ABSTRAK
BAB I
PENDAHULUAN
1.4 Manfaat
1. Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan data mengenai pemanfaatan C.
pubescens, sehingga C. pubescensdikonservasi
2. Hasil skrining fitokimia ekstrak C. pubescens dapat dijadikan suatu upaya pengembangan C.
pubescens menjadi satu dari tanaman yang memiliki khasiat sebagai tanaman obat
3. Sebagai referensi untuk penelitian lebih lanjut mengenai penelitian C. pubescens yang ada di
Indonesia
Surah Luqman ayat 10 menjelaskan tentang beberapa tanda dan bukti kekuasaan Allah
yang terdapat di bumi, satu diantaranya penciptaan tumbuhan. Kata anbatat artinya
menumbuhkan sedangkan kata zaujun artinya jenis (Al-Qurthubi, 2009) dan
kata kariim artinya mulia dan banyak manfaatnya (Al-Maragi, 1992). Dengan demikian ayat
tersebut dapat ditafsirkan bahwa Allah menurunkan air dari langit yakni air hujan dan dengan
air hujan tumbuhlah berbagai macam tumbuhan beraneka ragam dengan warna yang indah dan
banyak manfaatnya (Departemen Agama RI, 2010). Tumbuhan memiliki banyak manfaat
dikarenakan kandungan senyawanya yang berkhasiat.
Khasiat tumbuahan bagi kesehatan dewasa ini banyak dikembangkan. Hal ini
dikarenakan pengobatan dengan tumbuhan relatif lebih aman dibandingkan dengan obat-obat
sintesis. Menurut Ibnu Qayyim Al-Jauziyah (2004) pada zaman Rasulullah SAW terdapat 3
metode pengobatan yang diajarkan, diantaranya: metode alamiah yaitu menggunakan herbal
atau tanaman obat sebagai pengobatan; pengobatan Ilahiah yaitu pengobatan yang dilakukan
dengan memanjatkan do’a kepada Allah swt agar diberikan kesembuhan; metode ilmiah yaitu
kombinasi dari kedua jenis pengobatan tersebut. Rasulullah SAW bersabda yang diriwayatkan
Bukhari:
َما أنزل هللا دا ًء إال أنزل له شفا ًء
Abu Hurairah r.a berkata bahwa Rasulullah bersabda, “setiap penyakit yang diturunkan Allah
pasti Dia turunkan juga obatnya.
Hadits di atas menjelaskan bahwa syariat Islam telah memotivasi seluruh manusia unruk
berobat dalam rangka menjaga jiwa dan mengingatkan bahwa Allah telah menciptakan obat
bagi setiap penyakit. Islam juga memotivasi umatnya untuk mencari dan menyingkap usaha-
usaha duniawi yang telah dikuasakan oleh Allah kepada manusia.At-tanzil (penurunan)
penyakit yang disebutkan dalam hadits Abu Hurairah merupakan penurunan alamiah oleh
makhluk (secara alami). Dalil tersebut merupakan petunujuk kepada para hamba agar berupaya
dan berusaha mencari kebaikan bagi kesehatan di dunia (Fathullah, 2010 ).
2.2 Carica pubescens Lenne & K Koch
Carica pubescens Lenne & K. Koch merupakan satu diantara jenis tumbuh-tumbuhan
yang dimaksud surah Al-Luqman ayat 10. C. pubescens merupakan buah asli dari Amerika
Selatan dan telah terdistribusi secara luas di seluruh Andean. Spesies ini diperkenalkan di Chili
sejak 50 tahun lalu dan disebut juga sebagai pepaya Chili. Pepaya Chili termasuk famili
Caricaceae dengan nama ilmiah Vasconcellea pubescens (Morales-Quintana, 2011 dalam
Uribe, 2015). V. pubescens sinonim dari V. cundinamarcensis, C. pubescens, awalnya
disebut C. candamarcensis(Badillo, 2000; Van Droogenbroeck dkk, 2002).
Di Indonesia tanaman C. pubescens penyebaranya masih sangat terbatas, karena
membutuhkan kondisi klimatik dan edafik yang sangat khusus untuk memperluas daerah
distribusi tanaman C. pubescens misalnya temperatur yang rendah dan curah hujan yang tinggi
serta kesediaan unsur hara dalam tanah (Sugiyarto, 2012). C. pubescens tumbuh di tempat
dengan ketinggian 1.400-2.400 meter di atas permukaan laut (dpl), sehingga sering disebut pula
pepaya gunung atau karika (Laily dkk., 2012).
2.2.1 Klasifikasi
Klasifikasi C. pubescens menurut Conquist (1981) dalam Undang (1991) adalah
sebagai berikut.
Divisi : Magnoliophyta
Class : Magnoliopsida
Ordo : Dilleniidae
Famili : Caricaceae
Genus : Carica
Spesies : Carica pubescens Lenne & K. Koch
Daging buah C. pubescens lebih tipis dengan warna hijau ketika mentah dan kuning
sedikit jingga ketika matang (Sanchez 1994 dalam Moya Leon 2004) dan rasanya masam.
Keunikan lain dari C. pubescens adalah bijinya terbungkus (bersalut) lapisan berlendir,
berserat dan berair dengan aroma yang lebih kuat dibanding daging buahnya (Laily dkk., 2012).
Buah ini memiliki aroma yang kuat dikarenakan tingginya kandungan papain, karena itu perlu
dimasak sebelum dimakan. Buah C. pubescens telah diklasifikasikan sebagai buah
klimakterik (Sanchez 1994 dalam Moya Leon 2004).
2.2.5 Manfaat
Daun C. pubencens dapat menyembuhkan penyakit akibat cacing kremi,
menyembuhkan demam malaria, beri-beri, mengobati sariawan, sembelit, dan disentri amuba
(Hidayat, 2000). Daun C. pubencens juga memiliki khasiat sebagai antibakteri yang dapat
digunakan untuk terapi penyakit diare (Novalina, 2013). Selanjutnya hasil penelitian
Indranila dkk., (2015) menunjukkan bahwa daun C. pubescens mempunyai
aktivitas antioksidan dengan nilai IC50 sebesar 30,8 ppm.
Buah C. pubencens dapat mempercepat pencernaan karbohidrat dan lemak,
menurunkan tekanan darah tinggi, memperlancarkan buang air besar, menyembuhkan radang
sendi, epilepsi dan kencing manis yang muncul karena proses pencernaan makanan yang tidak
sempurna (Hidayat, 2000). Karena kandungan papainnya buah C. pubencens dimanfaatkan di
bidang farmakologi (untuk mengobati arteriosklerosis) dan sebagai pelunak daging(Sanchez
1994 dalam Moya Leon 2004).
Biji C. pubencens dapat dimanfaatkan untuk mengobati penyakit akibat cacing gelang,
mengatasi gangguan pencernaan, menyebabkan abortivum, dan mengobati penyakit kulit.
Pemberian ekstrak biji C. pubencens juga menyebabkan kematian pada larva nyamuk A.
aegypti pada waktu pemaparan 24 dan 48 jam (Supono dkk, 2014). Getahnya dimanfaatkan
sebagai obat luka bakar, jerawat, kutil, dan eksem. Akarnya dimanfaatkan sebagai obat cacing
kremi, obat batu ginjal, obat sakit kandung kemih, obat encok, dan luka akibat gigitan ular
berbisa.
2.2.6 Daerah Penyebaran
Penyebaran C. pubescens masih sangat terbatas, karena membutuhkan kondisi klimatik
dan edafik yang sangat khusus untuk memperluas daerah distribusi tanaman C.
pubescens misalnya temperatur yang rendah dan curah hujan yang tinggi serta kesediaan unsur
hara dalam tanah (Sugiyarto, 2012). Di Indonesia, spesies ini dapat dijumpai di kawasan
Bromo dan Cangar Jawa Timur, serta Dataran Tinggi Dieng, Jawa Tengah (Minarno, 2015). C.
pubescens diintroduksi ke Indonesia pada masa menjelang Perang Dunia II oleh pemerintahan
kolonial Hindia Belanda, dan berhasil dikembangkan di pulau Jawa tepatnya dataran tinggi
Dieng Kabupaten Wonosobo. Pengembangan C. pubescens di dataran tinggi Dieng terdapat
dibeberapa desayaitu desa Sikunang, Siterus Campursari, Patak Banteng, Kalilembu, Jojogan,
Parikesit, dan Igimranak. Tanaman ini merupakan tanaman yang berasal dari Amerika tepatnya
dari dataran tinggi Andes, Amarika Selatan (Wikipedia, 2011). Natural Resoueces
Conservation Service (2010) juga menyebutkan persebaran C. pubescens meliputi wilayah
Panama, Venezuela, Bolivia, Colombia, Ekuador, dan Peru.
2.4.1. Alkaloida
Alkaloid berasal dari dua suku kata yaitu “alkali” yang berarti basa dan “oid” yang
berarti mirip sehingga pengertian alkaloida adalah senyawa yang mengandung nitrogen bersifat
basa dan mempunyai aktivitas farmakologis. Alkaloid pada umumnya merupakan senyawa
padat, berbentuk kristal atau amorf, tidak berwarna dan rasanya pahit. Dalam bentuk bebas
alkaloida merupakan basa lemah yang sukar larut dalam air tetapi mudah larut dalam pelarut
organik. Untuk identifikasi biasanya dilakukan dengan menggunakan larutan pereaksi yang
dapat membentuk endapan dengan alkaloida, misalnya pereksi meyer, dragendorff (Rusdi,
1988).
Alkaloid juga merupakan golongan zat metabolit sekunder yang terbesar, yang pada
saat ini telah diketahui sekitar 5500 buah. Alkaloid pada umumnya mempunyai keaktifan
fisiologi yang menonjol, sehingga oleh manusia alkaloid sering dimanfaatkan
untuk pengobatan. Struktur dari alkaloid beranekaragam, dari mulai alkaloid
berstruktur sederhana sampai yang rumit. Salah satu alkaloid yang mempunyai struktur
tersederhana adalah nikotina, tetapi nikotina ini dampak fisiologinya cukup besar (Rustaman,
2006).
Kelompok senyawa alkaloid terdiri dari alkaloid sesungguhnya, protoalkaloid, dan
pseudoalkaloid. Alkaloid sesungguhnya adalah racun, senyawa tersebut menunjukkan aktivitas
phisiologi yang luas, hampir tanpa terkecuali bersifat basa, lazim mengandung nitrogen dalam
cincin heterosiklis, diturunkan dari asam amino, dan biasanya terdapat dalam tanaman sebagai
garam asam organik. Protoalkaloid merupakan amin yang relatif sederhana dimana dalam
nitrogen asam amino tidak terdapat cincin heterosiklis, dan diperoleh berdasarkan biosintesis
dari asam amino yang bersifat basa. Pseudoalkaloid tidak diturunkan dari prekursor asam
amino, dan biasanya senyawa ini bersifat basa (Sastrohamidjojo, 1996).
2.4.2 Flavonoid
Flavonoid merupakan salah satu golongan fenol alam yang terbesar, mengandung 15
atom karbon dalam inti dasarnya, terutama konfigurasi C6-C3-C6 artinya, kerangka karbonnya
terdiri atas dua gugus C6 (cincin benzen tersubtitusi) yang dihubungkan oleh alifatis tiga
karbon. Flavonioda mencakup banyak pigmen terdapat pada tumbuhan (Robinson 1995).
Struktur flavonoid dapat dilihat pada gambar berikut ini.
Flavonoid terdapat dalam tumbuhan, terikat pada gula sebagai glikosida dan aglikon
flavonoid. Penggolongan jenis flavonoid dalam jaringan tumbuhan mula-mula didasarkan pada
telaah sifat kelarutan dan reaksi warna (Harbone 1987). Flavonoid dapat diklasifikasikan
menjadi flavon, flavonol, flavonon, flavononon, isoflavon, calkon, dihidrokalkon, auron,
antosianidin, katekin, dan flavan-3,4-diol (Sirait 2007).
Flavonoid memberikan konstribusi keindahan dan kesemarakan pada buah-buahan di
alam. Flavon memberikan warna kuning atau jingga, antosianin memberikan warna merah,
ungu atau biru, yaitu semua warna yang terdapat pada pelangi kecuali warna hijau
(Sastrohamidjojo 1996). Flavonoid pada tumbuhan berfungsi dalam pengaturan tumbuh,
pengaturan fotosintesis, kerja antimikroba dan antivirus, dan kerja terhadap
serangga (Robinson, 1995).
Kegunaan flavonoid juga ditemukan dalam kehidupan manusia. Flavon bekerja sebagai
stimulan pada jantung, hesperidin mempengaruhi pembuluh darah kapiler. Flavon
terhidroksilasi bekerja sebagai diuretik dan sebagai antioksidan pada lemak (Sirait
2007). Flavonoid dalam tubuh bertindak menghambat enzim lipooksiginase yang berperan
dalam biosintesis prostaglandin. Hal ini disebabkan flavonoida merupakan senyawa pereduksi
yang baik sehingga akan menghambat reaksi oksidasi (Robinson, 1995).
2.4.3. Tanin
Tanin merupakan salah satu jenis senyawa yang termasuk ke dalam golongan polifenol.
Tanin tersebar luas dalam tumbuhan berpembuluh, dalam angiospermae terdapat khusus
dalam jaringan kayu. Dalam industri, tanin adalah senyawa yang berasal dari tumbuhan, yang
mampu mengubah kulit hewan yang mentah menjadi kulit siap pakai karena kemampuannya
menyambung silang protein. Di dalam tumbuhan, letak tanin terpisah dari protein dan enzim
sitoplasma, tetapi bila jaringan rusak, misalnya bila hewan memakannya, maka reaksi
penyamakan dapat terjadi. Reaksi ini menyebabkan protein lebih sukar dicapai oleh cairan
pecernaan hewan. Sebagian besar tumbuhan yang banyak bertanin dihindari oleh hewan
pemakan tumbuhan karena rasanya yang sepat.
2.4.4. Saponin
Saponin merupakan senyawa glokosida kompleks dengan berat molekul tinggi yang
dihasilkan terutama oleh tanaman. Diberi nama saponin karena sifatnya menyerupai sabun
(bahasa Latin “sapo” berarti sabun). Berdasarkan struktur kimianya, saponin dikelompokkan
menjadi tiga kelas yaitu kelas steroid, kelas steroid alkaloid, dan kelas triterpenoid. Sifat yang
khas dari saponin antara lain berasa pahit dan berbusa dalam air (Sukadana, 2007).
Gambar 2.5 Struktur Saponin (Sumber: Robinson, 1995)
Menurut Harborne (1984), saponin adalah glikosida triterpen dan sterol. Saponin
merupakan senyawa aktif permukaan dan bersifat seperti sabun, serta dapat dideteksi
berdasarkan kemampuannya membentuk busa yang stabil dalam air dan menghomolisis sel
darah merah. Dari segi pemanfaatan, saponin sangat ekonomis sebagai bahan baku pembuatan
hormon steroid, tetapi saponin kadang-kadang dapat menyebabkan keracunan pada ternak
(Robinson, 1991).
2.5 Ekstraksi
Ekstraksi adalah suatu proses pemisahan dari bahan padat maupun cair dengan bantuan
pelarut (Suyitno, 1989). Prosedur ekstraksi bertujuan untuk mendapatkan senyawa yang
diinginkan dan untuk menghilangkan komponen yang tidak diinginkan dari tamanan
menggunakan pelarut yang selektif (Handa, 2008).
Bahan-bahan aktif seperti senyawa antimikroba dan antioksidan yang terdapat pada
tumbuhan pada umumnya diekstrak dengan pelarut. Pada proses ekstraksi dengan pelarut,
jumlah dan jenis senyawa yang masuk ke dalam cairan pelarut sangat ditentukan oleh jenis
pelarut yang digunakan dan meliputi dua fase yaitu fase pembilasan dan fase ekstraksi. Pada
fase pembilasan, pelarut membilas komponen-komponen isi sel yang telah pecah pada proses
penghancuran sebelumnya. Pada fase ekstraksi, mula-mula terjadi pembengkakan dinding sel
dan pelonggaran kerangka selulosa dinding sel sehingga pori-pori dinding sel menjadi melebar
yang menyebabkan pelarut dapat dengan leluasa masuk ke dalam sel. Bahan isi sel kemudian
terlarut dalam pelarut sesuai dengan tingkat kelarutannya lalu berdifusi keluar akibat adanya
gaya yang ditimbulkan perbedaan konsentrasi bahan terlarut yang terdapat di dalam dan di luar
sel (Voigt, 1995).
Satu dari metode yang digunakan ekstraksi bahan alam yaitu maserasi. Maserasi
merupakan metode yang sederhana yang digunakan secara luas. Prosedurnya dilakukan dengan
merendam bahan tanaman (simplisia) dalam pelarut yang sesuai dalam wadah tertutup pada
suhu kamar. Pengadukan sesekali ataupun secara konstan dapat meningkatkan kecepatan
ekstraksi.
Adapun parameter kualitas dari ekstraksi tergantung oleh berbagai hal seperti jenis
bahan yang digunakan, jenis pelarut, dan prosedur ekstraksi. Sementara hasil bahan aktif yang
diekstraksi dipengaruhi oleh beberapa faktor yakni ukuran bahan, tipe ekstraksi, waktu
ekstraksi, temperatur, jenis pelarut, pH, konsentrasi pelarut, dan polaritas (Tiwari dkk, 2011).
Faktor ukuran bahan juga mempengaruhi hasil ekstraksi. Pengecilan ukuran suatu
bahan yang akan diekstraksi bertujuan untuk memperluas bidang permukaan bahan sehingga
akan mempercepat penetrasi pelarut ke dalam bahan yang akan diekstrak dan mempercepat
waktu ekstraksi. Namun ukuran bahan yang terlalu kecil juga menyebabkan banyak minyak
volatile yang menguap selama penghancuran (Tiwari dkk, 2011). Kemudian salah satu faktor
yang mempengaruhi hasil ektraksi adalah adalah suhu. Ekstraksi akan lebih cepat dilakukan
pada suhu tinggi. Namun penggunaan suhu yang terlalu tinggi juga dapat menyebabkan
kerusakan senyawa yang akan diekstrak.
Berdasarkan bentuk campuran yang diekstraksi, dapat dibedakan dua macam ekstraksi
yaitu (Kristanti dkk, 2008):
1. Ekstraksi padat cair, jika substansi yang diekstraksi terdapat di dalam campurannya yang
berbentuk padat. Proses ini paling banyak ditemui di dalam usaha untuk mengisolasi suatu
substansi yang terkandung di dalam suatu bahan alam.
2. Ekstraksi cair-cair, jika substansi yang diekstraksi terdapat di dalam campurannya yang
berbentuk cair.
Suatu senyawa menunjukkan kelarutan yang berbeda-beda dalam pelarut yang berbeda.
Bahan dan senyawa kimia akan mudah larut pada pelarut yang relatif sama kepolarannya.
Derajat polaritas tergantung pada tahapan dielektrik, makin besar tahapan dielektrik semakin
polar pelarut tersebut (Nur dan Adijuwana 1989). Beberapa pelarut organik dan sifat fisiknya
dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 2.2 Beberapa Pelarut Organik dan Sifat Fisik
No Pelarut Titik Didih Titik Beku Konstanta
(oC) (oC) Dielektrik (Debye)
1 Dietil Eter 35 -116 4,3
2 Karbon disulfide 46 -111 2,6
3 Aseton 56 -95 20,7
4 Kloroform 61 -64 4,8
5 Metanol 65 -98 32,6
6 Tetrahidrofuran 66 -65 7,6
7 Di-isopropil eter 68 -60 3,9
8 N-heksan 69 -94 1,9
9 Karbon Tetraklorida 76 -23 2,2
10 Etil asetat 77 -84 6,0
11 Etanol 78 -117 24,3
12 Benzena 80 5,5 2,3
13 Sikloheksana 81 5,5 2,0
14 Isopropanol 82 -89 18,3
15 Air 100 0 78,5
16 Dioksan 102 12 2,2
17 Toluena 111 -95 2,4
18 Asam asetat Glasial 118 17 6,2
19 N,N-dimetil formamida 154 -61 34,8
20 Dietilenaglikol 245 -10 37,7
BAB III
METODE PENELITIAN
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
b. Wagner Negatif
c. Dragendorff Negatif
4 Saponin Positif
1. Alkaloid
Hasil skrining fitokimia menunjukkan bahwa ekstrak kasar daging buah C.
pubescens positif mengandung alkaloid dengan pereaksi Mayer. Reaksi positif dari pereaksi
Mayer yaitu terbentuknya endapan yang berwarna jingga. Sedangkan hasil negatif pada
pereaksi Wagner dan Drangendoff. Pada pereaksi Wagner tidak terdapat endapandan pada
pereaksi Wagner terbentuk endapan hitam kehijauan. Menurut Harborne (1987) hasil uji
dinyatakan positif apabila dengan pereaksi Meyer terbentuk endapan putih kekuningan, dengan
pereaksi dengan pereaksi Wagner membentuk endapan coklat dan dengan pereaksi
Dragendorff membentuk endapan merah sampai jingga.
Pengujian senyawa alkaloid dengan menggunakan reagen Mayer, Wagner, dan
Dragendorff, menyebabkan reaksi pengendapan karena adanya penggantian ligan. Atom
nitrogen yang mempunyai pasangan elektron bebas pada alkaloid mengganti ion iod dalam
reagen Mayer, reagen Dragendroff, dan reagen Wagner. Hal tersebut mengakibatkan
terbentuknya endapan jingga terhadap penambahan reagen Dragendroff, hal ini karena nitrogen
digunakan untuk membentuk ikatan kovalen koordinat dengan K+ yang merupakan ion logam.
Terbentuknya endapan putih kekuningan pada penambahan reagen Mayer karena
nitrogen pada alkaloid akan bereaksi dengan ion logam K+ dari kalium tetraiodomerkurat (II)
membentuk kompleks kalium-alkaloid yang mengendap (Marliana dkk, 2005; Sangi dkk.,
2008).
Pada penambahan pereaksi Mayer, larutan merkurium(II) klorida ditambah kalium
iodida akan bereaksi membentuk endapan merah merlurium(II) iodida. Jika kalium iodida
ditambah berlebih maka akan terbentuk kalium tetraiodomerkurat(II). Alkaloid mengandung
aom nitrogen yang mempunyai pasangan elektron bebas sehingga dapat digunakan untuk
membentuk ikatan kovalen koordinat dengan ion logam. Pada uji alkaloid dengan penambahan
pereaksi mayer, diperkirakan nitrogen pada alkaloid akan bereaksi dengan ion logam K+ dari
kalium tetraiodomerkurat(II) membentuk kompleks kalium alkaloid yang mengendap.
Perkiraan reaksi yang terjadi pada uji Mayer ditunjukkan pada gambar berikut.
Hasil uji alkaloid dengan pereaksi Wagner pada penelitian ini negatif dikarenakan
terbentuknya endapan hijau kehitaman. Menurut Marlina dkk, (2005) hasil positif uji alkaloid
dengan pereaksi Wagner ditandai dengan terbentuknya endapan coklat muda sampai muda.
Diprkirakan endapan terebut adalah kalium-alkaloid. Pada penamabahan pereaksi Wagner,
iodin bereaksi dengan ion I- dari kalium iodida menghasilkan ion I3- yang berwarna coklat.
Pada uji wagner, ion logam K+ akan membentuk ikatan kovalen koordinat dengan nitrogen
pada alkaloid membentuk kompleks kalium-alkaloid yang mengendap. Perkiraan reaksi yang
terjadi pada uji Wagner ditunjukkan pada gambar berikut.
Gambar 4.3 Dugaan reaksi Alkaloid dengan pereaksi Wagner
(Sumber: slamatysf.blogspot.com)
Uji alkaloid dengan pereaksi Dragendorff pada penelitian ini negatif dikarenakan tidak
terbentuknya endapan. Menurut Marlina dkk, (2005) hasil positif uji alkaloid dengan pereaksi
Dragendorff ditunjukkan dengan terbentuknya endapan coklat muda sampai kuning. PEB dari
atom nitrogen pada senyawa alkaloid dapat membentuk ikatan kovalen koordinat dengan
K+ dugaan reaksi alkaloid dengan pereaksi Dragendorff dapat dilihat pada gambar berikut.
2. Tanin
Hasil skrining fitokimia menunjukkan bawa ekstrak daging buah C. pubescens positif
mengandung tanin. Hal ini dibuktikan dengan terbentuknya warna hijau kehitaman setelah
penambahan FeCl3 1%.
Pengujian tanin dan polifenol dilakukan dengan penambahan FeCl3 1%. Pereaksi
FeCl3 1 % merupakan pereaksi umum untuk mengidentifikasi senyawa fenol termasuk tanin.
Pada penambahan FeCl3 1%. Golongan tanin terhidrolisis sehingga menghasilkan warna biru
kehitaman dan tanin terkondensasi akan menghasilkan warna hijau kehitaman. Perubahan
warna ini terjadi ketika penambahan FeCl3 1% yang bereaksi dengan salah satu gugus hidroksil
yang ada pada senyawa tanin (Sangi dkk., 2008). Reaksi pada uji polifenol dan tannin dapat
dilihat pada gambar berikut ini.
Gambar 4.5 Reaksi Tanin dengan FeCl3
3. Flavonoid
Hasil uji fitokimia ekstrak daging buah C. pubescens menunjukkan hasil positif
mengandung flavonoid ditandai dengan adanya perubahan warna pada tabung kedua, ketiga,
dan keempat setelah penambahan NaOH, H2SO4 dan Mg-HCL dibandingkan kontrol. hasil ini
diperkuat denga penelitian Laily (2014) dan Khotimah (2016) bahwa ekstrak etanol tanaman C.
pubescens positif mengandung senyawa flavonoid.
Penambahan HCl pekat dalam identifikasi flavonoid digunakan untuk menghidrolisis
flavonoid menjadi aglikonnya, yaitu dengan menghidrolisis O-glikosil. Glikosil akan
tergantikan oleh H+ dari asam karena sifatnya yang elektrofilik. Glikosida berupa gula yang
biasa dijumpai yaitu glukosa, galaktosa, dan raminosa. Reduksi dengan Mg dan HCl pekat ini
menghasilkan senyawa komplek yang berwarna merah atau jingga pada flavonol, flavon,
flanonol dan xanton (Robinson, 1985). Warna merah yang dihasilkan menandakan adanya
flavonoid akibat dari reduksi oleh asam klorida pekat dengan magnesium (Robinson, 1995).
Identifikasi flavonoid menggunakan uji Wilstater menunjukkan warna jingga yang
berarti positif adanya flavonoid. Magnesium dan asam klorida pada uji Wilstater bereaksi
membentuk gelembung-gelemung yang merupakn gas H2. Sedangkan logam Mg dan HCl
pekat pada uji ini berfungsi berfungsi untuk mereduksi inti benzopiron yang terdapat pada
struktur flavonoid sehingga terbentuk perubahan warna menjadi merah atau jingga. Jika dalam
suatu ekstrak tumbuhan terdapat senyawa flavonoid akan terbentuk garam flavilium saat
penambahan Mg dan HCl yang berwarna merah atau jingga (Prashant dkk., 2011). Reaksi
pembentukan garam flavilium dapat dilihat pada gambar berikut.
Gambar 4.6 Mekanisme Pembentukan Garam Flavilium
4. Triterpenoid
Hasil skrining fitokimia menunjukkan bahwa dalam ekstral etanol daging buah C.
pubescens positif mengandung triterpenoid, ditandai dengan terbentuknya cincin kecoklatan
pada larutan uji setelah penambahan asam sulfat pekat sebanyak 2 ml melalui dinding tabung.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa tanaman C. papayamengandung metabolit sekunder
triterpenoid menunjukkan bahwa senyawa tersebut memiliki aktivitas sebagai antibakteri yaitu
monoterpenoid linalool, diterpenoid, phytol, triterpenoid saponin, triterpenoid glikosida
(Marlinda, 2013 dalam Minarno, 2015).
Siadi (2012) menjelaskan bahwa identifikasi terpenoid dan steroid menggunakan uji
Lieberman-Burchard (anhidrat asetat-H2SO4 pekat) yang memberikan warna hijau-biru.
Identifikasi terpenoid dan steroid positif apabila terbentuknya cincin coklat pada batas larutan
saat ditambah dengan H2SO4 serta terlihat warna hijau saat larutan diteteskan pada plat tetes.
Perubahan warna dikarenakan terjadinya oksidasi pada golongan senyawa terpenoid/steroid
melalui pembentukan ikatan rangkap terkonjugasi. Prinsip reaksi uji terpenoid yaitu
kondensasi atau pelepasan H2O dan penggabungan karbokation. Reaksi ini diawali dengan
proses asetilisasi gugus hidroksil menggunakan asam asetat anhidrat. Gugus asetil akan lepas,
sehingga terbentuk ikatan rangkap. Selanjutnya terjadi pelepasan gugus hidrogen beserta
elektronnya, mengakibatkan ikatan rangakap berpindah. Senyawa ini mengalami resonansi
yang bertindak sebagai elektrofil atau karbokation. Serangan karbokation menyebabkan adisi
elektrofili, diikuti dengan pelepasan hidrogen. Kemudian gugus hidrogen berserta elektronnya
dilepas, akibatnya senyawa mengalami perpanjangan konjugasi yang memperlihatkan
munculnya cincin coklat.
5. Saponin
Hasil analisis identifikasi metabolit sekunder dari daging buah C.
pubescens menunjukkan positif mengandung saponin ditandai dengan terbentuknya busa
setelah pengocokan dan bertahan selama 30 detik. Menurut Robinson (1995) senyawa yang
memiliki gugus polar dan non polar bersifat aktif permukaan sehingga saat saponin dikocok
dengan air dapat membentuk misel. Pada struktur misel gugus polar menghadap ke luar dan
gugus non polarnya menghadap ke dalam, keadaan inilah yang tmpak seperti busa. Busa yang
ditimbulakan saponin dikarekan adanya kombinasi struktur senyawa penyusunnya yaitu rantai
sapogenin non-polar dan rantai samping polar yang larut dalam air (Kristianingsih, 2008).
Reaksi hidrolisis saponin dalam air dapat dilihat pada gambar berikut.
6. Minyak Atsiri
Hasil skrining fitokimia ekstrak etanol daging buah c. pubescens menunjukkan hasil
yang negatif ditandai dengan tidak terdapat bau yang khas pada residu sampel setelah diuapkan
di cawan porselen. Hal ini dikarenakan faktor pelarut etanol (polar) saat tahap ekstraksi yang
digunakan, sedangkan minyak atsiri bersifat nonpolar. Menurut Siedel (2008) dalam Khotimah
(2016) pemilihan pelarut dan metode ekstraksi akan mempengaruhi hasil kandungan senyawa
metabolit sekunder yang dapat terekstraksi. Pemilihan pelarut ekstraksi umumnya
menggunakan prinsip like disolves like, dimana senyawa nonpolar akan larut dalam pelarit non
polar sedangkan senyawa polar akan larut padapelarut polar.
b. Wagner Negatif
c. Dragendorff Negatif
3 Flavonoid Negatif
4 Saponin Negatif
1. Alkaloid
Identifikasi senyawa alkloid pada ekstrak kasar n-Heksan menggunakan tiga pereaksi
yaitu pereaksi mayer, Wagner dan Dragendorff. Hasil identifikasi dari ketiga pereaksi tersebut
menunjukkan negatif mengandung alkaloid. Hal ini dibuktikan pada pereaksi Mayer tidak
terbentuk endapan putih kekuningan akan tetapi terbentuk larutan berwarna putih kekuningan.
Pada pereaksi Wagner terbentuk larutan berwarna hijau kecoklatan tanpa adanya endapan yang
seharusnya terdapat endapan coklat. Pada pereaksi Dragendorff terbentuk larutan hijau
kekuningan tanpa endapan. Hasil uji positif ppereaksi Dragendorff ditandai dengan
terbentuknya endapanmerah samapai jingga.
hasil uji dinyatakan positif apabila dengan pereaksi Meyer terbentuk endapan putih
kekuningan, dengan pereaksi dengan pereaksi Wagner membentuk endapan coklat dan dengan
pereaksi Dragendorff membentuk endapan merah sampai jingga Harborne (1987).
Hasil negatif pada identifikasi senyawa alkaloid pada ekstrak n-heksana daging buah C.
pubescens ini dikarenakan faktor pelarut. Pelarut non polar seperti n-Heksan akan melarutkan
senyawa-senyawa yang bersifat non-polar. Menurut Harborne (1987), pelarut yang bersifat
polar, mampu mengekstrak senyawa alkaloid kuartener, komponen fenolik, karotenoid, tannin,
gula, asam amino, dan glikosida. Hasil ekstrak yang diperoleh akan tergantung pada beberapa
faktor antara lain kondisi alamiah senyawa tersebut, metode ekstraksi yang digunakan, ukuran
partikel sampel, kondisi dan waktu penyimpanan, lama waktu ekstraksi, dan perbandingan
jumlah pelarut terhadap jumlah sampel (Darusman et al. 1995).
3. Flavonoid
Uji flavonoid pada ekstrak kasar n-Heksan daging buah C. pubescens menggunakan
empat perlakuan. Perlakuan pertaama sebagai kontol, kedua dengan penambahan Mg-HCl
pekat, perlakuan ketiga penambahan NaOH dan perlakuan terakihir H2SO4. Hasil positif
apabila terdapat perubahan warna pada ketiga perlakuan apabila dibandingakn dengan warna
kontrol. Hasil uji menunjukkan bahwa pada ekstrak n-Heksana daging buah C.
pubescens negatif mengandung flavonoid.
4. Saponin
Uji saponin pada ekstrak kasar n-Heksan daging buah C. pubescens dengan
penambahan aquades panas pada sampel kemudian dikocok. Uji positif apabila terdapat busa
yang bertahan selama 30 detik setelah pengocokan. Hasil identifikasi pada ekstrak kasar n-
Heksan daging buah C. pubescens menunjukkan negatif mengandung saponin.
5. Triterpenoid
Hasil skrining fitokimia menunjukkan bahwa dalam ekstral n-Heksana daging buah C.
pubescens positif mengandung triterpenoid, ditandai dengan terbentuknya cincin kecoklatan
pada larutan uji setelah penambahan asam sulfat pekat sebanyak 2 ml melalui dinding tabung.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa tanaman C. papayamengandung metabolit sekunder
triterpenoid menunjukkan bahwa senyawa tersebut memiliki aktivitas sebagai antibakteri yaitu
monoterpenoid linalool, diterpenoid, phytol, triterpenoid saponin, triterpenoid glikosida
(Marlinda, 2013 dalam Minarno, 2015). Senyawa terpen umumnya merupakan senyawa yang
larut dalam lemak (Harborne, 1987).
6. Minyak Atsiri
Hasil skrining fitokimia pada ekstrak kasar n-heksana C. pubescens menunjukkan
positif mengandung minyak atsiri. Hal ini ditandai terdapat bau yang khas dari sampel setelah
penguapan. Minyak atsiri merupakan metabolit sekunder yang bersifat non-polar. Oleh karena
itu minyak atsiri dapat diekstrak dengan pelarut yang non polar juga.
Kata karim digunakan untuk menggambarkan segala sesuatu yang baik bagi setiap objek yang
disifatinya. Tumbuhan baik adalah tumbuhan yang subur dan bermanfaat (Shihab, 2002). Satu
diantara tumbuhan baik yaitu C. pubescens yang dapat diambil manfaatnya.
C. pubescens memiliki kandungan senyawa kimia diantaranya alkaloid, flavonoid,
tannin, saponin, triterpenoid dan minyak atsiri yang dapat dimanfaatkan sebagai antioksidan,
antibakteri, larvasida nabati.
C. pubescens menurut peneliti terdapat beberapa kelemahan diantaranya memiliki
daging buah yang tipis, bertekstur kenyal, rasanya asam sehingga kurang diminati dan
membutuhkan pengolahan sebelum dikonsumsi. Dibalik kelemahan tersebut pada daging
buah C. pubescens terdapat kandungan vitamin C dan metabolit sekunder yang berpotensi
sebagai antioksidan. Dengan demikian surah ali-Imran 191 yang berbunyi:
ÇÊÒÊÈ .... WxÏÜ»t/ #x‹ »yd |Mø)n=yz $tB t$uZ/u‘
"Ya Tuhan Kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia”
Ayat tersebut dengan jelas menyebutkan bahwa segala sesuatu yang diciptakan Allah memiliki
pelajaran dan tujuan yang mulia, mustahil Allah berbuat main-main (Tafsir al-Qur’an al-Aisar,
2007). Allah tidak menciptakan semua dengan sia-sia, melainkan dengan penuh pelajaran bagi
makhluk-Nya yang berfikir.
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan penelitian, maka dapat disimpulkan sebagai berikut.
1. Kandungan fitokimia pada daging buah C. pubescens dengan pelarut etanol 70% diantaranya
polifenol dan tanin, flavonoid, saponin, triterpenoid, dan alkaloid pada pereaksi Mayer dan
dragendoff, negatif pada pereaksi Wagner dan minyak atsiri. Pada pelarut n-Heksana positif
mengandung triterpenoid dan minyak atsiri.
5.2 Saran
1. Perlu dilakuan skrining fitokimia dengan metode KLT agar data yang dihasilkan lebih valid.
2. Perlu dilakukan penelitian lanjutan mengenai kandungan total masing-masing senyawa
DAFTAR PUSTAKA
Aksara, R. Weny J.A. dan Musa, La Alio. 2013. Identifikasi Senyawa Alkaloid dari Ekstrak Metanol Kulit Batang
Mangga(Mangifera indica L). Jurnal Entropi. Vol. 8. No.1.
Khotimah, Khusnul. 2016. Skrining Fitokimia dan Identifikasi Metabolit Sekunder Senyawa Karpain
pada Ekstrak Metanol Daun Carica pubescens Lenne & K. Koch dengan LC/MS (Liquid
Chromatograph-tandem Mass Spectrometry). Skripsi Diterbitkan. Fakultas Sains dan
Teknologi. Universitas Islam Negeri Malang. Malang.
Laily A. N, dkk. 2012. Karakterisasi Carica pubescens Lenne & K. Koch Berdasarkan Morfologi,
Kapasitas Antioksidan, dan Pola Pita Protein di Dataran Tinggi Dieng. Nusantara
Bioscience. 4: 16-21.
Marlina, S.D. 2005. Skrining Fitokimia dan Analisis Kromatografi Lapis Tipis Komponen Kimia Buah
Labu Siam (Sechium edule Jacq. Swartz) dalam Ekstrak Etanol. Jurusan Biologi FMIPA UNS
Surakarta. Biofarmasi. 3(1): 26-31.
Melawaty, L. 2010. Ekstraksi Pigmen Antosianin Paprika Merah (Capsicum anuum) dengan
Menggunakan Asam Tartarat. Laporan Penelitian.Teknik Kimia UKI-Paulus. Makasar.
Minarno, E.B. 2015. Skrining Fitokimia dan Kandungan Total Flavanoid Pada Buah Carica
pubescens Lenne & K. Koch di Kawasan Bromo, Cangar, dan Dataran Tinggi Dieng. El-
Hayah. Vol. 5, No.2.
Moya-Leon, M.A. Mario Moya. dan Raul Herrera. 2004. Ripening of Mountain Papaya (Vasconcellea
pubescens) and Ethylene Dependence of Some Ripening Events. Postharvest Biology and
Technology 34: 211–218.
Novalina, D. Sugiyarto. dan Ari Susilowati. 2013. Aktivitas Antibakteri Ekstrak Daun Carica pubescens dari
Dataran Tinggi Dieng terhadap Bakteri Penyebab Penyakit Diare. El-Vivo.Vol.1, No.1, Hal 1-12.
Nurhayati, N. 2012. Populasi dan Karakter Morfologi Tanaman Carica pubescens di Dataran Tinggi
Dieng. Tesis Tidak Diterbitkan. Prodi Biosain PPS Universitas Sebelas Maret.
Prashant, dkk. 2011. Phytochemical Screening and Extraction. Internationale Pharmaceutica
Sciencia. 1(1): 1-9.
Robinson, T. 1995. Kandungan Organik Tumbuhan Tingkat Tinggi. Bandung: ITB Press.
Setyowati, W.A., Sri Retno., Ashadi., Bakti Mulyani., dan Cici Putri. 2014. Skrining Fitokimia dan
identifikasi komponen Utama Ekstrak Metanol Kulit durian (Durio zibethinus Murr.) Varietas
Petruk. Seminar Nasional dan Pendidikan Kimia VI.UNS Surakarta.
Siadi, K. 2012. Ekstrak Bungkil Biji Jarak Pagar (Jatropa curcas) sebagai Biopestisida yang Efektif
dengan Penambahan larutan NaCl. Jurnal Mipa. 35(2): 77-83.
Sugiyarto. 2012. Sebaran Sistem Budidaya Carica pubescens di Dataran Tinggi Dieng Serta Potensi
Transplantasinya ke Daerah lain. Seminar Nasional Biodiversitas V. Airlangga. Surabaya
Supono. Sugiyarto. dan Ari Susilowati. 2014. Potensi Ekstrak Biji Karika (Carica pubescens) sebagai Larvasida
Nyamuk Aedes Aegypti. El-Vivo. Vol.2. No.1, Hal 78-89.
Uribe, Elsa dkk. 2015. Extraction Techniques for Bioactive Compounds and Antioxidant Capacity
Determination of Chilean Papaya (Vasconcellea pubescens) Fruit. Journal of Chemistry.
LAMPIRAN