lalu dikeringkan menggunakan pengering vakum (TAITEC VC-96N),
kemudian dilapisi dengan emas menggunakan Sputter Coater (Ion coater iB2,
Japan) dan diamati menggunakan Scanning Electron Microscope (SEM) (JEOL
JSM 5310 LV Hitachi) pada voltase 20 kV.

Pengamatan Struktur Sekretori

Struktur sekretori pada masing-masing sampel diamati bentuk, letak, tipe,


ukuran dan kerapatannya dengan mikroskop cahaya. Deskripsi bentuk struktur
sekretori mengikuti kriteria de Vogel (1987). Masing-masing sampel diamati pada
5 area bidang pandang. Kerapatan trikoma (KT), sel idioblas (KI), saluran
kelenjar (KK) dan rongga sekretori (KS) ditentukan dengan rumus sebagai
berikut:
Trikoma/Sel idioblas/Saluran kelenjar/Rongga sekretori
KT/KI /KK/KS=
Luas bidang pandang (mm2)
7

Analisis Senyawa Fitokimia

Komponen senyawa fitokimia diidentifikasi menggunakan GC-MS pirolisis.


Sebanyak 0.002 g bubuk sampel dimasukkan ke dalam tempat sampel dalam
instrumen GC-MS tipe Shimadzu-QP2010. Selanjutnya, komponen kimia sampel
diidentifikasi dengan kondisi proses: suhu pirolisis 400oC, suhu oven GC 50oC,
suhu injektor 280oC, gas pembawa helium, suhu antarmuka 280oC dan suhu
sumber ion 200oC. Spektrogram massa yang dihasilkan dicocokkan secara
otomatis oleh instrumen berdasarkan kemiripan pola m/z-nya dengan spektrogram
massa yang ada database dalam instrumen, yaitu NIST (National Institute of
Standards and Technology) dan Wiley.

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

Kegunaan Tumbuhan

Bahan tumbuhan yang digunakan adalah daun, kulit batang dan umbi dari
delapan jenis tumbuhan terpilih berdasarkan manfaat sebagai obat infeksi (Tabel 1
dan Gambar 1). Proses penyediaan ramuan sebagai bahan obat berbagai macam
seperti direbus, ditumbuk, diperas atau mengambil langsung getah untuk diminum.
Sebagian besar ekstrak tumbuhan terpilih dapat diminum, kecuali Sonerila
obliqua Korth. yang penggunaannya dengan cara mengoleskan daun yang telah
dihancurkan pada luka luar.

Tabel 1 Tumbuhan obat terpilih dan pemanfaatannya oleh Suku Anak Dalam
Nama Famili Bagian yang
No. Nama Ilmiah Kegunaan
Lokal Digunakan
1 Tai babi Hyptis capitata Jacq. Lamiaceae Daun Sakit perut, mual-
mual, demam dan
luka
2 Pirdara Sonerila obliqua Korth. Melastomaceae Daun Luka luar
3 Sirih Piper porphyrophyllum Piperaceae Daun Luka luar, luka
harimau dalam dan pasca
melahirkan
4 Sungkoi Peronema canescens Jack Lamiaceae Kulit batang Luka luar, luka
dalam dan diare
berdarah
5 Akokolot Spatholobus ferrugineus Leguminosae Batang Diare, diare berdarah
(Zoll. & Moritzi.) Benth. dan demam
6 Lekumon Leuconotis eugenifolius Apocynaceae Batang Luka dalam dan
mungson A. DC. demam
7 Rumput Centotheca lappacea (L.) Poaceae Umbi Sakit perut, mual dan
cacing Desv. obat cacing
8 Koneon bisa Cayratia cf. geniculata Vitaceae Daun Luka luar yang
(Blume.) Gagnep. sudah membusuk
Sumber: Hasil wawancara dengan Tumenggung Tarip, identifikasi tumbuhan dari Herbarium
Bogoriense (2013) dan Herbarium KEW, Inggris.
8

A B C D

E F G H

Gambar 1 Morfologi tumbuhan obat yang diteliti. (A) H. capitata Jacq., (B) S. obliqua Korth., (C)
P. porphyrophyllum., (D) P. canescens Jack, (E) S. ferrugineus (Zoll. & Moritzi.)
Benth., (F) L. eugenifolius A. DC., (G) C. lappacea (L.) Desv., (H) C. cf. geniculata
(Blume) Gagnep

Struktur Sekretori

Pengamatan menunjukkan struktur sekretori yang dijumpai pada tumbuhan


terpilih berupa trikoma kelenjar, sel idioblas, rongga sekretori dan saluran
sekretori (latisifer) (Tabel 2). Trikoma kelenjar dijumpai pada H. capitata Jacq., S.
obliqua Korth., P. porphyrophyllum, P. canescens Jack., S. ferrugineus (Zoll. &
Moritzi.) Benth. Sel idioblas dijumpai pada H. capitata Jacq., P. porphyrophyllum
dan C. lappacea (L.) Desv. Rongga kelenjar dijumpai pada C. cf. geniculata
(Blume) Gagnep. dan Saluran sekretori dijumpai pada S. ferrugineus (Zoll. &
Moritzi.) Benth., dan L. eugenifolius A. DC.

Tabel 2 Struktur sekretori yang dijumpai pada bagian organ tumbuhan yang diamati
Bagian
No. Tumbuhan Struktur Sekretori
pengamatan
1 H. capitata Jacq. Daun Trikoma kelenjar dan sel idioblas
2 S. obliqua Korth. Daun Trikoma kelenjar
3 P. porphyrophyllum Daun Trikoma kelenjar dan sel idioblas tipe I dan II
4 P. canescens Jack Kulit batang Trikoma kelenjar
5 S. ferrugineus (Zoll. & Batang Trikoma kelenjar dan Saluran sekretori
Moritzi.) Benth.
6 L. eugenifolius A. DC. Batang Saluran sekretori
7 C. lappacea (L.) Desv. Umbi Sel idioblas tipe I dan II
8 C. cf. geniculata (Blume) Daun Sel idioblas
Gagnep. Rongga sekretori tipe I dan II

Daun H. capitata memiliki 4 tipe trikoma kelenjar yaitu peltat, kapitat tipe
I, kapitat tipe II dan uniseriat (Gambar 2). Trikoma kelenjar peltat terdiri dari 1
sel basal dan 4 sel kepala. Trikoma kelenjar kapitat tipe I memiliki tangkai yang
pendek terdiri dari 1 sel dan kepala berbentuk elips terdiri dari 2 sel, sedangkan
trikoma kelenjar kapitat tipe II memiliki tangkai yang panjang terdiri dari 7-10 sel
dan kepala berbentuk bulat terdiri dari 1 sel. Trikoma kelenjar tipe uniseriat terdiri
9

dari 4-8 sel dengan ujung yang meruncing. Trikoma kelenjar tersebar pada kedua
permukaan daun, baik di sisi adaksial maupun di sisi abaksial. Secara umum
trikoma kelenjar peltat lebih pendek dibandingkan trikoma lain, namun ukuran
kepala trikoma peltat jauh lebih besar dari kedua tipe trikoma kapitat. Ukuran
trikoma di daun H. capitata pada masing-masing tipe tidak berbeda antara sisi
adaksial maupun sisi abaksial (Tabel 3). Trikoma kelenjar tipe peltat dan kapitat
tersebar secara acak dipermukaan adaksial dan abaksial daun. Trikoma kelenjar
peltat di sisi abaksial tiga kali lebih tinggi dibandingkan pada sisi adaksial daun.
Trikoma kelenjar kapitat tipe I di sisi abaksial satu koma empat puluh enam kali
lebih tinggi dibandingkan pada sisi adaksial daun, sedangkan trikoma kelenjar
kapitat tipe II dan tipe uniseriat di sisi adaksial dan abaksial memiliki sebaran
yang hampir sama.
cII p
u

cI cII

A B C

p
Ep
Pl
s
cI
Bk cI p
D E

Gambar 2 Trikoma kelenjar pada daun H. capitata menggunakan SEM (A,B dan C),
menggunakan mikroskop cahaya pada sisi abaksial (D) dan pada irisan
melintang (E). p: peltat, cI: kapitat tipe I, cII: kapitat tipe II, u: uniseriat, s:
stomata, Ep: jaringan epidermis, Bk: jaringan bunga karang, Pl: jaringan
palisade. Bar: 50m

Sel idioblas pada daun H. capitata berbentuk bulat, tersebar di mesofil daun,
dari jaringan palisade hingga jaringan bunga karang (Gambar 3). Sel idioblas pada
jaringan palisade berukuran lebih besar dari pada sel serupa yang terdapat pada
jaringan bunga karang, namun kerapatan sel idioblas tersebut pada jaringan
palisade lebih rendah dari pada di jaringan bunga karang.

Gambar 3 Sel idioblas pada irisan melintang daun H. capitata. Anak panah: sel
idioblas. Bar: 50m.
10

Daun S. obliqua memiliki trikoma kelenjar tipe kapitat (Gambar 4).


Trikoma tersebut memiliki tangkai yang panjang terdiri dari 2-3 sel dan kepala
terdiri dari 2 sel. Trikoma kelenjar tersebar secara acak di permukaan adaksial dan
abaksial daun. Ukuran panjang tangkai, panjang kepala, lebar kepala, dan
kerapatan di adaksial maupun abaksial daun hampir sama (Tabel 3).

A B C

Gambar 4 Trikoma kelenjar S. obliqua menggunakan SEM (A) dan


menggunakan mikroskop cahaya pada irisan paradermal sisi adaksial
(B) dan sisi abaksial (C). Bar: 50 m.

Daun P. porphyrophyllum memiliki struktur sekretori berupa trikoma


kelenjar biseluler dan sel idioblas (Gambar 5). Trikoma kelenjar multiseluler
berbentuk elips, ukuran panjang dan lebar trikoma kelenjar tersebut di adaksial
maupun abaksial daun hampir sama, namun kerapatan lebih tinggi di bagian
abaksial daripada adaksial daun (Tabel 3).
Sel idioblas yang dijumpai pada daun P. porphyrophyllum digolongkan
menjadi 2 tipe berdasarkan letaknya di mesofil dan kandungan metabolitnya. Sel
idioblas tipe I berbentuk bulat, tersebar di antara jaringan palisade dan bunga
karang, sedangkan tipe II memiliki bentuk yang sama, tetapi mengandung kristal
rafid dan tersebar di jaringan bunga karang.

A
B C

idII
idI
idI
D E

Gambar 5. Trikoma kelenjar dan sel idioblas pada daun P. porphyrophyllum.


Trikoma kelenjar menggunakan SEM (A) dan menggunakan
mikroskop cahaya pada irisan paradermal sisi adaksial (B) dan sisi
abaksial (C). Sel idioblas menggunakan mikroskop cahaya pada irisan
melintang daun (D) dan irisan paradermal (E). idI: idioblas tipe I dan
idII: idioblas tipe II. Bar: 50 m
11

Tabel 3 Ukuran dan kerapatan trikoma kelenjar pada sisi adaksial dan abaksial daun

Tumbuhan dan tipe Panjang tangkai Panjang kepala Lebar


Kerapatan (mm-2)
(m) (m) kepala (m)
trikoma kelenjar
Ad Ab Ad Ab Ad Ab Ad Ab
H. capitata
Peltat - - 27.70.3 280.5 43.60.3 44.41.2 9.60.7 32.31.9
Kapitat type I 7.50.5 7.80.9 12.80.5 13.30.9 25.10.5 27.50.9 12.63.3 18.91.3
Kapitat type II 35114.7 354.78.1 27.50.7 28.30.3 19.10.5 19.40.9 3.90.3 4.50.2
Uniseriat 343.732.6 342.744.2 - - - - 3.90.7 4.40.3
S. obliqua
Kapitat 52.81.6 46.41.0 21.50.3 19.30.4 17.80.1 16.31.0 28.10.7 30.61.4
P. porphyrophyllum
Biseluler - - 28.40.8 28.71.9 13.50.3 13.60.4 23.91.3 31.71.9
Ket: (Ad) adaksial daun, (Ab) abaksial daun

Kulit batang P. canescens memiliki struktur sekretori berupa trikoma


kelenjar tipe peltat dan kapitat (Gambar 6). Trikoma kapitat terdiri dari 2 tipe
yaitu kapitat tipe I dan II. Trikoma kelenjar peltat memiliki 1 sel basal dan 4 sel
kepala. Trikoma kapitat tipe I memiliki tangkai yang pendek terdiri dari 1 sel dan
kepala berbentuk bulat terdiri dari 2-3 sel. Trikoma kapitat tipe II memiliki
tangkai yang panjang terdiri dari 2-3 sel dan kepala berbentuk bulat terdiri dari 2
sel. Kerapatan trikoma kelenjar tipe peltat lebih tinggi daripada kedua trikoma
kapitat. Diantara trikoma kapitat ternyata kerapatan dari masing-masing tipe
berbeda. Tipe I lebih tinggi dibandingkan trikoma kelenjar kapitat tipe II (Tabel 4).

P
p
cII cII
cI

A B C

Gambar 6 Trikoma kelenjar pada kulit batang P. canescens menggunakan SEM (A dan
B) dan menggunakan mikroskop cahaya pada irisan melintang (C). p: peltat,
cI: kapitat tipe I, dan cII: kapitat tipe II. Bar: 50 m.

Struktur sekretori yang dijumpai pada batang S. ferrugineus berupa trikoma


kelenjar dan saluran sekretori. Tipe trikoma kelenjar tersebut berupa kapitat
dengan tangkai yang panjang terdiri dari 2 sel dan kepala berbentuk bulat terdiri
dari 8-10 sel (Gambar 7A). Saluran sekretori dijumpai tersebar dari jaringan
korteks hingga empulur (Gambar 7B). Saluran sekretori di jaringan empulur
berukuran lebih besar (61.35.5 m) dan lebih rapat (5.10.7 mm-2) dari pada
saluran serupa yang terdapat pada jaringan korteks sebesar ( 42.03.5 m) dan
kerapatan (4.00.4 mm-2).
12

E
A B

Gambar 7 Struktur sekretori S. ferrugineus menggunakan mikroskop cahaya.


Trikoma kelenjar (A) dan saluran sekretori pada sayatan melintang batang
(B). E: daerah empulur, K: daerah korteks. Anak panah: saluran sekretori.
Bar: 50 m.

Tabel 4 Ukuran panjang tangkai, panjang kepala, lebar kepala dan kerapatan trikoma
kelenjar pada kulit batang P. canescens dan S. ferrugineus
Tumbuhan dan tipe Panjang Panjang Lebar
-2
trikoma kelenjar tangkai (m) kepala (m) kepala (m) Kerapatan (mm )
P. canescens
Peltat - 16.80.2 24.80.3 122.021.8
Kapitat tipe I 7.80.6 15.90.5 18.10.8 104.03.2
Kapitat tipe II 22.40.9 11.50.7 14.90.2 82.66.5
S. ferrugineus
Kapitat 26.41.2 42.72.0 31.51.1 19.41.8

Pada batang L. eugenifolius dijumpai struktur sekretori berupa saluran


sekretori. Saluran tersebut tersebar dari jaringan korteks hingga empulur (Gambar
8). Saluran sekretori di jaringan empulur berukuran lebih besar (32.70.9 m) dari
pada saluran serupa yang terdapat pada jaringan korteks (22.52.0 m), namun
kerapatan saluran tersebut pada jaringan korteks lebih tinggi (54.52.6 mm-2) dari
pada di jaringan empulur (38.20.7 mm-2). Saluran sekretori mensekresikan getah
berwarna putih.

E
K

A B C

Gambar 8 Saluran sekretori pada batang L. eugenifolius (tanda panah). Irisan melintang
(A); Irisan membujur pada korteks (B) dan empulur (C). K: daerah jaringan
korteks, E: daerah jaringan empulur. Anak panah: saluran sekretori Bar: 50
m.

Umbi C. lappacea memiliki struktur sekretori berupa sel idioblas.


berdasarkan ukuran dan lokasinya, sel-sel tersebut dikelompokkan menjadi 2 tipe
yaitu tipe I yang tersebar di jaringan epidermis dan tipe II yang tersebar di
jaringan hipodermis (Gambar 9). Sel idioblas pada jaringan hipodermis berukuran
lebih besar daripada di jaringan epidermis (Tabel 5).
13

Ep

idI
Hp

idII
Sk

Gambar 9 Sel idioblas pada irisan melintang umbi C. lappacea. IdI: Sel idioblas tipe I,
IdII: Sel idioblas tipe II, Ep: jaringan epidermis dan Hp: jaringan hipodermis.
Bar: 50 m.

Tabel 5 Bentuk, ukuran dan kerapatan sel idioblas pada daun H. capitata, C. cf. geniculata,
P. porphyrophyllum dan umbi C. lappacea
Tumbuhan dan Struktur sekretori Bentuk Diameter (m) Kerapatan (mm-2)
H. capitata
Sel idioblas di palisade Bulat 5.90.4 261.215.4
Sel idioblas di bunga karang Bulat 4.20.3 271.733.2
C. cf. geniculata
Sel idioblas Bulat 18.580.8 125.3711.3
P. porphyrophyllum
Sel idioblas tipe I Bulat 27.21.4 92.15.4
Sel idioblas tipe II Bulat 311.4 18.41.9
C. lappacea
Sel idioblas tipe I Bulat 7.750.4 56.925.4
Sel idioblas tipe II Bulat 26.411.9 19.361.3

Daun C. cf. geniculata memiliki struktur sekretori berupa rongga sekretori


dan sel idioblas. Berdasarkan bentuknya, rongga sekretori dikelompokkan
menjadi 2 tipe yaitu tipe I berbentuk bulat dan tipe II berbentuk elips. Rongga
sekretori tipe I berdiameter 112.71.5 m dengan kerapatan 12.50.6 mm-2.
Rongga sekretori tipe II memiliki panjang 154.72.9 m, lebar 79.71.5 m
dengan kerapatan 13.10.6 mm-2, dan mengandung kristal rafid. Kedua struktur
tersebut tersebar di antara jaringan palisade dan bunga karang atau di jaringan
bunga karang saja (Gambar 10). Sel idioblas pada daun C. cf. geniculata
berbentuk bulat mengandung kristal drus tersebar di jaringan mesofil dan
pertulangan daun. Ukuran sel idioblas lebih kecil dibandingkan rongga sekretori.

Ea
r Pl
r
RkII

RkII RkI

Bk
RkI Eb
Id
A B C

Gambar 10 Rongga sekretori dan sel idioblas pada daun C. cf. geniculata. Rongga
sekretori pada irisan paradermal (A), pada irisan melintang (B), dan sel
idioblas pada irisan melintang (C). RkI: rongga sekretori tipe I, RkII: rongga
sekretori tipe II, Ea: epidermis atas, Eb: Epidermis bawah, Bk: jaringan
bunga karang, Pl: jaringan palisade, r: kristal rafid, Id: sel idioblas. Bar: 50
m.
14

Analisis Histokimia Trikoma Kelenjar, Sel Idioblas, Rongga Sekretori, dan


Saluran Sekretori

Hasil uji histokimia menunjukkan bahwa senyawa terpenoid dan alkaloid


terdapat pada semua trikoma kelenjar (Tabel 6). Senyawa lipofil, terpenoid dan
alkaloid terkandung pada trikoma kelenjar kapitat tipe II pada H. capitata, trikoma
kapitat pada S. obliqua dan biseluler pada P. porphyrophyllum (Tabel 6, Gambar
11, 12 dan 13). Trikoma kelenjar kapitat tipe I, kapitat tipe II, peltat dan tipe
uniseriat pada daun H. capitata mengandung terpenoid dan alkaloid. Selain kedua
senyawa tersebut, pada trikoma kelenjar kapitat tipe II juga mengandung senyawa
lipofil.

Tabel 6 Keberadaan senyawa fitokimia pada struktur sekretori


Nama Tumbuhan Struktur sekretori Tipe trikoma Terpenoid Alkaloid Lipofil
H. capitata Trikoma kelenjar Peltat + + -
Kapitat tipe I + + -
Kapitat tipe II + + +
Uniseriat + + -
Sel idioblas + - +
S. obliqua Trikoma kelenjar Kapitat + + +
P. porphyrophyllum Trikoma kelenjar Biseluler + + +
Sel idioblas I + - -
Sel idioblas II - - -
P. canescens Jack Trikoma kelenjar Peltat + + -
Kapitat tipe I + + -
Kapitat tpe II + + +
S. ferrugineus Trikoma kelenjar Kapitat + + +
Saluran sek. kor. + + -
Saluran sek. emp. + + -
L. eugenifolius Saluran sek. kor. - - +
Saluran sek. emp. - - +
C. lappacea Sel idioblas I + - +
Sel idioblas II - + -
C. cf. geniculata Rongga sek. I + - +
Rongga sek. II - - +
Sel idioblas - - -
Ket: - senyawa metabolit tidak terdeteksi, + senyawa metabolit terdeteksi, Sek.
kor.: sekretori pada korteks, Sek. emp.: sekretori pada empulur, Sek. I:
sekretori tipe I dan Sek. II: sekretori tipe II.
15

A F K P

B G L Q

C H M R

D I N S

E J O T

Gambar 11 Hasil uji histokimia trikoma kelenjar pada daun H. capitata (A,B,C
dan D) menggunakan reagen kupri asetat untuk uji terpenoid; (F,G,H
dan I) menggunakan pewarna sudan IV untuk senyawa lipofil; (K,L,M
dan N) menggunakan reagen Wagner untuk alkaloid; (P,Q,R dan S)
reagen asam tartarat sebagai kontrol negatif alkaloid; (E,J,O dan T)
menggunakan air sebagai kontrol;. Bar: 50 m.

Trikoma kelenjar peltat dan kapitat tipe I di kulit batang P. canescens


mengandung senyawa terpenoid dan alkaloid, sedangkan trikoma kelenjar kapitat
tipe II hanya mengandung terpenoid. Trikoma kelenjar kapitat tipe III
mengandung senyawa lipofil dan terpenoid (Gambar 14). Trikoma kelenjar tipe
kapitat yang dijumpai pada kulit batang S. ferrugineus mengandung senyawa
alkaloid, terpenoid dan lipofil (Gambar 15).
16

A B C

D E
B
Gambar 12 Hasil uji histokimia trikoma kelenjar pada daun S. oblique. (A)
menggunakan reagen kupri asetat untuk uji terpenoid; (B) reagen
Wagner untuk alkaloid; (C) menggunakan reagen asam tartarat
sebagai kontrol negatif alkaloid; (D) menggunakan pewarna sudan IV
untuk senyawa lipofil dan (E) air sebagai kontrol. Bar: 50 m.

A B C

D E

Gambar 13 Hasil uji histokimia trikoma kelenjar pada daun P. porphyrophyllum


(A) reagen kupri asetat untuk uji terpenoid; (B) menggunakan reagen
Wagner untuk alkaloid; (C) menggunakan reagen asam tartarat
sebagai kontrol negatif alkaloid; (D) menggunakan pewarna sudan IV
untuk senyawa lipofil dan (E) menggunakan air sebagai kontrol. Bar:
50 m.
17

A D G J

B E H K
J

C F I L

M N O

Gambar 14 Hasil uji histokimia trikoma kelenjar pada kulit batang P. canescens (A,B
dan C) menggunakan reagen kupri asetat untuk uji terpenoid; (D,E dan F)
menggunakan pewarna sudan IV untuk senyawa lipofil; (G,H dan I)
menggunakan reagen Wagner untuk alkaloid; (J,K dan L) reagen asam tartarat
sebagai kontrol negatif alkaloid; (M,N dan O) menggunakan air sebagai kontrol.
Bar: 50 m.

A B C

D E
Gambar 15 Hasil uji histokimia trikoma kelenjar pada kulit batang S. ferrugineus. (A)
menggunakan reagen kupri asetat untuk uji terpenoid; (B) menggunakan
reagen Wagner untuk alkaloid; (C) menggunakan reagen asam tartarat
sebagai kontrol negatif alkaloid; (D) menggunakan pewarna sudan IV untuk
senyawa lipofil dan (E) menggunakan air sebagai kontrol. Bar: 50 m.
18

Rongga sekretori tipe I pada daun C. cf. geniculata mengandung senyawa


terpenoid dan lipofil, ditandai dengan terbentuknya deposit berwarna coklat
(Gambar 16). Rongga sekretori tipe II mengandung senyawa lipofil di sekitar
kristal rafid, ditandai dengan terbentuknya cairan berwana coklat di sekitar kristal
tersebut, namun rongga sekretori negatif mengandung senyawa terpenoid dan
alkaloid.

A C E G

B D F H

I J

Gambar 16 Hasil uji histokimia rongga sekretori pada irisan melintang daun C. cf.
geniculata. (A dan B) menggunakan reagen kupri asetat untuk uji
terpenoid; (C dan D) menggunakan pewarna sudan IV untuk senyawa
lipofil, (E dan F) menggunakan reagen Wagner untuk alkaloid; (G
dan H) menggunakan reagen asam tartarat sebagai kontrol negatif
alkaloid dan (I dan J) menggunakan air sebagai kontrol. Bar: 50 m.

Sel idioblas pada daun H. capitata mengandung senyawa lipofil dan


terpenoid (Gambar 17). Sel idioblas tipe I pada jaringan epidermis umbi C.
lappacea mengandung senyawa lipofil dan terpenoid, selain itu sel idioblas tipe II
dengan ukuran yang lebih besar di bagian jaringan hipodermis mengandung
senyawa alkaloid (Gambar 18). Sel idioblas tipe I pada daun P. porphyrophyllum
mengandung senyawa terpenoid (Gambar 19).
19

A B C

D E

Gambar 17 Hasil uji histokimia sel idioblas pada daun H. capitata. (A)
menggunakan reagen kupri asetat untuk uji terpenoid; (B)
menggunakan reagen Wagner untuk alkaloid; (C) menggunakan
reagen asam tartarat sebagai kontrol negatif alkaloid; (D)
menggunakan pewarna sudan IV untuk senyawa lipofil dan (E)
menggunakan air sebagai kontrol. Anak panah: sel idioblas. Bar: 50
m.

A B C

D E

Gambar 18 Hasil uji histokimia sel idioblas pada umbi C. lappacea. (A)
menggunakan reagen kupri asetat untuk uji terpenoid; (B)
menggunakan reagen Wagner untuk alkaloid; (C) menggunakan
reagen asam tartarat sebagai kontrol negatif alkaloid; (D)
menggunakan pewarna sudan IV untuk senyawa lipofil dan (E)
menggunakan air sebagai kontrol. Anak panah: sel idioblas. Bar: 50
m.
20

A B C

D E

Gambar 19 Hasil uji histokimia sel idioblas pada daun P. porphyrophyllum. (A)
menggunakan reagen kupri asetat untuk uji terpenoid; (B)
menggunakan reagen Wagner untuk alkaloid; (C) menggunakan
reagen asam tartarat sebagai kontrol negatif alkaloid; (D)
menggunakan pewarna sudan IV untuk uji senyawa lipofil; (E)
menggunakan air sebagai kontrol. Anak panah: sel idioblas. Bar: 50
m.

Hasil uji histokimia pada saluran sekretori batang S. ferrugineus


menunjukkan bahwa senyawa alkaloid dan terpenoid terdeteksi pada saluran
sekretori yang terdapat pada korteks dan empulur, namun senyawa lipofil tidak
ditemukan pada semua struktur sekretori tersebut (Gambar 20).

A B C D

E F G H

Gambar 20 Hasil uji histokimia saluran sekretori pada irisan melintang batang S.
ferrugineus. (A-D) saluran sekretori di jaringan korteks; (E-H) saluran
sekretori di jaringan empulur. (A dan E) menggunakan reagen kupri
asetat untuk uji terpenoid; (B dan F) menggunakan reagen Wagner
untuk uji alkaloid; (C dan G) menggunakan reagen asam tartarat
sebagai kontrol negatif alkaloid; (D dan H) menggunakan pewarna
sudan IV untuk senyawa lipofil. Anak panah: saluran sekretori. Bar:
50 m.
21

Hasil uji histokimia pada batang L. eugenifolius menunjukkan bahwa


saluran sekretori tidak mengandung senyawa alkaloid dan tepenoid, namun pada
struktur sekretori tersebut ditemukan senyawa lipofil (Gambar 21).

A B C D E

F G H I J

Gambar 21 Hasil uji histokimia saluran sekretori pada irisan melintang batang L.
eugenifolius A. DC. (A-E) saluran sekretori di jaringan korteks; (F-J)
saluran sekretori di jaringan empulur. (A dan F) menggunakan reagen
kupri asetat untuk uji terpenoid; (B dan G) menggunakan reagen
Wagner untuk uji alkaloid; (C dan H) menggunakan reagen asam
tartarat sebagai kontrol negatif alkaloid; (D dan I) menggunakan
pewarna sudan IV untuk senyawa lipofil dan (E dan J) menggunakan
air sebagai kontrol. Anak panah: saluran sekretori. Bar: 50 m.

Kandungan Fitokimia Hasil Analisis Gas Chromatography-Mass Spectrometry


(GC-MS) Pirolisis

Analisis menggunakan GC-MS mendeteksi golongan senyawa alkaloid,


terpenoid, dan asam lemak pada H. capitata, S. oblique, P. porphyrophyllum, S.
ferrugineus, dan C. lappacea. Selain itu, pada P. porphyrophyllum, S. ferrugineus,
dan C. lappacea mengandung golongan senyawa flavonoid (Lampiran 2). P.
canescens mengandung golongan senyawa terpenoid dan alkaloid. Golongan
senyawa flavonoid dan asam lemak terdeteksi pada Leuconotis eugenifolius,
sedangkan pada Cayratia cf. geniculata mengandung kombinasi golongan
senyawa terpenoid dan asam lemak. Senyawa metabolit berupa terpenoid banyak
dijumpai pada H. capitata dan C. cf. geniculata sedangkan senyawa alkaloid
banyak dijumpai pada S. obliqua dan C. lappacea.
Senyawa limonena dijumpai pada daun H. capitata Jacq., S. obliqua, P.
porphyrophyllum, dan C. cf. geniculata. Senyawa berupa nerolidol, eugenol dan
asam oleat terdapat pada daun H. capitata Jacq. Daun H. capitata Jacq. dan C. cf.
geniculata mengandung senyawa neopitadiena. Senyawa asam palmitat terdapat
pada kelima tumbuhan yaitu daun S. obliqua Korth., P. porphyrophyllum, C. cf.
geniculata, umbi C. lappacea, dan kulit S. ferrugineus. Senyawa isoeugenol
dijumpai pada umbi C. lappacea (L.) dan batang L. eugenifolius, selain itu, batang
L. eugenifolius juga mengandung senyawa metil palmitat. Daun P.
porphyrophyllum mengandung senyawa tectochrysin. Senyawa terpenoid berupa
22

furfural, iso-pinokampeol, hidroquinona, 2-furalkarboksildehida,5-(hidroksimetil) dan


norolean-12-ene dijumpai pada P. Canescens. Sedangkan senyawa alkaloid yang
terdeteksi berupa 2-amino-9-(3,4-dihidroksi-5- hidroksimetil)-.
Umbi C. lappacea mengandung senyawa terpenoid berupa Oct-1-en-3-yl
asetat, 1,1,2-trimetilsiklohexana dan berbagai senyawa alkaloid seperti N-metil-2-
piperidon, 4-piperidinemethanamin, dan 2,4-imidazolidinedion,3-metil (Lampiran
2). P. canescens mengandung senyawa fenolat berupa vanilin dan fenol berupa
hidrokuinon.

Pembahasan

Struktur sekretori berupa trikoma kelenjar dijumpai pada lima tumbuhan


yaitu daun H. capitata, S. obliqua Korth., P. porphyrophyllum, kulit batang P.
canescens Jack, dan S. ferrugineus. Daun H. capitata, P. porphyrophyllum dan S.
obliqua memiliki trikoma kelenjar yang tersebar pada bagian adaksial maupun
abaksial. Sebaran demikian umum dijumpai pada berbagai famili seperti pada
Betula pendula (Betulaceae) (Valkama et al. 2003), Camptotheca acuminata
(Nyssaceae) (Zhe 2004), dan Ocimum basilicum Linn. (Lamiaceae) (Thanomchat
dan Paopun 2013). Hasil penelitian pada berbagai tumbuhan, umumnya trikoma
kelenjar dijumpai lebih banyak di sisi abaksial, hanya pada spesies tertentu jumlah
trikoma kelenjar pada sisi adaksial lebih banyak, misalnya pada H. suaveolens dan
O. basilicum (Lamiaceae) (Ogunkule dan Oladele 2000). Pada H. capitata,
kerapatan trikoma kelenjar peltat lebih tinggi daripada kapitat pada permukaan
abaksial, sedangkan pada Rosmarinus officinalis L. pada kedua permukaan daun,
trikoma kelenjar kapitat lebih tinggi daripada peltat (Boix et al. 2011). Trikoma
kelenjar pada organ tumbuhan yang diamati tidak hanya dijumpai pada daun,
melainkan juga pada kulit batang, seperti pada S. ferrugineus dan P. canescens
Jack.
Trikoma kelenjar peltat yang dijumpai pada H. capitata dan P. canescens
terdiri dari 1 sel basal dan 4 sel kepala. Jumlah sel kepala trikoma kelenjar peltat
pada tumbuhan dalam famili Lamiaceae sangat bervariasi, ada yang terdiri dari 3-
6 sel, misalnya Isodon rubescens (Liu dan Liu 2012), hingga 12-18 sel pada
beberapa spesies anggota genus Ziziphora seperti Z. clinopodioides, Z. tenuior,
dan Z. taurica (Kaya et al. 2013). Trikoma kelenjar kapitat umumnya terdiri dari
1-2 sel kepala dengan tangkai yang bervariasi dari yang pendek hingga yang
panjang terdiri dari 1-3 sel. Hal demikian dijumpai pada berbagai spesies antara
lain Lavandula pinnata L. (Huang et al. 2008), R. officinalis L (Boix et al. 2011),
I. rubescens (Liu dan Liu 2012), dan O. basilicum Linn. (Thanomchat dan Paopun
2013).
Rongga sekretori berbentuk bulat seperti pada daun C. cf. geniculata
(Vitaceae) merupakan tipe yang umum dijumpai pada berbagai famili misalnya
Lauraceae, seperti pada beberapa spesies M. pomifera, Alseodaphne hainanensis,
A. andersonii, Nothaphoebe cavaleriei, Phoebe hunanensis (Gang dan Hai 1999),
dan Eucalyptus polybractea (Myrtaceae) (Goodger et al. 2010). Selain rongga
sekretori berbentuk bulat, terdapat rongga sekretori berbentuk elips, misalnya
23

pada Dieffenbachia seguine (Araceae) (Cote 2009) dan Vitis vinifera ssp. Vinifera
(Vitaceae) (Najmaddin et al. 2013)
Ukuran rongga sekretori pada C. cf. geniculata bervariasi, antara 90 sampai
130 m. Menurut Gang dan Hai (1999) tiap tumbuhan memiliki variasi ukuran
rongga sekretori, misalnya pada berbagai tumbuhan dalam famili Lauraceae dari
yang terkecil yaitu 30 sampai 40 m pada Cryptocarya maclurei, C. chingii dan C.
Concina, 50-60 m pada Machilus pomifera hingga yang terbesar yaitu 70-110
m pada Beilschmiedia fordii.
Rongga sekretori yang dijumpai pada C. cf. geniculata tersebar pada
jaringan palisade hingga bunga karang. Sebaran demikian merupakan umum
dijumpai pada berbagai tumbuhan misalnya Machilus yunnanensis, Syndiclis
anlungensis, Beilschmiedia intermedia, Cinnamomum pauciflorum (Lauraceae)
(Gang dan Hai 1999), dan Eucalyptus polybractea (Myrtaceae) (Goodger et al.
2010), namun pada beberapa spesies rongga sekretori hanya berada di jaringan
palisade misalnya pada Nothaphoebe cavaleriei, Phoebe hunanensis, P. Bournei,
Cinnamomum camphora dan Litsea euosma (Lauraceae) (Gang dan Hai 1999).
Daun pada ketiga jenis tumbuhan yang diamati yaitu H. capitata, C. cf.
geniculata dan P. porphyrophyllum memiliki sel idioblas berbentuk bulat yang
tersebar di mesofil daun. Sebaran sel idioblas serupa dijumpai pada Ambrosia
psilostachya, Erigeron annuus (Asteraceae) (Lersten et al. 2006), dan Teucrium
polium L. (Lamiaceae) (Bosabalidis 2014). Sel idioblas pada daun tidak selalu
berada di seluruh mesofil daun, namun ada pula yang hanya terdapat di jaringan
palisade antara lain pada Litsea euosma, L. praecox dan Actinodaphne
trichocarpa atau hanya di jaringan bunga karang, misalnya pada daun Phoebe
forrestii (Lauraceae) (Gang dan Hai 1999). Selain di daun, sel idioblas juga
terdapat pada organ lain seperti pada kulit batang Datura stramonium L.
(Solanaceae) (Iranbakhsh et al. 2006) dan akar Cissus verticillata (Vitaceae)
(Oliveira et al. 2012).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ukuran dan kerapatan sel idioblas
bervariasi antar tumbuhan yang diamati. Ukuran sel idioblas pada P.
porphyrophyllum sekitar tujuh kali lebih besar (311.4 m) daripada sel idioblas
pada H. capitata (4.20.3 m), namun kerapatan sel idioblas pada H. capitata
sekitar empat belas kali lebih besar (271.733.2 mm-2) dibandingkan P.
porphyrophyllum (18.41.9 mm-2). Variasi ukuran dan kerapatan sel idioblas juga
dijumpai pada beberapa spesies dari genus Machilus dan Persea. Ukuran sel
idioblas di palisade dan bunga karang dari Machilus leptophylla 30-40 m dengan
kerapatan 3 mm-2, M. yunnanensis 25-50 m dengan kerapatan 60 mm-2, M.
Salicoides 30-40 m dengan kerapatan 24 mm-2 dan P. americana berukuran 35-
45 m dengan kerapatan 89 mm-2 (Gang dan Hai 1999). Dari data di atas dijumpai
bahwa ukuran sel idioblas di palisade dan bunga karang pada H. capitata jauh
lebih kecil, namun kerapatannya jauh lebih tinggi. Ukuran sel idioblas yang
dijumpai terkait dengan kerapatan sel tersebut.
Struktur sekretori berupa saluran sekretori dijumpai pada korteks hingga
empulur batang L. eugenifolius A. DC (Apocynaceae). Saluran tersebut
mensekresikan getah berwarna putih. Saluran serupa juga terdapat pada batang
Euphorbia caducifolia (Vasconcelos et al. 2014), Cochlospermum regium
(Rajeswari et al. 2014), dan tangkai daun Ipomoea asarifolia (Martins et al. 2012).
24

Hasil uji histokimia pada trikoma kelenjar yang dijumpai pada kelima
tumbuhan yaitu H. capitata, P. porphyrophyllum, S. oblique, P. canescens dan S.
ferrugineus umumnya mengandung senyawa lipofil, terpenoid dan alkaloid.
Kombinasi kandungan senyawa yang berbeda dijumpai pada trikoma kelenjar
tumbuhan lain seperti Pogostemon cablin yang mengandung lipid, flavonoid dan
terpen (Guo et al. 2013); polisakarida, protein dan flavonoid pada daun Leonotis
leonurus (Ascenso dan Pais 1998). Trikoma kelenjar dengan tipe berbeda dapat
memproduksi senyawa yang berbeda misalnya minyak atsiri berupa monoterpena
seperti linalool dan linalil asetat diproduksi oleh trikoma kelenjar kapitat pada
daun Salvia sclarea L., sedangkan trikoma tipe peltat memproduksi senyawa
seskuiterpena (Schmiderer et al. 2008), akan tetapi ada pula tipe trikoma kelenjar
yang dapat memproduksi kedua senyawa kelompok terpenoid yaitu monoterpena
dan seskuiterpena, misalnya trikoma kelenjar kapitat tipe VI pada tanaman tomat
(Schilmiller et al. 2009). Jing et al. (2014). melaporkan bahwa sel trikoma
kelenjar peltat dan kapitat pada T. quinquecostatus mensekresikan senyawa yang
sama yaitu alkaloid. Pada penelitian lain, Gang et al. (2001) melaporkan bahwa
trikoma kelenjar peltat pada O. basilicum merupakan tempat sintesis dan akumulasi
senyawa fenilpropena.
Rongga sekretori pada C. cf. geniculata mengandung senyawa lipofil dan
terpenoid. Senyawa metabolit didominasi oleh terpenoid. Hal tersebut diduga
terkait dengan struktur sekretori berupa rongga sekretori yang memproduksi
senyawa terpenoid pada tumbuhan tersebut. Pada Cayratia pedata yang berasal
dari genus yang sama, terdapat kombinasi senyawa flavonoid, alkaloid, tanin,
karbohidrat dan terpena (Rajmohanan et al. 2014). Katerina dan Tomas (2000)
melaporkan bahwa rongga sekretori dikelilingi sel epitel yang menghasilkan
minyak atsiri, antara lain pada buah dan daun dari genus Citrus seperti
C.ourantifolia. C. aurantium. C. bergamia, C. sinensis, C. limom dan Eucalyptus
spp. Yamasaki dan Akimitsu (2007) dan Uji et al. (2015) melaporkan bahwa
rongga sekretori berperan dalam sintesis senyawa metabolit seperti monoterpena
dan seskuiterpena pada daun C. jambhiri Lush. C. cf. geniculata merupakan
tumbuhan dalam famili Vitaceae. Berbagai tanaman pada famili Vitaceae yang
mengandung senyawa metabolit, seperti ekstrak daun Vitis vinifera mengandung
Senyawa fenolat, flavonoid, saponin, dan tanin (Singh et al. 2009) dan ekstrak
daun Parthenocissus tricuspidata mengandung senyawa flavonoid dan fenolat
(Kundakovi et al. 2008).
Pada penelitian ini, daun H. capitata memiliki sel idioblas yang
mengandung senyawa lipofil. Lersten et al. (2006) melaporkan bahwa sel idioblas
yang dijumpai pada daun Erigeron annuus mengandung metabolit berupa minyak
esensial. Pada penelitian lain, Lino et al. (2007) menemukan sel idioblas yang
mengandung kombinasi senyawa fenolat dan minyak esensial pada daun C.
verticillata. Selain itu, sel idioblas dapat mensekresikan metabolit sekunder yang
lain seperti senyawa alkaloid pada Peganum harmala L. (Khafagi 2007), sel
idioblas pada korteks batang Cochlospermum regium mengandung senyawa tanin
(Vasconcelos et al. 2014), lipid, polisakarida, senyawa fenolat dan alkaloid pada
daun Cissampelos sympodialis Eichl (Cavalcanti et al. 2014).
Saluran sekretori di bagian korteks dan empulur batang S. ferrugineus
mengandung senyawa alkaloid dan terpenoid, namun senyawa serupa tidak
dijumpai pada saluran sekretori pada batang L. eugenifolius. Senyawa yang
25

dijumpai pada batang L. eugenifolius berupa senyawa lipofil. Kombinasi


kandungan senyawa yang berbeda berupa fenol, flavonoid, protein dan lipid pada
struktur sekretori dari jaringan korteks hingga empulur dijumpai pada batang E.
caducifolia (Rajeswari et al. 2014). Selain itu saluran sekretori memproduksi
senyawa metabolit berupa alkaloid yang dijumpai pada akar, batang dan daun
Vinca sardoa (Stearn) Pign. (Sacchetti et al. 1999). Pada organ berupa batang,
daun dan bunga mengandung senyawa alkaloid dan terpenoid pada Plumeria
rocea, namun senyawa saponin tidak dijumpai pada organ tersebut (Husni et al.
2013).
S. ferrugineus termasuk dalam famili Leguminosae. Ekstrak berbagai
tanaman pada famili Leguminosae mengandung senyawa metabolit seperti ekstrak
tanaman Centrosema pulmieri mengandung flavonoid, saponin dan tanin, namun
tidak dijumpai senyawa alkaloid, flavonoid, terpena dan atraquinon (Oladimeji et
al. 2007). Ekstrak daun Centrosema pubescens mengandung saponin, tanin,
terpena, alkaloid dan seskuiterpena (Ekpo et al. (2011). Pada Ekstrak tanaman
Indigofera truxillensis mengandung senyawa alkaloid (Andreazza et al. 2015) dan
ekstrak daun Indigofera suffruticosa mengandung senyawa alkaloid, flavonoid,
dan triterpenoid (dos Santos et al. 2015).
Hasil uji histokimia pada P. porphyrophyllum menunjukkan adanya
senyawa lipofil, alkaloid, dan terpenoid. Tumbuhan pada genus yang sama,
senyawa metabolit berupa terpenoid dan flavonoid dijumpai dalam ekstrak Piper
nigrum (Nahak dan Sahu 2011) dan Piper crocatum (Emrizal et al. 2014), selain
itu pada buah P. nigrum mengandung senyawa fenol, alkaloid, tanin dan glikosida
(Nahak dan Sahu 2011).
Pada umbi C. lappacea, senyawa metabolit sekunder didominasi oleh
alkaloid. Hal tersebut diduga terkait dengan struktur sekretori berupa sel idioblas
sebagai tempat sintesis senyawa alkaloid pada umbi tersebut. Hal ini dilaporkan
oleh Iranbakhsh et al. (2006) bahwa sintesis utama alkaloid terjadi di sel idioblas
yang dijumpai pada akar, batang, tangkai dan daun Datura stramonium L. Sel
idioblas pada kalus Peganum harmala L. adalah sel spesifik yang mengakumulasi
senyawa alkaloid. Sel idioblas tersebut bentuk bulat dan lonjong dengan daerah
tengahnya membesar karena adanya vakuola yang besar sebagai pusat akumulasi
alkaloid dalam jumlah yang besar (Khafagi 2007). C. lappacea merupakan
tumbuhan dalam famili Poaceae. Ekstrak berbagai tanaman dari famili Poaceae
mengandung senyawa metabolit seperti ekstrak akar Vetiveria zizanioides
mengandung senyawa alkaloid, glikosida, fenol, tanin, flavonoid dan saponin
(Elizabeth et al. 2012). Ekstrak tanaman Cymbopogon citratus mengandung
berbagai senyawa metabolit seperti saponin, alkaloid, fenol, steroid, flavonoid,
antraquinon (Asaolu 2009; Nyarko et al. 2012 ) dan tanin (Joshua et al. 2012;
Geetha dan Geetha 2014) dan ekstrak tanaman Vetiveria lawsonii mengandung
senyawa flavonoid, terpenoid, saponin, pitosterol dan steroid (Elezabeth dan
Ramachandran 2014).
Batang L. eugenifolius memproduksi getah yang dimanfaatkan sebagai
bahan obat oleh masyarakat tradisional (SAD) untuk menyembuhkan luka dalam
dan demam. Pada organ tumbuhan lain misalnya batang dan daun E. caducifolia
digunakan sebagai obat tradisional oleh masyarakat di Balochistan (Qasim et al.
2010). Getah E. caducifolia dapat meghambat perkembangan mikroba S. aureus, M.
luteus, B. subtilis, E. coli, S. typhi, A. niger, dan C. albicans (Goyal et al. 2012).
26

Hasil analisis GC-MS pada batang L. eugenifolius yang bergetah mengandung


senyawa 3,5-dimetilpirazol, metil palmitat, asam Arakidik metil ester dan metil
behenat. Getah yang mengandung kombinasi senyawa yang berbeda dijumpai
pada Alstonia scholaris berupa senyawa ditamin, esitanin, esitamidin, pikrinin dan
tubotaiwin. Getah tersebut dimanfaatkan oleh masyarakat tradisional di India
sebagai obat untuk meningkatkan sistem kekebalan tubuh, menyembuhkan bisul
dan penyakit artritis (Bhagya et al. 2013). Tumbuhan L. eugenifolius termasuk
dalam famili Apocynaceae. Berbagai tumbuhan pada famili Apocynaceae terbukti
sebagai antiinflamasi maupun antimikroba. Chanda et al. (2011) melaporkan
bahwa getah pada batang Plumeria rubra berperan sebagai antiinflamasi dan
penyembuhan luka pada percobaan menggunakan tikus. Ekstrak berbagai organ
tumbuhan tersebut terbukti mampu menghambat pertumbuhan mikroba misalnya
ekstrak daun menghambat pertumbuhan S. epidermidis dan E. coli (Baghel et al.
2010), ekstrak kulit kayu menghambat pertumbuhan S. aureus, B. subtilis, E. coli,
A. niger, C. albicans (Sharma dan Kumar 2012), ekstrak bunga menghambat
pertumbuhan Bacillus cerus, S. aureus, P. Aeruginosa dan mampu
menyembuhkan penyakit kulit (Deshpande dan Chaturvedi 2014). Ekstrak bunga
Plumeria rubra mengandung senyawa flavonoid, kumarin, antosianin,
antraquinon, dan antrasena (Deshpande dan Chaturvedi 2014). Ekstrak kulit
batang A. tomentosum dapat berfungsi sebagai antiinflamasi pada percobaan
menggunakan tikus (de Aquino et al. 2013).
Hasil analisis GC-MS menunjukkan metabolit pada daun H. capitata
didominasi oleh terpenoid, sedangkan pada daun S. obliqua berupa alkaloid. Hal
ini diduga berkaitan dengan trikoma kelenjar yang bervariasi pada H. capitata
dibandingkan trikoma kelenjar pada daun S. obliqua. Kandungan senyawa
terpenoid yaitu isoprena, limonena, fitol dan alkaloid berupa penilalanina-prolina-
diketopiperazina dijumpai pada S. obliqua (Melastomaceae). Ekstrak berbagai
tanaman pada famili Melastomaceae mengandung senyawa yang mampu
menghambat pertumbuhan mikroba seperti ekstrak tanaman Miconia langsdorffii.
Ekstrak tersebut mengandung senyawa triterpena berupa asam ursolat dan asam
oleanolat. Penggabungan kedua senyawa tersebut berpotensi sebagai
antileishmania (Peixoto et al. 2011). Ekstrak daun Memecylon edule mengandung
senyawa fenol, asam dekanoat, dan terpena. Ekstrak daun tersebut berperan
sebagai antimikroba seperti Streptococcus pneumoniae, S. typhimurium dan
anticendawan seperti Mucor racemosus (Natarajan et al. 2014).
Senyawa terpenoid berupa eugenol pada daun H. capitata diduga berperan
dalam proses penyembuhan luka dan sebagai antiinfeksi. Senyawa tersebut
memiliki banyak manfaat yaitu menghambat pertumbuhan bakteri gram negatif
dan gram positif (Kumar et al. 2009; Catherine et al. 2012), menurunkan
viabilitas bakteri Helicobacter pylori yang merupakan bakteri penginfeksi
lambung manusia (Ali et al. 2005) dan berpotensi sebagai antiinflamasi pada
percobaan menggunakan tikus (Daniel et al. 2009).
Senyawa terpenoid jenis farnesol isomer A dan nerolidol yang dijumpai
pada H. capitata diduga merupakan senyawa metabolit yang berperan dalam
penyembuhan penyakit. Menurut Ryabchenko et al. (2008) senyawa nerolidol dan
farnesol memiliki struktur kimia yang mirip yang mampu menghambat
Polyomavirus pada tikus. Curvelo et al. (2014) melaporkan bahwa senyawa
27

nerolidol dari tanaman Piper claussenianum (Miq.) C. DC. mampu menghambat


perkembangan C. albicans penyebab kandidiasis.
Senyawa terpenoid berupa neopitadiena dijumpai pada daun H. capitata
dan C. cf. geniculata. Ragasa et al. (2009) melaporkan bahwa senyawa
neopitadiena dapat menghambat pertumbuhan cendawan C. albicans, Aspergillus
niger, Trichophyton mentagrophytes, bakteri E. coli dan P. aeruginosa. Senyawa
neopitadiena berkhasiat sebagai antipiretik, analgesik, antiinamasi, antimikroba
dan antioksidan (Raman et al. 2012). Senyawa isoeugenol yang juga termasuk
terpenoid dijumpai pada umbi C. lappacea dan batang L. eugenifolius. Hyldgaard
et al. (2012) melaporkan bahwa senyawa isoeugenol menghambat pertumbuhan
bakteri gram-negatif lebih tinggi daripada bakteri gram-positif. Sutrisno (2012)
melaporkan bahwa senyawa isoeugenol dalam Allium cepa L. sebagai antioksidan.
Senyawa asam lemak seperti asam oleat pada H. capitata diduga sebagai
senyawa aktif yang berperan dalam proses penyembuhan luka. Rodrigues et al.
(2011) melaporkan bahwa senyawa asam oleat mampu mempercepat
penyembuhan luka pada percobaan menggunakan tikus melalui pemberian secara
oral. Menurut Chen et al. (2011) senyawa asam oleat mampu menyembuhkan
kulit tikus yang terinfeksi oleh bakteri Staphylococcus aureus melalui perusakan
dinding sel tersebut sehingga mengakibatkan kematian. Kashiwada et al. (1998)
melaporkan bahwa senyawa asam lemak berupa asam pomolat pada H. capitata
mampu menghambat pertumbuhan Human Immunodeficiency Virus (HIV).
Asam palmitat dijumpai pada daun S. obliqua, P. porphyrophyllum, C. cf.
geniculata, umbi C. lappacea, dan kulit batang S. ferrugineus. Senyawa tersebut
diduga berperan sebagai antiinfeksi. Menurut Altieri et al. (2007) asam palmitat
mampu menghambat Aspergillus spp. Selain senyawa terpenoid dan asam lemak,
juga dijumpai senyawa flavonoid berupa tectochrysin pada P. porphyrophyllum.
Ahmad et al. (2014) melaporkan bahwa ekstrak P. porphyrophyllum mampu
menghambat pertumbuhan S. aureus dan P. Aeruginosa, selain itu sebagai
antiinflamasi secara in vitro. Pada P. nigrum yang berasal dari genus yang sama,
bermanfaat sebagai antioksidan (Nahak dan Sahu 2011).
Analisis menggunakan GC-MS pada umbi C. lappacea (Poaceae)
menunjukkan kandungan senyawa terpenoid berupa Oct-1-en-3-yl asetat dan
alkaloid berupa N-metil-2-piperidon dan 4-Piperidinemethanamin. Akar Vetiveria
zizanioides dari famili yang sama, mengandung kombinasi senyawa yang berbeda
berupa -vetivenena, khusimol, seskuiterpena vetiselinenol, iso-valencenol, asam
vetivenik , a-vetivona dan -vetivona (dos Santos et al. 2014).
Senyawa berupa hidrokuinon dan vanilin dijumpai pada P. canescens.
Senyawa pada tumbuhan tersebut diduga berperan sebagai antioksidan dan
menyembuhkan penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri. Menurut Kankeaw
and Masong (2015) bahwa senyawa hidrokuinon dari ekstrak kulit batang
Cinnamomium verum merupakan senyawa antioksidan yang kuat. Bone dan Mills
(2013) melaporkan bahwa senyawa hidrokuinon mampu menghambat pertumbuhan
strain S. aureus dan E. coli. Selain senyawa hidrokuinon tersebut, senyawa
metabolit berupa vanilin mampu merusak membran sel bakteri E. coli,
Lactobacillus plantarum dan Listeria innocua yang merupakan bakteri penyebab
infeksi (Fitzgerald et al. 2004).
28

5 SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

1. Delapan tumbuhan yang diteliti memiliki struktur sekretori pada organ yang
digunakan sebagai bahan obat. Trikoma kelenjar merupakan struktur sekretori
yang paling umum dijumpai pada bagian organ yang diamati. Struktur
sekretori berupa trikoma kelenjar dijumpai pada daun H. capitata, S. obliqua,
P. porphyrophyllum, kulit batang P. canescens, dan S. ferrugineus. Rongga
sekretori terdapat pada daun C. cf. geniculata. Sel idioblas dijumpai pada
daun P. porphyrophyllum, C. cf. geniculata, C. lappacea, H. capitata dan
umbi C. lappacea. Saluran sekretori dijumpai di batang L. eugenifolius dan S.
ferrugineus.

2. Trikoma kelenjar pada umumnya mengandung senyawa lipofil, terpenoid,


dan alkaloid. Rongga sekretori pada daun P. porphyrophyllum mengandung
senyawa terpenoid, pada daun C. cf. geniculata mengandung senyawa lipofil
dan terpenoid. Sel idioblas pada umbi C. lappacea mengandung alkaloid.
Saluran sekretori di empulur batang L. eugenifolius mengandung senyawa
lipofil. Kandungan berupa senyawa lipofil juga dijumpai pada sel idioblas di
daun H. capitata dan umbi C. lappacea.

3. Analisis GC-MS mendeteksi adanya senyawa alkaloid, terpenoid, asam lemak


dan flavonoid. Golongan senyawa metabolit sekunder yang terdeteksi dan
diduga sebagai obat penyembuhan luka, antiinfeksi dan juga bertindak
sebagai agen antibakteri adalah eugenol, nerolidol, farnesol isomer A,
neopitadiena, asam oleat, asam palmitat, asam heksadekanoid, isoeugenol,
tektokrisin, limonena, hidrokuinon dan vanilin.

Saran

Tumbuhan yang digunakan perlu uji farmakologis untuk mengetahui daya


hambat ekstrak tumbuhan dan senyawa tersebut terhadap pertumbuhan dan
perkembangan mikroba.
29

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad F, Emrizal, Sirat HM, Jamaludin F, Mustapha NM, Ali RM, Arbain D,
Aboul-Enein HY. 2014. Antimicrobial and anti-inammatory activities of
Piper porphyrophyllum (Fam. Piperaceae). ARABJC. 7:10311033.
Andreazza NL, de Loureno CC, Stefanello MA, Atvars TDZ, Salvador MJ.
2015. Photodynamic antimicrobial effects of bis-indole alkaloid indigo from
Indigofera truxillensis Kunth (Leguminosae). Laser Med Sci. 30(4):1315-
1324. doi: 10.1007/s10103-015-1735-4.
Al-Hajj NQM, Al-Zaemy A, Wang H, Ma C, Lou Z, Thabit R. 2014. GC-MS
Analysis of Chemical Compounds from Some Yemeni Medicinal Plants.
IJPRR 3(5):46-51.
Ali SM, Khan AA, Ahmed I, Musaddiq M, Ahmed KS, Polasa H, Rao LV,
Habibullah CM, Sechi LA, Ahmed N. 2005. Antimicrobial activities of
eugenol and cinnamaldehyde against the human gastric pathogen
Helicobacter pylori. Ann Clin Microbiol Antimicrob. 4:2024. doi:10.1186/
1476-0711-4-20.
Altieri C, Cardillo D, Bevilacqua A, Sinigaglia M. 2007. Inhibition of Aspergillus
spp. and Penicillium spp. by fatty acids and their monoglycerides. J Food
Prot. 70(5):1206-1212.
Asaolu MF, Oyeyemi OA, Olanlokun JO. 2009. Chemical compositions,
phytochemical constituents and in vitro biological activity of various
extracts of Cymbopogon citratus. PJN. 8(12): 1920-1922.
Ascenso L, Pais MS. 1998. The leaf capitate trichomes of Leonotis leonurus:
histochemistry, ultrastructure and secretion. Ann Bot 81 (2): 263-271. doi:
10.1006/anbo.1997.0550.
Baghel AS, Mishra CK, Rani A, Sasmal D, Nema RK. 2010. Antibacterial activity
of Plumeria rubra Linn. plant extract. J Chem Pharm Res. 2(6):435-440.
Bhagya B, Ramakrishna A, Sridhar KR. 2013. Traditional seasonal health food
practices in southwest India: nutritional and medicinal perspectives.
NUJHS. 3: 30-34.
Boix YF, Victrio CP, Defaveri ACA, Arruda RDCDO, Sato A, Lage CLS. 2011.
Glandular trichomes of Rosmarinus officinalis L.: Anatomical and
phytochemical analyses of leaf volatiles. Plant Biosyst 145:848-856. doi:
10.1080/11263504.2011.584075.
Boix YF, Arruda RO, Defaveri ACA, Sato A, Lage CLS, Victo rio CP. 2013.
Callus in Rosmarinus officinalis L.(Lamiaceae): A morphoanatomical,
histochemical and volatile analysis. Plant Biosystems. 147(3):751-
757.doi:10.1080/11263504.2012.751067.
Bone K, Mills S. 2013. Principles and Practice of Phytotherapy: Modern Herbal
Medicine. New York (USA). Elsevier.
Bosabalidis AM. 2014. Idioblastic mucilage cells in Teucrium polium leaf.
anatomy and histochemistry. Mod Phytomorphol. 5:4952.
Chanda I, Sarma U, Basu SK, Lahkar M, Dutta SK. 2011. A Protease isolated
from the latex of Plumeria rubra Linn (Apocynaceae) 2: Anti-inflammatory
and wound-healing activities. Trop J Pharm Res. 10(6). 755-760.
doi.org/10.4314/tjpr.v10i6.8.
30

Chapman K, Chomchalow N. 2005. Production of medicinal plants in Asia. Di


dalam: Brovelli E, Chansakaow S, Farias D, Hongratanaworakit T, Botero
OM, Vejabhikul S, Craker LE, Gardner ZE, editor. Quality, efficacy, safety,
processing and trade in MAPs [Internet]. 2003 February 3-7; Chiang Mai,
Thailand. Chiang Mai: International Society for Horticultural Science. hlm
45-59; [diunduh 2013 Mar 2]. Tersedia pada: http://wwwlib.teiep.gr/images
/stories/acta/Acta%20679/679_6.pdf.
Catherine AA, Deepika H, Negi PS. 2012. Antibacterial activity of eugenol and
peppermint oil in model food systems. J Essent Oil Res. 24:481-486.
Cavalcanti AC, Gomes ANP, Porto NM, Agra MF, Moura TFAL, Oliveira EJ.
2014. Phamacognostic evaluation of Cissampelos sympodialis Eichl leaves.
South Afr J Bot. 93:7078. doi.org/10.1016/j.sajb.2014.03.
01.
Chen CH, Nakatsuji T, Liu TY, Zouboulis CC, Gallo RL, Zhang L, Hsieh MF,
Huang CM. 2011. An innate bactericidal oleic acid effective against skin
infection of methicillin-resistant Staphylococcus aureus: a therapy
concordant with evolutionary medicine. J Microbiol Biotechnol. 21(4):391
399.doi: 10.4014/jmb.1011.11014.
Cheniclet C, Carde JP. 1985. Presence of leucoplasts in secretory cells and of
monoterpenes in the essential oil: a correlative study. Isr J Bot. 34:2-
4.doi: 10.1080/0021213X.1985.10677023.
Ciccarelli D, Andreucci AC, Pagni AM. 2001. Translucent glands and secretory
canals in Hypericum perforatum L. (Hypericaceae): morphological,
anatomical and histochemical studies during the course of ontogenesis. Ann
Bot. 88(4):637-644.
Cote GG. 2009. Diversity and distribution of idioblasts producing calcium oxalate
crystals in Dieffenbachia seguine (Araceae). Am J Bot. 96:1245-1254.doi:
10.3732/ajb.0800276.
Curvelo JAR, Marques AM, Barreto ALS, Romanos MTV, Portela MB, Kaplan
MAC, Soares RMA. 2014. A novel nerolidol-rich essential oil from Piper
claussenianum modulates Candida albicans biofilm. J Med Microbiol 63:697-702.
doi.org/10.1099/jmm.0.063834-0.
Daniel AN, Sartoretto SM, Schmidt G, Assef SMC, Amado, CAB, Cuman RKN,
2009. Anti-inflammatory and antinociceptive activities of eugenol essential
oil in experimental animal models. Rev Bras Farmacogn. 19:212217.
de Aquino AB, Cavalcante-Silva LHA, da Matta CBB, Epifnio WADN, Aquino
PGV, Santana AEG, Moreira MSA, de Arajo-Jnior JX. 2013. The
antinociceptive and anti-inflammatory activities of Aspidosperma
tomentosum (Apocynaceae). Scientific World J. 2013:1-8.doi.org/10.1155/2
013/218627.
de Vogel EF. 1987. Manual of Herbarium Taxonomy. Jakarta (ID). Unesco.
Deshpande R, Chaturvedi A. 2014. Phytochemical screening and antibacterial
potential of natural dye: Plumeria rubra (L.). Sci Res Repot. 4(1): 31-34.
Dickison WC. 2000. Integrative Plant Anatomy. California (US). Academic Pr.
533 hlm.
dos Santos DS, Oberger JV, Niero R, Wagner T, Delle Monache F, Cruz AB,
Cechinel Filho, V. 2014. Seasonal phytochemical study and antimicrobial
31

potential of Vetiveria zizanioides roots. Acta Pharm. 64(4):495-501. doi:


10.2478/acph-2014-0040.
dos Santos ATB, da Silva Arajo TF, da Silva LCN, da Silva CB, de Oliveira A
FM, Arajo JM, dos Santos correia MT, de Menezes Lima VL. 2015.
Organic extracts from Indigofera suffruticosa leaves have antimicrobial and
synergic actions with Erythromycin against Staphylococcus aureus. Front
Microbiol. 6:1-7. doi: 10.3389/fmicb.2015.00013.
Duke SO, Rimando AM, Edayan FE, Canel C, Wedge DE, Tellez MR, Schrader
KK, Weston LA, Smillie TJ, Paul RN, Duke MV. 2000. Phytochemicals as
Bioactive Agents. Bidlack WR, Omaye ST, Meskin MS, Topham DKW,
editor. New York (US): CRC Pr.
Ekpo M, Mbagwu H, Jackson C, Eno M. 2011. Antimicrobial and wound healing
activities of Centrosema pubescens (Leguminosae). J Pharm Clin Sci. 1:1-6.
Elizabeth AA, Josephine G, Inbaraj, Rahman F, Muniappan. 2012. Evaluation of
analgesic and anti-inflammatory effect of Vetiveria zizanioides. J Pharm
Biomed Sci. 25(25): 164-170.
Elezabeth DVS, Ramachandran P. 2014. Qualitative and microbiological study
on Vetiveria lawsonii. IJSR. 3:556-558.
Emrizal, Fernando A, Yuliandari R, Rullah K, Indrayani NR, Susanty A, Yerti R,
Ahmad F, Sirat HM, Arbain D. 2014. Cytotoxic activities of fractions and
two isolated compounds from Sirih merah (Indonesian red betel), Piper
crocatum Ruiz & Pav. Procedia Chem. 13: 79 84.
Filho SCV, Ferreire ALL, Vasconcelos JM, Silva LS, Pereira LCS. 2014.
Secretory structures in Cochlospermum rhegium (Schrank) Pilg. (Bixaceae):
Distribution and histochemistry. J Med Plants Res. 8(27): 947-952.
Fitzgerald DJ, Stratford M, Gasson MJ, Ueckert J, Bos A, Narbad A. 2004. Mode
of antimicrobial action of vanillin against Escherichia coli, Lactobacillus
plantarum and Listeria innocua. J Appl Microbiol. (1):104-13.
Furr Y, MahIberg PG. 1981. Histochemical analysis of laticifers and glandular
trichomes in Cannabis sativa. J Nat Prod. 44 (2):153159.
Gang CQ, Hai HZ. 1999. Comparative anatomy of oil cells and mucilage cells in
the leaves of the Lauraceae in China. Acta Phytotaxon Sin 37:529-540.
Gang DR, Wang J, Dudareva N, Nam KH, Simon JE, Lewinsohn E, Pichersky E.
2001. An investigation of the storage and biosynthesis of phenylpropenes in
sweet basil. Plant Physiol 125:539-555.
Geetha TS, Geetha N. 2014. Phytochemical screening, quantitative analysis of
primary and secondary metabolites of Cymbopogan citratus (DC) stapf.
leaves from Kodaikanal hills, Tamilnadu. IJPRIF. 6:521-529.
Gersbach PV, Wyllie SG, Sarafis V. 2001. A new histochemical method for
localization of the site of monoterpene phenol accumulation in plant
secretory structures. Ann Bot. 88(4):521-525. doi: 10.1006/anbo.2001.1480 .
Goodger JQD, Heskes AM, Mitchell MC, King DJ, Neilson EH, Woodrow IE.
2010. Isolation of intact sub-dermal secretory cavities from Eucalyptus.
Plant Methods. 6(1):1-10. doi:10.1186/1746-4811-6-20.
Goyal M, Sasmal D, Nagori BP. 2012. GCMS analysis and antimicrobial action of
latex of Euphorbia caducifolia. J Intercult Ethnopharm. 1(2):119-123. doi :
10.5455/jice.20120618045914.
32

Guo J, Yuan Y, Liu Z, Zhu J. 2013. Development and structure of internal glands
and external glandular trichomes in Pogostemon cablin. Plos One. 8(10):1-
12.
Hamzari. 2008. Identifikasi tanaman obat-obatan yang dimanfaatkan oleh
masyarakat sekitar hutan tabo-tabo. J Hut Masy. 3:111-234.
Harborne JB. 1994. The Flavonoids: Advance in Research Since 1986. New York
(US): Chapman and Hall, 676 hlm.
Harborne JB. 1987. Metode Fitokimia Penuntun Cara Modern Menganalisis
Tumbuhan. Padmawinata K, Soediro I, Penerjemah; Niksolihin S, editor.
Bandung (ID): Penerbit Institut Teknologi Bandung. Terjemahan dari:
Phytochemical methods. Ed ke-2.
Haryanti L, Pudjiadi AH, Ifran EKB, Thayeb A, Amir I, Hegar B. 2013. Prevalens
dan faktor risiko infeksi luka operasi pasca-bedah. Sari Pediatr. 15:207-212.
Huang SS, Kirchoff BK, Liao JP. 2008. The capitate and peltate glandular
trichomes of Lavandula pinnata L. (Lamiaceae): Histochemistry,
ultrastructure, and secretion. J Torrey Bot Soc. 135(2):155-167.doi:10.3159/
07-RA-045.1.
Husni MA, Murniana M, Helwati H, Nuraini N. 2013. Antimicrobial activity of n-
hexane extracts of red Frangipani (Plumeria rocea). J Nat. 13(1):28-33.
Hyldgaard M, Mygind T, Rikke, LM. 2012. Essential oils in food preservation:
Mode of action, synergies, and interactions with food matrix components.
Front Microbiol. 3:124.
Iijima Y, Rikanati RD, Fridman E, Gang DR, Bar E, Lewinsohn E, Pichersky E.
2004. The biochemical and molecular basis for the divergent patterns in the
biosynthesis of terpenes and phenylpropenes in the peltate glands of three
cultivars of basil. Plant Physiol 136: 37243736.
Indrawati, Sabilu Y, Ompo A. 2014. Pengetahuan dan pemanfaatan tumbuhan
obat tradisional masyarakat suku Moronene di desa Rau-rau Sulawesi
Tenggara. Bio Wallacea. 1(1): 39-48.
Iranbakhsh A, Oshaghi MA, Majd M. 2006. Distribution atropine and scopolamine
in different organs and stages of development in Datura stramonium L.
(Solanaceae). Structure and ultrastructure of biosynthesizing cells. Acta Bio
Cracov Series Bot. 48(1): 1318.
Jia P, Liu, H, Gao T, Xin H. 2013. Glandular trichomes and essential oil of
Thymus quinquecostatus. Sci World J. 2013:1-8. doi.org/10.1155/2013/3879
52.
Jing H, Liu J, Liu H, Xin H. 2014. Histochemical investigation and kinds of
alkaloids in leaves of different developmental stages in Thymus
quinquecostatus. Sci World J. 2014:1-6.doi.org/10.1155/2014/839548.
Jeong MR, Park PB, Kim DH, Jang YS, Jeong HS, Choi SH. 2009. Essential oil
prepared from Cymbopogon citrates exerted an antimicrobial activity
against plant pathogenic and medical microorganisms. Mycobiol. 37(1), 48-
52.
Johansen DA. 1940. Plant Microtechnique. New York (US): McGraw-Hill. 523
hlm.
Jones ACC, Farthing MJG. 2004. Management of infectious diarrhoea. Gut.
53:296305.
33

Joshua AA, Usunomena U, Amenze O, Lanre AB. Amenze O, Gabriel OA. 2012.
Comparative studies on the chemical composition and antimicrobial
activities of the ethanolic extracts of Lemon Grass leaves and stems. Asian J
Med Sci. 4(4): 145-148.
Kankeaw U, Masong E. 2015. The antioxidant activity from hydroquinone
derivatives by the synthesis of Cinnamomium verum J. Presl Barks
extracted. IJCEA. 6:91-94. doi.org/10.7763/ijcea.2015.v6.458.
Kashiwada Y, Wang HK, Nagao T, Kitanaka S, Yasuda I, Fujioka T, Yamagishi
T, Cosentino LM, Kozuka M, Okabe H, Ikeshiro Y, Hu CQ, Yeh E, Lee
KH. 1998. Anti-AIDS agents. 30. Anti-HIV activity of oleanolic acid,
pomolic acid, and structurally related triterpenoids. J Nat Prod 61:1090-
1095. doi.org/10.1021/np9800710.
Katerina P, Tomas G. 2000. Secretory Structures of Aromatic and Medicinal
Plants: A Review and Atlas of Micrographs. Powys (GB): Microscopix Pr.
Kaya A, Satil F, Dirmenci T, Selvi S. 2013.Trichome micromorphology in
Turkish species of Ziziphora (Lamiaceae). Nordic J Bot. 31(3): 270277.
doi: 10.1111/j.1756-1051.2012.01532.x.
Khafagi IK. 2007. Generation of alkaloid-containing idioblast during cellular
morphogenesis of Peganum harmala L. cell suspension cultures. Am J Plant
Physiol. 2(1):17-26.
Kiernan JA. 2008. Histological and Histochemical Methods: Theory and Practice.
Bloxham (UK): Scion.
Kumar A, Shukla R, Singh P, Dubey NK. 2009. Biodeterioration of some herbal
raw materials by storage cendawan and aflatoxin and assessment of
Cymbopogon flexuosus essential oil and its components as antifungal. Int
Biodeter Biodegr. 63:712716.
Kundakovi T, Stanojkovi T, Milenkovi M, Grubin J, Jurani Z, Stevanovi B,
Kovaevi N. 2008. Cytotoxic, antioxidant, and antimicrobial activities of
Ampelopsis brevipedunculata and Parthenocissus tricuspidata
(Vitaceae). Arch Bio Sci. 60(4): 641-647. doi:10.2298/ABS0804641K.
Lavis LD. 2011. Histochemistry: live and in color. J Histochem Cytochem. 59(2):
139145. doi: 10.1369/0022155410395760.
Lersten NR, Czlapinski AR, Curtis JD, Freckmann R, Horner HT. 2006. Oil
bodies in leaf mesophyll cell of angiosperms: Overview and a selected
survey. Am. J. Bot. 93(12): 17311739.
Lino CDS, Sales TDP, Alexandre FSO, Queiroz MGRD, Gomes PB, Silveira ER,
Ferreira JM, Sousa FCFD, Brito SMDRC, Amaral JFD et al. 2007. Anti-
diabetic activity of a fraction from Cissus verticillata and tyramine, its main
bioactive constituent, in alloxan induced diabetic rats. Am J Pharm Toxic.
2(4):178-188.
Liu M, Liu J. 2012. Structure and histochemistry of the glandular trichomes on the
leaves of Isodon rubescens (Lamiaceae). Afr Biotechnol. 11(7): 4069-4078.
Marin M, Ascensao L, Lakui B. 2012. Trichomes of Satureja horvatii ili
(Lamiaceae): Micromorphology and histochemistry. Arch Biol Sci. 64(3):99
5-1000. doi:10.2298/ABS1203995M.
Martins FM, Lima JF, Mascarenhas AAS, Macedo TP. 2012. Secretory structures
of Ipomoea asarifolia: anatomy and histochemistry. Braz J Pharm. 22(1):
13-20.
34

Moeloek FA. 2006. Herbal and traditional medicine: national perspectives and
policies in Indonesia. J Bahan Alam Indones. 5:293-297.
Nahak G, Sahu RK. 2011. Phytochemical evaluation and antioxidant activity of
Piper cubeba and Piper nigrum. JAPS. 01(08):153-157.
Naidoo Y, Kasim N, Heneidak S, Nicholas A, Naidoo G. 2013. Foliar secretory
trichomes of Ocimum obovatum (Lamiaceae): micromorphological structure
and histochemistry. Plant Syst Evol. 299(5):873-885.
Najmaddin C, Hussin K, Maideen H. 2013. Comparative study on the anatomy
and palynology of the three variety of Vitis vinifera varity (family Vitaceae).
Afr J Biotechnol. 10(74):16849-16853.
Natarajan D, Srinivasan R, Shivakumar M S. 2014. Antimicrobial and GC-MS
analysis of Memecylon edule leaf extracts. IJCPR. 5(1): 1-13.
Noori M. 2002. Characterization of the Iranian species of sophora and
Ammodendron (Leguminosae; Sophoreae) [Thesis]. London (GB).
University of London.
Nyarko HD, Barku VY, Batama J. 2012. Antimicrobial examinations of
Cymbopogon citratus and Adiatum capillus-veneris used in Ghanajan
folkloric medicine. Int J Life Sci Pharma Res. 2(2): 115-121.
Ogunkule ATJ, Oladele FA. 2000. Diagnostic value of trichome in some Nigerian
species of Ocium, Hyptis Jazq. and Tinnea Kotschy and Peys. (Lamiaceae).
J Appl Sci. 3:1163-1180.
Oladimeji HO, Nia R, Offorah E. 2007. Anti-oxidant and anti-inflammatory
activity of Centrosema pulmieri Benth (Leguminosea-papilionaceae). J
Pharm Toxic. 2(6): 580-585.
Oliveira ABD, Mendona MSD, Azevedo AA, Meira RMSA. 2012. Anatomy and
histochemistry of the vegetative organs of Cissus verticillata- a native
medicinal plant of the Brazilian Amazon. Rev Bras Farmacogn. 22(6):
doi.org/10.1590/s0102-695x2012005000092.
Pandya DJ, Motwani SM, Pandey EP, Sonchhatra NP, Desai TR, Patel VL. 2012.
Pharmacognostic and phytochemical study of aerial parts of Carissa
carandas. Int J Bio & Pharm Res. 3(1): 75-81.
Qasim M, Gulzar S, Shnwari ZK, Aziz I, Khan MA, 2010. Traditional
ethnobotanical uses of halophytes from hub, Balochistan. Pak J Bot. 42(3):
1543-1551.
Peixoto JA, Andrade e Silva ML, Crotti AE, Cassio Sola Veneziani R, Gimenez
VM, Januario AH, Groppo M, Magalhes LG, dos Santos FF, Albuquerque
S et al. 2011. Antileishmanial activity of the hydroalcoholic extract of
Miconia langsdorffii, isolated compounds, and semi-synthetic derivatives.
Molecules. 16(2): 1825-1833. doi:10.3390/molecules16021825.
Ragasa CY, Tsai PW, Shen CC. 2009. Antimicrobial terpenoids from Erigeron
sumatrensis. NRCP Res J. 10:27-32.
Rahayu M, Sunarti S, Sulistiarini D, Prawiroatmodjo S. 2006. Pemanfaatan
tumbuhan obat secara tradisional oleh masyarakat lokal di pulau Wawonii,
Sulawesi Tenggara. Biodiversitas. 7:245-250.
Rajeswari B, Kumar SP, Rao AP, Khan PSSV. 2014. A distribution and
ultrastructure of laticifers in the phylloclade of Euphorbia caducifolia
Haines, a potential hydrocarbon yielding CAM plant. AJPS. 5(1):1-10.
35

Rajmohanan TP, Sudhakaran Nair CR, Padmaja V. 2014. Pharmacognostical and


Phytochemical studies on Cayratiapedata (Lam). Int J Pharm Phytoch Res.
6(2):227-233.
Raman BV, Samuel LA, Saradhi MP, Rao BN, Krishna ANV, Sudhakar M,
Radhakrishnan TM. 2012. Antibacterial, antioxidant activity and GC-MS
analysis of Eupatorium odoratum. Asian J Pharm Clin Res. 5:99-106.
Rodrigues HG, Aure M, Vinolo LR, Magdalon J, Vitzel K, Nachbar RT, Fla A,
Pessoa VM, Santos MFD, Hatanaka E, Calder PC, Curi R. 2011. Oral
administration of oleic or linoleic acid accelerates the inflammatory phase of
wound healing. J Invest Dermatol. (132):208215. doi:10.1038/jid.2011.265.
Rusydi A, Talip N, Latip J, Rahman RA, Sharif I. 2013. Morphology of trichomes
in Pogostemon cablin Benth.(Lamiaceae). AJCS. 7(6):744-749.
Ryabchenko B, Tulupova E, Schmidt E, Wlcek K, Buchbauer G, Jirovetz L. 2008.
Investigation of anticancer and antiviral properties of selected aroma
samples. Nat Prod Commun 3:1035-1204.
Sacchetti G, Ballero M, Serafini M, Romagnoli C, Bruni A, Poli F. 1999. Laticifer
tissue distribution and alkaloid location in Vinca sardoa (Stearn) Pign.
(Apocynaceae), an endemic plant of Sardinia (Italy). Phyton. 39:265-275.
Sasmita K, Mulyani W, Priyantoro B, David, Marpaung J.P, Algopeng Z. 2011.
Pengenalan Tanaman Obat Taman Nasional Bukit Duabelas Jambi. Jambi
(ID). Balai Taman Nasional Bukit Duabelas Jambi.
Sass JE. 1951. Botanical Microtehnique. Iowa (US): Iowa State Coll Pr. 248 hlm.
Schilmiller AL, Schauvinhold I, Larson M, Xu R, Charbonneau AL, Schmidt
A,Wilkerson C, Last RL, Pichersky E. 2009. Monoterpenes in the glandular
trichomes of tomato are synthesized from a neryl diphosphate precursor
rather than geranyl diphosphate. PNAS.106:1086510870.
Schmiderer C, Grassi P, Novak J, Weber M, Franz C. 2008. Diversity of essential
oil glands of clary sage (Salvia sclarea L., Lamiaceae). Plant Biol.
10(4):433440.
Sekar T, Ayyanar M, Gopalakrishnan M. 2010. Medicinal plants and herbal drugs.
Curr sci. 98: 1558-1559.
Sen CK, Lambert L, Gordillo GM, Roy S, Hunt TK, Gottrup F, Longaker MT,
Kirsner R, Gurtner GC. 2009. Human skin wounds: a major and
snowballing threat to public health and the economy. Wound Repair Regen.
17(6):763771.
Sharma SK, Kumar N. 2012. Antimicrobial potential of Plumeria rubra Syn
Plumeria acutifolia bark. Der Pharm Chemica. 4(4):1591-1593.
Singh J, Singh AK, Anand Singh A. 2009. Analgesic and anti-inflammatory
activity of methanolic extract of Vitis vinifera leaves. Pharmacologyonline.
3: 496-504.
Sutrisno W. 2012. Sintesis senyawa dimer isoeugenol menggunakan enzim
peroksidase dari kulit bawang bombay (Allium cepa L.) serta uji aktivitas
antioksidan [Tesis]. Depok (ID). Universitas Indonesia.
Suyono S. 2001. Ilmu Penyakit Dalam, Jilid II, Ed III. Jakarta (ID). Balai Penerbit
FKUI.
Thanomchat P, Paopun Y. 2013. The structure of leaf trichomes and stomata of
Ocimum basilicum Linn. JMST. 27(1):46-49.
36

Thomas E, Aneesh TP, Thomas DG, Ranandan R. 2013. GC-MS Analysis of


phytochemical compounds present in the rhizomes of Nervilia aragoana
Gaud. Asian J Pharm Clin Res. 6:68-74.
Uji Y, Ozawa R, Shishido H, Taniguchi S, Takabayashi J, Akimitsu K, Gomi K.
2015. Isolation of a sesquiterpene synthase expressing in specialized
epithelial cells surrounding the secretory cavities in rough lemon
(Citrus jambhiri). J Plant Physiol. 180:6771.doi.org/10.1016/j.jplph.2015.
03.013.
Uma B, Prabhakar K, Rajendran S, Sarayu YL. 2009. Studies on GC-MS
spectroscopic analysis of some bioactive antimicrobial compounds from
Cinnamomum zeylanicum. J Med Plants. 8(31):125-131.
Valkama E, Salminen JP, Koricheva J, Pihlaja K. 2003. Comparative analysis of
leaf trichome structure and composition of epicuticular flavonoid in finnish
Birch species. Ann Bot. 91:643-655.
Vasconcelos FSC, Ferreire ALL, Vasconcelos JM, Silva LS, Pereira LCS. 2014.
Secretory structures in Cochlospermum regium (Schrank) Pilg. (Bixaceae):
Distribution and histocemistry. J Med Plant Res. 8(27):947-952. doi:10.589
7/JMPR2014.5460.
[WHO] World Health Organization. 2008. Traditional medicine. [Internet]. [diunduh
2014 Juni 15]. Tersedia pada: http://www.who.int/mediacentr e/Factsheets/fs1
34/en].
[WHO] World Health Organization. 2009a. Global Health Risks: Mortality and
Burden of Disease Attributable. Geneva (CH): WHO Pr.
[WHO] World Health Organization. 2009b. Monographs on Selected Medicinal
Plants. Ottawa (US): WHO Pr. hlm 456.
Xiang CL, Dong ZH, Peng H, Liu ZW. 2010. Trichome micromorphology of the
East Asiatic genus Chelonopsis (Lamiaceae) and its systematic implications.
Flora. 205(7):434-441. doi:10.1016/j.ora.2009.12.007.
Yamasaki Y, Akimitsu K. 2007. In situ localization of gene transcriptions for
monoterpene synthesis in irregular parenchymic cells surrounding the
secretory cavities in rough lemon (Citrus jambhiri). J Plant Physiol.
164:1436-1448. doi:10.1016/j.jplph.2006.10.008.
Zhe LW. 2004. Secretory structures and their relationship to accumulation of
camptothecin in Camptotheca acuminata (Nyssaceae). Acta Bot Sin.
46(10):1242-1248
Zuhud EAM. 2009. Potensi hutan tropika Indonesia sebagai penyangga bahan
obat alam untuk kesehatan bangsa. J Bahan Alam Indones. 6(6): 227-232.
37

Lampiran 1 Komposisi Larutan Seri Johansen


Komposisi Larutan Larutan Johansen
I II III IV V VI VII

Air 50% 30% 15% - - - -


Etanol 95% 40% 50% 50% 45% - - -
Etanol 100% - - - - 25% - -
Tertier Butil Alkohol 10% 20% 35% 55% 75% 100% 50%
Minyak Parafin - - - - - - 50%
38

Lampiran 2 Senyawa Fitokimia Hasil Analisis GC-MS pada Kedelapan Tumbuhan.

1. Hyptis capitata jacq.

Peak R.Time Group Area Conc(%) Peak Report TIC Name


1. 15.633
7 Terpenoid (Monoterpene) 159030886 18.69 L-Limonene
2. 21.813
1 Terpenoid 8964401 1.05 Phenol, 2-methoxy-4-(2-propenyl)- (CAS) Eugenol
3. 22.552
16 Alkaloid 29383206 3.45 1H-Indole, 3-methyl- (CAS) 3-Methylindole
4. 22.70517 Terpenoid 8814772 1.04 FARNESOL ISOMER A
5. 22.915 18 Terpenoid(Sesquiterpene) 10811896 1.27 d-Nerolidol
6. 26.417 29 Terpenoid
(Sesquiterpene) 8734907 1.03 1-Dodecanol, 3,7,11-trimethyl- (CAS) Hexahydrofarnesol
7. 27.717 21 Terpenoid (diterpene)
(Sesquiterpene) 24454424 2.87 NEOPHYTADIENE
8. 27.999 2 Terpenoid 17043839 2.00 DODECA-1,6-DIEN-12-OL, 6,10-DIMETHYL-
9. 28.207 23 Terpenoid (diterpene) 11252199 1.32 NEOPHYTADIENE
10.28.671 24 Fatty acid 13380605 1.57 Tetradecanoic acid, 12-methyl-, methyl ester (CAS) Methyl 12-
11.29.191 25 Fatty acid 12112786 1.42 9-Octadecenoic
methyltetrade acid (Z)- (CAS) Oleic acid
12.30.656 26 Fatty acid 9972296 1.17 TRICYCLO[3.2.2.0E2,4]NON-8-EN-EXO-6,EXO-7-
13.31.789 28 Fatty acid 19635391 2.31 Hexadecanamide
DICARBOXIMID, (CAS) Amide 16
3,3-DIC
14.43.507 39 Fatty acid 17189048 2.02 2,6,10,14,18,22-Tetracosahexaene, 2,6,10,15,19,23-hexamethyl-
0 (CAS) Squ
2. Sonerila obliqua Korth.

Peak# R.Time Area Golongan Conc(%) Peak Report TIC Name


Peak#
1. R.Ti 50348394
3.54 Terpenoid Golongan Conc% 1,3-Butadiene, 2-methyl- (CAS) Isoprene
1.72
2. me
15.617 44750245 Terpenoid 1.52 l-Limonene
3. 0
18.17 11428194 Alkaloid 0.39 BENZENEPROPANOIC ACID, .ALPHA.-(HYDROXYIMINO)-
4. 8
19.89 33477171 Fatty acid 1.14 3 HEXENOIC ACID
5. 4
22.56 22164059 Alkaloid 0.76 1H-Indole, 3-methyl- (CAS) 3-Methylindole
6. 1
22.69 10986616 Sesquiterpene alcohol 0.37 Trans-Ranesol
7. 7
23.78 49914006 Terpenoid 1.70 (-)-Isopulegol
8. 8
24.08 93453229 Alkaloid 3.18 1H-Indole, 2,3-dimethyl- (CAS) 2,3-Dimethylindole
9. 0
26.04 10852774 Alkaloid 0.37 5-ACETAMIDO-5-PROPYLUNDECANE
10. 7
27.11 12118352 Terpenoid 0.41 Psoralene
11. 3
27.72 39456961 alkohol diterpen asiklik 1.34 2-Hexadecen-1-ol, 3,7,11,15-tetramethyl-, [R-[R*,R*-(E)]]- (CAS) Phytol
12. 8
28.21 18178985 alkohol diterpen asiklik 0.62 2-Hexadecen-1-ol, 3,7,11,15-tetramethyl-, [R-[R*,R*-(E)]]- (CAS) Phytol
13. 8
28.93 21926032 Alkaloid 0.75 1,4-diaza-2,5-dioxo-3-isobutyl bicyclo[4.3.0]nonane
14. 0
29.28 124426185 Fatty acid 4.24 Hexadecanoic acid (CAS) Palmitic acid
15. 2
30.02 94292454 Alkaloid 3.21 5,10-DIETHOXY-2,3,7,8-TETRAHYDRO-1H,6H-DIPYRROLO[1,2-
16. 1
30.85 22018359 Alkaloid A;1',2'-D]P
0.75 1-Ethoxycarbonyl-.beta.-carboline
17. 4
35.58 12234511 Alkaloid 0.42 PHENYLALANINE-PROLINE DIKETOPIPERAZINE
5
3. Piper porphyrophyllum

Peak# Area Gologan Conc(%) Peak Report TIC Name


1. 1 R.Time 85836601
3.034 Alkaloid Golongan Conc%Methanamine, N-methyl- (CAS) Dimethylamine
3.16
2. 15.625
4 107462546 Terpenoid 3.96 l-Limonene
3. 21.121
8 22376658 Alkaloid 0.82 1H-Indole (CAS) Indole
4. 22.556
9 12219654 Alkaloid 0.45 1H-Indole, 3-methyl- (CAS) 3-Methylindole
5. 22.917
1 7504779 Alkaloid 0.28 2-Propenamide, 2-methyl-N-phenyl-
6. 10
26.420 11373725 Terpenoid 0.42 1-Dodecanol, 3,7,11-trimethyl- (CAS) Hexahydrofarnesol
7. 27.099
1 8784636 Alkaloid 0.32 N-PHENYL-N'-FURALDEHYDE HYDRAZONE
8. 21
28.680 11849617 Fatty acid 0.44 Hexadecanoic acid, methyl ester (CAS) Methyl palmitate
9. 13
29.197 9823427 Fatty acid 0.36 Hexadecanoic acid (CAS) Palmitic acid
10. 14
29.398 15870058 Fatty acid 0.58 (Z)6-Pentadecen-1-ol
11. 15
31.785 23685295 Fatty acid 0.87 Hexadecanamide (CAS) Amide 16
12. 34.13917 12495498 Fatty acid 0.46 9-Octadecenamide, (Z)- (CAS) OLEOAMIDE
13. 35.580 29 14579487 Sesquiterpene 0.54 Dodecane, 2,6,10-trimethyl- (CAS) Farnesane
14. 40.136 02 944461401 Flavonoid 34.78 4H-1-Benzopyran-4-one, 5-hydroxy-7-methoxy-2-phenyl- (CAS)
15. 45.594 2 1209015990 Flavonoid 44.53 Tectochrysin
4H-1-Benzopyran-4-one, 5,7-dimethoxy-2-phenyl- (CAS) DIMETHYL
5 CHRYS
39

4. Peronema canescens Jack.

Peak R.Time Area Golongan Conc(%) Peak Report TIC Name


1.Peak#10.485
1R.Time80423440 Golongan 2.14
Terpenoid 2-Furancarboxaldehyde (CAS) Furfural
2. 31
19.435 53780491 Alkaloid 1.43 2-AMINO-9-(3,4-DIHYDROXY-5-HYDROXYMETHYL-
3. 03
20.123 25670265 Terpenoid 0.68 TETRAHYDRO-FURA
2-Furancarboxaldehyde, 5-(hydroxymethyl)- (CAS) HMF
4. 21.0553 70291832 Phenol 1.87 1,4-Benzenediol (CAS) Hydroquinone
5. 21.20335 206490512 Terpenoid 5.49 ISO-PINOCAMPHEOL
6. 21.472 36 11133274 Terpenoid 0.30 ISO-PINOCAMPHEOL
7. 22.727 47 33257153 Phenolic 0.88 Benzaldehyde, 4-hydroxy-3-methoxy- (CAS) Vanillin
8. 23.940 40 23358444 (Flavonoid) 0.62
Phenolic Ethanone, 1-(4-hydroxy-3-methoxyphenyl)- (CAS) Acetovanillone
9. 30.054 35 59355973 (Flavonoid) 1.58
Terpenoid NOROLEAN-12-ENE
0

5. Leuconotis eugenifolius A. DC.

Peak# R.Time Area Golongan Conc(%) Peak Report TIC Name


1.
10.545
9 32802481 Flavonoid 2.78 1H-Pyrazole, 3,5-dimethyl- (CAS) 3,5-Dimethylpyrazole
2.
28.660
2 17580272 Fatty acid 1.49 Hexadecanoic acid, methyl ester (CAS) Methyl palmitate
3.
30.606
2 14074158 Fatty acid 1.19 8-Octadecenoic acid, methyl ester (CAS) METHYL OCTADEC-8-
4.
33.187
23 8375684 Fatty acid 0.71 Eicosanoic
ENOATE acid, methyl ester (CAS) Arachidic acid methyl ester
5.
36.17424 22267650 Fatty acid 1.89 Docosanoic acid, methyl ester (CAS) Methyl behenate
5
6. Spatholobus ferrugineus Zoll. & Moritzi) Benth.

Peak R.Time Area Golongan Conc(%) Peak Report TIC Name


1.Peak#10.407
8 R.Time
60431106 Golongan
Flavonoid 1.89Conc%
Pyrazole, 1,4-dimethyl-
2. 1
12.630 27437218 Alkaloid 0.86 Uradal
3. 21
18.743 17244837 Terpenoid 0.54 1,1-Dodecanediol, diacetate (CAS)
4. 31
29.180 21615673 Fatty acid 0.67 Hexadecanoic acid (CAS) Palmitic acid
5. 49
29.468 17067547 Flavonoid 0.53 Oxacycloheptadec-8-en-2-one (CAS) Ambrettolide
0

7. Centotheca lappacea (L.) Desv.

Peak# R.Time Area Golongan Conc(%) Peak Report TIC Name


1. 8.360
5 104391496 Alkaloid 1.65 Acetic acid, hydrazide
2. 14.720
1 38554709 Alkaloid 0.61 1H-IMIDAZOLE,1-ETHYL-2-METHYL
3. 15.222
16 88947583 Alkaloid 1.41 2,4-Imidazolidinedione, 3-methyl- (CAS) 3-Methylhydantoin
4. 16.525
17 36471522 Terpenoid 0.58 Cyclohexane, 1,1,2-trimethyl- (CAS) 1,1,2-Trimethylcyclohexane
5. 16.952
29 96368343 Terpenoid (Terpene ester) 1.53 Oct-1-en-3-yl acetate
6. 17.75120 212326124 Alkaloid 3.37 2-Piperidinone, 1-methyl- (CAS) N-Methyl-2-piperidone
7. 18.329 2 63736825 Alkaloid 1.01 4-Piperidinemethanamine
8. 25.672 3 1038237734 Alkaloid 16.46 N-(5-OXO-TETRAHYDRO-FURAN-2-YLMETHYL)-
9. 29.191 35 93936434 Fatty acid 1.49 Hexadecanoic
ACETAMIDE acid (CAS) Palmitic acid
10. 32.245 49 36819141 Fatty acid 0.58 3-(1,5-DIMETHYL-HEXYL)-3A,10,10,12B-TETRAMETHYL-
0 1,2,3,3A,4,6,8,9,1
40

8. Cayratia cf. geniculata (Blume.) Gagnep.

Peak Area Golongan Conc(%) Peak Report TIC Name


1.Peak# 15.64
R.Time
1 106459790 Golongan
Terpenoid 2.80 l-Limonene
2. 34 4R.Ti 51930326
23.45 Terpenoid 1.36 DIEPI-.ALPHA.-CEDREN I
3. 03 3me 49384686
23.66 Terpenoid (Sesquiterpene) 1.30 Zingiberene
4. 13 7
23.85 34997617 Terpenoid (Sesquiterpene) 0.92 .beta.-Bisabolene
5. 26.0123 5 128929985 Terpenoid 3.39 2-Butanone, 4-(4-hydroxy-3-methoxyphenyl)- (CAS) Zingerone
6. 27.72 3 7 280097983 Terpenoid (Diterpene) 7.36 2-Hexadecen-1-ol, 3,7,11,15-tetramethyl-, [R-[R*,R*-(E)]]- (CAS) Phytol
7. 28.20 35 1 125141088 Terpenoid (Diterpen) 3.29 NEOPHYTADIENE
8. 28.55 36 4 42045285 Fatty acid 1.10 Hexadecanenitrile (CAS) Palmitonitrile
9. 28.67 49 4 41393490 Fatty acid 1.09 Hexadecanoic acid, methyl ester (CAS) Methyl palmitate
10. 29.29 40 4 177935515 Fatty acid 4.68 Hexadecanoic acid (CAS) Palmitic acid
11. 29.39 41 5 71687880 Flavonoid 1.88 Oxacycloheptadec-8-en-2-one (CAS) Ambrettolide
12. 29.46 42 0 115779224 Flavonoid 3.04 Oxacycloheptadec-8-en-2-one (CAS) Ambrettolide
13. 29.58 43 3 71788501 Flavonoid 1.89 Oxacycloheptadec-8-en-2-one (CAS) Ambrettolide
14. 30.59 4 7 81046598 Fatty acid 2.13 10,13-Octadecadienoic acid, methyl ester (CAS)
15. 30.84 46 7 91159527 Terpenoid (diterpen 2.40 2-Hexadecen-1-ol, 3,7,11,15-tetramethyl-, [R-[R*,R*-(E)]]- (CAS) Phytol
16. 032.60 74 55083726 alkohol)
Terpenoid 1.45 (-)-Nortrachelogenin
17. 59 2
33.48 78982712 Terpenoid(Sesquiterpene) 2.08 Naphthalene, 1,1'-(1,10-decanediyl)bis[decahydro- (CAS) 1,10-
0 2 DI(.ALPHA.-D
41

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Pelambua, Sulawesi Tenggara pada tanggal 15 November 1987


dari pasangan Bapak Yunus Rupa dan Ibu Ludia Tamme. Penulis merupakan anak kedelapan
dari delapan orang bersaudara.
Penulis lulus dari SMA Negeri 1 Wundulako pada tahun 2006. Pendidikan sarjana
ditempuh di Program Studi Pendidikan Biologi, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Borneo Tarakan dan lulus pada tahun 2010. Pada tahun 2012 penulis melanjutkan
jenjang strata 2 (S2) pada Program Studi Biologi Tumbuhan, Departemen Biologi pada
Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (IPB). Selama menempuh pendidikan di
Sekolah Pascasarjana IPB penulis mendapatkan Beasiswa Program Pascasarjana dari
Direktorat Pendidikan Tinggi (DIKTI) tahun 2012-2014.

Anda mungkin juga menyukai