NAMA
: HARIS MAULANA
NIM
: 125020300111031
KELAS
: CF
MATERI
Ketika berbicara keadilan di Indonesia, kita seperti diperhadapkan dengan dua potret
yang berbeda; potret yang pertama adalah kebanggaan, mengapa? Karena sebagai bangsa kita
berikrar tentang keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. Tetapi potret yang kedua adalah
kesedihan dan kepedihan, mengapa? Karena pada praktek dan kenyataannya, ternyata
keadilan di negeri kita belum terimplementasikan dengan baik. Ada pelaku pembunuhan,
kekerasan, menggunakan obat terlarang, namun tidak diadili dengan semestinya karena hanya
mendapatkan hukuman yang ringan dibandingkan dengan kesalahannya. Sebaliknya, seorang
nenek yang mengambil beberapa potong singkong untuk mengusir rasa laparnya karena
miskin dan tidak dapat membeli makanan, harus menghadapi vonis hakim berupa penjara
selama beberapa tahun.
Tidak hanya masalah hukum saja yang belum memberikan keadilan di negeri ini.
Munculnya pertanyaan mengenai sistem ekonomi yang tidak memberikan kemerataan
kesejahteraan juga menjadi problem. Pertentangan mengenai sistem ekonomi liberalisme dan
sosialisme sudah ada sejak bangsa ini memiliki landasan dasar negara yaitu Pancasila. Inti
pemikiran liberalisme adalah tekananya pada kebebasan individual. Sedangkan sosialisme
memandang manusia sebagai makhuk sosial atau sebagai ssesama yang hidup bersama orang
lain. Artinya, mereka berpendapat bahwa masyarakat pada waktu itu diatur dengan tidak adil.
Indonesia menganut sistem ekonomi campuran yang merupakan sistem yang berbeda
dengan sistem ekonomi liberal dan sosial. Sistem ekonomi campuran juga disebut sebagai
sistem ekonomi pancasila. Sistem ekonomi pancasila saat ini dan sistem ekonomi ini cocok
dan sesuai dengan keadaan masyarakat Indonesia, sumber daya dan keadaan bangsa. Sistem
pancasila adalah sistem yang tidak terlalu bebas dan tidak terkungkung oleh negara. Siapa
saja yang memiliki modal mereka mengembangkan usahanya dan perusahaannya.
Masih terdapat korelasi dengan sistem ekonomi kapitalis dimana sumber daya
ekonomi dikuasai oleh pemilik modal, perusahaan yang saat ini terlalu profit oriented
merupakan buah dari cita-cita kapitalisme liberal. Studi sejarah menunjukan bahwa
maksimalisasi keuntungan sebagi tujuan usaha ekonomis memang bisa membawa akibat
kurang etis. Adanya CSR saat ini sifatnya masih transaksional, artinya perusahaan masih
memikirkan dampak atau hasil yang bisa mereka dapatkan ketika mereka memberikan
bantuan. Atau dengan kata lain mereka masih belum tulus dalam memberikan bantuan kepada
alam dan masyarakat. Hal ini tidak terlepas dari etika bisnis yang mereka anut bahwa etika
mereka hanya sampai batas kepada para pemegang saham. Meskipun saat ini sudah banyak
yang menyuarakan akan pentingnya CSR untuk alam dan sosial, namun masih belum semua
perusahaan yang benar-benar tulus memberikan bantuan.