Anda di halaman 1dari 36

LAPORAN

PENELITIAN DASAR KEILMUAN

KAJIAN FARMAKOGNOSI DAN IDENTIFIKASI


METABOLIT SEKUNDER TUMBUHAN PAKU-PAKUAN DI
DESA GUNUNG MALANG, TAMAN NASIONAL GUNUNG
HALIMUN SALAK, JAWA BARAT

Ketua Peneliti (Rindita, M. Si./0329118402)


Anggota Peneliti (apt. Vivi Anggia, M. Farm../0313028702)

Nomor Surat Kontrak Penelitian : 689/F.03.07/2019


Nilai Kontrak : Rp.12.000.000,-

PROGRAM STUDI FARMASI


FAKULTAS FARMASI DAN SAINS
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PROF. DR. HAMKA
TAHUN 2020
HALAMAN PENGESAHAN PENELITIAN DASAR KEILMUAN (PDK)
Judul Penelitian Kajian Farmakognosi Dan Identifikasi
Metabolit Sekunder Tumbuhan Paku-
Pakuan Di Desa Gunung Malang,
Taman Nasional Gunung Halimun
Salak, Jawa Barat
Ketua Peneliti
a. Nama Lengkap Rindita, M.Si.
b. NIDN 0329118402
c. Jabatan fungsional Asisten Ahli
d. Fakultas/Program Studi Farmasi dan Sains/Farmasi
e. No. Hp 08568201721
f. Alamat e-mail rindita@uhamka.ac.id
Anggota Peneliti
a. Nama Lengkap Vivi Anggia, M. Farm., Apt.
b. NIDN 0313028702
c. Fakultas/Program Studi Farmasi dan Sains/Farmasi
Lama Penelitian 5 bulan
Luaran Penelitian 1. Jurnal Terakreditasi Sinta 2
2. Draft Prosiding Internasional
Biaya Penelitian Disetujui Rp. 12.000.000,-

Jakarta, 25 November 2020,


Mengetahui
Ketua Program Studi Farmasi Ketua Peneliti

Kori Yati, M. Farm., Apt. Rindita, M. Si.


NIDN. 0324067802 NIDN. 0329118402

MENYETUJUI
Dekan FFS UHAMKA Ketua Lemlitbang UHAMKA

Dr. Hadi Sunaryo, M. Si., Apt. Prof. Dr. Suswandari, M. Pd.


NIDN. 0325067201 NIDN. 0020116601

1
SURAT KONTRAK PENELITIAN

2
3
ABSTRAK
Tumbuhan paku-pakuan yang diketahui memiliki beberapa aktivitas farmakologi
masih kurang dieksplorasi jika dibandingkan dengan tumbuhan tingkat tinggi.
Sebuah eksplorasi paku-pakuan dilakukan di hutan Desa Gunung Malang, Bogor,
yang termasuk dalam kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak.
Pengumpulan sampel dilakukan secara purposive berdasarkan survei pendahuluan.
Jenis paku-pakuan yang dipilih untuk diteliti adalah Histiopteris incisa,
Nephrolepis biserrata, dan Selaginella willdenowii. Sampel H. incisa dan N.
biserrata dikoleksi dari ketinggian 700 m. dpl. dan 1000 m. dpl. sedangkan S.
willdenowii dikoleksi dari hutan ternaung dan terbuka. Pengukuran parameter
lingkungan dilakukan untuk mengetahui kondisi habitat yang cocok bagi ketiga
spesies tersebut. Setelah dijadikan simplisia, sampel diekstraksi menggunakan
metode ultrasonik. Penetapan kadar fenolik dilakukan menggunakan metode Folin-
Ciocalteu dan uji aktivitas antioksidan menggunakan DPPH. Hasil skrining
fitokimia menunjukkan bahwa S. willdenowii mengandung senyawa fenolik,
alkaloid, flavonoid, saponin, dan tanin; N. biserrata mengandung senyawa fenolik,
flavonoid, dan saponin; dan H. incisa mengandung senyawa fenolik, tanin, saponin
dan steroid. Kadar fenolik dari S. willdenowii yang tumbuh di hutan terbuka lebih
tinggi (38,3736 mg GAE/g sampel) dibandingkan dengan yang tumbuh di hutan
ternaung (24,6315 mg GAE/g sampel). Kadar fenolik N. biserrata yang tumbuh di
ketinggian 700 m. dpl. lebih tinggi (17,5399 mg/GAE/g sampel) dibandingkan
dengan yang tumbuh di ketinggian 1000 m. dpl. (8,8468 mg/GAE/g sampel),
namun pada H. incisa lebih tinggi di ketinggian 1000 m. dpl. (18,1321 mgGAE/g
sampel) daripada di ketinggian 700 m. dpl. (9,8523 mgGAE/g sampel). Studi ini
menunjukkan keadaan lingkungan mempengaruhi komposisi senyawa pada
tumbuhan.
Keywords: Eksplorasi, Histiopteris incisa, Kadar Fenolik, Nephrolepis biserrata,
Selaginella willdenowii

4
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL ……………………………………………………0
HALAMAN PENGESAHAN …………………………………………….1
SURAT KONTRAK PENELITIAN …………………………………... 2
ABSTRAK ……………………………………………………………….. 4
DAFTAR ISI ……………………………………………………………... 5
DAFTAR TABEL ………………………………………………………... 6
DAFTAR GAMBAR …………………………………………………….. 6
BAB 1. PENDAHULUAN ……………………………………………….. 7
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ………………………………………. 10
BAB 3. METODE PENELITIAN …………………………………….... 14
BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN ………………………………….. 18
BAB 5. KESIMPULAN DAN SARAN ………………………………….. 29
BAB 6. LUARAN YANG DICAPAI ……………………………………..30
BAB 7. RENCANA TINDAK LANJUT DAN PROYEKSI HILIRISASI
………………………………………………………………………………32
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………. 33
LAMPIRAN (bukti luaran yang didapatkan)
- Artikel ilmiah (draft, status submission atau reprint)
- HKI, publikasi dan produk penelitian lainnya

5
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Data hasil pengukuran parameter lingkungan di ketinggian 700
dan 1.000 m. dpl. ……………………………………………… 24
Tabel 2. Hasil Ekstraksi Simplisia Daun Paku Tulang …………………. 26

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Road Map Peneliti …………………………………………… 13


Gambar 2. Lapangan Desa Gunung Malang TNGHS dengan titik
koordinat 06º39’56”LS dan 106º43’15”BT ……………….. 14
Gambar 3. Diagram alir prosedur penelitian …………………………… 17
Gambar 4. Hasil pengamatan mikroskopis dari sayatan melintang akar, batang,
dan Selaginella willdenowii………………………………….....18
Gambar 5. Hasil pengamatan mikroskopis dari serbuk simplisia dan spora
Selaginella willdenowii………………………………………… 19
Gambar 6. Daun paku rane yang tumbuh di tempat terbuka (kiri) dan yang
tumbuh di tempat ternaung (kanan)........................................... 20
Gambar 7. Hasil pengamatan mikroskopis sayatan melintang daun, batang, akar,
serbuk simplisia, dan spora Nephrolepis biserrata………….. 22
Gambar 8. Bentuk daun paku Tulang (Histiopteris incisa) …………… 24
Gambar 9. Grafik Kadar Fenol paku Histiopteris incisa pada ketinggian
700 m. dpl. dan 1.000 m. dpl…………………………………. 26
Gambar 10. Grafik Nilai IC50 dari Asam Galat dan Sampel Ekstrak Etanol 70%
daun paku tulang …………………………………………….. 27

6
BAB 1. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Indonesia merupakan salah satu Negara dengan kekayaan hayati terbesar di


dunia yang memiliki lebih dari 30000 spesies tumbuhan tingkat tinggi. Hingga
saat ini, tercatat 7000 spesies tumbuhan telah diketahui khasiatnya namun
kurang dari 300 spesies yang digunakan sebagai bahan baku industri farmasi.
Eksplorasi tumbuhan obat di habitat aslinya merupakan alternatif pencarian
tumbuhan berkhasiat obat yang berguna untuk menemukan bahan baku obat
secara massal. Tumbuhan obat liar banyak terdapat di kawasan Taman
Nasional, salah satunya adalah Taman Nasional Gunung Halimun Salak
(TNGHS). Belum banyak bahan obat yang berasal dari tumbuhan paku-pakuan
(Pteridophyta), padahal ketersediaannya di alam cukup melimpah.
Sekitar 12000-15000 jenis paku tersebar di dunia (Roos 1996). Lebih
kurang 4400 jenis diketahui berasal dari Asia Tenggara (de Winter & Amoroso
2003), diperkirakan terdapat lebih dari 1300 jenis paku di Indonesia
(Sastrapradja et al. 1979). Potensi dan manfaat tumbuhan paku di bidang
farmasi sudah mulai diteliti (de Winter dan Amoroso 2003). Senyawa aktif yang
terdapat pada tumbuhan paku sangat banyak dan beragam, salah satunya
alkaloid. Hasil penelitian sebelumnya tentang tumbuhan paku yang dilaporkan
mengandung alkaloid yaitu Selaginella willdenowii, S. plana, dan Nephrolepis
radicans (Chikamawati dan Miftahudin, 2008; Dayanti dan Suyatno, 2012).
Berdasarkan survei lapangan yang pernah dilakukan, terdapat beberapa
jenis tumbuhan paku yang populasinya dominan seperti: Selaginella
wildenowii, Histiopteris incisa, dan Nephrolepis biserrata. Penelitian ini
dilakukan untuk mengetahui manfaat lebih lanjut dari ketiga tumbuhan paku
tersebut di bidang farmasi. Pada penelitian sebelumnya diketahui bahwa ekstrak
S. wildenowii mengandung flavonoid 4’,7”-diO-metilamentoflavon,
isokriptomerin, dan 7”-O-metilrobusta-flavon yang secara signifikan sitotoksik
terhadap berbagai sel kanker. Akan tetapi penetapan kadar metabolit sekunder
dan uji antioksidannya belum banyak diteliti. Untuk kandungan kimia dan

7
aktivitas biologi Nephrolepis biseratta memang sudah dilakukan yaitu
menunjukkan bahwa spesies tersebut memiliki aktivitas sebagai antioksidan,
dengan kandungan kimia antara lain senyawa flavonoid dan steroid (Astuti dan
Rudiansyah 2013). Namun pada penelitian ini dilakukan di ketinggian yang
berbeda. Untuk Histiopteris incisa juga belum banyak penelitian mengenai
kandungan metabolit sekundernya.
Senyawa fenolik merupakan senyawa bahan alam yang cukup luas
penggunaannya saat ini. Kemampuannya sebagai senyawa biologik aktif
memberikan suatu peran yang besar terhadap kepentingan manusia. Salah
satunya sebagai antioksidan untuk pencegahan dan pengobatan penyakit
degeneratif, kanker, penuaan dini dan gangguan sistem imun tubuh (Apsari &
Susanti 2011). Mengingat pentingnya fungsi senyawa fenolik maka pengukuran
kadar fenolik perlu dilakukan. Adapun kadar metabolit sekunder tumbuhan
dipengaruhi oleh faktor lingkungan, seperti intensitas cahaya dan ketinggian.
Faktor penyinaran akan mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan
tanaman, dengan demikian juga akan mengatur biosintesis dari metabolit
sekunder (Jakoola dkk. 2010).
Berdasarkan latar belakang tersebut, penelitian terhadap ketiga spesies
paku-pakuan tersebut penting untuk dilakukan. Penentuan kadar fenol dan uji
aktivitas antioksidan akan dilakukan pada ekstrak etanol 70% ketiga simplisia
yang diekstraksi dengan metode ultrasonik. Metode ekstrasi ultrasonik
digunakan karena sampel merupakan tumbuhan liar yang penyebaran di habitat
aslinya harus tetap terjaga.

B. Rumusan Masalah

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimanakah kajian


farmakognosi dan identifikasi metabolit sekunder dari tiga spesies tumbuhan
paku-pakuan yang terdapat di hutan Desa Gunung Malang, Taman Nasional
Gunung – Halimun Salak, Jawa Barat.

8
C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kajian farmakognosi dan


kandungan senyawa metabolit sekunder secara kualitatif dan kuantitatif dari
tiga spesies tumbuhan paku-pakuan (Pteridophyta) yang tumbuh liar di wilayah
hutan Desan Gunung Malang, Taman Nasional Gunung Halimun Salak, Jawa
Barat.

D. Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah untuk menambah data pencarian bahan
obat baru dari alam, meliputi data ekologi dan kandungan metabolit sekunder,
baik secara kualitatif maupun kuantitatif, dari spesies paku-pakuan yang banyak
terdapat di hutan Desa Gunung Malang, Taman Nasional Gunung Halimun-
Salak.

9
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA
A. State of the Art
Beberapa dokumentasi penelitian menyebutkan bahwa tumbuhan paku-
pakuan memiliki aktivitas farmakologi dan digunakan sebagai obat tradisional
untuk menyembuhkan penyakit pada manusia. Di antara jenis paku yang paling
banyak diteliti adalah genus Selaginella, yang diketahui memiliki berbagai
aktivitas farmakologi seperti antioksidan, antiinflamasi, antikanker,
antidiabetes, antivirus, antimikroba, dan antiAlzheimer (Baskaran et al. 2018).
Salah satu jenis Selaginella, yaitu S. wildenowii, yang digunakan dalam
penelitian ini diketahui memiliki kandungan fenolik dan flavonoid pada
daunnya. Berdasarkan komunikasi pribadi yang dilakukan pada tahun 2017,
masyarakat daerah Desa Gunung Malang menggunakan paku rane (S.
wildenowii) sebagai obat penyembuhan luka pada ibu bersalin. Sebuah
penelitian etnobotani juga menyatakan bahwa spesies ini adalah salah satu jenis
Selaginella yang digunakan sebagai tanaman obat (Setyawan 2009).
Jenis tumbuhan paku yang kedua adalah Histiopteris incisa. Spesies ini
dikenal dengan nama daerah paku tulang. Tumbuh ini ditemukan di hutan
kerangas dan gambut di tempat terbuka yang mendapat sinar matahari langsung.
Dari hasil penelitian sebelumnya, diketahui bahwa ekstrak metanol tumbunan
paku Nephrolepis radicans, tumbuhan satu famili dengan H. incisa, memiliki
kandungan senyawa metabolit sekunder yaitu alkaloid, saponin, fenolik, dan
flavonoid (Dayanti dan Suyanto 2012). Jenis ini menunjukkan hasil positif pada
uji antioksidan.
Nephrolepis merupakan salah satu genus tumbuhan paku yang mudah
ditemukan pada daerah beriklim tropis atau negara yang memiliki hutan tropis
seperti Indonesia. Selain digunakan sebagai tanaman hias, paku ini biasa
digunakan sebagai sayuran. Nephrolepis biserrata memiliki nama daerah paku
uban, dengan morfologi tanaman sebagai berikut, rimpang pendek, tegak,
terdapat banyak geragih, sisik cokelat gelap. Tangkai cokelat, mengkilat. Sorus
membundar, medial (Maulana 2019). Berdasarkan penelitian sebelumnya,
analisis fitokimia daun paku uban Nephrolepis biserrata menunjukan bahwa

10
fraksi n-heksana dan kloroform tumbuhan paku uban positif mengandung dua
golongan senyawa yaitu alkaloid dan steroid. Fraksi metanol tumbuhan paku
uban positif mengandung golongan senyawa flavonoid (Astuti dan Rudiansyah
2003). Pada penelitian yang dilakukan oleh Manan et al. (2015) ditemukan
myricetin, rutin, dan kaempferol terkandung dalam tanaman Nephrolepis
biserrata (Sw.) Schott. Pada N. falcata ditemukan senyawa golongan flavonoid,
terpenoid, senyawa fenol, dan saponin (Komala 2015). Penelitian yang
dilakukan oleh Dayanti dan Suyanto (2012) juga menunjukkan bahwa ekstrak
metanol batang tumbuhan paku N. radicans mengandung metabolit sekunder
golongan senyawa alkaloid, fenolik, dan flavonoid. Pada penelitian yang
dilakukan oleh Manan et al. (2015), tumbuhan Nephrolepis biserrata (Sw.)
Schott diketahui mempunyai aktivitas antioksidan kuat dan efek protektif
signifikan dalam melawan CCl4 yang diinduksi dalam tikus (Shah et al. 2015,
Astuti dan Rudiansyah 2013).
B. Nilai Kebaruan

Penelitian ini memiliki nilai kebaruan dari segi eksplorasi terhadap


kelompok tumbuhan yang kurang banyak diteliti dari segi metabolit
sekundernya, yaitu Pteridophyta (paku-pakuan). Diawali dari eksplorasi, maka
kita dapat mengetahui potensi jenis-jenis paku-pakuan yang tumbuh di hutan
Indonesia sebagai bahan obat.

C. Kajian Terkait dengan Konsep Teori

Pada penelitian yang dilakukan, bagian daun dari ketiga simplisia


diekstraksi dengan metode ultrasonik. Prinsip ekstraksi ultrasonik adalah
dengan meningkatkan transfer massa yang disebabkan oleh naiknya penetrasi
pelarut ke dalam jaringan tumbuhan lewat efek kapiler. Gelembung kavitasi
akan terbentuk pada dinding sel tanaman akibat adanya gelombang ultrasonik.
Efek dari pecahnya gelembung kavitasi ini dapat mengakibatkan peningkatan
pori-pori dinding sel. Gelembung kavitasi akan terpecah disebabkan oleh
tipisnya bagian kelenjar sel tumbuhan yang dapat mudah rusak oleh sonikasi
(Dong et al. 2010). Hal ini yang menyebabkan proses ekstraksi dengan

11
menggunakan gelombang ultrasonik menjadi lebih cepat dibandingkan metode
konvensional dengan cara maserasi maupun ekstraksi soxhlet. Medium yang
dilewati akan mengalami getaran yang disebabkan oleh gelombang elektronik.
Getaran yang diberikan gelombang ultrasonik akan memberikan pengadukan
yang intensif terhadap proses ekstraksi. Proses pengadukan akan meningkatkan
osmosis antara bahan dengan pelarut sehingga akan mempercepat proses
ekstraksi (Mario 2010). Ultrasonik juga dapat menurunkan suhu operasi pada
ekstrak yang tidak tahan panas, sehingga cocok untuk diterapkan pada ekstraksi
senyawa bioaktif tidak tahan panas (Zou et al. 2014).
Senyawa fenolik merupakan senyawa yang dihasilkan oleh tumbuhan
sebagai respons terhadap stres lingkungan. Senyawa fenolik berfungsi sebagai
pelindung terhadap sinar UV-B dan kematian sel untuk melindungi DNA dari
dimerisasi dan kerusakan (Lai & Lim 2011). Komponen pada senyawa ini
diketahui memiliki peranan penting sebagai agen pencegah dan pengobatan
beberapa gangguan penyakit seperti arteriosklerosis, disfungsi otak, diabetes
dan kanker (Garg et al. 2016). Senyawa fenol yang memiliki gugus hidroksil
lebih dari dua disebut dengan polifenol. Sebagai contoh kelompok tanin,
flavonoid, melanin, dan lignin (Hanani 2015).
Antioksidan adalah suatu senyawa yang dapat menyangkal efek negatif
radikal bebas yang terbentuk sebagai metabolisme oksidatif, yaitu hasil dari
reaksi-reaksi kimia dan proses metabolik yang terjadi di dalam tubuh dengan
memberikan satu elektronnya kepada senyawa radikal bebas. Salah satu metode
uji aktivitas antioksidan adalah metode Radical Scavenger dengan DPPH.
Metode DPPH (2,2-difenil-1-pikril-hidrazil) merupakan radikal bebas yang
umum digunakan sebagai model dalam peneltian antioksidan atau perendaman
radikal bebas. Metode DPPH merupakan metode yang sederhana, cepat, dan
mudah selain itu metode ini terbukti akurat, reliabel, praktis (Pine dkk. 2015).
Metode DPPH adalah metode yang mudah, cepat, dan sensitif untuk pengujian
aktivitas antioksidan senyawa tertentu.
Faktor lingkungan berpengaruh pada kandungan metabolit sekunder.
Faktor pertama yang mempengaruhi yakni faktor fisik atau abiotik yang terdiri

12
atas faktor-faktor lingkungan yang bersifat non biologis seperti iklim (suhu
udara, kelembaban udara, intensitas cahaya), tanah dan kondisi fisik lingkungan
lainnya. Faktor bioekologi yang kedua adalah faktor biotik yaitu organisme
yang berpengaruh terhadap organisme lain contoh tumbuhan lain (Parinding
2007). Berdasarkan faktor fisik atau yang bersifat non biologis dapat
mempengarungi kandungan senyawa suatu tumbuhan termasuk dengan
perbedaan ketinggian. Faktor penyinaran akan mempengaruhi pertumbuhan dan
perkembangan tanaman, dengan demikian juga akan mengatur biosintesis dari
metabolit sekunder (Jakoola dkk. 2010).

D. Roadmap Penelitian Peneliti


Berkaitan dengan Penelitian Dasar Keilmuan yang dilakukan oleh peneliti,
hal ini juga berlatar belakang dari pendidikan peneliti yang berasal dari bidang
Biologi. Untuk itu, road map peneliti akan fokus pada pencarian bahan baku
obat, sesuai dengan kompetensi peneliti yang berhubungan dengan bidang
Farmasi. Adapun road map peneliti dapat dilihat pada Gambar 1.

Bersama dengan
rekan farmasi bahan
alam,
mengembangkan
Etnofarmasi, yaitu
metabolit sekunder
melakukan eksplorasi
yang ditemukan
di wilayah lain di
berpotensi sebagai
Jawa Barat, dalam
obat untuk diteliti
rangka pencarian
lebih lanjut dalam
obat baru mulai dari
bidang fitokimia,
Eksplorasi dan kebiasaan penduduk
farmakologi, dan
Identifikasi Metabolit setempat
teknologi formulasi
Sekunder Paku- (2020-2022)
Pakuan dari Habitat (2022-2024)
aslinya
(2019-2020)

Gambar 1. Road Map Peneliti

13
BAB 3. METODE PENELITIAN

A. Lokasi Penelitian

Pengambilan sampel dan pengukuran faktor abiotik dilakukan di Desa


Gunung Malang, Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS), yang foto
lokasi dan titik koordinatnya dapat dilihat pada Gambar 2. Simplisia yang
diperoleh diteliti lebih lanjut di Laboratorium Fitokimia dan Kimia Terpadu
Fakultas Farmasi dan Sains, Universitas Muhammadiyah Prof. DR. HAMKA,
Jakarta Timur.

Gambar 2. Lapangan Desa Gunung Malang TNGHS dengan titik


koordinat 06º39’56”LS dan 106º43’15”BT.

B. Konsep Metode Penelitian yang Digunakan

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif


eksploratif dengan pengambilan sampel yaitu purposive sampling yaitu teknik
pengambilan sampel dengan cara menetapkan ciri-ciri khusus yang sesuai
dengan tujuan dan kebutuhan.

C. Populasi dan Sampel Atau Subjek Penelitian


Sampel S. wildenowii diperoleh dari lokasi dengan perbedaan vegetasi hutan
ternaungi dan terbuka di Desa Gunung Malang, Taman Nasional Gunung

14
Halimun Salak, sedangkan sampel N. biserrata dan H. incisa diperoleh di
ketinggian 700 dan 100 m. dpl. Ketiga sampel telah dideterminasi di Herbarium
Bogoriense-LIPI Cibinong. Untuk mengetahui kondisi vegetasi dan populasi
tumbuhan yang ada di Desa Gunung Malang, Taman Nasional Gunung Halimun
Salak, maka telah dilakukan survei lokasi. Pengukuran parameter lingkungan
dilakukan di sekitar pengambilan sampel yaitu meliputi pengukuran intensitas
cahaya, kelembapan, kecepatan angin, suhu dan pH tanah, yang dilakukan
menggunakan peralatan khusus.
Pada proses pengambilan sampel tumbuhan paku diambil bagian daun yang
segar, kemudian dimasukkan ke dalam wadah (karung berjaring) dan dibawa
hati – hati sampai ke dalam laboratorium. Pengambilan sampel dilakukan
setelah memperoleh izin dari pihak berwenang. Tahap pertama pembuatan
simplisia dari sampel segar adalah sortasi basah daun. Kemudian, sampel
dibersihkan lalu dikeringkan dengan cara diangin-anginkan di tempat teduh
hingga kering dan selanjutnya disortasi kering. Lalu simplisia dihaluskan
dengan cara dicacah atau dihaluskan menggunakan blender, diayak dengan
menggunakan ayakan mesh no. 40, ditimbang seksama dan dicatat hasilnya.

D. Cara Pengumpulan Data


Pembuatan ekstrak dilakukan dengan metode ultrasonik. Ultrasonik
dilakukan pada interval waktu 30 menit diulang beberapa kali sampai ekstraksi
sempurna, dengan pelarut etanol 70% sampai zat aktif yang dikehendaki larut
dengan perbandingan 1:7 b/v. Ekstraksi berbantuan gelombang ultrasonik
dilakukan dengan menggunakan ultrasonik cleaning bath bransonik 5210.
Ektraksi ultrasonik ini telah dimodifikasi pada interval waktu untuk mengetahui
waktu mana yang paling baik. Hasil ekstraksi disaring dengan kertas saring,
kemudian pelarut diuapkan dengan menggunakan rotary evaporator hingga
didapatkan ekstrak kental (Winnie and Yunianta 2015).

Pengamatan maskroskopis dilakukan pada sampel segar, yaitu seluruh


bagian tumbuhan, dan pengamatan mikroskopis dilakukan dengan membuat
sayatan melintang organ tumbuhan, membuat preparat dan mengamatinya di

15
bawah mikroskop. Pengamatan fragmen spesifik juga dilakukan pada serbuk
simplisia. Pemeriksaan mutu ekstrak dilakukan meliputi uji organoleptis, susut
pengeringan, dan perhitungan rendemen sesuai standar yang berlaku. Penapisan
fitokimia dilakukan dengan metode warna/uji tabung sesuai standar yang
berlaku, yaitu meliputi uji alkaloid, fenolik, flavonoid, saponin, tanin, dan
triterpenoid (Hanani 2015).

Penetapan kadar fenol total diawali dengan pembuatan larutan asam galat,
larutan Na2CO3, larutan blanko, larutan uji induk (1000 ppm), dan larutan uji
seri konsentrasi. Larutan induk ekstrak etanol masing-masing simplisia dari
masing-masing perbandingan dan waktu ekstraksi dibuat seri konsentrasi 10
ppm, 20 ppm, 40 ppm, 80 ppm, dan 160 ppm. Setelah ini, dilakukan penentuan
panjang gelombang absorbansi maksimum dan operating time berdasarkan
Alfian dan Hari (2012). Selanjutnya dilakukan pembuatan kurva baku asam
galat dan akhirnya dilakukan penetapan kadar fenol.

Uji antioksidan dilakukan dengan pembuatan larutan DPPH 0,5 mM,


pembuatan larutan asam galat, pembuatan larutan uji induk (1000 ppm).
Selanjutnya dilakukan pembuatan larutan uji seri konsentrasi, dan penentuan
panjang gelombang maksimum DPPH. Pengukuran absorbansi larutan pada
spektrofotometer UV-Vis dengan rentang panjang gelombang 500-600 nm.
Selanjutnya dilakukan penentuan operating time, dan akhirnya dilakukan uji
antioksidan.

E. Fishbond Penelitian/Diagram alir


Meringkas tahapan penelitian yang telah dilakukan, terdapat diagram alir
penelitian pada Gambar 3.

16
Gambar 3. Diagram alir prosedur penelitian

17
BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Spesies Paku 1: Selaginella willdenowii


Berdasarkan hasil penelitian di habitat aslinya, paku rane tumbuh baik di
wilayah hutan ternaung maupun hutan terbuka di Desa Gunung Malang, Taman
Nasional Gunung Halimun Salak. Akan tetapi, pada dasarnya, sebagian besar
Selaginella tumbuh di bawah kanopi hutan dan dilindungi dari sinar matahari
langsung, tersebar baik pada daerah hutan tropis dan tumbuh subur pada permukaan
hutan (Mound et al. 1994). Dari segi morfologi, daun S. willdenowii yang tumbuh
di tempat ternaung memiliki warna biru menyala, sedangkan yang tumbuh pada
tempat terbuka warnanya kuning kecokelatan (Gambar 6). Untuk lokasi S.
willdenowii yang ternaungi, rentang intensitas cahaya 670-4280 lux, kelembapan
udara 57,9-67,3%RH, suhu udara 25,0-27,6℃, pH tanah 7, suhu tanah 20-21℃,
kelembapan tanah 15-35%RH. Sedangkan di lokasi S. willdenowii yang terbuka,
rentang intensitas cahaya 5490->20000 lux, kelembapan udara 38,9-65,0%RH,
suhu udara 28,2-37,5℃, pH tanah 6-6,7, suhu tanah 22-25℃, kelembapan tanah 10-
30%RH. Melihat populasinya yang memadai, rentang faktor lingkungan yang
diperoleh menunjukkan kondisi yang cocok untuk pertumbuhan paku rane.

Dari hasil pengamatan mikroskopis paku rane pada akar, batang, daun,
spora, serta serbuk paku rane diperoleh beberapa karakter mikroskopis atau
fragmen spesifik yang terlihat pada Gambar 4 dan 5.

Gambar 4. Hasil pengamatan mikroskopis dari sayatan melintang akar


(kiri), batang (tengah), dan daun (kanan) Selaginella willdenowii.

18
Gambar 5. Hasil pengamatan mikroskopis dari serbuk simplisia dan spora
Selaginella willdenowii.

Hasil dari ekstraksi ultrasonik S. willdenowii dari hutan ternaung


menghasilkan rendemen 26,9%, sedangkan dari hutan terbuka 25,6%. Hasil
perhitungan susut pengeringan simplisia S. willdenowii dari hutan ternaung adalah
8,23%, sedangkan dari hutan terbuka 8,61%. Kedua hasil tersebut adalah di bawah
10%, yang artinya sudah memenuhi standar (Depkes RI 2000). Hasil pengukuran
kadar total abu simplisia S. willdenowii dari hutan ternaung adalah 4,47%,
sedangkan dari hutan terbuka 7,58%. Kedua hasil pengukuran kadar abu tersebut
juga sesuai dengan standar. Hasil penapisan fitokimia S. willdenowii menunjukkan
bahwa simplisia mengandung senyawa fenolik, alkaloid, flavonoid, saponin, dan
tanin. Untuk penetapan kadar fenolik, standar yang digunakan adalah asam galat.
Dari pengukuran, didapat hasil panjang gelombang yang digunakan 759,5 nm
dengan nilai absorbansi 0,422 dan operating time (waktu serapan stabil) di 100
menit. Kadar fenol pada ekstrak 70% daun paku rane sampel hutan ternanung
adalah sebesar 24,6315 mg GAE/g sampel, lebih kecil dari kadar fenol dari sampel
hutan terbuka yaitu sebesar 38,3736 mg GAE/g sampel. Perbedaan kadar ini dapat
disebabkan karena tempat tumbuh S. willdenowii yang berbeda. Faktor penyinaran
akan mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan tumbuhan, dengan demikian
juga akan mengatur biosintesis dari metabolit sekunder (Jakoola & Hohtola 2010).
Telah diketahui paku rane menyukai tempat naungan, sehingga dalam kondisi
terbuka akan mengalami cekaman sehingga memproduksi metabolit sekunder yang
lebih banyak.

19
Uji antioksidan yang dilakukan pada sampel dilakukan dengan metode
DPPH, dengan pembanding asam galat. Hasil perhitungan IC50 menunjukkan
bahwa asam galat sebagai pembanding memiliki aktivitas antioksidan sangat kuat
(di bawah 50 ppm) yaitu 7,9729 ppm. Untuk hasil IC50 ekstrak paku rane hutan
ternaung adalah sebesar 91,3452 ppm, sedangkan hutan terbuka 100,93 ppm.
Semakin kecil nilai IC50 maka aktivitas peredaman radikal bebas semakin tinggi
(Molyneux 2004), namun demikian keduanya termasuk ke dalam antioksidan
dengan aktivitas kuat dan dapat diteliti lebih lanjut di bidang pengobatan.

Gambar 6. Daun paku rane yang tumbuh di tempat terbuka (kiri) dan yang
tumbuh di tempat ternaung (kanan).

B. Spesies Paku 2: Nephrolepis biserrata

Untuk sampel spesies paku kedua yaitu paku uban (Nephrolepis biserrata),
diambil di dua ketinggian berbeda, yaitu 700 dan 1000 m. dpl. Ciri khas pada
tumbuhan paku N. biserrata terletak pada sisik yang berada pada stip dan letak
sorus dekat dengan tepi pinna medial (De Winter & Amoroso 2003). Untuk
pengukuran parameter lingkungan di ketinggian 700 m. dpl. menghasilkan data
sebagai berikut: intensitas cahaya 914-7980 lux, kelembapan udara 58,1-71,3%RH,
suhu udara 26,9-29,4℃, pH tanah 6-6,8, kelembapan tanah 40%RH, dan temperatur
tanah 22-23℃. Data pengukuran parameter lingkungan di ketinggian 1000 m.dpl.
adalah: intensitas cahaya 1526-8456 lux, kelembapan udara 55,4-69,4%RH, suhu
udara 24,1-29,8℃, pH tanah 6,5-7, kelembapan tanah 25-40%RH, dan temperatur

20
tanah 21-23℃. Hasil pengukuran kelembapan udara mengalami perbedaan, hal ini
dikarenakan tempat pengukuran parameter pada ketinggian 700 m. dpl. tertutupi
oleh vegetasi pohon pinus yang menyebabkan suhu menurun karena kurangnya
intensitas cahaya sehingga kelembapannya meningkat, sedangkan pada ketinggian
1.000 m.dpl tempat pengukuran parameter lebih terbuka yang menyebabkan
tumbuhan langsung terpapar sinar matahari yang akan berpengaruh terhadap nilai
kelembapan. Kelembapan sangat dipengaruhi oleh suhu udara, karena suhu udara
menurun seiring dengan intensitas cahaya. Kisaran kelembapan tersebut merupakan
kelembapan yang baik untuk pertumbuhan paku (Hoshizaki & Moran 2001).
Kelembapan relatif yang baik bagi pertumbuhan tumbuhan paku pada umumnya
berkisar antara 60-80%.

Dari hasil pengamatan mikroskopis paku uban pada akar, batang, daun,
spora, serta serbuk paku uban diperoleh beberapa karakter mikroskopis atau
fragmen spesifik yang terlihat pada Gambar 7.

Gambar 7. Hasil pengamatan mikroskopis sayatan melintang daun


(kiri atas dan tengah), batang (kanan atas), akar (kiri bawah), serbuk simplisia
(tengah bawah), dan spora (kanan bawah) Nephrolepis biserrata.

21
Melalui proses ekstraksi yang sama, rendemen yang dihasilkan oleh sampel
paku uban di ketinggian 700 m. dpl. adalah 23,9682% dan dari ketinggian 1000 m.
dpl. adalah 19,7142%. Hasil perhitungan susut pengeringan kedua sampel
memenuhi standar, yaitu 3,53% (700 m. dpl.) dan 1,01% (1000 m. dpl.). Begitu
juga dengan nilai kadar abu yang memenuhi standar yaitu 5,3268 % (700 m. dpl.)
dan 7,3981 % (1000 m. dpl.). Hasil penapisan fitokimia dari menunjukkan reaksi
positif pada senyawa fenolik, flavonoid, dan saponin. Dengan prosedur yang sama,
penetapan kadar fenolik paku uban di ketinggian 700 m. dpl. menghasilkan 17,5399
mg/GAE/g sampel, lebih tinggi dibandingkan dengan yang di ketinggian 1000 m.
dpl. yaitu 8,8468 mg/GAE/g sampel. Untuk uji antiokisidan, ekstrak etanol 70%
daun Nephrolepis biserrata pada ketinggian 700 m.dpl memiliki nilai IC50 =
85,1836 ppm sedangkan pada ketinggian 1.000 m.dpl hasil IC50 = 95,0615 ppm
dengan nilai IC50 pada asam galat yaitu 7,9729 ppm. Kedua ekstrak tergolong
memiliki antioksidan kuat, dengan kadar aktivitas antioksidan pada ketinggian 700
m.dpl didapatkan hasil IC50 lebih rendah yang artinya memiliki potensi antioksidan
lebih kuat dari IC50 ekstrak etanol 70% daun Nephrolepis biserrata ketinggian
1.000 m. dpl.

C. Spesies Paku 3: Histiopteris incisa

Karakter spesifik pada tumbuhan paku ini yaitu perawakan berupa semak yang
besar, batanya tegak, berwarna kuning kecokelatan, daun berwarna hijau tua,
tersusun majemuk dan menyirip ganda tiga, dan memiliki sporangium terletak pada
bagian abaksial daun (permukaan bawah daun). Adapun morfologi tumbuhan Paku
Histiopteris incisa dapat dilihat pada Gambar 8.

22
Gambar 8. Bentuk daun paku Tulang (Histiopteris incisa)

Hasil pengukuran parameter lingkungan tempat tumbuh paku H. incisa dapat


dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Data hasil pengukuran parameter lingkungan di


ketinggian 700 dan 1.000 m. dpl.

Nama alat Parameter Hasil


700 m. dpl. 1.000 m. dpl.
Intensitas Cahaya 112 - 1,851 2390 - 4920
(LUX)
Weather Kelembapan Udara 58,2 - 68,5 55,4 – 69,4
Meter (% RH)
Digital 4 in Suhu Udara (ºC) 25,0 - 28,6 24,1 – 29,8
1 KecepatanAngin 0,0 – 0,9 0,0 – 0,0
(M/S)

Soil Tester Temperatur Tanah 21 - 23 22 – 23


Digital (ºC)
pH tanah 7,0 7,0

pH Tanah 7,0 6,5 – 7,0


Soil Tester
Kelembapan 20 – 30 25 – 40
Manual
Tanah%

Titik Koordinat LS:06º40`10,7” LS:40º28`9”


GPS
BT:106º43`22,1” BT:43º31`5”
Ketinggian 706 1.003

Pada pengukuran intensitas cahaya di ketinggian 700 m.dpl yang didapat 112 –
1851 Lux dan pada ketinggian 1.000 m. dpl. adalah 2390 – 4920 Lux. Semakin

23
bertambahnya ketinggian, intensitas cahaya semakin tinggi karena pada ketinggian
1.000 m. dpl. paku tulang terdapat pada daerah yang lebih terbuka. Hasil
pengukuran kelembapan pada ketinggian 700 m. dpl. kelembapannya 58,2 – 68,5%
RH, kelembapan pada ketinggian 1.000 m. dpl. 55,4 – 69,4. Kelembapan udara
mengalami kenaikan dan penurunan seiring dengan semakin bertambahnya
ketinggian lokasi penelitian. Kelembapan ini sangat dipengaruhi oleh suhu udara,
karena suhu udara meningkat seiring dengan bertambahnya ketinggian. Dengan
kisaran kelembapan ini menyebabkan penyebaran tumbuhan paku di kawasan ini
sangat banyak.
Pengukuran faktor lingkungan pada suhu udara di ketinggian 700 m. dpl.
berkisar antara 25,0 – 28,6 ºC, dan pada ketinggian 1.000 m. dpl. suhunya 24,1 –
29,8ºC. Semakin bertambahnya ketinggian, maka suhu udara di lokasi penelitian
semakin meningkat. Menurut Hoshizaki & Moran (2001), tumbuhan paku yang
tumbuh di daerah tropis pada umumnya menghendaki kisaran suhu 21 - 27ºC untuk
pertumbuhannya. Dengan keadaan temperatur yang sesuai menyebabkan jenis
tumbuhan paku banyak di kawasan hutan tropis.
Pada temperatur tanah di ketinggian 700 m. dpl., hasil yang didapat yaitu 22 –
23ºC, dan pada ketinggian 1.000 m. dpl. adalah 21 – 23ºC, dan hasil ini yang didapat
tidak terlalu berbeda jauh tiap ketinggian. Kelembapan tanah (digital) di ketinggian
700 m. dpl. dan 1.000 m. dpl. yaitu 7,0 sedangkan pada PH tanah (manual) di
ketinggian 700 m. dpl. 7,0 dan di 1.000 m. dpl. 6,5 – 7,0. Pada kelembapan tanah
(manual) ketinggian 700 m. dpl. yaitu 20 – 30%, di ketinggian 1.000 m. dpl. 25 –
40%. Dari hasil yang didapat menyatakan bahwa parameter lingkungan pada
ketinggian 700 m. dpl. dengan 1.000 m. dpl. tidak jauh berbeda dan kisaran faktor
abiotik tersebut cocok sebagai habitat paku Histiopteris incisa.
Hasil ekstraksi daun paku tulang menggunakan metode ultrasonik dengan
pelarut etanol 70% tertera pada Tabel 2. Hasil kadar abu total ekstrak etanol 70%
daun paku tulang di ketinggian 700 m. dpl. adalah sebesar 5,25%, sedangkan untuk
ketinggian 1.000 m. dpl. adalah sebesar 7,17%. Dari hasil tersebut menyatakan
bahwa di ketinggian 1.000 m. dpl. kandungan non logam atau mineral lebih tinggi
dibanding di ketinggian 700 m. dpl. Hasil penetapan susut pengeringan dari

24
simplisia H. incisa dinyatakan dalam persen dan hasil yang didapat pada ketinggian
700 m. dpl. yaitu 8,075% dan pada ketinggian 1.000 m. dpl. adalah 6,135%. Dari
kedua hasil tersebut menyatakan bahwa ekstrak masuk ke dalam batasan susut
pengeringan yaitu tidak lebih dari 10% (Depkes RI 2000). Penapisan fitokimia
ekstrak etanol 70% daun paku tulang menunjukkan hasil positif pada senyawa
fenolik, tanin, saponin dan steroid.

Tabel 2. Hasil Ekstraksi Simplisia Daun Paku Tulang

No. Jenis Hasil


700 m. dpl. 1000 m. dpl.
1. Serbuk yang diekstraksi 120 gram 120 gram
2. Ekstrak cair 10 L 12 L
3. Ekstrak kental 23,5 gram 26,3 gram
4. Rendemen Ekstrak Etanol 19,58% 21,91%
70%

Penetapan kadar fenolik dimulai dengan menentukan panjang gelombang


maksimum asam galat. Didapatkan panjang gelombang maksimum asam galat yaitu
795,5 nm dengan nilai absorbansi 0,422. Selanjutnya dilakukan pembuatan kurva
baku asam galat dimana metode penentuan kadar dalam suatu sampel ada berbagai
cara, salah satu metode yang sering digunakan ialah metode kurva baku. Proses
pembuatan kurva dilakukan dengan waktu inkubasi selama 100 menit dan panjang
gelombang 795,5 nm. Kemudian dilakukan penentuan nilai absorbansi dari masing-
masing konsentrasi larutan.
Berdasarkan hasil pengukuran absorbansi larutan standar asam galat pada
konstrasi 24, 41, 58, 75, 92 ppm maka didapatkan data yang memenuhi persyaratan
Lambert Beer, dimana nilai absorbansi berada dalam kisaran 0,2 – 0,8 dengan
masing-masing interval sebanyak 50 ppm. Kurva kalibrasi yang didapatkan
menunjukkan hubungan yang linear antara absorbansi dengan konsentrasi, dengan
persamaan regresi linear y 0,007+0,0073= 0,999. Persamaan inilah yang kemudian
digunakan untuk menghitung kadar fenol total pada ekstrak daun paku tulang.

25
20
18,1321
18
16
14
kadar fenol

12
9,8523
10
8
6
4
2
0
700 M.dpl 1.000 M.dpl
sampel

Gambar 9. Grafik Kadar Fenol paku Histiopteris incisa pada ketinggian 700
m. dpl. dan 1.000 m. dpl.

Berdasarkan hasil Gambar 9 diperoleh kadar fenol total ekstrak etanol 70%
daun paku tulang pada ketinggian 700 m. dpl. yaitu 9,8523 mgGAE/g, sedangkan
pada ketinggian 1.000 m.dpl. 18,1321 mgGAE/g. Dapat dilihat bahwa kandungan
fenol total lebih besar yaitu pada ketinggian 1.000 m. dpl. Hal tersebut dapat
disebabkan oleh keberadaan faktor lingkungan abiotik seperti ketinggian, intensitas
cahaya, pH tanah, kelembapan udara dan temperatur tanah sehingga dapat
mempengaruhi kandungan metabolisme pada tumbuhan tersebut.
Selanjutnya dilakukan uji aktivitas antioksidan pada ekstrak etanol 70% daun
paku tulang terhadap radikal bebas DPPH dengan menggunakan Spektrofotometer
UV-Vis, didapat panjang gelombang blanko 516 nm dengan absorbansi 0, 790.
Sebelum dilakukan uji terhadap pembanding dan ekstrak, dilakukan pengukuran
pada kontrol yang berisi 3 mL DPPH 0,0887 mM dan 1 ml metanol. Lalu
dilanjutkan pengujian antioksidan asam galat dengan konsentrasi 2, 4, 6, 8 dan 10
ppm dari konsentrasi baku 100 ppm dalam metanol. Setelah dilakukan uji pada
pembanding (asam galat), selanjutnya dilakukan uji aktivitas antioksidan pada
ekstrak etanol daun Histiopteris incisa pada ketinggian 700 m. dpl. dan 1.000 m.
dpl. dengan konsentrasi 20, 40, 60, 80 dan 100 ppm.

26
Konsetrasi dan persen inhibisi digunakan untuk mengetahui nilai aktivitas
peredaman radikal bebas yang dinyatakan dengan nilai IC50 (Inhibitory
Concentration). Tujuan menentukan IC50 adalah untuk mengetahui seberapa besar
konsentrasi yang diperlukan untuk menangkal radikal bebas sebesar 50%. Semakin
kecil nilai IC50 maka aktivitas peredaman radikal bebas semakin tinggi. Suatu zat
mempunyai sifat antioksidan kuat apabila nilai IC50 berkisar antara 50-100 ppm.
(Molyneux 2004). Adapun nilai IC50 dapat dilihat pada Gambar 10.
120
% Inhibisi Asam Galat dan Ekstrak
100 96,4011
73,7852
% Inhibisi (ppm)

80

60

40

20 7,9729

0
asam galat 700 M.dpl 1.000 M.dpl
Sampel

Gambar 10. Grafik Nilai IC50 dari Asam Galat dan Sampel Ekstrak Etanol
70% daun paku tulang

Dari hasil grafik pada Gambar 10, nilai IC50 asam galat 7,9819 ppm memiliki
nilai IC50 yang sangat kuat, pada paku tulang di ketinggian 700 m. dpl. nilai IC50
sebesar 96,4011 ppm dan pada ketinggian 1.000 m. dpl 73,7852 ppm. Nilai IC50
pada ekstrak etanol 70% paku tulang memiliki nilai di bawah pembanding, dan
masuk dalam kategori antioksidan kuat, sehingga daun paku tulang berpotensi
sebagai antioksidan. Dari data di atas, di ketinggian 1.000 nilainya lebih besar
karena pada ketinggian tersebut vegetasi lebih terbuka dan terkena sinar matahari,
sinar matahari dapat meningkatkan aktivitas fotosintesis dan iklim adalah faktor
yang sangat penting dalam pembentukan tanah. Komponen iklim yang paling
penting dalam pembetukan tanah adalah suhu dan curah hujan. Kedua komponen
iklim ini sangat berpengaruh terhadap intensitas reaksi kimia dan fisika tanah

27
(Advinda 2018). Berdasarkan hasil yang didapat menyatakan bahwa kandungan
yang terdapat pada data di atas salah satu faktor yang mempengaruhi adalah faktor
lingkungan yang terdiri dari perbedaan ketinggian, intensitas cahaya, suhu udara,
temperature tanah, pH tanah dan kelembapan yang berpengaruh terhadap senyawa
metabolit.

28
BAB 5. KESIMPULAN DAN SARAN

Dari hasil eksplorasi tumbuhan paku-pakuan di hutan Desa Gunung Malang


ditemukan tiga spesies yang populasinya memadai dan berpotensi untuk diteliti
lebih lanjut, yaitu Selaginella willdenowii, Nephrolepis biserrata, dan Histiopteris
incisa. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa kadar abu dan susut
pengeringan dari ketiga spesies paku-pakuan yang diteliti telah memenuhi standar.
Skrining fitokimia dari ketiga spesies menunjukkan kandungan senyawa metabolit
sekunder yang bervariasi, namun ketiganya positif mengandung senyawa fenolik
dan saponin. Kadar fenolik dan aktivitas antioksidan S. willdenowii ditemukan lebih
baik pada sampel yang tumbuh di hutan terbuka. Untuk N. biserrata, kadar fenolik
dan aktivitas antioksidannya lebih baik pada sampel yang tumbuh di ketinggian 700
m. dpl. Sebaliknya pada H. incisa, kadar fenolik dan aktivitas antioksidannya lebih
baik di ketinggian 1000 m dpl. Hasil yang bervariasi ini didukung oleh parameter
lingkungan tempat tumbuh dan persyaratan tumbuh yang berbeda-beda dari setiap
spesies. Sebagai saran, diharapkan penelitian ini dapat dilanjutkan ke bidang isolasi
senyawa metabolit sekunder.

29
BAB 6 LUARAN YANG DICAPAI

Luaran yang dicapai berisi Identitas luaran penelitian yang dicapai oleh peneliti
sesuai dengan skema penelitian yang dipilih.
Jurnal

IDENTITAS JURNAL
1 Nama Jurnal Biodiversitas
2 Website Jurnal https://smujo.id/biodiv/index
3 Status Makalah Accepted
4 Jenis Jurnal Jurnal Internasional Bereputasi (Scopus Q3)
4 Tanggal Terbit 8 Agustus 2020
5 Link Publikasi https://smujo.id/biodiv/article/view/6231/4141
Pemakalah di seminar

IDENTITAS SEMINAR
1 Nama Jurnal Seminar Nasional Biologi Tropika 2020
2 Website Jurnal https://biologi.ugm.ac.id/2020/07/28/seminar-nasional-
biologi-tropika-iv-2020/
3 Status Peserta Poster Presenter
4 Jenis Prosiding -
4 Tanggal Submit -
5 Bukti Poster

30
31
BAB VII RENCANA TINDAK LANJUT DAN PROYEKSI HILIRISASI

Penelitian ini merupakan pengembangan keilmuan, yang berdasar dari ilmu


Biologi dan dikembangkan ke arah Farmasi. Hal ini didasarkan pada latar belakang
ketua pengusul yang merupakan lulusan Biologi dan anggota pengusul adalah
lulusan Farmasi. Melalui hasil penelitian yang diperoleh, maka menambah
informasi mengenai biologi dan farmakognosi dari tumbuhan paku-pakuan yang
masih lebih jarang diteliti daripada tumbuhan tingkat tinggi, khususnya di pulau
Jawa.

Dari penelitian ini dapat dibuat suatu rencana tindak lanjut yaitu menelusuri
lebih dalam mengenai metabolit sekunder yang terkandung dalam tiap spesies
paku-pakuan yang dominan terdapat di Taman Nasional Gunung Halimun Salak.
Penelitian dapat dilanjutkan ke tingkat fraksinasi maupun isolasi metabolit
sekunder. Karena telah diketahui bahwa ketiga spesies memiliki aktivitas
antioksidan yang tergolong kuat, maka dapat diteliti sisi farmakologis lain dari
ketiga spesies tersebut. Seiring dengan itu, penelitian juga dapat dilanjutkan
mengenai cara budidaya ketiga jenis paku-pakuan tersebut, yang diketahui bahwa
masih jarang terdapat budidaya tumbuhan paku-pakuan.

32
DAFTAR PUSTAKA
Apsari, PD, Susanti, H. (2011). Penetapan kadar fenolik total ekstrak metanol kelopak
bunga rosella merah (Hibiscus sabdariffa Linn) dengan variasi tempat tumbuh secara
spektrofotometri. Dalam: Jurnal Ilmiah Kefarmasian, 2(1), 73-80
Astuti, J, Rudiyansyah, G. (2013). Uji Fitokimia dan Aktivitas Antioksidan Tumbuhan
Paku Uban (Nephrolepis biserrata (Sw.) Schott). JKK. Hlm. 118-122.
Baskaran X, Vigila AG, Zhang S, Feng S, Liao W. 2018. A review of the use of
pteridophytes for treating human ailments. J Zhejiang Univ-Sci B (Biomed &
Biotechnol) 2018 19(2):85-119.
Chikmawati T, Setyawan AD, Miftahudin. (2008). Phytochemical content of Selaginella
plant extracts on the island of Java. 8th Seminary and Congress of Indonesian
Association of Plant Taxonomy (PTTI). Cibinong Science Center, Bogor-Indonesia,
21-23 October 2008.
Dayanti D, Suyanto. (2012). Aktivitas Antioksidan Ekstrak Metanol Bagian Batang
Tumbuhan Paku Nephrolepis Radicans (BURM). KUHN. UNESA Journal of
Chemistry vol. 1, No. 1, May 2012.Hlm. 89-91

Depkes RI. Parameter Mutu Standar Ekstrak. Jakarta: Direktorat Jendral


Pengawasan Obat dan Makanan. 2000. Hlm. 10-16.
De Winter, W. P., Amoroso, V. B. (2003). Plant Resources of South-East Asia No. 15.
Cryptogams: Ferns and Fern Allies. Bogor.
Dong, M.W., Ahuja, S., (2010), Handbook of pharmaceutical Analysis by HPLC, Edisi 1
United Kingdom : Elsevier, inc., 191-217, 401-402.
Garg, N., Abdel-Aziz, S.M., Aeron, A. (2016). Microbes in Food and Health, Springer.
Switzerland. 42-45.
Hanani E. (2015). Analisis Fitokimia. Jakarta: Buku Kedokteran EGC. Hlm 9, 11, 17, 66.

Hoshizaki BJ, Moran RC. Fern Grower’s Manual. Timber Press. 2001. Portland.
604 p.
Jaakola, L. Hohtola, A. (2010). Effect of latitude on flavonoid biosynthesis in plants. Plant
Cell Environ.
Komala, I, Azrifitria, Yardi, Ofa S.B., Finti, M., Maliyathun, N. (2015). Antioxidant and
Anti Inflamatory Activity of Nephrolepis falcata and Pyrrosia lanceolata.
International Journal of Pharmacy Volume 7 (12). 162-165.

Lai, Y.H., Lim Y.Y. (2011). Evaluation of Antioxcidant Activities of the Methanolis
Extract of Selected Ferm in Malaysia. IPCBEE 20

Manan, F. A., Mamat, D. D., Ong, Y. S., Ooh, K. F., Chai, T. T. (2015). Heavy Metal
Accumulation And Antioxidant Proporties of Nephrolepis biserrata Growing In
Heavy Metal-Contaminated Soil. Global NEST Journal, 17 (10), 1-11.

33
Maulana L. (2019). Flora Paku Kebun Teh Dan Tepi Jalan. Departemen Biologi IPB.
Bogor.
Mario Roberto Marostica Junior, Alice Vieira Leite and Nathalia Romanelli Vicente
Dragano. (2010). Supercritical Fluid Extraction and Stabilization of Phenolic
Compounds From Natural Sources – Review (Supercritical Extraction and
Stabilizationof Phenolic Compounds). The Open Chemical Engineering Journal.
Brazil.

Molyneux P. The Use of the Stable Free Radical diphenypicrylhydrazyl (DDPH)


for Estimating Antioxidant Activity. Songklanakarin J. Sci. Technol. 2004.
(26): 212-213.
Mound LA, Martin JH, Polaszek A. The insect fauna of Selaginella (Pteridophyte:
Lycopsids), with descriptions of three new species. J. of Natural History.
1994. 28: 1403-1415.
Parinding. (2007). Potensi dan karakteristik Bio-Ekologi Tumbuhan sarang semuat di
Taman Nasional Wasur Merauke Papua Tesis. Sekolah Pascasarjana IPB. Bogor.
Pine ATD, Gemini A, Faisal A. (2015). Standarisasi Mutu Ekstrak Daun Gedi Abelmoschus
manihot L danUji Efek Antioksi dan Dengan Metode DPPH.Dalam: JF FIK
UINAM 3 (3): 111-128
Purnawati, U. (2014). Eksplorasi paku-pakuan (Pteridophyta) di kawasan Cagar Alam
Mandor Kabupaten landak. Tesis: Program Studi Biologi, Fakultas MIPA,
Universitas Tanjungpura. Pontianak.
Roos, M. (1996). Mapping the world’s pteridophyte diveristy – systematics and floras. In
Camus, J. M., M. Gibby & R. J. Johns. (Editors). Pteridology in perspective. Royal
Botanic Gardens: Kew, UK.
Sastrapradja, S., J. J. Afriastini, D. Daernaedi & E. A. Widjaja. (1979). Jenis paku
Indonesia. LBN 17, SDE 76. Lembaga Biologi Nasional-LIPI: Bogor, Indonesia.
Setyawan, AD. 2009. Traditionally utilization of Selaginella; field research and literature
review. Nusantara Bioscience, Vol. 1, No. 3, Pp. 146-158.
Shah, M D., Gnanaraj, C, Haque, A T M E., & Iqbal, M. (2015). Antioxidative And
Chemopreventive Effects of Nephrolepis biserrata Against Carbon Tetrachloride
(CCl4)-Induced Oxidative Stress And Hepatic Dysfunction In Rats. Pharm Biol,
Hlm. 31-39.
Winnie WE, Yunianta. 2015. Ekstraksi Antosianin Buah Murbei (Morus alba L.) Metode
Utrasonic Bath (kajian Waktu dan Rasio Bahan: Pelarut). Universitas Brawijaya,
Malang. Hlm 1-2
Zou TB, En-Qin Xia, Tai-Ping He, Ming-Yuan Huang, Qing Jia, and Hua-Wen Li. (2014).
Utrasound-Assisted Extraction of Mangeferin from Mango Leaves Using
Response Surface Methodology. Molecules 19, hlm 1411-1421.

34
LAMPIRAN

35

Anda mungkin juga menyukai