AKTIVITAS ANTIBAKTERI EKSTRAK AIR KELOPAK BUNGA ROSELA (Hibiscus sabdariffa L. ) TERHADAP PERTUMBUHAN BAKTERI Staphylococcus aureus DENGAN METODE DILUSI
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS AIRLANGGA SURABAYA 2011
AKTIVITAS ANTIBAKTERI EKSTRAK AIR KELOPAK BUNGA ROSELA (Hibiscus sabdariffa L. ) TERHADAP PERTUMBUHAN BAKTERI Staphylococcus aureus DENGAN METODE DILUSI
Karya Tulis Ilmiah Untuk memenuhi persyaratan modul penelitian Dalam Program Studi Pendidikan Dokter Pada Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga
Penulis
MOH. ARIF HAKIM JAMHARI NIM: 010911123
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS AIRLANGGA SURABAYA Tanggal 24 Januari 2012
Pembimbing I
Pembimbing II
UCAPAN TERIMA KASIH Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya tulis ilmiah ini. Penulisan karya ilmiah ini dengan judul Aktivitas Antibakteri Ekstrak Air Kelopak bunga Rosella (Hibiscus sabdariffa L.) Terhadap Pertumbuhan Bakteri Staphylococcus aureus dengan Metode Dilusi merupakan salah satu syarat untuk
memenuhi persyaratan modul penelitian dalam program studi pendidikan dokter pada Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya. Pada kesempatan ini perkenankanlah penulis menyampaikan penghargaan dan terima kasih kepada: 1. Dr. Eko Budi Koendhori, dr., M.Kes selaku dosen pembimbing pertama yang dengan sabar membimbing, mengarahkan serta memberikan dorongan kepada penulis dalam menyelesaikan karya tulis ilmiah ini. 2. Sri Purwaningsih, dr., M.Kes selaku dosen pembimbing kedua yang dengan sabar membimbing, mengarahkan serta memberikan dorongan kepada penulis dalam menyelesaikan karya tulis ilmiah ini. 3. Prof. Dr. H. Fasich, Apt selaku Rektor Universitas Airlangga Surabaya, atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti program studi pendidikan dokter. 4. Prof. Dr. Agung Pranoto . dr., M.Kes., Sp.PD, K-EMD, FINASIM selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya, atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti program studi pendidikan dokter. 5.
Prof. Dr. N. Margarita R., dr., Sp.AnKIC selaku koordinator Modul Integrasi KBK
Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya, atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti penulisan karya tulis ilmiah ini. 6. Prof. Dr. Suhartono Taat Putra, dr., MS selaku Penanggung Jawab Modul Penelitian Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya, atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti penulisan karya tulis ilmiah ini. 7. Ibu dan ayah penulis Siti Sholihah dan Suwandi atas segala dukungan, bimbingan, doa dan kasih sayang yang selalu diberikan sehingga penulis dapat menyelesaikan karya tulis ilmiah ini.
8. Paman dan Bibiku, M. Abdan Al Hamidy dan Uswatun khasanah atas segala dukungan, bimbingan, doa dan kasih sayang yang selalu diberikan kepada penulis selama ini, sehingga penulis dapat menyelesaikan karya tulis ilmiah ini. 9. Teman temanku Abdurrahman, Arif Ismudianto, I Made Chandra, Eric Robbin L, Mustain Khomarullah, Danar Rianto, M. Faruk, M. Iqbal dan lain- lain yang selalu memabantu dalam menyelesaikan karya tulis ilmiah ini. 10. Semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian karya tulis ilmiah ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu.
Semoga Allah SWT berkenan melimpahkan karunia-Nya sebagai balasan atas bantuan baik yang telah diberikan. Dan semoga pula, karya tulis ilmiah ini dapat memberikan manfaat bagi masyarakat dan ilmu pengetahuan.
RINGKASAN Staphylococcus aureus merupakan salah satu patogen yang sering didapat pada sampel klinik dan sering menyebabkan infeksi nosokomial. Infeksi oleh Staphylococcus aureus. menjadi sulit untuk diobati sejak berkembangnya resistensi antimikroba pada isolat tersebut. Hal ini berhubungan dengan penggunaan antibiotik yang tidak rasional sehingga meningkatkan angka kesakitan, angka kematian, lama perawatan dan biaya
pengobatan.Sehingga masyarakat mulai tertarik untuk memanfaatkan tanaman tradisional sebagai obat, salah satunya kelopak bunga rosella. Kelopak bunga rosella diduga dapat memberikan efek antimikroba karena memiliki kandungan zat aktif berupa Saponin, Tanin dan Flavonoida yang diduga memiliki efek antibakteri dengan cara merusak membran sitoplasma.
Penelitian ini ingin membuktikan efek antimikroba ekstrak air kelopak bunga rosella (Hibiscus sabdariffa) terhadap pertumbuhan Staphylococcus aureus dengan
menggunakan randomized post test controlled design. Metode yang dipakai adalah dilusi tabung dengan 8 konsentrasi ekstrakair kelopak bunga rosella: 12.5 gram/ml, 6.25 gram/ml, 3.125 gram/ml, 1.56 gram/ml, 0.78 gram/ml, 0,39 gram/ml, 0,195 gram/ml, 0,097 gram/ml dan 2 kontrol (kontrol bahan dan kontrol kuman). Setiap tabung diamati kekeruhannya, kemudian dibandingkan dengan kontrol untuk menentukan KHM. Analisis data menggunakan analisis secara analitik.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat aktifitas antimikroba ekstrak air kelopak bunga rosella(Hibiscus sabdariffa) terhadap pertumbuhan Staphylococcus
aureus dimulai dengan konsentrasi 1,56 gram/ml. Sehingga dapat disimpulkan bahwa ekstrak air kelopak bunga rosella (Hibiscus sabdariffa) memiliki efek antimikroba terhadap Staphylococcus aureus.
ABSTRAK Staphylococcus aureus is a pathogen that is often obtained in clinical samples and frequent cause of nosocomial infections. Infection by Staphylococcus aureus. Becomes difficult to treat since the development of antimicrobial resistance in these isolates. This is related to the irrational use of antibiotics thereby increasing morbidity, mortality, length of treatment and cost of treatment. So that people began wanting to make use of traditional plants as medicine, one of rosella flower petals. Rosella flower petals could be expected to provide an antimicrobial effect because it has a content of active substance in the form of Saponin, Tannins and flavonoids are thought to have antibacterial effects by damaging the cytoplasmic membrane.
This study wants to prove the antimicrobial effects of aqueous extract of petals rosella (Hibiscus sabdariffa) on the growth of Staphylococcus aureus by using a controlled randomized post test design. The method used is the dilution tube with 8 concentrations of roselle petals ekstrakair: 12.5 g / ml, 6:25 g / ml, 3125 g / ml, 1:56 g / ml, 0.78 g / ml, 0.39 g / ml, 0.195 g / ml , 0.097 g / ml and 2 control (control of materials and control germs). Each tube was observed turbidity, then compared with controls to determine the KHM. Data analysis using analysis analytically.
The results of this study indicate that there is an antimicrobial activity of water extract of flower petals rosella (Hibiscus sabdariffa) on the growth of Staphylococcus aureus begins with a concentration of 1.56 g / ml. So it can be concluded that water extract of flower petals rosella Staphylococcus aureus. (Hibiscus sabdariffa) has antimicrobial effects against
DAFTAR ISI
Sampul Dalam............................................................................................................. Prasyarat Gelar Lembar Persetujuan..................................................................................................... Ucapan Terimah Kasih................................................................................................ Ringkasan.............................................................................................................. Abstrak................................................................................................................. DAFTAR ISI........................................................................................................... DAFTAR GAMBAR.................................................................................................. DAFTAR TABEL....................................................................................................... DAFTAR LAMPIRAN............................................................................................... DAFTAR SINGKATAN........................................................................................... BAB 1 PENDAHULUAN........................................................................................ 1.1. Latar Belakang..................................................................................................... 1.2. Rumusan Masalah................................................................................................ 1.3. Tujuan Penelitian................................................................................................. 1.3.1 Tujuan Umum.................................................................................................... 1.3.2 Tujuan Khusus................................................................................................... 1.4. Manfaat Penelitian............................................................................................... 1.4.1 Manfaat Akademik 1.4.2 Manfaat Aplikatif ( Praktis ).. BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA............................................................................... 2.1 Staphylococcus aureus 2.1.1 Klasifikasi. 2.1.2 Morfologi dan Karakteristik.. 2.1.3 Struktur Antigen 2.1.4 Toksin dan Enzim. 2.1.5 Epidemiologi 2.1.6 Patogenesis 2.1.7 Gambaran Klinis Infeksi Staphylococcus aureus i ii iii iv vi vii viii xi xii xiii xiv 1 1 4 4 4 4 4 4 5 6 6 6 7 7 8 9 10 12
2.1.8 Pengobatan Staphylococcus aureus 2.1.9 Resistensi Antibiotik. 2.2 Uraian Tanaman................................................................ 2.2.1 Klasifikasi Tanaman.......................................................................................... 2.2.2 Morfologi Tanaman........................................................................................... 2.2.3 Khasiat dan Kegunaan Tanaman .................................................................... 2.2.4 Kandungan Kimia Tanaman.............................................................. BAB 3 KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS PENELITIAN.......... 3.1 Kerangka Kosep.................................................................................................... 3.2 Penjelasan Kerangka Konsep................................................................................ 3.3 Hipotesis Penelitian............................................................................................... BAB 4 METODE PENELITIAN............................................................................ 4.1 Jenis Penelitian..................................................................................................... 4.2 Rancangan Penelitian............................................................................................ 4.3 Sampel, Jumlah Replikasi, dan Teknik Pengelompokan Sampel......................... 4.4 Variabel Penelitian................................................................................................ 4.5 Bahan Penelitian................................................................................................... 4.6 Instrumen Penelitian............................................................................................. 4.7 Lokasi dan Waktu Penelitian................................................................................ 4.8 Prosedur Pengambilan dan Pengumpulan Data.................................................... 4.9 Cara Mengolah dan Analisis Data........................................................................ BAB 5 HASIL PENELITIAN............................................................................. 5.1 Hasil Penelitian............................................................................ 5.2 Analisis Hasil Penelitian............................................................................ BAB 6 PEMBAHASAN.............................................................................. 6.1 Aktivitas Antimikroba Ekstrak air kelopak bunga rosella (Hibiscus sabdariffa
L.)................................................................................................................
13 14 16 16 16 18 19 22 22 23 23 24 24 24 27 28 29 30 30 31 33 34 34 35 37
37 41 41 41
42 47
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Staphylococcus aureus electron micrograph.......................................... 7 Gambar 2.2 Hibiscus sabdariffa L. var. sabdariffa L. ............................................... 17 Gambar 3.1 Kerangka Konseptual ............................................................................. 22 Gambar 4.1 Skema Penelitian.................................................................................... 24
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Komposisi minyak esensial Hibiscus sabdariffa L.......................... Tabel 2.2 Distribusi berbagai macam fitokimia di bagian yang berbeda dari tumbuhan Hibiscus sabdariffa
20 21
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Jadwal Kegiatan.................................................................................. Lampiran 2 Tumbuhan Bunga Rosella (Hibiscus sabdariffa L.) ........................... Lampiran 3 Kelopak Bunga Rosella (Hibiscus sabdariffa L. ) Kering....................... Lampiran 4 Hasil Replikasi I Uji Dilusi Ekstrak Air Kelopak Bunga Rosella (Hibiscus sabdariffa L.) Terhadap Pertumbuhan Bakteri Staphylococcus aureus Lampiran 5 Hasil Replikasi I Uji Dilusi Ekstrak Air Kelopak Bunga Rosella (Hibiscus sabdariffa L.) Terhadap Pertumbuhan Bakteri Staphylococcus aureus Lampiran 6 Hasil Replikasi I Uji Dilusi Ekstrak Air Kelopak Bunga Rosella (Hibiscus sabdariffa L.) Terhadap Pertumbuhan Bakteri Staphylococcus aureus
47 48 48
48
49
49
DAFTAR SINGKATAN
CFU KHM MIC MRSA PBP TSST TSS = Colony Forming Unit = Konsentrasi Hambat Minimal = Minimum Inhibitory Conceration = Methisilin Resisten Staphilococcus aureus = Protein pengikat Penisilin = Toksin Sindroma Syok Toksik = Toxin Shock Syndrom
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit infeksi merupakan salah satu masalah dalam bidang kesehatan yang dari waktu ke waktu terus berkembang. terutama di daerah tropis, seperti Indonesia. Infeksi merupakan penyakit yang dapat ditularkan dari satu orang ke orang lain atau dari hewan ke manusia (Jawetz et al., 2007). Penyakit infeksi dapat disebabkan oleh empat kelompok besar mikroorganisme, yaitu bakteri, jamur, virus, dan parasit. Organisme-organisme tersebut dapat menyerang seluruh tubuh manusia atau sebagian daripadanya. (Jawetz et al., 2001). Salah satu contoh bakteri yang dapat menyebabkan infeksi adalah Staphylococcus aureus. Staphylococcus aureus adalah patogen utama pada manusia. Staphylococcus aureus bersifat koagulase positif, yang membedakannya dari spesies lain. Hampir setiap orang pernah mengalami berbagai infeksi Staphylococcus aureus selama hidupnya, dari keracunan makanan yang berat atau infeksi kulit yang kecil, sampai infeksi yang tidak bisa disembuhkan (Jawetz et al., 2001). Hal itu terjadi karena Staphylococcus aureus dapat menghemolisis darah, mengkoagulasi plasma, supurasi, pembentukan abses, infeksi piogenik, sampai septikimia yang fatal. Selain itu, Staphylococcus aureus merupakan bakteri yang cepat menjadi resisten terhadap banyak zat antibiotik khususnya penisillin dan menyebabkan masalah pengobatan yang sulit karena hampir semua isolat
Staphylococcus aureus memproduksi enzim -laktamase. (Jawetz et al., 2007). Bahkan sebagian isolat S. aureus resisten terhadap metisilin. Resistensi tersebut dimediasi melalui mec operon , bagian dari kromosom mec kaset staphylococcal (SCC mec). Resistensi ini
diberikan oleh gen Meca, gen yang dikode untuk diubah oleh protein pengikat penisilin (PBP2a atau PBP2 ') yang memiliki afinitas yang lebih rendah untuk mengikat -laktam (penisilin , sefalosporin, dan carbapenems ), sehingga menjadikan Staphylococcus aureus resisten terhadap semua antibiotik tipe -laktam serta mengurangi penggunaan antibiotik
terhadap infeksi MRSA (Deurenberg, 2006). Akhirnya, resistensi ini menyebabkan penyakit akibat Staphylococcus aureus semakin sulit untuk ditanggulangi. Salah satu penyebab resistensi di Indonesia adalah tidak disiplinnya pasien, yang rata-rata berpendidikan rendah, yang jika sudah merasa sembuh enggan untuk
melanjutkan meminum obat. Penulis berpendapat keengganan mereka karena mereka takut akan efek samping antibiotik-antibiotik kimia yang diberikan dokter. Padahal bakteri dalam tubuh mereka belum sepenuhnya dibunuh. Oleh karena itu penggunaan obat-obatan alami, yang telah dipercaya masyarakat Indonesia, dapat memberikan alternatif terhadap masalah ini. Selain itu keadaan perekonomian indonesia yang dilanda krisis ekonomi sejak beberapa tahun lalu, menyebabkan naiknya berbagai harga bahan pokok maupun obatobatan. Sehingga masyarakat banyak yang merasa kesulitan untuk mendapatkan obatobatan dengan harga yang relatif murah dan aman dikonsumsi. Hal ini tentu berbeda, apabila kita menggunakan obat tradisional yang merupakan hasil atau olahan dari alam yang harga murah bahkan tidak perlu membeli. Berdasarkan pengalaman emperis turun-temurun banyak sekali jenis tanaman obat di Indonesia yang mampu memproduksi antibakteri. Salah satu diantaranya adalah tanaman Rosella(Hibiscus sabdariffa) yang mulai popular dikonsumsi masyarakat
Malvaceae. Tanaman perdu ini tingginya dapat mencapai 3-5 meter. Jika telah dewasa, tanaman ini mengeluarkan bunga yang berwarna merah (Steenis, 1997). Pada tahun 1962 Abdul Aziz Sharaf dari Sudan Research Unit, Institute of African and Asian Studies, membuktikan bahwa kelopak bunga rosela merah mempunyai beberapa khasiat, salah satunya sebagai antibakteri (Morton, 1974) dan pada tahun 2007 berhasil dibuktikan pula bahwa ekstrak methanol kelopak rosella memperlihatkan aktivitas antibakteri dengan minimum inhibitory concentration (MIC) 0,30 0,2-1,30 0,2 mg/ml terhadap Staphylococcus aureus dan Escherichia coli (Olaleye, 2007). Ekstrak etanol yang terkandung dalam kelopak bunga rosella ini, juga mempunyai efek letal (mematikan) terhadap Staphylococcus aureus. Dimana, nilai kesetaraan 1 mg
aktivitas ekstrak etanol bunga Rosella (Hisbiscus sabdariffa L.) terhadap tetrasiklin hidroklorida sebesar 0.000056 mg (Rostinawati, 2009). Selain itu, ekstrak kelopak bunga Rosella (Hisbiscus sabdariffa L.) juga mempunyai efek antipiretik, antikolestrol,
antioksidan, antikanker, antifungi, antiparasit dan antibakteri (Ali et al., 2005). Dari beberapa penelitian yang disebutkan, dapat disimpulkan bahwa ekstrak
kelopak bunga rosella mempunyai efek antibakteri terhadap Staphylococcus aureus. Namun, penelitian-penelitian tersebut menggunakan reagen yang cukup mahal dan dengan prosedur yang terlalu rumit bagi orang awam. Oleh karena itu, diperlukan
penelitian terhadap kelopak bunga rosella dengan reagen yang murah, mudah diperoleh, tidak berbahaya,dan dengan prosedur yang mudah dilakukan bagi masyarakat. Sehubungan dengan hal di atas, antimikroba ekstrak air kelopak dengan maka akan dilakukan penelitian sabdariffa) Dalam terhadap ini, aktivitas bakteri peneliti
Staphylococcus
aureus
penelitian
menggunakan ekstrak air kelopak rosella karena biaya pembuatan ekstrak air murah dan tidak berbahaya. Selain itu, prosedurnya pemberian mudah ekstrak dilakukan air kelopak oleh masyarakat
umum.Penelitian
mengenai efek
Rosella(Hibiscus
sabdariffa) terhadap bakteri Staphylococcus aureus dengan metode dilusi belum pernah dilakukan. Dari penelusuran berbagai literatur, hingga saat ini belum ditemukan efek ekstrak air kelopak Rosella(Hibiscus sabdariffa) terhadap pertumbuhan bakteri
Staphylococcus aureus. 1.2 Rumusan Masalah Apakah ekstrak air kelopak Rosella(Hibiscus sabdariffa) memiliki aktivitas antimikroba terhadap bakteri Staphylococcus aureus dengan metode dilusi? 1.3 Tujuan 1.3.1 Tujuan Umum Untuk mengetahui potensi efek antimikroba dari ekstrak air kelopak
Rosella( Hibiscus sabdariffa) terhadap bakteri Staphylococcus aureus 1.3.2 Tujuan Khusus Untuk mengetahui kosentrasi terkecil ekstrak air kelopak Rosella(hibiscus sabdariffa) yang dapat menghambat bakteri Staphylococcus aureus dengan metode dilusi 1.4 Manfaat 1.4.1 Manfaat Akade mik Memberikan informasi ilmiah tentang kosentrasi terkecil ekstrak air kelopak Rosella(hibiscus sabdariffa) yang dapat menghambat bakteri Staphylococcus
aureus dengan metode dilusi, sehingga dapat digunakan sebagai dasar penelitian lebih lanjut. 1.4.2 Manfaat Aplikatif (Praktis) Hasil penelitian dapat digunakan sebagai dasar pengembangan terapi untuk infeksi oleh bakteri Staphylococcus aureus.
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Staphylococcus aureus Staphylococcus sekelompok mukosa anggur. berasal Bakteri dari ini kata Yunani yaitu staphyle kulit yang dan berarti membran paling akan
umumnya aureus
hidup
pada jenis
manusia.
Staphylococcus
merupakan manusia.
infeksi pada
Hampir setiap
mengalami beberapa tipe infeksi S. aureus sepanjang hidupnya, dari infeksi kulit ringan, keracunan makanan, sampai infeksi berat (Jawetz et al., 1996; Joklik, 1984). 2.1.1 Klasifikasi Staphylococus aureus memiliki klasifikasi sebagai berikut (Todar, 2011): Dunia Divisi Kelas Ordo : Prokariota : Firmicutes : Bacilli : Bacillales
Species : Staphylococcus aureus Terdapat 23 spesies Staphylococcus dan dua belas diantaranya merupakan flora normal bagi manusia dan yang terpenting secara klinis ada tiga spesies yaitu S. aureus, S. pidermidis, S. saprophyticus. Ciri utama yang paling mudah
dan penting untuk membedakan antara S. aureus dengan spesies Staphylococcus lainnya yaitu produksi enzim koagulase, enzim yang dapat menggumpalkan
plasma. Sekitar 97% S. aureus yang diisolasi menghasilkan enzim ini (Jawetz, et al., 1996). 2.1.2 Morfologi dan karakteristik S. aureus merupakan bakteri Gram positif, m, tidak beraturan, berbentuk bola dengan garis
mudah membentuk pigmen pada suhu kamar (20-25 C). Koloni S. aureus pada perbenihan padat berbentuk bundar, halus menonjol, dan berwarna abu-abu
sampai kuning emas tua (Joklik, 1984). Gambaran S. aureus secara mikroskopik dapat dilihat pada gambar di bawah ini:
Gambar 2.1 Staphylococcus aureus Electron micrograph (Todar, 2011) 2.1.3 Struktur Antigen Staphylococcus antigen yang mengandung substansi polisakarida penting di yang dan dalam protein struktur yang bersifat sel. yang
merupakan suatu
dinding subunit
Peptidoglikan,
polimer
polisakarida
mengandung
terangkai, merupakan eksoskeleton kaku pada dinding sel. Struktur antigen yang diproduksi oleh S. aureus diantaranya (Jawetz, et al., 2007):
1. Asam teikoat merupakan polimer gliserol berikatan dengan peptidoglikan dan menjadi bersifat antigenik. 2. Protein A merupakan komponen dinding sel kebanyakan strain S. aureus dan merupakan laboratorium. 2.1.4 Toksin dan Enzim S. aureus dapat menimbulkan penyakit melalui pembentukan zat reagen penting dalam imunologi dan teknologi diagnostic
ekstraselular yang dibentuk yaitu berupa toksin dan enzim. Toksin dan enzim ini akan menyebabkan penyakit menyebar luas ke dalam jaringan. Beberapa toksin dan enzim yang dihasilkan oleh S. Wannet et al., 2005) : 1. Katalase, merupakan suatu enzim yang dihasilkan oleh S. aureus yang dapat mengubah hidrogen peroksida menjadi air dan oksigen. Tes katalase dapat membedakan antara Stapylococcus dengan Streptococcus yang menunjukkan aureus antara lain (Jawetz et al., 2007;
hasil negatif untuk Streptococcus. 2. Koagulase, merupakan suatu enzim yang dapat menggumpalkan plasma. Hasil koagulase ini dianggap sinonim dengan potensial patogenik invasif . 3. Enzim lain yang dihasilkan bakteri yaitu hialuronidase. menginvasi juga, Enzim suatu ini yang penyakit stafilokinase daripada
penyebaran faktor
penyebar. fibrinosis
dihasilkan lambat
mengakibatkan
tetapi
kerjanya
lebih
4. Eksotoksin, hewan,
meliputi beberapa toksin yang mematikan jika disuntikkan pada nekrosis pada kulit, dan mengandung hemolisin yang
menyebabkan
dapat larut dan dipisahkan dengan elektroforesis. 5. Leukosidin, merupakan suatu toksin yang dapat mematikan sel-sel darah putih apabila toksin tersebut masuk ke dalam jaringan. 6. Toksin eksfoliatif meliputi sekurangnya dua protein yang mengakibatkan dapat
pengelupasan menyeluruh pada sindroma kulit lepuh. melindungi terhadap kerja toksin eksfoliatif ini.
Antibodi spesifik
7. Toksin Sindroma Syok Toksik (TSST-1) dapat menstimulasi pelepasan sitokin dan memiliki efek langsung juga terhadap sel endotel. Pada sel endotel toksin ini menyebabkan kebocoran kapiler, hipotensi, demam dan syok. Gen TSST1 ditemukan pada 20 % isolat S. aureus.
8.
Enterotoksin merupakan superantigens seperti TSST-1, yang tahan panas dan tahan terhadap aksi enzim usus sehingga menjadi penyebab paling penting dari keracunan makanan. Enterotoksin tersebut diproduksi ketika Staphylococcus aureus tumbuh
dalam makanan karbohidrat dan protein. Konsumsi 25 g hasil enterotoksin B dapat menyebabkan muntah dan diare. Pengaruh emetik enterotoksin tersebut adalah hasil dari stimulasi sistem saraf pusat (muntah tengah) setelah reseptor saraf di dalam usus. toksin bereaksi pada
2.1.5 Epidemiologi Epidemi masalah yang di rumah sakit yang disebabkan Terjadinya oleh wabah S. aureus biasanya merupakan berhubungan
sering
terjadi berulang.
Sumber wabah dapat berasal dari pasien dengan infeksi S. aureus yang terbuka atau tertutup, menyebar ke pasien lain melalui perantaraan udara tapi biasanya melalui tangan paramedis. S. aureus sebagai flora normal kulit sering
menimbulkan infeksi pada luka bedah karena berpindah dari tempat semestinya ke organ atau jaringan lainnya (Kluytmans et al, 1997). 2.1.6 Patogenesis S. aureus dapat menyebabkan terjadinya berbagai jenis infeksi mulai dari infeksi kulit ringan, kulit yang biasanya S. keracunan makanan sampai dengan infeksi sistemik. disebabkan aureus oleh S. aureus keracunan yaitu impetigo, karena Infeksi selulitis, adanya
folikulitis,
abses.
menyebabkan
makanan
enterotoksin yang dihasilkan oleh S. aureus yang terdapat pada makanan yang tercemar. Gejala yang muncul akibat keracunan makanan ini yaitu sakit kepala, mual, muntah, disertai diare yang muncul setelah empat sampai lima jam
mengkonsumsi makanan tersebut (Salmenlina, 2002). Enterotoksin lain yaitu Toksin Syok Sindroma Toksik (TSST-1) yang
dihasilkan S. aureus juga dapat menyebabkan penyakit Toxic Shock (TSS). aliran demam Enterotoksin darah dan ini dapat tumbuh gejala di TSS. tampon Gejala sehingga yang dapat
menyebabkan muka
tinggi,
memerah,
pengelupasan
kulit,
dan
merupakan penyakit yang serius yang dapat menyebabkan pembusukan jaringan (Salyers & Dixie, 1994; Salmenlina, 2002).
Infeksi sistemik dapat terjadi karena bakteri masuk ke dalam darah, dan berkembang menjadi bakteremia. Di dalam sirkulasi darah, bakteri dapat meluas ke berbagai bagian tubuh dan menyebabkan infeksi. Infeksi yang dapat terjadi yaitu et endokarditis, 2003). osteomielitis, sindrom kulit melepuh, pneumonia (Ontengco yang
al.,
Osteomielitis merupakan
sedang tumbuh, biasanya terjadi pada anak-anak. Infeksi ini disebabkan karena adanya infeksi pada saat pembedahan tulang sehingga bakteri dapat berpenetrasi melalui terluka. luka yang terbentuk dengan dan secara langsung menginfeksi disebabkan tulang yang bakteri
Berbeda
osteomielitis,
endokarditis
karena
masuk melalui penggunaan obat secara intravena atau penggunaan cateter yang kemudian masuk ke dalam 2004). langsung pelepasan aliran darah dan menginfeksi sel endotel daerah
Bakteri dapat menempel dan merusak masuk respon ke sel endotel yang melalui ditandai
fagositosis dengan
menyebabkan
inflamasi
demam yang tinggi (Todar, 2011). Infeksi lainnya eksfoliatif. risiko yang Toksin yaitu ini sindrom kulit melepuh kulit karena yang disebabkan luar oleh toksin
menyebabkan pada
lapisan
mengelupas.
Biasanya
meningkat
anak-anak dan
memiliki antibodi pelindung yang namun merespon jika terjadinya akan (Juuti,
sindrom
jarang yang
terjadi
menyebabkan 2004).
paru-paru
berakibat
kematian
disebabkan
oleh
S.
aureus
dimediasi oleh
factor
virulen dan respon imun sel inang. Secara umum bakteri menempel ke jaringan sel dan inang kemudian berkoloni infeksi dan menginfeksi. Selanjutnya bakteri bertahan, untuk tumbuh, melawan yang
mengembangkan
berdasarkan
kemampuan
peertahanan tubuh
sel inang.
diperoleh dari ekspresi molekul adhesi pada sel endotel Komponen dinding sel dari S. aureus yaitu peptidoglikan dan asam teikoat, memacu pelepasan sitokin Leukosit dan faktor sel inang lainnya dapat dirusak secara lokal oleh toksin yang dihasilkan oleh bakteri tersebut. bakteri mengakibatkan respon Selain itu adanya protein yang terdapat pada anti inflamasi. Protein ini juga menghambat
sekresi leukosit sel inang dengan cara berinteraksi langsung dengan protein sel inang, dan fibrinogen. Apabila tubuh tidak cukup berhasil mengatasi infeksi
tersebut maka akan terjadi inflamasi lokal (Todar, 2011). 2.1.7 Gambaran klinis infeksi Staphylococcus aureus Infeksi Staphylococcus aureus lokal tampak sebagai jerawat, infeksi
folikel rambut atau abses. Terdapat reaksi inflamasi yang kuat, terlokalisir dan nyeri yang mengalami supurasi sentral dan sembuh dengan cepat jika dikeluarkan (di drainase). Infeksi Staphylococcus aureus dapat juga bersal dari kontaminasi lansung dari luka, yang misalnya pasca operasi infeksi Staphylococcus (osteomielitis kronik setelah aureus atau infeksi terbuka, pus
menyertai
trauma
patah
tulang
Jika endokarditis,
S.
aureus osteomielitis
menyebar
dan
terjadi akut,
bakterimia, atau
maka
bisa
terjadi
hematogenus
meningitis
infeksi
paru-paru.
Manifestasi klinik mirip dengan yang tampak pada infeksi sistemik. Keracunan makanan menyebabkan (1-8 enterotoksin stafilokokal gejala dengan klinis:
pendek
jam) yang
ditandai dengan
mual hebat, muntah dan diare, tanpa disertai demam dan dapat sembuh sendiri. Sindroma syok toksik dimanifestasikan oleh demam tinggi yang terjadi
tiba-tiba,muntah, diare, mialgia, ruam, bentuk scarlet ( scarlatiniform rash ) dan hipotensi dengan gagal jantung dan gagal ginjal pada kasus yang sangat berat (Jawetz et al., 2001). 2.1.8 Pengobatan S. aureus Pengobatan infeksi S. aureus biasanya menggunakan antibiotik turunan penisilin seperti metisilin, dan oksasilin. Obat golongan penisilin tersebut berdifusi luas sepanjang jaringan tubuh, tetapi penetrasi ke dalam otak buruk, kecuali bila meningen meradang. Setelah suntikan intramaskular, kadar puncak dalam plasma tercapai setelah 15-30 menit dan obat cepat diekskresi (sebagian besar tidak dirubah) oleh ginjal. Waktu paruh eliminasi (t 2) normalnya 30 menit, tetapi lebih panjang sampai sekitar 10 jam pada anuria. Namun sebagian besar strain S. aureus ditemukan telah resisten terhadap antibiotik digunakan. penisilin Pemilihan sehingga antibiotik antibiotik lain yang turunan sekarang penisilin digunakan sudah untuk jarang mengobati
digunakan
infeksi
yang
disebabkan tidak
oleh diabsorpsi
sendiri
bakterisidal menghambat
yang
Vankomisin melawan
pembentukan
peptidoglikan
besar organisme Gram positif. Vankomisin intravena sangat penting untuk terapi pasien dengan septikemi atau endokarditis akibat strain Staphylococcus aureus yang resisten terhadap metisilin (Neal, 2002). Selain kedua antibiotik dan tersebut, gentamisin juga sebagai digunakan pilihan klindamisin, lain untuk
sulfametoksazole,
trimetoprim,
mengobati infeksi S. aureus yang telah resisten (Lowy, 2003). 2.1.9 Resistensi Antibiotik Sebagian besar galur S. aureus yang berasal dari rumah sakit diketahui
telah resisten terhadap berbagai jenis antibiotik. Hal ini dapat disebabkan karena S. aureus mampu mengkode enzim -lactam dari antibiotik yang dapat
memediasi terjadinya resistensi terhadap beberapa antibiotik. Beberapa antibiotik yang telah resisten terhadap MRSA yaitu: 1. Penisilin Saat ini diketahui lebih dari 90 isolat S. aureus memproduksi penisilinase.
Staphylococcus yang resisten terhadap penisilin dimediasi oleh blaZ. Gen ini mengkode enzim yang disintesis ini mampu ketika Staphylococcus cincin diberikan antibiotik yang
lactam.
Enzim
menghidrolisis
-lactam,
Resistensi
metisilin
terjadi
karena
adanya
perubahan
protein
Hal ini disebabkan karena gen mecA protein 2a (PBP2a) yang memiliki
pengikat
terhadap semua antibiotik -lactam. Hal ini memudahkan S. aureus bertahan pada konsentrasi yang resistensi tinggi dari terhadap zat tersebut, semua resistensi terhadap agen -lactam, metisilin termasuk
menyebabkan
cephalosporin (Juuti, 2004). 3. Kuinolon Fluorokuinolon pertama kali dikenalkan untuk pengobatan infeksi bakteri
gram positif pada tahun 1980. Resistensi terhadap fluorokuinolon sangat cepat dibandingkan kemampun dengan resisten sebagai sebagai terhadap anti hasil metisilin. Hal ini menyebabkan terhadap dalam
bakteri mutasi
menurun.
Resistensi spontan
kromosomal
atau dengan
menjadi
meningkat
penggunaannya
untuk
mengobati
Infeksi
yang disebabkan oleh MRSA. Pada tahun 1997, laporan pertama vankomisin Intermediet Resisten negara karena lain. S. aureus, dilaporkan di Jepang, terhadap dan S. berkembang aureus bakteri di
Penurunan
sensitifitas dalam
vankomisin biosintesis
terjadi tersebut
adanya
perubahan
peptidoglikan
Resistensi
terhadap
kloramfenikol
disebabkan
karena
adanya
enzim
yang
kloramfenikol dalam A.
dengan
kloramfenikol
asetil koenzim
Akibatnya
dihasilkan
kloramfenikol
tidak mampu berikatan dengan ribosom bakteri (Lowy, 2003). 2.2. Uraian Tanaman Tanaman yang digunakan dalam penelitian ini adalah kelopak bunga rosela (Hibiscus sabdariffa L.). Uraian tanaman rosela meliputi klasifikasi tanaman, deskripsi tanaman, khasiat dan kegunaan tanaman, dan kandungan kimia tanaman. 2.2.1 Klasifikasi Tanaman Klasifikasi dari kelopak bunga rosella Divisi Subdivisi Kelas Bangsa Suku Marga Jenis Varietas : Spermatophyta : Angiospermae : Dicotyledonae : Malvales : Malvaceae : Hibiscus : Hibiscus sabdariffa L. (sinonim: Hibiscus digitatus) : Hibiscus sabdariffa L. var. sabdariffa L. Hibiscus sabdariffa L. var. ultissima Wester (Mardiah dkk, 2009). 2.2.2 Morfologi Tanaman Rosela merupakan herba tahunan yang bisa mencapai ketinggian 0,5 sampai 3 meter. Batangnya bulat, tegak, berkayu, dan berwarna merah. Daunnya tunggal,
pangkal
berlekuk. Panjang daun 6 sampai 15 cm dan lebarnya 5 sampai 8 cm. Tangkai daun bulat berwarna hijau, dengan panjang 4 sampai 7 cm (Steenes, 2002). Bunga rosela yang keluar dari ketiak daun merupakan bunga tunggal, artinya pada setiap tangkai hanya terdapat satu bunga. Bunga ini mempunyai 8 sampai 11 helai kelopak yang berbulu, panjangnya 1 cm, pangkalnya saling berlekatan, dan berwarna merah(Steenes, 2002). Kelopak bunga rosela ini sering dianggap sebagai bunga oleh masyarakat. Bagian inilah yang sering dimanfaatkan sebagai bahan makanan dan minuman(Mardiah dkk, 2009). Mahkota bunga berbentuk corong, terdiri dari 5 helaian, panjangnya 3 sampai 5 cm. Tangkai sari yang merupakan tempat melekatnya kumpulan benang sari berukuran pendek dan tebal, panjangnya sekitar 5 mm dan lebar sekitar 5 mm. Putiknya berbentuk tabung, berwarna kuning atau merah. Buahnya berbentuk kotak kerucut, berambut, terbagi menjadi 5 ruang, berwarna merah. Bentuk biji menyerupai ginjal, berbulu, dengan panjang 5 mm dan lebar 4 mm. Saat masih muda, biji berwarna putih dan setelah tua berubah menjadi abu-abu (Steenes, 2002).
Di Indonesia, penggunaan rosela di bidang kesehatan memang belum begitu popular. Namun akhir-akhir ini, minuman berbahan rosela mulai banyak dikenal sebagai minuman kesehatan. Bahan minuman dari rosela yang berbentuk seperti teh celup juga sudah dapat diperoleh di pasar swalayan. Produk tersebut sebagian besar diperoleh dari luar negeri. Di negara-negara lain, pemanfaatan dan khasiat rosela dalam dunia pengobatan sudah tidak asing lagi (Mardiah dkk, 2009). Di India, Afrika, dan Meksiko, seluruh bagian tanaman rosela berfungsi sebagai obat tradisional. Daun atau kelopak bunga rosela (Hibiscus sabdariffa L.) mampu menurunkan tekanan darah (efek hipotensif) yang tidak berbeda nyata dengan pemberian captopril 50 mg/hari. Rosela terstandar tersebut dibuat dari 10 g kelopak kering dan 0,52 L air (Herrera and Arellano, 2004). Pemanfaatan tanaman rosela ini berkaitan dengan fungsinya sebagai antiseptik, aprodisiak (meningkatkan gairah seksual), astringen, demulcent (menetralisir asam
lambung), diuretik, purgatif, anthelmintic, refrigerant (efek mendinginkan), resolvent , sedatif, tonik, serta mengobati kanker, batuk, dyspepsia, dysuria, demam, hangover (kembung perut), hipertensi, neurosis, sariawan, dan mencegah penyakit hati (Mardiah dkk, 2009). Kelopak bunga rosela dapat digunakan untuk mencegah perkembangan atherosclerosis dan komplikasi kardiovaskuler akibat diabetes (Farombi dan Ige, 2007). Di antara banyak khasiatnya, kelopak bunga rosela diunggulkan sebagai antikanker, antihipertensi, dan antidiabetes (Mardiah dkk, 2009).
Karakteristik fisikokimia bunga rosela telah diteliti dan diketahui memiliki vitamin C yang tinggi dengan kadungan gula yang rendah. Asam suksinat dan asam oksalat merupakan dua asam organik yang dominan pada rosela. Tumbuhan rosela juga diketahui memiliki asam askorbat yang lebih tinggi dari pada jeruk dan mangga (Wong et al, 2002 dalam Fasoyiro et al, 2005). Fitokonstituen yang ditemukan dalam ekstrak bunga rosela yaitu flavonoid,
polisakarida dan asam organik, yang berpengaruh terhadap aktivitas farmakologinya (Daffallah & Mustafa, 1996 dalam Hussaini et al., 2004 ). Bunga rosela diketahui memiliki asam sitrat, tanin dan glukosida seperti delfinidin-3-monoglukosida dan
delfinidin yang pada konsentrasi tinggi bersifat toksik bagi jaringan hewan dan manusia (Ojokoh et al., 2002; Morton, 1987). Kelopak bunga rosela juga mengandung alkaloid, L-ascorbic acid, anisaldehid, antosianin, beta karoten, protocathecuic acid, beta sitosterol, asam sitrat, galaktosa, polifenol, cyaniding-3-rutinoside, mukopolisakarida, pektin, polisakarida, asam stearat, dan lilin (Hirunpanich et al., 2005). Selain itu, kandungan penting yang terdapat pada kelopak bunga rosella adalah pigmen antosianin yang membentuk flavonoid yang berperan sebagai antioksidan.
Flavonoid rosela terdiri flavanols dan pigmen antosianin. Antosianin pada kelopak bunga rosela berada dalam bentuk glukosida yang terdiri dari cyanidin-3-sambubioside, delphinidin-3-glucose, dan delphinidin-3-sambubioside. Sementara itu, flavonols terdiri dari gossypetin, hibiscetin, dan quercetia (Mardiah dkk., 2009).
Tabel 2.1 Komposisi minyak esensial Hibiscus sabdariffa L.(Zang dan Wang, 2007)
Zat gizi lain yang tak kalah penting terkandung dalam kelopak bunga rosela adalah kalsium, niasin, riboflavin, dan besi yang cukup tinggi. Kandungan besi pada kelopak segar rosela dapat mencapai 8, 98 mg/100 g. Selain itu, kelopak bunga rosela mengandung 1,12% protein, 12% serat kasar, 21,89 mg/100 g sodium, vitamin C, dan vitamin A (Mardiah dkk, 2009). Serta ada sekitar 18 asam amino yang diperlukan tubuh terdapat dalam kelopak bunga rosela, termasuk arginin dan lisin yang berperan dalam peremajaan sel tubuh (Mardiah dkk., 2009). Sedangkan untuk distribusi kandungan fitokomia dari berbagai bagian tumbuhan Hibiscus sabdariffa dapat di lihat di tabel berikut.
Tabel 2.2 Distribusi berbagai macam fitokimia di bagian yang berbeda dari tumbuhan Hibiscus sabdariffa (Mungole dan Chaturvedi, 2011)
Hibiscus sabdariffa L.
Protein-protein struktural dan fungsional penting pada bakteri Staphylococcus aureus terdenaturasi
3.2. Penjelasan Kerangka Konsep Penggunaan obat tradisional saat ini semakin luas di kalangan masyarakat. Salah satunya yang digunakan adalah bunga rosela(Hibiscus sabdariffa L.).
Berdasarkan data-data yang diperoleh ditemukan banyak bunga alkaloid, penggunaan rosela yang dapat saponin, rosella dipergunakan dan sebagai
flavonoid, bunga
polifenol. obat
Sehingga
sebagai
antibakteri
alternatif
penyakit-penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri. Salah satu bakteri yang saat ini sering menimbulkan infeksi di rumah sakit adalah Staphylococcus
aureus. S. aureus merupakan flora normal kulit yang paling sering menimbulkan infeksi pada luka bedah karena berpindah dari tempat semestinya ke organ atau jaringan lainnya (Kluytmans et al., 1997). Pengujian kelopak bunga rosela ini dibuat dalam bentuk ekstrak air. Ekstrak air ini dibagi menjadi beberapa konsentrasi yang nantinya diuji dengan metode dilusi cair. Cara yang dilakukan adalah dengan membuat seri pengenceran antimikroba pada medium cair yang ditambahkan dengan mikroba uji. Larutan uji antimikroba pada kadar terkecil yang terlihat jernih tanpa adanya pertumbuhan mikroba uji ditetapkan sebagai Konsentrasi Hambat Minimal(KHM). Evaluasi dilakukan untuk mengetahui aktivitas ekstrak air bunga rosella dapat berguna sebagai antibakteri terhadap Staphylococcus aureus. 3.3. Hipotesis Penelitian Pemberian ekstrak air kelopak bunga Rosella ( Hibsiscus sabdariffa L.) dapat menghambat pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus secara in vitro.
BAB 4 METODE PENELITIAN 4.1 Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental laboratorium yaitu penelitian uji aktivitas antimikroba ekstrak air kelopak bunga Rosella (Hibiscus sabdariffa L.)
terhadap pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus secara in- vitro menggunakan metode dilusi. 4.2 Rancangan Penelitian Penelitian ini dirancang dengan menggunakan metode randomized post test controlled design. Secara skematis, rancangan penelitian dapat digambarkan sebagai berikut: T1 T2 T3 T4 T5 A1 A2 A3 A4 A5 A6 A7 A8 B1 B2
T6 T7 T8 K1 K2
Keterangan : S R K1 : sampel bunga Rosella ( Hibiscus sabdariffa L.) : ekstrak air kelopak bunga Rosella (Hibiscus sabdariffa L.) hasil ekstrak air : tabung kontrol 1 yaitu berisi ekstrak air kelopak bunga Rosella ( Hibiscus sabdariffa L.)yang digunakan sebagai kontrol negatif K2 : tabung kontrol 2 yaitu berisi medium cair yang telah ditanam dengan koloni Staphylococcus aureus yang digunakan sebagai kontrol positif T1 : tabung perlakuan 1 yaitu pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus pada medium cair yang telah ditambah dengan ekstrak air kelopak bunga Rosella (Hibiscus sabdariffa L.)sehingga kosentrasinya 12,5% T2 : tabung perlakuan 2 yaitu pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus pada medium cair yang telah ditambah dengan ekstrak air kelopak bunga Rosella (Hibiscus sabdariffa L.)sehingga kosentrasinya 6,25% T3 : tabung perlakuan 3 yaitu pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus pada medium cair yang telah ditambah dengan ekstrak air kelopak bunga Rosella (Hibiscus sabdariffa L.)sehingga kosentrasinya 3,125% T4 : tabung perlakuan 4 yaitu pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus pada medium cair yang telah ditambah dengan ekstrak air kelopak bunga Rosella (Hibiscus sabdariffa L.)sehingga kosentrasinya 1,56% T5 : tabung perlakuan 5 yaitu pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus pada medium cair yang telah ditambah dengan ekstrak air kelopak bunga Rosella (Hibiscus sabdariffa L.)sehingga kosentrasinya 0,78%
T6
: tabung perlakuan 6 yaitu pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus pada medium cair yang telah ditambah dengan ekstrak air kelopak bunga Rosella (Hibiscus sabdariffa L.)sehingga kosentrasinya 0,39%
T7
: tabung perlakuan 7 yaitu pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus pada medium cair yang telah ditambah dengan ekstrak air kelopak bunga Rosella (Hibiscus sabdariffa L.)sehingga kosentrasinya 0,195%
T8
: tabung perlakuan 8 yaitu pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus pada medium cair yang telah ditambah dengan ekstrak air kelopak bunga Rosella (Hibiscus sabdariffa L.)sehingga kosentrasinya 0,097%
B1
: pengamatan pertumbuhan bakteri pada tabung kontrol 1 setelah inkubasi dalam suhu 37C selama 24 jam
B2
: pengamatan pertumbuhan bakteri pada tabung kontrol 2 setelah inkubasi dalam suhu 37C selama 24 jam
A1
: pengamatan pertumbuhan kuman pada tabung perlakuan 1 setelah inkubasi dalam suhu 37C selama 24 jam
A2
: pengamatan pertumbuhan kuman pada tabung perlakuan 2 setelah inkubasi dalam suhu 37C selama 24 jam
A3
: pengamatan pertumbuhan kuman pada tabung perlakuan 3 setelah inkubasi dalam suhu 37C selama 24 jam
A4
: pengamatan pertumbuhan kuman pada tabung perlakuan 4 setelah inkubasi dalam suhu 37C selama 24 jam
A5
: pengamatan pertumbuhan kuman pada tabung perlakuan 5 setelah inkubasi dalam suhu 37C selama 24 jam
A6
: pengamatan pertumbuhan kuman pada tabung perlakuan 6 setelah inkubasi dalam suhu 37C selama 24 jam
A7
: pengamatan pertumbuhan kuman pada tabung perlakuan 7 setelah inkubasi dalam suhu 37C selama 24 jam
A8
: pengamatan pertumbuhan kuman pada tabung perlakuan 8 setelah inkubasi dalam suhu 37C selama 24 jam
4.3 Sampel, Jumlah Replikasi, dan Teknik Pengelompokan Sampel 4.3.1 Sampel Sampel pada penelitian ini adalah bunga Rosella (Hibiscus sabdariffa L.). 4.3.2 Jumlah replikasi Jumlah replikasi ditentukan dengan menggunakan rumus Federer (Steel and Torri, 1989): (t-1)(r-1) = 15 t = jumlah kelompok perlakuan yang diteliti r = jumlah replikasi Pada penelitian ini jumlah kelompok perlakuan yang diteliti sebanyak 8 tabung, sehingga jumlah replikasi yang harus dilakukan adalah: (8-1)(r-1) = 15 r-1 = 2 r = 3 (jumlah replikasi pada penelitian ini minimal 3 kali) 4.3.3 Teknik pengelompokan sampel Pengelompokan sampel menggunakan teknik total random sampling dari kelopak bunga Rosella ( Hibiscus sabdariffa L.)yang tumbuh di Kediri, Jawa Timur.
4.4 Variabel Penelitian Variabel bebas Kosentrasi ekstrak air kelopak bunga Rosella (Hibiscus sabdariffa L.) pada tiap-tiap tabung yang telah ditanami bakteri Staphylococcus aureus. Variabel tergantung Pertumbuhan bakteri pada tiap-tiap tabung yang telah diberi ekstrak air kelopak bunga Rosella ( Hibiscus sabdariffa L.) dengan kosentrasi yang berbeda. Variabel kontrol 1. spesies Hibiscus sabdariffa L.
Definisi Operasional Variabel Variabel bebas Kosentrasi ekstrak air kelopak bunga Rosella (Hibiscus sabdariffa L.) adalah besarnya kadar bunga Rosella ( Hibiscus sabdariffa L.) terhadap pelarut, yang diukur dalam satuan gram persen(g%). Diketahui berdasarkan perbandingan berat buah dengan pelarut, skala data rasio. Variabel tergantung
Kekeruhan dari tabung reaksi yang telah ditambahkan ekstrak air kelopak bunga Rosella (Hibiscus sabdariffa L.) , menunjukkan bahwa semakin jernih medium maka semakin besar penghambatan pertumbuhan kuman. Variabel kontrol 1 Spesies Hibiscus sabdariffa L. adalah satu jenis individu buah Hibiscus sabdariffa L., diketahui berdasarkan pengamatan secara visual, skala data nominal. 2 Temperatur inkubasi bakteri Staphylococcus aureus secara in vitro adalah skala yang menunjukan seberapa besar gaya kinetik zat-zat dalam lingkungan inkubasi bakteri Staphylococcus aureus secara in vitro, yang diukur dalam satuan C, diketahui berdasarkan pengamatan visual pada termometer, skala data interval. 3 Temperatur inkubasi uji kepekaan secara dilusi adalah skala yang menunjukan seberapa besar gaya kinetik zat-zat dalam lingkungan inkubasi tabung perlakuan yang telah diberi perlakuan, yang diukur dalam satuan C, diketahui berdasarkan pengamatan visual pada termometer, skala data interval. 4 Waktu inkubasi uji kepekaan secara dilusi adalah lamanya inkubasi tabung perlakuan setelah diberi perlakuan, yang diukur dalam satuan jam, diketahui berdasarkan pengamatan visual pada jam dinding, skala data rasio. 4.5 Bahan Penelitian 1. Bunga Rosella ( Hibiscus sabdaiffa L.) 2. Aquadest 3. Koloni bakteri Staphylococcus aureus 4. Muller Hinton Broth: 1 Meat infussion 6 gram
2 Casein Hydrolysate 17,5 gram 3 Starch 1,5 gram 4 Aquadest 1000 ml 5 pH 7,4 5. Nutrient Agar: 1 Pepton 5 gram 2 Yeast extract 2 gram 3 Sodium chloride 5 gram 4 Agar 5 gram 5 Aquadest 1000 ml 6 pH 7,4 4.6 Instrumen Penelitian Instrumen di bawah ini memiliki reliabilitas dan validitas yang cukup baik, serta lazim digunakan untuk penelitian. 1 Beker glass 2 Pemanas spirtus 3 Tabung reaksi 4 Sengkelit 5 Yellow tape 6 Pipet ependorf 7 Penyaring sari buah 4.7 Lokasi dan Waktu Penelitian 4.7.1 Lokasi
Penelitian akan dilaksanakan di Laboratorium Mikrobiologi dan Laboratorium Farmasi Kedokteran Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga. 4.7.2 Waktu penelitian Penelitian dilakukan selama 6 bulan pada bulan Juni- Desember 2011 4.8 Prosedur Pengambilan dan Pengumpulan Data 4.8.1 Mempe rsiapkan ekstrak air kelopak bunga Rosella (Hibiscus sabdariffa L.) 1. Menyiapkan bunga Rosella ( Hibiscus sabdariffa L.) sebanyak 50 gram lalu dicuci hingga bersih. 2. Memotong bunga Rosella (Hibiscus sabdariffa L.) kecil-kecil dan merajangnya. 3. 50 gram hasil rajangan dimasukkan ke dalam tempat ekstraksi kemudian ditambah 200 ml aquadest steril untuk membuat ekstrak air dengan konsentrasi 25 gram/ml. 4. Didiamkan beberapa hari pada temperatur kamar dan terlindung dari cahaya dan sesekali diaduk. 5. Campuran tersebut kemudian disaring dengan kain flannel atau kertas saring untuk menghilangkan ampas dan sampai airnya tidak menetes lagi. 4.8.2 Mempe rsiapkan koloni bakteri Staphylococcus aureus Bakteri Staphylococcus aureus dibiakkan terlebih dahulu pada media Nutrient
Agar dan diinkubasi pada suhu 37C selama 24 jam 4.8.3 Langkah-langkah pengambilan dan pengumpulan data Uji aktivitas antimikroba menggunakan metode dilusi. Dengan metode ini dapat diketahui konsentrasi hambat minimal (KHM) yaitu konsentrasi terkecil yang masih mampu menghambat pertumbuhan kuman dan kosentrasi bunuh minimal (KBM) yaitu kosentrasi terkecil yang dapat membunuh kuman. Langkah- langkah penelitian:
1. Menyiapkan ekstrak air kelopak bunga Rosella ( Hibiscus sabdariffa L.)dengan kosentrasi 25 gram/ml yang nantinya akan diencerkan secara serial. 2. Membuat suspensi kuman. Stok yang sudah ada dikultur terlebih dahulu sehingga didapatkan pertumbuhan yang sehat (tumbuh subur dan pada fase pertumbuhan logaritma atau tidak mengalami mutasi ataupun fase lag atau mati). Suspensi uji awal dibuat setara dengan kekeruhan 0,5 Mc Farland (kekeruhan campuran Barium chlorida 1,175% dan H2 SO4 1%) atau sebanding dengan jumlah bakteri 1,5x108 CFU/ml (CFU: Colony forming Unit) atau 250-300 koloni dalam media padat. Diambil beberapa koloni bakteri lalu ditipiskan atau diencerkan dengan larutan isotonis (PBS atau PZ) sehingga konsentrasi sesuai dengan konsentrsi 0,5 Mc Farland.(Lab.Mikrobiologi Fk UNAIR, 2009) 3. Dalam uji dilusi ini disediakan sebanyak 10 tabung percobaan dengan label T-1T-8, dan K1-K2. 4. Tabung T-1: Tabung diisi dengan medium cair steril dan ekstrak air kelopak bunga Rosella(Hibiscus sabdariffa L.) kosentrasi 25 gram/ml dengan volume 1:1. Antara medium dan ekstrak air dicampurkan, sehingga didapatkan kosentrasi ekstrak air kelopak bunga Rosella( Hibiscus sabdariffa L.) pada tabung T-1 sebesar 12,5gram/ml. Lalu diambil setengah bagian campuran antara medium cair dan ekstrak air dari tabung ini untuk dimasukkan ke dalam tabung T-2. 5. Tabung T-2: Campuran yang diambil dari tabung T-1 dimasukkan ke dalam tabung T-2 lalu ditambahkan medium cair steril dengan perbandingan volume campuran dari tabung T-1 dengan medium cair steril sebesar 1:1. Campur dengan baik sehingga didapatkan kosentrasi ekstrak air kelopak bunga Rosella( Hibiscus
sabdariffa L.) pada tabung T-2 sebesar 6,25 gram/ml. Lalu diambil setengah bagian untuk dimasukkan ke tabung T-3. 6. Langkah diatas dilanjutkan berturut-turut hingga tabung T-8, setelah dicampur dan didapatkan kosentrasi ekstrak air kelopak bunga Rosella( Hibiscus sabdariffa L.) pada tabung T-8 sebesar 0,097 gram/ml. Lalu diambil setengah bagian untuk dibuang agar volume tabung T-8 sama dengan tabung yang lain. 7. Menambahkan suspensi kuman kedalam setiap tabung 8. Tabung K-1: merupakan kontrol, hanya diisi dengan ekstrak air kelopak bunga Rosella( Hibiscus sabdariffa L.) hingga volume yang sama dengan tabung yang lain 9. Tabung K-2: merupakan kontrol, diisi medium cair yang telah ditambah suspensi kuman 10. Menginkubasi semua tabung selama 24 jam dalam suhu 37C 11. Menentukan kosentrasi hambat minimum (KHM) yaitu dengan melihat tabung mana yang masih jernih. Kosentrasi ekstrak air kelopak bunga Rosella( Hibiscus sabdariffa L.) terkecil pada tabung yang jernih, merupakan kosentrasi hambat minimum (KHM). Observasi ini dilakukan secara visual. 4.9 Cara Mengolah dan Analisis Data Data pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus dari kelompok kontrol dan
kelompok perlakuan diuji statistic dengan deskriptif dan dianalisis secara analitik.
BAB 5 HASIL PENELITIAN 5.1 Hasil Penelitian Ekstrak air kelopak bunga rosela yang digunakan dalam penelitian ini diujikan dengan metode dilusi terhadap bakteri Staphylococcus aureus. Sedangkan konsentrasi
ekstrak yang digunakan adalah 12,5 gram/ml, 6,25 gram/ml, 3,125 gram/ml, 1,56 gram/ml, 0.79 gram/ml, 0.39 gram/ml, 0,195 gram/ml, dan 0,097 gram/ml,. Hasil uji dilusi ( Konsentrasi hambat minimal (KHM)) dengan ekstrak air kelopak bunga rosella (Hibiscus sabdariffa L.) yang didapatkan adalah sebagai berikut: Replikasi pertama Tabel 5.1 : Hasil uji dilusi KHM dengan ekstrak air kelopak bunga rosella (Hibiscus sabdariffa L.) dalam berbagai konsentrasi pada replikasi pertama Nama Tabung Pertumbuhan Kuman (kekeruhan) K+ + KT1 (12,5 gram/ml) T2 (6,25 gram/ml) T3 (3,125 gram/ml) T4 (1,56 gram/ml) T5 (0.78 gram/ml) + T6 (0,39 gram/ml) + T7 (0,195 gram/ml) + T8 (0.097 gram/ml) + Replikasi kedua Tabel 5.2 : Hasil uji dilusi KHM dengan ekstrak air kelopak bunga rosella (Hibiscus sabdariffa L.) dalam berbagai konsentrasi pada replikasi kedua Nama Tabung Pertumbuhan Kuman (kekeruhan) K+ + KT1 (12,5 gram/ml) T2 (6,25 gram/ml) T3 (3,125 gram/ml) T4 (1,56 gram/ml) T5 (0.78 gram/ml) +
+ + +
Tabel 5.3 : Hasil uji dilusi KHM dengan ekstrak air kelopak bunga rosella (Hibiscus sabdariffa L.) dalam berbagai konsentrasi pada replikasi ketiga Nama Tabung Pertumbuhan Kuman (kekeruhan) K+ + KT1 (12,5 gram/ml) T2 (6,25 gram/ml) T3 (3,125 gram/ml) T4 (1,56 gram/ml) T5 (0.78 gram/ml) + T6 (0,39 gram/ml) + T7 (0,195 gram/ml) + T8 (0.097 gram/ml) +
5.2 Analisis Hasil Penelitian Pada percobaan pertama, didapatkan hasil bahwa ekstrak air kelopak bunga rosella(Hibiscus sabdariffa L.) memiliki aktifitas antimikroba dimulai kadar 1,56 simplisia gram/ml terhadap kuman Staphylococcus aureus. Hal tersebut dapat dilihat dari hasil uji dilusi untuk menentukan Konsentrasi Hambat Minimal (KHM) yang
menunjukkan perubahan medium menjadi lebih jernih dimulai dari tabung keempat (T4) yang memiliki konsentrasi ekstrak air kelopak bunga rosella sebesar 1.56 gram simplisia/ml hingga tabung ke-1 (T1) yang memiliki konsentrasi 12,5 gram simplisia/ml. Sedangkan pada variabel kontrol didapatkan perubahan medium menjadi lebih keruh pada kontrol (+) yang merupakan kontrol pertumbuhan kuman di dalam media dan didapatkan perubahan medium menjadi lebih jernih pada kontrol (-) yang berisi bahan ekstrak air kelopak bunga rosella(Hibiscus sabdariffa L.).
Hasil uji dilusi yang sama juga didapatkan pada replikasi ke-2 dan ke-3, didapatkan
yang
perubahan medium menjadi lebih jernih yang dimulai dari tabung T4 hingga
T1, kontrol (-) dan terdapat perubahan medium menjadi lebih keruh pada kontrol (+). Untuk memastikan pertumbuhan kuman kontaminan pada ekstrak yang telah dibuat, dilakukan penanaman di media nutrient agar plate. Dan hasilnya tidak didapatkan pertumbuhan bakteri pada agar plate.
Selain itu, untuk memastikan pertumbuhan kuman pada uji dilusi, dari semua tabung uji dilusi replikasi ke-1 tidak didapatkan pertumbuhan kuman setelah dilakukan penanaman di agar plate. Dan dalam penanaman kontrol (+) didapatkan pertumbuhan beberapa kuman dalam agar plate. Sedangkan pada penanaman plate kontrol (-) tidak didapatkan koloni kuman.
BAB 6 PEMBAHASAN
Penelitian
mengenai
kandungan
antimikroba
dari
ekstrak
air
kelopak
bunga
rosella(Hibiscus sabdariffa L.) terhadap pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus ini dilakukan di laboratorium Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga pada bulan Agustus 2011. Penelitian dilakukan secara uji eksperimental dengan menggunakan metode dilusi yaitu metode yang dapat dipakai untuk mengukur Konsentrasi Hambat Minimal suatu bahan antimikroba dengan cara mengamati perubahan kekeruhan dari campuran medium, ekstrak air, dan bakteri yang ditanam di dalam tabung. Ekstrak air dibuat dari bahan ekstrak air kelopak bunga rosella (Hibiscus sabdariffa L.) yang pembuatannya dilakukan di laboratorium Mikrobiologi dan laboratorium Farmasi
6.1 Aktivitas Antimikroba Ekstrak air kelopak bunga rosella (Hibiscus sabdariffa L.) Penelitian Uji Aktivitas antimikroba ekstrak air kelopak bunga rosella (Hibiscus sabdariffa L.) dimulai dengan pembuatan simplisia kelopak bunga rosella (Hibiscus sabdariffa L.) dengan cara dikeringkan ditempat yang teduh dan tidak terkena sinar matahari. Sedangkan pembuatan ekstrak air kelopak bunga rosella (Hibiscus sabdariffa L.) sebesar 25 gram simplisia/ml dilakukan dengan cara merendam simplisia kelopak bunga rosella (Hibiscus sabdariffa L.) seberat 50 gram di dalam 200 ml aquabidest selama tujuh hari. Setiap harinya, rendaman tersebut dikocok selama 2 menit. Setelah tujuh hari, rendaman tersebut diperas dengan kain flannel dan disaring dengan millipore. Ekstrak kemudian dicampurkan bersama media tanam dengan perbandingan 1:1 sehingga
diperoleh konsentrasi ekstrak tertinggi 12,5 gram/ml. Sedangkan untuk tabung-tabung selanjutnya dilakukan penambahan media tanam dari campuran ekstrak ditambah dengan media tanam sebelumnya. Penelitian dilaksanakan selama 3 kali replikasi. Penentuan jumlah replikasi tersebut berdasarkan rumus dari Freeder (Steel and Torri, 1989). Sesuai hasil yang disajikan dalam tabel 5.1, pada penelitian kali ini didapatkan perubahan medium menjadi lebih jernih pada tabung keempat sampai tabung kesatu yang telah ditanami bakteri Staphylococcus aureus kecuali pada tabung kelima, keenam, ketujuh, kedelapan, dan kontrol positif (K+). Hal tersebut dapat diartikan bahwa ekstrak air kelopak bunga rosella (Hibiscus sabdariffa L.) memiliki aktifitas antimikroba yang
dimulai dengan kadar 1,56 gram/ml. Selain itu, pada kontrol negatif, tidak adanya perubahan kekeruhan menandakan bahwa ekstrak air kelopak bunga rosella (Hibiscus sabdariffa L.) tidak mengalami kontaminasi. Hal tersebut juga dibuktikan dengan
penanaman ekstrak yang telah dibuat di media nutrient agar plate. Dan hasilnya tidak didapatkan pertumbuhan bakteri pada agar plate. Hasil yang sama juga didapatkan pada replikasi ke-2 dan ke-3, yang disajikan dalam tabel 5.2 dan 5.3. Pada tabel tersebut dapat dilihat bahwa medium berubah menjadi lebih jernih yang dimulai dari tabung ke-4 hingga tabung ke-1. sedangkan pada tabung dengan tanda K+, tabung ke-5, tabung ke-6, tabung ke-7, dan tabung ke-8, terjadi
perubahan kekeruhan. Hal tersebut dapat juga diartikan bahwa ekstrak air kelopak bunga rosella (Hibiscus sabdariffa L.) memiliki aktifitas antimikroba terhadap bakteri
Staphylococcus aureus yang dimulai dengan kadar 1.56 gram/ml. Bahan aktif dalam ekstrak air kelopak bunga rosella (Hibiscus sabdariffa L.) yang diduga memiliki efek antibakteri adalah Saponin, Tanin dan Flavonoida (Badreldin dkk,
2005). Saponin akan membentuk kompleks dengan protein dan dinding sel sehingga berakibat terjadinya denaturasi protein dan rusaknya dinding sel (Dzen dkk, 2003). Tanin akan mempengaruhi permeabilitas membran sitoplasma sehingga menyebabkan rusaknya membran sel (Akiyama dkk, 2001). Sedangkan Flavonoida diduga memiliki efek antibakteri melalui kemampuannya membentuk kompleks dengan protein ekstraseluler dan polisakarida. Selain itu, sifat lipofilik flavonoid mungkin juga akan merusak membran sel bakteri karena membran sel mengandung lipid sehingga memungkinkan senyawa tersebut melewati membran (Cowan, 1999) Metode ekstraksi yang dipakai pada penelitian ini masih bersifat kasar sehingga tidak dapat diketahui secara pasti bahan aktif antibakteri apa saja yang terkandung di dalam ekstrak tersebut. Selain itu, prosentase bahan aktif dari hasil ekstrak juga tidak diketahui. Namun, kita dapat memperkirakan bahwa peningkatan konsentrasi ekstrak juga akan meningkatkan konsentrasi bahan aktif antibakteri dalam hubungannya dengan penurunan pertumbuhan koloni bakteri. Penelitian mengenai ekstrak tanaman kelopak bunga rosella (Hibiscus sabdariffa L.) yang memiliki efek antibakteri terhadap Staphylococcus aureus juga pernah dilakukan sebelumnya. Namun, pelarut dan metode yang digunakan berbeda yaitu dengan pelarut nHeksan, Etil Asetat, dan Etanol 70%. Pada penelitian tersebut didapatkan Konsentrasi Bunuh Minimum ekstrak etil asetat adalah 25 gram/ml; 50 gram/ml; 100 gram/ml, KBM ekstrak etanol 70 % terhadap Staphylococcus aureus ATCC 25923 adalah 50 gram/ml; 100 gram/ml dan tidak didapat Konsentrasi Bunuh Minimum (KBM) dari ekstrak nheksan. Dalam penelitian tersebut tidak didapat luas daerah hambat dari ekstrak nheksan terhadap Staphylococcus aureus ATCC 25923, luas daerah hambat rata-rata dari
ekstrak etil asetat adalah 7,67 mm (25 gram/ml); 11,33 mm (50 gram/ml); 20,33 mm (75 gram/ml); 26,67 mm (100 gram/ml). Dan luas daerah hambat rata-rata dari ekstrak etanol 70 % adalah 8,33 mm (50 gram/ml); 11 mm (75 gram/ml); 16 mm (100 gram/ml). Dari ketiga ekstrak tersebut yang paling efektif terhadap aktivitas antibakteri adalah ekstrak etil asetat yang mempunyai daya bunuh terbesar pada konsentrasi 25 gram/ml
(Samsumaharto dan Sari, 2009). Berdasarkan penelitian tersebut, konsentrasi ekstrak yang digunakan pada penelitian ini sebesar 25 gram/ml. Aplikasi klinis yang mungkin dari penelitian ini adalah penggunaan ekstrak air kelopak bunga rosella (Hibiscus sabdariffa) secara topikal untuk pengobatan infeksi Staphylococcus aureus pada kulit. Sedangkan penggunaan secara sistemik masih memerlukan penelitian lebih lanjut yaitu penelitian in vivo pada hewan coba yang kemudian dilanjutkan dengan uji klinik fase I, II, III, dan IV. Penelitian in vivo pada hewan coba dan uji klinik fase I, II, III, dan IV diperlukan untuk menentukan dosis terapi, dosis toksik, dan efek samping yang mungkin timbul dari pemakaian ekstrak daun antinganting. Studi toksisitas pada hewan coba terdiri dari 3 uji toksisitas yaitu uji toksisitas akut, toksisitas jangka panjang, dan toksisitas khusus. Walaupun uji farmakologitoksikologi pada hewan coba memberikan data yang berharga, namun untuk memastikan efeknya pada manusia perlu dilakukan uji klinik (Setyabudi,2001)
Badreldin H. Ali, Naser Al Wabel and Gerald Blunden, 2005, Phytochemical, Pharmacological and Toxicological Aspects of Hibiscus sabdariffa L.: A Rev
BAB 7 PENUTUP 7.1 Kesimpulan: Dari penelitian yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa: 1. Ekstrak air kelopak bunga rosella (Hibiscus sabdariffa L.) memiliki aktifitas antimikroba terhadap pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus yang dimulai dengan kadar 1.56 gram/ml.
7.2 Saran: 1. Diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai aktifitas antimikroba ekstrak air kelopak bunga rosella (Hibiscus sabdariffa L.) terhadap pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus secara in vivo 2. Diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai aktifitas antimikroba ekstrak air kelopak bunga rosella (Hibiscus sabdariffa L.) terhadap pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus yang aplikatif di masyarakat. 3. Diperlukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui zat aktif yang terkandung dalam ekstrak air kelopak bunga rosella(Hibiscus sabdariffa L.) yang mempunyai efek daya hambat terhadap pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus.
DAFTAR PUSTAKA
Akiyama H. Kazuyasu Fujii, Osamu Yamasaki, Takashi Oono and Keiji Iwatsuki, 2001, Antibacterial action of Dermatology, Okayama several tannin against Staphylococcus aureus, t of University Graduate School of Medicine and
Ali,
Pharmacological and Toxicological Aspects of Hibiscus sabdariffa L.: A Review. Phytother. Research 19, pp. URL:
Cowan MM , 1999, Plants products as antimicrobial agents. Clin. Microbiol. Rev. 12: 564-582. Deurenberg, R. H. C. Vink, S. Kalenic, A. W. Friedrich, C. A. Bruggeman, E. E. Stobberingh. Staphylococcus 2006. The molecular evolution aureus. of methicillin-resistant URL: Retrieved:
Farombi, E.O., Ige, O.O. 2007. Hypolipidemic and Antioxidant effects of ethanolic extract from dried calyx of Hibiscus sabdariffa in alloxaninduced diabetic rats. Fundam Clin Pharmacol 21(6): pp.601-609. URL: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/18034661. Retrieved: June 15, 2011.
Fasoyiro, S.B., O.A. Ashaye, A. Adeola, and F.O. Samuel. 2005 . Chemical storability of fruit-Flavoured (Hibiscus sabdariffa L) Drinks. World Journal of Agricultural Science. 1(2) : pp.165-168. URL: http://idosi.org/wjas/wjas1(2)/11.pdf. Retrieved: May 26, 2011.
Herrera, A., Arellano, S. Flores, Romero, M.A. Chaves, Soto, J. Tortoriello. 2004. Effectiveness and tolerability of a standardized extract from Hibiscus sabdariffa in patients with mild to moderate hypertension: a controlled and randomized clinical trial. Phytomedicine 11: pp. 375382. URL: http://www.sld.cu/galerias/pdf/sitios/mednat/hibiscus_sabdariffa___efecto_antihip ertensivo.pdf. Retrieved: June 15, 2011.
Hirunpanich, V., Utaipat A, Noppawan, P. M., Nuntavan, B., Hitoshi, S., Angkana, H., Chuthamanee, S. 2005. Antioxidant effect of aqueous extracts from dried calyx of Hibiscus sabdariffa linn (roselle) in vitro using rat low-density lipoprotein (LDL). Bio. Pharm. Bull. 28(3): pp.481- 484. URL: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/15744073. Retrieved: June 15, 2011.
Husaini, D.C., O.E. Orisakwe, D.N. Akunyili, A.A. Njan, D.D. Akumka, and O. O. Udemezue. 2004. Subchronic Administration of Nigerian Species of Aqueos Extract of Hibiscuss Sabdariffa Calyx in Rats did not Produce Cardiotoxicity . European Bulletin of Drug Research. 12: pp. 1-5. Jawetz, Melnick, and Adelbergs. 1996. Medical Microbiology,16th Ed. United States of America: Mc Graw-Hill Companies Inc. Jawetz, Melnick, and Adelbergs. 2001. Medical Microbiology Twenty Second Ed. United States of America: Mc Graw-Hill Companies Inc. Jawetz, Melnick, and Adelbergs. 2007. Medical Microbiology Twenty fourth Ed. United States of America: Mc Graw-Hill Companies Inc.
Juuti, K. 2004. Surface protein Pls of methicillin-resistant Staphylococcus aureus role in adhesion, invasion and pathogenesis, and evolutionary aspects. [Disertation]. Helinski: Department of Biological and Environmental Sciences Faculty of Biosciences. pp. 61-63. URL: http://ethesis.helsinki.fi/julkaisut/bio/bioja/vk/juuti/surfacep.pdf. Retrieved: june 07, 2011.
Kluytmans, Jan. Alex van Belkum. And Henri Verbrugh. 1997. Nasal Carriage of Staphylococcus aureus: Epidemiology, Underlying Mechanisms, and Associated Risks. Clinical Microbilogy Reviews 10(3). pp. 505520. URL:
doi:10.1016/S0006-3207(03)00146-0.
PMC 172932.
PMID 9227864.
Lowy, F. 2003. Antimicrobial resistance: the example of Staphylococcus aureus. J Clinic Invest. 111(9): pp.1265-1273. URL: http://biologyweb.nmsu.edu/gustafson/Gustafson/Manuscripts%20in%20preparation/Intrinsic% 20Antibacterial%20resistance/1265.pdf. Retrieved: june 07, 2011.
Mardiah., Sawarni, H., R. W. Ashadi., A. Rahayu. 2009. Budi Daya dan Pengolahan Rosela si Merah Segudang Manfaat. Cetakan 1. Jakarta: Agromedia Pustaka Morton, Julia F,. 1974. Renewed Interest in Rosella (Hibiscus sandariffa L.) The Long Forgetten Florida CranberryURL: http://www.fshs.org/Proceedings/Password%20Protected/1974%20Vol.%2087/415 -425%20%28MORTON%29.pdf . Retrieved: May 29, 2011.
Mungole, Arvind and Alka Chaturvedi. 2011. Hibiscus sabdariffa L. A Rich Source of Secondary Metabolites. International Journal of Pharmaceutical Sciences Review
and Research. 6(1): pp.83-87. URL: www.globalresearchonline.net. Retrieved: May 11, 2011.
Neal, M.J., 2002, Medical Pharmacology at a Glance Fourth Ed.,Australia : Blackwell Science Ltd. pp.82-83
Ojokoh, O.A. 2006. Roselle (Hibiscuss Sabdariffa) Calyx Diet and Hispatological Changes in Liver Albino Rats. Pakistan Journal of Nutrition. 5(2): pp.110-113.
Olaleye, M.T., 2007. Cytotoxicity and antibacterial activity of methanolic extract of Hibiscus sabdariffa. J. Med. Plant. Res., 1(1): pp.9-13.URL: http://www.academicjournals.org/JMPR/PDF/Pdf2007/Aug/Olaleye.pd f. Retrieved: May 29, 2011
Ongtengco, D. C., L. A. Baltazar, R. S Santiago, R. R Matias, and C. A. Isaac. 2003. Methicillin-resistant Staphylococcus aureus isolates from Filipino patients (19992003). Phil J Microbiol Infect Dis. 17(1): pp.4-8\. URL: http://www.psmid.org.ph/vol33/vol33num3topic4.pdf. . Retrieved: june 07, 2011.
Rostinawati, Tina. 2009. Aktivitas Antibakteri Ekstrak Etanol Bunga Rosella (Hibiscus Sabdariffa L.) Terhadap Escherichia coli, Salmonella typhi dan Staphylococcus aureus dengan Metode Difusi Agar. [Penelitian Mandiri]. Jatinangor : Fakultas Farmasi Universitas Padjadjaran . URL: http://pustaka.unpad.ac.id/wpcontent/uploads/2011/02/aktivitas_antibakteri_ekstrak_etanol_bunga_rosella.pdf. Retrieved: May 19, 2011.
Salmenlina, S. 2002. Molecular epidemiology of methicillin-resistant Staphylococcus aureus in Finland. [Disertation]. Helsinki: The National Public Health Institute. pp. 88-92. URL:
Samsumaharto R.A. and Sari Y.E.N.I.,2009, Uji Aktivitas Antibakteri Ekstrak n-Heksan, Etil Asetat,Dan Etanol 70 % Daun Rosella (Hibiscus sabdariffa L.) Terhadap Staphylococcus aureus ATCC 25923,Fakultas Ilmu Kesehatan; Fakultas Farmasi Universitas Setia Budi Surakarta, Surakarta, 2009
Setiabudy,R. dan H.S.Gan, Vincent., 1995, Farmakologi dan Terapi : Pengantar Antimikroba , Edisi 4, Universitas Indonesia, Jakarta, hlm: 560-562, 571-580
Steel, Robert G D and Torrie, 1977, James H. Principles and Procedures of Statistics: A Biometrical Approach, New York: McGraw, 1960. Steenis, C.G.G.J. van. 1997. Flora 7th ed. Jakarta: PT Pradnya Paramita. pp, 282-283
Wannet, W. J., E. Spalburg, M. O. Heck, N. Pluster, E. Tiemersma, and R.J. Willem. 2005. Emergence of virulent methicillin-Resistant Staphylococcus aureus strains carrying panton-valentine leucocidin genes in the Netherlands. J Clin Microbiol. pp. 33413345. URL: http://jcm.asm.org/cgi/reprint/43/7/3341.pdf. Retrieved: june 07, 2011.
Zhang, Yan-Ni dan Zhe-Zhi Wang. 2007. Essential Oil Composition of Hibiscus sabdariffa From Yunnan, China. Chemistry of Natural Compounds, 43(6): pp.714715. URL: http://www.springerlink.com/content/q1705118gk4854tu/. Retrieved: june 07, 2011 .
Lampiran 4 Hasil Replikasi I Uji Dilusi Ekstrak Air Kelopak Bunga Rosella ( Hibiscus sabdariffa L.) Terhadap Pertumbuhan Bakteri Staphylococcus aureus
Lampiran 5 Hasil Replikasi II Uji Dilusi Ekstrak Air Kelopak Bunga Rosella (Hibiscus sabdariffa L.) Terhadap Pertumbuhan Bakteri Staphylococcus aureus
Lampiran 6 Hasil Replikasi III Uji Dilusi Ekstrak Air Kelopak Bunga Rosella (Hibiscus sabdariffa L.) Terhadap Pertumbuhan Bakteri Staphylococcus aureus