Anda di halaman 1dari 5

RESUME

Video 1
Pancasila, sebagai sistem filsafat dan dasar negara Indonesia, mencakup nilai-nilai luhur
yang mengarah pada pembentukan karakter dan perilaku masyarakat. Dalam konteks ini, Sila
keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia menjadi fokus pembahasan, menyoroti esensi dan
relevansi nilai-nilai keadilan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pentingnya nilai-nilai
kekeluargaan dan kegotongroyongan dalam Sila keadilan sosial tidak dapat dipandang sebelah
mata. Terutama karena fenomena globalisasi dan individualisme yang telah merambah ke dalam
masyarakat, mengancam kelestarian nilai-nilai tradisional. Globalisasi membawa dampak
materialisme, yang sering kali berdampak negatif pada solidaritas sosial dan semangat gotong-
royong.
Sila keadilan sosial mengandung berbagai nilai yang mencerminkan sikap dan suasana
kekeluargaan serta kegotongroyongan. Meskipun terdapat 12 nilai yang secara khusus
terkandung dalam Sila keadilan sosial, tidak tertutup kemungkinan adanya nilai-nilai lain yang
dapat diidentifikasi sebagai perwujudan dari Sila ke-5 ini. Diantara nilai-nilai tersebut,
pentingnya mengembangkan perbuatan-perbuatan yang luhur menjadi sorotan, yang seharusnya
mencerminkan sikap kekeluargaan dan kegotongroyongan. Namun, kendati nilai-nilai ini
memiliki peran penting, mereka mulai tergerus oleh berbagai faktor, seperti pengaruh globalisasi,
materialisme, dan individualisme yang meracuni tatanan masyarakat Indonesia.
Berbicara tentang kehidupan politik yang demokratis, pemilihan langsung dapat memiliki
dampak negatif terhadap suasana kekeluargaan. Kesibukan masyarakat dengan urusan pribadi
dan kurangnya ikatan sosial yang kuat menunjukkan perubahan dalam dinamika sosial budaya.
Semua ini dipengaruhi oleh perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang
memungkinkan penyebaran informasi dengan cepat. Selain itu, prinsip keadilan dalam Sila
keadilan sosial seharusnya diwujudkan dalam menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban.
Terdapat keterkaitan yang erat antara hak dan kewajiban, di mana keharmonisan akan tercapai
jika hak dan kewajiban dipertahankan secara seimbang. Resiprokalitas menjadi kunci, di mana
hak tidak dapat ada tanpa kewajiban, dan sebaliknya. Namun, tantangan muncul ketika ada
eksploitasi tenaga manusia atau pelaksanaan kewajiban tanpa pemberian hak yang setara. Oleh
karena itu, diperlukan upaya bersama dalam mewujudkan keseimbangan tersebut, menghindari
sikap pemerasan, dan membentuk masyarakat yang tidak bersifat boros dan mewah.
Prinsip keadilan sosial juga memasukkan aspek pencegahan kecemburuan sosial. Ini
mencakup memberikan pertolongan kepada sesama, menghargai hasil karya orang lain, serta
berpartisipasi dalam kemajuan yang merata dan berkeadilan sosial. Hal ini penting untuk
mencegah ketidaksetaraan dan memastikan bahwa seluruh lapisan masyarakat merasakan
dampak positif dari pembangunan. Dalam konteks hukum, penyelenggaraan keadilan menjadi
tanggung jawab lembaga-lembaga negara, seperti Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi,
Komisi Yudisial, Kejaksaan Agung, dan Kepolisian. Mereka memiliki peran masing-masing
dalam menegakkan hukum, melakukan penuntutan, dan memberantas korupsi. Namun, perlu
diperhatikan bahwa lembaga-lembaga ini harus menjaga kredibilitasnya agar kepercayaan
masyarakat terhadap sistem hukum tetap terjaga. Keterlibatan berbagai pihak dalam praktik
hukum, termasuk DPR dan pemerintah daerah, menunjukkan kompleksitas dan tantangan dalam
menjaga keadilan. Ketika berbicara tentang keadilan sosial, perlu diperhatikan pula bahwa
prinsip-prinsip ini tidak hanya bersifat teoretis, tetapi juga harus diwujudkan dalam praktik.
Kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara harus menjadi refleksi nyata dari nilai-nilai
keadilan sosial yang diemban oleh Pancasila.

Video 2
Hakikat sila kelima dengan penekanan pada sandang dan pangan sebagai kebutuhan pokok
yang harus terpenuhi tanpa pandang status atau kedudukan. Namun, realitas hukum di Indonesia
menunjukkan ketidakadilan, terutama dalam penegakan hukum terhadap golongan ekonomi atas
dan bawah. Kasus konkret yang diambil adalah kasus seorang nenek bernama Mina pada tahun
2009 yang dituduh mencuri tiga buah kakao dan dihukum dengan ancaman penjara. Kritik
muncul terkait bagaimana hukum di Indonesia terlihat tajam ke bawah, namun tumpul ke atas,
memberikan perlakuan yang berbeda tergantung pada status sosial ekonomi. Selanjutnya,
pengertian hukum oleh para ahli seperti Aristoteles dan Immanuel Kant menekankan bahwa
hukum seharusnya tidak hanya mengikat masyarakat tetapi juga pejabat negara, dan menjaga
kebebasan individu tanpa merugikan orang lain.
Realitas hukum di Indonesia. Pada bagian ini, terungkap bahwa hukum di Indonesia
seringkali bisa "dibeli," dan bahwa ada perbedaan perlakuan terhadap golongan ekonomi atas
dan bawah. Kasus-kasus seperti tidak adanya pemberlakuan hukum zakat kepada golongan
berada dan perlakuan berat terhadap masyarakat kelas bawah menjadi contoh nyata dari realitas
tersebut. Kasus ketidakadilan di Indonesia mencakup tahun 2009, di mana seorang nenek berusia
55 tahun dituduh mencuri tiga buah kakao dan dihadapkan pada ancaman hukuman penjara.
Kritik terhadap hukum yang tajam ke bawah dan tumpul ke atas menimbulkan pertanyaan
tentang keadilan sosial yang belum sepenuhnya terwujud. Upaya penegakan hukum di Indonesia,
salah satunya adalah pendidikan karakter. Pendidikan moral sejak dini diharapkan dapat
membentuk kesadaran dan kebiasaan hidup jujur, serta meminimalisir pelanggaran hukum.
Namun, tantangan masih ada dalam menghadapi praktik korupsi yang dilakukan oleh aparat
pemerintah dan penegak hukum.
Upaya penegakan hukum yang kedua adalah peningkatan kualitas seleksi aparat penegak
hukum. Hal ini menekankan perlunya aparat penegak hukum yang tidak hanya memiliki
kemampuan kognitif tetapi juga karakter yang baik. Realitas yang menunjukkan
ketidakberpihakan hukum kepada golongan ekonomi atas menunjukkan bahwa seleksi aparat
penegak hukum perlu diperketat. Pemberian bantuan hukum juga diangkat sebagai upaya
penegakan hukum, terutama untuk warga negara tidak mampu. Kasus nenek Mina menjadi
contoh bahwa akses ke penegakan hukum harus adil tanpa memandang kondisi ekonomi.
Bantuan hukum diharapkan dapat memberikan akses kepada masyarakat yang tidak mampu agar
mereka dapat memperoleh keadilan. Pada poin terakhir, materi membahas apresiasi bagi aparat
penegak hukum sebagai upaya penegakan hukum. Apresiasi terhadap prestasi dapat
meningkatkan motivasi kerja aparat penegak hukum, sehingga mereka berlomba-lomba untuk
melakukan yang terbaik dalam menjalankan tugasnya. Kesimpulannya menunjukkan bahwa
Indonesia masih berjuang dalam mewujudkan keadilan sosial, terutama dalam ketidakadilan
hukum yang terlihat dari berbagai kasus dan realitas di lapangan. Upaya penegakan hukum
seperti pendidikan karakter, peningkatan kualitas seleksi aparat, pemberian bantuan hukum, dan
apresiasi terhadap aparat penegak hukum diharapkan dapat membawa perubahan menuju
keadilan yang lebih baik di Indonesia.

Video 3
Sila ke-5 dalam Pancasila, yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, mencerminkan
pentingnya penerapan nilai-nilai dasar negara dalam kehidupan sehari-hari. Pancasila, sebagai
dasar negara Republik Indonesia, secara resmi ditetapkan pada 18 Agustus 1994. Lima asas ini
seharusnya menjadi pedoman utama bagi segala tindakan, tingkah laku, dan pembuatan
kebijakan di dalam negeri. Namun, dalam realitasnya, terdapat tanggapan terhadap ketidakadilan
yang terjadi, khususnya terkait dengan pemberian hak dan keadilan sosial. Pertama-tama, dalam
nilai-nilai Pancasila, penting untuk mencermati pengertian dasar dari Pancasila itu sendiri.
Pancasila merupakan singkatan dari "lima dasar" atau "lima asas," dan menjadi pijakan dasar
bagi negara kita. Pada intinya, nilai-nilai tersebut diharapkan dapat dihayati dan
diimplementasikan dalam setiap lapisan masyarakat, mencakup bermasyarakat, berpemerintahan,
dan bernegara.
Namun, dalam konteks Sila ke-5, yakni keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia,
terdapat beberapa aspek yang perlu mendapat perhatian. Salah satu aspek tersebut adalah respons
terhadap pernyataan bahwa struktur ekonomi, politik, sosial, dan budaya menjadi penyebab
sebagian orang sulit memperoleh haknya yang seharusnya menjadi hak setiap warga negara.
Dalam realitasnya, kondisi ini tergambar dalam ketidaksetaraan pemberian bantuan dan subsidi,
seperti bantuan pemerintah atau bantuan harga BBM, yang terkadang tidak merata dan tidak
mencapai masyarakat yang benar-benar membutuhkannya. Lebih lanjut, keadilan sosial
membuka ruang untuk memahami tiga konsep penting dalam konteks Pancasila, yaitu keadilan
distributif, keadilan legal, dan keadilan komutatif. Keadilan distributif menekankan pada
pemerataan hak dan kewajiban antara negara dan warga negaranya. Keadilan legal mempertegas
ketaatan warga negara terhadap peraturan yang berlaku. Sedangkan keadilan komutatif
menegaskan timbal balik dalam hubungan antarwarga. Namun, realitas di lapangan menunjukkan
adanya pelanggaran terhadap Sila ke-5 di berbagai sektor. Bidang hukum, sebagai contoh,
memunculkan kasus korupsi sebagai bukti nyata ketidakadilan. Kesehatan dan pendidikan, di sisi
lain, menunjukkan ketidaksetaraan dalam akses dan pelayanan, terutama bagi masyarakat dengan
kondisi ekonomi yang lebih rendah. Demikian pula, ekonomi dan budaya menjadi medan di
mana ketidakadilan masih menjadi problem serius.
Selanjutnya, nilai-nilai luhur bangsa yang tercermin dalam Pancasila juga perlu menjadi
bagian integral dari kehidupan sehari-hari. Manusia Pancasilais diharapkan dapat menjalankan
hak dan kewajibannya dengan penuh tanggung jawab, menjadikan persaudaraan dan
kebahagiaan bersama sebagai pijakan utama dalam kehidupan bermasyarakat. Namun,
kesenjangan antara idealisme Pancasila dan praktik di masyarakat dan pemerintah menjadi
tantangan nyata yang harus diatasi. Dengan demikian, kesimpulan yang dapat diambil adalah
bahwa nilai-nilai Pancasila, terutama Sila ke-5, semakin terabaikan dan terlupakan oleh berbagai
elemen masyarakat dan pemerintah. Pelanggaran terhadap nilai-nilai tersebut bukan hanya
terbatas pada Sila ke-5, melainkan juga merambah pada sila-sila lainnya. Oleh karena itu,
diperlukan upaya bersama untuk mengembalikan makna dan implementasi nilai-nilai Pancasila
dalam kehidupan sehari-hari, sebagai pondasi yang kokoh dalam membentuk masyarakat yang
adil dan merata.

Anda mungkin juga menyukai